NASKAH PUBLIKASI
REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA LOKAL BALI DALAM KUASA POSTCOLONIAL PADA FILM EAT PRAY LOVE
LARASATI REYMA PRAMISTA L.100080083
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012
HALAMAN PENGESAHAAN
SKRIPSI REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA LOKAL BALI DALAM KUASA POSTCOLONIAL PADA FILM EAT PRAY LOVE
Yang dipersiapkan dan disusun oleh : LARASATI REYMA PRAMISTA NIM. L100080083 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : Dan dinyatakan telah memenuhi syarat mendapatkan gelar S-1. Susunan Dewan Penguji 1.
Fajar Junaedi, S.Sos, M.Si
(.........................)
2.
Ellen Meianzi Yasak, S.Ikom
(.........................)
3.
Nur Latifah U.S, S.Sos
(.........................)
Surakarta,........................................ Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Komunikasi Dan Informatika Program Studi Ilmu Komunikasi Dekan,
Husni Thamrin, ST, MT, Ph.D NIK: 706
iii
1
ABSTRAK Larasati Reyma Pramista, L100080083.2012.
[email protected]. Representasi Identitas Budaya Lokal Bali dalam Kuasa Postcolonial pada Film “Eat Pray Love”. Program Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Penelitian ini bertujuan untuk membongkar representasi identitas budaya lokal Bali dalam kuasa postcolonial pada film Eat Pray Love. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, secara lebih khususnya lagi penelitian ini menggunakan metode semiotika. Gambar dalam film dianggap sebagai tanda-tanda yang dibentuk oleh relasi dengan tanda lain. Film sebagai bagian dari media yang menanamkan contoh budaya di dalamnya, yang kemudian mempunyai praktik penandaan yang dapat dianalisis dari banyak segi, seperti posisi kamera (angle), posisi objek atau manusia dalam frame, pencahayaan (lighting), dan proses pewarnaan (tinting). Representasi dimulai dari perbedaan budaya Barat dan budaya Timur yang dianalisis dengan oposisi biner, dimana Barat dipandang sebagai low context dan timur dipandang sebagai high context. Sedangakan representasi postcolonial yang terjadi melalui pengaruh Barat yang mengubah Bali sebagai tujuan wisata sesuai selera Barat, dan kecantikan wanita Bali yang mulai pudar karena pengaruh Barat dalam hal berbusana dan bentuk rambut. Kata Kunci: Representasi, Budaya, Postcolonial Bali ABSTRACT Larasati Reyma Pramista, L100080083. 2012.
[email protected]. Representation in Bali Local Cultural Identity in Postcolonial Power of Film "Eat Pray Love". Surakarta Muhammadiyah University Degree Program This study aims to dismantle the representation of local cultural identity of Bali in the power of Postcolonial on Eat Pray Love. This research uses descriptive qualitative research, more specifically again using the methods of semiotic research. The images in the film are considered as signs formed by relationships with other signs. Film as part of media culture that instills in them an example, which then has a practice of marking that can be analyzed from many aspects, such as camera position (angle), the position of objects or people in the frame, lighting (lighting), and the coloring (tinting). Representation starts from different Western cultures and Eastern cultures were analyzed by binary opposition, where the West is seen as a low context and high context is seen as the East. While the representation of Postcolonial that occur through the influence of the changing West Bali as a tourist destination according to Western tastes, and beauty of Balinese women who began to fade due to Western influence in terms of dress and hair form. Keyword: Representation, Culture, Bali in Postcolonial
2
