BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah
lakunya diatur oleh hukum, baik hukum adat di daerahnya maupun hukum yang telah diciptakan pemerintah. Negara Indonesia adalah salah satu negara yang berdasarkan pada hukum, yang mana sistem yang dianut adalah sistem konstitusionalisme. Hal ini tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Dasar (selanjutnya disingkat Undang UndangD) 1945 yang
mana
berbunyi:
”Negara
Indonesia
berdasar
atas
hukum
(Rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtstaate)”. Dan “Pemerintahan Indonesia berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Hal ini sudah dipertegas dalam Undang UndangD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu, tertegas pula dalam idealisme negara kita bahwa Pancasila adalah sebagai sistem hukum. Di mana ia merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum yang tertinggi di dalam sistem atau tata hukum Indonesia. Pada intinya, Pancasila bertujuan untuk mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, serta kemampuan untuk mengayomi masyarakat, bangsa dan negara. Begitu jelas pernyataanpernyataan itu tersebut dalam penjelasan Undang UndangD 1945,
1
sehingga telah nyata juga adanya batasan-batasan mengenai bentuk dasar dan sistem Negara Indonesia. Norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat saat ini sudah banyak tidak lagi dipatuhi dan dihormati oleh masyarakat sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Untuk itu masyarakat memerlukan hukum yang berfungsi sebagai pengatur segala tindak pidana tanduk manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi hukum itu pemerintah dapat menggunakan alat paksa yang lebih keras berupa sanksi dan penegakan hukum. Pada zaman modern seperti ini, tindak Kejahatan Narkotika secara terang-terangan dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya narkotika. Masyarakat sudah sangat resah terutama keluarga para korban, mereka kini sudah ada yang menceritakan keadaan anggota keluarganya dari penderitaan dalam kecanduan narkotika. Masalah penyalahgunaan dan peredaraan gelap narkotika di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dan sudah sangat memperihatinkan serta membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Banyak kasus yang menunjukan betapa akibat dari masalah tersebut telah banyak menyebabkan kerugian, baik materi maupun non materi, seperti perceraian atau kesulitan lain bahkan kematian yang disebabkan oleh ketergantungan terhadap narkotika dan obat-obatan terlarang, misalnya seorang pengguna narkotika dalam keadaan
sakau
mengalami
dorongan
yang
sangat
kuat
untuk
2
mendapatkan narkotika yang biasa di konsumsinya. Dalam keadaan seperti ini si pemakai tidak dapat lagi berpikir secara jernih tindakan apa yang akan dilakukannya, sebagai efek dari ketagihan dan ketergantungan yang ditimbulkan dari zat narkotika tersebut, maka tidak jarang ia melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, atau kejahatan lain demi mendapatkan uang guna memenuhi hasrat pemakai narkotika tersebut. Akibat peredaran dan pengunaan narkotika telah menimbulkan keadaan yang semakin parah di masyarakat, dimana telah menyusup hingga ke bidang pendidikan, kalangan eksekutif bahkan sampai kepada kalangan pengusahapun telah dijangkau oleh para pengedar. Dengan demikian, pemerintah dan segenap warga secara bersama-sama harus sungguh-sungguh berusaha menanggulangi ancaman bahaya narkotika. Berkenaan
dengan
itu,
pemerintah
Republik
Indonesia
telah
mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika
yang
menggantikan
Undang-Undang
Sebelumnya
yakni
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Melalui Pasal 153 dan 155
Undang-Undang
Nomor
35 Tahun
2009 Tentang
Narkotika
menyatakan bahwa kedua Undang-Undang yang mengatur hal yang sama sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut. Tentu saja terhadap seorang pelaku tindak pidana Narkotika dan Psikotropika mulai dari
penangkapan
sampai
dengan
penjatuhan
sanksi
tidak
lagi
3
berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
dan
Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1997
Tentang
Psikotropika, melainkan sudah berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada tanggal 12 Oktober 2009 maka undang-undang ini telah mempunyai daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika, maka secara otomatis Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009
yang harus diterapkan.
Penerapan hukum melalui undang-undang yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku jelas melangar asas legalitas dan HAM. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, ”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Penerapan hukum yang tidak ada dasar hukumnya jelas merupakan perbuatan sewenang-wenang dan melanggar asas legalitas sebagai landasan untuk menuntut setiap adanya tindak pidana Narkotika. Mengingat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh narkotika, maka perlu dilakukan penanggulangan dari pemerintah, salah satunya dengan dibentuknya peraturan yang dapat megontrol dan mengawasi peredaran serta penggunaan barang narkotika. Sejak Undang-Undang Narkotika diundangkan terdapat kecenderungan dari para hakim memberikan vonis
4
yang
relatif
lebih
berat
bagi
penjual/pengedar
dibanding
bagi
pengguna/pemakai narkotika. Hal ini disebabkan pemakai atau pengguna narkotika tersebut menggunakan barang terlarang untuk dikonsumsi bagi dirinya sendiri dan pada umumnya mereka adalah korban semata yang berada dalam kondisi tertekan atau keadaan tertentu, diantaranya: tertekan pada suatu masalah, seperti : depresi, kurangnya perhatian dari orangtua, kondisi kekurangan uang. Selain itu ada juga disebabkan karena tuntutan pergaulan dalam profesi tertentu, seperti: kalangan menengah keatas, klub-klub eksekutif, pergaulan bebas tanpa melalui pengawasan dokter sehingga pengguna atau pemakai menjadi ketergantungan kepada narkotika. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan dan perkembangan antara Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yaitu adanya perbedaan sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar narkotika. Pemakai, pecandu dan korban dapat dikenakan sanksi pidana penjara atau rehabilitasi medik dan sosial yang dibuktikan dengan adanya keterangan bahwa si pecandu dan pemakai benar-benar sebagai korban dalam peredaran gelap narkotika. Pengedar dikenakan sanksi pidana penjara dilihat dari golongan dan jenis narkotika, formulasi tersebut lebih berat mengingat bahaya yang ditimbulkan dari peredaran gelap narkotika tersebut.
5
Berdasarkan uraian diatas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang mendalam sebagai bahan Penulisan Hukum “TINJAUAN
YURIDIS
PENYALAHGUNAAN
TERHADAP
NARKOTIKA’’
TINDAK
(Studi
Kasus
tentang PIDANA
Putusan
No
102/Pid.B/2012/PN.Makassar.).
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dikemukakan
rumusan masalah dan pemilihan judul sebagaimana tersebut diatas maka pembahasan selanjutnya akan bertumpu pada rumusan masalah yaitu : 1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.Makassar? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan
narkotika dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.Makassar?
C.
Tujuan dan kegunaan penelitian 1. Tujuan penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu : a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.Makassar.
