Torang Naiborhu
Gondang Hasapi: Fungsinya pada Upacara Ritual Parmalim...
GONDANG HASAPI: FUNGSINYA PADA UPACARA RITUAL PARMALIM SIPAHASADA BATAK TOBA Torang Naiborhu Alan P. Merriam mengatakan bahwa fungsi musik merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini menyangkut pada makna dan tujuan pemakaian musik dalam pandangan yang luas. Artinya, mengapa musik tersebut digunakan demikian.
1.
Pengantar
Masuknya pengaruh asing dan penyebaran agama (Kristen dan Islam) ke tanah Batak, khususnya Batak Toba, mengakibatkan keberlangsungan kepercayaan Batak yang dipimpin oleh para parbaringin (iman-imam tradisional yang memimpin upacara-upacara bius 1 ) selaku pembantu utama Sisingamangaraja di tiap bius, mengalami gangguan. Untuk mengatasi hal tersebut pada tahun 1870 Sisingamangaraja XII memutuskan untuk memimpin langsung kepercayaan tersebut, yaitu Ugamo Malim. Ugamo Malim berasal dari kata ugamo dan malim. Ugamo adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ngolu partondion (alam spritual), yaitu tata cara hubungan manusia dengan alam roh, sedangkan malim artinya suci. Dengan demikian, Ugamo Malim adalah pengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan ngolu partondion (alam spritual), yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kesucian yang bersumber dari Debata Mula Jadi Na Bolon (pencipta). Adapun penganut kepercayaan ini disebut Parmalim, yaitu kumpulan orang-orang (par) yang menjalankan Ugamo Malim. Pada saat ini, Ugamo Malim diartikan sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2 Juga sebagai wadah atau tempat untuk menjalankan prinsip-prinsip hamalimon (kesucian) yang bersendikan kepada Si Sia-Sia Ni Habatahon yang terdiri dari: Mar-Debata (mempunyai Tuhan Yang Maha Esa), Mar-Adat (mempunyai adat kebiasaan yang berisi nilai-nilai luhur), Mar-Patik (mempunyai kitab penuntun kehidupan yang disebut Pustaha Habonaron yang berfungsi sebagai pengatur tata laku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, alam, dan sesama), Mar-Uhum (memiliki hukum kebenaran penegak keadilan dan kesucian hidup), serta Mar-Harajaon, yaitu sebagai implementasi kepatuhan umat Parmalim terhadap raja atau pemimpinnya. Dalam praktik peribadatannya, Ugamo Malim percaya kepada Mula Jadi Na Bolon sebagai pencipta segala sesuatu yang ada, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, kehidupan dan kematian adalah atas kuasanya. Akibat keesaan Mula Jadi Na Bolon ini maka umat Parmalim selalu mengadakan hubungan dengannya, memohon kebahagiaan hidup jasmaniah di dunia (ngolu pardagingon), serta kehidupan rohaniah dan spiritual (ngolu partondion) di akhirat (habangsa panjadian) nantinya. Salah satu upacara terpenting Ugamo Malim menyangkut tujuan kehidupan di atas ialah sipahasada. 3 Upacara ini dilaksanakan setiap awal tahun pada bulan pertama (bulan Sipahasada) menurut kalender Batak (parhalaan). Tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah sebagai ucapan
1 Bius adalah wilayah kekuasaan dan pemerintahan yang meliputi sejumlah kampung, dan dipimpin oleh parbaringin. Parbaringin atau porbaringin adalah sebutan kepada para pendeta tradisional penyelenggara upacaraupacara bius. Mereka terikat pada kewajiban ‘hidup suci’ dan jadi teladan: tidak boleh berutang dan mengutangi, harus
berkelakuan pantas di depan umum, menjauhi magis, tidak membaca mantra atau jampi-jampi, tidak berperan dalam pesta marga. Yang tertinggi, Pande Bolon, memakai ikat kepala hitam sebagai tanda jabatan; pada waktu upacara menyematkan ranting pohon beringin, pada ikat kepalanya sebagai perlambang kedaulatan bius dan statusnya sebagai pendeta agama paguyuban. Lihat Sitor Situmorang, Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom (Jakarta: Grafindo Mukti, 1993), 98. 2 Ugamo Malim sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa terdaftar pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor I.136/F.3/N.1.1/1980 yang berpusat di Hutatinggi Laguboti, Toba Samosir. 3 Sipahasada berasal dari kata sipaha yaitu sebutan untuk bulan, sedangkan sada artinya ialah satu. Jadi sipahasada ialah upacara ritual Parmalim yang dilaksanakan pada bulan pertama setiap tahunnya.