LATAR BELAKANG Setiap orang mempunyai apresiasi terhadap suatu seni yang berbeda-beda. Seni bisa menjadi suatu budaya yang melekat pada suatu daerah dan mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Keindahan secara murni, dalam hal ini menyangkut pengalaman estetis seseorang yang berdasarkan pada pengamatan indrawi (Sutrisno dan Verhaak,2002:14). Pengalaman estetis seseorang juga dipengaruhi oleh darimana orang tersebut berasal. Hal ini dilihat dari hasil karya seni lukis, sebagai contohnya dalam hal seni lukis; orang yang berbudaya Barat lebih cenderung melukis yang bersifat human interest, sebaliknya, budaya Timur yang lebih cenderung melukis yang bersifat alam. Salah satu contoh karya lukis terkenal Raden Saleh. Raden Saleh Syarif Bustaman adalah seorang pelukis Indonesia yang pertama kali yang belajar seni lukis modern di Eropa khususnya pada zaman Renaissance. Yang kemudian disebut dengan zaman mooi indie. Pandangan orang Barat ini pun saat ini juga dijadikan sebagai tolak ukur dalam mengambarkan alam di daerah Timur dalam sebuah film. Film di bentuk dari realita kehidupan yang ada, baik itu berupa film fiksi ataupun film kisah nyata. Seperti film Eat Pray Love yang sangat kental dengan nuansa postcolonial , hal inni karena dalam film ini mengambil lokasi syuting di Barat dan di Timur, dan salah satunya berada di Bali. Dari film inilah peneliti lebih memfokuskan pada budaya lokal Bali dimana budaya lokal Bali ini lebih mendominasi dalam pengambilan setting lokasi. Selain itu, hal yang menarik di Bali ini karena adanya sebuah simbol baru yang di tampilkan dalam film tersebut, yaitu Bali yang disimbolkan dengan “Love” atau “Cinta”. Adanya sebuah simbol
3
baru yang dimiliki oleh Bali ini. Budaya Lokal Bali dalam hal ini disimbolkan dengan dua simbol yaitu; estetika alamnya dan kecantikan wanita Balinya. Simbol budaya lokal Bali yang disimbolkan dengan estetika alam ini kemudian dikatagorikan menjadi 5 katagori keindahan alam di Bali, yang meliputi persawahan, hutan, pantai, gunung, dan aktivitas masyarakatnya. Sedangkan simbol budaya lokal Bali yang disimbolkan dengan kecantikan wanita Bali juga di katagorikan menjadi dua katagori, yaitu; rambut terurai dan menutupi bagian dada. Kedua katagori ini kemudian menjadi satu titik tolak ukur adanya sebuah perubahan postcolonial yang ada di Bali sekarang. Postcolonial muncul dan di bawa oleh bangsa Barat kemudian di tanamkan ke Bali dan menjadi sebuah simbol identitas budaya lokal Bali. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah: Bagaimana representasi identitas budaya lokal Bali dalam kuasa postcolonial di film Eat Pray Love? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, secara lebih khususnya lagi penelitian ini menggunakan metode semiotika. Dengan menggunakan model semiotika Roland Barthes. Gambar dalam film dianggap sebagai tanda-tanda yang dibentuk oleh relasi dengan tanda lain. PEMBAHASAN A.1. Makna Simbol Eksotiska Alam di Bali dalam Film Eat Pray Love
4
NO. 1. 2. 3. 4. 5.
Eksotika Alam Bali Persawahan Hutan Pantai Gunung Aktivitas Masyarakat
1. Persawahan a. Makna Denotasi Pemaknaan denotasi pada tahap ini mengambarkan tentang sebuah hamparan rumput yang hijau yang tertata rapi yang ditanami dengan satu jenis tanaman yaitu padi. Pada tahap ini begitu banyak scene gambar yang di ambil diarea persawahan. b. Makna Konotasi Pada level konotasi ini mengambil sebuah level pemaknaan pada high context dan low context. Dimana pada tahap ini high context lebih ditujukan pada kebudayaan Timur sedangkan sengan low context lebih ditujukan pada budaya Barat. Perbedaan keindahan alam Barat dan Timur High Context Low Context Timur Barat
Sumber: Film Eat Pray Love, Ryan Murphy
Budaya Barat mempunyai sebuah peradaban yang lebih maju dengan banyaknya gedung-gedung bertingkat, selain itu hal tersebut masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut juga mempunyai sebuah pemikiran yang didasarkan pada logika. Sedangkan, budaya Timur dianggap sebagai high context yang dianggap sebagai peradaban yang masih primitif dan tradisional.
