PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT MANDAILING DI DESA HUTA PUNGKUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
ERLIYANTI LUBIS
1110044100050
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
i
ABSTRAK Erliyanti Lubis. NIM 1110044100050. Pernikahan Satu Marga dalam Adat Mandailing Di desa Huta Pungkut Perspektif Hukum Islam. Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsenterasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1435/2014 M. . Studi ini menjelaskan tentang perkawinan satu marga dalam perspektif hukum Islam. Pertanyaan penting adalah apa yang mendasari perkawinan satu marga itu dilarang di adat Mandailing. Dalam hukum adat di Mandailing desa Huta Pungkut perkawinan satu marga itu dianggap masih satu darah atau satu keterunan yang sama. Oleh karena itu disini penulis ingin mengetahui penyebab tidak boleh menikah dengan satu marga di desa Huta Pungkut. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang objek yang menjadi penelitian penulis, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif sosiologis. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan skunder, dan teknik pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara. Jika dilihat dari segi hukum Islam, baik didalam kitab-kitab fiqh, undangudang perkawinan dan kompilasi hukum Islam tidak ada sebuah aturan yang mengatur tentang perkawinan satu marga. UU hanya mengatur tentang sah atau tidaknya perkawinan dilihat dari segi agama dan catatan sipil (syarat dan rukun) perkawinan. Sedangkan dalam adat Mandailing perkawinan itu dilarang karena dianggap masih satu keturunan yang sama (sedarah), untuk menjaga hubungan kekerabatan dan tutur Mandailing yang sudah ada sejak dahulu yang disebut dengan Dalian Na Tolu. Kata Kunci
: Pernikahan Adat dalam Perspektif Hukum Islam
Pembimbing
: Hotnida Nasution,M.Ag
Daftra Pustaka
: Tahun 1918 sampai dengan tahun 2013
KATA PENGANTAR
بسن اهلل الر حمن الر حين الحمد اهلل رب العالمين و الصالة و السالم على اشرف اال نبياء و المسلين و على اله و صحبه اجمين Berkat rahmat dan ‘inayah Allah SWT, sebagai Dzat yang maha indah dan terpuji, dimana segala pujian dijagad raya ini dipersembahkan untuk-Nya, takkan pernah terasa cukup untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih atas segala rahmat dan cinta yang diberikan kepada hamba-Nya. Salam sejahtera semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi kita Muhammad SAW yang menjadi panutan bagi ummat Islam, yang selalu dinantikan syafaatnya dihari pembalasan. Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur yang tiada terhingga yang menunjukkan betapa Allah telah memberikan rasa kasih sayang-Nya kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pernikahan Satu Marga dalam Adat Mandailing Di desa Huta Pungkut Perspektif Hukum Islam”. Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik itu berupa semangat, tukar pikiran maupun berupa finansial, sehingga penulisan ini selesai. Adapun penulis tidak dapat melukiskan dengan untaian kata-kata, ungkapan apa yang pantas penulis haturkan kepada mereka. Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada:
vi
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2.
Kamarusdiana, S. Ag, MH., sebagai Ketua Program studi Ahwal alsyahsiyyah, yang telah membimbing dan memberikan pelayanannya kepada penulis. Kepada ibu Sri Hidayati, M. Ag, sebagai Sekertaris Jurusan terimakasih atas pelayanan dan bantuannya kepada penulis
3.
Hotnida Nasution, M. Ag yang telah membimbing penulis selama melakukan penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang cukup memuaskan.
4. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, yang telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan telah memberikan saran, arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya, untuk memndidik penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna di dunia dan di akhirat, semoga do’a dan didikannya menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. 6. Pegawai Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bahan-bahan yang menjadikan referinsi dalam penulisan skripsi ini. 7. Ayah dan mama yang senantiasa mendorong, membimbing, mendidik penulis dan beramat berjasa, arif mendidik , tiada hentinya mendoakan
vii
anaknya agar menjadi manusia yang berguna. Serta kedua adik-adikku Khusaimah Lubis, Zainul Abidin Lubis yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis. 8. Tulang (om) Soleh, Suardi,Sahril dan seluruh keluarga besar dari ayah dan mama yang telah memberikan semangat, pinansial kepada penulis agar biasa menyelesaikan skripsi dengan baik, terima kasih kepada Bou Maida yang sudah membantu penulis untuk melakukan observasi, dan Uwa yang telah memberikan ternsportasi untuk penulis. 9. Teman-teman
Jurusan
Peradilan
Agama
angkatan
2010,
Sahro
Batubara,S.Sy, Abiyati A.N, S.Sy, Ema Pratwi, S.Sy, Ratih, Aulia, Lulu, Syoraya N, dan teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang selalu menjadi guru, teman berdiskusi, Neneng, Naiya, Irfan, Yudis teman seperjuangan dalam sidang skripsi, semoga apa yang menjadi cita-cita kita akan tercapai. Untuk teman-teman KKN BETA angkatan 2010. 10. Bapak Kepala Desa Muara Saladi (Naja Muddin) yang telah memberikan izin dan kemudahan kepada penulis, Kepala Desa Huta Pungkut (Koji) yang menjadi objek penelitian dan sensus penduduk, ustadz Yayah Lubis (tokoh ulama), Sultan Baringin Lubis (tokoh adat), terima kasih atas bantuan dan telah memberikan waktu dan pikirannya buat penulis, sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar. 11. Teman-teman MA Asshiddiqiyah angkatan 2010 Kebon jeruk, Eli, Dede, Iin, Muti, Chulay, Yuli, dan yang lain terima kasih atas doa dan samangat dan dukungan dari kalian, teman-teman ODOJ 1315 yang selalu
viii
memberikan doa dan semangat, serta sahabat- sahabat yang tak bisa disebutkan satu-persatu yang akan menjadi guru, teman satu ide dan satu perjuangan. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, penulis berdoa semoga Allah SWT, senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahNya. Harapan terakhir penulis skripsi ini bermanfaat buat pengembangan ilmu pengetahuan. Jakarta, 20 Desember 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .....................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..........................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .....................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................
iv
ABSTRAK ................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................
9
C. Tujuan Penelitian .................................................................
9
D. Study Review.......................................................................
10
E. Metode Penelitian ................................................................
12
F. Sistematika Penulisan ..........................................................
15
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ..........................
17
B. Syarat dan Rukun Pernikahan .............................................
29
C. Tujuan Perkawinan ..............................................................
43
BAB III SEJARAH DAN POTRET DESA HUTA PUNGKUT A. Kondisi Geografis dan Sosial masyarakat desa Huta Pungkut
x
48
a. Sejarah singkat kerajaan Huta Pungkut ..........................
48
b. Secara Geografis .............................................................
56
c. Sosial Desa Huta Pungkut ..............................................
59
B. Agama dan Tinggat Pendidikan Masyarakat desa Huta Pungkut ................................................................................
60
C. Tata Cara Perkawinan yang berlaku di desa Huta Pungkut
62
a. Pengertian Adat ..............................................................
62
b. Perkawinan Adat Mandailing .........................................
64
c. Perkawinan Masyarakat Desa Huta Pungkut ..................
72
BAB IV PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT MANDAILING DI DESA HUTA PUNGKUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Asal-usul Marga dalam Adat Mandailing ...........................
77
B. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan Ulama dan Tokoh Adat desa Huta Pungkut ....................................
80
C. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan
BAB V
Hukum Islam .......................................................................
89
D. Analisis Penulis ...................................................................
99
PENUTUP A. Kesimpulan ..........................................................................
103
B. Saran ....................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
106
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peraturan yang melarang perkawinan dalam satu marga. Bongbong: pagar atau penghalang yang tak boleh dilewati. Bagi masyarakat semarga, berlaku ketentuan “Si sada anak, si sada boru”. Maksudnya, mempunyai hak bersama atas putra dan putri. Pelanggaran terhadap hukum tersebut akan membawa risiko yang berat, bahkan dapat mengakibatkan lahirnya marga baru1. Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka dalam hidup persekutuan atau pergaulan semarga, telah digariskan sikap tingkah laku yang harus dianut, yang disebut dengan ungkapan “Manat mardongan tubu”. Maksudnya, haruslah berhati-hati serta teliti dalam kehidupan saudara semarga2. Fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam masyarakat Batak, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi, pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan , dan lain-lain. Misalnya, dalam adat pergaulan sehari-hari, dalam adat parsabutuhaon, parhulahulaon, dan parboruon (hubungan kekerabatan dalam masyarakat
1
http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html, di akses pada tanggal 13 mai 2014, pukul 13:06. 2 http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html, di akses pada tanggal 13 mai 2014, pukul 13:06.
1
2
Dalihan Na Tolu), adat hukum, milik, kesusilaan, pemerintahan, dan sebagainya. Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan sedarah, dan perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan semarga adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bermarga sama (lubis dengan lubis ataupun marga yang lain dengan marga yang sama dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri masyarakat Huta Pungkut. Setiap masyarakat wajib berbuat atau bertindak sesuasi dengan aturan adat yang didasarkan oleh dailan na tolu termasuk dalam penyenggaraan upacara adat seperti acara kelahiran, perkawinan, kematian dan selainnya3. Dalam suku Mandailing (halak hita) menganut patrilineal, yaitu mengikuti keturunan sebelum bapak atau orang tua lelakinya, oleh karena itu hanya laki-laki saja yang menyambung marga bapaknya dan bukan marga dari pihak ibunya, maka nama-nama marga atau clan nama-nama suku mandailing, baik pria dan wanita suku mandailing memakai marga berasal dari nama marga bapaknya (orang tua laki). Bagi wanita suku Mandailing yang bermarga tetap memakai marga bapaknya (orangtua laki) dan tidak memakai marga suaminya setelah menikah4. Orang Mandailing sebagi penganut garis keturunan partrilineal yang menempatkan anaknya yang laki-laki sebagai tumpuan (dalian)
3
http://hojotmarluga.wordpress.com/dalihan-na-tolu-dan-budaya-kerja/, di akses pada tanggal 9 April 2014, pukul 22:18. 4 Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005.
3
harapan untuk meneruskan keturunannya dikemudian hari. Dengan perkataan lain secara filosofis orang mandailing memandang atau memberi nilai budaya terhadap anaknya yang laki-laki (dalian) sebagai tumpuan bagi kelestarian eksistensinya parallel dengan ini Dalian Na Tolu (DNT) masyarakat Mandailing dalam bereksistensi. Orang Mandailing menganut adat eksogami marga artinya seorang laki-laki Mandailing pantang kawin dengan
perempuan dari “marga”5sendiri. Adapun perkawinan yang
dianjurkan dalam masyarakat batak pada umunnya ialah “manyunduti”6 tanpa terkecuali masyarakat mandailing. Perkawinan dalam kehidupan manusia sesuatu yang dianggap sakral. Di mana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat hubungan antara dua insan yang berlaian jenis. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang syah7. Dan tujuan lain dari perkawinan yang
merupakan
hak
dan
kewajiban
bersama
suami-istri
ialah
terpenuhinya kebutuhan biologis atua seks. Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar, menuntut adanya solusi yang jitu untuk 5
Marga pada haikatnya adalah nama cikal bakal suatu kelompok kerabat dalam suku Batak, baik Karo, Toba, Angkola dan Mandailing, yang berdasarkan garis keturuan ayah atau lakilaki nama ciakla bakal itu diwariskan secara turun menurun. 6 Melakukan perkawinan berulang searah dari satu bibit, pihak penerima boru (dara) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (mora). Ideal sifatnya jika seorang pria adapat menikah dengan anak perempuan yang orang tuanya kakak atau adik (tulang) ibu dari calon mempelai pria. 7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undangundang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet ke-4, (Yogyakarta: Liberti, 1999), h.12.
4
mengatasinya. Apabila jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang sesat (jahat). Maka Perwakinan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai yntuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks in8i. Sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Rum yang mempunya makna atau arti sebagi berikut:
“dan diantara tanda-tanda kekuasaan -Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan menjadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(al-Rum:21) Selanjutnya dalam hadist juga dijelaskan sebagi berikut: Yang artinya: “Rosulullah SAW bersabda: “ hai para pemuda! Siapa saja kamu yang sudah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan, dan siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa,karena puasa itu adalah obat (pengekang) bagimya” 9(HR. Muslim)
8 9
h.1018.
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 69. Abi Husein Muslim Ibnu Hajjaj, Shaheh Mulsim, Jilid 2, (Kairo: Dar al-Ihya,1918),
5
Islam mendorong untuk membentuk keluarga.
Islam mengajak
manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhuan keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya. Kehidupan manusia secara individu berada dalam putaran kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil. Bahkan telah membutuhkan unsur-unsur kekuatan, memperhatikan pada tempat-tempat berkumpul, tolong-menolong dalam menanggung beban, menghadapi kesulitan, dari segenap kebutuhan aturan keluarga10. Disisi lain perkawinan bertujuan besar dan asasi sebagai sarana untuk melanggengkan kelangsungan ras manusia dan membangun peradapan dunia, sehingga terbentuklah sebuah keluarga yang sakinah mawaddh warahmah sebagai cerminan yang terbentuknya sebuah masyarakat yang madani. Selain itu perkawinan merupakan salah satu kebutuhan jasmani dan rohani yang sudah menjadi sunnatullah, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda yang saling mengenal satu sama lain dan setuju untuk melangsungkan hidup bersama, disyari’atkannya perkawinan ialah untuk menjaga keturunan serta mencapai hidup yang lebih terang. 10
Ali Yusuf As- Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), h. 23-24.
6
Perkawinan merupakan pertemuan teratur antara laki-laki dan perempuan dibawah satu atap untuk membangun cita-cita bersama yang disebut kehidupan berumah tangga demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik yang bersifat biologis, social, ekonomi dan budaya bagi keduanya secara bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan. Selain itu pula perkawinan bertujuan besar dalam membina akhlak manusia dari perilaku penyimpangan yang menyalahi agama. Bila seorang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, maka sangat dianjurkan untuk nikah, apabila dikhawatirkan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar agama. Sedangkan dalam hukum adat, perkawinan tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya kekerabatan yang rukun dan damai11. Selain agama, negara juga memberikan perhatian yang serius terhadap perkawinan, hal ini dapat dilihat dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga menjelaskan tentang perkawinan. Besarnya perhatian agama 11
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h.70.
7
dan negara terhadap perkawinan di Indonesia ini adalah untuk tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah karena dari keluarga inilah lahir masyarakat yang madani dan menjadi sebuah bangsa yang besar dan berperadaban yang baik. Meski demikian agama dan negara telah memberikan perhatian secara rinci dalam hal perkawinan baik itu dalam hal syarat-syarat yang harus dipenuhi, sampai hal-hal yang dilarang dalam perkawinan. Yang dituliskan atau tertera dalam al-Qur’an al-Hadits atau yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, maupun dalam UU perkawinan dan KHI. Adapun demikian, dalam praktek pelaksanaannya perkawinan tidak selamanya lepas dari pengaruh kebudayaan dimana perkawinan itu dilaksanankan. Di Mandailing Natal misalnya, walaupun daerah ini tergolong masyarakat yang sangat religious dalam mengamalkan ajaran Islam, bahkan diberi julukan srambi Mekkahnya Sumatra Utara12 . Akan tetapi dalam praktek perkawinan masih berbaur dengan adat istiadat yang memang sudah ada dan tertanam dalam jiwa masyarakatnya. Praktek perkawinan di Mandailing Natal memang masih tegolong unik, bila dibandingkan dengan praktek perkawinan di daerah lain di Indonesia. Misalnya saja tradisi “mamodomi boru” (menemani calon istri), artinya ada seorang gadis dari pihak keluarga perempuan yang menemani
12
Basyral Hamdi Harahap, Madina yang Madani, (Jakarta: PT. Metro Pos,2004), h. 277.
8
calon istri tersebut tidur dirumah calon suami sebelum dilangsungkan perkawinan, hal tersebut dilakukan agar menghindari terjadinya fitnah13. Adapun tradisi mengaririt boru dalam adat Mandailing, yaitu menjajaki guna memperoleh informasi apakah seorang gadis telah menerima pinangan atau telah dijodohkan dengan orang lain14. Di dalam adat Mandailing dilarangnya perkawinan satu marga, bagi orang yang melakukan atau melarang hokum adat ini maka akan dikenakan hukuman dan perkawinannya di batalkan dengan perceraian. Sedangkan dalam literature fiqh klasik dan konterporer dan dalam KHI, tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang laki-laki perempuan yang satu marga dengannya, disini tidak dikenal dengan adanya perkawinan satu marga atau kawin sumbang. Karena hal ini hanyalah praktek perkawinan yang menggunakan hukum adat istiadat. Sehingga muncul sesuatu persoalan apakah perkawinan tersebut syah atau tidak bila dilaksanakan. Dari permasalahan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan ditungkan dalam bentuk karya ilmiah, untuk itu permasalahan ini akan diangkat sebagai kajian skripsi yang berjudul “(Pernikahan Satu Marga dalam Adat Mandailing Di Desa Huta Pungkut Perspektif Hukum Islam)”.
