UNIVERSITAS INDONESIA
RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN SUKU BATAK TOBA
SKRIPSI
YULIA VONNY SINAGA 0806460401
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM ARSITEKTUR INTERIOR DEPOK JULI 2012
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN SUKU BATAK TOBA
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur
YULIA VONNY SINAGA 0806460401
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM ARSITEKTUR INTERIOR DEPOK JULI 2012
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
ii Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
:
Nama
: Yulia Vonny Sinaga
NPM
: 0806460401
Program Studi
: Arsitektur Interior
Judul Skripsi
: Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur pada Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
: 6 Juli 2012
iii Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
KATA PENGANTAR Tak disangka sampai juga akhirnya saat dimana saya menuliskan kata pengantar dan ucapan terimakasih. Pertama-tama, puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kekuatan kasih dan karunia yang tak pernah berhenti melimpah dalam hidup saya. Penulisan skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya berikan kepada:
Ibu Ir. Evawani Elisa M.Eng., Ph.D. selaku dosen pembimbing sekaligus ‘dokter bebas biaya konsultasi’ yang sangat sabar membimbing dan memberikan banyak masukan pada proses penyusunan skripsi ini.
Bapak Ir. Antony Sihombing MPD., Ph.D. dan Ibu Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi, S.S., M.Hum. selaku dosen penguji yang memberikan banyak saran dan kritik terhadap skripsi saya.
Dosen arsitektur dan arsitektur interior, serta para karyawan Departemen Arsitektur UI yang banyak membantu saya selama proses perkuliahan.
Bapak M. Nanda Widyarta B.Arch., M.Arch., Mba Rini Suryantini S.T., M.Sc., dan Mas Ahmad Gamal S.Ars., M.C.P. selaku koordinator skripsi Departemen Arsitektur Universitas Indonesia.
Drs. Lastua Sinaga M.M., yakni ayah sekaligus ibu yang selalu mendukung serta menyediakan waktu dan tenaga untuk saya. Terimakasih atas kasih sayang dan doa yang selalu dipanjatkan untuk saya.
Lenita Nathania Sinaga, Indra Freddy Sinaga, dan Ervin Meynardo P. Sirait, yakni kakak kandung, abang kandung, dan abang ipar saya yang selalu memberi semangat dan kasih sayang. Terimakasih juga untuk Kak Nia dan Bang Ervin yang mengizinkan saya menggunakan acara pernikahanya sebagai studi kasus pada skripsi ini.
Lucia Dinar Maharani, sahabat yang sudah saya anggap sebagai saudara kandung saya yang selalu memberikan semangat dan doa untuk saya.
Fritz Rendy Octavianus Sinaga S.Ars, kakak asuh sekaligus abang ketiga saya yang selalu menyemangati, mendoakan, dan memberikan banyak iv Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
saran untuk saya. Begitu juga untuk keempat adik asuh saya, Elky Andika, Syifa Annisa Basri, Nata Tri Wardani, dan Amanda Gabriella.
Yolanda Clara Sembiring S.Ars, Azriansyah Ithakari S.Ars, Imaniar Sofia S.Ars, Klara Puspa Indrawati S.Ars, para pasien setia Ibu Evawani Ellisa yang menjadi teman seperjuangan dalam proses penyusunan skripsi.
Leta, Raranoor, Citra, Azka, Nina, Gita, Ajeng Nadia, Karin, Stella, Dory, Siki, Dewi, dan Yayi, teman-teman sepermainan dengan segala kegiatan random maupun terencana selama empat tahun masa perkuliahan.
Kosa Lazawardi S.Ars, sahabat tempat saya melimpahkan emosi suka dan duka, serta Kurnia Fajar Agriza S.Ars yang selalu bersedia untuk bertukar pikiran baik mengenai skripsi, musik, dan hal lainnya.
Zaimmudin Khairi S.Ars yang bersedia mendokumentasikan serta menjadi saksi hidup selama 45 menit proses sidang saya pada tanggal 28 Juni 2012.
Teman-teman Arsitektur dan Arsitektur Interior UI 2008. Terimakasih atas empat tahun moment kebagiaan dan kesedihan yang sangat berarti dan tidak akan pernah saya lupakan. Thanks guys!
Senior Ars 2005, Ars 2006, Ars 2007, serta junior Ars 2009, Ars 2010, dan Ars 2011 yang memberikan banyak bantuan selama empat tahun.
Mao Yamamoto, Tsuguta Yamashita, dan warga Cikini RW 01 atas pengalaman berkesan sebagai masa pelarian saya dari rutinitas skripsi.
Nando, Mba Sri, Rachelle, Mas Edwin, Pak Ferry, dan teman-teman majalah Home and Décor Indonesia yang memberikan saya pengalaman untuk belajar membagi waktu dan pikiran antara skripsi dan magang.
Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya tuliskan satu persatu. Demikian ucapan terimakasih ini saya tuliskan. Saya berharap skripsi ini
dapat bermanfaat bagi ilmu Arsitektur dan terutama bagi para pembaca. Akhir kata, saya memohon maaf apabila ada kesalahan pada penulisan gelar atau nama. Depok, 6 Juli 2012
Yulia Vonny Sinaga
v Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Yulia Vonny Sinaga
NPM
: 0806460401
Program Studi : Arsitektur Interior Departemen
: Arsitektur
Fakultas
: Teknik
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty - Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencamtukan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 6 Juli 2012 Yang menyatakan
(Yulia Vonny Sinaga)
vi Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Yulia Vonny Sinaga Program Studi : Arsitektur Interior Judul : Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia sehingga tak jarang diselenggarakan sebuah perayaan untuk mengenang peristiwa tersebut. Indonesia kaya akan beragam suku dengan ritual adatnya masing-masing, termasuk dalam upacara pernikahan tradisional. Bagaimana ritual adat berlangsung tentu tak terlepas dari ruang yang mengakomodasi proses pelaksanaannya. Di sinilah ritual adat berperan dalam menciptakan setting dan desain khusus pada interior ruang pernikahan. Setting dan kualitas ruang yang terbentuk pun akhirnya mempengaruhi kualitas ritualnya. Batak Toba sebagai salah satu suku di Indonesia memiliki ritual adat pernikahan yang unik dan berbeda. Bagaimana perbedaan dan keunikan ritual adat pernikahan suku Batak Toba mempengaruhi ruang pernikahannya akan dibahas pada skripsi ini. Kata kunci : Ritual, pernikahan, Batak Toba, setting ruang
ABSTRACT
Name : Yulia Vonny Sinaga Study Program : Interior Architecture Title : Place and Ritual of Traditional Wedding Ceremony in Batak Toba Marriage is one of important things in human life, so made some ceremony to commemorate marriage is not uncommon nowadays. Indonesia has many tribes with their special ritual, including in traditional wedding ceremony. How do the ritual take place would not be separated from the place which accomodate the process. This is where the traditional ritual play a role in creating the special setting and design of the interior of place. Setting and quality of place that is formed also affect the quality of ritual. Batak Toba as one tribe in Indonesia has unique and different wedding ritual. How do the uniqueness and differences of the wedding ritual affect the place will be discussed in this thesis. Keyword : Ritual, wedding, Batak Toba, setting of place
vii Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ...................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xiv BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................3 1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................................3 1.4 Batasan Permasalahan ..................................................................................3 1.5 Metode Penulisan ........................................................................................3 1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................4 1.7 Kerangka Berpikir .......................................................................................5 BAB 2 MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA ..............................6 2.1 Manusia dan Ritual ......................................................................................6 2.1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu ..............................................6 2.1.2 Manusia sebagai Makhluk Sosial .................................................7 2.1.3 Ritual, Pernikahan, dan Maknanya ..............................................8 2.1.4 Pernikahan Tradisional ..............................................................10 2.2 Suku Batak Toba .......................................................................................12 2.2.1 Bahasa dan Keseharian ..............................................................12 2.2.2 Agama dan Kepercayaan ...........................................................13 2.2.3 Konsep Kekerabatan ..................................................................15 2.2.4 Konsep Adat ...............................................................................16 2.2.5 Konsep Pernikahan ....................................................................17 viii Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
2.2.6 Sarana Adat ................................................................................19 2.3 Kesimpulan ................................................................................................22 BAB 3 RUANG DAN MANUSIA ......................................................................23 3.1 Ruang dan Kualitasnya .............................................................................23 3.2 Elemen Ruang ............................................................................................25 3.3 Ruang dan Tingkat Kepadatan ..................................................................27 3.4 Ruang dan Perilaku Manusia .....................................................................28 3.5 Ruang dan Perayaan ..................................................................................30 3.6 Kesimpulan ...............................................................................................31 BAB 4 RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA DI JAKARTA ...............................................................................................32 4.1 Ritual Pesta Adat .......................................................................................33 4.1.1 Prosesi Keluarga dan Pengantin Memasuki Gedung .................37 4.1.2 Penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon ......................................39 4.1.3 Makan Bersama ..........................................................................40 4.1.4 Salam-salam, Pembagian Jambar, dan Pengambilan Tumpak ..43 4.1.5 Penyerahan Panggoh (Sinamot) .................................................45 4.1.6 Penyerahan Panandaion ............................................................48 4.1.7 Penyerahan Tintin Marangkup ...................................................49 4.1.8 Pemberian Ulos ..........................................................................50 4.1.9 Mangunjungi Ulaon (Acara Penutup) ........................................53 4.2 Kasus Pembanding : Pernikahan Adat Jepang (Shinzen Kekkonshiki) .....56 4.2.1 Prosesi Memasuki Ruang Pernikahan ........................................58 4.2.2 Penyucian dan Ritual San-sankudo ............................................59 4.2.3 Pengucapan Janji Pernikahan ......................................................60 4.2.4 Acara Penutup (Pemberian Sesaji) .............................................60 4.3 Kesimpulan ...............................................................................................62
BAB 5 KESIMPULAN .......................................................................................65 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................67
ix Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pembagian Prosesi Pemberian Ulos pada Upacara Pernikahan ...........20 Tabel 4.1 Hubungan Ruang dan Ritual Upacara Adat Pernikahan Batak Toba....62
x Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Kerangka Proses Berpikir ...............................................................5
Gambar 2.1
Daur Hidup Manusia 1 ....................................................................9
Gambar 2.2
Daur Hidup Manusia 2 ....................................................................9
Gambar 2.3
Pernikahan Tradisional Suku Betawi ............................................11
Gambar 2.4
Pernikahan Tradisional Suku Jawa ...............................................11
Gambar 2.5
Peta Pembagian Suku Batak . .......................................................12
Gambar 2.6
Kegiatan Bertani ...........................................................................13
Gambar 2.7
Masyarakat Bermusyawarah .........................................................13
Gambar 2.8
Bentuk pemujaan sebelum mengenal agama ................................14
Gambar 2.9
Gereja HKBP Sipintu-pintu Silangit di Sumatera Utara ................15
Gambar 2.10 Ulos Ragi Hotang dan Ulos Ragidup ............................................20 Gambar 2.11 Musik Gondang .............................................................................21 Gambar 2.12 Tari Tor-tor ....................................................................................22 Gambar 3.1
Ilustrasi pengaruh indera pendengaran .........................................24
Gambar 3.2
Ilustrasi pengaruh dimensi ruang ..................................................26
Gambar 3.3
Ilustrasi pengaruh bukaan .............................................................26
Gambar 3.4
Penataan sosiopetal pada ruang makan .........................................27
Gambar 3.5
Penataan sosiofugal pada ruang tunggu ........................................27
Gambar 3.6
Ilustrasi kepadatan .........................................................................28
Gambar 3.7
Behavior Setting Ruang Rapat ......................................................29
Gambar 3.8
Behavior Setting Pasar ..................................................................29
Gambar 4.1
Interior ruang pernikahan adat suku Batak Toba ..........................33
Gambar 4.2
Denah interior ruang pernikahan Batak Toba ...............................34
Gambar 4.3
Skema dan orientasi pada interior gedung pernikahan Batak Toba ...............................................................................................35
Gambar 4.4
Orientasi pandangan pada setting 1 di bagian bawah ...................36
Gambar 4.5
Orientasi pandangan pada setting 2 di bagian bawah ...................37
Gambar 4.6
Desain pelaminan ..........................................................................37
Gambar 4.7
Skema ruang saat keluarga memasuki gedung ..............................38
Gambar 4.8
Pelaminan sebagai latar ruang ritual .............................................39 xi Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
Gambar 4.9
Suasana penyerahan tanda makanan adat .....................................39
Gambar 4.10 Skema ruang ritual saat penyerahan tanda makanan adat .............40 Gambar 4.11 Hiburan musik saat makan bersama ..............................................41 Gambar 4.12 Suasana saat makan bersama ........................................................41 Gambar 4.13 Skema posisi duduk tamu saat makan bersama .............................42 Gambar 4.14 Skema posisi duduk di pelaminan saat makan bersama ...............42 Gambar 4.15 Arah pandangan dari pelaminan ....................................................42 Gambar 4.16 Suasana di pelaminan saat makan bersama ..................................43 Gambar 4.17 Skema posisi pelaku ritual saat bersalaman ...................................43 Gambar 4.18 Suasana meriah saat ritual salam-salam ........................................43 Gambar 4.19 Skema ruang ritual ketika pengantin mengambil tumpak ..............44 Gambar 4.20 Suasana saat prosesi pengambilan tumpak ....................................45 Gambar 4.21 Arah pandangan saat pengantin mengambil tumpak .....................45 Gambar 4.22 Skema ruang saat penyerahan panggoh ........................................46 Gambar 4.23 Suasana setting 1 saat orang tua pihak laki-laki menghampiri saksi ...............................................................................................47 Gambar 4.24 Tamu tidak fokus pada ritual ........................................................47 Gambar 4.25 Arah pandangan ketika orang tua pihak laki-laki memberikan sinamot ke orang tua pihak perempuan .........................................47 Gambar 4.26 Suasana saat prosesi pemberian panggoh .....................................47 Gambar 4.27 Skema ruang saat proses penyerahan panandaion di pelaminan ...48 Gambar 4.28 Suasana penyerahan panandaion ...................................................48 Gambar 4.29 Skema ruang ritual penyerahan tintin marangkup ........................49 Gambar 4.30 Suasana prosesi penyerahan tintin marangkup .............................50 Gambar 4.31 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos pertama dan ketiga ......51 Gambar 4.32 Pelaminan sebagai latar saat prosesi pemberian ulos ....................51 Gambar 4.33 Ulos sebagai elemen utama ...........................................................51 Gambar 4.34 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos ketiga ..........................52 Gambar 4.35 Setting ruang yang tidak teratur saat prosesi pemberian ulos .......53 Gambar 4.36 Orang tua dan pengantin memberi ucapan terimakasih ................54 Gambar 4.37 Penyerahan uang olop-olop ...........................................................54 Gambar 4.38 Skema ritual pemberian uang olop-olop .......................................55
