KEDUDUKAN WANITA SUKU BATAK TOBA YANG MELAKUKAN PERKAWINAN DENGAN PRIA SUKU DILUAR SUKU BATAK TOBA DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA Relinda Meisa, Ririn Putri Mahasiswa Fak. Hukum UNS Abstract This research aimed at women of a tribe to know it was toba who performs marriage outside of the tribe was with a guy tribe of toba in customary law was toba as well as a result of the marriage law. This research using research law normative.A kind of law a covering material law the primary and secondary material law.Legal material collected by looking for a study document then analyzed in deductively syllogism. A woman in the toba batak is aligned with men.Equality in terms of heirship and in performing legal action.In performing mating by male batak, outside of the tribe can inflict gord law.Marriage performed batak not a woman to man batak means she citizenry batak, removing custom because man from the outside cannot be batak continuer offspring batak.Mating with men outside the citizenry batak can eliminate customs batak but not eliminate the family woman with his family.Besides the child marriage is entered in customs tribe of her husband.The child is not entitled to the genera batak existing in her mother.But if the man, given genera hence the genera can be passed on to offspring.In it, heirship no effect because basically women have no inheritance.But also can be granted to a woman in compliance with agreement. Keyword: Notch woman, marriage PENDAHULUAN Indonesia adalah
negara yang terdiri dari bermacam-macam suku
bangsa, dengan keberagaman dan mempunyai peluang yang besar pula dalam
1
perkawinan yang berbeda suku. Perkawinan yang dilangsungkan mengandung nilai-nilai atau norma-norma budaya yang sangat kuat dan luas, Budaya yang berbeda melahirkan standar masyarakat yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan perkawinan adat istiadat. Namun diantara berbagai bentuk yang ada, perkawinan merupakan salah satu contoh yang dapat dilihat secara adat istiadat suku setempat yang dapat diterima serta diakui secara universal. salah satunya adalah perkawinan adat batak toba. Perkawinan adat batak memiliki aturan-aturan yang sampai saat ini masih ditaati. Masyarakat batak menganggap bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba: marpariban) ialah antara seorang
anak laki-laki
dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang pria batak sangat pantang kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan ayah.
1
Bagi masyarakat batak toba tujuan
perkawinan adalah bukan hanya suami istri saja yang terlibat dalam perkawinan tetapi melibatkan hubungan antara keluarga istri dan keluarga suami serta orang lain yang ikut melibatkan diri didalamnya. Perkawinan itu tidak hanya semata mata menjadi urusan kedua mempelai saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diberkati Tuhan sebagai suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Selain itu bagi masyarakat adat batak toba perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan, meneruskan marganya, dan menambah persaudaraan.
1
Soerjono Soekanto, 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada hal 217
2
Dalam perkawinan adat batak, banyak ketentuan-ketentuan yang dilarang atau yang dihindari untuk dilakukan. Salah satunya adalah perkawinan antara wanita batak toba dengan pria diluar suku batak. Untuk meneruskan marganya, masyarakat batak idealnya kawin dengan sesama sukunya. Perkawinan tersebut menimbulkan akibat hukum bagi orang-orang yang melakukannya. Masyarakat adat yang kawin dengan orang diluar sukunya terancam tidak dapat meneruskan marganya kepada keturunannya, terutama wanita yang kawin dengan pria diluar sukunya. Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas dan diteliti adalah Kedudukan Wanita Suku Batak Toba yang melakukan Perkawinan dengan Pria Suku diluar Suku Batak Toba dalam Hukum Adat Batak Toba. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif karena mengkaji aturan hukum positif, dengan menggunakan tolok ukur hukum adat khususnya hukum adat batak toba. Penelitian ini termasuk dalam bidang kajian perundang-undangan yang diistilahkan dengan hukum adat. Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang mengeksploitasi sumber-sumber kepustakaan dalam bidang khusus terkait dengan penelitian ini, maka sumber data primer penelitian ini adalah hukum adat di Indonesia dan sumber data sekunder penelitian ini adalah hukum adat batak toba.
