ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSIKAL GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN
S KRIPS I S ARJANA DIKERJAKAN
O L E H
MAHYAR S OPYAN PANE NIM: 080707002
UNIVERS ITAS S UMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUS IKOLOGI MED AN 2013 ii
ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSI KAL GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWI NAN MANDAILING DI KOTA MEDAN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H MAHYAR S OPYAN PANE NIM: 080707002
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. M uhammad Takari, M .Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
Drs. Fadlin, M .A. 196102201989031003
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU M edan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUM ATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEM EN ETNOMUSIKOLOGI M EDAN 2013
ii
PENGES AHAN
DITERIM A OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, M edan
Pada Tanggal : Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M .A. NIP
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1. Drs, M uhammad Takari, M .A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M .Pd. 3.Drs. Bebas Sembiring, M .Si. 4.Drs. Setia Dermawan Purba, M .Si. 5.Drs. Kumalo Tarigan, M .Si.
ii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUM ATERA UTARA
DEPARTEM EN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan
ke hadirat Allah S.W.T atas rahmad dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Analisis Fungsional dan struktur Musikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan. Tugas Akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Seni dari jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang t idak terbatas. Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya. Ayahanda Saimurtama Pane dan Amidar yang telah memberikan kasih saying dan kepercayaan kepada saya dengan tulus hati serta tiada hentinya memberikan perhatian dan dorongan demi selesainya studi anaknya.. juga kepada semua saudara saya, adinda Agusyahputra Pane, adinda Tin Aprizal Ananda Pane, adinda Siti Rahma Pane, adinda Nuraida, dan saudara-saudara lainnya yang telah memberikan bantuan moril dan materil dalam menyelesaikan studi saya ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. M uhammad Takari, M .Hum., Ph.D. selaku ketua Jurusan Etnomusikologi sekaligus yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Bapak Drs. Fadlin M .A yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Segenap para dosen di Jurusan Etnomusikologi yang turut membantu proses penyelesaian tugas akhir ini.
ii
4.
Seluruh informan termasuk Bapak Ridwan Amanah Nst sebagai narasumber penulis yang telah banyak
membantu untuk memberikan informasi yang
berkaitan dengan tugas akhir ini. 5.
Seluruh stambuk
2008
jurusan Etnomusikologi yang membantu
saya
dengan dukungan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Semua pihak yang telah membantu saya dan tidak dapat saya sebutkan satu- persatu. Penulis menyadari skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu penulis
mengaharapkan sekali masukan-masukan dan saran-saran yang sifatnya
membangun dan membaca, sehingga mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu etnomusikologi.
M edan,
2013
M ahyar Sopyan Pane NIM : 080707002
ii
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan
diterapkan oleh manusia. Budaya suatu suku bangsa merupakan suatu penampakan identitas diri dari suku bangsa tersebut. Suatu suku bangsa dapat dikenal oleh dunia apabila suatu suku bangsa tersebut sanggup memperkenalkan identitas dirinya kewat budayanya yang khas (Parlaungan 1997:4).Salah satu dari sekian banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan masyarakat M andailing yang terletak di Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Etnik M andailing adalah orang yang berasal dari M andailing secara turun menurun dimanapun ia bertempat tinggal. M andailing terdapat di Sumatera Utara yang terletak di Kabupaten M andailing Natal. M andailing dibagi dua walaupun adatnya sama, yaitu M andailing Godang dan M andailing Julu. M andailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sehepeng sebelah utara Panyabungan sampai M aga disebelah selatan serta didaerah Batang Natal sampai M uarasoma dan M uara Parlampungan disebelah barat. Sedangkan daerah M andailing Julu didominasikan oleh marga Lubis yang wilayahnya dari Laru dan Tambangan disebelah utara Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang di sebelah Selatan.
1
Etnik M andailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan M andailing yang bernama Gordang Sambilan. Gordang sambilan adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang berukuran besar. Adapun penamaan dari Sembilan gordang tersebut mulai dari yang terbesar sampai terkecil selalu berbeda-beda pada suatu daerah tetapi bentuknya sama, seperti di daerah pakantan, huta pungkut dan tamiang Untuk memperjelas perbedaan nama-nama Gordang Sambilan (dari yang besar sampai yang kecil) dapat dilihat table berikut:
Tabel 1. Perbedaan Nama M aisng-masing Gordang dalam Ensambel Gordang Sambilan di Wilayah Budaya M andailing Penamaan
Pakantan
Huta Pungkut
Tamiang
Gordang 1
Jangat
Jangat siangkaan
Jangat siangkaan
Gordang 2
Jangat
Jangat silitonga
Jangat silitonga
Gordang 3
Hudong-Kudong
Jangat sianggian
Jangat sianggian
Gordang 4
Hudong-Kudong
Pangoloi
Pangoloi
Gordang 5
Padua
Pangoloi
Pangoloi
Gordang 6
Padua
Paniga
Paniga
Gordang 7
Patolu
Paniga
Paniga
Gordang 8
Patolu
Hudong-Kudong
Hudong-Kudong
Gordang 9
Enek-Enek
Hudong-Kudong
Eneng-Eneng
gordang
2
Permainan gordang sambilan pada upacara adat masyarakat M andailing tidak terlepas dari pemain ensambel musik yang dimainkan secara bersamaan sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat M andailing. Adapun jumlah pemain gordang sambilan yaitu terdiri dari 11 (sebelas) para pemusik meliputi, (1) satu orang pemain sarune, (2) lima orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang memainkan dua buah jangat atau disebut panjangati, (b) satu orang memainkan hudong-kudong, (c) satu orang memainkan dua buah paduai, (d) satu orang memainkan dua buah patolu dan, (e) seorang memainkan enek-enek, (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan mongmongan atau gong panolongi dan panduai dan, (5) satu orang memainkan pamulosi, (6) satu orang memainkan gong doal dan, (7) satu orang memainkan tali sasayak. Formasi ini terdapat di daerah Pakantan. Sedangkan diwilayah Huta Pungkut dan Tamiang jumlah pemain pemusiknya adalah 9 (sembilan) yang terdiri dari (1) satu orang pemain sarune, (2) empat orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang memainkan tiga buah jangat yaitu jangat siangkaan, jangat silitonga, jangat sianggian, (b) satu orang memainkan duah buah pangoloi, (c) satu orang memainkan duah buah paniga, (d) satu orang memainkan duah buah hudongkudong, (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan mongmongan, (5) satu orang memainkan talempong, dan (6) satu orang memainkan tawak-tawak. (Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap 2004:31-32). Namun dalam pembahasan ini, penulis lebih mengarah kepada daerah Pakantan. M asyarakat M andailing menerapkan adat-istiadatnya dengan disebut “markoum marsisolkot” artinya terdiri dari kelompok yang berlainan marga rangkul-merangkul atau harus bersatu padu seia sekata menjadi satu. Dikemudian 3
hari adat istiadat markoum marsisolkot ini disebut orang juga dengan adat dalihan na tolu yang diartikan yaitu dalihan : batu tungku, na tolu: yang tiga. M aksudnya tungku yang tiga (tiga batu tungku) yang secara arfiah diartikan sebagai tungku dan penyangganya terdiri dari tiga. A gar tungku tersebut dapat seimbang. Secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen (unsur)nya terdiri dari tiga kelompok (H. Pandapotan Nasution, S.H 2005). Ketiga kelompok yang berlainan marga itu yaitu suhut dan kahangginya, mora dan anak boru. Yang dimaksud Suhut dan Kahangginya adalah kita sendiri dengan saudara-saudara kita baik yang terdiri dari satu ibu dan satu bapak atau tidak tetapi haruslah dari kelompok yang satu marga. Mora adalah dari kelompok tempat pengambilan anak gadis dalam perkawinan atau orang tua dan saudarasaudara dari pihak istri kita. Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis kita dalam perkawinan atau pihak orang-orang tua dan saudara-saudara dari suami anak-anak gadis kita (kelompok dari menantu). Bentuk-bentuk acara gordang sambilan menurut sifat penggunaan terdiri dari upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru sedangkan upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara kematian. Namun pada praktek penyelenggaraannya gordang sambilan di Kota M edan lebih digunakan pada sifat upacara siriaon (suka cita) hal ini disebabkan karena bentuk upacara siriaon (sukacita) merupakan bentuk upacara yang paling lazim diselenggarakan, penggunaan pada upacara siluluton (dukacita) tidak lagi dilakukan karena bentuk penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. pada upacara siriaon (suka cita) yang masih dilakukan sampai saat ini di Kota M edan adalah upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru. Dari bentuk upacara ini hanya upacara perkawinan saja 4
yang umum menggunakan gordang sambilan karena upacara perkawinan memiliki intensitas dalam hal penyelenggaraanya. Pada kedua sifat penggunaan gordang sambilan diatas, penulis lebih menitikberatkan pembahasan pada sifat siriaon (sukacita) yaitu dalam upacara pesta perkawinan masyarakat M andailing di Kota M edan. Dalam upacara perkawinan, Gordang Sambilan dimainkan
disaat
penyambut pengantin, tamu dan selesai pemberian gelar adat kepada pengantin laki-laki itupun setelah diberi izin melalui markobar (musyawarah) kemudian dipukulnya gondang dua (gondang boru) yang sebagai tanda bahwa upacara sudah resmi dibuka dan gordang sambilan sudah di pindahkan dari bagas/sopo gondang (rumah gondang), barulah Gordang Sambilan bisa dimainkan setelah disantani (tepung tawari) dan untuk meninggung (pemukul pertama gordang) adalah raja panusunan (Raja yang tertinggi di huta) kemudian diserahkan kepada pemain gordang untuk memainkannya. Dan pada saat di hari puncaknya pesta atau hari akhirnya pesta pernikahan selesai dimana acara margondang pun dihentikan, maka disimpan kembali dengan terlebih dahulu disoda sebaimana dengan menyantan gondang. Biasanya pada saat dimainkan Gordang Sambilan diikuti dengan tari sarama (tarian yang menghormati roh nenek moyang) dengan kesurupan. Pada upacara perkawinan masyarakat M andailing, gordang sambilan identik dengan kemapanan seseorang melaksanakan upacara perkawinan tersebut. Keluarga yang mengadakan upacara adat menggunakan gordang sambilan termasuk keluarga yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam mengadakan Gordang Sambilan menggunakan anggaran yang besar mulai dari mengadakan peralatan adat (paragek atau pago-pago) dihalaman seperti bendera adat, payung adat yang diberi rumbai, pedang, langit-langit, rompayan dan 5
pelaminan sampai upacara perkawinan yang berlangsung selama tiga hari dua malam sehingga masyarakat yang mengadakannya boleh dikatakan orang yang terpandang (wawancara narasumber). Pada upacara horja godang (pesta besar atau biasanya disebut pesta perkawinan), seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur di sembelih sebagai syarat untuk mengadakan Gordang Sambilan, meskipun untuk mangampeon gondang (menempatkan gordang pada rumah gendang yang disebut bagas gordang) dalam upacara perkawinan tersebut itupun harus meminta izin kepada raja pasunan bulung. M eminta izin tersebut dengan menyurdu burangir kepada raja. Pasunan bulung adalah seorang ahli dan penguasa dalam adat istiadat M andailing. Keizinan dapat diperoleh dari hasil musyawarah adat yang di sebut markobar (wawancara Ibrahim Lubis) Gordang Sambilan adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa rit me yang berulang-ulang. Dalam segi musikal, Gordang Sambilan mempunya pola rit me yang dimana penentu patokannya terhadap ritme gordang sambilan adalah Patolu yang dipukul dua kali dalam set iap empat ketuk dengan pukulan yang konstan, sedangkan enek-enek (paling kecil), padua (setelah patolu), hodongkudong sebagai pengisi ritme dan jangat (paling besar) berfungsi sebagai variasinya dari empat gordang tersebut. Adapun fungsi gordang sambilan pada adat horja siriaon (perkawinan) yang dikemukakan oleh Bapak Ridwan Amanah Nst adalah sebagai bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau toko adat M andailing, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun pembuatan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada 6
masyarakat bahwa sedang berlangsungnya acara adat. Secara fungsi Gordang Sambilan tidak mengalami perubahan fungsi karena fungsi Gordang Sambilan di Kota M edan tetaplah sebagai alat musik kesenian tradisional M andailing. Perubahan yang tampak adalah pada aspek kegunaannya saja. Berdasarkan penelitian ini penulis mengamati tentang Upacara Perkawinan Adat M andailing yang diadakan di Kota M edan, upacara ini berlangsung selama dua hari satu malam. Dan upacara perkawinan pada jaman dulu upacara ini berlangsung selama 7 hari dan bahkan ada yang sampai 1 bulan, tetapi p ada saat sekarang ini upacara perkawinan biasanya di laksanakan selama dua hari satu malam, karena memerlukan biaya yang cukup besar dalam upacara yang cukup lama.(Wawancara Bpk Ridwan Amanah Nst) Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merasa dalam pengkajian tentang ensambel musik yang di gunakan pada pesta perkawinan masyarakat M andailing yaitu gordang sembilan penting untuk di kaji dan ditulis dalam sebuah tulisan atau di jadikan bahan skripsi dalam bentuk ilmiah dengan Judul “Analisis Fungsi Dan S truktur Musikal
Gordang S ambilan Dalam Upacara
Adat
Perkawinan Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.”
1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di atas penulis membatasi pokok permasalahan karena
keterbatasan waktu dan kemampuan akademis. Pokok permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini ialah: 1. Bagaimana fungsi gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan pada M asyarakat M andailing di Kota M edan?
7
2. Bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan pada M ayarakat M andailing di Kota M edan?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah: a. M engetahui bagaimana fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan. b. M engetahui bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan. c. Sebagai dokumentasi tentang Kebudayaan M andailing dan dapat menjadi masukan di Departemen Etnomusikologi.