xii Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
Gambar 4.39 Interior ruang pernikahan ritual Shinto .........................................56 Gambar 4.40 Skema ruang pernikahan ritual Shinto ..........................................57 Gambar 4.41 Arah pandangan pada setting 1 .....................................................58 Gambar 4.42 Arah pandangan pada setting 2 .....................................................58 Gambar 4.43 Prosesi memasuki kuil ..................................................................59 Gambar 4.44 Pengantin disucikan Shinto ...........................................................59 Gambar 4.45 Pengantin menghirup sake ............................................................59 Gambar 4.46 Skema ruang saat ritual penyucian dan san-sankudo ....................60 Gambar 4.47 Pengantin perempuan memegang ranting sakaki ..........................61 Gambar 4.48 Ranting sakaki sebagai sarana adat ...............................................61
xiii Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
DAFTAR ISTILAH
Boru
: keluarga yang istrinya bermarga sama dengan pengantin
Dongan tubu
: saudara dari marga yang sama
Hula-hula
: keluarga pihak perempuan dari suatu keluarga
Jambar
: bagian tanda makanan adat yang sudah diatur pembagiannya
Olop-olop
: piring berisi beras dan uang yang diberikan kepada tetua
Panandaion
: media untuk memperkenalkan anggota keluarga
Pariban
: anak dari adik/kakak perempuan sang ayah, secara hukum adat bisa menjadi pasangan
Parmalim
: kepercayaan animisme masyarakat Batak Toba zaman dulu
Pasu-pasu
: doa restu
Raja parhata
: seseorang yang dianggap mengerti ketentuan ritual adat
Setting
: suatu pengaturan khusus
Sinamot
: uang dari pihak laki-laki sebagai harga mahar calon istri
Suhut
: tuan rumah atau pihak yang menyelenggarakan acara
Tumpak
: ucapan selamat berupa uang untuk pengantin dan keluarga
Tintin marangkup : sebagian uang dari mahar calon istri Ulaon
: acara atau pesta yang diselenggarakan
xiv Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kehidupan merupakan proses dalam menjalani beberapa tahapan peristiwa, diawali peristiwa kelahiran dan diakhiri peristiwa kematian. Setiap peristiwa biasanya membutuhkan proses perayaan yang dikenal dengan istilah ‘upacara’. Upacara menjadi bagian penting dalam perkembangan kehidupan manusia dari suatu keadaan ke keadaan lain. Hal ini menjadi salah satu landasan mengapa manusia berperan sebagai makhluk individu dan sosial. Manusia memerlukan orang lain untuk dapat melalui setiap peristiwa, termasuk dalam peristiwa pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting walaupun tidak menjadi suatu keharusan bagi setiap manusia. Oleh sebab itu, pernikahan dirasa perlu untuk disakralkan serta dikenang oleh setiap pihak yang terlibat melalui suatu upacara, baik upacara modern maupun upacara tradisional. Upacara pernikahan modern biasanya diselenggarakan sebagaimana kegiatan pesta resepsi pada umumnya, sedangkan upacara pernikahan tradisional diselenggarakan sesuai ritual adat yang bersangkutan. Namun tidak berarti setiap pengantin hanya menggunakan satu jenis perayaan saja. Ada kalanya pengantin menyelenggarakan dalam bentuk pesta dan upacara adat namun dalam waktu yang tidak bersamaan. Kelompok etnis merupakan salah satu bentuk perwujudan peran manusia sebagai makhluk sosial. Manusia mengikuti berbagai kegiatan sesuai tradisi adat yang bersangkutan termasuk mengikuti ritual adat. Kegiatan manusia tidak terlepas dari ruang, baik ruang yang sudah ada maupun ruang yang baru diciptakan. Di sinilah peran ritual adat kemudian menjadi salah satu pertimbangan utama yang mempengaruhi penataan ruang. Indonesia kaya akan beragam suku dengan tradisi adat masing-masing. Namun keragaman budaya tersebut kian lama semakin memudar karena pengaruh modernisasi. Tak dipungkiri bahwa modernisasi yang muncul saat ini tak terlepas
1 Universitas Indonesia Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
2
dari kebudayaan yang ada pada zaman dulu. Sayangnya saat ini tak sedikit arsitek maupun arsitek interior yang melewatkan unsur kebudayaan dalam penciptaan maupun penerapan desain. Padahal unsur kebudayaan sebenarnya dapat menjadi identitas utama suatu daerah, misalnya dalam penataan ruang upacara adat. Masyarakat Batak merupakan salah satu kelompok etnis yang masih kuat mempertahankan tradisi ritual adat dalam berbagai tahapan peristiwa, termasuk dalam peristiwa pernikahan. Dalam menjalankan ritual adat, masyarakat Batak tidak hanya melibatkan pihak keluarga dekat namun juga seluruh kerabat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, ritual adat pada upacara pernikahan suku Batak membutuhkan ruang dengan penataan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Yang menarik, banyaknya masyarakat Batak yang mulai berpindah ke kotakota
besar
ternyata
tidak
menjadi
penghambat
mereka
untuk
tetap
mempertahankan tradisi. Di Jakarta, saat ini terdapat lebih dari sepuluh gedung yang ditata khusus untuk ritual adat pernikahan suku Batak. Berikut ini adalah beberapa gedung yang digunakan untuk upacara adat pernikahan Batak Toba.
Gedung Sejahtera (Pondok Gede)
Gedung Gorga I (Tanjung Duren), Gedung Gorga II (Pondok Bambu), dan Gedung Gorga IV (Cililitan)
Gedung Hermina (Mampang)
Gedung Restu I dan Restu II (Tendean)
Komplek Gedung Mulia & Raja (Kebon Nanas)
Gedung Mangaraja (Perintis Kemerdekaan)
Gedung Mayoria (Kelapa Gading)
Gedung Corpatarin (Pulo Asem)
Yang menjadi pertanyaan, mengapa suku Batak membutuhkan gedung dengan penataan
ruang khusus? Inilah yang mendorong saya untuk mengetahui
bagaimana ritual adat mempengaruhi penataan ruang gedung pernikahan Batak. sehingga dari hal tersebut saya dapat mengetahui apakah penggunaan gedung khusus tersebut memang merupakan suatu keharusan atau suatu kebiasaan masyarakat Batak yang tinggal di Jakarta.
Universitas Indonesia Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
3
1.2 Rumusan Masalah Terkait dengan latar belakang di atas, muncul beberapa pertanyaan yang akan saya jawab pada skripsi ini, yaitu : Bagaimana ritual adat mempengaruhi setting dan kualitas ruang pada upacara pernikahan? Bagaimana pula setting dan kualitas ruang yang terbentuk mempengaruhi kualitas ritualnya? 1.3 Tujuan Penulisan Skripsi ini berusaha mengungkap dan membahas pengaruh ritual adat Toba dalam penataan ruang sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi dunia arsitektur interior dalam proses penataan ruang. Selain itu, saya juga berusaha mengangkat makna dan nilai-nilai budaya pada aspek desain ruang di era moderenisasi melalui pemeliharaan warisan kebudayaan.
1.4 Batasan Permasalahan Kelompok etnis Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di beberapa wilayah, yaitu suku Alas, Karo, Toba, Pakpak, Dairi, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Pada skripsi ini, pembahasan dikhususkan pada upacara pernikahan suku Batak Toba. Upacara adat
pernikahan Batak Toba
memiliki beberapa rangkaian acara. Pada skripsi ini, saya membahas mengenai upacara pesta unjuk (pesta adat) yang menjadi inti dari seluruh rangkaian acara. Studi kasus yang dipilih adalah pesta adat yang berlangsung di Gedung Raja, Kebon Nanas, Jakarta Timur pada bulan Februari sampai Mei 2012.
1.5 Metode Penulisan Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah, saya menggunakan metode analisis deskriptif melalui pengungkapan fakta pada studi kasus dan menghubungkannya dengan teori. Saya menggunakan teori yang berhubungan dengan manusia dan hubungan terhadap ruang yang digunakan. Selain melakukan survey dan observasi, saya melakukan kajian studi literatur dari upacara
Universitas Indonesia Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
4
pernikahan kebudayaan lain untuk mendukung analisis studi kasus. Saya juga menggunakan hasil rekaman video upacara pernikahan adat Batak Toba di Jakarta. Dengan data dari hasil studi literatur, survey, observasi, serta pengamatan video, saya berharap dapat mengumpulkan bahan untuk mendukung analisis saya. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara kualitatif, dengan pengumpulan data primer (observasi, survey) dan sekunder (studi literatur).
1.6 Sistematika Penulisan BAB 1. PENDAHULUAN Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan permasalahan, metode penulisan, urutan penulisan, serta kerangka berpikir. BAB 2. MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA Berisi teori mengenai manusia sebagai makhluk individu dan sosial budaya serta hubungannya dengan ritual. Bab ini juga disertai pembahasan mengenai suku Batak Toba secara keseluruhan. BAB 3. RUANG DAN MANUSIA Berisi paparan teori mengenai ruang dan hubungannya dengan manusia. BAB 4. RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA DI JAKARTA Berisi urutan ritual adat pernikahan dengan analisis berdasarkan kajian teori. Bab ini juga disertai analisis pernikahan adat Jepang sebagai kasus pembanding. BAB 5. KESIMPULAN Berisi kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi serta jawaban dari pertanyaan yang muncul.
Universitas Indonesia Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
5
1.7 Kerangka Berpikir
Adanya gedung khusus untuk upacara adat pernikahan Batak Toba
Apakah harus dilangsungkan di gedung tersebut? Atau bisa di gedung lain?
PERMASALAHAN Bagaimana ritual adat mempengaruhi setting dan kualitas ruang dan akhirnya mempengaruhi kualitas ritualnya? Apakah ruang memiliki peran utama?
TUJUAN Mengungkap dan membahas hubungan ruang dan ritual adat. Masukan bagi dunia arsitektur interior mengenai pengaruh ritual dalam penataan interior. Mengangkat makna dan nilai budaya pada aspek desain ruang di era moderenisasi melalui pemeliharaan warisan kebudayaan.
KAJIAN TEORI Manusia Ritual dan pernikahan Ruang dan manusia
METODE Studi Literatur : Masyarakat dan kebudayaan suku Batak Toba Studi Kasus : Pernikahan adat Batak Toba di Jakarta Kasus Pembanding : Pernikahan adat Jepang
ANALISIS Peninjauan studi kasus berdasarkan teori
KESIMPULAN Gambar 1.1 Kerangka Proses Berpikir (Sumber : pribadi)
Universitas Indonesia Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
BAB 2 MANUSIA, RITUAL, DAN SUKU BATAK TOBA
Manusia, secara kodrati, berperan sebagai makhluk monodualis, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia memiliki peran masing-masing, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Itulah sebabnya manusia harus dapat menyeimbangkan hakikatnya sebagai makhluk individu dan sosial. Disadari atau tidak, setiap manusia berusaha mengembangkan kemampuan individu dalam memenuhi setiap kebutuhan hidup. Manusia melakukan berbagai kegiatan untuk melalui tahapan hidup, baik secara individu maupun berkelompok.
2.1 Manusia dan Ritual 2.1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu Dalam bahasa latin, individu berasal dari kata individium yang berarti tidak terbagi, serta suatu kesatuan paling kecil dan tidak terbatas (Herbert, 1934). Manusia memiliki unsur jasmani dan rohani atau raga dan jiwa sehingga seseorang dikatakan sebagai makhluk individu jika unsur tersebut ada dan menyatu dalam dirinya. Setiap individu memiliki faktor genotip sejak lahir yang akhirnya menjadi karakteristik atau ciri khas (Herbert, 1934). Tidak hanya itu, faktor lingkungan pun berperan dalam pembentukan karakteristik setiap individu, baik faktor lingkungan fisik seperti maupun lingkungan sosial. Pada dasarnya manusia adalah individu yang bebas dan merdeka, tidak terikat dengan apapun (Herbert, 1934). Manusia bebas berkembang dan berkegiatan untuk memenuhi kebutuhan diri baik kebutuhan jiwa, rohani, psikologis, jasmani, maupun biologis. Namun kebebasan tersebut tidak menjamin setiap manusia dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Muncul kesadaran akan „ketidakberdayaan‟ dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah sebabnya, menurut kodratnya, manusia juga hidup sebagai makhluk sosial. 6 Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
7
2.1.2 Manusia sebagai Makhluk Sosial Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa berjalan tegak tanpa bantuan orang lain. Ada dorongan dan kebutuhan dalam diri manusia untuk melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang
saling
mempengaruhi
antarindividu
maupun
individu
dengan
masyarakat. Interaksi sosial terjadi ketika ada kontak sosial dan komunikasi antar individu (Simmel, 2001, hal.110). Interaksi sosial sifatnya dinamis, sehingga akan membentuk adanya kelompok sosial dengan latar belakang yang beragam. Kelompok sosial terbentuk dari kesamaan kebutuhan antar individu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sinilah budaya menjadi salah satu bagian dari lingkungan yang diciptakan manusia dalam berinteraksi. Kebudayaan menjadi salah satu landasan dalam pembentukan pola hidup masyarakat dan lingkungan sehingga pada akhirnya menjadi identitas suatu kelompok sosial. Kebudayaan dan kehidupan manusia saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Kebudayaan terbentuk dari hasil interaksi sosial antar individu yang berkembang menyesuaikan perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut pun akan mempengaruhi kebudayaannya dan begitu pula sebaliknya. “We know that you cannot explain a city-or any other environment-until you understand the kinds of people who live in it: their ethnic and social backgrounds, their cultural habits, income levels, and general scheme of values.” (Dempsey, 1974, hal. 11). Dengan demikian, kehidupan sosial berkaitan erat dengan interaksi antar individu, antar kelompok, antara kehidupan sosial dengan lingkungan hidup dan alam sekitar, serta antara berbagai hal yang timbul dari aktivitas manusia.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
8
2.1.3 Ritual, Pernikahan, dan Maknanya Secara sederhana, ritual dapat dikatakan sebagai suatu kejadian yang dilakukan secara berulang sesuai urutan dan cara tertentu, misalnya ritual ketika makan. Ritual biasanya diawali dengan menyantap makanan pembuka, makanan inti, dan diakhiri makanan penutup. Ritual dapat dilangsungkan secara pribadi maupun bersama-sama dalam suatu komunitas. Menurut Oxford Advance Learner’s Dictionary (1998), ritual adalah satu rangkaian kegiatan yang selalu dilakukan dengan cara yang sama, terutama sebagai bagian dari upacara keagamaan. Ketika ritual melibatkan suatu komunitas dengan latar belakang tertentu, ritual menjadi salah satu bentuk perwujudan dari komunitas tersebut. Ritual biasanya dilakukan dengan cara dan teknik tertentu, baik sesuai adat kebudayaan maupun agama. Ritual dapat menjadi faktor pembentuk identitas karena ritual terbentuk dengan menyesuaikan kehidupan manusia sebagai pelaksana. Dalam buku “The Rites of Passage” (1960), Arnold menekankan bahwa ritual adalah sesuatu yang suci namun tidak mutlak sehingga setiap ritual sebenarnya tidak harus dilakukan hanya dengan satu tahapan atau satu cara saja. Sebuah ritual dapat dilaksanakan dalam beberapa tahapan dan begitu juga sebaliknya. Ritual juga dapat dilaksanakan secara bergantian karena fungsinya untuk menetralkan perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Kehidupan merupakan sebuah proses yang dilalui setiap individu dalam menjalani beberapa tahapan peristiwa kehidupan (Gennep, 1960, hal.3). Sebagai makhluk sosial, perubahan yang terjadi saat manusia melewati tahapan tersebut mempengaruhi hubungan serta interaksi sosial. Proses perkembangan manusia dalam kehidupan digambarkan dalam daur hidup manusia pada gambar 2.1 dan gambar 2.2. Bagaimana perubahan terjadi dalam hidup manusia menurut Yi Fu Tuan dan Erik Erikson digambarkan pada skema daur hidup manusia tersebut.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
9
Gambar 2.1 Daur Hidup Manusia 1 (Sumber : Yi-Fu Tuan, Space and Place: Time and Place, 2005 diolah kembali)
Gambar 2.2 Daur Hidup Manusia 2 (Sumber : Erik Erikson, The Life Cycle Completed, 1997 diolah kembali)
“Marriage constitutes the most important od the transitions from one social category to another…” (Gennep, 1960, hal.116). Itulah sebabnya dalam menjalani sebuah pernikahan, tiap individu sebaiknya memiliki tingkat kedewasaan yang memadai sehingga pernikahan tidak mengalami pergeseran makna. Secara umum Yi Fu Tuan dan Erik Erikson menggambarkan daur hidup manusia berdasarkan tahap kedewasaan yang dialami. Manusia mulai bersikap dan merespon keadaan pada setiap peristiwa yang terjadi sehingga tingkat kedewasaan secara tidak langsung berkembang. Daur hidup manusia terbagi menjadi empat inti, yaitu tahap kelahiran (birth dan infancy), masa kecil, masa dewasa, serta masa tua. Perbedaannya, Yi Fu Tuan menggambarkan bahwa setelah melewati masa tua, manusia akan mengalami masa kecil kedua yang disebutnya second childhood, sedangkan Erik Erikson menjabarkan lagi beberapa tahapan sebelum manusia beranjak dari masa kecil menuju dewasa. Dari kedua bagan di atas, pernikahan berada pada tahap maturity (gambar 2.1) dan tahap adulthood (gambar 2.2) sebab tingkat kedewasaan manusia dianggap memadai sehingga makna pernikahan dapat tercapai. Pada tahap ini, manusia mulai merespon setiap keadaan dengan rasa kepedulian sehingga di sinilah manusia mulai menjadi contoh bagi generasi selanjutnya.“An adult must be ready to become a numinous model in the next generation’s eyes and to act as a judge of evil and a transmitter of ideal values.” (Erikson, 1997, hal. 70).