6
b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika
dalam
Putusan
Nomor
102/Pid.B/2012/ PN.Makassar 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian dalam penulisan ini antara lain a. Bagi Fakultas Hukum, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan perbendaharaan perpustakaan yang diharapkan berguna bagi mahasiswa dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih jauh tentang masalah ini. b. Diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam membangun penegakan hukum di Indonesia terutama masalah yang menyangkut tindak pidana narkotika.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Umum 1. Tinjauan Yuridis Tinjauan yuridis yang dimaksud adalah tinjauan dari segi hukum,
sedangkan hukum yang penulis kaji disini adalah hukum menurut ketentuan pidana materil. Khusus dalam tulisan ini pengertian tinjauan yuridis yaitu suatu kajian yang membahas mengenai delik apa yang terjadi, siapa pelakunya, terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur delik, pertanggungjawaban pidana serta penerapan sanksi terhadap terdakwa pelaku tindak pidana.
2. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHPidana) yang mempunyai arti bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. (Adami Chazawi, 2005:67).
8
Menurut Samidjo (Pipin Syarifin, 2000:1), pengertian hukum pidana sendiri secara tradisional adalah “Hukum yang memuat peraturanperaturan
yang
mengandung
keharusan
dan
larangan
terhadap
pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksaan badan”. Sedangkan Moeljatno (Pipin Syarifin, 2000:1-2) menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa: Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; 2) Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut. Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut ini penulis kemukakan beberapa pandangan ahli hukum antara lain : 1. Wirjono Prodjodikoro (1981:50), mengemukakan bahwa tindak pidana itu adalah “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”. 2. J.E. Jonkers (1987:135), yang merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan
kesengajaan
atau
kesalahan
yang
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan”. 9
3. H.J. Van Schravendijk (1955:87), merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan”. 4. Simons (1992:127), merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum”.
Moeljatno (Adami Chazawi, 2002:71) menggunakan istilah Perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi dan barang siapa melanggar larangan tersebut”. Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut, 1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya; 2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula; 3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
10
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana, seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini sering disebut pandangan dualisme, juga dianut oleh banyak ahli, misalnya : Pompe (Lamintang, 1997:182-183) memberi pengertian strafbaar feit itu dari (2) segi, yaitu: a. Dari segi teoritis, strafbaar feit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. b. Dari segi hukum positif, strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan Undang Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Selanjutnya, Pompe (Lamintang, 182-183) mengemukakan bahwa : Perbedaaan antara segi teori dan segi hukum positif tersebut hanya bersifat semu, oleh karena itu dari segi teori tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakan itu memang benar-benar bersifat melawan hukum dan telah dilakukan dengan kesalahan (schuld), baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. 1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan
pidana
kita.
Dalam
hampir
seluruh
peraturan perundang-undangan menggunakan istilah, seperti dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Undang Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan 11
Undang Undang Nomor31 Tahun 1999), dan perundangundangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah seperti Wirjono Prodjodikoro. 2. Peristiwa pidana, digunakan oleh Utrecht dengan menyalin istilah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Dalam hal ini Utrecht menerjemahkan istilah feit secara harfiah menjadi peristiwa. Sama dengan istilah yang dipakai oleh Utrecht, Undang UndangD Sementara 1950 juga memakai istilah peristiwa pidana. 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” yang umum dipakai oleh para sarjana. Memang jika kita perhatikan hampir semua penulis memakai juga istilah delik seperti Roeslan Saleh di samping memakai perbuatan pidana juga memakai istilah delik. 4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam bukunya “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravenjik dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”. 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembuat undang-undang dalam undang-undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
12
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan, misalnya dalam buku asas-asas hukum pidana. Di mana dipakai kata perbuatan, yaitu suatu pengertian yang abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret yaitu kejadian yang tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian tersebut. (Sumber, Moeljatno,1993, Asas-Asas Hukum Pidana) Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan stafbaar feit (Belanda).Stafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk, kata ”straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah stafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti staf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Untuk kata “baar” ada 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Secara literlijk bias kita terima. Sedangkan untuk kata feit digunakan 4 istilah, yakni tindak, peristiwa,pelanggaran dan perbuatan.
13
Secara literlijk feit memang lebih pas untuk diterjemahkan dengan perbuatan,
kata
pelanggaran
telah
lazim
digunakan
dalam
perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah over trading sebagai lawan dari istilah misdrijven (kejahatan) terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam buku III dan buku II KUHP. Sedangkan untuk kata peristiwa, menggambarkan pengertian yang lebih luas daripada perkataan perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjukkan pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum pidana, apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif). Mengenai “delik” dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing member definisi sebagai berikut: a. Vos, Delik adalah Feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. b. Van Hamel, Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. c. Simons, Delik adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang dengan tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh
14
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, disini rumusan dari perbuatan jelas. Misalnya pada Pasal 362 tentang pencurian. Adapun delik materil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan kata lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan misalnya Pasal 338 tentang pembunuhan. Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan
kita,
walaupun
masih
dapat
diperdebatkan ketepatannya. Tindak menunjukkan pada hal kelakuan manusia dalam arti positif semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif. Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkan diperlukan adanya suatu gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mencuri (Pasal 362 KUHP), atau merusak barang (Pasal 406 KUHP), sedangkan perbuatan pasif artinya suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan
15
kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP). Sedangkan istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan istilah stafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delictum (latin), yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda : delik, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit. Secara literlijk istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan ilmu hukum kita, misalnya materieele feit atau formeele feit (feiten een formeele omchrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana formil). Demikian juga istilah feit dalam rumusan norma-norma tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Nedherland Indie/ Hindia Belanda), misalnya Pasal 1, 14, 48, 63, 64, KUHP selalu diterjemahkan oleh para ahli hukum kita dengan perbuatan, tidak dengan tindak atau peristiwa maupun pelanggaran. Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat yang menggambarkan isi pengertian dan stafbaar feit walaupun istilah delik pernah digunakan oleh beliau. Begitu juga Ruslan Saleh, menggunakan istilah perbuatan pidana.( Andi Hamzah, Asas Hukum Pidana) Istilah perbuatan pidana ini juga digunakan oleh pembentuk Undang Undang dalam Undang Undang Drt Nomor 1/Drt/1951 tentang
16
Tindakan
Sementara
Untuk
Menyelenggarakan
Kesatuan
Acara
Pengadilan Sipil.
