BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Pustaka Beberapa penelitian sebelumnya telah mengulas mengenai peran desa adat
dalam era global. Salah satunya adalah penelitian Darmadi (2011) yang berjudul “Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam Postkolonialitas Kawasan Industri Pariwisata”. Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana representasi budaya masyarakat lokal di Kuta (yang juga di dalamnya menyangkut tentang Desa Adat, sebab Desa Adat juga merupakan representasi dari budaya masyarakat lokal di Kuta) yang berjuang untuk menghadirkan kembali posisi dan peranan masyarakat lokal yang didominasi ruang turistik global. Diterangkan juga oleh Darmadi bahwa Kuta merupakan kawasan turistik dan bagian dari destinasi pariwisata global. Adanya fakta tersebut menjadikan realitas kehidupan masyarakat lokal dan penduduk asli dalam situasi terdominasi dan terjajah secara ekonomi dan budaya. Keberadaan desa adat menjadi suatu barikade dan wadah advokasi bagi permasalahan tadi. Penelitian ini memberi gambaran bahwa politik identitas desa adat dipandang wajar sebagai penggerak dinamis dalam representasi masyarakat lokal dan formasi identitas manusia global. Adanya penyesuaian antara nilai budaya tradisional dan budaya turistik global, merupakan wujud adaptasi masyarakat lokal terhadap pertumbuhan industri pariwisata di Kuta, yang disambut dengan politik identitas dan
11
12
ekonomi politik desa adat. Teori postkolonial digunakan sebagai pisau analisis dan juga sebagai bahan untuk mengkonstruksi konsep penelitian. Selain itu, hasil penelitian ini juga menyarankan agar masyarakat lokal khususnya krama desa adat agar dapat mengelola potensi desa di dalam kawasan wisata. Saran lainnya yaitu bahwa seluruh penentu kebijakan bersama masyarakat lokal khususnya desa adat setempat patut melakukan advokasi budaya dan emansipasi masyarakat lokal kawasan wisata Kuta sebagai wujud langkah nyata dalam membantu dan memberdayakan masyarakat lokal sebagai tuan rumah yang bermartabat. Permasalahan yang diangkat oleh Darmadi dalam thesisnya yang berjudul “Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam Postkolonialitas kawasan Industri Pariwisata” sesungguhnya hampir serupa dengan penelitian skripsi yang diangkat oleh penulis yang membahas bagaimana suatu sistem kemasyarakatan di Bali yang bernama desa adat ketika dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Darmadi juga sama-sama mengangkat Desa Adat Kuta sebagai lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan Darmadi juga sama-sama membahas mengenai peran Desa Adat Kuta dalam mengadvokasi kepentingan masyarakat lokal. Yang menjadi pembeda antara penelitian yang dilakukan oleh Darmadi dan penulis adalah penelitian Darmadi lebih menekankan kepada bagaimana sebuah kearifan lokal dapat berperan dalam memberdayakan masyarakat lokal, sehingga eksistensi masyarakat lokal tidak tergerus oleh arus globalisasi dan dominasi kawasan turistik komersial kapitalistik yang berwujud industri pariwisata. Desa adat kemudian
13
dilihat sebagai salah satu representasi dari budaya masyarakat lokal yang mewadahi dan mengadvokasi kepentingan dan potensi masyarakat lokal sehingga eksistensi dan martabat masyarakat lokal dalam kedigjayaan ekonomi, sosial, politik dan budaya dapat terjaga. Sedangkan penulis dalam skripsi ini membahas bagaimana Desa Adat Kuta melakukan perluasan peran untuk menjaga eksistensinya dimata masyarakat adat dengan menunjang kebutuhannya dalam hal sosial dan ekonomi. Penelitian berikutnya adalah penelitian dari Bao (2012), yang berjudul “Kritik Jurnal: Kuatnya Kekuasaan Ondoafi di Tengah Masyarakat Urban”. Penelitian ini menjelaskan tentang studi mengenai kekuasaan garis keturunan Ondoafi di kota Jayapura, Papua. Pada konteks lokal, di Papua pada umumnya dan di kota Jayapura pada khususnya terdapat stratifikasi sosial yang beragam. Strata tertinggi ditempati oleh kaum Ondoafi. Ondoafi merupakan pemegang garis keturunan yang ditarik dari melalui garis lurus dari pendiri kampong dan anak laki-laki sulung Ondoafi sebelumnya.