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
10
2.1.4 Pernikahan Tradisional Secara etimologi, pernikahan berasal dari bahasa Arab, nikkah yang berarti perjanjian perkawinan. Pada umumnya, ikatan perjanjian tersebut diresmikan secara agama, hukum, dan sosial. Upacara pernikahan memiliki berbagai jenis perayaan berdasarkan tradisi suku bangsa, agama, budaya, dll. Perayaan tersebut biasanya memiliki aturan tertentu berkaitan dengan kelompok sosial yang terlibat, misalnya variasi berdasarkan tradisi suatu kelompok etnis. Tiap kelompok etnis memiliki tradisi kebudayaan yang tidak sama dengan kelompok lain sehingga pada tahap inilah upacara tradisional menjadi salah satu media atau sarana manusia untuk berperan sebagai makhluk sosial budaya. Upacara tradisional dilangsungkan bukan sekedar formalitas semata. Setiap ritual adat memiliki nilai dan makna berdasarkan kepercayaan kelompok etnis masing-masing. Oleh sebab itu, upacara tradisional kerap dilaksanakan juga pada acara pernikahan. Upacara tradisional perlu dipertahankan sampai generasi selanjutnya untuk dapat mempertahankan identitas budaya serta makna yang terkandung, walaupun pelaksanaanya akan tetap beradaptasi dengan lingkungan pada zamannya. Pengetahuan mengenai latar belakang kebudayaan harus dipahami oleh sekelompok orang yang terlibat sebagai respon dari apa yang dilakukan (Baldwin, 2006, hal 93). Dengan ragam suku budaya yang dimiliki, Indonesia memiliki berbagai macam upacara pernikahan tradisional dengan rangkaian ritual adat, dari mulai persiapan sampai hari pelaksanaan. Berikut ini adalah contoh rangkaian ritual upacara pernikahan tradisional suku Betawi dan Jawa. 1) Pernikahan Tradisional Suku Betawi Untuk sampai ke jenjang pernikahan, masyarakat Betawi melalui berbagai tahapan yang diawali tahap ngelamar (nglamar) atau lamaran. Setelah proses ngelamar diterima, kedua belah pihak akan melanjutkan ke acara bawa tande putus. Tande putus adalah tanda ikatan dimana none calon mantu tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain. Sebelum akad nikah, ada beberapa rangkaian pra-akad
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
11
nikah yang dijalani, mulai dari masa dipiare, siraman, tangas atau kum, dan ngerik atau malem pacar. Rangkaian ini memiliki makna untuk kelancaran acara akad nikah. Acara paling penting dalam sebuah pernikahan adalah akad nikah dimana pengantin disatukan secara agama. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan acara negor dan pulang tige ari, yaitu acara dimana pengantin laki-laki mulai diizinkan menginap di rumah pengantin perempuan.
Gambar 2.3 Pernikahan Tradisional Suku Betawi (Sumber : http://www.salwedding.com/pernikahan-adat-betawi/, 2 Juni 2012)
2) Pernikahan Tradisional Suku Jawa Pernikahan suku Jawa juga memiliki rangkaian acara yang diawali dengan acara pinangan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Jika pinangan diterima, kedua pengantin akan melalui acara berikutnya, antara lain acara siraman, upacara ngerik, upacara midodareni, acara srah-srahan atau peningsetan, serta nyantri. Rangkaian acara ini dilaksanakan untuk kelancaran acara inti, yaitu pelaksanaan ijab sesuai agama yang dianut. Rangkain acara tak henti sampai pelaksanaan ijab. Setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri secara agama, acara dilanjutkan dengan upacara panggih, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual dhahar klimah, mertui atau mapag besan, serta upacara sungkeman. Seluruh rangkaian acara yang dilewati tentu memiliki makna sesuai adat istiadat Jawa.
Gambar 2.4 Pernikahan Tradisional Suku Jawa (Sumber : http://arisikarep.blogspot.com/, 2 Juni 2012) Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
12
2.2 Suku Batak Toba Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Tiap suku memiliki budaya lokal yang menjadi cara hidup masyarakat setempat serta identitas suku itu sendiri. Identitas budaya dari suatu kelompok etnis dapat terlihat dari berbagai cara, baik secara visual maupun non-visual. Ritual adat merupakan salah satu cara untuk menunjukkan identitas budaya. Setiap kelompok etnis memiliki ritual adat, begitu juga masyarakat suku Batak. Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan kelompok etnis di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata „batak‟ memiliki dua arti. Pertama berarti orang dari sub-etnis yang tinggal di Sumatera Utara dan yang kedua berarti petualang atau pengembara. Suku Batak terdiri dari enam kelompok etnis, yaitu suku Mandailing dan Angkola di bagian selatan pulau, Toba di bagian tengah, Pakpak atau Dairi di bagian barat utara, Karo di bagian utara dan Simalungun di bagian timur utara (Sibeth, 1991).
Gambar 2.5 Peta Pembagian Suku Batak (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)
2.2.1 Bahasa dan Keseharian Bahasa merupakan unsur penting dalam berkomunikasi. Keragaman suku bangsa di Indonesia hadir dengan keragaman bahasa. Selain bahasa Indonesia, masyarakat Batak memiliki banyak bahasa sesuai kelompok suku Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
13
masing-masing. Bahasa berperan penting dalam upacara adat Batak karena umumnya ritual dijalankan dengan menggunakan bahasa Batak. Untuk masyarakat Batak Toba, bahasa Batak berdialek Batak Toba adalah bahasa yang digunakan, baik sehari-hari maupun dalam upacara adat. Etnis Batak merupakan bagian dari golongan ras Austronesia sehingga bahasa Batak Toba memiliki persamaan dengan bahasa Austronesia, misalnya kata tiga. Dalam bahasa Toba, tiga disebut tolu dan dalam bahasa Austronesia telu. Melihat lokasi tempat mereka berdiam, sebagian besar masyarakat suku Batak Toba berprofesi sebagai petani. Masyarakat suku Batak Toba hidup dalam suasana gotong royong dan mengutamakan sistem musyawarah sebelum melakukan suatu kegiatan yang penting (Depdikbud, 1978).
Gambar 2.6 Kegiatan Bertani (Sumber : http://pabersinaga.wordpress.com/, 15 Mei 2012)
Gambar 2.7 Masyarakat Bermusyawarah (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)
2.2.2 Agama dan Kepercayaan Sebelum agama masuk, masyarakat Batak Toba menganut sistem animisme dengan istilah parmalim atau parbaringin. Menurut mereka, dunia awalnya hanya terdiri dari langit dan laut di bawahnya. Saat itu keberadaan bumi belum diketahui sehingga keberadaan manusia pun belum ada. Mereka percaya sang pencipta bumi hidup di langit. Orang Batak Toba mempercayai bahwa Mula Jadi Na Bolon lah pencipta alam semesta. Dalam bahasa Indonesia, Mula Jadi Na Bolon berarti Maha Kuasa atau Maha Besar yang ada dari awal penciptaan. Menurut mereka, Mula Jadi Na Bolon terbagi menjadi tujuh lapisan di langit yang tiap lapisannya berpenghuni. Mula Jadi
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
14
Na Bolon memiliki kekuasaan di atas langit yang terwujud dalam Debata Natolu. Debata Natolu berbentuk tiga benua pada alam semesta, yaitu Benua Bawah, Benua Tengah, dan Benua Atas. Ketiga benua dipimpin triniti Dewa dari keturunan Mula Jadi Na Bolon, yaitu Batara Guru, Mangalabulan, dan Soripada. Selain Mula Jadi Na Bolon, mereka percaya adanya dewa Asiasi yang memiliki tempat dan fungsi di dunia.“There is some evidence that Debata Asiasi can be seen as the balance and unity of trinity of gods (i.e. the three sons of Mula Jadi). In this sense he is nothing more than a manifestation of the highest god, Mula Djadi.” (StÖhr, 1967, hal 10). Jadi, masyarakat Batak memercayai adanya lima dewa yang berperan dalam ritual pada saat itu. Peran kelima dewa tersebut dibutuhkan terutama saat berdoa.
Gambar 2.8 Bentuk Pemujaan Sebelum Agama Masuk (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)
Seiring berjalannya waktu, agama mulai masuk ke suku Batak dan mayoritas dari mereka mulai menganut agama Kristen pada tahun 1861 (Depdikbud, 1978, hal. 18). Pengetahuan awal mengenai agama Kristen berasal dari tulisan seorang misionaris Jerman dan Belanda mengenai kepercayaan suku Batak pada abad tersebut. Sekitar tahun 1862, seorang misionaris Jerman, Dr. Ludwig Ingwer Nommensen, memulai misi kristiani dengan menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru Alkitab ke bahasa Batak Toba dan dilanjutkan Kitab Perjanjian Lama oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Masyarakat suku Batak Toba dengan cepat mulai memahami agama Kristen sehingga awal abad ke-20 agama Kristen mulai dijadikan sebagai identitas walaupun masih ada sebagian yang menganut agama lain.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
15
Gambar 2.9 Gereja HKBP Sipintu-pintu Silangit di Sumatera Utara (Sumber : http://rumametmet.com/2008/09/13/gereja-gereja-di-silindung-humbang-toba/, 10 Juni 2012)
2.2.3 Konsep Kekerabatan Sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, masyarakat Batak Toba tidak hanya hidup secara individu. Mereka menyadari perlunya hidup bersosialisasi dengan orang lain. Oleh sebab itu, masyarakat Batak Toba memegang kuat hubungan kekerabatan sesuai adat istiadat nenek moyang mereka. Hubungan kekerabatan keluarga sangat penting bagi komunitas pada zaman dahulu. Bagi mereka, bentuk hubungan kekerabatan muncul berdasarkan garis keturunan yang muncul dari silsilah kelompok marga (Sibeth, 1991). Dalam tradisi Batak, anggota dalam kelompok marga memiliki ikatan hubungan sedarah. Berdasarkan sosiologis, hubungan kekerabatan muncul dari perpaduan kelompok marga atau karena pernikahan. Bagi masyarakat Batak, bagian terpenting pada hubungan sosial adalah keluarga besar dari tiga sampai empat generasi sebelumnya, sedangkan bagian terkecil adalah keluarga kecil yang terdiri dari orang tua, suami istri, dan anak. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Batak Toba memiliki peranan penting dalam setiap peristiwa, termasuk dalam peristiwa pernikahan. Setiap ritual adat yang dilakukan tak terlepas dari peran setiap individu sesuai dengan hubungan kekerabatan.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
16
2.2.4 Konsep Adat Setiap kelompok etnis memiliki konsep adat yang menjadi identitas, termasuk masyarakat Batak Toba. Dalam menjalani kehidupan, masyarakat suku Batak Toba menganut prinsip yang dikenal dengan hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. 1. Hamoraon atau nilai kekayaan. Mereka mencari banyak rezeki untuk hidup dengan bekerja keras. Kekayaan yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga jumlah anak atau keturunan. 2. Hagabeon atau nilai keturunan. Keturunan merupakan hal penting untuk meneruskan garis keturunan dalam silsilah keluarga. Biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena mereka akan meneruskan marga sampai keturunan berikutnya. 3. Hasangapon atau nilai kedudukan atau jabatan. Nilai hasangapon adalah nilai tambahan apabila mereka memiliki kedudukan atau jabatan pada setiap pekerjaan. Bila tidak tercapai oleh yang bersangkutan, kesuksesan sang anak juga dapat menjadi pertimbangan. Selain itu, masyarakat Batak juga memiliki adat istiadat warisan leluhur berupa falsafah “Dalihan na tolu” yang terdiri dari somba marhulahula (hormat kepada saudara pihak istri), manat mardongan tubu (bersikap hati-hati kepada saudara semarga), serta elek marboru (sifat membujuk kepada saudara perempuan). Dalihan na tolu merupakan konsep hubungan kekeluargaan karena adanya pernikahan dan merupakan dasar dari aspek kehidupan mereka sejak lahir sampai mati (Siahaan, 1999, hal 26). Suku Batak Toba adalah salah satu suku yang masih memegang adat dan prinsip hidup dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, unsur dalihan na tolu diterapkan dalam upacara adat, seperti upacara mendirikan rumah baru, kelahiran, pernikahan, kematian, dll. Unsur dalihan na tolu memiliki
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
17
peranan penting di setiap upacara. Tanpa adanya unsur tersebut, upacara adat tidak terlaksana dengan baik sehingga kehadiran unsur pelaku adat tersebut sangat diharapkan di seluruh upacara adat. Dapat disimpulkan bahwa hubungan kekerabatan yang dilibatkan dalam upacara adat menjadi bukti pentingnya peran manusia sebagai makhluk sosial. 2.2.5 Konsep Pernikahan Sebagai manusia, masyarakat Batak Toba mengalami daur hidup sejak lahir sampai mati dan pernikahan adalah salah satunya. Pernikahan suku Batak bermakna sebagai penyatuan dua marga yang terlibat melalui pelaksanaan upacara adat. Masyarakat Batak percaya upacara adat dapat mempererat hubungan antarkeluarga yang bersangkutan sampai ke generasi selanjutnya. Pada suku Batak Toba, jika seorang laki-laki akan menikah, dianjurkan agar calon istrinya berasal dari marga yang sama dengan sang Ibu (dikenal dengan istilah pariban) agar semakin mendukung hubungan kekerabatan dengan keluarga sang Ibu (hula-hula). Sesuai dengan konsep Dalihan Na Tolu, terdapat tiga peran penting dalam upacara adat pernikahan Batak Toba.
