30
BAB II PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
A. Dasar Berlakunya Hukum Waris Islam di Indonesia 1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Hukum Islam adalah hukum yang sangat demokratis, pluralis, dengan karakteristiknya yang sempurna, universal, dinamis dan sistematis.
36
Istilah waris
dalam Islam disebut juga dengan fara’id yaitu bentuk jamak dari faridah yang secara harfiyah berarti bagian yang telah ditentukan. Pengertian ini erat kaitannya dengan fardu yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.37 Artinya hukum kewarisan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, ia dianggap sebagai hukum yang berlaku secara mutlak. Dan hukum kewarisan Islam secara mendasar memang merupakan ekspresi langsung dari teks suci yang berasal dari Al-Quran dan Ash-Sunnah. Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Selain itu hukum Islam
juga memiliki prinsip yang sangat bersahaja, dengan konsep
kemaslahatan, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban, dan
36 37
Faturrahman Djamil, Falsafah Hukum Islam, logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal. 46-51. Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM, Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995,
hal. 107. 30
Universitas Sumatera Utara
31
diturunkan (diterapkan) secara berangsur-angsur.
38
Hukum kewarisan Islam dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirumuskan dalam Pasal 171 huruf a : Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) saat ini ada tiga macam yaitu : 1. Hukum Waris Barat tertuang di dalam KUH Perdata 2. Hukum Waris Islam merupakan ketentuan Al Qur’an dan Hadist. Penggunaan hukum Waris Islam tergantung pada keimanan merupakan faktor utama. 3. Hukum Waris Adat beraneka tergantung di lingkungan mana masalah waris itu terbuka.39 Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sesuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat. Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumnya (wajib, sunat, haram, mubah, makruh), disamping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil
38
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Rosda Karya, Jakarta: 2000, hal.
7-11. 39
Suraini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris menurut Burgelijke Wetboek, Ghalia, Jakarta: 1998, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
32
saja yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti. Sebab masalah yang belum atau ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal’aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetapkan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya.40 Seperti halnya hukum kewarisan yang lain, dalam hukum kewarisan Islam juga terdapat pengaturan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus ditaati dan diikuti oleh setiap muslim. Pelanggaran atas hak orang lain atau kelalaian dalam melaksanakan kewajiban akan menjadikan adanya persoalan atau permasalahan baru. Hal itu jelas tidak sejalan dengan tujuan Hukum Islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan umum dan memberikan kemanfaatan, dan kerusakan bagi umat manusia. Setiap tindakan warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam harus mematuhi aturan-aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), adapun segala tindakan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang ada akan dianggap sebagai bentuk dari perbuatan melanggar hukum. Untuk lebih jelasnya dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam buku II (Hukum Kewarisan) yang terdiri dari 6 Bab dan 43 pasal (pasal 171-214) yang pada intinya isi dari KHI adalah berasal dari kita-kitab fiqih para ulama terkemuka yang dasar-dasar hukumnya diambil dari kitab-kitab fiqih mawaris.
40
M.Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1975, hal. 380-
404.
Universitas Sumatera Utara
33
Namun permasalahan tentang kewarisan, pembagian waris sampai penghalang mewarisi tidak akan pernah selesai, karena masalah-masalah baru akan terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks. Di dalam fiqih terdapat kaidah yang mengatakan bahwa hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.
41
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
wujud nyata pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang disesuaikan dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan sosial kultural Indonesia. Meskipun demikian segala hal yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam seperti kriteria sebagai ahli waris, besarmya bagian warisan, syarat dan rukun waris yang telah dimasukkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama sekali tidak menyimpang dari ajaran Islam. 2.
Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia 1. Sistem Hukum di Indonesia Yang dimaksud dengan sistem hukum di Indonesia adalah hukum yang berlaku di Indonesia. Di dunia ada lima sistem hukum yang hidup dan berkembang, yaitu : a. Sistem Civil Law yang berasal dari hukum Romawi dan dianut oleh Eropa Barat Kontinental yang kemudian dibawa kenegeri-negeri jajahannya oleh pemerintah kolonial Barat dahulu.
41
Ditbinbapera Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta: 1999/2000, hal.134.
Universitas Sumatera Utara
34
b. Sistem Common Law yang dianut di Inggris dan negara bekas jajahannya yang kini tergabung dalam negara-negara peresemakmuran. c. Sistem Hukum Adta di negara-negara Asia dan Afrika. d. Sistem Hukum Islam yang dianut oleh orang Islam dimanapun mereka berada.42 e. Sistem Hukum Komunis yang dianut oleh negara-negara komunis. Saat ini yang berlaku di Indonesia hanya tiga yaitu sistem Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Kontinental. Berlakunya tiga sistem tersebut menunjukkan kemajemukan sistem yang berlaku, artinya sangat dimungkinkan suatu masalah yang timbul dapat diselesaikan oleh ketiga sistem yang ada, sehingga diperlukan pilihan sistem hukum mana yang diberlakukan. Sistem hukum di Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia sebelumnya juga merupakan bangsa yang telah memiliki budaya atau adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah mengatakan bahwa Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih terasa. Salah satu nya dalah peraturan-peraturan adat yang hidup dan bertahan hingga saat ini masih 42
Saifuddin, Sistem Hukum Indonesia, Banjarmasin: Pustaka Banua, 2010, Hal. 16-19.
Universitas Sumatera Utara
35
terasa dan bertahan hingga kini. Salah satunya adalah peraturan adat yang hidup dan nilai-nilai hukum adat merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terutama Islam. Selain itu, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari unsur agama. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia sekarang juga erat kaitannya dengan hukum agama meskipun tidak menyerap seutuhnya dari hukum agama tersebut. Sedangkan status sebagi negara dengan slogan Bhineka Tunggal Ika juga membuat sistem hukum Indonesia tidak bisa tidak untuk menyerap berbagai hukum adat yang sudah sejak lama ada di masyarakat Indonesia.43 B. Perkawinan Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan akad nikah. Sasaran utama dari disyariatkannya perkawinan dalam Islam diantaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusai yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan menuntut tanggung jawab dan kedewasaan secara fisik maupun mental. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang,
43
M.Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, Sistem Hukum Indonesia Pada Era Reformasi, Penerbit: Elektrik Pertama dan Terbesar di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
36
karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk kehidupan manusia. 1.
Arti dan Tujuan Perkawinan Di dalam hukum Islam pernikahan merupakan satu anjuran bagi kaum
muslimin. Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Kata nikah mengandung dua pengertian yaitu dalam arti sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan. Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan yang lazim disebut sakinah.44 Sedangkan pengertian Perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.45 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan arti perkawinan, melainkan terdapat juga tujuan perkawinan. Untuk membentuk keluarga
44 45
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal. 2. Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
37
bahagia dan kekal yang merupakan hakikat dari tujuan perkawinan, tidak hanya dipengaruhi oleh unsur rohani tetapi juga harus memenuhi unsur yuridis yakni perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi pasangan yang beragama Islam, maka pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi pasangan yang memeluk agama selain Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah dirumuskan sangat ideal karena tidak hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat suatu pertautam batin antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.46 Berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum.47 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang 46
Prakoso, Djoko dan Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hal. 4. 47 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No.1 tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukm keluarga dalam Sistem Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
38
menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah menurut agama.48 Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan,
juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan umat manusia.49 Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas. Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikahi ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam dalam Islam dikenal dengan istilah mahra (orang yang haram dinikahi). Di dalam Hukum Adat dikenal juga adanya larangan perkawinan, salah satu aturan yang dilarang dalam Hukum Adat Batak adalah dilarangnya melangsungkan perkawinan semarga. Artinya masyarakat Batak tidak boleh menikah dengan orang lain yang memiliki marga yang sama dengannya. Bagi mereka yang menarik garis keturunan kebapaan, utusan keluarga dari pihak laki-laki lebih dahulu pergi melamar kepada pihak keluarga perempuan. Tidak seperti dalam masyarakat yang menarik garis keturunan keibuan, yang datang melamar adalah pihak perempuan. Menurut peraturan perundang-undangan yang
48 49
Ibid, hal.6. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1993, hal. 356.