Halaman 280
Etnomusikologi, Vol.1 No. 3, Januari 2006: 299-309
syukur atas kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi ke tengah-tengah umat Parmalim untuk menebus segala dosa dan kesalahan sehingga mereka disucikan, dan pada saatnya nanti akan memperoleh kehidupan yang kekal (ngolu partondion) di tempat yang mahasuci (habangsa panjadian) di banua ginjang, benua atas. Sedangkan makna dari upacara ini adalah pertanda kemenangan iman umat Parmalim dalam melawan kuasa iblis (sibolis) kegelapan. Dalam pelaksanaan upacara sipahasada, untuk berkomunikasi memohon berkat dari Debata Mula Jadi Na Bolon dan penguasa alam roh lainnya, Parmalim menyampaikannya melalui tonggo-tonggo (doa ritus) yang disampaikan oleh ihutan sebagai imam pemimpin upacara. Akan tetapi, sebagaimana sabda Mula Jadi Na Bolon (tona Ni Debata), yang mengatakan bahwa apabila manusia ingin berhubungan dengan parbanua ginjang (penghuni benua atas), haruslah ada sesaji (pelean) sebagai alas tangan (lapik ni tangan), dan sesaji itu haruslah bersih (ias) dan suci (malim). Demikian pula manusia yang menyajikannya, harus bersih dan suci. Tona (sabda) inilah yang selanjutnya dipedomani umat Parmalim dalam melaksanakan setiap peribadatannya dari dahulu hingga sekarang. Artinya, di mana ada upacara keagamaan Parmalim maka di sana akan hadir sesajian. Namun dalam pelaksanaannya, praktek mamele (bersaji) dan martonggo (berdoa) di atas belumlah sempurna tanpa kehadiran parhinaloan atau gondang hasapi. 4 Seluruh rangkaian permohonan melalui tonggo-tonggo dan pelean (sesajian) baru memperoleh kesempurnaan apabila gondang hasapi dipakai untuk mansahaphon (mengesahkan) dan megantarkan permohonan tersebut ke tujuannya masing-masing. Selain itu, kehadiran ensambel gondang hasapi pada upacara ini juga memberi nuansa tersendiri untuk menggiring umat Parmalim ke suasana khusyuk, serta sebagai pengiring Tortor (tarian ritus) yang merupakan bagian dari ritual ini. 2.
Fungsi Gondang Hasapi dalam Upacara
Alan P. Merriam mengatakan, fungsi musik merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini menyangkut makna dan tujuan pemakaian musik dalam pandangan yang luas, artinya mengapa musik tersebut digunakan demikian.5 Berkenaan dengan fungsi gondang hasapi dalam kaitannya dengan sepuluh fungsi yang ditawarkan oleh Merriam di atas, terdapat dua fungsi utama pada pelaksanaan upacara sipahasada ini, yaitu fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan serta fungsi komunikasi. Dalam hal fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, Ihutan Parmalim sebagai pemimpin tertinggi Ugamo Malim menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan upacara sipahasada haruslah memakai gondang hasapi. Artinya, antara upacara sipahasada dan gondang hasapi terdapat ikatan yang sangat erat karena upacara ini baru dianggap sah apabila gondang hasapi dihadirkan sebagai pengiring rangkaian acara. Oleh karena keterikatan tersebut, sejak dini, ihutan telah melakukan pengkaderan (regenerasi) terhadap musisi-musisi muda untuk belajar kepada yang lebih tua (yaitu mereka-mereka yang pada saat itu bertugas sebagai pemain gondang hasapi atau pande untuk mengiringi upacara). Hal ini dilakukan agar kelak, setelah para pemusik yang terdahulu sudah tak mampu lagi memainkan alat musik karena faktor ketuaan ataupun kesehatan, musisi muda inilah yang akan menggantikannya. 6 Selanjutnya, fungsi komunikasi dapat dilihat jelas pada peran vital gondang hasapi sebagai media penyampai tonggo-tonggo (doa-doa ritus), kepada kuasa roh yang diseru dalam doa-doa ritus tersebut, yaitu sebagai berikut:
4 Gondang hasapi ialah ensambel musik Batak Toba yang terdiri dari: hasapi anak dan hasapi ina (fretless short necked lute two strings), 1 buah garantung (xylofon) yang terdiri dari lima bilah kayu bernada, 1 buah sarune etek (oboe), dan 1 buah hesek (concassion idiophone).
