MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA MEDAN: KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
O L E H
NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA NIM: 090707026
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015
MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA MEDAN: KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA NIM: 090707026 Disetujui Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP : 196512211991031001
Drs. Torang Naiborhu, M. Hum NIP : 19630814199001004
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Medan, 10 Juli 2015 DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001
iii
PENGESAHAN Diterima oleh: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan. Medan Hari: Jumat Tanggal: 10 Juli 2015
FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN,
Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D. NIP. 195110131976031001 PANITIA UJIAN No.
Nama
Tanda Tangan
1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D
(
)
2. Torang Naiborhu M.Hum
(
)
3. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D
(
)
4. Dra. Herestina Dewi M.Pd
(
)
5. Fadlin, M.A
(
)
iv
ABSTRAK Medan merupakan ibukota dari sumatera utara, yang mana di dalamnya terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya suku Batak Toba yang ada di kota medan. Upacara adat perkawinan di kota medan telah mengalami perubahan dari yang penulis ketahui melalui buku maupun media lainnya, dahulunya gondang sabangunan merupakan musik pengiring upacara adat perkawinan suku batak toba. Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota Medan. Masuknya alat musik modern kedalam musik perkawinan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba, tanpa menghilangkan nilai tradisinya. Melalui pengamatan awal penulis, pada setiap upacara perkawinan musik yang digunakan selalu berbeda-bed. Ada yang menggunakan musik tiup kombinasi dengan keyboard, ada juga yang menggunakan uning-uningan sebagai musik perkawinan, tergantung kepada si pembuat pesta. Musik perkawinan pada upacara adat Batak Toba memiliki dua peranan, yaitu pernanan vertikal dan peranan horizontal. Peran vertikal berarti penghormatan kepada Sang Pencipta, peran horizontal berarti penghormatan sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu). Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengangkat judul: “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di Kota Medan: Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan Perubahan.”
v
KATA PENGANTAR Segala puji, hormat dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa telah melimpahkan Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan Perubahan”. Adapun tujuan skripsi ini adalah sebagai kelengkapan tugas dalam memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Selama dalam penyusunan skripsi ini ,penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Syaron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan. 2. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. selaku ketua jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing dalam menyelesaikan tugas akhir dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.PD selaku sekretaris jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan dukungan dan bantuan administrasi sertaregi strasi perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.
vi
3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum dan Bapak Drs.Muhammad Takkari, M.Hum, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar dalam membantu penulis dan selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 4. Orang tua penulis tercinta, Kanur Purba dan Risdawati Tindaon yang penulis kasihi dan sangat berjasa dalam kehidupan penulis atas setiap bimbingan dan didikan yang diberikan mama dan bapak. Terima kasih untuk cinta yang diberikan, untuk semangat dan doa yang tiada henti diberikan hingga sampai terselesaikannya tulisan ini dan selalu sabar membimbing penulis dalam menjalani kehidupan ini. Tak akan terbalaskan kebaikan mama dan bapa. 5. Adik kandung penulis tercinta, L. Maria Natalia Purba, Riama Arima Gabe Purba, Agustinus Pardamean Purba, Albert Roberto Purba, dan Christin Novelia Nauli Purba yang menjadi saudara dalam suka dan duka dan yang selalu memberikan dukungan doa, dan juga Hendra Sinaga yang telah mengingatkan dan memberikan semangat dalam proses penyusunan tugas akhir. 6. Keluarga Besar Gereja Pentakosta Indonesia sidang Padang Bulan, baik para Pendeta, Guru Injil, Sintua dan jemaat yang menjadi “rumah” selama penulis berada di Medan, terima kasih untuk semangat, bimbingan rohani, dan doa yang hidup yang diberikan kepada penulis. 7. Rekan-rekan pemuda/i GPI sidang Padang Bulan. Terima kasih untuk persaudaraan yang erat dan telah menjadi teman seiman penulis dalam berbagi suka dan duka selama di Medan. Terima kasih abang, kakak, dan adik-adikku untuk setiap bantuan, semangat dan doa yang kalian berikan. Terkhusus terima kasih untuk keluarga Kak Stefani Hutabalian, SKM, Tulang B. Anwar
vii
Manullang, S. Ked, yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan semangat untuk mengerjakan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk Evalentina Nababan, Obet P. Tobing, Esti Nababan, Samuel Malau, Jelita Butar-butar yang telah menjadi saudara kandung akhir-akhir ini. Terima kasih untuk kalian semua yang telah menerima penulis menjadi bagian dalam hidup kalian, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 8. Keluarga Besar Paduan Suara Mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang menjadi keluarga dan wadah di Kampus dalam mengikuti paduan suara. 9. Martin Tambunan, S.sn, Perawati Simbolon, Nerly C. Samosir, dan lain-lain yang telah memberikan masukan dan semangat selama proses penyelesaian tugas akhir. 10. Rekan-rekan Etnomusikologi 2009. Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca hingga pada akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa Jurusan Etnomusikologi.
Medan,
Juli 2015
ANITA ROMAULI P NIM. 090707026
viii
DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................... 16 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 17 1.3.1 Tujuan penelitian ................................................................... 17 1.3.2 Manfaat penelitian ................................................................. 17 1.4 Konsep dan Teori ............................................................................ 18 1.4.1 Konsep .................................................................................. 18 1.4.2 Teori ..................................................................................... 21 1.5 Metode Penelitian .......................................................................... 24 1.5.1 Studi kepustakaan .................................................................. 27 1.5.2 Penelitian lapangan ................................................................ 27 1.5.3 Penelusuran data online ......................................................... 28 1.5.4 Kerja laboratorium ................................................................. 28 1.5.5 Lokasi penelitian dan informan .............................................. 29 BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ....................... 31 2.1 Geografis KotaMedan .................................................................... 31 2.2 Konsep Adat .................................................................................. 32 2.3 Religi atau Kepercayaan ................................................................. 36 2.4 Konsep Kemasyarakatan ................................................................ 40 2.5 Konsep Kekerabatan ...................................................................... 41 2.6 Persebaran Masyarakat Batak Toba ............................................... 45 2.7 Budaya Musikal Batak Toba .......................................................... 50 2.7.1 Musik vokal ................................................................................ 50 2.7.2 Musik pada upacara perkawinan ................................................. 53 2.7.2.1 Ensambel gondang hasapi ........................................................ 54 2.7.2.2 Ensambel gondang sabangunan ................................................ 56 2.7.2.3 Ensambel musik tiup ................................................................ 58 BAB III KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA .................. 60 3.1 Perkawinan Pada Masyarakaat Batak Toba ........................................ 60 3.1.1 Tahapan upacara perkawinan .................................................... 61 3.1.1.1 Martumpol ................................................................... 61 3.1.1.2 Proses pemberkatan pernikahan .................................... 62 3.1.1.2.1 waktu ............................................................. 62 3.1.1.2.2 tempat ............................................................ 62 3.1.1.2.3 pemimpin upacara .......................................... 62 3.1.1.2.4 jemaat ............................................................ 62 3.1.1.3 Proses upacara adat ...................................................... 63 3.1.1.3.1 waktu ............................................................. 63 3.1.1.3.2 tempat ............................................................ 63 3.1.1.3.3 pemimpin upacara .......................................... 63 3.1.1.3.4 peserta upacara ............................................... 64 ix
3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan ................................................. 64 3.1.3 Syarat-syarat Perkawinan ......................................................... 65 3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba .............................................. 65 3.2.1 Masa pra-kristen ....................................................................... 65 3.2.2 Masa kristen ............................................................................. 66 3.2.3 Masa sekarang .......................................................................... 66 3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Perkawinan Adat Batak Toba ................. 67 3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional .............................................. 67 3.3.2 Fungsi penghayatan estetis ....................................................... 68 3.3.3 Fungsi hiburan .......................................................................... 70 3.3.4 Fungsi komunikasi ................................................................... 71 3.3.5 Fungsi perlambangan ............................................................... 72 3.3.6 Fungsi reaksi jasmani ............................................................... 73 3.4 Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Sebagai Kajian Kontinuitas dan Perubahan ................................................................ 74 3.4.1 Kajian perubahan musik ........................................................... 74 3.4.2 Kajian kontinuitas musik .......................................................... 76 BAB IV TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI .......................................... 78 4.1 Transkripsi ......................................................................................... 78 4.2 Analisis .............................................................................................. 81 4.3 Pemilihan Sampel Lagu ..................................................................... 84 4.4 Model Notasi ..................................................................................... 85 4.6 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi) .................... 87 4.6.1 Analisis tangga nada ................................................................. 90 4.6.2 wilayah nada ............................................................................ 90 4.6.3 Nada dasar ................................................................................ 91 4.6.4 Jumlah nada ............................................................................. 91 4.6.5 Interval ..................................................................................... 92 4.6.6 Formula melodi ........................................................................ 94 4.6.6.1 Analisis bentuk, frasa, dan motif ................................... 95 4.6.7 Kadens ..................................................................................... 97 4.6.8 Kantur ...................................................................................... 98 BAB V PENUTUP ........................................................................................ 101 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 101 5.2 Saran ................................................................................................ 102 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104 DAFTAR WEBSITE ...................................................................................... 107 DATA INFORMAN ....................................................................................... 108 LAMPIRAN ................................................................................................... 109
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap masyarakat di dunia pasti memiliki kebudayaan1 yang berbeda dari masyarakat lainnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Demikian halnya suku Batak Toba, meskipun merupakan bagian dari enam 2 sub suku Batak. Suku Batak Toba tentunya memiliki kebudayaan sendiri yang membedakannya dari lima sub suku Batak lainnya. Medan merupakan ibukota dari Sumatera Utara, yang mana di dalamnya terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Masyarakat di Medan terdiri dari beberapa suku, ada suku Batak, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Terlepas dari keibukotaannya, masyarakat di Medan juga masih melakukan tradisi adat untuk setiap aktivitas kebudayaan, salah satunya masyarakat suku Batak Toba yang terdapat di kota Medan. Masyarakat Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyangya dan turun-temurun diwariskan melalui tradisi oral (oral tradition). Di sini adat istiadat ialah berbagai aktivitas sosial budaya termasuk upacara-upacara kebudayaan yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum di 1
Kebudayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan hasil kegiatan atau penciptaan batin akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat, dan sebagainya. 2 Enam sub suku batak yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Angkola, dan Batak Pakpak.