Universitas Sumatera Utara
39
berlaku, hukum adat tetap berlaku bagi orang Indonesia asli, selama belum diatur dengan Undang-Undang dan sepanjang adat tersebut masih dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan menurut adat, tidaklah hanya mengikat suami istri saja, tetapi juga mengikat keluarga kedua belah pihak, yaitu keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki. 50 Hukum Adat yang mengatur tentang pernikahan di Indonesia sangat beragam. Akan tetapi, apabila diklasifikasikan dapat diketahui bahwa terdapat tiga macam sistem pernikahan adat di Indonesia yaitu : 1. Sistem Endogami Dalam sistem pernikahan endogami, masyarakat hanya diperbolehkan menikah dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Masyarakat yang dikenal menggunakan sistem ini adlah masyarakat tanah Toraja. Walaupun demikian telah terjadi pergeseran budaya karena beberapa faktor, seperti sudah mudahnya akses dengan wilayah atau daerah lain sehingga peraturan ini mulai ditinggalkan. 2. Sistem Eleutherogami Sistem pernikahan ini berbeda dengan sistem pernikahan endogami dan eksogami. Tetapi hanya mengatur larangan yang berhubungan dengan ikatan
50
Masykuri Abdillah.”Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 tahun 1998, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
40
kekeluargaan atau keturunan, seperti larangan menikah dengan ibu, nenek, dan sebagainya.51 3. Sistem Eksogami Dalam sistem pernikahan eksogami, masyarakat diharuskan menikah dengan orang diluar sukunya atau orang diluar clan nya. Sistem seperti ini dapat dijumpai di daerah Tapanuli, Minangkabau, dan beberapa daerah lainnya. 2.
Sah nya Perkawinan
a.
Menurut Hukum Islam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya
dituliskan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, diterbitkan agar ada unifikasi hukum dan ada kepastian hukum dibidang hukum perkawinan. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 orientasi hukum dalam rangka pembaharuan dan pembangunan Hukum Nasional, adalah tidak mengenal pergolongan rakyat dan diterapkannya unifikasi hukum bagi warganegara Indonesia, adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan masuknya hukum agama dalam konsep unifikasi hukum, sehingga terdapat unifikasi akan tetapi juga mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum (sahnya perkawinan), artinya hukum agama, khususnya hukum Islam mendapatkan legitimasi sebagai hukum positif di Indonesia. Salah satu aspek hukum perkawinan yang penting untuk dicermati adalah sahnya perkawinan dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang melakukan
51
Soerjono Soekanto, Inti Sari Hukum Keluarga, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1992, hal.
132.
Universitas Sumatera Utara
41
praktek “ nikah sirri ”, pada hal suatu perkawinan yang sah akan menempatkan kedudukan pria dan wanita dalam aspek sosialnya pada posisi terhormat, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat.52 Kepastian hukum merupakan indikator bahwa sesuatu Undang-Undang termasuk dalam kategori sebagai hukum yang baik. Dalam perspektif Islam pernikahan atau perkawinan itu dipandang bukan hanya sebagai suatu sakramen saja, tetapi merupakan kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak.53 Dengan demikian berlaku pula asas-asas perjanjian dan ruang lingkupnya berada dalam hukum keluarga. Selain itu dalam hubungan keluarga terdapat pula makna pembinaan dan pengaturan sebagai tatanan hubungan antar manusia yang tertib dan teratur,54 sehingga pemahaman mengenai perkawinan dan keluarga akan dapat dipergunakan sebagai sarana bagi manusia untuk menunaikan kehidupannya di dunia. Dengan demikian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dibuat agar masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dalam hal perkawinan ada kepastian dalam tingkah lakunya, sehingga terdapat ketertiban masyarakat dan dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat dalam lingkup hukum keluarga dan perkawinan, bukan justru menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan perkawinan itu sebagai berikut :
52 53
Wahidin, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10, No. 1, Januari 2010. Sayyed Hassein Nasr, Agama Sejarah dan Peradaban, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hal.
80. 54
H.Abdul Manan, Op.Cit, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
42
1. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai (Pasal 6 ayat 1) 2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2) 3. Batas umur minimla 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat (1) dan (2) 4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkian untuk berpoligami (Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4. 5. Bagi seorang janda untuk dapat kawin lagi harus setelah lewat masa iddah (Pasal 11) Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang dijabarkan lebih rinci dalam peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 proses pelaksanaan petkawinan itu juga berlangsung secara bertahap : 1. Pemberitahuan kehendak akan kawin kepada pegawai Pencatat Perkawinan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan itu dilakukan oleh kedua calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya, bisa secara tertulis ataupun lisan, yang memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. 2. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan selama 10 hari kerja. 3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya, dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi. 4. Pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurt agama Islam, dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinnan diatur syarat-syarat sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi :
Universitas Sumatera Utara
43
a) Pasal 2 ayat (1) : Perkawinan harus merupakan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. b) Pasal 2 ayat (2) : Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. M.Yahya Harahap menarik kesimpulan dari pasal 2 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu sah atau tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan sepanjang tidak bertentangan
dengan
Undang-Undang.
Setiap
perkawinan
yang
dilakukan
bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 55 Selanjutnya menurut M. Yahya Harahap, pencatatan perkawinan hanyalah tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 56 Selain itu Pasal 8 UU perkawinan melarang perkawinan antara dua orang yang : 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua sususan, anak susuan, saudara susuan. 55 56
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan: 1975, hal. 13. Ibid, hal.15.
Universitas Sumatera Utara
44
5. Mempunyai hubungna yang yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Sedangkan syarat-syarat ekstern dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari :57 1. Laporan 2. Pengumuman 3. Pencegahan 4. Pelangsungan Suatu perkawinan itu sah menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 adalah sejak perkawinan itu dicatatkan. Dalam perkawinan adat Batak Toba yang beragama Islam itu sendiri, rukun perkawinan, yaitu calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul serta syarat-syaratnya merupakan hal yang sangat diperhatikan. Suatu perkawinan tidak akan diakui oleh adat jika syarat dan rukunnya belum lengkap. Disamping terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, perkawinan adat juga sama halnya dengan perkawinan pada umumnya yang berlaku di Indonesia, masyarakat Batak juga melakukan pencatatan perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diadiri oleh 2 (dua) orang saksi, supaya diakui eksistensi dan legalitasnya oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, apabila rukun dan syarat dapat terpenuhi, maka dengan sendirinya perkawinan
57
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University press, 1998, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
45
tersebut dianggap sah. Ssebaliknya jika rukun dan syarat tersebut belum terpenuhi dan belum lengkap maka perkawina tersebut dianggap tidak sah atau batal. b. Menurut hukum adat batak toba Perkawinan menurut masyarakat Batak khususnya orang Batak Toba adalah hal yang wajib untuk dilaksanakan, dengan menjalankan sejumlah ritual perkawinan adat Batak.58 Meski memiliki keunikan dan ragam keistimewaan yang terkandung dalam acara tersebut. Dalam kebudayaan Batak Toba proses perkawinan adatnya menganut
hukum
eksogami
(perkawinan
diluar
kelompok
suku
tertentu).
Kenyataannya memampangkan jelas bahwa lingkup masyarakat Batak Toba, orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto). Pada hakikatnya, perkawinan bersifat patrilineal tujuannya ialah melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Menurut peraturan hukum keluarga ia tetap masuk ke dalam kelompok kerabat (seketurunan darah). Hak tanah, milik, nama, dan jabatan, hanya dapat diwarisi oleh garis lelaki. Di batak toba tidak ada pengecualian dalam peraturan ini. Perkawinan merupakan “harga mempelai perempuan”. Perempuan dilepaskan dari kelompoknya tidak sekedar dari lingkungan agnata kecil tempat ia dilahirkan dengan pembayaran sejumlah uang yang disetujui bersama, atau dengan penyerahan benda berharga. Seyogyanya perkawinan ideal dalam masyarakat Batak Toba merangkul 2 jenis, yakni : berdasarkan Rongkap Ni Tondi (jodoh) dari kedua
58
Anicetus B. Sinaga, Permata Perkawinan dalam Adat Batak Toba, dalam Jurnal SAWI (edisi No. 3, April 1990) Jakarta: KKI-KWI, 1976, Hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
46
mempelai dan mengandaikan kedua mempelai memiliki Rongkap Ni Gabe (kebahagiaan, kesejahteraan),59 dengan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak. Dengan cara ini, dia dikeluarkan dari kekuasaan kerabat lelaki yang terdekat, yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan perkawinan yaitu bapaknya. Proses mengenai tata cara perkawinan pra sampai pasca perkawinan adat Na Gok :60 1. Mangarisika Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam ragka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kaim, cincin emas, dan lain-lain. 2. Marhori-hori Dinding/Marhusip Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum. 3. Marhata Sinamot Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) dtang pada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor). 4. Pudun Sauta Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak
59 60
Ibid, hal. 10. http://pernikahanadat.blogspot.com
Universitas Sumatera Utara
47
parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari : 1) Kerabat marga ibu (hula-hula) 2) Kerabat marga ayah (dongan tubu) 3) Anggota marga menantu (boru) 4) Pengetuai (orang-orang tua) / pariban 5) Diakhir kegiatan pudun saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu masuon 5. Martumpol 6. Martonggo Raja Suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk : mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis. Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan. Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan. Demikian tahapan proses perkawinan secara umum. Sehingga dapat digambarkan bahwa perkawinan itu mulai dianggap sah dalam hukum adat Batak Toba adalah setelah selesai pembayaran uang jujur pada pesta perkawinan itu. 3.
Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan
a.