13
Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung, “Mamodomi Boru” artikel di akses pada tanggal 25 Oktober 2013 dari http://www.panyabungan.pagetl/Adat-mandailing.htm. 14 Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Adat Mandailing, Serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 56.
9
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Perumusan Masalah Pertanyan utama penelitian adalah apa yang menjadi alasan dasar dari larangan perkawinan satu marga dalam adat masyarakat di desa Huta Pungkut. Oleh karena itu pertanyan penelitian ini adalah: 1) Bagaimana tradisi perkawinan dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut? 2) Bagaimana kawin semarga dalam perspektif hukum Islam ? C. Tujuan dan manfaat penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui alasan apa yang mendasari larangan perkawinan satu marga dalam masyarakat adat Mandailing di desa Huta Pungkut 2) Untuk dapat mengetahui bagaimana gambaran tradisi perkawinan dalam adat Mandailing di desa Huta Pungkut . 3) Untuk mengetahui bagaimna perkawinan semarga dalam perspektif hukum Islam. Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagi berikut: a.
Secara akademis Diharapkan dapat memperkaya hazanah keilmuan bagi peneliti, untuk dapat dikembangkan kemudian, apalagi dalam kajian hukum adat. Dan diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi
10
perkembangan penelitian-penelitian yang tema dan kajian yang hampir sama dengan yang dilakukan oleh penulis ini. b.
Secara praktis Diharapkan dapat memberikan pencerahan buat masyarakat Mandailing khususnya dan batak pada umumnya terhadap persoalan perkawinan satu marga. Dan dapat memberikan kontribusi khazanah bagi lembaga-lembaga yang menengani masalah perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang ditetapkan agama.
D. Riview Research Permasalahan seputar perkawinan dalam adat masyarakat akhirakhir mulai sering dijadikan
bahan perbincanagan dan perdebat yang
menarik untuk disimak. Setelah sekian lama adat sebagai penghalang pernikahan dua insan yang saling mencintai. Namun, setelah masyarkat terbangun dari mimpi panjangnya, bermunculan tulisan-tulisan baik yang mendukung maupun yang menolak eksistensinya serta membicarakan dan mengupas peran adat dengan segala deminsi yang melingkupinya. Namun dari sekian banyak tulisan yang penulis temukan baik berupa buku artikel, makalah, maupun skripsi, tulisan yang relevan dengan penelitian ini adalah: Hilman Hadikusuma, dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat, di dalam bukunya dia memuat tentang perkawinan adat batak, adat batak yang dibahasnya terkesan bahwa penulis menyamakan adat perkawinan dalam masyarakat batak secara keseluruhan, baik batak Toba maupun
11
batak Mandailing, padahal diantara kedua adat terdapat perbedaan yang signifikan15. Perbedaan yang mendasar antara Hilman Hadikusuma dengan penelitian ini dalah penelitian in mencoba mendalami dalam Pernikahan satu marga dalam adat masyarakat Mandailing dalam Perspektif Hukum Islam. Rahmat Hidayat yang kemudian dituangkannya dalam bentu Skripsi yang berjudul “Perkawinan satu suku dalam masyarakat Minangkabau menurut pandanagan Hukum Islam (Studi kasus Kecamatan Banuhampu Sumatra Barat)”. Dari hasil penelitian penulis menyatakan bahw afalsafah hidup orang minang yang dikenal dengan adat basandi syara’: syara’ basandi kitabullah, namun tidak sejalan dengan realita di lapangan, adat masih dominan dalam menentukan pasangan hidup16. Tulisan diatas memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena objek kajian kedua penelitian ini tampaknya ditemukan kesamaan, yaitu pengertian satu suku pada masyarakat Minang dengan semarga pada masyarakat Mandailing. Dapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian ynag dilakukannya adalah dari segi adatnya, adat yang berlaku pada masyarakat
15
Pernyataan di atas berdasarkan hasil analisi penulis terhadap isi buku yang ditulisnya, dan untuk lebih jelasnya baca : Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h.105-108. 16 Rahmat Hidayat, perkawinan satu suku dalam masyarakat Minangkabau menurut pandangan hokum Islam (Studi kasusu kecamatan Bnauhampu Sumatra Barat), skripsi,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 68.
12
Mandailing tidak sama dengan adat yang diterapkan pada masyarakat Minang itu bias dilihat dari berbagai aspek, dengan perbedaan kedua adat tersebut secara otomatis kaitannya dengan hokum Islam pun akan berbeda. E. Metode penelitian 1) Jenis penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis peneltian lapangan (fielder search), yatiu mengumpulkan data-data dengan cara langsung turun ke lapangan untuk mendaptakan informasi yang akurat tentang objek yang menjadi penelitian penulis, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif deskriptif. 2) Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer dan data skunder. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat (Kepala Desa, Tokoh Adat, Tokoh Agama) dan masyarakat desa Tanah Godang Mandailing Natal, dan dokmen-dokumen yang berupa undang-undang, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, KHI, serta dokumrn non Undang-undang, misalnya sensus penduduk, dan lain-lain. Di dalam penelitian hukum, digunakan pula data skunder yang memiliki kekuatan mengikat ke dalam, berupa buku-buku, makalah
13
seminar, jurnal-jurnal laporan penelitian, artikel, majalah dan koran17, yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 3) Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya pengupukan data untuk memahami realitas yang ada serta untuk
lebih memfokuskan penelitian ini, penulis
menggunakan beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data-data yang maksimal: a)
Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara tertutup dan terbuka terhadap tokoh adat, tokoh agama dan sebagaian anggota masyarakat serta pemerintah pihak pemerintahan.
b) Observasi: dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan observasi partisipasi (participant observation) yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melaui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden. c)
Dokumen:
Dalam
penelitian
ini
penulis
menggumpulkan
sejumlah besar informasi atau data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk surat-surat, catatan harian, data tersimpan di website, dan lain-lain dan sebgainya.
17
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2008), h.155.
14
4) Metode Analisi Data Dalam menganalisi data yang telah terhimpun, penulis menggunakan beberapa metode yaitu: a)
Metode induktif, yaitu pengambilan data yang dimuali dari kesimpulam atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat umum18. Dimana menganalisa data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum,oleh karena itu dalam penelitian sebagaian isi dari skripsi ini, penulis perdasarkan literature tentang konsep ekfektivitas hokum Islam terhadap perkawinan satu marga di Mandailing, kemudian dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulam secara umum.
b) Metode deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan umum yang bersifat khusus19. c)
Metode
komparatif,
yaitu
metode
perbandingan,
bahwa
penyidikan deskriptif yang berusaha mencari dan memecahkan melalui analisa tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat yakni yang meneliti fakta tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan dengan yang lain, adapun penyelidikan ini persifat komparatif20.
18
Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung: Sinar baru aldesindo,2003), cet 7, h. 7. 19 Sutrisno Hadi, Metodelogi Resreach, (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007), h. 26. 20 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik, (Bandung: Tarsito,1994), Edisi VII, h.143.
15
d) Analisis Reflektif, yaitu kombinasi yang kuat antara berfikir dedukatif dan indukatif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empiric secara bolak balik kritis21.
Dalam metode
analisis ini akan memecahkan masalah dengan pengumpulan datadata dan inforamsi untuk dibandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literature atau alternative tersebut. Sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah. F. Sistematika Penulisan Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa berurutan, maka akan penulis sistematisir sedemikian rupa,hingga menjadi beberapa bagian yang mempunyai kaitan dan saling melengkapi serta membentuk satu kesatuan yang utuh da nada garis besarnya. Pembahasan skripsi ini diklasifikasikan menjadi 5 bab, yaitu: Pada Bab Pertama Pendahuluan memuat: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Study Review, dan terakhir adalah Sistematika Penulisan. Bab Kedua Hukum Perkawinan Di Indonesia . Bab ini penulis akan membahas secara umum tentang: Pengertian Perkawinan, Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Larangan Perkawinan, Tujuan Perkawinan, dan Hikamh Perkawinan. Bab Ketiga Potret Masyarakat Desa Huta Pungkut. Membahas tentang: Kondisi geografis dan sosial di desa Huta Pungkut , agama dan
21
Hadeli , Metode Penelitian, (Padang: Baitul Hikmah, 2001), h. 19.
16
tingkat Pendidikan masyarakat, serta tata cara perkawinan yang berlaku di adat Mandailing pada desa Huta Pungkut. Bab Keempat asal usul marga dalam masyarakat Mandailing yang dilihat dari Nasab dalam fiqh yang mendasari larangan perkawinan satu marga di adat Mandailing: Pandangan Masyarakat, Ulama dan Tokoh Adat: pandangan Hukum Islam, serta analisis penulis tentang keduanya. Bab Kelima Penutup. Memuat tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan a.
Pengertian Perkawinan Perkawinan atau Pernikahan dalam literature Fiqh bahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah ( )َكا حdan zawaj ()زٔاج.1 Prof.muhammad Amin Suma dalam bukunya, sebagaimana beliau mengutip dari pendapat Abdur Rahman al-Jaziri menjelaskan , bahwa kata “kawin” paling tidak didekati dari tiga aspek pengertian, yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syari‟i) dan makna fiqh (hukum). Namun dari pembahasan ini hanya ingin mencabarkan pengertian “kawin” dengan menggunakan paling tidak dua dari tiga pendekatan tersebut diatas, yakni dari sudut pandan lughawi dan makna fiqh (hukum).2 Adapun pendekatan dengan makna ushuli yang menitikberatkan pembahasannya pada filsafat hukum Islam tidak menjadi pembahsan dalam tulisan ini, demi untuk mempersingkat penulisan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,3 perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 35. 2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 41. 3 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456.
17
18
Sedangkan dalam kamus istilah fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.4 Secara terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.5 Pengertian lain dari nikah sendiri adalah suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami istri yang sah mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat Islam. Secara bahasa nikah itu “bergabung” ()ضى, “hubungan kelamin” ( )ٔطءdan juga “akad” ()عقد. Adanya dua kemungkinnan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur‟an memang mengandung arti tersebut.6 Kata nikah yang bermakna hubungan kelamin terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat230:
4
M. Abdul Mujieb, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h.249. 5 Asruron Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha Pramuda, Juni 2008), cet. ke-1, h.3. 6 Mualifah Sahlany, Perkawinan dan Problematikanya, (Yogyakarta: Sumbangsi Offset, 1991), cet. ke-1, hal. 1.
19
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetaui”7 Dari ayat tersebut mengandung arti “hubungan kelamin” dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasa nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut. Adapun dalam al-Qur‟an terdapat kata nikah dengan arti akad, seperti firman Allah dalam suratan-Nisa‟ ayat 22:
Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”8 Ayat di atas seolah ingin menegaskan bahwa hakikat dari perkawinan itu adalah akadnya. Asalkan saja seorang ayah sudah melangsungkan
akad
pernikahan
dengan
seorang perempuan,
sekalipun belum pernah disetubuhi, maka tidak ada kebolehan bagi anak-anaknya untuk menikahi perempuan tersebut.
7 8
Al-Quran Al-karim, Surat al-Baqarah ayat 230. Al-Quran Al-karim, Surat an-Nisa‟ ayat 22.
20
Meskipun dalam arti terminologis terdapat beberapa definisi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam sudut pandang dikalangan para ulama. Salah satu diantaranya adalah:
عقد ٔ ضعّ انشارع نيفيد يهك استًتاع انر جم با نًراة ٔحم استًتاع انًراة بانرجم Artinya: “Akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan 9 menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki” Di kalangan para ulama Syafi‟iyah definisi yang dipakai adalah:
عقد يتضًٍ ا باحت انٕطء بهفظ اال َكاح أ انتسيج Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”10 Definisi perkawinan dari golongan Syafi‟iyah sebagaimana yang disebutkan di hadits di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila hubungan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak ada kebolehan. Hampir berdekatan dengan ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yaitu:
عقد يفيد يهك ا نًتعت قصدا 9
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 8. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 37. 10
21
Artinya: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja”11 Dalam definisi lain dari perkawinan Muhammad Abu Ishrah, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat:
عقد يفيد حم انعشرة بيٍ انرجم ٔانًراة ٔتعأًَٓا ٔيحد يا نكيًٓا يٍ حقٕق ٔيا عهيّ يٍ ٔاجباث Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara laki-laki dan perempuan dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta memenuhi kewajiban bagi masing-masing” Dari defenisi ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, yaitu adanya saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Definisi lainya yang dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya al-Akhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut:
عقد يفيد حم استًتا ع كم يٍ انعاقديٍ باالخر عهى انٕجّ انًشرٔع Artinya: “Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenangsenang (berhubungan badan) antara dua orang yang berakad dengan cara yang disyariatkan”12 Maksud dari makna dua orang yang berakad disini adalah antara calon suami dengan calon istrinya. Dari Defenisi-defenisi yang di ungkapkan para ulama terdahulu sebagaimana yang terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik yang tertulis
di atas begitu pendek dan sederhana hanya
mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan 11
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), hal. 6514. 12 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,(Qaharih: Dar al-Fikr, 2005), h. 19.
22
melakukan hubungan kelamin setelah terjadi akad perkawinan itu.13 Oleh karena itu ulama kontemporer mencoba memperluas jangkauan defenisi ataupun pengertian perkawinan, misalnya defenisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur dalam bukunya al-Ahwal alSyakhsiyah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy,14 yang berbunyi: “Akad yang membolehkan bergaul antara lai-laki dengan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “Pernikahan yaitu akad yang kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah”. Sedangkan dalam Bab Ketentuan Umum pada pasal 1 huruf c disebutkan bahwa akad ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya serta di saksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang berbunyi dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai:15 “Ikatan lahir dan batim seorang pria dengan seorang wanita sebagai
13
Ibid. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 39. 15 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, (Jakarat: Prenada Media, 2004), h. 42. 14
23
suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”16. Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertama,
sampai
disini
tegas
dinyatakan
bahwa
perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian. Disini juga tidak hanya dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari sifat social sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga.17 Dari semua perumusan defenisi perkawinan diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: 1.
Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”, disini dijelaskan bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
2.
Ungkapan “sebagai suami istri” maksudnya adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
3.
Disini juga mempunyai defenisi yang bertujuan perkawinan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut‟ah dan tahlil.
16
Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Ciputat: UIN Jakarat Press,2007), h. 4. 17 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, (Jakarat: Prenada Media, 2004), h. 42.
24
4.
Penyebutan
“berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa”
menunjukkan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.18 Jadi dari semua penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa perkawinan itu adalah “suatu akad yang membolehkan hubungan suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah,mawaddah, kekal dan diridhoi Allah SWT” b.
Dasar Hukum Perkawinan Melihat dari hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dengan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan adalah boleh atau mubah. Namun melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak sematamata dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu mubah.19 Perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syara‟ yang sekaligus merupakan sunnah Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Imam alBukhari dan Muslim, dari anas20, yang berbunyi:
ٔ عٍ اَس بٍ يا نك رضى اهلل عُّ اٌ انُبص ىهى اهلل عهيّ ٔسهى حًد اهلل ًٍ ف, ٔاَاو اىٕو ٔافطر ٔاتسٔج انُساء, نكُص اَا اىهى:ٔاثُى عهيّ ٔقال .رغب عٍ سُتص فهيس يُص
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 40. 19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 43. 20 Hafidz bin Hajar al- „Asqalani, Buluq al-Maram,(ttp. : Syirkah al-Nur Asiya, t.t.), h. 200-201.