3. Pengertian Narkotika Dalam Pasal 1 butir 1 Undang Undang Narkotika disebutkan bahwa narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan
kesadaran,
hilangnya
rasa,
mengurangi
sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotics, yang berarti obat bius, yang sama juga artinya dengan kata narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Pengertian narkotika secara umum adalah suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/ penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat. Dari uraian di atas jelas diketahui bahwa narkotika dapat menimbulkan keadaan tertentu dalam diri seseorang seperti penurunan kesadaran,
kontrol
yang
kurang
atas
otot-otot
sehingga
dalam
tindakannya sering lebih berani atau mendorong seseorang melakukan tindakan yang dalam keadaan sadar tidak berani dia lakukan dan tidak bertanggungjawab. Selain itu, ada yang menimbulkan persepsi yang 17
mungkin dirasakan sebagai suatu yang lebih menguntungkan dan menyenangkan terlepas dari tindakannya dengan kenyataan. (M.Ridha Ma’roef,1976:19) Secara umum narkotika dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: 1. Ganja/ Mariyuana/ Kanabis Sativa ( Halusinogen) a. Ganja yang dikenal juga dengan Kanabis Sativa dan yang dapat dipergunakan berupa daun, batang, dan biji. b. Pengaruhnya dapat menyebabkan ketagihan dan kemudian merusak mental dan berfikir menjadi lambankarna zat tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi dan ingatan serta kemampuan berfikir menjadi menurun. c. Mengandung bahan kimia delta-9 tetrahydrocanabinol (THC) yang dapat mempengaruhi pengguna dalam cara melihat dan mendengar d. Pemakaian obat ini pada batas tertentu (tanpa terkendali) akan mengakibatkan kegilaan. 2. Morfin Morfin merupakan turunan opium yang dibuat dari hasil pencampuran getah poppy (papaver sorami ferum) dengan bahan kimia lain, dan menjadikan sifatnya semi sintetis. Morfin merupakan zat aktif dari opium. Didalam dunia kedokteran zat ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada waktu dilakukannya pembedahan atau operasi.
18
3. Heroin Heroin merupakan turunan dari morfin yang sudah mengalami proses kimiawi. Pada mulanya heroin ini digunakan untuk pengobatan ketergantungan morfin, akan tetapi kemudian terbukti bahwa kecanduan heroin justru lebih hebat. 4. Kokain Efek dari penggunaaan kokain adalah paranoid, halusinasi, serta berkurangnya rasa percaya diri. Pemakaian obat ini akan merusak susunan saraf di otak dan juga memperburuk sistem pernapasan. Penggunaan yang berlebihan akan meyebabkan kematian. Terjadinya perubahan gaya hidup di seluruh dunia, globalisasi, industrialisasi dengan disertai cepatnya arus informasi dan perpindahan penduduk, kecenderungan penyalahgunaan obat di Indonesia juga mengalami dampak perubahan drastic yang tanda-tandanya terlihat sejak Tahun 1980. Meskipun tidak tercatat sebagai data menigkatnya penyalahgunaan stimulant (estacy) terlihat nyata dikalangan kaum muda ketika itu yang rupa-rupanya menjadi jembatan menuju penyalahgunaan narkotika (putaw/heroin). Penyalahgunaan narkotika harus menjadi perhatian segenap pihak, disebabkan
oleh
karena
kecepatannya
dalam
menimbulkan
ketergantungan serta kesulitan penanganan dan penyembuhannya,
19
terbukti dengan tingginya angka relaps (kambuh) tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Penggunaan narkoba bagi orang awam atau orang yang kurang mengerti, tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkoba, yang sebelumnya sudah mengetahui akibatakibatnya adalah di luar nalar kita. Lalu apakah yang mendorong mereka untuk mengkonsumsi? Menurut Graham Blaine seseorang psikiater (M. Ridha Ma’roef,1976,: 63) sebab-sebab penyalahgunaan narkotika ialah: 1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakantindakan yang berbahaya, dan mempunyai resiko, misalnya ngebut, berkelahi atau bergaul dengan wanita. 2. Untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang. 3. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual. 4. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-[engalaman emosional. 5. Untuk berusaha agar dapat menemukan apa arti hidup. 6. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan. 7. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bias diatasi dan jalan pikirannya yang sudah terhambat, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis.
20
8. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk menumpuk solidaritas dengan kawan-kawan. 9. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosity) dan karena iseng (just for kicks). Dari sekian sebab-sebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para remaja (Soedjono D. 1982) dapatlah dikelompokkan dalam tiga keinginan, yaitu: 1. Mereka yang mengalami (the experience seekers) yaitu yang ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika. 2. Mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan
terbius
sebagai
tempat
pelarian
terindah
dan
ternyaman. 3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah kepribadian, seperti untuk menjadi berani, untuk menghilangkan rasa malu, menjadi tidak kaku dalam pergaulan dan lain-lain. Dikalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan narkotika dengan sebab-sebab antara lain sebagai berikut: 1. Menghilangkan rasa sakit dan penyakit kronis seperti asma, TBC dan lain-lain.
21
2. Menjadi kebiasaan (akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit tersebut). 3. Pelarian dan frustasi 4. Meningkatkan kesanggupan untuk berprestasi (biasanya zat perangsang). Mengingat harga obat-obat narkotika yang mahal, maka tidak semua orang dapat membelinya. Oleh karena itu penggunaan narkotika dan psikotropika jenis-jenis yang mahal harganya juga untuk menunjukkan kelas tersendiri bagi pemakainya serta merupakan sebagian dari gaya hidup kelas tersebut. Adapun fase penggunaan narkotika sejak awalnya adalah dimulai dari coba-coba (experimental use), yaitu memakai narkotika dengan tujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Apabila pemakaian berlanjut, maka tingkat penggunaan meningkat ke tahap yang lebih berat yaitu untuk tujuan senang-senang. Jika tidak berhenti juga, maka pemakaian meningkat lagi ke tingkatan pemakaian situasional, yaitu memakai narkotika
saat
mengalami
keadaan
tertentu
seperti
pada
waktu
menghadapi keadaan tegang, sedih, kecewa, dan lain sebagainya. Tingkatan terparah apabila pemakai tidak juga berhenti dari menggunakan narkotika adalah tahapan abuse/penyalahgunaan karena ketergantungan yang diindikasikan dengan tidak lagi mampu menghentikan konsumsi narkotika yang akhirnya bisa menimbulkan gangguan fungsional atau
22
occupational
dengan
timbulnya
prilaku
agresif
dan
dis-sosial
(tergantungnya hubungan sosial). Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika di antaranya sebagai berikut: 1. Faktor
individu,
terdiri
dari
aspek
kepribadian,
dan
kecemasan/de-presi. Yang termasuk dalan aspek kepribadian antara lain kepribadian yang ingin tahu, muda kecewa,
sifat
tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang. 2. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga danpengaruh teman. Kondisi keluarga dan pengaruh teman. 3. Faktor lingkungan. Lingkungan yang tidak baik maupun tidak mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak dan kurangnya perhatian terhadap anak. 4. Faktor narkotika itu sendiri, mudahnya narkotika didapatkan didukung dengan faktor-faktor yang sudah disebut di atas, semakin memperlengkap timbulnya penyalahgunaan narkotika.