Hula-hula Hula-hula adalah sapaan terhadap orang tua dan saudara laki-laki dari pengantin perempuan, terdiri dari tulang, tulang rorobot, bona tulang, bona ni ari, dll.
Dongan tubu Dongan tubu adalah orang-orang yang memiliki marga sama dengan suhut (keluarga yang menggelar acara).
Boru Pada acara adat, boru adalah para suami dari anak pihak perempuan suhut dan suami dari anak perempuan dongan tubu.
Seorang istri yang baru menikah memiliki kepemilikan atas marga sang suami tetapi biasanya mereka tetap mencantumkan marga asli mereka di belakang marga suami, misalnya Ibu Rosa Simanjuntak, br. Sidabutar Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
18
(Simanjuntak adalah marga sang suami, dan Sidabutar marga asli). Hal ini penting untuk mempererat hubungan kekeluargaan, terutama hula-hula. Dulu masyarakat Batak menikah saat berumur 20 tahun dan biasanya melalui rencana keluarga terutama orang tua (sistem perjodohan). Pernikahan tanpa sistem perjodohan biasanya dikarenakan sudah ada pilihan dari kedua calon pengantin itu sendiri. Di sini, kedua calon pengantin dibebaskan memilih pasangan karena dianggap memiliki tingkat kedewasaan yang memadai pada tahap maturity (gambar 2.1) dan tahap adulthood (gambar 2.2).
Satu-satunya
batasan
dalam
memilih
pasangan
adalah
tidak
diperkenankannya memilih pasangan dari marga yang sama. Aturan ini tidak boleh dilanggar karena akan berdampak pada hubungan kekerabatan keluarga. Di daerah pedesaan, pemilihan pasangan biasanya didominasi kesamaan daerah asal. Hal ini dipengaruhi karena mereka sudah saling mengenal dan terdapat hubungan sosial antar kedua orang tua. Orang tua memiliki peranan penting dalam hubungan calon mempelai sebab ketentuan proses pernikahan biasanya diserahkan sepenuhnya kepada orang tua. Bagi masyarakat Batak Toba, hal penting dalam proses perkenalan antara kedua pihak adalah saat melakukan negosiasi harga mahar calon pengantin perempuan. Proses negosiasi terdengar seolah-olah seperti proses pembelian, namun dalam kenyataannya hal ini merupakan sebuah kompensasi untuk keluarga pengantin perempuan karena anak perempuannya akan diserahkan ke pihak laki-laki setelah menikah. Harga mahar (sinamot) ditentukan berdasarkan status sosial orang tua dan kualitas pendidikan calon pengantin
perempuan.
Semakin
tinggi
status
sosial
dan
kualitas
pendidikannya, semakin tinggi harga mahar yang harus dibayar pihak lakilaki. Proses ini merupakan proses awal dari rangkaian pernikahan adat Batak Toba. Hubungan yang tercipta antarkeluarga tidak hanya mempengaruhi hubungan pengantin saja, tetapi juga hubungan kedua keluarga. Inilah sebabnya, perceraian jarang terjadi pada masyarakat Batak.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
19
2.2.6 Sarana Adat 1. Kain Ulos Selain sebagai identitas, kain ulos kerap kali digunakan untuk mendukung acara adat, termasuk dalam acara pernikahan. Sebelum pengaruh Eropa masuk, masyarakat Batak Toba menggunakan ulos sebagai pakaian sehari-hari. Hampir seluruh masyarakat Batak dapat menenun kain ulos. Namun keahlian mereka dalam menenun kian lama kian menghilang karena masuknya bahan produksi Eropa. Namun karena banyaknya permintaan, perempuan Batak masih terus menenun kain ulos untuk dijual di pasar daerah Kabanjahe dan Pematang Siantar. Saat ini penggunaan ulos sehari-hari jarang ditemukan dan lebih sering digunakan pada upacara adat. Dalam upacara pernikahan, ulos tidak hanya digunakan sebagai busana tradisional namun juga sebagai sarana ritual. Kain ulos menunjukkan harapan keberuntungan dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah serta membentuk hubungan kekerabatan kedua keluarga. Pemberian kain ulos merupakan momen utama dalam pernikahan karena menjadi sarana keluarga untuk memberi doa dan harapan bagi pasangan baru. Prosesi pemberian kain ulos tidak diberikan begitu saja. Ulos diberikan dengan cara diselimutkan ke pasangan pengantin untuk menyatukan mereka. Biasanya prosesi pemberian ulos juga disertai dengan doa restu (pasu-pasu). Melihat pentingnya peran kain ulos dalam upacara adat, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kain ulos merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Batak Toba. Kain ulos memiliki beberapa jenis sesuai maknanya masingmasing. Kapan digunakan, pada siapa diberikan, dan dalam upacara apa digunakan menjadi pertimbangan dalam menggunakan kain ulos. Pada acara pernikahan, ada dua jenis kain ulos yang digunakan, yaitu ulos ragidup dan ragi hotang. Kedua ulos digunakan sebagai lambang kehidupan, restu, dan harapan dari para keluarga.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
20
Gambar 2.10 Ulos Ragi Hotang dan Ulos Ragidup (Sumber : Sibeth, THE BATAK: Peoples of the Island of Sumatra, 1991)
Proses pemberiannya juga dibagi menjadi beberapa tahapan. Pada tahap pertama yang dikenal dengan istilah ulos na marhadohoan, ulos diberikan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki sedangkan tahap kedua yang dikenal dengan istilah ulos holong diberikan oleh kedua keluarga (termasuk hula-hula) kepada kedua pengantin. Tabel 2.1 Pembagian Prosesi Pemberian Ulos pada Upacara Pernikahan (Sumber: Drs. Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, 1998 diolah kembali)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
21
2. Musik Gondang Menurut tradisi Batak, gondang adalah seperangkat alat musik, ansambel musik, serta komposisi lagu. Gondang umumnya dimainkan beserta tari tor-tor. Komposisi musik gondang tergolong unik. Walaupun terbagi dalam tangga nada yang sama dengan musik pada umumnya, penyusunan nada pada gondang berbeda dan hanya memiliki lima tingkatan nada. Berbagai jenis lagu yang dimainkan biasanya tergantung niat dan tujuan pemimpin adat. Anggapan sakral terhadap gondang membuat para pemusik gondang mendapat penghormatan tinggi. Gondang digunakan hampir dalam semua kegiatan tradisional Batak, seperti pesta kelahiran, kematian, pernikahan, dll. Selain sebagai hiburan, gondang juga memiliki nilai magis. Namun masuknya agama dan pengaruh budaya modern telah merubah banyak hal. Di sebagian besar pertunjukan, gondang hanya dimainkan sebagai hiburan. Kesakralan gondang mulai luntur dan banyak dari mereka yang tidak mengerti makna permainan gondang.
Gambar 2.11 Musik Gondang (Sumber : http://ali962.blogspot.com/, 5 Juni 2012)
3. Tari Tor-tor Tari tor-tor adalah tarian tradisional Batak Toba yang gerakannya seirama dengan iringan musik gondang. Tradisi menari tor-tor pada umumnya berlangsung pada masyarakat Batak di wilayah Samosir, Toba. Menurut sejarah, tari tor-tor hanya digunakan dalam ritual
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
22
tertentu untuk memanggil roh. Namun seiring masuknya agama, mulai tahun 1970 hampir di semua kegiatan adat terdapat tari tor-tor tanpa ada nilai magis di dalamnya, termasuk saat upacara pernikahan.
Gambar 2.12 Tari Tor-tor (Sumber : http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/19/tortor-dan-ulos/, 5 Juni 2012)
2.3 Kesimpulan Kelompok etnis Batak Toba adalah salah satu bentuk peran manusia sebagai individu dan sosial. Hidup bersosialisasi dianggap penting sehingga sistem ini diterapkan dalam setiap peristiwa kehidupan. Peran keluarga pun menjadi bagian penting di dalamnya. Tak dipungkiri bahwa tanpa keluarga, makna dalam setiap peristiwa sulit diperoleh. Itulah sebabnya mereka memegang kuat konsep kekerabatan dan konsep adat sebagai bentuk dari interaksi sosial. Dalam upacara adat, konsep adat memiliki peranan penting, dalam bentuk ritual dan sarana adat. Sebagai contoh, penggunaan kain ulos sebagai sarana adat dalam upacara pernikahan. Ulos tidak hanya digunakan sebagai sarana adat tetapi memiliki makna sebagai bentuk perwujudan dari hubungan kekerabatan baru antara dua keluarga yang terbentuk dari ikatan pernikahan. Dengan demikian, hubungan konsep kekerabatan yang mereka miliki tetap tercapai. Selain itu, kesenian tradisional yang mereka miliki seperti musik gondang dan tari tor-tor juga kerap digunakan walaupun sudah mengalami pergeseran makna seiring dengan masuknya agama.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
BAB 3 RUANG DAN MANUSIA
Bangunan, biar benda mati namun tidak berarti tak “berjiwa”,…sesuatu yang sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan (Mangunwijaya, 1992, hal 25).
3.1 Ruang dan Kualitasnya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ruang adalah sebuah rongga tak terbatas atau tempat segala sesuatu yang ada. Sebuah ruang secara tidak langsung dapat terdefinisi saat manusia berada dan berkegiatan di dalamnya. Oleh sebab itu, kualitas ruang yang terbentuk pada suatu tempat berbeda dengan kualitas ruang di tempat lainnya. Kualitas ruang hadir tergantung dari manusia sebagai penggunanya sehingga sifatnya lebih subyektif. Perbedaan pengalaman dan kepribadian yang dimiliki manusia membuat kualitas ruang yang juga berbeda. Namun kesamaan yang dimiliki sekelompok orang, misalnya ras, agama, dll dapat menghasilkan kualitas ruang yang sama. Untuk dapat merasakan kualitas ruang, indera manusia memiliki peranan penting. Menurut Laurens (2004), informasi tentang ruang yang ditangkap manusia melalui indera mempengaruhi pikiran manusia yang membentuk persepsi terhadap ruang tersebut. Persepsi adalah kegiatan mengumpulkan, menyusun, dan mengambil rasa (sense) terhadap informasi-informasi yang didapat dari lingkungan sekitar. Berikut indera-indera yang berperan. Indera penglihatan (vision) Penglihatan
merupakan
indera
yang
paling
dominan
dalam
memperoleh informasi (Hall, 1966). Dengan indera penglihatan, manusia dapat memperoleh informasi walaupun dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Penglihatan dapat mengidentifikasi makanan, manusia, bentuk fisik suatu material, dll dalam jarak tertentu. Selain
23 Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
24
itu, penglihatan juga dapat mengarahkan pergerakan manusia serta mengumpulkan informasi yang dirasakan secara emosional. Indera pendengaran (hearing) Walaupun informasi yang didapat tidak sebanyak indera penglihatan, namun indera pendengaran sangat mempengaruhi perasaan manusia secara emosional. Informasi seperti alunan musik, aliran air, suara orang, dll dapat diperoleh melalui indera ini. Informasi yang tidak terlihat juga dapat diperoleh dengan bantuan indera pendengaran walaupun hasilnya tidak sesempurna dengan apa yang ditangkap langsung oleh mata.
Gambar 3.1 Ilustrasi Pengaruh Indera Pendengaran (Sumber : Hall, The Hidden Dimension, 1966, hal. 45)
Indera pendengaran juga memiliki batasan. Suara pada jarak hampir seperempat mil sulit untuk terdeteksi (Hall, 1966, hal 43). Oleh sebab itu jarak juga mempengaruhi informasi yang diperoleh sehingga menghasilkan perbedaan persepsi antar individu. Indera penciuman (smell) Informasi tentang ruang juga dapat diperoleh dengan indera penciuman, misalnya bau makanan, bau material, dll. Dibandingkan indera lainnya, indera penciuman tidak terlalu dapat dikembangkan. Namun indera penciuman dapat menyimpan memori yang lebih dalam dibandingkan indera lainnya. (Hall, 1966, hal. 45).
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
25
Indera peraba (touch) Indera peraba digunakan untuk memperoleh informasi dengan merasakan sifat permukaan. Berbeda dengan indera lainnya, indera ini bekerja jika ada sentuhan yang dirasakan secara langsung. Sebagai contoh, kita perlu meletakkan telapak tangan pada permukaan laintai untuk dapat merasakan tekstur lantai licin atau kasar, dingin atau hangat, dll. Seluruh rangsangan yang ditangkap kemudian diterima dan diolah untuk menghasilkan informasi baru melalui proses kognitif (Surya, 2004). Proses terbentuk dari hubungan antara tubuh (internal world), fisik (external world), dan sosial (social world). Oleh sebab itu, interpretasi manusia terhadap ruang tidak selalu
sama,
tergantung
perkembangan
pemikiran
manusia
terhadap
lingkungannya.
3.2 Elemen Ruang Ruang terbentuk dari elemen konseptual seperti titik, garis, bidang, dan volume. Elemen tersebut membentuk elemen visual yang dapat menghasilkan kualitas ruang. Kualitas ruang dapat mempengaruhi pemahaman manusia terhadap ruang itu sendiri. Berikut ini adalah elemen pembentuk ruang yang dapat menjadi penentu kualitas ruang.
Dimensi (Proporsi dan Skala) Proporsi merujuk pada hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya atau dengan bagian keseluruhan, sedangkan skala merujuk pada kesesuaian ukuran elemen-elemen ruang. Dimensi ruang memiliki pengaruh terhadap persepsi manusia (Orr, 1987, hal.10). Manusia biasanya menggunakan tubuhnya sendiri untuk merasakan sebuah ruang sehingga sebuah persepsi muncul dari apa yang dilakukan manusia. Apa yang dapat manusia lakukan di dalamnya mempengaruhi pengalaman ruang yang dialami (Hall, 1966, hal. 54). Sebagai contoh, ruang yang memungkinkan manusia bergerak 1-2
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
26
langkah menghasilkan pengalaman yang berbeda dengan ruang yang memungkinkan pergerakan sebanyak 15-20 langkah. Contoh lain misalnya ruang dengan ceiling yang dapat disentuh akan menghasilkan pengalaman yang berbeda dengan ruang yang memiliki ceiling tinggi.
Gambar 3.2 Ilustrasi Pengaruh Dimensi Ruang (Sumber : Hall, The Hidden Dimension, 1966, hal. 54)
Bukaan (Pandangan dan Cahaya) Bukaan yang ada pada sebuah ruang ikut mempengaruhi kualitas ruang. Bentuk dan letak bukaan mempengaruhi pandangan serta cahaya yang masuk. Bukaan yang kecil cenderung membatasi pandangan seseorang dalam sebuah ruang dan begitu juga sebaliknya. Adanya cahaya yang masuk juga menghasilkan kualitas ruang yang berbeda, misalnya kualitas ruang saat siang hari dan malam hari.
Gambar 3.3 Ilustrasi Pengaruh Bukaan (Sumber : pribadi)
Bentuk Penataan ruang terbagi menjadi dua, yaitu ruang sosiopetal dan ruang sosiofugal (Laurens, 2004, hal. 120). Tatanan sosiopetal merujuk pada tatanan yang mampu memfasilitasi interaksi sosial, misalnya tatanan
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
27
meja makan yang berhadapan satu sama lain sehingga pengguna dapat berinteraksi. Berlawanan dengan sosiopetal, tatanan sosiofugal justru dapat mengurangi interaksi sosial, misalnya tatanan tempat duduk yang saling membelakangi pada ruang tunggu. Selain itu, penataan yang terbentuk juga dapat menjadi batasan pada ruang itu sendiri.