1
masyarakat. Sementara tradisi adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, upacara dan sebagainya yang secara turun temurun diwariskan Menurut Aritonang (1988:47), seorang teolog Kristen, adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya (makrokosmos). Dengan kata lain, adat bagi orang Batak Toba adalah sesuatu yang bersifat totalitas (Aritonang 1988:48), yang dapat diartikan sebagai pandangan hidup orang Batak Toba. Adat bermanfaat untuk mencegah bencana, menjaga keharmonisan dan kesuburan tanah, memastikan akan adanya kesinambungan kebutuhan penduduk desa, serta menjaga keutuhan kekerabatan. Umumnya di dalam setiap pelaksanaan upacara adat, masyarakat Batak Toba selalu menggunakan musik tradisional sebagai media disetiap pelaksanaan upacara adat. Salah satu upacara/kegiatan adat yang menjadi tradisi turun temurun dan juga merupakan kegiatan yang dianggap sakral bagi masyarakat Batak Toba ialah upacara perkawinan. Perkawinan adalah ikatan sosial atau perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi. Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba bukan hanya menjadi urusan ayah, ibu, dari kedua calon pengantin, tetapi merpakan menjadi urusan semua anggota keluargayang menyangkut dalihan natolu. Peran-peran dalam upacara perkawinan adat Batak Toba selalau terkait dalam tiga kedudukan utama dalam adat (dalihan
2
natolu)3 tersebut. Dalam masyarakat Batak Toba hingga sekarang ini, adat dalihan na tolu masih tetap dihargai sebagai asas kehidupan. Asas kehidupan itu tergambar pada falsafah dalihan na tolu, yaitu somba marhula-hula (hormat kepada pihak marga orangtua dari istri [mertua]), elek marboru (sayang kepada pihak marga daripada suami anak perempuan [menantu]), manat mardongan tubu (berhati-hati kepada pihak marga daripada suami [lelaki bersaudara]). Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki peran dalam setiap rangkaian kegiatan upacara adat maka dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan di masyarakat Batak Toba tentu tidak terlepas dari adanya aktivitas musikal. Aktivitas musikal tersebut memiliki peran dan fungsi dalam setiap bagian tahapan-tahapan upacara yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dianggap sakral karena ada hubungannya dengan kepercayaan masyarakat kepada Tuhan. Pada masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik yang sangat penting, yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Kedua ensambel musik ini selalu menjadi bagian dari aktivitas upacara ritual dan adat bagi masyarakat Batak Toba dalam mengiringi musik gondang, seperti gondang mula-mula, gondang somba-somba, gondang elek-elek, gondang liat-liat, dan gondang hasahatan. Dahulunya, musik yang digunakan untuk upacara perkawinan Batak Toba ialah gondang sabangunan. Gondang sabangunan lazimnya dimainkan di
3
Dalihan natolu adalah falsafah batak yaitu: hulahula, boru, dongan tubu.
3
halaman rumah, baik menggunakan atau pun tanpa panggung. Selain itu gondang sabangunan juga diletakan di balkon rumah adat yang ada di bagian luar. Namun di Kota Medan khususnya pada upacara perkawinan, musik yang digunakan pada umumnya mereka menyebutnya berbeda-beda4, ada yang menyebutnya sebagai gondang, musik tiup, ataupun uning-uningan. Dalam bahasa Batak Toba, kata gondang mengandung banyak pengertian, di antaranya adalah instrumen musikal, ensambel musik, judul sebuah komposisi musik, judul kolektif dari beberapa komposisi musik (repertoar)5, tempo pada komposisi suatu rangkaian upacara, menunjukkan suatu kelompok misalnya kelompok kekerabatan atau pun tingkat usia, dan bisa juga berarti sebuah doa. Musik dikebudayaan Batak Toba biasanya digunakan untuk upacara ritual adat yang biasanya menyangkut tentang kepercayaan suku Batak Toba kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menyebabkan musik perkawinan pada upacara adat perkawinan Batak Toba mempunyai dua peranan yaitu peranan vertikal dan peranan horizontal. Peranan vertikal berarti penghormatan kepada sang pencipta, peranan horizontal berarti penghormatan sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu). Musik pada upacara perkawinan juga memiliki peran dan fungsi dalam setiap rangkaian upacara adat yang dilaksanakan, mulai dari marhusip, upacar pemberkatan di gereja, dan sampai pada tahap upacara adat dimana musik itu juga memiliki fungsi seperti dalam teori Allan P. Meriam bahwa“ethnomusicology as 4
Tergantung kepada konsumen yang melaksanakan upacara perkawinan tersebut menginginkan jenis musik seperti apa yang akan dipakai pada upacara adat yang mereka laksanakan. Banyaknya kasus yang terjadi ketika sebuah gondang yang dikenal dengan judul A dapat disebut dengan judul B di tempat lain. 5 Repertoar ialah komposisi musik yang siap untuk dipertunjukkan.
4
the study of music culture” sehingga dapat disarikan bahwa etnomusikologi adalah lahan kajian studi tentang musik milik kebudayaan suku tertentu baik dari aspek fisik atau materi musiknya maupun konteks budaya masyarakat yang memiliki musik itu sendiri. Dimana dalam hal ini musik dikatakan sebagai fungsi, yaitu dalam hal menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Permohonan kepada Tuhan ini merupakan penyampaian sebuah doa/harapan yang baik kepada si pengantin. Salah satu penyebab perubahan musik dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba ialah modernisasi. Modernisasi suatu masyarakat merupakan suatu poses transformasi yang meliputi segala aspek kehidupan. Dilihat dari segi kebudayaan, modernisasi dapat diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagian warga masyarakat yang disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman masa kini. Perkembangan zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat adat yang secara berkelanjutan mengalami perubahan diberbagai aspek kehidupan. Perubahan sosial mendorong perubahan produk kebudayaannya yang tidak saja dalam lingkup konsep atau gagasan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dan visual. Dampak perubahan sosial ini mengakibatkan adanya nilai-nilai tradisi yang tetap berlanjut dan bertambah. Zaman yang semakin maju dan berkembang dapat mempengaruhi keberlanjutan musik tradisi menjadi semakin berkembang atau semakin
5
menghilang, seperti yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang ada di Kota Medan. Alat musik yang di gunakan pada saat upacara pernikahan telah mengalami perkembangan yang pesat tanpa menghilangkan nilai tradisinya, masuknya alat musik modern kedalam musik penikahan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba di kota Medan. Berhubungan dengan hal tersebut, khususnya pada masyarakat Batak Toba di kota Medan pelaksanaan upacara adat seperti upacara perkawinan, dalam pengamatan sementara penulis pada peristiwa budaya, musik sebagai kelengkapan adat perkawinan penyajiannya telah menggabungkan alat musik barat dengan alat musik tradisional. Alat musik barat yang digunakan dalam upacara adat perkawinan tersebut pada umumnya adalah alat musik keyboard, saxophone, ataupun terompet. Keyboard merupakan salah satu alat musik yang multifungsi, dimana praktisi atau pemain keyboard tersebut menggunakan fitur-fitur yang ada didalamnya untuk memprogram atau menciptakan irama musik yang dibutuhkan, demikian juga dengan saxophone ataupun terompet. Alat musik keyboard dan saxophone ataupun terompet tersebut tidak dimainkan bersama alat musik modern saja, akan tetapi digabungkan dengan alat musik tradisional, yaitu taganing, sulim, sarune, maupun hesek. Melalui pengamatan penulis juga pada setiap upacara adat perkawinan, musik yang digunakan selalu berbeda-beda. Ada yang menggunakan sulim, keyboard, taganing, ada juga yang menggunakan musik uning-uningan. Namun
6
semuanya itu, musik perkawinan di kota medan telah mengalami percampuran dengan alat musik modern. Muisk tiup atau musik uning-uningan pada upacara adat perkawinan Batak Toba di kota medan disajikan untuk mengiringi upacara adat. Upacara adat yang dilaksanakan pada pesta perkawinan adalah manortor, sehingga penyajian alat musik sangat berperan sebagai pengiring tor-tor atau sebagai media menyampaikan pesan antar tamu adat. Ada empat judul gondang yang disajikan didalam mengiringi upacara adat yang dilaksanakan, yaitu gondang mula-mula, gondang somba-somba, gondang elek-elek dan gondang hasahatan. Makna dari ke empat gondang tersebut adalah sebagai sarana untuk menyembah hula-hula, mangelek boru, dan dipercayai dapat memberi kemakmuran bagi yang melaksanakan upacara adat. Dengan demikian, penulis lebih tertarik untuk mengakaji lebih dalam lagi mengenai perubahan dan kontinuitas yang terjadi dalam musik perkawinan di Kota Medan dan fungsi dari musik perkawinan itu sendiri. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat penelitian ini menjadi sebuah tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi dengan memberi judul: “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di Kota Medan: Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan Perubahan.”
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan membahas pokok permasalahan sebagai berikut:
7
1. Bagaimana peran dan fungsi musik pada upacara adat perkawinan Batak Toba? 2. Bagaimana perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak Toba?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mendeskripsikan peran dan fungsi musik pada pada upacara adat perkawinan Batak Toba.
2.
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak Toba.
1.3.2 Manfaat penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat bagi pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi, khususnya bagi penulis dalam menambah wawasan mengenai budaya Batak Toba. 2. Sebagai dokumentasi dan sarana literature tentang kontinuitas dan perubahan musikpada upacara adat perkawinan Batak Toba. 3. Sebagai dokumentasi tambahan bagi Departemen Etnomusikologi mengenai fenomena budaya Batak Toba.
8
4. Sebagai
syarat
untuk
mendapatkan
gelar
Sarjana
di
Depertemen
Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 3 (tiga) hal pokok yang menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian fungsi, kontinuitas, dan perubahan. Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami.Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu, 1982: 132). Kontinuitas
memiliki
arti
keberlanjutan,
keberlangsungan,
dankesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini.Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat dari keberlanjutan alat musik tradisional yang masih dipakai pada
9
upacara perkawinan. Dimana dengan adanya fenomena musik, konsep/ide musik tersebut masih terus berlanjut namun telah terjadi variasi. Perubahan dalam suatu kebudayaan wajar terjadi, karena tidak ada kebudayaan yang tidak berubah melihat dari zaman yang dari tahun ketahun semakin berkembang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa Inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83). Perubahan merupakan suatu proses dimana suatu keadaan berubah dan bisa juga dikatakan peralihan dari suatu masa/era (Abdulsyani, 1995:83). Perubahan yang dimaksud dalam konsep ini adalah suatu perubahan (peralihan) yang terjadi pada komposisi yang terjadi pada instrument musik tradisional Batak Toba yang member perubahan terhadap musiknya khususnya alat musik tradisional yang digunakan pada upacara perkawinan Batak Toba. Dalam hal ini penulis bermaksud melihat perubahan yang terjadi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh para
seniman
dan
kebutuhan
masyarakat
akan
berkembangnya
musik
tradisionalnya. Kontinuitas dan perubahan ini akan dibatasi pada era sebelum dan sesudahnya musik perkawinan mengalami perubahan. Gondang dalam masyarakat Batak Toba artinya menunjuk seperangkat alat musik (instrumen) tradisional yang dipergunakan pada saat menari (manortor) dalam suatu upacara. Tetapi istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu,
10
serta jenis tarian/tortor yang dibawakan kerabat6 dalam upacara. Dengan demikian gondang menunjuk pada pengertian: 1. instrumen musik, 2. komposisi dan repertoar (untaian komposisi lagu), 3. jenis tortor7 kerabat. Dalam hal ini perubahan yang terjadi pada musik yang digunakan pada upacara perkawinan Batak Toba dimana musik yang digunakan telah mengalami perubahan, bahwa yang awalnya musik pada upacara perkawinann Batak Toba menggunakan gondang sabangunan yaitu taganing, sarune, gordang, ogung ihutan, ogung oloan, ogung panggora, ogung doal dan hesek, arti kata lain masih menggunakan alat musik tradisi Batak Toba. Sedangkan pada masa kini gondang sabangunan tersebut telah mengalami perkembangan yaitu dengan bertambahnya alat musik modern seperti keyboard, saxophone, atau terompet. Jadi ada keberlanjutan dan perubahan yang terjadi itu ada pada musik upacara perkawinan masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba, khususnya yang berada di kota medan, hadirnya keyboard, saxophone, ataupun terompet menjadi suatu keuntungan dalam pelaksanaan upacara adat maupun hiburan seperti yang sering dilihat pada acara pesta perkawinan sekarang ini.
