27
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA PERKOTAAN DI KECAMATAN MEDAN BARU
A. Gambaran Umum Kecamaan Medan Baru 1. Letak Geografis dan Luas Wilayah Secara geografis Kecamatan Medan Baru berada di Wilayah Barat Daya Kota Medan, merupakan dataran secara sedang sekitar 5-10 M diatas permukaan laut dan berbatasan dengan Kecamatan : -
Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat
: Kecamatan Medan Petisah : Kecamatan Medan Selayang : Kecamatan Medan Polonia : Kecamatan Medan Sunggal.
Kecamatan Medan Baru terdiri dari 6 kelurahan dan 64 lingkungan berada pada kawasan perumahan inti kota, merupakan salah satu kecamatan yang memiliki wilayah terpadat di kota Medan jika dibandingkan jumlah luas wilayah berbanding dengan jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Medan Baru. Berikut ini tabel data Kelurahan, luas wilayah dan jumlah lingkungan : Tabel 1. Nama Kelurahan, Luas dan Jumlah Lingkungan di Kecamatan Medan Baru No KELURAHAN LUAS JUMLAH LINGKUNGAN (KM2) 1. Titi Rantai 1, 06 10 2. Padang Bulan 1, 68 12 3. Merdeka 0, 98 13 4. Babura 0, 79 13 5. Petisah Hulu 0, 62 12 6. Darat 0, 28 4 5, 41 64 Jumlah Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru
27 Universitas Sumatera Utara
28
2. Kependudukan Data penduduk merupakan salah satu data pokok dalam perencanaan pembangunan karena penduduk merupakan objek dan subjek dalam pembangunan. Berikut adalah data jumlah penduduk di Kecamatan Medan Baru didasarkan pada jenis kelamin. Tabel 2. Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kecamatan Medan Baru No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kelurahan Titi Rantai Padang Bulan Merdeka Babura Petisah Hulu Darat Jumlah
Jumlah Penduduk Lk Pr 4521 4691 2935 2922 4592 4667 4958 5235 3605 3680 2012 2352 22522 23547
TOTAL 9212 5857 9259 10193 7285 4364 46069
Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru
3. Agama Mayoritas jumlah penduduk Kecamatan Medan Baru adalah beragama Kristen berjumlah 22.080 orang (47,6%), Protestan 11.609 orang (25%), Khatolik 10.471 orang (22,6%), Islam 20.114 orang (43%), Hindu 1.667 orang (3,6%), dan Budha sebanyak 2.486 (5,3%). Berikut Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Medan Baru didasarkan Agama pada tahu 2010:
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Golongan Agama di Kecamatan Medan Baru
No
Kelurahan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Titi Rantai Padang Bulan Merdeka Babura Petisah Hulu Darat JUMLAH
Jumlah Penduduk
Islam
9561 5839 9376 10703 7338 3252 46069
2556 2187 3476 4325 2587 1983 20114
Agama Kristen Protestan Khatolik 2689 2057 2708 2042 3875 2109 2067 2240 2536 2025 870 794 11609 10471
Hindu Budha 20 857 790 1667
59 68 661 1098 650 2486
Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penduduk di kecamatan Medan Baru mayoritas adalah Kristen, yaitu Kristen Protestan dan Khatolik yang berjumlah 22.080 penduduk lebih banyak dibandingkan penduduk yang memeluk agama lainnya. 4. Etnis (Suku) Penduduk Kecamatan Medan Baru cukup heterogen, terbukti dengan banyaknya suku/etnis yang hidup dan tinggal di wilayah ini. Adapun suku yang terbesar adalah suku Batak Toba dengan jumlah 10.703 jiwa dan suku Karo 9.815 jiwa dengan jumlah terkecil adalah suku Minang dengan jumlah 1.355 jiwa. Berikut ini dapat dilihat tabel Jumlah Penduduk berdasarkan suku yang tinggal dan berkembang di wilayah Medan Baru pada tahun 2010, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
30
Tabel 4. Jumlah Penduduk berdasarkan Etnis/Suku di Kecamatan Medan Baru ETNIS/SUKU
N o
Kelurahan
Batak Toba
Melayu
Karo
Simalungun
Jawa
Dairi
1.
Titi Rantai
1035
120
1815
507
1895
2.
Pd. Bulan
2018
125
1887
303
1290
3.
Merdeka
2512
281
1502
223
2175
1185
4.
Babura
2006
975
2745
135
1650
720
5.
Petisah Hulu
2012
340
1105
242
1100
15
10
6.
Darat JUMLAH
Nias
Mng
Aceh
dll
1287
187
170
210
35
634
360
93
180
53
765
363
1137
28
125
457
664
681
210
112
2955
1120
48
763
212
310
85
25
62
21
667
10703
1889
9815
1722
8420
3936
1472
1355
2334
4423
Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru
Bahwa jumlah penduduk Batak Toba di atas tidak seluruhnya dijadikan sampel sasaran, namun hanya orang-orang yang tergabung dalam lintas jemaat Gereja HKBP yang dijadikan sampel. Tabel 5. Identitas Responden No.
Nama
Umur (th)
Jenis Kelamin
51 67 48
P L P
Pendidikan
1. 2. 3.
S br Sinaga KM Pandiangan IP br Nainggolan
4.
D br Simatupang
70
P
5. 6. 7. 8. 9. 10.
BP Aritonang S Siregar R br Manurung M br Sitorus YA Sirait N br Siahaan
49 49 47 50 62 49
L L P P L P
Sarjana SMA SMEA Sarjana Muda SMP SGA SMA Sarjana SMEA Sarjana S2
11.
IS Simanjuntak
65
L
SMA
12. 13. 14. 15.
C br Sihite JH Bakkara KR br Sihombing S br Manullang
50 52 55 53
P L L P
SMA SMEA SMP SMP
16.
KL Sihotang
72
L
D3
17. 18. 19. 20.
L br Tampubolon T br Sihaloho RS Silalahi BS br Sidabuutar
55 58 60 50
P P L P
SMA SMA D3 Sekolah
Pekerjaan PNS Wiraswasta Ibu RT Pensiunan PNS Supir Guru Ibu RT Guru Wiraswasta Notaris Tidak bekerja Wiraswasta Wiraswasta Ibu RT Pedagang Pensiunan PNS Ibu RT Ibu RT Wiraswasta Bidan
Lama Menetap 30 22 13
Jumlah Anak LakiLaki 2 5 3
Perempuan 2 1 2
34
1
3
20 16 11 18 43 23
5 3 1 3 0 2
2 3 1 3 3 5
27
1
3
12 20 24 12
1 1 2 3
2 1 2 2
32
2
3
18 21 19 17
4 2 2 1
1 2 1 1
Universitas Sumatera Utara
31
21. 22. 23. 24.
RL br Ritonga HB Sitanggang C br Limbong BL Sijabat
46 64 56 58
P L P L
25. 26.
