BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN KESENIAN BATAK TOBA
2.1 Geografi Batak Toba Batak merupakan salah satu suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli di provinsi Sumatera Utara108 yang terletak di Indonesia. Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut. 109 Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing-Angkola, deskripsi secara umum letak geografi dan etnografi masyarakat Sumatera Utara dalam 108
Muhammad Takari dkk “Masyarakat Kesenia Di Indonesia:Masyarakat Dan Kesenian Sumatera Utara”, Studia Kultura, Fakultas Sastra,Universitas Sumatera Utara, 2008. Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbezaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau-secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918), pp. 1 dan 9. Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 33 Provinsi di Indonesia, yang terdiri dari 26 Kabupaten dan Kota, yaitu: (1) Kabupaten Asahan, (2) Kabupaten Batubara, (3) Kabupaten Dairi, (4) Kabupaten Deli Serdang, (5) Kabupaten Humbang Hasundutan, (6) Kabupaten Karo, (7) Kabupaten Labuhan Batu, (8) Kabupaten Langkat, (9) Kabupaten Mandailing Natal, (10) Kabupaten Nias, (11) Kabupaten Nias Selatan, (12) Kabupaten Pakpak-Dairi Bharat, (13) Kabupaten Samosir, (14) Kabupaten Serdang Bezagai, (15) Kabupaten Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Tapanuli Tengah, (18) Kabupaten Tapanuli Utara, (19) Kabupaten Toba Samosir, (20) Kota Binjai, (21) Kota Medan, (22) Kota Padang Sidempuan, (23) Kota Pematangsiantar, (24) Kota Sibolga, (25) Kota Tanjung Balai dan (26) Kota Tebing Tinggi. 109 Mangaraja Siahaan. Gondang Dohot Tortor Batak. Pematang Siantar: Sjarif Saama.
Universitas Sumatera Utara
konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, PakpakDairi-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa. Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut. The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku)... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities-Pakpak-Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast”. Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, antara lain: Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola. Ke-lima komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial
Universitas Sumatera Utara
yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus. 110 Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan Barat dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini. Kebanyakan masyarakat Batak Toba mempunyai suatu kebiasaan untuk merantau (meninggalkan kampung halaman). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, pendidikan dan biasanya orang Batak yang sukses diperantauan akan memanggil orang Batak yang mempunyai kedekatan dengan yang satu marga 111 atau tondong (yang masih ada hubungan family) untuk diberikan pekerjaan, dalam hal ini bisa dikarenakan oleh falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Dalihan Na Tolu yaitu Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru. Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku
110
Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. 111 Kompas, 3 Februari 2013, h. 11, “ Martogi sitohang (42), seniman Batak, secara berseloroh menambahkan, cukup satu orang Batak tinggal di satu tempat. “Nanti dia akan mencari saudaranya atau di cari keluarganya. Kalau sudah bertemu, mereka berkumpul,” katanya… Makna kekerabatan buat orang Batak itu memang sangat luas. Kekerabatan tidak hanya tercipta karena pertalian darah, tetapi juga karena pertalian marga dan perkawinan… Jika si perantau berhasil, biasanya saudara atau teman sekampung akan datang menyusul. Dan si perantau yang sukses akan membantu”.
Universitas Sumatera Utara
Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. 112
2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba Karena minimnya data-data yang tertulis mengenai asal-usul masyarakat Batak Toba, dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Toba maka penulis mengacu dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang pada masyarakat Batak Toba atau mitologi tentang lahirnya suku Batak, juga dikarenakan bila dikaji lebih dalam, khususnya pada awal terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba, merupakan suatu hal yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya antara mitos dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba itu sendiri. Berdasarkan mitos dan sejarah, dapat dikatakan bahwa menurut persepsi mereka pada umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba merupakan keturunan Si Raja Batak, seperti tercermin dalam tulisan Napitupulu (1964:84). Dewa Mulajadi Na Bolon mengirim putrinya Si Boru Deak Parujar turun ke bumi. Ia kawin dengan Dewa Odap-odap dan melahirkan anak kembar manusia, satu lelaki Si Raja Ihat Manisia dan satu perempuan Si Boru Ihat Manisia. Mereka berdua, walau bersaudara, kawin dan lahirlah beberap anaknya. Salah seorangputeranya bernama Si Raja Batak, yang menjadi leluhur seluruh suku Batak. Kampung kediamannya bernama Sianjur Mula-mula dekat kaki gunung Pusuk Buhit disebelah Barat Pulau Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas Gunung Pusuk Buhit. Si Raja Batak mempunyai dua putra, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan dan adiknya Raja Isumbaon. Si Guru yaitu Tatea 112
N Siahaan, 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit
Grafindo.
Universitas Sumatera Utara
Bulan ahli dalam ilmu sihir dan Sang Raja, adiknya ahli dalam ilmu hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putra dan empat putri. Kelima puteranya adalah: (1) Raja Biak-biak (Raja Uti), (2) Tuan Saribu Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, dan (5) Silau raja (Malau Raja). Nama dari keempat puterinya, sebagai berikut: (1) Si Boru Paromas (Si Boru Anting-anting Sabungan), (2) Si Boru Parema, (3) Si Boru Bindinglaut, dan (4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon mempunyai tiga orang putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, (3) Sangkar Somalidang (Langka Somalidang).
2.2.1 Pengertian batak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang memBatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pemBatak adalah perampok/penyamun. Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk Batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’. 113 Leo Joosten 114 berpendapat Batak: yang non-jau; orang yang bukan bangsa-halak jau; adat dan hukum suku-habatahon. Dari beberapa pendapat di atas tidak dapat menjelaskan dan memastikan apa atau yang mana arti Batak yang sesungguhnya secara umum. Menurut asumsi penulis apabila orang mendengar
113
Andar M Lumbantobing, 1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT, BPK Gunung Mulia. 114 Leo Joosten, 2008. Kamus Indonesia Batak Toba. Medan: Penerbit Bina Media Perintis.
Universitas Sumatera Utara
kata Batak tanggapannya mungkin orang yang dekat dengan adat dan hukum suku yang tinggal/berasal dari Sumatera Utara.
2.2.2 Sejarah batak Karena Catatan mengenai sejarah asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak ditemukan, sehingga sulit untuk memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Di bawah ini penulis mencoba mengurutkan secara ringkas beberapa catatan sejarah yang umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi tentang asal-usul masyarakat Batak yang akan penulis kemukakan sebagai berikut. Brahma Putro mengemukakan bahwa pada jaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang. Menurut
Brahma Putro bangsa Batak berasal dari bangsa-bangsa
Hindia Belakang setelah melalui malaya. 115 Tentang kapan waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd. Yamin, sebagai berikut: Menurut G. Gerrad, perpindahan itu terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira
115
Putro, Brahma, 1978. Karo dari Jaman ke Zama. Medan: Ulih Saber.
Universitas Sumatera Utara
1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda). V.H. Geldern mengatakan, perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi. Kern menyebutkan, perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Kern, yang menyebutkan bahwa perpindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Dari berbagai uraian pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa suku bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli. Kemungkinan bahwa suku bangsa Batak adalah termasuk berasal dari bangsabangsa Hindia Belakang atau ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman, sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay. Beberapa pendapat lainnya, seperti seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang mengemukakan sebagai berikut. Menurut beberapa prasasti peninggalan jaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayani telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di
Universitas Sumatera Utara
daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu”. 116 Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di Barat Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak, dan ada juga yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir. Ada juga pendapat yang berbeda apabila dilihat berdasarkan tarombo (silsilah) 117 orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak. 118 Dari pendapat di atas maka berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Jika diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja
116
Andar M Lumbantobing,1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 117 Leo Joosten, 2008. Kamus Indonesia Batak Toba. Medan: Penerbit Bina Media Perintis, h. 246. 118 Schreiner, Lothar, 2002. Adat dan Injil. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Universitas Sumatera Utara
Sisingamangaraja ke XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907). Ada juga yang membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, di pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba. 119 Pendapat yang mengatakan dari sisi bahasa dan bukti-bukti arkeologi yang menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia, dapat kita lihat pada kutipan berikut. … Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan buktibukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di jaman batu muda (Neolitikum)… Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Jaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di jaman logam. Pada abad ke-6, pedagangpedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir Barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang 119
Richard Sinaga, 1997. Leluhur Marga Batak, Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda. Jakarta: Dian Utama.