Menurut Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
48
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. A. Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri a) Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). b) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)). c) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat2).61 d) Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah sebagai ibu rumah tangga. e) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. f) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. B. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan a) Timbul harta bawaan dan harta bersama. b) Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. c) Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (pasal 35 dan 36). C. Akibat Perkawinan Terhadap Anak 1. Kedudukan anak 1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42) 2) Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja. 2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dpat berdiri sendiri (Pasal 45). 2) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik. 61
Lihat Pasal-pasal dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Universitas Sumatera Utara
49
3) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan keatas sampai sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46). 3. Kekuasaan Orang Tua 1) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada dibawah kekuasaan orang tua. 2) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. 3) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekusaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. D. Kekuasaan orang tua berakhir apabila : 1. Anak itu dewasa. 2. Anak itu kawin. 3. Kekuasaaan orang tua dicabut. b. Menurut hukum adat batak toba Untuk melakukan niat baik perkawinan tentunya harus dilakukan menurut tata cara yang telah diadakan, karena perkawinan merupakan perbuatan yang sangat sakral. Perempuan yang akan masuk ke dalam keluarga laki-laki diharapkan membawa tuah, oleh sebab itu tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang selalu dilakukan sejak dari nenek moyang. Perkawinan bukan saja merupakan urusan individu dengan individu, namun lebih luas lagi yaitu urusan keluarga dengan keluarga. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi
Universitas Sumatera Utara
50
juga menyangkut hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan yang rukun dan damai. Dengan terjadinya perkawinan maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah ataupun garis ibu atau garis orang tua. Silsilah menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat dan merupakan barometer dari asal-usul keturunan yang baik dan teratur. 1. Terhadap hubungan suami isteri Dengan menggunakan sistem jujur, suatu perkawinan menurut adat Batak Toba, pembayaran uang jujur mengakibatkan hukum terhadap suami dan isteri, yang mana isteri diwajibkan masuk ke klen suaminya. Setelah berada dilingkungan kerabat suaminya maka isteri dalam melakukakn segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, dia harus membantu suami dalam kehidupan rumah tangga baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan masyarakat.62 2. Terhadap anak yang lahir dari perkawinan Dalam hukum adat, dikenal adanya 2 (dua) macam dasar keturunan yaitu: a) Keturunan asli, yang dalam hal ini ialah anak kandung b) Keturunan tidak asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak angkatnya.63
62 63
Hilman Hadukusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Mandar Madju, 1990, hal. 73. A. Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1989, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
51
c) Masyarakat Batak Toba mengelompokkan diri dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyang sendiri yang membuat masyarakat toba menjadi kesatuan dari beberapa marga yang berlainan asalnya. Bagi masyarakat Batak Toba, diharapkan kelahiran keturunan lakilaki agar dapat meneruskan marga, sehingga marga tidak terputus digaris keturunan perempuan. Karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal).64 Dalam hukum adat, anak yang lahir diluar perkawinan adalah anak sah jika ibu yang mengandungnya mempunyai suami pada saat melahirkannya. Walaupun suami ibunya tersebut bukan orang tua biologisnya dan tidak dipersoalkan masalah tenggang waktu kawin dan waktu melahirkan. Apabila si ibu yang melahirkan tidak punya suami, maka seorang anak tersebut hanya dapat mewaris harta peninggalan ibunya dan jika anak itu wafat, maka harta peninggalannya hanya diwarisi ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan hukum antara anak-anak dengan kerabat ayahnya pada masyarakat Batak Toba sangat erat, karena kerabat ayahnya lah yang harus bertanggung jawab untuk menggantikan kedudukan dan tanggung jawab ayah, dalam hal si ayah meninggal dunia. Menurut Hukum Adat tentang hubungan anak-anak dengan kerabat ibunya secara hukum tidak ada, tetapi secara moral bahwa anak-anak yang dilahirkan dari
64
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat Batak Toba, Bapak M.Simbolon, Pada tanggal 16 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
52
perkawinan
itu berkewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh
melaksanakan pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang diselenggarakan kerabat ibunya. Tentang kedudukan seorang janda terhadap kerabat mendiang suaminya di dalam pertimbangan hukum putusan RVJ 148/489 disebutkan bahwa menurut adat Batak, seorang janda ada tiga kemungkinan yaitu : a) Tetap tinggal tidak kawin dalam lingkungan keluarga mendiang suaminya dengan demikian dia berhak atas anak-anaknya. b) Kawin lagi dengan salah seorang dari karib mendiang suaminya c) Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya.65 3. Terhadap harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Harta perkawinan menurut hukum Adat adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barangbarang hadiah.66 Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. a. Harta Bawaan
65 66
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Medan: Bina Sarana, hal. 19. Tanpa Tahun Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 156.
Universitas Sumatera Utara
53
Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya baik sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami isteri. Artinya seorang suami atau isteri berhak untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. b. Harta bersama Sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang disebutkan bahwa harta bersama adalah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat. Harta perkawinan daalam hukum adat menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam, sebagai berikut: a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa kedalam perkawinan. b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada waktu pernikahan. Pada dasarnya berdasarkan Hukum Adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri, meskipun masih terdapat variasi. Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri.
Universitas Sumatera Utara
54
Dalam hukum adat Batak Toba, apabila perkawinan telah dilaksanakan, otomatis bersatulah harta isteri dan harta suami seperti yang dikenal dengan istilah harta bersama. Pada masyarakat patrilineal yang melaksanakan perkawinan jujur, isteri ikut dan tunduk pada hukum kekerabatan suaminya, maka yang disebut harta bawaan adalah barang-barang yang dikuasai suami dan dimilikinya adalah harta penunggu atau harta penanti suami.67 c.
Hukum Adat Waris Batak Toba (Sistem Hukum Adat Waris Patrilineal) Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan baik materiil maupun immateriil yang mana seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Prof. Soepomo menyatakan bahwa hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda. Hukum Adat Waris mempunyai corak tersendiri dan khas mengalir dari pikiran tradisional Indonesia. Hukum Adat Waris tidak mengenal legitimie portie, menetapkan persamaan hak serta meletakkan dasar kerukunan pada proses pembagian secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa tiap waris. Harta warisan juga tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris. Hukum Adat Waris sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada
67
T. O. Ihromi, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Aset, 1986, Hal.
26
Universitas Sumatera Utara
55
dalam masyarakat itu. Selain faktor perubahan sosial, ada juga karena semakin kuatnya hubungan kekeluargaan dan makin lemahnya ikatan clan dan kerabat, tetapi juga peraturan asing sejenis yang oleh para hakim agama diterapkan in conserto walaupun berpengaruh kecil. Di Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan hukum adat sebagai berkut: 68 a. Sistem Kewarisan Individual Berdasarkan prinsip ini, maka setiap hali waris mendapatka atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan Bilateral di Jawa. b. Sistem Kewarisan Kolektif Menurut sistem ini, ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. c. Sistem Kewarisan Mayorat Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimoahkan kepada anak tertentu saja. Misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/Sumatera Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuasn termuda atau anak laki-laki saja.
68
Soerjono Soekanto, Ibid, hal. 260.
Universitas Sumatera Utara
56
Dalam adat Batak yang masih terkesan kuno, peraturan adat-istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam hal pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dari Hukum Waris Adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimanapun orang Batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Hukum Adat sebagai suatu proses artinya bahwa peralihan harta dapat dilakukan baik pada saat pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal. Adapun asas yang terdapat dalam Hukum Waris Adat yaitu : 1. Ketuhanan dan pengendalian diri 2. Kesamaan hak 3. Kekeluargaan dan kerukunan 4. Musyawarah dan mufakat 5. Keadilan dan parimerma Secara garis besar Hukum Adat Waris dapat dilihat dari prinsip-prinsip pewarisan adat. Ada 6 (enam) prinsip pewarisan menurut Hukum Adat,69 yakni : 1. Tidak selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi-bagi diantara para ahli waris sipeninggal harta tadi meninggal, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembahagiannya ditanggikan dan ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi sebab harta tersebut tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi untuk selamanya. 2. Jika pewarisan itu tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka pewarisan itu dilakukan secara keatas atau kesamping 69
Datuk Usman, Ibid, hal 143-147.