1.3.2
Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a. M emberi pengetahuan dan informasi kepada masyarakat luas bagaimana fungsi gordang sambilan dala upacara perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan. b. Dapat mengerti dan mengetahui bagaimana proses permainan gordang sambilan dalam perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan. c. Dengan membaca skripsi ini di harapkan masyarakat di Kota M edan khususnya kebudayaan M andailing dapat mengetahui lebih dalam mengenai penggunaan gordang dalam upacara perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan.. 8
1.4
Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep Konsep ialah pengertian abstrak dari sejumlah konsepsi – konsepsi atau pengertian, pendapat atau paham yang telah ada dalam pikiran ( Koentjaraningrat 1985 : 10 ). Dalam penulisan ini yang di maksud dengan fungsi yaitu kegunaan dari suatu hal yang dilaksanakan, dan pengertian dari guna adalah manfaat dari suatu benda atau pekerjaan yang dilakukan ( Kamus Lengkap Bahasa Indonesia : 1997 ). Sebagai landasan berpikir dalam pembahsan skripsi ini maka penulis melandaskan kepada pemahaman yang dikemukan oleh Allan P. M erriam (1964:63) tentang konsep musik. Konsep musik gordang sambilan yaitu ada Sembilan buah gendang yang masing-masing memiliki diameter yang saling berbeda namun dalam penggunaan selalu digunakan serentak. Selain dari penggunaannya, tiap-tiap gordang tersebut memiliki penamaan yang juga berbeda. Gordang sambilan adalah jenis alat musik sakral yang berbentuk sangat besar dan panjang yang dimainkan untuk sesuatu hal bisa menjadi s imbol, ataupun pengesahan terhadap sesuatu didalam sebuah upacara adat dalam pertunjukannya tidak hanya berdiri sendiri namun diikuti dengan alat-alat musik lain yang disebut dengan ensambel gordang sambilan (Ridawan Amanah nst). Koentjaraningrat ( 2000:90 ) mengatakan bahwa di pandang dari sudut kebudayaan manusia maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya. karena menurut pegertian 9
masyarakat perkawinan menyebabkan seorang laki – laki tidak boleh melakukan hubungan seksnya dengan wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita yang sudah disahkan sebagai istrinya. M enurut Poerwadarminta (1986) mengatakan bahwa upacara merupakan suata hal dalam melakukan perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau menurut agama. Upacara perkawinan bukan saja penting bagi manusia tetapi juga merupakan suatu peristiwa yang sangat
berarti serta sepenuhnya mendapat
perhatian dari arwah para leluhurnya. Perkawinan bagi masyarakat M andailing merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara sakral yang dilakukan. Dalam perkawinan masyarakat mandailing harus sesuaikan dengan Dalihan Na Tolu yanga artinya tiga tungku.
1.4.2 Teori Dalam mendeskripsikan komponen-komponen upacara ritual penulis mengacu kepada Koentjaraningrat (1985:243) yaitu mengemukakan pengertian upacara suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari tempat upacara, saat dan waktu upacara dilaksanakan, benda – benda atau alat upacara, dan orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara. Pendapat M alinowski mengenai teori fungsionalisme adalah berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dari makhluk manusia (Basic Human Needs). Dengan demikian, unsur kesenian misalnya mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur system pengetahuan untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu. 10
Untuk melihat fungsi Gordang Sambilan maka penulis menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Alan P. M arriam bahwa ada 10 fungsi musik yang telah di ungkapkan, tetapi tidak semua yang telah diungkapkan tersebut berlaku untuk seluruh kebudayaan yang ada di dunia. Untuk mengklasifikasikan alat musik penulis gordang sambilan, penulis menggunakan pendekatan yang di tawarkan oleh Curt Sach dan Erich M . von Hornbostel membagi kedalam empat kelompok, yaitu (1) idiophone; (2) membrabofhone; (3) cordofhone; (4) aerofhone. Selanjutnya Curt Sach membagi lagi klafikasi membranofhone kedalam Sembilan bentuk, yaitu “cylindrical drums”, “barrel drums”, “hourglass drums”, “footed drums”, “goblet drums”, “kettle drums”, “handle drums” dan “frame drums” (Sach, 1914). Dengan memperhatikan kesembilan bentuk alat musik di atas, penulis lebih terfokus pada klasifikasi membranophone dalam bentuk long drum karena gordang sambilan bentuknya panjang dan besar. Koentjaraningrat (1969) mengatakan 7 unsur-unsur kebudayaan ini di kenal dengan istilah yaitu: (1) system peralatan hidup; (2) system mata pencaharian; (3) system kemasyarakatan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) system pengetahuan; dan (7) religi. M enurut Alan P. M arriam ( 1964:209-226 ) mengungkapkan bahwa terdapat bebera fungsi musik yaitu diungkapkan namun tidak semua berlaku untuk seluruh suku bangsa yang ada di dunia. Adapun fungsi musik yang diungkapkan oleh Alan P. M arriam adalah : (1) Fungsi Pengungkapan Emosional, (2) Fungsi Penghayatan Estetis, (3) Fungsi Hiburan, (4) Fungsi Komunikasi, (5) Fungsi Perlambangan (syimbolic representation), (6) Fungsi Reaksi Jasmani, (7) Fungsi yang Berkaitan dengan Norma-norma Sosial, (8) Fungsi Pegesahan Lembaga Sosial dan Upacara 11
Agama, (9) Fungsi Kesinambungan Kebudayaan, (10) Fungsi Pengintegrasian M asyarakat. Teori musikal untuk mengkaji rit me ini penulis gunakan teori deskripsi rit me yang digunakan Fadlin (1988) Beliau menulis skripsi yang bertajuk Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, M edan. Dalam skripsi ini Fadlin menggunakan sistem anomatopeik gendang ronggeng, dan kemudian menuliskan pola-pola rit me dalam rentak senandung, mak inang, dan lagu dua. Selanjutnya Fadlin menganalisis pola-pola itu dengan pendekatan etnomusikologis, dengan cara memilah-milahkannya menjadi
mot if
dan
nilai-nilai
not
yang
digunakan,
dan
kemudian
mentabelkannya.
1.5
Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis mengacu kepada metode penelitian kualitatif
(Kirk dan M iller,1990) yang mengatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan peristilahannya. Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuj melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnumusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field word) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Dan M erriam (1964) juga mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada akhirnya di analisis di laboratorium, dan dari hasil kedua metode menjadi pusat 12
studi akhir. Dengan ini si peneliti melakukan kerja lapangan meliputi memili informan, pendekatan dan pengambilan data, merekam dan mengumpulkan data. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat kesimpulan dan keseluruhan dari data-data yang di peroleh.
1.5.1 S tudi Kepustakaan Sebagai kerangka dalam landasan berpikir yang di lakukan oleh si penulis yaitu berdasarkan studi perpustakaan untuk mencari data-data pendukung yang di perlukan dengan tujuan untuk menambah sumber-sumber bacaan yang berupa buku, skripsi, makalah budaya, dan paper. Kemudian mencari teori- teori yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi perpustakaan ini bertujuan untuk mencari informasi dan menambah data-data yang di butuhkan dalam penulisan, penyusuaian dan
pengamatan yang sudah ada mengenai objek penelitian
dilapangan. Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat mandailing dan gordang sambilan guna mempermudah si penulis untuk penelitian.
1.5.2 Kerja Lapangan Dalam kerja lapangan (field word) penulis
melakukan pengamatan dan
mengumpulkan data-data informasi dengan menentukan lokasi penelitian ditempat pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan di Kota M edan serta melakukan wawancara dengan beberapa yang mengetahui lebih dalam mengenai fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan adat mandailing.
13
Dalam pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan berlangsung, penulis melakukan dengan mencatat dan merekam tahapan yang terjadi pada pesta tersebut. Guna mempermuda untuk menyusun data dengan maksimal mengenai Fungsi dan Struktur M usikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Perkawinan Pada M asyarakat M andailing itu sendiri.
1.5.2.1 Wawancara Adapun teknik wawancara yang di lakukan penulis ialah melakukan dengan tiga cara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990) yaitu (1) wawancara berfokus (focus interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara sambil lalu (casual interview). Yang di maksud dengan wawancara berfokus adalah pertanyaan yang selalu berpusat kepada pokok permaslahan, sementara wawancara bebas ialah pertanyaan yang selalu beralih dari satu pokok permasalahan ke pokok permasalahan yang lain. Sedangkan wawancara sambil lalu hanya untuk menambah atau melengkapi data yang lain. Dalam wawancara ini penulis melakukan wawancara kepada informan yang ahli mengenai fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan pada masyarakat mandaling di medan. Guna memperoleh data yang secara tepat. Dan menggunakan perekam camera digital merk Samsung agar penulis mendapat data dari informan secara akurat.
1.5.2.2 Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh data yang tidak dapat melakukan dengan wawancara, yaitu dengan melihat dan mengamati semua yang terjadi selama upacara perkawinan adat mandailing itu berlangsung. 14
Bright (1989 : 77) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode yang dipakai di samping wawancara. M etode
abservasi ini berguna untuk
mempererat antara penulis dengan informan sehingga penulis dapat mengenal lebih dekat dengan informan.
1.5.2.3 Kerja Laboratorium Setelah memperoleh dan terkumpulnya semua data dari lapangan dan studi kepustakaan akan diolah dilaboratorium, dan penulis menganalisis seleksi ulang dengan data-data yang terkumpul, kemudian penulis menyusun menjadi sebagai bahan penulisan. selanjutnya penulis mengevaluasi ulang guna untuk memperoleh hasil yang akurat berdasarkan fakta-fakta yang di dapat di lapangan. Dari hasil keseluruhan data-data hasil evaluasi ulang akan disusun secara sistematis dengan menjadi suatu bentuk laporan kerja menjadi skripsi.
15
BAB II MAS YARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota M edan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota M edan sering digunakan sebagai
barometer dalam pembangunan dan
penyelenggaraan
pemerintah daerah. Secara geografis, Kota M edan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat M alaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang M alaysia. Demikian juga secara demografis Kota M edan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236
jiwa.
Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota M edan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional. Letak geografis Kota M edan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’ BT. Luas Kota M edan saat ini adalah ±
265,10 km2. Kota M edan memilki
perbatasan yaitu : -
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat M alaka
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur (Kabupaten Deli Serdang) 16
-
Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan
-
Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung M orawa (Kabupaten Deli Serdang)
Adapun kecamatan yang terletak di Kota M edan yaitu Kecamtatan M edan Helvetia, Kecamatan M edan Barat, Kecamatan M edan Petisah, Kecamatan M edan Perjuangan, Kecamatan M edan Tembung, Kecamatan M edan Area, Kecamatan M edan M aimun, Kecamatan M edan Polonia, Kecamatan M edan Selayang, Kecamatan M edan Tuntungan, Kecamatan M edan Johor, Kecamatan M edan Amplas, Kecamatan M edan Denai, Kecamatan M edan Baru, Bandar Udara Polonia. Secara geografsi M edan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, M andailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota M edan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
2.1.1 Demografi Kota M edan terdiri dari beberapa etnis yang mendiaminya namun ada beberapa suku yang lebih dominan dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan suku atau etnis-etnis lain yaitu : M elayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, M andailing-Angkola,), Nias dan Tionghoa. Penduduk Kota M edan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota M edan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota M edan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi 17
demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. M enurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah
18
tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. M enurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan. Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk M edan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria. Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian M edan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota M edan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota M edan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda. Kondisi Kota M edan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis, (BPS Kota M edan).
2.1.2 Identifikasi Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas Pada identifikasi Kelurhan Sitirejo I Kecamatan M edan Amplas ini merupakan pusat atau objek penelitian penulis karena di daerah ini penulis melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan salah satu masyarakat M andailing yang tinggal dan menetap di Kota M edan. Secara geografis Kelurahan Sitirejo I M edan Amplas dengan batas-batas sebagai berikut :
19
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan M edan Kota. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan M edan Amplas. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan M edan Kota. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan M edan M aimun. Dan adapun Luas Kelurahan Sitirejo adalah 0,45 km2 dengan perincian sebagai berikut: Luas Pemukiman : 0, 39 km2, luas pekarangan : 0. 2 km2, luas perkantoran : 0, 2 km2, luas prasarana umum lainnya : 0, 2 km2 . Dapat diketahui total dari penduduk di Kelurahan Sitirejo I yaitu 11. 274 orang, yang terdiri dari 5377 jiwa penduduk laki-laki dan 5897 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di 17 lingkungan yang ada di Kelurahan Sitirejo I.
2.2 Karakteristik Masyarakat Mandailing Di Kota Medan Pemilihan lokasi dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal, seperti sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Adapun pemilihan penelitian ini juga memperlihatkan karakteristik masyarakat M andailing di Kota M edan, adapun karakteristik dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai seberapa jauh masyarakat M andailing di Kota M edan dalam memandang dan melakukan budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Karakter M andailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1) karekter masyarakat M andailing yang masih memegang adat budaya M andailing sesuai dengan adat M andailing asli tanpa berusaha menggabungkan adat budaya 20
lain yang berada disekitarnya dimana ia tinggal, (2) karakteristik masyarakat M andailing
yang
memegang
adat
budaya
M andailing
dan
berproses
menggabungkannya dengan budaya lain yang berada ditempat mereka tinggal, (3) karakteristik masyarakat M andailing yang tidak mengenal adat budaya M andailing dan memegang budaya lain seperti budaya Toba, M elayu dan kebudayaan lain yang ada dalam lingkungan dimana ia tinggal. Adapun indukator yang dapat menuntun penelitian ini untuk mendapatkan setidaknya gambaran umum mengenai kebudayaan M andailing yang tinggal di berbagai wilayah di Kota M edan mengenai karakteristik masyarakatnya, adapun indikator karakteristik masyarakat M andailing di Kota M edan sebagai berikut : linguistik, sosial dan budaya. Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa M andailing) dalam bentuk kehidupan sehari-hari, setidaknya penggunaan bahasa daerah dapat member sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat M andailing pada daerah penelitian ini, sedangkan indikator sosial adalah indikator yang berusaha menangkap perilaku, cara pandang masyarakat M andailing di Kota M edan seperti apakah mereka masih menggunakan dan melakukan adat budaya M andailing di Kota M edan. Indikator ketiga adalah budaya, indikator ini berhubungan dengan indikator sebelumnya yaitu linguistik dan sosial. M elalui penjelasan tentang indikator yang diatas dan digunakan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat M andailing diberbagai lokasi penelitian di Kota M edan, adapaun hasil dari penggunaan indikator ini : Pada daerah M edan M aimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat M andailing di lokasi ini memiliki karakteristik masyarakat M andailing yang sudah berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkungannya sekitar dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan 21
masyarakat tersebut masih memegang budaya M andailing dan berusaha untuk menerima budaya lain yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka, hal ini disebabkan kehidupan pada daerah tersebut memiliki tingkat penduduk yang tinggi dan intesitas pergaulan yang tinggi serta faktor heterogenitas penduduk di lokasi tersebut. Daerah M edan Barat, karakteristik masyarakat M andailing pada daerah ini adalah karakteristik masyarakat yang masih memegang adat budaya M andailing dan tidak tertutup kemingkinan untuk menerima budaya dari luar budaya M andailing, hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam strategi sosialisasi dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda. M edan Denai, karakteristik masyarakat M andailing yang menjadi bagian masyarakat daerah tersebut adalah karakteristik masyarakat yang memegang adat budaya M andailing dan berusaha untuk mempertahankan adat budaya mereka dalam lingkungan kehidupannya, salah satunya terlihat pada tindakan mereka yang selalu didasarkan ;pada aturan adat maupun kebiasaan yang mereka ketahui dari daerah asal mereka, hal ini disebabkan pada daerah ini masyarakat M andailing mendominasi pada daerah tersebut.