Universitas Sumatera Utara
oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagangpedagang Tamil dari pesisir Sumatera… Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir Barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal”. 120 Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara. Dari latar belakang Sejarah Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di
120
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak. Halaman ini terakhir diubah pada 10.08, 23 November 2012.
Universitas Sumatera Utara
Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas.
2.2.3 Mitologi suku batak toba Setiap suku dan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, masyarakat Batak Toba juga memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang asalusulnya, khususnya tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan suatu hal yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite 121 dan juga tentang sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba. Namun sebagaimana sifat dari tradisi lisan dalam perkembangannya sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama akan semakin sulit untuk mendapatkan sumber awalnya, dan semakin berbeda dengan cerita aslinya. Masyarakat Batak Toba, baik secara peribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya, sama ada bahaya alam, penyakit menular maupun serangan binatang buas. Demikian pula untuk maksud mendapat restu, baik 121
Mite adalah bagian dari folklor (cerita rakyat). Dari semua bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Mengikut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci-namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belum begitu lama. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, tidak terikat oleh waktu dan ruang. Lihat William R. Bascom (1965). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini lihat Djames Danandjaja (1984:50-51).
Universitas Sumatera Utara
dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan menerusi pemujaan. 122 Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996). Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk-Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki. Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk-Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk-Manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan. Si Boru Deak parujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (lakilaki) dan Boru Itam Manisia (perempuan). Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu 122
Muhammad Takari dkk 2008. Masyarakat Kesenia Di Indonesia:Masyarakat Dan Kesenian Sumatera Utara. Medan: Studia Kultura, Fakultas Sastra,Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham. Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir. Banyak cerita dengan berbagai versi tentang leluhur orang Batak, tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, yang semua tujuan ceritanya mengatakan bahwa Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak. Ada juga beberapa mitos yang kebanyakan tujuan penulisannya untuk kalangan sendiri, seperti tulisan yang berjudul Dinasti Raja Pulo Morsa Rea (Sumatera) Dan Dinasti Raja Batak: Partukoan Habatahon 123 (Partohab), yang dalam tulisan ini mewakili masa Aek Nasumar (Banjir besar), 124 kemudian Dinasty Pulo Mangala Tuan Bitara Raja Tuntungan Pulo Morsa Rea yang mana pada masa ini mewakili 6000 taon a.s.t.K andorang so tubu Kristus (6000 tahun sebelum masehi) hingga sampai kepada Dinasti Pulo Morsa Raja Batahan Jonggi Nabolon (Raja Batak Parjolo) yaitu Raja Batak Pertama mewakili 1800 andorang so tubu Kristus (1800 tahung sebelum masehi). Ada perbedaan untuk penyebutan nama raja sebagai perbandingan untuk “silsilah sibagot ni pohan”.
123
Disusun kembali oleh: Tombang Lumbangaol, yang memang tujuan penulisannya ditujukan untuk kalangan sendiri. 124 Leo Joosten,op. cit., h. 18.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba Dalihan Na Tolu adalah filosofi yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu merupakan suatu kerangka yang meliputi hubunganhubungan kerabat darah dan juga hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu, istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan berbeda dengan kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk. Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu: (1)
Universitas Sumatera Utara
pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima istri (wife receiving party); (3) pihak yang memberi istri (giving party).125 Ketiga unsur penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu: Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai suatu wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal dengan sebutan “Somba marhulahula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga 126 yang harus tetap akrab dan kompak, yang dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan “manat mardongan tubu”, artinya tetap menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja”, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan, membujuk dan mengayomi kelompok penerima istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut haruslah menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu dapat kita lihat kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula
125
N Siahaan 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Grafindo, h. 35. 126 Leo Joosten, op. cit., h. 166. Semarga: dongan sabutuha; dongan tubu: kawan-dongan samarga.
Universitas Sumatera Utara
pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Dalihan Na Tolu adalah merupakan kerangka dasar kekerabatan. Nilai inti kekerabatan dalam masyarakat Batak menjadi unsur utama yang dapat terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu juga terlihat pada tutur sapa dan bersikap karena nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan kehidupan masyarakat Batak Toba. Dalihan Natolu adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan juga hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dengan perkawinan maka terjadilah suatu ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi, seperti tiga tungku di dapur yang besar. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan holong yang artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santun/etika. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbedabeda agama atau kasta.127 Dalihan Na Tolu bukanlah mengenai agama atau kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Perbedaan agama dan kasta tidak terlalu berpengaruh, mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Budha dan 127
Kompas, 3 Februari 2013, h. 11, “Monang Sianipar, pengusaha sukses dari Tanah Batak, mengatakan, orang Batak Toba terikat pada konsep dalihan na tolu dalam melaksanakan pernikahan… Meski Monang pengusaha besar, ketika di acara adat ia berada dalam posisi sebagai boru, ia harus mau bekerja melayani hula-hula dan tamu lainnya mulai dari cuci piring, mencincang daging, sampai membagikan makanan.
Universitas Sumatera Utara
yang kaya atau miskin kadang-kadang begitu erat kaitannya, hal ini dikarenakan konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga, sejauh ini tidak ada orang Batak Toba tanpa marga, karena dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan adatnya di mana pun mereka berada.
2.4 Kampung dan Desa Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Ditinjau dari kemasyarakatan Batak Toba, perkampungan/desa memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap marga bertempat tinggal di perkampungan yang disebut huta, yang biasanya juga merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh sekelompok induk marga dari suatu keturunan, yang disebut toga dan gabungan beberapa unsur – unsur marga masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang satu keturunan disebut bius. Misalnya marga Hutagalung dalam cakupan bius Tarutung, marga Simamora dalam cakupan bius Dolok Sanggul, marga Nainggolan dalam cakupan bius Onan Runggu, marga Sinambela dalam cakupan bius Balige, marga Pasaribu dalam cakupan bius Haunatas, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Dikatakan Huta jika bangunan yang didirikan di atas tanahnya sendiri, atau bertempat tinggal di atas tanah yang telah diduduki, maka parhutaan adalah merupakan bagian dari milik si pendiri serta keturunannya, misalnya untuk menanyakan didia marhuta yang berarti bertempat tinggal di kampung mana, dijawab huta atau kampung Hutagalung yang berarti marga Hutagalung yang mendirikannya . Seperti yang dijelaskan oleh Vergouwen, kampung merupakan lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya. Rumah-rumah, biasanya berbaris, berhadapan dengan barisan rumah terdapat lumbung padi. dan setiap rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang.