Gambar 3.4 Penataan Sosiopetal pada Ruang Makan (Sumber : http://rumahinterior.net/mejamakan, 30 Mei 2012)
Gambar 3.5 Penataan Sosiofugal pada Ruang Tunggu (Sumber : Hall, The Hidden Dimension, 1966, hal 46)
Permukaan (Warna, Tekstur, dan Pola) Ruang tidak hanya dilihat tapi juga dirasakan. Permukaan menjadi salah satu media untuk dapat merasakan ruang. Warna, tekstur, dan pola dapat membentuk kualitas ruang yang didukung melalui penglihatan secara visual, misalnya penggunaan warna-warna gelap yang
cenderung
menghasilkan
kualitas
ruang
lebih
hangat
dibandingkan warna terang.
3.3 Ruang dan Tingkat Kepadatan Sebagai pengguna, tingkat kepadatan manusia di dalam ruang juga perlu menjadi pertimbangan dalam pembentukan ruang. Tingkat kepadatan diukur dari banyaknya jumlah individu dalam suatu batas ruang dengan jarak yang sama besar antarindividu. Semakin bertambahnya jumlah individu pada sebuah ruang dengan luas yang sama akan mengakibatkan tingkat kepadatan yang tinggi.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
28
Gambar 3.6 Ilustrasi Kepadatan (Sumber : http://finance.fortune.cnn.com dan http://www.abc.net.au/, 1 Juni 2012)
Kepadatan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kepadatan ruang atau kepadatan sosial. Kepadatan ruang terjadi karena luas ruangan yang terlalu sempit untuk jumlah individu di dalamnya, sedangkan kepadatan sosial terjadi karena jumlah individu yang terlalu banyak untuk ruang yang tersedia. Itulah sebabnya, perhitungan mengenai tingkat kepadatan lebih baik tidak dihitung dari jumlah individu per unit area tetapi dari jumlah dan kedekatan seseorang dalam suatu komunitas pada suatu area (Knowles, 1979). Kepadatan berbeda dengan kesesakan. Menurut Stokols (1972), kepadatan (density) adalah kendala keruangan (spatial constraint) sementara kesesakan (crowding) lebih mengarah kepada respon tiap individu terhadap sebuah ruang. Kepadatan sifatnya lebih objektif dan terukur, sedangkan kesesakan lebih merujuk pada persepsi dan pengalaman tiap individu sehingga sifatnya lebih subjektif. Sebagai contoh pada tingkat kepadatan yang sama, seseorang merasa sesak namun orang lain belum tentu merasakan hal yang sama atau misalnya pada tingkat kesesakan yang sama, perempuan biasanya cenderung lebih bisa menahan tingkat emosi dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, kepadatan tidak selalu berbanding lurus dengan kesesakan dan begitu juga sebaliknya.
3.4 Ruang dan Perilaku Manusia Manusia merupakan pusat lingkungan sekaligus bagian dari lingkungan. (Laurens, 2004, hal.45). Ruang tidak hanya hadir sebagai wadah untuk aktivitas manusia tetapi juga bagian dari perilaku manusia. Perilaku adalah segala sesuatu yang bisa diamati oleh indera sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Surya,
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
29
2004). Oleh sebab itu, perilaku manusia perlu menjadi pertimbangan dalam menciptakan ruang. Behavior setting (setting perilaku) merupakan bentuk perwujudan dari hubungan tatanan lingkungan fisik dengan pola perilaku manusia. Menurut Laurens (2004), setting perilaku dapat terbentuk dengan beberapa kriteria, antara lain:
Terdapat satu atau lebih pola perilaku dari kegiatan yang berulang (standing pattern of behavior).
Terdapat tata lingkungan tertentu, baik berupa batasan fisik maupun temporal, berkaitan dengan pola perilaku (circumjacent mileu).
Terdapat keselarasan hubungan antara pola perilaku manusia dengan tata lingkungan (synomorphy).
Dilakukan pada periode waktu tertentu walaupun dapat berubah seiring berjalannya waktu.
Dapat disimpulkan bahwa setting perilaku merupakan kombinasi antara manusia, aktivitas, tempat, waktu, serta tata lingkungan. Setting perilaku tidak tergantung hanya pada satu orang atau satu objek saja karena dapat terjadi pada orang dan objek yang berbeda. Jumlah partisipan juga tidak menjadi batasan sehingga jumlah populasi menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi sebuah setting. Selain itu, setting perilaku juga dapat terjadi di ruang manapun, baik ruang terbuka maupun ruang tertutup dengan setting yang berbeda.
Gambar 3.7 Behavior Setting Ruang Rapat (Sumber: http://phbk.bkkbn.go.id/ berita/Pages, 28 Mei 2012)
Gambar 3.8 Behavior Setting Pasar (Sumber: http://joneyun. blogspot.com/2010/04, 28 Mei 2012)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
30
Setting perilaku terdiri dari dua macam, yaitu :
Sistem tempat atau ruang (system of setting), yaitu rangkaian unsur fisik atau spasial yang saling berhubungan sehingga dapat digunakan untuk suatu kegiatan tertentu.
Sistem kegiatan (system of activity), yaitu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang.
Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa sebuah setting memiliki suatu struktur internal yang menjadikan suatu kegiatan dan pelakunya memiliki makna (Laurens, 2004, hal 177). Dengan pola perilaku yang muncul, peran setiap orang pun dapat terlihat. Terlihat pada gambar 3.5, pemimpin rapat menempati posisi di bagian tengah sehingga dapat melihat dan dilihat oleh peserta rapat. Dengan begitu peran pemimpin rapat sebagai pusat perhatian dan pemegang kendali pada aktivitas tersebut dapat terlihat. Contoh lainnya terlihat pada setting pasar yang mengatur perilaku penggunanya sebagai pembeli dan penjual (gambar 3.6).
3.5 Ruang dan Perayaan Ruang tidak sekedar memiliki bentuk fisik tiga dimensi tetapi ruang juga memiliki fungsi yang dapat dirasakan dan didengar. Bagaimana aktivitas manusia yang terjadi di dalam ruang perlu menjadi pertimbangan (Deasy, 1985, hal.15). Perayaan dan ruang sebenarnya memiliki kesamaan,
yaitu sama-sama
membutuhkan pelaku, waktu, kegiatan, serta peristiwa di dalamnya. Ruang dan perayaan juga membutuhkan adanya perencanaan dan program sesuai dengan fungsi dan makna yang ingin dicapai. “Events in themselves though are unique, special and provide a unique experience but in order to ecist they require something to be planned, managed, organised and run (created, conceived, planned, and executed) as there is no event untul someone actually plans one and begins to think about how they can deliver it.” (Berridge, 2007, hal. 21). Sebagai makhluk hidup, manusia bergerak dari satu kondisi ke kondisi lainnya, begitu juga sebuah perayaan. Sebuah perayaan terdiri dari beberapa kegiatan yang Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
31
menuntut manusia untuk bergerak dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Ruang, peristiwa, dan pergerakan memiliki hubungan dalam membentuk suatu karya arsitektur. Ruang hadir untuk mengakomodasi kegiatan dan setiap pola kegiatan yang terbentuk akan menciptakan karakter dan kualitas ruang itu sendiri. Untuk menghadirkan kualitas sebuah bangunan atau kota, kita harus memulai dengan memahami bahwa setiap tempat hadir dengan karakternya yang terlihat dari pola kegiatan yang berlangsung di dalamnya (Alexander, 1979, hal 54). Arsitektur bukanlah kondisi dari sebuah desain tetapi desain dari sebuah kondisi (Tschumi, 1999, hal 259). Hal ini dapat terlihat dari kesamaan antara ruang dan bunga. Untuk menghasilkan bunga berkualitas baik, kita tidak dapat memperolehnya hanya dengan menggabungkan setiap bagiannya satu per satu. Kita perlu menanam dan merawatnya setiap hari. Begitu juga dengan sebuah ruang. Ruang tidak dapat membentuk kualitasnya sendiri hanya dengan bentuk fisik maupun ornamen di dalamnya. Bagaimana manusia membentuk kualitas dalam setiap kegiatan dan situasi pun menjadi unsur penting untuk menghadirkan ruang yang berkualitas.
3.6 Kesimpulan Ruang dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap ruang. Bagaimana manusia berperilaku dan berapa banyak jumlah individu yang terlibat tanpa disadari akan mempengaruhi ruang, baik bentuk maupun kualitasnya. Tidak hanya itu, kualitas ruang yang terbentuk pun juga mempengaruhi perilaku dan kegiatan manusia di dalamnya. Namun kualitas sebuah ruang hadir tergantung persepsi manusia terhadap ruang tersebut melalui indera yang dimiliki. Kualitas ruang dikatakan baik jika dapat memberikan kualitas pada kegiatan yang berlangsung, dan begitu juga sebaliknya. Jadi, kualitas ruang menjadi jawaban dan kunci utama untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sebuah ruang.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
BAB 4 RUANG DAN RITUAL ADAT PERNIKAHAN BATAK TOBA DI JAKARTA
Seiring berjalannya waktu, penyesuaian terhadap perubahan zaman mulai dilakukan masyarakat Batak Toba. Setelah Perang Dunia II, banyak perubahan yang terjadi terutama pada sektor keagamaan. Banyak masyarakat Batak mulai bermigrasi ke pulau Sumatera bagian timur karena faktor ekonomi. Hal ini membuat beberapa dari mereka yang menganut agama Kristen mulai berpindah ke agama Islam. Meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat di era yang semakin modern menjadi salah satu pemicu proses urbanisasi pada kelompok etnis Batak. Tak sedikit masyarakat yang berpindah ke beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta dan banyak dari mereka akhirnya menetap dan tidak lagi tinggal di tanah Batak. Adanya urbanisasi ternyata tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk tetap mempertahankan tradisi adat. Masyarakat Batak Toba dikenal sebagai salah satu kelompok etnis yang masih kuat menjalankan tradisi budaya sampai saat ini. Konsep kekerabatan dalihan na tolu tetap mereka terapkan. Tidak hanya itu, mereka juga masih menjalankan tradisi upacara adat di setiap peristiwa penting, terutama pada peristiwa pernikahan. Sarana adat juga tetap digunakan dalam pelaksanaan ritual sebagai salah satu identitas budaya Batak Toba. Banyak pula kebiasaan-kebiasaan yang masih mereka bawa walaupun sudah berada di kota besar, misalnya dengan penyebutan istilah ‘halaman’ untuk tempat pelaksanaan upacara pernikahan. Hal tersebut secara tidak langsung tentu akan memengaruhi pengalaman ruang yang dirasakan. Manusia dan seluruh kegiatannya tidak terlepas dari ruang yang mengakomodasi. Seluruh kegiatan ritual serta konsep adat juga mempengaruhi pembentukan ruang dan begitu juga sebaliknya. Pada bab ini saya mencoba menganalisis pengaruh ritual adat terhadap ruang dalam upacara pernikahan adat Batak Toba yang berlangsung di Jakarta sesuai dengan teori yang ada pada bab sebelumnya. 32 Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
33
4.1 Ritual Pesta Adat Pernikahan adalah salah satu tahapan peristiwa kehidupan walaupun sebenarnya tidak menjadi kewajiban bagi setiap manusia. Bagi masyarakat Batak Toba, pernikahan merupakan peristiwa penting, baik bagi pengantin maupun keluarga. Oleh sebab itu, banyak rangkaian acara yang dilakukan dan pesta adat adalah inti dari seluruh rangkaian acara pernikahan Batak Toba. Studi kasus upacara pesta adat Batak Toba ini adalah hasil observasi dan dokumentasi pernikahan Ervin Meynardo Sirait dan Lenita Nathania Sinaga yang dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2012 di Gedung Raja, Kebon Nanas, Jakarta Timur. Upacara adat dilakukan dengan cara dialap jual. Dialap jual adalah salah satu sistem dalam upacara adat pernikahan Batak Toba, dimana pihak laki-laki menjadi tuan rumah yang dipilih berdasarkan kesepakatan kedua keluarga. Oleh sebab itu, seluruh persiapan upacara pernikahan diserahkan kepada pihak laki-laki.
Gambar 4.1 Interior ruang pernikahan adat Batak Toba (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
34
Pesta adat dilangsungkan saat prosesi pemberkatan pernikahan di gereja selesai. Tamu diperbolehkan langsung masuk ke dalam gedung, kecuali hula-hula sebab akan ada proses penyambutan hula-hula dari kedua keluarga. Prosesi penyambutan hula-hula dilakukan sebab menurut konsep Dalihan Na Tolu, hulahula memiliki peranan tertinggi. Pesta adat pernikahan suku Batak Toba di tanah Toba pada umumnya diselenggarakan di halaman rumah salah satu pengantin tanpa adanya meja dan kursi untuk tamu, namun tetap dengan setting tempat duduk yang sama. Ternyata hal ini memengaruhi persepsi individu yang terlibat. Masyarakat Batak Toba yang ada di Jakarta biasanya menganggap tempat upacara pernikahan sebagai ‘halaman’ bukan sebuah gedung sedangkan tamu lain sebagai orang awam tetap melihat tempat tersebut sebagai sebuah gedung pernikahan. Hal ini memberikan persepsi ruang yang berbeda pada tiap individu. Di sinilah terlihat pengaruh persepsi dan pengalaman manusia terhadap ruang.
Gambar 4.2 Denah interior ruang pernikahan Batak Toba (Sumber : Pribadi)
Pada acara ini penataan ruang dibagi menjadi empat bagian, yaitu untuk keluarga pihak laki-laki, keluarga pihak perempuan, ruang ritual, serta pelaminan. Pada gambar 4.1, penggunaan karpet merah di bagian tengah menjadi penanda
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
35
ruang ritual utama. Hal ini juga didukung dengan adanya drop ceiling dan penggunaan lampu gantung yang semakin mempertegas posisi ruang ritual. Plafon tinggi dengan luas ruangan yang besar, serta penggunaan warna putih yang dominan menghadirkan kesan megah dan luas pada ruangan. Dengan setting yang terbentuk, area bagian tengah terlihat sebagai area yang aktif dengan pergerakan dan perpindahan saat ritual berlangsung. Hal ini juga didukung dengan adanya alur yang mengatur arah pergerakan, baik menuju pelaminan maupun menjauh dari pelaminan. Adanya penataan khusus untuk kursi dan meja juga mengarahkan orientasi pandangan ke bagian tengah ruang ritual. Selain itu, level pelaminan dibuat sengaja lebih tinggi agar pelaminan tempat orang tua dan pengantin duduk sebagai pelaku utama ritual dapat terlihat dengan jelas. Setting tersebut sebenarnya juga memungkinkan munculnya peran mereka sebagai objek yang melihat. Namun sesuai teori behavior setting, populasi juga mempengaruhi peran dalam sebuah setting. Karena jumlah mereka lebih sedikit, secara psikologi mereka akan tertekan dengan jumlah populasi tamu sebagai pengamat sehingga mereka lebih berperan sebagai objek yang dilihat.