5 Berkenaan dengan fungsi musik, menurut Alan P. Merriam terdapat sekurang-kurangnya sepuluh fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Lihat, Alan P. Merriam, The Anthropology of Music (Evaston Ill: North Western University Press, 1964), 219226. 6 Sebagai contoh, Osner Gultom (40 tahun) seorang parsarune masih didampingi oleh gaurunya, yaitu A. Sitorus (59 thn) pada sipahasada tahun 1993 lalu. Namun sejak tahun 1994, Osner Gultom telah dipercaya bermain sendiri pada upacara yang sama tanpa harus didampingi oleh gurunya lagi.
Halaman 281
Torang Naiborhu
Gondang Hasapi: Fungsinya pada Upacara Ritual Parmalim...
1). Tonggo-tonggo tu Ompung Mula Jadi Na Bolon: …Mauliate ma hudok hami tu Ho Ompung Mula Jadi Na Bolon marhite parhinaloan on. Hot ma hami di bona ni patik dohot isi ni patikmi.
(Kami mengucapkan terima kasih kepadamu ya Ompung Mula Jadi Na Bolon melalui musik bunyi-bunyian ini. Biarlah kami tetap taat pada sabda dan ajaranmu)
2). Tonggo-tonggo tu Ompung Debata Natolu: …ajar ni amanami Raja Nasiakbagi ido huingot hami ale Tuhan, mandok mauliate marsomba tu hasangapon mi marhite pelean puji-pujian nami: indahan na las, dengke ni laean, pira ni ambalungan, manuk lahi bini, hambing puti, hasahatanna marhite parhinaloan somba puji-pujian nami, dst.
(…ajaran bapak kami Raja Nasiakbagi itulah yang kami ingat ya Tuhan, mengucapkan terima kasih bersembah sujud pada keagunganmu melalui sesajian puji-pujian kami, yaitu: nasi hangat, ikan, telur, ayam jantan dan betina, kambing putih, yang kami sampaikan dengan iringan musik sebagai sembah dan pujian kami kepadamu, dst.)
3). Tonggo-tonggo tu Siboru Deak Parujar: Mauliate ma hudok hami tu sahala ama, tu sahala ina, tu sahala ni ina nami Siboru Deakparujar. Marsomba mardaulat hami tu ho ale inong na sangap na badia, marhite timpul ni daupa dohot pangurason on, marhite indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk panggangan, dohot hambing puti, na hualu-aluhon hami marhite parhinaloan on, dst.
(Terima kasih kami sampaikan kepada tuah leluhur Bapa kami, tuah leluhur Ibu kami, dan kepada tuah Ibu kami Siboru Deakparujar. Kami bersembah sujud kepadamu Ibu yang agung, dengan perantaraan dupa dan air suci ini, dengan nasi yang hangat, ikan, telur, ayam, dan kambing putih, yang kami persembahkan melalui musik puji-pujian ini, dst.)
4). Tonggo-tonggo tu Raja Naga Padoha: Bahenma gondang sombanta tu Raja Naga Padoha Ni Aji ni tano on. Nungnga sahat nangkin bagianna, mudar ni manuk lahi bini, mudar ni manuk jarum bosi, mudar ni manuk mira polin, mudar ni manuk panggangan, dohot mudar ni hambing puti, dst.