2.3 Asal Usul Orang Mandailing M asyarakat M andailing yang mendiami kota M edan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah M andailing. M asyarakat M andailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. M enelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah M andailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta – fakta tertulis, seperti prasasti – prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung jawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul 22
M asyarakat M andailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah M adailing dan masyarakatnya. M emungkinkan bahwa Wilayah M andailing pada zaman
Kerajaan M ajapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu
masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan M ajapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (365 M ). dimana salah satu syairnya disebut nama M andailing. Adapun syair tersebut yaitu Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len
dharmamacraya tumut/kandis kahwas
manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat// Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan M ajapahit ke M alayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, M uara Tebu, Darmasraya. M inangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, M andailing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama M andailing
sudah terlukis pada syair ke 13
Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut diatas. (M hd. Arbain Lubis Ha 11-24) M enurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan Z.Pangaduan Lubis. Dosen Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU M edan dalam bukunya “Kisah Asal Usul M andailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya bahwa didalam
tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah
M andailing) bertamasya si boru deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah M andailing itu pula Si Boru Deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua. Dan menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah 23
Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan. TonggoTonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu. Dada M euraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Sumatera” (974 hal 349) menyatakan bahwa M andailing ada yang menduga berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa M inangkabau perkataan tersebut berarti Ibu yang Hilang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama M andailing berasal dari perkataan “M undahilang” yang berarti “M unda yang M engungsi”. Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa M unda yang berada di India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh Bangsa Aria, menurut Prof.Dr.Slamet M ulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut : sebelum kedatangan Bangsa Aria, Bangsa M unda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa M unda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM . Pada waktu perpindahan bangsa M unda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera. Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan M andailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya M angaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama M andailing berasal dari perkataan “M andala Holing”. Pada zaman dahulu kala M andala Holing adalah sebuah kerjaan yang 24
menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di M andailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh karena serangan Kerajaan M ajapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah M andailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat candicandi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. M asyarakat M andailing digolongkan kedalam kelompok Proto M elayu (M elayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak/Dairi. Yang persamaan itu bisa dilihat pada Bahasa dan Adat Istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di Wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM . Dan dari cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa Nenek M oyang Suku – Suku bangsa termasuk rumpun Proto M elayu. (Emilkam Tambunan, 1982 :33). Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada M euraxa, Emilkam Tambunan, Prof.Dr. Slamet M ulyana sudah tersusun didalam buku Z. Pangaduan Lubis berjudul “Kisah Asal Usul M andailing” (1986 hal 6-10) Dengan pejabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan berdasarkan metode-metode yang abash kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama M andailing yang murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan membuktikan kembali nama M andailing yang harum semenjak dari seribu yang silam.
25
2.4 Sistem Religi dan Agama Pada masa sekarang ini M asyarakat M andailing umumnya masih menganut Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek M oyang mereka sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek M oyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10) Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek M oyang mempercayai peantaraan si baso dengan Roh Nenek M oyang dapat turun ke bumi dengan menurunkan pemberian berkah atau sebaliknya. Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak Agama Islam masuk ke M andailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari M inangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras. M ereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka Adat M andailing. Siapa saja yang tidak mau masuk ke A gama Islam akan dibunuh atau akan menjadi budak kepada Kaum Padri. Lama kelamaan M asyarakat M andailing menerima agama islam, dan akhirnya agama islam menjadi berkembang di seluruh daerah M andailing. Setalah M asyarakat M andailing memeluk Agama Islam, membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena A gama Islam melarang
26
setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran A gama Islam. Sekitar tahun 1839 A gama Kristen mulai masuk ke daerah M andailing yang dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. M asyarakat M andailing tidak banyak yang menganut Agama Kristen dikarenakan telah terlebih dahulu menganut agama islam. sehingga yang menganut Agama Kristen sangat sedikit, dan kebanyakan yang menganut Agama KRISTEN adalah orang – orang pendatang dari luar daerah M andailing yang menetap di M andailing. 2.5 Bahasa Bahasa M andailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak M andailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah M andailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai media komunikasi diantara sesama Etnis M andailing. M enurut H. Pandapotan Nasution,SH (2005 hal 14-15). Dalam bukunya mengungkapkan dengan sesuai pemakainya Bahasa mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu : -
Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)
-
Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)
-
Bahasa parkapur (bahasa ketika dihutan)
-
Bahasa na biaso (bahasa sehari - hari)
-
Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar) Pertuturan Bahasa M andailing masih dipergunakan pada saat tertentu,
misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, atau Perkumpulan Keluarga lainnya.
2.6 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing 27
Sistem kekerabatan adat istiadat M andailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau orang yang tidak perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek M oyang. Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di M andailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita) ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon. -
Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.
-
Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.
-
Uhum adalah sanksi hokum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkattingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada hukuman mati.
-
Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus hubungan
manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon
memberikan kepada M asyarakat maupun Keluarga yang mempelajari etika 28
pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga didalam pertuturon. Adat istiadat Markaoum Marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga sebagai Dalihan Na Tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni tiga unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah Adat M andailing, yang terdiri dari Kahanggi, Anak Boru, dan M ora. -
Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesame satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama – saibu (seayah - seibu), saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan), sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang – rang satu marga dalam satu kampung).
-
Anak Boru adalah tempat pemberian anak – anak gadis dari kelompok kita tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak M ora. Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya.
-
Mora adalah kelompok saudara – saudara dari istri – istri dari pihak kita atau tempat pengambilan anak – anak gadis dalam perkawinan. Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari
pihak kahanggi, Anak Boru, dan Mora terciptanya adat M andailing yang dikatakan adat Markoum Marsisolkot. Apa bila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut sertakan, maka upacara Adat M andailing yang berdasarkan adat istiadat M arkoum M arsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali. Di M andailing menganut M arga yang diturunkan melalui dari M arga Ayah atau disebut dengan patrilineal. Orang – orang yang atau garis keturunan Patrilineal 29
ini di daerah M andailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama dengan clan. Adapun marga yang terdapat di M andailing yaitu (a) Nasution, (b) Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h) Parinduri, (i) Hasibuan. M arga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di Daerah M andailing. Setiap anggota M asyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama marganya dibelakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan M asyarakat M andailing sejak dahulu. Marga adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas didalam keluarga maupun di masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan yang disebut Markahanggi. Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada M asyarakat M andailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu. 2.7 Kesenian M asyarakat M andailing sudah mengenal kesenian sejak zaman dahulu, seni musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim kepercayaan lama atau dengan pele begu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan upacara ritual atau keagamaan pada masa itu musik digunakan sebagai perantaraan dalam upacara. Didalam kehidupan masyarakat M andailing pada masa pra islam, musik merupakan sebahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan (religi) dan upacara – upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang dinamakan siriaon, ataupun upacara adat siluluton, yaitu upacara adat duka cita. 30
Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsure yang sangat penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana keramat atau sakral. (Koentjaraningrat 1980 :245) Dalam tradisi di M andailing pada masa Pra Islam pemujaan itu selalu menggunakan seorang perantara yang dinamakan si baso. Sedangkan bunyi – bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Dan pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakandatu peruning – uningan atau datu pargondang. Dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia, melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama gondang kepada datu paruning – uningan. Dan setelah masuk dan berkembangnya Agama Islam di daerah M andailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat bertentangan dengan ajaran A gama Islam. misalnya tradisi mengandung (meratap dihadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat siluluton (duka cita). M engandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan yang tidak diperkenankan yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran islam. Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo. M isalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak didepan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi.
31
M asyarakat M andailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak-anak gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus yang dinamakan bue-bue. Sambil membuei si bayi, ibunya ataupun anak-anak gadis akan mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur. Tradisi bernyanyi seperti ini jarang hamper tidak dipergunakan oleh masyarakat terutama ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang berubah ubah. Secara khusus masyarakat M andailing menggunakan istilah ende untuk menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vocal yang terdapat pada masyarakat tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh diatas. Adapun jenis alat musik di masyarakat M andailing yang sumber bunyinya dari udara yang disebut dengan aerofon yaitu (a) tulila, merupakan alat musik tiup yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk
memikat anak gadis yang
dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk ber dialog secara berbisik dari dibali dinding tentang rasa cinta antara keduanya. (b) uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang ter buat dari batang padi. Digunakan oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang pula untuk menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang yang merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk corong dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk hiburan (e) sordam. M erupakan alat musik bambu. Alat musik ini kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan ditempat bernaungan seperti di bawah – bawah pohon. Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau membran yaitu: (a) gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru. Alat 32
musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan bentuk yang sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan pada upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk mejemput pengantin perempuan, dan upacara silluluton (duka cita)
misalnya
upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat sekarang sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, endambel ini terdiri dari sembilan buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda – beda. Dan nama - nama gordang ini tidak sama di wilayah madailing seperti di daerah pakantan, huta pungkut, dan tamiang. untuk sepasang gordang yang paling besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4), panduai (5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9),
sedangkan di daerah Hutapungkut dan
Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat siangkaan, (2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7) paniga, (8) hudong-kudong, (9) teke-teke (Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang). Gordang sambilan terbuat dari pohon ingul tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai batang pohon kelapa di karenakan pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. Gordang sambilan digunakan didalam upacara siriaon (suka cita) misalnya upacara pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, dan peresmian – peresmian. (d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan nama yang berbeda – beda. Ukuran yang terbesar bernama jangat. Kemudian 33
ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga dinamaka padua, yang keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek – enek. Gordang lima digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek moyang mereka. Alat musik mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang bulu, dalam sub klasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat Idiokordik. Gondang Bulu digunakan untuk menghibur dan mengiringi anak – anak gadis berlatih tarian tor – tor. Jebis kesenian alat musik mandailing yang sumber bunyinya berasal dari dirinya sendiri (idiofhon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan(lebih kecil dari ogung boru ), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) momongan yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3) panolongi. Yang sebenanya tor – tor meenurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tor – tor yang dilakukan dengan gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, dan tujuan tertentu. 2.8 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan Dari beberapa wilayah penelitian penulis yang tersebar di Kota M edan, masing-masing wilayah memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah persatuan masyarakat oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat M andailing di Kota M edan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan oleh pekumpulan marga maupun asal daerah. Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat M andailing yang berdomisili di Kota M edan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar M andailing) di Kota M edan memiliki beberapa perwakilan, yaitu: Dewan Pengurus Daerah (DPD) 34
Tingkat I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) terdapat di Jln. Letda Sutjono – M edan. IKANAS (Ikatan M arga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution, organiasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada organisasi. Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan kepada garis keturuan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah M andailing). 2.9 Sitem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan Umumnya mata pencaharian masyrakat mandailing di mandaiing adalah bertani (mandailing godang) dan berkebun (mandailing julu). Sementara masyarakat mandailing yang sudah berdomisili di Kota M edan, sisitem mata pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri maupun swasta ataupun sebagai pejabat-pejabat lainnya. Yaitu Wali Kota M edan yang sekarang ini Rahudman Harahap. Selain itu, ada juga pekerjaan yang dikerjakan masyakat mandailing sebagai pedagang, pemain musik, atau pekerjaan lainnya seperti supir angkot, becak dan pengusaha itu semua yang mereka kerjakan kehidupan sehari-hari keluarga mereka.
35
untuk mencukupi kebutuhan
BAB III UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING 3.1
Sebelum Acara Adat Perkawinan Dilaksanakan
3.1.1 Manyapai Boru Sebelum upacara adat pernikahan M andailing dilaksanakan, maka lebih baiknya jika bayo pangoli (laki-laki) mengetahui sosok boru na ni oli (perempuan) yang ingin dia cintai atau lebih jelasnya yaitu masih pendekatan terhadap seorang perempuan adapun istilah adat M andailingnya seperti Manyapai Boru. M anyapai boru adalah seorang laki-laki yang menyampaikan perasaannya kepada perempuan yang disukainya. Setelah perempuan tersebut menerima seorang laki-laki yang dipujanya, sebaiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan ini dibawah ke jenjang perkawinan apabila sudah mencukupi umur. Setelah laki-laki dan perempuan suka sama suka dan saling mau untuk menjadi keluarga, maka seorang laki-laki menanyakan kepada orang tuanya untuk melihat perempuan yang ingin dijadikan istri. Keinginan anak laki-laki tersebut akan dipertimbangkan kepada orang tuanya, apakah orang tuanya mau untuk menerima perempuan yang disukainya atau tidak. Ketika anaknya menyampaikan asrat kemauan untuk hidup dalam berumah tangga. terlebih dahulu orang tuanya akan melihat tingkah laku anak perempuan yang disukai oleh anaknya. Kemudian setelah mempertimbangkan dan melihat anak perempuan tersebut bertingkah laku baik dan mampu untuk menjadi istri, maka hubungan ini akan dilanjutkan ketahap mangairirit boru. 3.1.2
Mangairirit Boru 36
Perkawinan merupakan mempersatukan antara kedua belah pihak yaitu pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Dari mangairirit boru ini pihak orang tua laki-laki terlebih dahulu mencari tauh asal usul anak perempuan yang di sukai oleh anaknya laki-laki. Hal ini penting untuk menyesuaikan apakah kedua keluarga dapat dipertemukan atau melihat si anak berkelakuan baik. Karena pepatah mengatakan bahwa perbuatan anak tidak jauh dari orang tuanya (singkam tungkona, singkam tunasna). Setelah mengetauhi keluarga pihak perempuan, Dalam acara mangiririt boru bahwa pihak keluarga laki-laki memperjelaskan kedatangannya untuk menanyakan hubungan antara anaknya laki-laki kepada anak perempuan dari keluarga pihak perempuan. Pihak keluarga laki-laki biasanya adakalanya membawa kahanggi dan anak boru didalam mangaririt boru ini ke rumah pihak perempuan. Dikarenakan bahwa pihak perempuan tidak langsung mengiakan keinginan oleh pihak laki-laki. Dan keluarga perempuan akan meminta waktu dengan alasan untuk menanyakan anaknya apakah ia menerima pinangan itu atau belum menerima pinangan orang lain. Dalam hal ini, yang hadir dari pihak perempuan adalah keluarga terdekat saja. Dikarena masih tahap menanyakan kesedian anak perempuan tersebut untuk menjadi istri dari anak laki-laki pihak keluarga laki-laki. Setelah kesepakatan dan kesesuaian yang sudah disetujuhi oleh kedua belah pihak keluarga, maka pihak keluarga laki-laki langsung meminta agar semua syarat-syarat yang akan dipenuhi dibicarakan sekaligus. Hal ini dapat memudahkan informasi untuk mengetahui pihak keluarga laki-laki akan datang kepada pihak keluarga perempuan yang sudah siap untuk menerima dengan segala kemungkinan yang terjadi. 37
Untuk menjaga keselahturahmian ketika keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan maka disediakan makanan untuk makan bersama agar menjalin keharmonisan kedua keluarga. Dan setelah berlanjut bersilaturahmi dengan alasan yang sudah mendapatkan kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, maka dilanjutkan dengan tahapan padamos hata . 3.1.3
Padamos Hata setelah mangairirit boru tidak ada hambatan dalam pelaksanaannya, maka
tahap selanjutnya yaitu kepada padamos hata, yang mana padamos hata untuk melanjutkan pembicaraan kepada tujuan semula. Pihak keluarga laki-laki akan datang kembali ke rumah pihak keluarga perempuan untuk menanyakan dan meminang anak dari pihak keluarga perempuan. Didalam acara meminang ini biasanya yang terjadi di masyarakat M andailing kota M edan pihak keluarga perempuan akan menanyakan persyaratan yang akan dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki atau dibicarakan sekaligus tentang: a. Hari yang tepat untuk datang disebut meminang secara resmi yang disebut dengan patobang hata. b. Persyaratan-persyaratan yang akan dipenuhi pihak keluarga laki-laki pada waktu dipinang nanti, yaitu: - Apa saja yang harus dipersiapkan - Berapa M as kawin dan dalam bentuk apa - Berapa tuhor (uang jujur) - Serta Perlengkapan-perlengkapan lainnya 38
Setelah acara padamos hata ini tidak ada hambatan didalamnya maka dilanjutkan dengan patobang hata untuk menguatkan perjanjian yang telah disepakati di padamos hata.
