INVENTARISASI PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Komunitas Adat Terpencil dapat dipahami sebagai komunitas manusia yang menghadapi berbagai keterbatasan untuk dapat menjalani kehidupan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mereka mendiami daerah-daerah yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah, muara sungai, pantai dan pulau-pulau kecil. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat terbatas, baik dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar, sosial-psikologis dan pengembangan. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden. Mereka menjalani kehidupan dengan cara-cara yang sangat sederhana, dan jenis kegiatan ekonomi yang ditekuninya seperti pertanian, nelayan, berburu dan berburu. Mereka mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan sosial, ekonomi dan politik (Dit PKAT, 2003). Sebagai respon atas kondisi kehidupan KAT tersebut, Departemen Sosial RI telah menyelenggarakan program pemberdayaan terhadap mereka yang dimulai sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan istilah masyarakat terasing. Meskipun demikian sampai dengan tahun 2006 populasi KAT
masih cukup
besar, yaitu 267.550 KK atau sekitar 1,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut yang belum diberdayakan masih banyak, yaitu 193.185 KK atau 72 persen, sudah diberdayakan mencapai 61.188 KK atau 23 persen dan yang sedang diberdayakan mencapai 13.177 KK atau 5 persen. Meskipun program pemberdayaan telah dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara optimal menyentuh persoalan pokok kehidupan anggota KAT. Mereka memang telah berdaya secara sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis dan hukum. Sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 pada artikel ke dua (2) disebutkan, bahwa negara sudah seharusnya bertanggungjawab untuk memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan yang sama melalui peraturan
hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon Konvensi tersebut dengan diundangkannya Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan KAT, mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan KAT. Namun demikian dalam implementasinya belum secara optimal memberdayakan KAT, termasuk dalam hal pemberian hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Berdasarkan hasil penelitian UNDP tahun 2006 tentang Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia yang dilakukan di 10 provinsi, ditemukan beberapa informasi berikut: 1. Adanya ketidaktahuan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah melalui instansi dan dinas yang mengurusi masyarakat adat terhadap produk hukum daerah mengenai masyarakat adat yang sedang berlaku di daerahnya. 2. Hampir semua dinas yang mengurusi bidang kesejahteraan sosial bagi KAT yang didatangi mengaku tidak mengetahui produk hukum daerah mengenai adat-istiadat, lembaga adat dan hak ulayat yang tengah berlaku di daerahnya. 3. Menunjukkan bahwa produk hukum daerah tersebut tidak pernah digunakan oleh dinas dan instansi daerah untuk mendesak tersedianya dana bagi pemberdayaan KAT.
Dewasa ini keberadaan KAT tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT. Dalam deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak KAT sebagai komunitas manusia maupun sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi PBB tersebut semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi KAT. Dalam rangka merespon berbagai tuntutan terhadap pelayanan dan perlindungan KAT di Indonesia, maka sangat diperlukan Peraturan Perundang2
Undangan yang lebih tinggi lagi dari Keputusan Presiden RI, yaitu berupa Undang-Undang (UU KAT). Undang-undang ini akan menjadi payung hukum secara nasional yang akan menjadi acuan dasar bagi pemerintah maupun masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT. Selain itu, adanya Undang-Undang KAT ini memperlihatkan kesungguhan negara Indonesia di mata dunia internasional dalam upaya memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT, sebagaimana di negara-negara di dunia. Dengan demikian, adanya Undang-Undang KAT ini ke dalam negeri sebagai dasar hukum pengakuan dan tanggung jawab negara terhadap KAT; dan ke dunia internasional sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap isu-isu global dan menjadi komitmen di dalam Development Mellineum Goals (MDC’s) yanga antara lain kemiskinan, ketelantaran dan keterbelakangan. Dalam kerangka itu, maka Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil – Departemen Sosial RI melaksanakan kegiatan : INVENTARISASI PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT. Ada tiga aspek yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini, yaitu (1) bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat,
(2). bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT
tersebut di lapangan dan (3). kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT
B. PERMASALAHAN Pengakuan hukum terhadap keberadaan dan perlindungan bagi KAT belum tergambar secara jelas, untuk itu diperlukan penelusuran guna mencari tahu tentang: “ PENGATURAN-PENGATURAN HUKUM DILIHAT DARI ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RUU KAT/MASYARAKAT HUKUM ADAT/ MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA” Berdasarkan permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan berikut : 1. Bagaimana bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat ?)
3
2. Bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di lapangan? 3. Kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT 4. Bagaimana harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan realisasi dari pengakuan hukum tersebut? 5. Bagaimana kerangka konsep yang holistik sebagai acuan penyusunan RUU KAT ? C. TUJUAN DAN MANFAAT Inventarisasi data dalam rangka pengembangan hukum terhadap KAT bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk
tertulis
(Peraturan,
Perundangan,
Perda,
Pedoman,
Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat 2. Diketahuinya implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di lapangan 3. Mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT 4. Mengidentifikasi harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan realisasi dari pengakuan hukum tersebut
Hasil inventarisasi data tentang pengakuan hukum terhadap KAT ini digunakan sebagai bahan penyusunan kerangka konsep yang holistik untuk acuan penyusunan RUU KAT di Indonesia.
4
D.
METODE YANG DIGUNAKAN 1. Metode Inventarisasi data ini merupakan penelitian eksploratif. Studi eksploratori dilaksanakan untuk mengungkapkan suatu fenomena atau masalah dimana pengetahuan yang jelas atau gagasan-gagasan yang dapat digunakan sukar didapat. Menurut Suhartono (1995), studi eksploratori tekanan utamanya untuk menemukan ide (gagasan) atau pandangan. Pada akhir studi penjajagan, diharapkan dapat merumuskan masalah studi dengan lebih tepat, atau hipotesis penelitian untuk diuji dalam penelitian lebih lanjut. Pengumpul data akan membaca dan menganalisis terhadap bahan primer maupun sekunder yang ditemukan selama kegiatan berlangsung,
Bahan-
bahan tersebut berupa pengakuan hukum terhadap KAT, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: a.
Studi Pustaka Serangkaian kegiatan penelusuran bukti-bukti tertulis yang relevan dengan tujuan.
b.
Wawancara Mendalam Serangkaian kegiatan melakukan tatap muka dan komunikasi dengan informan yang terkait pengakuan hukum terhadap KAT.
3. Informan Informan dalam penelitian ini adalah : a.
Di tingkat Provinsi meliputi : 1). Biro Hukum dan Perundang-Undangan Provinsi 2). Sekretariat Dewan tingkat I 3). Bappeda Provinsi 4). Ketua Lembaga Adat Provinsi 5). Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi 6). LSM/NGO yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat
5
7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan, kehutanan, BPN, dll).
b.
Di tingkat Kabupaten meliputi : 1). Biro Hukum dan Perundang-Undangan Kab. 2). Sekretariat Dewan tingkat II 3). Bappeda Kab. 4). Ketua Lembaga Adat Kab. 5). Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi 6). LSM/NGO yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat 7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan, kehutanan, BPN, dll).
4. Lokasi Kajian Kajian dalam rangka inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) dan Hukum Adat ini dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia, yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Banten Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Bali
l. Nusa Tenggara Barat m. Nusa Tenggara Timur n. Papua
5. Teknik Analisa Data Analisis data dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini memaknai informasi yang dihimpun berdasarkan kajian teoritis. Prosesnya dimulai dari mengumpulkan instrumen yang telah diisi dari lapangan, dan kemudian
6
dicermati aspek-aspek dan karakteristik informasinya. Selanjutnya dipilah menurut aspek-aspek dan diberikan interpretasi pada setiap aspek tersebut sesuai dengan tujuan kajian yang telah ditetapkan. E. SISTEMATIKA Laporan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : Bab I, Pendahuluan, di dalamnya memuat tentang pendahuluan, permasalahan, tujuan dan manfaat, metode yang digunakan dan sistematika penulisan laporan. Bab II, Masyarakat dan Kebudayaan dalam Konteks Pemberdayaan Sosial, di dalamnya memuat konsep tentang adat dan hukum, masyarakat, wilayah KAT, sistem, kebudayaan dan kewilayahan. Bab III, Peraturan Daerah dan Hukum Adat, di dalamnya memuat peraturan daerah dan hukum adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Bab IV, Dimensi Yuridis dan Empiris Masyarakat Hukum Adat, di dalamnya memuat dimensi yuridis dan empiris masyarakat hukum adat. Bab V, Penutup, di dalamnya memuat kesimpulan dan saran perlunya Peraturan Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.
7
BAB II MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN SOSIAL
A. ADAT DAN HUKUM Apabila kita berbicara tentang adat “custom” berarti kita berbicara tentang wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturanaturan serta hukum yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya. Sementara adat-istiadat (customs) merupakan kompleks konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu. Hukum (law) adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang terdiri atas aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain norma tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan. A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia, Nilai Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi kehidupan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan memperhatikan norma lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai tradisional. Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan
8
perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat penataan keseluruhan. B. MASYARAKAT Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI), PN. Balai pustaka 1982 halaman 636 menyebutkan: “Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki normanorma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut)”. Lingkungan masyarakat adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan individu dengan kelompok dan pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas dimana lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya. Lingkungan sosial dimaksud dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompokkelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebahagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan atau kelompok sosial. Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa termasuk dalam dan menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan, anggota organisasi tempat 9
tinggal, anggota organisasi di tempat kerja, anggota perkumpulan tertentu, dsb. Dari itu macam-macam masyarakat bisa berdimensi sbb: 1. Masyarakat industri (Industrial society); 2. Masyarakat petani (Peasant society); 3. Masyarakat majemuk (Plural society); 4. Masyarakat tidak bertempat tinggal tetap (nomadic society); 5. Masyarakat produksi dan konsumsi sendiri (subsistens society); 6. Masyarakat modern (Modern society); 7. Masyarakat tradisional (traditional society) 8. Masyarakat konkrit (concrete society); 9. Masyarakat abstrak (abstract society); 10. Masyarakat feodal (feudal society); 11. Masyarakat irigasi (hydraulic society) 12. Masyarakat berburu dan peramu (extractive society)
Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial yaitu pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Sesuai dengan penggolongan dalam kebudayaan yang bersangkutan dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasisituasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud. C. WILAYAH KAT Wilayah KAT berdasarkan ciri-ciri geografisnya dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Daerah pedalaman (hinterland) yaitu daerah yang jauh dari pantai dan laut yaitu mereka yang hidup di paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau dekat kaki lereng gunung atau dipuncak-puncak gunung; 2. Daerah di paling hilir sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat; 3. Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu dan meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang jauh dari perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat; 10
4. Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu dan meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang tidak terlalu jauh dari dan enggan memanfaatkan perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat terdekat; 5. Daerah yang masyarakatnya hidup di pulau-pulau terpencil yang jauh dari jangkauan masyarakat kepulauan lainnya yang berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat; D. SISTEM Sistem (system) adalah rangkaian hal, kejadian, gejala, atau unsur yang berkaitan satu dengan lain sehingga merupakan kesatuan organis. Sistem budaya (cultural system) yaitu rangkaian gagasan, konsepsi, norma, adat-istiadat yang menata tingkahlaku manusia dalam masyarakat dan yang merupakan wujud ideologis kebudayaan. Sistem nilai budaya (cultural value system) yaitu rangkaian gagasan dan konsep
manusia
mengenai
masalah-masalah
dasar
dalam
hidup
yang
dipandangnya paling penting dan bernilai sehingga dijadikan pedoman tingkah laku manusia. E. KEBUDAYAAN Sementara itu kebudayaan (culture) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian dan tersistem dalam tiga wujud ialah: ide, aktivitas, dan kebendaan yang masing-masing biasanya disebut sistem budaya atau sistem adat istiadat, sistem sosial dan kebudayaan kebendaan. Jika kebudayaan tersebut diskemakan ke dalam sistem kebudayaan akan terlihat sebagai berikut:
11
AGAMA ILMU PENGE TAHUAN KESENIAN
MATERI
AKTIVITAS TEKNOLOGI
IDEA SOSIAL
BAHASA & KOMUNIKASI
KEBUDAYAAN
EKONOMI
(ARTEFAK) ORGANISASI SOSIAL
Keseimbangan pengaruh diantara satu unsur dengan unsur lainnya akan melahirkan kemantapan dengan ciri kemajuan secara proporsional yang layak. Sebaliknya, jika salah satunya memberi unsur lebih dominan, maka unsur lainnya akan dikendalikan oleh unsur dominan tersebut. Jika pada unsur dominan tersebut tidak mempunyai perangkat yang lengkap dan elastis dalam merespon kebutuhan unsur kebudayaan lainnya, saat itulah awal keguncangan kebudayaan sekaligus kegoncangan kehidupan. Apabila komponen-komponen ini dijadikan acuan setidaknya penuntun untuk mencari data di lapangan yaitu komponen apa sajakah (Agama, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi, Tehnologi, Organisasi Sosial, Bahasa dan Komunukasi serta Kesenian yang telah terpayungi oleh hukum dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah di berbagai Kabupaten/Kota yang terdapat di Indonesia. 1. Sistem Agama (religious system) adalah rangkaian jaringan umat beragama dengan keyakinan mengenai alam gaib, aktivitas ritual dan seremonialnya serta sarana yang berungsi melaksanakan komunikasi manusia dengan kekuatan-kekuatan dalam alam gaib melalui kejiwa-emosian keagamaan yang diintensikan. Komponennya meliputi: a. Umat beragamanya; 12
b. Sistem keyakinannya c. Sistem ritual dan seremonialnya d. Sistem peralatan ritus dan seremonialnya e. Sistem kejiwaan dan emosi keagamaannya 2. Sistem organisasi sosial (Social organization system) adalah semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk. Macam-macamnya adalah : a. Kesatuan-kesatuan yang hidup dalam masyarakat; b. Penyebaran warga masyarakat dan pemukimannya; c. Wilayah mata pencaharian anggota masyarakat; d. Struktur dan Kepemimpinan dalam masyarakat e. Aturan Hukum (termasuk kearifan lokal) f. Sistem kekerabatan 3.