2.5 Agama dan Kepercayaan Definisi agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut, sedang kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tradisi. Sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia bahwa, suku-suku di daerah-daerah sudah menganut agama dan kepercayaan asliseperti dalam kepercayaan
masyarakat
Batak
Purba,
diyakini
adanya
Tuhan
Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara fungsional terbagi atas tiga dalam prinsip yang tri tunggal, yaitu Tuan Bubi na
Universitas Sumatera Utara
Bolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai wilayah atas: langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang disebut banua tonga dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua toru. Konsep “Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli antropologi religi akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli orang Batak. 128 Pada masa itu, keagamaan orang Batak merupakan suatu konsep totalitas, yaitu alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya yang terjalin dalam suatu pandangan, merupakan konsep totalitas dan juga yang tercermin dalam pembagian alam menjadi tiga bagian dan Mulajadi Na Bolon yang diartikan sebagai Pencipta Alam Semesta sebagai penguasa atau Bangsa Batak sudah menganut agama asli yaitu agama Mulajadi yang sudah ada sejak jaman purba. Sejak masa sebelum ada pengaruh Hindu, orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa tanah, dan roh-roh lain yang bermukim di tempat-tempat suci. Pengaruh
agama
Hindu
diperkirakan
lama
cukup
memengaruhi
perkembangan budaya Batak, dapat dilihat dari beberapa kosa kata yang diserap dari bahasa Hindi dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara, aditia, anggara dan lain sebagainya, dan juga terdapatnya candi-candi Hindu di Portibi, Sipamutung dan Padang Bolak. Menurut Pedersen pada mulanya antara tahun 2000 dan 1500 sebelum Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir Barat Sumatera Utara telah dikuasai oleh suatu peradaban Hindu-Budha. Tetapi kemudian, pendapat 128
Hary Parkin, Batak Fruit Hindu Thought, (Madras: Cristian Literature Society, 1978), 253. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), h. 46.
Universitas Sumatera Utara
tentang masuknya pengaruh Hindu-Budha ke daerah Batak lebih menonjolkan teori kolonisasi yang lebih muda, dengan teori bahwa kolonisasi asing mungkin secara langsung datang dari India atau dari Jawa, tetapi yang paling besar kemungkinannya ialah dari orang-orang Melayu Minangkabau di Sumatera Tengah-Barat. Bangsa Batak sudah menganut agama asli yaitu agama Mulajadi yang sudah ada sejak jaman purba sampai kemudian pada masa Sisingamangaraja-X (sepuluh) mulai berkembang agama baru yang dianut sebagian dari Bangsa Batak yaitu Ugamo Malim dan penganutnya disebut parmalim. Pada masa Si Singamangaraja X (sebelum masuknya Islam dan Kristen) kehidupan beragama bagi masyarakat Batak Toba merupakan kesatuan yang erat dengan pemerintahan, yang pada masa itu dipegang oleh beberapa pimpinan. Sebab walaupun secara keseluruhan wilayah Batak Toba berpegang pada suatu tata cara adat yang sama, tetapi masyarakatnya terbagi atas tiga harajaon yang masing-masing dipimpin oleh Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, yang menguasai tujuh marga dari keturunan Si Raja Lontung: Jonggi Manaor di lembah kaki gunung Pusuk Buhit, yang menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan; dan Si Singamangaraja X dengan wilayah yang hampir meliputi lima perenam dari keseluruhan wilayah Batak Toba (yang mencakup Toba Holbung, Samosir Utara, Humbang dan Silindung), yang menguasai belasan bius dari keturunan Sumba. Kedudukan ketiga pimpinan Ompu Palti Raja, Si Raja Lontung: Jonggi Manaor dan Si Singamangaraja X adalah sebagai pendeta agung yang mewakili yang Maha Kuasa dengan sebutan Malim Ni Debata dan pemimpin dari suatu
Universitas Sumatera Utara
bentuk organisasi politik yang meliputi berbagai bius, yang secara genealogis dan geografis terkelompok sebagai suatu rumpun, sesuai dengan peta hasil pola migrasi marga-marga masyarakat Batak Toba. Ada tiga lapisan atau unsur kepercayaan yang juga tercermin dari ritualritual, yaitu: (1) Unsur theisme, berdasar pada kepercayaan akan keesaan Tuhan; (2) Unsur kepercayaan bahwa semua benda dan gejala alamiah adalah roh atau mengandung roh, yang disebut animisme; dan (3) Unsur kepercayaan bahwa jagat raya ini dikuasai oleh daya-daya gaib, magis yang lewat pelaksanaan ritual dan mantra dapat dikendalikan oleh datu, seperti penyembuhan orang sakit secara kekuatan supra-natural.
2.5.1 Islam Sejarah perkembangan agama telah banyak meninggalkan catatan-catatan, agama Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia yang penyebarannya juga sampai ke Tapanuli. Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.129 Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam. Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari masyarakat, sehingga memperoleh dukungan yang banyak terutama dari golongan yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat 130. (Keunang, 1990: 302) Awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Para kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada orang Inggris, dan juga kepada orang Belanda sesudah tahun 1824; maka terjadilah suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut bagi kedua belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri dan pada tahun 1830 mereka melakukan penyerangan ke Mandailing dan berhasil menguasai perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya. Kemudian Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja Mandailing yang dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas gerakan kaum Paderi ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga 129
Christine Doblin, “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847”. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak. Halaman ini terakhir diubah pada 10.08, 23 November 2012. 130 Keunang. J, 1990. Batak Toba dan Batak Mandailing Dalam Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Universitas Sumatera Utara
era baru pun mulailah di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah pendudukan Kolonial Belanda. Dalam
melaksanakan
program-programnya
pemerintah
Belanda
memerlukan tenaga-tenaga bantuan agar dapat mengerjakan urusan-urusan pemerintahan, dengan dimulainya penanaman kopi secara paksa, sebagai suatu bagian dari Culturstelsel (Sistem Tanam Paksa). Dikarenakan orang Batak Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa gedung sekolah didirikan yang bertujuan untuk mendidik putra kepala-kepala adat Batak Mandailing agar memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan. Guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau. Para penganut ajaran agama Islam yang fanatik, orang Minangkabau ini yang juga dihinggapi oleh semangat untuk penyebaran agama, sehingga sambil bekerja bagi pemerintah kolonial Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak Toba, masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Dapat dikatakan, kemungkinan besar bahwa masyarakat Batak Toba yang memeluk agama Islam mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul. Sehingga daerah perbatasan Batak Toba yang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam sedang sebagian lagi memeluk agama Kristen misalnya pada daerah Pahae Jahe dan Pahae Julu.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Kristen Agama Kristen merupakan agama mayoritas di Batak Toba dapat dikatakan
Kristen
sebagai
identitas
budaya,
merupakan
sejarah
baru
perkembangan yang sangat dinamis bagi masyarakat Batak Toba yang dimulai pada tahun 1863, ketika misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen 131 menetap di Silindung. Sebelum itu, berabad-abad lamanya tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar atau tidak ada hubungan dengan dunia luar atau Bangsa Batak terisolasi yang amat ketat dari hubungan pemahaman kebudayaan, masyarakat Batak Toba hidup dengan gayanya sendiri dan menurut pahamnya sendiri. Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. 132 Sebelum kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar Injil berkebangsaan Inggris, memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru beberapa hari sampai di tanah Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga melarikan diri meminta perlindungan kepada pihak Belanda. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun 1834 dua orang penginjil Amerika harus menebus kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh (Schreiner, 2002:56). Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa BatakBelanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen
131
Hotmaida. Hutasoit, T. Simanjuntak, 1993. I.L. Nommensen Sang Penabur Di Tanah Batak. PT BPK GUNUNG MULIA. 132 R. Burton and N,Ward. Transactions of the Royal Asiatic Society.London: Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824. 1:485-513.