3.1.4
Patobang Hata Patobang hata adalah menguatkan perjanjian antara pihak keluarga laki-laki
kepada pihak keluarga perempuan. Didalam perkawinan umumnya didahului dengan lamaran, tetapi lamaran ini baru terikat setelah pihak keluarga laki-laki memberi tuhor (mas kawin) kepada anak perempuan dari pihak keluarga perempuan. Adakalanya perkawinan tidak didahului dengan lamaran, dikarenakan pada saat laki-laki dan perempuan melarikan bersama-sama (kawin lari). Tetapi ada juga kawin lari yang direstui oleh orang tua karena pertimbangan tertentu yang disebut dengan tangko binoto. Ini terjadi akibat untuk menghindari syarat-syarat yang memperberatkan atau orang tua tidak menyetujui ataupun masih ada penghalang lain, seperti masih ada kakak atau abang yang belum menikah. Didalam tahapan patobang hata ini bahwa peminangan antara anak pihak keluarga laki-laki dan anak dari keluarga perempuan telah dilakukan secara resmi. Pihak keluarga laki-laki yang diwakili kahanggi dan anak boru harus terlebih dahulu manopot (menjumpai) kahanggi. M anapot kahanggi maksudnya yaitu menjumpai anak boru dari keluarga pihak perempuan. Anak boru dari pihak keluarga perempuan yang sudah terjadi ikatan perkawinan statusnya akan menjadi kahanggi dari keluarga pihak laki-laki. Itulah sebabnya yang dimaksud dengan manopot kahanggi (kahanggi boru). Manopot kahanggi diperlukan guna untuk membantu keluarga pihak laki-laki untuk menyebrangkan mereka sampai tujuan. Yang artinya pihak kahanggi ini akan 39
membimbing mereka untuk menyampai segala maksud dan tujuan agar berjalan dengan cukup lancar. Didalam tahap acara adat patobang hata, pihak keluarga laki-laki akan berkata-kata untuk menyampaikan secara perumpamaan yaitu: - mangido lopok ni tobu sisuanon, baen suanon di tano rura banua nami, anso adong tambus-tambusan ni namboruna, anso martumbur on lopus tu pudi ni ari. (ditunjukan kepada anak gadis, dengan lopuk ni tobu sisuanon yaitu meminta kepada perempuan tersebut dapat memberi keturunan) - mangido andor na mangolu parsiraisan (ditunjukan kepada keluarga perempuan / mora) tempat tergantung (meminta tuah) - mangido titian batu na so ra buruk (ditunjukan untuk menjalin hubungan secara terus menerus). Adapun hal yang diharapkan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu keluarga laki-laki dan keluarga perempuan dari ketiga hal tersebut adalah: - lopok ni tobu sisuanin ( meminta anak perempuan mereka dapat penerus keturunan). - Andor na mangolu parsiraisan (meminta keluarga perempuan menjadi tempat berlindung/bergantung meminta kesediannya mereka untuk menjadi moras). - Titian batu so ra buruk (meminta mereka untuk menjalin hubungan kekeluargaan selamanya). Setelah acara patobang hata telah resmi dilaksanakan dan sudah diterima, acara selanjutnya adalah manyapai batang boban (beban yang harus dipikul oleh pihak laki-laki). Secara resmi pada pada pelaksanaannya acara patobang hata 40
disaksikan oleh seluruh keluarga yang hadir pada saat menentukan besar kecilnya batang boban. Dan setelah acara patobang hata selesai semuanya akan ditentukan untuk melanjutkan acara berikutnya yaitu manulak sere. Yang diberi waktu satu atau dua minggu, agar keluarga kedua belah pihak dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Pemberitahuan dan mangundang keluarga atau saudara-saudara, yang utama pihak keluarga laki-laki yang haarus menyediakan bawaan (uang antaran) yang disebut dengan sere na godang ataupun serena lomot (uang antaran beserta uang untuk keperluan lainnya).
3.1.5 Manulak Sere sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara kedua belah pihak keluarga yang telah ditentukan, maka keluarga laki-laki datang kembali mengantar apa yang telah disepakati pada waktu acara patobang hata. Sebelum berangkat pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu disampaikan maksud dan tujuan suhut yang akan kerumah perempuan untuk mengantar sere. Biasanya yang berangkat untuk mengantar sere 10 atau 15 orang yang ditentukan pada waktu acara patobang hata sesuai dengan kemampuan untuk mempersiapkan sesuatu dirumah perempuan. Manulak sere adalah menyerahkan antaran dari pihak keluarga laki-laki ke pihak keluarga perempuan, dimana besarnya antaran sudah ditentukan pada waktu acara patobang hata. Pihak keluarga laki-laki dalam proses manulak sere akan membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya ke rumah keluarga perempuan. Disamping membawa batang boban , juga membawa silua (oleh-oleh) berupa indahan tungkus (nasi yang dibungkus) dengan daun beserta lauknya. Ini bermakna kebesaran hati terhadap keluarga perempuan dengan harapan apa yang dituju dapat sukses dan terkabul. dalam manulak sere ini biasanya pihak keluarga 41
laki-laki membawa silua dan indahan tungkus beserta lauknya hanya bertempat dengan rantang yang ditutup rapat agar mempermudah untuk dibawa dan tidak tumpah. Adapun peserta yang ikut hadir didalam manulak sere dari pihak keluarga boru na ni oli terdiri dari (a) Pimpinan adat setempat, (b) M ora (pangalapan boru, pambuatan boru, dan harajaon), (c) Suhut (orang tua, abang, dan adik), (d) Kahanggi ( hombar suhut dan pareban), (e) Anak boru ( sibuat boru, pisang raut), (f) Karabat terdekat lainnya. Sedangkan dari peserta yang ikut hadir dari pihak bayo pangoli adalah (a) Suhut (orang tua, abang dan adik), (b) Kahanggi ( hombar suhut dan pareban), (c) Anak boru (sibuat boru, pisang raut). Ada dua macam batang boban yang akan diserahkan kepada pihak keluarga boru nan ni oli yaitu: a. Sere na godang artinya jumlah yang cukup besar berupa benda berharga yang terdiri dari: horbo sabara (kerbau satu kandang); lombu sabara (lembu satu kandang); eme sa hopuk (padi satu lumbung); sere (emas) besar kecilnya tergantung pada status. Sere na godang hanyalah sebagai simbol yang tidak harus dipenuhi oleh pihak keluarga laki – laki. Yang diserahkan hanya sejumlah uang (menurut kebiasaan) yang disebut dengan sere na menek. Sere na godang diserahkan dari perwakilan keluarga laki – laki dan anak boru. b. Sere na lomot atau sama disebut dengan sere na menek yang artinya tuhor ni boru (uang antaran) yang berbentuk uang dan ditambah barang keperluan pengantin perempuan, seperti baju dan perlengkapan pengantin lainnya. Disamping itu masih ada yang harus disediakan oleh pihak laki-laki yang disebut dengan parkoyan yang diserahkan kepada sanak keluarga perempuan sebagai mengobati hati, karena salah
42
satu keluarganya akan dibawa menjadi pihak keluarga laki-laki (Kesimpulan Seminar Adat M andailing, 2001 :27). Secara harfiah yang berhak menerima parkayan adalah (a) Uduk api, diberikan kepada ibu calon pengantin perempuan, (b) Apus ilu, diberikan kepada namborunya, (c)
Tutup uban, diberikan kepada ompungnya, (d) Upa tulang,
diberikan kepada tulangnya, (e) Hariman markahanggi, diberikan kepada amang tua atau udanya, (f) Tompas handing, untuk anak boru, (g) Parorot ondi, diberikan kepada Raja di huta. Jumlah bahan ke tujuh ini dapat diartikan sebagai gambar dari pitu sundut suada mora yang artinya tujuh keturunan tanpa mara bahaya. Didalam acara penyerahan manulak sere dipimping langsung dengan Raja ni huta , penyerahan sere na godang (okuandar) dilakukan pihak laki-laki kepada mora pihak perempuan. M ora adalah tamburan atau disebut dengan tempat ikan kalau memancing, dan anak boru adalah sipandurang (tukang tangguk). Adapun peralatan yang harus dibawah oleh pihak keluarga laki-laki untuk menulak sere menuju kerumah perempuan adalah: (a) Pahar, tempat atau wadah untuk meletakkan semua peralatan lainnya yang akan diserahkan; (b) Abit tonun patani (kain adat) yang di letakkan diatas pahar sebagai alas perlengkapan; (c) Bulung ujung, (ujung daun pisang yang dipotong sebesar pahar yang dikembangkan diatas pahar; (d) Beras kuning, yang ditaburkan diatas daun pisang; (e) Keris; (f)Puntu (sebagai simbol pengikat); (g) Uang logamI, sebagai simbol pertalian keluarga; (h) Arihir atau tali pengikat kerbau, sebagai simbol yang diserahkan satu kandang kerbau.
43
Setelah rombongan pihak keluarga laki-laki sampai dirumah pihak perempuan yang dituju, maka upacara markobar (musyawarah) adat pun dimulai. M eskipun tujuan utamanya manulak sere, namun parkobaran tetap dimulai dari awal, yaitu mangiririt boru, melamar, membicarakan batang boban yang pada hari ini akan dipenuhi dan baru akhirnya upacara manulak sere dan rencana pabuat boru. Sebelum markobar dilaksanakan terlebih dahulu memakan hidangan yang terlah disediakan yaitu pulut berserta intinya dan air minum. Setelah markobar selesai barulah acara adat selanjutnya yaitu mangalehen mangan pamunan yang artinya bahwa makan bersama kepada teman-teman calon pengantin.
3.1.6 Mangalehen Mangan Pamunan Anak perempuan yang akan melangkah kejenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami. M aka, sebelum pengantin perempuan diberangkatkan, orang tua dan sanak familinya berkumpul untuk memberikan makan enaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan). Dan pada mulanya si calon pengantin perempuan mengajak teman-teman sepermainannya untuk turut bersama makan sebagai makan perpisahan. Setelah perkembangan zaman dalam kehidupan perkotaan, maka acara pangalehen mangan ini diperbesar bukan saja di hadiri dari keluarga melainkan dari unsur dalihan na tolu dan harajaon dalam acara serta panganan sama saja pada saat pangupa. Hanya saja biasanya makanan yang dihidangkan adalah kambing yang sudah dimasak sempurna, kepala, hati dan sepasang kaki. Bagian atas harus masih terlihat bentuknya yang diletakkan di atas tampi yang dihiasi dengan ujung daun pisang, lengkap dengan nasi, telur, udang, ikan, daun ubi, serta garam sehingga 44
upacara mangalehen hampir sama dengan mangupa. Bedanya upacara mangalehen dengan upacara mangupa adalah makanan yang dihidangkan harus dimakan benarbenar kenyang. M akanya upacara mangalehen mangan ini disebut dengan mambutongi mangan yang artinya makan sekenyang – kenyangnya. Adapun nasehat-nasehat pada saat upacara mangalehen mangan pamunan yang disampaikan oleh sigadis adalah: a. M eninggalkan orang tua, menemui orang tua suami harus sama diperlakukan. b. Jika kelakuan tidak baik semua keluarga turut malu, jika seorang dilahirkan dilingkungan orang baik – baik harus menunjukan sikap yang baik. c. Pelajari adat istiadat keluarga suami. d. Sebagai suami istri harus seia sekata e. bahat disabur sabi, anso bahat salongon.artinya berbuat kebaikanlah sebanyak – banyaknya agar mendapat balas kebaikan yang banyak pula. f. Nada tola marandang sere, angkon marandang jolma do, ulang bile roha di halak ni pogos, halak na pogos pe adong do gunana. Jangan memandang orang dari kekayaannya, tetapi harus dilihat budi pekertinya. Oang miskin pun pada saat tertentu juga ada gunanya. Bantuan tidak saja sifatnya material, tetapi juga bisa dengan bantuan imaterial dan tenaga. g. Pantis marhula dongan, Pala parlomo – lomo, malo martinara. Artinya pandai beramah tamah, pandai berkasih sayang dan pengasih, tetapi harus pandai pula menghemat. (H.Pandapotan nasution, SH. 2005)
45
Pada saat acara mangalehen mangan pamunan dilaksanakan terlebih dahulu mempersembahkan sirih sebagai tanda bahwa acara telah dimulai dan kata-kata nasehat diberikan kepada peserta yang hadir dalam upacara mangalehen mangan pamunan adalah anak perempuan yang akan diberi makan (calon penganten perempuan); orang tua (ibu dan bapak) calon penganten tersebut (penganten perempuan); nenek laki-laki dan perempuan; kahanggi; anak boru; mora; dan raja. Setelah acara mangalehen mangan pamunan selesai maka selanjutnya dengan acara pernikahan. 3.2 Acara Pernikahan Dalam masyarakat M andailing perkawinan merupakan peristiwa besar yang didasarkan pada harapan-harapan besar seperti upaya kelanjutan keturunan, pembinaan hubungan di antara keluarga antara kedua belah pihak suami dan isteri. Besarnya makna sebuah perkawinan dalam masyarakat M andailing ditandai dengan keterlibatan ketiga pilar dalam masyarakat M andailing yaitu kahanggi, mora dan
anak boru. M enurut Bachtiar (2004), Definisi Perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang didalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi. 46
Nikah secara islam yang dilaksanakan menurut hukum fiqih adalah merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat. Penelitian yang sering ditemui oleh penulis pada waktu pelaksanaannya yaitu yang dilaksanakan pada pagi hari sekitar pukul 08:00 pagi atau pada malam hari pada pukul 20:00 malam. Apa bila pelaksanaannya pada pagi hari, pada malam harinya akan diadakan wirit yasin sama seperti yang dilaksanakan pada malam hari yang sekaligus malamnya langsung mengadakan wirit yasin dengan tujuan untuk meminta doa agar selamat agar kiranya perkawinan yang diadakan akan berjalan lancar dan tidak ada hambatan atau halangan.