3
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kedudukan wanita dalam adat batak toba Pada mitologi, kisah asal mula manusia di bumi Batak (Banua Tonga), tokoh sentral yang membentuk daratan dan menyemaikan benih kehidupan adalah seorang wanita, yaitu Siboru Deang Parujar (Siboru Dea); Pada konsep dewata, selaku manusia pertama di Banua Ginjang, lahir 3 (tiga) wanita, dengan urutan: a). Siboru Parmeme b). Siboru Panuturi c). Siboru Parorot Jika dimaknai maka, nama atau gelar wanita tersebut mempunyai tugas penting untuk kehidupan manusia: a). Parmeme = yang mengunyahkan makanan untuk diberikan kepada anak kecil. Marmemehon artinya juga mengajarkan dengan memberikan contoh teladan. b). Panuturi = penasihat. Manuturi = memberikan pengajaran tentang sikap, budi pekerti, tata etika dan perilaku. c). Parorot = pelindung, penjaga, pengasuh, pengawas anak-anak Dari istilah-istilah untuk “isteri” jika dimaknai, bahwa seorang wanita memegang tugas, kewajiban dan peran penting bagi masa depan keluarga dan keturunan Batak, mempunyai kesetaraan dengan pria, dan bagaimana budaya Batak menghargai “wanita” di tengah keluarga inti dan masyarakat social. Pada 4
umumnya laki-laki yang bekerja, seandainya ada istri atau ibu yang bekerja, hal tersebut tidak lain adalah menunjang kehidupan ekonomi keluarga, bukan merupakan tanggung jawabnya. Istri menjalankan tugas sebagai tiang keluarga untuk membiayai kebutuhan keluarga mulai dari biaya hidup sehari-hari hingga biaya pendidikan anak-anaknya jika suami meninggal dunia. Sudah sepantasnya harta peninggalan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki secara merata dan adil. Adapun dengan adanya persamaan hak dan kedudukan antara suami dan istri di dalam rumah tangga, antara anak laki-laki dan anak perempuan dibolehkannya seorang istri melakukan perbuatan hukum misalnya melakukan jual beli, pinjam-meminjam dan lain-lain. Hal ini dilatar belakangi rasa sosial dari suami kepada istrinya. Dari segi harta warisan, hak atas tanah memang untuk anak (keturunan laki-laki), karena wanita kelak kan menikah maka keturunannya akan mengikuti marga suaminya. Warisan untuk wanita biasanya berupa pemberian ibunya sewaktu si wanita masih gadis, dapat berupa pakaian atau emas perhiasan. Hak wanita atas tanah bisa diperoleh dalam bentuk : a. Silehon-lehon (hadiah), pemberian sawah dari orangtuanya b. Pauseang, tanah yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan untuk putrinya atau menantunya sebagai pertanda kasih sayang. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dalam kedudukan hak waris anak perempuan adat Batak Toba adalah faktor pendidikan, migrasi, ekonomi, agama dan sosial merupakan satu kesatuan yang mempengaruhi perkembangan warisan yang terjadi di dalam masyarakat adat Batak Toba. Pembagian warisan
5
pada masyarakat adat Batak Toba sudah dilakukan secara adil dan merata dikarenakan persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan terhadap harta peninggalan orang tuanya. Mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini menuju ke arah persamaan kedudukan antara laki-kaki dan perempuan serta anda sebagai ahli waris, dalam hal ini Mahkamah Agung memberikan putusan antara lain: a. Putusan Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/ 1967 Bahwa Mahkamah Agung telah membenarkan Putusan Pengadilan Tinggi yang mempergunakan hukum adat Batak Holong Ate atas pembagian harta warisan di daerah Padang Sidempuan. Hukum adat Batak Holong Ate telah memberikan bagian warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan kemajuan kedudukan dan hak perempuan di tanah Batak. Pengadilan Negeri Sidempuan memberikan pertimbangan bahwa menurut kebiasaan, bagian Holong Ate itu hanya diberikan sebagian kecil dari harta peninggalan orang tuanya sebagai pertanda bahwa anak perempuan telah mendapat bagian dari harta peninggalan. Kemudian pengadilan negeri tinggi memberikan pertimbangan bahwa karena ini bukan suasana dulu (1928) mengenal kedudukan dan hak-hak perempuan oleh karena itu menurut alur dan patut bagian anak perempuan haruslah lebih dari suasana tahun 1928, sehingga patut mendapat lebih besar.
6
Pertimbangan pengadilan negeri tinggi tersebut, Mahkamah Agung mengatakan bahwa putusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan karenanya menolak permohonan kasasi. Mahkamah Agung telah menunjukkan sikapnya bahwa sistem ataupun prinsip-prinsip yang dianut masyarakat adat Batak Toba harus mulai lebih terbuka sesuai dengan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. b. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 30 Juni 1971 No.415k/Sip/1970 Bahwa Mahkamah Agung di dalam pertimbangannya memperkuat kembali dengan mengatakan bahwa hukum adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki. c. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari Nomor 528K/ Sip/1972 Mahkamah Agung membenarkan/menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang menyebutkan bahwa di daerah hukum adat Tapanuli Selatan terdapat suatu lembaga Holong Ate yaitu pemberian menurut rasa keadilan kepada anak perempuan, apabila si meninggal tidak meninggalkan anak lak-laki. Dengan adanya lembaga Holong Ate ini, anak perempuan berhak memperoleh sebagian dari harta peninggalan Almarhum ayahnya yang dituntut olehnya, dan ini sudah memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan.