6
Karena musik gondang dan tortor merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan upaccara pesta adat (Emmi Simangunsong, hal. 83) 7 Tortor adalah tarian seremonial yang mendampingi penyajian.
11
1.4.2 Teori Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas permasalahan. Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki, 1999:33). Serangkaian konsep atau konstruk yang berhubungan dengan lainnya, dan juga suatu rangkaian dari proporsi yang mengadung suatu pandangan sistematis dari fenomena merupakan pemahaman teori menurut Kerlinger (1973). Teori juga dapat berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji kebenarannya. Teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian. Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini. Untuk melihat fungsi peada upacara perkawinan Batak Toba, penulis mengunakan
pendekatan
yang
dikemukakan
oleh
Soedharsono
yang
mengelompokkan seni pertunjukan ke dalam tiga kategoriyaitu (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai hiburan pribadi, dan (3) presentasi estetis. Pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan Merriam dalam bukunya The Antropology of Music (1964:219-226) yang membagi musik ke dalam 10 kategori fungsi, yaitu fungsi : (1) pengungkapan emosional, (2) penghayat estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5) perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma social, (8) pengesahan lembaga social, (9) kesinambungan kebudayaan, (10) pengintegrasian
12
masyarakat. Namun Soedarsono lebih memperkecil fungsi seni untuk memudahkan penulis menganalisis fungsi upacara tersebut. Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto, 1992:21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi, 1987:32). Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam, 1964:303). Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948:525).
13
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402). Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan tersebut. (Suparlan, 2004:24). Gondang sabangunan pada kebudayaan Batak Toba khususnya dalam Upacara Perkawinan telah mengalami perkembangan dan masyarakat Toba itu sendiri menerima perubahan musik tersebut. Perubahan yang terjadi adalah dengan bertambahnya instrument musik modern seperti keyboard, saxophone, dan terompet yang ikut menjadi kesatuan dengan alat musik tradisional tersebut. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebudayaan luar dapat mempengaruhi kebudayaan lain,
14
hal ini dikemukakan oleh L. Dyson dalam Sujarwa (1987:39) yang mengatakan bahwa sikap menerima dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat dinikmati, senang pada satu hal yang baru, dan sifat inovatif yang ingin berkreasi. Ada juga sikap menolak yang disebabkan oleh anggapan bahwa hal-hal yang baru tersebut merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang dianut sebelumnya. Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi pengembangan
yang
diharapkan
dalam
mencapai
tujuan
yang
menjadi
komitmennya. Gondang sabangunan merupakan music rakyat (folk music) yang dipelajari secara oral oleh seniman Batak Toba telah mengalami kontinuitas dan perubahan dalam musiknya, hal ini diungkapkan oleh Bruno Nettl dan Gerald Behague (1991:4) yang mengatakan bahwa: …in a folk or nonliterature… a song must be sung, remembered, and taught by one generation to the next. If this does, not happen, it dies and is lost forever. There is another alternative: if it is not accepted by it’s audience, it may be change to fit the need and desires of the people who perform and hear it.
Bruno Nettl dan Gerald Behague mengatakan bahwa sebuah kebudayaan rakyat atau kebudayaan tidak tertulis, sebuah lagu (music) harus dinyanyikan, diingat dan diajarkan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Jika hal itu tidak
15
terjadi maka lagu atau musik tersebut akan hilang atau punah. Tetapi ada alternative lain, jika lagu atau musik tersebut tidak diterima oleh penonton (audiens), hal ini mungkin dapat diubah atau diberi inovasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan orang-orang yang mempertunjukkan atau mendengarnya. 1.5 Metode Penelitian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Metode penelitian dapat diartikan dalam beberapa disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian kongkrit. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau
16
proses
menjaring
data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu
masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Di dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bongdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3). Dalam mengumpulkan data-data di lapangan penulis mengacu kepada teknik penelitian yang diungkapkan oleh Curt Sachs dalam Nettl (1964:62) yang mengatakan bahwa: “Curt Sachs (1962) divides ethnomusicological research into two kinds of work, field work and desk work. Field work notes the gathering of recordings and the first-hand experience of life in a particular human culture, while deskwork includes transcription, analysis, and the drawing of conclusions.” Menurut Curt Sachs penelitian dalam etnomusikologi ada dua hal yang esensial, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan
17
data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Penelitian ini akan menggunakan metode yang diungkapkan oleh Curt Sachs, namun belum melakukan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work) penulis akan melakukan studi kepustakaan terlebih dahulu. Adapun studi pustaka ini untuk pengumpulan data dalam awal penelitian.
1.5.1 Studi Kepustakaan Dalam mengumpulkan awal penulis melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan sumber bacaan yang mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa buku-buku, skripsi etnomusikologi, jurnal, maupun bacaan-bacaan yang diperlukan dalam mendukung penelitian. Dalam hal ini penulis telah membaca skripsi sarjana Etnomusikologi yang mendukung kepada penulisan skripsi ini. Selain itu penulis mencari sumber data dari internet dengan kata kunci World Wide Web (WWW). Penulis juga membaca buku-buku antropologi dan etnomusikologi yaitu Pengantar Ilmu Antropologi, The Anthropology Of Music, Folk and Traditional Music Of The Western Continents, Worlds Of Music, Etnomusikologi, Pluralitas musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, dan beberapa buku lainnya. Studi kepustakaan ini juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan
18
dengan skripsi ini antara lain sosiologi dan topik tentang kebudayaan masyarakat Batak Toba.
1.5.2 Penelitian Lapangan Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata atau tindakan selebihnya yang berfungsi sebagai data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Lonfland dan Lonfland dalam Meleong, 1989). Selain kata-kata atau tindakan perekaman audio ataupun materi musik juga menjadi sumber data yang utama dalam penelitian ini.Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih
dahulu
penulis
menyiapkan
segala
sesuatu
yang
dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan.
1.5.3 Penelusuran Data Online Internet merupakan salah satu media online yang memberikan banyak data informasi, baik berupa teori, data gambar, dan juga artikel-artikel yang yang penulis butuhkan. Media online ini ada yang berbentuk laman web, blog, yang berkaitan dengan kajian yang penulis lakukan, baik secara teoretis maupun deskriptif studi.
1.5.4 Kerja Laboratorium
19
Seluruh
data
yang
diperoleh
penulis
dari
lapangan
dan
studi
kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan peneliti an selesai. Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang ada di Departemen Etnomusikologi. 1.5.5 Lokasi Penelitian dan Informan Dalam hal penentuan lokasi penelitian, para budayawan, musisi atau seniman tradisional Batak Toba merupakan sumber dari data yang diperlukan oleh penulis dalam penelitian ini. Karena sumber data dalam penelitian ini berupa rekaman audio dan juga wawancara maka lokasi penelitian ini penulis memilih berdasarkan tempat berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Oleh karena itu melihat kasus yang terjadi di kota medan, maka penulis memutuskan untuk memilih kota medan sebagai tempat yang dipilih penulis untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian. Untuk pemilihan informan8 penulis memilih para budayawan, musisi (pargonsi) atau seniman tradisional Batak Toba yang ada di kota medan yang
8
Lihat lampiran skripsi sarjana ini
20
menurut penulis bisa memenuhi data-data yang akan penulis lakukan dalam hal pengumpulan data melalui wawancara.
21
BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan
sebagai barometer
dalam
pembangunan
dan
penyelenggaraan
pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236
jiwa.
Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional. Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’ BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki perbatasan yaitu: (a) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,
22
(b) Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur (Kabupaten Deli Serdang), (c) Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan (d) Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa (Kabupaten Deli Serdang) Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Bandar Udara Polonia. Secara geografsi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
2.2 Konsep Adat Adat merupakan aktivitas sosial yang disepakati menjadi tradisi
dan
berlaku secara umum bagi manusia yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara untuk mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia. Menurut masyarakat
23
Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun temurun, berupa pesan tentang aturan atau tata tertib dan hukum yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan. Hukum adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon sebagai perintah yang harus dituruti dan bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat. Maka dari itu tertanam oleh masyarakat Batak Toba bahwa apabila adat ditaati dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak menaati adat tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat). Menurut Aritonang, seorang teolog kristen (1988:47), adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya (makrokosmos). Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup (kelihatan) dengan orang yang mati (tidak kelihatan); adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,
24
yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk beluknya kehidupan (Pasaribu, 1986:61). Adat merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau menjadi hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20). Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi oleh masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupan masyarakat Batak Toba selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat dalam suku Batak Toba merupakan bagian yang harus dipatuhi dan dilakukan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan terdapat empat (4) kategori adat yang dilakukan:
25
1. komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat yang tersendiri, menunjuk kepada setiap komunitas mempunyai tipologi9 adat masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih lekat dan kental dibandingkan dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualis dalam menyikapi respon terhadap adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang juga mempengaruhinya. 2. Adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang telah membudaya dan juga sering dianggap sebagai bagian dari adat isitiadat. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama banyak mengatur kehidupan norma masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. 3. Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. 4. Pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku 9
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau jenis (pembagian budaya menurut suku bangsa)
26
tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilah yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.
2.3 Religi atau Kepercayaan Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, segala hal di dalam kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Dalam cerita turun temurun, mitologi dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba ini yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).
27
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang member ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10) Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8) Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas
28
keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279). Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10). Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
29
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara sesama orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Sahala tersebut merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah ketika seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh bisa juga hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usahausaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.