Adapun Hadits Al-qur’an yang menganjurkan kepada umat islam untuk melakukan pernikahan yaitu:
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin allah akan mengkayakan mereka dengan karunianya. Dan allah maha luas (pemberiannya) dan maha mengetahui." (qs. An nuur (24) : 32). M asyarakat M andailing adalah masyarakat yang taat beragama. M eskipun orang M andailing hidup sesuai tradisi dan norma-norma sosial namun keberadaan agama (Islam) berada diatas adat dan tradisi. Dalam adat masyarakat M andailing, adat tunduk kepada agama kemudian yang dianggap melanggar agama dalam pelaksanaan adat dikesampingkan dan tidak dilakukan dalam pelaksanaannya. Sehingga pada praktiknya seorang laki-laki M andailing bisa saja menikah lagi
47
sampai batas yang ditentukan ajaran islam yaitu empat istri walaupun masyarakat M andailing membatasi sekali saja. Dalam masyarakat tradisional M andailing perkawinan satu marga dilarang karena masih terdapat satu darah ataupun masih satu keluarga misalnya antara seorang gadis bermarga Nasution dengan pemuda semarga karena adat melarang hal itu. Namun setelah masuknya agama islam berkembang pesat didalam masyarakat M andailing maka perkawinan satu marga sudah lumrah terjadi sebab agama Islam tidak melarangnya untuk menikahinya. 3.2.1
Horja Haroan Boru Horja haroan boru adalah Upacara perkawinan yang dilaksanakan dirumah
pihak keluarga laki-laki (bayo pangoli). Biasanya setelah diupacarakan secara adat dipihak keluarga boru na ni oli tidaklah terlalu lama untuk mengadakan upacara adat perkawinan dipihak keluarga laki-laki tergantung sepakat yang telah ditentukan bersama terhadap keluarga kedua mempelai pengantin bisa seminggu, sebulan dan bahkan satu tahun lamanya.(Ridwan Amanah Nst). sebelum boru na ni oli (perempuan) untuk pergi menuju rumah bayo pangoli setelah mengadakan pesta adat di rumahnya maka boru na ni oli melakukan tor-tor dengan bertujuan untuk berpamitan kepada orang tuanya serta keluarganya. Tor-tor ini dilakukan untuk meminta izin dan doa restu kepada kedua orang tuanya serta meminta maaf kepada keluarganya apa bila ada kesalahan yang boru na ni oli lakukan terlebih dahulu kepada orang tuanya. Setelah itu boru na ni oli tidak dapat untuk bermanja dengan kedua orang tuanya dan harus hidup mandiri bersama suaminya. Tidak jarang didalam pelaksanaannya tor-tor perpisahan ini sambil menangis karena tidak bisa menahan kesedihan atas kepergian boru na ni oli. 48
Sementara suhut (yang mengadakan pesta) dari pihak keluarga laki-laki mengundang para kerabat ataupun keluarga yang memiliki ikatan dalihan na tolu dan terkadang para tetanggapun ikut diundang untuk dapat hadir dirumahnya dengan maksud hati dapat membantu didalam pelaksanaan horja godang. Setelah mereka hadir marpokat (mufakat) dilaksanakan untuk membagi tugas-tugas terhadap masing-masing selama horja itu berlangsung dirumah suhut. Dan didapat dijelaskan di acara adat marpokat haroan boru.
3.1.2 Marpokat Haroan Boru Upacara perkawinan yang dilaksanakan dirumah pihak keluarga laki-laki (bayo pangoli) sebelum melaksanakan horja godang (upacara besar) terlebih dahulu pihak keluarga laki-laki (suhut) mengadakan mufakat (marpokat) kepada sanak famili memohon sudi kiranya agar semua pihak dapat membantu pada saat horja godang berlangsung. Dalam marpokat inilah dibagikan perkejaan masingmasing pihak pada saat horja berlangsung sesuai dengan prinsip dalihan na tolu. Dan biasanya para tetangga ataupun masyarakat setempat ikut berperan dalam membantu pelaksanaan upacara perkawinan seperti masalah dapur dan pekerjaan lainnya. Didalam marpokat ini juga sediakan makanan pulut beserta intinya agar marpokat ini dapat melekat didalam persaudaraan. Setelah selesai acara makan barulah disurdu burangir (sirih) yang dikarenakan sirih secara umum sangat penting bagi masyarakat M andailing didalam mengadakan upacara adat baik upacara horja siriaon maupun horja siluluton. Perlengkapan burangir itu terdiri dari sontang (gambir), soda (kapur sirih), pining (pinang) dan timbako (tembako). Dari 49
semua bahan burangir mempunyai arti didalam bahasa adatnya yang disebut dengan opat ganjil lima gonop artinya perlengkapan kelima itu harus lengkap baru disebut dengan genap. Kemudian burangir dibungkus dengan tonun patani (kain adat) Dan diletakkan disalipi (tempat burangir) setelah selesai menyurdu burangir barulah suhut terlebih dahulu memulaikan pembicaraan yang kemudian disusul dengan kahanggi, anak boru, namora natoras dan ditutup kembali dengan suhut. Istilah marpokat sama saja dengan markobar (musyarawah) sehingga untuk mengambil keputusan didalam markobar dimulai dengan membunyikan gondang dua atau gondang tunggu-tunggu dua dan dilanjutkan dengan menortor (tarian adat pelengkap gondang). Seorang suhut adalah pembuka pertama untuk menortor lalu diikuti dengan toko-toko adat yang lain. Pada upacara adat M andailing dimana uning-uningan dibunyikan (margondang) selalu diikuti dengan acara menortor serta nyanyian Zeir (nyanyian adat M andailing). Adapun syarat-syarat menortor itu terdiri dari berpakaian yang sopan dengan memakai lengan panjang dan memakai kain yang dilipat sampai lutut serta memakai peci bagi kaum laki-laki. Sementara bagi kaum perempuan syaratnya yaitu pakai tudung dan kain. Setiap orang yang menortor dislempangi dengan ulos adat (kain adat) pada bahunya. Jika raja diuloskan dibahu menutup kiri kanan bahu. Jika suhut, sabe-sabe disandang dibahu kanan, jika anak boru dikiri dan mora diuloskan dikiri kanan bahu. Setelah selesai markobar pada keesokkan harinya gordang sambilan diletakkan dibagas gondang atau sopo godang (rumah gordang) sementara dihalaman rumah sudah disibukkan dengan memasak air, nasi dan memasang peralatan-peralatan adat atau disebut paraget atau pago-pago. Peralatan adat ini terdiri dari: (a) mandera adat (bendera adat) menurut jenisnya bendera adat terbagi atas (1) mandera merah putih yang dipasang ditiang tegak lurus sebagai pernyataan 50
bahwa masyarakat M andailing adalah bagian dari Negara Indonesia, (2) mandera raja panusunan yang berwarna kuning keemasan dan bentuknya segitiga dengan panjang tiga meter, (3) mandera tonggol raja desa na walu yang warnanya kuning kombinasi hitam dan merah dan bentuknya segitiga dengan pannjang tiga meter, (4) mandera harajaon (kerajaan) berwarna kuning dan panjang tujuh meter bentuk persegi panjang dan dibuat runcing seperti tanda panah, (5) Madera lipan-lipan warnanya merah, putih dan hitam selang seling mengikuti lebar mandera dengan ukuran 30 cm dengan panjang tujuh meter dan bentuknya empat persegi panjang dan diujungnya diberi jambul, (6) mandera siararabe berwarna merah, hitam, putih dan kuning dan warna-warna ini dibentuk segitiga kemudian diujungnya diberi jambul, (7) mandera marawan dilangit yang berwarna merah, hitam dan hitam dibentuk segitga dan disusun menurut garis lurus dari kiri kekanan. (b) payung adat yang berwarna kuning keemasan. (c) pedang (podang). (d) tombak. (e) langit-langit dan tabir. (f) rompayen. (g) pelaminan untuk pengantin. Dan pada pintu gerbang sebelum memasuki pekarangan rumah serta simpang jalan menuju rumah pada pintu tersebut terbuat dari bambu dan daun kelapa kemudian ditulis dengan tulisan horas tondi madingin pir tondi matogu sayur matua bulung yang artinya doa dan harapan agar acara ini dapat berjalan dengan lancar dan baik. Disamping bambu sebagai tiang dihiasi juga dengan daun beringin, pohon pisang yang biasanya pisang yang sudah berbuah, sanggar, dingin-dingin, tebu dan silinjuang. Kemudian pada satu hari menjelang mata ni horja (hari terkhir pesta), gordang sambilan dipindahkan ke rumah suhut dengan dibuka acara markobar didalam markobar ini suhut meminta izin untuk mengadakan gordang sambilan. disini acara markobar dilaksanakan untuk mengambil keizinan dari raja-raja agar dapat memainkan gordang sambilan seperti diketahui bahwa segala sesuatu didalam 51
adat M andailing harus dilaksanakan dengan acara markobar (musyawarah) kemudian acara markobar juga harus dengan didahului menyurdu burangir. Setelah izin diterima gordang sambilan terlebih dahulu disantani (tepung tawar). Santan adalah santan kelapa yang dicampur dengan beras kentan yang mentah yang dipercikkan dengan daun dingin-dingin dipermukaan gordang sambilan kemudian raja panusunan bulung untuk meninggung (memukul) pertama kemudian dilanjutkan dengan pemain musiknya. Sekitar jam 08:00 WIB kerbau sudah bisa disembelih (potong) dilanjutkan dengan kesibukkan hal lainnya yang menyangkut keperluan pesta seperti memasak, dikarenakan bahwa siap memasak ini dilanjutkan mengarak kedua pengantin yang diiringi oleh rombongan ketempat rumah yang sudah disiapkan dan biasanya rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah suhut atau pesta.
3.2.3 Mangalo-Alo Boru Dan Manjagit Boru Ketika kedua pengantin beserta rombongan sudah mempersiapkan diri untuk mengarak kedua pengantin begitu juga dengan makanan yang akan dibawa para rombongan dituntun dengan pembuka jalan yaitu dua orang pencak silat dibelakangnya adalah pembawa tombak sebagai pengawal kemudian kedua pengantin dipayungi dengan payung yang berwarna kuning disusul dengan para keluarga laki-laki dan perempuan dan terakhir adalah penabuh gondang . Setelah sampai dirumah yang dituju para rombongan disambut dengan keluarga yang sudah menunggu kedatangan mereka dan mempersilahkan masuk agar melaksanakan acara adat selanjutnya. Kemudian setelah semuanya masuk didalam rumah para rombongan dan pengantin membawa makanan yang disiapkan 52
dari rumah suhut diletakkan ditengah-tengah hadapan keluarga dan raja-raja. Tidak lama kemudian makanan yang dibawa yang diletakkan ditengah-tengah perkumpulan kedua keluarga berserta raja-raja dibawa lagi kebelakang untuk mempersiapkan acara mangalehen mangan (makan bersama). Dapat dijelaskan bahwa tempat makanan yang dibawa adalah bertempatkan dengan wadah rantang agar mudah dibawa dan tidak tumpah. Setelah selesai makan bersama seorang menyurdu burangir kepada raja bahwa acara adat selanjutnya yaitu menyampaikan pesan kepada kedua pengantin. Semua kerabat saudara termasuk kedua orang tua dan raja menyampaikan pesan kedua mempelai. Biasanya pesan yang mereka berikan adalah mengenai bagaimana menjalani hidup berumah tangga yang penuh dengan rintangan dan cobaan serta musyawarah antara suami dan istri untuk memecahkan masalah. Dan ada juga menyampaikan tanggung jawab mereka sebagai suami dan istri seperti bagi lakilaki yang harus menjadi pemimpin yang benar dan bertanggung jawab kepada istri dan anaknya termasuk menafkahkan dan bagi perempuan mampu menjadi istri yang soleha terhadap suami serta anaknya dan kedua pengantin bukan lagi tanggung jawab orang tua mereka dan biasanya pesan yang mereka berikan terkadang dengan tangisan. setelah penyampaian pesan untuk kedua pengantin selesai para keluarga baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan mempersiapkan diri untuk menuju kerumah suhut (tempat pesta). Untuk mengantarkan kedua pengantin ketempat pesta, posisi pengiring rombongan sama dengan halnya mengarak pengantin yang pembuka jalan adalah penari penca silat. Pada saatnya tiba para rombongan dan kedua pengantin dipintu gerbang, kedua pengantin didudukan dihalaman yang dan ditemani beberapa sanak saudara. Dikarenakan para orang tua 53
dan pemain gordang mempersiapkan diri untuk acara penyambutan biasanya 30 menit waktu yang akan diberikan untuk mempersiapkan. Kemudian orang tuanya menunggu didepan pintu rumah termasuk uda dan inangudanya untuk menerima kedua pengantin. Ayah dan udanya memegang bayo pangoli dan Ibu dan inangudanya memegang boru ni oli yang membawa mereka untuk mengantar duduk dipantar bolak paradaton. Dan disini keluarga pihak perempuan menyerahkan anaknya kepada pihak keluarga laki-laki untuk melaksanakan upacara adat selanjutnya. terkadang pihak keluarga bayo pangoli menyuruh keluarga boru na ni oli tetap tinggal sampai acara adat selesai. Tidak berapa lama markobar (musyawarah) dilaksanakan untuk meminta izin kepada rajaraja agar gordang sambilan dapat dibunyikan atau disebut dengan acara adat panaek gondang.