25
Hadist diatas seirama dengan firman Allah dalam surat ArRum ayat 2121 :
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Dari hadist dan ayat di atas, perintah dan anjuran untuk menikah tertulis dengan sangat jelas, bahkan dalam hadist tersebut tertulis bahwa siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah umatku. Dengan demikian, hukum asaldari perkawinan adalah mubah tetapi melaksanakannya adalah sunnah22 dan agama Islam sangat menganjurkannya, karena perkawinan itu mempunyai banyak manfaat dan menolak madharat bagi yang melaksanakannya. Bahkan Islam juga menganjurkan agar umatnya saling membantu dalam mencari jodoh sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
21
Al-Quran al-Karim, Surat Ar-Rum (30), ayat: 21. Sunnah dalam hal ini berarti ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Sunnah dilihat dari tiga sisi dan esensinya yaitu sunnah Qauliayah, sunnah Fi‟iliyah, dan sunnah Taqririyah, (Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih, Penerjemah: Saefullah Ma‟shum,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 199), cet. ke-4, h. 149. 22
26
Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.23 Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama itu adalah golongan Zhahiriyah yang mengatkan hukum perkawinan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardu. Dasar dari pendapat golongan Zhahiriyah ini adalah perintah Allah dan Rasul mengandung kaidah setiap sighat “amar” itu menunjukkan wajib secara mutlak, yakni satu kali menikah untuk seumur hidup walaupun yang bersangkutan impoten. Ulama Syafi‟iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, yaitu sebagai berikut: a. Sunnah bagi orang-orang yang berkeinginan untuk nikah, telah pantas nikah dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan. b. Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya. 23
Al-Quran al-Karim, Surat an-Nur ayat 32.
27
Sedangkan
ulama
Hanafiyah
menambahkan
hukum
perkawinan secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut: a. Wajib
bagi
orang-orang
yang
sudah
pantas
untuk
nikah,berkeinginan untuk nikah dan memiliki perlengkapan untuk nikah, ia takut terjerumus berbuat zina kalau ia tidak nikah. b. Makruh bagi orang yang dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya itu. Ulama lain menambahkan hukum perkawinan selain pendapat Syafi‟iyyah dan Hanafiyah sebagaimana berikut ini: a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara‟ untuk melakukkan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara‟ dan akan merusak kehidupan pasangannya. b. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk nikah dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun. Dari beberapa pendapat para ulama dalam menentukan kedudukan hukum dari perkawinan, namun secara umum dapat disimpulkan hukum perkawinan itu berdasarkan kondisi orang yang mau
melaksanakan
perkawinan
tersebut.
Hukum
asal
suatu
perkawinan itu mubah, namun berubah menjadi sunnah, wajib,
28
makruh dan haram sesuai dengan kondisi dan rinciannya sebagimana berikut24: a. Sunnah bagi orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan perkawinan, akan tetapi ia tidak takut atau tidak khawatir akan terjebak ke dalam perbuatan terlarang b. Wajib bagi mereka yang telah mampu nikah, nafsunya telah mendesak, dan takut akan terjerumus kedalam lemabah perzinahan kalau ia tidak nikah. Seperti dalam kaidah Ushul Fiqh sebagai berikut: “Tidak sempurna suatu yang wajib tanpa adanya yang lain, maka sesuatau itu wajib adanya” c. Haram bagi orang yangtidak mampu memenuhi nafkah bathin dan lahir kepada istrinya, serta nafsunya pun tidak mendesak. Haram juga bagi seseorang yang menikahi wanita atas niat untuk menyakiti. d. Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya. e. Mubah
bagi
oarng
yang
mempunyai
kemampuan
untuk
melakukannya tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir
24
Ahamad Surdirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,2006), h. 7.
29
akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istrinya. B.
Rukun dan Syarat Perkawinan Indonesia adalah Negara majemuk yang didalamnya terdapat bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Oleh karena itu, adanya peraturan yang mengatur kepentingan masing-masing warga sangatlah penting terutama dalam masalah perkawinan25. Sebagaimana yang dibuat dalam Undang-undang perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya26. Sedangkan perkawinan yang syah menurut hukum Islam adalah yang dilakukan dan telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Sebab, dalam Islam perkawinan bukanlah semata-mata sebagai kontrak perdata saja atau sekedar penghalalan zakar, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Rukun itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)27, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Dan pengertian syarat itu sendiri sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian 25
Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa Perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya. 28 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 538. 27 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana prenada media group, 2006), cet ke-2, h. 45.
30
pekerjaan itu, seperti mahar. Atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam28. Di dalam memahami jumlah rukun nikah, dikalangan para ulama berbeda pendapat diantaranya, menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat yaitu, (1) sighah (ijab dan qabul), (2) calon suami, (3) calon isti dan (4) wali. Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) istri (suami dan istri ini di syaratkan bebas dari masa iddah atau sedang ihram) dan (5) sighah29. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalanganan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam memahami fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan: akad perkawinan,laki-laki dan perempuan yang akan nikah, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin. Ulama Hanafiyah melihat perkawinan dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi rukun dalam perkawinan dari Hanafiyah adalah akad nikah
h.14.
28
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet ke-2, h. 46.
29
Asruron Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1,
31
yang dilangsungkan oleh dua belah pihak, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan dalam syarat perkawinan 30. Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada: a.
Syuruth al-in‟iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung kepada akad, maka syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri. Bila syarat-syarat itu tertinggal, maka akad perkawinan dipastikan batal.
b. Syuruth al-shihhah, sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat harus dipenuhi untuk menimbulkan sebab akibat hukum, apabila tidak dipenuhi syarat tersebut maka tidak sah perkawinan tersebut, seperti adanya mahar dalam suatu perkawinan. c.
Syuruth al-nufuz, menentukan suatau kelangsungan perkawinan. Adanya akbiat hukum setalah berlangsungnya dan syahnya suatu perkawinan tergantung dengan syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka menyebabkan
fasad-nya
perkawinan,
seperti
wali
yang
melangsungkan akad perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk itu. d. Syuruth al-luzum, syarat yang menetukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepada kelanjutan berlangsungnya suatu
30
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 59.
32
perkawinan sehingga tidak dapat dibatalkan. Seperti calon suami sekufu dengan istrinya31. Menurut ulama Syafi‟iyah32 yang dimaksud dengan perkawinan adalah keseluruhan yang secara berlangsung berkaitan perkawinan dan segala urusannya, bukan hanya akad nikah saja. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu adalah: a. Calon mempelai laki-laki Beragama
Islam,
bukan
mahramnya,
jelas
orangnya,
dapat
memberikan persetujuan33 b. Calon mempelai perempuan Beragama meskipun Yahudi atau Nasrani, jelas orangnya, bukan mahramnya, dapat diminta persetujuannya c. Wali dari mempelai perempuan Laki-laki, telah baligh (dewasa), muslim, orang merdeka, berpikir baik, adil34 d. Dua orang saksi Berakal, baligh, muslim, melihat dan mendengar serta memahami akan akad nikah
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 60. dan untuk lebih jelasnya lihat Wahbah al-Zuhsili VII, 6533. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 61. 33
34
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, h. 62.
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), cet ke-2, h. 93.
33
e. Ijab dan qabul Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, dan menerima bagi calon mempelai, antara ijab dan qabul bersambung, maksudnya jelas dan ada empat orang diantaranya calon mempelai, wali dari perempuan dan dua orang saksi Disini mahar menurut ulama Syafi‟iyah hanya sebagai syarat karena mahar tersebut tidak mesti disebutkan dalam akad nikah dan tidak mesti diserahkan waktu akad itu berlangsung. Akad nikah itu sendiri adalah perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Disni para ulama berbeda pendapat, ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul selain dua lafaz
(nikah dan zawaj) yang
mengandung arti kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah (pemberian), at-tamlik (memiliki), al-atiyyah (pemberian), dan lainnya. Tetapi dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi35. Adapun alasan yang dikemukakan adalah a) Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur‟an suarat al-Ahzab ayat 50:
35
h.22.
Asruron Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1,
34
36 Artinya: “Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteriisteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. b)
Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rosulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahl bin Sa‟ad ra. Yang artinya: “Sabda Rosulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata kepadanya: “Aku telah memilikkan (menikahkan) kamu dengannya, dengan apa yang kamu hafal dari ayat al-Qur‟an”. (HR. Bukhari)
c)
Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung asas saling rela dan menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti perkataan, “ saya menikahkan”, “memberikan”, atau lainnya sambil menyebutkan mahar.
36
Al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 50.
35
Sedangkan ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, yang mengatakan bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena keduanya telah disebutkan dalam al-Qur‟an37. Karena itu cukup hanya menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz lain. Adapun alasannya adalah: a) Penggunaan dua lafaz sudah terdapat dalam al-Qur‟an b)
Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan Jabir bin „Abdillah ra: Artinya “Bertakwalah kamu kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah dan halal bagimu menggauli mereka karena kalimat Allah”.
c) Menggunakan kata qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena nikah termasuk ibadah, maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz diatas38 Namun dalam UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali39. Mungkin UU Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagai perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Namaun dalam KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 2740, 28 dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh.
37
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008), cet 23
38
Asruron Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1,
h.311. h.23. 39
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 63. 40 Adapun isi dari pasal 27 “ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu”.
36
Membahas mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat dikalangan ulama. Pendapat pertama oleh jumhur ulama bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash alQur‟an dan hadist. Adapun nash al-Qur‟an disebutkan dalam surat alBaqarah ayat 232:
Artinya: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya” Ayat diatas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak maka wewenang “menghalangi” dalam ayat diatas tidak punya arti apa-apa bagi seorang wali. Dan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy‟ari ra, yang artinya “Bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan adanya wali”. Maksud hadist ini adalah sebuah perkawinan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang perempuan atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahinya, dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw. “bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seijin walinya maka nikahnya tidah sah” (HR. Abu Dawud)41 Dan yang kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa perempuan berakal yang sudah baligh, baik gadis maupun janda, dapat menikahkan dirinya dan anak perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang
41
Syamsu al-Haq al-„Azami Abadi, Aunu al-Ma‟bud Syah Sunah Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1995), cet ke-2, jilid 6, h. 72.
37
lain. Karena wali dalam hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja42. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Meskipun UU perkawinan tidak menjelaskan wali sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan, UU perkawinan ada menyinggung wali nikah dalam pembatalan perkawinan pada pasal 26. Dan dalam KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap dan keseluruhan mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya Syafi‟iyah. Wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22 dan 2343. Dua orang saksi para ulama sepakat keberadaan sanksi sebagai salah satu syarat sah nikah berdasarkan nash hadist. Sebagimana yang disabdakan Rosulullah Saw. yang diriwayatkan oleh „Aisyah ra:
ال َكاح االبشٕٓد “tidah sah perkawinan kecuali ada saksi” Dan selanjutnya hadits riwayat „Aisyah ra “nikah tidak sah tanpa adanya dua orang saksi dan apabila perkawinan diadakan tanpa dua orang saksi maka perkawinna itu batil, dan maka apabila mereka berselisih maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punya wali” (HR. at-Tirmidzi) Al-Ghazali dalam bukunya Menyingkap Hakikat Perkawinan tidak membedakan antara syarat dan rukun perkawinan. Di dalam bukunya
42
Asruron Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1,
h.23. 43
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 80.
38
mempunyai empat rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi syahnya perkawinan, yaitu: 1) Adanya izin dari calon istri atau dari penguasa negri apabila tidak ada wali yang sah 2) Adanya asas kerelaan dari calon mempelai perempuan. Hal ini berlaku bagi perempuan yang janda dan telah cukup umur (baligh). Atau seorang gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah kandungnya sendiri atau kakeknya 3) Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai orang-orang baik (yakni orang yang adil). Apabila keadaan keduanya tidak dikenal, boleh juga diterima kesaksian mereka selama hal itu sangat diperlukan 4) Adanya lafal ijab qabul yang tersambung (tidak terputus antara keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya). Ijab dan qabul dengan lafal “menikahkan”,”mengawinkan” atau dalam bahasa lain yang mengandung makna seperti itu. Lafal ijab dan qabul harus di ucapakan oleh dua orang laki-laki dewasa, yaitu calon suami dan wali dari calon isrti atau wakil-wakil dari keduanya.44 Selanjutnya disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagi peraturan yang diakui dan dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ketentuan perkawinan, sebagai berikut:
44
Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, h. 63.
39
1.
Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan dua belah pihak
2.
Untuk melangsungkan sebuah perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua
3.
Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang masih mampu menyatakan kehendaknya
4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya
5.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengarkan orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini
6.
Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum maisng-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain45
45
Undang-undang Perkawinan, h. 3-4.
40
Sedangkan menurut Ijma‟ Ulama Indonesia dalam Hukum KHI menjelaskan bahwa rukun perkawinan itu ada lima dan masing-masing itu memiliki syarat-syarat tertentu. Sebagaimana berikut: a.
b.
Calon mempelai laki-laki (calon suami)46, dan syarat-syaratnya: 1.
Bukan mahram dari calon istri
2.
Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri
3.
Orangnya tertentu, jelas
Calon mempelai wanita (calon istri) 1) Tidak ada halangan hukum, yaitu Tidak sedang bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah 2) Merdeka atas kemauan sendiri47 3) Jelas orangnya Dalam pasal 15 KHI ayat 1 “untuk kemaslahatan rumah tangga dan keluarga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun”
c.
Wali nikah, dan syaratnya 1.
Laki-laki
2.
Islam
3.
Baligh
46
Disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami minimal berumur 19 tahun. 47
Dalam pasal 16 KHI dijelaskan bentuk persetujuan calon istri dapat perupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat.
41
4. d.
e.
Sehat akalnya
Dua orang saksi, syaratnya: 1.
Laki-laki
2.
Islam
3.
Adil
4.
Sehat akalnya
5.
Dapat mendengar dan melihat
6.
Akil baligh
7.
Bebas, tidak dipaksa
Ijab dan Kabul, syaratnya: 1.
Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad dan saksi)
2.
Akad dilakukan sendiri oleh wali
3.
Kabulnya diucapkan sendiri oleh calon suami Syarat-syarat perkawinan selain yang ada diatas adalah syarat
mengenai berikut: a) Perempuan yang bukan mahram Secara hukum, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan sebagai istri. Jadi, perempuan itu bukanlah perempuan yang haram untuk dinikahi, baik haram untuk sementara waktu ataupun haram untuk selamanya.
42
b) Mahar Secara istilah mahar adalah “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul”. Mahar secara ekplisit dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 4, sebagai berikut:
Artinya: “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” Asbabul nuzul dari ayat ini yaitu pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Dan dari penjelasan surat annisa‟ tersebut para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur‟an. Sedangkan sebagian ulama menetapkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam
Bidayatul
al-Mujtahidnya.
Ulama
kalangan
Malikiyah
menempatkan mahar sebagai rukun dari rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad dilangsungkan. Berbeda dengan wabah Al-Zuhaily dalam kitabnya “ al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu” yang menjelaskan bahwa mahar itu bukanlah rukun dan juga syarat dari perkawinan, melainkan atsar atau akibat hukum dari perkawinan. Dengan penjelasan dalam kitabnya:
43
ا َّ نيس ركُا ٔالشر طا يٍ شر ٔ ط انسٔاج ٔاًَا ْٕ اثر ِيٍ اثار “bahwasanya mahar bukanlah rukun dan juga syarat dari beberapa syarat perkawinan, akan tetapi mahar merupakan akibat hukum dari beberapa atsra-atsar perkawinan” Selain terdapat rukun dan syarat tersebut yang harus dipenuhi, dalam suatu ikatan perkawinan juga terdapat beberapa asas yang harus diaksanakan48, diantaranya adalah: a) sukarela antara kedua calon mempelai dan keluarganya, b) persetujauan antara kedua belah pihak, c) kebebasan memilih pasangan, d) kemitraan suami istri, e) untuk selamalamanya, f) monogamy terbuka, maksudnya diperbolehkan poligami asalkan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan.
C. Tujuan Perkawinan Sebagaimana hukum-hukum yang lain yang ditetapkan dengan ketentuan dan tujuan sesuai dengan tujuan dibentuknya, demikan pula halnya syariat Islam perkawinan dengan tujuan-tujuan yang tertentu pula. Secara medis (kedokteran), perkawinan dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan. Sebab, sperma bisa keluar secara normal. Bila sperma lama tidak keluar maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Kerna prilaku seksual yang normal dapat merupakan keseimbangan antara “motor erotik”49 yang mendorong hasrat untuk aktifitas seksual, dan suatu “rem seksual” yang menjaga keinginan tersebut 48
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet. ke-9, h. 126. 49 Rahman Syakur, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, (Pasuruan: Pustaka Pesantren Sidogiri, tt), h. 83.