Sistem tehnologi (Technological system) yaitu rangkaian konsep serta aktivitas mengenai pengadaan, pemeliharaan dan penggunaan sarana-sarana hidup manusia dalam kebudayaannya. Macam-macamnya meliputi: a. Tehnologi/peralatan hidup pengolahan alam sebagai mata pencaharian; b. Tehnologi untuk pembuatan perumahan dan jalan c. Tehnologi untuk alat dan kendaraan komunikasi d. Tehnologi untuk kepentingan tempat dan peralatan ritual keagamaan;
4. Sistem pengetahuan (System of knowledge) yaitu semua hal yang diketahui oleh manusia dalam suatu kebudayaan mengenai lingkungan alam maupun sosialnya menurut asas-asas susunan tertentu. Macam-macamnya meliputi: a. Alam benda mencakup : Darat, udara dan laut; b. Alam hewan dan tumbuhan: Tempat dan fungsinya; c. Alam manusia : Manusia hidup dan manusia mati; d. Alam gaib: Tuhan/Dewa/Makluk halus dan makhluk gaib lainnya yang terkait; e. Hubungan a sampai d : fungsi , hak dan kewajiban masing-masing f. Lembaga kependidikan yang berkaitan dengan transformasi pengetahuan
13
5. Sistem ekonomi (Economic system) yaitu seluruh rangkaian norma, adat istiadat, aktivitas, mekanisme, dan sarananya yang berkaitan dengan usaha memproduksi, menyimpan, dan mendistribusi barang kebutuhan hidup manusia. Dengan variasinya adalah : a. Ekonomi perburuan dan peramuan (huntering and gathering economy); b. Ekonomi
peladangan
berpindah
(shifting
cultivation;
swidden
agriculture economy) c. Ekonomi bercocok tanam menetap (work the soil permanent economy) d. Ekonomi Maritim e. Ekonomi tukar komponen kebutuhan (barter economy) f. Ekonomi Pasar/Uang (Market/Money economy) g. Ekonomi Gambar (Picture economy) h. Ekonomi Komunikasi (Communication economy) i. Ekonomi Tehnologi Internet (Internet economy) Nomor a) sampai d) merupakan ekonomi subsisten (tradisional) dan e) sampai i) merupakan ekonomi pasar (modern). 6. Sistem bahasa dan komunikasi (Language and Communication system) yaitu sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia. Macam-macamnya meliputi: a. bahasa daerah (local language); b. bahasa isyarat (gesture language); c. bahasa kanak-kanak (children language) ; d. bahasa lisan (spoke language) ; e. bahasa nasional (national language); f. bahasa pasar (market language); g. bahasa perantara (lingua franca); h. bahasa remaja (teenagers language); i. bahasa resmi (formal language) j. bahasa tak resmi (inormal language);
14
k. bahasa santai (relax language); l. bahasa sopan santun (polite language); m. bahasa tertulis (written language); n. bahasa ilmiah (scientific language); o. bahasa upacara adat istiadat (customs language); 7. Sistem kesenian ( Art system) yaitu jaringrangkai keahlian dan ketrampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan komponen-komponen yang indah serta bernilai. Macam-macamnya meliputi: a. seni anyam (basketry); b. seni bangunan ( architecture); c. seni arca (sculpture); d. seni batik (batic art); e. seni drama/sandiwara (drama); f. seni ikat (ikat technique); g. seni instrumental (instrumental music); h. seni kesusasteraan (literature); i. seni karawitan; j. seni lukis (painting); k. seni menggambar (drawing); l. seni merias (make-up art); m. seni menghias (decorative art); n. seni mozaik (mozaic); o. seni pahat (relief); p. seni patung (sculpture); q. seni puisi/pantun (poetry); r. seni prosa (prose); s. seni tari (dance); t. seni tenun (weaving); u. seni ukir ( engraving); v. seni suara (voice/sing art);
15
F. Kewilayahan Adapun unsur wilayah meliputi: Batas antar satu wilayah dengan lainnya; pembahagian
wilayah
bagi
peruntukan
:
pemukiman,
lapangan
mata
pencaharian/tanah ulayat, fasilitas umum (Sekolah, rumah sakit, kantor desa, tempat kesenian masyarakat, rekreasi, olah raga, cagar budaya/lokasi lindung, dll). Dengan demikian kewilayahan meliputi tiga lingkungan yang saling terkait sebagai berikut : a. Lingkungan alam; b. Lingkungan kebudayaan; c. Lingkungan sosial d. Lingkungan ekonomi
16
BAB III PERATURAN DAERAH DAN HUKUM ADAT
Pada bab III dipaparkan Hukum Tertulis yang bersumber dari Peraturan Daearah (Perda) dan Hukum Tidak Tertulis yang bersumber dari hukum adat di beberapa provinsi yang menjadi lokasi kajian. Pemaparan hasil kajian dilakukan per provinsi, sehingga diperoleh informasi yang lengkap pada masing-masing provinsi. Hal ini sekaligus akan menggambarkan apresiasi dan komitmen daerah dalam pemberdayaan masyarakat hukum adat/masyarakat adat/Komunitas Adat Terpencil sebagai bagian dari pembangunan manusia. Pada pemaparan hasil kajian di bab III ini digunakan istilah masyarakat hukum adat yang juga menunjuk pada masyarakat hukum adat maupun Komunitas Adat Terpencil. Penggunaan istilah masyarakat hukum adat semata-mata untuk kepraktisan pemaparan hasil kajian dalam laporan ini.
A. PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 1. Kewilayahan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai saat ini belum ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi maupun kabupaten memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana Masyarakat hukum adat mengatur pemerintahannya. Selain itu Pemerintah Daerah juga mengakui adanya wilayah yang dikuasai secara kolektif oleh Masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah ulayat. 2. Kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan serambi Makkah, telah menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 – 20012 pada butir 1 ditegaskan, bahwa ”.....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.”
17
Organisasi sosial dan perkumpulan sosial serta perkumpulan adat berkembang dengan baik. Pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan
kegiatannya berdasarkan
fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang”. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upayaupaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh. Di dalam RPJM Provinsi NAD di bidang ekonomi pada butir 3) ditegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang ekonomi. Kemudian di bidang sumber daya alam pada butir 2) ditegaskan, bahwa ”.... jika HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di masa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri”. Kemudian berkenaan dengan komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1 juga menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh. Antara lain mendorong rakyat untuk menghidupkan kembalai tata cara sopan santun ke-Aceh-an dalam keluarga, dan menyelanggarakan secara reguler festival dan seni Aceh. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah secara yuridis (Perda) belum ada. Pengakuan ditemukan secara tertulis pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang”. b. Kendala Belum tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya. 18
4. Harapan Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
B. PROVINSI SUMATERA UTARA 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Sumatera Utara terhadap Masyarakat hukum adat, yaitu adanya pengakuan terhadap hak atas wilayah (lahan) secara kolektif bagi Masyarakat hukum adat yang disebut dengan tanah ulayat dengan hak-hak masyarakat untuk mengelolanya. Namun demikian pengakuan ini belum secara tertulis dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya, sehingga pengakuan tersebut belum memiliki kekuatan yuridis. b. Kebudayaan Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2007 tentang Strategi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Peraturan Gubernur tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sementara itu, persoalan tanah yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah terus terjadi. Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan DPR RI yang intinya mengklaim tanah-tanah perkebunan yang tebentang luas di Sumatera Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala sawit dan tebu (PTPN II) adalah tanah ulayat mereka. Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112
19
Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615 tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi Sumatera Utara. Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan yang penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat. Sawah dan ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat berupa hutan atau perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN – PTPN II), sehingga seringkali
menimbulkan
permasalahan
antara
masyarakat
dengan
pemerintah. b. Kebudayaan Kajian tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal. Struktur kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan adat tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan dibandingkan dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal dengan Nini-Mama. Kalau pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan, maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola kegiatan yang berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan, dan pemberian sanksi adat bagi warga masyarakat yang melanggar normanorma adat. Dalam praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini cukup baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik kepentingan selama menjalankan pemerintahan masing-masing. Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau matrilineal. Artinya, pihak perempuan sebagai penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak laki-laki dapat juga sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship). Dalam sistem kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo, yaitu tempat tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola 20
matrilokal). Implikasi dari semendo ini pada hak waris pada anak perempuan. Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun temurun. Misalnya, pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan masih dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal penduduk. Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta pertolongan ke dukun yang mereka namakan Dotu. 3. Implementasi dan Kendala pengakuan Hukum a. Implementasi Eksistensi Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak untuk mengatur pemerintahan adat dan mengelola lembaga adat lengkap dengan struktur organisasi adat. Berbagai bentuk upacara adat masih dipelihara dan memperoleh apresiasi dari Pemerintah Daerah dalam acara pekan seni budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum terhadap hak tradisional Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan pemberian hak atas tanah (hak ulayat). b. Kendala Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat.
4. Harapan Ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini, maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan pihak-pihak luar. C. PROVINSI RIAU 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Peraturan Daerah yang mengatur kewilayahan belum ada. Oleh karena itu, dalam menata masyarakat merujuk pada peraturan perundang-undangan 21
yang ada dengan tetap mengakomodasi wilayah-wilayah berdasarkan tradisi masyarakat lokal yang sudah dikenal secara turun temurun sebagai warisan leluhur mereka. b. Kebudayaan Komitmen Daerah Kabupaten Bengkalis dalam upaya pemberdayaan Masyarakat hukum adat diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 39 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat di Kabupaten Bengkalis. Perda ini dengan jelas mengatur model dan strategi pemberdayaan masyarakat dan lembaga adat agar anggota persekutuan hukum adat dapat mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Tanah ulayat adalah lingkungan tanah yang dikuasai oleh suatu kelompok orang-orang yang biasa disebut persekutuan hukum adat. Sedangkan hak ulayat adalah hak persekutuan hukum adat yang menguasai suatu lingkungan tanah termasuk lingkungan persediaan, perluasan, untuk kepentingan hidup persekutuan beserta seluruh warganya. Sebagai obyek hak ulayat adalah tanah, air, pantai-pantai, tumbuh-tumbuhan (pohonpohon), hewan liar dan sebagainya. Tanah ulayat tidak mudah dipindah tangankan kepada pihak lain. Kalaupun dipindah tangankan mestilah memenuhi ketentuan adat. Persyaratan ini dibuat tidak lain adalah untuk menjaga kesinambungan dari tanah ulayat yang ada dalam persekutuan hukum adat. Kehidupan adat dan tanah ulayat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat hukum adat. Karena dengan tanah itu, masyarakat hukum adat dapat berusaha menghidupi keluarganya. Kelanjutan hidup manusia tidak bisa berlanjut tanpa adanya tanah tempat berusaha dan bertempat tinggal. Sehubungan dengan itu, tanah ulayat merupakan harta benda yang perlu dipelihara kelestariannya agar tetap memberi manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat hukum adat.
22
b. Kebudayaan Agama yang dianut oleh Masyarakat hukum adat di Riau yaitu Islam, Budha dan Kristen. Namun demikian sebagian masih memiliki kepercayaan animisme, yaitu percaya terhadap kekuatan-kekuatan pada batu-batu
besar,
pohon-pohon
besar
terutama
berkaitan
dengan
penyelenggaraan upaya adat. Agama dan kepercayaan tersebut merupakan warisan leluhur secara turun temurun. Dalam pelaksanaan ritual agama sehari-hari, pengaruh kebudayaan etnis Cina cukup dominan. Persekutuan hukum adat dipimpin oleh seorang pemangku adat yang dikenal dengan sebutan Penghulu Adat atau Datuk. Datuk sebagai pimpinan persekutuan berdasarkan sistem matrilinial ini dikukuhkan dengan pemberian gelar adat oleh anak kemenakan pada persekutuan tersebut. Adapun jangka waktu jabatan sebagai Datuk tidak ditentukan lamanya, tetapi bergantung pada persesuaian dengan anak kemenakannya. Datuk ini sangat berpengaruh dan berperanan penting dalam kehidupan persekutauan hukum adat maupun pengaturan sikap dan anggota persekutuannya, terutama mengurus peruntukan dan pengawasan tanah ulayat dalam masyarakat. Hak ulayat merupakan hak bersama atas tanah seluruh anggota persekutuan hukum adat. Oleh karena penguasaan tanah ini bersifat kolekif, maka tidak mudah untuk dipindah tangankan kepada orang lain, kecuali telah sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Secara langsung hak ulayat ini mengatur sistem ekonomi masyarakat, terutama dalam pemanfaatan tanah sebagai sumber nafkah (ekonomi). Penguasa tanah ulayat oleh penghulu adat tetap terjamin, dimana anggota masyarakat hukum tersebut diberi hak dan kewajiban untuk memelihara tanah ulayat. Ketentuan yng harus dipenuhi oleh anggota masyarakat yang memanfaatkan tanah ulayat adalah sebagai berikut : a. Apabila tanah ulayat dijadikan kebun, maka di dalamnya harus ada tanaman. b. Apabila dijadikan sawah ladang haruslah mempunyai pematang.
23
Masyarakat hukum adat di Kabupaten Bengkalis memiliki sumber nafkah utama dari mengolahan ladang dan kebun. Mereka pada umumnya sudah mengenal tanaman industri seperti kelapa sawit dan karet. Pada kegiatan perladangan, mereka menanam padi darat yang dipanen setelah 4 bulan kemudian. Pengolahan dan penyiapan ladang cukup sederhana, yaitu penebasan ladang, pembakaran, dan penugalan atau penanaman biji padi. Kegiatan berladang tersebut melibatkan semua anggota keluarga batih, yaitu ayah, ibu dan anak-anaknya. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi 1). Meskipun sudah ada hukum tertulis yang mengatur Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan KebiasaanKebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 39 Tahun 2001 (Khusus Kabupaten Bengkalis), namun dalam praktiknya Peraturan Daerah tersebut belum efektif. Informasi yang dihimpun terkait dengan implementasi hukum tertulis (Perda) tersebut adalah Masyarakat hukum adat sering dijadikan obyek untuk mendapatkan dukungan tertentu, tetapi belum dilihat sebagai komponen yang perlu dikembangkan menjadi kekuatan yang lebih besar. 2). Sementara itu implementasi hukum adat cenderung melemah, disebabkan semakin kuatnya pengaruh dari luar. Contoh kasus, tanah ulayat sebagai milik bersama masyarakat hukum adat mengalami peralihan hak guna kepada investor, sehingga mengurangi aset masyarakat hukum adat. b. Kendala Berbagai
kondisi
yang
dirasakan
sebagai
kendala
dalam
mengimplementasikan pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat, yaitu : 1). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menganut paham domain Negara, dengan mengklaim semua hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai hutan milik, adalah hutan Negara. 24
Padahal, hak ulayat bukan hak milik, akibatnya hak ulayat atas tanah menjadi obyek sengketa dengan Departemen Kehutanan. Sumber sengketa bertambah karena peta hutan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan tidak berdasarkan survey, sehingga kebun rakyat dipetakan sebagai hutan. 2). Hak ulayat dipersiapkan untuk dimusnahkan dengan cara pembebasan dengan pemberian ganti rugi apabila tanah tersebut digunakan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur di dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun1993. 4. Harapan Dalam rangka mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat hukum adat, terutama pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, maka diperlukan : 1).
Adanya pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana perlindungan terhadap warga masyarakat pada umumnya.
2).
Pola pemberdayaan masyarakat hukum adat yang sistematis dan terukur.
3).
Ada kajian tentang eksistensi tanah ulayat, sehingga akan dapat diketahui dengan jelas status tanah ulayat yang sebenarnya dari Masyarakat hukum adat. Hal ini akan memudahkan bagi pihak-pihak terkait untuk mempergunakan hak-hak atas tanah tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan Masyarakat hukum adat.
4).
Agar Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dapat lebih gencar memberikan pemahaman kepada Masyarakat hukum adat tentang tanah Ulayat atau tanah adat.
D. PROVINSI SUMATERA BARAT 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Wilayah sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Daerah. Wujud dari besarnya perhatian Pemerintah Daerah ini terbitnya
25
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan pengertian umum, yaitu : 1). Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat. 2). Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya terdapat hak ulayat dai suatu masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat. 3). Tanah Ulayat Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan nagari, yang pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah Nagari. 4). Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. 5). Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala Waris. 6).