3.2.4 Panaek Gondang Sebelum markobar dilaksanakan semua yang hadir didalam markobar duduk ditikar adat untuk melaksanakan markobar (musyawarah) disopo godang yang terlebih dahulu memakan hidangan yang telah disiapkan yaitu pulut beserta intinya. M arkobar ini dilaksanakan untuk memohon kepada raja-raja agar memberikan izin kepada suhut untuk membunyikan gordang sambilan di upacara perkawaninan dirumahnya. Seperti biasanya didalam markobar terlebih dahulu menyurdu burangir yang dilakukan oleh anak boru setelah burangir diterima barulah memukul alat musik mong-mong sebanyak Sembilan kali yang bertanda bahwa pembicaraan akan dilaksanakan. Yang memulai pertama dalam pebicaraan yaitu paralok-alok yang menyuruh kepada suhut untuk membuka pembicaraan dan seterusnya yang hadir didalam markobar. Dapat dijelaskan bahwa setelah paralok-alok memulai 54
pembicaraan, mong-mong dipukul sekali dan bisa tiga kali setiap pembicaraan dan ditutup dengan memukul mong-mongan sebanyak Sembilan kali. Yang hadir dalam panaek gondang adalah suhut dan kahangginya, anak boru, penabuh gondang, namora natoras dan Raja-raja adat.
Gambar 1 Pelaksanaan markobar untuk meminta izin memainkan gordang sambilan
Setelah izin sudah diterima, para raja-raja memukul gondang dua dikarenakan bahwa untuk membunyikan gordang sambilan terlebih dahulu setelah gondang dua dibunyikan pada waktu akhir markobar dan ditutup dengan ucapa horas. Setelah markobar telah selesai dengan membunyikan gondang dua, para pemain gordang sambilan dapat memukul gordang sambilan. Didalam penelitian ini pada saat gordang sambilan dimainkan tari sarama diikut sertakan untuk memeriahkan acara permainan gordang sambilan itu sendiri. Tidak jarang setiap tari serama pemainnya kesurupan oleh roh-roh halus yang diyakini adalah roh nenek moyang. Pada saat pemain tari sarama kesurupan para pemain gordang 55
sambilan memukul gordang sambilan dengan sekeras-keras mungkin tanpa ada yang salah memukul gordang sambilan dikarenakan bahwa penari sarama yang tidak menyadarkan diri akan mengamuk apabila pemain gordang salah memukul dengan intonasi yang melenceng yang tidak disukai oleh penari. Tidak jarang pula pada saat gordang sambilan dibunyikan yang diikuti dengan
tari
sarama
para
pemain
gordang sambilan
bergantian
untuk
membunyikannya dikarenakan butuh tenaga yang besar untuk memainkan gordang sambilan. Ketika mahluk halus atau jin yang memasuki tari sarama ingin keluar dari raga penari, dipersembahkanlah burangir (sirih) sebagai sarat untuk mengeluarkan jin dari raga pemain. Para penari sarama sadar dan permainan gordang sambilan dapat diberhentikan sejenak guna menghargai bagi kaum muslim untuk melakukan shalat as’ar dan waktunya istirahat bagi pemain gordang sambilan. Adapun jumlah pemain ensambel gordang sambilan tersebut terdiri dari 11 (sebelas) para pemusik meliputi, (1) satu orang pemain sarune, (2) lima orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang memainkan dua buah jangat atau disebut panjangati, (b) satu orang memainkan hudong-kudong, (c) satu orang memainkan dua buah paduai, (d) satu orang memainkan dua buah patolu dan, (e) seorang memainkan enek-enek, (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan mongmongan atau gong panolongi dan panduai dan, (5) satu orang memainkan pamulosi, (6) satu orang memainkan gong doal dan, (7) satu orang memainkan tali sasayak. Pada pukul 17:00 WIB acara adat selanjutnya adalah memainkan gondang dua atau gondang tunggu-tunggu dua. Dengan membunyikannya gondang dua ini dan diikuti nyantian jeir, maka gelanggang penortoranpun mulai di buka. 56
Gelanggang penortoran dibuka oleh raja yang pertama menortor dilanjutkan dengan suhut, kahanggi suhut, mora dan anak boru. Pada waktu menjelang magrib, penortoranpun diberhentikan untuk istirahat dan shalat magrib. pada malam hari tiba sekitar pukul 20:00 WIB gordang sambilan dibunyikan tetapi pemainnya adalah bukan pemain yang sebenarnya satu atau dua orang pemain sebenarnya dikarenakan
siapa saja yang ingin memainkannya
dipersilahkan. Tidak jarang warga masyarakat setempat yang penuh penasaran bagaimana memukul gordang sambilan memcoba membunyikan gordang sambilan. Sudah puas memukul gordang sambilan dan beristirahat sebentar dilanjutkan dengan tor-tor naposo bulung dan nauli bulung (muda-mudi) yang menortor adalah anak gadis dan mengayapi adalah anak muda dengan berlainan marga dengan anak gadis.
Gambar 2 Gordang sambilan
57
Yang dilakukan pertama kali dalam tor-tor muda-mudi adalah mengundang dan meminta izin kepada orang tuanya. Jika telah diizinkan dari orang tua maka akan diatur penjemputan dan setelah selesai menortor mengantarnya kembali kepada orang tuanya. Habis tor-tor muda-mudi dilanjutkan dengan tor-tor pengantin dilanjutkan dengan tor-tor raja-raja tidak jarang selesainya acara ini adalah sampai tengah malam bahkan sampai meyambut subuh.
3.3
Mata Ni Horja Mata ni horja adalah puncak upacara adat yang telah dilaksanakan dirumah
suhut (akhir pesta). Pada paginya semuanya disibukkan dengan mempersiapkan bangku dan meja serta mempersiapkan hidangan makanan untuk para undangan. Sekitar pukul 10:00 WIB para tamu-tamu sudah mulai berdatangan gordang sambilanpun sudah mulai dibunyikan. Didalam membunyikan gordang sambilan ini hanya bentuk latihan dan meramaikan agar masyarakat berdatang untuk melihat dan mendengar gordang sambilan. Sehingga dalam membunyian gordang sambilan diperbolehkan siapa saja yang mau memainkannya. Dapat
dijelaskan bahwa pada paginya acara menortorpun sudah
dilaksanakan sekitar pukul 09:00. Yang pertama didalam melaksanakan tor-tor adalah para Raja-raja yang disebut dengan tor-tor Raja dan dilanjutkan penortor secara berturut-turut yaitu suhut, kahanggi, anak boru, raja-raja M andailing dan raja panusunan yang diiringi oleh ensambel gondang dan nyanyian Zeir terkadang onang-onang (nyanyian angkola) pun dipakai untuk mengiringi nyanyian penortoran. Setelah acara penortoran selesai dilanjutkan dengan mengundang raja-raja untuk hadir dipantar paradaton agar acara markobar dilaksanakan. Seperti biasanya 58
didalam markobar terlebih dahulu memakan pulut serta intinya dan minuman yang telah dihidangkan dan selesai makan pulut, maka disurdu burangir yang bertanda bahwa markobar dimulai. M ong-mongan di bunyikan sebanyak Sembilan kali pertanda
gelanggang
adat
telah
dibuka
dan
seterusnya
paralok-alok
mempersilahkan kepada suhut untuk membuka pembicaraan dalam menyampaikan maksud mulai dari menyampai boru sampai mengadakan horja godang dan suhut juga memohon agar kedua pengantin dapat direstui oleh raja-raja. Didalam permohonan suhut ini didukung oleh kahanggi dan anak boru serta namora natoras menguatkan maksud suhut itu selesai suhut berbicara mong-mongan dibunyikan sekali dan diikuti pembicara kahanggi serta yang lainnya dan ditutup dengan raja panusunan setelah menyambut berbagai pendapat, saran maupun kritikan, dan keputusan bahwa permohonan suhut dapat dilaksanakan dan mong-mongan pun kembali dibunyikan sebanyak Sembilan kali. Setelah markobar selesai dan sudah ada keputusan dari raja panusunan, kedua pengantin yaitu bayo pangoli dan boru na ni oli serta rombongan yang sebagai pengiring kedua pengantin mempersiapkan diri dikarenakan bahwa acara adat selanjutnya adalah kedua pengantin akan di bawa ke tapian raya bangunan artinya yaitu membuang sifat masa lajang dan masa anak gadis selama mereka belum menikah disungai.
3.3.1 Membawa Pengantin ke Tapian Raya Bangunan M embawa pengantin ke tapian raya bangunan maksudnya yaitu membawa mereka ke sungai untuk melepaskan masa lajang dan masa gadis para pengantin. Sesuai dengan kondisi yang ada di kota M edan ini sulitnya menemukan sungai yang bersih dan jauhnya jarak sungai dengan rumah bayo pangoli, maka acaranya 59
hanya dijalan dan tidak jauh dari rumah dan diletakkan dua kursi ataupun lebih untuk para pengantin dan rombongan serta satu meja. Pelaksanaan tapian raya bangunan ini sekitar pukul 15:00 WIB. Setelah markobar telah selesai, para pengantin dibawa ke tapian raya bangunan. Adapun yang harus dibawa adalah pangir yang berisikan jeruk purut yang dipotong dan air secukupnya. Kemudian untuk memercikkanya adalah menggunakan daun-daunan berwarna hijau yang diikat menjadi satu. Untuk membawa kedua pengantin ke tapian raya bangunan bukanlah hanya begitu saja, tetapi mempunyai susunan untuk mengiringinya. Susunan tersebut yang ditemukan dilapangan oleh penulis adalah a. Dua orang pencak silat memakai podang (pedang) yang berfungsi sebagai membawa jalan ke tapian raya bangunan. b. dua orang membawa tombak yang ujung tombaknya kearah keatas. c. Seorang ibu yang berkedudukan sebagai anak boru untuk membawa pangir dan cara membawanya adalah menjujung atau diletakan diatas kepalanya. d. Seorang membawa bambu dan batu kerikil. e. Dua orang ibu kiri dan kanan yang biasanya adalah namboru dari pengantin laki-laki dan boru na ni oli membawa bambu yang dibentuk pakai
tangkai
dan
diikat
bersama
daun-daunan.
Kemudian
dibelakangnya adalah membawa payung adat yang berwarna kuning yang ber fungsi sebagai melindungi. f. Dua orang laki-laki yang sudah menikah serta dibelakangnya adalah memegang payung kemudiaan rombongan untuk mengiringi dan meramaikan acara tapian raya bangunan. 60
g. Yang terakhir adalah pemain gondang.
Setelah sampai ditempat, para pengantin didudukan dibangku yang telah disediakan kemudian seorang datu mempercikkan air kepada para pengantin. Setelah mempercikkan air tersebut seorang datu sambil menanyakan berapa keinginan keturunan (anak) mereka dan jenis-jenis kelamin apa ketika berumah tangga yang ditandai dengan batu kerikil yang sudah disiapkan dan ini semua disaksikan oleh para rombongan dan masyarakat yang melihatnya. Kemudian ditutup dengan doa. Cara pemerciknya yaitu menggunakan daun-daun yang dingin seperti daun silinjuang (yang berwarna hijau). Setelah semuanya selesai, para pengantin dibawa kembali kerumah. Cara bawanya yaitu seperti membawa ketapian raya bangunan yang diiringi oleh para pargondang dan pencak silat. Sesampai dipintu rumah mereka sudah ditunggu oleh kedua orang tua yang sudah mempersiapkan tiga pelepah batang pisang beserta pelengkapannya kemudian pelepah batang pisang tersebut diinjak terdahulu oleh kaki sebelah kanan dan diikuti kaki sebelah kiri barulah bayo pangoli dan boru na ni oli masuk ke rumah. Setelah kedua pengantin telah melaksanakan adat tapian raya bangunan dan memasuki rumah, maka markobar dilaksanakan untuk memberikan gelar adat kepada bayo pangoli (mangalehen gorar).
3.3.2 Mangalehen Gorar (Manabalkan gelar adat) Ketika kedua pengantin sudah siap melaksanakan upacara adat di tapian raya bangunan, maka dilanjutkan dengan acara adat mangalehen goar. Mangalehen gorar adalah menabalkan gelar adat kepada bayo pangoli yang dilaksanakan sekitar pukul 15:30 yang melalui markobar. Para raja-raja dan semuanya yang hadir 61
didalam markobar merundingkan untuk menentukan gelar yang berikan kepada pengantin laki-laki. Setelah gelar sudah didapatkan untuk diberikan kepada bayo pangoli, maka bayo pangoli di panggil untuk segera datang ke pantar bolak paradaton. Bayo pangoli langsung duduk ditikar adat yang sudah disiapkan ditengahtangah markobar kemudian burangir dan salipi yang berisikan beras, jahe, garam dan rumpit yang dilapisi oleh ujung daun pisang yang ujungnya dihadapkan ke bayo pangoli dan pangkal ke raja panusunan serta keris yang dilintangkan ke depan. Sebelum gelar diberikan raja panusunan memberikan arahan kepada bayo pangoli bagaimana menjalankan hidup berumah tangga maka salipi yang berisikan beras yang artinya untuk kebutuhan pokok dalam kehidupan berumah tangga, jahe yang dicampurkan dengan garam apa bila dimakan akan terasa asin dan pedas begitulah hidup berumah tangga namun lama kelamaan makan jahe dan garam akan terasa manis itulah hidup berumah tangga setelah pedas dan hasin baru manis kemudian rumpit yang bertanda apa bila kalau ada masalah didalam rumah tangga jangan di sebar luaskan kepada orang namun harus di musyawarahkan serta yang terakhir adalah keris yaitu untuk menjadi pemimpin yang benar dan tidak pandang bulu terhadap rumah tangga dan keluarga. Setelah arahan yang diberikan kepada bayo pangoli, maka mong-mongan di bunyikan sebanyak Sembilan kali bertanda bahwa pemberikan gelar akan berikan. Raja panusunan barulah memberikan gelar kepada bayo pangoli yaitu didalam penelitian penulis adalah raja hampung parlidungan dan bayo pangoli mengangkat keris serta membukanya kearah atas yang bertanda bahwa bayo pangoli sudah syah mendapatkan gelar yang diterimanya. Pemberian gelar ini dilakukan oleh raja panusunan atas usul dari natoras yang disaksikan oleh raja-raja serta yang hadir 62
didalam markobar. Penambalan gelar ini dilakukan oleh raja panusunan atas usulan dari namora dan natoras dengan disaksikan oleh raja-raja adat lainnya. Dapat dijelaskan bahwa pemberian gelar adat kepada bayo pangoli adalah mengikuti dari kakeknya dan tidak bisa mengambil gelar dari orang tuanya.