Gambar 4.3 Skema dan orientasi pada interior gedung pernikahan Batak Toba (Sumber : Pribadi) Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
36
Adanya dua setting pada tempat duduk tamu juga memperlihatkan perbedaan peran mereka pada acara tersebut. Pertama adalah setting untuk keluarga dari marga yang sama yang ditata menghadap ke ruang ritual bagian tengah. Setting ini memperlihatkan bahwa mereka ikut terlibat dalam prosesi ritual walaupun tidak berperan langsung sebagai pelaku ritual. Hal ini sesuai dengan konsep pernikahan Batak Toba yang tidak hanya menyatukan dua pengantin tetapi menyatukan kedua keluarga. Berikutnya adalah setting untuk keluarga yang tidak semarga yang ditata menghadap ke pelaminan sebagai fokus utama. Walaupun mereka juga ikut serta dalam ritual, setting ini memperlihatkan peran mereka bukan sebagai objek yang dilihat namun lebih sebagai objek yang melihat. Berbeda dengan pernikahan Batak Toba yang diadakan di tanah Toba dimana tamu duduk di halaman tanpa meja dan kursi, tamu dan keluarga duduk di meja dan kursi. Menurut saya, hal ini merupakan salah satu pengaruh dari perubahan modernisasi yang muncul sehingga duduk tanpa meja dan kursi sudah jarang dilakukan pada perayaan besar. Mengingat banyaknya individu yang terlibat, penataan furnitur dibuat berlapis-lapis untuk menghindari munculnya kesesakan. Terlihat pada gambar 4.2, meja panjang dipilih untuk menghemat ruang sehingga dapat mewadahi seluruh individu. Hal ini juga didukung dengan tidak adanya batasan masif yang menghalangi pandangan ke ruang ritual. Namun yang disayangkan, kesamaan level membuat pandangan orang yang duduk jauh dari ruang ritual terhalang orang di depannya sehingga mereka tidak bisa melihat dengan jelas ritual yang berlangsung. Penataan kursi yang berhadapan juga membuat fokus tamu menjadi dua arah sehingga mereka perlu membalikkan badan saat melihat ritual. Peran mereka sebagai objek yang melihat akhirnya terhambat sehingga pemaknaan ritual pun menjadi tidak sempurna.
Gambar 4.4 Orientasi pandangan pada setting 1 di bagian bawah (Sumber : Pribadi) Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
37
Gambar 4.5 Orientasi pandangan pada setting 2 di bagian bawah (Sumber : Pribadi)
Pelaminan juga memiliki setting khusus. Pada pernikahan Batak Toba, pelaminan tidak hanya untuk kedua orang tua dan pengantin. Saudara kandung dari ayah kedua pengantin memiliki peran penting dalam ritual adat pernikahan Batak Toba sehingga mereka juga berada di pelaminan. Oleh sebab itu, setting pelaminan dibuat memanjang seperti yang terlihat di bawah ini.
Gambar 4.6 Desain pelaminan (Sumber : Pribadi)
Selain levelnya yang dibuat lebih tinggi, pelaminan juga didesain dengan latar berbentuk rumah adat Batak dengan motif dan pemilihan warna cerah. Hal ini menegaskan setting pelaminan sebagai ruang utama yang secara tidak langsung menghadirkan kualitas ruang khusus sekaligus penanda identitas adat Batak Toba.
4.1.1 Prosesi Keluarga dan Pengantin Memasuki Gedung Karena kasus ini merupakan pernikahan dengan sistem dialap jual, pihak laki-laki sebagai tuan rumah menjadi pihak yang pertama memasuki gedung. Prosesi penyambutan dipandu oleh raja parhata (protokol) pihak laki-laki. Mereka menyambut kedatangan pihak perempuan dan dilanjutkan dengan Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
38
penyambutan hula-hula dari pihak laki-laki. Berikutnya adalah penyambutan hula-hula pihak perempuan yang dipandu raja parhata pihak perempuan. Setelah seluruh tamu undangan masuk, acara dilanjutkan dengan prosesi masuknya pengantin ke dalam gedung yang didampingi orang tua dan keluarga. Setiap prosesi memasuki gedung ini dilakukan sambil menari tor-tor dan diiringi dengan musik gondang khas Batak Toba.
Gambar 4.7 Skema ruang saat keluarga memasuki gedung (Sumber : Pribadi)
Terlihat pada gambar 4.7, posisi ritual secara tidak langsung menjadikan pelaminan sebagai latar pada ritual ini. Desain pelaminan sebagai latar yang dilengkapi dengan tarian tor-tor dari para penari menjadi elemen utama dalam menghadirkan kualitas ruang. Penggunaan kain ulos dengan warna beragam, gerakan tari tor-tor, serta iringan musik Batak Toba saat ritual ini berlangsung semakin membangkitkan suasana budaya Batak Toba pada pernikahan ini. Prosesi yang dilakukan di bagian tengah pun membuat fokus para tamu terarah ke bagian tengah. Prosesi ini juga membangun pengalaman ruang dan adaptasi ruang oleh para individu. Keluarga dan pengantin secara tidak langsung diperkenalkan sebagai pelaku ritual utama. Apa yang dirasakan para pengamat ritual tentu akan berbeda jika keluarga dan pengantin langsung duduk di tempatnya masing-masing tanpa ada prosesi memasuki gedung. Tidak ada musik gondang dan tari tor-tor yang menghidupkan suasana pada awal acara pernikahan.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
39
Gambar 4.8 Pelaminan sebagai latar ruang ritual (Sumber : Pribadi)
4.1.2 Penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon Tudu-tudu ni sipanganon adalah tanda makanan adat dari pihak laki-laki. Pada ritual ini, kedua pihak mengelilingi meja sambil memegang wadah makanan saat raja parhata pihak laki-laki mengucapkan doa. Posisi mereka yang saling berpegangan satu sama lain bermakna agar ucapan doa yang disampaikan dapat tersalurkan sampai ke pelaku ritual paling belakang.
Gambar 4.9 Suasana penyerahan tanda makanan adat (Sumber : Pribadi)
Pelaminan sebagai latar serta kain ulos yang digunakan para pelaku ritual terlihat dominan. Elemen lain juga berperan dalam menghadirkan kualitas ruang secara nonvisual, misalnya bau dari makanan adat serta ucapan doa dalam bahasa Batak Toba. Hal ini mempengaruhi pengalaman ruang melalui indera penciuman dan pendengaran sehingga suasana pernikahan Batak Toba semakin terasa kuat.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
40
Gambar 4.10 Skema ruang ritual saat penyerahan tanda makanan adat (Sumber : Pribadi)
Pada gambar 4.10, ruang ritual berada di bagian depan pelaminan. Pelaku ritual berdiri di sebelah kiri (pihak laki-laki) dan kanan (pihak perempuan) tanda makanan adat. Pada ritual ini, tamu lain tidak ikut berperan sehingga fokus utama hanya pada ruang ritual yang terbentuk. Setting yang terbentuk menghasilkan respon dan persepsi ruang yang berbeda antarindividu. Mereka yang berada di belakang hanya memperoleh informasi dengan cara mendengar apa yang diucapkan para pelaku ritual. Selain itu, suara yang mereka dengar dari jarak yang jauh susah untuk ditangkap. Dengan kondisi tersebut, makna ritual yang mereka dapat akhirnya tidak sebaik mereka yang dapat melihat ritual dengan jelas sebab apa yang ditangkap mata lebih dominan daripada yang didengar telinga.
4.1.3 Makan Bersama Acara ini diawali dengan protokol dari pihak laki-laki yang berdoa dan mempersilahkan undangan untuk menyantap makanan. Saat makan bersama, setiap orang berada di posisi masing-masing sehingga ruang ritual berlangsung di seluruh ruang pernikahan. Oleh sebab itu, kualitas ruang yang terbentuk sangat ditentukan keseluruhan desain interior gedung pernikahan sebagai latar pada ritual ini. Selain itu, musik gondang juga menjadi elemen yang dominan pada ritual ini. Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
41
Banyak orang yang terlihat menganggukkan kepala mengikuti irama musik tersebut. Obrolan-obrolan dengan bahasa Batak Toba juga terdengar dominan. Hal-hal tersebut justru lebih terlihat dominan dalam menghadirkan pengalaman ruang.
Gambar 4.11 Hiburan musik saat makan bersama (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.12 Suasana saat makan bersama (Sumber : Pribadi)
Pada ritual Batak Toba, tempat duduk tamu ditata saling berhadapan dan bersebelahan. Penataan dan penyajian makanan yang langsung berada di meja masing-masing terlihat seperti jamuan makan di kerajaan Eropa. Sesuai dengan teori Laurens (2004), penataan tempat duduk seperti ini menggunakan tatanan sosiopetal sehingga mampu memfasilitasi interaksi sosial. Selain karena penyajian makanan yang memang dibagi secara berkelompok sehingga memicu terjadinya interaksi, penataan tempat duduk yang saling berhadapan pun ternyata mendukung interaksi tersebut. Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
42
Gambar 4.13 Skema posisi duduk tamu saat makan bersama (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.14 Skema posisi duduk di pelaminan saat makan bersama (Sumber : Pribadi)
Berbeda dengan tamu, tempat duduk di pelaminan tidak ditata berhadapan. Pengalaman ruang yang dirasakan keluarga dan pengantin di pelaminan berbeda karena didukung pelaminan sebagai latar. Desain pelaminan dengan beragam warna, motif dan bentuk membangkitkan pengalaman mereka. Level pelaminan yang lebih tinggi juga memungkinkan mereka untuk melihat seluruh kegiatan yang terjadi di bagian bawah sehingga apa yang ditangkap mata mereka lebih luas dibandingkan mereka yang duduk di bawah. Walaupun jumlah tamu di bagian bawah lebih banyak dibandingkan mereka yang berada di pelaminan sehingga mereka lebih berperan sebagai objek yang dilihat, namun kegiatan yang membuat para tamu lebih fokus pada makanan akhirnya membuat para pengantin dan keluarga di pelaminan justru berbalik menjadi objek yang melihat pada ritual ini.
Gambar 4.15 Arah pandangan dari pelaminan (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
43
Gambar 4.16 Suasana di pelaminan saat makan bersama (Sumber : Pribadi)
4.1.4 Salam-salam, Pembagian Jambar, dan Pengambilan Tumpak Setelah acara makan, raja parhata (protokol) dari kedua pihak saling berbicara mengenai ritual selanjutnya dan para tamu dipersilakan memberi ucapan selamat ke pelaminan. Sembari para tamu memberi selamat, pihak keluarga lain membagikan jambar (bagian yang diterima seseorang di acara adat) kepada orang-orang yang sudah ditentukan.
Gambar 4.17 Skema posisi pelaku ritual saat bersalaman (Sumber : Pribadi)
Sama dengan upacara pernikahan lainnya, kegiatan bersalaman juga dilakukan di pelaminan. Oleh sebab itu, warna, bentuk, motif, dan penataan pada desain pelaminan berperan utama dalam menghadirkan kualitas ruang. Hal ini semakin didukung dengan musik gondang yang mengiringi proses salam-salam sehingga membuat orang tergerak untuk menari mengikuti alunan musik, baik mereka yang sedang bersalaman maupun yang menunggu di bawah. Secara tidak langsung, hal tersebut sangat berperan dalam menghidupkan suasana ruang yang meriah dibandingkan desain interior ruang itu sendiri.
Gambar 4.18 Suasana meriah saat ritual salam-salam (Sumber : Pribadi) Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
44
Banyaknya jumlah individu yang terlibat membuat setting ruang yang disediakan untuk tiap individu tidak memadai untuk menari. Adanya rasa kebahagiaan dan kebersamaan yang muncul membuat mereka berkeinginan untuk menari bersama. Keterbatasan dari setting yang dibuat untuk melakukan hal tersebut menimbulkan respon manusia akan kebutuhan ruang yang lebih luas. Hal ini secara tidak langsung memicu mereka bergerak dari tempat duduknya masingmasing. Namun pada gambar 4.18, ada beberapa individu yang terlihat tetap duduk di tempatnya sehingga hal ini secara tidak langsung merepresentasikan sebuah kesesakan yang dirasakan beberapa individu. Adanya respon beberapa invididu terlihat dengan penggunaan ruang-ruang kosong yang dianggap lebih memadai. Kondisi tersebut membuat setting ruang menjadi tidak teratur. Walaupun demikian, ruang kosong yang memungkinkan bergerak lebih leluasa justru membuat mereka lebih dapat memaknai ritual dan ruang itu sendiri sehingga makna pernikahan bisa mereka rasakan walaupun tidak berperan langsung sebagai pelaku ritual. Di sinilah peran elemen nonvisual pada akhirnya lebih mendominasi dibandingkan ruang itu sendiri. Acara kemudian dilanjutkan dengan ritual pengambilan tumpak (ucapan selamat berupa uang) oleh pengantin perempuan sebagai dukungan materi dan berkat dari orang tua untuk rumah tangga mereka kelak. Pada ritual ini, ruang ritual terpusat di pelaminan tempat pengantin perempuan.
Gambar 4.19 Skema ruang ritual ketika pengantin mengambil tumpak (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
45
Gambar 4.20 Suasana saat prosesi pengambilan tumpak (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.21 Arah pandangan saat pengantin mengambil tumpak (Sumber : Pribadi)
Pengalaman ruang bagi mereka yang melihat prosesi ritual ini sangat dipengaruhi desain pelaminan sebagai latar serta kegiatan ritual sebagai objek yang dilihat. Level pelaminan yang lebih tinggi juga memperjelas arah pandang mereka sebagai objek yang melihat walaupun
mereka berada dalam jarak
pandang yang tidak sama. Dengan jarak yang jauh, apa yang ditangkap manusia secara visual akan bekerja lebih baik dibandingkan apa yang ditangkap secara nonvisual. Namun posisi raja parhata yang membelakangi para tamu menghalangi pandangan mereka ke pengantin sebagai pelaku ritual utama. Bentuk fisik ruang sebenarnya memungkinkan banyaknya pergerakan yang dilakukan tiap individu untuk dapat mengalami ruang. Namun setting yang diatur membuat pergerakan pada akhirnya terbatas sehingga mereka.
4.1.5 Penyerahan Panggoh (Kekurangan Sinamot) Sinamot adalah sejumlah uang yang diberikan pihak pengantin laki-laki kepada pihak perempuan. Sinamot diserahkan oleh orang tua pengantin laki-laki
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
46
kepada orang tua pengantin perempuan. Sebelum sinamot diberikan kepada orang tua pengantin perempuan, sinamot diserahkan kepada saksi kedua pihak untuk diperiksa dan dibubuhi daun sirih di atasnya.
Gambar 4.22 Skema ruang saat penyerahan panggoh (Sumber : Pribadi)
Ruang ritual terbentuk mengikuti pergerakan orang tua dan beberapa keluarga pengantin perempuan sebagai pelaku utama. Acara dimulai saat pelaku utama turun ke bawah menghampiri saksi kedua pihak. Pada posisi ini, pelaminan tetap terlihat sebagai latar utama pada ritual ini karena levelnya yang lebih tinggi. Selain itu, musik gondang dan tari tor-tor yang mengiringi prosesi serta penggunaan kain ulos dengan warna beragam semakin menghadirkan suasana Batak. Di sinilah peran desain pelaminan serta musik dan tari menjadi penting dalam menghadirkan kualitas ruang, baik secara visual maupun nonvisual. Pada ritual ini, fokus para tamu sebagai pengamat terlihat tidak terarah sehingga mereka yang tidak bisa melihat ritual cenderung melakukan aktivitas lain di luar ritual itu sendiri. Tidak adanya batasan masif semakin mendukung interaksi sosial antar tiap individu sehingga memicu terjadinya aktivitas lain. Dengan kondisi tersebut, mereka akhirnya tidak memaknai ritual secara keseluruhan.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
47
Gambar 4.23 Suasana setting 1 saat orang tua pihak laki-laki menghampiri saksi (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.24 Tamu tidak fokus pada ritual (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.25 Arah pandangan ketika orang tua pihak laki-laki memberikan sinamot ke orang tua pihak perempuan (Sumber : Pribadi)
Ruang ritual berikutnya terbentuk di pelaminan ketika orang tua laki-laki menghampiri orang tua perempuan untuk menyerahkan sinamot. Karena posisi yang berada di pelaminan, desain dan setting pelaminan sebagai latar sangat mempengaruhi kualitas ruang yang terbentuk.