(Buatlah gondang persembahan kita kepada Raja Naga Padoha yang berkuasa atas bumi ini. Sesajian berupa darah ayam jantan dan betina, darah ayam jarum bosi, darah ayam mira polim, darah ayam panggangan, dan darah kambing putih, dst.)
5). Tonggo-tonggo tu Boru Saniangnaga: Bahen ma gondang sombanta tu namborunta boru Saniangnaga. Ompung ni mual si tiotio. Sai tio ma asi ni roha ni ompunta Debata pasu-pasuon na di hita. Pangidohon ma tu Ompung Mula Jadi Na Bolon asa dipasu-pasu uras na badia mangurasi parngoluon, mangurasi parbadanon, dao sahit ni parbadanon, dao nang sahit ni tondinta. (Suarakanlah musik persembahan kita kepada Namboru Boru Saniangnaga penguasa air
yang suci. Kiranya kita disucikan oleh kasih Ompung Mula Jadi Na Bolon, kehidupan kita diberkati oleh kasih sucinya yang agung mulia, mensucikan kehidupan jasmani, dan dijauhkan dari penyakit jasmani maupun rohani)
6). Tonggo-tonggo tu Patuan Raja Uti: …Sada haroroan do hami manombahon pelean puji-pujian di ari marsangap di ari martua on di Suma Ni Anggara di bulan Sipahasada ima ari hatutubu ni Tuhan Simarimbulu Bosi. Dison ma parningotan nami raja nami, nang dohot di ari hatutubum marhite lapik ni tangan mandok mauliate somba puji-pujian nami tu ho, ima: indahan na las, dengke na ni laean, pira ni ambalungan, manuk jarum bosi, hambing puti, na hu alu-aluhon hami marhite parhinaloan on, dst.
(Dengan satu tujuan kami datang mempersembahkan sajian dan doa pada hari yang suci dan penuh tuah ini, yaitu Suma Ni Anggara bulan pertama hari kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi. Pada hari inilah kami peringati kelahiranmu, melalui sesajian persembahan kami mengucapkan terima kasih dan pujian kepada-Mu, berupa; nasi hangat, ikan yang enak, telur, ayam jarum bosi, kambing putih, yang kami sampaikan melalui bunyi-bunyian gondang ini, dst.)
Halaman 282
Etnomusikologi, Vol.1 No. 3, Januari 2006: 299-309
7). Tonggo-tonggo tu Tuhan Simarimbulu Bosi: …Tuhan, jangkon ma pelean puji-pujian nami di ari hatutubum on, marhite indahan na las, dengke na nilaean, manuk jarum bosi, hambing puti. Nungnga hupaojak hami puji-pujian nami tu ho ale Tuhan marningot di hatutubum, ima pangurason bahen paridianmu, hain puti bahen sabi-sabinmu, jubah na so pipot bahen tapal-tapalmu, pardaupaan bahen salananmu, dohot parhinaloan solon ni rohami ale tuhan, husombahon hami marhite ngolu nami dohot tondi nami, dst.
(…Tuhan, terimalah sajian pujian kami pada hari kelahiranmu ini, nasi hangat, ikan, ayam jarum bosi, dan kambing putih. Telah kami sampaikan pujian kami kepada-Mu Tuhan dalam memperingati hari kelahiran-mu, yaitu air pentahiran untuk mensucikanmu, kain putih buat pembersih badanmu, jubah yang indah buat selendangmu, dupa buat wewangianmu, serta musik kegemaranmu ya tuhan yang kami persembahkan dengan segenap jiwa raga kami, dst.)
8). Tonggo-tonggo tu Raja Na-44 …marsomba hami tu ho mandok mauliate marhite lapik ni tangan nami, marhite: indahan na las, dengke na ni laean, pira ni ambalungan, manuk mira polin, hambing puti, na husombahon hami marhite parhinaloan on, dst.