Universitas Sumatera Utara
Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka. 133 Neubronner Van Der Tuuk, bertempat tinggal di dekat pantai di Barus di daerah pinggiran. Dalam perjalanannya ke Danau Toba hampir saja ditebus dengan nyawanya, ketika sekelompok masyarakat Batak Toba mengejarngejarnya tetapi Neubronner Van Der Tuuk berhasil melarikan diri dan ia berhasil dapat mencapai kembali tempat tinggalnya di Barus. Van Asselt, Heine, Betz dan Klammer yang mengadakan rapat pendeta pada 7 Oktober 1861 di Sipirok untuk mengatur strategi PI. Kemudian dilanjutkan oleh Nommensen, Schreiber, Johansen dkk sejak tahun 1862. 134 Masyarakat Batak Toba mulai terbuka dalam menerima agama baru, pekerjaan para zending dan keinginan untuk merubah hidup bisa jadi penyebabnya. Mengenai persentasi penganut agama Kristen di Batak Toba, Geertz menuliskan: Agama Kristen telah dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak; ada juga sedikit menjadi Islam, sedangkan yang lainnya tetap memeluk apa yang dinamakan orang Batak Toba sebagai agama perbegu, yaitu kepercayaan kepada roh-roh. 135 Sebenarnya I.L. Nommensen juga mengalami banyak kesulitan di tahuntahun pertama dengan kasus yang sama seperti yang dialami misionaris
133
Van der Tuuk, Bataksch Leesbok, Stukken in het Mandailingsch; Stukken in het Dairisch. Amsterdam, 1861. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak. Halaman ini terakhir diubah pada 10.08, 23 November 2012. 134 PWT. Simanjuntak, 2011. “Berkat Sekolah Zending, Tano Batak Maju” Horas, Edisi 135. 5-20 Maret, h. 13. 135 Greetz, Hildred. 1986. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI Terjemahan Zainuddin A. Rahman.
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya, dari berbagai pihak ia mengalami berbagai hambatan dan gangguan, berkali-kali nyawanya terancam dan jelas keberadaannya tidak di terima raja- raja. Pasaribu Arifin, 2011 menuliskan tentang: Berita tentang Nommensen sampai ke telinga Raja Amandari, salah satu raja dari pomparan O Sumurung dan beliau menyuruh salah seorang pembantunya yaitu Pandjingkel Silalahi untuk menyampaikan kepada Nommensen bahwa dia tidak di terima di Hutabagasan 136, akan tetapi karena I.L. Nommensen mempunyai wibawa dan pribadinya yang besar dan juga karena silindung yang menjadi cita-citanya dari awal, baru ia berdoa, “Hidup atau Mati, aku tinggal ditengah-tengah bangsa ini, berdiam memberitakan firman-Mu. Kemudian kesabarannya pun menuai hasil, dimulai dari Huta dame di desa Sait Ni Huta. Huta Dame adalah perkampungan pertama yang dibangun Nommensen untuk menampung orang Batak yang tertindas di wilayah Silindung sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Kristen pertama di Tanah Batak. Dilokasi ini pula Nommensen membangun gereja Dame, yakni Gereja pertama di Silindung yang didirikan pada tahun 1864. Sesudah itu gerakannya bertambah cepat, sehingga agama Kristen mencapai perkembangan yang pesat di Batak Toba. Mula-mula di Silindung, kira-kira 15-20 tahun kemudian di Dataran Tinggi Danau Toba dan Balige dan sekitarnya. Di sekitar Danau Toba walaupun sudah melalui perjuangan yang sengit, dengan campur tangan sebuah ekspedisi militer Belanda dan pencaplokan daerah itu, hasilnya memuaskan bagi Zending. 136
Arifin Pasaribu, 2011. “Tarutung Kota Wisata Penuh Sejarah” Horas, Edisi 142. 10-30 September, h. 39.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi memang sesudah tahun 1883 Zending telah benar-benar berhasil dengan misinya, orang Batak Toba memahami apa arti kesempatan yang diberikan Zending dan pemerintahan Belanda kepada mereka. Keamanan dan ketertiban, pembukaan daerah permukiman dan lahan pertanian yang baru banyak memengaruhi taraf kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba diberi kesempatan untuk dididik menduduki kedudukan-kedudukan dalam Zending sebagai pengetua-pengetua, guru dan pendeta. (Keunang, 1990: 302)
2.5.3 Parmalim Sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia bahwa suku-suku di daerah-daerah sudah menganut agama dan kepercayaan asli seperti agama Parmalim, kemudian Pada abad ke-19 sekitar tahun 1864 suku Batak Utara banyak menganut faham agama Kristen terutama oleh I.L. Nommensen dan faham agama Mulajadi dari Tanah Batak berangsur-angsur hilang kemudian beralih ke faham agama Islam dan Kristen dalam kurun waktu sekitar 140 tahun ke masa sekarang ini, berabad-abad lamanya tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama atau faham-faham dari luar, sejak jaman perdagangan kemenyan, sebenarnya sudah berhubungan dengan dunia luar tanpa terpengaruh atau tak terusik oleh faham-faham luar. Kemungkinan suku Batak mengalami masa frustrasi yang tak teratasi pada masa Paderi sehingga menimbulkan hubungan manusia Batak yang monotheis dengan Mulajadi Nabolon dianggap tidak mampu membendung Tuhannya orang luar Bangsa Batak. Faham agama Islam yang sudah bercokol di Batak Selatan dengan anggapan memiliki kekuasaan dibanding Batak di Utara
Universitas Sumatera Utara
sementara kekosongan di Batak Utara menjadi Blessing in disguise (karunia tersembunyi) bagi Evangelisasi Kristen. Organisasi agama Parmalim dibentuk antara tahun 1870 sampai tahun 1883 suatu reaksi dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan sikap hamalimon, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga keutuhan kepercayaan asli Batak dari pengaruh agama Kristen dan perluasan administratif Belanda. Bukti lain yang diajukan adalah keeratan hubungan antara Guru Somalaing Pardede, yang dianggap sebagai mandat dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan pengorganisasi Parmalim dengan E. Modligiani 137, seorang ahli botani Katolik berkebangsaan Itali, membuat penyatuan kepercayaan Islam, Kristen, kultus individu Si Singamangaraja dan animisme Batak dianggap sebagai dasar dari organisasi Parmalim ini. Pada tahun 1907 anggapan Parmalim sebagai suatu gerakan keagamaan dan politis, melahirkan Parhudamdam yang merupakan suatu gerakan keagamaan politis yang lebih ekstrim. “Agama baru” ini secara tidak langsung merupakan bawahan dari Parmalim. Sehubungan dengan ini Barlett menulis: Akhirnya aliran Parmalim ini meningkat menjadi Parhudamdam, yang bertalian dengan penyembahan Si Singamangaraja, dan merambat iBarat api yang menggila meliputi seluruh Tanah Batak. Dalam tahun 1918 dianggap sebagai ancaman politik yang menguatirkan banyak pejabat Belanda”. 138
137
Miodligiani, penulis buku laporan botani dan etnografi di daerah Batak yang berjudul “Fra I Bottacchi Indepedenti”, mengangkat Guru Somailing menjadi juru bicaranya. Sehingga diduga ia banyak memengaruhi sikap dan cara berfikir Somailing. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 37. 138 H.H. Barlett. The Labors of The Datou, (Ann Arbor: University of Michigan), 15 dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), h. 39.