44
bisa dikendalikan. Apabila sinyal “motor erotik” ini tidak ada pemenuhannya dapat mengakibatkan kelainan libido yang menyebabkan distress, maupun kesulitan berhubungan dengan orang lain.50 Sedangkan dalam Islam tujuan perkawinan ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajban anggota keluarganya, sejahtera yaitu tercapainya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan.51 Sejalan dengan ajaran Islam Undang-undang dan KHI itu tidak jauh berbeda, diantaranya untuk menghujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana yang tercantum dalam KHI pasal 3.52 Dan dalam penjelasan Undang-undang perkawinan juga diuraikan, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Di antara tujuan-tujuan itu adalah sebagaimana berikut: 1) Melanjutkan keturunan Yang merupakan sambungan hidup dan sambungan cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga menjadi umat, ialah umat Nabi Muhammad saw umat Islam. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan dalam firman Allah dalam an-Nahl ayat 72: 50
Linda J. Heffener dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi kedua, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 74. 51 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 22. 52 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,1995), h.114.
45
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anakanak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah " Bedasarkan ayat diatas dijelaskan, bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan satu sama lainya, supaya berkembang baik mengisi bumi ini dan memakmurkannya. Atas kehendak Allah, naluri manusia pun menginginkan demikian. 2) Menenteramkan jiwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu sebaliknya. Dalam al-Qur‟an surat ar-Ruum ayat 21 yang berbunyi:
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
46
Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan sayang antara suami istri, tidak mau saling berbagi suka maupun duka, maka berarti tujuan pernikahan tidaklah sempurna, kalau tidak dapat dikatakan pernikahan itu telah gagal yang berakibat terjadinya perceraian. 3) Menjaga diri dari perbuataan yang tercela Seorang tokoh agama Yahudi yang bernama Farwed pernah menjelaskan kepada pengikutnya, bahwa mereka harus melampiaskan insting biologis, dengan dalil bahwa tanpa tindakan tersebut akan menyebabkan seseorang mengalami gangguan pada kejiwaannya. Cases Carl juga menuliskan dalam buku yang berjudul “AlInsaan Dzaalikal Majhuula”: “Bahwa biasanya kecerobohan didalam seks itu akan menurunkan daya kerja otak dan akal sehat, hanya hubungan seksual yang sehatlah yang mampu mencapai orgasme yang alami”.53 Oleh sebab itu Islam dengan ajarannya yang sangat mengakomodir kebutuhan dasar manusia, menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk memenuhi insting seksual, disamping juga ingin menyehatkan akal sehat yang di khawatirkan bisa rusak yang diakibatkan oleh seks bebas tersebut. Dalam sebuah hadits dijelaskan yang artinya sebagaimana berikut: “dari Abddillah bin Mas‟ud, dia berkata: “(suatu ketika) Rasulullah SAW, pernah menyuruh kami:
53
Mahmud Mahdi Al-Istranbuli, Kado Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), h.12.
47
“Hai para pemuda! Siapa saja kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan, dan siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu adalah obat (pengekang) baginya” (H.R. Muttafaq‟alaih)54 4) Latihan Memikul tanggung jawab Apabila perkawinan untuk mengatur fitrah manusia, dan mewujudkan kelangsungan hidup manusia di muka bumi, maka faktor yang keempat yang tidak kalah pentingnya dalam perkawinan adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini berarti, bahwa perkawinan adalah merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikul tanggung jawab itu sendiri.
54
Ahmad Mudjab Muhalli, dan Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadits-hadits Muttafaq „Alaih, (Jakarta: Prenada Media, 2002), h. 33-34.
BAB III SEJARAH DAN POTRET DESA HUTA PUNGKUT
A. Kondisi Geografis dan Sosial masyarakat desa Huta Pungkut a. Sejarah Singkat Kerajaan Huta Pungkut Kerajaan Huta Pungkut merupakan salah satu bagian dari daerah Mandailing. Mandailing menurut Prapanca di dalam bukunya Negarakertagama1, Mandailing termasuk ke dalam wilayah kerajaan Majapahit. Namun demikian dapat dikatakan bahwa sampai sekarang wilayah Mandailing belum termasuk yang banyak dibicarakan. Demikian juga peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di wilayah bersangkutan. Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa gajah mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di luar Jawa. Mandailing pada masa tersebut diperkirakan sudah berkembang, dengan kondisi masyarakat yang homogen, tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan kebudayaannya yang sudah tinggi di zaman tesebut2. Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan 1
http://banuamandailing.blogspot.com/p/lintasan-sejarah-mandailing.html, diakses pada tanggal 2 April 2014, pukul 21:10 2 M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h.5.
48
49
Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing3. Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan klasik Toba Tua (Tonggo-tonggo Siboru Deak parujar) , juga telah disebut nama Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang Suku Batak Toba. Diperkirakan, Tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si raja Batak (generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada tahun 1305 M. Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian pindah ke tanah Toba dan terus berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh Z. Pangaduan lubis dalam bukunya „Kisah Asal-usul Marga di Mandailing‟4. Nama Mandailing diduga berasal dari kata Mandehilang (bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang), kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera.
3
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 5 http://banuamandailing.blogspot.com/p/lintasan-sejarah-mandailing.html, diakses pada tanggal 2 April 2014 4
50
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga berawal sejak abad ke-9 atau -10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan5. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah6. Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki „orang Nan Ditakuti‟, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat 5 6
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 7 M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h.8
51
dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan7. Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang8. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap yang ramah, rajin, selalu merendahkan diri. Masyarakat Mandailing9 di dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga), yang mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok kerabat pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak gadis). Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan 7
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 9 M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 17-18 9 M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 60-65 8
52
adat, seperti Horja (pekerjaan), yaitu tiga jenis (a) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki
rumah
baru
(Marbongkot
bagas
na
imbaru)
dan
mengawinkan anak (haroan boru); (b) Horja Siluluton (upacara Kematian) dan (c) Horja Siulaon (gotong royong). Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh pengetuapengetua adat10, yaitu raja dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk) , Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta). Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang (mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu ke huta tersebut). 10
http://hojotmarluga.wordpress.com/dalihan-na-tolu-dan-budaya-kerja/, di akses pada tanggal 9 April 2014
53
Menurut catatan sejarah sebelum Belanda menduduki wilayah Mandailing menjelang pertengahan abad 19, di wilayah tersebut terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh rajanya. Kerajaan-kerajaan kecil itu umumnya hanya terdiri dari beberapa huta atau kampung. Raja-rajanya memerintah secara demokratis bersama satu lembaga perwakilan yang dikenal sebagai lembaga Namora Natoras. Di dalam lembaga tersebut duduk Kepalakepala Ripe, yaitu pimpinan kelompok orang-orang dari satu marga, ataupun pimpinan komunitas-komunitas lain yang terdapat dalam satu huta. Di dalam lembaga Namora Natoras biasanya duduk pula tokohtokoh adat, cerdik- cendekiawan dan tokoh-tokoh yang dituakan di tengah masyarakat. Tokoh-tokoh yang berkedudukan sebagai Namora Natoras boleh dikatakan sebagai wakil rakyat. Bersama merekalah raja menyelenggarakan pemerintahan termasuk di dalam melaksanakan pengadilan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan11. Kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Mandailing pada masa yang lalu, masing-masing berdiri secara otonom, msekipun di antara raja-raja kecil itu pada dasarnya terdapat hubungan kekeluargaan berdasarkan adat12. Salah satu dari kerajaan (kecil) yang terdapat di Mandailing Julu, sebelum Belanda menduduki daerah tersebut ialah kerajaan Huta Godang di Kawasan Ulu Pungkut. Letaknya kurang lebih 20 kilo meter 11
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 73-75. http://hojotmarluga.wordpress.com/dalihan-na-tolu-dan-budaya-kerja/, di akses pada tanggal 9 April 2014 12
54
dari Kotanopan, yang dari sejak dahulu menjadi tempat yang terpenting di Mandailing Julu. Kurang lebih satu setengah abad yang lalu, Sutan Mangkutur berkedudukan sebagai raja di Huta Godang, Ulu Pungkut, untuk menggantikan abang kandungnya Raja Gadombang, yang meninggal dunia pada tahun 1835 dalam perang Paderi13. Karena Sutan Mangkutur adalah raja dahulu di Huta Godang, maka sebelum membicarakan perlawanan yang pernah dilakukannya terhadap Belanda, ada baiknya kalau dikemukakan serba sedikit hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan Huta Godang. Kapan berdirinya kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut tidak diketahui dengan pasti. Tetapi menurut keterangan Raja Junjungan Lubis, yaitu raja terakhir dari Huta Godang, kerajaan tersebut didirikan oleh nenek moyang ia yang berasal dari Manambin14. Manambin sendiri adalah salah satu kerajaan tertua di Mandailing Julu, dan tidak jauh letaknya dari Huta Godang. Menurut tarombo atau daftar silsilah keluarga, atau marga, semua raja-raja bermarga Lubis yang pernah berkuasa pada kerajaankerajaan yang terdapat di Mandailing Julu, adalah keturunan dari seorang tokoh yang bernama Namora Pande Bosi15. Kapan mulai berkuasanya raja-raja bermarga Lubis pada kerajaan-kerajaan kecil yang dahulu terdapat di daerah Mandailing Julu 13
M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 87. M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 89. 15 M. Dolok Lubis, Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur, h. 91. 14
55
tidak diketahui dengan pasti. Tetapi menurut kebiasaan, setiap raja yang berkuasa di satu tempat, selalu memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya untuk pergi mamungka huta (membuka daerah baru) ke tempat lain. Biasanya anggota keluarga raja yang bertindak sebagai sipamungka huta (pembuka daerah baru) di satu tempat akan mendapat kedudukan sebagai pemimpin atau raja di daerah yang dibukanya. Demikian pulalah awal berdirinya kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut, yang didirikan oleh keluarga raja bermarga Lubis dari Manambin beberapa abad yang lalu16. Namun demikian kerajaan Huta Godang bukan bahagian dari kerajaan Manambin tetapi ia merupakan kerajaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari kekuasaan raja Manambin. Kerajaan Huta Godang, terletak di daerah Ulu Pungkut. Pada kenyataan hanya kerajaan tersebut yang ada pada masa sebelum abad ke 19 atau sebelum masuknya Kaum Paderi ke Mandailing. Fakta adanya kerajaan lain, hampir sama sekali tidak dapat diperoleh. Hanya diketahui, bahwa sebelum Huta Godang (yang berarti kampung besar) didirikan, raja berkedudukan di satu tempat yang bernama Huta Dolok, yang terletak di atas sebuah bukit tidak begitu jauh dari Huta Godang yang sekarang17.
16 17
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, (Medan: CV. Media Persada, 2010), h.6. Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h. 12.
56
Kemudian,
setelah
Islam
masuk
dibawa
orang-orang
Minangkabau ke Mandailing pada awal abad ke 19, Huta Dolok dipindahkan ke satu tempat yang baru, dan kemudian dinamakan Huta Godang. Perpindahan terjadi sewaktu Raja Junjungan yang penghabisan. Atas perintah Tuanku Rao, Huta Dolok ditinggalkan dan didirikanlah Huta na Godang, agar masyarakat dapat berdiam dekat sungai guna mencuci diri untuk keperluan agama18. Melalui catatan yang demikian, dapatlah diketahui, bahwa Huta Godang didirikan setelah Islam masuk ke Mandailing. Sebab dipindahkannya Huta Dolok, ke tempat yang sekarang bernama Huta Godang, dengan tujuan agar orang dapat berdiam dekat sungai guna mencuci diri untuk keperluan agama, yaitu untuk mengambil air wuduk untuk sembahyang. Selanjutnya, kurang lebih satu setengah abad yang lalu, di Huta Godang lah Sutan Mangkutur, yaitu salah seorang raja bermarga Lubis di
Mandailing
Julu
menyusun
kekuatannya
untuk
melakukan
perlawanan terhadap Belanda. b. Secara Geografis Pada masa ini Mandailing merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing Natal, sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan di Propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang bernama
18
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h. 15.
57
Mandailing, ialah kawasan yang di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Sosopan, di sebelah selatan dengan Kabupaten Pasaman di Propinsi Sumatera Barat, di sebelah barat dengan Kecamatan Natal dan disebelah timur dengan Kecamatan Barumun dan Kecamatan Sosa19. Garis batas antara wilayah Mandailing dan Kecamatan Batang Angkola, di utara terletak di dekat daerah Angkola Jae, tepatnya Simarongit dekat desa Huta Baru dan Aek Badak. Dan garis batas antara wilayah Mandailing dengan Kabupaten Pasaman di selatan, terletak di desa Muara Cubadak, dekat Muarasipongi. Dalam kedudukan geografisnya yang demikian , maka di bagian selatan, wilayah Mandailing langsung berbatasan dengan wilayah Minang Kabau di Propinsi Sumatera Barat. Mandailing merupakan daerah yang paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara20. Secara tradisional, wilayah Mandailing terbagi dalam dua daerah, masing-masing yang disebut Mandailing Godang (Mandailing Besar) dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu). Garis batas antara keduanya terletak di antara desa Maga dan Laru, dekat Kotanopan. Kawasan yang termasuk ke dalam daerah Mandailing Godang ialah daerah Panyabungan dan sekitarnya, sampai ke perbatasan dengan daerah Angkola Jae di Kecamatan Batang Angkola. Demikian juga
19 20
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h.20. Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h. 22.
58
Kecamatan Batang Natal termasuk ke dalam daerah Mandailing Godang di sebelah barat. Sedangkan kawasan yang termasuk ke dalam daerah Mandailing Julu, ialah daerah Kotanopan dan sekitarnya, sampai ke desa Laru di sebelah utara. Demikian juga daerah Pakantan di sebelah selatan yang terletak di Kecamatan Pakantan. Di dalam kawasan Mandailing Julu, terdapat salah satu yang bernama Ulu Muarasipongi, yaitu tempat kediaman suku bangsa Ulu Muarasipongi di Kecamatan Muarasipongi21. Sebelum pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan Kawasan Mandailing Godang pada waktu ini terdiri dari tiga kecamatan, masingmasing Kecamatan Panyabungan, Kecamatan Siabu dan Kecamatan Batang Natal. Dan kawasan Mandailing Julu terdiri dari dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muarasipongi. Desa Huta Pungkut merupakan desa pertama dari kecamatan Ulu Pungkut kabupaten kotanopan, kabupaten hasil pemekaran dari Tapanuli Selatan Sematra Utara. Secara Geogerafis desa Huta Pungkut memiliki luas pemukiman 3 ribu M persegi,sebalah julu berbatasan dengan desa Abincaran, sebalah jae berbatasan dengan desa Alankae, sebalah utara berbatasan dengan Huta Padang, sebalh selatan beerbatasan dengan desa Simpang Banyak. Masyarakat Huta Pungkut merupakan masyarakat agraris yang
21
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h. 24.
59
patrilineral. Hidup sebagai
petani dengan mengolah sawah dan
berkebun,dsb.22 Adapun perkampungan desa Huta Pungkut bisa digolongkan dataran tinggi, yang hampir seluruhnya dikelilingi pergunungan yang menghampar dari kanan dan kiri, bila memandang keseluruh penjuru maka yang terliat hamparan pergunungan yang hijau dan persawahan dan sepanjang itu pun air sungai yang mengalir deras, suhu udara yang dingin sangat kental terasa disini. Desa ini tidak terlalu jauh dari ibu kota Kabupaten, dan akses menuju kota pun digolongkan susah. Sedangkan dari kota kecamatan berjarak 15 km. Jadi ada sedikit kendala dalam transportasi.
c. Sosial Desa Huta Pungkut Menurut data sensus penduduk pada tahun 2014, penduduk desa Huta Pungkut berjumlah 950 jiwa, yang terdiri dari 400 laki-laki dan 550 jiwa perempuan dengan jumlah kk sebanyak 150. Sedangkan kalau dilihat dari lapangan pekerjaan yang tersedia hampir 80% petani, meliputi perkebunan dan persawahan.23 Untuk memperjelas dapat dilihat pada data jumlah penduduk dengan hasil sensus tahun 2014 dibawah ini:
22
Hasil wawancara dengan Bapak Koji Kepala Desa Huta Pungkut 27 juli 2014.
23
Hasil wawancara dengan Bapak Koji Kepala Desa Huta Pungkut 27 juli 2014.
60
Jumlah Penduduk Desa Huta Pungkut No.
