BAB II MASYARAKAT SUKU AKIT SEBAGAI MASYARAKAT HUKUM ADAT A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia tahun 1998, keberadaan masyarakat hukum adat menjadi salah satu primadona pembicaraan di kalangan ahli hukum dan ahli antropologi hukum, Karena secara faktual masyarakat hukum adat di Indonesia sudah ada sejak jaman nenek moyang sampai saat ini dan selalu memerlukan perlindungan hukum dan pemenuhan yang memadai dari sisi hukum. Namun, karena adanya beberapa pemaksaan pelaksanaan unifikasi hukum maka keberadaan masyarakat hukum adat seakan tertutup oleh konsep hukum negara (state law). Namun demikian, meskipun sering terpingkirkan dan terlupakan, masyarakat hukum adat beserta atribut tradisionalnya masih ada di nusantara.49 Istilah masyarakat adat sering disamakan dengan istilah masyarakat hukum adat. Beberapa
pakar
membedakan
penggunaan
istilah
tersebut
yang
tentunya
pendefinisian ini dipengaruhi oleh pandangan dan latar belakang mereka. Istilah “masyarakat adat” merupakan terjemahan dari kata indigenous peoples (bahasa Inggris) yang dibedakan dengan istilah masyarakat hukum adat yang merupakan terjemahan dari istilah rechtgemencshap (Bahasa Belanda). Di Indonesia istilah
49
Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, berkerjasama dengan Lembaga Penerbitan Universitas Khairun Ternate Maluku Utara, 2010, Hlm.29.
Universitas Sumatera Utara
indigenous peoples tidak diterjemahkan menjadi “masyarakat asli”, melainkan menjadi “masyarakat adat”.50 Ada perbedaan mendasar antara pengertian “masyarakat” dengan “masyarakat hukum adat” Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (kumpulan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini secara sempit baik maupun luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan diantara anggota kelompok dan menganggap kelompok tersebut berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut). Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas 50
Ibid. Hlm. 42
Universitas Sumatera Utara
menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan51. 1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Menurut Para Sarjana Pengertian masyarakat hukum adat bermula dari Van Vollenhoven untuk menggambarkan bahwa hukum asli suku-suku bangsa Indonesia mempunyai subjek dan objek hukum. Disetiap suku, daerah memiliki istilahnya masing-masing, ada yang menyebutnya desa, kelurahan, nagari, negorij, ana woe, suku dan sebagainya. Intinya mereka ini merupakan komunitas manusia yang menyatu sebagai satu paguyuban.52 Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk
51
Taqwaddin, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010, Hlm. 36 52 Dominikus Rato, Hukum Adat Kontemporer, LaksBang Justitia, Surabaya, 2015, Hlm. 81
Universitas Sumatera Utara
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama – lamanya.53 Dari definisi yang dikemukakan ter Haar tersebut memiliki unsur-unsur sebagai berikut:54 a. b. c. d.
Ada kesatuan manusia yang teratur Menetap disuatu daerah tertentu Mempunyai penguasa-penguasa Mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam. e. Tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamalamanya. Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sejalan dengan Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.55 Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuankesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
53
Husein Alting, Op.cit. Hlm. 30 Domikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), Laksbang Justitia, 2014, Hlm. 85 55 Husein Alting, Op.cit. Hlm. 44 54
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.56 Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas. Masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan.57 Menurut Soepomo, masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan, yakni menurut dasar susunannya yaitu bertalian dengan keturunan (genealogis), berdasarkan lingkungan (teritorial) dan gabungan antara keturunan dan lingkungan. Sedangkan dari sudut bentuknya masyarakat hukum adat ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing masyarakat hukum adat tersebut dinamakan masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat dan berangkai.58
56
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, Jakarta, 2006, Hlm. 23 57 Husein Alting, Op.cit. Hlm. 31 58 Ibid, Hlm. 84
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri. Dari pengertian itu terdapat 6 (enam) unsur, yaitu: 1. Ada komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan kebersamaan karena kebersamaan keturunan dan atau wilayah 2. Mendiami wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut konsepsi mereka 3. Memiliki kekayaan sendiri baik kekayaan material maupun immaterial 4. Dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang sebagai perwakilan kelompok, yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang legal/ didukung oleh kelompoknya‟ 5. Memiliki tata nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka 6. Tidak ada keinginan dari anggota kelompok itu untuk memisahkan diri Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut:59 a. Sifat magis religious Diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animisme, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat 59
Ibid, Hlm. 46
Universitas Sumatera Utara
harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya. b. Sifat komunal (commuun) Masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat. c.
Sifat konkrit (Konkriet) Diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap
hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar. d. Sifat kontan (kontane handeling) Mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika. Berdasarkan definisi para ahli diatas, dapat dikatakan masyarakat hukum adat adalah suatu masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun hidup diwilayah geografis tertentu, mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud, mempunyai penguasa, tidak memiliki pemikiran untuk memisahkan diri,
Universitas Sumatera Utara
memiliki sistem nilai, ideologi, politik, budaya dan sosial yang khas, serta memiliki hubungan erat dengan tanah. 2. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Menurut Peraturan Perundangundangan a. Undang- Undang Dasar 1945 Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini. Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk kesatuan masyarakat hukum adat, seperti kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat, serta masyarakat tradisional, sehingga istilah–istilah ini dapat digunakan sekaligus atau secara berganti-gantian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memberikan definisi masyarakat hukum adat secara langsung. Namun demikian, terdapat pasal yang mengakui eksistensi dari masyarakat hukum adat. Hal ini muncul sejak amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000, yakni penambahan pada Pasal 18 dan pemunculan bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Pengaturan mengenai keberadaan masyarakat hukum adat terdapat didalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Pasal 18B ayat (2) berada dalam Bab Pemerintahan Daerah, sedangkan Pasal 28I ayat (3) berada dalam Bab Hak Asasi Manusia. Berikut bunyi lengkap kedua pasal tersebut: Pasal 18 B ayat (2) berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
Universitas Sumatera Utara
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang Pasal 28 I ayat (3) berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Dengan demikian, negara „mengakui‟ serta „menghormati‟ eksistensi masyarakat hukum adat. Pada pasal 18B ayat (2) terdapat 3 (tiga) syarat :60 a. sepanjang masih ada, b. sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban c. sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik Indonesia b. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat lebih banyak dijumpai dalam peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah., dengan pengecualian UUPA. Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA adalah salah satu peletak dasar konsep dan materi pengaturan mengenai pengakuaan masyarakat hukum adat, UUPA dibuat dalam rangka melaksanakan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum adat dalam UUPA berkenaan dengan kedudukannya sebagai subyek yang berhak menerima kuasa dari negara dalam rangka melaksanakan Hak Menguasai Negara dan memiliki hak ulayat.
60
Rikardo Simarmata, Op. cit., Hlm. 51
Universitas Sumatera Utara
UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Sebagaimana tertuang dalam bunyi Pasal 3 yaitu:61 “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Dengan menggunakan konsep tersebut, UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek. c. Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang Kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur:62 a. b. c. d.