Penyerahan Hak Ulayat adalah suatu kegiatan yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan
memberikan
ganti
kerugian
atas
dasar
musyawarah dan saling menguntungkan. 7). Gunggam Bauntuak adalah peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris. b. Kebudayaan Peraturan Daerah Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat mengatur eksistensi organisasi pemerintahan kesatuan masyarakat hukum adat dengan struktur yang ada di dalamnya. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan struktur pemerintahan adat, yaitu :
26
a). Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. b). Penghulu adalah orang yang dituakan dan didahulukan selangkah oleh kaumnya untuk memimpin kaumnya. c). Penghulu Suku adalah pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara terus menerus menurut sistem kekerabatan matrilineal yang berfungsi sebagai penguasa ulayat menurut ”baris baladeh” dalam satu kesatuan ulayat Nagari. d). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau yang dituakan dalam satu kaum. e). Hukum Adat adalah aturan/norma tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat hukum adat Minangkabau untuk mengatur kehidupannya, mengikat dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dengan sanksi yang jelas. f). Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau nama lain adalah Lembaga Permusyawaratan/PemufakatanAdat dan Syarak yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Nagari supaya tetap konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Nagari. g). Kerapatan Adat Nagari atau nama lain yang sejenis adalah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Pemufakatan Adat tertinggi Nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat Nagari Sumatera Barat. Kemudian diterbitkannya Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari. Diterbitkannya Keputusan Gubernur ini merupakan komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah dalam memelihara dan melestarikan kelembagaan dan perangkat adat di Provinsi Sumatera Barat.
27
2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Konsep Nagari adalah konsep pemerintahan desa adat di Sumatera Barat, yang di dalamnya terdiri dari himpunan berbagai suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jadi setiap Nagari sudah memiliki batas-batas wilayah pemerintahan adat yang jelas dan tegas berdasarkan kesepakatan para ketua adat secara turun temurun hingga generasi sekarang. b. Kebudayaan Pada umumnya masyarakat Minangkau adalah pemeluk agama Islam yang fanatik. Proses transformasi ajaran Islam berjalan secara turuntemurun melalui tempat-tempat ibadah di kampung-kampung yang disebut dengan surau. Jauh sebelum terbitnya Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat, secara tidak tertulis sudah ada pengakuan dari pemerintah mengenai lembaga adat, hukum adat dan hak atas tanah ulayat kepada kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Konsep Nagari, Penghulu, Penghulu Suku, Mamak Kepala Waris, dan Ninik Mamak sudah menjadi ciri khas di dalam kebudayan masyarakat Sumatera Barat yang dikenal luas secara nasional. Sistem kekerabatan yang berlaku menganut pola matrilineal, artinya bahwa silsilah keturunan berdasarkan garis ibu. Sebagai contoh, seorang laki-laki (paman), ia bertanggung jawab untuk membantu anak dari saudara perempuanya sekandung (kemenakan). Hal ini sudah menjadi adat istiadat pada masyarakat di Minangkabau yang berlangsung secara turun temurun, dan akan terus terpelihara melalui kelembagaan adat yang disebut Nagari. Masyarakat Minangkabau telah mengadaptasi teknologi sesuai jamannya, mulai teknologi sederhana sampai teknologi modern. Adat istiadat Minangkabau memberikan kesempatan kepada warganya agar tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mampu mengembangkan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupannya ke arah yang lebih baik.
28
Masyarakat hukum adat memperoleh pengetahuan secara turun temurun dari para leluhurnya. Biasanya pengetahuan yang dipelajari berkaitan dengan pola hidup dan sistem mata pencarian. Pada masyarakat hukum adat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan di laut, maka pengetahuan lokal masyarakat lebih banyak berhubungan dengan pengetahuan akan kondisi cuaca dan iklim, astronomi, teknik penangkapan dan pengolahan ikan serta jenis dan habitat ikan. Mereka mampu mengenal kalender musin dengan baik, meskipun demikian tidak semua aktivitas mereka bergantung pada kalender. Masyarakat mengenal musim Gabua, Ambu-ambu dan Udang karena pada musim-musin tersebut didominasi jenis ikan-ikan tersebut. Selain itu mengenal juga musim Anggau/ombak gadang ombak besar atau musim kemarau untuk menjelaskan kondisi hasil tangkapan ikan tidak ada sama sekali. Kemudian dikenal musim Payang atau Pukek untuk menjelaskan kondisi dimana hasil tangkapan ikan melimpah. Adanya peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris, yang dikenal dengan Gunggam Bauntuak. Hal ini sebagai bentuk kerukunan dan kebersamaan untuk menghilangkan kesenjangan sosial antara warga dalam satu kaum maupun dalam satu Nagari. Sistem penguasaan tanah secara kolektif pada tanah ulayat, akan membangun sistem ekonomi kerakyatan yang seadil-adilnya. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupen se Provinsi Sumatera Barat sampai saat ini memberikan pengakuan yang masih cukup besar. Wujud besarnya pengakuan dari Pemerintah Daerah ini dengan terbitkan Keputuan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari.
29
b. Kendala Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah. 4. Harapan Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka adalah : 1. Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan lokal tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah. 2. Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.
E. PROVINSI JAMBI 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Secara yuridis belum ada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun Kabupaten se Provinsi Jambi yang secara khusus mengatur hakhak Masyarakat hukum adat. Meskipun demikian secara informal Pemerintah Daerah tetap masih mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat dengan hak-hak mereka atas tanah, lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan antara warga masyarakat. Masyarakat hukum adat menguasai wilayah adat yang kepemilikannya secara kolektif dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. b. Kebudayaan Pada tahun 1979 keluar Undang-Undang Nomor 5 yang menyatakan Kepala Marga sebagai Kepala Adat dihapus dan hanya dikenal Kepala Desa. Kepala Desa adalah petugas administratif di bawah Camat dan dengan sendirinya Kepala Adat dihapus secara organisasi. Tetapi secara kelompok dan geografis masih ada dengan masyarakat hukum adatnya. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, pada tahun 1980 ditindaklajuti dengan Keputusan Gubernur Jambi yang menghapus Marga diganti dengan Desa dan Kelurahan dalam Provinsi
30
Jambi. Akibat dengan adanya penghapusan tersebut timbul berbagai masalah di desa, yaitu : a). Soal pertanahan yang tidak kunjung selesai dimana masyarakat secara historis dan belum hilang dari ingatan mereka, bahwa mereka itu memiliki hak ulayatnya (sementara itu badan-badan tertentu tidak mengakui adanya itu). b). Berbagai krisis terjadi di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Dalam masyarakat hukum adat Jambi, tanah memiliki kedudukan yang sangat penting. Artinya, hal ini karena tanah adalah satu-satunya benda kekayaan yang langgeng sifatnya bagi masyarakat hukum adat. Tempat dimana mereka tinggal, tempat yang memberikan mereka kehidupan. Tempat warga masyarakat hukum adat memakamkan keluarganya dan tempat nenek moyang mereka mulai merintis kehidupan. Masyarakat hukum adat secara turun temurun mengusai tanah ulayat, yakni sejak zaman Kerajaan Jambi dan tumbuhnya bersamaan dengan dusun-dusun dengan batas-batasnya, yang berarti tetap mempertahankan dusun yang punya hak ulayat. Hak ulayat ini dahulu dikuasai oleh Bathin/Pasirah sebagai penguasa dan ketua adat/komunal. Apabila ingin mengerjakan dan memiliki tanah ulayat, maka harus seijin Pasirah. Namun demikian dengan keluarnya Keputusan Gubernur Tahun 1980 yang mengganti Marga menjadi Desa dan Kelurahan, menyebabkan penguasaan masyarakat hukum adat akan tanah ulayat akan terancam. Kuncinya pada Kepala Desa/Pesirah yang sekaligus sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas keberadan tanah ulayat tersebut. b. Kebudayaan Masyarakat hukum adat mempunyai kelembagaan adat dan berbagai aturan (hukum adat) di dalamnya yang mengatur perilaku masyarakat. Kemudian masyarakat mendiami sebuah dusun yang mempunyai batasbatas wilayah, dan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
31
sendiri. Disini tergambar ada aturannya (adat), ada wilayah (batas), ada penguasaannya (Kepala Adat). Meskipun telah terjadi perubahan status Marga menjadi Desa atau Kelurahan, tetapi kelembagaan adat tersebut masih menjalankan peranannya, terutama berkaitan dengan hal-hal berkenaan dengan adat istiadat dan upacara adat. Pengetahuan lokal tentang flora dan fauna, obatobatan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan kehidupan manusia diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya. Selain itu peranan kelembagaan adat ini memelihara seni budaya tradisional. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT a. Implementasi Akibat penghapusan Marga menjadi Desa dan Kelurahan timbul berbagai masalah, yaitu permasalahan pertanahan yang tidak pernah selesai, karena konsep Desa dan Kelurahan telah menghilangkan kepemilikan hak ulayat mereka. Kemudian, berbagai krisis terjadi di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi. b. Kendala Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur kelembagaan adat. Sebaliknya, keluarnya Keputusan Gubernur tahun 1980 yang menghapus desa adat (marga) menjadi desa dan kelurahan akan mengancam eksistensi kelembagaan adat, hak ulayat dan hak-hak Masyarakat hukum adat lainnya. 4. Harapan Kebijakan Gubernur yang mengganti Marga dengan Desa dan Kelurahan perlu dikaji kembali, sehingga eksistensi Desa Adat/Kelembagaan Adat tetap ada dengan penguasaan atas tanah ulayat. Selain itu diharapkan permasalahan pertanahan tidak terjadi lagi dan hukum adat dihargai, sehingga tidak terjadi krisis di Desa.
32
F. PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Tidak tersedia dokumen yang berupa hukum tertulis yang menegaskan aspek kewilayahan masyarakat hukum adat. Namun demikian, secara implisit termasuk di dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Desa Adat. Bahwa Di dalam SK tersebut ditegaskan, bahwa Tumenggung mengepalai warga dalam satuan wilayah desa adat; dan masyarakat hukum adat tinggal dalam suatu desa adat. Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu memiliki batas-batas wilayah dengan desa yang lain. b. Kebudayaan Setiap Desa Adat dikepalai oleh Tumenggung (kasus Kabupaten Sekadau). Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Adat berdasarkan Surat
Keputusan
Gubernur
Provinsi
Kalimantan
Barat.
Tugas
Tumenggung sebagai kepala desa adat yang menjalankan pemerintahan desa adat sesuai dengan adat istiadat yang telah berlaku secara turun temurun. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu memiliki batas-batas wilayah desa, dimana batas-batas desa yang berupa sungai, pohon besar, batu-batuan telah disepakati secara turun temurun. b. Kebudayaan Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Sekadau. Agama yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Sekadau adalah Islam dan sebagian kecil warga Masyarakat hukum adat masih menganut animisme (kasus Kabupaten Sekadau).
Meskipun antara Islam dan
animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat beragama/kepercayaan.
33
Desa Adat dipimpin oleh Kepala Adat (Tumenggung), yang tugasnya adalah menyelesaikan perkara dalam tingkat desa dengan menggunakan aturan adat istiadat sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, apabila tidak dapat diselesaikan di desa. Adat istiadat ini menyangkut semua suku, terutama Suku Melayu dan Dayak yang merupakan suku asal muasal dari kerajaan Sekadau. Berbagai jenis adat di Kabupaten Sekadau, yaitu : 1). Adat yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, yaitu pada saat melahirkan bayi (adat selamat umur), adat babuang (agar keluarga yang akan mengadakan perkawinan, sunatan dan hajatan lain apabila sakit lekas sembuh), adat perkawinan, dan adat kematian. 2). Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung. 3). Adat Pati Nyawa, yaitu adat yang dilakukan oleh pihak yang dianggap bertanggung jawab apabila ada warga yang meninggal tidak wajar (terjatuh, kena blantik dll). 4). Adat Tolak Bala, yaitu acara adat yang dilakukan apabila di dalam kampung terjangkit penyakit atau menghindari terjangkitnya suatu penyakit tertentu. 5). Adat yang dijatuhkan kepada warga masyarakat yang melanggar norma-norma adat, yaitu : a). Adat Pasupan, yaitu
sanksi kepada warga yang mengambil
tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah, mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan. b). Adat Terangkat, yaitu sanksi kepada laki-laki beristreri yang serong dengan gadis atau perempuan bersuami serong dengan jejaka. c). Adat Beramau, yaitu sanki kepada laki-laki masih beristeri dengan perempuan masih bersuami.
34
d). Adat Bujang/Dara Berzinah/Bunting, yaitu sanksi kepada perjaka dan gadis yang melakukan perzinahan. Adat yang dikenakan adalah Adat- Kampang. Apabila keduanya menolak menikah, maka dikenakan Adat Beramu. e). Adat Mengambul Milik Orang Lain/Mencuri, yaitu sanksi bagi seseorang yang mencuri ayam, babi, sapi dan barang lainnya dengan denda dan mengembalikan barang curian. Tidak sanggup mengembalikan barang, menggantinya senilai barang yang dicuri tersebut. f). Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang berzinah padahal masih mukhrim, merusak/membakar tempat keramat,
membakar/merusak/mengotori
tempat
pemujaan/
ibadah/pemalik, merusak/mengambil benda-benda peninggalan nenek moyang, merusak/membakar/menanami hutan adat tanpa seijin pemuka Kampung. g). Adat Merajalela/Huru Hara dalam Kampung, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang/kelompok apabila seorang tersebut bersenjata/tidak,
kemudian
menyerang,
merusak,
membakar
kampung lain atau berdemonstrasi dalam kampung sendiri. h). Adat Pemamar Darah, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang yang membuat orang lain merasa terancam atau takut karena tindakannya. i). Adat Hukum Selam, yaitu sanksi dijatuhkan kepada dua orang yang bersengketa dan masing-masing menunjukkan bukti-bukti dan saksi yang membenarkan. Pengetahuan dalam arti luas salah satu sumbernya adalah adat istiadat yang telah terlembaga pada Masyarakat hukum adat. Terdapat 13 adat istiadat, baik yang berifat upacara adat atau sanksi adat atas pelanggaran terhadap norma-norma adat, yang kesemuanya itu menjadi acuan sikap dan perilaku Masyarakat hukum adat. Kemudian terkait dengan pendidikan, setiap warga Masyarakat hukum adat tidak ada larangan secara adat untuk menempuh pendidikan formal.
35
Kegiatan ekonomi utama Masyarakat hukum adat adalah mengolah sumber daya alam (bertani, berladang). Di dalam pemanfatan lahan (hutan) ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh warga Masyarakat hukum adat, sehingga pemanfaatan lahan (hutan) tersebut tidak merugikan warga yang lain. Apabila ada warga Masyarakat hukum adat yang melanggar aturan adat dalam pemanfaatan lahan (hutan), maka akan dikenakan sanksi adat Sebagai contoh, Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang menanami hutan adat tanpa seijin pemuka Kampung. Kemudian dikenal pula Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung. Masyarakat hukum adat menggunakan bahasa daerah setempat (baca : Sekadau) ketika berkomunikasi dengan sesama warga Masyarakat hukum adat. Dalam berkomuniaksi ini Masyarakat hukum adat diharuskan memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku secara turun temurun, dan apabila norma-norma tersebut tidak diindahkan akan mendapatkan sanksi adat. Sebagai contoh Adat Pasupan, yaitu sanksi kepada warga yang mengambil tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah, mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Secara yuridis, sampai saat ini belum ada pengakuan hukum terhadap Masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah. Namun secara informal, Pemerintah daerah tetap masih mengakui keberadaan Masyarakat hukum adat, Lembaga Adat dengan struktur organisasinya dan hukum adat yang berlaku dalam menyelesaikan permasalahan pada Masyarakat hukum adat tersebut. b. Kendala Belum ada aturan hukum (Perda) yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah dengan warga Masyarakat hukum adat.