30
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja. Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Secara harafiah hasangapon bisa diartikan sebagai terpuji, tauladan, terhormat, atau nyaris tanpa cela. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, berarti seseorang tesebut telah menjadi pribadi yang sempurna. Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.4 Konsep Kemasyarakatan Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip yaitu:
31
1. Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat. 2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir, dan lain-lain. 3. Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. 4. Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
32
2.5 Konsep Kekerabatan Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga. 10 Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut, Soerjono Soekanto memberikan penjelasan: “Hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu”11. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum. Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak 10
Marga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Nama marga dalam keluarga umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang. Marga turun-temurun dari kakek kepada bapak, kepada anak, kepada cucu, kepada cicit, dan seterusnya. (www.id.wikipedia.org/wiki/marga) 11 Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 59
33
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu. Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada di atas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi. Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang
34
laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari: 1.
Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak lakilaki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
2.
Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua
35
laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima. 3.
Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan lakilaki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hulahula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan
tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran
36
artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na ni ida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati. Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak Toba.
37
Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial. Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar, membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani. Dengan terbentuknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orangorang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (Tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.
38
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan berbahaya. Misalnya, alternatif
jalan menuju Padang sebagai pelabuhan
internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun 1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol. Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak. Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea. Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan
39
pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180). Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain. Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah. Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas
40
mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga menunjukkan identitas mereka. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ulet dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orangorang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan (lihat Hasselgren, 2008:48). Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan sendiri. Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang
41
Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat hingga saat ini. Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923, mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau Sulawesi,
orang Batak sudah bermukim
mulai tahun 1920-an,
seperti
ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua. Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876 bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H. Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves. Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau
42
Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP, 1994:370). Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126 jiwa.13
2.8 Budaya Musikal Batak Toba 2.8.1 Musik vokal Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat Batak
Toba
disebut
dengan
ende.
Dalam
musik
vokal
tradisional,
pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu: 1.
Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby).
2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang saat menjelang pernikahan. 3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang, biasanya malam hari. 4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-
43
lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan. 5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi. 6. Ende
pasu-pasuan,
adalah
musik
vokal
yang
berkaitan
dengan
pemberkatan,dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya. 7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua. 8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini. Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu:
44
1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara namarhadodoan (resmi). 2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari. 3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita. Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut sebagai berikut: 1. Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu musik vokal yang mempunyai irama halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga dapat membangkitkan rasa kantuk bagi si anak yang mendengarkan. Contoh: Mandideng. 2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh : Luga-luga solu. 3. Nyanyian permainan (play song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan. Contoh: Sampele-sampele.
45
4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh: Metmet ahu on. 5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh: Siboruadi. 6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh: Madekdek ma Gambiri.
2.8.2
Musik pada pacara perkawinan Ada tiga jenis enasambel musik yang umum dipakai pada upacara adat
perkawinan batak toba di kota medan dahulu dan sekarang, yaitu: ensambel gondang hasapi, ensambel gondang sabangunan dan musik.
2.8.2.1 Ensambel gondang hasapi Secara umum ensambel yang lazim digunakan untuk upacara adat perkawinan namun masa sekarang hampir tidak digunakan lagi penggunaanya pada upacara perkawinan. Instrumen yang dipakai dalam ensambel ini terdiri dari: hasapi doal, sarune etek, garantung, mengmung, hesek. (a) Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.
46
Gambar 1. Hasapi doal (b) Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed tunggal. Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lobang nada (empat dibagian atas, satu dibagian bawah) dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa.
Gambar 2. Sarune etek (c) Garantung, adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan
47
sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan cara mamalu.12
Gambar 3. Garantung (d) Mengmung, adalah instrumen pembawa melodi konstan yang memiliki tiga senar. Senarnya terbuat dari kulit bamboo tersebut. Klasifikasi instrumen ini bisa dimasukkan kedalam kelompok idiochordophone. (e) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong. Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone. (f) Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.
12
Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain. Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.
48
Gambar 4. Sarune Bolon 2.8.2.2 Ensambel gondang sabangunan Sampai zaman sekarang gondang sabangunan lazim dipakai pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya pada saat pemberian ulos maupun sebagai pengisi acara. Instrumentasi yang dipakai pada ensambel yang dipakai dalam ensambel gondang sabangunan terdiri dari: (a) Taganing, yaitu lima buah gendang yang terdiri dari odap-odap, paidua odap, painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting dan berfungsi sebagai pembawa melodi dan juga sebagai ritem variabel dalam beberapa lagu. Klasifikasi intrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone, dimainkan dengan cara dipukul membrannya dengan menggunakan palu- palu/stik. Di dalam permainan taganing terdapat empat teknik memukul, yaitu; 1) memukul stik pada bagian tengah gendang, 2) memukul stik pada pinggiran gendang, 3) memukul stik pada tengah dan menghentikannya seketika dengan cara menekan permukaan gendang dengan ujung stik, 4) menekan permukaan gendang dengan ujung jari tangan kiri. Gordang, satu buah gendang yang lebih besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem kostan maupun
49
variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Alat musik ini dimainkan dengan menggunkan dua buah stik pemukul, sama dengan memainkan taganing. Sarune bolon, termasuk pembawa melodi yang memiliki lidah ganda, dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam kedalam kelompok aerophone.
Gambar 5. Taganing (b) Ogung (gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan. Instrument ini berperan sebagai pembawa ritem konstan atau pembawa irama dalam gondang sabangunan. Klasifikasi ini termasuk ke dalam kelompok idiophone. (c) Odap, yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Pada praktiknya alat musik ini sangat jarang dimainkan. Kehadirannya dalam ensambel gondang sabangunan lebih terbatas pada upacara-upacara ritual kepercayaan, seperti yang ditemukan pada masyarakat parmalim yang masih melanjutkan kepercayaan Batak Toba. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam kelompok membranophone. 50
(d) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong. Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok idiophone.
2.8.2.3 Musik Tiup (Brass Band) Musik tiup adalah ensambel yang paling umum digunakan pada upacara adat batak toba masa kini di Kota Medan. Ensambel ini dianggap sangat efektif karena sifatnya yang dinamis dalam arti dapat memainkan berbagai macam lagu, baik rohani gereja, lagu populer, maupun lagu-lagu rakyat Batak dan lagu-lagu diluar Batak lainnya. Penulis berpendapat karena kemampuannya itulah sehingga selera masyarakat Batak secara umum, baik yang berasal dari perantauan maupun yang berdomisili di kota medan dapat dipenuhi oleh musik ini. Walaupun dalam penyebutannya ensambel ini disebut musik tiup atau musik saja, namun beberapa instrumen tradisional Batak telah dipadukan dengan musik tiup tersebut. Instrumentasinya terdiri dari: a. Trumpet merupakan salah satu alat musik tiup logam yang pada awalnya digunakan sebagai sinyal panggilan. Trumpet dikenal sebagai alat musik transposisi yang bisa memainkan lagu dari semua kunci/keytone.
51
Gambar 6. Trumpet b. Saxophone merupakan alat musik tiup logam (brass wind) dengan reed tunggal seperti pada alat musik klarinet.
Gambar 7. Saxophone c. Trombone merupakan instrumen yang terbuat dari bahan kuningan (brass) dan bahan lain dari besi putih atau besi stainless. Jenis trombone ada dua, yaitu: 1. Slide trombone, alat musik tiup logam dengan warna suara tersendiri yang memungkinkan suara diproduksi dengan halus. 2. Valve trombone, yaitu trombone yang diciptakan untuk mencapai kemudahan dalam formasi dan penggunaannya. 13
13
Lihat tesis Monang Asi Sianturi 2012, hal. 243-245.
52
Gambar 8. Trombone
53
BAB III KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA
3.1 Perkawinan Pada Masyarakat Batak Toba Perkawinan merupakan pengikatan adat; pengikatan kekerabatan; sehingga dapat terjadinya suatu perikatan membawa akibat bukan semata-mata terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, kedudukan anak, harta bersama, kedudukan hak dan kewajiban orangtua, tetapi menyangkut juga kepada hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekerabatan, dan juga menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang
mengatur tentang
bentuk bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia atau perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.14 Dalam hukum adat, sahnya perkawinan secara adat Batak Toba umumnya tergantung kepada masyarakat penganut agama yang bersangkutan yang dilaksanakan menurut tata tertib agamanya, mereka juga terlebih dahulu melakukan upacara adat supaya dapat masuk ke dalam lingkungan masyarakat adat dan diakui menjadi warga masyarakat adat. Masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut
14
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mondar Maju, Bandar Lampung,1992, hal.182
54
perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal15. Perkawinan bagi suku Batak Toba adalah sakral dan suci. Dalam perkawinan adat Batak Toba juga ada aturan yang harus ditaati dan hukumannya sangat tegas yang dilakukan oleh suku Batak sejak dahulu kala. Apabila suku Batak Toba melanggar aturan yang diberlakukan oleh penatua adat, maka akan diberi hukuman, seperti di bakar hidup-hidup, dipasung, dibuang atau diungsikan dari kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga.16
3.1.1
Tahapan upacara perkawinan Perkawinan adat pada masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari
perkawinan agama. Semua upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat batak toba dalam konteks adat selalu didahului atau diikuti pengesahan agama masing-masing. Tahapan yang umum dilakukan sebagai berikut: martumpol, pemberkatan pernikahan, upacara adat17.
3.1.1.1 Martumpol Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga acara pertunangan, namun secara harafiah martumpol adalah acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja yang diikat dalam janji untuk melangsungkan perkawinan. 15
Maksudnya adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan yang berasal dari pihak ayah. Patrilineal berasal dari dua kata latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang berarti garis. Jadi patrilineal berarti keturunan yang mengikuti garis yang diambil dari pihak ayah. 16 Jurnal Ikatan Mahasiswa Batak Toba USU 17 Beberapa penganut agama tertentu seperti Katholik, Kharismatik tidak melakukan tahapan martumpol. Umumnya mereka melakukan langsung kepada acara pemberkatan di gereja dan upacara adat.
55
Martumpol dihadiri oleh orang tua kedua calon pengantin dan kerabat mereka beserta para undangan. Martumpol biasanya diadakan di gereja, karena sebagian besar masyarakat Batak Toba beragama Kristen.
3.1.1.2 Acara pemberkatan pernikahan 3.1.1.2.1 Waktu Acara pemberkatan dilakukan setelah proses martumpol dilaksanakan. Biasanya selang beberapa bulan atau minggu setelah proses martumpol dilaksanakan. Waktunya tergantung pada kesiapan kedua pengantin dan kedua keluarga pengantin. Pemberkatan di gereja
diadakan sebelum berlangsungnya
proses upacara adat namun masih pada hari yang sama. Upacara pemberkatan diadakan pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai.