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap); Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya; Ada wilayah hukum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang masih ditaati; e. Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
61
Husein Alting, Op.cit. Hlm. 56 Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta, 2010, Hlm.33 62
Universitas Sumatera Utara
d. Menurut Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 mengatur tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang tertuang di dalam pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun. Untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 4, maka harus melalui syarat-syarat: a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat; b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat. Sebuah identifikasi harus dilaksanakan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat. Adapun sebuah identifikasi itu adalah:63 a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat; b. Wilayah Adat; c. Hukum Adat; d. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan 63
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Universitas Sumatera Utara
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Terbitnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Bupati/Walikota dapat membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota, yang bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat. Hasil verifikasi dan validasi tersebut, kemudian disampaikan kepada kepala daerah. Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah. e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 tentang tata cara penetapan hak komunal atas tentang masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu Menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 yang berbunyi, “masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga negara bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan”. Bagi masyarakat hukum adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya. Adapun syarat-syarat untuk dapat dikukuhkan sebagai masyarakat hukum adat yaitu:64
64
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tentang Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu
Universitas Sumatera Utara
1. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban 2. Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas 4. Ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati f. Konfresi Konvensi ILO 69 Tahun 1989 mengenai Bangsa pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara merdeka Masyarakat Adat adalah suku-suku bangsa yang berdiam dinegara-negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain atau suku-suku bangsa yang telah mendiami sebuah negara sejak masa kolonisasi yang memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri.65 Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986 meliputi:66 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri; 2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan; 3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi; 4. Hak atas pendidikan; 5. Hak atas pekerjaan; 6. Hak anak; 7. Hak pekerja; 8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat; 65
Rikardo Simarmata, Op.cit. Hlm. 24 Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (MHA):Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan Hak-Hak Konstitusionalnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia,2012,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/conetinfoumum/penelitian/pdf/2 Penelitian%20MHA-upload.pdf (diakses tanggal 02 April 2016) 66
Universitas Sumatera Utara
9. Hak atas tanah; 10. Hak atas persamaan; 11. Hak atas perlindungan lingkungan; 12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik; 13. Hak atas penegakan hukum yang adil. B. Struktur Pemerintahan Masyarakat Adat Suku Akit 1. Gambaran umum Masyarakat Suku Akit a. Keadaan Geografis Kecamatan Rupat Utara Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian pesisir Timur Pulau Sumatera antara 207‟37,2” - 0055‟33,6” Lintang Utara dan 100057‟57,6” 102030‟25,2” Bujur Timur. Kabupaten Bengkalis memiliki batas-batas : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan Meranti. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kota Dumai. d. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Kep.Meranti Wilayah Kabupaten Bengkalis dialiri oleh beberapa sungai. Diantara sungai yang ada di daerah ini yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam perekonomian penduduk adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak Kecil 90 km dan Sungai Mandau 87 km. Luas wilayah Kabupaten Bengkalis 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Jika dirinci luas wilayah menurut kecamatan
Universitas Sumatera Utara
dan dibandingkan dengan luas Kabupaten Bengkalis, Kecamatan Pinggir merupakan kecamatan yang terluas yaitu 2.503 km2 (32,20%) dan kecamatan yang terkecil adalah Kecamatan Bantan dengan luas 424,4 km2 (5,46%). Jarak terjauh antara ibukota kecamatan dengan ibukota Kabupaten Bengkalis adalah ibukota Kecamatan Mandau yaitu Kelurahan Air Jamban (Duri) dengan jarak lurus 103 km. Dan jarak terdekat selain Kecamatan Bengkalis adalah ibukota Kecamatan Bantan, yaitu desa Selat Baru, dan ibukota Kecamatan Bukit Batu, yaitu Kelurahan Sungai Pakning dengan jarak lurus 15 km. Kecamatan Rupat Utara merupakan salah satu bagian dari wilayah kabupeten Bengkalis. Secara geografis, kecamatan Rupat Utara berbatasan dengan Selat Malaka disebelah utara, barat dan timur, dan berbatasan dengan kecamatan Rupat disebelah selatan. Mulai Desember 2013 jumlah desa di Rupat Utara menjadi delapan desa yang sebelumnya berjumlah lima desa. Desa-desa baru tersebut yaitu Hutan Ayu, Suka Damai, Putri Sembilan. Desa Hutan Ayu dan desa Suka Damai merupakan pecahan dari desa induk yaitu desa Titi Akar, sedangkan desa Putri Sembilan pecahan dari desa induk yaitu desa Kadur.67 Berdasarkan data dari kantor kecamatan Rupat Utara, luas wilayah kecamatan Rupat Utara adalah 628,50 km², dengan desa terluas adalah desa Titi Akar dengan luas 185 km² atau sebesar 29,44% dari luas keseluruhan kecamatan Rupat Utara. Dan desa terkecil adalah desa Putri Sembilan dengan luas 39 km² atau 6,21% dari luas 67
Kecamatan Rupat Utara Dalam Angka North Rupat Sub Regency In Figures 2015, Penerbit Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, 2015, Hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan. Desa dengan jarak lurus terjauh dari ibukota kecamatan Rupat Utara adalah desa Titi Akar dengan jarak lurus 25 km. Dan jarak terdekat adalah desa Tanjung Medang sebagai ibukota kecamatan Rupat Utara.68 b. Keadaan Penduduk Kecamatan Rupat utara Jumlah penduduk kecamatan Rupat Utara pada tahun 2014 berjumlah 16.132 jiwa, yang terdiri dari 8.205 jiwa adalah laki-laki dan 7.927 jiwa adalah perempuan. Dengan sex rasio sebesar 104, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang besar untuk komposisi jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, karena dalam 100 orang perempuan terdapat 104 orang laki-laki. Dengan luas wilayah kecamatan Rupat Utara 628,50 km² dan jumlah penduduknya 16.132 jiwa, ternyata menghasilkan kepadatan penduduk sebesar 25.67 yang artinya dalam setiap 1 km² dihuni oleh sekitar 25 orang. Berdasarkan kelompok umurnya, jumlah warga terbanyak di kecamatan Rupat Utara berada di kelompok umur 30-34 tahun, diikuti oleh kelompok umur 25-29 tahun dan 35-39 tahun. Di Kecamatan Rupat Utara terdapat 4.336 jumlah keluarga. Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah empat orang.69 2. Sejarah Masyarakat Suku Akit Kata Akit berasal dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku Rakit, orang rakit atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat Kerajaan Gasib-siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan siak mengambil dan merakit kayu.
68 69
Ibid. Ibid, Hlm. 19
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman dahulu Siak adalah suatu kerajaan Melayu di Riau beribu kota Siak Sri Indra Pura. Kerajaan ini didirikan sekitar abad ke 17 oleh Raja Kecil, yang kemudian dikenal dengan gelar Sultan. Pada zaman itu terdapat sekelompok suku yang bermukim dipinggiran sungai Siak. Sekelompok suku ini akhirnya memohon kepada Sultan agar diberi izin untuk mengungsi kedaerah lain dengan alasan mereka sering diganggu oleh binatang buas seperti Harimau dan Gajah. Akhirnya permintaan sekelompok Suku tersebut diizinkan oleh Yang Maha Mulia Sultan Siak untuk mencari Pulau yang tidak ada binatang buasnya.70 Berangkatlah sekelompok suku tersebut mengikuti arus ke muara Siak, setelah sekian lama melakukan perjalanan nampaklah oleh mereka sebuah pulau Padang, tetapi mereka berpikir bahwa binatang buas pasti masih bisa menyeberangi selat karena diantara kedua buah pulau hanya dibatasi oleh Selat yang bersangkutan. Kelompok suku tersebut kembali melakukan perjalanan menempuh lautan luas, setelah melakukan perjalanan jauh yang sangat melelahkan dari kejauhan mereka melihat sebuah pulau dibagian utara. Bagian baratnya terlihat sebuah sungai, dengan perasaan gembira kelompok suku tersebut memasuki sungai itu, lalu mereka beristirahat setelah melabuh sampan mereka ditengah sungai itu sambil melepaskan lelah, lalu kelompok suku berbicara apa adanya, tiba-tiba kelompok suku tersebut di perlihatkan sebuah bayangan manusia dari kejauhan berada disebelah kiri masuk sungai, lalu mereka mendayungkan sampan mereka mendekati bayangan tersebut,
