BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA 2.1. Tinjauan Kesejarahan Masyarakat Batak Toba Di dalam penelitian yang menyangkut kebudayaan, adalah perlu untuk menggali fenomena musik yang terdapat di dalam kebudayaan itu melalui pendekatan sejarah. Dengan pendekatan kesejarahan ini, diperlukan sebuah rancangan untuk menemukan hubungan untuk membahas katagori-katagori yang berlaku dalam sebuah masyarakat, tujuannya adalah melihat apakah ada hubungan langsung terhadap sebuah fenomena musik dengan aturan-aturan yang ada pada sebuah budaya dengan mengetahui asal-usul, gambaran wilayah dan aspek kebudayaan masyarakat Batak yang bermukim di daerah asal kebudayaannya (area culture) maupun di luar daerah kebudayaan mereka. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah ’orang Batak’ atau ’orang Batak Toba’ untuk penyebutan kelompok masyarakat Batak secara keseluruhan, dan kata ’masyarakat Batak’ dan ’masyarakat Batak Toba’ untuk menyebutkan kelompok masyarakat Batak Toba. 2.1.1. Asal-usul Masyarakat Batak Toba Beberapa catatan sejarah yang memuat asal-usul nenek moyang orang Batak yang bermukim di Sumatera telah dilakukan beberapa penulis dalam tulisan buku antara lain: Ypes (1932 dalam Simanjuntak, 2006:11), menyebut mereka berasal dari dua (2) tempat asal, yaitu pendapat pertama dari Asia Utara menuju kepulauan
Universitas Sumatera Utara
Formosa di Filipina dan turun ke arah selatan di Sulawesi bagian selatan menjadi komunitas Toraja, Bugis dan Makasar. Kemudian bergerak hingga sampai di Lampung, Sumatera Selatan, lalu menyusuri pantai Barat hingga Barus dan seterusnya naik ke pegunungan Bukit Barisan di Pusuk Buhit kawasan Danau Toba. Pendapat kedua, menyebutkan orang Batak berasal dari India yang melakukan persebaran ke Asia Tenggara di negeri Muang Thai Burma, kemudian turun ke tanah genting Kera di belahan utara Malaysia bergerak melayari semenanjung Malaka menuju pantai timur Sumatera hingga di pantai Batubara. Dengan menyusuri sungai Asahan menuju hulu di kawasan Danau Toba. Atau rute lain yang dipilih adalah dari Malaka menuju pantai Barat Aceh, dan selanjutnya menuju Singkil, Barus atau Sibolga hingga menetap di Pusuk Buhit 18. (Harahap dalam Simanjuntak, 2002: 75) Pendapat lain oleh Paul P. Pederson, menyebutkan persebaran Batak berawal dari Indo China yang melakukan perpindahan secara besar-besaran pada jaman bangsa Melayu Tua (lihat juga Cunningham, 1958 dalam Simanjuntak 2002: 75). Perpindahan dialami orang Batak pada jaman ini, tentu menyulitkan para peneliti sejarah untuk mengungkap kebenaran asal-usul Batak secara pasti. Namun, semua orang Batak hingga kini, mutlak mengakui kebenaran akan silsilah masing-masing (Rajamarpodang, 1995: 12).
21. Gunung berapi pasip ini, terletak di tepian Danau Toba sebelah barat pulau Samosir. Di lereng bukit ini terdapat kampung huta Sianjur Mula-mula (masuk dalam kecamatan Sianjur Mulamula-Kabupaten Samosir), dianggap keramat dan sebagai tempat asal orang Batak. Di pinggang bukit terdapat beberapa artefak seperti Batu Hobon, Aek si Pitu Dai, monumen Guru Tatea Bulan, Si Boru Pareme dan beberapa situs Batak lainnya. Lokasi ini dapat ditinjau dengan perjalanan darat melalui Tele menyusuri pegunungan Bukit Barisan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut mitologi yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, Si Raja Batak
lahir dari pekawinan incest
(perkawinan sedarah) kembar Si Raja Ihat
Manisia dengan Si Boru Ihat Manisia keturunan Raja Odap-odap kawin dengan Si Boru Deak Parujar yang diutus oleh Mulajadi Na Bolon. Kampung kediamannya adalah Sianjur Mula-mula di kaki gunung Pusuk Buhit, di bagian barat pulau Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas gunung Pusuk Buhit. Si Raja Batak mempunyai dua putera, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan ahli ilmu tenung dan adiknya Raja Isumbaon, ahli dalam hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putra, yaitu: (1) Raja Biak-biak atau Raja Uti, (2) Saribu Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, (5) Silau Raja atau Malau Raja dan empat orang putri, yaitu: (1) Si Boru Paromas atau Si Boru Anting-anting Sabungan, (2) Si Boru Pereme, (3) Si Boru Biding Laut, dan (4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon mempunyai tiga putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, dan (3) Sangkar Somalidang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan marga-marga orang Batak. Kedua induk marga di atas yang memiliki keturunan dan masing-masing dari generasi anak mereka membuat marga yang terdapat pada masyarakat Batak, adalah sebagai garis generasi pertama lahirnya sebuah marga atau dikenal dengan sundut pertama, seperti marga Silau Raja yang dikenal dengan marga Malau. Namun, tidak semua marga berasal dari garis generasi ini. Misalnya, anak kedua dari Guru Tatea Bulan memiliki anak bernama Saribu Raja ---satu garis dengan Silau Raja atau Malau Raja--- kawin dengan adik perempuannya Si Boru Pareme (incest) dan mempunyai anak bernama Raja Lontung. Raja Lontung sendiri memiliki tujuh (7) orang anak
Universitas Sumatera Utara
dari istrinya Si Boru Pareme (incest dengan ibunya) antara lain: 1) Situmorang, 2) Sinaga, 3) Pandiangan, 4) Nainggolan, 5) Simatupang, 6) Aritonang dan 7) Siregar. Generasi ketiga dari garis Saribu Raja ini, memakai nama mereka menjadi marga sebagai sundut generasi pertama hingga generasi sekarang ini. (lihat Situmorang, 1983: 210. Lamp. I A) Si Raja Batak Guru Tatea Bulan (A.1)
Raja Isumbaon (A.2)
Saribu Raja (A. 2) Raja Lontung (A.T) Simatupang (A.5)
Sundut / Generasi ke
1
Sianturi (A.2)
2
Lumban Gambiri (A.2)
3
Tunggul ni Dolok (A.T)
15
Pahala
16
Barita
17 18
satu fase kehidupan lajang
Gorga Bursok
Penyebutan stratum: ~ satu sundut generasi horizontal : “ampara” ~ satu tingkat ke atas: “amang”, satu tingkat ke bawah: “anak” ~ dua tingkat ke atas: “ompung”, dua tingkat ke bawah: “pahompu” ~ tiga tingkat ke atas: “amang mangulahi”, tiga tingkat ke bawah: “anak mangulahi” Keterangan: (A.T): Anak Tunggal, (A.1): Anak Pertama, (A.2): Anak Kedua, (A.5): Anak Kelima
Tabel. 2. Bilangan Sundut Tarombo dalam Stratifikasi Sosial Batak Toba Sumber : Hasil Analisis Data Penulis
Universitas Sumatera Utara
Keterkaitan silsilah Batak antara mitologi 19 dengan status marga setiap orang Batak yang melekat dalam dirinya, diyakini bahwa setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai Batak yang memiliki marga adalah keturunan atau sundut 20 Si Raja Batak. Asal-usul Si Raja Batak berasal dari mana, hanya dapat dilihat dari tulisan mitologi Si Boru Deak Parujar yang diutus Mula Jadi Nabolon. Belum ditemukan, catatan lain yang mengungkap asal-usul Si Raja Batak secara tertulis. Namun, mite ini tetap hidup di tengah masyarakat Batak Toba sebagai tradisi lisan (folklore) yang diceritakan secara turun temurun. 2.1.2. Konsep Budaya Masyarakat Batak Toba Sebagai masyarakat, orang Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi maupun
antropologi.
Dari
sejumlah
uraian
buku
yang
menjelaskan
dan
mendeskripsikan kebudayaan Batak Toba, didapati defenisi-defenisi yang sama tentang kebudayaan Batak Toba yang memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi. Hal 19
Mitologi sebagai karya sastra hampir sama pengertiannya dengan mite adalah bagian dari folklor memiliki kaitan dalam cerita rakyat. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa (lihat KBBI, 2002: 749). Lihat juga James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers, (1984:50-51). 20
Istilah sundut hanya ditemukan dalam kultur Batak Toba, dipergunakan untuk menghitung angkatan/generasi keberapa seorang Batak mulai dari garis generasi pertama leluhurnya. Sundut ini berlaku secara turun temurun dalam satu rumpun marga pada sebuah tarombo (silsilah), berhubungan dengan kaidah stratifikasi sosial masyarakat Batak Toba. Misalnya, seorang Batak A memiliki nomor generasi ke 16 memiliki anak dengan nomor generasi 17 dan cucunya bernomor generasi 18, dan seorang Batak B dengan rumpun marga yang sama memiliki nomor generasi 17, akan menyebut A dengan bapak atau satu tingkat diatasnya. Tingkatan umur dalam menghitung generasi ini, diabaikan. (Lihat Tabel. 5.)
Universitas Sumatera Utara
senada, diungkapkan Koentjaraningrat tentang kebudayaan itu sebagai ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar. (2000:215). Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara kehidupan masyarakat. Disamping lingkungan dan teknologi, faktor lain adalah organisasi sosial dan politik berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Unsur-unsur itu disebut dengan inti kebudayaan, meliputi kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Inti kebudayaan itu, menjelaskan lebih luas dalam mempengaruhi pola kehidupan dalam lingkungan lokal masyarakat Batak Toba. Para etnosains percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap prinsipprinsip itu biasanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya. (Haviland, 1988:13) Batak Toba merupakan kelompok etnis Batak terbesar yang secara tradisional hidup di Sumatera Utara. Kelompok suku Batak ini terbagi dalam lima kelompok besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun dan Karo. Kelompokkelompok suku ini sekarang masih berada di bagian Provinsi Sumatera Utara dengan memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu, yang dilihat dari pembagian beberapa marga yang bermukim menurut daerahnya, bahasa dan pakaian adat dari kelompokkelompok ini juga menunjukkan perbedaan. Adat pada budaya Batak Toba dalam kehidupan kesehariannya merupakan wujud dari sistem nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi. Adat sendiri adalah istilah yang sering digunakan di Indonesia, adat merujuk pada segala sesuatu di alam yang mengikuti caranya sendiri yang khas. Adat
Universitas Sumatera Utara
memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994: 18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20). Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah dilakukan. Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masingmasing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat, dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi. Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam
Universitas Sumatera Utara
mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba sendiri. Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga, perkawinan incest. Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (band. Bruner 1961: 510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang
Universitas Sumatera Utara
diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya. 2.2. Sistem Sosial Kekerabatan Masyarakat Batak Toba Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam Bab terdahulu. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber, yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatik atau laki-laki). Garis patrineal ini dipakai guna menentukan statuta keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilinial adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum. Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak lakilaki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan
Universitas Sumatera Utara
marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu. Adat Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah mengirimkan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang lain (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah mengirimkan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi. Dalam adat menetap, menikah pada orang Batak Toba adalah virilokal 21 dan adat neolokal 22. Sedangkan bentuk perkawinan adalah Eksogami (perkawinan antar dua marga yang berbeda) dan Monogami (perkawinan hanya diperbolehkan satu kali).