Penelitian
ini
berbicara
mengenai
bagaimana
Ondoafi
ini
mengaktualisasikan modal kekuasaannya dalam konteks perubahan masyarakat dan bagaimana Ondoafi merawat modal kekuasaannya agar tetap kuat ditengah masyarakat urban. Penelitian ini juga menjelaskan fenomena globalisasi membawa pengaruh terhadap modernisasi masyarakat perkotaan, sehingga dengan begitu, masyarakat Ondoafi tersebut harus dapat beradaptasi dengan arus modernisasi dan globalisasi tersebut. Namun, adaptasi terhadap modernisasi dalam penelitian tersebut dibatasi dalam konteks adaptasi terhadap masyarakat urban.
14
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Bao dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah terletak pada lokasi penelitian dan subjek dalam penelitiannya. Apabila dalam penelitian Bao menggunakan kaum Ondoafi dan masyarakat urban sebagai subjek, maka dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini menggunakan Desa Adat Kuta dan masyarakat di daerah perkotaan sebagai subjek penelitiannya. Selain dua penelitian diatas, terdapat juga sebuah studi kritik tentang kebudayaan politik di Bali yang ditulis oleh Suryawan (2012) dalam sebuah buku yang berjudul Sisi Dibalik Bali, Politik Identitas, Kekerasan dan Interkoneksi Global. Buku tersebut membahas mengenai kompleksitas persoalan yang terjadi akibat adanya kebersinggungan Bali dengan berbagai faktor regional, global, dan interkoneksi sejarah, politik, budaya, industri pariwisata dan aspek lainnya. Secara garis besar buku tersebut mengulas mengenai dilema kehidupan masyarakat Bali yang disatu sisi (dengan politik identitas lokalnya) didorong untuk mempertahankan kultur yang telah dikonstruksi bagi kemolekan citranya demi industri pariwisata. Namun disisi lain dengan adanya fenomena globalisasi, masyarakat Bali juga pada akhirnya bergerak menuju modernitas yang mana pariwisata menjadi salah satu faktor pendorong modernitas ini. Proses pembangunan industri pariwisata ini melahirkan kelas menengah urban (yang oleh Suryawan disebut juga sebagai Kelompok Elite) yang memiliki banyak identitas. Kelompok elite ini seolah-olah memanfaatkan kebudayaan Bali sebagai pilar dalam pembangunan industri pariwisata. Dalam konteks wacana politik
15
kebudayaan dan pembangunan industri pariwisata, energi, pikiran dan semua kemampuan rakyat Bali dimobilisasi untuk berdebat dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara dengan apparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi, hingga tokoh masyarakat untuk mewacanakan pencanggihan pelestarian budaya. Gulagulanya adalah siasat manusia untuk mencari akses ekonomi politik dibawah koor pelestarian budaya. Ada beberapa hal yang mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam ulasan permasalahan pada buku tersebut, yakni perihal adanya transformasi dari masyarakat tradisional ke modern (dilihat dari adanya transformasi mata pencaharian), dari masyarakat pedesaan yang bertransformasi menuju masyarakat perkotaan. Selain itu, peran masyarakat urban juga dibahas sebagai suatu golongan masyarakat yang turut mengambil peran dalam pemeliharaan citra originalitas Bali melalui tindakan pelestarian budaya. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adah bahwa penelitian tersebut mengeksplorasi tentang segala aspek kebudayaan Bali yang dieksploitasi untuk kepentingan kapitalis. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih menitikberatkan pada bagaimana peran lembaga tradisional yaitu desa adat dalam mengelola sumber daya manusia dan bagaimana nantinya sumber daya manusia ini dapat bersaing pada masyarakat yang multi identitas itu.
