MUSIK DALAM UPACARA MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN: KEBERLANJUTAN DAN PERUBAHAN Skripsi Sarjana Dikerjakan o l e h
IRMAN F. SAPUTRA NIM : 020707035
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2008
Universitas Sumatera Utara
MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H IRMAN F. SAPUTRA NIM 020707035 Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D. NIP 131 842 851
Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP 131 785 636
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2008
Universitas Sumatera Utara
Disetujui oleh: FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,
Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP 131 785 636
Universitas Sumatera Utara
Pengesahan
Diterima oleh: Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan.
Pada Hari Tanggal
: Selasa : 24 Juni 2008
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP. 132 098 531
Panitia Ujian No. Nama
Tandantangan
1.
Dra. Frida Deliana, M.Si.
(
)
2.
Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
(
)
3.
Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.d.
(
)
4.
Drs. M. Takari, M.Hum.
(
)
5.
Drs. Torang Naiborhu
(
)
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Teriring ucap syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam atas kuasaNya yang membuat segalanya menjadi mungkin dan atas kuasaNya jugalah skripsi ini bisa terwujud. Skripsi yang berjudul MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN ini merupakan kulminasi dari perjuangan panjang menimba pengetahuan dalam bidang etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara yang penulis jalani selama sekitar enam tahun. Namun tak berarti juga ini adalah pengakhiran dari proses belajar penulis. Etnomusikologi telah mengubah pandangan penulis tentang musik. Dari tidak tahu menjadi tahu dan faham, dari tidak suka menjadi sangat cinta, dan dari pikiran yang sempit menjadi luas seluas jagat kebudayaan manusia. Dan semua itu membuat penulis semakin bergiat untuk mencari tahu, memahami dan mencintai tradisi musik bersama segala fenomena budayanya dengan rasa penghargaan yang tinggi tanpa rasa keakuan yang mengarah pada pandangan bahwa satu kebudayaan lebih baik dari yang lainnya. Skripsi ini juga adalah implementasi nyata dari apa yang selama ini dipelajari. Prinsip-prinsip disiplin etnomusikologi, metode dan teknik-teknik penelitian didukung oleh teori-teori dan konsep melebur menjadi satu. Semoga skripsi ini bisa memberi kontribusi bagi kemajuan disiplin etnomusikologi di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Dengan segala kerendahan hati, kepada yang tercantum di bawah ini dan juga kepada siapa saja yang tak dapat disebutkan satu per satu, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta dan dukungannya kepada penulis. Beberapa di antaranya antara lain: 1. Yang terhormat ibunda Rd. Siti Zainab bt. Rd. Soleh dan ayahanda Sudirman Rd. Sastradipura atas cinta dan do’anya yang tak terhingga. Juga kepada tétéh Santy Susanty, Winda Widia As Tuti dan Susi Hendarti dan a’ Achmad, S.Pd. yang tak henti mengalirkan dukungan dan semangatnya. 2. Yang terhormat ibunda Hj. Rosni Mamat Sugiman atas kasih sayangnya selama penulis tinggal di rumah beliau. Juga keluarga téh Nining Ismayani, S.E., Rizal M. Renaldi, S.P. dan si cantik Naila Fathma Chairunisa. 3. Yang terhormat kang Anton Pribadi Hadimulyono, S.E.,M.M. yang tak pernah bosan memberikan dukungan dalam bentuk material dan immaterial. Juga kepada téh Ineu Agustini dan si cantik Shabrina Putri Pribadi Hadimulyono serta Pak Sedang dan Iwan yang menjadi teman sehari-hari penulis di rumah. 4. Yang terhormat guru sekaligus sahabat, Prof. Mauly Purba, Ph.D. yang juga merupakan Pembimbing Skripsi I yang membimbing dan mengajarkan banyak hal kepada penulis. Terimakasih atas diskusi-diskusi yang menarik selama ini, yang telah membuka lebar pengetahuan penulis dalam bidang etnomusikologi.
Universitas Sumatera Utara
5. Yang terhormat Dra. Frida Deliana, M. Si. yang merupakan
Dosen
Pembimbing Akademik dan Pembimbing Skripsi II yang banyak memberi dukungan dan semangat kepada penulis. 6. Yang terhormat Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang telah memberi kemudahan administrasi selama penulis kuliah di Departemen Etnomusikologi. Terimakasih banyak telah menjadi sahabat dan ibu yang baik sekali bagi penulis. 7. Yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU: Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Drs. Fadlin, Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Drs. Dermawan Purba, M.Si., Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Arifni Netrirosa, S.ST., dan seluruh Dosen Luar Biasa dan dosen dari Departemen/Fakultas lain yang mengajar di Departemen Etnomusikologi yang membuka luas wawasan dan pengetahuan, juga mengajari penulis melihat dengan cara pandang yang baru. 8. Yang terhormat kang Ade Herdiyat, S.Sn. dan kang Ayi Chidmat Kurnia selaku informan yang banyak sekali memberi informasi untuk skripsi ini dan sempat mengajari penulis bermain gamelan dengan baik. Juga kepada keluarga besar Paguyuban Wargi Sunda atas kemudahannya dalam mengakses informasi berkaitan dengan paguyuban dan warga Sunda di Sumatera Utara. 9. Kepada teman-teman mahasiswa dan alumni Etnomusikologi USU angkatan 2002: Intan M. Sinambela, S.Sn., Riga Sumatri, S.Sn. Restawati Manurung,
Universitas Sumatera Utara
S.Sn., Decy Christy, S.Sn., Tommy W. Manurung, S.Sn., Elisabeth Sitompul, Nelia Sihombing,S.Sn., Herbert F. Simanjuntak, S.Sn. Senovian Butar-butar, Irbet N. Barus,S.Sn., Ophir Yanto Sihombing, S.Sn., Siti Harviah Saragih, Hotmauli Manalu, Galumbang Sihombing… dan terkhusus kepada sahabat terdekat dan terbaik yang tak pernah bosan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini: Intan M. Sinambela. 10. Kepada alumni Etnomusikologi USU yang kepada mereka penulis banyak belajar: Drs. Asep Nata, Edward Fransisco Bangun, S.Sn., Franmi Karto Sinulingga, S.Sn., Karto Situmorang, S.Sn., Tanjung Simanjuntak, S.Sn. 11. Kepada adik-adik kelas teman diskusi dan teman jalan yang seru: Rie Purnamasari, Rofina ‘pienz’
Fitrian Lubis, Saidul Irfan Hutabarat, Brata
Andreas Simamora, Welly Simbolon, Fera M. Sitompul, Ferry E. Panggabean, Markus Bona Sirait, Martahan Sitohang, Andy Mangaritua Sirait, Daniel Limbong, Jeffry Hutagalung, Ucok Silalahi, Heidy Eveline, Novalinda Tringani, Sansri Nuari dan teman-teman yang lain yang akan terlalu panjang jika disebutkan satu per satu di sini, dan terkhusus pada adik kecil penulis Evi Nenta Sipahutar yang tak pernah bosan memberi semangat pada penulis untuk segera mnyelesaikan skripsi ini. 12. Kepada teman-teman dari institusi lain yang dengan sabar membantu mencarikan buku, artikel, bahan-bahan, informasi, serta mengingatkan dan memberi semangat: Anggi Fauziani Yusuf (Univ. Trisakti), Ramadhan Khairun Nisa (STSN), Salmah bt Ahmad Janab, Nurul Hidayah Samadi dan
Universitas Sumatera Utara
Mohd Husaini Tokimin (Univ. Sains Islam Malaysia). Terimakasih atas email, comments, tulisan di blog masing-masing, dan sms-sms yang terbalas, maupun yang tidak. Itu semua sangat berarti bagi penulis. 13. Kepada sopir angkot, sopir taksi dan abang becak di Kota Medan yang dengan selamat telah mengantar penulis pulang pergi dari rumah ke kampus dan ke mana saja setiap hari, yang oleh karenanya juga berpartisipasi aktif dalam melancarkan segala urusan selama lebih lima tahun penulis tinggal dan menimba ilmu di Kota Medan. 14. Kepada Café Mbak Yanti serta semua orang yang bekerja di sana, tempat makan siang sekaligus tempat diskusi-diskusi panjang tentang segala hal yang menginspirasi penulis untuk terus belajar tentang apa saja. 15. Kepada perpustakaan-perpustakaan, warnet-warnet, toko buku dan semua pegawainya yang memberi kemudahan kepada penulis untuk mencari informasi berkaitan dengan penelusuran kepustakaan dan pengumpulan data dalam rangka penulisan skripsi ini. Terimakasih juga kepada siapa saja yang langsung ataupun tidak langsung terlibat selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semuanya, semoga segala kebaikannya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar isi
ii
BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1
1.2. Pokok Permasalahan
8
1.3. Tujuan Penelitian
9
1.4. Manfaat Penelitian
9
1.5. Konsep
10
1.6. Kerangka Teori
11
1.7. Metode Penelitian
14
1.7.1. Studi Kepustakaan
15
1.7.2. Penelitian Lapangan
16
1.7.3. Kerja Laboratorium
17
1.7.4. Metode Transkripsi
17
1.7.5. Lokasi Penelitian
20
BAB II : ETNOGRAFI MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN 2.1. Tentang Masuknya Masyarakat Sunda di Kota Medan
23
2.2. Paguyuban Wargi Sunda: Penegas Integrasi Masyarakat Sunda di Perantauan
28
2.3. Masyarakat Sunda di Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
BAB III
2.3.1. Mata Pencaharian
32
2.3.2. Sistem Bahasa
32
2.3.3. Sistem Religi
37
2.3.4. Sistem Kekerabatan
41
2.3.5. Sistem Pengetahuan
42
2.3.6. Kesenian
47
: ADAT PERKAWINAN SUNDA 3.1. Perkawinan: Perspektif Adat dan Agama Islam
51
3.2. Tahapan Adat Perkawinan Sunda
53
3.2.1. Neundeun Omong
53
3.2.2. Ngalamar
54
3.2.3. Siraman
56
3.2.4. Seserahan
59
3.2.5. Ngeuyeuk Seureuh
61
3.2.6. Walimah (Akad Nikah)
68
3.2.7. Upacara Mapag Pangantén
70
3.2.8. Numbas
72
3.2.9. Ngunduh Mantu
73
3.3. Tepung Tawar: Bukti Interaksi dengan Budaya Melayu BAB IV
73
: UPACARA MAPAG PANGANTEN 4.1. Upacara Mapag Pangantén
77
Universitas Sumatera Utara
4.1.1. Waktu dan Tempat Upacara
77
4.1.2. Pendukung Upacara
77
4.1.3. Peralatan dan Perlengkapan Upacara
81
4.1.4. Proses Upacara
85
4.2. Musik Dalam Upacara Mapag Pangantén 4.2.1. Gending Bubuka
96
4.2.2. Rajah Lengser
98
4.2.3. Rajah Payung
99
4.2.4. Gending Punggawa
100
4.2.5. Lengser Midang
101
4.2.6. Pajajaran
102
4.3.7. Bagja Diri
103
4.3. Keberlanjutan dan Perubahan
BAB V
96
104
: PENUTUP 5.1. Kesimpulan
111
5.2. Saran
113
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Upacara Adat Mapag Panganten merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Sunda. Secara etimologi, kata mapag dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut. Maka mapag panganten adalah acara menyambut kedatangan pengantin dan keluarganya. Dalam hal ini yang disambut adalah pihak pengantin laki-laki karena pada umumnya upacara perkawinan masyarakat Sunda dilaksanakan di kediaman keluarga pengantin perempuan. Seluruh rangkaian upacara mapag panganten tersebut diiringi oleh musik yang dimainkan oleh gamelan degung, seperangkat gamelan terdiri dari bonang (15-18 gong-chime set), saron (metallophone), jenglong (8 gong-chime set), goong, kendang (double-sided barrel drum set) dan suling degung (end-blown flutes). Studi tentang musik gamelan degung dalam konteks upacara mapag penganten ini menjadi salah satu bagian pokok dalam penelitian ini. Penelusuran historis yang penulis lakukan untuk mengetahui sejak kapan gamelan degung dipakai untuk mengiringi mapag panganten belum menemui titik terang. Mungkin sama tidak jelasnya dengan sejarah gamelan degung itu sendiri. Tjarmedi, seperti yang dikutip Herdini, meyakini bahwa seni degung lahir sekitar abad ke-14, di mana Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran sebagai yang pertama menciptakannya (Herdini 1992:34). Pendapat ini didukung oleh penelitian
Universitas Sumatera Utara
Kumalasari (1981) bahwa upacara-upacara pada jaman kerajaan Pajajaran diiringi oleh gamelan degung. Pendapat ini didasarkan pada naskah carita pantun Sunda yang menurut sebagian ahli perlu dibuktikan lagi (Herdini 1992:34). Pendapat lain muncul dari Atik Soepandi yang menyatakan bahwa gamelan degung berasal dari perkembangan goong renteng 1 yang direkonstruksi oleh Pak Idi, seorang nayaga, menjadi gamelan degung pada sekitar tahun 1920-an (Soepandi, 1974:8). Pendapat ini didasari oleh kesamaan repertoar pada goong renteng dan gamelan degung. Kang Ade Herdiyat dan Kang Ayi, informan yang penulis wawancarai, sepakat bahwa upacara mapag panganten telah dilaksanakan sejak jaman Kerajaan Pajajaran, sekitar abad ke-14. Waktu itu upacara ini hanya dilaksanakan ketika ada putri raja atau keluarga kerajaan yang akan menikah. Tidak ada rakyat biasa yang boleh melaksanakan upacara ini. Namun setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran, upacaraupacara ritual yang tadinya hanya diselenggarakan di lingkungan kerajaan, mulai dilaksanakan oleh masyarakat biasa, meskipun pelaksanaannya terbatas pada orangorang kaya, karena mahalnya biaya upacara. Kang Ayi juga menyakini bahwa gamelan degung telah dipakai dalam mengiringi berbagai upacara sejak jaman kerajaan Pajajaran, termasuk upacara mapag panganten (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007 dan Kang Ayi, 6 Agustus 2007).
1
Istilah goong renteng berasal dari salah satu instrumen berbentuk enam buah gong yang digantung pada sederetan rancak (rak). Ensambel goong renteng terdiri dari kobuang (gong-chimes), saron (metallophones), cecempres (metallophones), beri (gong-chimes), goong alit (gong kecil), dan goong gede (gong besar). Lihat Soepandi (1974), Heins (1977), dan Herdini (1992).
Universitas Sumatera Utara
Upacara mapag panganten dimulai ketika pengatin laki-laki serta rombongan telah datang ke tempat upacara. Pengantin laki-laki didampingi orang tua dan kerabat dekatnya datang beriringan. Rombongan harus menunggu kesiapan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan mapag (menyambut, Ind.). Setelah semuanya siap, Ki Lengser 2 (penetua adat) yang bertindak sebagai pemimpin upacara memberi tanda kepada para panayagan 3 (pemain musik), pager ayu (penari), punggawa (prajurit penjaga), dan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan menyambut kedatangan pengantin laki-laki, bahwa upacara akan segera dilaksanakan. Repertoar gending bubuka menandai dimulainya upacara. Kemudian Ki Lengser mempersilahkan para punggawa untuk mengawal pengantin laki-laki beserta rombongan. Setelah terjadi percakapan antara Ki Lengser dengan ketua rombongan, para pager ayu (penari) yang terdiri dari enam orang kemudian menyambut kedatangan rombongan dengan tarian dan tabur bunga. Di depan rumah sudah menanti mempelai perempuan beserta keluarga. Setelah berhadap-hadapan, ibu mertua menyambutnya dengan mengalungkan bunga. Kemudian kedua mempelai berhadapan dan bersiap akan melaksanakan ritual nincak endog (menginjak telur). Pengantin laki-laki menginjak sebutir telur dan pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki sebagai tanda pengabdian. Selanjutnya,
2
Ki Lengser merupakan jelmaan Ki Semar, seorang tokoh pawayangan yang mengabdikan hidupnya untuk melayani umat manusia (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007) 3 Panayagan adalah bentuk jamak dari nayaga (pemain gamelan, Ind.)
Universitas Sumatera Utara
kedua pengatin membakar harupat 4 dan memecahkan kendi yang berisi air bunga sebagai tanda bahwa segala sifat buruk harus dibakar dan semua masalah yang muncul dalam kehidupan harus dipecahkan bersama-sama. Setelah itu selesai, maka kedua mempelai diiring ke depan pintu guna melaksanakan ritual buka pintu. Buka pintu adalah satu ritual yang melambangkan bahwa pengantin laki-laki akan memasuki rumah dengan tatakrama seperti mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) dan salam. Dengan begitu sahlah pengantin laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga di keluarganya. Dengan berakhirnya buka pintu tersebut, maka berakhir pula rangkaian upacara mapag panganten. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah dan disandingkan di pelaminan untuk sungkeman kepada keluarganya. Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag panganten, terus melaksanakan ritual ini sampai sekarang. Termasuk juga masyarakat Sunda yang telah berpindah tempat dari Tanah Sunda 5 ke pulau Sumatera. Wilayah penelitian akan penulis batasi hanya pada komunitas Sunda di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan. Catatan-catatan mengenai perpindahan orang Sunda ke Sumatera Utara yang penulis dapatkan, menyebutkan bahwa orang Sunda datang pertama kali pada sekitar 4
Harupat adalah batang lidi pohon enau. Ada satu ungkapan bahasa Sunda yang berbunyi: getas harupateun, yang artinya putus harapan. Masyarakat Sunda percaya dengan membakar harupat, maka sifat putus asa (yang disimbolkan oleh harupat yang rapuh) dalam menjalani kehidupan rumahtangga akan hilang dan perceraian pun bisa dihindari. 5 Tanah Sunda sebagai tempat asal orang Sunda sering juga disebut parahyangan (tempat para hyang, dewa, Ind.) atau pasundan (pa-Sunda-an, tempat tinggal orang Sunda). Sekarang menempati wilayah administratif Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan sebagian kecil wilayah DKI Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
awal 1900-an ketika perusahaan perkebunan Deli Matschapij kekurangan pekerja, maka didatangkanlah kuli dari Jawa 6 yang saat itu sedang menderita kemiskinan dan pengangguran (Buiskool 2005:274-5). Sebagian kecil kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, kuli-kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap tinggal dan menetap di Sumatera Utara (Hartono 2005:433) Setelah Kemerdekaan, kebanyakan orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara adalah aparat keamanan (TNI/POLRI) dan pegawai negeri. Namun ada juga yang datang untuk berwiraswasta. Seperti industri sepatu di Cibaduyut, Bandung yang melakukan pemasaran dari-pintu-ke-pintu yang menyebabkan para penjualnya datang ke Kota Medan untuk berjualan sepatu. Komunitas (penjual sepatu) ini tinggal di Medan Selayang dan Medan Polonia. Semakin banyaknya orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara, menimbulkan usaha untuk tetap menjaga identitas ke-Sunda-annya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dirintislah satu institusi adat yang kemudian dikenal dengan nama Paguyuban Wargi Sunda. Sedikit sekali informasi mengenai kapan dan siapa yang berperan dalam pembentukan paguyuban yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini, karena sebagian besar informasi tersebut dituturkan secara lisan, tanpa ada catatan resmi. Beberapa tokoh yang berperan dalam pendirian paguyuban pada masa sebelum kemerdekaan,
6
Selain dari Jawa, Deli Matschapij juga mengimpor kuli orang Cina dan orang India dari P. Penang dan Singapura. Ini dilakukan karena penduduk Sumatera (Melayu dan Batak) tidak tertarik dengan kerja perkebunan. Diperkirakan tiga ratus ribu orang Cina telah didatangkan ke Sumatera antara tahun 1870 s.d. 1930, dan dua puluh ribu orang Jawa didatangkan pada awal 1900-an (Buiskool 2005: 275).
Universitas Sumatera Utara
sempat penulis temui pada tahun 2006 lalu, namun karena usianya yang telah uzur, mereka tidak dapat lagi mengingat kapan tepatnya paguyuban dibentuk. Informasi terakhir yang penulis dapatkan dari informan lain, bahwa paguyuban didirikan pada sekitar tahun 1936. Namun informasi tersebut tidak sempat dikonfirmasikan kebenarannya karena tokoh tersebut telah meninggal dunia pada tahun 2007. Namun dalam Anggaran Dasar Paguyuban yang direkonstruksi pada bulan September 2007, menyebutkan bahwa Paguyuban Wargi Sunda didirikan pertamakali pada 27 Juni 1936 dan “disempurnakan dan diperbaharui” pada tanggal 9 April 2005 (PWS, 2007). Jadi, paguyuban inilah yang melayani dan memelihara keberlanjutan tradisi Sunda selama tujuh dekade terkahir, termasuk upacara adat perkawinan. Literatur mengenai upacara perkawinan adat Sunda pun telah lama dilakukan oleh para penulis dan peneliti. RH. Hasan Mustafa, seorang tokoh adat, mungkin yang pertama menulis hal-hal mengenai adat perkawinan dalam bukunya yang terkenal Bab Adat-adat Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti éta (1913) yang kemudian diterjemahkan oleh Maryati Sastrawijaya menjadi Adat Istiadat Sunda (1996). Buku tersebut merupakan kumpulan adat-adat dalam daur hidup orang Sunda, termasuk adat perkawinan. Peneliti lain yang lebih spesifik membahas adat perkawinan adalah Prawirasuganda (1950) dan Tim Peneliti dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud yang dipimpin oleh Bambang Suwondo (1975). Keduanya menjelaskan secara rinci hal-hal mengenai adat perkawinan orang Sunda.