21 22
Virilokal adalah istilah untuk wanita yang menetap tinggal di rumah pihak laki-laki. Neolokal adalah tinggal di kediaman baru
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Sistem Kemasyarakatan Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1) Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan dapat juga dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan sifat keaslian merupakan sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. Dan 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya. Dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan tersebut adalah Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari: 1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
Universitas Sumatera Utara
2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu lakilaki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima. 3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan lakilaki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hulahula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hulahula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu
Universitas Sumatera Utara
adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya
orang
yang
semarga
harus
berperasaan
seia
sekata
dan
sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati. Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungannya.
A Dongan Sabutuha
S
MP
PI
I S
MP
SP
PI
ML
Boru
PS
Hula-hula
Tabel.3. Diagram Kelompok Dalihan Natolu. A (Ayah); I (Ibu); S (Suami); MP (Menantu Perempuan); ML (Menantu Laki-laki); PI (Pemberi Istri); PS (Pemberi Suami). Sumber : Hasil Analisis Data Penulis
2.2.3. Kepercayaan Tradisional Batak Toba Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Allah kodrati oleh Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon (Situmorang, 2009: 21) yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia.
Dalam beberapa tulisan konsep
mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa
Universitas Sumatera Utara
yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon). Dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah.
Debata Asi-asi sebagai dewa yang menurunkan
berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberii ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Lihat M.B. Tampubolon, 1978: 9-10). Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi aural), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri. (Hutauruk, 2006:8) Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggo-tonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak
Universitas Sumatera Utara
disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon.
(Sangti,
1977:279). Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10). Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada. Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya
Universitas Sumatera Utara
dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. 2.2.4. Fungsi Kekerabatan Batak Toba Fungsi kekerabatan adalah pelaksanaan hak dan kewajiban kekerabatan dalam kegiatannya berdasarkan pandangan Dalihan Na Tolu yang disebut: Tohonna Partondongan. Dalihan Na Tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar terletak pada: Suhi Ni Ampang Na Opat, yang dimulai dan tumbuh dari keluarga dasar atau saripe. Keluarga dasar seperti ini adalah tiang tonggak dan menjadi pusat kegiatan atau inti kegiatan suhut yaitu Opat Pat Ni Pansa, yang terdiri dari: a. Pamarai, yaitu saudara laki-laki suhut, seayah se ibu atau saudara seayah lain ibu. Sering juga disebut pangalap. b. Tulang, yaitu saudara kandung laki-laki dan isteri suhut (Tunggane), seayah seibu atau seayah lain ibu. c. Simolohon atau simandokhon, yaitu anak laki-laki dari suhut dan saudara laki-laki dari perempuan putri suhut. d. Pariban, yaitu anak perempuan dari suhut dan saudara perempuan dari putri suhut.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi dari Suhi Ni Ampang Na Opat ini adalah pendukung utama dari kegiatan inti atau dari pekerjaan suhut atau horja. Apa saja kegiatan suhut, ke empat personal inilah yang turut bertanggung jawab bersama suhut 23. Dasar sistem sosial yang terdapat bagi masyarakat
Batak Toba adalah Marga. Dalam kehidupan
tradisional masyarakat pedesaan Batak Toba, terdapat dominasi marga yang dianggap sebagai pendiri desa itu (bhs Batak Toba: si suan bulu). 2.2.5. Konsep Kehidupan Dalam Masyarakat Batak Toba Dalam agama tradisional Batak Toba ada kepercayaan kepada ketuhanan yang lebih tinggi yang disebut Mula jadi na bolon atau permulaan yang agung, yang menciptakan langit dan bumi dan dibawah bumi. Di bawahnya terdapat tiga dewa yaitu Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Di pihak lain, cara hidup sehari-hari berpusat pada roh-roh nenek moyang, terutama laki-laki yang selalu mempengaruhi kehidupan mahkluk hidup. Karena prinsip kehidupan manusia (tondi) berlanjut setelah kematian, pemakaman menjadi sangat penting. Setelah itu, tulang-tulang digali, dibersihkan dan diletakkan di sebuah rumah tempat penyimpanan jasad, yang sering ditempatkan di pekarangan rumah. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki 23
Setiap orang Batak dapat disebut sebagai suhut dan melakukan perilaku dalihan natolu dalam setiap kegiatan fase kehidupannya. Dalam kelahiran, perkawinan dan kematian selalu melibatkan ketiga unsur itu sebagai satu siklus kehidupan. (lihat Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak, Rajamarpodang, DJ.G. 1992. hlm.55)
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai
keinginan menjadi seorang raja. Pengertian
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki. Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja. Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasangagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan
Universitas Sumatera Utara
mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru. Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.3. Gambaran Umum Wilayah Batak Toba 2.3.1. Letak Geografis Tanah Batak Tanah Batak merupakan tempat pemukiman orang Batak (halak Batak). Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami kelompok masyarakat ini dikenal dalam bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak” . Tano artinya tanah. Tanah Batak ini adalah tempat bermukimnya orang yang menyebut dirinya Batak, seperti Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Toba sendiri. Terletak di bagian utara pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada bagian utara, sedang di sebelah selatan berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat dan Riau. Pada bagian timur berbatasan dengan kabupaten Asahan dan Labuhan Batu dan bagian barat langsung berbatasan dengan lautan bebas Samudera Indonesia. Secara astronomis berada antara
Universitas Sumatera Utara
2003’ dan 2040’ Lintang Utara dan antara 98056’ dan 99040’ Bujur Timur 24. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Tanah Batak, terbagi pada empat subwilayah dalam satu distrik disebut dengan Distrik Toba, mengacu kepada pembagian seluruh kawasan Toba dengan empat jenis topografi dengan empat variasi adatnya. Distrik Toba yang meliputi wilayah Silindung, Toba Holbung, Humbang dan Pulau Samosir yang terdapat di Tapanuli, adalah pemukiman masyarakat Batak Toba. Keadaan alam dan topografi distrik Toba ini, sebagian besar terdiri dari dataran tinggi dan bukit-bukit tandus dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang sebagian kecil masih berupa hutan primer. Pada awalnya, distrik Toba ini berinduk pada satu kabupaten yaitu Tapanuli Utara 25. Kabupaten Tapanuli Utara berada di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan, dengan ketinggian antara 900 meter sampai dengan 1500 meter dpl. Wilayah Tapanuli Utara memiliki garis pantai danau Toba kira-kira sepanjang 6 kilometer di kecamatan Muara. Pada tahun 1999, wilayah Toba Holbung dimekarkan menjadi satu kabupaten yang dikenal dengan Kabupaten Toba Samosir 26 disingkat Tobasa. Pada awalnya,
24
Sumatera Utara In Figures.2010. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukotanya Tarutung adalah kabupaten induk (pertama) di Bona Pasogit, memiliki 15 (lima belas) kecamatan antara lain: Kecamatan Tarutung, Kecamatan Sipoholon, Kecamatan Siborongborong, Kecamatan Pagaran, Kecamatan Parmonangan, Kecamatan Muara, Kecamatan Sipahutar, Kecamatan Pangaribuan, Kecamatan Garoga, Kecamatan Adian Koting, Kecamatan Pahae Jae, Kecamatan Pahae Julu, Kecamatan Simangumban, Kecamatan Purba Tua dan Kecamatan Siatas Barita. (Wawancara: T. Sinaga, SH. Humas Pemkab Taput. 12 Agustus 2011) 26 Kabupaten Toba Samosir dengan ibukota Balige memiliki 16 (enam belas) kecamatan antara lain: Kecamatan Tampahan, Kecamatan Balige, Kecamatan Laguboti, Kecamatan Sigumpar, Kecamatan Siantar Narumonda, Kecamatan Porsea, Kecamatan Uluan, Kecamatan Bonatua Lunasi, Kecamatan Parmaksian, Kecamatan Pintu Pohan Maranti, Kecamatan Lumban Julu, Kecamatan Silaen, 25
Universitas Sumatera Utara
kabupaten ini meliputi seluruh pulau Samosir dan wilayah Toba Holbung. Saat ini, wilayah Toba Holbung ini membentang mengikuti garis pantai danau Toba sebelah utara dan sebagian wilayah dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan. Sungai yang berhulukan danau Toba membelah Toba Samosir dinamai Tao Porsea sampai tepian air terjun Sigura-gura, dan ke hilir menuju pantai timur laut Malaka sungai ini disebut dengan sungai Asahan. Selanjutnya pada tahun 2004, kabupaten ini dimekarkan dengan memisahkan pulau Samosir menjadi sebuah kabupaten baru. Kawasan Humbang yang dikenal lebih banyak dengan dataran tingginya, memisahkan diri dari kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 2005 dengan nama Kabupaten Humbang Hasundutan 27 disingkat Humbahas
atau Humbang Bagian
Barat. Hasundutan berarti belahan barat. Sedang kawasan Humbang bagian timur atau Humbang Habinsaran, saat ini masuk dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Utara meliputi Siborongborong, Pagaran, Muara, Sipahutar, Pangaribuan dan Garoga. Wilayah Humbang keseluruhan membentang mengikuti pegunungan Bukit Barisan dengan memiliki garis pantai Danau Toba sepanjang lebih kurang 16 km meliputi wilayah Bakkara, Tipang dan Janji Raja.
Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Borbor, Kecamatan Nassau dan Kecamatan Ajibata. (Sumber tertulis: Toba Samosir Dalam Angka 2011, BPS Toba Samosir) 27 Kabupaten Humbang Hasundutan beribukota Dolok Sanggul memiliki 11 (sebelas) kecamatan antara lain: Kecamatan Dolok Sanggul, Kecamatan Pollung, Kecamatan Sijama Polang, Kecamatan Onan Ganjang, Kecamatan Pakkat, Kecamatan Parlilitan, KecamatanTarabintang, Kecamatan Simamora Nabolak, Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Paranginan, Kecamatan Baktiraja. (Sumber tertulis: Humbang Hasundutan Dalam Angka-In Figures 2011, BPS Humbahas)
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Samosir 28
sebagai pemekaran dari kabupaten Toba Samosir
berpisah pada Tahun 2006. Wilayah Samosir meliputi seluruh pulau Samosir yang dikelilingi danau Toba ditambah dengan dataran tinggi steppa di pulau Sumatera meliputi Kecamatan Sianjur Mulamula dan Kecamatan Harian yang berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi. Wilayah Samosir ini sering disebut dalam bahasa Batak dengan “Pulo Samosir”. Pulo berarti pulau. Dulunya, Samosir bersatu dengan pulau Sumatera. Namun, pada masa penjajahan Belanda, kawasan tano ponggol (tanah putus) digali dengan membuat terusan yang menghubungkan danau Toba, sekaligus memisahkan antara pulau Sumatera dengan pulau Samosir. Di tempat ini, tepatnya di Kecamatan Sianjur Mulamula terdapat kawasan bersejarah tempat situs-situs Batak yang mengungkapkan legenda dan mitos asal mula orang Batak, yakni di kaki gunung Pusuk Buhit. Pulo Samosir dapat ditempuh dengan jalur darat melalui Tele ke Pangururan dan jalur angkutan air dengan Ferry melalui beberapa titik dermaga antara lain: Dermaga Ajibata, Tigaras, Haranggaol, Silalahi, Tongging, Bakara, Muara, Balige dan Porsea yang semuanya menuju daerah pulau Samosir.