M br Pasaribu SC br Hutauruk
42 59
P P
27.
MN Turnip
70
L
Bidan Sarjana Sarjana D1 SMEA
Dokter Hakim Karyawan Dagang
26 15 23 38
2 2 3 2
1 2 2 3
Ibu RT Ibu RT Pensiunan BUMN Ibu RT Pensiunan Guru
20 12
0 2
1 2
37
1
2
Ibu RT
Tabel 5 Lanjutan
28.
LS br Sidabalok
50
P
SMA SMA Sarjana Muda Sarjana
29.
B Sidabutar
67
L
SPG
30.
IV br Siallagan
55
P
SMA
27
1
4
31
2
2
19
2
3
Keterangan : 1. Responden no. 1-no. 5 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Damai No. 6, Kel. Titi Rantai. 2. Responden no. 6- no. 10 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Jamin Ginting No. 24, Kel. Padang Bulan 3. Responden no. 11- no. 15 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Sei Asahan, No. 63, Kel. Merdeka. 4. Responden no. 16- no. 20 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Sei Mencirim No. 174, Kel. Babura. 5. Responden no. 21- no. 25 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Pabrik Tenun No. 27, Kel. Petisah Hulu. 6. Responden no. 26- no. 30 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Syailendra, Kel. Darat.
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa responden terdiri dari laki-laki berjumlah 13 orang, perempuan berjumlah 17 orang, dimana 6 orang dengan latar belakang pendidikan sarjana, 6 orang sarjana muda/sederajat, 15 orang dengan pendidikan SMA/sederajat, dan 3 orang dengan latar belakang pendidikan SMP.
B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak Toba Masyarakat Batak Toba menganut sistem garis kekerabatan patrilineal (garis keturunan laki-laki). Sistem kekerabatan patrilineal inilah yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak Toba, yang terdiri dari turunan-turunan, marga, dan kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki membentuk kelompok kekerabatan, perempuan menciptakan hubungan besan karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain. Dari garis
Universitas Sumatera Utara
32
keturunan bapak tersebut dikenal kelompok-kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga51merupakan suatu bentuk kelompok yang turun temurun mulai dari satu kakek yang terikat dengan pertalian darah. Menurut Vergouwen bahwa, “marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seseorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal.52 Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil. Marga pada mayarakat Batak Toba sangat penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya.53Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Batak Toba adalah anak laki-laki saja, sebab anak perempuan akan beralih kepada keluarga suaminya bila ia kawin. Garis keturunan dalam masyarakat Batak Toba ditarik berdasarkan dan atau marga yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan sistem kekeluargaan adalah rangkaian kesatuan dari hubungan kekerabatan yang saling terkait satu dengan yang lain serta tersusun secara fungsional. Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba baik berdasarkan pertalian
darah
maupun
karena
hubungan
perkawinan
terkait
dengan
51
Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta, 2005), hal 715, menyebutkan marga adalah kelompok kekerabatan yang unilinear (mengikuti satu garis arah) 52 Vergouwen, Op.cit, hal 9 53 Djaren Saragih, Perkawinan Adat Batak, (Bandung:Tarsito, 1980), hal 9
Universitas Sumatera Utara
33
filsafah“Dalihan Na Tolu” (tiga tungku sejarangan) yang mengandung makna yaitu “somba mar hula-hula”, “elek marboru”, ”manat mar dongan tubu”, artinya ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun kegiatan lainnya di masyarakat Batak.54 Dilihat dari posisi dalihan na tolu terdapat perbedaan struktural dan perbedaan prinsip, akan tetapi melalui peran dalihan na tolu seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Dalihan na tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan, dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak. Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak Toba menempatkan dirinya dalam susunan dalihan na tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan
adanya
hubungan
kekerabatan
di
antara
sesamanya
(martutur/martarombo). Somba mar hula-hula berarti bersikap hormat kepada hulahula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hulahula harus dihormati karena dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.55 Elek marboru berarti bersikap mengasihi atau menyayangi boru/putri dari semarga (yang termasuk kelompok boru adalah pihak keluarga hela, termasuk orang tuanya dan keturunannya, setelah anak perempuan kawin maka ia akan ikut dengan marga suaminya.56 Mangat mar dongan
54
JP. Sitanggang, Batak Namarserak, Maradat Adat Naniadathon, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hal 118 55 Ibid, hal 121 56 Ibid, hal 123
Universitas Sumatera Utara
34
tubu berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat.57 Dalihan na tolu merupakan suatu kerangka yang sangat baik, bagaimana orang Batak Toba berinteraksi dengan lingkungannya, kaya dengan sistem nilai yang baik dan dapat bertahan sepanjang zaman, karena nilai yang terkandung didalamnya bersifat universal dengan nilai-nilai religius yang sangat mendalam.58 Dalihan na tolu yang terdiri dari tiga unsur kelompok yang satu dengan yang lainnya memegang peranan sangat penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat Batak Toba seperti dalam pelaksanaan pesta perkawinan, perceraian, pembagian harta warisan, dan lain-lain,59 karena kelompok dalihan na tolu yang akan selalu dilibatkan dan dimintai pendapat dalam peristiwa-peristiwa tersebut di atas. C. Sistem Pewarisan Masyarakat Batak Toba Sistem pewarisan sangat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan setempat, di tanah Batak terdapat struktur kemasyarakatan yang berdasarkan hubungan darah yang ditarik melalui garis keturunan laki-laki, sehingga yang berhak meneruskan garis keturunan hanyalah anak/keturunan lelaki. Sehingga kedudukan anak laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan anak perempuan di dalam pewarisan.60
57
Ibid, hal 122 Wawancara dengan B. Hutagaol, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, 9 Mei 2014, pukul 11.30 WIB 59 Ibid 60 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 24 58
Universitas Sumatera Utara
35
Adapun sistem pewarisan dalam hukum adat Batak Toba yaitu : 61 1. Sistem pewarisan individual Di tanah Batak pada umumnya berlaku sistem pewarisan individual ini, yaitu harta warisan terbagi-bagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Salah satu kelebihan sistem pewarisan ini adalah dengan adanya pembagian terhadap harta warisan kepada masing-masing ahli waris maka mereka bebas untuk menentukan kehendaknya terhadap bagian warisan itu. 2. Sistem pewarisan mayorat laki-laki Selain pewarisan individual ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan sistem pewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa harta warisan seluruhnya dikuasai dan dipelihara oleh anak laki-laki sulung. 3. Sistem pewarisan minorat laki-laki Selain anak sulung, anak bungsu laki-laki juga dapat diberi kepercayaan untuk menguasai dan memelihara harta warisan peninggalan orang tuanya, misalnya ia yang paling lama tinggal di rumah warisan orang tuanya, dengan demikian ia merupakan orang yang menjaga dan dan memelihara rumah warisan tersebut. Sistem pewarisan pada masyarakat Batak berdasarkan pada masyarakat yang unilateral-patrilineal62sehingga pada masyarakat Batak Toba laki-laki mempunyai kedudukan paling penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga, karena laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya.63 1.