3.1.1.2.2 Tempat Tempat berlangsungnya acara pemberkatan kedua pengantin dilaksanakan di gereja. Gereja yang dipakai biasanya adalah gereja dimana salah satu dari orangtua mempelai menjadi jemaatnya atau dapat juga meminjam gereja terdekat apabila
gereja mempelai jauh dari lokasi pesta, namun masih dalam
lembaga/insttusi yang sama.
3.1.1.2.3 Pemimpin upacara Pemimpin upacara dalam acara pemberkatan pernikahan di gereja yaitu pendeta, namun dapat juga dipimpin oleh pengurus gereja seperti guru jemaat
56
(voorhanger). Pemimpin ini dibantu oleh pengurus gereja lainnya, seperti penatua gerejaa, tim musik gereja, biblevrow, dan lain-lain.
3.1.1.2.3 Jemaat Jemaat dalam upacara pemberkatan pernikahan yaitu kedua calon pengantin, keluarga dari kedua pengantin, saudara dari kedua pengantin, dan kerabat dari kedua pengantin serta organisasi-organisasi kekerabatan dan kemasyarakatan dari kedua pengantin.
Gambar 9. Upacara pemberkatan di gereja
57
3.1.1.3 Proses upacara adat 3.1.1.3.1 Waktu Proses upacara adat berlangsung setelah selesai upacara pemberkatan pernikahan secara agama di gereja.
3.1.1.3.2 Tempat Tempat diadakan proses upacara adat biasanya dilakukan dekat dari kediaman pengantin. Di Kota Medan biasanya diadakan di gedung atau wisma yang tidak jauh dari tempat kediaman pengantin dan biasanya juga tidak jauh dari tempat (gereja) pemberkatan pernikahan.18
3.1.1.3.3 Pemimpin upacara Pemimpin upacara dalam upacara adat yaitu penatua-penatua adat, tokohtokoh adat, raja parhata dari masing-masing pihak pengantin laki-laki dan perempuan.
3.1.1.3.4 Peserta upacara Yang menjadi peserta upacara dalam upacara adat pernikahan yaitu kedua pengantin, kedua orang tua pengantin, keluarga dari kedua pengantin, saudara dari kedua pengantin, dan kerabat dari kedua pengantin.
18 Jika yang menjadi tuan rumah adalah pengantin laki-laki (dialap jual) maka gereja dan tempat pesta ditentukan ditempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman mempelai laki-laki. Demikian sebaliknya jika pengantin wanita (diataruhon jual, sitombol) yang menjadi tuan rumah, maka gereja dan tempat pesta juga tidak terlalu jauh dari kediaman pengantin wanita tersebut.
58
Gambar 10. Upacara adat
3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan Ada tiga tingkatan upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba, yaitu: (1) unjuk; (2) mangadati; (3) pasahat sulang-sulang ni pahoppu. 1. Unjuk merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak yaitu Dalihan Na tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus perkawinan biasa. 2. Mangadati merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak.
59
3. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu merupakan ritus perkawinan yang dilakukan diluar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua dan ritusnya dilakukan setelah memiliki anak. 19
3.1.3
Syarat-syarat perkawinan Syarat-syarat yang harus ada dalam perkawinan adalah adanya sinamot,
ulos, jambar, dekke. 1. Sinamot bisa juga disebut uang jujur yang merupakan salah satu syarat sah nya perkawinan, syarat hubungan kekerabatan, terhitung dalam adat, syarat dapat mengunjungi dan meminta bantuan kepada keluarga pihak perempuan. 2. Ulos merupakan kain tenun yang berbentuk selendang khas suku Batak Toba, ulos artinya hangat atau berkat. Pemberian ulos kepada pengantin dimaksudkan agar ikatan batin kedua mempelai seperti rotan20 (hotang). 3. Jambar berupa daging ataupun uang yang dibagikan kepada sanak keluarga ataupun kerabat yang terlibat dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Untuk jambar daging, si empunya pesta biasanya memotong daging babi atau kerbau. 4. Dekke merupakan ikan yang akan di bagikan kepada keluarga laki-laki dari pihak pengantin perempuan.
19
https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_adat_Batak_Toba Pada zaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh corak ulos pengantin. 20
60
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba 3.2.1 Masa Pra-Kristen Dalam kehidupan sehari-hari pada masa pra-kristen, adat diwujudkan dalam banyak bentuk dan praktek. Misalnya mamele (pemujaan roh nenek moyang), pesta bius (upacara korban), mangongkal holi (upacara penggalian tengkorak. Praktek ini diwariskan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bagian dari adat. Pada zaman pra-kristen gondang sabangunan merupakan alat musik yang digunakan untuk upacara adat perkawinan namun digunakan bertolak-belakang dengan ajaran kristen.
3.2.2 Masa Kristen Sejak masuknya Nommensen ke Tanah Batak ajaran agama kristen mulai menyebar dikalangan masyarakat Batak Toba, musik sudah tidak lagi di hantarkan kepada Mula Jadi Na Bolon melainkan kepercayaan mereka sudah mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan pun sudah terjadi dalam kegiatan upacara adat sudah diberlakukan secara agama Kristen, musik yang digunakan masih tetap menggunakan gondang sabagunan namun dalam nyanyian, lagu-lagu yang biasa dinyanyikan di gereja telah di nyanyikan juga ke dalam rangkain upacara adat, khususnya nyanyian sebagai nyanyian penghantar ulos.
3.2.3 Masa sekarang Zaman sekarang musik yang digunakan dalam upacara perkawinan adat Batak toba telah mengalami perubahan yang pesat, dimana setelah munculnya masa
61
opera batak maka telah masuklah alat-alat musik modern untuk dipakai dan dikombinasikan dengan sulim, taganing, hesek. Namun pada kebanyakan upacara adat perkawinan yang penulis telusuri, sulkibta merupakan alat musik yang banyak dipakai dalam upacara adat perkawinan di Kota Medan. Perubahan mencolok terlihat pada masa sekarang.
3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Kesenian merupakan salah satu warna kebudayaan yang terbentuk dari hasil kreatifitas dan inovasi masyarakat dan lingkungannya. Kesenian tradisional lahir dari budaya masyarakat terdahulu di suatu daerah tertentun yang terus berkembang secara turun-temurun dan terus diikuti oleh generasi berikutnya. Di samping mengenalkan musik perkawinan, fungsi musik perkawinan Batak Toba di Kota Medan merupakan ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Kristen, yang mana fungsi musik perkawinan sebagai sarana upacara adat dalam pesta perkawinan Batak Toba sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa kegembiraan dan sebagaai sarana hiburan. Untuk melihat fungsi pada upacara perkawinan Batak Toba, penulis melakukan pendekatan yang dikemukakan oleh Allan P. Merriam dalam bukunya The Anthropology of Music yang membagi musik kedalam sepuluh (10)21 kategori fungsi musik, adapun fungsi musik yang berkaitan pada upacara perkawinan adat Batak Toba dalam hal ini penulis menitikberatkan enam (6) fungsi musik 21
Alan P. Merriam, 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. (1) pengungkapan emosional, (2) penghayat estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5) perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) pengesahan lembaga social, (9) kesinambungan kebudayaan, (10) pengintegrasian masyarakat (lih. hal. 23).
62
perkawinan pada fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmanai, penghayatan estetis dan fungsi ritual. Lima dari keenam fungsi tersebut yaitu fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani dan penghayatan estetis merupakan wujud dari adanya kontinuitas yang masih tetap di pertahankan dan diterima di tengahtengan masyarakat Batak Toba di Kota Medan, sementara fungsi ritual sudah mengalami perubahan dan bahkan telah diabaikan.
3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional Pada berbagai kebudayaan, musik memiliki fungsi sebagai kendaraan dalam mengekspresikan ide-ide dan emosi. Musik digunakan untuk menstimulasi perilaku sehingga dalam masyarakat mereka ada lagu-lagu untuk menghadirkan ketenangan. Para pencipta musik dari waktu ke waktu telaah menunjukkan kebebasannya mengungkapkan ekspresi emosinya yang dikaaitkan dengan berrbagai objek seperti cinta, suka-duka, amarah dan mulai mengotak-atik nada sesuai dengan suasana hatinya. Musik merupakan media yang dapat digunakan untuk mengungkap perasaan. Sebagai contoh, ada orang yang mengungkapkan perasaannya dengan bernyayi, penulisan lirik lagu, dan ada juga yang mengungkapkan perasaannya dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional tersebut diekspresikan dengan kondisi suasana hati orang tersebut. Dalam perkawinan, musik yang dimainkan dapat dianggap sebagai media untuk mengungkapkan perasaan. Pada saat orangtua dari pihak pengantin wanita
63
menyampaikan ulos hela kepada pengantin, pemusik (pargonsi) akan membawakan lagu ataupun musik untuk menggambarkan konteks pemberian ulos tersebut. Sebagai contoh, lagu Borhat ma dainang akan dinyanyikan sebelum dan pada saat ulos disampaikan. Isi teks lagu ini adalah doa orang tua dan keikhlasan memberangkatkan putrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam doa tersebut dimohon agar pengantin memperoleh anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana cita-cita dari orang Batak, walaupun harus berpisah namun batin akan selau bersama dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
3.3.2 Fungsi penghayatan estetis Pada dasarnya setiap orang telah dikaruniai Tuhan dengan berbagai kemampuan belajar (ability to learn) dan bakat (talent) tentang apa saja. Setiap orang memiliki kemampuan dan kecepatan yang berbeda-beda dalam hal memahami keindahan tentang apa saja termasuk pula keindahan musik. Untuk menikmati rasa estetis (indah), maka orang perlu belajar dengan cara membiasakan diri mendengarkan musik-musik. Setiap jenis musik memiliki keunikan melodis, ritmis, dan haarmonis yang terkait dengan komposisi dan instrumentasinya. Pada dasarnya, seseorang dapat enikmati musik karena secara psikologis mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan musik dengan baik apabila mampu menghayati permainan dengan baik. Seorang pemain musik apapun tidak akan maksimal menggunakan instrumen yang
64
dimainkannya jika tidak mampu menghayati permainan musik tersebut dengan baik walaupun secara teknis orang tersebut mahir dalam memainkannya. Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak Toba di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain musik maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita” 22 yang artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi setiap saat sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan diri kita sendiri. Dengan demikian, maka kita harus merawat, menjaga, dan memeperlakukan instrumen dengan baik. Selain itu, musik pada upacara adat perkawinan dapat berfungsi sebagai media untuk penghayatan estetis, hal ini dapat dilihat dari peristiwa manortor pada saat akan menyerahkan ulos kepada pengantin. Pada umumnya tidak semua orang Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pelajaran manortor, tetapi kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselaarasan antara gerakan tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan iraman musik yang di mainkan oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan itu muncul karena adaya pengahayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan alunan musik yang dimainkan.