23
B.
Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Ada Perbuatan (Mencocoki Rumusan Delik) Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit), (Zainal
Abidin,1995:175) yakni: a. Perbuatan (feit) adalah terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin pula dilakukan penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu dikemudian dar yang lain. b. Perbuatan (feit) adalah perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh:
seseorang yang melakukan perbuatan
penganiayaan yang menyebabkan kematian, kemudian ia sengaja melakukan pembunuhan berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini lain daripada “penganiayaan yang menyebabkan kematian”. c. Perbuatan (feit) adalah perbuatan material, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini, maka ketidakpastian yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari. Pada prinsipnya seseorang hanya dapat dibebani tang-gungjawab pidana bukan hanya karena ia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus dapat dibuktikan oleh seseorang penuntut umum. Dalam hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus. Dengan kata lain actus reus adalah elemen luar (eksternal element). 24
2. Ada Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijk) Menurut Sofyan Sastrawidjaja (Amir Ilyas,2012;52) dalam hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum (wederrechteljik), yaitu: a. Menurut
Simons,
melawan
hukum
diartikan
sebagai
“bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif). Melainkan juga mencakup Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara. b. Menurut Noyon, melawan hukum artinya “bertentangan dengan hak orang lain” (Hukum Subjektif). c. Menurut
Hoge
Raad
dengan
keputusannya
tanggal
18
Desember 1911 W 9263, Melawan Hukum artinya “tanpa wewenang’ atau “tanpa Hak”. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum. adapun sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni: a. Sifat melawan hukum formil (formale wederrechteljik) Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualianpengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
25
b. Sifat melawan hukum materil (Materielewederrechteljik). Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum. bagi pendapat itu yang dinamakan hukum itu bukan hanya undangundang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataankenyataan yang berlaku di masyarakat.
3. Tidak ada alasan pembenar Menanggapi perbedaan pendapat tentang daya paksa dalam hubungannya dengan alasan peniadaan pidana serta akibat hukumnya terbagi atas dua yaitu daya paksa absolut dan relatif. Jika merujuk pada ajaran dualisme maka akibat hukum terjadinya hal tersebut diatas harus pulalah terbagi atas putusan bebas dan lepas, untuk menggolongkan daya paksa mana yang termasuk sebagai alasan pembenar ataupun pemaaf harusnya dikembalikan kepada hakikat adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf itu sendiri. Sebagaimana sudah menjadi pendapat umum bahwa alasan pembenar timbul ketika perbuatan seseorang memang tidak memiliki nilai melawan hukum sehingga bukanlah orangnya yang dimaafkan akan tetapi perbuatannya yang harus dianggap benar sedangkan alasan pemaaf timbul ketika perbuatan seseorang memiliki sifat melawan hukum namun karena alasan tertentu maka orangnya dimaafkan. Dari hakekat perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf, dapatlah 26
disimpulkan bahwa sesungguhnya alasan pembenar memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada alasan pemaaf, hal ini pulalah yang mendasari bahwa alasan pembenar bermuara pada putusan bebas (vrijispaak) sedangkan alasan pemaaf bermuara pada putusan lepas (Onstlaag Van Alle Rechtsvervolging)
C.
Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Formulasi pidana merupakan suatu bentuk perumusan perbuatan
pidana yang dituangkan sebagai ketentuan pidana. Dapat dikatakan dengan memahami formulasi pidana maka dapat diketahui sampai sejauh mana pembentuk undang-undang telah merumuskan dengan tepat penegakan hukum yang dikehendaki berdasarkan politik hukum yang diambil. Menurut Satjipto Rahardjo (2011;211), proses penegakan hukum itu menjangkau pula sampai kepada tahapan pembentukan undangundang. Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan akan turut menetukan bagaimana penegakan hukum itu nanti dijalankan. Hal ini berarti bahwa kegagalan penegakan hukum dapat berhulu pada perumusan awal pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, bentuk formulasi pidana dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yang telah dibuat pembentuk undang-undang berpengaruh besar dalam proses penegakan hukum di bidang kejahatan narkotika.
27
Ketentuan pidana dalam undang-undang nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika yang diatur dalam Pasal 110 sampai dengan Pasal 148, seperti halnya kebanyakan Undang-Undang Tindak Pidana di luar KUHP rumusan ketentuan pidananya dalam beberapa hal berbeda dengan rumusan pidana dalam KUHP. Tidaklah mengherankan apabila formulasi pidana dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika berbeda dengan formulasi pidana KUHP karena hal ini merupakan konsekuensi dari kehendak pembuat undang-undang itu sendiri. Pencerminan pembentuk undang-undang ini dapat diketahui dari konsiderannya yang mana tindak pidana narkotika dipandang sebagai, sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan Negara serta ketahanan nasional Indonesia. Untuk itu diperlukan pengawasan yang ketat dan seksama atas penyalahgunaan narkotika. Tindak pidana narkotika tidak hanya masuk dalam kejahatan yang luar biasa, lebih dari itu tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan korban terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Begitu luar biasanya tindak pidana narkotika, dalam penjelasan undangundang Nomor 35 Tahun 2009, tirengkan kembali bahwa,tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan
28
banyak orang yagn secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapid an sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Begitu
seriusnya
semangat
pemberantasan
tindak
pidana
narkotika, sehingga Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak hanya mengatur pemberatan sanksi pidana bagi penyalahgunaan narkotika saja, tetapi juga bagi penyalahgunaan precursor narkotika untuk pembuatan narkotika. ”Pemberatan sanksi pidana” ini diwujudkan dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati yang didasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan jumlah narkotika, dengan harapan adanya pemberatan sanksi pidana ini maka pemberantasan tindak pidana narkotika menjadi efektif serta mencapai hasil maksimal. Di satu sisi ada semangat yang luar biasa pemberantasan narkotika dan prekursor narkotika dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, di sisi lain juga tercermin semangat melindungi penyalah guna narkotika baik sebagai pecandu maupun sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Bentuk perumusan sanksi pidana dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Dalam bentuk tunggal (penjara atau denda saja). 2. Dalam bentuk alternatif (pilihan antara penjara atau denda).