Harta dalam Perkawinan Adat Batak Toba Pada masyarakat Batak Toba dikenal adanya pemberian harta kekayaan
orangtua kepada anaknya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Harta kekayaan yang diberikan orangtua dapat berasal dari harta bawaan yang dibawa orangtua laki-laki atau perempuan sebelum melangsungkan perkawinan maupun harta 61
Ibid, hal 15-16 Djaren Saragih, Op.cit, hal 16 artinya bahwa setiap anak yang lahir laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mengikuti clan ayah, dan yang dapat meneruskan marga dan silsilah seorang ayah adalah anak laki-laki. 63 Ibid, hal 17 62
Universitas Sumatera Utara
36
yang diperoleh selama menikah. Harta kekayaan tersebut dapat berupa sawah dan ladang (hauma), kebun (porlak), rumah (bagas), emas, uang (hepeng) dan binatang peliharaan (pinahan).64 Dilihat dari sumbernya, maka harta kekayaan ini bersumber dari:65 a. Harta kekayaan yang dibawa oleh masing-masing pihak. Harta kekayaan yang dibawa oleh masing-masing pihak ini terdiri dari: 1) Harta yang diperoleh pihak laki-laki dari orangtuanya sendiri sebagai modal panjaean. Pada saat laki-laki berpisah rumah dengan orangtuanya maka biasanya orangtua itu memberi modal pertama, agar mereka dapat berdiri sendiri. Karena pada permulaan rumah tangga baru itu biasanya belum mempunyai peralatan-peralatan rumah tangga. Walaupun ada orangtua yang tidak sampai hati memberikan sedikit sebagai modal manjae bagi anaknya sendiri. 2) Harta kekayaan yang dibawa oleh si wanita yang merupakan pemberian dari ayahnya yang disebut pauseang. Biasanya si wanita yang mau kawin membawa barang dari keluarganya, berupa barang-barang keperluan rumah tangga, barang-barang perhiasan emas, dan kadang-kadang sawah. Selain pemberian moral pauseang, terdapat pula beberapa jenis pemberian orangtua lain kepada anak perempuan, yaitu sebagai berikut :66 a) Indahan arian adalah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuan yang sudah melangsungkan perkawinan yang dilakukan apabila telah lahir anak dari perkawinan tersebut. Indahan arian dasarnya adalah pemberian seorang kakek kepada cucunya yang telah lahir melalui ibunya. b) Batu ni assimun, yaitu berupa hewan piaraan dan emas yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak. Jadi seolah-olah hadiah bagi cucunya. c) Dondon Tua adalah pemberian berupa sawah oleh seorang ayah kepada perempuannya untuk kemudian dapat diberikan kepada cucunya apabila telah dia meninggal dunia.
64
Ibid, hal 82 Ibid 66 Ibid, hal 84 65
Universitas Sumatera Utara
37
d) Punsutali adalah pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuan tersebut apabila ayahnya meninggal dunia. b. Harta yang diperoleh bersama selama perkawinan. Harta ini mereka dapat pada umumnya setelah mereka manjae. Harta kekayaan ini terdiri dari:67 1). Harta yang didapatkan atas hasil jerih payah suami istri berdua. Pengadaan harta ini dengan sendirinya tergantung dari keuletan dan kerajinan mereka berdua selama perkawinan. Seandainya mereka bekerja dengan rajin dan ulet, maka harta ini akan terkumpul lebih banyak. 2). Harta yang diperoleh dari keluarga masing-masing, selama perkawinan berjalan. Ada kemungkinan ayah si laki-laki itu pada waktu manjae baru memberikan sebagian. Kemudian setelah beberapa lama mereka manjae ayah si laki-laki itu memberikan sebagian lagi. Di samping itu ada kemungkinan seorang laki-laki menerima bagian warisan yang menjadi haknya, baik dari keluarganya, maupun dari ayahnya sendiri. Demikianlah harta yang diterima oleh kedua suami istri itu, sejak mereka manjae, dan sepanjang perjalanan perkawinan mereka. Semua harta ini akan dipergunakan sebagai modal keluarga untuk kelangsungan hidup mereka beserta keturunannya. 2. Subyek dan Obyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba Yang merupakan subyek hukum dalam hukum waris adat Batak Toba adalah:68 a. Pewaris Orang atau subyek yang berkedudukan sebagai pemilik harta kekayaan yang meneruskan/mewariskan harta peninggalannya ketika ia masih hidup atau 67
Hasil wawancara dengan B.Butar-Butar, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, tanggal 17 Mei 2014, pukul 14.00 WIB 68 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal 152
Universitas Sumatera Utara
38
ketika ia sudah meninggal dunia. Pada suku Batak yang bersistem kekerabatan Patrilineal maka biasanya yang disebut pewaris adalah pihak laki-laki. b. Ahli Waris Ahli waris utama yang berlaku di tanah Batak adalah anak laki-laki, meskipun harta benda yang telah dibawakan kepada anak-anak perempuan tidak boleh diabaikan. Menurut asas hukum waris adat Batak Toba, bahwa yang berhak atas warisan seorang ayah hanyalah anak laki-laki, hal ini dapat diperlunak dengan pembekalan tanah pertanian atau ternak si ayah kepada anak perempuannya yang tidak kawin atau yang akan kawin, serta pemberian kepada keturunan sulung dari anak perempuannya seperti yang telah dijelaskan di atas. Biasanya yang menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya adalah anak kandung, atau dapat juga anak angkat sah yang telah diakui secara adat. Sedangkan yang merupakan obyek dalam hukum waris adat Batak adalah harta warisan, yaitu semua harta warisan yang dimiliki oleh si pewaris yang diteruskan semasa hidupnya atau yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia; dapat diteruskan dalam keadaan tidak terbagi-bagi maupun dalam keadaan terbagi-bagi. Jenis-jenis harta warisan tersebut antara lain harta bawaan, harta pencaharian, maupun hutang-hutang si pewaris.69 Adapun proses pembagian warisan dalam hukum adat Batak Toba yaitu :70 a. Pada waktu pewaris masih hidup Seperti telah diuraikan bab di atas bahwa umumnya yang menjadi ahli waris adalah hanya anak laki-laki saja, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa anak perempuan tidak mendapat apapun dari harta kekayaan ayahnya. Sudah menjadi kebiasaan untuk memberikan hadiah/pauseang kepada anak perempuan yang sudah menikah atau akan menikah ketika pewaris (ayah) masih hidup. b. Pada waktu pewaris telah meninggal dunia Pada masyarakat kekerabatan patrilineal istri masuk kekerabatan suaminya dan tetap merupakan anggota keluarga pihak suami, apabila pewaris wafat 69