Universitas Sumatera Utara
Buku terbaru yang membahas adat perkawinan Sunda secara praktis adalah buku Perkawinan Adat Sunda oleh Artati Agoes (2003). Buku ini berisi kiat-kiat bagaimana menyelenggarakan upacara perkawinan adat Sunda pada masa sekarang. Penulis mendapat banyak pengetahuan dari keempat buku hasil penelusuran pustaka yang penulis lakukan tersebut. Baik Mustafa (1913), Prawirasuganda (1950), Suwondo (1975) maupun Agoes (2003) menjelaskan secara komprehensif detil-detil upacara perkawinan adat Sunda. Namun begitu, tak satupun dari keempatnya menjelaskan musik yang mengiringi upacara perkawinan, khususnya upacara mapag panganten. Mustafa bahkan tidak menyinggung upacara mapag panganten, meskipun ritual-ritual setelah akad nikah yang dijelaskannya merupakan bagian dari upacara mapag panganten. Begitu juga dengan Prawirasuganda dan Suwondo. Sedangkan Agoes secara tegas memisahkan upacara sebelum perkawinan, akad nikah, dan upacara mapag panganten sebagai bagian dari acara resepsi perkawinan. Namun tak satupun yang menjelaskan fenomena musikal dalam upacara itu. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa musik yang digunakan untuk mengiringi upacara mapag panganten adalah repertoar gamelan degung. Repertoarrepertoar tersebut merupakan keberlanjutan tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, meskipun pada kenyataannya upacara mapag panganten khususnya, dan upacara adat perkawinan Sunda umumnya, telah berubah seiring dengan perubahan masyarakat, terkhusus lagi pada dua dekade terakhir yang menjadi perhatian utama skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan-perubahan tersebut meliputi adat-adat sebelum perkawinan yang semakin “diperpendek”, di mana beberapa ritualnya tidak lagi dilaksanakan. Hal ini juga terjadi dalam upacara mapag panganten yang meliputi materi, waktu dan tempat upacara yang disesuaikan dengan kebiasaan lokal dan pengaruh interaksi sosial dengan suku lain. Meskipun begitu, aspek-aspek musikal dan ekstra musikal tetap dipertahankan secara konseptual. Oleh karenanya penulis tertarik membahas upacara adat perkawinan Sunda, khususnya upacara mapag panganten dari perspektif etnomusikologi. Penelitian skripsi ini akan melihat mapag panganten dengan pendekatan deskripsi-analisis untuk melihat musik pada upacara tersebut dalam hubungannya dengan konteks budaya masyarakat Sunda. Pendekatan musikologis dilakukan untuk menganalisis fenomena bunyi musikal yang terjadi, dan pendekatan sosio-antropologis ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang latarbelakang budaya Sunda yang menjadi pendukung mapag panganten. Pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan secara sinergis dalam rangka mendapatkan pemahaman mengenai upacara mapag panganten secara komprehensif.
I.2. Pokok permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain bagaimana fenomena musikal yang terjadi dalam upacara tersebut, apakah terjadi perubahan, -mengingat orang Sunda yang ada di Kota Medan merupakan orang Sunda yang tidak
Universitas Sumatera Utara
berada di wilayah kebudayaannya— aspek-aspek apa saja yang berubah dan apa saja yang tetap dipertahankan, dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya.
I.3. Tujuan penelitian Pada dasarnya, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara mapag panganten dan mendapatkan pengetahuan tentang aspek-aspek apa saja yang tetap bertahan --setelah kepindahan—dan unsurunsur apa yang berubah. Lebih jauh lagi penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan jawaban mengapa fenomena ini terjadi dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Kota Medan. Pendekatan analisis musikologis dilakukan untuk mendeskripsikan musiknya, dan pendekatan antropologis untuk membahas konteks sosialnya dan penulis akan melihat hubungan antara keduanya. Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
I.4. Manfaat penelitian Selain sebagai skripsi, penelitian ini juga menjadi penelitian lanjutan dari apa yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti budaya Sunda sebelumnya. Juga untuk memperdalam pengetahuan tentang adat perkawinan Sunda dan menambah referensi dan dokumentasi budaya Sunda. Itulah beberapa manfaat dari penelitian skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
I.5. Konsep Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian. Musik 7 yang dimaksudkan di sini adalah repertoar gamelan degung yang mengiringi tarian penyambutan pengantin yang terdiri dari repertoar Gending Bubuka, Rajah, Payung Agung, Umbul-Umbul Punggawa, Ki Lengser Midang dan Tari Pager Ayu. Repertoar-repertoar ini menjadi inti dari upacara mapag panganten. Mapag panganten sendiri berasal dari kata mapag yang berarti menyambut (Ind.), dalam hal ini yang disambut (dipapag) adalah pengantin laki-laki serta rombongan keluarganya oleh pihak keluarga pengantin perempuan. Upacara penyambutan ini merupakan bagian dari rangkaian upacara adat perkawinan Sunda. Pengertian masyarakat dapat dipahami sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu, di mana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaranigrat 1986:160). Masyarakat Sunda yang penulis maksud adalah masyarakat Sunda yang telah bermigrasi dari Tanah Sunda dan menetap (termasuk juga yang lahir dan tumbuh) di
7
Masyarakat Sunda tidak memiliki istilah musik secara khusus untuk menyebut fenomena musikal dalam budaya musiknya. Yang ada hanya istilah sekar untuk menyebut seni suara (musik vokal) dan waditra yang merujuk pada musik instrumenal. Terminologi musik sendiri (seperti pada kebudayaan musik lain) datang dari Barat.
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan. Mengingat hal ini, perlu dipahami bahwa budaya Sunda telah berinteraksi dengan budaya lain di Sumatera Utara seperti Melayu, Batak, Karo dan sebagainya selama lebih dari satu abad. Kondisi ini menyebabkan persinggungan antar-budaya dan perilaku saling mempengaruhi 8. Keberlanjutan yang penulis maksudkan adalah keberlanjutan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Kota Medan. Keberlanjutan ini meliputi keberlanjutan material sebagai produk budaya dan keberlanjutan yang menyangkut konsep dan nilai-nilai budaya Sunda di tengah interaksi sosial dengan budaya lain di Kota Medan. Sedangkan perubahan yang dimaksud adalah perubahan unsur kebudayaan yang diakibatkan oleh persebaran secara geografis (difusi), adaptasi dan interaksi sosial. Perubahan yang dicakup dalam tulisan ini meliputi perubahan struktur upacara, materi upacara dan perubahan konsep dan sistem nilai dalam konteks upacara mapag pangantén.
I.6. Kerangka teori Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. Koentjaraningrat (1986:377-8) memberikan pengertian upacara sebagai suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai 8
Lihat Human Society (Davis, 1960), The Western Impact (Nettl, 1985)
Universitas Sumatera Utara
dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari : tempat upacara, waktu upacara dilaksanakan, benda-benda atau alat-alat upacara, orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara. Teori tentang upacara tersebut relevan digunakan dalam meneliti rangkaian pelaksanaan upacara mapag panganten. Untuk membahas perpindahan unsur-unsur budaya Sunda di Sumatera, Koentjaraningrat menyarankan teori difusi, yaitu proses persebaran kebudayaan secara geografis. Ada beberapa jenis teori difusi antara lain; (a) difusi yang masingmasing unsur kebudayaannya tidak berubah, (b) difusi stimulus yang meliputi jarak yang besar melalui suatu rangkaian pertemuan antara suatu deretan suku bangsa, (c) difusi hirarki yang menyebar dari satu pihak yang dianggap penting ke pada masyarakat lain, dan (d) difusi yang disebabkan perdagangan yang menimbulkan dampak yang lebih besar dari difusi jenis (a). Berdasarkan teori tersebut, kebudayaan Sunda yang ada di Sumatera bisa digolongkan pada difusi stimulus, di mana unsur-unsur kebudayaan Sunda berinteraksi melalui serangkaian pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang telah ada di Sumatera, seperti Melayu dan Batak. Pertemuan kebudayaan ini mempengaruhi pola hidup orang Sunda, yang juga berimplikasi pada pelaksanaan upacara mapag panganten.
Universitas Sumatera Utara
Kingsley Davis berpendapat bahwa pertemuan-pertemuan kebudayaan ini terjadi karena hubungan secara fisik antar dua masyarakat 9 sehingga terjadi perilaku saling mempengaruhi (Davis 1960: 622-3). Pada tahap selanjutnya, perilaku saling mempengaruhi ini mengakibatkan perubahan sosial yang dicirikan dengan perubahan unsur kebudayaan seperti berubahnya struktur dan fungsi masyarakat. Perubahan sosial juga terjadi pada unsur-unsur material di mana masyarakat pendatang harus mengadaptasi ketersediaan materi-materi budaya di tempat baru. Namun demikian, konsep-konsep nilainya tetap dipertahankan (Cowell 1959: 40). Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, khusunya di Kota Medan telah berinteraksi secara sosial dengan masyarakat lain seperti Melayu dan Batak. Interaksi sosial ini menimbulkan perubahan budaya secara material sebagai akibat dari adaptasi terhadap ketersediaan materi-materi budaya di luar wilayar budaya Sunda. Meskipun demikian, nilainilainya tetap dipertahankan secara konseptual. Kerangka berpikir teoretis di atas penulis gunakan dalam rangka menganalisis musik pada upacara mapag panganten dalam hubungannya dengan konteks sosial masyarakat Sunda di Kota Medan.
9
Conrad Philip Kottak mengistilahkannya dengan inter-ethnic-contact sebagai akibat dari persinggungan antara dua masyarakat yang berbeda tingkat dominasi, daya tahan, dan modifikasi terhadap kebudayaan asalnya (Kottak 2002: 615).
Universitas Sumatera Utara
I.7. Metode Penelitian Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor 1975:4-5). Pendekatan emik dan etik 10 juga menjadi penting karena penulis adalah ’orang dalam’ (insider). Hal ini membuat penulis mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi. Pada dasarnya, dalam penelitian lapangan, pendekatan emik merupakan identifikasi fenomena budaya menurut pandangan pemilik budaya tersebut, sedangkan etik adalah identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada konsepkonsep sebelumnya (Kaplan dan Manners 1999:256-8). Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Sunda dengan pendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk medapatkan data yang objektif. Dalam upaya untuk mendapat gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara, maka dilakukan transkripsi terhadap musik yang dipakai dalam upacara tersebut. Nettl (1964:99-103) menganggap transkripsi merupakan cara yang baik untuk dapat mempalajari aspek-aspek detail pada suatu musik dengan dua pendekatan; pertama menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan kedua 10
Pendekatan emik dan etik merupakan pendekatan di bidang linguistik. Namun kemudian diadaptasi dalam studi-studi ilmu budaya.
Universitas Sumatera Utara
mendeskripsikan apa yang dilihat dan menuliskannya di atas kertas dengan suatu cara penulisan
tertentu. Pendapat ini sejalan dengan May yang menganggap penting
transkripsi untuk memvisualisasikan apa yang didengar sehingga peneliti mampu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta untuk membantu mengkomunikasikannya pada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar (May 1978:109).
I.7.1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Penelusuran kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat perkawinan orang Sunda yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Mustafa 1913, Prawirasuganda 1950, Suwondo 1975, Agoes 2003). Studi kepustakaan juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang urbanisasi, etnografi, sejarah, musikologi, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
I.7.2. Penelitian lapangan Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman dan mencatat jalannya upacara secara keseluruhan, serta melakukan berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, pemain musik, dan juga informan lainnya. Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Perekaman
audio-visual
juga
dilakukan
selama upacara berlangsung.
Perekaman audio menggunakan mixer yang disediakan penyelenggara upacara untuk menangkap gelombang suara yang masuk ke mixer. Selain itu juga ada rekaman di luar untuk menangkap sinyal yang keluar dari loudspeaker dan merekam ambiences yang muncul selama upacara berlangsung. Keduanya direkam pada pita kaset SONY C60. Rekaman luar menggunakan alat perekam SONY TCM150. Kedua rekaman ini dilakukan bersama-sama. Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar upacara. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan baik pada saat upacara. Rekaman ini dilakukan secara digital. Gelombang suara yang muncul—dari repertoar yang dimainkan sesuai dengan yang penulis minta—direkam secara
Universitas Sumatera Utara
langsung dari microphone ke hardisk melalui perangkat audiocard di komputer dan perangkat lunak CoolEdit Pro2. Semua hasil rekaman ini kemudian dianalisis, di-edit, dan dirangkai kembali untuk menghasilkan rekaman yang memadai untuk ditranskripsi. Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-adegan yang terjadi dalam upacara dilakukan dengan menggunakan kamera video Panasonic dan kamera foto Nikon E5500 dan Canon EOS20D.
I.7.3. Kerja laboratorium Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan. 1.7.4. Metode Transkripsi Proses memindahkan bunyi dari apa yang didenganr menajdai simbol visual disebut transkripsi. Pekerjaan mentranskripsi bunyi musik adalah salah satu upaya uantuk mendeskripsikan musik, yang merupakan bagian penting dalam disiplin etnomusikologi. Seperti yang dikemukakan Phillys (1991:1) bahwa pentranskripsian musik suatu bunyi musik adalah penting dilakukan karena musik memiliki dimensi waktu, sehingga musik tidak pernah dipresentasikan secara keseluruhan pada suatu saat
Universitas Sumatera Utara
tertentu pula. Ini berarti bahwa deskripsi dan analisis yang didasarkan pada suara adalah penting, namun deskripsi juga harus selalu dilengkapi dengan analisis yang didasarkan atas tulisa/notasi (Nettl 1964:98). Jadi suatu transkripsi dibutuhkan utnuk memvisualisasikan apa yang didengar apa yang didengar untuk memkomunikasikan tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar kepada orang lain (Phillys 1991:1). Dalam mentranskripsi gamelan degung yang digunakan dalam upacara mapag pangantén, penulis melakukan beberapa tahapan; tahap perekaman, pengukuran frekuensi, pentranskripsian, dan penotasian. Pada tahap perekaman, penulis merekam bunyi gamelan degung menggunakan rekaman digital dengan bantuan computer dan perangkat lunak CoolEditPro 2.0. Perekaman dilakukan dalam upacara (in-context) dan di luar upacara. Rekaman dalam upacara bertujuan untuk merekam seluruh ambience (suara lingkungan) pada saat terjadinya upacara dan rekaman di luar upacara dilakukan dengan meminta pemain gamelan untuk memainkan repertoarrepertoar yang dimainkan pada saat upacara di luar konteks upacara yang bertujuan utnuk merekam bunyi yang tidak jelas terekam pada saat upacara. Tahap berikutnya adalah mengukur frekuensi masing-masing nada dalam gamelan. Penulis mengambil sampel suara saron karena instrumen ini adalah instrumen yang membawa melodi dan penentu jalannya komposisi (master instrumen). Dari pengukuran yang penulis lakukan, dihasilkan informasi bahwa nada 1 (da) pada saron frekuensi suaranya sebesar 762,05 Hz atau hampir sama dengan
Universitas Sumatera Utara
nada g -49 pada sistem musik Barat. Nada-nada berikutnya dapat dilihat pada table berikut. Tabel 1. Frekuensi nada saron
Nada Frekuensi (Hz) Nada Barat
da
mi
na
ti
la
762,05
727,57
573,14
510,78
485,5
g -49
f# -29
d -42
c -41
b -29
(lihat Lampiran 1) Berdasarkan penghitungan frekuensi di atas, maka penulis menyusun tangganada berdasarkan sistem musik Barat. Tangga nada yang dihasilkan dpat dilihat sebagai berikut: -49
-29
-42
-41
-29
da
mi
na
ti
la
Tangganada inilah yang penulis gunakan untuk mentranskripsikan musik dalam upacara mapag pangantén, karena penulis berasumsi bahwa dengan memakai analogi sistem musik Barat, maka pembaca akan lebih mudah melihat musik dalam upacara mapag pangantén. Tahap berikutnya adalah mentranskripsikan musik dalam upacara. Penulis mengambil sampel instrumen saron dan bonang untuk ditranskripsi karena kedua instrumen ini merupakan instrumen pokok yang membawa melodi dan menentukan jalannya komposisi. Repertoar yang ditranskripsi antara lain Gending Bubuka, Rajah, Gending Punggawa, Léngsér Midang, Pajajaran, dan Bagja Diri. Kemudian hasil
Universitas Sumatera Utara
transkripsi tersebut dinotasikan dalam sistem notasi musik Barat agar lebih mudah dibaca.
I.7.4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di tempat-tempat komunitas Sunda tinggal di Kota Medan. Desa Pematang Johar Kec. Sampali Kab. Deli Serdang merupakan tempat sebagian besar orang Sunda menetap. Selain itu juga orang Sunda banyak tinggal di Kampung Banten Medan Helvetia, Jalan Angkasa Medan Polonia, dan selain itu Sanggar PWS di kawasan Setiabudi Pasar IV juga menjadi tempat penulis mengumpulkan data. Wawancara penulis lakukan di rumah Ketua PWS di Komp. Johor Indah I dan di rumah masing-masing informan; Kang Ade di jalan Darmawan no. 1 dan kang Ayi di Pematang Johar Sampali. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara bebas pada saat acara riung mungpulung (pertemuan) rutin di Wisma Kartini Jl. T. Cik Ditiro Medan. Untuk perekaman upacara, penulis lakukan di tempat upacara mapag panganten berlangsung; di Kawasan Gaperta (perkawinan Yayat-Ina) dan di Asr. Singgasana Glugur (perkawinan Rizal-Nining). Perekaman tambahan (untuk merekam bagianbagian yang tak jelas terekam ketika upacara) juga penulis lakukan dengan meminta para pemusik memainkan repertoar-repertoar sesuai yang dimainkan pada saat upacara. Perekaman ini dilakukan di rumah informan dan di rumah penulis di Asr. Singgasana Glugur Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN
Bab ini akan membahas migrasi masyarakat Sunda dari Tanah Sunda ke Sumatera dan etnografi masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara umumnya dan di Kota Medan khususnya. Uraian sejarah disusun secara kronologis berdasarkan sumber-sumber tercatat maupun informasi-informasi yang diperoleh dari wawancara. Sedangkan penjelasan etnografi akan dibatasi pada aspek-aspek kehidpan secara umum dan berhubungan langsung dengan upacara perkawinan masyarakat Sunda di Kota Medan. Sedikit sekali catatan-catatan sejarah tentang masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera Utara. Para penulis sejarah yang secara khusus membahas sejarah Sumatera Utara cenderung mengaburkan masalah etnisitas; di mana orang Sunda sering sekali “dipandang” sama sebagai “orang Jawa” 11. Penulis Belanda (Buiskool 2005, Berman 1997) menganggap bahwa orang-orang yang didatangkan sebagai kuli perkebunan di Sumatera Utara adalah orang Jawa. Pun dengan penulis Indonesia seperti Sinar (2005), Hartono (2005), dan Aulia (2006) mengabaikan fakta bahwa sebagian dari kuli itu adalah orang Sunda. Mungkin masalah kesukuan tidak menjadi perhatian utama
para penulis tersebut, karena titik fokus perhatian mereka terletak pada
11
Pada umumnya orang-orang di luar Jawa menganggap masyarakat yang berasal dari P. Jawa adalah orang Jawa, meskipun pada kenyataannya tidak demikian karena di P. Jawa juga tinggal suku-suku lain seperti Sunda, Tengger, Baduy dan suku-suku pendatang lainnya, seperti Batak, Bugis, Maluku, Papua dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
bagaimana sistem kuli kontrak diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama pembangunan perkebunan di Sumatera Utara sepanjang kurun 1850 sampai 1930-an. Lain daripada itu penulis menemukan bahwa sebagian kecil kuli kontrak itu adalah orang Sunda yang berasal dari daerah kulon (Banten dan sekitarnya) dan daerah wetan (Ciamis, Garut dan Tasik). Pemukiman Kampung Banten yang ada di kawasan Medan Helvetia dan pemukiman orang Sunda di Sampali Deli Serdang membuktikan hal ini. Oleh karenanya penulis agak kesulitan dalam menyusun catatan sejarah tentang masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera Utara. Informasi yang didapat dari bukubuku sejarah dipilah-pilah untuk “memisahkan” orang Sunda dan orang Jawa. Sebagian informasi yang lain berasal dari wawancara yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan akurasi yang memadai untuk dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, penulisan sejarah masuknya masyarakat Sunda ke Sumatera ini belum sampai pada tahap komprehensif, selain karena migrasi orang Sunda masih berlangsung sampai sekarang.
Universitas Sumatera Utara
2.1. Tentang Masuknya Masyarakat Sunda Ke Sumatera Utara Masuknya Orang Sunda ke Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah perburuhan pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 yang disebut koeli contract 12. Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka ladangnya di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar 2006: 207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik di Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Perkebunan tembakau di Deli tersebut kemudian berkembang dengan pesat dan Nienhuys dengan bantuan modal dari Janssen dan Clemen mendirikan perusahaan perkebunan tembakau yang dikenal dengan nama Deli Maatschapij pada tahun 1866. Karena pasar tembakau di Eropa sedang naik, Nienhuys memperpanjang kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Kemudian Nienhuys membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal (1869) dan Sungai Besar dan Kelumpang (1875). Semakin luasnya kebun memerlukan semakin banyak kuli.