Universitas Sumatera Utara
57
3. Menurut hukum adat pewarisan itu adalah beralihnya harta benda suatu generasi yang tertentu kepada generasi lain yang menyusulnya. 4. Hukum adat mengenal prinsip pergantian tempat 5. Hukum adat mengenal lembaga anak angkat yang juga bisa bertindak seperti halnya anak kandung sendiri 6. Menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki si peninggal harta semasa hidupnya. Sistem hukum warisan patrilineal juga berpokok pangkal dari sistem kekerabatan. Dalam masyarakat patrilineal hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan diluar golongan patrilineal. Keadaan seperti ini dikarenakan adanya beberapa alasan yang melandasi sistem hukum warisan patrilineal sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang telah meninggal dunia, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan sama sekali. Adapun alasan yang memandang rendah
kedudukan
perempuan khususnya dalam masyarakat Batak adalah : a. Emas kawin yang disebut “tukor” membuktikan perempuan dijual. b. Adat lakonan (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia. c. Perempuan tidak mendapatkan warisan. d. Perkataan naki-naki menunjukkan perempuan, mahluk tipuan dan lain-lain. Ahli waris dan para ahli waris dalam sistem hukum adat warisan patrilineal terdiri dari: anak laki-laki, anak angkat, ayah dan ibu, keluarga terdekat, persekutuan adat. 70 Dalam Hukum Adat, Yurisprudensi Hukum, selain merupakan keputusan ahli pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat juga merupakan 70
Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung Armico : 1985, hal. 55-56.
Universitas Sumatera Utara
58
sarana pembinaan hukum adat sesuai cita-cita hukum. Sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat lokal maupun yang telah berlaku secara nasional. C. Kesadaran Hukum Waris Pada Masyarakat Batak Toba yang beragama Islam 1.
Pengertian Kesadaran Hukum Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum warganya.
Semakin tinggi kesadaran hukum penduduk suatu negara, akan semakin tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, jika kesadaran hukum penduduk suatu negara rendah, yang berlaku disana adalah hukum rimba. Indonesia adalah negara hukum. Dalam hidup dilingkungan masyarakat maupun sekolah tidak lepas dari aturan-aturan yang berlaku, baik aturan yang tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Aturan-aturan tersebut harus ditaati sepenuhnya. Adanya aturan tersebut adalah agar tercipta kemakmuran dan keadilan dalam lingkungan masyarakat. Apabila aturan-aturan itu dilanggar, akan mendapatkan sanksi yang tegas. Timbulnya hukum itu pada hakekatnya dalah karena terjadinya bentrok atau konflik antara kepentingan manusia atau conflict of human interest. Hukum seharusnya dikembalikan dari tidak hanya produk ideologi yang mengabdi pada kekuasaan, tetapi juga sebagai salah satu produk kebudayaan karena kebudayaan diciptakan dan sekaligus menciptakan kehidupan bermasyarakat. Hukum hendaknya berperan bagaikan oksigen dalam darah, dia menghidupkan dan sekaligus dihidupkan
Universitas Sumatera Utara
59
oleh masyarakat. Dia harus mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat, peka terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law). 2. Faktor yang mempengaruhi dalam kesadaran hukum Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan. Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannya pun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Berbicara tentang peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dilatarbelakangi oleh kesadaran hukum masyarakat sudah sedemikian merosotnya, sehingga perlu ditingkatkan. Hukum harus dikembalikan pada keberadaan yang sebenarnya. Hubungan antara hukum dengan masyarakat di Indonesia sangat rendah. Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan Undang-Undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis, seperti adat, kebiasaan masyarakat. Kesadaran hukum itu, terkait erat dengan masalah budaya hukum yang berupa nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Pada hakekatnya kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu.
Universitas Sumatera Utara
60
Pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang dibawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi politik dan sebagainya. Untuk dapat mengambil langkah-langkah guna mengatasi menurunnya kesadaran hukum masyarakat, perlu diketahui apa kiranya yang dapat menjadi sebabsebabnya. Menurunnya kesadaran hukum masyarakat itu merupakan gejala perubahan didalam masyarakat yaitu perubahan sosial. Salah satu sebab perubahan sosial adalah kontak atau konflik antar kebudayaan. Kita
harus menyadari bahwa setelah
mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa ini, yang menjadi tujuan pada hakekatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, tetapi membina kesadaran hukum masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif an efisien ialah dengan pendidikan. Sehingga dengan melalui quisioner penulis mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa perwakilan responden yang terdiri dari masyarakat yang diambil dari beberapa kecamatan di kota medan. Dengan daftar pertanyaan sebagai berikut : 1. Seberapa jauh hubungan timbal balik antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Batak toba?
Universitas Sumatera Utara
61
2. Bagaimana pola perilaku hukum kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba yang menjadi kesadaran hukumnya apabila mempunyai kasus kewarisan ? 3. Seberapa jauh pengetahuan dan pemahaman masyarakat muslim Batak Toba mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agamanya? Dari pertanyaan yang pertama dapat disimpulkan yaitu: hubungan timbal balik antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat yang menjadi kesadaran hukum masyarakat muslim Batak Toba dalam pelaksanaan hukum kewarisan. Oleh karena itu, pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim batak Toba di kota Medan dijadikan tolak ukur hubungan timbal balik antara kedua hukum tersebut. Dari hasil penelitian ini, ditemukan persesuaian dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengn hukum kewarisan adat dalam pembagian harta waisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di kota Medan. Persesuaian itu terjadi sebagai akibat diterimanya hukum kewarisan Islam oleh masyarakat muslim yang menjadi kesadaran hukum dalam pembagian harta warisannya karena menjadi kewajiban agama Islam baginya. Sebaliknya, perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat mempunyai dua bentuk, yaitu disatu pihak terjadi sebagai keluwesan hukum Islam kepada budaya hukum yang tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam yang Qat’i sehingga terjadi perbedaan pelaksanaan hukum yang diilakukan oleh masyarakat disuatu daerah dengan daerah lainnya. Dipihak lain ketidak tahuan
Universitas Sumatera Utara
62
masyarakat muslim Batak Toba mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agamanya, sehingga kesadaran hukum kewarisannya disebut perbedaan
yang bisa dipertemukan dengan perbedaan yang tidak bisa
dipertemukan. Dari pertanyaan yang kedua dapat disimpulkan : yaitu pola perilaku responden mengenai hukum kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim Batak Toba di Kota Medan yang mempunyai kasus kewarisan, maka perlu memperhatikan pelaksanan hukum kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim diluar dan di dalam Pengadilan Agama, maka perlu diperhatikan bahwa dari 10
responden
yang
mempunyai
masalah
kewarisan,
ditemukan
9
orang
menyelesaikan secara hukum kewarisan adat dan Islam yaitu melalui musyawarah para ahli waris dan 1 responden menyelesaikan kewarisannya melalui Pengadilan Agama di Kota Medan. Contoh kasus I L. Manurung menikah dengan Kartini br. Siregar pada tahun 1959 dengan proses secara Islam , mereka dikaruniai 5 orang anak, 3 laki-laki dan 2 perempuan. Namun pada tahun 2002 ibu mereka kartini br. Siregar telah meninggal dunia. Maka sebelum terjadi percecokkan diantara mereka maka ayah mereka L. Manurung berinisiatif untuk membagi harta warisan. Harta warisan berupa rumah dan tanah yang luas. Maka dikumpulkan anak yang 5 orang tadi untuk membicarakan pembagiannya. Ayah mereka menyerahkan semuanya kepada mereka cara pembagiannya apakah menurut hukum adat atau hukum Islam. Namun mereka bersepakat karena mereka beragama Islam maka pembagian dilakukan menurut hukum waris Islam dimana anak laki-laki mendapat 2 bagian dibanding anak perempuan. Namun diantara anak-anak L. Manurung tadi ada 2 org yang sudah berhasil dan sukses, maka mereka yang 2 orang memutuskan untuk tidak mengambil
Universitas Sumatera Utara
63
bagian mereka dan memberikan kepada saudara mereka yang kekurangan. Walaupun memang mereka sudah tahu hak masing-masing dari ahli waris. 71 Dari kasus diatas dapat dianalisa bahwa mereka melakukan pembagian warisan menurut hukum Islam dimana bahagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan. Namun tetap jalur musyawarah yang mereka utamakan. Dalam hal pembagian warisan ini semua menantu dr anak mereka yang sudah menikah turut hadir untuk menyaksikan pembagian itu, walapun dalam hal itu mereka hanya mendengar saja. Tidak berhak mereka untuk berbicara apa pun. Pemberian yang dilakukan ahli waris kepada ahli waris lainnya itu sah-sah saja selama yang dia berikan itu adalah memang mutlak hak yang memberi tadi. Namun, jangan lupa untuk mengeluarkan bagian ayah terlebih dahulu, baru sisanya itu lah yang menjadi boedel warisan. Contoh Kasus II A.M. Sitorus menikah dengan Misna tahun 1952, dari peernikan tersebut dikaruniai 5 anak laki-laki dan 4 perempuan. Ayah mereka A. M. Sitorus telah meninggal tahun 2005. Almarhum meninggalkan harta warisan berupa tanah, rumah dan juga benda bergerak lainnya. Namun karena anak-anak yang 9 orang ni takut harta mereka dikuasai ibunya maka mereka bermusyawarah untuk membagikan harta warisan meraka. Dan ibunya pun setuju, ditentukan hari untuk pembagian lalu dikumpulkan semua anaknya. Dikarenakan mereka semua paham akan menjunjung tinggi kebersamaan agar tidak tercipta keserakahan diantara mereka. Maka mereka semua untuk memutuskan bahwa harta itu dibagi secara rata semua kepada anakanaknya. 72 Contoh kasus III melalui Pengadilan Agama L. Hutasuhut (penggugat I), R. Hutasuhut (penggugat II), Nurfiah (penggugat III) melawan Sukmawati (tergugat I), M. Ikhsan hutasuhut (tergugat II), Ernita Hutasuhut (tergugat III), Taufik Hutasuhut (tergugat IV), ade Irmayani hutasuhut (tergugat V). M. Hutasuhut menikah dengan siti Arfiah dan dikaruniai 4 orang anak dimana 3 perempuan (para penggugat) dan satu laki-laki. Tetapi anak laki-lakinya yang bernama herman hutasuhut telah meninggal terlebih dahulu dr ibu, sementara ayah mereka sudah lama meninggal. Anak laki-laki ini mempunyai 1 isteri dan 2 orang anak. Dimana obyek sengketanya berupa tanah berikut bangunan rumah permanen yang berdiri diatasnya. Karena kedua orang tua telah meninggal dunia 71 Wawancara dengan bapak L. Manurung yang menyelesaikan kasus pembagian waris secara hukum waris Islam dengan cara kekeluargaan, dimana tetap bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. 72 Wawancara dengan Bapak A. M. Sitorus yang menyelesaikan pembagian harta warisan secara musyawarah dengan pembagian secara merata kepada ahli waris
Universitas Sumatera Utara
64
maka terhadap harta tersebut menjadi boedel warisan. Oleh karena alm. Herman hutasuhut telah meninggal dunia maka ahli warisnya jatuh kepada istri dan lima orang anaknya (para tergugat). Bahwa terhadap harta peninggalan tersebut ketika alm. Herman hutasuhut masih hidup beliau meminta secara paksa surat tanah dari tanggan ahli waris yaitu penggugat I setelah orang tua perempuan (ibu) meninggal dunia. Dan pada tahun 1998 alm. Herman hutasuhut membuat surat keterangan ahli waris tanpa sepengetahuan ahli waris lainnya yang ditandatangani camat. Tahun 2006 alm. Herman hutasuhut membuat surat kuasa ahli waris untuk mengalihnamakan dirinya sekaligus menandatangani surat yang berkaitan dengan tanah warisan tersebut tanpa diketahui ahli waris yang lain dan memalsukan tanda tangan ketiga ahli waris lainnya sekaligus menjual sebagian dari tanah warisan tersebut. Kemudian alm. Herman hutasuhut menggadaikan surat tanah tersebut sebesar lima juta yang akhirnya telah ditebus oleh penggugat I s/d III sebesar delapan juta. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan KHI maka : 1. 2. 3. 4.