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal 302 70 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hal 109
Universitas Sumatera Utara
39
meninggalkan istri dan anak-anak maka harta warisan terutama harta bersama suami istri yang di dapat sebagai harta pencaharian dapat dikuasai oleh janda dan dapat menikmatinya selama hidupnya untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan hidup anak-anaknya. D. Penyebab Timbulnya Sengketa Warisan Secara harafiah hukum waris berarti hukum mengenai harta benda peninggalan orang mati.71 Keturunan dalam hukum waris adat Batak tradisional adalah anak laki-laki maka merekalah yang menjadi ahli waris. Anak perempuan bukan ahli waris dari yang meninggal, mereka tidak bertanggung jawab atas hutangnya, walaupun mereka perempuan dapat meminta sesuatu barang dari peninggalan ayahnya secara baik-baik kepada ahli waris laki-laki, dan mereka harus menyetujui permintaan itu.72 Dari kedudukan anak perempuan dalam hukum perkawinaan Adat Batak Toba, maka anak perempuan tidak berhak mewaris harta kekayaan ayahnya bila ia sudah kawin dan tinggal di rumah tangganya. Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Batak Toba menyebabkan rasa ketidakadilan bagi anak perempuan karena dalam hukum adat Batak Toba tidak menjadikan anak perempuan menjadi ahli waris sehingga menimbulkan kesadaran mengenai hak yang melahirkan gugatan untuk merubah
71
Vergouwen membedakan hukum waris secara jelas menjadi 3 bagian pokok, yaitu: hak menggantikan menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki; pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki-laki yang sejajar; pembagian untuk anak perempuan (diturunkan dari leluhur yang sama tetapi dalam alur yang berlain-lainan) 72 Hasil wawancara dengan T. B Situmorang, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, tanggal 17 Mei 2014, pukul 17.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
40
posisi karena merasa dilahirkan dari perut yang ibu yang sama yang tanpa disadari telah menjadi gerakan yang kolektif .73 Menurut B. Hutagaol “timbulnya sengketa dalam harta warisan di Kecamatan Medan Baru pertama, disebabkan karena adanya ketidakadilan dalam pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, maka seharusnya pembagian harta warisan adalah adil dan sama rata antara masing-masing anak berdasarkan haknya di samping itu perkembangan zaman yang menuntut persamaan kedudukan dalam hak dan kewajiban antara anak laki-laki dan anak perempuan. Alasan yang kedua, anak perempuan menuntut haknya sebagai anak, yang sering terjadi ketika orang tua sakit dan pada usia yang sudah tua maka yang mengurus orang tua dalam keadaan tersebut kebanyakan anak perempuan. Anak perempuan lebih banyak meluangkan waktunya dalam mengurus orang tua, bahkan dalam membiayai kehidupan orangtuanya, karena itulah anak perempuan menuntut haknya yang sama dengan anak laki-laki.”74 Keberanian anak perempuan dalam memperjuangkan haknya yang sama dengan anak laki-laki didukung pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (1) bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib
menjunjung hukum
dan
pemerintahan
itu
dengan
tidak
ada
kecualinya.”75Hal tersebut diatas menjadi salah satu faktor yang mendorong keberanian anak perempuan dalam menuntut keadilan untuk haknya dalam pewarisan. Banyak sengketa yang terjadi di dalam masyarakat Batak Toba, adapun jenisjenis sengketa tersebut adalah :76 1. Sengketa di bidang hubungan kekeluargaan a. Sengketa di bidang warisan (biasanya terjadi setelah Pewaris wafat) 73
J.C. Vergouwen, Op.cit, hal 386 Wawancara dengan B. Hutagaol, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, 9 Mei 2014, pukul 11.30 WIB 75 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 76 JP. Sitanggang, Op.cit, hal 19 74
Universitas Sumatera Utara
41
b. Sengketa di bidang perkawinan dan perceraian c. Sengketa atau perselisihan suami istri 2. Sengketa di bidang hubungan kemasyarakatan a. Sengketa tanah b. Sengketa adat (karena masalah adat tidak sesuai dengan pelaksanaannya dalam suatu acara adat tertentu, sehingga ada pihak yang merasa dirugikan) c. Sengketa pasangan muda mudi kawin lari d. Sengketa karena pelanggaran asusila Namun sesuai dengan judul penelitian maka yang akan lebih banyak dibahas di bab selanjutnya adalah sengketa di bidang warisan. E. Para Pihak yang Ada dalam Sengketa Warisan Dalam proses penyelesaian sengketa warisan Batak Toba, maka para pihak yanga dalam sengketa warisan adalah pihak perempuan,77 pihak lawan sengketa,78 dan hakim (hakim adat dan hakim negara). Pihak perempuan yang bersengketa dapat dikategorikan yaitu:79 1. Pihak perempuan berhadapan dengan institusi hukum adat, tetapi karena putusan adat dirasa tidak mendatangkan keadilan, maka ia mengadakan tuntutan ke pengadilan. Artinya, mula-mula perempuan menggunakan hukum adat, namun kemudian menyatakan menolak meneruskan diri kepada hukum adat dan sepenuhnya menundukkan diri kepada hukum negara. 2. Pihak perempuan di pengadilan negara menyatakan tunduk pada sebagian hukum adat, yang menyatakan bahwa peresapan tidak berhak terhadap harta pusaka. Namun berargumentasi bahwa yang diperebutkannya adalah harta perkawinan, bukan harta pusaka. Dengan demikian perempuan menundukkan diri sebagian pada hukum adat dan sebagian pada hukum negara.