Golongan Umur
Jenis Kelamin LK
PR
Jumlah
1
0 s/d 5 tahun
65
85
150
2
6 s/d 12 tahun
75
95
170
3
13 s/d 15 tahun
25
35
60
4
16 s/d 18 tahun
30
45
75
5
19 s/d 25 tahun
30
40
70
6
26 s/d 30 tahun
25
35
60
7
31 s/d 35 tahun
25
45
70
8
36 s/d 40 tahun
30
35
65
9
41 s/d 45 tahun
30
35
65
10
46 s/d 50 tahun
30
45
75
11
51 s/d 60 tahun
20
25
45
12
61 s/d 65 tahun
10
20
30
13
66 tahun ke atas
5
10
15
400
550
950
Total
B. Agama Dan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Huta Pungkut Dilihat dari segi keagamaan penduduk desa Huta Pungkut 100% beragama Islam, dan hampir dipastikan belum ada warga yang mengatut agama Islam. Dan di dalam Desa tidak ada orang asing atau orang dari suku lain selain orang-orang Mandailing. Secara umum masyarakat desa Huta Pungkut masih tergolong sangat ketinggalan bila dilihat dari segi pendidikan. Dalam berbagai
61
tingkatan, baik tinggat perguruan tinggi maupun ditingkat sekolah menengah atas. Sungguh ironis bila melihat kondisi tersebut. Dari hasil wawancara peneliti dengan Kepala Desa Huta Pungkut didapatkan informasi yang menjelaskan, bahwa desa ini masih sangat ketinggalan dibidang pendidikan bila dibandingkan dengan desa-desa lain. Hal ini membuat tingkat pengangguran meningkat, yang terjadi adalah warga menjadi buruh tani upahan, yang sebenarnya gajinya itu tidak mencukupi. Jadi banyak para pemuda banyak yang kerjaanya hanya tidurtidur dan berleha-leha di lopo atau kedai kopi. Disisi lain dorongan dari lingkungan sangat tidak mendukung anak-anak untuk lebih mengecap pendidikan yang lebih tinggi. Untuk memperjelas ketetangan di atas dapat dilihat dari gambaran tingkat pendidikan di desa ini dengan menggunakan hasil sensus penduduk tahun 2014, sebagi berikut:
Tabel 1 Kondisi Pendidikan24 Murid Sekolah SD
Jenis Kelamin LK PR 60 80
SMP
20
30
50
SMA atau SMK
15
20
35
KULIAH
6
4
10
24
Jumlah 140
Hasil wawancara dengan Bapak Koji Kepala Desa Huta Pungkut 27 juli 2014
62
C. Tata Cara Perkawinan Yang Berlaku Di Desa Huta Pungkut a.
Pengertian Adat Dalam bahasa Indonesia Tesaurus ditemukan pengertian kata “Adat” sebagai: budaya, etiket, istiadat, kebiasaan, kultur, rasam, tradisi.25 Suatu kebiasaan dinamakan adat karena ia dikerjakan oleh masyarakat tertentu secara berkulang kali. \Dalam buku qawai adrd fiqhiyah dijelaskan bahwa
adat
sebagai: “adat ialah segala apa yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaanyang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkatan maupun perbuatan”26 Sedangkan dalam bukunya Bushar Muhammad “Asas-asas Hukum
Adat
Suatu
Pengantar”
dijelaskan
bahwa,
kata
“adat‟disandingkan dengan kata “Hukum”, yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “adatrecht”. Snouk Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah dari bahasa tersebut. Istilah itu dipakai untuk mengungkapkan istilah “Undang-undang Agama”, “lembaga rakyat”, “kebiasaan”, “lembaga asli”.27 Dilihat dari perkembangan manusia, terjadinya adat itu dimulai dari pribadi manusia yang diberikan Tuhan akal pikiran dan perilaku. 25
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2006), h.6. 26 Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.93. 27 Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita.1994), h.2.
63
Prilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan tersebut ditiru orang, maka ia akan menjadi kebiasaan orang lain. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan kebiasaan tadi, maka kebiasaan itu menjadi “adat”,28 dalam kebiasaan yang menjadi norma-norma tersebut dijadikan landasan kehidupan masyarakatnya. Patik merupakan nilai yang benar atau salah yang berupa kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ajaran moral. Jadi patik adalah etika perilaku orang madina, baik sebagai anggota keluarga, kerabat, maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Termasuk patik dalam hapantunon “sopan santun”, habisukon “budipekerti”, untuk membentuk orang madina agar berbudi pekerti yang halus dan baik. Uhum adalah norma, aturan atau ketentuan yang mengikat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang seseuai dan berterima di dalam masyarakat madani. Uhum mempunyai daya
paksa,
yang
artinya
pelanggaran
terhadap
uhum
akan
mengakibatkan sanksi.29 Demikian halnya di dalam adat mandailing, yang proses sosialisasi dalam nilai-nilai budaya yang diajarkan dalam adat
28
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju. 2003), h.1. 29 Basyral Hamidi Harapan, Madina yang Madani, (Jakarta: PT. Merto Pos, 2004), h.355356.
64
mandailing tersebut. Sedangkan dalam kajian usul fiqh dilihat dari penilaian baik dan buruknya suatu “adat”, maka dapat dibagi kepada: 1.
Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan. Diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan normanorma agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya melakukan halal bi halal saat hari raya: memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
2.
Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku disuatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang Negara dan etika sopan santun. Misalnya pesta dengan menghidangkan minuman haram.30
b. Perkawinan Adat Mandailing Berbicara mengenai perkawinan dalam adat mandailing pada awalnya disebut dengan perkawinan manjujur. Perkawinan manjujur adalah perkawinan yang sifatnya eksogami patriarchat31. Yang dinamakan eksogami adalah perkawinan yang mengharuskan laki-laki mencari pasangan hidup diluar marganya (clan patrilinial), dan sangat dilarang menikah dengan orang yang satu marga.32
30
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2008), h. 368. Pandapaton Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 53. 32 Hilman Hadikusuma, Hukum Perakwinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h. 68. 31
65
Perkawinan adat mandailing disebut dengan perkawinan eksogami patriarchat, karena perkawinan tersebut wanita akan meninggalkan clannya dan masuk kedalam clan suaminya. Dengan melepaskan si wanita ini masuk kemarga suaminya, orang tua si wanita ini harus menerima imbalan untuk itu yang disebut dengan jujur. Jujur itu sendiri adalah untuk menjaga keseimbangan atas hilang seorang anggota keluarganya yang masuk ke anggota keluarga suaminya. Adapun benda yang akan diberikan sebagai jujur ini berupa sere (emas), sehingga diberi nama emas kawin, dan sampai sekarang istilah menyerahkan uang jujur di Mandailing dengan sebutan manulak sere (menyerahkan emas kawin).33 Dalam paradaton (sistem adat) Mandailing, si suami disebut sebagi bayo pangolin dan si istri adalah baru nan i oli. Ada dua jenis sere yang akan diberikan sesuai dengan fungsinya, yaitu: a.
Sere Namenek (emas berukuran kecil) Yaitu sejumlah emas atau uang diberikan oleh pihak lakilaki kepada perempuan sesuai dengan yang telah disepakati. Disamping itu ada beberapa tambahan yng berupa (kain tenunan bugis) yang jumlahnya ganjil. Ungkapan ini sebenarnya sebagai gamabaran bahwa, itu merupakan sesuatu yang masih mungkin untuk dibayarkan oleh
33
Pandapaton Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 54
66
pihak keluarga laki-laki. Dan sere namenek inilah nantinya yang akan diberikan langsung pada saat di langsungkan perkawinan. b.
Sere Nagodang (emas dengaan ukuran besar) Yaitu beban yang dikenankan kepada keluarga laki-laki sehingga disebut ia dengan garda atau ompong-ompong. Garda ini sebenrnya kalau dilihat dari jumlahnya tidaklah mungkin untuk dibayar oleh pihak laki-laki. Oleh sebab itulah disebut beban sepanjang adat. Ini maksudnya karena anak boru menurut adat selamanya punya hutang yang tidak lunas-lunas kepada mora.34 Dalam perkwinan adat Mandailing paling tidak dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu pesta di rumah boru na ni oli yang disebut dengan pesta (pabuatkon) dan pesta di rumah bayo na ni oli yang disebut dengan (pabagaskon). Pabuatkon yaitu rangkaian acara yang dilaksanakan di rumah keluarga perempuan, sedangkan pabagaskon dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki. Pada bagian pertama dapat digambarkan beberapa tahapan sebagai berikut: 1.
Mangaririt Boru Perkawinan bukanlah urusan individu dengan individu semata, akan tetapi hubungan antara keluarga dengan keluarga. Oleh karena itu apabila sudah ada keinginan seorang laki-laki untuk menikah, maka tahapan pertama yang harus dilakukan
34
Hasil wawancara dengan Bapak M. Muksin batu bara pada tanggal 20 juli 2014.
67
adalah mangaririt boru, tujuan dari ini adalah untuk memastikan apakah gadis yang akan dilamar ini sudah dilamarorang lain atau belum35. Biasanya
hal
ini
dilakukan
setelah
mendapatkan
pemberitahuan dari anak laki-laki yang ingin menikah itu, bahwa dia ada kinginan untuk melamar gadis yang akan didatangi tersebut. 2.
Manguso Boru Merupakan rangkaian acara yang dilakukan secara berulang-ulang kerumah orang tua gadis untuk mematangkan pembicaraan mengenai: a) Kesedian si gadis untuk dijadikan teman hidup si laki-laki b) Berapa besarnya adat yang akan diadakan untuk menyambut kedatangannya c) Besarnya beban yang akan ditimpahkan kepada si laki-laki Dalam prakteknya hal ini bisa berjalan dengan lancar, dan terkadang akan sedikit alot. Karena tahapan ini merupakan
35
Hasil wawancara dengan Bapak M. Muksin batu bara pada tanggal 20 juli 2014.
68
tahapan yang akan menentukan jadi tidaknya diterima lamaran tersebut. 3.
Patobang Hata Apabila kedua tahapan di atas telah dilaksanakan maka masuklah untuk patobang hata (melamar atau meminang secara resmi). Hal ini dilaksanakan apabila antara keluarga laki-laki dan perempuan sudah mendapatkan mufakat. Dalam permufakatan biasanya ada 3 hal yang diharapkan kelurga lakilaki kepda keluarga perempuan, yaitu: a) Lapok ni tobu suanon (meminta si gadis untuk peneruskan keturunan) b) Andor na mangolu parsiraisan (meminta keluarga si gadis menjadi mora “besan” keluarga tempet berlindung) c) Titian batu nasoro buruk (meminta kedua belah pihak agar mengikat tali persaudaraan)36
4.
Manulak Sere (nyerahkan mahar) Dalam hal ini sudah ada kemufakatan dalam manulak sere baik sere namenek ataupun sere nagodang. Dan mahar itu
36
Pandapaton Nasution, Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 58.
69
berupa benda-benda yang akan diserahkan diletakkan diatas pahar (sejenis nampan yang terbuat dari bambu) yang sudah dialasi dengan kain tenun petani, daun pisang yang ada ujungnya ditaburi beras kunyit, diatasnya diletakkan puntu (gelang) dan keris yang pegangannya dihadapkan kepada mora (besan dari pihak perempuan) dan ujungnya dihadapkan kepada anak boru (besan dari pihak laki-laki). Hal ini melambangkan bahwa keluarga laki-laki siap menanggung resio, jika mereak tidak menepati janji. Sedangkan gelang itu menandakan sudah ada ikatan. 5.
Mangalehen Pangan Mamunan Yang dimaksud adalah memberikan makanan anak gadisnya yang akan melangsungkan perkawinan. Pada acara tersebut si gadis bersama-sama teman sepermainan makan bersama yang khusus dimasakkan istimewa. Makan bersama ini merupakan makan pamitan (mangan pamunan), karena si gadis akan meninggalkan masa gadisnya bersama orang tuanya dan akan masuk ke dalam keluarga si suami.
70
Pada waktu ini para sanak keluarga diberi kesempatan memeri nasehat kepada si gadis, bahwa statusnya sekarang bukan sebagai anak gadis lagi yang bisa beranja-manja apabila ia sudah berumah tangga. Sebagai anak ni mora (orang terhormat) ia harus menunjukkan tabiat baik, sebagaimana ia berbuat baik kepada orang tuanya, demikian pula terhapad keluarga suaminya. 6.
Menikah Sebelum calon istri (boru nan i oli) di bawa oleh calon sumai (bayo pangoli), tentunya secara agama tidaklah dibolehkan calon istri dibawa oleh calon suami sebelum dinikahkan secara agama. Acara ini bisa dilakukan pada hari yang sama, atau pada satu hari sebelumnya, ataupun beberapa hari sebelum pesta di rumah keluarga perempuan. Hanya saja dalam aturan adat mandailing, antara akad nikah dengan pabuat boru tidak boleh terlalu lama, karena pada dasarnya setelah akad nikah dilangsungkan si gadis telah menjadi hak laki-laki.
71
7.
Pabuat Boru Yaitu upacara adat penyerahan mempelai perempuan kepada pihak keluarga laki-laki, yang dilaksanakan di rumah orang tua perempuan. Dalam hal ini pesta adat ini pihak lakilaki akan menuju rumah orang tua si gadis, apabila rumahnya berbeda kampung. Mereka terlebih dahulu manopot kahanggi (anak boru dari kelurga si gadis). Dari rumah kanggi (clan suami) inilah mereka berangkat kerumah orang tua si gadis.37
8.
Pasahat Mara Merupakan menyerahan si gadis kepada suaminya secra adat. Di sini keluarga perempuan akan menjelaskan bahwa anak perempuan mereka jangan disia-siakan, dan disebut bahwa boru ini mempunyai nilai yang tinggi bagi mereka, harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Setelah dengan katakata pesan, bahwa anak gadisya selalu dituntun, jangan karena masih muda disayang-sayang. Setelah itu keluarga laki-laki pamitan dan akan turun dari rumah menunggu di tangga. Akan
37
L. S. Diapari, Perkebanagan Adat Istiadat Masyarakat Sukuu Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, h. 138.
72
dilakukan penyerahan anak gadis dari pihak keluarga kepada keluarga laki-laki. c.
Perkawinan Masyarakat Desa Huta Pungkut Tata cara perkawinan masyarakat desa Huta Pungkut beragam dan bervariasi.ada tata cara yang harus dilewati menurut adat sehingga perkawinan tersebut dikatakan perkawinan yang sesuai dengan adat. Adapun tata cara dalam perkawinan di desa Huta Pungkut adalah sebagai berikut: 1) Manangkasi hata pinomporoan (memastikan kata-kata Anak) Biasanya sebelum pihak keluaraga laki-laki mendatangi ppihak keluarga perempuan, sang ayah sudah mendapat informasi dari laki-lakinya yang berkeinginan melepas masa lajangnya, dalam informasi itu dapat diperoleh keterangan bahwa dia sudah mempunyai kesepakatan dengan si perempuan. Sehingga pada tahap ini pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan guna memastikan apa yang diceritakan oleh anak lakilakinya38.
38
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h.30.
73
2) Manyapai Boban Siporsanon (membicarakan mahar) Langkah selanjutnya setelah memastikan apa yang menjadi kesepakatan berdua yaitu anak laki-laki dan perempuan, adalah berbicara tuhor (mahar). Biasanya mahar disini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu sere namenek dan sere nagodang. Ada sebuah isyarat apa bila seorang laki-laki tidak mampu membayar mahar yang besar, ungkapan berupa “mula dibutuhkan hami di sogot niari ro pe hami di potang-potangi, mula dibutuhkan di potang ni ari ro pe hai di sogot ni ari i” (bila kami bibutuhkan diwaktu pagi hari kami sudah
tiba
sebelumnya(sore
hari
sebelumnya),
sedangkan
dibutuhkan di sore hari, maka akan datang di paginya)39. Ini mengambarkan betapa besarnya mahar yang harus dibayarkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan, sehingga tidak mungkin untuk membayarnya, dan akan menjadi hutang sepanjang adat. Artinya sepanjang hubungan perkawinan itu masih ada, maka selama itu hutang masih ada. Dalam peremuan ini biasanya terjadi permufakatan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. 39
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h. 35.