5
Masyarakat Timur belum mengenal adanya sebuah teknologi yang dapat mengubahnya, mereka lebih mengantungkan hidupnya terhadap alam. c. Mitos Pada level mitos ini ditunjukkan dengan adanya lukisan Raden Saleh yang menggambarkan keindahan alam persawahan di Timur yang kemudian dipamerkan pada bangsa Barat keindahan lukisan tersebut. Lukisan Persawahan Karya Raden Saleh
Sumber:http://eka.web.id/wp-content/uploads/2010/08/mooiindie-painting.jpeg diunduh 17 Februari 2012
2. Gunung a. Makna Denotasi Eksostiska keindahan alam gunung yang yang digambarkan dalam shot pada film Eat Pray Love. Pada tahap ini menggunakan tektik pengambilan gambar secara landscape karena ingin menunjukkan keindahan alam pegunungan dengan hamparan pepohonan hijau dengan gunung yang terlihat samar-samar dari kejauhan. b. Makna Konotasi Disini akan menggunakan sebuah perbandingan Barat memegang pada tataran budaya yang low context sedangakan Timur memegang tataran budaya yang high context.
6
Perbedaan Gunung Timur
Barat
High Context
Low Context
Sumber: Film Eat Pray Love, Ryan Murphy
Sebuah persepsi dari Barat yang menganggap bahwa budaya Barat merupakan sebuah peradaban yang maju atau low context yang di tampilkan dalam kolom Barat pada sisi kanan, disana terlihat tokoh utama “Liz” sedang menikmati keindahan dengan pemandangan gedung2 yang tinggi. Sedangkan, pada kolom Timur yang terletak di sebelah kiri, terlihat hamparan pepohonan yang hijau dan tidak ada satupun bangunan yang ada disekitarnya, hal ini menunjukkan bahwa budaya Timur masih peduli terhadap alam, dan menunjukkan sebuah peradaban yang primitif atau traditional. c. Mitos Gunung merupakan sebuah simbol dari keagungan, tak terkecuali di Bali sebagai perwakilan dari budaya Timur yang ada. Dimana Banyak gununggunung di Bali yang menjadi tempat persembayangan. Seperti pada Pura yang di bangun di atas gunung yang bermaksud agar lebih dekat dengan Sang Hyang Widi atau Tuhan Yang Maha Esa. Pura di Gunung
Sumber: Dokumentasi pribadi
7
3. Pantai a. Makna Denotasi Pada tahap pertama, dalam film Eat Pray Love gambar atau shot yang menggambarkan tentang keindahan alam pantai, dan sebagai sebuah perbedaan antara budaya Barat dengan budaya Timur. Pada film Eat Pray Love suasana keindahan pantai yang menggunakan cara pengambilan gambar secara high angle dan long shot. b. Makna Konotasi Pada level makna konotasi ini menggunakan sebuah perbandingan dengan budaya Barat. Hal ini ingin menunjukkan bahwa adanya high context dan low context dari kedua budaya tersebut. Perbedaan high context dan low context pantai
High Context Sumber: Film Eat Pray Love
Low Context Karya; Ryan Murphy
Timur yang dinilai sebagai high context yang masih alami keadaan pantainya, hanya terliat hamparan ombak dengan pepohonan di daratan, semua itu dijaga kealamiannya yang merupakan salah satu proses keselarasan terhadap alam, hal ini dipandang sebagai dunia yang masih tradisional. Sedangkan, pantai di Barat, pantai di barat hampir tidak menemukan adanya pepohonan hijau dan gulungan ombak menuju ke daratatan. Semuanya berubah menjadi gedunggedung yang tinggi dengan jembatan yang panjang yang menuju ke pulau seberang. Disini adanya kemajuan dalam bidang teknologi mendorong bangsa
8
Barat untuk menggubah dataran pantai menjadi sebuah tempat yang sesuai untuk kebutuhan bangsanya. c.