7
d. Putusan
Mahkamah
Agung
Tanggal
31
Juli
1973
Nomor
1037K/Sip/1971. Mahkamah Agung menyatakan bahwa anak perempuan adalah merupakan satu-satunya ahli waris dan yang berhak atas harta, warisan yang ditinggal pewaris.
e. Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 November 1976 Nomor 284K/Sip/1975. Telah membenarkan/menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang menyebutkan menurut hukum adat waris baru, istri dan anak perempuan adalah ahli waris. Apabila dilihat kalimat “hukum adat waris baru” bahwa Dewasa ini anak perempuan telah diakui sebagai ahli waris yang sah. Dan hal ini menunjukkan/merupakan pertumbuhan hukum adat ke arah persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan. f. Pada putusan Mahkamah Agung Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/1997 dan Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari 1973 Nomor 528K/Sip/1972 Lembaga Holong Ate ini telah membelikan kesempatan kepada anak perempuan bahwa kedudukannya adalah sama dengan anak laki-laki. Sesuai
dengan
perkembangan
dan
penerobosan
terhadap
sistem
kekerabatan yang diterapkan oleh masyarakat Batak Toba yang
8
berpengaruh terhadap hak warisan maka sekarang anak perempuan adalah ahli waris dari orang angkatnya. Hal ini dapat disimpulkan oleh penulis bahwa putusan Mahkamah Agung menetapkan Lembaga Holong Ate merupakan lembaga bagi kaum perempuan dalam adat Batak Toba berhak untuk mendapatkan hak warisnya yang sejajar dengan kaum laki-laki walaupun sistem kekerabatannya tetap menggunakan sistem kekerabatan patrilineal.
Pada upacara religi, baik martutu aek, mangalontik ippon, atau upacara pemakaman, upacara adat terhadap wanita mempunyai perlakuan dan kedudukan sama halnya dengan pria. Dalam kegiatan ulaon-ulaon adat, parhobas, yang mempersiapkan dan melayani acara, termasuk menghidangkan makanan juga dilakukan oleh pria dan wanita secara bersama-sama.
2. Akibat hukum perkawinan antara wanita suku batak toba dengan pria suku diluar suku batak toba dalam hukum adat batak toba Idealnya perkawinan adat batak dilakukan oleh wanita batak dengan laki-laki batak. Dalam perkembangannya, perkawinan adat batak dapat pula dilakukan oleh wanita batak dengan laki-laki diluar batak atau laki-laki batak dengan wanita diluar batak. Menurut hukum adat Batak, apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antarsuku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan “Marsileban” yaitu laki-laki atau perempuan yang bukan
9
warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan terlebih dahulu sebagai warga adat batak dalam ruang lingkup “dalihan natolu”. Jika calon suami merupakan orang luar maka ia harus diangkat masuk ke dalam warga adat “hula-hula”, dan apabila calon istri berasal dari luar, maka ia harus diangkat kedalam warga adat “namboru”. Dengan solusi adat tersebut perkawinan adat tetap dalam jalur “asymmetrisch connubium”.