28
Kabupaten Samosir beribukota Pangururan memiliki 9 (sembilan) kecamatan antara lain: Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Ronggur ni Huta, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kecamatan Harian, Kecamatan Palipi, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, dan Kecamatan Sitiotio. (Sumber wawancara: Kabag Humas dan Infokom Pemkab Samosir)
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Wilayah Budaya Batak Toba Orientasi geografis penduduk yang bermukim di empat wilayah distrik Toba, masing-masing memiliki variasi adat istiadat budaya. Dari wujud pelaksanaan bentuk upacara-upacara adat yang diadakan, sekilas tampak ada persamaan diantara empat subkelompok kultur Batak Toba ini. Namun, bila diikuti seluruh rangkaian kegiatan dalam bentuk parjambaran juhut (hak pembagian daging), bentuk ulos (selendang Batak) yang diselempangkan ke berbagai pihak dalihan natolu, umpasa (petuahpetuah), akan tampak adanya perbedaan-perbedaan. Dalam memetakan empat kultur Batak Toba yang ada di wilayah bona pasogit, dapat dilihat bahwa satu sama lain tidak memiliki akar historis dari sumber yang sama. Masing-masing memiliki bentuk budaya dengan variasi adat dengan ciriciri tertentu, dengan mengesampingkan wilayah yang didiami masyarakat Batak itu dari pembagian wilayah menurut demografi struktur Pemerintahan. Misalnya, seorang Batak bermarga Sihombing yang bertempat tinggal di Siborongborong melakukan upacara adat Batak dengan afliasi kultur Humbang. Sekalipun, daerah Siborongborong masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang dikenal dengan par-Silindung (orang dari Silindung). Si empunya pesta tidak memakai adat Silindung dalam kegiatannya, oleh karena nilai kulturnya masih dalam ranah budaya Humbang. Keadaan hal seperti itu juga diperlakukan sama pada masyarakat Batak Toba yang ada di area kultur Humbang lainnya seperti di Sipahutar, Pangaribuan, Muara, Pagaran, Butar dan Parmonangan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Sistem Mata Pencaharian Penduduk Seiring pertumbuhan orang Batak semakin banyak, penelitian terhadap orang Batak yang berada di perantauan telah dilakukan oleh beberapa etnologi seperti Johan Hasselgren (2008), Togar Nainggolan (2006) dan Elvis Purba dkk (1998). Banyak ditemukan orang-orang Batak yang tinggal di daerah persawahan. Pendatang pertama, kedua dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun sudah ada yang beralih pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian. Dapat dilihat, secara umum kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani yang mengusahai lahan sempit. Para pedagang dan pengusaha, juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi di luar Pematang Siantar. Sebaliknya petani-petani berlahan sempit mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anakanaknya hanya tamat SLTA, baik dari SLTA di Pematang Siantar atau dari kota-kota pendidikan lainnya. Karena tidak ingin tinggal di desa dan bertani ada yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua. Para perantau pertama yang tidak hanya bekerja sebagai petani, biasanya mempunyai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak-
Universitas Sumatera Utara
anaknya pun semakin mendapat prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar sektor pertanian. Demikian juga dengan lahan pertanian yang sempit dengan tanaman monokultur. Di satu pihak petani-petani merasa bahwa tingkat pendapatan mereka lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu, tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan sekarang, jelas bahwa hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif. (Hasselgren, 2008:72) Di berbagai desa dimana petani-petani Batak Toba mengusahai sampai 0,5 Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka kurang tanggap terhadap perubahan hanya berpegang pada apa yang tampak dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan, tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang berkembang dengan lebih cepat oleh karena itu banyak dari antara mereka telah menjual tanah yang dibelinya atau tanah yang dibukanya dahulu bahkan banyak pula yang menjadi petani penyewa dan pada akhirnya ada yang pindah ke daerah lain seperti Riau. Petani-petani Batak Toba yang tinggal di desa hanya menguasai sawah di bawah 0,5 Ha terdapat kesan bahwa mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang lebih baik ke masa depan. Ketergantungan hidup pada produksi sawah tidak hanya pada pola pencaharian yang heterogen yang menyebabkan mereka ketinggalan dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
dengan tetangganya seperti orang jawa yang mengkombinasikan pertanian pada sawah, kebun dan beternak. Secara umum petani-petani Batak Toba banyak yang ketinggalan dalam pola hidup yang sebagian sebagai petani, tetapi ada juga yang memiliki pola hidup yang baik walau hanya sebagai petani. Sedangkan di beberapa daerah dekat dengan jalan raya petani-petani yang memiliki lahan yang luas, memiliki hidup dalam tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Jika dilihat lagi dengan kota-kota di Sumatera Utara khususnya di Medan, banyak bermukim etnis Jawa, Batak, Mandailing dan Cina. Orang Batak dominan bermukim pada inti kota Medan. Hal ini berbeda dengan beberapa dasawarsa yang lalu dimana orang Batak pada umumnya bermukim di bagian kota yang menuju Tapanuli. Dewasa ini telah menempati setiap sudut kota dari kawasan elit sampai pinggiran kota dengan jumlah yang bertambah besar. Dilihat dari pekerjaannya sebagian besar orang Batak Toba adalah pegawai pemerintah, pegawai swasta dan wiraswasta. Mereka mengisi beberapa jabatan penting diberbagai instansi pemerintah, demikian pula di instansi swasta. Di lapangan pendidikan cukup banyak dari guru-guru sekolah menengah dan dosen Universitas Negeri maupun swasta terdiri dari orang Batak Toba. Jumlah pedagang menengah pun semakin banyak seperti di pusat pasar. Oleh karena situasi ekonomi keluarga yang sulit sebagian ada yang bekerja keras dan ada yang memilih pekerjaan yang dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu kepala keluarga dengan berjualan pagi di pasar atau di sektor informal lainnya. Tidak sedikit yang berjualan
Universitas Sumatera Utara
pagi di pasar, jika kepala keluarganya hanya sebagai pegawai redahan atau bekerja sebagai penarik becak dan lain-lain. Berbeda halnya dengan daerah Tapanuli, seperti di daerah Tapanuli Tengah, masyarakat Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Memang tidak semua desa-desanya termasuk dalam kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian yang diusahainya. Oleh karena pendapatan mereka tidak sepenuhnya digantungkan terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani, penangkap ikan, pedagang atau pegawai. Oleh karena minimnya pendapatan di masyarakat Tapanuli Utara, orang Batak Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar Tapanuli. Pada masa dewasa ini, akibat kemajuan sistem perekonomian yang merata, daerah Tapanuli sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan tidak ditinggalkan oleh orang Batak itu lagi. Namun pada masa sekarang justru sudah banyak yang kembali ke kampung halaman mereka, pulang dari perantauan karena kehidupan di perantauan sudah sangat kompetitif. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor antara lain perpindahan tempat kerja, bagi orang Batak yang bekerja di daerah pemerintahan, dan ada juga karena tidak mampu bersaing akibat pengaruh ekonomi dengan suku lain di kota-kota besar sehingga lebih memilih untuk pulang ke kampung halaman yang pola kehidupannya tidak seberat persaingan di tanah perantauan.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Konteks Historis: Batak Toba di Bona Pasogit Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang di luar kelompok masyarakat ini, sering menyebut dengan orang Batak yang menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung konotosi penyebutan ini terarah pada Batak Toba. Tidak seperti pada penyebutan bagi masyarakat Batak lain yang berasal dari Pakpak misalnya, sering disebut dengan orang Pakpak bukan orang Batak Pakpak atau kelompok subetnis Batak lainnya. Batak Toba merupakan
istilah yang sering digunakan untuk mengkaji
kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur (Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun sebagian dari mereka menerima akan hal ini. Hal yang melatarbelakangi, adanya istilah-istilah yang ditujukan bagi nama Batak dengan konotasi buruk. Misalnya, penyebutan dengan nama “Batak makan orang; Batak makan babi; atau Batak berekor” menjadikannya sebagai nama yang tidak enak untuk di dengar. Kelompokkelompok masyarakat ini, tidak mau menerima cap seperti istilah yang disebutkan di
Universitas Sumatera Utara
atas, mereka lebih memilih tidak menggunakan label Batak dalam kehidupan tradisinya. Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona pasogit 29, sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya danau Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang Batak) atau halak silindung (orang-orang silindung) yang pada awalnya sebagai kabupaten pertama di Tapanuli. Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar tepian danau Toba. Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami oleh orang Batak di bona pasogit. Pertama, bagi kelompok kultur Batak Toba yang tinggal di kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari kelompok masyarakat heterogen. Di lembah Silindung meliputi Tarutung, Siatas Barita, Sipoholon bermukim masyarakat mayoritas dari keturunan kelompok marga Guru Mangaloksa dan keturunan marga Naipospos,
29
Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan, hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya. Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir” kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.