Mitos Pada level mitos pantai di bagian selatan mempunyai keindahan alam yang
indah. Menurut mitos yang ada masyarakat Hindhu di Bali percaya bahwa di laut ada yang menjaga dan menguasainya, yaitu Dewa Laut atau Dewa Samudra atau Bhetara Baruna, hal ini menggakibatkan masyarakat Bali tunduk terhadap Dewa dan senantiasa menjaga dan merawatnya. Gambar IV. 6 Upacara Adat di Pantai
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Selain itu terdapat upacara adat yang dilaksanakan di pantai, upacara ini dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi yang bernama upacara “Melasti”. Dimana upacara ini bertujuan untuk menyucikan sarana upacara dan untuk memohon mengambil Tirta (Air Suci) di laut ke hadapan Dewa Bhetara Baruna. 4. Hutan a. Makna Denotasi Teknik pengambilan gambar bird view yang menunjukkan sebuah mobil sedang melintasi sebuah kawasan hutan yang hijau. Terdapat pohon kelapa di sekitarnya, hal ini menunjukkan bahwa hutan yang lalui tersebut merupakan hutan tropis yang berada di daerah dataran rendah dan belum terliat rumahrumah yang di bangun di sekitar jalan tersebut. Jalan yang membelah hutan yang
9
masih terbuat dari tanah dan bebatuan menunjukkan bahwa hutan tersebut masih alami dengan peradaban yang masih tradisional. b. Makna Konotasi Perbedaan dalam memandang keindahan alam baik di wilayah Barat maupun wilayah Timur. Timur cenderung memandang komunikasi sebagai hasil rangkaian kejadian yang direncanakan dan terjadi secara alami, sedangkan Barat cenderung memandang pada kejadian-kejadian yang bersifat individualistis dan sangat kognitif (Littlejohn,2009:7). Barat dianggap sebagai suatu peradaban yang low context sedangkan Timur dianggap sebagai suatu peradaban yang high context. Perbedaan Hutan 1 Timur
Barat
High Context
Low Context
Sumber: Film Eat Pray Love, Ryan Murphy
Bangsa Barat terlihat sebuah mobil keluaran terbaru berjalan di jalanan yang halus dengan banyak berjejer mobil-mobil terbaru di sepanjang jalan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya low context yaitu sebuah peradaban yang maju dengan menunjukkan mobil dan jalanan aspal pada scene tersebut. Sedangkan pada scene high context, terlihat sebuah mobil kuno yang berjalan di tanah yang bebatuan dengan sekelilingnya pohon-pohon yang tinggi. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa shot yang diambil di Bali ini merupaka gambaran yang dimunculkan oleh orang Barat akan peradaban yang rendah dan keadaan yang tradisional atau primitif.
10
c.
Mitos Pelestarian alam yang dilakukan di Bali sudah ada sejak dahulu, hal ini
sesuai dengan ajaran kepercayaan Hindu yang mengganggap manusia sebagai bagian dari alam yang secara spiritual dan psikologis terkait dengan seluruh elemen fisik dan bologis yang menyusun lingkungan. Hal ini di simbolkan dengan adanya perlindungan terhadap pohon-pohon besar yang dilingkari dengan kain poleng (kain yang bercorak kotak-kotak berwarna hitam putih). Pohon Besar yang diselimuti kain poleng
Sumber: http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net diakses 9 Mei 2012
Selain berfungsi untuk sarana upacara adat, pohon besar pada jaman dulu juga bergungsi sebagai tempat berteduh dan menunggu. Dan tempat diadakannya upacara manukur di Bali. 5. Aktivitas Penduduk a. Makna Denotasi Kegiatan sembayang diambil secara landscape dengan menunjukkan detail secara keseluruhan mulai dari pura,orang yang bersembayang dan juga pemangku beserta sesajinya. b. Makna Konotasi Timur cenderung memandang komunikasi sebagai hasil rangkaian kejadian yang direncanakan dan terjadi secara alami, sedangkan Barat cenderung memandang pada kejadian-kejadian yang bersifat individualistis dan sangat kognitif (Littlejohn,2009:7). Kegiatan sembayangan ini berbeda dengan kegiatan
11
sembayang yang dilakukan di Barat. Tujuannya memang satu yaitu untuk Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi caranya yang dilakukannya berbeda-beda, berikut perbedaan keduanya yang terdapat dalam film Eat Pray Love; Kegiatan Sembayang Timur
Barat
High Context
Low Context
Sumber: Film Eat Pray Love, Ryan Murphy
Adanya perbedaan yang mencolok, dimana budaya Timur yang high context lebih mementingkan sebuah kebersamaan dalam hal bersembayang seperti pada gambar kolom Timur, disana terlihat bagaimana sebuah upara sambayang yang dipandu oleh seorang pemangku dan membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan, budaya Barat yang low context, mereka lebih bersifat individualis dalam bersembayang, seperti yang terlihat dalam kolom Barat, disana terlihat seorang wanita sedang duduk bersimpu di malam hari sambil bercerita dengan Tuhan. Cara bersembayang budaya Barat cenderung hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, mengingat mereka merupakan budaya yang sangat mengahargai waktu. c.