16
2.2
Kerangka Konsep
2.2.1 Peran Desa Adat Kuta Peranan merupakan sekumpulan harapan yang dimiliki oleh seseorang yang berstatus sebagai anggota atau menjadi bagian dari suatu sistem sosial berkenaan dengan hierarki dan hak-hak atau kekuasaan yang akan dinikmatinya dengan menjadi anggota dari suatu organiasi atau sistem tersebut, lalu apa yang dilakukan orang (anggota) tersebut untuk menanggapinya (Pareek, 1985: 1). Lebih lanjut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer disebutkan hal yang senada dengan pengertian dari Pareek bahwa peran adalah sesuatu yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat (Salim, 1991: 1408). Seseorang yang memiliki jabatan atau status dalam suatu sistem tentunya mendambakan hak-hak dan keuntungan dari sistem tersebut. Untuk mendapatkan hak-haknya itu, maka seseorang harus melakukan aksi dan tindakan sebagai tanggapan terhadap harapan dan dambaan dari para anggota maupun dirinya sendiri sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam sistem tersebut. Secara sederhana, peran dapat didefinisikan sebagai aksi-aksi atau tindakan untuk merealisasikan harapan-harapan dan cara mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan tupoksi dari struktur yang menjadi bagian dari sebuah sistem sosial. Menurut Pareek (1985: 3), tiap peranan mempunyai sistem dan dalam sistem ini subjek peranan terdiri dari pemegang peranan dan mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan pemegang peranan itu. Pihak yang dikategorikan mempunyai hubungan langsung dengan pemegang peranan selanjutnya mengirimkan
17
harapan-harapan pada peranan itu. Si pemegang peranan juga mempunyai berbagai harapan dari perananya, dan dalam pengertian itu si pemegang peranan juga seorang pengirim peranan. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa peran yang nampak di dalam struktur masyarakat Desa Adat Kuta, antara lain Prajuru, Krama Adat, dan Krama Tamiu. Prajuru merupakan pengurus desa adat yang dipilih secara demokratis melalui paruman (sidang utama desa). Struktur prajuru di Desa Adat Kuta terdiri dari Bendesa sebagai kepala desa adat, kemudian yang bertindak sebagai wakil bendesa sekaligus mengepalai bidang-bidang di Desa Adat Kuta yang disebut sebagai Pangliman. Pangliman terdiri dari pangliman pawongan yang membidangi urusan kependudukan, pangliman palemahan yang membidangi urusan lingkungan serta pangliman parhyangan yang membidangi urusan keagamaan. Urutan berikutnya dalam struktur prajuru desa adat adalah petegen (bendahara) dan penyarikan (sekretaris). Sebagai staf yang melaksanakan tugas di lapangan dalam bidang-bidang terdapat pesayahan yang berada di bawah koordinasi dengan pangliman. Oleh karenanya, pesayahan terdiri dari pesayahan pawongan, pasayahan palemahan dan pasayahan parhyangan. Peran lainnya yang ada dalam struktur masyarakat Desa Adat Kuta adalah Krama Adat. Dalam awig-awig Desa Adat Kuta pada Sarga III, Palet I, Pawos 4, nomor (1) dan (2) (Awig-awig Desa Adat Kuta, 1992: 2) disebutkan sebagai berikut: “(1). Sane kabawos Krama Desa inggih punika kulawarga Agama Hindu, sampun mabanjar suka-duka tur nyungsung Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta;
18
(2). Sejaba punika kabawos tamiu”. Artinya: “(1). Yang disebut sebagai Krama Desa yaitu orang yang beragama Hindu, telah menjadi anggota banjar adat (suka duka), dan menyungsung (Pura) Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta; (2). Diluar itu disebut pendatang”. Jadi, sesuai dengan awig-awig Desa Adat Kuta yang dimaksud krama adat adalah warga yang beragama Hindu, menyungsung Pura Kahyangan Tiga di Desa Adat Kuta, dan menjadi anggota banjar adat (suka-duka). Sementara yang disebut krama tamiu adalah warga pendatang yang menetap di Desa Adat Kuta, yang tidak termasuk sebagai penyungsung Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta dan tidak tercatat sebagai anggota banjar adat di Desa Adat Kuta. Peran-peran tersebut merupakan bagian yang