(kami bersembah sujud kepada-Mu mengucapkan terimakasih beralaskan sesajian berupa: nasi yang hangat, ikan yang enak, telur, ayam mira polin, kambing putih, yang kami sampaikan melalui perantaraan bunyi-bunyian gondang ini, dst.)
9). Tonggo-tonggo tu Raja Sisingamangaraja: …mandok mauliate hami tu ho ale Ompung Sisingamangaraja, tona ni amanami Raja Nasiakbagi ido na huingot hami, marningot ma hami nang di ari hatutubum, di ari marsangap di ari martua on, mandok mauliate hami marhite lapik ni tangan nami marsomba tu ho, ima: indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk mira polin, hambing puti, na hualu-aluhon marhite parhinaloan on, dst.
(…terimakasih kepadamu ya Ompung Sisingamangaraja, pesan bapa Raja Nasiakbagi itulah yang kami ingat, memperingati kelahiranmu, pada hari yang suci dan penuh tuah ini, mengucapkan terima kasih beralaskan sesajian kami datang bersembah sujud, dengan persembahan: nasi yang hangat, ikan, telur, ayam mira polin, kambing putih, yang kami sampaikan melalui musik bunyi-bunyian ini, dst.)
10). Tonggo tu Raja Nasiak Bagi: …among, tona mi ma na huingot hami di ari marsangap di ari martua on, marningot ma hami di ari hatutubum, dison ma somba puji-pujian nami tu ho aamong, naung husombahon hami marhite parbinotoan, husombahon hami marhite ngolu nami, husombahon hami marhite haporseaon nami, naung marsiraraisan di hatam na badia i, ima lapit ni tangan nami, marsomba ma hami dohot indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk mira polin, hambing puti, na hu alu-aluhon hami marhite parhinaloan on. dst.
(…Bapa, firman-Mu itulah yang kami ingat pada hari yang mulia, penuh tuah pada hari kelahiranmu ini. Inilah sembah sujud pujian kami padamu Bapa yang kami persembahkan dengan segenap kemampuan dan hidup kami. Kami mempersembahkannya atas dasar kepercayaan yang telah engkau nubuatkan melalui firmanmu yang suci itu beserta sesajian berupa nasi hangat, ikan, telur, ayam mira polin, dan kambing putih dengan dihantarkan oleh suara musik pujian kami, dst.)
Dari kutipan yang dicuplik dari seluruh tonggo-tonggo (doa ritus) yang disampaikan pada upacara ritual sipahasada ini, jelas bahwa gondang hasapi, yang dalam hal ini disebut dengan parhinaloan, selain sebagai pelean (sesajian), juga berperan sebagai sarana komunikasi yang utama dalam penyampaian setiap permohonan kepada kuasa roh yang dituju. Dalam hal ini, gondang yang dimainkan bukanlah bunyi musik semata. Tetapi lebih dari itu adalah berupa kata-kata permohonan kepada kuasa roh yang dituju, yang dirangkai melalui nada dan ritmik gondang tersebut. Fungsi-fungsi lain yang juga cukup penting berkenaan dengan gondang hasapi adalah fungsi penghormatan. Maksudnya, ensambel gondang hasapi juga digunakan untuk mengungkapkan rasa hormat kepada kuasa roh yang diseru dalam tonggo-tonggo. Dibuktikan
Halaman 283
Torang Naiborhu
Gondang Hasapi: Fungsinya pada Upacara Ritual Parmalim...