2
Apabila perkawinan tersebut terjadi antara wanita
batak dengan laki-laki diluar batak, maka laki-laki tersebut diberikan marga agar dapat diterima oleh masyarakat adat dan dapat ikut upacara adat batak. Pemberian marga dalam pelaksanakan perkawinan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aturan adat perkawinan itu sendiri. Penyatuan acara adat ini dilakukan untuk menghemat biaya; tenaga; dan waktu. Menurut Helman Billy Situmorang bahwa pelaksanaan adat pengesahan marga: 1. Dapat dilaksanakan sebelum atau sesudah perkawinan. 2. Memohon kepada kerabat yang dituakan dari marga yang dipilih, dilanjutkan penentuan hari, tempat dan bentuk adat yang dilaksanakan. 3. Penyerahan sinamot (mahar) wanita berupa uang atau barang, kemudian upacara pesta dan makan bersama serta penyerahan ulos dan parjambaran berupa makanan. Setelah itu pemberian adat berupa upa suhut, upa paramaan, upa tulang pariban dohot ale-ale. Adapun proses pemberian marga, yaitu:
2
C. Dewi wulansari, 2009. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung. Hal 62
10
1. Orang-tua pihak pria meminta pamanya untuk bersedia menerima calon istri keponakannya semarga dengannya. 2. Setelah disetujui dan diterima maka diadakan adat pengesahan marga dihadapan pemuka adat dan masyarakat adat Batak Toba yang dilakukan secara terang dan tunai. Tunai dimasukkan dengan membayar sejumlah uang kepada pamannya agar mau memberikan marganya dan menganggap seperti anak kandungnya sendiri. 3 Dengan dilaksanakan pengesahan atau peresmian marga menurut adat Batak Toba, maka wanita bukan suku Batak menjadi warga masyarakat adat Batak dan bagian dari persekutuan marga yang dipilihnya, sehingga pemberian marga menimbulkan dua konsekwensi hukum, yaitu: sejak pemberian maka secara formal wanita bukan suku Batak yang diangkat sudah menjadi warga Batak Toba sesuai dengan marga yang disahkan dan mempunyai kedudukan; hak; dan kewajiban yang sama dengan warga adat lainnya. Menurut Gultom Rajamarpodang berpendapat bahwa yang perlu bagi suku Batak Toba bagi perkawinan antar suku di Indonesia agar si menantu benarbenar menjadi masyarakat adat Batak. Oleh karena itu pemberian marga harus diikuti perubahan sikap dan prilaku sehingga yang bersangkutan benar-benar dapat diterima sebagai masyarakat adat.
3
Herman Billy Situmorang dalam evalina 2007 perkawinan pria batak toba dan wanita jawa di
kota surakarta serta akibat hukumnya dalam pewarisan hal 28
11
Perkawinan yang telah dilangsungkan antara kedua belah pihak membawa akibat-akibat tertentu baik terhadap pihak kerabat maupun terhadap para pihak yang merupakan pihak kodrati. Suku batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Awalnya perkawinan didefinisikan sebagai pembelian seorang wanita, di mana perempuan dibebaskan dari keluarga mereka setelah transaksi pembayarannya telah disepakati sebelumnya. Transaksi dapat berupa pembayaran dengan barang-barang berharga, hewan (babi, kerbau, sapi) atau sejumlah uang untuk diberikan pada pihak perempuan.
4
Corak utama dari perkawinan pada
sistem kekeluargaan patrilineal ini adalah disertai dengan pembayaran perkawinan (uang jujur). Uang jujur tersebut diberikan dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan yang merupakan pertanda bahwa hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya dan saudara-saudaranya bahwa masyarakatnya telah diputuskan. Tetapi apabila perkawinan dilakukan tanpa adanya prosesi pengangkatan marga (mangain), maka si wanita akan melebur ke adat suku si laki-laki. Perkawinan yang dilakukan wanita batak dengan pria bukan orang batak berarti ia menghilangkan kewargaan adat batak, oleh karena suami dari luar batak tidak boleh menjadi penerus keturuan batak.
5
Konsekuensi yang harus
ditanggung oleh si wanita adalah masih dapat melakukan dan terlibat dalam adat budaya kebatakan, namun terdapat batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan semisal memberikan dan menerima ulos dalam upacara keadatan. Wanita dalam 4
Helga Septiani Manik, 2011. Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Batak Toba Di Perantauan (Studi Makna dan Fungsi Sinamot Pada Keluarga Batak Toba Perantauan di Surabaya) hal 1 5 Hilman Hadikusuma, 1986. Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, Hal 98
12
keluarganya masih menjadi bagian keluarga walaupun ia telah melakukan perkawinan dengan pria diluar batak karena hubungan kekeluargaan bukan merupakan konteks adat. Anak hasil perkawinan ini masuk ke dalam adat suku suaminya dan tetap masih diakui diluar adat batak, tetapi anak tersebut tidak berhak atas marga batak yang ada pada ibunya namun apabila suami sudah melakukan upacara adat pemberian marga, maka marga dari suami dapat diteruskan kepada keturunannya. Pada dasarnya dalam sistem pewarisan anak perempuan tidak mendapat harta warisan dari keluarganya yang mendapat warisan adalah anak laki-laki. Anak perempuan dapat diberikan warisan apabila mendapat kesepakatan atau diberi oleh saudara laki-lakinya. Perkawinan wanita dengan pria diluar suku batak tidak menimbulkan akibat hukum dalam hal pewarisan. Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan adat Batak Toba yang dipengaruhi oleh sistem patrilineal dan juga dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia, lazimnya orang tua lakilaki yang bertanggung jawab dalam memberikan biaya hidup kepada keluarga.