12
Koeli contract adalah struktur perburuhan yang mengharuskan pekerjanya terikat perjanjian untuk bekerja pada pemerintah Kolonial maupaun perusahaan swasta milik asing dengan syarat dan aturan tertentu. Para pekerja kemudian disebut kuli.
Universitas Sumatera Utara
Sejak dibukannya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah. Buiskool (2005) menggambarkannya sebagai berikut: Local labor was in short supply on the east-coast of Sumatera and, as the native Malay and Batak population was not interested in plantation work, the solution was to import the labor force… at this time China were suffering from high unemployment, with its concomitant poverty and hunger, so workers from these places were easily contracted to work in Sumatera. Eventually three hundred thousand Chinese were shipped from China to Sumatera between 1870 and 1930. [buruh setempat sangat sedikit di pantai timur Sumatera dan karena penduduk asli Melayu dan Batak tidak tertari pada pekerjaan perkebunan, maka solusinya adalah mengimpor buruh… pada saat itu Cina sedang menderita pengangguran, pada saat yang sama terjadi kemiskinan dan kelaparan, sehingga pekerja dari daerah ini dengan mudah dapat dikontrak untuk bekerja di Sumatera. Pada akhirnya, tiga ratus ribu orang Cina didatangkan ke Sumatera antara 1870 dan 1930] (Buiskool, 2005:274-5). Maka dengan mudah perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda dapat mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh. Tahun-tahun berikutnya, merupakan tahun yang penting bagi perkembangan perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884, telah berdiri 12 perusahaan perkebunan tembakau di Sumatera Timur yang meliputi wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur sebagai produsen tembakau terbesar di Asia (Sinar 2006:311).
Universitas Sumatera Utara
Namun perkembangan ini tidak diimbangi dengan peningkatan taraf hidup para kuli bahkan kehidupan kuli kontrak ini sangat memprihatinkan. Mereka mendapat perlakuan yang buruk dari Tuan Kebun. Kuli-kuli dimaki dan dipukuli jika malas bekerja. Pesta yang sengaja digelar oleh Tuan Kebun ketika habis gajian membuat para kuli menghabiskan gajinya untuk berjudi, mabuk, dan prostitusi. Kulikuli itu terpaksa berhutang pada makelar dengan bunga yang tinggi (lihat Breman 1997 dan Aulia 2006). Jika seorang kuli melarikan diri, maka dia akan dikejar-kejar oleh opas dan penduduk setempat demi imbalan yang besar jika mendapatkannya. Kuli yang tertangkap akan dihukum dengan berat. Hukuman ini disebut poenale sanctie 13, berupa hukum cambuk dan pukulan (Soegiri dan Cahyono, 2005:10). Ada juga seorang kuli perempuan yang ikat tanpa busana dan kemaluannya digosok dengan lada (Breman 1997:xv, Aulia 2006:73) 14. Perlakuan buruk terhadap kuli ini menyebabkan pemerintah Cina berusaha mengurangi ekspor kuli kontraknya. Pada tahun 1874, pemerintah Cina mengeluarkan larangan migrasi kuli yang dikontrak pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Inggris pun mulai berusaha melarang pengiriman kuli dari India. 13
Poenale Sanctie tidak hanya diberlakukan di jajahan Belanda namun juga di jajahan Inggris dan Perancis (Breman 1997:xxii). Poenale sanctie diberkalukan karena perkebunan-perkebunan tersebut dikelola seperti perkebunan yang mengandalkan budak (unfee labour) di Amerika Selatan. Dengan cara ini kuli sebenarnya berkondisi seperti budak. 14 Buku Breman didasarkan pada laporan Jaksa Tinggi J.L.T. Rhemrev yang penyelidikannya tersebut tidak diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena berisi tentang berbagai pelanggaran HAM di Hindia Belanda. Sedangkan buku Aulia, didasarkan pada brosur yang ditulis oleh Johannes van den Brand yang berjudul Millioenen uit Deli yang terbit di Belanda pada tahun 1902. Brosur itu beisi tentang kekejaman Tuan Kebun terhadap kuli kontrak.
Universitas Sumatera Utara
Maka perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur mulai melirik kuli-kuli dari Jawa. Kuli-kuli tersebut dibujuk dengan janji-janji oleh makelar agar mau dikontrak. Aulia (2006) menggambarkan bujukan-bujukan tersebut secara dramatis dengan: Deli mengganggu tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit, arak, emas, perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini? (Aulia, 2006:10).
Pada tahun 1875, sebanyak 250 kuli dari Jawa tiba di Deli. Rombongan kuli ini yang pertama tiba di Sumatera Timur yang membuka gelombang-gelombang migrasi kuli kontrak selanjutnya. Peraturan Koelie Ordonnatie 15, mempermudah para makelar untuk merekrut lagi kuli-kuli dari Jawa (Sinar, 2006:314). Pada tahun 1880, lebih banyak lagi kuli dari Jawa didatangkan. Sepanjang 1880 sampai 1884 telah ada sekitar 30.000 kuli kontrak dari Jawa didatangkan. Penulis menduga bahwa pada gelombang inilah kuli-kuli orang Sunda bermigrasi ke Sumatera Timur bersama dengan kuli-kuli dari Jawa. Dugaan ini didasarkan pada bincang-bincang penulis dengan seorang informan di Kampung Banten yang mengutarakan bahwa kakeknya datang ke Sumatera ini sebagai kuli 15
Koelie Ordonnatie adalah undang-undang tenaga kerja di mana dalam undang-undang tersebut diuraikan bahwa majikan harus menyediakan perumahan dan pemeliharaan kesehatan yang memadai, buruh hanya terikat dengan perkebunan selama kontrak yang berlaku. Kontrak harus ditandatangani di hadapan hakim dan dapat dipertikaian di pengadilan. Namun dalam praktiknya koelie ordonnatie disalahgunakan menjadi media untuk membujuk para kuli agar mau dikontrak dan memberi keleluasaan pada makelar buruh untuk merekrut para kuli.
Universitas Sumatera Utara
kebun sebelum masa “orang Indonesia disuruh sekolah” (wawancara Darman, Juli 2007). Mungkin maksud dari kalimat tersebut adalah sebelum pemberlakuan Politik Etis yang yang dimulai pada tahun 1901. Kebanyakan kuli orang Sunda diambil dari daerah Banten dan Pandeglang. Pada gelombang berikutnya, semakin banyak kuli orang Sunda didatangkan ke Deli untuk dipekerjakan di perkebunan Buluh Cina dan Sampali. Setelah kontrak berakhir, mereka tidak kembali ke P. Jawa dan kemudian membentuk komunitas terbatas di dekat perkebunan tempat mereka dulu bekerja. Seperti yang ditulis oleh Hartono (2005): …at the same time, Javanese workers were also being transported in large number from Java. At the end of their contract period, most of these laborers chose to stay and started their own way of earning living.[…pada saat yang sama, para pekerja Jawa juga didatangkan dalam jumlah besar dari Jawa. Di akhir masa kontraknya, kebanyakan pekerja tersebut memilih untuk tinggal dan mencarai penghidupannya sendiri.] (Hartono, 2005: 433). Setelah masa Kemerdekaan, motif migrasi orang Sunda ke Sumatera Timur (belakangan diganti namanya menjadi Sumatera Utara) menurut pengamatan penulis dapat dibedakan menjadi tiga motif; pertama, migrasi karena tugas Negara. Dalam kategori ini termasuk orang-orang yang yang bekerja sebagai aparat keamanan (TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, karyawan BUMN, serta dokter dan perawat yang ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kedua, migrasi karena kehendak sendiri untuk mengadu nasib, di mana yang termasuk kategori ini adalah orang-orang Sunda yang bekerja sebagai karyawan
Universitas Sumatera Utara
swasta, wiraswasta, para pedagang dan sejenisnya. Ketiga, migrasi karena tuntutan pendidikan. Sejak akhir 1980-an, mahasiswa-mahasiswa dari Jawa Barat datang untuk belajar di perguruan-perguruan tinggi, baik perguruan tinggi milik pemerintah atau milik swasta di Kota Medan. Jika dibandingkan dengan migrasi kuli kontrak, maka ketiga pola migrasi tersebut adalah migrasi yang bersifat sementara. Orang Sunda yang bekerja sebagai aparat Negara, karyawan swasta maupun mahasiswa yang belajar di Kota Medan biasanya kembali ke Jawa Barat setelah tugas maupun pendidikannya selesai. Ratarata mereka tinggal selama 5 sampai 30 tahun. Berbeda dengan kuli kontrak orang Sunda yang tetap tinggal secara turun termurun di Sumatera Utara. Menurut hasil wawancara, mereka tidak kembali ke Jawa Barat karena tidak lagi mempunyai saudara di sana. Bahkan beberapa di antaranya sudah tidak tahu lagi dari daerah mana mereka berasal. Di Kota Medan, seluruh orang Sunda, baik yang bermigrasi maupun orang Sunda keturunan kuli kontrak diafiliasi oleh sebuah institusi adat yang bernama Paguyuban Wargi Sunda.
2.2. Paguyuban Wargi Sunda: Penegas Integrasi Masyarakat Sunda di Perantauan Paguyuban Wargi Sunda (PWS) merupakan suatu institusi adat yang dibangun beradasarkan kesadaran atas integritas ke-Sunda-an. Selain itu, PWS dibentuk berdasarkan nostalgia terhadap suasana Sunda. Acara-acara yang digelar PWS
Universitas Sumatera Utara
direkonstruksi sedemikian rupa guna menghadirkan suasana kesundaan sehingga orang Sunda kembali teringat akan kampung halamannya (wawancara Rahmat Warganda, September 2007). Paguyuban Wargi Sunda Medan (PWS Medan) merupakan salah satu konstelasi dari seluruh jaringan PWS yang ada di perantauan. Sedikit sekali catatan tertulis mengenai awal pembentukan PWS Medan. Satusatunya data adalah Anggaran Dasar PWS Medan yang direkonstruksi pada September 2007 di mana disebutkan bahwa PWS Medan pertama kali dibentuk pada 27 Juni 1936 dan telah mengalami “pembaharuan dan penyempurnaan” yang diresmikan pada tanggal 9 April 2005 16. Informasi tersebut tidak menyertakan siapa yang berperan dalam pembentukan PWS Medan. Menurut keterangan yang diperoleh dari wawancara, diketahui bahwa sejak pembentukannya pertamakali pada tahun 1936, PWS Medan berjalan sebagai sebuah komunitas dan tidak berbentuk organisasi struktural. Jadi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga seperti yang lazim mendasari setiap organisasi tidak diperlukan. Pada tahun 2005, terbentuk ide untuk mengubah struktur paguyuban menjadi sebuah organisasi masyarakat non-politik. Artinya PWS Medan tidak bergerak dalam bidang politik, namun hanya berkecimpung dalam bidang kebudayaan, pendidikan, kesehatan dan ekonomi untuk menigkatkan kesejahteraan warganya.
16
Anggaran Dasar PWS Medan ini ditetapkan di Medan pada tanggal 9 September 2007 ditandatangani oleh Ketua PWS Terpilih Dani Kustoni. Sebelumnya PWS Medan berjalan tanpa Anggaran Dasar.
Universitas Sumatera Utara
Sejak terpilihnya ketua baru untuk periode 2007-2009 pada tanggal 2 September 2007, maka paguyuban berubah menjadi sebuah organisasi (wawancara Rahmat, September 2007). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga disahkan sebagai dasar organisasi. Dalam Anggaran Dasar PWS Medan disebutkan bahwa paguyuban didirikan untuk; mempererat tali silaturahmi dan mempertebal rasa sosial di antara sesama anggota maupun dengan seluruh masyarakat Indonesia; memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya, seni, olahraga, dan kepribadian wargi Sunda; menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial dan kesehatan. Dalam praktiknya, sebagai implementasi dari tujuan berdirinya paguyuban, PWS Medan melakukan upaya-upaya untuk tetap memelihara persaudaraan di kalangan warga Sunda. Pertemuan-pertemuan rutin, seperti acara pengajian bulanan, arisan keluarga dan riung mungpulung diadakan untuk terus mempererat silaturahmi. Penerbitan Bulletin PWS Medan yang terbit setiap bulan juga menjadi media komunikasi di kalangan warga Sunda di Kota Medan. Selain itu, dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, PWS Medan juga membuka berbagai jenis usaha seperti pabrik tahu Sumedang, toko bahan bangunan (panglong) dan lainlain. Dalam bidang kebudayaan, sejak berdirinya, PWS Medan secara konsisten memelihara keberlanjutan tradisi Sunda. Pembentukan sanggar seni
yang
mengajarkan kesenian gamelan degung dan kacapi suling, merupakan salah satu upaya memelihara kesenian Sunda di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dalam konteks upacara mapag pangantén. PWS Medan terus melayani warganya untuk melaksanakan upacara mapag penganten. Jika ada orang Sunda yang bermaksud menikah secara adat Sunda, maka pihak keluarga perempuan sebagai penyelenggara upacara biasanya berkonsultasi dengan tokoh-tokoh adat di PWS untuk mendiskusikan hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara. Bahkan sanggar seni PWS pun dilibatkan sebagai pemain musik dalam upacara mapag pangantén. Melalui upaya-upaya yang telah diuraikan di atas, PWS bertanggungjawab untuk terus memelihara keberlanjutan budaya Sunda di perantauan. Selain itu, PWS Medan juga menjadi sarana berkumpul yang efektif untuk membangun integrasi masyarakat Sunda di tengah kehidupan Kota Medan yang plural. Fenomena ini yang menarik perhatian Edward Bruner dalam kunjungannya ke Kota Medan (1974). Bruner memandang masyarakat Kota Medan sebagai masyarakat yang plural dan tak ada kebudayaan yang dominan di dalamnya. Ketiadaan suatu kebudayaan dominan membuat kaum migran cenderung untuk mengelompok bersama dengan sesama warga suku bangsanya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat posisi kelompok suku bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan (Bruner 1974 dalam Lubis 2005:64). Sedangkan Usman Pelly menganggap asosiasi-asosiasi yang tumbuh untuk menghimpun kelompok etnik dan agama di Kota Medan merupakan mekanisme adaptif untuk menjaga identitas (Pelly, 1994:285).
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dengan PWS Medan. Kehadirannya di Kota Medan didukung oleh intergitas yang kuat dari seluruh komponen masyarakat Sunda untuk menegaskan identitas dan integritas ke-Sunda-annya.
2.3. Masyarakat Sunda di Kota Medan 2.3.1. Mata Pencaharian Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa orang Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara, khususnya Kota Medan dapat dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya. Jenis-jenis profesi itu dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, seperti pegawai pemerintah, misalnya aparat keamanan (TNI/POLRI), Pegawai Negeri Sipil, Staf Pengajar dan karyawan BUMN yang ditugaskan ke Kota Medan. Golongan selanjutnya adalah orang yang bekerja untuk pihak swasta, seperti pegawai bank swasta, karyawan perusahaan-perusahaan kontraktor, buruh pabrik dan kuli bangunan musiman. Golongan selanjutnya adalah wiraswasta, seperti pengusaha kuliner, pengusaha bahan bagunan, pengusaha budidaya ikan, pedagang sepatu dan lain-lain.
2.3.2. Sistem Bahasa Basa (bahasa) Sunda adalah bahasa ibu sebagian besar masyarakat Sunda. Hampir seluruh masyarakat Sunda di Jawa Barat menggunakan basa Sunda sebagai media komunikasi formal maupun percakapan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
Alfabet Sunda terdiri dari 18 huruf konsonan (h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, j, y, ny, m, g, b, ng) dan tujuh huruf vokal (a, i, u, e, é, o, eu ). Alfabet ini disebut cacarakan yang biasanya dihafal sambil dinyanyikan. Basa Sunda dikategorikan sebagai bahasa afiksasi di mana posisi kata dalam kalimat dan imbuhan gramatikal sangat berperan dalam menentukan makna (Suwondo, 1978:32). Imbuhan-imbuhan yang terdiri dari rarangkén hareup (awalan), rarangkén tengah (sisipan), dan rarangkén tukang (akhiran) menentukan arti kata, misalnya kata dasar asih yang diberi rarangkén berikut ini: Kata dasar
Rarangkén
Makna
asih
diasih
disayang
dipikaasih
disayangi
pangdipikaasih
paling disayangi
pangdipikaasihna
yang tersayang
Dari contoh di atas dapat dilihat bagaimana rarangkén berperan menentukan makna kata. Selain rarangkén di atas, masih banyak lagi rarangkén lainnya dalam basa Sunda yang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya. Selain rarangkén, basa Sunda pun mengenal undak-usuk basa, yang merupakan stratifikasi bahasa menurut tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatantingkatan tersebut dapat dibagi berdasarkan kasar-halusnya bahasa (basa lemes, basa loma, dan basa kasar) dan berdasarkan pada siapa kita bicara (basa ka diri sorangan, basa kasaluhureun, dan basa kasahandapeun). Perbedaan tingkatan tersbut dapat dilihat pada contoh berikut:
Universitas Sumatera Utara
Bahasa Indonesia Makan
Bahasa Indonesia
makan
Basa lemes neda, tuang, emam.
Basa loma
Basa kasar
dahar, ngawedang
lelebok
Basa lemes ka diri Basa lemes sorangan kasaluhureun
Basa lemes kasahandapeun
neda
emam
tuang
Undak-usuk basa ini adalah pengaruh kebudayaan Hindu di India, di mana kebudayaan India membagi masyarakatnya ke dalam kasta-kasta bertingkat. Pengaruh ini semakin lekat ketika Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Mataram memiliki hubungan yang erat sepanjang abad ke 16 sampai abad 17, karena Mataram sendiri merupakan kerajaan Hindu Dharma yang identik dengan kebudayaan India (Faturohman, 1982: 47-48). Ketika Belanda menguasai Indonesia, undak-usuk basa itu semakin terasa, karena Belanda memang memisahkan masyarakat Sunda golongan menak (bangsawan) dan golongan cacah (rakyat jelata) untuk kepentingan kolonialisme (Kosoh et., 1979: 120). Pada Konferensi Basa Sunda tahun 1953 di Bandung, ditetapkan bahwa undak-usuk basa tidak dihilangkan, tapi penggunaannya dialihkan dari bahasa untuk golongan menak menjadi bahasa untuk orang yang dihormati (Faturohman, 1982: 49). Pada dasarnya basa Sunda digunakan secara luas di seluruh wilayah Jawa Barat, namun kondisi masyarakat dan perbedaan tingkat evolusi sosial menyebabkan munculnya aksen dan dialek bahasa yang spesifik. Dialek lokal ini kemudian dikenal dengan istilah basa wewengkon, seperti basa wewengkon Banten, wewengkon
Universitas Sumatera Utara
Cirebon, wewengkon Priangan dan lain-lain. Meskipun demikian, masyarakat Sunda dapat saling berkomunikasi menggunakan basa Sunda yang umum dipakai. Penelitian dan pengajaran basa Sunda telah lama dilakukan. Buku tentang gramatikal basa Sunda karya Coolsman pada tahun 1873 mungkin buku tata bahasa Sunda yang pertama diterbitkan. Buku tersebut kemudian direvisi pada tahun 1904. Buku Coolsman tersebut memicu penelitian lain dari ahli linguistik H.J. Oosting yang kemudian menyusun kamus basa Sunda-bahasa Belanda (1884). Kiprah Oosting diteruskan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda yang kemudian menyusun kamus umum basa Sunda-bahasa Indonesia (1975, 1980, 2000). Kehidupan sastra Sunda pun telah lama menunjukkan geliatnya. Karangankarangan R.H. Muhammad Musa yang terbit antara tahun 1860 sampai 1871 merupakan awal gerakan sastra Sunda modern (Rosidi, 1966:107). Pada saat itu ada stigma bahwa karangan yang bermutu adalah karangan yang berbentuk dangding 17. Namun Musa membuat terobosan baru dengan membuat karangan berbentuk prosa. Karya-karya Musa antara lain: Wawacan Raja Sudibya (1862), Carita Abdurahman Abdurahim (1863), Wawacan Secamala (1863), dan Wawacan Panjiwulung (1871). Sastrawan lain pada masa itu diantaranya adalah R.A.A. Martanagara dan Haji Hasan Mustapa yang karya-karyanya turut mendukung gerakan baru dalam kesusastraan Sunda.
17
Dangding adalah cara penyajian karya sastra yang dilagukan menurut pupuh tertentu seperti pupuh Sinom, Kinanti, Asmarandana atau Dangdanggula. Setiap pupuh terikat pada aturan guru wilangan yang mengatur jumlah suku kata dalam tiap baris dan jumlah baris dalam setiap bait, dan guru lagu yang menentukan fonem pada akhir suku kata pada setiap barisnya.