Universitas Sumatera Utara
Terbentuknya
Parhudamdam
yang
diilhami
oleh
kematian
Si
Singamangaraja XII dan juga dengan adanya pembebanan pajak yang berat oleh Belanda, penyusunan kembali pola-pola tanah milik, dan pengaruh-pengaruh asing lainnya yang berkembang di wilayah Batak, sehingga hal-hal tersebut di atas menimbulkan suatu mitologi yang messianis, yaitu ada kepercayaan akan datangnya kembali Si Singamangaraja, dan suatu tema kebinasaan apokaliptis bagi orang-orang yang tidak percaya. Tata cara ibadat Parhudamdam merupakan paduan antara ritual-ritual gaya Parmalim dengan Islam. 139 Sesudah kemerdekaan, penganut Parmalim semakin terpinggirkan. Bahkan oleh penganut agama tertentu mereka dicitrakan sebagai si pelebegu (yang menyembah setan, hantu). Persepsi demikian tertanam karena klaim kebenaran agama yang masuk ke Indonesia. Tentu saja dampak dari klaim tersebut sangat fatal bagi penganut Parmalim. Dalam pelaksanaan ibadat parmalim, selain acara ibadat rutin setiap hari Sabtu, hampir seluruh upacara ritual mereka dilaksanakan dengan musik, baik dengan gondang sabangunan maupun dengan gondang hasapi. Sebutan yang diberikan kepada yang memainkan alat-alat musik yang ada di masyarakat Batak Toba adalah Pargonci. Selain sebutan Pargonci adalah sebutan pande atau sering disebut dengan pande nami, dan juga Tukang nami. Sebutan pargonci atau pande ini diberikan kepada yang memainkan ensembel Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi.
139
Ismail Manalu, 1985. Mengenal Batak. Medan: CV Kiara 1985, h. 174. Adanya pengucapan “La Illaha Illallahu” yang berulang-ulang dalam ibadat mereka, merupakan perkembangan yang sinkretis yang sudah akomodatif dalam menerima unsur-unsur agama, terutama agama Islam.
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini tulisan Pasaribu tentang kegiatan Parmalim yang dikutip dari catatan harian Masashi Hiroshue, sebagai berikut. Dungi marliat ma margondangi ganup ripe: manukma digondangkan ia na umpogos, hambing ia di naummora, jadi sai marpunguma nasida ganup ari mangan-mangan, ia dung lojabe manortori, ai ndang ringkot roha nasida marulaon. Ai songon ondo di dok guru nasidai: Mangulape angka parbegu I, dohot angka na Cristen I, na hita do I sogot, ninna, Huhut didok: molo dung mulak sian habuangan Guru Somalaing dohot Ompu Barnit ama pangajari I, sega ma tano on, jadi mago masude na cristen dohot parbegu I, alai sonangma ianggo hita. Ai patarma disi harajaonni rajanta Si Singamangaraja I dohot tuanta Raja Rom. 140
Terjemahannya: Kemudian setiap keluarga menari berkeliling dengan iringan gondang: keluarga yang sederhana mempersembahkan ayam, dan bagi keluarga yang kaya kambing, yang dipersembahkan melalui gondang, setiap hari mereka berkumpul dan makan-makan, dan mereka terus menari hingga letih, namun mereka tidak mengindahkan pekerjaan. Sebab guru mereka pernah berkata: walaupun kaum kafir dan kristen senantiasa bekerja, kelak hasilnya akan jatuh ke tangan kita, kemudian dikatakan: apabila Guru Somalaing dan Ompu Barnit, guru kecintaan kita, sudah kembali dari pembuangan berubahlah dunia ini, lantas musnahlah semua kristen dan kafir, tetapi kalau kita akan mendapat kesenangan. Sebab jelaslah pada saat itu kerajaan dari Raja Si Singamangaraja dan Tuan Kita Raja Rom. 141 Secara umum peribadatan Parmalim dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 140
Ben M Pasaribu, 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan. Medan: Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikolog, hal. 41. Masashi Hiroshue adalah seorang warga Jepang yang menulis topik tentang Parmalim untuk disertasinya pada Australia National University. 141 Dalam tonggo-tonggo (doa) Si Singamangaraja, diucapkan hormat kepada Mulajadi na Bolon, Martua Raja Uli, Tuan Soripada Aceh dan kepada Martua Raja Rom, yang diperkirakan adalah Raja Turki dari Istambul dari kekaisaran Ottoman yang pengaruh dan wibawanya masuk melalui Aceh.
Universitas Sumatera Utara
1. Upacara yang wajib dilaksanakan oleh anggota penganut Parmalim dua kali dalam setahun, yang disebut sipaha sada dan sipaha lima. Upacara sipaha sada berlangsung selama lima hari, sedang upacara sipaha lima berlangsung selama tiga hari. 2. Upacara yang dilaksanakan secara khusus, tanpa berpegang pada bulan-bulan tertentu, yang pelaksanaannya merupakan kehendak dari perseorangan. Upacara seperti ini disebut maradat, misalnya martutu aek yaitu upacara pemandian bagi anak yang baru lahir; manggalang na paet yaitu suatu upacara kurban setelah melaksanakan puasa selama sehari semalam; dan sebagainya. 3. Upacara yang dilaksanakan apabila seseorang ada melakukan kesalahan atau perbuatan asusila sehingga dilaksanakan acara manopoti sala (memohon ampun). Kepada orang yang melakukan kesalahan ini akan dikenakan aturan yang “ingkon pajong-jongonna hau sarung marnaik, halangonna gondang bolon” (harus mendirikan kayu sarung marnaik dan mengadakan acara gondang).
2.5.4 Siraja batak Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir
pada
tahun
1907,
setelah
pemimpin
kharismatik
mereka,
Sisingamangaraja XII wafat sehingga terbentuknya Parhudamdam yang diilhami oleh kematian Si Singamangaraja XII kemudian sekitar tahun 1942 terbentuklah Organisasi Si Raja Batak, merupakan suatu kenangan terhadap Si Singamangaraja dengan memproklamasikan pemujaan terhadap Mulajadi Na Bolon, penghormatan
Universitas Sumatera Utara
leluhur orang Batak, dan pemeliharaan adat. Perbedaan yang nyata antara organisasi Parmalim dan Si Raja Batak adalah dasar pijakannya. Parmalim menekankan pada hal iman sedangkan Si Raja Batak menekankan pada hal adat. Si Raja Batak didirikan oleh Raja Patik Tampubolon yang beranggapan bahwa tugas penganut Si Raja Batak adalah menghidupkan kembali persekutuanpersekutuan bius melalui pengaruh adat yang berdasarkan kekuatan ilham yang supra alamiah. Tampubolon membuat “kitab suci” dari Si Raja Batak yang disebut Pustaha Tumbaga Holing, yang oleh Tampubolon sendiri disebut sebagai pustaha yang berdasar pada mitos pustaha yang diberikan Mulajadi Na Bolon kepada Si Raja Batak (nenek moyang suku bangsa Batak), dan mencoba membuktikan melalui pustaha karangannya bahwa seluruh habatahon (dasar-dasar kehidupan dan setelah kehidupan masyarakat Batak) adalah dasar anutan Si Raja Batak. Tetapi Tampubolon tidak menyebut agama, melainkan “adat” sebagai inti Si Raja Batak. Hampir setiap dari upacara-upacara penting Si Raja Batak mempunyai kaitan dengan pertanian. Hal ini merupakan suatu warisan dari tata aturan parbaringin, yang senantiasa menyertakan siklus aktivitas pertanian dalam ritual bius. Secara umum upacara peribadatan Si Raja Batak dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 1. Upacara yang wajib dilaksanakan secara berkala dalam setahun, misalnya: Gondang Patuat Boni Sipaha Ualu, suatu upacara sebelum menanam padi; Gondang Buhuni Taon, suatu upacara menjelang panen; Gondang Matumona
Universitas Sumatera Utara
Sipaha Dua, upacara panen; Gondang Haroroni Habonaran Sipaha Lima, upacara menyambut kedatangan roh kebenaran; Gondang Sahala ni Raja Si Singamangaraja, upacara memperingati kematian Si Singamangaraja. 2. Upacara yang dilaksanakan oelah penganut Si Raja Batak yang berkenaan dengan adat dan dalihan na tolu, misalnya: Panangkokhon Saring-saring, upacara menggali dan menguburkan kembali tulang-belulang leluhur, dan Gondang Debata Pasahat Tondi ni Naung Mate Matua, upacara kematian. Upacara yang dilaksanakan oleh penganut Si Raja Batak berdasarkan keinginan perseorangan. Hal ini disebut sinta-sinta, misalnya: Sibaran, upacara yang dilakukan atas permintaan seseorang yang telah menderita sakit dan mangompoi gorga, upacara peresmian rumah.