77
Sulistyowati Irianto, Op.cit, hal 212, yang dimaksud pihak perempuan adalah mereka yang berkedudukan sebagai anak perempuan atau janda beserta keluarganya. Namun bisa saja pihak perempuan di sini adalah suaminya atau anaknya yang laki-laki, di mana si istri telah meninggal, maka yang meneruskan perkara adalah suaminya. 78 Ibid, Pihak lawan sengketa tidak selalu berarti laki-laki saja, meskipun kebanyakan adalah demikian. Dapat juga pihak laki-laki di sini adalah termasuk istrinya. 79 Ibid, hal 212-213
Universitas Sumatera Utara
42
3. Pihak perempuan menundukkan diri sepenuhnya kepada hukum negara, yaitu ketika ia memang harus siap melayani gugatan terhadap dirinya di pengadilan negara. 4. Pihak perempuan tidak (mampu) membawa sengketa ke pengadilan, tetapi ia tunduk sebagian kepada hukum negara secara terbatas, yaitu ketika misalnya ia mengurus surat-surat sertifikat harta perkawinan, atau pergi kepada hakim untuk minta legalisasi bahwa dia adalah ahli waris suaminya. 5. Pihak perempuan tidak (mampu) membawa sengketa ke pengadilan negara, tetapi ia juga tidak mau menyelesaikan sengketa secara adat, yaitu ketika lawan sengketa menawarkan besarnya pembagian harta waris yang dirasakan tidak adil. Pihak lawan sengketa yang pada umumnya adalah laki-laki menginginkan menggunakan hukum adat, yang berisi pembatasan-pembatasan terhadap perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Argumentasi untuk menggunakan hukum adat dapat terjadi di pengadilan negara, maupun di luar pengadilan (penyelesaian adat).80 Artinya pada umumnya pihak laki-laki menginginkan untuk sepenuhnya tunduk pada hukum adat. Pola-polanya adalah sebagai berikut:81 1. Pihak laki-laki menyatakan menundukkan diri kepada hukum negara ketika ia (mereka) menggugat perempuan ke pengadilan negara, atau melayani gugatan perempuan di pengadilan negara. 2. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada yang menolak menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika menolak diberlakukannya vonis pengadilan yang menghasilkan yurisprudensi, yang justru memberi hak mewaris kepada perempuan. Dalam hal ini pihak laki-laki mendasarkan argumentasinya pada substansi adat. Artinya pihak laki-laki, meskipun "berada" di pengadilan negara, tunduk sebagian, saja pada hukum negara, dan tunduk sebagian pada hukum adat. 3. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada juga yang menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika mengacu pada vonis pengadilan yang tidak memberi hak mewaris kepada perempuan. Vonis ini dijatuhkan berdasarkan aman kepada hukum adat. Artinya pihak laki-laki sebesarnya tunduk pada hukum adat yang "dikemas" oleh hukum negara.
80 81
Ibid Ibid, hal 213-214
Universitas Sumatera Utara
43
Hakim adalah pihak yang menyelesaikan suatu perkara dengan keputusannya maka hakim dalam penyelesaian perkara sengketa sesuai institusinya dibedakan atas yaitu :82 1. Hakim adat Putusan hakim adat bervariasi, yaitu (a) memutuskan perkara berdasarkan ketentuan adat lama yang tidak memberi waris (terutama harta pusaka) kepada perempuan, (b) memperlunak ketentuan tersebut dengan memberi hak kelola (bukan hak milik) kepada anak perempuan. 2. Hakim Negara: Hakim-hakim negara di tiga tingkat Peradilan Negara (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) memutuskan perkara secara bervariasi pula. Variasi dari putusan hakim negara adalah: 1. Memberi kemenangan kepada perempuan dengan cara (a) mengabaikan hukum adat, (b) mengadopsi perkembangan hukum adat yang “baru” yang lebih emansipatip terhadap perempuan, artinya membuat rumusan putusan yang baru, atau (c) mengacu pada yurisprudensi sebelumnya yang memberi hak mewaris kepada perempuan. 2. Hakim menjatuhkan putusan yang mengakibatkan kekalahan bagi perempuan melalui diacunya ketentuan adat lama yang tidak memberi hak waris kepada perempuan. 3. Menjatuhkan putusan dengan cara memberi win-win solution kepada para pihak, artinya perempuan dimenangkan sebagian atau tuntutannya dipenuhi sebagian dengan cara mengadopsi perkembangan hukum adat yang "baru". F. Penyelesaian Sengketa Harta Warisan 1. Penyelesaian di Luar Pengadilan a. Marhata (Musyawarah Keluarga) Marhata pada masyarakat Batak Toba sebagai suatu institusi adat bisa diselenggarakan kapan saja, ketika ada peristiwa penting dalam kehidupan seorang Batak yang menyangkut keluarga termasuk bila terdapat perselisihan atau sengketa.
82
Ibid, hal 214
Universitas Sumatera Utara
44
Dalam pelaksanaan pembagian warisan, sering terjadi perselisihan atau sengketa. Biasanya terjadi karena ada pihak keluarga yang merasa tidak puas atas bagiannya terhadap harta warisan yang dibagi, atau bahkan karena ia tidak mendapat bagian. Perselisihan tersebut dapat menyebabkan konflik di antara anggota keluarga tersebut, dan umumnya konflik yang terjadi adalah karena anak perempuan tidak mendapat bagian warisan. Biasanya sengketa tersebut diselesaikan terlebih dahulu dengan cara marhata (musyawarah antar anggota keluarga), yang dipimpin oleh orang yang dituakan dalam keluarga, misalnya paman (tulang), anak laki-laki sulung yang dituakan, atau saudara/kerabat dari pihak ayah. Aturan dan prosedur dalam marhata adalah sangat formal, karena dilakukan dengan tutur bahasa yang halus, dan ada prosedur mengenai siapa saja yang mempunyai hak untuk berbicara, hak untuk berbicara terlebih dahulu, dan menjadi jura bicara. Orang-orang yang tergabung dalam satuan upacara marhata, adalah orang-orang yang berada dalam satuan Dalihan Na Tolu, yaitu yang mempunyai hak bicara pertama ada pada boru (kelompok pemberi anak perempuan), kedua dongan tubu (teman selahir, kelompok kerabat baik dari hula-hula maupun boru, tetapi yang asal-usulnya masih dapat ditelusuri secara jelas dihitung dari garis laki-laki), ketiga hula-hula (kelompok penerima perempuan); dan keempat (bila ada) dongan sa huta (teman se kampung) dalam musyawarah tersebut tulang (dalam kelompok boru)
Universitas Sumatera Utara
45
mempunyai kedudukan yang istimewa, karena ia yang berhak memutuskan, sekaligus menutup marhata.83 Dari kasus waris yang sedikit yang diselesaikan dengan cara marhata (musyawarah), kasus yang ada di Kecamatan Medan Baru adalah : Kasus I D boru Simatupang salah satu responden yang menyatakan bahwa setelah suaminya P. Pardede meninggal, maka beliau menetapkan bahwa rumah yang ditinggalkan suaminya boleh dijual setelah beliau meninggal dunia, tetapi harta yang lainnya dibagi secara rata diantara semua anak-anaknya, termasuk harta leluhur suaminya yaitu sebuah rumah yang berada di jalan Sei Putih, Medan Baru. Keputusannya ini dirembukkan secara marhata diantara seluruh anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan yang juga disaksikan saudara-saudara terdekatnya. Beliau merasa pembagian yang sama rata itu berdasarkan perekonomian anakanaknya. Karena anaknya yang perempuan, walaupun telah bersuami namun kehidupan ekonominya masih kurang sedangkan anak laki-lakinya cukup mapan bahkan masing-masing telah memiliki rumah sendiri dari hasil pencahariannya. Dan akhirnya keputusan D boru Simatupang disetujui kedua anak laki-lakinya yaitu mereka mau membagi harta warisan dengan sama rata bahkan mereka membuat surat pernyataan persetujuan mereka. Kasus II
83