Universitas Sumatera Utara
Pengajaran basa Sunda juga telah dimulai sejak akhir abad ke 19 ketika pemerintah Kolonial mendirikan Sekolah Klas II yang diperuntukkan bagi anak-anak golongan rendah di kota-kota kabupaten di Jawa Barat. Basa Sunda dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah tersebut. Ketika Etishce Politiek mulai diberlakukan pada 1901, semakin banyak sekolah-sekolah didirikan untuk anak-anak bumiputra. Hal ini mendukung perkembangan pengajaran basa Sunda, karena basa Sunda kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah selain pengajaran bahasa Belanda dan bahasa Melayu (Kosoh et.al: 120-7). Sampai sekarang, basa Sunda tetap diajarkan di sekolah tingkat dasar (SD dan SLTP) di Jawa Barat dan menjadi bahasa pengantar paling umum yang dipakai di Jawa Barat. Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara, pada dasarnya masih menggunakan basa Sunda sebagai media komunikasi antara sesama orang Sunda. Ini dapat dilihat ketika ada orang Sunda yang bertemu dengan orang Sunda lainnya pada saat formal maupun pertemuan biasa. Atau ketika acara riung mungpulung yang rutin diadakan oleh paguyuban, di mana basa Sunda menjadi bahasa pengantar formal dan bahasa percakapan informal. Namun lain dari itu, interaksi sosial masyarakat Sunda dengan suku lain yang ada di Kota Medan, menjadikan orang Sunda harus menggunakan bahasa yang lebih nasional; bahasa Indonesia. Selain itu, orang Sunda juga mengadaptasi “bahasa
Universitas Sumatera Utara
Medan” 18 yang merupakan ragam bahasa perpaduan antara bahasa-bahasa Melayu, Batak, Jawa, Minang dan lain-lain. Dalam konteks upacara mapag pangantén, bahasa pengantar yang digunakan adalah basa Sunda, baik itu dalam acara ritual maupun dalam percakapan biasa. Tembang-tembang dan kawih yang dipakai dalam upacara tetap menggunakan bahasa Sunda yang dapat dipandang sebagai keberlanjutan tradisi dan penguat integritas masyarakat Sunda. 2.3.3. Sistem Religi Pada umumnya masyarakat Sunda adalah pemeluk agama Islam. Invasi Islam ke Jawa Barat pada abad ke 14 sampai abad ke 16 mengkonversi hampir seluruh masyarakat Sunda memeluk agama Islam. Penyebar agama Islam yang terpenting adalah Fatahillah (Faletehan) yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan kemudian mendirikan Kota Jakarta, juga mendirikan Kerajaan Islam Cirebon dan Kerajaan Islam Banten. Pendirian kedua kerajaan Islam di Jawa Barat ini kemudian semakin memojokkan Kerajaan Pajajaran, yang kemudian membawanya menuju keruntuhan pada tahun 1579 (Kosoh et.al. 1979: 82-5). Sebagian kecil masyarakat Sunda yang tidak mau beralih agama ke Islam, menyingkir ke pegunungan dan membentuk komunitas yang ekslusif dan tertutup. Komunitas ini kemudian disebut orang Baduy. Sebutan orang Baduy bukan 18
Keunikan bahasa Medan ini menarik perhatian beberapa pemerhati bahasa di internet yang kemudian bersama-sama menyusun Kamus Bahasa Medan yang dapat diakses siapa saja di halaman web http://kamus-medan.blogspot.net/.
Universitas Sumatera Utara
merupakan sebutan dari mereka sendiri. Istilah Baduy diberikan oleh orang di luar wilayah Baduy dan kemudian digunakan oleh laporan-laporan etnografi Belanda. Dalam laporan tersebut, masyarakat itu disebut badoe’i, badoei, atau badoewi (Hovell 1845, Jacob dan Meijer 1891, Pleyte 1909 dalam Permana 2006). Orang Baduy memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan. Dalam ajaran ini, kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau disebut juga sebagai Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) atau Batara Tunggal (Yang Maha Esa). Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan keagamaan diatur oleh pikukuh (aturan adat yang bersifat mutlak) agar orang dapat hidup menurut aturan itu demi kesejahteraan dan keseimbangan alam. Konsep keagamaan yang terpenting dalam pikukuh Baduy adalah “tanpa perubahan apapun” (Garna 1988 dalam Permana 2006:38-39). Ini yang menyebabkan orang Baduy sangat eksklusif dan tidak fleksibel terhadap perubahan, berbeda dengan masyarakat Sunda pemeluk agama Islam. Pada umumnya masyarakat Sunda di Jawa Barat (termasuk juga yang bermigrasi ke Sumatera) merupakan pemeluk Islam yang baik. Ajaran-ajaran Islam dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum Islam. Konsep-konsep ketauhidan dan hukum-hukum fiqih menjadi landasan yang mendasari seluruh kegiatan kehidupan masyarakat Sunda.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun begitu, pengaruh Hindu yang telah berakar selama lebih dari seribu lima ratus tahun 19 menyebabkan praktik-praktik ke-Hindu-an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda tetap dilakukan. Contohnya adalah peringatan kematian tiluna (tiga hari), tujuhna (tujuh hari), matangpuluh (40 hari), mendak taun (setahun), newu (seribu hari) dan haul (peringatan tahunan) yang tidak diajarkan oleh agama Islam tetap saja dilaksanakan dengan konsep dan bentuk yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Hal ini memicu perdebatan panjang selama lebih dari satu abad di kalangan orang Islam. Satu pihak berpendapat bahwa praktik-praktik tersebut merupakan ritual yang tidak diajarkan dalam Islam (bid’ah 20) dan dapat menjerumuskan ke dalam kemurtad-an 21. Pihak lain berdalih bahwa penyelenggaraan ritual-ritual tersebut sebagai pemeliharaan adat yang pelaksanaannya telah disesuaikan ajaran agama Islam. Disadari atau tidak, perbedaan pandangan ini kemudian memicu terbentuknya golongan-golongan masyarakat yang berbasis agama di Jawa Barat. Golongangolongan tersebut, misalnya Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persis, Nahdatul Ulama dan lain-lain tumbuh seiring berkembangnya kondisi politik di Indonesia (Surjadi 1985: 65). Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag pangantén, pada dasarnya melandaskan upacara mapag pangantén (yang notabene merupakan ritual
19
Agama Hindu diyakini mulai masuk ke Jawa Barat pada saat kerajaan Tarumanagara berdiri pada abad ke 3 M. 20 Bid’ah; perilaku keagamaan yang tidak ada dalam ajaran Islam. 21 Murtad; keluarnya seseorang dari agama Islam.
Universitas Sumatera Utara
peninggalan Kejaraan Pajajaran) pada ajaran Islam. Rajah 22 (do’a-do’a) pada upacara tersebut ditujukan pada Allah SWT sebagai permohonan perlindungan atas penyelenggaraan upacara. Juga dalam ritual buka pintu yang menggunakan kalimat syahadatain (dua kalimat Syahadat) dan ucapan salam merupakan salah satu contoh “penyesuaian” upacara adat dengan ajaran agama Islam. Begitu juga dengan adat perkawinan secara keseluruhan dilandasi oleh perintah dan ajaran-ajaran Islam. Perintah menikah dalam Al Qur’an dan Hadist menjadi dasar kuat bagi terlaksananya perkawinan. Perintah tersebut salah satunya termaktub dalam Surat Ar Ruum ayat 21 sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Ruum 30:21).
Ajaran-ajaran Islam lain yang mengatur syarat dan rukun nikah, hukumhukum talak dan rujuk serta aturan-aturan kehidupan sehari-hari juga berlaku dalam kehidupan perkawinan masyarakat Sunda.
22
Pada awalnya rajah berbentuk mantra-mantra yang berisi do’a pada Yang Maha Kuasa agar penyelenggaraan upacara dapat berjalan dengan baik. Rajah yang disampaikan oleh Ki Lengser tetap dilaksanakan sebagai bagian dalam upacara mapag pangantén (wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Sunda bersifat bilateral di mana kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Garis genealogis ibu atau ayah baik ke atas atau ke bawah mempunyai derajat yang sama. Dalam adat Sunda tidak ada kewajiban untuk menikahi seseorang dari garis keturunan tertentu, karena itu orang Sunda diperbolehkan mengambil jodoh dari garis keturunan mana saja, baik itu dari luar maupun dari dalam kekerabatannya selama tidak melanggar ketentuan agama. Satuan terkecil dalam sistem kekerabatan yang terbentuk karena keturunan disebut keluarga batih, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Setelah anak-anak anggota kelurga batih tersebut menikah dan membentuk keluarga batih sendiri, maka terbentuk keluarga besar. Kumpulan dari kelurga besar ini yang membentuk kolektif masyarakat. Dalam kolektif masyarakat ini, dikenal sebutan-sebutan untuk setiap generasi. Dari ego ke atas urutannya: ego—bapa—aki—uyut—bao—janggawareng—udegudeg—gantungsiwur, sedangkan dari ego ke bawah urutannya: ego—anak—incu— buyut—bao—janggawareng—udeg-udeg—gantungsiwur. Panggilan dalam keluarga Sunda tidak memiliki aturan yang tetap dan berbeda pada setiap keluarga. Anak-anak bisa memanggil ayahnya dengan panggilan abah, bapa, rama, atau ayah, sedangkan untuk memanggil ibu dengan panggilan ibu, emak, mamah, atau emah. Untuk memanggil saudara laki-laki yang lebih tua, biasanya digunakan panggilan akang atau aa, dan saudara perempuan yang lebih tua
Universitas Sumatera Utara
dipanggil tétéh. Panggilan ini berlaku juga untuk setiap orang yang dituakan, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sedangkan sistem kekerabatan yang terbentuk karena perkawinan di antaranya adalah mitoha, minantu, bésan, ipar dan dahuan. Mitoha (mertua) adalah panggilan kepada orang tua istri atau suami, sedangkan minantu (menantu) adalah panggilan pada istri atau suami anak. Bésan adalah hubungan dua keluarga batih karena perkawinan anak-anak mereka. Maka orang tua pihak laki-laki merupakan bésan dari orang tua pihak perempuan, atau dalam kata lain kedua belah pihak berbésanan. Ipar adalah bentuk bésanan yang lebih spesifik di mana panggilan ipar ditujukan pada saudara kandung dari istri atau suami. Sedangkan dahuan adalah hubungan yang terjadi karena dua laki-laki yang istrinya bersaudara. Jadi jika ada kakak dan adik yang telah memiliki suami, maka suami mereka saling memanggil dahuan. Panggilan ini juga berlaku bagi istri-istri dari laki-laki yang bersaudara.
2.3.5. Sistem Pengetahuan Orang Sunda memahami alam sekitarnya berdasarkan pengalaman, seperti iklim dan pergantian musim. Pengetahuan ini digunakan dalam bidang pertanian, terutama untuk mengatur waktu penanaman padi di sawah. Upaya untuk mengetahui siklus musim hujan dan musim kemarau telah dilakukan sejak lama, yaitu dengan
Universitas Sumatera Utara
mempelajari pranatamangsa 23 untuk kepentingan pertanian. Pranatamangsa adalah perhitungan waktu berdasarkan jalannya matahari (solar calendar) yang terbagi ke dalam dua belas mangsa, urutannya sebagai berikut: Mangsa
Jumlah hari
Kalender Masehi
Kasa
41
22 atau 23 Juni
Karo
23
2 atau 3 Agustus
Katiga
24
25 atau 26 Agustus
Kapat
25
18 atau 19 September
Kalima
27
13 atau 14 Oktober
Kanem
43
9 atau 10 November
Kapitu
43
22 atau 23 Desember
Kawolu
26 atau 27
3 atau 4 Februari
Kasanga
25
1 atau 2 Maret
Kasadasa
24
26 atau 27 Maret
Desta
23
19 atau 20 April
Sada
41
12 atau 13 Mei
Jumlah hari:
365 atau 366 hari
(Gonggripj 1934:300 dalam Suwondo 1979: 45). Pada mangsa kanem, béntang wuluku (konstelasi Orion) muncul di ufuk timur pada pagi hari, ini tanda bagi para petani untuk mulai mengerjakan sawah. Sedangkan pada 23
Pranata; aturan, mangsa; waktu. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan pranatamangsa ini mulai berlaku, namun kemudian pranatamangsa menjadi kalender pertanian masyarakat Sunda sampai sekarang.
Universitas Sumatera Utara
mangsa desta, bentang wuluku itu kelihatan terbalik di ufuk barat pada saat matahari tenggelam. Ini saatnya bagi para petani untuk menyimpan bajaknya karena padi telah dipanen. Di waktu tersebut, biasanya orang Sunda bersuasana gembira karena telah sukses memanen sawahnya dan saat seperti inilah merupakan kesempatan baik bagi orang Sunda jaman dahulu untuk melangsungkan pernikahan. Masuknya kebudayaan Islam ke Tanah Sunda, juga membawa sistem kalender Hijriyah yang didasarkan pada siklus bulan (lunar calendar). Masyarakat Sunda kemudian mengadaptasi sistem kalender tersebut sesuai dengan jiwa Sunda (Suwondo 1979:46). Adapun urutannya sebagai berikut: Nama bulan Hijriyah
Jumlah hari
Nama bulan Hijriyah di Sunda
Muharram
30
Muharam
Safar
29
Sapar
Rabiul-Awal
30
Mulud
Rabiul-Akhir
29
Silihmulud
Jumadil-Awal
30
Jumadil Awal
Jumadil-Akhir
29
Jumadil Akhir
Rajab
30
Rajab
Sya’ban
29
Rewah, Ruwah
Ramadhan
29 atau 30
Puasa
Syawal
29
Sawal
Zulqa’idah
30
Hapit
Universitas Sumatera Utara
Zulhijjah
29
Jumlah hari:
354 atau 355 hari
Rayagung
Dalam hubungannya dengan upacara perkawinan, masyarakat Sunda telah lama menentukan bulan-bulan apa saja yang baik dan yang dilarang untuk menikah. Bulan Rayagung dianggap sebagai bulan yang yang baik untuk menikah, karena bulan ini adalah bulan ketika orang pergi beribadah haji yang do’anya dipercaya akan dikabulkan. Bulan Sawal juga merupakan bulan yang baik untuk menikah, karena bulan ini masih dalam suasana keberkahan bulan Puasa. Sedangkan bulan Sapar adalah bulan yang paling dilarang untuk menikah, karena pada bulan ini saatnya anjing-anjing berkelahi dan bersetubuh (Suwondo 1979:47). Untuk mengetahui baik-buruknya perjodohan, masyarakat Sunda juga membuat perhitungan-perhitungan menurut tanda-tanda bulan dan hitungan nama. Perhitungan ini disebut néang répok yang biasanya dilakukan oleh orang-orang tua atau penetua adat. Sistem perhitungan baik-buruknya waktu dalam masyarakat Sunda tersebut terhimpun dalam buku yang disebut paririmbon. Adapun salah satu cara menghitung baik-buruknya perjodohan melalui nama antara lain dengan mencocokkan naktu (nilai) cacarakan (alfabet Sunda). Cacarakan terdiri dari 18 huruf konsonan yang masing-masing memiliki naktu (nilai). Susunannya sebagai berikut: h=5, n=3, c=3, r=3, k=3, d=4, t=3, s=3, w=6, l=4, p=4, j=3, y=9, ny=3, m=5, g=4, b=4, dan ng=1. Kemudian jumlah naktu dari kedua nama mempelai dibagi tujuh dan sisanya dijadikan ketentuan watak baik-buruknya perjodohan. Watak-watak tersebut antara lain:
Universitas Sumatera Utara
Jika sisa angka 1
: Gedong Kuta, wataknya baik, mendapat restu dunia dan diberkahi orang banyak, banyak beruntung, senantiasa selamat dan dekat rejekinya.
Jika sisa angka 2
: Gajah Palangsungan, wataknya pertentangan,
sering
berselisih, membuat orang marah, dijauhi orang, dan malas bekerja. Jika sisa angka 3
: Sumur Bandung, wataknya sabar, dianuti orang banyak, kuat terhadap godaan, tidak menyusahkan, mendapat cintakasih orang banyak.
Jika sisa angka 4
: Sangar Waringin, wataknya bebal, banyak cita-cita tapi tak terlaksana, orang kurang menaruh simpati, dan selalu bertengkar dengan tetangga.
Jika sisa angka 5
: Bale Bandung, wataknya agung, dihargai orang, dapat menjadi pejabat karena jiwa kepemimpinan yang tinggi, hidup serba kecukupan.
Jika sisa angka 6
: Pisang Punggel, wataknya buruk sekali, tidak cocok secara lahir dan batin, walau penjang umur namun selalu susah dan melarat.
Jika sisa angka 7
: Aluring Macan, wataknya pertengkaran, hidupnya dijauhi orang, renggang dengan keluarga dan tidak berwibawa. (Paririmbon, tanpa tahun: 20-22).
Universitas Sumatera Utara
Contoh perhitungannya, misalnya Ujang akan menikah dengan Nénéng jika dihitung maka perhitungannya sebagai berikut: Ujang (hu+ja+nga=5+3+1) ditambah Neneng (né+né+nga=3+3+1). Hasilnya adalah 16 yang bersisa dua jika dibagi tujuh, maka wataknya adalah gajah palangsungan. Perhitungan perkawinan yang berhubungan dengan waktu yang dianggap baik untuk menikah masih dilaksanakan sampai sekarang. Pasangan-pasangan yang akan menikah biasanya bertanya pada orang-orang tua yang tahu waktu yang baik untuk melangsungkan perkawinan. Namun perhitungan yang menyangkut baik-buruknya perjodohan mulai ditinggalkan. Tingkat pendidikan dan perubahan cara hidup menyebabkan masyarakat tidak lagi mempercayai hal-hal yang dianggap mitos. Begitu juga dalam upacara perkawinan masyarakat Sunda di Kota Medan. Waktu perkawinan biasanya ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak, baik itu melibatkan keluarga atau pun atas kesepakatan calon mempelai saja. Sedangkan perhitungan baik-buruknya perjodohan melalui naktu tidak lagi dilakukan.
2.3.6. Kesenian Kebudayaan Sunda kaya sekali dalam hal kesenian. Laporan penelitian Atmadibrata sampai tahun 1976 menyebutkan terdapat 180 jenis kesenian 24 dan menjadi 243 jenis kesenian pada laporan tahun 1981 yang terhimpun ke dalam 19
24
Laporan ini disusun oleh Laboratorium Kesenian untuk Arsip Kesenian Daerah, Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Jawa Barat. Penelitian dipimpin oleh Enoch Atmadibrata dan dilakukan selama tiga tahun dari 1973 s.d. 1976 dan kemudian dilanjutkan pada awal 1980-an.
Universitas Sumatera Utara
rumpun kesenian 25 di seluruh wilayah kebudayaan Sunda di Jawa Barat (Atmadibrata, 1987). Laporan penelitian ini membuktikan kekayaan kesenian dalam kebudayaan Sunda. Meskipun pada perkembangannya tidak semua jenis kesenian yang berhasil dihimpun itu bertahan sampai sekarang. Beberapa di antaranya kemudian “mati suri”, bahkan menuju kepunahan. Masuknya jenis-jenis kesenian dari luar (Barat) menyebabkan
masyarakat
Sunda
mulai
meninggalkan
kesenian
tradisinya.
Perkembangan tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, perubahan pola pikir dan gaya hidup juga menyebabkan semakin sedikitnya minat orang Sunda, khususnya orang muda untuk mempelajari kesenian tradisinya. Semakin berkurangnya seniman tradisi karena mereka beralih ke pekerjaan yang lain (karena semakin sedikitnya pertunjukan) atau bahkan seniman yang meninggal dunia tanpa ada penerusnya membuat kehidupan seni tradisi semakin mengkhawatirkan 26. Namun ada juga kesenian yang dipertahankan baik secara formal maupun informal. Institusi formal yang berusaha melanjutkan kehidupan kesenian tradisi lewat jalur pendidikan adalah Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Departemen Sendratasik Universitas Pendidikan Indonesia dan Sekolah Menengah Karawitan di
25
Atmadibrata mengelompokkan jenis-jenis kesenian di Jawa Barat ke dalam rumpun-rumpun yang meliputi angklung, gamelan, macakal, ronggengan, beladiri, helaran, ngotrek, sandiwara, celempungan, ibing, orkes, pantun, terebangan, debus, kacapian, sekaran, lawak, quro dan wayang. 26 Gejala ini juga diungkapkan oleh Prof. Mauly Purba, Ph.D. ketika membicarakan kehidupan kesenian di Sumatera Utara dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Bandung. Institusi tersebut mendukung upaya keberlanjutan kehidupan kesenian tradisi Sunda melalui penelitian dan pengajaran karawitan Sunda seperti gamelan degung, gamelan salendro, tembang Sunda Cianjuran dan lain-lain. Tari dan teater pun diajarkan di sana. Selain itu, sanggar-sanggar seni dan paguyuban-paguyuban yang memiliki kelompok kesenian juga turut mendukung kehidupan kesenian Sunda di Jawa Barat. Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Sumatera Utara juga membawa jenisjenis keseniannya, seperti wayang golek, gamelan degung, dan kacapi suling. Wayang golek dibawa dan dikembangkan oleh Edi Suryana, seorang dalang, yang telah 20 tahun tinggal di Kota Medan. Pada era 1980-an sampai awal 1990-an pertunjukan wayang golek ini sering sekali digelar karena banyak orang Sunda yang menggemarinya (wawancara Edi Suryana, 27 Juni 2007). Setelah krisis moneter pada 1997, wayang golek mulai jarang dipertunjukkan karena mahalnya biaya pergelaran dan ditinggal pergi sebagian besar pemain musiknya. Berbeda dengan kehidupan gamelan degung dan kacapi suling di Kota Medan. Kesenian-kesenian ini terus hidup karena didukung oleh institusi adat Paguyuban Wargi Sunda yang tetap memelihara kehidupan kesenian gamelan degung dan kacapi suling, baik dalam konteks upacara adat, maupun untuk kebutuhan pertunjukan dalam acara-acara yang diadakan oleh paguyuban. Selain itu, beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung yang belajar di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara juga turut mendukung keberlanjutan kehidupan kesenian Sunda di Kota Medan. Mahasiswa-
Universitas Sumatera Utara
mahasiswa tersebut, selain belajar disiplin etnomusikologi, juga mengajar kesenian Sunda di Departemen Etnomusikologi. Dibukanya mata kuliah Musik Sunda sebagai salah satu mata kuliah praktik di Departemen Etnomusikologi, berperan aktif dalam melanjutkan kehidupan kesenian Sunda di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III ADAT PERKAWINAN SUNDA
3.1.