Rosiana Hutasuhut, anak perempuan, memperoleh ¼ bagian Nurfiah Hutasuhut, anak perempuan memperoleh ¼ bagian Anak-anak alm. Herman Hutasuhut memperoleh ¼ bagian Lismaini Hutasuhut, anak perempuan memperoleh ¼ bagian. Menimbang, bahwa anak-anak alm. Herman Hutasuhut memperoleh bagian sebagai ahli waris pengganti. Anak-anak tersebut menggantikan kedudukan ayahnya alm. Herman Hutaauhut akan tetapi baiannya tidak boleh melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat. Menimbang, bahwa tentang putusan dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada upaya hukum, tidak dapat diterima, karena putusan yang dijatuhkan belum memenuhi syarat untuk dijalankan secara serta merta. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan penggugat dapat dikabulkan sebagian. Menimbang, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah, maka berdasarkan pasal 192 ayat (2) R.Bg maka kepada tergugat-tergugat diperintahkan untuk membayar semua biaya perkara secara tanggung renteng. MENGADILI Dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat. Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan penggugat sebagian, menentukan para ahli waris alm. M. Hutasuhut dan almh. Siti raflan Siregar yaitu : 1. Rosiana Hutasuhut, anak perempuan 2. Nurfiah Hutasuhut, anak perempuan 3. Anak-anak alm. Herman Hutasuhut yaitu Ikhsan Hutasuhut, Ernita Hutasuhut, taufik Hutasuhut, Ade Irmayani Hutasuhut, Yunita Aldina Hutasuhut. Menyatakan obyek sengketa berupa sebidang tanah berikut bangunan rumah permanen yang berdiri diatasnya. Menentukan pembagian ahli waris dari harta peninggalan alm. M. Hutasuhut yakni : 1. Rosiana Hutasuhut, anak perempuan, memperoleh ¼ bagian
Universitas Sumatera Utara
65
2. Nurfiah Hutasuhut, anak perempuan memperoleh ¼ bagian 3. Anak-anak alm. Herman Hutasuhut memperoleh ¼ bagian 4. Lismaini Hutasuhut, anak perempuan memperoleh ¼ bagian. Memerintahkan kepada kedua belah pihak berperkara, untuk mengadakan pembagian atas harta peninggalan alm. M. Hutasuhut dan almh. Siti Raflan Siregar sesuai bagian masing-masing yang telah ditentukan. Demikian putusan Pengadilan Agama kelas I A Medan yang dijatuhkan dalam permusyawaratan majelis hakim pada hari kamis, tanggal 22 April 2010. Dari pertanyaan yang ketiga dapat disimpulkan : yaitu melihat pengetahuan dan pemahaman masyarakat muslim Batak Toba di kota Medan mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agamanya. Oleh karena itu, responden yang menyatakan diri mengetahuai dan memahami sistem hukum kewarisan Islam. Hasil penelitian atas 10 responden menunjukkan bahwa responden yang menyatakan diri mengetahui dan
memahami hukum kewarisan Islam dan
hukum kewarisan adat , yang mengetahui dan memahami hukum kewarisan Islam ditemukan 5 responden, dan yang mengetahui dan memahami hukum kewarisan adat ditemukan
5 responden. Namun demikian dari hasil penelitian, diperoleh fakta
bahwa pernyataan responden tersebut ada yang tidak menunjukkan hubungan implementasi sikap dan pola perilaku hukum kewarisan yang dilakukannya. Oleh karena itu, bila diamati tidak ditemukan hubungan yang nyata antara kesadaran hukum yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan dan pemahaman responden mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bahan dari ajaran agamanya yang tidak terpisahkan dari dimensi iman dan akhlak. Ada beberapa alasan yang ditemukan yaitu yang pertama, responden tidak pernah mendapatkan secara nyata pendidikan mengenai sistem hukum kewarisan
Universitas Sumatera Utara
66
Islam. Sehingga apa saja yang ditemukan mengatur masalah kewarisan dalam lingkungan adat
masyarakat muslim dianggapnya suatu aturan yang baku yang
sesuai dengan hukum kewarisan Islam. Yang kedua, pembagian harta warisan jarang sekali dialami oleh responden dan apabila terjadi padanya, umumnya responden hanya mengalaminya sekali atau dua kali seumur hidup yaitu ketika orang tuanya meninggal dunia. Yang ditemukan diantara hukum kewarisan adat dan Islam adalah pembagian harta warisan bahwa harta peninggalan pewaris ditemukan tidak serta merta dimiliki secara mutlak oleh setiap ahli waris berdasarkan asas individual, melainkan pengalihan harta kepada ahli warisnya berbentuk pembagian hasil usaha dagang. Selain itu, perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat yang dapat ditemukan bila menggunakan analisis yang tidak dipengaruhi oleh politik hukum kolonialis Belanda (politik hukum yang selalu mencari pertentangan dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan adat). Namun, jika dilihat diantara keduanya mempunyai titik pertemuan, yakni harta peninggalan pewaris tidak dimiliki secara mutlak oleh setiap ahli waris berdasarkan asas individual, melainkan dinikmati bersama oleh semua kerabat pewaris. Lain halnya, sikap responden mayoritas yang memilih sistem hukum kewarisan Islam dan sistem kewarisan adat sebagai sistem hukum yang sebaiknya mengatur masalah kewarisan. Pilihan responden tidak menunjukkan sikap yang konsisten atau sikap yang sebenarnya karena faktanya tidak menjamin terbuktinya pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Bahkan ditemukan adanya pertentangan antara pilihan dengan sikap.