Mitos Mitos diambil pada cara menghadap Pura, yaitu pada umumnya Pura di Bali
menghadap ke Barat atau ke Selatan. Karena mengambil posisi terbitnya matahari yang dipercaya sebagai sumber energi dunia dan alam lingkingan ini, dan jugan dipercaya sebagai kebangkitan
12
Pura yang menghadap ke Barat
Sumber: Dokumentasi Pribadi
A.2 Pembahasan Postcolonial Estetika Alam dalam Kuasa Postcolonial Adanya persepsi keindahan alam bangsa Timur bermula dengan adanya lukisan alam karya Raden Saleh yang dipamerkan di Barat. Dari sinilah bangsa barat mengganggap keindahan alam budaya Timur seperti apa yang dilukiskan oleh Raden Saleh. Hal ini membuktikan dalam pemikiran Foucault tentang power dan knowledge dimana pada hal ini kuasa diartikan sebagai sesuatu yang dapat berlangsung dimana-mana. Dan kuasa dalam pemikiran Foucault menyatakan bahwa kuasa bekerja secara produktif dan positif, karena menghasilkan sebuah realitas, yang bertolak belakang dengan pemikiran Marx. Dalam hal ini, realitas yang dihasilkan dalam kuasa bangsa Barat yaitu menjadikan Bali sebagai tujuan wisata yang memajukan dan mengajarkan masyarakat sekitar untuk menjadikan wilayahnya menjadi maju dan berkembang di bidang pariwisata. A. Makna Simbol Kecantikan Wanita di Bali dalam Film Eat Pray Love Simbol Kecantikan Wanita Bali Postcolonial Simbol Kecantikan Wanita Bali Postcolonial 1. Rambut Terurai 2. Menutup bagian dada 1. Rambut Terurai a. Makna Denotasi
13
Teknik pengambilan gambar dalam scene ini menggunakan medium shot hal ini dilakukan untuk melihat ekspresi pemain yang digunakan untuk memperjelas maksud yang akan disampaikannya. b. Makna Konotasi Dalam tahap konotasi ini peneliti masukkan kedalam pemikiran Foucault mengenai kuasa dan pengetahuan. Yaitu, pemikiran Foucault mengenai kuasa sebagai sebuah strategi di buktikan dalam bentuk postcolonial mengenai kecantikan wanita Bali. Kecantikan wanita Bali yang sekarang merupakan sebuah hasil dari cara bangsa Barat untuk mempraktekkan kuasa yang dalam sebuah ruang lingkup yang semakin lama mengalami pergeseran. Postkolonial kecantikan wanita Bali dari scenes Film Eat Pray Love
Sumber: http://oldbalipics.blogspot.com diakses 23 Februari 2012
Sumber : Film Eat Pray Love, 2010 karya Ryan Murphy
c. Mitos Mitos mengenai rambut panjang yang kemudian di buat sanggul yang dibentuk di samping atau di belakang mempunyai makna yang berbeda-beda. Dimana sanggul yang dibuat miring ke kanan menandakan bahwa wanita yang memasang sanggul miring ke kanan merupakan wanita yang belum menikah atau masih gadis. Sedangkan sanggul yang dibuat di belakang menandakan bahwa wanita yang memakainya sudah menikah. 2. Menutupi bagian dada 1. Makna Denotasi Scene ini memperlihatkan pemain sedang duduk dan berdiri dan sambil bercakap-cakap, pada scene ini diambil secara long shot yang ingin
14