Perkawinan: Perspektif Adat dan Agama Islam Institusi perkawinan dalam persepektif adat Sunda merupakan suatu upaya
manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Nilai-nilai biologis sebagai kebutuhan dasar manusia diimplementasikan dalam suatu lembaga perkawinan agar dapat diarahkan, diawasi dan
dijalankan sesuai dengan aturan-aturan adat demi
tercapainya kebahagiaan. Selain nilai-nilai biologis, perkawinan juga membawa aspek sosio-politis di mana dalam konsep masyarakat Sunda ada ungkapan yang berbunyi geus cumarita yang berarti seseorang yang telah “diperbolehkan” secara adat untuk berbicara. Hal ini membuktikan bahwa perkawinan mengubah status seseorang secara sosial karena pada masa lalu orang yang mempunyai hak untuk berbicara adalah orang yang sudah menikah. Sedangkan orang yang belum menikah dipandang sebagai can boga wiwaha (belum punya kebijaksanaan). Untuk itulah masyarakat Sunda memandang pentingnya perkawinan yang dipandnag sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ibadah sesuai denag ajaran Islam. Pada dasarnya Islam menganjurkan setiap umatnya untuk menikah. Perintahperintah menikah dalam kitab suci Al-Qur’an secara implisit mengarahkan umatnya menuju perkawinan untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Ajaran Islam tersebut dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat Sunda pada umumnya. Aturan-aturan adat dan ajaran agama menjadi pendukung utama dalam membangun sistem perkawinan di mana hukum-hukum perkawinan, hukum waris dan pengaturan hak dan kewajiban suami-istri bersinergi dengan konsep-konsep adat tentang perkawinan 27. Salah satunya misalnya, ajaran agama Islam yang memerintahkan laki-laki untuk menikahi satu perempuan saja, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk berpoligami sebanyak empat orang perempuan seperti yang tercantum dalam AlQur’an Surat A-Nisa ayat 4: “…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. (QS An-Nisa:4)
Masyarakat Sunda pun hanya membatasi perkawinan sekali saja. Apalagi dengan orang Baduy yang hanya memperbolehkan laki-laki untuk menikahi satu perempuan saja dan cadu (pantang) untuk berpoligami (Permana 2006:31). Barangsiapa yang melanggar pacaduan tersebut, maka dia akan diusir dari kampung. Namun
lain
halnya
pada
masyarakat
Sunda
yang
meskipun
membatasi
perkawinannya, tapi pada praktiknya seorang laki-laki Sunda bisa saja nyandung (menikah lagi) sampai batas yang ditentukan oleh ajaran agama Islam yaitu empat istri.
27
Untuk diskusi lebih jauh tentang konsep dan aturan adat perkawinan lihat Mustapa 1913.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konsep perkawinan Sunda, setiap suami mengarahkan kehidupan perkawinannya sedemikian rupa sehingga dianggap memiliki éwé dénok sawah ledok (istri cantik, sawah subur) yang menbuatnya menjadi terpandang di komunitasnya. Maka perkawinan merupakan ritus peralihan yang memberikan kedudukan baru pada laki-laki Sunda dalam perspektif sosial. Selain itu, nilai-nilai ekonomi juga diarahkan dalam kehidupan perkawinan sehingga setiap keluarga Sunda sejahtera sesuai dengan ungkapan imah pageuh, paké weuteuh, pamajikan arang reuneuh (rumah bagus, pakaian baru, istri jarang hamil—sehingga kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi). Nilai-nilai seperti yang diungkapkan di atas adalah hal-hal yang hendak dicapai dalam menjalankan lembaga perkawinan.
3.2.
Tahapan Adat Perkawinan Sunda 3.2.1. Neundeun Omong Neundeun omong dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
“menyimpan ucapan”. Maksudnya terjadi perjanjian lisan antara kedua belah pihak, baik itu calon pangantén maupun orang tua tentang keinginan untuk menikah. Pada masyarakat Sunda zaman dahulu, ucapan yang biasanya menjadi tanda neundeung omong berbunyi: “Urang nepungkeun bangkelung, ngadeukeutkeun baraya, sugan dipinareng taya halangan harungan, omong ti sisi ti gigir. Urang sakalian ngalunaskeun hutang baé, nuluykeun pirundayan”. [Mari kita pertemukan tangkai sirih, mendekatkan kekeluargaan, mudah-mudahan tiada satu halangan dan rintangan, omongan orang dari kiri-kanan.
Universitas Sumatera Utara
Sekalian melunaskan hutang, melangsungkan keturunan.] (Mustapa 1913:55). Selain kedua calon pangantén yang membuat kesepakatan untuk menikah, proses neundeun omong juga biasanya dipastikan dengan kedatangan orang tua pihak laki-laki, atau
yang mewakilinya, ke rumah keluarga pihak perempuan.
Kedatangannya hampir tidak ubahnya seperti tamu biasanya. Tidak ada acara khusus. Hanya saja dalam kunjungan itu dibicarakan bahwa ada maksud untuk menikahkan kedua calon pangantén. Setelah pihak keluarga menerima maksud tersebut, maka status kedua pangantén berubah menjadi beubeureuh dan bébéné. Beubeureuh adalah sebutan kepada calon pangantén laki-laki oleh calon pangantén perempuan, sedangkan bébéné adalah panggilan untuk calon pangantén perempuan oleh beubeureuh-nya. Untuk menyebut keduanya dipakai panggilan béné-beureuh. Proses ini dinamakan hahadéan, yang dalam bahasa Indonesia artinya “berbaikan”. Pada masa sekarang neundeung omong bisa dilakukan dengan cara apasaja. Hal yang paling mendasar dari neundeun omong adalah adanya ucapan lisan yang berisi janji untuk menikah. Janji lisan tersebut menjadi kesepakatan kedua belah pihak. 3.2.2. Ngalamar Secara etimologi, ngalamar berasal dari kata lamar yang merupakan perubahan fonem dari lambar (lembar), yang artinya menyerahkan lembar-lembar daun sirih sebagai tanda bahwa pihak keluarga laki-laki telah menentukan pilihan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengambil menantu dari pihak perempuan. Ngalamar ini juga kadang disebut nyeureuhan, yang berarti memberi seureuh (sirih) pada pihak perempuan. Dalam tradisi pernikahan Indonesia, ngalamar bisa disamakan dengan meminang, di mana asal kata “meminang” adalah pinang, yang merupakan salah satu ramuan sirih. Menurut adat, orang yang datang untuk meminang harus membawa ramuan untuk makan sirih (nyeureuh), yang terdiri dari sirih, pinang, gambir dan kapur (Mustapa 1913:56 dan Suwondo 1979:83 ). Proses meminang ditandai dengan kedatangan orang tua calon pangantén lakilaki ke rumah keluarga perempuan. Kedatangannya disambut secara meriah oleh keluarga pihak perempuan. Kedua pihak memakai pakaian yang bagus dan keluarga pihak perempuan menyediakan makanan yang istimewa. Setelah keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan bertemu, maka pembicaraan selanjutnya adalah mengenai kesediaan pihak keluarga perempuan jika anak gadisnya dilamar oleh pihak keluarga laki-laki. Biasanya kemudian orang tua pihak perempuan memanggil calon pangantén perempuannya untuk hadir dalam pertemuan itu. Orang tua calon pangantén perempuan itu lalu menanyakan langsung apakah dia bersedia menikah dengan calon pangantén laki-laki. Jika bersedia maka bersedia, maka kedua belah pihak masuk ke tahap papacangan (pacang; pasang) dan panggilan béné-beureuh tadi berubah menjadi tunangan.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya orang tua pihak laki-laki menyerahkan ramuan sirih dan uang sekedarnya yang biasanya disebut panyangcang (pengikat), artinya sejak hari itu calon pangantén perempuan sudah terikat. Pada masa sekarang, ramuan sirih sudah mulai ditinggalkan. Dalam proses ngalamar tidak lagi menggunakan sirih dan uang, melainkan sepasang cincin yang kemudian dikenakan oleh kedua calon pangantén sebagai cincin tunangan. Selain cincin, pihak keluarga laki-laki juga membawa berbagai bingkisan yang berupa pakaian, makanan atau peralatan rumah tangga sebagai simbol bahwa pihak laki-laki siap secara material untuk menikah. Dalam ngalamar ini juga biasanya kedua belah pihak mendiskusikan dan menyepakati waktu perkawinan. Waktu yang dipilih adalah hari yang dianggap baik berdasarkan keinginan calon pangantén ataupun kesepakatan para orang tua dengan berbagai pertimbangan. Interval waktu dari neundeun omong sampai ngalamar dan dari ngalamar sampai upacara perkawinan tidak pasti, biasanya hanya beberapa minggu atau sampai beberapa bulan, menunggu kesiapan dari pihak keluarga laki-laki. 3.2.3. Siraman Setelah hari perkawinan ditetapkan, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan upacara seserahan. Sehari sebelum diadakan seserahan, calon mampelain perempuan dan laki-laki dimandikan dalam upacara siraman. Upacara siraman dilaksanakan pada saat yang sama, biasanya pada petang hari, di tempat yang berbeda; siraman calon pangantén perempuan di kediaman
Universitas Sumatera Utara
keluarga perempuan dan siraman calon pangantén laki-laki di kediaman keluarga laki-laki. Sebelum upacara siraman dilaksanakan,
di kediaman keluarga pihak
perempuan dilakukan do’a-do’a dan shalawatan untuk mendo’akan kesuksesan upacara perkawinan yang akan digelar. Para ibu-ibu kerabat keluarga perempuan menyiapkan air dan kembang setaman (bunga tujuh rupa). Bunga-bunga dimasukkan ke dalam air dan kemudian ditaruh di tengah-tengah kumpulan hadirin yang sedang berdo’a. Setelah do’a selesai, air bunga tersebut dibagi dua, satu jambangan untuk siraman calon pangantén perempuan, dan satu jambangan lagi dikirim ke kediaman keluarga laki-laki untuk dipakai siraman calon pangantén laki-laki. Jika jarak keduanya sangat jauh, maka selamatan dilakukan di kedua tempat; di kediaman keluarga perempuan dan kediaman keluarga laki-laki. Calon pangantén yang akan disiram duduk di tempat yang telah disediakan. Keduanya hanya mengenakan kain panjang batik dan rangkaian bunga melati untuk menutup bahu dan dadanya. Setelah semuanya siap, sesepuh (penetua adat) mempersilahkan orang tua pangantén untuk menyiramkan air bunga tersebut diiringi do’a-do’a. Yang pertama menyiram adalah ibu pangantén kemudian ayah, nenek, kakek, bidan pengantin 28 dan kerabat yang lain menyusul setelahnya. Setelah selesai
28
Ada kebiasaan bahwa pelaksanaan upacara perkawinan diatur oleh penyelenggara khusus (biasanya profesional) yang disebut bidan pengantin. Wilayah kerja bidan pengantin ini meliputi pengaturan gaun pengantin, pelaminan, makanan pesta dan tata rias pengantin.
Universitas Sumatera Utara
disiram, calon pangantén ber-wudhu 29 menggunakan air dari kendi yang dikucurkan oleh orang tua calon pangantén.
Gambar 1. Siraman pangantén perempuan
Setelah selesai, tahap berikutnya adalah memotong sedikit rambut bagian belakang kepala sebagai simbol miceun geuleuh gumeuleuh (membuang sial). Pemotongan rambut dilakukan oleh kedua orang tua calon pangantén. Setelah selesai, sesepuh menutup upacara siraman dengan do’a. Kedua pangantén kemudian membersihkan diri dan berhias untuk bersiap-siap melaksanakan seserahan.
29
Wudhu adalah ajaran Islam dalam thaharah (penyucian diri) untuk membersihkan diri secara fisik dari najis dan kotoran, dan secara batin dari sifat buruk dan penyakit hati.
Universitas Sumatera Utara
3.2.4. Seserahan Seserahan artinya menyerahkan, dalam hal ini pihak keluarga laki-laki menyerahkan calon pangantén laki-laki ke pada pihak keluarga perempuan untuk dinikahkan. Upacara ini dilaksanakan dua atau tiga hari sebelum hari perkawinan dan biasanya dilakukan pada sore hari. Orang tua calon pangantén laki-laki datang beserta rombongan yang terdiri dari sanak kerabat atau tetangga-tetangga. Mereka datang membawa berbagai bingkisan yang antara lain berisi berbagai macam kebutuhan wanita, seperti pakaian, perhiasan, alat kosmetik, pakaian dalam, benang dan jarum jahit dan lain-lain. Selain itu dibawa juga bingkisan yang berisi makanan dan ramuan sirih. Tidak ada ketentuan khusus mengenai banyaknya bingkisan yang dibawa. Semuanya tergantung dari kemampuan pihak laki-laki. Namun ada anggapan bahwa, semakin banyak barang yang dibawa, maka prestisenya semakin tinggi. Rombongan berjalan memasuki rumah keluarga perempuan dengan calon pangantén laki-laki berjalan di tengah diapit oleh kedua orang tuanya. Di belakangnya barisan perempuan yang membawa bingkisan, dan para pria mendampinginya. Sesampainya di rumah, rombongan disambut dengan gembira dan dipersilahkan duduk dengan hormat oleh tuan rumah. Para hadirin duduk berhadapan antara tuan rumah dan rombongan tamu. Bingkisan yang di bawa disimpan di tengahtengahnya.
Universitas Sumatera Utara
Setelah semua siap, maka seserahan pun dimulai. Seorang tokoh adat atau yang dianggap tetua membuka acara dengan ucap syukur dan kata-kata sambutan bagi rombongan tamu. Kemudian dia memberi kesempatan pada orang tua calon pangantén laki-laki untuk berbicara. Orang tua calon pangantén laki-laki atau yang mewakilinya berbicara pada hadirin, khususnya pada keluarga pihak perempuan untuk menyerahkan calon pangantén laki-laki untuk dinikahkan. Ucapan yang lazim dipakai dalam seserahan ini contohnya: Sumeja masrahkeun tuang putra pameget katutu sarebuk samérang nyamu, belah pecah rarab rumbah, sadongkapeun banjel-banjel anu dikersakeun. Masrahkeun getihna satétés, rambutna salambar, ambekkanana sadami, beurangna, peutingna, ilang-along margahina, bisi katinggang pangupngna, dihakan maungna. Masrahkeun kabodoanana, katalingeuhanana. Kalaipanana. Masing lambatlambut runtut-raut laki-rabina, panjag-punjung sareng si Nyai putra istri di bumi. Hendak menyerahkan Tuan Putra beserta seserbuk pakaian, belahpecah, ulam-ulaman dan gerabah, sekedar untuk di saat dating, ala kadarnya membantu hasrat Tuan selamatan. Kami serahkan darahnya setetes, rambutnya selembar, nafasnya sehirupan; siangnya, malamnya, cedera dan papanya, kalau-kalau tertimpa kayu kering (atau) diterkam harimau; kami serahkan kebodohannya, kelalaiannya, kecerobahannya dan kehinaannya. Semoga menjadi suami istri yang rukun dan berbahagian selamanya dengan Tuan Putri anak pribumi. (Mustapa 1913: 56, terjemahan penulis)
Pidato penyerahan tersebut dibalas sepantasnya oleh orang tua calon pangantén perempuan atau yang mewakilinya bahwa penyerahan itu diterima dengan senang hati dan berterimakasih atasnya. Kemudian bingkisan dibuka dan
Universitas Sumatera Utara
diperlihatkan kepada seluruh hadirin. Setelahnya, acara ditutup dengan do’a oleh penetua tadi. Masyarakat Sunda di Kota Medan pada dasarnya tetap melaksanakan seserahan, meskipun dengan bentuk yang lain. Bingkisan-bingkisan yang dibawa biasanya lebih sederhana, hanya berupa pakaian dan makanan ringan. Sedangkan uang yang akan diserahkan sebagai biaya pelaksanaan upacara dimasukkan ke dalam amplop saja, dan diserahkan secara pribadi oleh orang tua pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan (Wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007). Seserahan diucapkan dalam bahasa Indonesia agar semua hadirin bisa mengerti, mengingat tidak semua yang hadir adalah orang Sunda.
3.2.5. Ngeuyeuk Seureuh Ngeuyeuk berasal adari kata heuyeuk, yang memiliki dua pengertian. Pertama, artinya mengurus, mengatur, atau mengerjakan (Suwondo 1979:91). Contoh pemakaian katanya dapat dilihat pada frase ngaheuyeuk nagara (mengatur Negara) atau ngeuyeuk paré (mengerjakan gilingan padi supaya butirnya lepas dari bulirnya). Kedua, artinya berpegang-pegangan atau berkait-kaitan, seperti pada frase paheuyeuk-heuyeuk leungeun (berpegang-pegangan tangan). Kedua arti tersebut sesuai dengan praktek ngeuyeuk seureuh, di mana para upacara ngeuyeuk seureuh seluruh peserta upacara mengerjakan sirih sehingga daundaun sirih tadi berkaitan satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
Upacara ini dilaksanakan pada sore hari sehari sebelum upacara perkawinan dilaksanakan. Biasanya bertempat di ruang tengah rumah atau di tempat tertutup yang luas lainnya. Semua peserta duduk di lantai membentuk lingkaran. Kedua calon pangantén duduk ditengah-tengah menghadapi peralatan upacara. Peserta upacara terdiri dari pangeuyeuk yang memimpin jalannya upacara. Pangeuyeuk biasanya wanita yang sudah berumur dan dianggap mengerti segala sesuatu yang berkaitan dengan adat-adat perkawinan. Sedangkan peserta upacara yang lain adalah wanita-wanita setengah baya yang sudah berumahtangga yang berjumlah kelipatan tujuh, seperti 14, 21, 28 dan seterusnya. Pada zaman dahulu, upacara ini hanya diperuntukkan bagi kedua pangantén dan sesepuh terbatas, karena material ngeuyeuk seureuh berisi nasihat-nasihat tentang kehidupan rumahtangga secara mendalam, khususnya meliputi kehidupan seksual. Sehingga gadis-gadis dan anak laki-laki yang belum menikah tidak diperbolehkan ikut ngeuyeuk seureuh (Agoes 2003:50). Namun dalam perkembangannya, acara ngeyeuk seureuh kemudian dikemas sedemikian rupa dengan penuturan lewat simbolsimbol tertentu supaya tidak terlalu vulgar, sehingga sekarang remaja-remaja diperkenankan ikut dalam ngeuyeuk seureuh, walaupun sebatas sebagai penonton. Perlengkapan yang diperlukan dalam ngeuyeuk seureuh antara lain; seureuh satangkayan (sirih beranting), setandan pinang muda, gambir dan kapur, tujuh buah ajug (pelita yang berbentuk lampu minyak dari bambu), lumpang dan alunya, waluh gedé (labu besar), bokor berisi air bunga tujuh rupa, parukuyan (pedupaan tempat membakar kemenyan), peralatan sawer (uang logam, beras putih, irisan kunyit dan
Universitas Sumatera Utara
permen), sehelai kain kafan, benang tenun, selembar kain sarung, selembar tikar pandan dan pakaian pengantin yang akan dipakai pada saat upacara perkawinan.