Universitas Sumatera Utara
67
Faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum di masyarakat antara lain yaitu masyarakat merasa hukum di Indonesia terutama dalam hal ini yang dibahas yaitu Hukum Waris Islam belum bisa memberikan jaminan terhadap mereka. Kebanyakan dari mereka masih belum mengerti dan memahami bahasa dari hukum, sehingga kesadaran masyarakat terhadap hukum itu kurang terutama Hukum Waris Islam. Aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana hukum itu sendiri masih belum bisa untuk benar-benar menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan. Malah sering aparat penegak hukum melanggar hukum. Hal ini membuat masyarakat menjadi memandang remeh aparat penegak hukum. Sehingga dalam hal ini kesadaran hukum Waris yang dimiliki masyarakat Batak Toba yang beragama Islam di kota Medan sangat kurang sekali, hanya sebahagian kecil yang mengetahui Hukum Waris Islam tersebut. Dengan adanya kesadaran hukum masyarakat Batak Toba yang beragama Islam hendaknya melaksanakan Hukum Waris berdasarkan syariat Islam, hendaknya pengaruh adat dikurangi dan sebaiknya ada sosialisasi hukum tentang Hukum Waris Islam oleh tokoh-tokoh agama sehingga masyarakat khususnya dalam hal ini masyarakat Batak Toba mengetahuinya. D. Pengaruh Hukum Waris Adat Bagi Orang Batak Toba Muslim 1. Faktor-Faktor Perkembangan Hukum Waris Adat Ada banyak istilah yang dipakai untuk memahami hukum lokal yaitu hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia yaitu
Universitas Sumatera Utara
68
hukum adat.73 Dimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembangannya politisi, birokrat, hakim, dan masyarakat itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam juga faktor-faktor yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut :74 a. Magis dan Animisme Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara adat yang bersumber pada kekuasaankekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib. b. Faktor agama Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum adat. c. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaan raja-raja. Ada juga raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang
73
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta: 2006, hal. 21. 74 Bewa Ragawuno, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, dalam http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/pengantar_ dan_asas_asas_hukum_ adat_ istiadat.pdf (Diakses pada 28 Mei 2009).
Universitas Sumatera Utara
69
terjadi dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala adat. Dengan banyak ragamnya komunitas masyarakat adat dengan hukum adatnya masing-masing, walaupun hukum-hukum adat itu akan diakomodir dalam hukum nasional. Selain keberlakuannya sangat terbatas pada masyarakat adat itu sendiri.75 Dalam hubungan itu tidaklah menjadikan hukum adat sebagai hukum tidak memiliki nilai. Eksistensi hukum adat disamping hukum-hukum lainnya akan tampak sangat penting apabila hukum dipahami dalam pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial. Inti dari keberadaan hukum ialah keadilan dan kebahagiaan, bukan sekedar rasionalitas tapi kebahagiaan diatas segalanya. Oleh karena itu, para penyelenggara hukum di negeri ini semestinya merasa gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyatnya bahagia.76 Apalagi keberadaan hukum itu meresahkan dan menindas rakyatnya. Salah satu yang menjadi kegelisahan sampai saat ini ialah keberadaan hukum adat bagi masyarakat adat. Padahal kita tahu, hukum adat telah lama hidup bahkan sebelum kodifikasi dan unifikasi hukum dilakukan di Indonesia. Konsepsi 75 76
Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1989, hal. 96. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2006, hal.
12-13.
Universitas Sumatera Utara
70
pluralisme hukum muncul sebagai bantahan bahwa hukum negara merupakan satusatunya petunjuk dan pedoman tingkah laku. Padahal pada lapangan sosial yang sama, terdapat lebih dari satu tertib hukum yang berlaku.77 Dengan pengaruh ajaran hukum Islam dimasa sekarang nampak ada kecenderungan untuk tidak lagi mempertahankan sistem perkawinan eksogami (orang diharuskan kawin dengan orang diluar suku keluarganya) atau endogami (orang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku keluarganya sendiri), walaupun keinginan golongan tua masih ingin mempertahankannya. Dilingkungan Batak yang sebagian besar menganut agama kristen, masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya eksogami, namun sistem ini sudah mulai luntur karena pengaruh ajaran hukum Islam. Menurut Bushar Muhammad perkembangan Hukum Waris Adat pada masyarakat petrilineal disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:78 1. Faktor pendidikan Akibat faktor ini manusia menjadi lebih rasional dari sebelumnya untuk melakukan perbuatan yang lebih banyak memakai logika, perhitungan. Hal ini berpengaruh khususnya dalam waris adat Batak yang dulunya hanya anak laki-laki saja yang berhak mendapat warisan (sistem patrilineal). Dengan berpikir secara logika orang akan cenderung memilih dalam hal pembagian harta warisan yang sama rata. 2. Faktor revolusi/ perang Revolusi adalah perubahan besar dan mendalam pada masyarakat, yang berlangsung dalam tempo yang sangat cepat seperti cara kebiasaan, tempat tinggal, nsikap sehingga timbul persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. 3. Faktor ekonomi 77
Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, 2007, hal. 73. 78 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
71
Sangat erat hubungannya pada bidang tekhnologi, dan industrialisasi, sehingga dapat mempengaruhi tata hubungan dalam masyarakat yaitu lebih rasional berdasarkan perhitungan untung rugi. 4. Faktor Yurisprudensi 79 Di dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada pasal 1 dikatakan : kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam mencari jalan penyelesaian sengketa mengenai harta warisan, pada umumnya masyarakat adat menghendaki penyelesaian yang rukun dan damai. 2. Pengaruh Ajaran Agama Islam Dalam Hukum Kewarisan Adat Perkembangan hukum adat terjadi, salah satunya disebabkan adanya hukum atau peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku yang dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum kewarisan adat yang tidak islamiyah dan pihak lain hukum kewarisan adat yang tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam bertentangan dengan hukum kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya yang berlaku di lingkungan adat masyarakat.80 Adapun persesuaian dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dalam pelaksanaannya dalam beberapa asas hukum mengenai
79
M. Rasyid Ahmad, Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal 24-38. 80 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 226.
Universitas Sumatera Utara
72
pewaris, ahli waris, harta warisan, pengalihan harta dan bagian masing-masing ahli waris. Hal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :81 1. Kedudukan Orang Tua Kedudukan orang tua baik ayah maupun ibu dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam dan hukum adat dalam lingkungan adat masyarakat muslim disebut pewaris bila mereka (ayah atau ibu atau keduanya) meninggal dunia. Dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada anak-anaknya yang masih hidup. Penentuan anak sebagai ahli waris didasari oleh hubungan kekerabatan. 2. Kedudukan Anak Kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan di dalam pelaksanaan pembagian harta warisan merupakan ahli waris kelompok utama. 3. Kedudukan Harta Asal Mengenai kedudukan harta asal bila pewaris meninggal dunia tanpa anak, melainkan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari orang tua dan suami atau isteri. Dalam hal harta warisan menjadi sengketa, karena dikuasai oleh salah seorang atau beberapa orang ahli waris atau dikuasai oleh orang yang tidak berhak mendapat harta warisan maka penyelesaian kasus demikian dilakukan dengan cara hakim melihat silsilah pewaris, bukti-bukti yang menguatkan barang sengketa, dan saksi-saksi dari penggugat dan tergugat. 4. Kedudukan pengalihan harta melalui wasiat 81
Ibid
Universitas Sumatera Utara
73
Mengenai kedudukan pengalihan harta melalui wasiat pewaris kepada salah seorang atau beberapa orang ahli waris yang tertentu. Apabila terdapat ahli waris yang tidak menyetujui dan menggugat ke Pengadilan untuk mendapatkan harta warisannya, maka hakim membatalkan wasiat dan menetapkan pembagian hak warisan kepada seluruh ahli waris. Hubungan hukum adat dengan hukum Islam telah lama berlangsung, hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibeberapa daerah, hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya. Makna hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara) erat sekali, saling topang menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara (hukum Islam) itu sendiri.82 Perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan yang menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari upacara waktu melangsungkan perkawinan itu. Karena penglihatan yang demikian, mereka lebih menghargai dan menghidup-hidupkan perkawinan menurut hukum adat saja daripada perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam. E. Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan Manusia adalah mahluk yang dikaruniai oleh Allah SWT dengan berbagai kelebihan dibanding mahluk-mahluk Allah yang lainnya. Yang paling istimewa adalah bahwa manusia dikaruniai akal sebagai bekal melaksanakan tugas utama 82
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Persfektif Islam, Adat, dan BW, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
74