2.6 Kesenian Masyarakat Batak Toba Kesenian masyarakat Batak Toba meliputi Seni tari dan seni suara, seni rupa, seni sastra dan seni musik meliputi vokal dan jenis alat musik tradisional Batak Toba kemudian ensembel gondang sabangunan dan ensembel gondang hasapi.
2.6.1 Seni tari dan seni suara Pada masyarakat Batak Toba ada dua kata yang dapat dianalogikan dengan istilah tari, a. Tumba yaitu suatu tarian bagi anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di halaman desa, dan peristiwanya terlepas dari konteks upacara. Tumba mirip
Universitas Sumatera Utara
dengan joting tetapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam sambil bernyanyi. Gerakannya didominasi gerakan tortor, tetapi ada kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan nyanyian ini disebut Tumbas. Sementara dalam syair lagunya ada kata tumba. Tumba adalah syairnya, embas adalah gerakannya. Pemakaian kata tumba dipopulerkan karena embas tortor Batak semakin dihilangkan dan telah didominasi budaya joget melayu. b. Tortor, yang dilakukan dalam setiap upacara dengan iringan gondang sabangunan, secara umum terlihat seperti hiburan. Akan tetapi dalam pemikiran yang asli, kedudukan tor-tor bagi masyarakat Batak Toba tidaklah merupakan suatu seni hiburan. Pastor A.B. Sinaga menuliskan: Pada mulanya tortor bukanlah peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada Pengada Adikodrati… Tortor asli Batak bersifat sakral dan merupakan pujaan kepada Sang Maha Tinggi (Sinaga, 1977:16-19). Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian: -
Tortor hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara. Antara pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya dilakukan pada setiap awal penyajian gondang, setiap penari melakukan gerakan yang sama, menurut pola-pola yang telah baku.
-
Tortor hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks upacaranya. Dengan kata lain, fungsi tortor ini berhubungan dengan upacara tersebut. Tortor ini dilakukan secara pribadi atau sekelompok
Universitas Sumatera Utara
orang yang memiliki motivasi serupa misalnya tortor untuk kaum muda, atau tortor dalam acara sukacita, tetapi memiliki gerakan yang relatif bebas, setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan ekspresinya sepanjang masih mengikuti ritme. Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Batak Toba, tortor sangat individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali mereka mengabaikan hal ini. c. Joting Joting adalah seni suara dengan syair yang beraturan dipadukan dengan gerakan yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seseorang bernyanyi dan diikuti banyak suara (respinsorial). d. Andung Andung adalah ratapan bernuansa kesedihan. Bila tangisannya diiringi dengan suara menggelegar dan hempasan tubuh sembarang disebut dengan “angguk bobar”. e. Oing Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Oing kebanyakan mengutarakan suka duka dan pengharapan, biasanya dinyanyikan perahan dan dalam kesendirian. f. Dideng Dideng adalah seni suara bernuansa sanjungan dan motivasi kepada seseorang.
Universitas Sumatera Utara
g. Didang Didang tidak disebut sebagai seni suara, tetapi merupakan sikap menyanjung seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun perlahan disebut “mandidang” dan kadang diiringi nyanyian meninabobokkan. h. Doding Doding adalah kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati seseorang atau kelompok orang. Doding juga adalah rangkaian kata-kata bentuk nyanyian yang tujuannya menyemangati seseorang atau kelompok orang. Orang tua bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang belajar berdiri termasuk juga sebagai kegiatan mandoding. i.
Ende Ende (nyanyian) adalah syair dan irama yang dilagukan oleh pemain joting dan tumbas. Opera Batak adalah bentuk kegiatan teaterikal yang diiringi Gondang
Hasapi dan nyanyian (andung, ende, oing) untuk hiburan rakyat. Opera Batak mempopulerkan
kesenian
andung,
ende,
oing,
dan
pemainnya
sering
menampilkan (bernyanyi seperti menangis).
2.6.2 Seni rupa Seni rupa merupakan seni yang paling tua di Batak Toba dapat dilihat dari hasil karya seni megalitikum, yang sampai sekarang masih banyak kelihatan di beberapa tempat di Toba seperti pada bentuk atap berbentuk tanduk kerbau, dan juga pada dindingnya yang penuh dengan ukiran-ukiran yang disebut gorga.
Universitas Sumatera Utara
Ragam seni rupa yang ada pada masyarakat Batak Toba juga mencakup tenun, ragam hias, patung, dan berbagai bentuk lainnya. Tempat menyimpan padi dan beberapa kegiatan desa yang menyangkut kehidupan muda-mudi, merupakan salah satu ciri khas yang dalam penyajiannya adalah apa yang tertera pada bangunan ruma dan sopo. Secara umum, pola-pola ragam hias tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut. a. Pola berbentuk manusia, misalnya: ulu paung, singa-singa. b. Pola berbentuk hewan, misalnya: boraspati, hoda-hoda. c. Pola berbentuk raksasa, misalnya: jengger, jorngom. d. Pola berbentuk tumbuhan, misalnya: hariara, sundung di langit. e. Pola berbentuk geometris, misalnya: ipon-ipon, iran-iran. f. Pola berbentuk kosmos, misalnya: silintong, simarogung-gung. Selain berfungsi sebagai magis, di sisi lain seni rupa juga berfungsi dalam upacara adat dapat dilihat dari bentuk tenunan, ulos misalnya. Pada setiap corak atau motif ulos yang dibedakan dalam warna, pola, bahan, dan ukuran memiliki nama-nama tersendiri. Misalnya: ragidup, abit godang, runjat, sibolang, ragi hotang, sadum, parompa, dan sebagainya. Fungsi ulos akan disesuaikan pada masing-masing upacara adat, nama ulos tersebut berubah menurut kepentingan dan fungsi ulos tersebut. Misalnya: dalam upacara memasuki rumah baru diberikan ulos mompo jabu; dalam upacara kelahiran diberikan ulos manimpus, ulos tondi; dalam upacara perkawinan diberikan ulos pargomgom, ulos pansamoti, ulos hela todoan, ulos pariban dalam upacara kematian diberikan ulos saput, ulos saurmatua, ulos
Universitas Sumatera Utara
panggabei; dalam upacara mangongkal holi diberikan ulos saput; dalam upacara pemberian nama anak diberikan ulos mampe. Dalam aktifitas kehidupan seharihari masyarakat Batak Toba, karya seni rupa mempunyai kedudukan penting seperti hubungannya dengan religi dan adat.