3.3.3 Fungsi hiburan Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai aspek kehidupannya. Hiburan adalah suatu kegiatan yang menyenangkaan hati.
22
Lihat wawancara Bonggud dengan Guntur Sitohang 2011.
65
Musik sebagai salah satu cabang seni juga memiliki fungsi menyenangkan hati, membuat rasa puas akan irama, bahasa melodi, atau keteraturan dari harmoninya. Pada hakekatnya hiburan tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang diligkupi rasa duka atau memiliki beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat dinikmati oleh orang yang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk menyaksikan atau mendengarkan hiburan tersebut. Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada saat bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acaraacara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat non-formal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi maupun golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang ditentukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu luang. Berkaitan dengan konteks hiburan tersebut, musik pada upacaraa perkawinan
berfungsi sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang
sudah sering dipakai dalam seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal, maupun non-formal. Sebagai wujud fungsi musik perkawinan sebagai media hiburan dalam konteks formal dapat dilihat ketika musik perkawinan menjadi instrumen pokok pada saat acara adat, dalam konteks ini ialah upacara adat
66
perkawinan dan bisa disaksikaan oleh para undangan yang menghadiri pesta adat perkawinan tersebut.
3.3.4 Fungsi komunikasi Musik sudah dari sejak dahulu digunakan sebagai alat komunikasi baik dalam keadaan damai maupun perang. Bunyi-bunyi teratur, berpola ritmik, dan menggunakan alur-alur melodi menandakan adanya fungsi komunikasi dalam musik. Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah dianggap mengkomunikasikan sesuatu.23 Dalam hal ini, fungsi musik pada upacara adat perkawinan sebagai media komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi secara vertikal dan komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni komunikasi antara manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara horizontal yakni komunikasi antara manusia dengan sesama. Sebagai bentuk komunikasi yang bersifat vertikal dapat kita lihat ketika musik memainkan repertoar gondang tertentu seperti repertoar Gondang Somba-somba
yang memiliki makna
penghormatan dan penyembahan kepada sang Pencipta, dimana sang Pencipta dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan kepada semua yang hadir pada acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang bersifat horizontal dapat dilihat pada saat sipargonsi memainkan repertoar
seperti repertoar Gondang Elek-elek,
Gondang Liat yang mencerminkan komunikasi antara pargonsi (pemain musik) dengan panortor (orang yang menari).
23
Lihat Panggabean, 1996:86
67
3.3.5 Fungsi perlambangan Dalam berbagai budaya bangsa yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka, musik digunakan sebagai sarana mewujudkan simbol-simbol dari nilai-nilai tradisi dan budaya setempat. Kesenangan, kesedihan, kesetiaan, kepatuhan, penghormatan, rasa bangga, atau perasaan-perasaan khas mereka disimbolkan melalui musik baik secara sendiri maupun menjadi bagian dari tari, syair, dan upacara. Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik dapat berfungsi sebagai perrlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai tingkah laku, orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil, yang terkesan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal tersebut bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar yang disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya repertoar gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan lirik yang sangat rapat dengan tempo dan durasi yang berbeda-beda. Hal ini membuktikan bahwa musik dapat menunjukkan identitas dari masyarakat pendukungnya, dan musik atau repertoar yang mereka sajikan sesungguhnya melambangan gambaran umum tentang tingkah laku dari masyarakat Batak Toba itu sendiri. Melalui repertoar gondang yang dimainkan juga dapat diketahui bahwa repertoar tersebut adalah lambang/identitas dari kelompok tertentu, misalnya
24
Alan P. Merriam, 1964, hal. 119-222
68
gondang sampur marmeme atau pasu-pasua dimana kelompok hula-hula manortor bersama dengan hasuhutan maka gerakan mengangkat tangan sejajar bahu dengan posisi telungkup adalah melambangkan bahwa hula-hula adalah sumber berkat bagi borunya.
3.3.6 Fungsi reaksi jasmani Fungsi musikal musik pada upacara perkawinan sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya sebagai pengungkapaan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis, karena reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan emosional, dan emosional tersebut yang kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani. Sebagai wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat dilihat dengan mengambil contoh pada saat manortor pada pesta adat perkawinan masyaraakat Batak Toba. Ketika pemain musik (pargonsi) memainkan musik dengan repertoar yang baik, maka sipanortor akan manortor kegirangan sambil mengeluarkan seruan “eee.. mmada...” yang secara harafiah diartikan “ya inilah kegembiraan kita.” Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi (pemusik) kurang keindahannya bagi panortor, maka dengan spontan para audiance akan mendapat teriakan dan sorakan negatif dari para panortor. Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa nikmat atau tidaknya sajian sebuah musik akan memperoleh reaksi jasmani positif maupun negatif pula dari orang yang mendengarkan.
69
3.4 Musik pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba sebagai Kajian Kontinuitas dan Perubahan 3.4.1 Kajian perubahan musik pada upacara adat perkawinan Dalam pembahasan ini penulis mefokuskan ensambel musik yang berkembang pada masyarakat Batak Toba. Dalam hal ini penulis memfokuskan kajian pada musik yang masih berlanjut hingga sekarang ini pada penggunaannya dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Penulis akan mengkaji musik yang digunakan pada upacara adat perkaawinan di Kota Medan mulai dari era 80-an hingga sekarang. Ada yang berlanjut dan ada perubahan yang terjadi pada musik yang dipakai dalam upacara adat perkawinan di Kota Medan. Seperti menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto, 1992:21). Musik yang pada era 80-an dengan pada era zaman sekarang telah mengalami perubahan dan perkembangan dalam struktur musiknya. Seperti hasil wawancara dengan Marsius Sitohang selaku dosen uning-uningan di Departemen Etnomusikilogi bahwa pada era 80-an musik perkawinan terbagi menjadi 3 (tiga) bagian; yakni gondang sabangunan, uning-uningan, dan musik tiup. Penggunaan dari ketiga bagian musik tersebut dimainkan harus sesuai dengan rasa dan perpaduan yang cocok pada saat proses mangulosi berlangsung, dengan kata lain ada saatnya masing-masing dari bagian musik tersebut dimainkan. Namun setelah jaman opera masuk dan berkembang, mulailah terjadi perubahan dari segi struktur musiknya. Musik yang di pakai telah terjadi pencampuran, seperti mulai berlakunya
70
permainan sulim dengan taganing, hasapi, doal, garantung, hesek. Mulai dari tahun 90-an disitulah mulai terjadi perbahan dalam struktur musiknya, ada yang tetap digunakan, ada yang tidak lagi digunakan, dan telah terjadi pengkolaborasian dengan alat musik modern seperti zaman sekarang ini.
Tabel 1. Struktur musik perkawinan era 80-an Ensambel
Instrumen
Sifat
Gondang
Taganing
Berdiri sendiri
sabangunan
Sarune Ogung (oloan ihutan, panggoran, doal) Hesek
Uning-uningan
Garantung
Berdiri sendiri
Sulim Hasapi Hesek Musik tiup
Terompet
Berdiri sendiri
Tuba Trombone drum tenor
71
Tabel 2. Struktur musik perkawinan era 90-an Ensambel
Instrumen
Sifat
Vokal
Musik tiup
Terompet
Campuran
Sulim
berasal
Taganing
gondang
Ogung
sabangunan
Hasapi
gondang
Hesek
dan musik tiup
yang Lazimnya dari repertoar saat
pada
mangulosi
dan telah
terdapat
hasapi nyanyian, diiringi
oleh
vokal dan musik.
Tabel 3. Struktur musik perkawinan era 2000-an Ensambel
Instrumen
Sifat
Vokal
Musik
Terompet
Telah
Saxophone
pengkolaborasian
digunakan
makin
Taganing
dengan alat musik bervariasi;
lagu
Hasapi
modern.
terjadi Lagu
yang
Batak Toba, lagu
Kibod
pop, lagu pop diluar
Sulim
tradisi Batak Toba. Jenis makin yakni: grup.
72
vokal
pun
beragam, solo,
trio,
3.4.2 Kajian kontinuitas musik pada upacara adat perkawinan Dalam perannya musik merupakan wadah yang digunakan dalam proses manortor dalam upacara adat perkawinan. Terdapat nama gondang yang dipakai selama proses manortor berlangsung. Nama gondang yang dipakai dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba dari dahulu hingga sekarang masih tetap ada dan sama; yakni gondang mula-mula, gondang somba-somba, gondang elek-elek, gondang liat-liat, gondang hasahatan. Akan tetapi lagu yang diapakai tidak sama dengan lagu yang dimainkan pada gondang hasapi maupun gondang sabangunan. Lagu-lagu dalam musik berasal dari lagu-lagu rakyat maupun lagu-lagu lainnya di luar tradisi Batak Toba namun dapat dikelompokkan kedalam gondanggondang tertentu, misalnya gondang somba-somba pada musik tiup diambil dari melodi lagu opera begitu juga dengan gondang lainnya dapat diambil dari lagu-lagu rakyat yang konteksnya sesuai dengan konteks gondang.
73
BAB IV TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI
4.1 Transkripsi Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.25 Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu. Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak tersedia sistem penulisan notasi musik.26
25
Nettl, op. cit. 98. Supanggah, op. cit. 13.
26
74
Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik (Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan: a.
Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.
b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat Seeger, 1958). c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.27 Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh
27
Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph, sonagraph, dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat menganalisis suara secara sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada, amplitudo, dan spektrum bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan tetapi sekalipun peralatan ini mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari informasi yang diberikannya, dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan alat ini. Di satu sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan (sehingga sulit untuk dipelajari), artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya tangkap telinga manusia, padahal sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat diterima oleh indera pendengaran manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah untuk mencatat hal-hal yang esensial, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial. Untuk itulah kemudian penggunaan notasi (Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai sesuai kepentingan dan kegunaannya. Ibid., 14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie, The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan Publisher Limited, 1980), 117.
75
Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.28 Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciriciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan, tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.29 Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan materi yang bernilai untuk perbandingan. 30 Lagipula, “Transcription, therefore, are needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.31 Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didegar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik ke
28
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113. 29 Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts (Chicago: University Press, 1983), 16. 30 Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society of Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316. 31 Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.
76
dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika musik itu disajikan.32 Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya. Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive) dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive). Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya secara lisan). Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.33 Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan pertimbangan bahwa: a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem penulisan musik 32
Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam mentranskripsikan suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99. 33 Ibid., 99.