Hasil wawancara dengan B. Butar-Butar, Ketua Adat Batak Toba di Kecamatan Medan Baru, tanggal 17 Mei 2014, pukul 14.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
46
R boru Manurung adalah anak perempuan satu-satunya dari almarhum P. Manurung, almarhum memiliki tujuh saudara laki-laki. Pada saat P. Manurung meninggal salah satu dari saudara laki-laki almarhum menuntut harta warisan bagian mereka sebagai saudara laki-laki. Akhirnya setelah upacara adat kematian masalah tersebut diselesaikan secara marhata dengan disaksikan seluruh saudara laki-laki almarhum dan saudara terdekat lainnya begitu juga ada ayah dan ibu almarhum. Hasil keputusan dari marhata itu enam dari saudara laki-laki almarhum menyetujui keputusan dari marhata dan menyatakan bahwa R boru Manurung lebih berhak atas seluruh dari harta almarhum ayahnya karena harta itu adalah harta pencaharian ayahnya yang secara otomatis adalah haknya dan seharusnya mereka mempunyai kewajiban melindungi R boru Manurung bukan malah sebaliknya. Akhirnya keputusanya R Manurung berhak atas harta alamarhum sepenuhnya dan salah satu dari saudaranya yang tidak setuju tersebut harus dapat menerima keputusan itu. Kasus III C boru Sihite adalah salah satu responden yang menceritakan kasusnya yaitu, ayahnya P Sihite memiliki tiga orang anak perempuan, sebelum beliau meninggal dunia, pada saat sakit ternyata beliau telah berpesan kepada istrinya K boru Tobing yang disaksikan oleh ketua adat agar kelak membagi semua hartanya yaitu tiga rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru, dua rumah yang ada di kecamatan Medan Perjuangan dan harta leluhurnya yang ada di Medan yaitu sebidang tanah dan kebun di daerah Dolok Sanggul, maka seluruh harta tersebut dibagi semuanya kepada anak perempuannya begitu juga harta leluhur ayahnya. Maka setelah P Sihite meninggal, isterinya K boru Tobing menyampaikan amanah suaminya tersebut kepada saudara-
Universitas Sumatera Utara
47
saudaranya baik itu saudara suaminya maupun saudaranya dalam marhata. Tetapi JR Sihite (anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum) merasa keberatan, karena harta leluhur yang dimiliki P Sihite semunya dibagi kepada ketiga anak perempuannya, apalagi selama ini kebun tersebut dikelolah oleh JR Sihite. Maka akhirnya hasil dari putusan marhata tanpa melanggar amanah dari almarhum dan kerelaan hati C Sihite dan kedua saudara perempuannya dengan menghargai usaha JR Sihite selama ini dalam mengelolah kebun tersebut. Maka hasil dari penyelesaian masalah ini semua sepakat bahwa kebun leluhur tidak dapat diperjual belikan dan tetap dikelolah terus dan hasilnya dibagi dua antara JR Sihite dan C boru sihite bersama kedua saudara perempuannya. Dari contoh kasus di atas bahwa marhata atau musyawarah merupakan institusi alternatif yang paling dekat bagi seorang Batak dalam membicarakan berbagai hal yang menyangkut masalah keluarga khususnya sengketa waris. b. Lembaga Adat Lembaga adat dalihan na tolu sebagai suatu lembaga musyawarah mufakat adat Batak yang mengikutsertakan para penatua/ketua adat yang benar-benar memahami, menguasai, dan menghayati adat istiadat Batak Toba. Jika dalam proses marhata (musyawarah keluarga) dilakukan dengan kerabat keluarga, dan apabila tidak ada kesepakatan penyelesaian maka perkara dapat dibawa ke lembaga adat guna diselesaikan oleh para ketua adat. Keberadaan lembaga hukum adat Batak yang ada di kecamatan Medan Baru memiliki peranan yang sangat strategis dalam penyelesaian sengketa hukum yang
Universitas Sumatera Utara
48
terjadi khususnya dalam perkara perdata waris dimana dalam beberapa kasus yang terjadi. Hukum adat yang dijalankan oleh lembaga adat merupakan perwujudan nilainilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat, oleh karena itu hukum adat -baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis sebagai sentral seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya disamping itu pula berguna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik, yakni Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri. Dari kasus waris yang sedikit yang di bawa ke lembaga adat, kasus yang ada di Kecamatan Medan Baru adalah : Kasus I N boru Siahaan yaitu salah satu responden hanya mempunyai seorang kakak wanita dan tidak mempunyai saudara laki-laki. Ibunya K boru Simatupang menikah dengan bapaknya M. Siahaan pada tahun 1960. Keluarga ini merantau ke Medan dan tinggal di daerah Kecamatan Medan Baru. Bapak M. Siahaan sebagai anak laki-laki terkecil dalam keluarga ompung/kakek mereka berhak atas warisan sawah di Dolok Sanggul. Pada Tahun 2000 Bapak M. Siahaan meninggal dunia dan meninggalkan warisan berupa sawah di Dolok Sanggul, rumah di Kecamatan Medan Baru dan Tanah di daerah Deli Serdang. Menurut kesepakatan mereka rumah yang di Kecamatan Medan Baru dan tanah yang ada di Deli Serdang dijual setelah ibunya meninggal dunia, sedangkan sawah yang ada di daerah Dolok Sanggul yang
Universitas Sumatera Utara
49
merupakan warisan ompung mereka kepada ayahnya dibiarkan dikuasai oleh anak laki-laki dari amangtuanya (saudara laki-laki bapak mereka). Namun setelah ibunya meninggal, anak laki-laki dari amangtuanya juga meminta haknya/bagiannya pada rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru dan tanah yang ada di Deli Serdang yang akan dijual oleh mereka, dengan alasan mereka tidak memiliki saudara laki-laki dan haknya ada juga, dan dia mengetahui bahwa riwayat tanah yang dibeli di Deli Serdang yaitu ada sebelum pernikahan Bapak M. Siahaan dengan K Boru Simatupang. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan cara marhata (musyawarah), karena N boru Siahaan dan kakaknya tidak menyetujui hasil putusan marhata. Pada akhirnya penyelesaiannya dibawa ke lembaga adat, hasilnya kedua anak perempuan tersebut berhak atas rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru begitu juga dengan tanah yang ada di Deli Serdang, sedangkan sawah yang ada di Dolok Sanggul diberikan kepada anak laki-laki amangtuanya selain merupakan warisan leluhur di samping itu jika ditaksir harganya sudah lebih besar nilai nominalnya daripada tanah yang ada di Deli Serdang dan rumah di Medan Baru. Kasus II Responden L Boru Tampubolon mempunyai empat orang anak. Beliau membagi harta warisan yang ditinggalkan suaminya baik harta pencaharian maupun harta leluhur suaminya dibaginya sama rata, tetapi seorang anak laki-lakinya merasa keberatan atas putusan L Boru Tampubolon dan meminta warisan leluhur ayahnya yang ada di daerah Balige dibagi sama rata antara dia dan seorang saudara lakilakinya, karena menurutnya yang berhak atas harta leluhur adalah anak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
50