mendukung struktur sosial dari Desa Adat Kuta. Namun berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas adat dan keagamaan serta kegiatan-kegiatan desa adat lainnya, peran prajuru desa dan krama adat menjadi faktor utama yang mendukung pelaksanaan program-program yang disusun oleh Desa Adat Kuta. Menurut Katz dan Kahn (dalam Pareek, 1985: 3), organisasi dalam hal ini adalah suatu sistem peran yang mewadahi dan memberi ruang bagi pemegang peran dan pengirim peranan untuk memenuhi segala harapan-harapan dan hak-haknya dalam organisasi atau sistem itu. Sehingga merujuk pada pernyataan Katz dan Kahn, peran tidak dapat dipisahkan dari kaitannya dengan organisasi. Oleh karena itu organisasi juga memiliki andil besar dalam merealisasikan harapan dan hak-hak anggotanya. Organisasi merupakan bentuk akumulatif dari individu-individu dalam
19
masyarakat yang menghimpun diri dan menjadi sebuah kesatuan masyarakat yang legal dan diakui (paling tidak oleh anggota organiasi yang bersangkutan). Oleh karena organisasi merupakan bentuk akumulatif dari individu dalam masyarakat yang bersifat legal, maka organiasasi dalam pendiriannya juga memiliki hak-hak dan harapan-harapan yang ingin dipenuhi dan melakukan rangkaian aksi dan tindakan untuk mewujudkan harapan itu. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa organisasi juga berperan, dalam arti juga menjadi subjek peran itu sendiri ketika organisasi tersebut ingin memenuhi harapan dan tujuannya. Desa Adat merupakan suatu daerah dimana masyarakat yang bersangkutan lahir serta beraktivitas dan melakukan kegiatan ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dilangsungkan secara turun temurun oleh masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan desa kala patra-nya masing-masing. Fungsi utama dari desa adat ini adalah untuk memelihara, menegakkan dan memupuk adat istiadat yang berlaku di desa adatnya dan segala tradisi yang diwarisi secara turun-temurun dari leluhur mereka. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi pengingkaran terhadap fungsi utama dari desa adat ini, maka secara lebih rinci fungsi desa adat dikodifikasikan menjadi lebih spesifik yaitu untuk mengatur kehidupan peguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan unsur-unsur yang menjadikan desa tersebut dikategorikan sebagai desa adat, yaitu unsur warganya yang disebut sebagai pawongan, unsur wilayah desa yang disebut sebagai palemahan dan unsur tempat-tempat pemujaan bagi warganya yang dinamakan dengan istilah parhyangan. Ketiga unsur tersebutlah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tri
20
Hita Karana. Berdasarkan fungsinya itu, diprogramkanlah tugas-tugas desa adat yang dituangkan ke dalam awig-awig desa adat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis (Surpha, 1993: 13). Sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Desa Adat (Perda No. 06/1986) ditegaskan bahwa desa adat Bali merupakan kesatuan hukum masyarakat hukum adat yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dari kedudukan gandanya tersebut, ,kemudian desa adat ditentukan fungsi dan perannya dalam perda tersebut sebagai berikut: 1. Membantu pemerintah, Pemerintah daerah dan Pemerintah desa/ Pemerintahan kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan; 2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adat; 3. Memberikan kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan; 4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan Kebudayaan Nasional pada umumnya dan Kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salunglung sabayantaka/ musyawarah untuk mufakat; 5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Berdasarkan informasi yang didapat penulis dari Bapak I Wayan Swarsa (Bendesa Adat Kuta), bahwa Penyebutan desa adat di provinsi Bali memiliki perbedaan istilah pada masing-masing daerahnya. Hal tersebut mengacu pada kebijakan dari masing-masing desa adat untuk menentukan istilah penyebutan desa adatnya.