dibumi ini baik sebagai khalifah Allah maupun sebagai hamba Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas yang bernuansa hukum. Selama melakukan aktivitasnya, manusia berarti melakukan tindakan hukum tetapi permasalahannya banyak manusia yang tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan tindakan hukum. Agar apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada, manusia harus memahami dan menyadari berbagai aturan hukum yang terkait. Hukum kewarisan yang bahkan sampai sekarang (baik Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam maupun Hukum Waris Barat) merupakan hukum positif yang ditetapkan atau ditegakkan (enforcement) pengadilan. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, bermacam-macam hukum kewarisan tersebut walau tanpa kodifikasi tanpa unifikasi, tidak berarti tidak ada hukum nasional. Keanekaragama hukum kewarisan tersebut diatas tidak semata-mata sebagai fenomena normatif dan politik hukum, melainkan karena faktor sosiologis, cultural, keyakinan dan lain sebagainya. Demikian juga seperti hukum waris adat juga beraneka ragam, seperti hukum waris menurut susunan masyarakat patrilineal, matrilineal, dan parental yang masingmasing susunan masyarakat tersebut dapat dijumpai perbedaan-perbedaan dalam hukum kewarisannya. Baik berkenaan dengan pengertian pewarisan, obyek pewarisan, pewarisan, penerima waris, cara-cara pewarisan, kewajiban pembagian warisan, pelaksanaan pembagian warisan. Hubungan antara pewarisan dengan hakhak pihak ketiga, hubungan pewarisan dengan hak-hak perolehan hak lainnya (seperti hibah,wasiat dan lain-lain), asa-asas yang mengatur hubungan antara sistem
Universitas Sumatera Utara
75
kewarisan yang berbeda yang meliputi asas-asas apabila ada sengketa, titik taut antara sistem hukum kewarisan dan obyek atau subyek kewarisan yang tidak berada dalam yurisdiksinya. Setiap Muslim seharusnya atau bisa dikatakan wajib memahami permasalahan hukum, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-harinya tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan ibadah kepada Allah
maupun
ketika
dia
melakukan
hubungan
sosial
di
tengah-tengah
masyarakatnya. Memahami hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat begitu kompleksnya permasalahan hukum Islam. 83 Dibutuhkan kualifikasi yang cukup lama untuk hal tersebut. Seseorang yang ingin mendalami hukum Islam harus memahami dahulu permasalahan Islam secara umum, karena hukum Islam merupakan bagian dari ajaran Islam, bukan keseluruhannya. Bahwa hukum Islam telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Keberadaan hukum Islam sangat ditentukan oleh keberadaan umat Islam. Pada perkembangan selanjutnya hukum Islam menjadi salah satu bidang kajian ilmiah di antara bidang-bidang kajian dalam Islam. Dalam perjalanan kodifikasi hukum nasional Indonesia, keberadaan hukum Islam menjadi sangat penting, hukum Islam juga menjadi inspirator dan dinamisator dalam pengembangan hukum nasional. Dalam pasal 29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) neraga Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini hanya dapat ditafsirkan antara lain:
83
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Cetakan I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
76
a. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha. Hali itu berarti di dalam wilayah negara Republik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia. b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Ini berarti negara harus menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggaraan negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. c. Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut gamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing.84 Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) pasal 29 UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan, pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam Negara Republik Indonesia. Menurut pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970
84
H. Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
77
peradilan di Indonesia harus dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.85 Sehingga berdasarkan penelitian, pada umumnya pelaksanaan Hukum Waris pada masyarakat Batak Toba di Kota Medan sebagian besar memakai Hukum Waris Islam, dengan terciptanya kesadaran hukum yang ditanamkan dari setiap masyarakat Batak Toba di Kota Medan maka dalam pembagian harta warisannya menggunakan Hukum warisan Islam karena pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam merupakan bagian dari ajaran agamanya dan menjadi kewajiban agama Islam baginya. Dan unsur-unsur adat mulai berkurang dengan sendirinya Sehingga masing-masing ahli waris mengetahui haknya sesuai hukum faraidh. Pembagian secara waris Islam merupakan pembagian dengan nilai keadilan yang paling tinggi karena keadilan yang telah diterapkan otomatis akan mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga. Dan hanya sebagian kecil masyarakat Batak Toba yang menggunakan berdasarkan Hukum Adat. F. Proses Pewarisan Dan Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Adat Proses pewarisan adalah merupakan suatu cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan kepada ahli waris pada waktu pewaris masih hisup dan bagaimana cara pewarisan itu diteruskan penguasaan serta bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada ahli waris setelah meninggal dunia. Sedangkan mengenai cara pembagian dapat berupa penangguhan pembagian
85
Ibid, hal.10
Universitas Sumatera Utara
78
atau pembagian dilakukan dengan cara berimbang atau berbanding seperti hukum Islam. 1. Pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal dunia a) Harta peninggalan yang dibagi-bagi Jika harta seorang yang meninggal dunia tersebut akan dibagikan, kapan dan bagaimana cara pembagiannya dilaksanakan. Hukum adat tidak menetukan kapan pembagian harta warisan itu dilakukan dan siapa yang membaginya. Biasanya pembagian harta warisan baru akan dibagikan setelah acara selamatan si pewaris yang sudah meninggal. Hukum adat juga tidak mengenal pembagian secara perhitungan matematis. Tetapi atas perimbangan karena mengingat wujud benda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Sehingga, walaupun hukum adat mengenal asas persamaan hak bukan berarti setiap ahli waris mendapat bagian yang sama. b) Harta peninggalan yang tidak dibagi-bagi Harta warisan yang tidak dibagi-bagi pembagiannya, biasanya dikuasai oleh anak (tertua), janda, anggota keluarga lainnya dan tua-tua adat. Bagi yang menguasai harta warisan tersebut, bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala hal yang berkaitan dengan harta tersebut, baik berupa hutang maupun piutang serta pewaris untuk kelangsungan hidupnya. Pada masyarakat patrilineal, yang menganut sistem perkawinan jujur maka isteri masuk anggota kekerabatan suami dan janda tetap dapat menguasai serta
Universitas Sumatera Utara
79
menikmati warisan selama hidupnya untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan hidup anak-anaknya. G. Prinsip dasar pembagian harta warisan 1. Subyek hukum waris Subyek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris.86 Namun karena pengaruh agama dan hubungan kekerabatan, orang yang semula bukan ahli waris utama dimasukkan dalam kelompok waris utama. Sehingga berhak atau tidaknya menjadi ahli waris dipengaruhi oleh sistem kekerabata dan juga agama. Apabila ahli waris kelompok utama tidak ada, maka kedudukannya diganti oleh ahli waris kelompok lain. Garis pokok keutamaan ini merupakan garis hukum yang menentukan urutan-urutan diantara kelompok atau golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian golongan satu atau lebih diutamakan dari golongan yang lain. Dengan mendasarkan persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan maka bagian warisan masing-masing adalah sama besar (satu banding satu). Sehingga Mahkamah Agung melalui Keputusan No.179 K/Sip/1961 menetapkan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. 2. Anak Angkat Pengangkatan anak dibeberapa daerah lingkungan hukum adat Indonesia ternyata tidak sama. Sehingga berakibat pula pada perbedaan kedudukan anak angkat tersebut. Dalam hukum Islam, kedudukan anak angkat tetap diletakkan diluar ahli 86
Usman, Suparman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Cetakan ke 2, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
80
waris, namun dengan mengadaptasi nilai Hukum Adat secara terbatas kedalam nilai Hukum Islam karena beralihnya tanggung jawab orang tua asal kepada orang tua angkat mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan berdasarkan putusan pengadilan, seperti yang disebutkan dalam huruf h Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, maka terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta warisan orang tua angkatnya. Mengenai kedudukan anak angkat dalam harta warisan orang tua angkatnya, bahwa dia bukan ahli waris seperti anak kandung. Anak angkat bukan ahli waris yang berstatus seperti anak kandung tetapi hanya hendak mendapat bagian harta bersama orang tua angkat, sedangkan harta asal tetap kembali ke asal dan berhak pula harta warisan orang tua kandungnya. 87 Didalam kehidupan masyarakat hukum adat di Indonesia para ahli waris tidak terlepas dari pengaruh sistem keturunan, sistem perkawinan, sistem kewarisan, jenis harta warisan dan kedudukan dari para ahli waris itu sendiri. Garis pokok ahli waris menurut hukum waris adat dimana ditentukan siapa-siapa yang berhak sebagai ahli waris tergantung pada : 88 1. Garis Pokok Keutamaan Garis pokok yang menentukan pengurutan keutamaan antara golongangolongan dalam keluarga pewaris dalam arti golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain dengan akibat suatu golongan belum boleh masuk perhitungan jika masih ada golongan yang lebih utama, dengan kata lain golongan terdekat dengan pewaris menutup golongan yang lebih jauh. 2. Garis pokok penggantian 87 88
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1976, hal. 64. Op.cit. Soerjono Soekanto, hal. 261.