70
Anyang, Mengenang Sejarah Perjuangan Batin Pantjang di Kampung Titi Akar Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis Riau, Hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
setelah mendekati bayangan itu, ternyata seorang nenek perempuan yang bernama Datuk Bintang Beheleh, kelompok suku itu menanyakan siapa yang memiliki pulau ini kepada sinenek, lalu nenek mejawab pulau ini dimiliki oleh Datuk Empang Kelapahan.71 Kelompok suku itu bertanya kepada nenek tersebut, bahwa benar yang punya pulau ini Datuk Empang Kelapahan, jika benar bolehkah kami berjumpa dengan beliau. Lalu nenek itu menjawab, jika kalian ingin jumpa Datuk Empang Kelapahan, jumpailah dulu Datuk kebeneh yang berada di sebelah kanan masuk sungai ini, karena kami adalah suami istri. Kemudian kelompok suku tersebut menjumpai Datuk Kebeneh, sesampainya pada tempat tujuan, kelompok suku menyampaikan maksud dan tujuan mereka pada Datuk Kebeneh, bahwa mereka ingin mencari tempat pengungsian karena ditempat asal mereka, mereka sering diganggu binatang buas dan rasanya Pulau ini aman dari gangguan binatang buas. Oleh sebab itu kelompok suku meminta di izinkan dari Datuk Kebeneh untuk menjumpai Datuk Empang Kelapahan. setelah Kelompok suku mendapat penjelasan dan izin dari Datuk Kebeneh, Kemudian berangkatlah kelompok suku bersama Datuk Bintang Beheleh untuk menjumpai Datuk Empang Kelapahan, yang duduk di Pelang Dalam dengan menyusuri sungai tersebut.72
71 72
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
Setelah sampai ditempat tempat tujuan, kelompok Suku langsung menghadap dan menerangkan tujuan mereka sebenarnya kepada Datuk Empang Kelapahan, agar diperkenankan untuk tinggal di Pulau ini dengan alasan ditempat asal mereka sering diganggu binatang buas. Lalu Datuk Empang Kelapahan menanyakan asal mulanya tempat Kelompok suku, lalu mereka menjawab bahwa mereka berasal dari Hulu Sungai Siak, yang di perintah oleh Raja kecil dengan gelar Sultan.73 Datuk Empang Kelapahan tidak merasa keberatan setelah mendengar penjelasan dari kelompok suku, akhirnya permintaan mereka diizinkan untuk bertempat tinggal di pulau itu dikabulkan oleh Datuk Empang Kelapahan, tapi dengan syarat kelompok suku harus bisa memenuhi permintaan dari Datuk Empang Kelapahan sebagai berikut:74 1. Sekerat Mata Beras 2. Sekerat Tampin Sagu 3. Sebatang Dayung Emas Jika Kelompok Suku bisa memenuhi syarat ini, maka tinggallah kalian sampai ke anak cucu kalian. Mendengar syarat yang telah ditentukan Datuk Empang Kelapahan, kelompok suku merasa keberatan dan sangat berputus asa, bagaimana mereka memenuhi syarat itu, sedangkan hidup susah, tidak ada tempat tinggal. Lalu Datuk Empang Kelapahan berkata “ Jika benar Pulau itu Jodoh untuk kalian serta anak cucu kalian kelak, pergilah menghadap Sultan di Singgasana, kalau benar Pulau
73 74
Ibid Ibi, Hlm.14
Universitas Sumatera Utara
ini Jodoh kalian, sultan pasti menolong kalian”. Setelah mendengar hal tersebut kelompok suku merasa gembira, kemudian meminta tempo sebanyak dua kali tujuh hari kepada Datuk Empang Kelapahan untuk menemui sultan. Lalu berangkatlah kelompok suku menemui Sultan, dengan menempuh waktu berhari-hari, sampailah mereka di istana menghadap yang mulia Sultan dengan tata krama Kerajaan seperti biasa mereka lakukan, kemudian kelompok suku mengabarkan kepada Sultan, bahwa mereka telah menemukan sebuah Pulau yang bebas dari gangguan binatang buas seperti harimau dan gajah, yang dipunyai oleh Datuk Empang Kelapahan, yang ingin menukarkan Pulau itu dengan syarat:75 a. Sekerat Mata Beras b. Sekerat Tampin Sagu c. Sebatang Dayung Emas Tuanku Raja Kecil menanyakan kepada kelompok suku tentang kemana nanti pergi atau pindah Datuk Empang Kelapahan setelah permintaan kelompok suku dipenuhi, lalu kelompok suku menjawab pertanyaan Tuanku Raja Kecil, kalau permintaan mereka di penuhi, maka Datu Empang Kelapahan akan pindah ke Pulau Tujuh. Setelah berita itu diterima sultan dan barang persyaratan itupun diserahkan Sultan Mulia Siak kepada kelompok suku, kelompok suku kembali melakukan perjalanan menuju Pelang Dalam, tibanya di Pelang Dalam, barang tersebut
75
Ibid
Universitas Sumatera Utara
diserahkan kepada Datuk Empang Kelapahan, sebelum diterima Beliau berpesan, jika benar sekelompok suku benar-benar ingin tinggal di Pulau ini, maka:76 1. Janganlah berhati dua 2. Jika ada sesuatu kesulitan/ kesusahan bakarlah kemenyan putih, sebutlah nama beliau, biar bagaimana beliau akan membantu kesulitan daripada anak cucu yang menempati pulau ini. 3. Saya pindah, yang tinggal di pulau ini adalah pengawal saya terdiri suami istri. Sebelah timur Istri, yaitu Datuk Bintang Beheleh, sebelah barat Suami yaitu Datuk Kebeneh, Sebelah Hulu adalah Datuk Sakti, Sebelah Kuala adalah Panglima Galang. 4. Pulau ini saya namakan Pulau Betukah Empat, sedangkan Selat ini saya namakan Selat Morong. 5. Pulau ini Jangan dijual/ digadaikan, memang betul pulau ini untuk anak cucu kalian Setelah menyampaikan pesan dan mendapatkan barang tukaran, Datuk Empang Kelapahan pun berangkat menuju Pulau Tujuh. Sekelompok suku pun kembali ke Istana Kerajaan Siak untuk melaporkan pesan serta nama Pulau Selat tukaran dari Datuk Empang Kelapahan, setelah menanggapi apa yang disampaikan oleh kelompok suku, Raja Kecil/ Sultan meminta kepada kelompok Suku jangan pulang dahulu ke Pulau Betukar Tempat, karena Sultan meminta tolong pada kelompok Suku untuk menebang kayu membuat bangsal berhubung seminggu lagi sultan akan menikahkan anak Sultan. Menurut permintaan Sultan, kayu tersebut harus disiapkan dalam masa tiga hari setelah
mendapat
perintah
kelompok
suku
melaksanakan
pekerjaan
yang
diperintahkan oleh Sultan, supaya batas yang ditentukan jangan sampai telat, dan jangan sampai di sia-siakan oleh Sultan yang telah banyak berjasa terhadap mereka, akhirnya kelompok suku itu terbagi atas 3 kelompok: 76
Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Kelompok Khusus menebang kayu b. Kelompok khusus mengangkut dan merakit c. Kelompok khusus meratas (membersihkan sungai yang ditumbuhi kayu bakau, untuk melewati rakit tersebut). Sampai pada waktu ditentukan pekerjaan itupun siap mereka kerjakan dan hasilnya mereka laporkan pada sultan, sultan merasa kagum pada pekerjaan mereka, lalu sultan bertanya bagaimana cara mereka bekerja, diterangkanlah cara kerja mereka oleh sekelompok Suku kepada Sultan, kemudian Sultan Siak memberi nama pada masing-masing kelompok suku yang bekerja tersebut yaitu:77 a. Menebang Hutan, disebut suku Hutan b. Merakit disungai disebut suku Akit Biasa c. Meratas dan merintis jalan disungai disebut Suku Akit Hatas 3. Mata Pencaharian dan Agama Masyarakat suku Akit Suku Akit yang mendiami Pulau Rupat telah hidup dari 3 mata Pencaharian tradisional, yaitu bertani, mengambil hasil hutan bakau atau meramu, menangkap ikan (nelayan), berburu dan satu mata pencaharian yang masih baru yaitu kuli atau buruh. Sejak lama mata pencaharian suku Akit adalah menangkap ikan. Suku Akit menangkap ikan dengan menggunakan bubu, yaitu sejenis perangkap sederhana yang dibuat oleh suku tersebut, tetapi lama-kelamaan terjadi perubahan dengan meninggalkan kehidupan menangkap ikan sebagai nelayan dan beralih untuk berkebun.
77
Anyang, Ibid, Hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
Dahulu makanan pokok suku akit adalah sagu dan beras dengan penyedap ikan asin dan jarang makan sayuran. Sedangkan babi peliharaannya, seluruhnya dijual kepada orang Cina, dengan harga ditetapkan oleh pembeli. Disamping menangkap ikan, sesuai dengan perkampungan suku Akit antara selat morong dengan selat malaka, kegiatannya juga melakukan penebangan kayu teki dan bakau. Namun, semua hasil usaha tersebut tidak membawa mereka kepada kelangsungan hidup yang lebih layak. Bahkan mereka adakalanya dihadapkan kepada kesulitan yang terjadi di luar kemampuan mereka, seperti adanya sistem ijon, sistem yang telah mendarah daging sejak lama. Ladang padi, juga dilakukan mereka. Tetapi usaha ini dilakukan secara
sederhana
sekali
dengan
penghasilan
yang tidak
memadai
untuk
kehidupannya. Demikian juga usaha yang dilakukan dengan mencari kayu ke dalam hutan.78 Dalam lapangan pertanian suku Akit telah menanam padi, jagung, kacang, ubi dan sayuran. Pada saat sekarang suku Akit telah berkebun, seperti Kebun kelapa, kopi, Karet dan Sawit yang mana ditanam diatas hak milik pribadi masing-masing masyarakat suku Akit. Perkebunan karet dan sawit merupakan mata pencaharian yang utama bagi masyarakat suku Akit, untuk menunjang kelangsungan hidup dan pendidikan anak mereka. Dahulu suku Akit banyak tidak memiliki pendidikan, namun dengan perkembangan zaman dan semakin pesat ilmu pengetahuan, banyak Anak suku Akit yang bersekolah Dasar sampai ke perguruan Tinggi.