Beberapa desa adat (secara terintegrasi melalui Majelis Madya Desa
Pakraman) memilih menggunakan istilah Desa Pakraman untuk menyebut istilah desa adatnya. Sedangkan Desa Adat Kuta sama halnya dengan sebagian besar desa adat se-
21
Kabupaten Badung, tetap menggunakan istilah desa adat (Wawancara tanggal 20 November 2014). Dalam penjabaran konsep pada penelitian ini penulis menjabarkan tentang bagaimana Desa Adat Kuta berperan sebagai suatu organisasi masyarakat, sebagai wadah bagi pemangku kepentingan untuk mewujudkan harapan-harapan kolektif dari masyarakat adat Kuta dan sebagai suatu sistem peran. Desa Adat Kuta merupakan salah satu desa adat yang ada di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Desa Adat Kuta ini memiliki keunikan karena selain menjalankan peranan dan fungsi sebagai mana desa adat pada umumnya yang berperan dalam mengorganisir pelaksanaan upacara adat dan keagamaan secara tradisi, Desa Adat Kuta juga melakukan beberapa peran lain diantaranya peningkatan terhadap kualitas sumber daya manusia, memberdayakan aset-aset desa sebagai sumber pendapatan utama desa sehingga desa adat menjadi berdikari secara ekonomi. Jadi berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep peran Desa Adat Kuta adalah aksi-aksi ataupun tindakan untuk merealisasikan harapan-harapan dan cara mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan tupoksi atau fungsi dari sebuah kesatuan masyarakat adat di Kuta yang disebut Desa Adat Kuta. 2.2.2 Peningkatan Kualitas Menurut Hornby (1995: 598), peningkatan adalah suatu tindakan atau proses dalam memperbaiki atau dierbaiki, dimana terjadi suatu proses penambahan atau perubahan nilai kearah yang lebih baik dari suatu objek yang dimaksud.
22
Kualitas adalah standar yang dimiliki oleh suatu objek, yang mana ketika dibandingkan dengan objek yang memiliki sifat yang sama maka objek tersebut akan menunjukkan nilai lebih baik atau lebih buruk (Hornby, 1995: 950). Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kualitas merupakan suatu proses dalam menaikkan derajat, nilai atau standar dari suatu objek kearah yang lebih baik. Penambahan nilai tersebut dapat diindentifikasi dengan cara membandingkan objek tersebut dengan objek lain yang memiliki kesamaan sifat. 2.2.3 Sumber Daya Manusia Menurut Istijanto (2005: 1), sumber daya Manusia (SDM) adalah aset organisasi yang hidup dan bernafas disamping aset-aset lain yang tidak bernafas seperti gedung, mesin, barang-barang, dan sebagainya. Keunikan dari aset SDM ini adalah mensyaratkan pengelolaan yang berbeda dengan aset lainnya, sebab aset ini memiliki pikiran, perasaan dan perilaku. Oleh karenanya perlu dirancang suatu mekanisme pengelolaan sumber daya manusia yang biasa disebut sebagai manajemen sumber daya manusia. Menurut Bhartos (2001: 1), manenjemen sumber daya manusia mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan pembinaan, penggunaan dan perlindungan sumber-sumber daya manusia. Selain itu, Sunarto (2004: 1) juga menyatakan manajemen sumber daya manusia dapat didefinisikan sebagai pendekatan strategik dan koheren untuk mengelola aset paling berharga milik organisasi (masyarakat),
23
orang-orang yang bekerja dalam organisasi (baik secara individu maupun kolektif), memberikan sumbangan untuk mencapai sasaran organisasi. Untuk memahami pengertian Sumber Daya Manusia, Nawawi (dalam Makmur, 2007: 58) menyatakan sebagai berikut. Pengertian SDM perlu dibedakan antara pengertiannya secara makro dan mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh pekerjaan (lapangan kerja). SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain-lain. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) sebagaimana diuraikan diatas perlu dibedakan menurut konteks kedudukan dan wilayah keberadaan manusianya. Dengan pembedaan tersebut maka kita dapat lebih mudah mempelajari hal-hal yang terkait dengan sumber daya manusia ini. Apabila mengacu pada pembedaan yang dinyatakan Nawawi tersebut, maka yang dibahas pada penelitian ini adalah SDM Mikro yaitu manusia atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja, dan lain-lain. Dalam perspektif penulis, sumber daya manusia yang dikelola oleh desa adat dalam hal ini tidak hanya orang-orang yang memasuki usia angkatan kerja, namun dalam realitasnya, penulis banyak menemukan bahwa anak-anak usia 15 tahun kebawahpun banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan adat meskipun porsi tugas dan tanggung jawabnya kecil.