2.6.3 Seni sastra Seni sastra selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari sejak dahulu kala Bangsa Batak sudah mengemukakan karyacipta seni-seni sastra melalui umpasa (pantun nasihat), umpama (Kata-kata bijak=wisewords), turi-turian (cerita/hikayat/mitos/legenda),
tonggo-tonggo
(mantra),
torsa-torsa
(perumpamaan), huling-huling (teka-teki) dan seni sastra ini disampaikan dalam beberapa bentuk penyajian sastra, yang juga berfungsi untuk hiburan, sebagai bagian dari adat, hukum dan religi yang kesemuanya mengandung kearifan dengan tatanan nilai normatif apapun takarannya. Umpasa, Tonggo-tonggo, Umpama adalah bahasa Sastera yang Eufemis yang disusun secara puitis, dirangkum dengan kalimat-kalimat yang indah penuh dengan aliterasi dan paralelisme, baik dalam bentuk: Peribahasa, Pantun, Syair, Pepatah ataupun Sanjak, 142 diantara beberapa jenis sastra ada 3 pokok Bentuk bahasa dalam seni sastra di Batak Toba, yaitu. 1. Umpama, suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat, misalnya: 142
Lumongga R.A Pardede, 2010. Masisisean Di Ulaon Adat. Medan: Cetakan Kedua, h.
12.
Universitas Sumatera Utara
-
Songon gondang, dobung-dobung soarana, hape rumar do dibagasan. (Terjemahannya: Seperti gendang, keras suaranya, ternyata kosong di dalamnya).
-
Matek-tek bulung pinasa, matektek tu bona. Tunda ni anakna, dohonan tu amana (Terjemahannya: jatuh daun nangka, jatuh ke batangnya. Perbuatan anaknya, ditanggungkan ke ayahnya). (Pasaribu, 1986:41).
2. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang dari segi bentuknya agak sulit dibedakan dari umpama. Tetapi dari segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan berkat, contohnya” - Sahat-sahatni solu, sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat tu pangabean. (Terjemahannya: Melajulah perahu, melaju ke tepian, semoga mempunyai umur yang panjang dan mencapai kebahagiaan/kesuksesan). 3. Tudosan, suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan sesuatu, misalnya: -Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani uhum, toguan hatani padan. (Terjemahannya: Kuat/teguh pun akar bamboo, lebih kuat/teguh akar rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, namun lebih kuat/teguh aturan janji).
2.6.4 Seni musik
Universitas Sumatera Utara
Musik tradisional yang merupakan bagian dari perkembangan musik dunia, memiliki masing-masing karakter yang unik dan secara sosio-religius memiliki nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat pemilik tradisi tersebut. Dalam religi awal atau masa pra Kristen pada masyarakat Batak Toba, musik memiliki tempat yang sangat penting di tengah penganutnya dan pada kegiatan keagamaanya.
Musik dalam masyarakat Batak Toba, dalam pengelompokannya tercakup dalam dua bagian besar, yaitu: a) musik vokal, dan b) musik instrumental. 2.6.4.1 Musik vokal Dalam musik vokal tradisional pembagian ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut dapat dilihat dari isi liriknya. Masing-masing lagu yang disebut ende memiliki kategori tersendiri, yang secara tradisional dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: 1. Ende Mandideng, yaitu musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby song). 2. Ende Sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Dinyanyikan pada saat senggang pada harihari menjelang pernikahan tersebut. 3. Ende Pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solochorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda dalam waktu senggang, bisanya malam hari.
Universitas Sumatera Utara
4. Ende Tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan. Penyanyi sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di halaman kampung yang disebut alaman pada malam terang bulan. 5. Ende Sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi di tempat sepi. 6. Ende Pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya. 7. Ende Hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk AABB yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dinyanyikan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua. 8. Ende Andung, adalah vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung, melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya, haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini (Pasaribu, 1986:50-54).
Universitas Sumatera Utara
2.6.4.2 Jenis alat musik tradisional batak toba Pada etnik Batak Toba terdapat berbagai jenis alat-alat musik yang dimainkan dalam bentuk ensambel, atau sebagai alat musik individual yang dimainkan secara solo. Ragam alat musik tersebut adalah sebagai berikut. 1. Sarune Bolon yaitu, alat musik pembawa melodi yang memiliki reed ganda (double reed). Dimainkan dengan cara mangombus marsiulakhosa (circular breathing). Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok aerophone.
Gambar 1. Sarune Bolon 2. Sarune Etek yaitu, alat musik pembawa melodi yang memiliki reed tunggal (single reed). Klasifikasi instrumen ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat disebelah atas, satu disebelah bawah) dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa (meniup dengan cara terus menerus).
Gambar 2. Sarune Etek 3. Garantung adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dan kayu dan memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan
Universitas Sumatera Utara
sebagai pembawa ritem variabel pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan cara memukul dengan menggunakan stick.
Gambar 3. Garantung 4. Taganing yaitu serangkaian gendang yang terdiri dari 5 buah. Disusun dalam satu standar berturut-turut dari bentuk yang lebih besar hingga yang terkecil berfungsi sebagai pembawa melodi dan ritme variabel pada lagu-lagu tertentu. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone. Dimainkan dengan cara memukul kulitnya dengan palu-palu (stick).
Gambar 4. Taganing dan Gordang 5. Gordang (single headed drum), yaitu satu buah gendang yang lebih besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem konstan maupun ritem variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ansambel gondang sabangunan.
Klasifikasi instrumen
ini termasuk
kedalam kelompok
Universitas Sumatera Utara
membranophone. Perhatikan gambar 4, gordang terletak pada posisi kiri, dengan bentuk yang lebih besar dari taganing. 6. Odap (double headed drum), yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini dimainkan untuk lagu-lagu tertentu dalam gondang sabangunan dan sering digunakan ketika pawai. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone.
Gambar 5. Odap 7. Hasapi ende (plucked lute dua senar) adalah instrumen pembawa melodi dan merupakan instrumen yang dianggap paling utama dalam ansambel gondang hasapi.
Klasifikasi
instrumen
ini
termasuk
kedalam
kelompok
chordophone.Tune atau stem dari kedua senamya adalah dengan interval ters mayor yang dimainkan dengan cara mamiltik (memetik).
Gambar 6. Hasapi Ende 8. Hasapi doal, alat musik ini sama dengan hasapi ende namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritme konstan. Ukuran instrumen hasapai doal sedikit lebih besar dari hasapi ende.
Universitas Sumatera Utara
9. Ogung (gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan. Instrumen ini berperan sebagai pembawa ritem konstan atau pembawa irama dalam gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok idiophone.
oloan
ihuta
doal
panggora Gambar 7. Ogung (gong)
10. Sulim (transverse flute), yaitu alat musik yang terbuat dari bambu, memiliki enam lobang nada dan satu lobang tiup. Dimainkan dengan cara meniup dari samping (side blown flute) yang dilakukan dengan meletakkan bibir secara horizontal pada pinggir lobang tiup. Instrumen ini biasanya memainkan lagu-lagu yang bersifat melankolis ataupun lagu-lagu sedih. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok aerophone.
Gambar 8. Sulim 11. Talatoit (transverse flute), yaitu alat musik yang terbuat dari bambu, sering juga disebut dengan salohat atau tulila. Dimainkan dengan cara meniup dari samping. Mempunyai empat lubang penjarian yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan, sedangkan lubang tiup berada di tengah. Instrumen ini biasanya
Universitas Sumatera Utara
memainkan lagu-lagu yang bersifat melodis dan juga bersifat ritmik. Klasifikasi instrumen ini termasuk dalam kelompok aerophone.
Gambar 9. Talatoit 12. Sordam (long flute) yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara meniup dari ujungnya (up blown flute) dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara diagonal. Memiliki enam lubang nada, yakni lima di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lubang tiupnya merupakan ujung dari bambu tersebut.
Gambar 10. Sordam 13. Tanggetang, yaitu alat musik yang senamya terbuat dari rotan dan peti kayu sebagai resonator. Permainan instrumen ini bersifat ritmik atau mirip dengan gaya permainan gong maupun gaya permainan mengnmng. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok kordophone.