36
4. Harapan Diperlukan aturan hukum (Perda) yang jelas mengatur pemberdayaan Masyarakat hukum adat. Dalam peraturan tersebut tetap terjaga eksistensi Masyarakat hukum adat. G. PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1. Hukum Tertulis Belum ada Peraturan Daerah provinsi yang mengatur masyarakat hukum adat. Sedangkan pada tingkat kabupaten (kasus Kabupaten Pasir), pada tanggal 8 Agustus tahun 200 diundangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberdayaan, pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat istiadat dan Lembaga Adat. Perda ini dimaksudkan untuk melaksanakan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Oleh karenanya, materi yang diatur dalam Perda Pasir No. 3/2000 tidak jauh dari materi yang diatur di dalam Kepmendagri No. 61/1999 tersebut. Pada pasal 13 ayat 1, mengatur mengenai adanya wilayah adat yang diakui oleh masyarakat adat.
Meskipun Perda ini tidak memuat definisi
mengenai masyarakat adat, namun pasal di atas mewakili ketentuan bahwa Pemda Pasir mengakui keberadaan masyarakat adat. Semestinya pula, bersamaan dengan pengakuan wilayah adat itu, hak-hak masyarakat adat atas sumebr daya alam juga mendapat pengakuan. Persoalan muncul ketika, pembahasan Raperda Pasir tentang Hak Ulayat. Dimana pada Raperda tersebut tidak mengakui adanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Karena ada protes dari Lembaga Adat Pasir (LAP), maka proses penyusunan Perda tersebut dihentikan oleh Pansus DPRD.
2. Hukum Tidak Tertulis Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Pasir. oleh Sebagian besar warga masyarakat Pasir menganut agama Islam, dan sebagian kecil warga masyarakat hukum adat masih menganut animisme. Meskipun antara Islam dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat beragama/kepercayaan. 37
Di Kabupaten Pasir terdapat lembaga adat yang secara kultural memiliki wilayah adat dengan hak ulayatnya dan anggota masyarakat adat, meskipun secara hukum (lihat Perda No. 3/200) belum memperoleh pengakuan secara tegas. Lembaga adat tersebut merupakan institusi lokal yang peranannya memelihara nilai, norma dan adat istiadat dalam mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa norma-nora yang diatur oleh Lembaga Adat antara lain tata cara perkawinan, kerumahtanggan, pengelolaan hutan dan pergaulan hidup seharihari. Bagi warga yang melanggara norma dan adat, maka dijatuhkan anksi sesuai dengan ketentuan adat yang sudah berlaku secara turun temurun.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan a. Implementasi Pengakuan secara tekstual tersebut pada kenyataannya tidak diimpelementasikan dengan baik. Indikasinya, yaitu (1) Pemda pasir tidak memiliki program untuk pemastian batas-batas wilayah adat, (2) Keberadaan Lembaga Adat Pasir (LAP) kurang memperoleh pengakuan Pemda karena dianggap kurang mengakar kuat dan memiliki yuridiksi yang jelas, dan (3) Pemda Pasir tidak memperhitungkan keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak atas sumber daya alam sebagaimana tercermin di dalam Perda No. 13 tahun 2002 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu maupun pada Perda No 5 tahun 2004.tentang Izin Usaha Perkebunan di Kabupaten Pasir. Pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat dengan sebaga hak-haknya, memperoleh perhatian Bupati Pasir periode 2004-2009 (Ridwan). Ia menganggap bahwa Pemda Pasir memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat hukum adat. Perlindungan ini diperlukan karena secra sosial dan ekonomi masyarakat hukum adat sangat ketinggalan Selain itu, kegiatan investasi yang banyak berlokasi di perdesaan memang berdampak langung pada kehidupan masyarakat hukum adat.
38
b. Kendala Adanya pemikiran yang berkembang di kalangan birokrasi bahwa Perda No 3/200 hanya mengatur adat istiadat dan lembaga adat, bukan mengatur mengenai keberadaan masyarakat adat dan hak-hak ulayatnya.
4. Harapan Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu : a. Lembaga Adat Pasir (PAS) dan Persatuan Masyarakat Adat (PeMA) Pasir dapat mengotimlkan peranannya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat. b. Pemerintah Kabupaten Pasir melakukan telaah kembali atas Peraturan Daerah dan kebijakan yang tidak berpihak kepada keberadaan masyarakat hukum adat. H. PROVINSI KALIMANTAN TENGAH 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Kewilayahan berkenaan dengan tanah beserta isinya dan wilayah kesatuan budaya dimana masyarakat hukum adat hidup dan berkembang. Masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas memerlukan kepastian hukum mengenai kewilayahan ini, sehingga mereka dapat menjalani kehidupannya tanpa ada perasaan khawatir terjadinya gangguan dari pihak manapun. 1).
Penggunaan ruang wilayah Provinsi Kalimantan Tengah diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
2).
Khusus berkaitan dengan kewilayahan Masyarakat hukum adat, tertuang di dalam Peraturan Daeah (Perda) Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Pada Bab 1 Pasal 1 (ayat p) menyebutkan, bahwa :
39
a). Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi penyangga keberadaan adat istiadat yang bersangkutan. b). Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan yang dikuasai secara adat, baik miliki perorangan maupun milik bersama. b. Kebudayaan Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan, serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah laku manusia adalah kebudayaan. Di dalamnya terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: agama/kepercayaan, organisasi sosial, teknologi, sistem pengetahuan/pendidikan, sistem ekonomi, bahasa/ telekomunikasi, dan kesenian. Berkaitan dengan agama dan kepercayaan, diatur di dalam Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Forum Kerukunan Amat Beragama (FKUB) Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Di dalam Peraturan Gubernur tersebut (Pasal 2) ditegaskan syarat calon anggota FKUB sebagai berikut : a).
Penduduk Kalimantan Tengah.
b).
Bertempat tinggal di Kalimantan Tengah sekurang-kurangnya 5 tahun.
c).
Bertaqwa kepada tahun YME dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945
d).
Pemuka agama yang menjadi panutan umat, dan
e).
Berkepribadian baik dan penuh pengabdian terhadap kepentingan kerukunan kehidupan beragama. Kemudian peraturan hukum tertulis yang berkaitan dengan sistem
organisasi sosial, dengan jelas diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Pada Bab I pasal 1 Perda tersebut menjelaskan bahwa : (1). Kedamangan adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi Daeah Tingkat I Kalimantan Tengah yang terdiri dari
40
himpunan beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang mempunyai wilayah tertentu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. (2). Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. (3). Hak adat adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga dat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu. (4). Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. (5). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa dan atau satuan masyarakat lainnya serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagiamana terwujud dalam berbagai pola nilai kelakuan yang mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat. (6). Dama Kepala Adat adalah pimpinan adat dari satu Kedamangan yang diangkat/dipilih berdasarkan hasil pemilihan oleh beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan
yang
termasuk
dalam
wilayah
kedamangan tersebut. (7). Majelis Adat adalah Dewan Adat yang mengemban tugas tertentu di bidang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat 41
istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, lembaga adat dan hukum adat di daerah. (8). Mantir Adat adalah perangkat adat atau gelar bagi seorang yang duduk di Majelis Adat. Selain Perda tersebut Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 9 Tahun 2001 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik. Pada pasal 8 ayat (2) huruf b disebutkan yang dimaksud Masyarakat hukum adat adalah Majelis Adat setempat; dan huruf c yang dimaksud wajib mentaati adalah menghormati adat istiadat Daerah Kalimantan Tengah dan meninggalkan adat/budaya yang tidak sesuai dengan adat/budaya Kalimantan Tengah. Pada pasal 9 ayat 3 menjelaskan, bahwa yang dimaksud Dewan Kehormatan Kemasyarakatan Lintas Etnik adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk membina persatuan, kerukunan dan persaudaraan. Pemerintah Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur ekonomi, yaitu di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1998 tentang Ijin Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian Emas di Provinsi Kalimantan Tengah. Perda ini berlaku secara umum, sehingga secara implisit berlaku pula bagi masyarakat hukum adat/KAT. Perda ini mengatur, bahwa setiap bentuk yang berkenaan dengan usaha eksplorasi sumber daya alam, tidak menimbulkan
dampak
yang
merusak
lingkungan,
dan
tetap
mempertahankan kesinambungan sumber daya alam. Selanjutnya dalam upaya mengatur sistem komunikasi, Pemeriantah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Khusus Radio dan Televisi Siaran Lokal. Perda ini dimaksudkan, agar setiap media massa lokal (terutama elektronik) agar menjadi media promusi yang efektif bagi pembangunan wilayah; dan mempu menyajikan informasi yang obyektif dan seimbang, sehingga ikut mendukung proses transformasi sosial budaya masyarakat.
42
2. Hukum Tidak Tertulis b. Kewilayahan Wilayah masyarakat hukum adat dibatasi oleh wilayah tertentu, seperti sungai, bukit/batu-batuan, rawa-rawa, dan hutan. Wilayah masyarakat hukum adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat. Hak ulayat atas tanah tersebut penguasaannya secara kolektif, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama warga masyarakat hukum adat. c. Kebudayaan Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kapuas selain menganut agama Islam, mereka juga memiliki kepercayaan Kaharingan. Masyarakat hukum adat memeluk kepercayan ini dan bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Masyarakat memiliki sistem organisasi sosial yang dinamakan Kedamangan. Eksistensi Kademangan ini sebagai lembaga adat memiliki aturan adat (istiadat) yang mengikat masyarakat hukum adat. Lembaga adat ini mengatur upacara adat dalam siklus kehidupan manusia, hubungan antar sesama manusia dalam suatu komunitas, hubungan ketua adat dengan masyarakat dan hubungan manusia dengan alam sekitar dan dengan Tuhan pencipta alam. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat hukum adat sudah memanfaatkan teknologi modern. Aturan adat memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk menggunakan teknologi yang memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian, aturan adat tetap mengendalikan penggunaan teknologi yang merusak kehidupan sosial budaya mereka. Berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan, masyarakat sudah menyadari pentingnya pengetahuan dan pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, aturan adat memberikan kelonggaran kepada anak-anak dari masyarakat hukum adat untuk menempuh pendidikan, meskipun harus meninggalkan kampung halaman.
43
Kegiatan ekonomi masyarakat bergantung pada alam sekitar. Dalam pemanfaatan alam, masyarakat senantiasa menjaga kelestarian alam yang didasarkan pada keyakinaan, bahwa alam akan memberikan apa yang diperlukan apabila alam tersebut dijaga dengan baik. Tidak menebang pohon sembarangan, terutama pohon madu tempat penghidupan lebah madu. Dalam pemanfaatan alam masyarakat senantiasa dibebani dengan tanggung jawab moral untuk memelihara alam demi anak keturunan sampai kapanpun. Komunikasi antar warga masyarakat menggunakan bahasa daerah setempat yang berlaku secara turun temurun, meskipun penggunaan bahasa daerah setempat ini tidak secara eksplisit di atur oleh hukum adat. Proses interaksi sosial masyarakat luar, mendorong masyarakat hukum adat untuk mempelajari bahasa nasional. Selain itu, masyarakat juga sudah terbuka terhadap informasi dari luar melalui radio maupun televisi. Kemudian untuk berkomunikasi dengan orang luar yang tidak dapat berbahasa daerah setempat, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia. Kesenian tradisional masih ada, namun proses pelestariannya masih sangat kurang. Generasi muda kurang diperkenalkan dengan kesenian tradisional, baik dalam bentuk tari-tarian maupun musik tradisional - , sehingga dapat mengancam kepunahan kesenian tradisonal. Di dalam aturan adatpun memang ada kewajiban bagi lembaga adat maupun masyarakat untuk tetap mempertahankan seni budaya lokal. Namun demikian pengaruh kesenian modern yang dibawa oleh warga yang bekerja di
kota, atau dibawa oleh masyarakat yang secara intensif
melakukan transaksi dengan orang kota, sudah mulai memasuki kehidupan masyarakat hukum adat, seperti tape recoreder dan video. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi 1).
Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Damang Kepala Adat.
44
2).
Aturan hukum adat sudah mulai longgar daya pengikat terhadap perilaku masyarakat. Hal ini antara lain sebagai pengaruh dari proses interaksi dengan masyarakat kota, dan penyebaran teknologi informasi yang tidak dapat dikendalikan oleh lembaga adat. Salah satu pengaruh dari lemahnya ketaatan terhadap hukum adat tersebut, yaitu terjadinya konflik sosial antar warga masyarakat.
b. Kendala Pengakuan hukum merupakan hal yang sangat penting, karena akan menentukan eksistensi masyarakat hukum adat, dan pemenuhan hak dan kebutuhan masyarakat hukum adat tersebut. Namun demikian masih ditemukan berbagai kendala dalam implementasi hukum, yaitu : 1). Dalam praktiknya belum ada komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah untuk pemberdayaan masyarakat hukum adat. 2). Kurangnya prasarana/sarana yang mendukung kelembagaan adat setempat. 3). Tidak ada biaya yang mendukung kegiatan pada kelmbagaan adat. 4). Kurangnya wawasan masyarakat terhadap hukum adat sebab belum tersedia hukum adat secara tertulis. 5). Belum tersedia data tentang masyarakat hukum adat dan kelembagaan adat. 4. Harapan Dalam upaya pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat, sehingga mereka dapat menjalani kehiduan sebagaimana msyarakat pada umumnya, yaitu : 1). Terakomodasinya kepentingan Masyarakat hukum adat. 2). Agar Masyarakat hukum adat di Kalimnatan Tengah memiliki jaminan hukum yang pasti terhadap eksistensi dan hak-hak adat yang ada di sekitar mereka. 3). Hukum adat dapat dikukuhkan dengan Undang-Undang maupun Peraturan Daerah sesuai dengan keberadaan dan kepentingannya. 4). Kelembagaan adat mendapat bantuan pendanaan sesuai kebutuhan.