24
Pada perspektif SDM mikro, semua elemen masyarakat dipandang memiliki peluang untuk diberdayakan kemampuannya. Namun karena terdapat penggolonganpenggolongan dalam masyarakat menyangkut usia, pekerjaan, keterampilan, agama, wilayah dan lain-lain, maka untuk dapat mengelola sumber daya manusia dalam masyarakat yang demikian diperlukan manajemen SDM yang baik. Menurut Rachmawati (2008: 4), keberadaan sumber daya manusia juga mempunyai efek yang lebih besar dibandingkan dengan sumber daya yang lain bagi perkembangan dan kesuksesan organisasi dimasa mendatang. Sumber daya manusia menjadi faktor penting dan sentral dalam sebuah organisasi. Apapun bentuk dan tujuannya, organisasi dibuat dengan visi untuk kepentingan bersama dan dalam pelaksanaan misinya akan dikelola oleh manusia. Jadi manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan organisasi. Keunggulan kompetitif suatu organiasi sangat bergantung pada inovasi. Inovasi sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi dan moral kerja setiap personil organisasinya. Sikap dan moral atau mental personil organisasi merupakan hasil dari pembentukan kebijakan dan praktik lingkungan manajemen.
2.3
Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Sistem Tindakan
(action system) dari Talcott Parsons. Teori sistem tindakan ini digunakan dalam menganalisis peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia di Desa Adat Kuta. Teori sistem tindakan merupakan teori yang melihat tindakan
25
individu sebagai dasar dalam melakukan analisa sosiologis. Inti pemikiran dari Parsons dalam teori ini adalah bahwa: (1). Setiap tindakan mengarah pada suatu tujuan (setiap tindakan memiliki tujuan); (2). Tindakan terjadi dalam suatu situasi, dimana beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak (aktor) sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dimaksud; dan (3). Secara normatif, tindakan tersebut diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan (Johnson, 1986: 106). Berdasarkan uraian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa tindakan dilihat sebagai satuan realitas sosial yang paling kecil dan fundamental. Komponenkomponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Apabila mengacu pada konteks peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, dapat dilihat bahwa peran berkorelasi dengan tindakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Pareek (1985: 1), bahwa peran merupakan aksi-aksi atau tindakan untuk merealisasikan harapan-harapan dari seseorang yang menjadi bagian dari suatu sistem sosial. Peran-peran yang dilakukan oleh Desa Adat Kuta memiliki tujuan yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menunjukkan eksistensi desa adat di mata krama Desa Adat Kuta. Peran-peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia memiliki elemen-elemen sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan dari peran tersebut. Elemen-elemen tersebut ditunjukan dengan adanya standar norma yang berlaku di Desa Adat Kuta serta digelarnya acara-acara pameran, komepetisi ataupun perlombaan serta didirikannya lembaga-lembaga yang
26
dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat Desa Adat Kuta. Desa Adat Kuta membentuk sebuah sistem dimana setiap lembaga dan pengelolaan acara seremonial (event) dilaksanakan secara terkoordinasi dengan Desa Adat Kuta. Segala peran yang dilakukan dikorelasikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Teori sistem tindakan yang dikemukakan oleh Parsons diterjemahkan ke dalam empat konsep, dimana dalam menganalisis peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, konsep-konsep tersebut akan dijadikan sebagai perangkat analisis. Keempat konsep tersebut antara lain organisme perilaku, sistem kultural, sistem sosial dan sistem kepribadian. Konsep-konsep dari teori sistem tidakan tersebut diaplikasikan dalam menganalisis fungsi dan peran dari berbagai bagian dalam struktur masyarakat, bagaimana bagian-bagian dalam struktur ini berhubungan, kemudian bagaimana proses yang terjadi ketika interaksi antar aktor dalam struktur ini terjadi. Teori sistem tindakan ini merupakan turunan dari teori struktural fungsional yang dikemukakan oleh Parsons. Dalam teori sistem tindakan ini, Parsons (dalam Ritzer & Goodman, 2012: 123), juga menjawab permasalahan dalam fungsionalisme struktural (yang kemudian menjadi sintesa yang menyebabkan lahirnya teori sistem tindakan), dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung, 2. Sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan, 3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur, 4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagianbagian lain,