Masalah ini akhirnya diselesaikan melalui lembaga adat, pada saat dikumpulkan punguan marga, malahan salah satu saudara laki-lakinya tidak mendukung keingginan saudara laki-lakinya yang merasa keberatan. Saudara laki-lakinya tersebut justru mendukung putusan ibunya bahwasannya seluruh harta dibagi sama rata dengan saudara perempuannya. Namun kedua saudara perempuannya menyatakan tidak mempermasalahkan jika yang dipermasalahkan harta warisan dari kakeknya yang terletak di daerah asal menerima dengan hukum adat Batak Toba yang melandasinya maka punguan marga memutuskan bahwasanya harta warisan yang dituntut salah satu saudara laki-lakinya yang memang merupakan harta leluhur ayahnya diwariskan kepada kedua saudara laki-lakinya sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba. Kasus III M boru Pasaribu, adalah anak dari Bapak T. Pasaribu, dimana Bapak T. Pasaribu telah meninggal dunia sebelum ayahnya W. Pasaribu. Sebelum W. Pasaribu meninggal ternyata beliau telah membuat surat wasiat untuk membagi seluruh hartanya dengan sama rata untuk seluruh anak-anaknya bahkan cucu-cucu dari almarhum anak-anaknya, tanpa pengecualian perempuan maupun laki-laki. Pada saat W. Pasaribu meninggal dunia maka setelah acara adat kematian, wasiatpun dibacakan, namun dua orang anak laki-laki W. Pasaribu keberatan dengan surat wasiat yang dibuat W. Pasaribu tersebut. Ketika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara marhata dan diselesaikan oleh punguan marga, karena para tetua adat yang ada di Kecamatan Medan Baru juga berpendapat bahwa anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
51
itu punya hak atas harta ayahnya, apalagi adanya surat wasiat itu telah memperkuat suatu putusan, maka hasilnya M. boru Pasaribu juga berhak atas harta yang ditinggalkan kakeknya W. Pasaribu. Dalam kasus tersebut di atas keberadaan lembaga adat sebagai suatu institusi adat yang diakui dapat ditempuh bila diperlukan, dimana ini untuk mengantisipasi terjadinya suatu sengketa waris dalam keluarga. 2.
Penyelesaian di Pengadilan Jika
sengketa
pembagian
warisan
tidak
dapat
diselesaikan
secara
marhata/musyawarah keluarga maupun oleh lembaga adat, maka para pihak kemudian dapat mengajukan gugatan sengketa pembagian warisan ke pengadilan. Yang paling sering membawa sengketa ke pengadilan biasanya adalah janda maupun anak perempuan masyarakat Batak Toba. Perlawanan yang dilakukan bukan merupakan konfrontasi langsung, karena mereka memahami lemahnya kedudukan mereka, namun konfrontasi akan menjadi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting. Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke pengadilan negara dengan alasan dan latar belakang yang berbeda. Janda baru membawa sengketa ke pengadilan sebagai pilihan terakhir, sedangkan dibawanya sengketa ke pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan karena pilihan (choice). Oleh karena itu lebih banyak anak perempuan bersengketa di pengadilan negara
Universitas Sumatera Utara
52
daripada janda.84 Dalam penyelesaian sengketa lewat proses di dalam pengadilan ini biasanya jarang ditemukan perdamaian antara para pihak. Putusan yang ada biasanya berupa putusan kalah atau menang. Bila di Pengadilan tingkat pertama salah satu pihak ternyata kalah, maka terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding bagi pihak yang kalah tersebut apabila ternyata ia tidak menerima putusan tersebut. Begitu seterusnya hingga pada pengadilan tingkat akhir yaitu di Mahkamah Agung.85 Akibatnya proses tersebut benar-benar menghabiskan waktu, menguras tenaga dan biaya serta melelahkan para pihak. Bahkan penyelesaian sengketa tersebut dapat terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, sementara di lain sisi hubungan para pihak yang bersengketa terus memburuk, merenggang bahkan dapat bermusuhan. Dan dalam banyak kasus, biasanya sengketa tersebut menjadi semakin rumit dan akhirnya para pihak menjadi saling bermusuhan, dan permusuhan tersebut berlanjut terus bahkan hingga beberapa garis keturunan selanjutnya.86 Pada umumnya masyarakat menghindari cara penyelesaian sengketa melalui Pengadilan ini, selain rasa malu, mereka menjadikan lembaga pengadilan sebagai upaya terakhir bila dirasakan seluruh cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mereka tempuh mengalami jalan buntu, karena selain caranya yang rumit, juga memakan waktu yang lama.
84
Sulistyowati Irianto, Op.cit, hal 300 Hasil wawancara dengan Serliwaty, Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada tanggal 5 Juni 2014, pukul 08.30 WIB 86 Ibid 85
Universitas Sumatera Utara
53
Menurut Keebet von Benda-Beckham “They are less familiar with the way courts work The ideal of an impartial judge is familiar, although they also know that many judges are not all neutral. They complain that judges tend to be partial to the highest bidder. In general, it is fair to say that going to court is a gambling game for villagers”.87Pergi tidaknya seseorang ke pengadilan akan tergantung pada perhitungan untung rugi atau berupa kepentingan-kepentingan yang disebut Friedman sebagai sub-legal culture, dengan demikian tidaklah relevan lagi untuk mengatakan bahwa pada masyarakat yang hubungan-hubungan diantara sesama anggotanya bersifat multiplex (many stranded relationship), orang cenderung pergi ke peradilan rakyat, sementara itu masyarakat yang sifat hubungannya simplex(single stranded relationship), orang cenderung berurusan dengan peradilan Negara.88 Para pihak yang bersengketa biasanya pada akhirnya akan menjadi bermusuhan karena putusan pengadilan tidak lagi ke arah perundingan atau perdamaian dan sering pula putusan pengadilan tersebut dirasakan memberatkan bagi salah satu pihak yaitu bagi pihak yang kalah atau dirugikan, sehingga sangat tertutup adanya kemungkinan untuk berdamai kembali setelahnya. Pengadilan merupakan upaya terakhir yang ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Namun untuk dapat memahami mengapa orang memilih lembaga hukum negara dalam menyelesaikan sengketanya, dapat dilihat beberapa perbedaan karakteristik dari peradilan negara dan lembaga adat berdasarkan sumber pengaturan, ruang
lingkup
operasi,
potensi
sumberdaya
yang
digunakan
untuk
penyelenggaraanya, dan tujuan akhirnya. Peradilan negara didasari oleh seperangkat aturan yang seragam, berlaku untuk semua orang dalam ruang lingkup yang luas,
87 Keebet von Benda-Beckmann, Evidence and legal Reasoning in Minangkabau, dalam K, Benda Beckmann dan F.Strijbosch, Antropology of law in the Netherlands, (Dordrecht:Forist Publication, 1986), hal 141 88 Sulistyowati Irianto, Perempuan dalam Berbagai Pilihan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 119-120
Universitas Sumatera Utara
54
yaitu wilayah negara, dijalankan oleh aparat hukum dalam birokrasi negara.89 Cakupannya luas dan tujuan akhirnya adalah ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah (win-lose solution), karena substansi hukum lebih dipentingkan daripada prosedur. Sebaliknya berdasarkan sumber pengaturan, lembaga adat (musyawarah adat), dilandasi oleh law ways (cara berhukum) masyarakat lokal. Nilai-nilai adat, agama, dan kebiasaan-kebiasaan lain sarat terkandung dalam hukum adat. Hakim tidak boleh mengadili hanya menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia tunduk kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat.90Hakim terikat kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma hukum yang tidak tertulis. Pada saat penetapan itu suatu peraturan adat tingkah laku mendapat sifat hukum.91Penetapanpenetapan (putusan) para petugas hukum secara formal mengandung peraturan hukum, akan tetapi kekuatan materiil dari peraturan-peraturan hukum itu tidak sama. Apabila penetapan (putusan) itu di dalam kenyataan sosial sehari-hari dipatuhi oleh masyarakat, maka kekuatan materiil penetapan itu nyata. Sebaliknya suatu penetapan yang tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat meskipun secara formal mengandung peraturan hukum, kekuatan materiilnya adalah nihil.