3.3.3 Mangupa Setelah selesai pemberian gelar adat dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan mangupa yang artinya yaitu upacara adat dengan menyampaikan pesan-pesan adat dan petunjuk kepada kedua pengantin bayo pangoli dan boru na ni oli. Dan biasanya mangupa dapat diartikan sebagai ungkapan kegembiraan dengan sesuatu itu sudah terwujud. Apabila mangupa sudah selesai melaksanakannya
maka
selesailah seluruh rangkaian adat perkawinan adat. Dan jika masih ada upacara adat berikutnya, itu adalah sebagai pelengkap acara. Dalam pelaksanaan mangupa kedua pengantin yaitu bayo pangoli dan boru na ni oli disurdu burangir terlebih dahulu yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka, keluaraga dari dalihan na tolu, raja-raja adat dan datu pangupa serta ditutup oleh raja panusunan. Setelah disurdu burangir raja panusunan melaksanaan pembicaraan untuk kedua pengantin kemudian menyerahkan kepada datu pangupa untuk memberikan pelaksanaan pangupa kepadanya. Seterusnya datu pangupa memberikan izin kepada kedua orang tua mempelai unutk memberikan ucapan kepada mereka dan biasanya memberikan syukuran kepada kedua pengantin agar masalah didalam berumah tangga dapat mereka selesaikan berdua. Pelaksanaan mengupa setelah manggoar (menambalkan nama) juga dimaksudkan agar nama yang diberikan tersebut diterima tondi dohot badan kedua pengantin. Tondi adalah sesuatu yang abstrak dalam jiwa seseorang yang memberi kekuatan tuah dan 63
marwah kepada seseorang. Sering juga disebut pada acara adat agar pengantin ini maroban sangap dohot tua (membawa marwah dan rezeki atau tuah) kepada kedua mempelai pengantin.
Tujuan dari mangupa adalah untuk memperkuat tondi atau mengembalikan tondi kedalam tubuh agar bayo pangoli dan boru na ni oli tegar menghadapi tantangan ataupun dapat hidup normal kembali seperti biasa apabila tondinya hilang.
M enurut L.P.Hasibuan, 1989:25 bahwa dalam pandangan adat, manusia seutuhnya terdiri dari tiga unsur, yaitu: Badan, Jiwa (roh), dan Tondi. Badan adalah jasad yang kasar, terlihat dari teraba. Jiwa (roh) adalah benda abstrak yang menggerakkan badan kasar tadi. Tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa tadi dengan tuah sehingga seseorang kekelihatan beribawa dan mempunyai marwah.
Adapun macam-macam tingkatan menurut Pandapotan Nasution (2005:174181) pangupa yaitu :
a. Telur ayam (pira manuk). Pangupa yang paling sederhana yang terdiri dari telur ayam dan nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi, dan air putih untuk diminum. Dan yang hadir adalah biasanya hanya yang satu rumah, kalaupun ada orang luar adalah orang yang membawa upa – upa. b. Ayam (pangupa manuk). Ayam yang akan disajikan dipanggang yang masih utuh tanpa dipotong – potong. Tiga butir telur ayam yang direbus, ikan garing (anak ikan mera), nasi putih dan garam. Yang hadir adalah anggota keluarga dan kaum kerabat lainnya. 64
c. Kambing ( pangupa hambing). Acara ini dilakukan dengan acara yang benar-benar resmi. Adapun bagian – bagian tubuh kaming yaitu kepala kambing, kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor, sedikit dagingnya, hati, jantung dan serta isi perut. yang hadir adalah tentunya lebih lengkap dan ditambah dengan namora natoras serta raja pamusuk d. Kerbau (pangupa horbo). Pangupa yang paling tinggi dan biasanya pangupa yang dilakukan pada acara – acara yang diadakan raja – raja dan keturunannya..
Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo sama dengan yang diatas yaitu:
a. Nasi putih adalah nasi yang dilambangkan sebagai lambing perencanaan dan tanda – tanda keikhlasan hati dalam segala hal. Untuk sampai keatas piring nasi memerlukan proses panjang dan kerja keras yang mulai dari menabur bibit, meencangkul, menanam, menyingai sampai kepada panen, menumbuk padi menjadi beras dan menanak beras menjadi nasi. Sedangkan warna putih melambangkan keikhlasan.\ b. Telur ayam. Telur sebagai lambang doa untuk memohon agar jiwa dan raga bersatu padu, tetap selamat dan sehat – sehat. c. Garam (sira). Garam melambangkan kekuatan. Garam sangat dibutuhkan manusia demikian juga yang diupah-upah diharapkan tetap dibutuhkan dan bermanfaat kepada orang lain. d. Air putih melambangkan keikhlasan karena dalam mengerjakan sesuatu haruslah dengan hati – hati dan yang bersih serta ikhlas.
65
e. Ikan adalah melambangkan dinamika dan persatuan. Ikan upah – upah terdiri dari dua ekor melambangkan suami istri sebagai ikan, yang selalu sama – sama kehulu dan sama – sama keilir. f. Udang melambangkan sebagai strategi kehidupan. Gerakan maju mundur adalah karakter udang. g. Daun ubi yang diikat lembar demi lembar. Daun ubi melambangkan sebagai umur yang panjang dan bermanfaat. h. Kepada kerbau. Pangupa yang paling besar adalah kerbau. Pangupa kepala kerbau ini dihadapkan kemuka pengantin dalam keadaan utuh. Namun untuk pada saat ini sudah tidak digunakan menjadi kepala kerbau secara utuh sebagai pangupa pada saat acara adat. Setelah masuknya agama islam yang mana bertentangan dengan agama islam. Istilah adat yang menyatakan hombar do adat dohot ibadat yang artinya adat dan ibadat tidak dapat dipisahkan. Adat tidak boleh bertentangan dengan agama islam, jika bertentangan dalam pelaksanaannya maka adat itu dikesampingkan maka kepala kerbau dihapuskan. Tempat pangupa, kepala kerbau diletakkan diatas induri setelah dialasin dengan bulung bulung ujung (daun pisang) tiga helai sebagai melambangkan sebagai dalihan na tolu. Sedangkan bahan-bahan lainnya telah dimasak disusun diatas piring besar. Induri adalah lambang kemasyarakatan yang melambangkan pembeda yang benar dan salah. Setelah acara adat pangupa ini selesai maka pada malam harinya dilanjutkan dengan acara mangoloi na loja yaitu meladeni yang bekerja selama upacara adat perkawinan itu berlangsung serta suhut mengucapkan terimakasih kepada kerabat yang selama ini membantu didalam pelaksanaan horja godang. 66
Tidak jarang didalam pelaksanaannya dihidangkan makanan untuk makan bersama semua unsur dalihan na tolu serta masyarakat yang membantu selama pelaksanaan perkawinan dirumah suhut dikumpulkan. Selanjutnya setelah makan bersama selesai suhut memberikan mereka bungkusan yang berisi daging ataupun tulang rincang berserta lauknya yang bertanda pengucapan terima kasih. 3.4
Alat Musik yang pada Gordang S ambilan
3.4.1
Momongan M omongan adalah alat musik yang terbuat dari logam ataupun kuningan
Yang terdiri dari tiga buah yaitu yang paling besar
nyaring suaranya adalah
panolongi, seterusnya pamulusi dan terakhir nyaring suaranya paling kecil adalah ikong-ikong. Alat msuik termasuk kedalam kategori idiophone yang dipukul. Bentuk alat musik ini seperti talempong yang terdapat di padang. Alat musik ini termasuk kedalam kategori Idiophone yang dipukul. M ongmongan dimainkan dengan di pukul memakai kayu.
Gambar 3 M omongan 67
M emainkan momongan dengan membutuhkan dua orang pemain yaitu pamolongi dan ikong-ikong dimainkan dengan satu orang dan pamulusi dimainkan dengan satu orang saja. Cara memainkan panolongi dan ikong-ikong yang dimainkan dengan satu orang yaitu ikong-ikong yang berbentuk kecil di pegang di atas tangan sedangkan panolongi di pegang talinya dan kearah bawah tangan bisa juga ikong-ikong di letakan diatas rak momongan dan pannolongi di pegang talinya agar panolongi berada di bawah. Sementara untuk pamulusi yang dimainkan dengan satu orang bebas untuk memegangnya karena hanya satu saja yang dipegang.
Gambar 4 Cara memegang panolongi dan ikong-ikong
68
Gambar 5 Cara memegang pamulusi
Gambar 6 Pemain momongan 69
3.4.2 S arune Sarune adalah alat music yang dikelompok kedalam kategori aerophone yang dimainkan dengan cara di embus/udara. Didalam etnis mandailing terdapat alat musik serune yang terbuat dari bambu kemudian ujung bambu terbuat dari ujung tanduk kerbau yang berdiameter 3 cm
sementara batok kelapa yang
berukuran kecil diletakan dekat 3 cm dari pangkal serune. Batok kelapa yang diletakan di serune berfungsi sebagai batas bibir dengan serune. Dan serune mempunyai 4 lobang nada dan dari pangkal kelapa sampai tanduk kerbau berjarak 8 cm.
Gambar 7 Jarak 8 cm dari batok kelapa dengan tanduk kerbau
70
Gambar 8 Ujung serune yang berdiameter 3 cm
71
Gambar 9 Cara memainkan serune 3.4.3 Ogung/Gong Gong adalah alat musik yang dimasukan kedalam kategori idiophone. Gong mirip dengan dengan momongan tetapi bentuknya yang sangat besar dan terbuat dari logam ataupun kuningan walaupun sekarang sudah ada yang terbuat dari plat. didalam etnis mandailing terdapat dua gong yaitu gong jantan dan gong betina. Gong jantan berbentuk lebih kecil dibandingkan dengan gong betina. Dan gong dipukul dengan kayu yang dilapisi dengan kain dan karet agar suara yang di timbulkan berdengung dan besar. cara memainkannya yaitu gong digantungkan di atas tumpangan kayu yang diikatkan dengan tali kemudian di pukul.
72
Gong jantan Gong betina
Yang di pukul
Gambar 10 Gong jantan dan Gong betina
73
Gambar 11 Gong betina dan jantan terlihat dari belakang 3.4.4
Doal doal adalah alat musik yang berkategori dengan idiophne yang dipukul
badannya. Doal pada alat musik M andailing hampir sama dengan momongan yang membedakannya yaitu dengan bentuknya yang agak besar dan dimainkan dengan satu orang saja. Cara memainkannya yaitu dengan memegang tali yang sudah diikat pada alat musik doal kemudian di pukul tengahnya yang berbentuk cekung seperti momongan ataupun gong.
74
doal
Gambar 12 Doal
doal
Gambar 13 Cara bermain doal
75
3.4.5
Gordang S ambilan Gordang Sambilan adalah alat musik yang terdiri dari Sembilan gendang.
Gordang Sambilan terbuat dari batang pohon ingul yang dikerukan agar tengahnya berlobang dan pohon tersebut hanya terdapat di M andailing saja (Ibrahim Lubis). Untuk membrannya sendiri terbuat dari kulit kerbau dan terkadang memakai kulit sapi dan sebagai pengikatnya adalah rotan yang besarnya klingking orang dewasa sementara di bawah gordang ditutupi dengan papan atau kayu yang tengahnya dilobangi berdiameter 15 cm. Gordang sambilan sendiri diklasifikasikan dalam membranophone dalam bentuk long drum karena gordang sambilan bentuknya panjang dan besar.
G
a Gambar 14 Gordang Sambilan Dari Sembilan gordang sambilan tersebut mempunyai nama-nama yang berbeda. M ulai gordang sambilan yang paling besar yaitu dua yang bernama jangat, dua bernama hudong-kudong, dua padua, dua patolu, dan terakhir adalah satu yang
76
bernama kenek-enek
dan dimainkan dengan lima orang dengan cara di pukul
membrannya yang memakai kayu (daerah pakantan).
Kulit atau membran
Sebagai pengganjal rotan yang diikatkan
Rotan yang dililitkan di tengah badan gordang sambilan
Gambar 15 Foto atas Gordang sambilan
77
Kayu tempat pengganjal rotan
Lobang gordang berdiameter 15 cm
Gambar 16 Foto bawah gordang sambilan
78
Gambar 17 Pemain gordang sambilan 3.4.6
Tali Sasayak tali sasayak adalah alat musik yang lagakan dengan badannya antaran satu
dengan satunya lagi. Tali sasayak ini terdiri dari dua buah yang di tengahnya berbentuk cekung dan diikat dengan tali yang di sambungkan dengan yang satunya lagi. Tali sasayak terbuat dari plat ataupun besi yang dimainkan dengan satu orang. Cara memainkannya yaitu tangan kanan memegang yang satu serta tangan kiri memegang yang satunya lagi kemudian cara membunyikannya yaitu dengan melagakan badan tali sasayak tersebut dan talinya dililitkan di sela-sela jari agar ketika dilagakan tali sasayak tidak jatuh.
79
Gambar 18 Cara memainkanTali sasayak
Gambar 19 Cara memainkan tali sasayak
80
Gambar 20 Pemain ensambel gordang sambilan
3.5
Fungsi Gordang S ambilan di dalam perkawinan Gordang Sambilan mempuyai fungsi di dalam upacara
perkawinan.
M enurut M erriam (1964 : 219-227), ada 10 fungs i dan peranan musik dalam kebudayaan yaitu : (1) sebagai hiburan,(2) sebagai perlambang, (3) sebagai media komunikasi, (4) sebagai estetis, (5) sebagai reaksi jasmani, (6) sebagai pengungkapan emosional, (7) sebagai pengintegrasian masyarakat, (8) sebagai kesinambungan masyarakat, (9) sebagai penges ahan lembaga- lembaga sosial, serta (10) fungsi musik yang berkaitan dengan norma-norma sosial. Dengan memperhatikan teori tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat 4 fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan masyarakat mandailing, yaitu: 1. Fungsi hiburan, yaitu masyarakat mandailing yang mengadakan gordang sambilan didalam upacara adat perkawinan akan terhibur dengan adanya 81
gordang sambilan karena gordang sambilan untuk menghibur kepada masyarakat yang hadir didalam pesta tersebut. 2. Fungsi pengesahan lembaga sosial, adanya gordang sambilan yang diadakan menjadi symbol bahwa sahnya berjalan upacara perkawinan. 3. Fungsi sebagai kesunambungan masyarakat, kegiatan gordang sambilan merupakan kegiatan yang merupakan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan M andailing. 4. Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan yang dilakukan pada gordang sambilan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi bahagia yang dituangkan pada suatu wadah, yaitu gordang sambilan.