27
5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya, 6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem, 7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagianbagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis teori sistem tindakan ini mengarah pada keteraturan pola, perubahan sosial serta peranperan aktor dalam sistem. Selain itu, menurut Parsons (dalam Poloma, 2007: 169), fokus teori sistem tindakan lebih mengarah pada konsep tindakan rasional yaitu untuk mencapai tujuan atau sasaran (organisasi atau kepemimpinan) dengan sarana-sarana yang paling tepat (kepemimpinan yang berbobot atau kualitas sumber daya personil organisasi). Berdasarkan hal tersebut, Parson mengemukakan beberapa konsep yang terjadi dalam sebuah lingkungan masyarakat dalam teori sistem tindakan ini. Konsep tersebut terdiri dari organisme perilaku (organisme behavioral), sistem kultural, sistem sosial dan sistem tindakan. Organisme perilaku merupakan salah satu bentuk sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal individu ataupun mengubah lingkungan eksternal untuk disesuaikan dengan kebutuhan serta kepribadian individu. Analisis konsep organisme perilaku ini dalam peran Desa Adat Kuta pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia ditunjukkan pada beberapa peran Desa Adat Kuta yaitu dalam pelaksanaan kompetisi Jegeg Bungan Desa dan penerbitan Majalah “Kuta Kita”.
28
Kedua peran Desa Adat Kuta tersebut berupaya untuk mempengaruhi masyarakat Desa Adat Kuta (lingkungan eksternal) dari Desa Adat Kuta (aktor) sehingga masyarakat termotivasi untuk menyelaraskan diri dengan sistem yang terbangun yaitu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Konsep berikutnya adalah sistem kultural yaitu sistem tindakan yang dikonstruksi dengan seperangkat norma-norma dan nilai yang diaplikasikan pada aktor sehingga para aktor termotivasi untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang telah diciptakan. Konsep ini diaplikasikan dalam peran Desa Adat Kuta dalam Festival Seni dan Budaya Desa, lomba ogoh-ogoh, parade gong kebyar anak-anak, penyelenggaraan Pasar Majelangu serta memfasilitasi kegiatan berkesenian di Desa Adat Kuta. Sistem sosial merupakan suatu sistem tindakan yang dibentuk dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam suatu lingkungan fisik untuk mengoptimalkan kepuasan dari aktor-aktor yang terlibat. Pengoptimalan tersebut tidak terlepas dari status dan peran aktor dalam suatu kultur. Di desa Adat Kuta, dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu bentuk tujuan yang ingin dicapai, tidak terlepas dari status dan peran aktor dalam sistem lembaga Desa Adat Kuta. Salah satu status dan peran aktor-aktor tersebut terwujud dalam LPD sebagai lembaga yang membantu masyarakat dalam memberikan pinjaman pada masyarakat untuk membantu perekonomian masyarakat. Selain pengelolaan LPD, operasionalisasi konsep sistem sosial juga dilakukan pada peran Desa Adat Kuta
29
dalam penyelenggaraan Pasar Majelangu, pengelolaan aset-aset dan kekayaan milik Desa Adat Kuta. Sistem kepribadian merupkan suatu bentuk sistem tindakan yang muncul dengan membentuk konstruksi tujuan dari sebuah sistem sehingga aktor dengan segala sumber daya yang ada termobilisasi untuk
mencapai tujuan dari sistem
tersebut. Dalam peran Desa Adat Kuta yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, konsep ini ditunjukkan dalam kompetisi jegeg bungan desa serta memfasilitasi kegiatan berolah raga di Desa Adat Kuta.