78
Noerbahrij Yoesoef, Masyarakat Terasing dan Kebudayaannya di Propinsi Riau,Up. Telagakarya, Pekanbaru, 1992, Hlm. 47-48
Universitas Sumatera Utara
Masuknya suku Cina, Batak dan Jawa di pulau Rupat ini, untuk berdagang sehingga perekonomian di pulau rupat semakin maju. Pergaulan yang erat antara suku Akit dengan orang Cina, menyebabkan banyak perempuan Akit bersuamikan orang Cina, hal ini disebabkan bahwa segala hasil penangkapan, ternak babi, hasi penebangan kayu teki dan hasil kebun dijual kepada suku Cina, tetapi pergaulan itu tidak hanya sekedar memberikan keuntungan ekonomi bagi kedua belah pihak, tetapi pembauran itu juga menampilkan suatu aliran kepercayaan yang khas, yang mereka sebut kepercayaan Datuk Kimpung dan Nenek Bakul. Kedua macam roh ini diyakini amat
besar
kemampuannya
memberikan
perlindungan,
mengobati
dan
menghindarkan orang dari malapetaka. Pemujaan terhadap Datuk kimpung dan Nenek Bakul telah dilakukan tiap 15 bulan 7 tahun Cina, yang upacaranya hampir sama dengan Konghucu. Tanda-tanda kepercayaan ini adalah:79 a. b. c. d. e.
Upacara dilakukan dirumah Bathin Pengikut upacara menghadap keluar rumah Upacara memakai pembakaran kemenyan Batin berdiri didepan memimpin upacara Pemujaan dilakukan dengan menundukkan diri sambil mengikuti ucapan batin yang antara lain, membaca jusmilah, selamat 3 kali dengan tangan diayunkan keatas f. Upacara berakhir dengan makan minum Besarnya jumlah suku akit yang beragama Budha, banyak berhubungan dengan beberapa faktor, diantaranya adalah:80 a. Agama Budha telah dikenal orang Akit melalui pergaulan dengan orang Cina, tanpa mendatangkan gejolak atau perubahan apa-apa bagi mereka
79 80
UU. Hamidy, Op.cit, Hlm. 176 Ibid, Hlm. 177
Universitas Sumatera Utara
b. Hubungan yang erat antara Akit dengan Cina Tionghoa, disamping telah terjadi pembauran (nikah-kawin) lebih-lebih pola-pola hubungan anak semang (Akit) dan Majikan (Cina Tionghoa) c. Kalau memeluk Agama Budha, tradisi akit tidak terganggu, terutama untuk makan babi dan minuman noboi (minuman keras) d. Agama Budha tidak mempunyai perbedaan prinsip dengan kepercayaan animisme Akit (meskipun ada warna Islam) sebab itu dengan mudah mereka terima, dan bisa membuat sekte baru berupa kepercayaan Datuk Kampung dan Nenek Bakul. Meskipun agama Budha sudah begitu banyak di anut oleh Suku Akit, tapi sekitar 60 % dari mereka mengakui bahwa agama Budha sama saja dengan kepercayaan mereka yang lama.81 Di dalam masyarakat Suku Akit, meskipun beragama budha dan konghucu yang banyak mereka percayai, namun ada juga suku Akit beragama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan adanya penyebaran agama Islam dan Kristen yang dibawa oleh pemuka agama. 4. Sistem Kekerabatan Masyarakat Adat Suku Akit Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan yang Maha Esa bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Sejak manusia lahir telah hidup dalam keluarga, dengan ayah, ibu dan saudaranya atau dengan orang yang mengasuhnya. Kemudian manusia mengenal anggota kerabat dan tetangganya, lalu manusia itu mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota kerabat dalam kehidupannya berkeluarga.
81
Ibid. Hlm.178
Universitas Sumatera Utara
Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan itu tidak saja terbatas pada adanya hubungan keturunan (pertalian darah) dan
perkawinan, tetapi dapat terjadi
dikarenakan hubungan kebaikan yang merupakan hubungan adat, dalam benuk pengangkatan anak atau saudara ataupun hanya dalam bentuk pengakuan saja. Hubungan antara keluarga yang satu dan keluarga yang lain terjalin hubungan hukum dan kerjasama saling membantu dalam kekerabatan sehari-hari. Hubungan hukum itu berlaku sesuai dengan hukum adat masyarakat setempat, tergantung kepada pribadi warga adat, pemuka adat dan masyarakat adat yang bersangkutan.82 Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak. Intinya hukum adat kekerabatan mengatur pertalian darah (sekuturunan), pertalian perkawinan, dan perkawinan Adat.83 Jadi hukum kekerabatan adat adalah aturan-aturan adat yang mengatur bagaimana hubungan antara warga adat yang satu dan warga adat yang lain dalam ikatan kekerabatan.84 Kekerabatan merupakan hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai hubungan darah atau keturunan
yang sama dalam keluarga.
Kekerabatan merupakan suatu lembaga yang berdiri sendiri, lepas dari ruang lingkup
82
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Penerbit Fajar Agung, Jakarta, 1987, Hlm 2 Ibid, Hlm. 4 84 Ibid, Hlm. 3 83
Universitas Sumatera Utara
yang disebut kekerabatan, kesatuan yang utuh, bulat diantara anak dan ayah, berlangsung terus menerus tanpa batas.85 Hubungan kekeluargaan dengan sebab hubungan darah terjadi dalam 3 (tiga) garis: 1. Menurut garis lurus ke atas: bapak, kakek, puyang disebut leluhur 2. Menurut garis turun kebawah: anak, cucu, dan cicit disebut keturunan 3. Menurut garis kesamping atau menyimpang: saudara kandung, saudara seayah, seibu, serta kakek atau nenek Hubungan kekeluargaan memegang peran penting dalam hal berikut: a. Masalah
perkawinan,
untuk
meyakinkan
apakah
ada
hubungan
kekeluargaan yang merupakan larangan untuk mejadi suami istri (karena terlalu dekat, misalnya adik sama kakak kandung) b. Masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta peninggalan/ warisan. Secara teoritis sistem kekerabatan atau keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak:86 1. Sistem Patrineal, yaitu suatu sistem keturunan yang menarik garis dari pihak bapak pada sistem ini posisi pria lebih dominan pengaruhnya daripada wanita di dalam masalah pewarisan. Di Indonesia sistem kekerabatan ini digunakan oleh masyarakat adat Gayo, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian 2. Sistem Matrineal yaitu sistem keturunan yang menarik garis dari pihak ibu, pada sistem ini posisi wanita lebih dominan pengaruhnya daripada pria di
85 86
Dewi Lestari, Op.cit. Hlm. 118 Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
dalam masalah pewarisan. Di Indonesia sistem kekerabatan ini digunakan oleh masyarakat adat Minangkabau, Enggano dan Timor 3. Sistem Parental atau Bilateral yaitu sistem keturunan yang menarik garis dari kedua orang tua atau menarik garis dua sisi bapak dan ibu, di mana posisi pria dan wanita tidak dibeda-bedakan atau dianggap setara di dalam masalah pewarisan. Di Indonesia sistem kekerabatan ini digunakan oleh masyarakat adat Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Sulawesi dan lainlain. a. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara. Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudarasaudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Hukum adat Indonesia mengenal 3 (tiga) sistem perkawinan yakni endogami, eksogami dan eleutherogami.