Universitas Sumatera Utara
seperti marga Simorangkir, Panggabean, Lumban Tobing, Sitompul, Hutagalung, Hutapea, Hutabarat, Situmeang, Sipahutar, Hutauruk dan marga lainnya. Di dataran rendah bagian timur Tapanuli Utara yaitu di wilayah Pahae-Sarulla meliputi Pahae Julu, Pahae Jae, Simangumban dan Purba Tua terdapat kelompok masyarakat heterogen dari berbagai marga seperti Sitompul, Simanjuntak, Simatupang, Hutabarat dan marga lainnya. Di bagian selatan Tapanuli Utara yang meliputi Adian Koting, Pagaran Pisang, Aek Raisan terdapat kelompok marga Hutagalung, Hutabarat dan marga lainnya. Di bagian barat Tapanuli Utara yang meliputi Parmonangan, Huta Tinggi, Dolok Imun dan Pagaran terdapat kelompok marga Aritonang, Manalu, Silaban, Sinaga, Simatupang dan marga lainnya. Sedang di bagian utara Tapanuli Utara yang meliputi wilayah kultur Humbang antara lain Siborongborong, Butar, Huta Raja, Bahal Batu, Hutaginjang dan Muara terdapat kelompok mayoritas marga Sihombing, Simanjuntak, Tampubolon, Siahaan, Aritonang, Simatupang, Siregar dan kelompok marga lainnya. Sedang di belahan tanah tinggi Humbang Habinsaran yang meliputi Sipahutar, Onan Runggu, Pangaribuan dan Garoga, terdapat kelompok marga Silitonga, Siregar, Simanjuntak, Gultom, Panjaitan, Harianja dan Pakpahan. Kedua, daerah kultur yang ditempati orang Batak Toba di Humbang, sekarang menjadi kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari kelompok marga-marga besar yang mendiami beberapa wilayah di daerah ini. Seperti di bagian timur Humbang Hasundutan yang meliputi wilayah Paranginan, Lintong ni Huta, Silaban, Dolok Margu dan Bakara, terdapat kelompok mayoritas marga Simatupang, Sihombing, Siregar, Sihotang, Sinaga dan marga lainnya. Di belahan selatan Humbang
Universitas Sumatera Utara
Hasundutan yang meliputi daerah Bonan Dolok, Purba Tua dan Sijamapolang terdapat kelompok marga Manalu, Silaban, Aritonang dan marga-marga lainnya. Pada bagian barat Humbang Hasundutan yang meliputi daerah Onan Ganjang, Parbotihan, Pakkat, Parlilitan dan Tarabintang terdapat kelompok marga heterogen. Antara lain, Nainggolan, Sihotang, Limbong, Munthe, Marbun dan marga-marga lain yang bermukim di daerah itu. Pada bagian utara Humbang Hasundutan yang meliputi daerah Pollung, Hutagalung, Sigalingging dan perbatasan Tele, terdapat kelompok marga Sigalingging, Sihite, Sihotang dan marga-marga lainnya. Sedang di daerah pusat Humbang Hasundutan yang meliputi Dolok Sanggul, Sirisirisi, Matiti dan Simangaronsang terdapat marga besar seperti Sihite, Manullang, Simamora, Purba, Simatupang dan marga pendatang lainnya. Ketiga, orang Batak yang bermukim di wilayah Toba Holbung yang dikenal dengan kabupaten Toba Samosir terbagi atas beberapa wilayah kelompok marga. Di arah timur Toba Samosir yang meliputi daerah Parsoburan, Borbor, Sibosur, Matio dan Habinsaran terdapat kelompok marga orang Batak seperti Pardosi, Pane, Pasaribu, Lubis, Naiborhu, Hasibuan, Siagian, Tanjung dan marga pendatang yang terdapat di wilayah itu. Pada bagian selatan Toba Samosir yang meliputi wilayah Silaen, Sitorang, Nassau, Pintu Pohan Maranti, Siantar Narumonda terdapat kelompok marga Sitorus, Panjaitan, Silitonga, Marpaung, Sihotang, Silaen, Sarumpaet dan marga lain. Di arah barat daya Toba Samosir yang meliputi wilayah Tampahan, Balige, Laguboti, Sigumpar terdapat marga Simanjuntak, Siahaan, Tampubolon, Silalahi, Pangaribuan, Hutapea, Hutahaean, Sibarani, Tambunan,
Universitas Sumatera Utara
Simatupang dan marga lain yang sudah mendiami daerah ini cukup lama. Pada bagian utara Toba Samosir yang meliputi wilayah Uluan, Bonatua Lunasi, Porsea, Lumban Julu, Ajibata dan Parmaksian terdapat marga Sitorus, Hutapea, Manurung, Sirait, Butarbutar, Sinurat, Simangunsong dan marga-marga lain. Keempat, wilayah yang didiami orang Batak di pulau Samosir dapat diidentifikasi dari tempat pemukiman marga-marga besar di wilayah ini. Masingmasing, di timur Samosir yang meliputi wilayah Simanindo, Ambarita, Sidabutar, Tomok, Tuktuk Siadong, Parmonangan dan Lontung terdapat marga-marga Sidabutar, Sinaga, Nadeak, Simbolon, Rumahorbo, Siallagan dn Silalahi. Di bagian Selatan Samosir yang meliputi wilayah Nainggolan, Lontung, Lagundi, Onan Runggu, Sirait, Mogang, terdapat marga-marga Nainggolan, Sinaga, Parhusip, Lumban Raja, Siringoringo, Samosir, Gultom, Pakpahan dan marga lainnya. Di belahan barat Samosir yang meliputi wilayah Sitiotio, Harian, Hatoguan, Palipi, Sianjur Mulamula, Sihotang terdapat marga Sinaga, Simbolon, Situmorang, Nadeak, Sitanggang, Sitohang dan marga-marga lain. Sedang di bagian utara Samosir yang meliputi wilayah Pangururan, Ronggur ni Huta, Buhit, Ria Niate terdapat marga Simbolon, Sitanggang, Simarmata, Gultom, Manihuruk, Sidauruk dan marga lain yang sudah menetap di daerah itu.
Universitas Sumatera Utara
Gambar No. 1: Daerah Pemukiman Orang Batak Toba Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97
2.5. Diaspora Masyarakat Batak Toba Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat
Universitas Sumatera Utara
orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Hal mendasar dari cita-cita filosofi semua orang Batak yaitu mengejar hamoraon, hagabeon dan hasangapon adalah bagian paling kuat untuk mewujudkan keinginan-keinginan itu. Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak, menjadi diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial. Untuk mencapai cita-cita filosofi orang Batak itu, pendidikan adalah jawaban yang dipandang tepat. Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar, membuat orang Batak selalu suka bekerja keras. Sehingga, pekerjaan adalah sesuatu yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani. Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuru tepian
Universitas Sumatera Utara
Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok. Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Namun, sebelumnya orang Batak yang akan keluar menuju Sibolga harus menyusuri hutan rimba Batang Toru dari Adian Koting dengan jarak tempuh berjalan kaki 2 sampai 3 hari. Atau melalui rute timur dari dataran tinggi Sipirok di wilayah negeri Angkola menuju Padang Sidempuan dan terus ke kota pelabuhan Padang. Hal ini pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol di tanah Batak. Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak. Dan rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea. Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat,
Universitas Sumatera Utara
Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Diaspora masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, melainkan para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3 gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. (Sangti, 1977:180) Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka. Tetapi, ada beberapa kasus untuk sebagian masyarakat Samosir yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di daerah Sumatera Timur, hanya bersihat sementara. Kelompok ini disebut dengan mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya secara periodik mereka kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga tahun 1980-an, yang diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat dari dataran tinggi Humbang yang pergi mangombo ke Simalungun di Laras, Dolok Merangir, Dolok Ilir dan Tanjung Leidong di Tanjung Balai.
Universitas Sumatera Utara
Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka seperti dari Silindung, Toba Holbung, Humbang dan Samosir. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara adat Batak mereka. 2.5.1. Komunitas Batak Toba di Simalungun Kedatangan orang-orang Batak Toba di Simalungun, memberi arti luas dalam pembangunan pertanian dan struktur kemasyarakatan. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat berdiamnya orang Batak di Simalungun, mereka dapat berbaur dengan penduduk pribumi (Simalungun). Pada dekade pertama, ada beberapa pertentangan yang membuat konflik terbuka atas keputusan raja-raja Simalungun untuk membayar pajak irigasi bagi semua pendatang dari tanah Batak. Para raja menganggap bahwa mereka sudah menjadi rakyat Simalungun yang patuh akan aturan yang dijalankan disana. Di lain pihak, para pekerja orang Batak yang ada di Simalungun merasa pekerjaan mereka berhasil di Simalungun adalah karena kerja keras dan sikap dinamisme terhadapa pekerjaan yang mereka geluti.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data kependudukan tahun 1930, jumlah penduduk Batak Toba yang sudah bermukim di onderafdeling Simalungun sudah mencapai 45.603 orang, bertumbuh dua kali lipat dari jumlah penduduk Batak di Simalungun pada tahun 1920. Mayoritas mereka berasal dari Toba Holbung, Samosir, Humbang dan Silindung (Situmeang, 1931:23-24). Mereka terkenal sebagai petani-petani ulung dalam membuka lahan pertanian. Selain sebagai petani yang bekerja di sawah dan ladang, kaum imigran Batak Toba juga banyak bekerja di perkebunan milik swasta dan pemerintah di Dolok Ilir dan Dolok Merangir. Para pemudanya bekerja di sektor kesehatan rumah sakit Perkebunan, disamping banyak pula yang bekerja di PKS (pabrik kelapa sawit) dan pabrik getah havea di Serbelawan dan arah Tanah Jawa. Dengan dibukanya jalan raya antara tanah Batak ke daerah Simalungun memberi arti tersendiri bagi orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau daerah lainnya di Sumatera Timur, sekaligus memberikan kemudahan bagi mereka yang akan pindah. Pembukaan hubungan jalan sampai ke Medan pada tahun-tahun berikutnya telah menyebabkan daerah Simalungun sebagai kota transit bagi orangorang Batak yang akan menuju daerah lain di Sumatera Timur seperti Tebing Tinggi, Medan, Belawan, Binjai, Pangkalan Berandan dan kota-kota kecil lainnya untuk mencari pekerjaan (Purba, 1998:29). Berdiamnya kelompok masyarakat Batak Toba di wilayah Simalungun seperti di Pematang Siantar, memunculkan nama-nama daerah baru yang diadaptasi kepada nama komunitas Batak Kristen ketika mereka masih tinggal di bona pasogit seperti Kampung Kristen, Kampung Batak dan membuat nama-nama jalan di sekitarnya
Universitas Sumatera Utara
dengan nama kampung mereka sendiri. Misalnya, jalan Laguboti, Balige, Pangaribuan, Tarutung, Siborongborong, Pangururan dan Narumonda. Pada perkembangan selanjutnya, laju pertumbuhan ekonomi masyarakat Batak yang tinggal di Simalungun mengalami grafik naik secara signifikan yang dapat dilihat dari tingkat kehidupan mereka yang maju. Para petani, meningkatkan produksi hasil pertaniannya dengan bantuan pihak lain dalam menambah volume areal dan produktivitasnya melalui pinjaman lunak yang diberikan De Batakbank (Bank Perkreditan milik orang Batak). Hal ini menjadikan tingkat perekenomian mereka lebih maju dari penduduk asli pribumi. Di lain pihak, orang Batak yang ada di Simalungun memiliki pekerjaan disamping bertani. Mereka bekerja pada perkebunan, pegawai pemerintah dan juga tenaga pengajar. Dalam sensus tahun 1930, ditemukan orang Batak yang mendominasi kaum imigran lain yang berada di Simalungun sebesar 19 % dari seluruhnya. Jumlah imigran di Simalungun saat itu berjumlah 6.644 jiwa atau sekitar 68,4 %, melebihi dari total jumlah penduduk pribumi yang hanya 31,6 % (ibid, 1998:30). Perjumpaan penduduk Batak Toba dengan penduduk Simalungun selama dua setengah dasawarsa (1907-1932) dapat hidup berdampingan. Hal ini adalah implikasi dari pengaruh ajaran agama Kristen yang menyatukan persepsi mereka. Hanya membutuhkan delapan tahun, orang-orang Batak Toba yang ada di Simalungun sudah mendominasi dari jumlah populasi penduduk di Simalungun yakni sebesar 37 % pada tahun 1938. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di
Universitas Sumatera Utara
Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain. Masyarakat Batak di Simalungun hingga kini banyak menempati posisi strategis sebagai pejabat, pegawai pemerintah, pedagang, politikus dan
rohaniawan.
Mereka
juga
beraktivitas
dalam
menjalani
kehidupan
kebudayaannya, walaupun mereka jauh dari daerah asal, tetap juga melakukan aktivitas adat seperti lazimnya orang Batak dalam melakukan pesta atau upacara.