29
3. Dalam bentuk kumulatif (penjara dan denda). 4. Dalam bentuk kombinasi/campuran (penjara atau denda). Jika dalam Pasal 10 KUHP menentukan jenis-jenis pidana terdiri dari: a. Pidana pokok: 1) Pidana mati 2) Pidana penjara 3) Kurungan 4) Denda b. Pidana tambahan: 1) Pencabutan hak-hak tertentu. 2) Perampasan barang-barang tertentu. 3) Pengumuman putusan hakim. Sebagaimana diketahui kejahatan narkotika sudah sedemikian rupa hingga perlu pengaturan yang sangat ketat bahkan cenderung keras. Perumusan ketentuan pidana yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika telah dirumuskan sedemikian rupa dengan harapan akan efektif serta mencapai tujuan yang doikehendaki, oleh karena itu penerapan ketentuan pidana Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika haruslah pula dilakukan secara ekstra hati-hati. Pemahaman yang benar atas setiap ketentuan pidana yang telah dirumuskan akan menghindari kesalahan dalam praktik.
30
Setidaknya ada dua hal pokok yang dapat ditemukan dari rumusan pidana dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yaitu adanya semangat memberantas peredaran tindak pidana narkotika dan precursor narkotika serta perlindungan terhadap pengguna narkotika. Konsekuensi ke dua semangat tersebut adalah peredaran tindak pidana narkotika dan precursor narkotika diberikan sanksi keras, sedangkan pengguna
narkotika
terutama
pecandu
narkotika
maupun
korban
penyalahgunaan narkotika didorong memperoleh perawatan melalui rehabilitasi. Begitu semangatnya, hingga khusus pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sehingga setiap orang tua, keluarga bahkan masyarakat yang mengetahui adanya pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, tetapi tidak melaporkan pengetahuannya tersebut mendapatkan ancaman pidana (Pasal 131). Semangat memberantas peredaran tindak pidana narkotika dan precursor narkotika serta melindungi pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika dengan mendorong menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial tidak hanya merupakan slogan semata, bahkan dirumuskan sebagai tujuan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika sebagaimana Pasal 4 huruf c dab d sebagai berikut: c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan presekutor narkotika dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosila bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.
31
Itu berarti bahwa ada pemisahan besar berkaitan dengan dengan pengaturan pidana Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, yaitu: 1. Mengenai pemberantasan narkotika dan presekutor narkotika 2. Mengenai penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika. Pemberantasan peredaran narkotika ditemukan antara lain dalam ketentuan Pasal 111 sampai dengan Pasal 126, sedangkan berkaitan dengan penyalah guna narkotika antara lain ditemukan dalam Pasal 127 dan Pasal 128. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian, bahwa ketentuan seperti Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009, hanya dapat dikenakan kepada seorang dalam kerangka “peredaran” baik dalam perdagangan bukan perdagangan maupun pemindahtanganan,
untuk
kepentingan
pelayanan
kesehatan
dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 35), sehingga tidak boleh begitu saja secara serampangan misalnya seorang penyalah guna narkotika diajukan kepersidangan dan dikenakan ketentuanketentuan tersebut. Seorang penyalah guna narkotika dalam rangka mendapatkan narkotika tentulah dilakukan dengan cara membeli, menerima dan memperoleh dari orang lain dan untuk itu narkorika yang ada dalam tangannya jelas merupakan miliknya atau setidak-tidaknya dalam kekuasaannya, sehingga tentulah tidak tepat apaila dikenakan Pasal 111,
32
Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 122, Pasal 124 dan Pasal 125 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika,
dengan
anggapan
pasal-pasal
tersebut
mencantumkan
larangan memiliki, menyimpan, menguasai, membeli, menerima, dan membawa. Oleh karena itu, meskipun penyalah guna kedapatan memiliki, menyimpan, menguasai, membeli, menerima dan membawa dalam rangka untuk menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri maka tindak pidana yang dikenakan haruslah Pasal 127. Disadari diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam menentukan apakah penyalah guna narkotika atau pengedar narkotika. Penegak hukum khususnya para hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan pidana yang didasarkan ketentuan Pasal 111 sampai Pasal 126, pemeriksaan haruslah dilakukan dengan teliti dan cermat. Jumlah narkotika sebagai barang bukti serta keterangan
para saksi juga ahli
setidak-tidaknya dapat dijadikan acuan apakah bebar-benar sebagai penyalah guna atau memang ada motif berkaitan dengan “peredaran” narkotika dan prekursor narkotika. Bisa jadi dalam jumlah yang menurut penilaian rasional sedikit, namun apabila dengan pemeriksaan yang teliti oleh saksi ahli dinyatakan jumlah yang sedikit bukanlah merupakan jumlah yang wajar untuk dipakai atau dipergunakan, tentulah hal ini menjadi petunjuk awal dan sangat diragukan apabila narkotika tersebut akan dikonsumsi atau digunakan sendiri. Sehingga jumlah yang menurut penilaian rasional sedikit bukanlah jaminan akan dikonsumsi sendiri, bias terjadi dari jumlah yang sedikit terbukti bagian dari peredaran. 33
D.
Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Ketentuan mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “pertimbangan hakim disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan yang menjadi dasar penentuan kesalahan –kesalahan terdakwa”. Pertimbangan hakim terdiri dari pertimbangan yuridis dan faktafakta dalam persidangan. Selain itu, majelis hakim haruslah menguasai aspek teoritik dan praktik, pandangan doktrin, yurisrudensi dan kasus posisi yang sedang ditangani kemudian secara limitatif menerapkan pendiriannya. (Sumber, Lilik Mulyadi,2007, Kapita Selekta Hukum Pidana) 1. Berdasarkan Undang-undang Atau Secara Yuridis a. Dasar Pemberatan Umum (Adami Chazawi, 2002:73) Undang-undang yang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan pidana umum adalah 1) Dasar pemberatan karena jabatan 2) Dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan 3) Dasar pemberatan karena pengulangan (recidive).
1) Dasar pemberatan pidana karena jabatan Pemberatan pidana karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya. Adalah :
34
Jikalau seorang pegawai negeri melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya, karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya, maka hukumannya boelh ditambah sepertiga. Dasar pemberatan pidana tersebut dalam Pasal 52 KUHP ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai empat hal, adalah dalam melakukan tindak pidana dengan : a) Melakukan suatu kewajiban khusus dari jabatannya; b) Memakai kekuasaan jabatannya; c) Menggunakan kesempatan karena jabatannya; d) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya. 2) Dasar pemberatan pidana karena menggunakan bendera kebangsaan Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan dirumuskan dalam Pasal 52a KUHP yang berbunyi : “bilamana pada waktu melakukan kejahatan
menggunakan
bendera
kebangsaan
republic
Indonesia, maka hukumannya untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiganya”.