menunjukkan baju yang di pakai oleh pemain yang bernama Wayan. Wayan memakai pakaian adat bali yang terdiri dari selendang yang mengikat di pinggulnya, kain yang menutupi bagian bawahnya serta baju kaos yang bercorak warna-warni digunakan untuk menutupi bagian atas pemain tersebut. 2. Makna Konotasi Pembentukan proses cara berpakaian wanita Bali ini jika diteliti menggunakan pola pemikiran Foucault merupakan salah satu bentuk strategi kuasa yang diterapkan dimana-mana. Dimana Foucault memberikan perhatian adanya relasi antara kuasa (power) dengan pengetahuan (knowledge). Kuasa dan pengetahuan sangat berhubungan, dan menurut Foucault pengetahuan tidak berasal dari salah satu subjek yang mengenal, tetapi dari relasi-relasi kuasa yang menandai subjek itu. Dalam scene ini tertadapat dalam gambar di atas, dimana Wayan selaku wanita Bali sudah tidak lagi bertelanjang dada, dan menggunakan kaos dengan corak dan warna yang mirip dengan baju Hawai di Amerika Serika. Bentuk Pakaian Wanita Bali
Sumber: http://oldbalipics.blogspot.com diakses 23 Februari 2012
Sumber : Film Eat Pray Love, 2010 karya Ryan Murphy
3. Mitos Keindahan bentuk tubuh wanita juga meliputi keindahan payudara yang indah, sehingga pada jaman dahulu muncullah dalam bentuk ungkapan, “susune nyangkih kadi nyuh gading kembar”, artinya payudaranya seperti kelapa gading
15
kembar. Payudara yang kencang seperti kelapa gading muda, secara natural hanya bisa dimiliki oleh seorang gadis muda pada usia 14 tahun ke atas (Sudiarta, 2006:104). KESIMPULAN Simbol estetika alam di Bali dibagi menjadi 5 macam simbol estetika alam yang ditonjolkan dalam film Eat Pray Love untuk mewakili keindahan alam di Bali. Simbol tersebut antara lain; persawahan, hutan, pantai, gunung dan aktivitas masyarakat. Kelima simbol tersebut kemudian diteliti dengan menggunakan secara high context dan low context, dimana high context. Dimana Timur memegang yang high context dan Barat yang low context. Makna simbol kecantikan, wanita Bali sudah mengubah makna kecantikan yang dulu di junjungnya sejak dahulu, yaitu mata belok, kulit sawo matang, rambut ikal di sanggul dan bertelanjang dada. Semua itu berubah seiring dengan banyakknaya pengaruh bangsa Barat pada masa postcolonial ini. Dampak dari adanya pengaruh postcolonial ini memunculkan sebuah persepsi kecantikan wanita Bali jaman sekarang yaitu wanita Bali dikatakan cantik jika membuat rambut panjangnya terurai dan menggunkan penutup pada bagian dada. SARAN 1.
Bagi Mahasiswa / Akademisi Penelitian ini masih bisa dilanjutkan atau diperdalam. Dengan tema yang sama diharapkan mengupas secara lebih mendalam lagi dengan kombinasi metode penelitian seperti Analisis Wacana Kritis, Fenomenologi, Studi
16
Kasus, Etnografi Komunikasi dengan tambahan referensi buku maupun literatur lain yang lebih banyak lagi. 2.
Bagi Komunikator (Sutradara, Produser dan Penulis) Alangkah baiknya jika pembuatan film ini tidak hanya didasari dari pandangan dari Barat saja, tetapi lebih baik memadukan dan menambahkan unsur-unsur pandangan Timur dalam sebuah film tersebut.
3.
Bagi Komunikan (Masyarakat dan Penikmat Film) Diharapkan tidak hanya berkunjung ke tepat wisata seperti yang digambarkan dalam pandangan orang Barat, akan tetapi kunjungi juga kawasan wisata yang lain, supaya tidak adanya pemusatan kawasan pariwisata. DAFTAR PUSTAKA
Littlejohn,Stephen W. 2009. Theories of Human Communication Fifth Edition. New York: Wadsworth Publishing Company Sudiarta, I Wayan, 2006. “Rekonstruksi Visual Konsep-konsep Kecantikan Tradisional Wanita Bali dan Manifestasinya di dalam Kehidupan Masyarakat Bali Masa Kini”. Tesis S2, Program Studi Kajian Budaya, Pasca Sarjana Universitas Udayana. Sutrisno,Mudji dan Verhaak,Christ. 2002. Yogyakarta: Kanisius
Estetika Filsafat
Keindahan.