2.5.2. Komunitas Batak Toba di Medan Dalam perkembangan etnis di Medan, kebudayaan Melayu yang lebih dominan. Melayu merupakan dinamika yang penting bagi kelompok-kelompok Batak yang berhubungan langsung dengan kebudayaan Melayu di Medan. Sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik di Medan mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka sekaligus memperlihatkan identitas mereka. Dicatat, beberapa gerakan organisasi membentuk gerakan komunitas Batak. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga menunjukkan identitas mereka. Sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal adalah ternyata adalah orang Batak. Orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan. (lihat Hasselgren, 2008:48)
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus masyarakat Batak yang bermukim di kota Medan mengalami perubahan dalam pembentukan organisasi-organisasi yang semakin didominasi oleh orang Kristen Batak Toba. Perkembangan-perkembangan yang terjadi berimplikasi bahwa komunitas Melayu dari awal tahun 1920-an mulai kehilangan kebudayaannya dan identitasnya dalam suku etnis semula. Medan menjadi lingkungan yang multietnis dimana lebih mudah bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati dirinya. Meskipun perbedaan etnis menjadi realitas penting di Medan, ada juga diantara penduduk urban pribumi memiliki rasa kebersamaan. Di dalam berbagai perkembangan ini, tidak tampak perbedaan etnis baik suku maupun agama. Disamping pembahasan tentang migrasi masyarakat Batak Toba yang bermukim di perantauan khususnya di kota Medan, kelompok imigran penting lainnya adalah Batak Mandailing. Saat pergantian abad, banyak orang Mandailing bertempat di pantai timur Sumatera dan di tempat lain . (ibid. 2008:51). Orang dari Selatan ini tampaknya lebih mudah diterima masyarakat Melayu di kota Medan, daripada orang Batak Toba. Hal ini terjadi dikarenakan mereka memiliki kesamaan agama, sehingga dianggap sebagai saudara seiman mereka. Dan ini menyebabkan mereka lebih berpeluang untuk mendapatkan akses pekerjaan di bidang perdagangan dan pemerintahan. Tingkat kompetisi yang tinggi orang-orang yang bermukim di kota Medan, membuat orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive). Berbagai cara dilakukan misalnya sebagian orang menukar identitas mereka agar dapat diterima dengan mudah, atau meleburkan diri terhadap pola dan tatanan hidup
Universitas Sumatera Utara
pada masyarakat pribumi pertama yang tingga di kota Medan. Tetapi, hal yang dapat dilihat adalah mereka tetap hidup berkelompok dengan membentuk komunitas yang kuat. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan hegemonis marga menurut garis keturunan, kelompok satu daerah asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga jenjang kekeluarga yang sudah menikah. Mereka juga aktif membentuk kelompok dalam satu pola pikir dan tujuan yang disbeut dengan partungkoan.
2.5.3. Komunitas Batak Toba di Jakarta Membicarakan orang Batak di perantauan, perlu untuk mengungkap keberadaan mereka yang bermukim di Jakarta. Karena Jakarta sebagai ibukota negara dianggap orang Batak sebagai indikator mengukur seseorang berhasil dalam mengadu nasib mencari keberuntungan. Namun, dalam pembahasan masyarakat Batak Toba yang menggunakan adat dalam sistem kehidupannya, orang Batak yang di Jakarta tidak menjadi pembahasan lebih mendalam. Hanya, yang bermukim di Bona Pasogit, Simalungun dan Kota Medan. Seperti dijelaskan sebelumnya, orang Batak Toba sudah ada di Batavia (Jakarta) pada tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan
Universitas Sumatera Utara
sendiri. Sebahagian mereka dapat bertahan disamping lainnya harus pulang kembali ke Tapanuli, karena tidak memiliki keahlian. Kedatangan orang Batak di Batavia pada tahun-tahun berikutnya, disamping tetap mencari pekerjaan ada juga yang datang sengaja untuk menuntut pendidikan di berbagai sekolah ternama di Batavia pada tahun 1913, seperti Kwekschool Gunung Sahari, K.W.S, STOVIA dan lainnya. Mereka yang sudah tamat bekerja pada perusahaan negara seperti Jawatan Topografi. Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke darah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang. Orang-orang Batak di Batavia ketika itu, melihat bahwa komunitas yang dibangun berdasarkan pendekatan keagamaan dianggap kurang efektif dalam mengayomi seluruh masyarakat Batak. Hal ini menurut penulis, disebabkan kumpulan ini hanya mengarah kepada satu paham yakni Kristen. Hingga tahun 1922, beberapa orang mendirikan kumpulan Haholongan beranggotakan orang Batak dari berbagai latar belakang sosial dan keagamaan, Kristen dan Islam bergabung dalam perhimpunan ini. Selanjutnya, dibentuk kumpulan orang Batak Batak Voettbal
Universitas Sumatera Utara
Vereniging, yaitu perkumpulan olahragawan Batak, begitu pula kumpulan Bataks Bond yang bergerak dalam bidang politik serta kumpulan Jong Batak yakni perhimpunan pelajar-pelajar Batak yang ada di Batavia. Latar belakang kedatangan orang-orang Batak di Batavia itu, hingga kini masih dapat dirasakan dalam komunitas Batak yang dibentuk berdasarkan agama, marga dan kelompok patrineal. Mereka yang berada di Jakarta sekarang ini, tetap melakukan hubungan kontak dengan asal muasalnya di tanah Batak. Kemudahan transportasi dan teknologi dengan cepat menjangkau kedua daerah ini. Dalam hitungan jam, orang Batak yang ada di Jakarta akan dapat tiba di bona pasogit untuk mengikuti ritual adat yang diyakininya atau mengurus keluarganya. Begitu juga sebaliknya. Pameo orang Batak yang tinggal di Jakarta hidup sukses, membuat orang Batak Toba hingga kini tetap mengejar impian untuk dapat hidup di ibukota negara ini. Nilai-nilai ekspansi yang dimiliki orang Batak memungkinkan mereka cepat menyebar di daerah-daerah lain di Indonesia. Penyebaran ini bida disengaja ataupun ditempatkan menurut pekerjaan mereka. Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau Sulawesi, orang Batak disana sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti ditempatkannya beberapa orang Batak yang menjadi anggota militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876 bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves. Tahun-tahun selanjutnya ada juga pendatang baru dengan berbagai tujuan memasuki Singapura. Tahun 1935 diketahui sudah ada 3 orang yang sekolah di Seven Day Adventis Singapura. Dalam kurun waktu 1949-1955 jumlah orang Batak Toba yang tinggal di Singapura mengalami pasang surut. Hal ini dikarenakan tidak semuanya tinggal menetap di sana. Salah satu penyebab bertambahnya orang Batak Toba di Singapura adalah ketika pemuda-pemudi yang rindu kampung halaman itu pulang ke Singapura dengan membawa anak istri mereka. Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370). Dan
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa. Belum lagi para pemuda yang bekerja kontrak di perusahaan dan industri yang tidak terdaftar dalam anggota IKABSU (Ikatan Keluarga Besar Batak Sumatera Utara). (wawancara 11 Januari 2012, John Kennedy Aritonang-Ketua I IKABSU BatamTanjung Pinang).
2.6. Adat Batak Dalam Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba Adat sebagai sutau kelaziman memiliki sinonim kepada kata membiasakan atau mengadatkan, ketika adat dilakukan secara berulang-ulang maka adat serta kebiasaan itu adalah merupakan sebuah sikap perilaku. Adat hidup dari perorangan atau golongan yang dipakai dalam lingkungan suatu kebudayaan. Pada masyarakat Batak Toba adat dikenal dengan ugari yang berarti suatu kebiasaan atau cara (Warneck 1978 hal 14). Sehingga dapat disebut bahwa adat yang mengatur keseluruhan kehidupan ketika manusia mulai lahir hingga mati. Batasan yang dipakai untuk menyebut adat bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah hukum yang menjadi ugari yang sudah dipergunakan oleh nenek moyang orang Batak (adat sijolo-jolo tubu) orang Batak mempercayai bahwa kehidupan adat bagi mereka adalah mutlak dan alamiah. Orang Batak tidak mengenal istilah bebas dari adat atau lingkungan kehidupan orang Batak yang bebas dari adat untuk itu dapat disebut bahwa adat lah yang menentukan dan mengatur semua batas dan penggenapan kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian adat lebih kurang sama pengertiannya dengan hukum ugari yang hidup ditengah-tengah masyarakat Batak. Orang Batak yang tidak memiliki adat dicap sebagai jolma naso maradat, satu hal yang dihindarkan dalam kehidupan mereka.namun belakangan, ada pemahaman adat itu dapat dibuat sesuka hati menurut keinginan sepihak. Contoh, pesta jubilate (ulang tahun), tardidi (inisiasi pembaptisan nama), malua (masa akil balik), peresmian bangunan pemerintah, syukuran naik jabatan adalah adat yang dibuat-buat oleh orang Batak. Masyarakat Batak Toba memiliki adat dalam mencerminkan sikap tingkah laku yang digunakan oleh masyarakatnya yang berisikan sistem kekeluargaan dengan nilai-nilai dan norma yang saling berhubungan. Perwujudan dari adat Batak, secara normatif dapat dilihat dari pelaksanaan upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Batak Toba. Hal ini diasumsikan bahwa adat bagi orang Batak adalah aturan hidup yang harus dimiliki dalam bertingkah laku pada setiap individu dan kelompok masyarakat ini. 30 Konsep yang dilakukan dalam setiap upacara adat Batak untuk menunjukkan nilai normatifnya, tertuang dalam konsep suhi ampang na opat (empat sudut bakul) yang memberi arti kehadiran pihak-pihak kekerabatan dalam sebuah upacara adat, diantaranya pihak dongan tubu, hula-hula, boru dan aleale. Keempat kelompok ini bertemu melakukan kegiatan adat menurut kepentingannya seperti bermufakat mengambil kesimpulan dengan musyawarah marhata adat; menerima hak tetap
30
Rumusan Seminar Adat Batak Toba dalam Pedoman Umum Pelaksanaan Adat Batak Toba. Parbato Medan. 1998. CV. Bintang Inc.