Universitas Sumatera Utara
81
Adalah suatu cara menentukan siapa ahli waris yang sesungguhnya diantara para ahli waris dari pewaris. Sedangkan pada masyarakat patrilineal murni yang melakukan perkawinan jujur dimana isteri masuk kedalam keluarga suami maka apabila pewarisnya adalah laki-laki (suami) maka susunan kelompok keutamaannya sebagai berikut : 89 1. Kelompok keutamaan I terdiri dari anak laki-laki dan keturunan yang laki-laki 2. Kelompok keutamaan II terdiri dari ayah pewaris saja 3. Kelompok keutamaan III terdiri dari saudara laki-laki beserta keturunan lakilaki 4. Kelompok keutamaan IV terdiri dari kakek pewaris saja 5. Kelompok keutamaan V terdiri dari saudara laki-laki dari ayah beserta keturunan laki-laki. Apabila pewarisnya adalah perempuan (isteri) maka tidak ada kelompok keutamaan karena harta langsung dikuasai oleh suami tetapi apabila isteri meninggal sebagai janda dalam keluarga suami (suami telah meninggal lebih dulu) maka kelompok keutamaannya adalah sebagai berikut : 1. Kelompok keutamaan I terdiri dari anak laki-laki dan keturunan yang laki-laki. 2. Kelompok keutamaan II terdiri dari ayah mertua. 3. Kelompok keutamaan III terdiri dari saudar laki-laki suami beserta keturunan laki-laki. 4. Kelompok IV terdiri dari kakek suami. 5. Kelompok V terdiri dari saudara laki-laki dari ayah mertua beserta keturunan yang laki-laki. Dengan demikian pada masyarakat patrilineal yang menjadi ahli waris utama adalah anak laki-laki dan apabila tidak mempunyai anak laki-laki maka dapat digantikan oleh anak perempuan sebagai laki-laki atau dengan pengangkatan anak laki-laki. Apabila tidak mengangkat anak maka warisan diteruskan kepada ayah yang 89
Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
82
masih hidup, apabila ayah sudah meninggal dunia maka digantikan oleh saudara lakilaki, apabila tidak ada saudara laki-laki maka tampil sebagai pengganti paman pewaris dan segala sesuatu ditetapkan atas dasar musyawarah dan mufakat oleh para anggota keluarga yang keturunan laki-laki. Bagian ahli waris menurut Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Duda, mendapatkan ½ bagian apabila tidak mempunyai anak. Duda, mendapatkan ¼ bagian apabila mempunyai anak. Janda, mendapatkan ¼ bagian apabila tidak mempunyai anak. Janda, mendapatkan 1/8 bagian apabila mempunyai anak. Ibu, mendapatkan 1/3 bagian dari sisa pewaris tidak mempunyai anak atau lebih dari satu saudara. 6. Ibu, mendapatkan 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil janda atau duda apabila bersama-sama dengan bapak. 7. Bapak, mendapat 1/3 bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak. 8. Anak perempuan, mendapatkan ½ bagian apabila ia tunggal. 9. Anak perempuan, mendapatkan 2/3 bagian apabila pewaris memiliki lebih dari satu anak perempuan. 10. Cucu, menggantikan kedudukan orang tuanya, sebagai ahli waris pengganti bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 11. Anak luar kawin, hanya mempunyai hubungan waris dengan ibu dan keluarga pihak ibu. 12. Anak angkat mempunyai hubungan waris dengan orang tua kandung dan kerabat-kerabatnya. Sementara itu, orang tua angkat hanya dapat memperoleh warisan dari anak angkatnya melalui wasiat yang besarnya maksimum 1/3 dari seluruh warisan anak angkatnya. Begitu pula anak angkat hanya dapat memperoleh warisan dari orang tua angkatnya melalui wasiat yang besarnya 1/3 dari seluruh warisan orang tua angkatnya. 90 Perkembangan Hukum Waris Adat dalam Adat Batak Toba 1. Pembagian warisan dalam adat Batak Toba a. Pada waktu pewaris masih hidup 90
Loc.cit, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
83
Pada masyarakat Batak yang bersistem patrilineal, umumnya yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa anak-anak perempuannya tidak mendapat apa pun dari harta kekayaan ayahnya. Di suku Batak Toba, telah menjadi kebiasaan untuk memberikan tanah kepada anak perempuan yang sudah menikah dan kepada anak pertama yang dilahirkan olehnya. b. Pada waktu pewaris sudah meninggal dunia Pewaris meninggal dunia meninggalkan isteri dan anak-anak, maka harta warisan terutama harta bersama suami isteri yang didapat sebagai hasil pencaharian bersama selama perkawinan dapat dikuasai oleh janda dan dapat dinikmatinya selama hidupnya untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan hidup anak-anaknya. 2. Kedudukan anak perempuan Kedudukan dalam hal ini dapat diartikan sebagai status dalam mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai keluarga, kerabat dari masyarakat. Kata kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, status keadaan.91 a. Kedudukan sebagai isteri Seorang siteti didalam sebuah keluarga wajib menjaga keutuhan rumah tangganya. Isteri adalah pendamping suami dalam menegakkan rumah
91
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, balai Pustaka, Jakarta, 1976,
hal.38.
Universitas Sumatera Utara
84
tangga. Sejak perkawinan isteri telah masuk kedalam keluarga suaminya. Walaupun sebenatnya hubungan itu tetap masih ada sebagaimana yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Isteri telah menjadi hak dan tyanggung jawab dari suaminya dan isteri mempunyai hubungan hukum semata-mata bukan hanya terhadap suami saja tetapi juga terhadap kerabat suaminya. Oleh karena itu, apabila dalam sebuah keluarga hanya mempunyai anak perempuan maka keluarga tersebut dianggap punah. Ini karena pengaruh dari sistem kekeluargaan patrilineal. b. Kedudukan sebagai anak Hukum adat Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya yang membedakan kedudukan anak laki-laki dengan perempuan. Anak laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak. Dalam masyarakat Batak Toba yang menjadi ahli waris adalah anak lakilaki, sedangkan anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah. Tetapi dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968 No. 136 K/SIP/1967, Mahkamah Agung telah membenarkan putusan Pengadilan Tinggi yang merupakan hukum adat Batak, Holong Ate atas pembagian harta warisan di daerah Padang Sidempuan. Hukum asat Batak Holong Ate telah memberikan bagian warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan kemajuan
Universitas Sumatera Utara
85
kedudukan perempuan dan hak perempuan di tanah Batak pada khususnya dan perantauan pada umumnya. Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa anak perempuan adalah merupakan satu-satunya ahli waris yang berhak atas harta warisan yang ditinggal pewaris sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Juli 1973 nomor 1037 K/SIP/1971. H. Pengaruh Hukum Islam Terhadap Hukum Adat Pada pertengahan abad ke-19, hukum agama dalam hal ini hukum Islam dan hukum kebiasaan berlaku sama kuat sepanjang dihormati oleh masyarakat dan selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, semakin lama bukan semakin erat, melainkan semakin terasa renggang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya ialah sebagian besar ulama Indonesia menganut pendapat bahwa pintu ijtihad sudah ditutup, disamping situasi dan kondisi juga sudah sedemikian jauh bedanya dengan yang ada pada zaman pengarang kitab-kitab fiqih dahulu. Ditutupnya pintu ijtihad itu dikarenakan dikuatirkan akan terjadi kekacauan dalam bidang Hukum Islam, lebihlebih karena Hukum Islam pada waktu itu tidak lagi merupakan hukum positif yang dijalankan pemerintah, melainkan hanya diserahkan saja kepada pilihan pribadipribadi yang bersangkutan. Terjadinya hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam adalah disebabkan oleh dua hal. Pertama, diterimanya hukum Islam itu oleh masyarakat, seperti hukum perkawinan di Indonesia. Kedua, Islam dapat mengakui Hukum Adat itu dengan syarat-syarat tertentu, seperti adat gono-gini di jawa, gunakaya di sunda,
Universitas Sumatera Utara
86
harta suarang di minangkabau, dan lain-lain.
92
Diantara syarat-syarat dapat
diterimanya Hukum Adat oleh Islam adalah : 1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan diakui oleh pendapat umum. 2. Tidak ada persetujuan lain dari kedua belah pihak 3. Tidak bertentangan dengan Nash, baik Al-Qur’an maupun Hadits. Nash yang dimaksudkan disini, yaitu Nash yang tidak didasarkan atau dipengaruhi oleh sesuatu adat kebiasaan sebelumnya. Contoh Nash yang didasarkan kepada adat sebelumnya, Abu Yusuf mengemukakan Hadits jual-beli gandum, ditakar dengan sukatan. Itu tidak berarti bahwa jual-beli gandum sekarang dengan ditimbang tidak boleh karena hadits tersebut didasarkan pada kebiasaan pada masa itu,bukan soal prinsip.93 Kenyataan menunjukkan bahwa yang demikian dapat dipertahankan kebenarannya, selama seorang muslim tadi tidak menghadapi masalah harta benda. Tetapi kalau sudah menghadapi masalah harta benda, maka tidak semua muslim berpendiriran demikian. Ada yang lebih mengutamakan keuntungan yang berupa harta benda dari pada mentaati Hukum Islam, selama kesempatan untuk itu ada. Oleh karena itu untuk mengatakan bahwa Hukum Islam itu sudah diterima oleh masyarakat, tidak perlu kita mengatakan dan membuktikan bahwa Hukum Islam itu sudah diterima oleh setiap orang Islam, cukup kalau sudah diterima oleh sebahagian
92 93
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, Jakarta: Bulan Bintang, 1965, Hal. 72. Prof. Kusumadi Pudjosewojo, Pengantar Hukum Adat, Jakarta: tt, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
87
besar mereka. Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik), maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap demikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Universitas Sumatera Utara