Gambar 11. Mengmung
Universitas Sumatera Utara
14. Saga-saga (few's harp) yang terbuat dari bambu dimainkan dengan cara menggetarkan lidah dari instrumen tersebut dan rongga mulut berperan sebagai resonator. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok idiophone.
Gambar 12. Saga-Saga Etnik Batak Toba mengakui bahwa gondang adalah ciptaan dari Mulajadi Na Bolon dan merupakan milik dewa-dewa. Manusia hanya diberikan hak untuk menyimpan dan menggunakannya. Alasan yang membuktikan bahwa gondang adalah ciptaan dari Mulajadi Na Bolon dapat dilihat dari suatu upacara, dimana gondang (bunyi gondang) dapat menyampaikan permohonan manusia kepada dewa-dewa. Selain itu konsep religi yang menganggap bahwa gondang merupakan milik dewa-dewa dapat dilihat dalam konsep sipitu gondang (tujuh repertoar gondang). Dalam setiap upacara yang menyertakan gondang baik dalam konteks adat maupun religi, penyajian sipitu gondang selalu dilakukan pada bagian pembuka dan pada bagian penutup. Dalam etnik Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik yaitu, ensambel Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Secara umum, fungsi dan penggunaan musik dalam bentuk ansambel mempunyai konsep dan tujuan yang sama. Gondang hasapi dan gondang sabangunan sama-sama digunakan untuk upacara adat maupun untuk upacara yang bersifat religius. Perbedaan penggunaan kedua ansambel tersebut hanya terletak pada sifat dari upacara tersebut, yaitu
Universitas Sumatera Utara
untuk upacara yang melibatkan masyarakat luas biasanya menggunakan ansambel gondang sabangunan. Selain dalam bentuk formasi ensambel, pada masyarakat ini terdapat permainan musik yang bersifat individual, serta berbagai jenis musik vokal.
2.6.4.3 Ensambel gondang sabangunan Ansambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangnnan dan gondang bolon. Instrumen yang termasuk dalam kelompok gondang sabangunan antara lain: taganing, gordang, odap, ogung, sarune bolon. Pada masa Pra Kristen, gondang sabangunan digunakan untuk berbagai upacara yang berhubungan dengan upacara adat maupun upacara religius. Pada masyarakat
ini
istilah
gondang
juga
diartikan
sebagai
media
yang
menghubungkan manusia dengan penciptanya atau yang disembahnya dalam hubungan vertikal juga sebagai media yang menghubungkan manusia dengan sesamanya dalam hubungan horizontal (Purba, 2003). Dalam permainan gondang sabangunan instrumen odap belakangan sudah jarang digunakan karena permainan dari odap tersebut dapat digantikan dengan menggunakan taganing dan mempunyai suara yang sama. Tangga nada yang ada dalam instrumen pembawa melodi yakni taganing dan sarune bolon mempunyai tangga nada yang pentatonis. Namun dalam hal ini istilah pentatonis yang terdapat dalam gondang sabangunan bukan seperti konsep pentatonis yang ada dalam
Universitas Sumatera Utara
musik Barat melainkan hanya suatu sebutan terhadap tangga nada yang mempunyai lima nada dalam konsep gondang sabangunan.
Gambar 15. Ragam Alat Musik Dalam Ensambel Gondang Sabangunan.
Pada dasamya permainan instrumen taganing dan sarune terjalin dalam hubungan
melodi
yang
heteroponis
dimana
kedua
instrumen
tersebut
membawakan melodi yang sama dalam beberapa reportoar, namun tangganada maupun tonalitasnya berbeda. Oleh karena itu istilah heteroponis untuk sarune dan taganing ini terjalin dalam heteroponis polytonal.
2.6.4.4 Ensambel gondang hasapi Ansambel gondang hasapi memiliki beberapa alat musik yang terdiri dari : (1) hasapi ende sebagai pembawa melodi, (2) dan merupakan instrumen yang
Universitas Sumatera Utara
dianggap paling utama dalam ansambel gondang hasapi. Klasifikasi instrumen ini termasuk kedalam kelompok chordophone. Tune atau stem dari kedua senamya adalah dengan interval ters mayor yang dimainkan dengan cara mamiltik (memetik). Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapai doal lebih besar sedikit dari hasapi ende. Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed tunggal (single reed). Klasifikasi instrumen ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat disebelah atas, satu disebelah bawah) dimainkan. Klasifikasi instrumen musik yang modern dirintis oleh Victor Mahillon (1841-1924) yang bekerja pada Instrumental Museum of The Conservatiore Royal de Musique, Brusels, Belgia, sejak didirikan pada tahun 1877. Koleksi dasar museum ini pada umumnya terdiri dari instrumen musik yang dipakai dan terdapat pada orkes simfoni Eropa. Kemudian berkembang dengan memasukkan instrumen-instrumen musik dari sebagian besar kawasan dunia. Tujuan dari sistem Mahillon pada masa itu adalah untuk menginventarisir atau mengkalogkan keseluruhan koleksi instrumen musik yang berangsur-angsur semakin banyak hingga berkisar tiga ribu jenis. Dasar klasifikasi instrumen musik yang dilakukan oleh Vivtor Mahillon berprinsip pada pembagian instrumen musik yang telah ada pada tulisan Hindu Kuno yang mana di dalamnya terdapat empat kelas dasar, yaitu: (1) instrumen
Universitas Sumatera Utara
musik pukul, (2) instrumen musik yang mempunyai membran (berhubungan dengan cara merenggangkan kulit dimulut gendang), (3) instrumen musik berongga atau instrumen musik tiup, dan (4) instrumen musik berdawai (alat musik yang memiliki senar). Mahillon membagi alat musik perkusi (pukul) ke dalam dua kelompok sub divisi yaitu, autophones (autofon) yang terdiri dari alat musik yang badannya sendiri menghasilkan suara apabila dibunyikan dengan alat penggetar, dan membranophones (membranofon) yaitu berdasarkan hasil suara yang disebabkan oleh getar membrannya, seperti kulit gendang. Prinsip-prinsip divisi dalam klasifikasi instrumen, masih berpedoman pada sistem Mahillon. Kemudian sistem-sistem tersebut disusun dalam hirarki-hirarki dengan sejumlah level yang terdiri dari: kelas, cabang, seksi, dan sub seksi. Dimana media yang memproduksi bunyi merupakan dasar pada devisi dan mewakili sebuah prinsip dari divisi suatu instrumen. Mahillon-Sachs-VonHornbostel membuat pengelompokan atau klasifikasi instrumen berdasarkan bahan yang memproduksi suara, dan terbatas pada aspek akustik. 143 Klasifikasi tersebut terbagi dalam 5 kelompok yaitu : 1. Idiofon (bahan alat musik itu sendiri yang menghasilkan bunyi). 2. Aerofon (udara atau satuan udara yang berada dalam alat musik itu sebagai sumber bunyi). 3. Membranofon (kulit atau selaput tripis yang direnggangkan sebagai sumber bunyi). 143
Selain berdasar sumber produksi suara, juga dikelompokkan berdasarkan teknik memainkan alat musik.
Universitas Sumatera Utara
4. Kordofon (senar/dawai yang ditegangkan sebagai sumber bunyi). Prinsip klasifikasi berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh MahillonSachs-VonHornbostel dalam kaitannya dengan pengelompokan alat musik yang dilakukan secara lokal pada alat-alat musik tradisional Batak Toba, pada prinsipnya mengacu pada teori klasifikasi oleh Mahillon-Sachs-VonHornbostel namun di sisi lain secara spesifik pengelompokan yang dilakukan secara lokal berdasar pada fungsi alat musik dalam sebuah ansambel baik pada gondang sabangunan maupun gondang hasapi.
Universitas Sumatera Utara