89
Ibid, hal 123 R. Soepomo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 44 91 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajarah Tata Hukum Indonesia Bagian I, (Jakarta: Press Media, 1987), hal 42 90
Universitas Sumatera Utara
55
Contoh kasus yang diselesaikan melalui jalur pengadilan yaitu masalah waris keluarga penguasa TD Pardede yang berlarut-larut, meskipun telah ditempuh cara musyawarah keluarga dan lembaga adat namun tidak membuahkan hasil. Pihak-pihak yang merasa tidak puas membawa permasalahan ini ke tingkat pengadilan negara. Hasil penyelesaian di pengadilan adalah harta warisan yang ada di Medan dan Jakarta dibagi sama rata antara anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki (sedangkan harta yang di kampung dibiarkan atau tidak dibicarakan). Setelah putusan pengadilan keluar, maka agar putusan tersebut diakui oleh seluruh pihak dan keluarga, adat turut mensahkan putusan itu melalui punguan. Dalam kasus ini hukum negara yang dikeluarkan melalui pengadilan ternyata masih membutuhkan legitimasi institusi adat. Pentingnya legitimasi dari punguan (adat) bagi seorang Batak Toba adalah bila ada perkara yang tidak disahkan oleh punguan maka seseorang yang terlibat dalam perkara itu akan dikucilkan. Bagi orang Batak pengucilan itu sangatlah menyakitkan.92 Penyelesaian sengketa waris yang dilakukan pada masyarakat di Kecamatan Medan Baru dapat diketahui berdasarkan hasil jawaban responden sebagai berikut: Tabel 6. Penyelesaian Sengketa Warisan di Kecamatan Medan Baru No. 1 2 3
Jawaban Musyawarah kekeluargaan Lembaga Adat Pengadilan Jumlah
Jumlah 27 2 1 30
Persentase 90 6,67 3,33 100
Sumber Data : Diolah dari data Primer Tahun 2014
92
Hasil wawancara dengan B. Butar-Butar, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Baru, tanggal 17 Mei 2014, pukul 14.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
56
Dari tabel diatas terlihat bahwa responden di kecamatan Medan Baru yang memilih menyelesaikan sengketa waris lewat pengadilan yaitu 1 responden (3%), dengan alasan penyelesaian sengketa waris lebih baik dengan hukum negara karena mereka menganggap akan mendapatkan keadilan yang lebih pasti khususnya dalam hal memperjuangkan hak anak perempuan karena jika melalui lembaga adat mereka beranggapan penyelesaiannya pasti akan menggunakan hukum leluhur mereka yang sudah pasti dalam hal ini merugikan kedudukan anak perempuan. Kenyataan yang terjadi pada saat ini anak perempuan lebih bertanggung jawab dan perhatian dalam mengurus orang tua mereka sampai akhir hayatnya, bahkan mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang cukup besar di kala orang tua mereka sakit ataupun sekedar untuk kebutuhan hidup orang tuanya. Namun di dalam pembagian warisan justru anak laki-laki yang diperhitungkan. Oleh karena itulah mereka menginginkan keadilan dan hukum negara dianggap dapat memberikan rasa adil tersebut. Sementara 2 responden (6,67%), menginginkan penyelesaian sengketa waris melalui lembaga adat, karena menurut mereka sebagai orang Batak Toba yang taat pada aturan leluhur harus juga menaati hukum adatnya dan keberadaan lembaga adat harus dihargai terlebih dahulu. Tetapi jika memang lembaga adat tidak dapat menyelesaikan sengketa waris tersebut secara damai barulah dibawa untuk diselesaikan dengan hukum Negara. 27 responden (90%) menginginkan penyelesaian sengketa waris melalui jalan musyawarah dengan kekeluargaan karena masih menganggap persoalan waris adalah masalah inti dalam keluarga yang jika banyak
Universitas Sumatera Utara
57
orang mengetahuinya merupakan suatu hal yang bisa membuat malu, artinya menurut mereka pertengkaran atau perselisihan dalam keluarga jangan sampai orang luar mengetahuinya untuk itulah musyawarah kekeluargaan jalan yang terbaik menyelesaikan
masalah
waris
tersebut,
dan
jika
ada
ketua
adat
yang
menyelesaikannya sebagai orang penengah maka menurut mereka orang tersebut adalah pihak yang sangat terdekat seperti kakek/opung, maupun paman/tulang sendiri. Bahwa penyelesaian sengketa waris di kecamatan Medan Baru lebih dominan memilih musyawarah dan mufakat, dan jika secara musyawarah dan mufakat antar keluarga dirasa belum dapat menyelesaikan masalah, maka permasalahan akan diselesaikan oleh ketua adat melalui lembaga adat. Apabila tidak terselesaikan juga maka penyelesaian secara hukum negara melalui jalur pengadilan akan ditempuh karena dirasa memiliki kepastian hukum dan dianggap dapat melihat perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi, artinya hukum harus sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat. Beberapa putusan Mahkamah Agung telah menetapkan untuk seluruh Indonesia bahwa bagian dari ahli waris wanita dalam warisan adalah sama dengan bagian ahli waris laki-laki93, hal itulah yang menyebabkan pihak-pihak wanita lebih memilih hukum negara dalam menyelesaikan sengketa warisnya jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara lembaga adat.
93
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta:Rineka Cipta,2002), hal 55
Universitas Sumatera Utara