35
3) Dasar pemberatan pidana karena pengulangan (recidive) Ada dua arti pengulangan, yang satu menurut masyarakat (sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang
setelah
dipidana,
menjalaninya,
yang
kemudian
melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi pengulangan dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberatan pidana
ini,
tidaklah
cukup
hanya
melihat
berulangnya
melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang diberikan undang-undang. Menurut Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 pemberatan pidana dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang diancam pada kejahatan yang bersangkutan. Pemberatan pidana sebagaimana diatur Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 harus memenuhi dua syarat: 1. Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak Negara untuk menjalankan pidananya belum kadaluarsa. 2. Melakukan kejahatan pengulangannya adalah dalam waktu belum lewat lima tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang dijatuhkan.
36
b. Dasar Diperingannya Pidana Khusus Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringanan tertentu yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang disebutkan itu saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar diperingannya pidana khusus oleh karena di dalamnya terdapat unsur tertentu yang menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.
2. Berdasarkan Subjektif Selain secara yuridis, dasar yang memberatkan dan meringankan hukuman/pidana dapat juga dilihat secara subjektif dengan melihat syarat pemidanaan yang terdiri atas perbuatan dan orang. Unsur perbuatan meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum dan tidak ada alas an pembenar. Unsur yang terkait dengan adanya kesalahan pelaku yang meliputi kemampuan bertanggungjawab dan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (Culpa) serta tidak ada alasan pemaaf. Apabila syarat-syarat pemidanaan tersebut telah terpenuhi maka dapat dilakukan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Namun sebelum menjatuhkan pidana, terdapat aspek yang perlu dipertimbangkan di luar syarat pemidanaan yang meliputi aspek korban atau pelaku. Aspek korban meliputi kerugian atau penderitaan akibat tindak pidana yang didalamnya serta derajat kesalahan korban dalam terjadinya tindak pidana. Kerugian atau penderitaan yang besar atau berat merupakan aspek memberatkan pemidanaan terhadap pelaku, dan sebaliknya sedikit atau 37
ringannya kerugian atau penderitaan korban merupakan aspek yang meringankan bagi pemidanaan terhadap pelaku. Derajat kesalahan korban
dalam
terjadinya
tindak
pidana
merupakan
aspek
yang
dipertimbangkan dalam menjatuhkan putusan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya pidana yang akan diberikan kepada pelaku berdasarkan Undang-undang Nomor14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman Pasal 27 ayat 2 dimana telah dilakukan perubahan terhadap Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dengan Undang-Undang nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Selain itu telah dibentuk Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang telah disesuaikan dengan undang-undang sebelumnya. Pasal 27 ayat 2 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 berbunyi: “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Hakim dalam mengambil putusan perkara pidana oleh Undangundang dijamin kemandirian dan kebebasannya. Demikian pula dengan simbol-simbolnya maupun dengan janji-janji dan kode etik profesinya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang diberi kebebasan di dalam menentukan benar salahnya seseorang dan jenis pidana apa yang akan dijatuhkan serta berat ringannya.
38
Sebelum mengambil keputusan perkara pidana maka Hakim dituntut pula untuk mengetahui apa makna dari kebebasan dan kemandirian serta dituntut pula untuk mengetahui tujuan dari pidana dan pemidanaan, sehingga putusan Hakim diharapkan akan memberikan putusan yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Putusan yang adil dan benar adalah putusan yang mencerminkan tingkat kesadaran hukum masyarakat. Kualitas putusan pengadilan adalah tergantung pula dengan kualitas dari Hakimnya. Hakim yang berilmu, berpandangan luas, bermoral dan akhlak yang baik, memegang teguh etika profesi lebih diharapkan lahir suatu putusan yang berkualitas sebab dengan Hakim yang berkualitas maka ia akan berfikir, berbuat mengambil putusan dengan pertimbangan yang rasional, hati-hati dan cermat, dapat memikirkan apa yang akan terjadi. Putusannya akan memberi manfaat apa tidak bagi terdakwa khususnya bagi masyarakat dan lengkungannya. Hakim yang berkualitas adalah Hakim yang menguasai Undangundang secara baik dan benar, selanjutnya mengguankan Undangundang tersebut secara baik dan benar dalam kasus-kasus kongkrit. Hakim sendiri juga harus mengetahui nilai-nilai (tingkat) kesadaran hukum masyarakat sehingga putusan Hakim selalu dilandasi pertimbanganpertimbangan hukum (motiverd) yang lengkap dan sistematis sehingga orang mendengar atau membaca suatu putusan dapat mengetahui jalan pikiran Hakim dalam mengambil putusan.
39
Untuk
mengambil
keputusan,
hakim
harus
mempunyai
pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap
putusan hakim merupakan salah satu dari ketiga
kemungkinan sebagai berikut: a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan
terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa
pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum
dan keyakinan cukup
dibuktikan b. Putusan bebas (vrijspraak), yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti. c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), yaitu jika kesalahan terdakwa
menurut
hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana. Putusan hakim merupakan putusan yang isinya menjatuhkan hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat
dijalankan. Melaksanakan keputusan hakim adalah
menyelenggarakan agar supaya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat
dilaksanakan, misalnya apabila
keputusan itu berisi pembebasan terdakwa,
agar supaya segera
dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda, agar
40
supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Pemasyarakatan dan sebagainya. Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena idealnya putusan harus memuat idée des recht, yang meliputi tiga unsur yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit), dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada giliranya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan. Mochtar kusumaatmadja (2000:17) mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif, maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya
itu,
diharapkan
hakim
dapat
mengambil
keputusan
berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinanya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
41
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian Untuk
memperoleh
data
dan
informasi
yang
tepat
dalam
penyusunan penelitian ini, maka penulis akan melakukan penelitian di kota Makassar tepatnya di Pengadilan Negeri Makassar sebagai instansi mengadili
dan
memutuskan
perkara
tentang
Tindak
Pidana
Penyalahgunaan Narkotika.
B.
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif yang artinya berupa data yang berupa keteranganketerangan. Adapun sumber data yang digunakan adalah: 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada pihak yang terkait dalam permasalahan yang diteliti. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dan bersumber dari penelaahan studi kepustakaan berupa literatur-literatur, internet, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, dokumentasi dari berbagai instansi yang terkait juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
42
C.
Teknik Pengumpulan Data a) Wawancara (interview), yakni metode pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara mengadakan Tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait dalam penulisan ini. Misalnya Hakim, Jaksa dan sebagainya b) Dokumentasi, yakni penulis mengambil data dengan mengamati dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang diberikan oleh pihak yang terkait.
D.
Metode Analisis Data Setelah penulis mengumpulkan data yang berkaitan dengan topik
pembahasan skripsi ini, maka selanjutnya penulis mengolah dan menganalisis data yang diperoleh atau yang dikumpulkan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder. Data atau dokumen hukum yang terkumpul dibaca dan dianalisis secara deskriptif dengan melakukan kualifikasi
subtansi
putusan
Pengadilan
Negeri
Makassar
Nomor
102/Pid.B/2012/PN.Makassar.