74
3) Patibal sere (menyerahkan mahar) Tahapan berikutnya setelah mendapatkan kesepakatan pada malam sebelumnya, maka tibalah saatnya menyerahkan mahar, yang tenetunya tata cara penyerahan tersebut mengunakan tata cara yang telah teradat. 4) Menikah Walaupun masyarakat desa Huta Pungkut masih tergolong yang masih kuat memegang teguh aturan adat-istiadat dalam hal perkawinan, namun dalam soal akad nikah/perkawinannya sendiri, masih berpatokan kepada hukum Islam40. Setelah semua langkahlangkah yang disebutkan diatas, maka tiba saatnya untuk memenuhi rukun nikah (akad nikah). Ada dua tempat yang dapat dipilih oleh keluarga buat dilangsungkan perkawinan, ada yang melangsungkan di KUA kecamatan dan ada yang di rumah mempelai perempuan. 5) Mangalehen Ajar dohot Poda (Memberi Nasehat) Sebelum anak gadis dibawa ke rumah keluarga laki-laki, biasanya pada pesta pabuat boru (pesta dirumah keluarga
40
Hasil wawancara dengan Bapak M. Muksin batu bara pada tanggal 20 juli 2014.
75
perempuan) ada rangkaian acara yang disebut dengan mangalehen ajar dohot poda hal ini dimaksudkan memberi nasehat-nasehat kepada kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera hidup berumah tangga.41 Pada kesempatan ini yang memberikan nasehat akan berberikan kesempatan bergiliran dari pihak keluarga perempuan sendiri dan juga orang-orang yang dituakan secara adat di kampung itu42. 6) Do’a selamat Setelah memberikan nasehat-nasehat untuk mengambil berkah, maka dibacakanlah do‟a oleh alim ulama
yang ada
dikampung itu, dengan harapan supaya perkawinan kedua mempelai ini mendapat berkah dari Allah SWT. Sehingga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. 7) Serah Terima Saat pemberangkatan menuju rumah keluarga laki-laki, biasanya asih ada rangkaian acara terakhir dari piha keluarga perempuan, yaitu penyerahan langsung di ayah perempuan kepada 41 42
Sultan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, h.35. Hasil wawancara dengan Bapak M. Muksin batu bara pada tanggal 20 juli 2014.
76
mempelai laki-laki, penyerahlkan secara adat yang menyimbolkan bahwa anak gadis yang selama ini menjadi tanggung jawabnya, sekarang tanggung jawab tersebut akan diserahkan kepada suaminya. Biasanya dalam serah terima tersebut dilangsungkan di depan pintu rumah, karena di kampung masih banyak rumah panggung, maka sang ayah dan anak perempuannya berdiri di atas tangga dan mempelai laki-laki d bawah sambil menerima penyerahan dari ayah perempuan tersebut. Sebelum anak gadis meninggalkan rumah orang tuanya, biasanya untuk mengiringi keberangkatannya itu diiringi dengan lantunan azan, dengan harapan supaya perjalanannya untuk menempuh bahtera hidup yang baru mendapat keselamatan43.
43
Hasil wawancara dengan Bapak M. Muksin batu bara pada tanggal 20 juli 2014.
BAB IV PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT MANDAILING PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Asal-usul Marga dalam adat Mandailing Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal) Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang halak ita merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam beberapa marga, sebagai keturunan dari pada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri yang “berlainan asal”. Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan beberapa marga yang berlainan asalnya.1 Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo2, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan 1
http://id.wikipedia.org/wiki/Marga_Mandahiling, di akses pada tanggal 30 Juni 2014, pukul 18:38. 2 Tarombo ialah catatan tentang silsilah keterunan. Dengan adanya tarombo ini, setiap marga dapat mengetahui sal-usul dan jumlah keterunan mereka sampai sekarang. Tarombo menjadi sumber sejarah asal-usul orang mandailing di masa lalu.
77
78
sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing. Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil satu sama lain dengan kahanggi (saudara semarga), namboru atau bouk (saudara perempuan Ayah), uda (paman, saudara laki-laki Ayah), iboto atau ito (saudara perempuan), ompung, tulang, nantulang, borutulang, amangboru, amangtua, amanguda, nanguda, inangtua atau nattobang, pariban, dan seterunya.3 Suku Batak mempunyai lima sub suku dan masing-masing mendiami wilayah utama, sekalipun sebenarnya itu tidak sedemikian batas-batas pada zaman dahulu. Sub suku yang dimaksud ialah: (1) Batak Karo yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo, Deli Hulu, Langkat Hulu, dan sebagian tanah Dairi, (2) Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun, Batak Pak Pak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian tanah Alas dan Goya, (4) Batak Toba yang mendiami wilayah meliputi wilayah tepi danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba dan Silindung, daerah pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran, (5) Batak Angkalo Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkalo dan Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan, dan Batang Natal.4 Dalam hal boleh tidaknya perkawinan dalam adat bila dilihat dari segi nasab dalam hukum Fiqh maka marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis bapak, yang 3
Sutan Baringin Lubis, Wawancara : 26 Juli 2014. Basyaral Hamidy Harahap dan Nalom Siahaan, nilai-nilai Budaya Batak Toba, Mandailing dan Angkalo, (Bandung : Pustaka 1982), h. X. 4
79
mempunyai hubungan erat dalam mengetahui siapa yang menjadi mahram atau orang yang haram dinikahi, karena marga sangat menentukan partuturon.5 Dasar pembentukan marga adalah keluarga, yaitu suami, istri dan putra-putri yang merupakan kesatuan yang akrab, yang mempunyai kehidupan yang sama, yaitu kebahagian, kesenangan, kepemilikan benda, serta tanggungjawaban kelanjutan hidup keturunan. Untuk melestarikan ikatan kelurga dan kekeluargaan, diadakan ruhut (peraturan) sebagai berikut: Marga sebagai identitas diri khususnya bagi masyarakat mandailing, merupakan salah satu identitas dalam bina kekompakan serta solideritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur, sehingga keutuhan marga-marga itu dalam kehidupan sistem “Dalian Na Tolu”. Dengan adanya marga secara otomatis seseorang dapat mengetahui pasisinya dalam struktur adat dalam masyarakat Huta Pungkut, apakah ia sebagai kahanggi dalam strata masyarakat, atau Mora, ataupun Anak Boru. Misalnya seseorang tidak boleh duduk dengan mora-nya di lopo (kedai kopi). Kahanggi, dalam partuturon adat Huta Pungkut adalah orang yang satu marga sesamanya, misalnya, si A ber- kahanggi dengan si B, maka secara otomatis antara si A dan B memiliki marga yang sama, maka dalam hukum adat apabila si A memiliki anak perempuan dan si B memiliki anak
5
Sutan Baringin Lubis, Hobaran Adat Jamita, (Medan: CV. Media Persada, 2010), h. 6.
80
laki-laki, diantara anak berdua tidak boleh ada perkawinan, ataupun si B menikah dengan putra atau putri si A. Pada dasarnya, dalam adat Huta Pungkut orang yang semarga adalah orang yang benar-benar memiliki hubungan nasab sesamanya, maka dewasa ini, marga dapat dimiliki seseorang karena dimaksudkan sebagai gelar kehormatan belaka. Marga dijadikan sebagai sarana dalam pendekatan terhadap suku mandailing, dan seiring dengan alkulturasi budaya mandailing dalam hal marga khususnya yang bisa dimiliki orang dari luar suku, maka marga yang awalnya dapat menentukan nasab, dapat penulis simpulkan bahwa orang yang bermarga sekarang ini belum tentu memiliki hubungan nasab, karena marga telah dapat dimiliki oleh orang dari luar suku, seperti orang jawa yang masuk dalam kawasan Tapanuli, baik Selatan ataupun Utara. B. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan Ulama dan Tokoh Adat, desa Huta Pungkut a. Menurut Pandangan Ulama dan Tokoh adat desa Huta Pungkut Masyarakat batak pada umumnya dan masyarakat Huta Pungkut pada khususnya mengatut paham perkawinan eksogami dengan patriarkhat, yang mengharuskan perkawinan dengan beda marga, dengan kata lain perkawinan merupakan hal yang tabu apabila seseorang kawin dengan se-marga dengannya.6
6
Banyak kita mendengar seseorang mengunakan marganya sebagai satu pengaruh terhadap orang lain karena marga memiliki suatu pengaruh yang amat sangat terhadap sistem kekerabatan
81
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh adat dan tokoh agama yang ada di wilayah Huta Pungkut, maka dapat dipahami bahwa alasan yang mendasar larangan perkawinan semarga adalah: a) Hubungan Kerabat Yang dimaksud dengan hubungan kerabat secara umum adalah ayah, ibu dan anak, lalu kakek, nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namaun pada masyarakat Huta Pungkut kekrabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain diluar ikatan sedarah. Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak,
yakni
berdasarkan
garis
keturunan
(genealogi)
dan
berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan
yang dihubungkan dengan Dailan Na Tolu. Dan hal ini lah yang dijadikan suatu kekuatan politik di Negara kita ini. (Sutan Baringin Lubis, wawancara: 29 Juli 2014).
82
dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah. Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat Kekerabatan pada masyarakat Huta Pungkut memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali
83
persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga. Hubungan kerabat itu dalam adat mandailing secara umum disebut dengan sistem Dalian Na Tolu yang secara jelas harus tetap berdiri dan membuka hubungan kekerabatan dengan keluarga lain diluar ikatan darah yang disebabkan perkawinan. Dalian Na Tolu itu terdiri dari kaanggi, kedua mora, ketiga anak boru, dimana anak boru itulah yang mengambil atau dibuat dari mora sebagai istrinya, dan kaanggi
ialah teman
atau orang
yang bisa diajak untuk
bermusyawarah dan bermufakat atas segala hal.7 Jadi dari ketiganya itu tidak ada yang boleh untuk ditukartukar, diadat Huta Pungkut ini dimana yang dihulu dan dimana yang di hilir dan ditengah-tengah itu tidak boleh ditukar-tukar. Sebab secara perasaan itu ayah lubis anak lubis yang di ambil lubis sedikit banyaknya itu ada perasaan tidak enak di dalam hati. Maka yang dibolehkan dalam adat adalah ayah lubis anak lubis yang di ambil boleh dari marga lain seperti nasution, batu bara siregar ataupun yang lainnya. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa alasan yang mendasari kenapa perkawinan satu marga itu dilarang di adat Huta Pungkut karena kekerabatan, atau yang lebih popurernya karena dongan sabutuho (saudara kandung).
7
M. Yahya Lubis (Tokoh Agama), (wawancara: 29 Juli 2014).
84
b) Untuk menjaga Partuturon8 Adat Batak dan Mandailing sangat kental dengan Partuturon. Tutur merupakan kata kunci dari kekerabatan dalam masyarakat Huta Pungkut, kata tutur itu pula yang akan mementukan posisi orang dalam jaringan Dalian Na Tolu. Disini setiap seseorang betemu dengan sesame alak hita, maka ucapan yang pertama kali keluar adalah pertanyaan dan jawaban tentang marga masing-masing. Dan dari itulah orang tersebut tahu tutur yang tepat, dan kebiasan inilah yang disebut tarombo. Adapun tatanan partuturan Huta Pungkut sebagaimana yang disebutkan oleh Sutan Baringin Lubis: a) Amang (ayah) dan Inang/uma(ibu), keduanya istilah yang digunakan oleh anak menyapa orang tua mereka, dan orang tua mereka meyapa amang dan inang kepada anaknya b) Abang dan kakak pangilan yang lebih kecil kepada yang lebih besar, dan panggilan yang tua untuk yang lebih kecil dengan anggi (adik), sedangkan perempuan memangil saudara dengan ito atau iboto c) Tulang dan nantulang, tulang itu pangilan kepada saudara ibu dan nantulang itu sendiri sebutan untuk istrinya. Adapun kepada
8
Partuturon, berasal dari kata tutur, yaitu istilah sapaan yang dipakai ketika akan menyapa orang lain.
85
orang yang memanggil tulang sang tulang dan nantulang memanggilnya dengan bere atau babere d) Amang boru, ialah pangilang seorang istri kepada orang tua suaminya, dan saudara ayah, adapun terhadap ibu suami dan istri saudara ayah istri memanggil namboru e) Ompung atau oppung(kakek-nenek) pangilan untuk kedua orang tua dari ayah dan ibu, sebaliknya mereka akan memanggil pahoppu (cucu) f)
Uda dan nanguda, pangilan kepada saudara kecil ayah dan istrinya dipangil nanguda
g) Uwak dan uwak tobang, panggilan kepada saudara ayah yang lebih besar h) Bou atau namboru panggilan kepada saudari ayah, dan kepada suaminya memanggil amang boru i)
Eda panggilan seorang istri kepada saudari suami dan sebaliknya9 Perkawinan satu marga dilarang alasannya karena akan
merusak tata cara adat Huta pungkut, dan satu marga itu akan merusak tata cara tutur Mandailing (Huta pungkut). Maka dari itu jangan sampai yang kahanggi menjadi mora, mora menjadi anak boru, dan anak boru menjadi kahanggi10. Atau yang hulu ke hilir yang hilir ke hulu, jadi adat kita sangat menjaga susunan peradatan 9
Sultan Baringin Lubis (tokoh adat) (wawancara: 29 Juli 2014). M. Yahya Lubis (wawancara: 29 juli 2014).
10
86
tutur Huta Pungkut, dan sedapat mungkin akan terus dijaga dan dijalankan aturan dalam tatanan mandailing. Adapun hasil dari wawancara dengan salah satu masyarakat desa yang mengatakan hampir sama dengan tokoh adat dan tokoh agama yaitu Perkawinan satu marga itu tidak boleh dan dilarang sejak dulu sebab akan merusak peranan tutur adat dan tata cara adat itu sendiri. Pepatah Mandailing mandokon manurut jalur margai ngolongi margai partuturon, satu margai marusak tata cara adat dan tutur adat yang disebut dengan Dalian Na Tolu.11 Dari penjelasan diatas dapat ditangkap bahwa pemeliharaan partuturan sebagai alasan dilarangnya perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut. Sanksi Adat terhadap Perkawinan Satu Marga Pada Masyarakat Huta Pungkut. Adapun dalam hal Perkawinan, Masyarakat
Huta
Pungkut
mengenal
Setidaknya
dua
jenis
Perkawinan yang dilarangan, yaitu: a.
Kawin Sumbang, yaitu seseorang yang menikah dnegan satu marga, misalnya si A (laki-laki) bermarga silegar, dan si B (perempuan) bermarga sama dengan si A yaitu silegar dan mereka melakukan perkawinan maka itu disebut kawin sumbang
b.
Kawin Pabalik Hudon, yang dimaksud adalah laki-laki mengawini seorang perempuan, tapi perempuan itu anak
11
Bapak Darwis Batu bara (wawancara: 30 Juli 2014).
87
namborunya, atau dengan istilah lain seorang perempuan yang mengawini anak tulangnya.12 Perkawinan sattu marga dalam adat Mandailing merupakan perkawinan yang tabu dan masu dalam katagori perkawinan yang dilarang, namun walaupun dia merupakan perkawinan yang dilarang terhadap beberapa di antara anggota masyarakatyang melanggar aturan ini sehingga mereka disebut dengan “Na So Mamboto Adat” atau orang yang tidak tahu dengan adat istiadat serta sopan santun. Orang yang melangsungkan perkawinan satu marga dihukum dengan hukuman adat yang berlaku, adat yang diperlakukan adalah sesuai dengan kedekatan hubungan kekeluargaan kedua pihak yang mengawinkan anaknya, dan seiring dengan perkembangan zaman adat yang diberlakukan pun mengalami perbubahan, adapun bentukbentuk hukuman adat yang diberikan terhadap orang yang melakukan perkawinan satu marga adalah13: 1. Disirang Mangolu (dicerikan) Maksudnya adalah diceraikan oleh pihak hatobangon sa huta, hukuman disirang diberlakukan kepada orang yang melakukan
perkawinan
satu
marga,
sementara
asal-usul
kekerabatan masih dekat.pemberlakuan hukuman adat ini pada saat ini sudah tidak dilakukan karena sebagian tokoh agama
12
L.S. Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, (Jakarta: ttp, 1987), h.128. 13 Sultan Baringin Lubis (tokoh adat) (wawancara : 29 Juli 2014).