Universitas Sumatera Utara
dengan membagi potongan daging parjambaran kepada kelompok suhi ampang na opat, hingga implementasi komunikasi yang dilakukan dengan kegiatan tari manortor bersama. (Situmorang, 1983:5) Kegiatan manortor adalah bagian dari konsep marmusik bagi masyarakat Batak Toba. Seperti, kegiatan ritual upacara bius, upacara religi ugamo malim dan upacara perkawinan, selalu memakai alat musik pengiring (Sihombing, 1989: 289). Adat Batak Toba dalam perjalanannya berhadapan dengan perubahan sosial masyarakat pengguna kebudayaan ini. 2.6.1. Upacara Adat Kelahiran Wujud budaya Batak Toba sebagai sumber sikap perilaku dalam kehidupan sehari-hari, tampak dalam sistem yang digunakan di masyarakat Batak Toba itu sendiri. Kekerabatan yang ada pada masyarakat ini berhubungan dengan fase kelahiran yang menimbulkan kekerabatan, baik vertikal maupun horizontal. Inisiasi kelahiran memulai tahapan kedudukan kekerabatan seorang Batak Toba pada sistem kemasyarakatan yang berlaku. Sebab nilai yang terdapat pada kekerabatan itu, memunculkan identitas baru pada marga dan atau garis keturunan dengan dimulainya tarombo atau silsilah. Penghargaan masyarakat Batak Toba terhadap marga dan silsilahnya, ditunjukkan dengan kedudukan yang dimiliki seseorang bagi kelompok keluarga dan masyarakat sekaitan dengan Dalihan Na Tolu. Arti kelahiran yang menentukan kedudukan seseorang Batak Toba. Anak sulung dalam satu keluarga merupakan mataniari binsar atau matahari terbit, dipandang sebagai orang yang memiliki wibawa kebijaksanaan, adik-adiknya yang lahir kelak akan merasakan satu
Universitas Sumatera Utara
wibawa anak sulung dalam keluarga sebagai wakil dari ayah. Hal itu tampak, saat dimana seorang anak sulung mengambil keputusan yang mengikat dan mutlak diikuti oleh semua saudaranya yang menerima keputusan itu. Dalam beberapa kasus terhadap keputusan yang diambil anak sulung tidak diterima oleh sesama saudaranya dan meniumbulkan konflik,
penyelesaiannya adalah menyerahkan persoalan itu
kepada Tulang itu Sipupus Sambubu (pembelai kepala) sebagai pengambil keputusan terakhir yang dianggap merupakan wujud Tuhan dalam masyarakat Batak Toba. 2.6.2. Upacara Perkawinan Adat Na Gok Dalam adat Batak Toba, tahapan yang dilakukan dalam upacara perkawinan tgerdiri dari beberapa tahapan yang dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan: a. Unjuk: adalah ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak dalihan na tolu sebagai tata upacara ritus perkawinan biasa. b. Mangadati: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak dalihan na tolu, pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak. c. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak dalihan na tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalua dan ritusnya diadakan setelah memiliki anak. Dalam upacara perkawinan adat nagok, dilaksanakan sesuai dengan prosedur adat yang dilaksanakan. Maksudnya, apabila upacara perkawinan itu melibatkan
Universitas Sumatera Utara
unsur: dalihan na tolu paopat sihal-sihal, turut berperan di dalamnya dan prosedur pelaksanaan adat itu dengan upacara adat peresmian perkawinan: alap jual atau dengan taruhon jual. Kronologis upacara perkawinan ini, dilaksanakan dengan mengikuti tata cara adat Batak Toba dengan menyertakan perangkat musik sebagai bagian dari rangkaian kegiatan perkawinan ini. Selanjutnya, akan lebih lengkap dibahas dalam Bab berikut. a. Upacara Perkawinan Alap Jual Perkawinan alap jual dilaksanakan apabila tempat upacara perkawinan itu atau horja adat marunjuk diadakan di halaman rumah pihak perempuan dan pihak laki-laki dating menjemput pengantin perempuan dengan cara adat dari keluarga pihak parboru (perempuan); setelah ada kata kesepakatan dalam marhata sinamot. Pengertian jual adalah jenis bakul Batak tempat sumpit
tandok
berisi
makanan adat yang dibawa dengan cara menjunjung. Lauk makanan adat dari juhut lengkap dengan tudutudu sipanganon, dipersiapkan oleh pihak boru yang diperuntukkan untuk hulahula; sedang lauknya dari dengke atau ihan, maka makanan adat tersebut dibuat oleh hulahula diperuntukkan untuk boru. Makanan ini disajikan dan disantap bersama dalam acara marsibuhabuhai. Pihak paranak mengiringi anaknya sebagai calon pengantin dengan membawa makanan adat dalam jual yang dijunjung Boru pihak paranak disebut sihunti ampang. b. Upacara Perkawinan Taruhon Jual Upacara perkawinan dalam bentuk taruhon jual dapat dilihat dari tempat dilaksanakannya perkawinan itu tempat pengantin laki-laki atau Suhut Paranak.
Universitas Sumatera Utara
Suhut sebagai tuan rumah adalah pihak paranak, dan pihak parboru menghantarkan putrinya ke tempat pihak paranak. Acara menjemput pengantin putri dari rumah parboru, sama halnya dengan alap jual dengan membawa makanan adat sibuhabuhai. Pengertian makanan sibuhabuhai adalah makanan adat. Namun, pengertian ini berkembang menjadi nama acara itu sendiri. (Rajamarpodang, 1995:280)
Gambar No. 2: Musik Tiup Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Sumber: Dokumentasi Pribadi
2.6.3. Upacara Adat Kematian Kematian yang sudah saur matua bagi masyarakat Batak Toba, adalah sebuah gejala paradoks. Kaitannya, kematian adalah pemisahan diri antara orang hidup dan mati, mewujudkan adanya sebuah kehilangan esensial yang menghimpit. Konsep masyarakat Batak Toba dalam peristiwa ini, bukanlah keadaan yang harus ditangisi dan sedih. Ada perhatian khusus untuk menunjukkan keluarga yang ditinggalkan,
Universitas Sumatera Utara
harus bersikap sukacita, gembira tanpa tekanan dan beban apapun. Seluruh keluarga menghibur diri dari pertukaran fase kehidupan (fenomena ini masih harus ditelisik lebih jauh oleh penelitian khusus, dengan perhatian pada anggapan masyarakat pelaku upacara ini memiliki tingkat perekonomian yang sama). Tradisi masyarakat Batak Toba dalam memperlakukan upacara kematian dapat diklasifikasi berdasarkan usia dan status si mati. Perlakuan untuk orang yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Namun, bila meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal saat anak-anak (mate dakdanak), meninggal saat remaja (mate bulung), dan meninggal saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan jenis kematian tersebut telah mendapat perlakuan adat. Mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orangtuanya sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Upacara adat kematian mendapat perlakuan adat apabila meninggal pada saat: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai keturunan anak disebut dengan mate diparalang-alangan/mate punu. 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil disebut dengan mate mangkar. 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu disebut dengan mate hatungganeon.
Universitas Sumatera Utara
4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah disebut dengan mate sari matua. 5. Telah bercucu dari semua anak-anaknya disebut dengan mate saur matua. Bagi masyarakat Batak Toba, mate saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena ketika seseorang menutup usia saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi di atasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan anaknya perempuan). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi). Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Upacara adat diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mate saur matua dan pihak hula-hula telah hadir. Segala persiapan dan mekanisme adat yang dilakukan pada hari penguburan si mati, akan dibicarakan dalam martonggo raja untuk memberi pertimbangan untuk memutuskan kapan puncak upacara saur matua dilaksanakan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, biasa dilakukan dengan menahan na mate selama berhari-hari dengan melakukan acara di luar adat, seperti menerima kedatangan para pelayat dengan membuat acara sesuai dengan agama pelaku adat. Dalam konteks sari matua dan saur matua, acara mangondasi dilakukan oleh pihak keluarga dan kerabat dekat dengan acara makan malam yang dikenal dengan mangan pandungoi diselangselingi dengan hiburan musik yang sesuai dengan kemampuan pihak dalam menyediakan perangkat hiburan
Universitas Sumatera Utara
ini. Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari di ruangan terbuka di halaman rumah duka. Dalam upacara kematian pada Batak Toba terbagi menjadi: a. Tilahaon, Matipul Ulu, Matompas Tataring Sebuah keluarga yang mengalami kematian seorang anak disebut tilahaon. Bila seorang anak bayi meninggal dunia dari keluarga penganut agama Kristen sebelum dibabtis, dianggap tidak akan masuk dalam Kerajaan Surga. Agar anak itu berhak memasuki Surga, diberi hak kepada seorang pengetua gereja atau kedua orang untuk membaptis bayi itu. Inisiasi ini disebut tardidi na hinipu. Demikian pula halnya dalam kepercayaan lama masyarakat Batak Toba, apabila seorang bayi meninggal dunia sebelum inisiasi martutuaek, maka roh bayi itu tidak akan dapat berhubungan dengan penghuni Banua Atas. Untuk mengatasi itu, maka setiap orang tua si anak diberi hak untuk melakukan martutuaek di jabu. Seorang remaja dalam tingkat usia naposo atau bajarbajar meninggal dunia, disebut dengan mate diparalangalangan atau mati tanggung. Sebelum upacara keagamaan diadakan, maka lebih dulu dilaksanakan acara adat atau upacara budaya dengan jalan membuat ulos Batak di atas mayat yang disebut ulos saput. Saput dilakukan oleh tulang yang meninggal sebagai ulos kepada kemenakannya. Seorang kepala keluarga atau suami dalam masyarakat Batak, apabila ia meninggal dunia dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil disebut dengan matipul ulu, dengan anggapan tubuh manusia yang telah putus kepala. Pengertian matompas tataring, diberikan kepada seorang ibu yang masih muda
Universitas Sumatera Utara
meninggal dunia dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Pengertian harafiahnya: dapur masak yang rubuh. b. Sarimatua dan Saur Matua Sarimatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu, tetapi masih ada diantara anak-anaknya yang belum kawin. Sari, artinya masih ada anak yang digelisahkan, masih mengganggu jiwanya karena belum kawin. Apabila orangtua seperti ini meninggal dunia, jiwanya belum pasrah menghadapi kematian itu, masih diganggu tanggung jawabnya mengawinkan anaknya. Untuk kematian orangtua seperti ini, belum pantas diadakan acara adat na gok untuk memberangkatkannya ke kuburan. Kalaupun diadakan acara adat, tetapi masih belum adat na gok. Pada perjamuan adat pemberangkatannya, parjambaran dilaksanakan dengan jambar mangihut, serentak diberikan ke tujuannya tanpa dengan panggilan dari hewan acara adat yang disembelih untuk itu. (ibid, 1995:379) Pengertian saur lebih dekat kepada sempurna atau lengkap. Saur Matua dilaksanakan dengan adat na gok berdasar pada dalihan natolu. Orang tua yang meninggal dalam kelompok ini, tidak akan ditangisi. Dan dianggap pantas mendapat perlakuan terhormat pada upacara kematiannya. Untuk menghormati yang saur matua ini, orang banyak perlu diundang dengan mengadakan pesta besar dan memanggil ogung sabangunan. Mengundang kelompok musik ogung sabangunan, diisyaratkan sebagai undangan bagi tamu-tamu dari pihak hasuhuton. Peran dan fungsi musik dalam konteks acara ini, akan dikaji lebih luas dalam Bab berikut yang membahas musik pengiring dalam upacara adat kematian.
Universitas Sumatera Utara
Gambar No. 3: Upacara Adat Kematian Saur Matua Batak Toba Sumber: Dokumentasi Pribadi
2.6.4. Upacara Adat Pesta Tugu Fase kelahiran dan kematian jelas lebih penting dari pada peristiwa pokok dalam persekutuan antar manusia yakni perkawinan. Perkawinan memang dilakukan dan diatur adat. Pelaksanaan adat itu sebagai wujud keberagamaan adat Batak lebih jelas tampak dalam penyelenggaraan pemujaan nenek moyang. Pemujaan itu, sekarang ini dapat digambarkan dalam bentuk membuat tanda artifisial bagi satu kelompok garis keturunan. Misalnya, bangunan sebuah tugu. Tugu yang menjadi pertanda, bukan kuburan para leluhur mereka, adalah cara untuk menghormati leluihur mereka. Penghormatan atas orang yang sudah meninggal harus dibedakan dari pemujaan nenek moyang di lain pihak. Yang termasuk dalam upacara untuk orang mati adalah semua perstiwa yang menyangkut kematian dan acara penguburan.
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah setiap orang mati harus dihormati tanpa kecuali. Sebaliknya pemujaan nenek moyang diselenggarakan bagi para leluhur yang dianggap mempunyai suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan pekerjaan mereka saaat di dunia, yang dilihat dari kekayaan dan kedudukan mereka dalam silsilah marga. Jadi tidak semua yang meninggal orang Batak diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja. Pembedaan antara upacara untuk orang mati dan pemujaan nenek moyang tidak hanya dibuat dalam agama-agama suku, melainkan juga dalam gereja-gereja suku yang didirikan lingkungan agama suku. Upacara untuk orang mati dan pemujaan mengenai suku-suku telah banyak diteliti 31. Orang-orang Kristen dari gereja-gereja suku memuja nenek moyang mereka dengan berbagai cara. Di Sumatera Utara mereka membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya dan menempatkannya tulang-tulang mereka di dasar monumen itu. Setahun setelah didirikan kuburan dan ini dijadikan alasan untuk menghormati orang mati. Baik pemakaman kembali maupun penguburan tengkorak atau semua tulang-tulang dengan upacara, di sarkofagus-sarkofagus tersendiri ataupun di sarkofagus-sarkofagus bersama demikian juga pembangunan patung-patung batu buat nenek moyang hingga sekarang masih dapat ditemukan di sub kultur Batak di daerah bona pasogit.