Gambar 2. Perlengkapan ngeuyeuk seureuh
Tikar pandan dihamparkan dan perlengkapan yang lain disusun di atasnya. Di sebelah kiri posisi dukuk calon pangantén ditaruh labu dan bokor berisi air bunga tujuh rupa. Agak di tengah, sirih, pinang muda, labu dan ramuan sirih disusun rapi dan kemudian ditutup dengan kain sarung. Sedangkan pelita, parukuyan, lumpang dan alu diletakkan di sebelah kanan pangeuyeuk. Separangkat pakaian yang akan dipakai pada upacara perkawinan ditaruh tepat di depan pangeuyeuk. Seluruh peserta upacara duduk melingkari peralatan ngeuyeuk seureuh di lantai yang dialasi tikar. Kedua pangantén duduk ditengah-tengah menghadapi peralatan ngeuyeuk seureuh tersebut. Di belakangnya adalah tempat duduk orang tua kedua pangantén. Pangeuyeuk duduk di seberangnya dan peserta lain duduk melingkar. Antara peserta upacara dan penonton dibatasi oleh benang tenun.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Pangeuyeuk sedang memandu upacara ngeuyeuk seureuh
Ngeuyeuk seureuh dimulai dengan kata pembuka dari pangeuyeuk yang berisi ucapan syukur pada Allah SWT dan memohon perlindungan agar upacara bisa berjalan dengan baik. Setelah itu, pangeuyeuk meminta orang tua calon pangantén laki-laki untuk membakar kemenyan di parukuyan, lalu parukuyan tersebut dikelilingkan agar seluruh peserta membakar kemeyan secara bergiliran. Setelah selesai, pangeuyeuk menyalakan ketujuh ajug sambil menjelaskan bahwa kita harus belajar dari ilmu ajug; tujuh buah ajug melambangkan jumlah hari dan dengan menyalanya pasangan suami-istri tersebut bisa saling terus terang dan menerangi kehidupan rumahtangganya setiap hari. Kemudian daun-daun sirih dilepas dari rantingnya dan dibagikan ke seluruh peserta ngeuyeuk seureuh. Masing-masing mendapatkan dua helai daun sirih dari
Universitas Sumatera Utara
ranting yang berbeda, lalu mulai ngeuyeuk. Kedua helai daun tersebut dirapatkan dan kedua ujungnya digulung menuju ke tengah-tengah, kemudian diikat dengan benang tenun bentuk ini disebut lungkun. Setelah membuat lungkun, diambil lagi dua helai daun sirih dari ranting yang berbeda salah satunya diolesi kapur basah kemudian dirapatkan dan dilipat dua atau tiga lipatan ke samping sehingga merupakan lipatan panjang. Lalu dibubuhi gambir halus dan irisan pinang. Bagian bawah lipatan dipintal ke atas dan ujugnya di lipat ke dalam sehingga berbentuk kerucut (susuh). Bentuk ini disebut tékték. Rongganya diisi dengan tembakau kasar sehingga sepintas lalu terlihat seperti rongga berbulu. Dipertemukannya kedua daun helai daun sirih dari ranting yang berbeda melambangkan dua insan yang berasal dari keturunan yang berbeda. Daun sirih lungkun disimbolkan sebagai alat kelamin laki-laki dan bentuk tékték melambangkan alat kelamin perempuan. Tékték juga melambangkan kerukunan. Jika isi dalam tékték tidak seimbang, maka akan berakibat buruk bagi pemakan sirih, setidak-tidaknya tidak akan terasa nikmat. Sementara pangeuyeuk menerangkan berbagai simbol dalam ngeuyeuk seureuh, para peserta terus membuat lungkun dan tékték sampai semua persediaan habis. Setelah selesai, semua lungkun dan tékték disimpan dan semua peralatan upacara dikesampingkan. Pangeuyeuk kemudian mempersilahkan kedua calon pangantén duduk berhadapan, lalu ia meminta calon pangantén perempuan untuk
Universitas Sumatera Utara
memegang lumpang dan calon pangantén laki-laki memegang alu. Keduanya diminta membaca basmallah tiga kali, syahadat dan diakhiri dengan shalawat. Setelah itu, pangeuyeuk meminta calon pangantén laki-laki untuk menumbuk alu. Gerakangerakan menumbuk alu ini sebagai simbol praktek seksual. Dengan penuh canda dan bahasa perlambangan, pangeuyeuk menjelaskan berbagai teknik dan filosofi dalam aktivitas seksual dalam kehidupan rumahtangga.
Gambar 4. Menumbuk alu pada lumpang sebagai simbol praktik seksual
Setelah acara menumbuk selesai, lumpang dan alu disimpan. Lalu pangeuyeuk menggelar tikar pandan dang menebar uang logam di bawahnya. Pangeuyeuk kemudian memberi aba-aba pada kedua pangantén untuk mencari dan mendapatkan uang logam tadi secara serentak. Para peserta dan penonton bersorak-sorak untuk memberi semangat. Siapa yang mendapatkannya lebih banyak, diyakini dialah yang paling banyak dapat rezeki.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengakhiri upacara, pangeuyeuk membaca do’a. Lalu semua benda hasil ngeuyeuk di simpan ke dalam kamar pengantin dan sisanya (sampah) kemudian dibungkus dengan kain kafan dan digulung dalam tikar pandan. Pangeuyeuk menjelaskan bahwa dalam kehidupan, kita tidak sepatutnya angkuh, karena bagaimanapun juga ketika manusia meninggal, hanya akan dibungkus dengan kain kafan dan tikar pandan. Gulungan tikar pandan tersebut kemudian dibuang oleh kedua pangantén sebagai tanda membuang “sial”. Tikar pandannya dibawa kembali, yang dibuang adalah sampahnya. Kedua pangantén tidak diperbolehkan menoleh ke tempat pembuangan itu.
Gambar 5. Kedua calon pangantén membuang sisa ngeuyeuk
Universitas Sumatera Utara
3.2.6. Walimah (Akad Nikah) Walimah merupakan ritual inti dalam adat perkawinan Sunda, maupun secara agama Islam, di mana saat ini adalah penetuan kedua pangantén diresmikan sebagai sepasang suami istri. Walimahan pada perkawinan adat Sunda dilakukan menurut ajaran agama Islam. Rukun nikah yang diajarkan oleh Islam menuntut terpenuhinya segala komponen dalam akad nikah, yang terdiri dari wali, saksi, kedua mempelai, mahar dan ijab kabul. Wali nikah adalah ayah calon pangantén perempuan (atau yang mewakilinya) yang akan menikahkan calon pangantén perempuan dengan calon pangantén laki-laki. Ucapan-ucapan walimahan sebagai tanda bahwa kedua pangantén disahkan sebagai pasangan suami istri disebut ijab kabul. Sedangkan mahar adalah sesuatu benda (biasanya berbentuk perhiasan, uang atau apasaja yang diminta oleh calon pangantén perempuan) yang harus diserahkan oleh pangantén laki-laki pada pangantén perempuan. Seluruh rangkaian walimahan dipimpin oleh seorang na’ib (penghulu) dan harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang adil. Walimahan dihadiri juga oleh kerabat dan tetangga-tetangga. Istilah untuk orang-orang yang hadir dalam walimahan disebut nungkulan. Walimahan dilaksanakan pada pagi hari atau malam hari sehabis waktu isya’ (sekitar jam 20.00) dan biasanya dilaksanakan di rumah keluarga pihak perempuan atau di mesjid. Calon pangantén laki-laki duduk berhadapan dengan wali nikah,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan na’ib dan para saksi berada di sisi lainnya. Hadirin yang ikut nungkulan duduk melingkar. Setelah semua hadir berkumpul ditempat walimahan, na’ib memulai walimahan dengan do’a dan khutbah nikah. Kemudian mempersilahkan wali nikah untuk mengucapkan ijab kabul pada calon pangantén laki-laki. Sambil berjabatan tangan, wali nikah mengucapkan ijab kabul: “Saya nikahkan …(nama pangantén perempuan)… binti …(nama ayahnya)… kepada …(nama pangantén laki-laki)… bin …(nama ayahnya)… dengan mahar …(menyebutkan maharnya)… dibayar …(tunai/hutang)”.
Kemudian ucapan tersebut dijawab langsung oleh pangantén laki-laki dengan ucapan: “Saya terima nikahnya …(nama pangantén perempuan)… binti …(nama ayahnya)… dengan mahar …(menyebutkan maharnya)… dibayar …(tunai/hutang)”.
Gambar 6. Wali sedang melakukan ijab kabul
Universitas Sumatera Utara
Setelah ijab Kabul selesai, na’ib menanyakan pada saksi apakah ijab kabul tersebut sah atau tidak. Jika ada saksi yang merasa belum sah, maka ijab kabul diulang beberapa kali sampai para saksi menganggapnya sah. Ketika semua saksi bersepakat bahwa ijab kabul tersebut sah, maka secara resmi kedua calon pangantén tersebut telah sah menjadi sepasang suami istri 3.2.7. Upacara Mapag Panganten Upacara mapag pangantén dilaksanakan pada siang hari seusai walimahan atau pada esok harinya jika walimahan dilaksanakan malam hari. Mapag pangantén merupakan ritual pengyambutan pangantén laki-laki oleh keluarga perempuan sebabai tanda bahwa dia telah sah diterima dalam keluarga pihak perempuan. Mapag pangantén dipimpin oleh Ki Léngsér yang memandu jalannya upacara. Setelah Ki Léngsér membuka upacara dengan rajah, kemudian Ki Léngsér mempersilahkan pembawa payung agung dan punggawa untuk makalangan (tampil) menjemput. Selanjutnya Ki Léngsér meminta nayaga untuk memainkan repertoar Pajajaran untuk mengiringi pager ayu untuk menjemput pangantén laki-laki dan rombongannya dengan tari-tarian. Setelah pengantén dipapag (dijemput), kedua pangantén disandingkan dan disawér. Sawér adalah menabur-naburkan ramuan pangradinan yang terdiri dari beras putih, irisan kunyit, uang logam, permen dan tékték oleh panyawér kepada kedua pangantén. Sawér dimaksudkan sebagai simbol keberkahan bagi pangantén penyampaian nasihat-nasihat dalam kehidupan rumahtangga melalui tembang yang mengiringi upacara sawér tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya pangantén laki-laki meuleum (membakar) harupat. Harupat dalam konsep masyarakat Sunda adalah simbol kerapuhan, dan membakarnya adalah upaya untuk menghilangkan sifat itu. Kemudian pangantén laki-laki nincak endog (menginjak sebutir telur) dan pangantén perempuan mencuci kakinya. Ini adalah simbol pengabdian istri pada suaminya. Setelah meuleum harupat dan nincak endog selesai, maka pangantén laki-laki mulai masuk ke dalam rumah dan disandingkan di pelaminan. Mereka berdua saling menyuapi nasi dan segelas air putih. Pangantén laki-laki menyuapi pangantén perempuan melalui belakang kepalanya, begitu juga sebaliknya. Ritual ini dinamakan huap lingkung. Seluruh rangkaian upacara mapag pangantén ini diiringi oleh gamelan degung. Kehadiran gamelan degung dalam upacara ini dipercaya telah ada sejak masa Kerajaan Pajajaran (Kumalasari 1981:121). Penelitian Kumalasari ini didasarkan pada naskah lama Carita Pantun yang menyebutkan bahwa upacara-upacara pada jaman Kerajaan Pajajaran selalu diiringi oleh gamelan. Repertoar yang dimainkan untuk mengiringi upacara mapag pangantén, pada dasarnya disesuaikan dengan kehendak nayaga (pemain gamelan). Namun ada beberapa kompisisi yang harus ada, misalnya Gending Bubuka dan Rajah sebagai repertoar pembuka dan Léngsér Midang untuk mengiringi Ki Léngsér. Selain itu ada repertoar Pajajaran untuk mengiringi tarian mapag pager ayu. Kadang juga dipakai repertoar Pangbagéa atau Bima Mobos untuk mengiringi mapag. Untuk mngeiringi sawér, biasanya memakai repertoar Raja Pamunah, Tejamantri atau tembang-
Universitas Sumatera Utara
tembang berpola sinom lainnya. Sedangkan untuk gending punggawa, nayaga bisa memakai gending apa saja sesuai kehendak dan kemampuan nayaga itu sendiri (wawancara Kang Ayi dan Kang Ade Herdiyat, 21 Maret 2007). Pada perkembangannya, kehadiran gamelan degung dalam konteks upacara mapag pangantén mengalami distorsi. Mahalnya biaya untuk menghadirkan gamelan degung pada upacara mapag pangantén dan berkembangnya industri rekaman, menyebabkan mapag pangantén bisa diiringi oleh rekaman gamelan degung. Repertoar-repertoar gamelan degung masih tetap ada, namun disajikan melalui rekaman kaset. 3.2.8. Numbas Numbas adalah upacara yang untuk merayakan “kesuksesan” malam pertama. Numbas dihadiri oleh peserta terbatas hanya terdiri dari kedua pangantén dan orang tua ditambah beberapa sesepuh. Pada praktiknya, numbas dilakukan dengan membuat acara makan nasi tumpeng bagi orang tua dan para sesepuh. Pada zaman dulu, numbas merupakan syukuran dan penegasan bahwa kedua pangantén telah melewati malam pertama. Pada perkawinan di Kota Medan, numbas tidak dilakukan lagi, hal ini karena semua orang dianggap sudah mengerti bahwa setelah perkawinan, maka kedua pangantén sudah melewati malam pengantin. Jadi upacara numbas tidak diperlu diadakan lagi (wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007).
Universitas Sumatera Utara
3.2.9. Ngunduh Mantu Setelah beberapa saat pengantin tinggal di rumah keluarga perempuan, keluarga pihak laki-laki mengadakan upacara ngunduh mantu yang merupakan bagian penutup dari seluruh rangkaian upacara perkawinan adat Sunda. Ngunduh mantu dimaksudkan untuk memberikan pengalaman bagi pengantin perempuan untuk hidup di lingkungan keluarga laki-laki. Upacara ini juga merupakan syukuran pihak keluarga laki-laki karena telah berhasil mendapatkan menantu yang sesuai dengan harapan keluarga. Ngunduh mantu dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki dan dihadiri kerabatkerabat dekat. Biasanya dilaksanakan pada siang hari, namun ada juga yang menyelenggarakannya pada malam hari seusai waktu isya’. Ngunduh mantu ditandai dengan kedatangan kedua pengantin didampingi oleh orang tua pengantin perempuan dan kerabatnya ke rumah keluarga laki-laki. Pada beberapa kasus, ada acara sawer untuk menyambut kedatangan rombongan, namun ini bukan suatu keharusan. Kemudian rombongan disambut meriah dan dipersilahkan masuk dengan hormat. Selanjutnya adalah acara makan dan hiburan. Hari-hari berikutnya, pengantin untuk sementara tinggal di rumah keluarga laki-laki.
3.3. Tepung Tawar: Bukti Interaksi dengan Budaya Melayu Masyarakat Sunda yang melaksanakan upacara perkawinan di Kota Medan biasa melaksanakan tepung tawar setelah walimahan selesai. Tepung tawar adalah
Universitas Sumatera Utara
suatu tradisi Melayu yang dimaksudkan untuk memberi keberkatan bagi yang ditepungtawari. Tepung tawar dalam konsep masyarakat Melayu merupakan suatu cara penyampaian do’a dan keberkatan melalui simbol-simbol dalam ramuan penabur dan ramuan perincis yang digunakan dalam tepung tawar. Ramuan perincis terdiri dari beras [utih yang melambangkan kesuburan, beras kuning sebagai simbol kemajuan yang baik, ditambah bunga rampai untuk keharuman nama dan tepung beras sebagai tanda kebersihan hati (Sinar dan Syaifuddin 2002:65). Sedangkan ramuan perincis adalah segenggam tujuh macam daun-daunan yang terdiri dari daun-daun kalinjuhan, pepulut, gandarusa, jejurun, sepenuh, sedingin dan pohon sambau dengan akarnya yang dicipratkan pada ramuan air jeruk purut dan beras putih sebagai lambang keberkatan dan rezeki yang melimpah.
Gambar 7. Pasangan pangantén Sunda yang sedang ditepungtawari
Universitas Sumatera Utara
Pada praktiknya, tepung tawar dilakukan dengan cara mengambil sedikit-sedikit dari ramuan penabur (beras putih, beras kuning, bungan rampai dan tepung beras) oleh penepungtawar lalu ditaburkan kepada yang ditepungtawari. Kemudian penepungtawar mencipratkan ramuan air jeruk purut menggunakan ikatan daun-daun tersebut kepada yang ditepungtawari. Terakhir, yang ditepungtawari mengangkat kedua tangan sebagai tanda penghormatan dan terimakasih. Menurut penelusuran penulis, tepung tawar mulai dilakukan dalam rangkaian perkawinan adat Sunda sejak awal era 1990-an. Meskipun pelaksanaannya bukan merupakan sesuatu yang wajib dilakukan, namun sepanjang tahun 1990-an masyarakat Sunda biasa melaksanakan tepung tawar setelah acara akad nikah (walimahan) yang dimaksudkan sebagai do’a para penepung tawar demi kebahagiaan hidup rumahtangganya (wawancara Ibu Sri, 20 Juni 2007). Dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Sunda di Kota Medan, tepung tawar merupakan salah satu bentuk interaksi budaya antara budaya Sunda dan budaya Melayu. Dalam kehidupan sosial masyarakat Sunda di Kota Medan memang cenderung dekat dengan masyarakat Melayu. Kedekatan sosial ini menimbulkan interaksi yang lebih kuat dibanding dengan kebudayaan lain yang eksis di Kota Medan. Penulis berasumsi bahwa kedekatan ini disebabkan keidentikan masyarakat Sunda dan Melayu terhadap agama Islam. Pengaruh Islam yang kuat terhadap kedua suku tersebut menyebabkan interaksi sosial yang terjadi di antara keduanya menjadi lebih akrab. Konsepsi dimelayukan pada masyarakat Melayu untuk menyebut orang
Universitas Sumatera Utara
yang baru masuk Islam atau yang mengadakan upacara adat secara Islam, telah lekat juga pada orang Sunda. Sehingga orang Sunda yang mengadakan upacara adat di Kota Medan terpengaruh dengan kuat oleh konsep bahwa ritus-ritus peralihan tersebut kurang tepat jika tidak diselenggarakan menurut adat Melayu. Akhirnya, tepungtawar dalam konteks upacara mapag Pangantén diterima secara konseptual dan praktis sebagai bagian integral dari keseluruhan rangkaian perkawinan adat Sunda. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Sunda secara adaptif mengadopsi unsur kebudayaan Melayu dan kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
MUSIK DALAM UPACARA MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN
4.1.
Upacara Mapag Pangantén 4.1.1.
Waktu dan Tempat Upacara
Pelaksanaan upacara mapag pangantén berkaitan dan waktu dilaksanakannya walimahan. Jika walimahan dilaksanakan pada pagi hari, maka mapag pangantén dilaksanakan pada siang harinya. Namun jika walimahan dilaksanakan pada malam hari, maka mapag pangantén diselenggarakan pada pagi hari keesokan harinya. Sedangkan tempat upacara mapag pangantén biasanya di halaman rumah kediaman keluarga pangantén perempuan. Namun ada juga yang melaksanakannya di gedung-gedung resepsi. 4.1.2. 4.1.2.1.
Pendukung Upacara Nayaga
Nayaga adalah sebutan untuk pemain musik gamelan degung. Kata jamak dari nayaga adalah panayagan. Sebutan ini berlaku untuk semua pemain dalam ensambel secara keseluruhan. Namun untuk menyebut pemain secara individu, maka sebutannya didasarkan pada instrumen apa yang dimainkannya ditambah kata
Universitas Sumatera Utara
tukang 30 di depannya. Misalnya pemain kendang disebut tukang kendang, pemain goong disebut tukang goong dan seterusnnya. Sedangkan untuk menyebut penyanyi dalam ensambel gamelan degung dipakai sebutan sinden untuk penyanyi perempuan dan juru alok untuk menyebut penyanyi laki-laki. Dalam ensambel gamelan degung jumlah nayaga disesuaikan dengan jumlah instrumen yang dipakai. Biasanya gamelan degung lengkap terdiri dari tujuh instrumen (bonang, goong, saron barung, saron panerus, kendang, jenglong dan suling degung) ditambah sindén dan juru alok. Nayaga-nayaga dalam ensambel gamelan degung di Kota Medan bukanlah nayaga profesional. Mereka tidak menjadikan nayaga sebagai pekerjaan utama. Mengiringi upacara mapag pangantén dengan bermain gamelan dijalani sebagai ungkapan kecintaan pada tradisi (wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007). 4.1.2.2.
Ki Léngsér
Ki Léngsér dalam konteks upacara mapag pangantén adalah personifikasi dari Ki Semar, seorang tokoh wayang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani umat manusia (wawancara Ade Hedijat, 21 Maret 2007). Ki Léngsér diwujudkan oleh seorang kakek gemuk yang memiliki rambut dan jenggot yang sudah memutih. Ia berpakaian kamprét dan selalu membawa tas yang berisi berbagai macam benda. Ia selalu tampil dengan gaya dan gerakan-gerakan komedi sehingga membuat semua orang senang. 30
Kata tukang dalam konteks ini berarti pemain dan bukan pembuat.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8. Ki Léngsér
Peran Ki Léngsér dalam upacara mapag pangantén sangat penting. Ki Léngsér bertindak sebagai pemimpin upacara. Ia juga mengatur segala persiapan dan pelaksanaan upacara. Ki Léngsér adalah orang yang paling tahu tentang segala hal yang harus dilakukan dalam penyeleggaraan upacara.
4.1.2.3.
Pager ayu
Pager ayu adalah gadis-gadis muda yang belum menikah yang bertindak sebagai penari-penari yang akan menyambut pangantén. Pager ayu kadang-kadang disebut juga sebagai dayang-dayang. Mereka berjumlah genap (biasanya 6 orang) dan berpasangan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam, pager ayu biasanya anak-anak gadis yang diambil dari keluarga penyelenggara upacara. Namun ada kalanya penyelenggara upacara menyerahkan sepenuhnya penyelengaraan mapag pangantén pada kelompok seni PWS, maka PWS yang kemudian menentukan pager ayu. Karena sedikit sekali gadis-gadis Sunda di Kota Medan, maka PWS mengambil kebijakan bahwa pager ayu tidak harus orang Sunda, namun bisa juga suku lain seperti orang Batak Toba, Mandailing dan lain-lain. 4.1.2.4.
Punggawa
Punggawa adalah prajurit penjaga. Dalam konteks upacara mapag pangantén, punggawa bertugas untuk mengawal rombongan pangantén yang akan dijemput. Punggawa dalam
upacara mapag pangantén di Kota Medan biasanya
berjumlah empat orang dan membawa umbul-umbul sebagai tanda keramaian bahwa di tempat tersebut sedang dilaksanakan upacara. 4.1.2.5.
Payung agung
Pendukung upacara selanjutnya adalah pembawa payung agung. Dia bertugas untuk memayungi pangantén laki-laki. Payung dalam konteks upacara menyimbolkan perlindungan terhadap segala marabahaya yang dapat mengganggu kedatangan pangantén. Pembawa payung agung adalah laki-laki dengan tubuh yang tegap dan berwibawa. Dia menari dan melakukan gerakan-gerakan silat. Ketika payung agung dibuka, dia memutar tubuhnya ke segala arah sebagai tanda perlindungan yang biasa datang dari segala arah. Gerakan terakhir adalah membuka payungnnya dan memayungi pangantén laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
4.1.3. 4.1.3.1.