Gambar 4.26 Suasana saat prosesi pemberian panggoh (Sumber : Pribadi) Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
48
Saat berada di pelaminan, peran mereka sebagai objek yang dilihat tercapai pada ritual ini karena level pelaminan yang lebih tinggi. Namun pada akhirnya karena ritual yang mereka tangkap tidak utuh, pemaknaan ritual menjadi tidak sempurna. Mereka hanya dapat melihat ritual ini tanpa melihat ritual yang terjadi sebelumnya. Sama dengan prosesi sebelumnya, musik gondang, tari tor-tor, dan warna kain ulos ikut mendukung kualitas ruang. Terlihat pada gambar 4.26, peran sinamot sebagai objek utama yang selalu dibawa orang tua pihak laki-laki juga tidak kalah penting dalam mengambil peran sebagai objek yang dilihat sehingga ikut mempengaruhi kualitas ruang. 4.1.6 Penyerahan Panandaion Penyerahan panandaion bertujuan memperkenalkan keluarga dekat pihak perempuan kepada keluarga pihak pria. Secara simbolis, panandaion berupa uang yang diserahkan di atas pelaminan kepada empat orang perwakilan yang disebut dengan patodoan atau ‘suhi ampang na opat’. Mereka menjadi simbol pilar kekuatan pada acara adat.
Gambar 4.27 Skema ruang saat proses penyerahan panandaion di pelaminan (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.28 Suasana penyerahan panandaion (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
49
Ruang ritual penyerahan panandaion berada di pelaminan. Pada gambar 4.28, pelaku ritual terlihat berjalan saling mendekat dan ruang ritual terbentuk di bagian depan pelaminan. Oleh sebab itu, pelaminan menjadi fokus utama sebagai objek yang dilihat. Pelaminan juga menjadi latar dari ruang ritual sehingga seluruh elemen desain yang berada di pelaminan sangat mempengaruhi kualitas ruang. Pergerakan pelaku yang berjalan sangat mudah ditangkap oleh mereka yang sedang duduk diam. Peran tamu sebagai objek yang melihat proses ritual didukung dengan level pelaminan yang lebih tinggi sehingga prosesi penyerahan panandaion, penggunaan kain ulos, dan tarian tor-tor yang dilihat sangat mempengaruhi pengalaman ruang. Begitu juga dengan musik gondang yang mereka dengar saat mengiringi prosesi ritual.
4.1.7 Penyerahan Tintin Marangkup Tintin marangkup adalah sebagian uang dari sinamot yang diberikan kepada hula-hula pengantin laki-laki oleh orang tua pengantin perempuan dan begitu juga dengan pihak laki-laki kepada hula-hula pengantin perempuan. Orang tua pengantin mendatangi hula-hula bersama dengan keluarga yang ikut duduk di pelaminan. Dengan diterimanya sebagian sinamot tersebut, maka tulang pengantin laki-laki menerima pengantin perempuan sebagai putrinya sendiri walaupun itu boru dari marga lain dan begitu juga sebaliknya.
Gambar 4.29 Skema ruang ritual penyerahan tintin marangkup (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
50
Ruang terbentuk dari pergerakan orang tua kedua pihak sebagai pelaku utama dari pelaminan sampai ke tempat hula-hula. Hampir sama dengan saat penyerahan sinamot, walaupun ruang yang terbentuk tidak hanya di pelaminan, latar utama yang terlihat pada ritual ini tetap pelaminan. Fokus utama ritual ini sebenarnya berada saat penyerahan tintin marangkup di tempat hula-hula. Jauhnya posisi hula-hula dengan pelaminan membuat latar utama ritual ini tidak lagi pelaminan. Orang lain yang duduk sebagai objek yang melihat justru menjadi latar pada kondisi ini. Oleh sebab itu, tintin marangkup dan kain ulos yang digunakan menjadi elemen yang lebih dominan dalam menghadirkan kualitas ruang. Iringan musik gondang dan kata-kata dalam bahasa Batak Toba juga mempengaruhi suasana ruang.
Gambar 4.30 Suasana prosesi penyerahan tintin marangkup (Sumber : Pribadi)
4.1.8 Pemberian Ulos Ulos merupakan sarana penting pada upacara adat pernikahan. Adanya agama menghilangkan nilai magis pada ulos sehingga ulos digunakan sebagai sarana adat dalam upacara adat. Pemberi dan penerima ulos memilki aturan tertentu sesuai perannya masing-masing. Prosesi pemberian ulos pertama diawali dengan pemberian ulos dari orang tua perempuan untuk orang tua laki-laki dan antara masing-masing keluarga. Pemberi ulos berjalan berdampingan menuju penerima ulos yang duduk di depan pelaminan. Terlihat pada gambar 4.31, ritual berada di depan pelaminan sehingga latar utama yang terlihat adalah pelaminan. Selain itu, hal ini juga didukung level pelaminan yang lebih tinggi sehingga dapat terlihat jelas dan akhirnya mempengaruhi pengalaman ruang yang dirasakan manusia sebagai pengguna ruang tersebut.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
51
Gambar 4.31 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos pertama dan ketiga (Sumber : Pribadi)
Gambar 4.32 Pelaminan sebagai latar saat prosesi pemberian ulos (Sumber : Pribadi)
Penggunaan kain ulos sebagai sarana adat sangat mendominasi kualitas ruang. Prosesi saat kain ulos dibawa dan kemudian diserahkan menjadi elemen utama pada ritual ini. Hal ini semakin didukung dengan iringan musik gondang dan ucapan doa dalam bahasa Batak Toba yang memengaruhi pengalaman ruang manusia melalui pendengaran sehingga suasana terasa lebih meriah.
Gambar 4.33 Ulos sebagai elemen utama (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
52
Pemberian ulos berikutnya diserahkan kepada partodoan atau suhi ampang naopat (tujuannya sama dengan penyerahan panandaion). Kualitas ruang yang terbentuk pada ritual ini tidak jauh berbeda dengan prosesi pertama karena ruang ritual tetap berada di posisi yang sama. Namun perbedaan terletak pada arah proses pemberian ulos yang dilakukan.
Gambar 4.34 Skema ruang saat prosesi pemberian ulos ketiga (Sumber : Pribadi)
Terlihat pada gambar 4.34, ulos diberikan dari pihak perempuan (sisi kiri) kepada pihak laki-laki (sisi kanan) sehingga ruang terbentuk dari arah kanan ke kiri. Dengan posisi seperti ini, latar pada ruang ritual ini tidak hanya pelaminan. Orang yang duduk di belakang sebagai objek yang melihat pelaku ritual akhirnya juga berperan sebagai latar ruang ritual. Pemberian ulos ke-3 adalah prosesi pemberian ulos utama pada ritual ini. Ulos diberikan kepada pengantin secara berturut-turut dari keluarga pihak perempuan, hula-hula pihak perempuan, serta hula-hula pihak laki-laki. Pemberian ulos ini bermakna sebagai ucapan berkat dan doa restu untuk pengantin. Pemberi ulos berjalan berdampingan dengan pasangan masing-masing menuju pengantin sebagai penerima ulos yang duduk di depan pelaminan. Ruang yang terbentuk tidak berbeda dengan pemberian ulos pertama sehingga kualitas ruang yang dirasakan juga tidak mengalami perubahan.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
53
Ritual pemberian ulos adalah ritual yang paling penting pada upacara pernikahan Batak Toba karena maknanya sebagai doa untuk pengantin dan keluarga. Oleh sebab itu, saat ritual ini berlangsung banyak orang yang berdiri dari tempat duduknya untuk dapat melihat prosesi ritual dengan jelas. Tak jarang juga orang yang memindahkan kursinya ke tempat yang lebih dekat. Terlihat adanya respon yang dilakukan manusia terhadap setting ruang sehingga ketidakteraturan tersebut akhirnya membuat setting awal menjadi tidak berlaku. Namun hal ini tidak menjadi masalah selama tidak mengganggu prosesi ritual berlangsung. Pada kasus ini, pemaknaan ritual terlihat menjadi lebih penting daripada setting ruang itu sendiri.
Gambar 4.35 Setting ruang yang tidak teratur saat prosesi pemberian ulos (Sumber : Pribadi)
4.1.9 Mangunjungi Ulaon (Acara Penutup) Acara penutup diawali ucapan terimakasih oleh orang tua pengantin perempuan dan laki-laki, serta pengantin yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian uang olop-olop dan beras (diletakkan di atas piring) kepada perwakilan raja huta (yang dituakan) sebagai ucapan syukur. Setelah itu acara dilanjutkan dengan acara paulak une dan maningkir tangga yaitu acara penyerahan pengantin perempuan kepada keluarga pihak laki-laki dan kemudian ditutup dengan doa sebagai ucapan syukur. Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
54
Gambar 4.36 Orang tua dan pengantin memberi ucapan terimakasih (Sumber : Pribadi)
Saat orang tua dan pengantin memberikan ucapan terimakasih, ruang ritual terbentuk di pelaminan tempat orang tua dan pengantin berdiri. Tidak ada pembentukan ruang yang berbeda karena pelaku ritual tetap berdiri bersebelahan di tempat awal masing-masing. Mereka hanya bergerak dari posisi duduk menjadi berdiri. Desain pelaminan sangat mendominasi desain ruang pada ritual ini. Pelaku ritual yang berperan sebagai objek yang dilihat berdiri tepat di depan latar pelaminan sehingga fokus utama yang ditangkap mata mengarah ke pelaminan. Oleh sebab itu, seluruh elemen yang ada di pelaminan menjadi elemen penentu kualitas ruang, termasuk kain ulos yang digunakan para pelaku ritual.
Gambar 4.37 Penyerahan uang olop-olop (Sumber : Pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
55
Gambar 4.38 Skema ritual pemberian uang olop-olop (Sumber : Pribadi)
Terlihat pada gambar 4.38, ruang ritual terbentuk mengikuti pergerakan pelaku ritualnya. Saat raja parhata pihak laki-laki berjalan menghampiri raja parhata pihak perempuan sambil membawa uang olop-olop, ruang ritual terbentuk dari sisi pihak laki-laki ke pihak perempuan. Posisinya yang berada di depan pelaminan membuat pelaminan menjadi latar utama. Namun karena levelnya yang sama, orang yang duduk di belakang tidak bisa melihat jelas prosesi ritual berlangsung sehingga mempengaruhi pengalaman ruang yang dirasakan. Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa ruang tidak menjadi satu-satunya elemen yang berperan dalam menghadirkan kualitas ruang dan ritual. Adanya peran elemen lain seperti kain ulos, musik gondang, penggunaan bahasa Batak Toba, serta sarana adat lain juga tidak kalah penting dengan peran ruang itu sendiri.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
56
4.2 Kasus Pembanding : Pernikahan Adat Jepang (Shinzen Kekkonshiki) Setiap budaya memiliki tradisi pernikahan masing-masing, termasuk pada budaya Jepang. Meskipun Jepang dikenal sebagai negera berteknologi canggih dan modern, masyarakat Jepang tetap mempunyai kesadaran untuk berperan sebagai makhluk sosial dan tetap menjalankan adat istiadat warisan leluhur. Jepang memiliki beberapa upacara pernikahan sesuai dengan tradisi dan kepercayaan. Sama halnya dengan Indonesia, adat pernikahan bergaya Barat seperti ritual pemotongan kue dan pertukaran cincin juga sering digunakan di negara Jepang. Pernikahan ini dikenal dengan kirisuto-kyou shiki. Walaupun ada banyak jenis perayaan dalam upacara pernikahan, banyak pasangan memilih upacara ritual Shinto atau shinzen kekkonshiki. Shinto merupakan kepercayaan tradisional yang dianut masyarakat Jepang. Ritualnya dipimpin oleh pendeta Shinto dan berlangsung di altar suci kuil Shinto. Berbeda dengan pernikahan Batak Toba, upacara pernikahan dengan ritual tradisi Shinto sifatnya sangat pribadi dan formal sehingga hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Inilah alasan mengapa saya mengambil pernikahan ritual Shinto ini sebagai kasus pembanding karena memiliki perbedaan ritual yang sangat kontras dengan pernikahan Batak Toba sehingga perbedaan ritual tersebut dapat semakin memperlihatkan perbedaan ruang dan kualitas yang terbentuk.
Gambar 4.39 Interior ruang pernikahan ritual Shinto (Sumber : http://contemporist.com), 15 April 2012 Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
57
Ruang yang dibutuhkan dalam pernikahan ritual Shinto pada umumnya tidak berukuran besar. Namun agar ritual dapat berjalan lancar, interior ruang tetap perlu memiliki penataan khusus. Terlihat pada gambar 4.39, penataan ruang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu altar, ruang untuk tempat duduk keluarga dan kerabat, serta ruang ritual. Penataan tersbeut secara tidak langsung juga mengarahkan posisi ruang ritual di bagian tengah. Bentuk ruang yang sederhana tanpa permainan ceiling maupun level menghadirkan suasana kesederhanaan pada ruang pernikahannya. Hal ini juga didukung dengan pemilihan warna coklat dan material kayu yang memberi kesan hangat dan intim sehingga mendukung kesucian pernikahan ritual Shinto.
Gambar 4.40 Skema ruang pernikahan ritual Shinto (Sumber : pribadi)
Ruang pernikahan ritual Shinto juga memiliki dua setting untuk tempat duduk tamu dan keluarga seperti pernikahan adat Batak Toba. Namun karena jumlah individu yang terlibat tidak sebanyak pernikahan Batak Toba, setting tempat duduk hanya dibagi menjadi dua sampai tiga lapis. Oleh sebab itu, perbedaan level tidak diterapkan pada ruang pernikahan ritual Shinto. Uniknya, hal tersebut tidak menjadi masalah untuk setting ruang. Ukuran ruang yang kecil
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
58
membuat jarak pandang manusia tidak terlalu jauh dan mendukung peran ritual sebagai suatu pertunjukkan yang dilihat. Selain itu, penggunaan meja panjang juga tidak menjadi pilihan karena ruang yang tersedia mampu mewadahi jumlah individu yang terlibat. Dengan begitu, peran pelaku sebagai objek yang dilihat tercapai sehingga ritual tidak hanya dirasakan mereka tetapi juga dirasakan tamu lain sebagai pengamat.