31
. Penelitian yang dianggap mewakili laporan tentangt upacara dan pemujaan kepada orang mati telah dilakukan oleh Th.V. Baaren: Wiji Mensen, 1960 Hal 56 dan 155
Universitas Sumatera Utara
Di daerah Tobasa, orang-orang Kristen terus menjalankan upacara-upacara penggalian tulang-tulang dalam bentuk yang telah diubah. Gereja telah menyucikan (membersihkan) adat itu dari unsur-unsur yang dianggap animism, dan telah memasukkan suatu peraturan penggalian tulang-tulang di antara orang-orang Kristen HKBP distrik Toba 32. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dalam pihak gereja terdahulu masih berlaku hingga kini. Pemakaman kembali atau pemakaman secara meriah oleh kelompokkelompok yang sudah dikristenkan itu berlangsung hingga kini dengan beberapa pendapat yang berbeda antara penganut agama Kristen lainnya di tanah Batak selain HKBP. Perbedaan itu masih dipertahankan sampai sekarang. Adanya kuburankuburan tanah yang tua, yang biasanya tak terpelihara, disamping tanda-tanda makam yang dibangun, sampai yang bersifat mausoleum megah berdiri di sepanjang jalan dan di perkampungan di Tapanuli. Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan dari tingkat sosial orang-orang Batak itu. Sekarang ini telah banyak didapati bentuk kuburan yang telah diganti oleh bangunan-bangunan
dari
semen
dan
ubin
yang
hanya
mempunyai
nilai
religietnologis. Orang Batak sekarang ini, tidak lagi memahat batu membentuk sarkefagus, melainkan membuat bangunan dari bahan adukan semen dan batu 33.
32
Masyarakat Batak Toba, mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Lebih banyak terdaftar sebagai anggota gereja di HKBP. Sikap HKBP dalam mengakomidir bentuk-bentuk Pesta dituangkan dalam pelayanan yang dilakukan dengan memberi izin dalam ritual penggalian tulang belulang leluhur Batak dengan liturgist dari HKBP. 33 Dalam hampir semua kebudayaan suku, bersama dengan agama suku itu ambruklah juga kesenian. Sebab keduanya merupakan suatu kesatuan hidup yang menurut hakikatnya erat berhubungan satu
Universitas Sumatera Utara
Tulang-tulang para leluhur yang dipilih untuk dipindahkan itu dimakamkan kembali dalam sebuah ruangan di dasar sebuah kuburan semen. Pemindahan itu dilakukan dengan perayaan, sehingga orang dapat menyebutnya suatu pesta. Apabila orang-orang yang mengurus pemindahan itu adalah orang-orang kristen, sebagaimana sekarang ini sudah berlaku umum, mereka meminta kepada majelis jemaat gerejanya persetujuan untuk pemindahan tersebut, dengan memberitahukan hari dan jumlah para tulang-tulang leluhurnya yang akan dikumpulkan dan dimakamkan. Dari permohonan ini pun sudah nyata ditingkat mana dari ketiga tingkat yang ada akan berlangsung perayaan tersebut. Upacara ini dinamai dengan panaikkon saring-saring merupakan perayaan yang paling terhormat dan paling banyak makan biaya. Dalam adat kematian dikalangan orang Kristen, dapat dipahami tentang peristiwa kematian sebagai suatu peristiwa yang bukan bersifat perorangan, melainkan yang bersifat genealogis sosial. Dengan demikian maka tugu atau rumah penyimpanan tulang-tulang itu menjadi kegiatannya yang potensial selalu dilakukan orang Batak secara berkala. Secara religi-etnologis dalam arti upacara, ada beberapa faktor yang membuat kegiatan ini tetap dilakukan, yakni peran para anak rantau yang menganggap kegiatan itu adalah bagian dari kepercayaan kristiani yang mengharuskan seorang anak harus menghormati orangtuanya, baik saat dia masih hidup ataupun sudah meninggal. Adat itu sendiri dapat berjalan bersama dalam ajaran agama Kristen. Dengan demikian adat itu membuktikan tidak bertentangan dengan
sama lain. “tiang-tiang ukiran, rumah-rumahan orang mati, hiasan-hiasan yang banyak, yang indah dan sebagian menelan banyak waktu itu, semuanya menjadi lebih sederhana bahkan menjadi acak-acakan.
Universitas Sumatera Utara
ajaran kristiani. Peristiwa budaya ini, menggunakan perangkat musik sebagai bagian dari unsur kelengkapan pesta.
Gambar No. 4: Tugu Batak Toba Sumber: Dokumentasi Pribadi
2.6.5. Upacara Adat Ulang Tahun Pesta Ulang Tahun pada awalnya tidak termasuk bagian dari adat Batak. Namun seiring dengan kemajuan kebudayaan serta pola pikir manusia, banyak keluarga yang menyelenggarakan acara pesta ulang tahun dengan mencampurkan budaya Batak di dalamnya. Bahkan juga terkesan bahwa adat Batak yang paling dominan dilaksanakan. Semuanya ini kembali kepada pihak penyelenggara. Dalam hal ini keluarga dari yang akan berulangtahun bagaimana caranya menghargai dan menghormati serta menyenangkan hati orang yang berulangtahun. Apalagi yang berulangtahun adalah Orangtua yang sudah berumur lanjut dan mempunyai banyak pinompar (keturunan) serta kerabat yang dikenal lama secara resmi atau tidak melalui
Universitas Sumatera Utara
pergaulan, pekerjaan dan juga melalui paradaton (adat). Orang Batak yang berulangtahun (jubilaris) biasanya akan mengumpulkan seluruh keturunannya dengan mengundang banyak orang untuk kegiatan Jubilate ini. Bila yang berulangtahun sudah berusia tua dan banyak pinompar, pihak keluarga menggelar perayaannya seperti layaknya anak remaja, pemuda, atau bahkan seperti kanak-kanak pada umumnya. Bagi keluarga yang mampu, akan menggelar kegiatan ulang tahun ini serba selebrasi
di gedung dengan harga sewa yang mahal,
menyiapkan makanan yang banyak dan bervariasi, menunjukkan kekompakan pomparan jubilaris dengan kostum seragam mahal dan menyertakan perangkat musik yang lengkap (lihat Bab IV). Bagi orang tua yang akan dirayakan ulangtahunnya oleh anak-anak dan cucunya perlu diketahui sebelumnya siapa saja yang akan diundang untuk menghadiri. Bila yang hadir didominasi oleh kerabat dari paradaton, akan digelar kegiatan yang berbau adat. Untuk adatnya, pihak Hula-hula membawa dengke (ikan adat) untuk dipersembahkan kepada yang berulangtahun. Ada kalanya pemberian dengke itu disertai pemberian ulos maupun kado. Sedangkan pihak keluarga yang sedang berulang tahun memberikan daging kepada pihak hula-hula-nya disertai ucapan terimakasih dan permohonan doa restu. Tidak ada pola resmi dalam kegiatan ini. Dalam acara ini, ada kalanya pihak keluarga mengadakan pengumpulan dana melalui suatu pertunjukan yang akan disumbangkan kepada suatu pihak yayasan atau organisasi tertentu, misalnya ke Panti Asuhan atau ke Gereja. Lebih jauh, upacara ulang tahun ini lebih menekankan kepada keberhasilan keturunannya dalam mencapai
Universitas Sumatera Utara
hamoraon, hagabeon dan hasangapon kepada para undangan yang mengikuti acara itu. 2.6.6. Upacara Adat Memasuki Rumah Baru Rumah bagi orang Batak, merupakan suatu salah satu cita-cita yang paling di prioritaskan dalam hidupnya. Rumah merupakan sesuatu yang sangat didambakan, tempat seisi keluarga bernaung dari hujan, panas dan dingin, disebut dengan undungundung. Rumah juga menjadi tempat mengumpulkan segala rejeki yang didapatkan dari pekerjaannya. Rumah merupakan tempat yang selalu dirindukan oleh seluruh anggota keluarga yang ingin segera kembali dari tempat kerja maupun dari perjalanan. Rumah sangat penting arti filosofinya bagi orang Batak. Bagi orang Batak, membangun sebuah rumah untuk tempat keluarga bernaung adalah bagian dari tanggungjawab harajaon seorang kepala rumah tangga. Tradisi mendirikan rumah bagi orang Batak, selalu diberitahukan kepada pihak hula-hula untuk memohon doa restu. Acara memasuki rumah bagi orang Batak mempunyai tingkatan sesuai situasi dan kondisi rumah yang akan di tempati. 1. Manuruk bagas. Istilah manuruk adalah rumah yang harus ditempati meskipun belum sempurna sebagai rumah yang sudah selesai. Acara manuruk bagas sangat sederhana dan dihadiri oleh saudara dekat. Biasanya, dalam konteks rumah yang belum selesai ini tidak diberitahukan kepada tulang agar sekali memberitahukan apabila keluarga tersebut sudah punya dana untuk meningkatkan kondisi bangunan.
Universitas Sumatera Utara
2. Mangapiapi i.
Adalah kondisi pembangunan rumah yang belum selesai.
Untuk acara dalam mangapi-api i, yang di undang adalah sanak keluarga saja ditambah tukang (pande ruma), dan utusan dari tetangga dekat. 3. Mamasuki Jabu. Untuk acara mamasuki jabu, kondisi rumah telah selesai dengan bangunan permanen. Acara mamasuki jabu ini melibatkan undangan hulahula, tulang, kerabat dekat, pihak gereja dan undnagan lainnya. Acara makan bersama dengan menyajikan juhut dari pihak yang berpesta dan dengke dari hulahula. Adakalanya, acara ini diiringi oleh musik sesuai dengan permintaan pemilik rumah. Dari uraian di atas tentang adat Batak Toba, dapat dimengerti mengapa orang Batak Toba sangat kuat mempertahankan dan menjalankan adatnya. Karena adat berpengaruh sangat kuat
yang mengandung berkat dan sanksi sekaligus serta
merupakan sikap hidup orang Batak Toba dalam memandang hidupnya, maka adat bagi mereka bersifat mutlak. Dalam konteks ini, orang Batak Toba yang menganut paham agama Kristen atau Islam, di desa atau di perkotaan bahkan petani atau terpelajar, mereka tetap menghargai dan melaksanakan adatnya, walaupun pelaksanaannya tidak seperti masamasa dahulu namun inti dari sistem adat itu tetap seperti semula. Dalam persekutuan hidup dengan nenek moyang, adat itu lebih menyatakan diri sebagai religi bagi orang Batak. Adat menghubungkan nasib individu, nasib nenek moyang dan nasib keturunannya (Schreiner, 1994: 27-28).