KESIMPULAN Perempuan pada Adat Batak Toba mempunyai kesetaraan dengan pria. Mengenai harta peninggalan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki secara merata dan adil. Adapun dengan adanya persamaan hak dan kedudukan antara suami dan istri di dalam rumah tangga, antara anak laki-laki dan anak perempuan dibolehkannya seorang istri melakukan perbuatan hukum misalnya
13
melakukan jual beli, pinjam-meminjam dan lain-lain. Hal ini dilatar belakangi rasa sosial dari suami kepada istrinya. Dari segi harta warisan, hak atas tanah memang untuk anak (keturunan laki-laki), karena wanita kelak kan menikah maka keturunannya akan mengikuti marga suaminya. Warisan untuk wanita biasanya berupa pemberian ibunya sewaktu si wanita masih gadis, dapat berupa pakaian atau emas perhiasan. pertumbuhan masyarakat dewasa ini menuju ke arah persamaan kedudukan antara laki-kaki dan perempuan serta sebagai ahli waris, dalam hal ini dikukuhkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/ 1967, Putusan Mahkamah Agung Tanggal 30 Juni 1971 No.415k/Sip/1970, Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari Nomor 528K/ Sip/1972,
Putusan
Mahkamah
Agung
Tanggal
31
Juli
1973
Nomor
1037K/Sip/1971, Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 November 1976 Nomor 284K/Sip/1975, Pada putusan Mahkamah Agung Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/1997 dan Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari 1973 Nomor 528K/Sip/1972. Hal ini dapat disimpulkan oleh penulis bahwa putusan Mahkamah Agung menetapkan Lembaga Holong Ate merupakan lembaga bagi kaum perempuan dalam adat Batak Toba berhak untuk mendapatkan hak warisnya yang sejajar
dengan
kaum
laki-laki
walaupun
sistem
kekerabatannya
tetap
menggunakan sistem kekerabatan patrilineal. Dalam melakukan perkawinan dengan pria di luar suku batak, dapat menimbulkan akibat-akibat hukum bagi wanita. Perkawinan yang dilakukan
14
wanita batak dengan pria bukan orang batak berarti ia menghilangkan kewargaan adat batak, oleh karena suami dari luar batak tidak boleh menjadi penerus keturuan batak. Meskipun menikah dengan pria di luar suku batak dapat menghilangkan kewargaan adat batak, wanita masih dapat melakukan dan terlibat dalam adat budaya kebatakan, namun terdapat batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan semisal memberikan dan menerima ulos dalam upacara keadatan. Perkawinan dengan pria di luar suku batak tidak menghilangkan hubungan kekeluargaan wanita dengan keluarganya. Wanita masih menjadi bagian keluarga karena hubungan kekeluargaan bukan merupakan konteks adat. Akibat hukum tersebut juga dapat terjadi pada keturunannya, anak hasil perkawinan ini adalah masuk ke dalam adat suku suaminya. Anak tersebut tidak berhak atas marga batak yang ada pada ibunya. Namun apabila pihak pria diberikan marga dengan syaratsyarat yang sudah terpenuhi dan di hadiri oleh tetua-tetua adat maka dengan upacara tersebut pria bisa mendapatkan marga dan diakui sebagai warga adat batak dan marga tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Dalam hal pewarisan, sesuai dengan adat batak yang diberikan harta warisan adalah anak laki-laki, perempuan tidak mendapat warisan meskipun ia kawin dengan pria suku batak atau kawin di luar suku batak juga tidak berpengaruh karenan pada dasarnya wanita tidak mendapat warisan. Namun juga dapat diberikan kepada anak wanita sesuai dengan kesepakatan.
15
DAFTAR PUSTAKA C. Dewi wulansari. 2009. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung : Penerbit PT. Refika Aditama Evalina. 2007. Perkawinan Pria Batak Toba dan Wanita Jawa di Kota Surakarta serta Akibat Hukumnya dalam Pewarisan Helga Septiani Manik, 2011 Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Batak Toba Di Perantauan (Studi Makna dan Fungsi Sinamot Pada Keluarga Batak Toba Perantauan di Surabaya) Hilman Hadikusuma. 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung : Penerbit Alumni Soerjono Soekanto. 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
16
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI IDENTITAS DIRI 1
Nama Lengkap
: Relinda Meisa
2
Tempat/Tanggal Lahir
: Simalungun/9 Mei 1991
3
Alamat
: desa kalisari rt 06 rw 04 Kecamatan Kradenan, kabupaten Grobogan
IDENTITAS DIRI 1
Nama Lengkap
: Ririn Putri
2
Tempat/Tanggal Lahir
: Jakarta/29 Mei 1992
3
Alamat
: Jln. Mulwo 24B Karangasem, solo
17