43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Posisi Kasus Ringkasan posisi kasus pada Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.
Makassar adalah bermula ketika terdakwa Abd. Rahman Limpo Als Limpo Bin Dg. Gassing pada hari jum’at tanggal 11 November 2011 sekitar jam 23.30 WITA bertempat di jalan Cela-cela lorong 2 kota Makassar. Berawal dari terdakwa Abd. Rahman Limpo Als Limpo Bin Dg. Gassing menerima narkotika golongan 1 jenis shabu-shabu dari pandi (belum tertangkap) dijalan kerung-kerung lorong selayar Kota Makassar kemudian setelah narkotika golongan 1 jenis shabu-shabu dalam penguasaan diri terdakwa selanjutnya terdakwa Abd. Rahman Limpo Als Limpo Bin Dg. Gassing kembali menuju ke rumahnya yang bertempat di jalan Cela-cela. Namun dalam perjalanan pulang ke rumahnya saksi Usman dan Suaib melihat gerak gerik terdakwa yang mencurigakan kemudian saksi Usman dan Suaib mendekati dan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa dan menemukan pada diri terdakwa 1(satu) paket shabu-shabu yang terbungkus plastik bening yang tersimpan dalam saku celana jeans sebelah kanan. Kemudian saksi Usman dan Suaib membawa terdakwa beserta barang bukti tersebut ke kantor polres pelabuhan Makassar guna proses lebih lanjut.
44
Perbuatan terdakwa terhadap barang bukti tersebut telah dilakukan uji laboratoris kriminalistik dari laboratorium forensik cabang Makassar dan diperoleh hasil bahwa barang bukti Kristal bening dan urine milik Abd.Rahman Limpo als. Limpo bin dg. Gassing tersebut benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam golongan 1 nomor urut 61 Lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
sesuai
berita
acara
pemeriksaan
laboratorium
kriminalistik nomor lab: 1264/KNF/XI/2011 tanggal 14 november 2011 yang ditandatangani oleh Dra. Sugiharti, Faisal Hasura Mulyani dan Arianata vira testiani selaku yang menganangi di Laboratorium Forensik Cabang Makassar. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 112 Ayat (1) subs Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Tuntutan jaksa penuntut umum yang diajukan kepada hakim berdasarkan bukti dan faktafakta yang terungkap di persidangan yang pada pokoknya jaksa berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak
pidana
“tanpa
hak
atau
melawan
hukum
menyalahgunakan narkotika golongan l bukan tanaman” diterapkan dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
45
B.
Analisis Terhadap Penerapan Hukum Pidana Materil Dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/ PN.Mks. Saat ini peredaran penyalahgunaan narkotika dengan sasaran
potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaannya. Dalam penerapan hukum pidana materil dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar, tampak bahwa terpidana didakwa oleh Penuntut Umum dengan dua pasal yang disusun secara alternatif. Dakwaan alternatif adalah dua dakwaan atau lebih yang kedudukan masing-masing dakwaan setara yang bilamana terbukti dalam persidangan, maka terdakwa akan dikenakan pasal yang mengancam pidana yang paling/lebih tinggi dibandingkan dakwaan lainnya. Kedua pasal yang digunakan oleh Penuntut Umum dalam menjerat terrpidana adalah Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disingkat “Undang-Undang Narkotika”). Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika mengatur bahwa: “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).” 46
Pasal 127 ayat (1) huruf a mengatur bahwa: “Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.” Penuntut Umum dalam menganalisis segala bukti-bukti yang diajukan di dalam persidangan lalu mengkorelasikannya dengan unsurunsur pasal yang didakwakan, menarik kesimpulan bahwa terpidana terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur barang siapa; 2. Penyalah guna narkotika golongan I; dan 3. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Yang menjadi pembahasan dalam konteks penerapan hukum materil yang pertama adalah pembuktian preferensi dakwaan alternatif kedua yakni Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika atas dakwaan pertama yakni, Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Yang kedua adalah pembahasan keakuratan pembuktian unsur-unsur Pasal 127 ayat (1) huruf a oleh Penuntut Umum. Alasan mengapa Penuntut Umum tidak menerapkan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika melainkan menerapkan Pasal 127 ayat (1) huruf a adalah karena di dalam persidangan terbukti melalui keterangan terdakwa bahwa narkotika jenis shabu-shabu (narkotika golongan I bukan tanaman) yang ditemukan di dalam saku celana terpidana ditujukan untuk konsumsi pribadi, bukan untuk diedarkan. Sedangkan Pasal 112 ayat Undang-Undang Narkotika mengatur tentang
47
perbuatan yang masuk dalam kategori distributor (pengedar), bukan untuk penyalah guna atau pecandu narkotika. Oleh karena itu, Penuntut Umum melalui bukti di persidangan yang mengarahkan kepada pernyataan terpidana yang menyatkan bahwa narkotika jenis shabu yang dimilikinya adalah untuk dikonsumsi untuk diri sendiri sehigga yang lebih tepat dijerat dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a. Pendapat Penuntut Umum menurut penulis ada benarnya. Namun, Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika yang dijeratkan kepada terpidana tidak terbukti menurut penulis. Kalau dicermati dengan saksama rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf a tersebut, maka didapati bahwa rumusan tersebut menjerat Penyalah Guna Narkotika yang menggunakan Narkotika Golongan I sehingga seharusnya dibuktikan terlebih dahulu oleh Penuntut Umum dan Majelis Hakim bahwa terpidana adalah hanyalah seorang Penyalah Guna Narkotika, bukan seorang Pecandu Narkotika. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Narkotika ini memisahkan definisi Penyalah Guna dengan Pecandu Narkotika sehingga Pasal 127 ayat (1) huruf a hanya tepat bila dikenakan kepada Penyalah Guna Narkotika Golongan I. Kalaulah yang memakai Narkotika tersebut bukan seorang penyalah guna melainkan seorang pecandu narkotika, maka terpidana akan dikenakan Pasal Pasal 134 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Untuk mendukung argumen penulis di atas, maka penulis akan kutipkan pembuktian rumusan dalam surat tuntutan Penuntut Umum di bawah ini:
48