87
Bagi masyarakat Adat Suku Akit sistem perkawinan
di Kecamatan Rupat Utara yakni Eksogami. Hal ini dikarenakan banyak anak perempuan suku Akit melakukan perkawinan campuran dengan suku Cina, dikarenakan tidak ada larangan bagi Adat untuk melakukan perkawinan dengan suku lain. Masyarakat Adat Suku Akit memiliki anak perempuan dan laki-laki, ketika mereka dewasa mereka akan melakukan perkawinan dengan sukunya maupun suku lain. Syarat yang diberikan adat suku akit bagi anak perempuan dapat menikah jika umur anak tersebut sudah 18 tahun, agar tidak bertentangan dengan Undang-undang 87
Wawancara dengan Bapak Athang, Wakil Kepala Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, Pada hari Rabu, Tanggal 03 Juni 2016, Pukul 20.30
Universitas Sumatera Utara
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. jika wanita sudah menikah akan mengikuti suaminya. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan secara akan menyatukan secara lahir bathin. Suatu ikatan lahir bathin mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perkawinan merupakan Persetujuan seorang lakilaki dan seorang perempuan yang secara hukum untuk hidup bersama-sama untuk berlangsung selama-lamanya88. Dan perkawinan dapat juga di definiskan sebagai hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu yang selama mungkin.89 Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan lahir bathiin merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, sedangkan ikatan bathin merupakan hubungan nonformal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan fundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan 88
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm. 6 Rien G Katasapoetra.1998. Pengantar ilmu Hukum Lengkap. Penerbit Bina Aksara, cetakan 1, Jakarta, Hlm.97. 89
Universitas Sumatera Utara
bahagia.90 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: “ Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.91 Menurut Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun1974 tentang Perkawinan telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. setelah pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut hukum Adat, secara umum syarat sahnya suatu perkawinan apabila memenuhi 3 (tiga) tahap yaitu: a. Peminangan Peminangan menurut hukum adat berlaku untuk menyatakan kehendak pihak satu kepihak lainnya dengan maksud untuk melaksanakan perkawinan. Peminangan lazimnya dilakukan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Lain
90
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hlm 104. 91 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
halnya di Minangkabau yang menganut sistem Matrineal, dimana pihak wanita melakukan peminangan kepada pihak pria.92 b. Pertunangan Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak pria dengan orang tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anakanak mereka dengan jalan peminangan93 Alasan dilakukan pertunangan pada masing-masing daerah pastinya berbeda, tetapi dapat persamaan umum, diantaranya: 1. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah dilangsungkan dalam waktu dekat 2. Khusus di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara mudamudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu . 3. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.94 Akibat dari suatu pertunangan bahwa kedua belah pihak telah terikat untuk melakukan perkawinan. Tetapi ikatan disini tidak berarti, bahwa kedua belah pihak, tidak boleh tidak, harus melakukan suatu perkawinan.95 Setelah pertunangan, kedua belah pihak pasti melanjutkan ke perkawinan. Namun, pertunangan ini masih mungkin dibatalkan dalam hal-hal yang berikut ini:96 1. Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak yang baru timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya. 92
Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 47-48 Ibid 94 Surojo Wignjodipuro, Op.cit, Hlm. 150-151 95 Hilman Hadikusuma, Op.cit, Hlm. 125 96 Ibid 93
Universitas Sumatera Utara
2. Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya, kalau menerima tanda tunangan tidak memenuhi janjinya, maka tanda itu harus dikembalikan sejumlah atau berlipat dari yang diterima, sedangkan kalau pihak yang lain yang tidak memenuhi janjinya, maka tanda tunangan tidak perlu dikembalikan. Menurut Athang, ada beberapa syarat yang harus dilewati untuk melakukan pernikahan Adat didalam Suku Akit:97 1. Maresek Maresek adalah proses dimana perkenalan antara orang tua kedua belah pihak. Proses diawali dengan menanyakan kepada pihak perempuan, mengenai apakah sudah ada yang punya dan sudah berapa lama berhubungan pasangan kekasih dengan anak lelakinya. 2. Meminang Setelah proses mempertanyakan calon mempelai wanita tersebut telah dijawab oleh pihak wanita dan tidak ada yang melamar sang wanita, maka pihak pria memberitahu niat baik mereka untuk meminang atau melakukan proses pelamaran kepada pihak wanita. Pihak keluarga pria datang kepada keluarga calon mempelai wanita dengan membawa tepak sirih, yang lengkap berisi pinang (melambangkan Jantung), kapur (melambangkan Otak), gambir (melambangkan Darah), tembakau (melambangkan
97
Hasil wawancara dengan Athang, sebagai Wakil Ketua Adat Masyarakat Adat Suku Akit, Pada hari Rabu tanggal 13 April 2016
Universitas Sumatera Utara
bulu seluruh badan) dan sirih (melambangkan kulit), 1 (satu) stel pakaian. Bila pinangan telah diterima oleh pihak keluarga perempuan, maka sebagai tali pengikat, diberikan 2 (dua) buah cincin emas sebanyak 1 Ci atau 3,75 gram. Dalam Adat Suku Akit, Mas Kawin terbagi atas 3 (tiga) yaitu: a. 88 Likur b. 48 Likur c. 28 Likur 3. Mengantar uang belanja dan penentuan hari pernikahan Proses ini merupakan proses pengantaran jumlahnya uang belanja kepada pihak keluarga perempuan yang jumlahnya tergantung dari kemampuan dan persetujuan kedua belah pihak. Pada waktu penyerahannya dihadiri oleh pihak keluarga calon penggantin wanita yang jumlahnya tergantung dari kemampuan kedua belah pihak. Pada penyerahannya dihadiri Kepala Suku. Pada waktu itu juga ditentukan waktu yang tepat untuk melangsungkan pesta perkawinan. 4. Pembacaan Janji atau talik98 Ketika sampai pada hari yang ditentukan, yang mana pesta perkawinan dilangsungkan dirumah pengantin perempuan. pihak pengantin perempuan menunggu kedatangan pengantin lelaki yang diarak dengan bebena dan diikuti tarian Maleng. Sampai dihalaman rumah, pengantin laki-laki duduk, lalu diadakan pertunjukan silat seperti halnya perkawinan suku Melayu, kemudian pengantin lelaki disembah oleh pengantin perempuan, selanjutnya mereka berdua dengan disaksikan oleh kaum kerabat, menghadap Ketua Suku (Bathin). 98
Talik adalah istilah yang diambil dari bahasa Akit yang Artinya sumpah
Universitas Sumatera Utara
Dalam peresmian perkawinan masyarakat Adat Suku Akit, ketua adat melakukan tanya jawab kepada kedua pengantin, yang mana selalu dilakukan pada kawin kecil dan kawin besar. Tata cara perkawinan adat suku Akit terdiri atas 3 (tiga) bagian yaitu:99 a.
Setia
Ketua Adat bertanya kepada pihak pengantin, tentang siapa yang bersetia, dan setia kepada siapa. Setelah itu Ketua Suku (Bathin) sambil membacakan akad nikah yang berbunyi, “ Si A dikau hari ini ku resmikan nikahmu dengan beberapa saksi dan wali”. b. Pesan Adat (Papal Adat) Ketua Adat memberikan nasehat Adat kepada Kedua pengantin, adapun pesan adat itu salah satunya yaitu kalau tidak ada pantang pamali jangan sekali-sekali mukul istri, kalau ada pantang pamali jangankan dipukul di bunuh pun tidak apa-apa tapi dibunuh keduanya melapor kepada pihak yang berwajib c. Doa minta selamat Ketua ada melakukan doa, dengan cara diminta kepada yang ada didalam seisi rumah, baik orang tua maupun orang muda untuk mengucapkan selamat 3 (tiga) kali yang dimulai oleh ketua adat, kemudian diikuti oleh orang lain. Artinya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kedua mempelai diberikan keselamatan sampai ke anak cucu.