melalui gerakan manatea (mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada dengan jari mengarah ke depan, seperti gerakan menyembah) dari seluruh umat Parmalim. Selain itu, terdapat juga beberapa fungsi lainnya, seperti: fungsi pengungkapan emosional, fungsi perlambangan, fungsi reaksi jasmani, fungsi hiburan, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat. Fungsi pengungkapan emosional. Fungsi ini dapat dilihat pada saat jemaat sedang manortor (tarian ritus), terutama pada saat repertoar gondang panghophopon ni Tuhan (gondang pengampunan Tuhan) disajikan. Para umat Parmalim banyak yang menangis menyesali perbuatannya hingga mengakibatkan penderitaan Tuhan Simarimbulu Bosi dan Raja Nasiakbagi yang mengalami kematian sampai tiga kali hanya untuk menebus dosa dan kesalahan umatnya. Penderitaan ini mereka rumuskan menurut perasaan masing-masing dengan diiringi bunyi gondang hingga memancing emosi, menangis mengeluarkan air mata, dan mengharapkan agar perbuatan umatnya mendapat pengampunan. Fungsi perlambangan. Tujuan dari upacara ritual sipahasada, sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu, adalah untuk memperingati hari kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi ke tengah-tengah umat manusia serta sebagai wujud pernyataan kemenangan iman para umatnya. Sebagai wujud kegembiraan akan kedua hal tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan upacara ini digunakanlah gondang hasapi. Berangkat dari hal ini, dapat dikatakan bahwa kehadiran gondang hasapi adalah sebagai perlambang dari wujud kegembiraan dan kemenangan iman tersebut. Demikian pula para pargonci (pemusik) adalah orang-orang yang dianggap cakap (pande) yang kecakapan dan kemampuannya dianggap setara dengan dewa Batara Guru. Oleh karena itulah, para pemusik ini diseru dan dilambangkan sebagai Batara Guru. Fungsi reaksi jasmani. Yang dimaksud oleh Merriam dengan fungsi reaksi jasmani ialah musik yang berfungsi sebagai perangsang biologis manusia. Kaitan fungsi ini dengan upacara sipahasada dapat dilihat pada saat Parmalim sedang manortor dan manatea. Artinya, pada saat gondang hasapi dibunyikan, alunan melodi yang dihasilkan secara spontan merangsang perasaan umat yang mendengarnya, dan dengan rasa itu kemudian menggerakkan jasmani mereka melakukan gerakan-gerakan (gesture) Tortor dan manatea sebagai rasa hormat dan persembahannya kepada kuasa roh yang dituju. Fungsi hiburan. Sebagaimana halnya musik berfungsi sebagai alat komunikasi dan pengungkapan emosional, di mana melalui kedua fungsi ini umat Parmalim mengadakan hubungan dengan kuasa roh yang disembah untuk memohon pengampunan dosa, maka sebagai hasil permohonan tersebut para umat berkeyakinan bahwa dosa dan kesalahan mereka telah diampuni oleh kuasa roh yang dituju melalui kasihnya yang tiada tara itu (parholong roha na so halompoan). Dengan demikian, melalui kepercayaan yang mereka anut, diyakini bahwa semua kesalahan yang pernah diperbuat telah diampuni. Melalui kemenangan iman itulah mereka yakin telah memperoleh hidup yang baru (ngolu na imbaru) yang membuat mereka merasa terhibur, tenteram, dan gembira. Fungsi kesinambungan kebudayaan. Ensambel gondang hasapi merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Batak Toba. Pemakaian gondang hasapi disetiap upacara sipahasada adalah sebagai jaminan akan kelangsungan tradisi ini untuk masa-masa yang akan datang. Fungsi pengintegrasian masyarakat. Rasa kebersamaan umat Parmalim secara jelas dapat dilihat dari rangkaian penyajian gondang hasapi, terutama pada saat dimainkannya repertoar gondang elek-elek (bujukan) sebagai pernyataan akan dimulainya upacara. Bunyi gondang ini secara otomatis menggugah umat Parmalim untuk segera berkumpul bersama di Bale Pasogit Partonggoan (Gedung Peribadatan), untuk memulai peribadatan. Artinya, segala aktivitas yang dilakukan sebelumnya akan segera dihentikan dan selanjutnya bergerak memasuki tempat upacara. Demikian pula pada saat diperdengarkan gondang somba tu, Ompung Mula Jadi Na Bolon secara spontan akan menggerakkan umat Parmalim untuk mengangkat tangan, manatea berdoa kepada roh kuasa yang diseru. Hal ini dilakukan secara serentak ketika instrumen tiup sarune (oboe) sudah berbunyi dan berakhir setelah satu siklus atau lebih repertoar gondang tersebut dimainkan. Dengan demikian, secara jelas dapat dikatakan bahwa musik, dalam hal ini gondang hasapi, mempunyai fungsi yang esensial dalam pelaksanaan upacara ritual Parmalim, yaitu sipahasada.