Universitas Sumatera Utara
2.7. Transformasi Adat Batak Toba Ke Dalam Agama Kristen Keterlibatan RMG di Indonesia dimulai pada tahun 1834, ketika misi ini mengirimkan missionaris ke Kalimantan. Setelah itu, RMG dipusatkan di Banjarmasin, yang memulai memusatkan misi ke suku Dayak yang ada di pedalaman. Ketika para missionaris keluar dari Kalimantan, badan zending ini mulai mencari lahan misi yang lain dalam koloni Belanda. Serikat injil Belanda menerima bahwa karya misi diantara suku Batak di Sumatera tampaknya akan menjadi usaha yang menjanjikan. Sehingga Belanda mengirimkan ahli bahasa bernama Van der Tuuk ke Indonesia, dimana ia telah menulis tata bahasa Batak Toba dan menerjemahkan bagian-bagian dari injil. Pada bulan Oktober 1860, resmi dibuat oleh Badan zending RMG di Jerman untuk memulai penginjilan di Sumatera Utara. RMG juga memulai misi penginjilan di Pulau Nias arah barat pantai Sumatera. Sebelum tahun 1860-an, beberapa usaha tersendiri dibuat untuk melanjutkan karya missioner Kristen di Tapanuli Utara. Pada tahun 1834 para missionaris Baptis Amerika memasuki lembah Silindung, namun usaha mereka terhenti dan gagal total. Istilah “Rhenish Mission” atau dalam bahasa Jerman “Rheinische Mission Gesselschaft” (RMG), akan merujuk pada misi dari Rhenish Mission Society di Sumatera. Sehubungan dengan hal itu, keresidenan Sumatera Timur pada zaman kolonial Belanda dibagi menjadi beberapa distrik. Sebuah terobosan penting dalam hal ini komunikasi regional terjadi pada tahun 1915, ketika jalan raya trans Sumatera selesai dibangun dari Medan menuju Sibolga, sebuah kota kecil di pesisir samudra India di sebelah barat Tapanuli. Jalan raya ini menghubungkan kota dan desa
Universitas Sumatera Utara
Tapanuli Utara dengan Simalungun dan daerah pesisir timur, dan menjadikan transportasi jauh lebih mudah ketimbang sebelumnya.
2.7.1. Sejarah Awal Gereja Batak di Perantauan Kedatangan bangsa Eropa di Sumatera Timur memiliki konsekuensi didirikannya organisasi gereja dengan maksud memelihara kebutuhan-kebutuhan religious dari pada kolonial. Bangsa Eropa pada umumnya tidak tertarik dan para pendeta jemaat yang mengeluh bahwa pengumpulan keuntungan adalah minat utama mereka dan bukan kehidupan spiritual. Ada banyak jemaat Kristen dari non- Eropa yang tinggal di Medan. Beberapa dari mereka tergabung dalam jemaat yang didominasi oleh orang-orang Eropa dan ada juga anggota badan missioner yang didirikan oleh missioner Barat. Gereja Katolik merupakan umat pertama yang memulai karya kongregasional bagi bangsa Eropa di Medan. Di Medan, sebuah jemaat Katolik didirikan pada tahun 1878 dan sebuah gereja dibangun di Paleisweg (sekarang jalan Pemuda) pada tahun 1879. Gereja tersebut terletak di sebelah timur sungai Deli dekat perbatasan perkampungan orang Eropa. Gereja Protestan utama di Medan adalah Protestantche Kerk (saat ini GPIB jalan Diponegoro). Gereja ini adalah gereja Protestan satuan di koloni yang sangat terikat dengan pemerintahan kolonial, dinamai juga dengan Gereja Belanda (Gereformeerdekerk), gereja ini dibangun pada tahun 1888 di dekat lapangan Merdeka, dan pada tahun 1912 orang-orang yang tergabung dalam Batak Mission mengadakan kebaktian minggu di gereja tersebut. Pada tahun 1921, sebuah gereja
Universitas Sumatera Utara
baru diresmikan di Mangalaan Protestantsche Kerk memiliki banyak jemaat Kristen pribumi sebagai anggota di bagian barat koloni. Gereja juga terbuka terhadap jemaat pribumi pada umumnya. Dan pada Tahun 1927, dibangun gereja Batak pertama di sekitar jalan Sudirman dengan sungai Deli, bernama Huria Christian’s Batacs (HChB) yang berubah namanya menjadi HKI Dahlia sekarang. Dan tahun 1928, gereja HKBP Sudirman, resmi berdiri. Selama dua dekade abad ke-20, sekitar 80-100 anggota Protestant Kerk bermigrasi dari Ambon dan Menado ke Medan. Para lelaki bekerja sebagai pegawai negeri. Dua kelompok etnis ini pada umumnya banyak yang menjadi serdadu dan polisi pribumi di koloni, migrasi kelompok-kelompok ini mungkin menjadi alasan mengapa jemaat Kristen pribumi pada umumnya (wawancara dengan J.A. Ferdinandus, 09 Oktober 2011). Pada tahun 1918 dan 1919, Protestantsche Kerk mengalami krisis, gereja tidak memiliki pendeta jemaat. Bersamaan dengan peristiwa tersebut sekelompok jemaat Kristen Belanda mendirikan sebuah gereja baru yang bernama Gereformeerde Kerken, gereja ini didirikan pada tahun 1886 (Gereja GKI di Jalan H. Zainul Arifin sekarang). Jemaat ini menekankan doktrin-doktrin tradisional yang sudah direformasi. Jemaat ini terdiri dari golongan kaum Belanda yang terkemuka di Medan yang dikenali karena kesetiaan mereka terhadap agama Kristen. Selain itu ada juga gerakan yang terjadi di Medan, yaitu Methodis yang merupakan organisasi missioner yang paling penting di Medan selama beberapa dekade pertama pada abad itu. Di Medan, gereja Methodis didirikan atas inisiatif pedagang-pedagang Cina. Pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1915, misi Methodis merambah keluar Medan, terutama bangunan-bangunan sekolahnya sebagai hasil kekuasaan Belanda yang mengijinkan mereka melakukan karya misi di pantai timur. Organisasi missioner yang lain di Medan adalah Gereja Advent. Gereja ini dibawa oleh para missioner dari Amerika. Pada tahun 1920-an, jemaat Advent mencoba membangun gereja namun tidak diketahui pasti apakah mereka berhasil atau tidak. Jadi dalam penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dominasi agama Kristen di Medan sangat berpengaruh, termasuk orang Batak yang beragama Kristen.
2.7.2. Batak Toba Kristen di Perantauan Orang Batak Toba melakukan penyebaran ke daerah kepulauan Mentawai. Mereka datang ke sana dengan bantuan missioner Jerman dan badan Zending yang lain. Usaha pelayanan umat Kristen sampai ke Mentawai dimulai awal tahun 1900-an. Missioner Jerman dan zending yang lainnya dari antara umat Kristen Batak bukan hanya memberiitakan injil, tetapi juga mendirikan dan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi penduduk setempat. Pendidikan sekolah, pusat kesehatan dan lain-lain tidak kecil artinya bagi mereka. Kehadiran missioner, guru, jururawat, atau mantri, tukang dan kaum awam membawa berbagai kemajuan dan pembaharuan di daerah Mentawai. Pada tahun 1910 zending Batak mengutus 9 orang guru-guru injil Batak Toba ke sana, diantaranya Gr.Manase Simanjuntak (meninggal martir tahun 1922), Gr.Melanthon Tobing dan lain-lain. Pada tahun itu keamanan sudah semakin baik dan peraturan pemerintah Belanda
Universitas Sumatera Utara
mulai berjalan dengan baik di daerah itu. Hal itu bukan hanya membawa dampak positif bagi orang-orang Minang yang ingin berdagang di sana, tetapi juga untuk petugas zending untuk memperbesar peran mereka bagi pembangunan masyarakat di Mentawai. Salah satu wujudnya adalah pendirian sekolah. Hal ini yang membuat orang Batak Toba semakin bertambah di daerah tersebut. Pemerintah Belanda mendukung apa yang dilakukan oleh zending Batak Toba. Di bidang pertanian petugas zending memperkenalkan tanaman padi sebagai pengganti keladi, makanan utama penduduk setempat. Kehadiran zending di Mentawai membuat perekonomian semakin maju dan dengan keberadaan orang Batak Toba di Mentawai. Sementara di bagian Sumatera lainnya seperti di Bengkulu, pada awal tahun 1946 sudah terdapat beberapa orang Batak Toba yang bekerja sebagai pegawai pemerintah. Ada yang ditempatkan oleh pemerintah atau karena mutasi pegawai. Sebagian lagi ada yang datang dari Palembang karena mereka ingin menghindari konflik yang berkepanjangan dengan penduduk asli daerah. Ada yang sampai ke Lampung dan sebagian ke Bengkulu. Dari antara orang Batak Oemar Siregar di kenal lebih lama di Bengkulu. Kepulauan Enggano juga tersebar orang Batak Toba, orang pertama suku Batak disana adalah Gr. Kristiani Lumban Tobing, ia datang karena tugas zending. Pada tahun 1901 orang Batak semakin berdatangan dengan status sebagai zending. Pemerintah Belanda berusaha untuk meningkatkan kemakmuran di daerah itu dengan penduduk setempat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membatasi gerak langkah terutama pedagang-pedagang Cina yang banyak mengorek untung dari
Universitas Sumatera Utara
hasil bumi penduduk setempat. Kehadiran zending missioner Belanda ternyata memberi dampak positif bagi penduduk setempat. Hal ini yang membuat orang Batak untuk mendirikan koperasi bersama untuk masyarakat setempat. Sejak tahun 1936 orang Batak menjadi basis segala pemerintahan, sosial ekonomi, pendidikan dan pengembangan agama. Sampai awal perang dunia II hubungan dengan Enggano lebih banyak melalui petugas-petugas zending. Perpindahan spontan hampir tidak ada berhubung situasi daerah dan jaraknya yang jauh serta sulitnya perhubungan menyebabkan orang Batak Toba tidak tertarik kesana. Selain pulau Sumatera suku Batak juga ada di daerah pulau Bangka. Mereka bekerja di bagian instansi termasuk di perusahaan tambang Timah. Mengingat jauhnya dan tidak adanya transportasi, orang Batak yang ada di Sumatera Selatan dan Pulau Bangka hanya sedikit dan bekerja sebagai pegawai pemerintah. Menjelang pendudukan Jepang di Indonesia, tidak sedikit orang Batak Toba yang sebelumnya tinggal dan bekerja di Singapura mengungsi ke Pulau Bangka. Mereka menggunakan kapal-kapal kecil. Sehingga pada saat terjadinya perang Pasifik, jumlah orang Batak semakin bertambah dalam kurun yang relatif singkat. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda 1910, sudah ada dijumpai orang Batak Toba di daerah Lampung. Ada yang bekerja sebagai pegawai administratif pada pemerintah kolonial dan ada juga di Perkebunan. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa tidak ada terminologi yang jelas menggambarkan masyarakat Batak Toba secara khusus bertempat tinggal pada satu
Universitas Sumatera Utara
pusat daerah kebudayaan. Sehingga dapat disebut untuk semua orang yang menyebut dirinya sebagai Batak Toba dalam kajian ini adalah orang-orang yang menggunakan kebudayaan Batak Toba dalam kehidupan tradisinya sehari-hari, tanpa melihat daerah asal dan hegemoni marga mereka sendiri. Dan bagi orang Batak yang tinggal di manapun, termasuk di daerah perantauan - mengganggap juga bahwa tanah tempat tinggal mereka adalah bagian dari hasil kebudayaan mereka sendiri, dimana mereka berinteraksi dengan budaya Batak-nya dengan sesama orang Batak lainnya .
Universitas Sumatera Utara