99
Anyang,Op.cit. Hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
Setelah janji atau talik dilaksanakan, maka perkawinan kedua pihak sah. Acara selanjutnya melakukan sabung ayam. Setelah sabung ayam, ayam tadi di potong dan dimasak untuk dimakan bersama-sama dengan seluruh keluarga. Jika acara telah siap dilaksanakan, pada sore harinya pengantin wanita dibawa kerumah pengantin lakilaki. Dalam perkawinan masyarakat Adat Suku Akit, ada 2 (dua) perkawinan yang terdiri atas: 1. Kawin Besar Kawin besar dilakukan oleh keluarga yang memiliki ekonomi tinggi dan termasuk keluarga Bathin, biasanya kawin besar dengan cara dipinang atau pertunangan. Yang mana syarat-syarat kawin besar yaitu: a. Kotak (tepak siri) yang isinya terdiri atas Siri, kapur, gambir dan tembakau b. 2 (dua) stel kain perkawinan c. Angsuran belanja d. 2 (dua) buah cincin Emas e. Ada cara Sabung Ayam 2. Kawin Kecil Kawin kecil dilakukan oleh keluarga yang memiliki ekonomi rendah. Adapun syarat kawin kecil yaitu; a. 1 (satu) bentuk cincin Emas b. Angsuran belanja c. Tempo harus 10 hari dilangsungkan perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
b. Sistem Kekeluargaan suku Akit di Kecamatan Rupat Utara Sistem Kekerabatan yang dimaksud disini menyangkut garis keturunan, kelompok dan susunan kekerabatan. 1. Garis Keturunan Pada masyarakat suku Akit di Kecamatan Rupat utara mengikuti garis keturunan pewarisan gelar anak yang diambil dari pihak ayah dalam hal ini, karena suku Akit mengikuti garis keturunan secara patrineal. Dalam tata acara adat, pelaksanaan perkawinan suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, bahwa perkawinan dilaksanakan dirumah perempun dengan adanya perkawinan tersebut maka pihak laki-laki yang datang kerumah perempuan, setelah perkawinan selesai pihak perempuan dibawa kerumah laki-laki, hal ini cenderung mengikuti aturan adat dalam ketentuan matrineal. Akan tetapi dalam sistem kekerabatan senantiasa mengikuti sistem patrineal. Dalam hal perkawinan, anak laki-laki diberi gelar BIN, sedangkan anak perempuan diberi gelar BINTI.100 Masyarakat suku akit, pemberian gelar bangsawan yang paling tinggi hanya untuk pria saja, karena pria yang sangat berperan penting didalam Adat istiadat, adapun gelar yang diberikan masyarakat suku Akit kepada pemimpinnya adalah Bathin. Bathin sangat di hormati, karena dipilih dan dingkat oleh masyarakat suku
100
Hasil wawancara dengan Athang, sebagai Wakil Ketua Adat Masyarakat Adat Suku Akit, Pada hari Rabu tanggal 13 April 2016
Universitas Sumatera Utara
Akit. Dan biasanya gelar itu bisa saja diserahkan kepada Anak laki-laki, yang sanggup untuk memegang dan menjalankan adat-istiadat suku Akit.101 c. Terminologi keluarga pada sistem kekerabatan masyarakat suku Akit di Kecamatan Rupat utara Masyarakat suku Akit memiliki sistem kekerabatan yang sangat mudah dipahami dan dimengerti oleh setiap orang. Masyarakat suku Akit tidak diperbolehkan menikah dengan sepupu atau satu darah dengannya, jika terjadi perkawinan dengan satu darah, maka akan mendapat sanksi adat yaitu di usir dari kampung sehingga tidak boleh menetap di kampung selamanya. Dengan adanya satu aturan ini, membuat masyarakat suku Akit tidak bisa menikah dengan sepupu atau satu darah. Terminologi keluarga tertentu dalam sistem kekerabatan suku akit lebih digunakan untuk lebih dari satu hubungan. Misalnya seseorang dapat memanggil suami dari Kakak sebagai Abang. Setiap terminologi yang digunakan masyarakat suku Akit untuk menjelaskan hubungan tertentu dalam kekeluargaan. Dibawah ini adalah beberapa terminologi yang digunakan pada masyarakat Adat Suku Akit di Kecamatan Rupat Utara:102 1) Bah panggilan untuk adik bapak yang lebih tua yang laki-laki (Paman dari Pihak Bapak) 2) Abang panggilan untuk suami dari kakak (Abang Ipar) 3) Wak panggilan untuk laki-laki 101
Hasil wawancara dengan Anyang, sebagai Ketua Adat Masyarakat Adat Suku Akit, Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2016 102 Hasil wawancara dengan Athang, sebagai Wakil Ketua Adat Masyarakat Adat Suku Akit, Pada hari Rabu tanggal 13 April 2016
Universitas Sumatera Utara
4) Ngah panggilan untuk perempuan 5) Akak/ Ngso panggilan untuk kakak Ipar 6) Nenek panggilan untuk Kaum laki-laki/ Perempuan yang sudah tua Istilah-istilah ini yang digunakan untuk memanggil saudara didalam kekeluargaan masyarakat suku Akit yang berdasarkan ikatan perkawinan yang melahirkan suatu sistem kekerabatan dalam keluarga. Kekerabatan dalam suku Akit ini bertujuan untuk memastikan adanya sistem yang tepat untuk menentukan hubungan keluarga. Hubungan keluarga ini nantinya sangat berkaitan dalam pewarisan dikarena secara langsung adanya hubungan darah didalam kekeluargaan. C. Kedudukan Masyarakat Adat suku Akit sebagai Masyarakat Hukum Adat Secara terminologis “pengakuan” atau (erkennning) berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata “mengakui” bertanya berhak. Sebuah pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keeberadaan suatu negara/ pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de yure.103 Pengakuan de facto adalah pengakuan secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah. Pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de yure, sedangkan Pengakuan de yure adalah pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan ini ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan apakah pemerintahannya efektif menyebabkan
103
Husein Alting, Op.cit. Hlm.63
Universitas Sumatera Utara
kedudukan yang stabil. Pengakuan de yure bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum lainnya. Pengakuan secara hukum (de yure) merupakan pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengakuan melalui hukum negara (hukum positif) menurut Austin diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga-lembaga yang memiliki kedaulatan, dan pengakuan tersebut diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yang merdeka (independent political society). Anggota masyarakat tersebut mengakui kedaulatan dan supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, kebiasaan menurutnya hanya akan berlaku sebagai hukum jika Undang-undang menghendaki atau menyatakan dengan tegas atas keberlakuan kebiasaan tersebut.104 Konsep dasar masyarakat adat yang paling klasik bisa dirujuk adalah konsep Ter Haar yang disebut sebagai adatrechtsgemeenshap (masyarakat hukum adat) yaitu masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli yang terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, dimana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu aturan tertentu, dimana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan belangsung akibat adanya suatu aturan tertentu (yang
104
Ibid. Hlm. 64
Universitas Sumatera Utara
tiada lain adalah aturan hukum adat).105 Hazairin mengungkapkan bahwa masyarakat hukum adat sperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.106 Didalam UUD 1945, adanya pengaturan tentang eksistensi masyarakat hukum Adat, yaitu terdapat dalam pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28I ayat 3. Pasal 18B ayat (2) menyebutkan “Negara Mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.” Pasal 28I ayat 3 menyebutkan “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.107 Berdasarkan ketentuan kedua pasal diatas, jelas terlihat adanya bentuk pengaturan bahwa eksistensi masyarakat adat dan atau masyarakat tradisional diakui hanya jika memenuhi kriteria yaitu tidak bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
105
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, Hlm. 27 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta: Regional Initiative on Indigeneous Peoples‟ Rights and Development. UNDP, 2006. Hlm 36 107 Dewi Sulastri, Op.cit. Hlm. 216 106
Universitas Sumatera Utara
Adanya konsep pengakuan terbatas ini lebih terlihat lagi pada pengaturan dalam tingkat legislasi (undang-undang), yang dimulai dari UUPA (Undang-undang yang secara tegas tidak hanya mengatur eksistensi masyarakat adat, tetapi juga hukum adat. Pengaturan UUPA mengenai masyarakat adat, bisa dilihat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3, mengenai pengaturan masyarakat hukum adat bisa ditemui dalam Pasal 5. Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan demikian, sebagai turunan langsung dari konsep negara hukum, adalah jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat adat berikut hak-hak dan kepentingan negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif negara dalam perundang-undangan, keberadaan masyarakat adat beserta kepentingan-kepentingan dan hak-hak tradisionalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut bisa diabaikan. Pasal 2 ayat (4) UUPA menyebutkan bahwa: “ Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan pemerintah.”. Pasal 3 UUPA menyebutkan, dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pasal 5 UUPA menyebutkan: “ hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam UUPA diatas, jelas terlihat bahwa eksistensi masyarakat adat dan hukum adat hanya diakui jika tidak bertentangan
Universitas Sumatera Utara
dengan perturan perundang-undangan dan kepentingan nasional. Mengenai kepentingan nasional ini harus dirujuk pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagimana yang disebutkan dalam pasal 3 UUPA, yaitu kepentingan penguasaan negara dalam level yang tertinggi atas bumi, air, ruang angkasa beserta segala kekayaan alam yang ada didalamnya. Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dibawah konsep pengakuan terbatas sebagaimana linear dengan UUPA juga dapat ditemui pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Beberapa pasal yang mengatur eksistensi masyarakat adat dalam Undang-undang Kehutanan ini antara lain adalah Pasal 4 ayat 3, dan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Kehutanan menyebutkan bahwa: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Adapun pasal 67 Undang-Undang kehutanan menyebutkan bahwa: 1. Masyarakat hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan seharihari b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengukuhan dan hapusnya keberadaan masyarakat hukum adat sebagimana dimaksud ayat (1) dtetapkan dengan Peraturan Daerah 3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah Selanjutnya didalam Pasal 67 ayat (1) mengemukakan tentang syarat-syarat diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur lain:108 1. 2. 3. 4.