Gambar 4.41 Arah pandangan pada setting 1 (Sumber : pribadi)
Gambar 4.42 Arah pandangan pada setting 2 (Sumber : pribadi)
4.2.1 Prosesi Memasuki Ruang Pernikahan Pada pernikahan ritual Shinto, pengantin dan kedua orang tua tidak langsung masuk ke dalam kuil. Mereka berbaris memasuki kuil bersama-sama. Kedua pengantin beserta orang tua dan sanak saudara dibagi menjadi dua barisan yang dipimpin oleh pendeta Shinto di bagian depan. Ruang ritual yang terbentuk pada prosesi ini berada di pelataran kuil ketika para pelaku ritual berjalan menuju kuil. Di sinilah peran area pelataran kuil menjadi ruang utama. Bangunan kuil serta pepohonan di sekitarnya mempengaruhi pengalaman ruang bagi para pelaku ritual. Adanya penggunaan kimono dan payung besar berwarna merah juga menambah kualitas ruang pada ritual ini.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
59
Gambar 4.43 Prosesi memasuki kuil (Sumber : http://neng014.wordpress.com/2009/04/27/perayaan-pernikahan-di-jepang, 8 April 2012)
4.2.2 Penyucian dan Ritual San-sankudo Di awal upacara pernikahan, kedua pengantin disucikan oleh pendeta Shinto dan dilanjutkan dengan ritual san-sankudo. Pada ritual ini, pengantin perempuan dan laki-laki secara bergiliran menghirup sake sebanyak sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan. Sake adalah sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan.
Gambar 4.44 Pengantin disucikan Shinto (Sumber : http://library.thinkquest.org/, 8 April 2012)
Gambar 4.45 Pengantin menghirup sake (Sumber : http://library.thinkquest.org/, 8 April 2012) Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
60
Gambar 4.46 Skema ruang saat ritual penyucian dan san-sankudo (Sumber : Pribadi)
Terlihat pada gambar 4.46, ruang ritual berada di depan altar tempat pengantin dan shinto melakukan ritual sehingga desain altar kemudian menjadi latar utama dan elemen utama pembentuk kualitas ruang. Adanya elemen lain seperti kimono, sake, dan sarana adat lainnya juga mendukung suasana pernikahan dan kualitas ruang yang digunakan. 4.2.3 Pengucapan Janji Pernikahan Saat pengantin mengucap janji, kedua keluarga yang bersangkutan saling berhadapan dan kemudian masing-masing anggota keluarga dan kerabat dekat saling bergantian minum sake. Ritual ini memiliki makna sebagai lambang persatuan kedua keluarga melalui ikatan pernikahan. Ruang ritual yang terbentuk pada saat pengucapan janji pernikahan ini tidak mengalami perubahan dengan ruang ritual sebelumnya. Kegiatan ritual yang dilakukan memang berubah namun tidak terjadi perpindahan. Oleh sebab itu, kualitas ruang yang hadir juga tidak berubah.
4.2.4 Acara Penutup (Pemberian Sesaji) Upacara pernikahan ditutup dengan ritual pemberian sesaji berupa ranting Sakak kepada Shinto. Sakaki adalah jenis pohon keramat pada tradisi Shinto.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
61
Tujuan ritual pemberian sesaji ini adalah mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan serta doa dan persembahan kepada Dewa Shinto.
Gambar 4.47 Pengantin perempuan memegang ranting sakaki (Sumber : http://tsubakishrine.org/ceremonies/weddings, 8 April 2012)
Sama dengan ritual sebelumnya, ruang ritual pada acara penutup ini juga tidak mengalami perubahan karena| tidak adanya perpindahan yang dilakukan. Terlihat pada gambar 4.47, pengantin tetap duduk berdampingan dan berhadapan dengan pendeta Shinto sebagai pemimpin ritual. Namun yang berbeda adalah peran sakaki sebagai sarana adat. Prosesi saat pengantin perempuan memegang sakaki serta bentuk ranting sakaki secara tidak langsung menghadirkan pengalaman ruang yang berbeda.
Gambar 4.48 Ranting sakaki sebagai sarana adat (Sumber : http://cdn.beritaunik.net/, 7 Juni 2012)
Kesederhanaan ritual Shinto tidak terlalu mempengaruhi ruang ritual. Ritual tidak menuntut adanya perpindahan posisi pelaku ritual sehingga kualitas ruang ritual juga tidak berubah. Namun adanya elemen lain yang digunakan sebagai sarana adat secara tidak langsung mendukung kualitas ruang yang tercipta. Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
62
4.3 Kesimpulan Tabel 4.1 Hubungan Ruang dan Ritual Upacara Adat Pernikahan Batak Toba (sumber: pribadi)
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
63
Pernikahan adat Batak Toba pada umumnya membutuhkan ruang yang besar. Terlihat dari tabel 4.1, ruang ritual tidak hanya berada di satu titik. Walaupun tidak adanya batasan masif, pemisahan antara ruang ritual dan nonritual terlihat jelas dari setting dan desain ruangnya, seperti penggunaan karpet merah, drop ceiling, dll. Selain itu, banyaknya jumlah individu yang terlibat juga
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
64
menjadi salah satu alasan sehingga terdapat setting khusus untuk dapat mengakomodasi seluruh individu. Namun setting tersebut tidak begitu didukung dengan desain ruangnya. Contohnya kesamaan level antara ruang ritual dan tempat duduk tamu seringkali menghambat peran tamu sebagai pengamat. Jauhnya jarak pandang membuat orang yang berada di bagian belakang terhalang orang di depannya. Dengan kondisi tersebut, fokus tamu menjadi tidak terarah dan memicu mereka melakukan hal lain di luar ritual tersebut. Oleh sebab itu, perbedaan dari apa yang diperoleh tiap individu menghasilkan persepsi yang tidak sama sehingga pemaknaan ritual setiap orang berbeda. Selain itu, setting yang dibuat berlapis-lapis untuk menghindari terjadinya kesesakan ternyata tidak berlaku untuk ritual tertentu. Setting justru menimbulkan respon beberapa individu terhadap kebutuhan ruang yang lebih luas untuk dapat memaknai ritual tersebut. Mereka kerap melakukan usaha dengan memanipulasi ruang sehingga mengubah setting yang ada dan setting awal menjadi tidak berlaku. Adanya elemen lain seperti kain ulos, musik gondang, tari tor-tor, dll yang digunakan ternyata tidak hanya berperan sebagai sarana adat. Secara tidak langsung elemen tersebut membantu menghadirkan kualitas ruang, baik secara visual maupun nonvisual, yang tidak didapatkan melalui elemen ruang itu sendiri. Sebagai kasus pembanding, proses pernikahan ritual Shinto di Jepang lebih singkat dan sederhana. Hal ini ditujukan agar makna kesucian janji pernikahan kedua mempelai dapat tercapai. Tidak ada perpindahan yang signifikan dari satu ritual ke ritual lain sehingga ruang ritual hanya berada di satu titik. Selain itu, jumlah individu yang terlibat juga lebih sedikit. Itulah sebabnya ruang pernikahan adat Jepang lebih sederhana dibandingkan pernikahan adat Batak Toba. Dari penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa perbedaan ritual sangat memengaruhi bentuk fisik dan penataan ruang.
Begitu juga dengan
perbedaan tingkat kepadatan pelaku ritual sebagai pengguna ruang. Oleh sebab itu, ritual adat pernikahan Batak Toba dapat berlangsung jika ruang memiliki setting yang sesuai sehingga makna ritual dapat tercapai.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN
Secara kodrati, manusia hidup sebagai makhluk individu dan sosial. Kelompok etnis masyarakat Batak Toba merupakan salah satu bentuk perwujudan peran manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Ritual adat berperan sebagai media bersosialisasi serta menerapkan konsep kekerabatan dalam upacara adat yang dijalankan, termasuk upacara pernikahan. Ritual adat juga menjadi hal penting dalam proses pelaksanaan upacara pernikahan tradisional. Itulah sebabnya, setiap kebudayaan menghadirkan ruang berbeda yang menyesuaikan latar belakang, adat, dan tradisi masing-masing. Ruang dan manusia merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Sebuah ruang dikatakan baik jika dapat memberi kualitas pada kegiatan yang berlangsung dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana para pelaku melakukan proses ritual dan seberapa banyak individu yang terlibat menjadi pertimbangan utama dalam proses pembentukan ruang sehingga tercipta sebuah setting. Hubungan antara manusia dan setting inilah yang berperan dalam sebuah behavior setting. Sebuah ruang terbentuk dari hasil interpretasi perancang dan manusia yang berkegiatan di dalamnya. Perancang mengatur perilaku manusia yang muncul dalam sebuah setting dengan sebuah rancangan. Dengan begitu, manusia dengan segala pengalaman dan persepsi yang dimiliki dapat memaknai setting tersebut sehingga menghadirkan kualitas ruang. Tidak hanya itu, penggunaan sarana adat secara tidak langsung juga membentuk kualitas ruang dan kegiatannya. Pada studi kasus upacara adat pernikahan Batak Toba, beragamnya ritual membentuk ruang ritual yang berbeda-beda sehingga setting memiliki peran untuk dapat mengakomodasi seluruh ruang ritual. Setting tersebut secara tidak langsung mengarahkan manusia yang terlibat untuk menjalankan ritual dengan setting dan orientasi yang tercipta. Hal tersebut menciptakan interaksi sosial dan perilaku tiap individu, baik sebagai pelaku maupun pengamat ritual. Interaksi yang muncul pun akhirnya mempengaruhi pemaknaan ritual yang berlangsung. 65 Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
66
Yang disayangkan, setting tidak didukung dengan desain ruang itu sendiri. Sebagai contoh, sebagian besar ritual adat pernikahan Batak Toba mengambil ruang di bagian tengah. Hal ini tidak didukung dengan perbedaan level. Level yang sama membuat orang yang duduk jauh dari ruang ritual tidak bisa melihat dengan jelas. Dengan begitu apa yang ditangkap tiap individu akan berbeda sehingga pemaknaan ritual dan ruang menjadi tidak sempurna. Hal ini memicu mereka melakukan usaha untuk tetap dapat memaknai ritual tanpa menganggu prosesi ritual, misalnya dengan berdiri atau memindahkan kursi. Setting yang tidak didukung dengan desain ruang juga menimbulkan adanya kesesakan yang dirasakan pengamat ritual pada ritual tertentu. Muncul respon mereka untuk tetap dapat melakukan kegiatan yang diinginkan dengan memanipulasi ruang sehingga membuat setting awal menjadi tidak berlaku. Maka dari itu, manusia sebagai subyek perilaku seharusnya menjadi perspektif yang diutamakan. Oleh sebab itu, setting ruang perlu didukung dengan desain ruang yang sesuai agar dapat mendukung kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Dari hasil analisis studi kasus, saya mengambil kesimpulan bahwa penggunaan gedung khusus pada upacara adat pernikahan Batak Toba merupakan suatu kebiasaan masyarakat Batak Toba yang tinggal di Jakarta. Upacara adat pernikahan Batak Toba tidak harus dilakukan di gedung khusus sebab pada kenyataannya desain gedung tersebut belum tentu memberikan pemaknaan ritual yang baik untuk seluruh individu yang terlibat, baik pelaku ritual maupun pengamat ritual. Gedung lain dengan setting yang sesuai mungkin saja digunakan agar ritual dapat dimaknai lebih baik. Dari penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa bukan hanya ritual yang membentuk setting dan kualitas ruang atau ruang yang memberikan kualitas ritual, tetapi keduanya saling berperan dalam pembentukannya masing-masing. Tidak hanya elemen pembentuk ruang itu sendiri pula yang berperan dalam membentuk sebuah kualitas ruang, namun peran elemen nonvisual yang digunakan juga dapat mendukung kualitas ruang.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
67
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Christopher. (1979). The Timeless Way of Building. New York: Oxford University Press. Baldwin, John R., dkk. Redefining Culture: Perspectives Accross the Disciplines. London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Berridge, Graham. (2007). Events Design and Experience: Events Management Series. United Kingdom: Elsevier Ltd. Crowther, J. (Ed.). (1998). Oxford Advance Learner’s Dictionary. Cornelsen & Oxford, fifth edition. Deasy, C.M. (1985). Designing Places for People: A Handbook on Human Behavior for Architects, Designers, and Facility Managers. United Kingdom: Phaidon Press Ltd. Dempsey, David. (1974). An Introduction to Environmental Psychology. United States of America: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1978). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Erikson, Erik. (1997). The Life Cycle Completed. New York: W. W. Norton & Company, Inc. Hall, Edward T. (1966). The Hidden Dimension. United States: Anchor Books, Random House, Inc. Laurens, Joyce Marcella. (2004). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo. Mangunwijaya, Y.B. (1992). Wastu Citra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
68
Mead, George Herbert. (1934). Mind Self and Society from the Standpoint of a Social Behaviorist. Chicago: The University of Chicago Press, Ltd. Siahaan, Edward Tigor. (1999). Tapanuli Utara: New Life in Hills & Valleys. Jakarta: Times Communications. Sibeth, Achim. (1991). The Batak: People of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson Ltd. Simmel, Georg. (2001). The Problem of Sociology. In M. L. Anderson, et al. Understanding Society (pp. 35-57). Belmont: The Wadsworth Publishing. Sinaga, Drs. Richard. (1998). Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama dan KERABAT. Sitompul, St. R.H.P. Bsc. (2009). Ulos Batak: Tempo Dulu-Masa Kini. Jakarta: KERABAT. Surya, Prof. DR. Mohamad. (2004). Psikologi Pembelajaran dan Pengajian. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Tschumi, Bernard. (1944). Architecture and Disjunction. Cambridge: MIT Press. Tuan, Yi-Fu. (2005). Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota Press. Van Gennep, Arnold. (1960). The Rites of Passage. London: Routledge & Kegan Paul, Ltd.
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012
69
REFERENSI WEBSITE DAN MEDIA ELEKTRONIK
Archie_media. (27 Mei 2007). Pengaruh Timbal Balik Perilaku dan Ruang. http://arsitadulako.blogspot.com/2007/05/pengaruh-timbal-balik-danruang.html diakses tanggal 30 Mei 2012 pukul 13.55 Foster, Angga (2 Mei 2012). Gondang Batak, Sejarah Musik Batak yang Terlupakan http://dotuku.com/anggafoster/artikel/gondang-batak-sejarah-musik-batakyang-terlupakan diakses tanggal 5 Juni 2012 pukul 14.25 Kompasiana. (26 Agustus 2010). Sosbud. http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/26/ diakses tanggal 24 April 2012 pukul 19.40 Monang Naipospos. (19 Agustus 2007). Tortor dan Ulos. http://tanobatak.wordpress.com/2007/08/19/tortor-dan-ulos/ diakses tanggal 5 Juni 2012 pukul 17.50 Neng014’s Blog. (27 April 2009). Perayaan Pernikahan di Jepang. http://neng014.wordpress.com/2009/04/27/perayaan-pernikahan-di-jepang diakses tanggal 8 April 2012 pukul 17.26 O’Brien, Raymond. Embrace The Deception. (28 Oktober 2010). The Lush Life Chronicles Volume 2: The Personal Bubble. http://embracethedeception.blogspot.com/2010/10/lush-life-chroniclesvolume-2-personal.html diakses tanggal 15 Maret 2012 pukul 20.45 Sagala, Evi Cinra. (7 Oktober 2011). Perkawinan Tradisional Secara Shinto Pada Masyarakat Jepang. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/29345 diakses tanggal 7 April 2012 pukul 20.05 TRAVIAN FORUM. (27 November 2009). Adat Pernikahan (over the world) http://forum.travian.co.id/showthread.php?17555-Adat-Pernikahan-(over-theworld)/page2 diakses tanggal 7 April 2012 pukul 19.20
Universitas Indonesia
Ruang dan ritual..., Yulia Vonny Sinaga, FT UI, 2012