88
maupun adat yang sudah banyak mengetahui tentang ajaran agama Islam dalam hal Perkawinan14. Adapun pepatah atau ungkapan dalam adat Huta Pungkut sebagai berikut “Na hancit ma antong naso markula dongan, suada dongan tu si martulo, na hancit ma antong na mambuat dongan samargai dongan, ruhut ni adat angkon disirang mangolu”15 2. Diasingkan Dulu ada sanksi ini bagi mereka yang melakukan perkawinan satu marga yaitu diasingkan dari desa mereka atau juga diusir dari kediamannya. Maka dirumah adat ada gambar pahabang manuk na bontar (ayam putih), maksud dari gambar tersebut ialah walaupun dia diusir atau diasingkan tetap diberikan bekal dan diberi nasehat agar suatu saat dia bisa menyadari kesalahannya dan ini hanya sekedar hukuman adat. Disini juga kenapa ayam putih menjadi simbolnya karena walupun dia ditempat gelap sekalipun akan tetap kelihatan itu maksud dari pahabang manuk nabontar.16 Saat ini hukuman yang masih berlaku di adat Huta Pungkut adalah tidak bolehnya dia duduk dalam acara adat, tidak boleh mengasih solusi atau berbicara dalam forum adat, dan dalam
14
M. Yahya Lubis (wawancara : 29 Juli 2014). Maksud dari ungkapan diatas adalah alangkah sakitnya kawin dengan satu marga, garagara adat harus diceraikan diwaktu masih sama-sama hidup. 16 Sultan Baringin Lubis (tokoh adat) (wawancara: 29 Juli 2014). 15
89
sidang adat tidak ada kedudukan bagi orang yang menikah satu marga. Kecuali mereka hanya bisa datang dalam acara pesta dan makan-makan saja17. Menurut penulis ada beberapa faktor terjadinya perubahan adat terhadap yang melemah dalam hukuman adat, yaitu berkembangnya pola piker masyarakat, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap perinsip pokok dan tujuan diberlakukan sanksi adat, kurangnya minat masyarakat terhapat adat dianggap menghalangi perkembanagan, dan yang terakhir adalah tempat yaitu semakin majunya teknologi dan informasi di sebuah tempat turut serta memberikan pengaruh terhadap keruntuhan adat, misalnya eksistensi adat di perdesaan dan perkotaan itu berbeda. C. Hukum Perkawinan Satu Marga dalam Pandangan Hukum Islam Hukum Islam mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fiqh disebut dengan mahram (orang yang haram dinikahi). Dikalangan masyarakat istilah ini sering disebut dengan muhrim, ulama fiqh telah membagi mahram kepada dua bagian yaitu mahram mu’aqqat (larangan untuk
waktu
tertentu)
dan
mahram
mu’abbad
(larangan
untuk
selamanya)18. Secara garis besar, larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan menurut syara‟ dibagi dua, yaitu halangan abad dan halangan sementara. Diantara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati 17 18
M. Yahya Lubis (wawancara : 29 Juli 2014). Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 40.
90
dan ada yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati adalah19: 1 nasab, 2 pembesanan (karena pertalian kerabat) dan 3 sesusuan. Orang yang tidak boleh dinikahi itu ada empat belas macam, yaitu : tujuh orang karena nasab, dua orang karena hubungan susuan, empat orang karena hubungan mushaharah (besanan) dan satu orang karena hubungan dengan istri20. Dalam al Qur‟an tidak terdapatkan ayat yang mengaharkan Perkawinan satu marga atau perkawinan antar sepupu dan ini berarti keturunan daru saudara kandung dari pihak ayah maupun ibu yaitu tidak termasuk mahram. Dengan demikian seseorang boleh dan sah menikahi dengan adik atau kakak sepupu.21 Adapun orang-orang yang haram dinikahi adalah sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nissa ayat 23:
Artinya: “diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anakanakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang 19
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, cet ke-2, h. 103. Abdul Fatah Idris dan Abu Hamid, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2004), h. 238. 21 Miftah Farid, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 17. 20
91
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dari ayat ini ada penjelasan yang dimaksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Perkataan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya “adat dan agama seiring-sejalan”, adalah sebuah ungkapan yang cukup sering diucapkan oleh orang Mandailing, baik itu warga masyarakat biasa, tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama. Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo” atau ada juga yang mengatakannya dengan ungkapan “ombar do adat dohot ibadat” ini belum ada semasa orang Mandailing dahulu memeluk sistem kepercayaan lama (animisme), melainkan muncul setelah orang Mandailing mayoritas memeluk agama
92
Islam di sekitar awal abad ke-20.22 Dilihat dari istilah diatas kurang tepat kesesuaiannya dengan ajaran Islam, sebaiknya bahasanya disempurnakan, dalam hal ini penulis menyaankan “hombar do adat dohot syari’at” mengingat bahwa ibadah adalah sub dari sistem syari‟at, contohnya dalam hal perkawinan, yang dimana perkawinan merupakan syari‟ah namun melaksanakan perkawinan adalah ibadah.23 Dilihat dari ungkapan di atas dapat dipahami makna seandainya hukum Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam adat Huta Pungkut, maka hukum agama yang lebih didahulukan, artinya kalau tidak ada nilai ibadahnya dalam adat yang berlaku maka yang menjadi tolak ukur dalam mengambil keputusan adalah prinsip Islam, jika ajaran agama melarang maka adat tidak oleh menghalalkan, dan begitu sebaliknya jika ajaran agama menghalalkan maka adat pun tidak boleh mengharamkannya. Maka dari itu permasalahan perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut, baik itu dari segi asal muasal marga, alasan dilarangnya perkawinan satu marga maupun sanksi adat yang diberikan, dari sini penulis ingin melihat sesuai dengan ajaran Islam, namun dari segi yang lain pelarangan itu terdapat kontra dengan ajaran Islam, dan kedua segi ini akan lebih terperinci dan jelas sebagai berikut, ini:
22
http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html, diakses tanggal 15
Mai 2014 23
L. P. Hasibuan gelar Patuan Daulat Baginda Nalobi, Pangupa Buku Nenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Berisi Falsafah Hidup, (Medan: Horas Tondi Madingin, Pir Tondi Matugo, 1989), h. 71
93
a) Relevansi adat Huta Pungkut dengan ajaran agama Islam dalam hal pelarangan perkawinan a. Karena mereka merupakan mahram Adanya kesesuaian antara hukum Islam dengan adat dalam masalah perlarangan perkawinan satu marga ialah karena mahram yang disebutkan di dalam fiqh tersebut sebagian terdiri dari orangorang yang semarga. Adapun mahram dalam fiqh dan semarga dalam adat ialah pertama, anak perempuan dan termasuk didalamnya cucu perempuan sampai kebawahnya. Dikarenakan garis keturunan yang bersifat patriliniel dalam adat Mandailing, maka secara otomatis marga pun ditentukan oleh pihak ayah, misalnya ayah bermarga Lubis, maka anak-anaknya pun bermarga Lubis. Kedua saudara perempuan, dalam hukum Islam saudara perempuan
merupakan
mahram
selama-lamanya,
hall
ini
dikarenakan pertalian darah atau hubungan nasab, maka dalam adat Huta Pungkut pun saudara perempuan merupakan teman semarga, pelarangan menikahi saudara perempuan dalam adat sesuai dengan mahram yang ditetapkan dalam al Qur‟an. Ketiga saudara perempuan ayah, dalam adat Huta Pungkut saudara perempuan dari ayah dipanggil dengan tutur bou, dan saudara ayah merupakan teman satu marga, karena dia semarga dengan ayah, sementara marga kita sendiri berasal
dari marga
94
ayah. Dalam hukum Islam saudara ayah merupakan mahram selama-lamanya, hal ini dikarenakan pertalian darah atau nasab. Keempat yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki, dalam adat Mandailing Huta Pungkut seseorang semarga dengan saudaranya, sedangkan anak perempuannya dari saudara laki-laki semarga dengan saudara ayahnya, maka dengan sendirinya anak perempuan tersebut semarga dengan saudara ayahnya. Saudara laki-laki dalam adat merupakan teman satu marga. Hal ini senada dengan hukum Islam ang mengharamkan anak perempuan saudara laki-laki untuk dinikahi. Dapat dilihat dari uraian diatas dalam hal mahram yang diatur dalam hukum Islam terdapat kesamaan dengan perkawinan antara hukum Islam dan adat Huta Pungkut. Dengan demikian dapat dipahami dari satu segi pelarangan perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut sesuai dengan ajaran Islam, hal ini dikarenakan sebagian teman semarga merupakan termasuk dalam golongan mahram (orang-orang ynag diharamkan untuk dinikahi) dalam hukum Islam b. Karena hubungan kekeluargaan Penulis disini setuju dengan pelarangan perkawinan satu marga terhadap orang-orang yang dekat sistem kekerabatannya, walaupun mereka tidak tergolong dalam mahram, golongan yang penulis maksud adalah anak perempuan saudara ayah (sepupu).
95
Anak dari saudara ayah dalam adat merupakan teman semarga, dalam hukum fiqh kelompok ini memang tidak termasuk dalam kelompok mahram, tetapi baik hukum Islam dan adat memiliki persamaan dalam hal sama-sama menekankan untuk menghindari perkawinan dengan kerabat dekat, dengan alasan sebagaimana berikut: Yang Pertama : Untuk menghindari Lemahnya Keturunan, menurut para fuqaha, Sa‟id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri dalam Hasyi‟ah i‟anatut Thalibin menjelaskan bahwa “menikahi perempuan kerabat yang jauh hubungan nasabnya dari laki-laki itu adalah lebih baik dari pada perempuan yang dekat kekerabatannya, karena perkawinan dengan kerabat dekat dapat menyebabkan keturunan lemah”.24 Adapun yang termasuk dalam lingkup kerabat dekat ialah anak perempuan paman, anak perempuan saudara laki-laki ibu, anak peempuan dari saudara perempuan ayah, anak perempuan dari saudara ibu. Dan adapun kerabat jauh itu adalah anak perempuan dari anak saudara laki-laki ayah, anak perempuan dari anak lakilaki saudara perempuan ayah, anak dari anak saudara laki-laki ibu, dan yang terakhir anak perempuan dari saudara perempuan ibu.25
24
Sa‟id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri, Hasyi’ah i’anatut Thalibin, (Singapura: Dar al-Thiba‟ah al-Misriyah,tt), juz 3, h. 270 25 Sa‟id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri, Hasyi’ah i’anatut Thalibin,… …, h. 271
96
Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa sesungguhnya syahwat itu lemah di antara kerabat. Oleh karena itu mereka memakruhkan nikah dengan anak perempuan paman, anak perempuan saudara laki-laki ibu, anak perempuan dari saudara perempuan ayah, anak perempuan dari saudara ibu.26 Yang kedua: Untuk Memperluas Persaudaraan, salah satu tujuan dari sebuah perkawinan dalam Islam ialah untuk mengembangkan kehidupan manusia di muka bumi ini, Allah menganjurkan manusia untuk memperluas persaudaraannya sesame manusia, hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat AlHujarat: Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan
26
105
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabi, 1987), jilid 3, cet ke-8, h.
97
masyarakat yang aman dan sejahtera lahir batin di bawah naungan rahmat Allah SWT, dan akan memperluas persaudaraan.27 Tujuan perkawinan adalah memenuhi perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal sebagaimana berikut: memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta
memperkembangkan
suku-suku
bangsa
manusia,
memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan,membentuk dan mengatur rumah tangga yang basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang, menumpahkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.28 Maka dari itu penulis bisa pahami bahwa pengembangan kehidupan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada keturunan yang akan dilahirkan oleh pasangan suami istri, tetapi lebih jauh dari itu bahwa dengan bertemunya keluarga pihak istri dan keluarga pihak suami itu juga termasuk
dalam
memperluas
serta
mengembangkan
kehidupan
bermasyarakat. Hal ini sama dengan sistem yang ada dalam adat halak hita kalau seseorang telah menikah, itu berarti telah membentuk Dalian na tolu yang
27
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), h. 2. 28 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 26-27.
98
berupa kahanggi, mora dan anak boru jadi kalau dia menikah satu marga berarti dia hanya menjalin kekeluargaan dengan orang yang selama ini dikenalnya, dia tidak dapat memperluas tali persaudaraan. Hukum adat Huta Pungkut yang melarang untuk melangsungkan perkawinan satu marga mengandung makna agar sistem kekeluargaan tidak terbatas dalam lingkungan yang bersifat rotasi, tetapi dengan perkawinan dalam adat diharapkan dapat memperluas sisolokot. b) Perbedaan adat Huta Pungkut dengan ajaran agama Islam dalam hal Perkawinan Adapun perbedaan antara hukum Islam dengan hukum adat dalam pelarangan perkawinan satu marga ialah karena teman semarga untuk zaman sekarang belum tentu terdapat hubungan kekerabatan. Dari sini penulis melihat larangan perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut sudah seharusnya para tokoh adat membuat katagori semarga yang dilarang untuk dinikahi, seperti dengan mempertimbangkan kekerabatan dan lainnya. Pada dasarnya, dalam adat Huta Pungkut orang yang semarga adalah orang yang benarbenar memiliki hubungan nasab sesamanya, maka dewasa ini, marga dapat
dimiliki
seseorang
karena
dimaksudkan
sebagai
gelar
kehormatan belaka. Marga dijadikan sebagai sarana dalam pendekatan terhadap suku mandailing, dan seiring dengan alkulturasi budaya mandailing dalam hal marga khususnya yang bisa dimiliki orang dari luar suku, maka marga yang awalnya dapat menentukan nasab, dapat
99
penulis simpulkan bahwa orang yang bermarga sekarang ini belum tentu memiliki hubungan nasab, karena marga telah dapat dimiliki oleh orang dari luar suku, seperti orang jawa yang masuk dalam kawasan Tapanuli, baik Selatan ataupun Utara29. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pelarangan perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut dari satu segi sesuai dengan larangan perkawinan dalam Islam, tapi dari segi yang lain ada berbedaan antara keduanya. Kesesuaian adat Mandailing dengan hukum Islam dalam masalah larangan perkawinan satu marga ialah dikarenakan sebagian teman semarga dalam adat Mandailing merupakan mahram dalam fiqh dan memiliki hubungan kekerabatan. Adapun perbedaan ialah dikarenakan pemberian sanksi terhadap orang yang melangsungkan perkawinan satu marga yang tidak diketahui titik temu kekerabatannya.
D. Analisis Penulis Dari penjelasan di atas, menurut penulis hal yang menarik untuk dianalisis, ialah: Soal larangan perkawinan satu marga, apabila perkawinan tersebut sudah dilangsungkan apakah dapat mempengaruhi sah tidaknya suatu perkawinan? Untuk membahas hal tersebut, sesuai dengan penjelasan yang sudah tertera diatas, baik mengunakan Perspektif Hukum Islam, sudah sangat jelas bahwa tidak ditemukan pelarangan perkawinan satu marga. 29
M. Yahya Lubis (wawancara : 29 Juli 2014).
100
Menurut penulis bila seorang menghalangi dua insan yang semarga dan saling mencintai untuk melakukan perkawinan karena hanya larangan adat, tetapi apabila ini tidak dilarang maka Hukum adat atau aturan adat itu akan hilang karena tidak ada lagi yang melestarikan adatistiadat yang berlaku di desa tersebut. Bahkan bagi seorang ibu sekalipun tidak boleh menghalang-halangi anak perempuannya untuk menikah, apabila memang sudah saatnya untuk menikah. Karena banyak hal yang dikhawatirkan, misalnya terjadi perbuatan yang melanggar agama, bahkan bisa dihukumkan haram. Maka perkawinan satu marga tidak lah mempengaruhi terhadap sah atau tidaknya suatu perkawinan. Karena itu tidak menjadi persyaratan, dalam adat sendiri larangan tersebut tidak sampai menjadi sesuatu yang menyebabkan sah tidaknya perkawinan itu. Adapun pandangan dari penulis, silaturrahmi dan kentalnya kekerabatan di kalangan masyarakat Huta Pungkut adalah hal yang menjadi landasan dilarangnya perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut, alasan larangan tersebut ialah, ditakutkan rusaknya hubungan silaturrahmi antara anak boru, mora dan kahanggi, sehingga tujuan dari Dalian Na Tolu tidak dapat dicapai yaitu songon si ala sampagul molo magulang rap marguling, malamun rap lalu ataupun salluppat saindege30, (kalau teman lagi senang kita ikut senang, kalau teman lagi susah kita ikut merasakan atau se iya se kata). Adapun dalam setiap acara apapun Dalian
30
Basyral Hamidy Harahap, Siala Sampagul, (Bandung: Pustaka, 2004), h.22.