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya Ada wilayah hukum adat yang jelas Ada pranata dan perangkat hukum, khusunya peradilan adat, yang masih ditaati 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk kebutuhan sehari-hari Ayat (2) Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ayat (3) Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:109 a. Tata cara penelitian b. Pihak-pihak yang diikutsertakan c. Materi penelitian d. Kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat Berdasarkan uraian diatas, menurut Undang-undang kehutanan eksistensi masyarakat adat diakui keberadaanya hanya jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan Peraturan Daerah yang mendasarkan diri pada kriteria sebagaimana 108
M. Rizal Akbar, Khairul AK, Thamrin, Suwarto, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat, Penerbit LPNU Press, 2005, Hlm. 18 109 Abdul Muis Yusuf, Muhammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan Di Indonesia, Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta, Hlm 245
Universitas Sumatera Utara
dijabarkan dalam penjelasan pasal 67 ayat 1 diatas, dan hal yang paling fundamental di atas itu semua adalah bahwa pengakuan keberadaan masyarakat adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 ayat 3. Dalam Peraturan Menteri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat. Bahwa masyaraat hukum adat adalah warga negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal-usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan suatu wilayah tertentu secara turun temurun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Junto Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 Untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum adat harus memiliki Unsur-unsur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya Ada wilayah hukum adat yang jelas Ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati Sejarah Masyarakat Hukum Adat; Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Junto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi unsur-unsur yang ada. Masyarakat Suku Akit hanya memiliki unsur-unsur: 1. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban Masyarakat yang berbentuk paguyuban adalah perkumpulan berupa organisasi sederhana yang bersifat kekeluargaan (biasanya terdiri dari anggota yang masih ada hubungan saudara).110 Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai didalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.111 Menurut Tonnies, ada 3 (tiga) Tipe Paguyuban yaitu:112 a. Paguyuban karena ikatan darah yaitu ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.
110
Eko Hadi Wiyono, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Penerbit Talanta Compugrafik, 2007. Hlm. 444. 111 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengntar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm. 132. 112 Ibid, Hlm. 134-135.
Universitas Sumatera Utara
b. Paguyuban karena tempat/wilayah yang sama yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong-menolong. Contoh: RukunTetangga, Rukun Warga, Arisan. c. Paguyuban karena jiwa-pikiran yang sama, yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama. Masyarakat suku Akit dalam menjalankan kehidupannya di Kecamatan Rupat utara berbentuk paguyuban, dikarenakan suku Akit hidup menempati wilayah yang sama secara berdampingan dengan masyarakat suku Cina, Jawa, Madura dan Batak di Kecamatan Rupat Utara, sehingga ada saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Mereka hidup bersama dengan rukun dan damai, saling menghormati dengan suku lainnya. 2. Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya Masyarakat suku Akit memiliki Lembaga Adat yang dipimpin ketua Adat yang bernama Bathin, Bathin untuk menjalankan tugasnya dibantu oleh Wakil Bathin. Bathin memiliki tugas menjalankan Adat istiadat suku Akit. Adapun adat istiadat yang dipimpin oleh Bathin adalah:113 a. Dalam Acara Kelahiran b. Dalam Acara Sunatan c. Dalam Acara Perkawinan 113
Wawancara dengan Anyang, Selaku Kepala Suku Akit Hatas, Titi Akar, Pulau Rupat Pada hari Sabtu 16 April 2016
Universitas Sumatera Utara
d. Acara Kematian Bathin menjalankan tugasnya bukan saja dalam acara Adat-istiadat, namun bathin juga dapat menyelesaikan segala permasalahan yang berkaitan tentang: a. Dalam hal Pewarisan, Kepala Adat ikut dalam menyelesaikan permasalahan harta warisan yang akan dibagikan kepada seluruh ahli waris. b. Dalam hal Perceraian c. Dalam hal perkelahian antara sesama suku, maupun dengan suku lain 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas Pengertian Wilayah Adat sebagaimana tercantum didalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turuntemurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.114 Hak Ulayat adalah hak dari persekutuan hukum Adat tempat tanah tersebut berada sebagai wujud dari kekuasaan persekutuan hukum adat yang bersangkutan,
114
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Universitas Sumatera Utara
yaitu kekuasaan atas tanah beserta segala sumber daya alam yang ada yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat.115 Moh. Koesnoe mengatakan bahwa adanya eksistensi hak ulayat atas tanah membawa konsekuensi hukum kedalam (secara internal) dan keluar persekutuan (secara eksternal), bahwa secara internal, adanya hak ulayat memberikan kepasitas secara eksklusif kepada persekutuan hukum adat yang bersangkutan untuk mengelola, memanfaatkan dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya. Adapun secara eksternal, memberikan tanggung jawab untuk menjaga tanah dan sumber daya alamnya dari penguasaan pihak asing berserta segala hal yang membahayakan keberadaan tanah dan sumber daya alam tersebut.116 Menurut Sukarto bahwa Masyarakat Suku Akit yang berada di kecamatan Rupat utara tidak memiliki wilayah adat baik berupa Tanah Adat maupun Hutan Adat. Mereka memiliki tanah atas iniasiatif sendiri dengan melakukan penebangan hutan, lalu
mengolah tanah tersebut menjadi lahan pertanian dan perkebunan,
sehingga tanah tersebut menjadi hak milik pribadi (Individual) Masyarakat suku Akit, bukan menjadi tanah ulayat yang dimiliki bersama oleh masyarakat hukum Adat itu sendiri.117
115
Moh. Koesnoe, Prinsip-prinsip Hukum Adat Tentang Tanah, Ubhara Press, Surabaya, 2000, Hlm. 22 116 Ibid, Hlm. 39 117 Wawancara dengan Sukarto, Selaku Kepala Desa Titi Akar, Pulau Rupat, pada hari Selasa, 12 April 2016
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 PENDAPAT MASYARAKAT SUKU AKIT MEMILIKI TANAH ADAT DI KECAMATAN RUPAT UTARA No. Jawaban Jumlah Persentase (%) Responden Orang 1 Ya, 2 Tidak 25 100% Jumlah 25 100 % Sumber Data Primer : Data Tahun 2016 Berdasarkan tabel 1, dapat digambarkan bahwa ternyata 25 (dua puluh lima) orang (100 %) benar mengatakan bahwa masyarakat Suku Akit tidak memiliki tanah Adat. Hal ini diperkuat oleh keterangan Bapak Sukarto selaku Kepala Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara mengatakan bahwa masyarakat suku Akit tidak memiliki tanah adat. 4. Ada pranata dan perangkat hukum Adat yang masih ditaati Pranata dan perangkat hukum harus dimiliki setiap masyarakat hukum adat, demi menjaga kelestarian adat-istidat yang dimiliki oleh setiap masyarakat adat. Masyarakat Suku Akit memiliki pranata dan perangkat hukum Adat yang jelas, khususnya peradilan adat. Masyarakat suku akit dalam menyelesaikan permasalahan dalam bidang perkawinan, perceraian dan pewarisan diselesaikan di rumah Adat, kantor Kepala Desa atau dirumah keluarga yang bersengketa. Setiap masyarakat suku Akit harus menaati segala peraturan yang ada baik dalam hal kelahiran, perkawinan dan kematian.
Universitas Sumatera Utara
Peradilan adat yang dipimpin oleh Bathin dan para wakil Bathin memberikan sanksi adat yang wajib dituruti oleh setiap masyarakat adat suku Akit. Sanksi Adat itu berupa: a. b. c. d.
Berdamai Membayar Denda Membuat Sumpah Di usir dari kampung halaman
5. Sejarah Masyarakat Hukum Adat; Setiap masyarakat hukum Adat pasti memiliki Sejarah Masyarakat hukum Adat sendiri. Karena sejarah ini untuk mengetahui asal-usul keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri, bagaimana masyarakat adat bisa menempati daerah itu, tentang cara kehidupan masyarakat adat, serta mata pencaharian apa yang dimiliki oleh setiap masyarakat hukum adat. Masyarakat suku Akit berada di Kecamatan Rupat utara memiliki sejarah tersendiri, yaitu suku Akit berasal dari Kata Rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit, orang rakit atau tukang rakit. Suku Akit ini pada mulanya telah menjadi rakyat kerajaan Kesultanan Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan Siak mengambil dan merakit kayu. Mereka telah dibagi atas 3 (tiga) macam tugas: a) Menebang Hutan, disebut suku Hutan b) Merakit disungai disebut suku Akit Biasa c) Meratas dan merintis jalan disungai disebut Suku Akit Hatas
Universitas Sumatera Utara
Suku Akit melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh sultan, dikarenakan mereka punya alasan bahwa adanya pertukaran pulau rupat yang ditentukan oleh Datuk Empang Kelapahan kepada mereka dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Sekerat Mata Beras b. Sekerat Tampin Sagu c. Sebatang Dayung Emas 6. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat Masyarakat Hukum Adat pasti memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat serta adat kesenian yang sampai sekarang tetap dijaga kelestariannya. Bagi masyarakat Adat suku Akit, harta kekayaan/ atau benda-benda adat yang mereka miliki tetap terjaga dan digunakan dalam setiap kegiatan upacara adat. adapun harta kekayaan dan/ atau benda-benda adat yang dimiliki oleh Masyakarat adat suku Akit adalah: a. b. c. d. e. f.