45
5). Kesadaran masyarakat terhadap hukum adat semakin meningkat, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik antar kelompok masyarakat. 6). Ada pengakuan melalui peraturan/yuridis formal secara tegas dan jelas terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. H. PROVINSI BANTEN 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Masyarakat Baduy merupakan penduduk Desa Kanekes, Kecamatan Luewidamar Kabupaten Lebak. Secara georafis Desa Kanekas terletak di aliran Sungai Ciujung pada pegunungan Kendeng. Sebagaimana disebutkan
di
dalam
Keputusan
Bupati
Lebak
Nomor
590/Kep.233/Huk/2003 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Detail Tanah Ulayat Masyarakat hukum adat Baduy, bahwa luas Desa Kanekes sama luasnya dengan luas tanah ulayat yang didiami oleh Masyarakat Baduy, yaitu 5.136,58 Ha. Artinya, batas-batas wilayah Desa Kanekes sama dengan batas-batas wilayah tanah ulayat Masyarakat Baduy. b. Kebudayaan Pemeritah Kabupten Lebak memperhatikan dengan sungguh/sungguh keberadaan Masyarakat Baduy sebagai masyarakat hukum adat. Perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy, yang selanjutnya Perda ini dikenal dengan Perda Lembaga Adat. Adapun alasan Pemerintah Kabupaten Lebak melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap adat istiadat dan lembaga adat Masyarakat Baduy, yaitu : Pertama, untuk mencegah pengaruh dari luar yang akan merusak nilai-nilai positif adat istiadat Masyarakat Baduy, Kedua, agar adat istiadat Masyarakat Baduy, sebagai milik nasional dapat lebih berdaya guna bagi kelangsungan pembangunan, ketahanan nasional, menunjang kebudayaan nasional dan kelangsungan jalannya pemerintahan. Upacara adat yang perlu dibina dan dikembangkan 46
misalnya upacara seba (persembahan hasil bumi), sistem perkawinan dan sistem pengendalian diri dan lingkungan. Dinilai masih ada kelemahan pada SK Gubernur Jawa Barat tahun 1968 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990, maka kemudian pada tahun 2001 diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Baduy (Perda Ulayat Baduy). Perda ini dimaksudkan untuk melindungi pelanggaran hukum adat yang dilakukan oleh orang luar. Contohnya, orang luar berkebun di tanah ulayat Masyarakat Baduy dengan menanam komoditas yang justru dilarang oleh hukum adat Masyarakat Baduy, dan praktek penebangan kayu di hutan lindung Baduy. Selain itu dalam upaya mengamankan fungsi wilayah ulayat Masyarakat Baduy sebagai sumber mata air, mencegah banjir dan melindungi hewan-hewan dari tindakan perburuan orang luar. Kemudian berkenaan dengan pemerintahan desa, diterbitkan Peraturan Daerah Kabupten Lebak Nomor 5/2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupataen lebak Nomor
29 Tahun 2000 tentang
Pemerintahan Desa, berlaku umum. Bab VI dari Perda mengatur tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat-Istiadat serta Lembaga Adat. Dengan tegas diatur mengenai larangan bagi anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa untuk
melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma adat istiadat atau norma-norma yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah
Daerah
mengalokasikan
dana
untuk
mendorong
Masyarakat Baduy terus terbuka dengan dunia luar. Ini juga dilakukan dengan maksud agar Masyarakat Baduy sejajar dengan masyarakat lain terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Cara yang dilakukan adalah dengan mewarnai desa-desa yang ada di sekitar Desa Kanekes. Misalnya, membangun mesjid dan sekolah atau memberikan TV. Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata adalah dinas yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan adat istiadat. Tupoksi itu tepatnya di bawah tanggung jawab Sub Dinas
47
Seni dan Budaya yang salah satu fungsinya adalah melestarikan dan mengembangkan nilai budaya serta meningkatkan pelestrian adat istiadat yang positif. Antara lain mendukung upacara-upacara adat semacam seba atau sereen taon. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Aspek kewilayah yang didiami oleh Masyarakat Baduy telah diatur secara tertulis melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Melalui Perda tersebut diakui eksistensi tanah ulayat dan hak-hak Masyarakat Baduy untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Selain ditetapkan secara yuridis melalui Perda, secara kultural Masyarakat Baduy telah memiliki wilayah ulayat untuk menjalani kehidupannya yang diperoleh secara turun temurun. Perasaan sebagai pemilik atas anah ulayat ini yang kemudian menjadi dasar Pemerintah Daerah untuk memberikan pengakuan secara yuridis atas wilayah Masyarakat Baduy. c. Kebudayaan Desa Kanekes terdiri atas 52 kampung atau dusun. Tiga diantaranya adalah Kampung Baduy Dalam dan sebanyak 49 kampung adalah Kampung Baduy Luar. Istilah Baduy Dalam dan Baduy Luar menggambarkan pembagian kelompok sosial. Masing-masing memiliki peranan yang berbeda, namun memiliki satu sistem pemerintahan (adat dan negara). Pusat pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin pemerintahan adat di Desa Kanekes atau Masyarakat Baduy. Ketiga Puun ini tinggal di kampung yang berbeda. Puun dibantu oleh Girang Seurat yang membidangi masalah keamanan, dan Jaro Tangtu yang mewakili Puun setiap kampun dan juga berperanan sebagai
juru bicara untuk
hubungan-hubungan luar. Sedangkan pemerintahan negara/desa dijalankan oleh struktur yang lain. Kepala Desa dinamakan dengan Jaro Pamarintah yang tinggal di kalangan Baduy Luar. Jaro Pamarintah dibantu oleh sekretaris desa atau carik. Orang yang menjabat sebagai carik berasal dari luar Masyarakat
48
Baduy, karena terampil membaca dan menulis. Tatanan sosial Orang Baduy masih mengandalkan adat, adat istiadat dan hukum adat sebagai sumber nilai dan norma. Adat istiadat dan hukum adat masih hidup bersamaan dengan terawatnya alam dan bertahannya kelembagaan adat. Untuk
membantu
pekerjaan
sehari-hari,
Masyarakat
Baduy
menggunakan teknologi yang sederhana, yang dikembangkan oleh mereka sendiri secara turun-temurun. Mereka masih belum bisa menerima teknologi modern, karena dinilai tidak sesuai dengan adat istiadatnya. Pengetahuan yang berkenaan dengan tata kehidupan ekonomi, sosial, budaya, agama dan lingkungan pada umumnya diperoleh secara turun temurun. Masyarakat masih belum terbuka terhadap pendidikan modern (sekolah formal). Sistem ekonomi yang dikembangkan bersifat subsisten dan lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam, seperti bertani, atau berladang. Mereka mengolah tanah ulayat, yaitu tanah adat yang dikuasai secara kolektif. Masyarakat Baduy dalam berkomunikasi antar mereka menggunakan adalah bahasa sunda. Namun demikian sebagian dari mereka sudah mampu berbahasa Indonesia, terutama ketika berkomuniaksi dengan orang luar. Mereka masih konsisten melestarikan seni dan budaya lokal seperti : musik tradisional, upacara adat (seba dan seren taon) dalam siklus kehidupan masih dijalankan, dan dilestarikan secara turun temurun. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak, sampai saat ini tetap konsisten menganggap Masyarakat Baduy sebagai masyarakat hukum adat. Anggapan inilah yang melahirkan sejarah panjang pengakuan hukum
terhadap Masyarakat Baduy. Pengakuan Pemerintah Daerah
bahwa Masyarakat Baduy adalah masyarakat hukum adat dengan wilayah dan hak-hak atas wilayahnya, diawali oleh Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 203/B.V/Pem/SK/68 tentang Penetapan Status ”Hutan Larangan” Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai ”Hutan Larangan” dalam Kawasan Hak Ulayat Adat Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya pada tahun
49
1986 keluar lagi Keptusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 140/Kep.526-Pemdes/1986, tentang Penetapan Kanekes sebagai desa definitif yang memberikan pengakuan secara tegas mengenai luas dan batas-batas kawasan tanah ulayat Masyarakat Baduy, sehingga mencegah berbagai tindakan penyerobotan dari luar. b. Kendala Ada sejumlah kendala dalam implementasi hukum dalam kerangka pemberdayaan masyarakat hukum adat, yaitu : 1). Pemerinta Daerah Kabupaten Lebak tidak memiliki rancangan program,
terbatasnya
anggaran
dan
sarana/prasarana
untuk
memfungsikan lembaga adat. 2). Masih sering terjadi pelanggaran hukum dari orang luar, misalnya penebangan kayu, penggembalaan kerbau di lahan pertanin dan pengambilan daun aren. 3). Pelanggaran tersebut belum diberi sanksi yang tegas, ada kesan polisi pun malas untuk meneruskan dengan malakukan penyidikan. 4. Harapan Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat, maka diharapkan : 1).
Diterbitakannya Peraturan Presiden yang mengatur Perlindungan Masyarakat
Baduy,
mengingat
Perda
yang
ada
dalam
implementasinya masih menghadapi kelemahan. 2).
Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak memiliki rancangan program yang jelas, dan anggaran serta sarana/prasarana untuk memfungsikan lembaga adat.
3). I. PROVINSI SULAWESI SELATAN 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Hukum tertulis menyangkut aspek kewilayahan masyarakat hukum adat tertampung di dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 21 tentang
50
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat dan lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat hukum adat. b. Kebudayaan Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pemberdayaan masyarakat hukum adat, yaitu dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 menjelaskan bahwa : a). Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam satu masyarakat hukum adat di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengakui, mengatasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan, dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. b). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah atau kegiatan sosial yang berubah dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa atau satuan masyarakat lainnya, serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan yang merupakan
kebiasaan-kebiasaan
dalam
kehidupan
masyarakat
setempat. Kemudian pada Bab IV Pasal 5 ayat (1) disebutkan, bahwa Lembaga Adat berkedudukan sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan/ permufakatan kepala adat/ketua adat atau pemuka adat lainnya yang berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat (2) disebutkan, bahwa Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu : 1). Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan menyangkut hukum adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
51
2). Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah
serta
memberdayakan
masyarakat
dalam
pemerintahan,
pelaksanaan
pembangunan
penyelenggaraan
menunjang dan
pembinaan kemasyarakatan. 3). Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara kepala adat/pemangku adat dan pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah. Pada ayat (3) dijelaskan, jika ada perbedaan pendapat antara lembaga adat dan aparat pemerintah di daerah, perbedaan itu diselesaikan dengan musyawarah/mufakat.
Apabila
tidak
berhasil
diselesaikan
maka
penyelesaian dilakukan oleh Kepala Pemerintahan dan Lembaga Ada yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat. Selanjutnya pada Bab V Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat mempunyai hak dan kewajiban, yaitu : a). Mewakili masyarakat hukum adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat hukum adat. b). Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat dan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik. c). Menyelesaikan perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada ayat (2) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat berkewajiban : a). Membantu
kelancaran penyelenggaraan pemerintah pelaksanaan
pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, terutama dalam pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat.
52
b). Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama, pemerintah desa atau kelurahan dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan
pemerintahan
yang
bersih
dan
berwibawa,
pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis. c). Menciptakan
suasana
yang
dapat menjamin terpeliharanya
kebhinekaan adat dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Pada bab VI Pasal 7 disebutkan, bahwa susunan organisasi Lembaga Adat ditetapkan oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan BPD. Pada Bab III Pasal 4 ayat (5) dalam Peraturan Daerah nomor 19 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat; disebutkan bahwa tujuan pembinaan adalah untuk meningkatkan sikap positif terhadap adat istiadat dan lembaga adat dapat mencapai taraf hidup yang lebih baik. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Kewilayah ditetapkan secara turun temurun dengan luas wilayah tetap, dan bahkan cenderung berkurang. Sebagian wilayah penguasaannya secara
kolektif atau ulayat, dan sebagian lain penguasaannya oleh
perorangan. b. Kebudayaan Masyarakat hukum adat dipimpin oleh Pemangku Adat/Penghulu yang memiliki kewenangan mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat dalam berbagai kepentingan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih mengembangkan nilai gotong royong dan senantiasa berupaya mengatasi permasalahan yang terjadi secara bersama-sama. Transformasi pengetahuan dan teknologi secara turun terumun dari generasi ke generasi, terutama pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan musim, flora fauna, hari baik hari buruk, ramuan obat atau gejalagejala alam yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Sistem mata pencaharian hidup yaitu mengolah alam seperti berkebun, bersawah dan berladang serta nelayan. Meskipun sumber ekonomi mereka 53
tergantung dari alam, namun mereka tidak pernah merusak alam. Mereka memegang teguh kearifan lokal dalam berinteraksi dengan alam yang memberikan kehidupan turun temurun bagi anak cuku mereka. Dalam berkomunikasi antar mereka, digunakan bahasa setempat yang khas yang kadang tidak dapat dimengerti oleh komunitas yang lain. Penggunaan bahasa mengikuti struktur berdasarkan status sosial dalam masyarakat. Kemudian
untuk
mempertahankan
adat
istiadat,
mereka
menyelenggarkaan berbagai upacara adat dalam siklus kehidupan manusia, seperti pada saat kehamilan, kelahiran, turun tanah, dikhitan, menikah dan meninggal dunia. Selain upacara adat, masyarakat hukum adat juga masih memelihara seni budaya lokal yang merupakan warisan leluhur mereka. Seni budaya dalam bentuk tarian, musik dan tarian tradisional biasanya ditampilkan bertepatan dengan hari-hari tertentu untuk melengkapi upacara adat. Di kalangan Suku Bugis ada seni sastra yang tertulis dalam lontar yang menggunakan aksara Bugis/Makasar. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Implementasi pengakuan hukum oleh Pemerintah Daerah dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat dicermati dari belum adanya Peraturan Daerah yang memberikan perhatian secara khusus terhadap kehidupan masyarakat hukum adat.
b. Kendala Implementasi pengakuan hukum masih dihadapkan pada beberapa kendala, yaitu : 1). Belum adanya kemauan politik dari Pemerintah Daerah untuk memberikan pengakuan hokum terhadap eksistensi Masyarakat hukum adat. 2). Belum ada Peraturan Daerah yang mengatur secara khusus, termasuk aspek hukum kepemilikan tanah ulayat.
54
4. Harapan Agar Masyarakat hukum adat memperoleh pengakuan hukum secara memadai, maka diharapkan : a. Adanya Peraturan Daerah yang secara khusus memberikan pengakuan secara hukum terhadap eksistensi dan hak-hak Masyarakat hukum adat. b. Pemerintah
mengembangkan
program
”pembangunan
budaya”
berdampingan dengan pembangunan ekonomi dan politik.
J. PROVINSI BALI 1. Hukum Tertulis 1. Kewilayahan Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. 2. Kebudayaan Kehidupan beragama/kepercayaan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.di dalam Bab V Pasal 1. Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran Hindu. Semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk, merupakan sistem organisasi sosial. Berkenaan dengan sistem organisasi sosial diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman Bab VII Pasal 1. Peraturan
Daerah
(Perda)
menggunaan/pengembangan teknologi
55
yang
mengatur
belum ada. Meskipun demikian
pemerintah
daerah
terus
mendorong
seluruh
masyarakat
untuk
mengembangkan teknologi tepat guna yang akan memberikan manfaat bagi kehidupan yang lebih baik. Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman yang mengatur pengetahuan/pendidikan terdapat pada Bab IV Pasal 4. Selain itu melalui kebijakan dan program dinas pendidikan, pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada putra-putra daerah termasuk dari masyarakat hukum adat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Program-program bantuan pendidikan pun, diluncurkan oleh Pemerintah Daerah, yang menjangkau seluruh anak-anak yang sedang menempuh pendidikan. Berkenaan dengan aspek ekonomi, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya antara lain mengatur fungsi desa adat untuk membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu di dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. Selanjutnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya mengatur dengan jelas, bahwa salah satu fungsi
desa adat
adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka/ musyawrah untuk mufakat. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat disebut ”Prabumian Desa” atau Wewengkon Bale Agung” . Wilayah desa adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat desa adat. b. Kebudayaan Agama Hindu menempati posisi ”superstruktur” bersama dengan nilainilai, cita-cita dan simbol ekspresif lainnya. Kemudian desa adat 56
(Pakraman) sebagai lembaga berkedudukan sebagai ”dasar” bersama norma dan organisasi lainnya. Agama Hindu merupakan payung bagi norma hukum adat (awig-awig) dan organisasi sosial desa adat. Dengan demikian ajaran Hindu akan terwujud dalam norma-norma adat kehidupan Krama Desa Adat. Desa Adat (Pakraman) sebagai lembaga sosial keagamaan yang bertindak sebagai wadah dan sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan agama di tingkat desa. Desa Pakraman sejak awal telah ditata untuk menjadi desa religius, dibentuk berdasarkan konsep-konsep dan nilai-nilai filosofis Agama Hindu. Oleh karena itu, pengurus Desa Pakraman bukan Kepala Desa, melainkan Ketua (Kubayan, Bayan, Kelihan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha), yang bermakna guru spiritual lokal di desa. Desa Pakraman terus mengadakan penyesuaian sesuai dengan asas Desa Mawa Cara. Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan. Desa Pakraman memiliki banjar sebagai pembagian wilayah kerja yang sudah sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali. Desa ini punya tugas dan kewajiban mengurus pura (kahyangan) desa. Berbeda dengan desa-desa pada umumnya, sesungguhnya Desa Pakraman ini ”pasraman” tempat melakukan penempaan diri di bidang pengamalan dharma, untuk mendapatkan Catur Purusa Artha. Kemudian konsep dan nilai dasar dalam hubungan sosial dan kekerabatan adalah ’tat twam asli’ dimana konsep ini melahirkan nilainilai ; kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung sabayantaka), keselaran (sagilik saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan (paras-paros, ngawe sukaning wong len). Awig-awig adalah aturan hukum yang mengatur hubungan sosial antar warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga masyarakat yang dinilai melanggara awig-awig tersebut, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.