77
b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan notasi balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada budaya dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggi-rendahnya nada pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam membedakan durasi sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tanda-tanda musik lainnya yang secara umum lebih mudah dipahami oleh pembaca, dan tentu saja hal ini akan lebih memudahkan dalam melakukan kerja analisis. 4.2 Analisis Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen.34 Tujuannya ialah untuk menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud. Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya, dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan, mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.35 Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya 34
Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77. 35 Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
78
analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal tunggal yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis musik secara menyeluruh. There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of the music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an this is familiarity with the music.36 Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris: form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (Inggris: rhythm).37 Dalam melakukan analisis, dapat juga dikombinasikan dengan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari William P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl. Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai dengan tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap nada dalam melodi 36
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons Ltd, 1987), 237. 37 Willy Apel, op. cit., 811.
79
memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis. Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari: (1) tangga nada (Inggris: modus), (2) nada dasar (Inggris: pitch centre), (3) wilayah nada (Inggris: range), (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa, (7) formula-formula melodik, (8) kontur, (9) durasi, (10) ritme, (11) frase dan kalimat, serta (12) periode atau siklus. Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu: (1) tempo, (2) pulsa, (3) ketukan, (4) pola dan motif, serta (5) birama.38 Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi
38
Malm, op. cit., 7.
80
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut: (1) perbendaharaan nada, (2) tangga nada (Inggris: modus), (3) tonalitas, (4) interval, (5) kantur melodi, (6) ritme, (7) tempo, dan (8) bentuk.39
4.3 Pemilihan Sampel Lagu Dalam kaian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari Willian P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm, penulis hanya mengambil beberapa unsur pokok saja, yaitu: 1) Tangga nada 2) Modus 3) Wilayah nada 4) Interval 5) Pola kadensa 6) Formula melodi (bentuk) 7) Identifikasi tema (thematic material)
39
Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149.
81
8) Kontur melodi Lagu Borhat ma dainang yang akan penulis transkripsikan dan analisi pada bagian bab ini sebagai salah satu lagu/nyanyian pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan penulis dalam memilih komposisi lagu tersebut utuk di analisis, yaitu karena: 1. Menurut penulis, pada saat pemberian ulos hela merupakan bagian upacara adat yang penulis rasa lebih menyentuh daripada bagian rangkaian pemberian ulos lainnya. 2. Lagu Borhat ma dainang merupakan lagu yang sangat populer, dan di setiap lokasi penelitian penulis selalu terdapat lagu tersebut pada ucara adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Kota Medan.
4.4 Model Notasi Notasi yang digunakan untuk mentranskripsi lagu Borhat ma dainang adalah notasi Barat. Notasi ini merupakan notasi yang sudah baku dan sudah umum. Di dalamnya terdapat beberapa simbol-simbol yang digunakan dalam partitur notasi balok dari lagu-lagu di atas. Adapun beberapa simbol tersebut akan diuraikan secara rinci di bawah ini. 1.
Menunjukkan garis paranada dimana terdapat lima buah garis paranada dan empat buah spasi. 2.
82
Gambar yang paling kiri menunjukkan tanda kunci (key signature) G, dimana pada garis paranada kedua dari bawah merupakan nada G. Gambar yang ditengah merupakan tanda kres yang berarti nada dasarnya adalah G. Sedangkan gambar yang paling kanan menunjukkan birama 4/4 artinya dalam setiap birama memiliki empat ketuk not seperempat. 3.
Gambar tersebut menandakan not penuh (whole note), artinya nada tersebut memiliki nilai sebanyak empat ketuk. 4.
Gambar tersebut menandakan not seperempat (quarter note), artinya nada tersebut memiliki nilai sebanyak satu ketuk. 5.
Gambar tersebut menandakan not seperdelapan (eighth note), artinya nada tersebut memiliki nilai sebanyak setengah ketuk. 5.
83
Gambar tersebut menandakan not triol pada birama 4/4, artinya nada tersebut memiliki 3 nada dalam 1 ketuk. 6.
Gambar tersebut menandakan not seperenambelas (sixteenth note), artinya nada tersebut memiliki nilai sebanyak seperempat ketuk.
4.5 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi) Dalam pembahasan analisis musik pada saat penyerahan ulos (mangulosi). Mangulosi merupakan proses mengalungkan kain ulos, kain adat Batak ke pundak pengantin. Mangulosi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, baik yang memberi maupun yang menerima harus mengerti makna dari pemberian ulos tersebut. Kain ulos itu sendiri memiliki makna memberi perlindungan terhadap segala cuaca dan keadaan yang dipercayai oleh suku Batak, sehingga pemberian ulos merupakan simbol pemberian berkat dan perlindungaan. Pemberian ulos pada upacara perkawinan Batak Toba banyak sekali, seperti ulos pansamot, ulos holong, ulos hela, ulos bere, ulos kepada ale-ale, dan sebagainya. Dalam kajian ini, penulis mengambil sampel pada saat penyerahan ulos hela. Penyampaian ulos hela ini merupakan pemberian nasihat dan umpasa-umpasa
84
dari orang tua pengantin perempuan kepada orang yang menikah. Contoh pemberian nasihat dari orang tua pengantin perempuan kepada kedua mempelai: Nunga dipadomu Debata hamu gabe sada Ripe Naimbaru, Sai ganjang ma umurmu, sai Tuhanta ma namangaramoti hamu dingolumu, dao ma nasa parsahitan. Ulos Nahapal ma Uloson, sai dipahapal Debata ma dihamu holong ni roha dohot Dame i. Asa songon nidok ni umpama ma: “Pege sangkarimpang, Hunik sahadang-hadangan, mangangkat ma hamu rap tuginjang, manimbung rap tu toru tongtong satahi saoloan. Sinimbur ni pangkat ma tu sinimbur ni hotang, tudia pe hamu mangalangka sai mamasu-masu ma Tuhanta, disi ma hamu dapotan parsaulian.”
Selain berupa kata-kata nasihat, orang tua pun memberikan hata ni umpasa, umpasa merupakan rangkaian kata-kata doa, bisa semacam pantun atau puisi yang di dalamnya terdapat pernyataan restu, doa, dan harapan bagi orang yang mendengarnya (dalam hal ini yaitu kedua mempelai). Contoh hata ni umpasa adalah sebagai berikut: Bintang na rumiris Akkup ni ombul na sumorop Anak pe di hamu deak riris
85
Boru deak torop Tubu ma hariara Di olang-olang ni huta Sai tubu ma di hamu anak na sangap Dohot boru na martua Sahat-sahat ni solu Sahat ma tu bontean Leleng ma hita mangolu Sahat tu panggabean Setelah orang tua dari pihak parboru memberikan kata-kata nasihat dan hata ni umpasa, mereka akan menyanyikan lagu sebagai tanda bahwa orang tua dari pengantin perempuan telah mengikhlaskan puterinya untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Salah satunya Borhat ma dainang, yang akan menjadi bahan analisis penulis. Maka orang tua pengantin perempuan akan meminta musik kepada pargonsi (pemusik) dengan berkata: “di hamu parmusik nami, ala na nuaeng pasahat ulos ma hami tu boru dohot hela nami, bahen hamu ma ende Borhat ma dainang”
86
Gambar 11. Pemberian ulos hela
4.6.1
Analisis tangga nada Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Nettl
bahwa
cara-cara
untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing nada tersebut dalam lagu. Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonik (dua nada), tritonic (tiga nada), tetratonik (empat), pentatonik (lima nada), heksatonic (enam nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja.40 Menurut Malm, mendeskripsikan tangga nada adalah menyusun semua nada yang dipakai dalam melodi suatu lagu. Dengan demikian penulis akan menyusun
40
Nettl, Theory and Method. op. cit., 145.
87
nada-nada yang terdapat dalam melodi lagu Borhat ma dainang mulai dari nada terendah hingga nada tertinggi, termasuk nada-nada oktaf.
4.6.1.1 Tangga nada lagu Borhat ma dainang Penulis mengurutkan semua nada yang dipakai dalam lagu ini, kemudian menyusunnya ke dalam garis paranada yang disusun sesuai dengan nada-nada pada lagu Borhat ma dainang. Setelah dianalisa, pada lagu ini terdapat enam nada dan ditambah satu nada oktaf. Nada tersebut adalah nada G, A, B, C, D, E, F#, G’.
4.6.2
Wilayah nada lagu Borhat ma dainang Untuk membuat wilayah nada yang terdapat pada lagu Borhat ma dainang
ini, penulis berpedoman kepada tangga nada yang sudah dibuat ke dalam bentuk partitur yang terdapat pada sub-bab sebelumnya. Lagu Borhat ma dainang memiliki wilayah nada dari nada D ke D’. Jarak dari nada D ke D’ adalah sebanyak enam laras sehingga jumlah frekuensi jarak nada tersebut adalah 1200 cent.
4.6.3
Nada dasar (Pitch Center)
88
Dalam menentukan nada dasar pada setiap lagu yang akan ditranskripsikan, penulis berpedoman kepada hasil rekaman yang dimainkan di lapangan. Atas dasar itu, kemudian penulis mengubahnya ke dalam bentuk partitur. Namun dalam mentranskripsikan lagu Borhat ma dainang, penulis terlebih dahulu berpedoman kepada partitur yang sudah ada, kemudian mencocokkannya dengan hasil rekaman yang ada di lapangan. Nada dasar dalam partitur lagu Borhat ma dainang adalah G.
4.6.4
Jumlah nada (frequency of note) Jumlah nada merupakan banyaknya pemakaian nada yang dipakai dalam
sebuah komposisi. Menurut Nettl (1964:146), untuk menggambarkan jumlah nadanada umumnya disampaikan lewat notasi yang ditulis pada garis paranada. Dalam hal ini penulis akan menyusun jumlah nada yang dipakai sesuai dengan tangga nada yang telah dibuat sebelumnya.