3.6
Peranan dan Fungsi Gordang S ambilan sebagai Pengiring Tari Sarama tari sarama adalah tari yang berasal dari kebudayaan M andailing, dimana
tari tersebut dibawakan oleh seorang laki-laki atau disebut dengan panyarama. Tari sarama umumnya disaat bermain akan dimasuki oleh roh-roh atau disebut dengan kesurupun yang bertujuan untuk menghormati kepada roh-roh nenek moyang. Dalam konteks tari sarama, gordang sambilan mempunyai peranan dan
fungsi. Dalam segmen ini, penulis menggunakan sebagian teori yang
dikemukakan M erriam tentang fungsi musik dalam kebudayaan ditambah dengan teori pertunjukan yang dikemukakan oleh M ilton singer. M enurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan maka seorang penelit i harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) 82
kesempatan untuk
mempertunjukannya.
Pada bagian
ini,
penulis
akan
mendeskripsikan Tari sarama secara umum. Tari sarama dilakukan bertujuan untuk menghormati kepada leluhur nenek moyang M andailing dimana pembawanya adalah kaum laki-laki dan biasanya seorang laki-laki saja untuk menari sarama. Perlengkapan untuk melakukan tari sarama yaitu peci yang di pakai dikepala, sarung yang dipakai di pinggang, baju adat mandailing yang berwarna merah, putih, dan hitam yang bersimbol adat mandailing, dan hulos yang diselempangi di leher.
Gambar 21 Tari sarama pada pesta perkawinan adat M andailing
83
Untuk melakukan tari sarama harus dari perestuan dari pemain gordang dan yang mengadakan pesta. Karena didalam mengadakan tari sarama harus ada seorang datu (dukun) untuk mengetahui si penari sarama. Begitu juga dengan pemain gordang sambilan harus mempunyai tenaga kuat memukul gordang sambilan di karenakan ritme yang dihasilkan gordang sambilan sangat berpengaruh dengan panyarama. Kalau tidak suka dengan pukulan gordang sambilan terlalu pelan dan tidak sesuai dengan pukulan gordang si panyarama akan mengamuk dan meminta menggantikan si pemain.
Gambar 22 Panyarama saat mengamuk pada pemain gordang sambilan di pesta perkawinan adat M andailing
Setelah panyarama ingin menyadarkan diri seorang datu akan menghampiri dan menanyakan apa yang diminta oleh seorang penyarama. Yang diminta adalah burangir (sirih). Karena burangir didalam adat M andailing memegang peranan penting bagi melaksanakan adat. Setelah ditunjukan burangir dihadapan panyarama barulah tidak berapa lama sipanyarama menyadarkan diri. 84
Gambar 22 Seorang datu memberi permintaan si panyarama yaitu burangir
Gambar 23 Burangir
Adapun fungsi dan peranan pertunjukan tari sarama dan Gordang Sambilan tersebut berdasarkan teori M erriam, yaitu: 1. sebagai alat untuk melanjutkan tradisi dan cirri khas masyarakat M andailing melalui kesenian pertunjukan tari sarama 2. sebagai wadah untuk menghibur tamu dan masyarakat yang hadir pada acara perkawinan tersebut. 85
3. Sebagai ungkapan emosional pada permainan gordang sambilan dan gerakan tarian sarama yang dilakukan. 4. Sebagai wadah pesan kepada penonton yang hadir untuk memperliatkan kesenian tradisional M andailing. Didalam permain gordang sambilan pada sebagai pengiring tari sarama, tidak ada perbedaan teknik yang menonjol jika dibandingkan pada saat gordang sambilan dimainkan untuk menyambut tamu. Yang membedakan yaitu durasi lamanya permainan gordang sambilan. Biasanya lebih lama pada saat gordang sambilan sebagai pengiring tari sarama, karena ketergantungan kepada penari yang akan ingin sadar. M enurut Bapak Ridwan Amanah Nst panyarama bisa saja sampai dua jam tergantung pada panyarama yang sedang di masuki roh halus.
86
BAB IV TRANSKRIPSI GORDANG SAMBILAN 4.1
Transkripsi Transkripsi dalam etnomusikologi merupakan suatu proses penotasian
bunyi menjadi simbol-simbol yang dapat dilihat atau diamati dari suara, dan simbol-simbol tersebut disebut dengan notasi. Dalam segi analisis, penulis menggunakan salah satu teori yang dikemukakan oleh M alm dalam terjemahan Takari (1993:13), yait u sebagian teori weighted scale ditambah dengan sesuatu yang berhubungan dengan waktu. Penulis akan menganalis a bagian-bagian seperti ketukan dasar, ritme, dan birama yang ada pada Gordang Sambilan tersebut. Penulis akan meneliti pada saat Gordang Sambilan dimainkan di pesta perkawinan adat M andailing di Kota M edan yang beralamatkan gang Suka Siderejo simpang limun pada tangga 17 – 19 M ei 2013 dirumah Bapak Drs. H. Syamsuddin Lubis yang menikahi anaknya yang bernama Faisal Alif Parlindungan Lubis. SE.AK dengan Dr. Putri Purnama Sari.
4.2
Transkripsi Gordang Sambilan pada Upacara Perkawinan Berikut ini adalah hasil selengkapnya musik Gordang Sambilan dalam
konteks upacara tersebut. Adapun simbol-simbol dan notasi dibuat sendiri menurut persepsi musikal dari penulis. Penotasian Gordang Sambilan ini dibantu oleh Brian Laso Harefa.
87
Ensambel Gordang Sambilan pada Pesta Perkawinan di Medan
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
M omongan Panolongi dan
3 3 3 3
Ikong-ikong Pamalusi
3 3 3 3
Doal
x x xx x
Tali sasayak
3 3 3 3 3 3 3 x
Gong
Keterangan : x : pukul
y : istirahat ½ ketuk
o : angkat
3 : istirahat 1 ketuk
Berdasarkan teori yang dikemukan malm tentang musik dan waktu, penulis menganalisis segi ketukan, ritme, birama, pulsa, peran alat musik dan 98
dinamika. Adapun analisis tersebut yaitu:
a. Enek-enek xxxx xxxx xxxx xxxx keterangan : x : pukul = harga ritme ¼ ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk didalamnya Hasil analisis enek-enek didalam Gordang Sambilan yaitu: - enek-enek sebagai penahan tempo dan pulsa - enek-enek tidak memainkan variasi terhadap Gordang Sambilan tetapi sebagai pengisi - enek-enek memainkan ritme ¼ ketuk b. Patolu patolu 1
ox ox ox ox
patolu 2
xo xo xo xo
keterangan : x : pukul = harga ritme ½ ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk didalamnya Hasil analisis patolu didalam Gordang Sambilan yaitu - bunyi yang di hasilkan patolu call and respon, dimana kedua patolu tersebut saling sahut menyahut - kedua patolu tersebut mengeluarkan ritme yang sama c. Padua padua 1
xo xo xo xo 99
padua 2
ox ox ox ox
keterangan : x : pukul = harga ritme ¼ ketuk o : angkat = harga ritme ¼ ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk - bunyi yang dihasilkan padua call and respon, dimana kedua padua tersebut saling sahut menyahut - kedua padua tersebut mengeluarkan ritme yang sama - didalam Gordang Sambilan padua sebagai pengisi d. Hudong-Kudong hudong 1
yo xo xo xo
kudong 2
ox ox ox ox
keterangan : x : pukul = harga ritme ¼ ketuk y : istirahat ½ ketuk o : angkat = harga ritme ¼ ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk -
Bunyi yang dihasilkan hudong kudong adalah call and respon, dimana keduanya tersebut saling sahut menyahut
-
Kedua hudong-kudong mengeluarkan ritme yang sama
-
Didalam Gordang Sambilan hudong-kudong sebagai pengisi
e. Jangat Jangat 1
xo x xoxo xo
Jangat 2
ox o oxox ox
100
Keterangan : x : pukul = harga ritme ½ ketuk o : angkat = harga ritme ½ ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk -
Bunyi yang dihasilkan jangat adalah cal and respon, dimana keduanya saling sahut menyahut
-
Didalam Gordang Sambilan jangat adalah sebagai pengisi
-
setelah keempat gordang telah dimainkan yaitu enek-enek, patolu, padua dan hudong-kudong baru jangat bisa dimainkan karena keempat gordang tersebut merupakan sebagai pengisi sementara jangat adalah sebagai variasinya
f.
Momongan Panolongi dan Ikong-ikong
x yxx x x
Pamulusi
x x x x 3
Keterangan : x : pukul
3 : istirahat 1 ketuk
y : istirahat ½ ketuk didalam 1 birama terdapat 4 ketuk -
Bunyi Momongan yang diperankan oleh panolongi dan ikong-ikong dihasilkan bergaya call and respon, dimana kedua tersebut saling sahut menyahut kecuali doal.
-
ketiga Momongan tersebut mempunyai frekuensi nada yang berbeda, sehingga mengeluarkan bunyi yang bervariasi.
-
ketiga Momongan tersebut mengeluarkan rit me yang bervariasi 101
memberikan kesan yang penuh dengan improvisasi rit me.
g. Tali Sasayak
x xx x xx keterangan : x : pukul harga ritme ¼ ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk\ -
Bunyi yang dihasilkan tali sasayak adalah bunyi yang dilagakan dengan badannya sendiri
-
Tali sasayak didalam Gordang Sambilan sebagai pengiring
h. Ogung/ gong x 3 x 3 keterangan : x : pukul 2 ketuk
3 : istirahat 2 ketuk 1 birama terdapat 4 ketuk -
gong boru hanya dipukul 1 kali didalam birama dan gong jantan sama juga dengan gong boru hanya sekali dipukul didalam 1 birama
102
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan yang di rangkum bahwa setiap penamaan Gordang Sambilan selalu berbeda-beda berdasarkan asal daerah dan begitu juga jumlah pemainnya seperti Pakantan, Huta pungkut dan Tamian tetapi bentuk dan jumlah Gordang Sambilan sama pada pelaksanaan perkawinan adat M andailing di Kota M edan Upacara adat M andailing yang diselenggarakan di Kota M edan pada dasarnya sama dengan upacara adat perkawinan yang ada di M andailing Natal khusus yang menyelenggarakan Gordang Sambilan yang sama-sama
terlebih
dahulu meminta izin kepada Raja melalui Markobar (musyawarah) itupun harus menyembelih minimal seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur. Perubahan yang terjadi meliputi waktu dan tempat upacara dan proses pelaksanaanya. Dari sudut fungsional Gordang Sambilan yang dilaksanakan pada pesta perkawinan adat M andailing adalah
(a) Fungsi hiburan, yaitu masyarakat
M andailing yang mengadakan gordang sambilan didalam upacara adat perkawinan akan terhibur dengan adanya gordang sambilan karena gordang sambilan untuk menghibur kepada masyarakat yang hadir didalam
pesta tersebut. (b) Fungsi
pengesahan lembaga sosial, adanya gordang sambilan yang diadakan menjadi symbol bahwa sahnya berjalan upacara perkawinan. (c) Fungsi sebagai kesunambungan masyarakat, kegiatan gordang sambilan merupakan kegiatan yang merupakan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada 103
kebudayaan M andailing. (d) Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan yang dilakukan pada gordang sambilan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi bahagia yang dituangkan pada suatu wadah, yaitu gordang sambilan.
5.2 S aran Didalam tulisan ini mempunyai beberapa saran kepada masyarakat pembaca lainnya baik etnis M aindailing maupun diluar etnis M andailing itu sendiri, yaitu menyarankan agar Gordang Sambilan tetap dipertahankan ekstensinya karena sudah saatnya hasil dari kebudayaan khsususnya Gordang Sambilan untuk ditingkatkan sebagai usaha pendokumentasian agar pengembangan kekayaan budaya tersebut tidak hilang ditelan oleh zaman. Didalam kesempatan ini, penulis juga menyarankan agar
alat musik
Gordang Sambilan dapat dimasukan sebagai mata pelajaran kesenian yang ada di sekolah-sekolah dan tingkat menengah, khususnya yang berada di daerah Sumatera Utara dan juga di lembaga-lembaga kesenian ataupun badan-badan yang bergerak di bidang kebudayaan agar dapat turut serta membudayakan penggunaan alat musik ini sebagai sarana pendidikan untuk mempelajari Gordang Sambilan sebagai usaha pelestarian.
104
DAFTAR INFORMAN
Nama
: Ridwan Amanah Nst
Umur
: 53 Tahun
Alamat
: jl. Pancing gg taqwa no 34 C indra kasih M edan
Pekerjaan
: pemain musik
Nama
: Ucok Dagar Lubis
Umur
: 50 Tahun
Alamat
: gang jawa no 7 bandar selamat M edan
Pekerjaan
: pemain musik
Nama
: Adi Lubis
Umur
: 45 Tahun
Alamat
: jl kenari sampali no 35 M edan
Pekerjaan
: pemain musik
Nama
: Ardi Nst
Umur
: 23 Tahun
Alamat
: jl. Pancing gg taqwa no 34 C indra kasih M edan
Pekerjaan
: pemain musik
105
Nama
: Ibrahim Lubis
Umur
: 64 Tahun
Alamat
: jl karya M edan
Pekerjaan
: wiraswasta
106
DAFTAR PUS TAKA
Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman M edan : Forkala Provinsi Sumatera Utara Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi. Jakarta : rineka cipta. , 2001. Kesimpulan Seminar Adat Mandailing. M edan. Siregar, Syafaruddin. 1988. Studi Deskriptif Organologi Alat Musik Gondang Bulu pada masyarakat Mandailing. M edan. M atondang, Ibnu Avena. 2005. Tek-Tek Ni Gondang Somba Mula Ni Tortor . M edan Lubis, Z Pangaduan dan Zulkifli Lubis. 1989. Sipirok Na Soli, Bianglala Kebudayaan M asyarakat sipirok. M edan : USU Pres Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, M edan. M alm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan). M edan: Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. M erriam, Alan P. 1964. Antrology of Music. Chicago: Northwestern University Press.
107