3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat, keturunan, dan tempat tinggal (CIFOR 2002). Kawasan TNGHS merupakan salah satu kawasan yang ditempati oleh masyarakat adat yang terdiri dari masyarkat adat Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul. Masyarakat adat ini berada di bagian Barat dan Selatan Kawasan. Selain masyarakat adat, ada juga masyarakat lokal (non adat) yang bermukim di dalam kawasan TNGHS. Aspek yang membedakan antara masyarakat adat dan masyarakat lokal adalah keterikatan sosial budaya antar komunitas dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, terutama pada tradisi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam (RMI 2004). Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke 18 (Asep 2000 diacu dalam RMI 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan oleh RMI (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Halimun terdiri atas 3 komunitas. Komunitas tersebut adalah komunitas sisa pasukan/laskar Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan/laskar Kerajaan Mataram, dan komunitas yang berasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara). Penyebaran masyarakat adat kasepuhan dibagi dalam 35 kelompok masyarakat Kasepuhan yang didasarkan pada fungsinya dari warisan leluhur. (RMI 2004). Kelompok kasepuhan ini diantaranya Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug (Santoso et al. 2006). 3
4
Kehidupan masyarakat masih sangat bergantung pada sektor pertanian dan kehutanan. Aturan adat dan tradisi masyarakat masih sangat mengikat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, seperti dalam pengelolaan sawah dan huma (kebun), serta sumberdaya hutan (Santoso et al. 2006). Bentuk pengelolaan sumber daya alam di kawasan ini umumnya terdiri atas sawah (usaha pertanian yang paling utama), ladang/huma, kebun campuran, hutan tanaman (dikelola oleh Perum Perhutani), dan hutan masyarakat (dikelola secara kelompok). Pengelolaan sumberdaya hutan di kalangan masyarakat terintegrasi dengan pertanian secara tradisional (sawah, huma, dan kebun) yang ditujukan untuk pemenuhan seharihari (subsisten) (RMI 2004).
2.2.
Penutupan Lahan Penutupan lahan dan penggunaan lahan merupakan istilah yang berbeda.
Lillesand dan Keifer (1990) menyatakan bahwa istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Tiga kelas data yang secara umum tercakup dalam penutupan lahan : (1) Struktur fisik yang dibangun oleh manusia; (2) Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang; (3) Tipe pembangunan. Berdasarkan pengamatan penutupan lahan ini diharapkan untuk dapat menduga kegiatan manusia dan penggunaan lahan (Lo 1996). Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Keifer 1990). Deteksi perubahan lahan mencakup fotografi udara berurutan diatas wilayah tertentu dari fotografi tersebut. Kemudian peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo 1996).
2.3.
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah suatu teknologi baru yang saat ini
menjadi alat bantu (tools) yang esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial. Sistem Informasi Geografis dinilai sebagai hasil
5
penggabungan dua sistem, yaitu sistem komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem komputer bidang perancangan (CAD) dengan teknologi basis data (Prahasta 2001). SIG juga dapat didefinisikan sebagai Geographic Information Science (GIScience). GIScience tidak hanya membantu pengguna untuk memahami kelebihan teknologi SIG dalam menyediakan suatu alat yang dapat menganalisa tapi juga membantu pengguna untuk melihat teknologi sebagai bagian dari disiplin ilmu yang mengenalkan suatu hal mengenai keadaan geografi dan strategi pemecahan permasalahan yang sangat berguna bagi masyarakat (Bettinger dan Wing 2004). Aplikasi SIG tidak dapat lepas dari data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang bersifat keruangan. Beberapa sumber data untuk memperoleh data spasial antara lain peta analog, data dari sistem Penginderaan Jauh (antara citra satelit, foto udara, dsb), data hasil pengukuran lapangan (data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, dan batas hak pengusahaan hutan yang dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan tersendiri), dan data GPS (Puntodewo et al. 2003).
2.4.
Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Aplikasi penggunaan SIG untuk mengetahui penutupan dan penggunaan
telah banyak dilakukan. Aplikasi SIG ini telah dilakukan di kawasan kehutanan. perkotaan, bahkan dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi tata ruang suatu kota. Salah satu contoh aplikasi SIG mengenai perubahan penutupan lahan di kawasan konservasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Khalil (2009). Penelitiannya dilakukan di Hutan Adat Citorek Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan aplikasi SIG. Penelitian ini menggunakan Peta Rupa Bumi, Peta Batas Kasepuhan Citorek, Peta Tata Batas Kawasan TNGHS, Peta Batas Administrasi Pemerintahan Kabupaten lebak, citra satelit Landsat TM dan ETM+ yang diambil pada tahun 1990, 1997, dan 2006. Data lain yang diambil adalah data atribut berupa data penggunaan lahan serta data kependudukan kasepuhan Citorek yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan yang terjadi.
6
Proses pengolahan data spasial untuk mendapatkan peta penutupan lahan dilakukan melalui 2 tahap yaitu pembuatan peta digital dan pengolahan citra. Dalam pengolahan citra, terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan. Tahap ini adalah perbaikan citra, pemotongan citra, klasifikasi citra (klasifikasi tidak terbimbing dan klasifikasi terbimbing), dan uji akurasi terhadap citra terklasifikasi. Tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah Kasepuhan Citorek dikelompokkan menjadi 9 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, kebun campuran, semak balukar dan rumput, ladang, sawah, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air, dan awan. Lebih lanjut Khalil (2009) menganalisis perubahan penutupan lahan di Hutan Adat Cotorek dengan hasil adanya penurunan luas hutan pada kurun waktu 1990-2006 sebesar 1,31%. Penurunan ini disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi areal pertanian seperti kebun campuran, ladang, dan sawah yang diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Ladang mengalami penurunan sebesar 25,48% pada kurun waktu 1990-2006. Perubahan ini terjadi karena adanya konversi lahan menjadi areal pertanian lain ataupun menjadi pemukiman dan semak belukar. Sawah mengalami peningkatan luas menjadi 89,92%
pada kurun waktu 1990-2006.
Kenaikan ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan masyarakat akan lahan pertanian dan pergeseran pola pertanian tradisional ke pola pertanian intensif. Kebun campuran dan semak mengalami fluktuasi luas pada kurun waktu 19902006. Hal ini dikarenakan adanya penerapan sistem perladangan berpindah. Sebagian petani menggarap huma dengan sistem tumpangsari. Padi dan sayur ditanam bersama buah dan tanaman keras. Tanah yang dianggap sudah tidak produktif akan ditinggalkan setelah dipanen dan berubah menjadi semak. Luas lahan terbuka mengalami fluktuasi, yang diakibatkan karena adanya perubahan lahan terbuka yang berfungsi sebagai tempat menjemur padi berubah menjadi perkantoran dan pemukiman. Sedangkan pada tahun 1990-1997 luas lahan terbuka meningkat seiring meningkatnya hasil pertanian.
Luas lahan
terbangun pada kurun waktu 1990-2006 cenderung meningkat karena adanya peningkatan jumlah penduduk.
7
2.5.
Penginderaan Jauh Penginderaan jauh (Remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesesand dan Kiefer 1990). Purwadhi (2001) menyatakan bahwa data penginderaan jauh dapat berupa citra dan atau non-citra. Analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi, dan kondisi sumberdaya
yang diindera. Informasi tersebut bagi para
pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut.
2.6.
Data Citra Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud
aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimetriknya, sehingga citra merupakan keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik,analog, dan dgital. Di dalam penginderaan jauh, istilah “foto” diperuntukkan secara eksklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film (Purwadhi 2001). Pengambilan citra dilakukan melalui satelit bumi. Salah satu satelit yang dirancang untuk observasi sumberdaya bumi adalah Landsat. Lo (1996) menjelaskan bahwa Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Pada satelit Landsat, terdapat detektor yang digunakan dalam sistem pencitraan yaitu kamera Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM). Thematic Mapper (TM) merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak, inframerah, dan saluran spektral.
2.7.
Global Positioning System (GPS) Global Positioning System (GPS) adalah suatu jaringan satelit yang secara
terus menerus memancarkan sinyal radio dengan frekuensi yang sangat rendah.
8
Satelit GPS bekerja pada referensi waktu yang sangat teliti dan memancarkan data yang menunjukkan lokasi dan waktu pada saat itu (Puntodewo et al. 2003). Global Positioning System (GPS) dapat mengidentifikasi informasi mengenai koordinat geografi suatu lokasi. Informasi dapat berupa batas-batass wilayah, keadaan alam, serta gambaran kebudayaan (Momberg et al. 1996).