57
Sebagai masyarakat terbuka, masyarakat hukum adat di Bali leluasa untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan.
Meskipun
demikian,
pemanfaatan
dan
pengembangan
teknologi tersebut tetap harus memperhatikan aturan adat dan ajaran Hindu. Masyarakat hukum adat leluasa dalam berpartisipasi dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai daerah tujuan wisata internasional, setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mempelajari berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan bahasa asing, pemandu wisata, souvenir dan seluk beluk kepariwisataan. Fungsi desa adat untuk membantu pemerintah menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Tentu saja pemanfaatan kekayaan desa adat tidak keluar dari rambu-rambu yang telah diatur di dalam aturan adat, dan dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahtyeraan bersama. Ciri Bali yang istimewa adalah agama, adat dan budaya yang menyatu dan ini telah menjadi jati diri masyarakat Bali. Oleh karena itu, kesenian sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali. Berbagai bentuk kesenian tradisional, baik tari, musik (tabuh), pahat, anyaman dan nyanyian tradisional (kidung) dikembangkan oleh masyarakat melalui padepokan (sanggar seni) secara turun temurun. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Masyarakat hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat diakui oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Kepala Desa Adat. b. Kendala Sejauh ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat, karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam
58
kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat. 4. Harapan a. Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan, kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan fungsi desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur). b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa yang kongkrit de facto dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan agama akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.
K. NUSA TENGGARA BARAT 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Hukum tertulis yang berupa Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat hingga saat ini belum ada. Meskipun demikian Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten memberikan pengakuan terhadap lembaga adat pada Suku Sasak dengan penguasaan wilayah yang berupa tanah ulayat. Tanah ulayat tersebut kepemilikannya secara kolektif berdasarkan hukum adat, dan dalam penggunaannya sesuai hukum adat dan persetujuan dari kepala suku. b. Kebudayaan Pemerintah daerah tetap mempertahankan kondisi hukum adat yang selama ini ada. Salah satu bentuk perhatian Pemerintah Daerah terhadap eksistensi lembaga dan hukum adat tersebut adalah diresmikannya lembaga adat di Desa Sukrarane di Kecamatan Sikra Barat Kabupaten Lombok Timur, meskipun belum dikukuhkan secara yuridis. Lembaga adat di desa Sukrarane ini diharapkan sebagai contoh penerapan hukum
59
adat yang dikembangkan menjadi lembaga pendidikan adat lebih mengedepankan penanaman nilai moral berbasis kelembagaan adat. Khusus pada Suku Sasak, kelembagaan adat dilandaskan pada agama Islam, sedangkan pengembangan budaya berkembang melalui budaya susunjaga sebagai warisan dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. Musyawarah dan mufakat selalu ditekankan dalam Suku Sasak. Ada tiga tokoh masyarakat/adat yang berperanan dalam pembangunan masyarakat, yaitu ; a). Pengusung, adalah kepala desa selaku kepala pemerintahan yang mengelola administrasi pemerintahan. b). Penghulu, adalah tokoh agama atau tuan guru yang senantiasa berperanan memberikan nasehat kepada seluruh masyarakat dengan merujuk pada Al-Quran dan Hadist. c). Pemangku adalah ketua adat tempat masyarakat meminta nasehat dan petunjuk dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Berbagai artefak kebudayaan masyarakat memperoleh perhatian dari Pemerintah Daerah NTB dengan dibangunnya Taman Budaya NTB. Di dalam taman budaya tersebut, hasil karya yang bernilai seni budaya dari berbagai suku di NTB. Namun demikian dokumen tertulis yang menjelaskan kebudayaan masyarakat tersebut banyak yang sudah aidak terdokumentasikan. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Masyarakat hukum adat Suku Sasak di Kabupaten Lombok, dan Suku Mbojo di Kabupaten Bima mendiami suatu wilayah secara berkelompok. Mereka telah mendiami wilayah tersebut secara turun temurun, sehingga terbentuk sistem kekerabatan yang kuat. Penguasaan wilayah tersebut secara kolektif, dan karenanya tidak dapat dimiliki secara pribadi. Hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan wilayah ulayat tersebut diatur secara adat dan dikendalikan oleh Kepala Suku. Sedangkan Suku Samawa di Kabupaten Sumbawa hidup berkelompok dan berpindahpindah dari satu daerah ke daerah lain. 60
b. Kebudayaan Di Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat tiga suku besar, yaitu Suku Sasak, suku Mbojo dan Suku Samawa. Suku Sasak mendiami Pulau Lombok, dan mereka masih mempertahankan eksistensi kelembagaan adat melalui Balai Adat. Kemudian Suku Mbojo atau kenal pula dengan dana Mbojo (Tanah Bima) mendiami Kabupaten Bima, Dompu dan sekitarnya. Selanjutnya Suku Samawa mendiami Sumbawa dan sekitarnya. Suku ini hidupnya berpindah-pindah dari satu wilayah ke wialayah lain. Keberadaan lembaga adat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya kasus Kabupaten Lombok Barat
dan Lombok Timur telah
banyak membantu pemerintah dalam menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi pada masyarakat. Ketika hukum formal tidak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat, maka hukum adatlah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut selama tidak bertentangan dengan hukum pemerintah. Prinsip hukum adat yang dikembangkan bersifat universal, sehingga sampai saat ini Pemerintah Provinsi NTB tetap menerapkan hukum adat dalam membangun nilai-nilai kesetikawanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh penyelesaian masalah hukum melalui hukum adat, yaitu pada kasus Desa Sukrarare. Di desa ini, administrasi pemerintah desa dilaksankaan oleh pemeritnah desa, akan tetapi penyelesaian masalah hukum diselesaikan melalui hukum adat oleh kelembagaan adat. Penyelesaian permasalahan melalui hukum adat tersebut dilakukan di Balai Adat. Semua keputusan hukum dilahirkan melalui Balai Adat, sehingga seluruh masyarakat dapat hadir untuk melihat dan memberikan saran yang pada akhirnya pengusung, penghulu dan pemangku memutuskan melalui upacara adat apabila aspek hukum dipandang benar dan perlu mendapat perhatian secara seksama. Hukum adat di NTB tidak menghendaki keputusan salah atau benar. Akan tetapi harus mengarah pada perdamaian yang diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam penyelesaian permasalahan itu terjaga perasaan masing-masing pihak yang bermasalah.
61
Balai Adat dibangun atas swadaya masyakaat, dan dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Selain sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan warga, Balai Adat juga digunakan untuk pelestarian dan penanam nilai budaya. Melalui Balai Adat ini diharapkan adat istiadat Suku Sasak mampu mengikuti perkembangan jaman tanpa harus mengalami pelunturan nilai budaya. Melalui Balai Adat ini terbangun komitmen, bahwa budaya bukan sesuatu yang tertutup, akan tetapi diharapkan mampu diterapkan sebagai bagian dari kehidupan. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum a. Implementasi Pemerintah
Daaerah
Provinsi
maupun
Kabupaten
mengakui
eksistensi Masyarakat hukum adat, kelembagaan adat, adat istiadat dan struktur yang mengendalikan aktivitas pada kelembagaan adat. Namun demikian pengakuan tersebut belum didukung dengan perangkat perundang-undangan (misal dalam bentuk Perda), sehingga belum memiliki kekuatan secara yuridis. b. Kendala Kendala yang masih dirasakan implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat adalah masih rendahnya komitmen Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan terhadap dokumen yang bersifat tradisional, sehingga dokumen yang sangat berharga tersebut mudah ke tangan orang asing.
4. Harapan a. Pemerintah Daerah wajib untuk melindungi seluruh dokumen hukum adat yang tertulis diberbagi buku perundang-undangan yang bersifat tradisional, sehingga membatasi keluarnya dokumen tersebut pada kolektor. b. Pemerintah Daerah mengupayakan pengembalian seluruh benda bersejarah yang dimiliki kolektor di luar negara Indonesia.
62
L. PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1974 menerbitkan Peraturan Daeah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 8 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah. Bab I pasal 1 (3) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”tanah” ialah tanah bekas pengusaan masyarakat hukum adat/tanah suku. Kemudian pada pasal 2 (1) dinyatakan ”tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan sebagai tanah-tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah cq Gubernur Kepala Daerah. Secara tersirat, terbitnya peraturan tersebut sebagai gambaran semakin berkurangnya hak atas tanah ulayat di bawah penguasan masyarakat hukum adat dengan alasan tertentu, dan berpindah menjadi di bawah penguasan Pemerintah Daerah. b. Kebudayaan Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao menerbitkan Peraturan Daerah No. 21 tahun 2006 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Usaha Tenun Ikat. Di dalam Bab II pasal 2 (1) dinyatakan, bahwa maksud dari pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat adalah (a) mendorong masyarakat agar secara serius menekuni usaha tenun ikat. Kemudian pada pasal 2 (2) dinyatakan, bahwa pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat adalah (a) melestariakn karya seni yang terkandung di dalam hasil karya tenun ikat, (b) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat dan (c) mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat hukum adat banyak yang menekuni usaha tenun ikat. Oleh karena itu, keluarnya Perda ini akan memberikan pemberdayaan dan perlindungan pula terhadap masyarakat hukum adat, khususnya di bidang ekonomi. Melalui Perda ini diharapkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat hukum adat akan semakin lebih baik, dan seni budaya mereka (dalam bentuk tenun ikat dengan corak yang khas) dapat dilestarikan.
63
2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Hak atau kliam atas suatu wilayah sudah diatur secara ulayat (tanah suku, hutan suku) yang batas-batasnya diakui oleh komunitas lain di desa. Wilayah dikuasai oleh suku dan pemanfaatannya diatur oleh kepala suku (raja) untuk seluruh warga secara turun temurun. Penentuan batas-batas wilayah menggunakan simbol/tanda seperti pohon, menyusun batu karang menyerupai tugu, dan mengunakan batas sungai. Berkenaan dengan kewilayahan ini, masyaralat hukum adat mengenal tempat-tempat keramat seperti hutan keramat, hutan larangan, kawasan perburuan binatang dan kawasan bercocok tanam. b. Kebudayaan 1). Agama/Kepercayaan Agama sudah dianut oleh sebagai besar masyarakat, namun kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat. Misalnya, di Sumba masih ada masyarakat yang belum memeluk agama samawi. Mereka masih menganut agama nenek moyang mereka yang disebut ”merapu”. Kemudian di Kepulauan Raijua, masyarakat menganut kepercayaan ”jinitui”. Masyarakat masih melakukan upacara tradisional seperti upacara di kebun, sawah, upacara bangun rumah adat, memohon turunnya hujan, upacara perkawinan adat, kematian dan lain-lain yang dilaksnakan secara turun temurun yang sangat boros. 2). Sistem organisasi sosial Terdapat pranata sosial (lembaga adat) yang mengatur urusan adat istiadat perkawinan, kematian dan lain-lain. Tiap-tiap suku di dalam suatu kelompok dibebani biaya sesuai kebutuhan yang harus dipenuhi walaupun dengan cara berhutang. Masyarakat hukum adat sudah mengenal pimpinan formal, namun pengaruh pimpinan informal (kepala suku dan tetua-tetua adat) masih sangat kuat. 3). Teknologi Teknologi yang dimiliki merupakan warisan leluhur, seperti dalam bercocok tanam, mengolah makanan dan beternak. Mereka
64
sudah mengenal peralatan dari besi (parang, linggis dll) yang dibuat oleh pandai besi warga desa. Peralatan rumah tangga memanfaatkan bahan-bahan lokal, seperti piring makan dan sendok nasi terbuat dari tempurung kelapa. Pengaruh teknologi sudah mulai memasuki desa dan sebagian masyarakat sudah mulai mengikuti perkembangan teknologi informasi (TV, HP dsb). 4). Pengetahuan/pendidikan Sistem pengetahuan diperoleh secara turun termurun dari leluhur mereka. Pengetahuan tentang kebiasaan baik dan buruk sudah tertanam/diajarkan sejak kecil (bertutur kata, hormat kepada orang tua, berdoa, dan tidak melawan orang tua dll). Dalam sistem pengobatan, masyarakat hukum adat menggunakan ramuan tradisional, dimana pengetahuan pengobatan ini diperoleh secara turun temurun. Misalnya, memakan daging tokek untuk penyembuhan sakit asma, dan memakan daun pucuk jambu batu untuk pengobatan sakit diare. 5). Ekonomi Sebagian masyarakat dalam perdagangan masih menggunakan sistem barter. Misal, jagung ditukar dengan ikan dll. Selain berladang dengan sistem tebas bakar secara berpindah-pindah, masyarakat mengembangkan kerajinan rakyat seperti tenun dan anyaman. Sebagian masyarkat posisinya dalam berdagang sebagai penerima harga, bukan sebagai penentu harga. Informasi tentang harga hasil pertanian, tenun, anyaman atau nelayan tidak diketahui oleh warga masyarakat. Harga barang dalam transaksi jual beli sepenuhnya diatur oleh pembeli. 6). Bahasa /Komunikasi Bahasa daerah digunakan sejak lahir sampai usia sekolah. Bahasa daerah menjadi alat komunikasi utama dalam berinteraksi antar mereka. Saat sekolah anak-anak diajarkan bahasa Indonesia. Dan sebagian dari masyarakat hukum adat sudah bisa berbahasa Indonesia ketika
berkomunikasi
dengan
orang
luar.