Peralatan dan Perlengkapan Upacara Gamelan Degung
Instrumen musik gamelan degung termasuk pada rumpun gamelan (Atmadibrata 1979: 66). Hal ini mengandung arti bahwa selain instrumen musik tersebut dimainkan dengan cara dipukul, juga bahannya terbuat dari logam. Dalam penyajiannya gamelan degung hanya bisa dimainkan secara ensambel. Hal-hal inilah yang menyebabkan Atmadibrata menggolongkan gamelan degung ke dalam rumpun gamelan. Gamelan degung terdiri dari empat sampai dengan tujuh instrumen. sebelum seni degung mengalami perkembangan, instrumen yang digunakan hanya berjumlah empat instrumen yaitu bonang, saron, jenglong dan goong. Kemudian sekitar tahun 1950-an, gamelan degung mengalami perkembangan dengan salah satunya adalah dengan menambah jumlah instrumennya dengan kendang, suling dan saron peking. Menurut bentuknya, selain jenis kendang dan suling, instrumen-instrumen dalam gamelan degung dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu bentuk pencu dan bilahan. Instrumen yang berbentuk pencu adalah bonang, jenglong dan goong. Sedangkan yang berbentuk bilahan adalah saron dan saron panerus. Instrumen pencu menurut klasifikasi Sach-Hornbostel termasuk pada jenis instrumen idiofon dengan sub-klasifikasi gong-chimes, sedangkan instrumen bilahan termasik pada jenis idiofon dengan dengan sub-klasifikasi metallophone. Jumlah pencu pada bonang tersiri dari 14 sampai dengan 16 pencu yang tersusun dari nada paling rendah 1 (da) sejauh tiga gembyang (oktaf). Deretan pencu
Universitas Sumatera Utara
tersebut disusun di atas penyangga yang disebut rancak yang terbagi menjadi dua bagian; rancak sebelah kanan diisi dengan deretan pencu bernada tinggi yang dimulai dari nada tertinggi 1 (da) sampai pada nada 3 (na) gembyang tengah dan rancak sebelah kiri diisi oleh deretan pencu dengan nada rendah yang dimulai dari nada 4 (ti) gembayang tengah sampai nada 5 (la) gembyang bawah. Pada instrumen jenglong, hanya terdapat enam buah pencu yang nadanadanya sato gembyang lebih rendah dari nada paling rendah pada bonang. Susunan nada-nadanya adalah: 5 (la)-1(da)-2(mi)-3(na)-4(ti)-5(la), tersusun dalan dua bagian rancak. Instrumen goong terdiri dari dua buah gong; kempul yang kecil dan goong yang besar. Keduanya diletakkan pada sebuah gantungan dan diikat dengan tali. Nada goong biasanya di-tuning pada nada 5 (la) dengan frekuensi yang jauh lebih rendah dari pada nada 5 (la) pada jenglong. Instrumen yang berbentuk bilahan pada gamelan degung adalah saron dan peking. Bilahan-bilahan pada saron disusun dari yang paling rendah di sebelah kanan pemain sampai yang paling tinggi ke sebelah kirinya. Jumlah bilahan pada saron sebanyak 14 bilah (kurang dari tiga gembyang) yang dimulai dari nada 5 (la) paling rendah sampai nada 2 (mi) paling tinggi. Sedangkan pada peking bilahan-bilahannya hampir sama seperti pada saron namun memiliki frekuensi nada lebih tinggi sari gembyang dari saron.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9. Saron
Kendang Sunda termasuk ke dalam klasifikasi membranofon dengan subklasifikasi barrel drum dua sisi yang terdiri dari tiga buah drum: satu kendang indung dan dua kulanter.
Gambar 10. Kendang dan kulanter
Universitas Sumatera Utara
Suling yang dipakai dalam ensambel gamelan degung adalah suling degung atau sering disebut juga suling pondok karena bentuknya pendek dan memiliki empat lubang nada.
4.1.3.2.
Payung dan Umbul-umbul Punggawa
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa kehadiran payung agung dalam upacara adalah untuk melindungi keseluruhan perangkat upacara dari gangguan dan marabahaya. Payung agung berbentuk payung yang sangat besar terbuat dari kain yang ditopang oleh jari-jari yang kuat dari kayu nangka. Biasanya payung agung berwarna kuning keemasan yang melambangkan kemakmuran dan keagungan. Sedangkan umbul-umbul yang dibawa para punggawa berwarna kuning atau hijau yang dilekatkan pada tiang bambu setinggi 2 sampai 2,5 meter. Umbul-umbul dihadirkan sebagai penanda bahwa di tempat tersebut sedang berlangsung upacara. 4.1.3.3.
Bokor Sawéran
Dalam bokor (jambangan) terdapat ramuan untuk sawér yang terdiri dari beras putih dan irisan kunyit yang melambangkan kesejahteraan dalam rumah tangga. Kadang juga beras putihnya dirndam dalam air kunyit sehingga warnanya berubah menjadi kuning. Jika demikian irisan kunyit tidak disertakan lagi dalam bokor. Selain itu ada juga uang logam yang banyaknya sesuai kehendak pengantin, dan permen sebagai lambang manisnya kehidupan rumah tangga. Semua ramuan tersebut disebut pangradinan.
Universitas Sumatera Utara
4.1.3.4.
Harupat
Harupat adalah batang lidi pohon enau. dalam konsep orang Sunda, harupat adalah simbol dari kerapuhan. Batang lidi enau yang keras namun rapuh diungkapkan dalam babasan (peribahasa) “geutas harupateun” yang artinya mudah putus asa. Dalam upacara mapag pangantén harupat ini kemudian dibakar sebagai simbol menghilangkan sifat geutas harupateun tersebut. 4.1.3.5.
Bakakak
Bakakak adalah seekor ayam yang dibelah dadanya dan dikembangkan lalu dipanggang. Bakakak diperlukan untuk upacara huap lingkung yang disediakan bersama sepiring nasi dan segelas air putih. 4.1.4. 4.1.4.1.
Proses Upacara Mapag
Prosesi ini merupakan acara yang mengawali upacara mapag pangantén. Mapag (menjemput) dipimpin oleh Ki Léngsér. Sebelumnya Ki Léngsér memeriksa semua kelengkapan upacara. Setelah rombongan tiba di halaman rumah, maka Ki Léngsér member tanda pada nayaga untuk memainkan repertoar Gending Bubuka sebagai tanda dimulainya upacara. Setelah gending selesai dimainkan, Ki Léngsér membaca rajah sebagai pengumuman pada hadirin bahwa akan ada tamu agung yaitu pangantén laki-laki dan keluarganya yang akan dipapag. Rajah tersebut berbunyi: Reup angin eureun heula, di dieu keur upacara
Reup! Angin berhenti dulu, di sini ada upacara.
Universitas Sumatera Utara
Jep sora simpé heula, di dieu aya pangantén
Jep! Suara diam dulu, di sini ada pengantin
Tah sora goong nu ngungkungan aya naon, aya naon? Tah sora goong nu ngungkungan aya naon, aya naon? Tah sora sora béwara tah sora sora béwara Tangara reujeung bewara paheut hiji subaya
Tuh! Suara goong berbunyi Ada apa? Ada apa? Tuh! Suara goong berbunyi Ada apa? Ada apa? Tuh! Suara, suara berita Tuh! Suara, suara berita Kabar baik ban berita Bersatu menjadi padu
Nu pasini jatukrami ayeuna dugi ka wanci Nu paheut ngeuyeuk kadeudeuh ayeuna parantos rawuh Yu papag yu bagéakeun bagéa wilujeng sumping Calon raja ing sadinten nu gilig diistrenan
Yang bertemu berpasangan Sekarang sampai waktunya Yang bersama memadu kasih Sekarang sudah bertemu Ayo jemput! Ayo sambut! Sambutan selamat datang Calon raja sehari, yang megah indah, diresmikan.
Selanjutnya Ki Léngsér memparsilahkan pembawa payung agung untuk makalangan (tampil) dan membawa payung sambil menari. Nayaga memainkan repertoar Rajah Payung dan Ki Léngsér menyanyikan rajahnya yang berbunyi; Pun… sampun, uwa hapunten Manawi tatamu saha, rumaos uwa leleda Sakedap antosan heula, uwa mundut kasalira Seja ngumbarkeun bewara, kasakumna balaréa
Pun… sampun Uwa momohon maaf Siapakah tamu gerangan, merasa Uwa lupa. Uwa mohon silakan tunggu sebentar (Uwa) akan mengumumkan berita kepada seluruh hadirin
Pun… sampun, kula ngembarkeun nu sumping Tuh atra ngaleut ngalabring
Pun… sampun, aku umukan bahwa ada yang datang. Tuh! Jelas terlihar beiringan
Universitas Sumatera Utara
Der gending geura ramékeun, bral miang miang geura papagkeun Bur payung geura bukakeun, bur payung geura bukakeun Bu..rr payung geura bukakeun
Ayo gending segera mainkan Ayo pergi segeralah jemput Bur payung segeralah buka! Bur payung segeralah buka! Bur payung segeralah buka!
Gambar 11. Pembawa payung agung
Setelah pembawa payung agung memayungi pangantén laki-laki, kemudian Ki Léngsér meminta nayaga untuk memainkan repertoar Umbul-Umbul sebagai tanda bagi para punggawa untuk beratraksi. Selanjutnya nayaga memainkan repertoar Léngsér Midang untuk mengiringi Ki Léngsér menari yang teksnya berbunyi:
Universitas Sumatera Utara
Uwa léngsér nu kacatur kokolot lembur Kabayan na sang prabu luhung ku elmu Wa léngsér sanak incu seja nyambut tamu agung Wa léngsér saanak incu seja nyambut tamu agung Hayu batur sauyunan patungtun-tungtun Ngadu’akeun nu karumpul sing panjang punjung Bende kabuyutan ngungkung mapag anu nembe rawuh Bende kabuyutan ngungkung Mapag anu nembe rawuh
Gambar 12. Ki Léngsér midang
Kemudian Ki Léngsér berbicara “Hayu dayang-dayang, urang papagkeun” (mari dayang-dayang, kita jemput). Kalimat ini merupakan tanda bagi nayaga untuk memainkan repertoar Pajajaran yang akan mengiringi pager ayu untuk menjemput pangantén dan rombongannya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 13. pager ayu menjemput dan mengiring rombongan dengan tabur bunga
Rombongan pangantén berjalan dengan taburan bunga dan tarian pager ayu sampai pada depan pintu rumah. Setelah sampai, pangantén laki-laki disambut oleh kedua orang tua pangantén perempuan yang kemudian mengalungkan bunga.
4.1.4.2.
Kalung Bunga
Orang tua pangantén perempuan mengalungkan bunga
sebagai tanda sambutan
terhadap pangantén laki-laki. Bunga yang berbentuk kalung tersebut adalah rangkaian bunga melati yang dipilih sebagai lambang kesucian dan keikhlasan untuk menerima dan menyambut tamu yang dianggap tamu kehormatan (wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007).
Universitas Sumatera Utara
4.1.4.3.
Sawér
Setelah kalung bunga selesai, kemudian pangantén perempuan keluar dan disandingkan bersama-sama untuk di-sawér. Sawér dalam bahasa Sunda berarti “cipratan air”. Dalam praktiknya upacara sawér dilakukan dengan menaburkan ramuan pangradinan seolah-olah mencipratkan air kepada kedua pangantén. Selama sawér berlangsung, sindén menyanyikan tembang yang teksnya berisi nasehat-nasehat dan do’a dalam kehidupan rumahtangga. Agung-agung ka pangapunten
Maafkan sebesar-besarnya
Ka panganten nu saranten
Maafkan pada mempelai yang manis-
Arimankeun ku maranten
manis. Imankanlah oleh anda berdua
Pitutur munel teu kinten
Nasihat-nasihat yang sangat berguna ini
Lengus angkuh ulah pisan
Tinggi hati dan angkuh jangan
Ka caroge teu kaopan
Juga gampang marah pada suami
Songong teu daek babasan
Ucap kasar dan tak ada sopan
Matak nutung kaapesan
Bisa membawa kesialan
Kapan loba istri geulis
Kan banyak wanita cantik
Jadi lading siga iblis
Melacur bagai iblis
Katerap panyakit najis
Terkena penyakit najis
Geulisna laleungit ledis
Cantiknya habislah punah
Reujeung mun pareng aya
Jika kebetulan ada
Tatamu sanak baraya
Tamu sanak keluarga
Uarang the ku du sadis
Kita harus bersedia
Suguhan saaya-aya
Sajikan apa yang ada
Universitas Sumatera Utara
Ka bojo kudu nyukakeun
Buatlah istri bersukacita
Ulah kumaki ngapeskeun
Jangan congkak merendahkan
Ngahaja sok nyapirakeun
Sengaja tak menghargai
Sok malik matak nyusahkeun
Sok malik menyusahkan
Nya tindak kudu jeun sareh
Bertindaklah lemah lembut
Mawa ngomong sing sarehseh
Ajaklah bicara ramah tamah
Bawang penta masing rineh
Minta dengan ketenangan
Ngarah mulus rapih repeh
Agar selamat rukun dan damai
Ka garwa mun koret pelit
Kikir dan pelit terhadap istri
Tangtu garwa teh mungkelit
Pasti istri sakit hati
Manan nurut anggur sulit
Dari pada tunduk, bahkan jadi sulit
Temahna ngalawan pelit
Akhirnya membalas pelit
Muga sing kuat ngiriman
Semoga bisa berkirim
Ka sepuh nu miheman
Pada orang tua yang menyayangi
Muga tetap ka-islaman
Semoga teguh ke-Islamannya
Maot muga mawa iman
Meninggal membawa iman
Ya allah nu sipat geten
Ya Allah Maha Pemurah
Nu ngandun rijki tulaten
Pembagi rizki teliti
Sadaya makhluk katiten
Semua makhluk terawasi
Abdi nyanggakeun panganten
Hamba serahkan pengantin ini.
Universitas Sumatera Utara
4.1.4.4.
Meuleum Harupat
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa harupat dalam konsep orang Sunda adalah lambang kerapuhan, maka dengan meuleum (membakarnya) diharapkan kerapuhan dan sifat putus asa dapat dihilangkan. Meuleum harupat dilakukan dengan cara membakar ujung harupat, lalu dimasukkan ke dalam kendi tanah berisi air. Kemudian kesu pangantén memegan kendi bersama-sama dan memcahkannya ke lantai. Ini adalah simbol bahwa setiap masalah harus dipecahkan bersama-sama.
Gambar 14. Meuleum harupat
4.1.4.5.
Nincak Endog
Setelah memecahkan kendi, pangantén laki-laki menginjak (nincak) sebutir telur dan kemudian pangantén perempuan mencuci kaki pangnatén laki-laki sebagai tanda pengabdian pada suami
Universitas Sumatera Utara
4.1.4.6.
Buka Pintu
Setelah selesai nincak endog, pangantén perempuan kemudian masuk ke dalam rumah dan pangantén laki-laki berada di luar pintu rumahnya. Keduanya melaksanakan ritual buka pintu sebagai tanda bahwa pangantén laki-laki diterima secarasah sebagai anggota keularga di rumah keluarga pihak perempuan. Buka pintu dilaksanakan dengan cara pemembacaan syahadat dan salam oleh pangantén laki-laki, kemudian mengetuk pintu. Lalu sindén dan juru alok menyanyikan tembang percakapan antara kedua pangantén. Pangantén perempuan: Saha eta nu di luar wet keketrok
Siapa itu di luar berani mengetuk pintu
kumawani teu aya bemakrama lir teu
tiada sopan santun, tiada kabar dan
terang tata-titi, taya iber ti tadi…
beritanya…
Pangantén laki-laki: Sampurasun aduh Enung… ieu engkang
Maafkan wahai buah hatiku, Kakandalah
di luar ngantosan parantos lami. Mangga ini di luar. Telah lama menunggu, buka, Engkang hoyong tepang
bukalah pintu, Kanda ingin bertemu
Pangantén perempuan: Engke heula Engkang saha?
Nanti dulu, Kanda siapa?
Pangantén laki-laki: Aeh, geuning Eulis…
Aih, kenapa demikian, sayang…?
Pangantén perempuan: Sumuhun naha saha tea nu pajar ngantos
Iya, siapa Kanda yang bilang telah lama
Universitas Sumatera Utara
tos lami nu ketrak ketrok ti tadi. Naha
menunggu itu, mengetuk-ngetuk pintu.
batur naha dulur hoyong terang jentrena
Orang lainkah atau kerabat? Ingin tau
ku abdi hoyong kakuping.
dengan jelas.
Pangantén laki-laki: Aeh, Eulis wet piraku kasamaran. Enung atuh neggal buka. Engkang teh garetek ati, sumeja tuhu bumela sakasuka sakanyeri, ngagondeng siang wengi.
Wahai sayang, masa tidak tau, segera buka pintu, Kanda tak sabar lagi ingin bersama dalam suka dalam duka dan derita, siang dan malam.
Pangantén perempuan: Sumangga saurkeun atuh Engkang saha, ti mana, mana ngurihit kaabdi maksa lebet sareng palay sasarengan.
Coba katakan Kanda siapa? Orang mana? Yang memaksa minta masuk dan ingin bersama saya.
Pangantén laki-laki: Engkang teh caroge Eulis anu nembe dirapalan sareng tutas maca talek. Anu mawi enggal buka.
Kanda ini suami Dinda, sayang. Yang baru saja disahkan dan membaca talek. Itulah, maka segeralah buka.
Pangantén perempuan: Aduh geuning panutan, mugi Engkang ulah bendu sarehning lami ngantosan. Mung sanaos abdi yakin nu di luar teh panutan.
Aduh, panutanku rupanya. Semoga tak marah karena lama menunggu. Sekarang saya yakin Kanda adalah suamiku.
Universitas Sumatera Utara
Pangantén laki-laki: Enung mah nyarios bae, ieu pintu enggal
Aih, manisku bicara saja, segeralah buka
buka
pintu ini.
Pangantén perempuan: Panuhun the teu pira, ku abdi hoyong karungu Engkang teh ngaos sahadat.
Permohonan saya sederhana saja, ingin mendengar Kanda baca syahadat.
Kemudian pangantén laki-laki membaca dua kalimat syahadat. Setelah itu masuk ke dalam rumah dan kedua pangantén disandingkan di pelaminan untuk melaksanakan huap lingkung.
4.1.4.7.
Huap Lingkung
Upacara huap lingkung bertujuan untuk mendekatkan kedua pangantén secara fisik dan emosional. Dalam huap lingkung terkandung unsur-unsur kedekatan fisik karena keduanya harus saling memeluk dan kedekatan emosional Karena keduanya saling menyuapi. Upacara huap lingkung dilakukan dengan cara kedua pangantén saling menyuapkan nasi melalui belakang kepala keduanya. Setelah menyuapkan nasi, kemudian saling memberi minum dengan cara yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 15. Huap lingkung
4.2.
Musik dalam Upacara Mapag Pangantén Seluruh rangkaian upacara mapag pangantén diiringi oleh repertoar-repertoar
yang dimainkan oleh gamelan degung. Repertoar-repetoar tersebut di antarnya Gending Bubuka, Rajah Léngsér, Rajah Payung, Gending Punggawa, Pajajaran, dan Bagja Diri.
4.2.1.
Gending Bubuka
Repertoar Gending Bubuka merupakan gending yang selalu dimainkan untuk mengawali rangkaian gending lainnya. Sesuai namanya, Gending Bubuka adalah repertoar pembuka pada setiap penampilan gamelan degung, termasuk dalam konteks upacara adat.
Universitas Sumatera Utara
Gending Bubuka merupakan pengulangan dari bentuk melodi p
p
p
p
p
g
p
p
p
p
p
g p=kempul g=goong
Dari bentuk melodi di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya gending ini tersusun dari beberapa motif melodi yang diulang-ulang dengan nada awal 3 (na) dan kemudian naik ke nada 5 (la) tinggi dengan jembatan melodi lagi ke nada 3 (na) dengan jembatan melodi
dan turun
. Goongan jatuh pada nada 2
(mi) dan nada 5 (la) rendah. Gending Bubuka berdasarkan motif dapat dilihat sebagai berikut:
Pada rekaman upacara, bentuk melodi pada Gending Bubuka diulang sampai 32 kali gong, artinya gending bubuka dimainkan sebanyak 16 kali pengulangan bentuk melodi di atas. Pada pengulangan kedua, bonang meningkahi melodi yang dimainkan saron dengan ketukan secara konstan pada nada 2 (mi) dan nada 5 (la). Hubungan saron dan bonang dapat dilihat sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
4.2.2.
Rajah Léngsér
Rajah adalah sambutan Ki Léngsér yang disampaikan dengan iringan frase-frase melodi yang mainkan saron secara ostinato. Pengulangan frase melodi pada saron diselingi dengan pukulan bonang yang jatuh pada ketukan atas (upbeat). Hubungan antara saron dan bonang dapat dilihat sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Dari notasi di atas dapat dilihat bahwa pengulangan frase melodi secara keseluruhan ditandai dengan jembatan melodi berikut:
.
Jembatan tersebut merupakan frase yang tersusun dari nada ti dan diakhiri dengan nada ti juga yang diulang sebanyak tiga kali sebelum akhirnya kembali ke motif awal. 4.2.3.