4.6.4.1 Jumlah nada lagu Borhat ma dainang Frekuensi pemakaian nada pada lagu ini dapat dilihat pada garis nada di bawah ini:
4.6.5
Interval
89
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan hukum musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang dipakai, sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut dalam laras, seperti pada tabel berikut: Simbol interval
Jumlah
Jumlah Nama dan jenis interval
Contoh
nada
Laras
nada
1P
1
0
Prime perfect
C-C
2M
2
1
Sekunda mayor
C-D
3M
3
2
Terts mayor
C-E
4P
4
2,5
Kwart perfect
C-F
5P
5
3,5
Kwint perfect
C-G
6M
6
4,5
Sekta mayor
C-A
7M
7
5,5
Septime mayor
C-B
8P
8
6,5
Oktaf perfect
C-C’
9M
9
7,5
None mayor
C-D’
10M
10
8,5
Decime mayor
C-E’
Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval kecil (minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang setengah laras menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval besar (mayor, M) dan murni (perfect, P) ditambahsetengah laras menjadi interval lebih (augumentasi, Ag), sedangkan interval murni (perfect) tidak bisa menjadi interval besar ataupun kecil. Rumus interval
dim+ ½ laras = m
m + ½ laras = M
M + ½ laras = Ag
m – ½ laras = dim
M – ½ laras = m
Ag – ½ laras = M
90
P – ½ laras = dim
P + ½ laras = Ag
Dengan demikian, berdasarkan hukum interval diatas maka interval untuk komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Frekuensi Pemakaian Interval Lagu Borhat ma dainang Interval
Naik
Turun
jumlah
1dim
2
2
1P
81
81
2M
23
49
72
2m
4
13
17
3M
4
3m
4
4
3aug
1
5
1
1
4P
2
2
5P
1
1
7aug
2
2
Total
4.6.6
187
Formula melodi Melodi berasal dari bahasa Yunani yaitu meloidia yang artinya bernyanyi
atau berteriak. Namun berdasarkan kamus online Virginia Tech Multimedia Music Dictionary, melodi adalah:
91
A rhythmically organized sequence of single tones so related to one another as to make up a particular phrase or idea. [sebuah nada yang disusun secara berurutan sehingga setiap nada berkaitan dan membentuk sebuah frasa atau ide tertentu]
Dalam mendeskripsikan fomula melodik, ada tiga hal penting yang akan dibahas yaitu bentuk, frasa, dan motif. Bentuk adalah suatu aspek yang menguraikan tentang organisasi musikal. Unit terkecil dari suatu melodi disebut dengan motif, yaitu tiga nada atau lebih yang menjadi ide sebagai pembentukan melodi. Gabungan dari motif adalah semi frasa, dan gabungan dari semi frasa disebut dengan frasa (kalimat). Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi garapan formula melodi sebuah komposisi musik. Menurut William P Malm dalam bukunya Musical Cultures of The Pasific The Near East and Asia (1977:8), yaitu: a. Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang. b. Iteratif yaitu
nyanyian dengan formula melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian. c. Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting. d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic.
92
e. kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu baru, ini disebut progressive.41 Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology, mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan bentuk suatu komposisi, ada beberapa patokan yang dipakai untuk membagina ke dalam berbagai bagian, yaitu: 1. Pengulangan bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu unit. 2. Frasa-frasa istirahat bisa menunjukkan batas akhir suatu unit. 3. Pengulangan dengan perubahan (misal, transposisi lagu atau pengulangan pola ritmis dengan nada-nada yang lain). 4. Satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris. Dalam hal ini penulis membagi bentuk dalam lagu-lagu yang dianalisa dengan patokan poin kedua diatas, yaitu membagi dengan berdasarkan frasa-frasa istirahat.
4.6.6.1 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif pada Lagu Borhat ma dainang Birama
Frasa
1-4
A
5-8
B
9-12
C
13-16
B1
17-20
D
21-24
E
25-28
A1
29-32
B2
41
Malm., op. cit., 17.
93
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa A
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa A1
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B1
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B2
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa C
94
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa D
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa E
4.6.7
Kadens Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik,
maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadenskadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau formula yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang menghasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna, kadens gantung) dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna). Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap), sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan) disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titikkoma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah frase konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).
95
4.6.7.1 Pola kadensa lagu Borhat ma dainang Pola semi kadens (half cadence) terdapat pada:
Birama ke-2
Birama ke-6
Birama ke-10
Birama ke-14
Birama ke-22
Birama ke-26
Birama ke-30
Pola kadens penuh (full cadence) yaitu terdapat pada :
Birama ke-4
Birama ke-8
Birama ke-12
Birama ke-16 96
Birama ke-24
Birama ke-28
Birama ke-32 4.6.8
Kantur Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik
yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur didasarkan pada bentuk melodi musiknya. a. Bila gerak melodinya naik dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi disebut ascending; b. Bila gerak melodinya menurun dari nada yang tinggi ke nada yang lebih rendah disebut descending; c. Bila gerak melodinya melengkung bergelombang/melengkung dari nada yang rendah ke nada yang tinggi kembali ke nada yang rendah, atau sebaliknya disebut pendulous; d. Bila gerak melodinya berjenjang seperti anak tangga dari nada yang rendah ke nada yang lebih kemudian sejajar disebut terraced; e. dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas atau bersifat tetap disebut static.
97
4.6.8.1 Kantur pada lagu Borhat ma dainang
Kontur di atas menunjukkan melodi pada lagu Borhat ma dainang ini bersifat Pendulous, dimana melodi awalnya berada pada nada yang lebih tinggi, kemudian bergerak ke nada yang lebih rendah dan selanjutnya kembali ke nada yang lebih tinggi. Terdapat pada birama ke-10 sampai pada birama ke-11.
Sedangkan bentuk kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat Pendoulos yang tidak hanya menggambarkan nada dari yang lebih tinggi menuju nada yang lebih rendah, kemudian naik kembali menuju nada yang lebih tinggi. Tetapi dilanjut dengan pergerakan menuju ke nada yang lebih rendah. Notasi di atas berada pada birama yang ke-24 sampai birama yang ke-25 pada lagu Borhat ma dainang.
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat descending, yaitu dari nada yang lebih tinggi menuju nada yang lebih rendah. Notasi tersebut terdapat pada birama ke-20.
98
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat statis, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap. Notasi tersebut terdapat pada birama yang ke-18.
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat teracced, yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga. Terdapat pada birama ke-23.
99
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah dijelaskan tentang musik perkawinan di Kota Medan, maka penulis menyimpulkan bahwa musik perkawinan pada upacara pernikahan adat Batak Toba telah mengalami perubahan dan perkembangan. Ada beberapa instrumen tradisiona Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan mampu bertahan dan ada juga yang beberapa diantaranya mengalami kepunahan, seperti sulim, hasapi, taganing. Masuknya alat musik modern kedalam pengkolaborasian dengan alat musik tradisi sebagai musik yang dipakai dalam upacara adat perkawinan Batak Toba zaman sekarang ini, dipengaruhi karena kebutuhan manusia yang semakin berkembang akan musik pop dan perkembangan zaman. Memang nilai tradisi yang dahulu sudah hampir tidak ditemukan lagi pada zaman sekarang ini. Sebagai salah satu bukti sudah tidak disebutkan lagi nama repertoar untuk musik yang akan dimainkan pada saat penyerahan ulos, melainkan sudah menggunakan lagulagu pop/modern ataupun rohani yang dimainkan oleh pargonsi pada saat proses mangulosi berlangsung. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sudah tidak digunakan lagi gondang sabangunan sebagai musik yang dipakai dalam upacara perkawinan adat. Namun untuk tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi budaya Batak toba, sulim, taganing, dan hasapi masih sering dijumpai pada upacara perkawinan adat
100
Batak Toba, karena alat musik tersebut masih cocok untuk digunakan sebagai pengiring lagu pop/modern. Hal inilah yang dapat dikatakan musik dalam upacara adat perkawinan mengalami pengurangan dalam jenis instrumen tradisi yang dipakai. Dari segi rangkaian upacara adatnya, masih tetap sama dengan zaman sebelum berkembangnya musik modern dikalangan masyarakat Batak Toba, hanya saja yang membedakan ialah rangkaian upacara adat tidak lagi dilakukan berminggu-minggu atau berbulan-bulan karena faktor sanak-saudara yang sudah berjauhan atau banyak yang di perantauan maka upacara adat perkawinan Batak Toba cukup dilakukan selama satu hari yang dinamakan Adat Na Gok atau Ulaon Sadari.
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis mengajukan beberapa saran seperti berikut ini : 1. Jikalau ada di antara pembaca yang tertarik dengan kajian tulisan ini, penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut tentang pembahasan ini, karena setiap periode pada waktu penggunaan instrumen
khususnya
dalam
konteks
kebudayaan
pasti
selalu
memunculkan fenomena baru dalam setiap aspek kkehidupan masyarakat itu sendiri. 2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya kita bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus musik tradisi yang turun-temurun diajarkan oleh para musisi pendahulu. Aturan dan ketetapan adat yang terdahulu harus kembali di rancang agar
101
3. semakin lama tidak semakin punah tradisi kebudayaan khususnya pada kebudayaan masyarakat Batak Toba. Namun tetap diimbangi dengan kebutuhan masyarakat masa kini, tanpa menghilangkan nilai tradisi sebagai suku Batak Toba.
102
DAFTAR PUSTAKA Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie, The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan Publisher Limited, 1980), 117. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dyson, L (dalam Sujarwa). 1987. Manusia dan Seni Budaya. Jakarta: Balai Pustaka. Gultom, D.J. 1992. Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan: Armanda. Kaplan, David and Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya. [trans]. Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Gramedia Pustaka Utama.
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi (ed). Jakarta. Rineka Cipta. Kountur, Rony, D.M.S., Ph.D. 2003. Metode Penelitian: untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Teruna Grafika. Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994), 4. Meriam, Alan P. 1964. The Anthropology Of Music. United States Of America: University Press. Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nettl, Bruno.1964. Theory and Method in Ethnousicology. New York: The Free Press of Glencoe. Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society of Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316. Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109. Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.
103
Sidabutar, Bonggud. 2014. Sulim Batak TobaSebagai Kajian Kontinuitas dan Perubahan. Medan, Universitas Sumatera Utara. Simangunsong, Emmi. 2002. “Ensambel Gondang Sabangunan Batak Toba: Perhubungan Di antara Muzik, Tortor Dan Adat Dalihan Na Tolu.‟ Unpublish M.A. thesis, University Sains Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia. Takari, Muhammad. 2004. Interelasi Budaya Musik Batak dan Melayu di Sumatera Utara dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi PengkajianKebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen.
104
DAFTAR WEBSITE
http://kajiseni.blogspot.com/2012/10/tradisi-gondang-sabangunan-dan-tortor.html https://polban.academia.edu/Aikaaikasiregar/Activity http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20345/1/Appendix.pdf www.gobatak.com www. meiracindy.blogspot.com www.rolandhutajulu.blogspot.com/adat-perkawinan-batak-toba journal of Emmi Simangunsong “Muzik Gondang Sabangunan dan Peranannya dalam Upacara Pesta Adat Batak Toba: Satu Pengenalan”
105
DATA INFORMAN
1.
2.
3.
4.
Nama
: Coy Manurung
Alamat
: Perumnas Mandala
Umur
: 32 tahun
Pekerjaan
: Pargonsi
Nama
: Juniro Sitanggang
Alamat
: Jalan Sei Padang
Umur
: 26 tahun
Pekerjaan
: Pargonsi/Mahasiswa
Nama
: Bapak Kembar
Alamat
: Simpang Marindal
Umur
: 48 tahun
Pekerjaan
: Raja Parhata/Wiraswasta
Nama
: Marsius Sihotang
Alamat
: Jalan Sisingamangaraja. Tanjung Morawa
Umur
: 54 Tahun
Pekerjaan
: Dosen Etnomusikologi USU dan Tokoh Musik Batak Toba
106
107