30
2.4
Model Penelitian Bagan 3.1. Model Penelitian
Kewajiban untuk menjalankan tradisi, mempertahankan kearifan lokal dan warisan budaya leluhur
Desa Adat Kuta
Peningkatan kualitas SDM, Pengembangan aset-aset desa adat sehingga bisa memberikan keuntungan materiil untuk desa adat
Pengorganisasian kegiatan adat dan keagamaan
Faktor – faktor pendorong Desa Adat Kuta untuk melakukan peningkatan kualitas SDM
Modernisasi, urbanisasi dan transformasi mata pencaharian dari sektor agraris ke industri dan jasa
Peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia
Pengaruh peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas SDM bagi kehidupan masyarakat
Eksistensi Desa Adat Kuta
Keterangan : = Mempengaruhi / membentuk secara langsung atau nyata = Hubungan atau relasi saling mempengaruhi secara langsung = Mempengaruhi / membentuk secara tidak langsung
31
Penjelasan Model: Berdasarkan model penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa peran Desa Adat Kuta muncul karena dorongan beberapa faktor. Disatu sisi peran Desa Adat Kuta muncul karena adanya kewajiban untuk menjalankan tradisi, tuntutan untuk menjalankan dan mempertahankan kearifan lokal serta warisan budaya leluhur. Disisi lain, adanya perkembangan zaman yang ditunjukkan dengan adanya urbanisasi, modernisasi dan adanya transformasi mata pencaharian dari warga Desa Adat Kuta. Kedua faktor tersebut mendorong Desa Adat Kuta untuk menjalankan peran sesuai dengan fungsi idealnya dan juga melakukan perluasan peran karena adanya perkembangan-perkembangan yang terjadi di Desa Adat Kuta. Fungsi ideal dari desa adat adalah mengorganisasi kegiatan adat dan keagamaan sebagaimana tradisi dan corak dari peran desa adat pada umumnya. Disisi lain, perluasan peran yang dilakukan oleh Desa Adat Kuta ditunjukkan dengan adanya upaya untuk meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan aset-aset Desa Adat Kuta sehingga memberi keuntungan materiil bagi Desa Adat Kuta. Peran-peran yang muncul dari dorongan faktor-faktor tersebut (baik dari perspektif tradisi maupun perkembangan zaman) secara langsung mempengaruhi dan mengkonstruksi citra serta identitas Desa Adat Kuta sebagaimana keberadaannya yang dikenal saat ini. Peran-peran Desa Adat Kuta (baik yang ideal maupun mengenai perluasan peran) dapat diamati dan diteliti melalui pembahasan tiga rumusan permasalahan, antara lain: (1). Faktor-faktor yang mendorong Desa Adat Kuta untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (2). Peran Desa Adat Kuta dalam meningkatkan
32
kualitas sumber daya manusia; (3). Dampak Peran Desa Adat Kuta dalam Peningkatan Kualitas sumber daya manusia bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan penjabaran dari ketiga rumusan masalah tersebut, maka dapat diamati seperti apa peran-peran dari citra dan identitas Desa Adat Kuta saat ini mempengaruhi eksistensi Desa Adat Kuta.