Rajah Payung
Repertoar Rajah Payung adalah kelanjutan dari Rajah Léngsér dengan komposisi motif melodi yang berupa pengulangan frase
yang dipandu oleh ketukan bonang. Hubungan antara saron dan bonang dapat dilihat sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
4.2.1.
Gending Punggawa
Gending Punggawa di mainkan ketika para punggawa yang membawa umbulumbul menari untuk menjemput pangantén dan rombongannya. Gending ini pada dasarnya merupakan pengulangan bentuk melodi
Universitas Sumatera Utara
Pada rekaman yang penulis transkripsi, pengulangan bentuk melodi ini terjadi sebanyak 48 goongan. Gending ini di akhiri dengan memperlambat tempo yang dipandu oleh bonang.
4.2.2.
Léngsér Midang
Repertoar Léngsér Midang dimainkan ketika Ki Léngsér mulai makalangan. Léngsér Midang tersusun dari dua bentuk melodi: Bentuk A:
A
Universitas Sumatera Utara
dan bentuk B:
A
B
A
Pada bentuk melodi A, saron dan bonang memainkan melodi yang sama sedangkan pada bentuk B, bonang hanya memainkan ketukan konstan pada nada 2 (mi) sementara saron memainkan melodi lagunya.
4.2.3.
Pajajaran
Repertoar Pajajaran adalah repertoar gamelan degung klasik yang dipercaya diciptakan pada zaman Kerajaan Pajajaran untuk mengagungkan raja-raja. Setelah Kerajaan Pajajaran runtuh, repertoar ini kemudian dimainkan dalam upacara mapag pangantén sebagai iringan lagu untuk mapag (wawancara Kang Ayi, 21 Maret 2007). Bentuk melodi pada repertoar Pajajaran dapat dilihat sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
4.2.4.
Bagja Diri
Komposisi Bagja Diri dapat adalah lagu penutup dalam upacara mapah pangantén. Lagu ini dimainkan ketika pager ayu menaburkan bunga seusai menjemput pangantén laki-laki dan rombongannya. Repertoar Bagja Diri yang dimainkan saron dan bonang dapat dilihat sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
4.3.
Keberlanjutan dan Perubahan Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa masyarakat Sunda yang bermigrasi ke
Kota Medan telah berinteraksi secara sosial dengan mayarakat suku lain. Interaksi ini dengan sendirinya menimbulkan perubahan-perubahan, baik itu dalam struktur masyarakat maupun adaptasi terhadap budaya luar.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan ini dirumuskan Koentjaraningrat (1986) sebagai difusi stimulus di mana terjadi persebaran kebudayaan secara geografis yang kemudian berubah melalui serangkaian pertemuan kultural dengan kebudayaan lain yang telah ada di Kota Medan yang mempengaruhi struktur, fungsi dan cara hidup masyarakat Sunda di Kota Medan. Perubahan-perubahan ini juga berimplikasi terhadap pelaksanaan adat dan upacara perkawinan secara umum dan upacara mapag pangantén secara khusus. Perubahan dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda terjadi dalam hal pelaksanaan beberapa ritual seperti berubahnya cara neundeun omong, ngalamar, dan seserahan. Selain itu, beberapa adat perkawinan yang tidak lagi dilaksanakan pada perkawinan Sunda di Kota Medan seperti ritual ngeuyeuk seureuh dan numbas merupakan bagian dari perubahan dalam upacara adat perkawinan Sunda di Kota Medan. Selain perubahan-perubahan tersebut, terjadi juga perubahan dengan masuknya unsur budaya lain ke dalam struktur upacara perkawinan Sunda. Salah satunya yaitu dilaksanakannya tepungtawar yang merupakan unsur budaya Melayu yang kemudian dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat Sunda, khususnya dalam upacara perkawinan. Kedekatan masyarakat Sunda dengan budaya Melayu di Kota Medan menurut pengamatan penulis diakibatkan oleh unsur budaya Islam. Kesamaan konsep religi menyebabkan kedekatan emosional antara masyarakat Sunda dan Melayu yang kemudian berimplikasi pada tepung tawar. Tepung tawar yang dalam masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Melayu sebagai ritual pemberian do’a dan keberkatan terhadap yang di-tepungtawari kemudian dilaksanakan juga oleh masyarakat Sunda dengan konsep yang hampir sama; sebagai ritual inisiasi yang menandakan kedua pangantén berubah statusnya dalam konteks masyarakat serta sebagai upacara pemberian do’a-do’a dari sesepuh kepada kedua pangantén dengan harapan bahwa rumahtangga yang dibangun keduanya dapat dijalani dengan sebaik-baiknya. Tepung tawar kemudian menjadi ritual yang lazim dilaksanakan oleh masyarakat Sunda di Kota Medan. Upacara perkawinan adat Sunda yang penulis teliti menunjukkan bahwa tepung tawar telah masuk sebagai bagian integral dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda. Masyarakat Sunda di Kota Medan menerima tepung tawar sebagai bagian dari rangkaian upacara. Perubahan-perubahan menyangkut tatacara pelaksanaan dalam perkawinan adat Sunda di Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Perbandingan upacara adat perkawinan
Adat Sunda terdahulu Neundeun omong
Dilaksanakan antara kedua calon pangantén sebagai kesepakatan lisan untuk menikah. Penyampaian neundeun omong dilakukan oleh orang lain yang mewakili calon pangantén laki-laki kepada calon pangantén
Adat Sunda di Kota Medan Ada, dengan bentuk lain. Kesepakatan lisan antara keduanya dilakukan secara langsung karena keduanya, biasanya telah menjalani masa pacaran.
Universitas Sumatera Utara
Siraman
perempuan, Karena biasanya keduanya belum saling mengenal. Orang tua mulai berperan dalam ngalamar dengan mendatangi keluarga pihak perempuan dan menyerahkan sirih sebagai tanda niat baik untuk menikahkan anaknya. Dilaksanakan sesuai adat.
Seserahan
Dilaksanakan sesuai adat.
Ngeuyeuk seureuh
Dilaksanakan sesuai adat.
Walimahan
Dilaksanakan sesuai ajaran Dilaksanakan sesuai ajaran agama Islam. agama Islam. Tidak ada. Dilaksanakan sesuai adat Melayu.
Ngalamar
Tepung tawar
Tidak ada lagi sirih yang diserahkan. Biasanya orang tua laki-laki datang membawa berbagai bingkisan dan uang.
Pada beberapa kasus tidak dilaksanakan, namun masih ada yang melaksanakannya. Dilaksanakan dengan cara lain. Tidak ada sirih, yang ada cincin tunangan. Kadang disebut acara tunangan. Tidak dilaksanakan.
Dari tabel di atas dapat dilihat bagaimana perubahan dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda yang dilaksanakan di Kota Medan. Perubahan juga terjadi dalam upacara mapag pangantén. Materi-materi upacara seperti berpindahnya tempat upacara dari halaman rumah ke gedung resepsi yang menyebabkan berubahnya tempat sawér dan hilangnya upacara buka pintu, adalah salah satu perubahan yang terjadi dalam upacara mapag pangantén. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
pager ayu yang dalam adat Sunda adalah anak-anak gadis kerabat pangantén perempuan, di Kota Medan tidak ada lagi; pager ayu adalah penari dari kelompok seni Paguyuban Wargi Sunda Medan yang tidak harus bersuku Sunda, tapi bisa juga bersuku lain seperti Batak Toba, Jawa dan lain-lain. Pada beberapa kesempatan upacara yang penulis ikuti, pager ayu adalah mahasiswa Etnomusikologi USU yang bersuku Batak Toba, Mandailing dan Jawa. Perubahan-perubahan dalam upacara mapag pangantén dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3. Perbandingan upacara mapag pangantén
Upacara mapag pangantén Tempat upacara
Pendukung upacara: a. Pager ayu
b. Nayaga
Proses Upacara: a. Buka pintu
Halaman rumah keluarga pangantén perempuan.
Upacara mapag pangantén di Kota Medan Gedung resepsi. Pada beberapa kasus masih dilaksanakan di halaman rumah, namun keterbatasan ruang mempengaruhi jalannya upacara.
Anak gadis kerabat pangantén perempuan
Penari, bukan orang Sunda.
Berasal dari sanggar seni profesional .
Diafiliasi oleh Paguyuban Wargi Sunda dan tidak profesional.
Dilaksanakan sesuai adat
Untuk mapag pangantén yang dilaksanakan di gedung resepsi, tidak dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
Menurut pengamatan penulis, perubahan tempat upacara diakibatkan oleh menyempitnya ruang, baik itu secara fisik, maupun ruang sosial di mana masyarakat Sunda yang melaksanakan upacara harus juga memikirkan kepentingan masyarakat lain di lingkungannya. Toleransi sosial ini yang menyebabkan masyarakat Sunda enggan melaksanakan upacara mapag pangantén di rumahnya yang kemudian dipindahkan ke gedung resepsi yang lebis luas, secara fisik maupun ruang sosialnya. Selain itu, pager ayu yang tidak lagi diambil dari kerabat keluarga pihak perempuan disebabkan karena tidak semua kerabat keluarga perempuan yang bisa menari. Jadi Paguyuban Wargi Sunda sebagai pendukung upacara mapag pangantén memilih penari-penari untuk menjadi pager ayu, termasuk penari yang bukan oran Sunda, melainkan oang Batak Toba, Mandailing, Jawa dan lain-lain. Dengan kata lain Paguyuban menjadi agen perubahan dalam hal ini. Perubahan pager ayu tersebut tidak mempengaruhi jalannya upacara. Pager ayu yang bukan orang Sunda diterima sebagai pendukung upacara. Di samping perubahan-perubahan yang terjadi, ada juga unsur-unsur yang berlanjut dalam upacara mapag pangantén. Keberlanjutan dalam upacara mapag pangantén dapat dilihat dari instrumen musik dan repertoar yang dimainkannya. Kehadiran gamelan degung dalam upacara mapag pangantén merupakan sesuatu yang esensial dalam mendukung terlaksananya upacara. Hampir tidak mungkin upacara mapag pangantén diselenggarakan tanpa kehadiran gamelan degung. Meskipun pada beberapa kasus gamelan degung dapat dihadirkan melalui rekaman, namun tetap saja
Universitas Sumatera Utara
dalam rekaman tersebut terdapat repertoar-repertoar gamelan degung yang khusus digunakan untuk mengiringi upacara. Repertoar-repertoar seperti Gending Bubuka, Rajah, Gending Punggawa, Léngsér Midang, Pajajaran dan Bagja Diri merupakan repertoar yang harus hadir dalam upacara. Berdasarkan penelitian ini, penulis menarik kesimpulan bahwa musik dalam konteks upacara mapag pangantén mempunyai kecenderungan keberlanjutan yang kuat dan sulit berubah, meskipun pada praktiknya struktur dan materi-materi upacara telah berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
5.1.
KESIMPULAN Masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Kota Medan tetap memelihara adat dan
tradisinya, termasuk adat dalam upacara mapag pangantén sebagai bagian dari adat perkawinan. Upacara adat perkawinan Sunda yang diselenggarakan di Kota Medan mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi struktur upacara yang terdiri dari waktu dan tempat upacara, materi-materi upacara dan proses jalannya upacara. Begitu juga dengan upacara mapag pangantén, yang mengalami perubahan dalam hal waktu dan tempat upacara, pendukung upacara dan proses upacara. Perubahan-perubahan tersebut diakibatkan oleh interaksi dan kontak budaya dnegan kebudayaan lain yang ada di Kota Medan. Masuknya tradisi tepung tawar yang diadaptasi dari budaya Melayu merupakan salah satu perubahan dalam struktur upacara perkawinan adat Sunda yang diakibatkan oleh interaksi sosial. Penyebab lain perubahan dalam konteks upacara perkawinan antaralain adalah perkembangan tingkat pendidikan yang mempengaruhi pola pikir dan cara hidup masyarakat Sunda di Kota Medan. Selain itu, ketersediaan materi-materi budaya di Kota Medan mempengaruhi cara masyarakat Sunda merepresentasikan kehidupan adatnya.
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, aspek-aspek nilai, konsep dan sistem ide masyarakat Sunda terhadap upacara pekawinan tetap bertahan. Ini dapat dilihat dari bagaimana orang Sunda memahami dan menerima perubahan material upacara dengan tidak merubah konsep dan nilainya. Pelajaran dan nasehat hidup direpresentasikan dalam bentuk simbol, baik itu secara analogis seperti dalam ritual meuleum harupat atau nincak endog, maupun secara verbal seperti teks dalam sawér. Meskipun kesemuanya telah berubah, namun konsep dan gagasan-gagasannya tetap berlanjut (lihat teori Cowell 1959:40). Keberlanjutan dalam hal lain adalah menyangkut aspek-aspek musikal. Kehadiran gamelan degung dalam upacara mapag pangantén merupakan sesuatu yang esensial karena hanya repertoar yang dimainkan oleh gamelan degung yang dapat mempresentasikan upacara mapag pangantén. Repertoar-repertoar tersebut masih tetap sama seperti repertoar upacara mapag pangantén sebelum masyarakat Sunda bermigrasi ke Kota Medan. Keberlanjutan tradisi musik ini tidak terlepas dari peran Paguyuban Wargi Sunda yang secara konsisten melakukan upaya-upaya agar tradisi musik dalam konteks upacara mapag pangantén tetap bertahan. Pada akhirnya peran seluruh masyarakat Sunda yang ada di Kota Medan diperlukan supaya upacara mapag pangantén dan segenap aspeknya terus berlanjut. Menyelenggarakan upacara mapag pangantén berarti juga turut memelihara keberlanjutan tradisi musik Sunda.
Universitas Sumatera Utara
5.2.
SARAN Berdasarkan penelitian skripsi ini, penulis menyarankan beberapa hal agar
penelitian-peneltian lanjutan dari skripsi ini dapat dilaksanakan dengan lebih baik lagi. Penulis menyarankan untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang kajian sejarah masuknya mayarakat Sunda ke Kota Medan. Hal ini diperlukan agar masyarakat ilmiah khususnya dan masyarakat luas pada umumnya mendapat pengetahuan yang lebih mendalam terhadap sejarah migrasi orang Sunda ke Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
KEPUSTAKAAN
Agoes, Artati. 2003. Perkawinan Adat Sunda. Jakarta : Elex Media Komputindo. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktis. Jakarta : Rineka Cipta. Atmadibrata, Enoch. 1987. Penelitian Kesenian Sunda. Makalah pada Temu Ramah Etnomusikologi. Aulia, Emil W. 2006. Berjuta-juta Dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Kontrak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Behague, Gerard, [ed.]. 1984. Performances Practice: Etnomusicological Perspectives. London : Greenwood Press. Benny, Cornellia Jane, [ed.]. 1988. Pakaian Tradisional Daerah Jawa Barat. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Depdikbud. Berman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad Ke Dua Puluh. Jakarta: Grafiti Pers Bogdan, R. and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methode. New York : John Willey and Sons. Budidharma, Pra. 2001. Pengantar Komposisi dan Aransemen. Jakarta : Elex Media Komputindo. Buiskool, Dirk A. 2005. Medan: A Plantation City on The East-Coast of Sumatera 1870-1942. [ed.] Freek Colombijn. Old City, New City: The History of The Indonesian City Before and After Independence. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Capwell, Charles. 1992. The Music of Indonesia. [ed.] Bruno Nettl. Excursion in World Music. New Jersey : Prentice Hall, pp. 134-164.
Universitas Sumatera Utara
Cowell, F.R. 1959. Culture in Private and Public Life. New York : Frederick Praeger. Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Davis, Kingsley. 1960. Human Society. New York : McMillan Company. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta : Pustaka Jaya. —. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta : Giri Mukti Pustaka. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori dan Teknik Penelitian Kebudayaan. Jakarta : Wedatama Widya. Faturohman, Taufik. 1982. Tata Basa Sunda. Bandung : Medal Agung. Hardjito, Priadi Dwi. 1983. Etnomusikologi dan Filsafat Nada. Bandung : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Harsojo. 1993. Kebudayaan Sunda. [ed.] Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan, pp. 307-328. Hartono, Soehardi. 2005. Medan: The Challenges in the Heritage Conservation of Metropolis. [ed.] Freek Colombijn. Old City, New City: History of The Indonesian City Before and After Independence. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Universitas Sumatera Utara
Heins, Ernst L. 1977. Goong Renteng: Aspect of Orchestral Music in Sundanese Village. Amsterdam : Universiteit van Amsterdam. Herdini, Heri. 1992. Tabuhan Bonang pada Ensambel Degung: Tinjauan Musikologis Lagu-lagu Klasik. Skripsi Sarjana. Medan : Etnomusikologi USU. Herkovits, M.J. 1985. Acculturation: The Study of Culture Contact. New York : Peter Smith. Hermawan, Deni. 1990. Tabuhan Kacapi Tembang Sunda Cianjuran: Tinjauan Musikologis terhadap Teknik dan Gaya Tabuhan Permainan Uking Sukri. Skripsi Sarjana. Medan : Etnomusikologi USU. Kaplan, David and Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya. [trans.] Landung Simatupang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kashima, Susumu. 1990. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musikal. [trans.] Rizaldi Siagian. Voices of Asia. pp. 174-175. Koentjaraningrat, [ed.]. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan. —. 1986. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utam. —. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru. Kottak, Conrad Phillip. 2002. Anthropology: The Exploration of Human Diversity. 9th Edition. New York : McGraw-Hill. Krader, Barbara. 1980a. Ethnomusicology. [ed.] Stanley Sadie. The New Grove Dictionary of Music and Musicians. London : McMillan, Vol. VI, pp. 275-282. —. 1980b. Etnomusicology. [trans.] Rizaldi Siagian. Medan : Etnomusikologi USU.
Universitas Sumatera Utara
Lingkung Seni dan Sastra ITB. 2000. Kamus Basa Sunda - Bahasa Indonesia. Bandung : LSS-ITB. Loeb, Edwin M. 1935. Sumatra Its History and People. Vienna : Verlag des Institutes fur Volkerkunde der Universitat. Malm, William P. 1993. Music Cultures of The Pasific, The Near East and Asia. [trans.] M. Takari. Medan : Etnomusikologi. —. 1977. Music Cultures of the Pasific, The Near East, and Asia. Second Edition. New Jersey : Prentice Hall. Martadinata, Juju Sain. 1987. Sekar Gending Degung. Cetakan Ketiga. Bandung : Mitra Buana. May, Phillis M. 1978. The Philosophical Approaches to Transcriptions. Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List. Bloomington : Indiana University Press. Mulyana, Aton Rustandi, Gombloh, Joko S. and Salim, Hairus. 2005. Seni dan Mayarakat: Hubungan yang Kompleks. Gong: Media, Seni dan Pendidikan Seni. No. 74, Vol. VII, pp. 6-11. Mustapa, RH. Hasan. 1996. Adat Istiadat Sunda. [trans.] Maryati Sastrawijaya. Bandung : Penerbit Alumni. —. 1913. Bab Adat-adat Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti eta. Jakarta : Kantor Tjitak Gupernemen. Nettl, Bruno, [ed.]. 1992. Excursion in World Music. New Jersey : Prentice Hall. —. 1985. The Western Impact on World Music: Adaptation and Survival. New York : Schrimer Books. —. 1964. Theory and Methode in Ethnomusicology. New York : The Free Press.
Universitas Sumatera Utara
Nickol, Peter. 2005. Membaca Notasi Musik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Palen, J.John. 1975. The Urban World. New York : McGraw-Hill, 1975. Pekerti, Widya. 2001. Pendidikan Musik, Tari dan Drama. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Perlman, Mark. 1988. Pedoman Penulisan Not Balok. Diktat. Medan : Etnomusikologi USU. Permana, Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta : Wedatama Widya. Prawirasuganda, A. 1950?. Adat Perkawinan di Tanah Pasundan. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde. Vol. LXXXIV, pp. 209-279. Purba, Mauly. 2004. Metodologi Penelitian Kesenian. [ed.] Muhammad Takari. Studia Kultura: Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya. Vol. 5 Tahun 3, pp. 361-381. Purwadi. 2004. Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa. Yogyakarta : Media Abadi. Rouget, Gilbert, [ed.]. 1984. Music and Trance. Chicago : University of Chicago Press. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Shogo, Kayano, [ed.]. 1996. Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Siagian, Esther L. 2005. Gong; Buku Pelajaran Kesenian Nusantara. Jakarta : Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Universitas Sumatera Utara
Sinar, Tengku Lukman and Syaifuddin, Wan. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan : USU Press. Soepandi, Atik. 1988. Kamus Karawitan Sunda. Bandung : Pustaka Buana. —. 1974. Perkembangan Degung di Jawa Barat. Surakarta : ASKI Surakarta. Suriasumantri, Jujun. 1993. Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar Populer. Cetakan Ketujuh. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Surjadi. 1985. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung : Penerbit Alumni. Susanto, Harry. 1987. Mitos: Menurut Pemikiran Mircea Elade. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Suwondo, Bambang. 1975. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat. Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen P dan K. Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Akademika Pressindo. Takari, Muhammad, Deliana, Frida and Dewi, Heristina. 1992. Teknik Penulisan dalam Etnomusikologi. Medan : Etnomusikologi USU. Trueblood, David. 1990. Philosophy of Religion. [trans.] HM. Rasjidi. Jakarta : Bulan Bintang. Wibisana, Wahyu. 1986. Arti Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-nilai Budaya Daerah Jawa Barat. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zanten, Willem van. 1987. Sundanese Music in Cianjuran Style. Amsterdam : Foris Publication.
Universitas Sumatera Utara