Tepak Sirih Keris Baju Pengantin Tombak Sumpit Bebena dan lain-lain
Tari kesenian adat yang dimiliki Masyarakat suku Akit adalah:118 a. Tari Maleng yaitu: tari untuk mengatur langkah orang berjalan. Diadakan pada upacara: 1. Sunat 2. Nikah 118
Anyang, Op.cit. Hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
3. Kematian b. Genang Pehang yaitu: Rentakan irama alat musik kesenian tradisional suku Asli Akit Hatas pada pertunjukkan Pencak silat sebagai mempertahankan diri. Adapun lagu-lagu kesenian yang dimiliki oleh masyarakat suku Akit hatas adalah: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Lagu Maleng Lagu Gendong Lagu Mak Iyong Lagu Mak Inang Lagu Kitang Lagu Anak Bayan Lagu Tenten Lagu Beketam Lagu Genang Penang
Salah satu unsur yang tidak terpenuhi Mayarakat suku Akit untuk mendapatkan Pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat yaitu tidak mempunyai wilayah adat yang jelas yaitu berupat tanah adat atau tanah adat. Masyarakat suku Akit di Kecamatan Rupat utara, tidak memiliki tanah adat. Karena tanah yang dimiliki oleh masyarakat suku Akit merupakan hasil dari penebangan hutan pada zaman dahulu, lalu tanah itu dikelola secara individu, dan status kepemilikan hak atas tanah tersebut milik Individu bukanlah menjadi hak bersama masyarakat suku Akit, sehingga masyarakat suku Akit tidak memiliki tanah adat yang dimiliki dan dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat suku Akit.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat Fikarwin Zuska, Dosen Antropologi Budaya Universitas Sumatera Utara, bahwa jika salah satu unsur-unsur masyarakat hukum adat tidak dipenuhi dalam hal ini berupa tanah adat atau tanah ulayat berdasarkan Peraturan Meenteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat, maka secara hukum positif negara tidak mengakui masyarakat hukum adat tersebut. Namun Keberadaan masyarakat hukum adat tidak bisa dilihat dari tidak adanya memiliki tanah adat atau tanah ulayatnya. Keberadaan masyarakat hukum adat dilihat dari asal usulnya secara turun temurun, hidup menempati wilayah tersebut walaupun dengan berpindah-pindah mengitari wilayah tersebut, memiliki budaya dan adatnya.119 Hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah sangat kuat bahwa suatu masyarakat hukum adat selalu memiliki tanah, tanah itu sangat sakral bagi masyarakat hukum adat, tanah itu secara fungsional sebagai sumber kehidupannya walaupun masyarakat berpindah-pindah tetap memiliki tanah, disitu juga manusia bercocok tanam, menguburkan nenek moyangnya terlebih dahulu. Kalau Negara (hukum), ingin hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat atau tanah adat harus dituliskan kedalam sebuah kertas agar ada kepastian hukumnya. Namun secara hukum tidak tertulis masyarakat suku Akit tetaplah masyarakat hukum adat yang menempati suatu wilayah tertentu, memiliki asal-usul leluhur, memiliki penguasa,
119
Wawancara dengan Fikarwin Zuska, Dosen Antropologi Budaya Universitas Sumatera Utara, Pada hari Senin, tanggal 19 September 2016, Pukul 10.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
memiliki kekayaan, memiliki sistem nilai, ideologi, budaya dan sosial yang khas dapat dilihat didalam upacara-upacara adat, serta pergelaran kesenian yang ada.120 Menurut Lister Berutu, Dosen Antropologi Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa hubungan Masyarakat hukum adat dengan Tanah Ulayat atau Tanah Adat bagaikan 2 (dua) sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, karena dengan adanya tanah ulayat atau tanah adat terlihatlah identitas masyarakat hukum adat itu sehingga eksistensi keberadaan masyarakat hukum Adat itu ada. Syarat-syarat Pengakuan Masyarakat hukum adat sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, harus dipenuhi karena itu adalah syarat komulatif. Sepanjang tidak dipenuhinya syarat komulatif tersebut maka pengakuan masyarakat suku akit tidak bisa dilaksanakan. Tujuan dilakukannya suatu pengakuan masyarakat hukum adat agar adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat tersebut.121 Menurut Edy Ikhsan, Dosen Hukum Adat Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa hubungan tanah adat dengan masyarakat hukum adat adalah satu elemen penting yang tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat hukum adat hidup dan berkembang diwilayah tersebut dengan hukum adatnya. Tanah adat atau tanah ulayat tersebut
ada untuk menunjukkan status adanya masyarakat adat tersebut.
120
Wawancara dengan Fikarwin Zuska, Dosen Antropologi Budaya Universitas Sumatera Utara, Pada hari Senin, tanggal 19 September 2016, Pukul 10.30 WIB 121 Wawancara dengan Lister Berutu, Dosen Antropologi Hukum Universitas Sumatera Utara, Pada hari Jum‟at, tanggal 16 September 2016, Pukul 11.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
Secara Hukum normatif bahwa masyarakat suku akit bukanlah masyarakat hukum adat karena tidak dipenuhinya unsur-unsur masyarakat hukum adat jika dilihat dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Namun secara hukum tidak tertulis bahwa masyarakat suku Akit adalah masyarakat hukum adat yang menempati wilayah secara turun temurun, memiliki sejarah adatnya, memiliki tempat tinggal meskipun tidak memiliki tanah adatnya.122 Menurut Pandangan para ahli yang mengatakan bahwa masyarakat suku Akit adalah masyarakat hukum adat yang mana bisa dilihat dari segi sosiologis, filosofis dan yuridis. Adapun secara sosiologis bahwa masyarakat suku akit hidup bertempat tinggal di wilayah kecamatan Rupat utara dengan masyarakat yang berbentuk paguyuban, hidup berdampingan dengan suku lain, sehingga dapat saling tolong menolong satu sama lain. Secara filosofis bahwa masyarakat suku Akit memiliki asal usul leluhur secara turun temurun menempati wilayah tersebut, memiliki sistem nilai, dan budaya yang khas. Mengenai asal leluhurnya bisa dilihat dari sejarah keberadaaan masyarakat suku Akit tersebut menempati wilayah Kecamatan Rupat Utara, serta bisa dilihat dari nenek moyang yang hidup, mati dan dikuburkan diwilayah tersebut. Sistem nilai bisa dilihat dari acara perkawinan, kelahiran dan kematian serta sanksi-sanksi yang diterapkan di masyarakat suku Akit tersebut. Namun secara yuridis, bahwa masyarakat suku Akit mendapatkan pengakuan dari
122
Wawancara dengan Edy Ikhsan, Dosen Hukum Adat Universitas Sumatera Utara, Pada hari Senin, tanggal 19 September 2016, Pukul 12.35 WIB
Universitas Sumatera Utara
pemerintah tentang keberadaan masyarakat hukum adat yang mana syarat-syarat keberadaan masyarakat hukum adat itu harus dipenuhi unsur-unsurnya. Berdasarkan uraian diatas bahwa Masyarakat suku Akit sudah dapat dikategorikan sebagai Masyarakat hukum Adat, hal ini bisa dilihat dari segi filosofis, dan segi sosiologis dari keberadaan masyakarat hukum Adat tersebut. Namun jika di telaah dari segi yuridis, Masyarakat suku Akit belum sepenuhnya memenuhi salah satu syarat sebagai Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Junto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat yaitu mengenai wilayah hukum Adat yang jelas yaitu berupa tanah adat atau tanah ulayat, karena dengan adanya tanah ulayat atau tanah adat terlihatlah identitas masyarakat hukum Adat itu sehingga eksistensi keberadaan masyarakat hukum Adat itu ada, sehingga hal ini mengakibatkan tidak ada jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat Suku Akit dalam melaksanakan hak-haknya sebagai masyarakat hukum Adat.
Universitas Sumatera Utara