101
Na Tolu selalu telibat didalamnya,karena semua keputusan keluarga itu ada ditangan Dalian Na Tolu. Adanya
sanksi
disini
menurut
penulis
hanyalah
sebuah
penghargaan kepada aturan adat dan agar orang tidak mudah untuk melaksanakan perkawinan satu marga tersebut, dan mengapa masyarakat Huta Pungkut sangat kental dengan tutur Mandailing (hukuman moral) karena sanksi tersebut sudah pasti ada yang menjalankan hukuman tersebut. Sedangan sanksi atau hukuman agama itu hubungan antara manusia dan Allah. Bicara masalah “adat” yang melarang perkawinan satu marga, penulis mencoba menggunakan salah satu metode ijtihad yang dijadika ulama intrumen untuk mengistinbath hukum. Adapun kaidah yang digunakan atau berkaitan dengan itu ialah:
العادة محكمة “Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum”31 Alasan ulama mengunakan (penerimaan) mereka terhadap adat tersebut adalah berdasarkan kepada hadist yang berasal dari Abdullah bin Mas‟ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, ialah:32
ما راه المسلمون حسنا فهو عند اهلل حسه “Apa yang dipandang ummat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka hal tersebut disisi Allah baik”
31 32
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqiyah, h.94 Amir Syarifuddin, Usul Fiqih, jilid 2, h. 376
102
Menurut penulis dengan menggunakan kaidah tersebut, tidak semua praktek larangan perkawinan satu marga tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan syara‟. Bagi penulis larangan disini mengandung kemaslahatan buat hubungan persaudaraan dan keluarga nantinya. Karena pada dasarnya perkawinan itu bukan hanya kepentingan suami istri saja, tapi lebih dari itu. Jangan sampai dengan adanya perkawinan menyebabkan retaknya gubunga di dalam bermasyarakat. Khususnya di dalam Dalian Na Tolu.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Alasan yang mendasari perkawinan satu marga dilarang dalam adat masyarakat Mandailing di desa Huta Pungkut adalah: (a) hubungan kekerabatan secara umum adalah ayah, ibu dan anak, lalu kakek, nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namaun pada masyarakat Huta Pungkut kekerabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain diluar ikatan sedarah yang secara umum disebut dengan Dalian Na Tolu , (b) menjaga partuturan Adat Batak dan Mandailing sangat kental dengan partuturon. Tutur merupakan kata kunci dari kekerabatan dalam masyarakat Huta Pungkut, kata tutur itu pula yang akan mementukan posisi orang dalam jaringan Dalian Na Tolu , (c) peranan tutur adat Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan sedarah, dan perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan semarga adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bermarga sama (lubis dengan lubis ataupun marga yang lain dengan marga yang sama dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri masyarakat Huta Pungkut. Setiap masyarakat wajib berbuat atau bertindak sesuasi dengan aturan adat yang didasarkan oleh dailan na tolu termasuk dalam penyenggaraan upacara adat seperti acara kelahiran, perkawinan, kematian dan selainnya.
103
104
1.
Tradisi perkawinan adat Huta Pungkut adalah: yang pertama, memastikan kata-kata si anak (lamaran), kedua, membicarakan tentang mahar yang disepakati kedua belah pihak, ketiga, memberikan mahar, keempat, menikah, kelima, memberikan nasehat dari para sesepuh, keenam doa selamat dan yang terakhir serah terima.
2.
Dalam al Qur’an tidak terdapat ayat yang mengharamkan Perkawinan satu marga atau perkawinan antar sepupu dan ini berarti keturunan dari saudara kandung dari pihak ayah maupun ibu yaitu tidak termasuk mahram. Dengan demikian seseorang boleh dan sah menikahi dengan adik atau kakak sepupu. Adapun mahram dalam fiqh dan semarga dalam adat ialah , Anak
perempuan
dan
termasuk
didalamnya
cucu
perempuan
sampai
kebawahnya. Dikarenakan garis keturunan yang bersifat patriliniel dalam adat Mandailing, maka secara otomatis marga pun ditentukan oleh pihak ayah, misalnya ayah bermarga Lubis, maka anak-anaknya pun bermarga Lubis. B. Saran Karena pernikahan bukan hanya urusan individual semata, tetapi berkaitan dengan kedua pihak keluarga dan orang-orang disekitarnya, maka demi tercapainya apa yang menjadi tujuan pernikahan sebgai pembentukan
keluarga
sakinah
mawaddah
warahmah,
sehingga
melahirkan masyarakat yang madani, penulis memaparkan beberapa saran yang berdasarkan penelitian yang penulis lakukan.
105
1) Hendaknya orang tua yang mau menikahi anaknya melihat dari segi kekerabatan dan apabila tidak adanya hubungan keluarga yang seknifikan walaupun satu marga itu tidak apa-apa karena si laki-laki dan si perempuan beda nasabnya. 2) Untuk para Tokoh Adat dan Ulama mengkaji lebih dalam dan lebih teliti lagi dalam memutuskan apakah perkawinan itu boleh dilaksanakan atau tidak, dilahat dari tutur mandailing, kekerabatannya. Di zaman sekarang misalnya seorang laki-laki bermarga Lubis merantau ke Jakarta, dan di Jakarta bertemu perempuan yang marganya sama Lubis, dan ditelusuri berdasarkan garis keturunan tidak menemui titik kekerabatan diantara keduanya. Jadi para tokoh adat dan ulama jangan terfokus pada masalah semarganya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,1995 Ahamad Surdirman Abbas , Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,2006 al- ‘Asqalani, Hafidz bin Hajar, Buluq al-Maram,ttp. : Syirkah al-Nur Asiya, t.t Al-Istranbuli, Mahmud Mahdi, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 Al-Qur’an dan Terjemah al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, Damaskus: Dar alFikr, 2007 As- Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010 As- Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2006 Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2003 Hadeli , metode penelitian, Padang: Baitul Hikmah, 2001 Hadi, Sutrisno, Metodelogi Resreach, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990 Hajjaj, Abi Husein Muslim Ibnu, Shaheh Mulsim Jilid 2, Kairo: Dar al-Ihya,1918 Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978 Harahap, Basyaral Hamidy dan Nalom Siahaan, nilai-nilai Budaya Batak Toba, Mandailing dan Angkalo, Bandung : Pustaka 1982
106
107
Harahap, Basyral Hamdi, madina yang madani, Jakarta: PT. Metro Pos,2004 Heffener, Linda J. dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, Ciputat: UIN Jakarat Press,2007 L. P. Hasibuan gelar Patuan Daulat Baginda Nalobi, Pangupa Buku Nenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Berisi Falsafah Hidup, Medan: Horas Tondi Madingin, Pir Tondi Matugo, 1989 L.S. Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, Jakarta: ttp, 1987 Lubis Sutan Baringin, Hobaran Adat Jamita, Medan: CV. Media Persada, 2010 Marzuki, Peter Muhammad, Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2008 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, cet. ke-9 Muhalli, Ahmad Mudjab, dan Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadits-hadits Muttafaq ‘Alaih, Jakarta: Prenada Media, 2002 Muhammad Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.1994 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2008, cet 23 Mujieb, M.Abdul, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Musbikin Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005 Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarat: Prenada Media, 2004 Ramulyo Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Sa’id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri, Hasyi’ah i’anatut Thalibin, Singapura: Dar al-Thiba’ah al-Misriyah,tt), juz 3 Sabiq, Sayyid, fiqh Sunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1986
108
Sahlany, Mualifah, Perkawinan dan Problematikanya, Yogyakarta: Sumbangsi Offset, 1991 Sholeh, Asruron Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Graha Pramuda, Juni 2008 Shomad, DR.ABD.Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, januari 2010 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet ke-4, Yogyakarta: Liberti, 1999 Sudjana, Nana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Bandung: Sinar baru aldesindo,2003 Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Surakhmad, Winarno, pengantar penelitian ilmiah dasar metode dan teknik, Bandung: Tarsito,1994 Syakur, Rahman, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, Pasuruan: Pustaka Pesantren Sidogiri, tt Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media Group, 2011 Undang-undang No. 1Tahun 1974 yang mengatur tentang Perkawinan. Lebih lanjut, lihat Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta,1994 Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,Qaharih: Dar al-Fikr, 2005
PEDOMAN WAWANCARA 1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga? 2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut? 3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu marga? 4. Bagaimana pandangan Islam terhadap aturan adat tentang larangan perkawinan satu marga?
Berita Hasil Wawancara Dengan Tokoh Adat Sutan Baringin Lubis 29 Juli 2014
1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga? Jawaban: Jadi adat Ulu pungkut dalam perkawinan satu marga memang tidak boleh melangsungkan perkawinan satu marga, alasannya pertama merusak tatanan partuturan sebab dalam adat Ulu Pungkut itu namanya Dalian na tolu harus tetap berdiri, 1 kahanggi 2 mora dan 3 anak boru. Jadi ketiganya itu unsurnya dari marga yang berlainan maka anak boru itu yang mengambil dari mora sebagai istrinya dan kahanggi yang menjadi temannya dalam bermusyawarah, sama-sama mufakat dalam sesuatu. Ini tidak boleh ditukar-tukar dan di adat ini dimana yang dijulu dan dimana yang dihilir dan yang di tengah-tengah, jadi yang hilir tidak boleh di julu inilah harus dijaga disusun marga. Seumpamanya lubis maka ia harus menikah dengan marga batu bara atau nasution. Jadi mana itu dirusak susunan partuturan tutur Ulu Pungkut maka adat Ulu Pungkut tidak meladeni secara adat orang yang menikah satu marga tetapi dihurupi ia dengan agama sebab agama itu luas untuk kepentingan umat Islam tergolong sedunia sedangkan aturan adat itu hanya tatanan masyarakat yang lebih dikit atau dalam ruang lingkup yang tidak luas, aturan adat ini jika dijalankan tidak bersalahan dengan agama. Namun apabila keduanya berjalan dengan baik itu akan lebih baik lagi
2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut? Jawabannya: memang dilarang karena alasan yang tadi dimana Dalian na tolu itu jangan sempat mora menjadi anak boru dan kahanggi menjadi mora karena akan merusak aturan tatanan Mandailing. Sedapat mungkin itu harus tetap dijaga dan diatur sampai terakhir kalinya. Tatanan partuturan itu sendiri terdiri dari orang tua (ayah ibu), abang kakak, tulang nantukang, amamng boru, kakek nenek, uda nanguda, uwak, uwak tobang bou atau namboru, dan eda. 3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu marga? Jawabannya: orang yang melakukan perkawinan satu marga dihukum dengan hukuman adat yang berlaku, adat yang diperlakukan adalah sesuai dengan kedekatan hubungan kedua pihak yang mengawinkan anaknya, dan seiring dengan perkembangan zaman adat yang diberlakukan pun mengalami perubahan. Diasingkan pada zaman dulu sanksi ini ada bagi mereka yang melakukan perkawinan satu marga, diasingkan dari desa mereka atau diusir dari kediamannya. Maka dirumah adat ada gambar pahabang manuk na bontar (menerbangkan ayam putih), maksud dari gambar tersebut ialah walaupun ia diusir atau diasingkan tetap diberikan bekal dan diberikan nasehat agar suatu saat dia bisa menyadari akan kesalahannya dan ini hanya sekedar hukuman adat. Disini juga kenapa ayam putih dijadikan symbolnya karena walaupun dia ditempatkan ditempat yang gelap sekalipun akan tetap kelihatan itu maksud dari pahabang manuk na bontar.
4. Bagaimana pandangan Islam terhadap aturan adat tentang larangan perkawinan satu marga? Jawabannya: Islam itu luas untuk cakupan seluruh umat namun pandangan desa Ulu Pungkut tidak pengganggu aturan Islam itu sendiri, memang kalau bisa keduanya berjalan dengan baik itu belih bagus, itu menurut kami. Jadi kalau agama tidak ada pandangan kerena agama untuk segala sukusuku dan bangsa-bangsa di dunia.
Ulu Pungkut, 29 Juli 2014
Erliyanti Lubis Peneliti
Sultan Baringin Lubis
Berita Hasil Wawancara Dengan Tokoh Agama M. Yahya Lubis 29 Juli 2014
1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga? Jawabannya: perkawinan satu marga itu tidak boleh sebab secara perasahan ibu lubis, anak lubis, dan yang diambil lubis sedikit banyak ada perasaan tidak enak, kedua sebab partuturan mandailing menurut jalur marga, haruna pepatah mandailing mandokon manurut jalur marga holongi marga partuturan. Hubungan kerabat yang dimaksud secara umum adalah ayah, ibu dan anak, lalu kakek, nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namun pada masyarakat Ulu Pungkut kekerabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain diluar ikatan darah. Dalam adat mandailing ini disebut dengan sistem Dalian na tolu yang secara je;as harus tetap berdiri dan membuka hubungan kerabat dengan keluarga lain diluar ikatan darah yang disebabkan perkawinan. Dalian na tolu itu terdiri dari kahanggi, mora, dan anak boru. 2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut? Jawabannya: 1. sebab merusak tata cara adat mandailing, 2 satu marga itu merusak tata cara tutur mandailing. Perkawinan satu marga dilarang alasannya karena akan merusak tata cara adat Ulu Pungkut, dan satu marga itu akan merusak tata cara tutur mandailing (Ulu Pungkut). Maka jangan sampai
yang kahanggi mnejadi mora, mora menjadi anak boru, anak boru mnejadi kahanggi. 3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu marga? Jawabannya: Hukum adat atau sanksi bagi mereka yang melakukan perkawinan satu marga yaitu disirang mangolu, maksudnya adalah diceraikan oleh pihak hatobangon sa huta, hukuman disirang diberlakukan kepada orang yang melakukan perkawinan satu marga, sementara asal-usul kekerabatan masih dekat. Pemberlakuan hukuman adat ini pada saat ini sudah tidak dilakukan karena sebagian tokoh agama maupun adat yang sudah banyak mengetahu tentang ajaran agama Islam dalam hal perkawinan. Saat ini hukuman yang masih berlaku di adat Ulu Pungkut adalah tidak bolehnya dia duduk dalam acara adat, tidak boleh mengasih solusi atau berbicara dalam forum adat, dan dalam sidang adat tidak ada kedudukan bagi orang yang menikah satu marga. Kecuali mereka hanya bisa datang dalam acara pesta dan makan-makan saja. 4. Bagaimana pandangan Islam terhadap aturan adat tentang larangan perkawinan satu marga? Jawabannya: Dalam Islam tidak ada masalah bukan agama menentang, tetapi adat yang menentang. Ulu Pungkut, 29 Juli 2014
Erliyanti Lubis peneliti
M. Yahya Lubis
Berita Hasil Wawancara Dengan Masyarakat (Bpk Darwis batu bara) 30, Juli 2014 1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga? Jawabannya: saya tidak tau banyak tentang hal tersebut karena sudah jarang sekali tokoh adat atau para sesepuh yang memberi tau tentang sejarah atau aturan adat tentang perkawinan satu marga. Setau saya itu dilarang. 2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut? Jawabannya: Karena sejak dulu perkawinan satu marga itu dilarang disebabkan akan merusak peranan tutur adat dan tata cara adat itu sendiri. Seperti Dalian na tolu. 3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu marga? Jawabannya: saya kurang tau tentang sanksi hukuman adatnya apa.
Ulu Pungkut, 30 Juli 2014
Erliyanti Lubis Peneliti
Darwis Batu bara
Berita Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Ulu Pungkut Bapak Koji batu bara 25, Juli 2014 1. Jumlah keseluruhan penduduk desa Ulu Pungkut ini? Jawabannya: Menurut data sensus penduduk pada tahun 2014, penduduk desa Ulu Pungkut berjumlah 950 jiwa, yang terdiri dari 400 laki-laki dan 550 jiwa perempuan dengan jumlah kk sebanyak 150. 2. Apa agama yang diatut oleh masyarakat, dan seberapa presentasinya? Jawabannya: Dilihat dari segi keagamaan penduduk desa Ulu Pungkut 100% beragama Islam, dan hampir dipastikan belum ada warga yang menganut agama selain agama Islam. Dan di dalam Desa tidak ada orang asing atau orang dari suku lain selain orang-orang Mandailing 3. Bagaimana tingkat pendidikan didesa Ulu Pungkut, tolong bapak berikan gambaran? Jawabannya: Secara umum masyarakat desa Ulu Pungkut masih tergolong sangat ketinggalan bila dilihat dari segi pendidikan. Dalam berbagai tingkatan, baik tinggat perguruan tinggi maupun ditingkat sekolah menengah atas. Sungguh ironis bila melihat kondisi tersebut. SD 140 orang, SMP 50 orang, SMA atau SMK 35 orang dan yang Kuliah 10 orang.
4. Bagaimana dengan lapangan pekerjaan? Jawabannya: Sedangkan kalau dilihat dari lapangan pekerjaan yang tersedia hampir 80% petani, meliputi perkebunan dan persawahan.
Ulu Pungkut, 25 Juli 2014
Erliyanti Lubis Peneliti
Koji Batu bara