Halaman 284
Etnomusikologi, Vol.1 No. 3, Januari 2006: 299-309
3.
Penutup
Parmalim adalah pengikut atau penghayat ajaran Patuan Raja Malim, sedangkan Ugamo Malim adalah semua ajaran Patuan Raja Malim, Raja Nasiakbagi, Raja Sisingamangaraja untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia (ngolu ni pardagingon) dan akhirat (ngolu ni partondion) berdasarkan prinsip-prinsip hamalimon (kesucian). Sebagai dasar ajaran, Ugamo Malim mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di
jagad ini adalah ciptaan Ompung Mula Jadi Na Bolon, yang kemudian memberikan empat sabda sebagai dasar kepercayaan dan tuntunan hidup Parmalim, yang terdiri dari: 1) hata Ni Debata (firman Tuhan), 2) tona Ni Debata (perintah Tuhan), 3) patik Ni Debata (titah dan aturan-aturan Tuhan), dan 4) uhum Ni Debata (hukum-hukum Tuhan). Keempat dasar kepercayaan ini selanjutnya dijadikan sebagai penuntun umat Parmalim dalam mengadakan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam. Dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, umat Parmalim mengenal beberapa jenis upacara ritual, salah satu di antaranya adalah sipahasada. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap awal tahun, yaitu hari suma (hari kedua) dan anggara (hari ketiga) pada bulan Sipahasada (bulan pertama). Tujuan upacara ini ialah sebagai ucapan syukur atas lahirnya Tuhan Simarimbulu Bosi untuk menebus dosa-dosa umat manusia, sedangkan hakikatnya adalah sebagai hari kemenangan iman dan agar tetap marsolam diri dan marsolam ngolu, yaitu marroha hamalimon (berfikiran jernih), marngolu hamalimon (berkehidupan dan berperilaku teladan), dan martondi hamalimon (patuh dan taat berdasarkan iman kepercayaan). Seluruh rangkaian upacara sipahasada ini dalam peribadatannya selalu menggunakan daupa (dupa), aek pangurason (air suci pentahiran), pelean (sesajian), serta parhinaloan gondang hasapi (musik bunyi-bunyian gondang hasapi) sebagai medium perantara manusia untuk berhubungan dengan roh kuasa yang disembah. Dan yang terutama, gondang hasapi berfungsi sebagai alat untuk mansahaphon (mengesahkan) seluruh permohonan yang disampaikan melalui rangkaian tonggo-tonggo (doa ritus) kepada kuasa roh yang disembah dengan dipimpin oleh Raja Ihutan sebagai imam upacara.
KEPUSTAKAAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ke-3. Jakarta: PT. Gramedia. Hutasoit, M. 1976. Gondang Dohot Tortor Batak. Tarutung. Ihromi, T.O. 1981. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta:
PT. Gramedia.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, The Near East and Asia. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Marbun, M.A., dan I.M.T. Hutapea. 1987. Kamus Budaya Batak. Jakarta: Balai Pustaka. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evaston Ill: North Western University Press. Napitupulu, O.L. Sisingamangaraja,
1971.
Perang Batak, Jilid I. Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional
Pedersen, Paul B. 1975. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Terj. Ny. Maria Th. Sidjabat dan W.B. Sidjabat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Pardede, Boho Parulian. 1995. “Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Sabangunan Dalam Upacara Ritual parmali9m Sipahalima. Skripsi S-1: Fakultas Sastra USU Medan. Sidjabat, W.B. 1983. Ahu Sisingamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan.
Halaman 285
Torang Naiborhu
Gondang Hasapi: Fungsinya pada Upacara Ritual Parmalim...
Situmorang, Sitor. 1993. Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom. Jakarta: Grafindo Mukti. Suradi, HP. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spritual Bangsa Propinsi Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992/1993.
Vergowen, J.C. 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet.
Halaman 286