Kemudian
dalam
menyampaikan berita duka, masyarakat hukum adat menggunakan
65
giring-giring yang diikatkan pada leher kuda; dan memukul kentongan sebagai isyarat panggilan guna mengikuti pertemuan. 7). Kesenian Banyak kesenian tradisional yang diatur oleh masyarakat desa secara turun temurun. Jenis-jenis seni budaya tradisional seperti gong, ikusai, tebe, seruling bambu, tarian dan lagu tradisonal, permaian rakyat seperti gasing dan lain-lain. Seni budaya tradisioonal tersebut dipentaskan pada hari besar menurut hitungan adat atau kepercayaan yang mereka anut. Namun demikian, generasi muda sudah banyak yang tidak menguasai seni budaya tradisonal tersebut, sehingga merupakan ancaman serius dalam pelestariannya. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT a. Implementasi Meskipun
secara
yuridis
belum
ada
pengakuan
terhadap
masyarakat hukum adat, tetapi secara informal Pemerintah Daerah masih mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Pengakuan ini antara lain dengan dilakukannya pengukuan kepala suku oleh pemerintah dengan menggunakan istilah ”mane leo”. Namun demikian hak mereka atas tanah ulayat semakin berkurang karena beralih menjadi dibawah penguasan pemerintah. b. Kendala Untuk memperoleh pengakuan hukum dalam rangka peningkatan keberdayan, masyarakat hukum adat masih dihadapkan oleh berbagai kendala, yaitu : 1). Belum ada aturan yang jelas yang mengatur secara yuridis tentang masyarakat hukum adat. 2). Masih adanya sikap dari masyarakat hukum adat yang tidak mau menerima perubahan yang berasal dari luar.
66
3). Perbedaan status sosial, kedudukan di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri, dimana masih adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat atau kasta. 4). Terbatasnya sarana informasi yang dapat diakses oleh masyarakat hukum adat. 5). Ada pihak-pihak luar yang dengan sengaja memprovokasi msyarakat hukum
adat
untuk
menentang
kebijakan
pemerintah,
demi
kepentingan pihak luar tersebut. 6). Pada umumnya masyarakat hukum adat tinggal di kawasan yang secara geografis sulit dijangkau. 7). Pemerintah Daerah masih melihat masyarakat hukum adat sebagai obyek. 4. Harapan Untuk memperoleh pengakuan hukum dan peningkatan keberdayaan masyarakat hukum adat, maka diharapkan : a.
Adanya aturan hukum yang jelas, yang mengatur eksistensi masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, seperti hak ekonomi, sosial, politik, hukum dan sipil serta kelestarian sumber daya alam.
b.
Adanya pola pembinaan/pemberdayaan masyarakat hukum adat yang sistematis dan terukur.
M. PROVINSI PAPUA 1. Hukum Tertulis a. Kewilayahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut otonomi khusus Papua) sarat dengan pengaturan mengenai hak-hak masyarakat hukum adat. Pada bagian Penjelasan Umum ditegaskan, bahwa : ”... pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat.”
b. Kebudayaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat, dan hak-haknya atas sumber daya alam tidak 67
terlepas dari dasar-dasar hukum yang mendasari. Undang-undang ini mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak atas sumber daya alam, sebagai berikut : 1).
Pengakuan keterwakilan masyarakat hukum adat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengawasan
pembangunan.
Pengakuan ini dinyatakan dengan menjadikan wakil-wakil masyarakat hukum adat sebagai salah satu unsur dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Selain itu juga wakil dari kelompok agama dan perempuan. Jumlah wakil adat di MRP seluruhnya 1/3 dari jumlah MRP atau 14 orang. Urgensi keterwakilan masyarakat hukum adat di dalam MPR adalah : a). Melalui MRP masyarakat hukum adat dapat melindungi hakhaknya dari tindakan pelanggaran dan pengabaian oleh pemerintah dan pemerintah daerah. b). MRP dapat menyalurkan aspirasi masyarakat hukum adat dan memfasilitasi
penyelesaian
masalah
yang
terjadi
pada
masyarakat hukum adat. 2). Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, yaitu hak atas tanah dan hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana diatur pada pasal 43 dan pasal 44. Hak atas tanah meliputi hak bersama atau hak ulayat dan hak perorangan (penjelasan pasal 43 ayat (2)). Namun pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan catatan-catatan, yaitu : a). Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat bukan penguasa adat b). Penguasa adat hanya bertindak sebagai pelaksana dalam mengelola hak ulayat. 3).
Pengakuan terhadap peradilan adat (pasal 51) Undang-Undang Otonomi Khusus Papua meletakkan peradilan adat sebagai peradilan perdamaian yang tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana, penjara atau kurungan. Pengakuan peradilan adat diharapkan dapat mengurangi korban peradilan negara dalam menyelesaikan sengketa perdata atau perkara pidana yang melibatkan warga masyarakat hukum adat 68
4).
Dalam pasal 64 ayat (1) menegaskan. bahwa Undang-Undang juga mewajibkan pemerintah Provinsi Papua untuk menghormati hakhak masyarakat hukum adat dalam melakukan pengelolaan lingkungan
hidup.
Program
inventarisasi,
pengukuran
dan
pemetaan tanah-tanah ulayat di Provinsi Papua akan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/ Kota dengan menggunakan dana dari APBD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Dalam pasal 6 Undang-Undang Otonomi Khusus, mengatur mengenai bidang sosial : 1). Pemerintah provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua. 2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Berkaitan dengan ekonomi, Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan Peraturan daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian kawasan Hutan Sagu. Peraturan Daerah ini dikeluarkan sebagai upaya untuk melindungi kawasan hutan sagu sebagai cadangan bahanmakanan lokal, yang cendeung semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bab IV tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan
pada
pasal
8
(2)
menegaskan
bahwa
”kegiatan
pengembangan kawasan hutan dilakukan bersama masyarakat setempat”. Kemudian pada bab VII tentang Larangan pada pasal 14 (2) menegaskan bahwa larangan penjualan dan atau pelepasan tanah pada kawasan hutan sagu, baik hak miliki perrorangan maupun milik bersama atau hak ulayat. Apabila Peraturandaerah (Perda) ini dapat berjalan efektif, maka Masyarakat hukum adat di Papua tidak akan pernah menghadapi kekurangan cadangan bahan makanan sepanjang tahun. Selanjutnya berkaitan dengan pengaturan wilayah masyarakat hukum adat, saat ini dibuat Rancangan Perda Khusus Hak-hak Masyarakat hukum adat. Rancangan ini disiapkan sebagai respon terhadap peraturan yang telah ada karena dinilai :
69
1).
Belum terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kongkrit untuk membedakan antara hak ulayat dengan hak perorangan, apakah hak ulayat meliputi tanah, hutan dan perairan
2).
Rancangan Perdasus tanah layat dilihat masih harus mengacu pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi namun wilayah pelestariannya dibayangkan tidak hanya di luar kawasan hutan, tetapi juga di dalam kawasan hutan.
3).
Pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDA setiap sektor sebaiknya dilandasi oleh Perdasus yang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat
4).
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) sudah membuat pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun Perdasus mengenai suku-suku terasing, Perdasus ini akan menjadi Peraturan Pelaksanaan dari pasal 66 Undang-undang Otonomi Khusus.
Kemudian Pemerintah Daerah Provinsi juga telah menyiapkan Rancangan
Peraturan
Daerah
Khusus
Provinsi
Papua
tentang
Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan Terabaikan di Provinsi Papua. Rancangan yang telah disiapkan sejak tahun 2002 ini sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah betapa pentingnya pembangunan sosial yang khas di Provinsi Papau. Terutamam bagi suku-suku terisolir, terpencil dan terabaikan. Pada Bab II diatur hak-hak masyarakat suku terabaikan, yaitu hak menikmati semua bentuk pelayanan pembangunan yang meliputi pendidikan,
kesehatan,
perbaikan
gizi,
sanitasi,
perbaikan
perkampungan, sandang, pangan dan informasi pembangunan; dan hak atas
pembinaan
secara
berkesinambungan
dalam
segala
aspek
kehidupan. Kemudian pada bab III diatur penanganan dan pembinaan suku terbaikan, dimana pasal 3 dan psal 4 mengatur kewajiban Pemerintah Daerah untuk melakukan studi sosial guna memperoleh data populasi dan pesebaran suku-suku terabaikan, menyusun prorgam dan model penanganan, pemberian bantuan, 70
tidak memberikan tekanan yang
memaksa yang menyebabkan suku-suku terabaikan kehilangan harga diri, dan pelibatan kelompok masyarakat dalam pembangunan. Selanjutnya pada bab IV diatur pemberdayaan kelompok suku terabaikan, dimana pada pasal 5 dan pasal 6 mengatur tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyiapan program pemberdayaan, kebijakan khusus, menyediakan forum peran serta masyarakat, pola pendampingan, dan kemitraan dalam pemberdayaan. Selanjutnya sebagai bentuk komitmen Pemerintah Provinsi Papua terhadap Komunitas Adat Terpencil, sebagai bagian dari
suku-suku
terisolir, terpencil dan terabaikan sebagaimana diatur di dalam Rancangan
Peraturan
Daerah
Khusus
Provinsi
Papua
tentang
Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan Terabaikan di Provinsi Papua tahun 2002, telah sejak tahun 2003 telah disiapkan rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Pada bab III pasal 5 pada rancangan peraturan tersebut mengatur peranan pemerintah, dalam hal kebijakan teknis, pemberian kewenangan kepada Dinas Kesejahteraan Sosial sebagai unit teknis yang melakukan kegiatan pemberdayaan, koordinasi fungsional antara pemerintah provinsi dan kabupaten, studi sosial bersama perguruan tinggi dan standar pelayanan sesuai dengan kebijakan Menteri Sosial. Khusus berkaitan dengan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), Badan Perncana dan Pengendali Pembangunan Daerah (BP3D) memfasilitasi pertemuan 4 instansi yang menangani pemukiman KAT, yaitu : 1).
Dinas Kesejahteraan Sosial, Badan Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD), Dinas Kependudukan dan Transmigrasi, serta Dinas Pekerjaan Umum. Kesepakatan itu adalah pembagian kerja antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan BPMD dalam hal penanganan masyarakat terisolir atau KAT.
2).
Pembagian kerja : a). Dinas
Kesejahteraan
Sosial
bertugas
mengumpulkan
masyarakat menjadi komunitas yang relatif menetap termasuk di dalamnya menyediakan perumahan 71
b). Setelah itu, BPMD tersebut masuk untuk memfasilitasi pembentukkan pemerintah kampung c). Pemerintah Provinsi Papua sudah mulai menganggarkan dana untuk masyarakat terasing yang dikelola oleh BPMD. 2. Hukum Tidak Tertulis a. Kewilayahan Wilayah kekuasaan adat untuk masyarakat Biak berjejeran dari petak laut atau dalam bahasa setempat ”swan fior” sampai ke hutan belantara atau ”kannggu”. Dalam suatu wilayah (bar) terdapat sejumlah kampung. b. Kebudayaan Dalam mengatur tatanan kehidupan, masyarakat hukum adat di Kabupaten Biak mempunyai pranata-pranata adat yang berfungsi mengendalikan pola relasi adat di antara masyarakat dan dengan alam. Masyarakat hukum adat mempunyai institusi adat yang merupakan institusi tertinggi, dengan kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar. Ia mengatur aktifitas dan pergaulan hidup antar warga Masyarakat hukum adat, maupun antara warga masyarakat hukum adat dengan pihak luar. Masyarakat hukum adat ini memiliki kepala institusi adat (kepala suku) dengan struktur yang sudah jelas. Sistem kepemimpinan adat Biak diperoleh karena diwariskan dan juga pengakuan terhadap jasa dan keberanian seseorang atau menurut Mansoban (kepemimpinan campuran). Seorang ayah memiliki gelar korano dapat mewariskan gelar itu kepada anak yang ditakini bisa meneruskan kepemimpinannya. Warga Masyarakat hukum adat yang mengabdi dengan sungguh-sungguh dan berjasa bagi ksejahteraan masyarakat hukum adat, dipilih secara demokratis menjadi pimpinan dalam wilayah adatnya. Kekuasaan dalam adat Biak bisa dijalankan oleh Mambri,
Mananwir,
Manpakpok,
Benana,
Manswabye
dan
Mansasonanem. Mambri, adalah pengakuan atas kepahlawanan seorang tokoh karena keberanian, kejujuran, kemampuannya dalam melakukan perkaraperkara berr. Misal, menjelajah daerah yang paling jauh, atau 72
kehebatannya dalam perang. Mananwir, adalah pemimpin marga atau keret yang diwariskan atau bergantian kepada keluarga yang lebih dahulu menempati atau memiliki wilayah adat tertentu. Manpakpok, adalah seseorang yang jago berkelahi, tukang pukul. Benana, adalah orang yang memiliki banyak harta benda (kaya). Manswabye, adalah seseorang yang pandapi berbicara atau berdiplomasi. Mansasonanem, adalah seorang pemanah yang handal. Dari sistem kepemimpinan tersebut, saat ini yang menonjol adalah sistem kepemimpinan Mananwir sebagai pemerintahan adat. Institusi adat di Kabupaten Biak saat ini dikenal dengan nama ”Dewan Adat Byak (DAB)”, yang lahir atas aspirasi dan dorongan masyarakat hukum adat Byak. Proses lahirnya DAB dimuali dari kesadaran beberapa tokoh adat (mananwir) bahwa Masyarakat hukum adat Biak pada kondisi terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya dan politik. Dengan demikian lahirnya DAB sebagai media untuk memperjuangkan atau mengkonsultasikan Masyarakat hukum adat untuk bangkit dari keterpurukan. 3. Implementasi dan Kendala Pengakuan b. Implementasi Meskipun telah ada perundang-undangan yang melindungi eksistensi masyarakat hukum adat, lembaga adat dan adat istiadat di Biak (Papua), pada implementasi belum optimal. Hal ini yang mendorong, salah
satunya
kelahiran
Dewan
Adat
Byak
(DAB)
untuk
memperjuangkan hak-hak mereka dan bangkit dari keterpurukan dalam semua apsek kehidupan. c. Kendala Implementasi pengakuan hukum terhadap Masyarakat hukum adat belum efektif. Masih ada kendala yang berasal dari masyarakat sendiri, masyarakat luar maupun pemritnah, yaitu : 1).
Peran dan eksistensi lembaga belum banyak dipahami oleh orang luar dan bahkan bagi masyarakat hukum adat.
73
2).
Domain kebijakan sampai saat ini masih dikendalikan oleh pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
5. Harapan Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat, maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu : a. Lembaga Adat tidak hanya mengatur masalah adat – budaya saja, tetapi juga mengatur masalah sosial, ekonomi dan hak-hak dasar masyarakat hukum adat dalam pembangunan. b. Lembaga Adat memiliki peranan untuk mengontrol lebijakan pemerintah daerah, terutama berkenaan dengan pengelolalan sumber daya alam, lam diperkuat, diberdayakan dan difasilitasi untuk meningkatkan apresiasi bersama terhadap nilai-nilai adat, komitmen dan berpihak kepada masyarakat secara profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya.
74
BAB IV DIMENSI YURIDIS DAN EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT
A. DIMENSI YURIDIS MASYARAKAT HUKUM ADAT Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia. Di dalam UUD 1945 Perubahan Kedua, Pasal 18 B ayat (2) menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undag-undang”. Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat (3) Perubahan Kedua menyatakan :”identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban “. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan :” dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Kemudian ayat (2) menyatakan :” identitas budaya masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dngan perkembangan zaman”. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada padal 3 menyatakan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pada pasl 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan lain yang lebih tinggi”. Kemudian pada Peratruan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pada Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
75
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hokum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 43 tentang Provinsi Papua menegaskan pemberian perlindungan hak-hak masyarkaat hukum adat, termasuk hak atas tanah yang dimiliki masyarakat hukum adat secara bersama-sama maupun hak perorangan pada warga masyarakat hukum adat bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut di atas, bahwa masyarakat hukum adat menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia yang kebutuhan, hak-hak atas tanah dan hak-hak lainnya, identitas budaya dan hak-hak tradisionalnya harus diperhatikan dan dilindungi oleh Negara dan Pemerintah. Hal ini menunjukkan, bahwa Negara dan Pemerintah memiliki komitmen yang besar, bahwa masyarakat hukum adat tidak boleh tertinggal dan tidak dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sebagaiaman dikemukakan oleh Mulyana (2006), pemerintah Pusat mewakili Negara harus : 1. Mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. 2. Menghormati identitas budaya dan hak masyarakat hukum adat. 3. Memberikan
kesempatan
kepada
masyarakat
hukum
adat
untuk
mengaktualisasikan hak ulayat sepanjang masih ada dan sesuai dengan kepentingan nasional. 4. Melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan kehutanan, agar hutan ulayat dapat lestari dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat hukum adat. 5. Menetapkan kriteria masyarakat hukum adat. 6. Menetapkan pedoman kompensasi untuk masyarakat hukum adat yang kehilangan akses terhadap hutan akibat penerapan kawasan hutan tertentu, termasuk hilangnya akses untuk membuka hutan ulayat. Perundang-undangan
yang
secara
khusus
menjelaskan
pembinaan
kesejahteraan sosial terhadap Komunitas Adat Terpencil, adalah Keputusan Presiden RI Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Keputusan Presiden RI tersebut intinya memberikan kewenangan kepada Departemen Sosial RI untuk menyelenggarakan program 76
pembinaan kesejahteraan sosial bagi Komunitas Adat Terpencil. Berdasarkan Keputusan Presien RI tersebut Departemen Sosial RI mengembangkan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang secara teknis dilaksanakan oleh instansi sosial di daerah melalui dana dekonsentrasi (sebagai catatan : sebenarnya program pemberdayaan KAT sduah dimulai sejak awal tahun 70-an yang pada waktu itu menggunakan istilah Masyarakat Suku-Suku Terasing). Meskipun program pemberdayaan KAT tersebut sudah lebih tiga dasa warga diselenggarakan oleh pemerintah Pusat melalui dukungan dana APBN, sebagian besar Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten menunjukkan dukungan yang optimal. Bahkan sebagian Daerah (instansi sosial di Daerah) belum memiliki struktur organisasi, program dan anggaran yang secara khusus berhubungan dengan pemberdayaan KAT. Kurangnya kosistensi antara komitmen Pusat dengan Daerah (Provinsi dan Kabupaten) dapat dicermati dari belum tersedianya Peraturan Daerah Provinsi maupun Kabupaten yang mengatur pemberdayaan dan perlindungan masyarakat hukum adat (termasuk KAT). Baru sebagian kecil Pemerintah Provinsi dan Kabupten yang sudah menerbitkan Peraturan Daerah atau Keputusun Gubernur dan Bupati. Dari Peraturan Daerah yang ada, pada umumnya memusatkan perhatian atau pengatur persoalan yang berkaitan dengan kewilayahan (hak tanah ulayat) dan sistem organisasi sosial (lembaga adat dan struktur organisasi pengelola lembaga adat). Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak untuk akses terhadap pelayanan sosial dasar belum diatur di dalam Peraturan Daerah tersebut. Oleh karena belum ada payung hukum di tingkat Daerah, maka penghormatan, penghargaan, atas perlindungan eksistensi dan hak-hak masyarakat hukum adat serta program-program pemberdayaan bagi mereka belum dapat dilaksanakan. Hal ini menggambarkan, bahwa para admainistrator pembangunan di Daerah cenderung mengalami bias pemikiran, bahwa pembangunan sosial (khususnya pemberdayaan masyarakat hukum adat), tidak memberikan umpan balik dan keuntungan secara ekonomis; dan oleh karena itu belum perlu ditempatkan sebagai program prioritas. Padahal, masyarakat hukum adat adalah warga bangsa sebagaimana warga bangsa pada umumnya. Oleh karena itu mereka harus diposisikan sebagai potensi dan sumber daya pembangunan. Maka dari itu, sudah selayaknya Pemerintah 77
Daerah Provinsi dan Kabupaten
melaksanakan fungsi dalam kerangka
menghormati, menghargai dan melindungi masyarakat hukum adat. Menurut Mulyana (2006), ada sejumlah fungsi dan tugas yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten, yaitu : 1. Melindungi masyarakat termasuk masyarakat hukum adat. 2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 3. Melestarikan nilai sosial budaya. 4. Menetapkan kriteria kesatuan masyarakat hukum adat dan kriteria teknis hak ulayat. 5. Menerbitkan Perda yang mengatur perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, hak ulayat, mekanisme dan prosedur penetapan hak ulayat, serta pembinan masyarakat hukum adat. 6. Menyelenggarakan pembinaan terhadap masyarakat hukum adat, khususnya menyangkut pembinaan fungsi sosial hak ulayat dan pelestarian adat budaya daerah, serta pengembangan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya lokal. Pemikiran Mulyana (2006) tersebut apabila dapat diimplemetntasikan oleh Pemerintah Daerah tentu akan mengangkat harkat dan martabat masyarakat hukum adat sejajar dengan warga masyarakat pada umumnya. Namun kenyataan yang terjadi, bahwa sampai saat ini Pemerintah Daerah masih cukup sulit untuk merealisasikan butir-butir tersebut. Padahal pihak pemeritnah pusat melalui Departemen Dalam Negeri telah mendorong Pemerintah Derah untuk memberikan kritik dan saran perbaikan apabila Peraturan dan Perundang-undangan (Undangundang Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden) tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
B. DIMENSI EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT Secara empiris hamper setiap daerah (provinsi dan kabupaten) di Indonesia, dapat ditemukan masyarakat hukum adat. Mereka dicirikan dengan sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Secara empiris mereka mendiami daerah yang secara geografis terpencil dan sulit dijangkau, tidak terjangkau oleh pelayanan sosial dasar, dan sumber penghidupannya sangat bergantung pada alam. 78
Mereka hidup dalam berbagai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan sosial dasar, seperti sandang, pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Mereka mengkonsumsi makanan jauh dari strandar gizi yang diajurkan, memakai pakaian yang tidak pantas, menempati rumah yang tidak layak huni, kesehatan yang memburuk dan tidak bisa berpartisipasi dalam pendidikan. Oleh karena keterbatasannya dalam memenuhi kebutuhan sosial dasar tersebut, maka mereka mengalami hambatan untuk dapat menjaga kelangsungan hidupnya atau angka kematian pada mereka relative cukup tinggi (lihat Manurung, 2006). Dalam kondisi yang senantiasa diliputi keterbatasan tersebut, masyarakat hukum adat dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti semakin berkurangnya ruang gerak mereka disebabkan menyempitnya tanah ulayat yang pindah ke tangan inverstor. Di Provinsi Riau maupun di Provinsi Sumatera Utara, masyarakat hukum adat banyak kehilangan tanah ulayatnya karena diolah oleh PTP untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Kemudian sebagian hutan tempat tinggal masyarakat hukum adat berubah fungsi menjadi hutan lindung, dimana dengan penetapan sebagai hutan lindung berarti siapapun dilarang untuk memasuki hutan tersebut. Masyarakat hukum adat rentan menjadi korban eksploitasi dan atau perdagangan manusia untuk kepentingan pengusaha hutan. Pengusaha hutan memanfaatkan kebodohan mereka untuk kepentingannya seperti dalam penebangan liar (illegal loging). Kondisi tersebut ditambah lagi dengan semakin kuatnya pengaruh dari luar yang merusak nilai-nilai dan kearifan lokal yang selama ini dipelihara secara turun temurun. Lemahnya peraturan pemerintah yang mengatur eksistensi dan hak-hak masyarakat hukum adat, menyebabkan aturan-aturan adat tidak dihormati dan dihargai oleh orang-orang dari luar. Meskipun masyarakat hukum adat dihadapkan dengan berbagai keterbatasan dan permasalahn,
tetapi mereka sangat kurang disentuh oleh
program-program pemerintah. Alasannya karena mereka mendiami lokasi yang secara geografis terpencil dan sangat sulit dijangkau, seperti di pedalaman, rawarawa, pegugungan dan perbatasan antar Negara, dan di perairan. Selain itu, sebagian masyarakat hokum adat masih memiliki pola hidup berpinah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang jaraknya cukup jauh (nomaden). Oleh karena tidak terjangkau program pemerintah, maka sebagian dari mereka yang mendiami 79
kawasan perbatasan antar Negara, seperti masyarakat hokum adat di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, NTT, Papua dan Kepri; menjadi pelintas batas antar Negara yang tuannya semata-mata untuk kelangsungan hidup. Terjadinya pelintas batas antar Negara ini tentu akan menimbulkan persoalan hubungan antar Negara. Dari sisi kemanusiaan, kondisi yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, benar-benar sangat memprihatinkan. Mereka sangat membutuhkan dukungan, perlindungan dan pemberdayaan dari pemeritnah untuk dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Sebagai warga bangsa, mereka merindukan hak-haknya atas hidup, kesejahteraan dan hak ulayat atas tanah (lihat LAM Jambi, 2005). Berdasarkan kondisi faktual masyarakat hukum adat, maka kebijakan dan program kesejahteraan sosial bagi mereka merupakan suatu keharusan, sebagai wujud tanggung jawab Negara dan Pemerintah. Mereka adalah warga Negara (sebagaimana warga Negara Indonesia pada umumnya) yang memiliki hak untuk hidup sejahtera dan berpartisipasi dalam pembangunan.
80
BAB V PENUTUP
Negara dan Pemerintah mengakui dan menghargai eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia. Pengakuan dan penghargaan dari Negara dan Pemerintah tersebut dapat dicermati dari produk yuridis yang menjadi payung hukum program perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, baik oleh instansi Pemerintah sektoral maupun oleh organisasi sosial/LSM dan dunia usaha. Dari pihak masyarakat, perhatian terhadap masyarakat hukum adat terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi sosial/LSM dalam memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat hukum adat, antara lain hak atas tanah ulayat, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat tersebut menunjukkan adanya kesadaran, bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang menjalani kehidupan yang khas, sarat dengan nilai-nilai, norma dan adat istiadat yang positif, tetapi dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Meskipun demikian, pada era transformasi sosial budaya yang cepat dewasa ini, mereka masih mampu mempertahankan keserasian hubungan dengan sesama manusia, alam dan penciptanya. Semua itu adalah bentuk kebudayaan menjadi modal sosial (social capital) dalam pembangunan nasional apabila dapat diberdayakan secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan kebijakan dan instrumen yang mampu melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum adat tanpa mencabut mereka dari akar sosial budaya aslinya. Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa secara yuridis Negara dan Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundangundangan yang secara langsung berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayan masyarakat hukum adat. Namun demikian, kehendak Negara dan Pemerintah tersebut belum diikuti oleh Pemerintah Provisni maupun Kabupaten. Sebagian besar Pemerintah Provinsi maupun Kabupten hingga saat ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur/Bupati yang berkenaan dengan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Implikasi dari belum tersedianya peraturan perundang-undangan daerah tersebut, maka di lapangan masih seringkali terjadi permasalahan antara Pemerintah dengan masyarakat hukum adat berlarut-larut.
81
yang
Semua pihak tentu tidak menghendaki terjadinya konflik sosial yang bercorak kekerasan, disebabkan adanya perlakuan tidak adil dari pihak luar atas hak-hak atas tanah ulayat yang sudah dikuasai masyarakat hukum adat secara turun temurun. Maka dari itu, apabila terjadi pengalihan hak atas tanah ulayat kepada dunia usaha, seharusnya tetap memberikan kentungan kepada masyarakat hukum adat tersebut. Terkait dengan itu, sebagai bagian dari upaya perlindungan hak asasi manusia, Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten perlu menerbitkan peraturan perundangundangan tentang perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Peraturan perundang-undagan dimaksud tentu berpihak kepada kepentingan, harkat dan martabat masyarakat hukum adat sebagai warga Negara. Potensi yang belum banyak dipahami oleh orang luar, bahwa masyarakat hukum adat memiliki sistem kebudayaan yang khas, yang merupakan keragaman potensi dan sumber daya dalam pembangunan nasional.
82
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rizal (dkk), 2005, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat, Pekanbaru : LPNU Press. Bahar, Syafroedin, 2006, “Upaya Perlindungan terhadap Eksistensi Hak-hak Tradisional Masyarakat Adat dalam Perspektif Hakj Asasi Manusia”, dalam Suwarto (dkk), mengangkat Keberadan Hakhak Tradisonal : Masyarakat Adat Rumpun Melayu SeSumatera. Pekanbaru : Unri Press. Dahrendorf, Ral., 1986, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri: Sebuah analisa kritik. Jakarta: CV.Rajawali Dharmayua, Made. Suathawa, 2001, Desa Adat : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Bali : Upada Sastra. Direktorat
Pemberdayaan
Komunitas
Persebaran
Adat
Komunitas
Terpencil, Adat
2003,Atlas
Terpencil.
Nasional
Jakarta:
Ditjen
Pemberdayaan Sosial Depsos RI. Hamid, Abu, 2006, Kebudayaan Bugis, Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. LAM Jambi, 2005, “Fakta dan Pengalaman Lembaga Adat Propinsi Jambi dalam Memperjuangkan Hak Tanah Ulayat Masyarkat Adat Jambi”, dalam Rizal Akbar (dkk), Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat, Pekanbaru : LPNU Press. Little, Daniel, 1991
Varieties Social Explanation: An Introducion to the Philosophy of Social Science. San Francisco: Westview Press
Manurung, Butet, 2006. Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba, Yogyakarta : INSIST Press. Mulyana, Agung, 2006, “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Rangka Pembinaan
Persatuan
dan
Kesatuan
Bangsa”,
makalah
disampaikan pada Musyawarah lembaga adapt Rumpun Melayu se-Sumatera tanggal 14-17 April 200, di Riau.
83
M. Yunus Melalatoa, 1995
Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. Jilid A-Z.
Jakarta: Terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Parsons, Talcott, 1951 The Social System: The Major Exposition of the Author & Conceptual Schema or the Analysis of Dynamics of the Social System. Canada: Collier Macmillan, Ltd. Parsudi Suparlan (Penyunting), 1993,
Pembangunan
Berkesinambungan:
Keterpaduan
yang
Terpadu
Pemanfaatan
dan
Sumber-
Sumber dan Potensi Masyarakat Untuk Peningkatan Dan Pengembangan Pembangunan Masyarakat Pedesaan Yang Berkesinambungan. Jakarta: Terbitan Balitbangsos Depsos RI Radcliffe-Brown, 1980, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif. Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka Kementerian Pelajaran. Rostow, W.W. 1962 The Process of Economic Growth. New York: W.W.
Norton
and Company Inc. Simarmata ,Rikarda, 2006,
Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di
Indonesia. Regional Initiative on Indigenous Peoples Rights and Development (RIPP) UNDP Redional Center in Bangkok.
Suwardi (dkk), 2006, Pemetaan Adat Masyarakat Melayu Riau Kabupten/Kota seProvinsi Riau, Pekanbaru : Unri Press. Suwarto (dkk), 2006, Mengangkat Keberadaan Hak-hak Tradisional Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se-Sumatera, Pekanbaru : Unri Press. Widjaja , A.W. (Ed.) 1986
Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan
Masyarakat. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo C.V Wallerstein, Immanuel, 1997 Lintas Batas Ilmu Sosial. Yogyakarta: Terbitan LKis
84