Barang siapa Yang dimaksud “barang siapa” adalah setiap orang atau subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dan mampu bertanggungjawab. Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, bahwa benar terdakwa yang diajukan dalam persidangan in adalah Abd. Rahman Limpo Als Limpo Bin Dg. Gassing yang identitasnya telah sesuai dengan identitas terdakwa dalam surat dakwaan dan terdakwa telah dengan lancar menjawab pertanyaan dan memberi keterangaan sehingga terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab. Dengan demikian unsur “barang siapa” telah terpenuhi. Unsur barang siapa berdasarkan Pasal 2 KUHP dimana ketentuan pidana berlaku bagi tiap orang di dalam wilayah Indonesia yang melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya secara Hukum. Unsur Penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor35 Tahun 2009 tentang narkotika, bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan, sehingga apabila ada penyalahgunaan Narkotika untuk kepentingan lain tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang, maka tindakan tersebut tergolong penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan fakta didepan persidangan terungkap berdasarkan dari keterangan saksi Usman dan Suaib dan keterangan hasil laboratorium yang mengandung metamfetamina serta keterangan terdakwa sendiri diketahui bahwa terdakwa akan menggunakan atau memakai Narkotika golongan I jenis shabushabu hanya untuk kepentingan konsumsi bagi diri sendiri. Sehingga unsur tersebut telah terpenuhi dan terbukti secara sah menurut hukum. Poin kedua menurut penulis adalah salah apabila hanya menjerat terpidana dengan menggunakan Pasal 127 ayat (1) huruf a UndangUndang Narkotika saja. Hal ini karena pasal tersebut hanya berkaitan dengan pengguna, tetapi tidak mencakup arti memiliki. Memang benar setiap penyalah guna bisa jadi memiliki, menyimpan atau menguasai tetapi hal ini tidak menjadi syarat dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a karena
49
untuk membuktikan pasal tersebut hanya cukup dengan melakukan tes urin terhadap terpidana. Tetapi, ketika saat dilakukan penangkapan, terpidana kedapatan menyimpan barang tersebut di saku celananya, sehingga ia juga seharusnya dijerat dengan Pasal 112 ayat (1). Di sini yang
penulis
tekankan
adalah
Undang-Undang
Narkotika
yang
menganggap bahwa memakai dan memiliki merupakan dua jenis perbuatan yang berbeda dan keduanya merupakan tindak pidana yang berbeda pula. Oleh karena itu, perbuatan terdakwa adalah perbuatan tindak pidana concursus dan harus dijerat dengan tindak pidana berlapis. Bukti di persidangan menunjukkan bahwa tes urin terpidana terbukti mengandung metamfetamin sehingga memenuhi rumusan Pasal 112 ayat (1), juga dia memiliki dan menyimpan shabu (narkotika golongan I bukan tanaman) sehingga terbukti pula melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Bisa jadi dikatakan bahwa Pasal 127 Undang-Undang Narkotika hanya ditujukan kepada pengedar seperti pendapat Penuntut Umum yang penulis ungkapkan sebelumnya. Namun, pendapat ini sama sekali tidak berdasar karena rumusan dalam pasal tersebut sama sekali tidak membatasi subyeknya dan persoalan ini sangat jelas. Kesalahan dalam penerapan hukum pidana materil yang terdapat dalam dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum juga menimpa Majelis Hakim yang mengadili perkara dalam kasus ini. Dengan memperhatikan putusan secara saksama, tampak jelas bahwa Majelis Hakim juga mendasarkan pembuktian kesalahan terdakwa berdasarkan argumentasi Penuntut 50
Umum sehingga ketika Penuntut Umum yang berdasarkan analisis penulis telah salah, maka secara otomatis penerapan hukum materil oleh Majelis Hakim juga salah. C.
Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.Makassar. Putusan hakim biasa juga disebut putusan pengadilan adalah
penyertaan hakim yang diucapkan dalam pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Oleh karena itu putusan yang diambil oleh hakim didasarkan pada fakta-fakta yang terbukti di pengadilan. Menurut Ani Fitria, S.H.,M.H (salah satu Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar) pada hari Jumat tanggal 10 Januari 2012 bahwa : Walaupun jaksanya menuntut namun tergantung bagaimana pertimbangan hakim.seperti halnya, Jika Jaksanya menuntut pemidanaan namun dengan pertimbangan tertentu Hakim bisa menjatuhkan tindakan kepada terdakwa.Namun pada dasarnya penghukuman bertujuan untuk efek jera dimana mempertimbangkan fakta pada persidangan dan masalahnya. Pertimbangan
Hukum
Hakim
dalam
memutuskan
terdakwa
bersalah dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.Makassar. a. Menimbang, bahwa dalam persidangan Jaksa penuntut umum mengajukan barang bukti berupa 1 (satu) paket shabu-shabu yang terbungkus dalam plastik bening dan 1 (satu) lembar celana jeans. b. Menimbang, bahwa dipersidangan jaksa penuntut umum telah menghadapkan 2 (dua) orang saksi yang masing-masing telah memberikan keterangan dibawah sumpah yakni 1, Usman dan 2.
51
Suaib. Keterangan saksi-saksi tersebut sebagaimana termuat dalam berita acara. c. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa saling bersesuaian yang didukung pula dengan barang bukti yang ada, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”. d. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa terbukti bersalah maka akan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya dengan memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: -
Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas peredaran dan penggunaan Narkoba secara ilegal.
Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan. - Terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. e. Menimbang, bahwa karena terdakwa berada dalam tahanan dan agar terdakwa tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka sudah selayaknya terdakwa diperintahkan untuk tetap ditahan. f. Memperhatikan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Menurut pandangan penulis di sini adalah kekurangan-kekurangan dalam pertimbangan hakim. Kekurangan pertama adalah hakim tidak memasukkan Pasal 54 Undang-Undang Narkotika dalam Konsiderans Memperhatikan dalam putusannya. Harus diingat bahwa UndangUndang Narkotika ini menganut pendapat bahwa para Penyalah Guna dan Pecandu Narkotika adalah manusia-manusia yang sedang sakit dan
52
membutuhkan pertolongan medis untuk menyembuhkan atau setidaktidaknya menekan pertumbuhan penyakit mereka. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang mewajibkan para pecandu dan penyalah guna narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 54 mengatur sebagai berikut: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.” Ini adalah amanah bagi setiap Hakim yang memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana Narkotika yang diatur dalam Pasal 127 ayat (a), (b), dan (c). Amanah ini diatur di dalam Pasal 127 ayat (2) yang mengatur sebagai berikut: “Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.” Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam menentukan putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses
persidangan
dalam
hal
ini
bukti-bukti,
keterangan
saksi,
pembelaan terdakwa, serta tuntutan jaksa maupun muatan psikologis. Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan kepada tedakwa dapat didasari prinsip keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, dan profesionalisme. Sehubungan dengan kasus ini, Majelis Hakim seharusnya memasukkan hal-hal yang menjadi
pertimbangannya
yang
setidaknya
menjawab
pertanyaan
mengapa sehingga si terpidana tidak dimasukkan ke dalam program
53
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sangat penting karena yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh Hakim adalah apakah menjatuhkan pidana terhadap pelaku merupakan jalan yang tepat ataukah memberikan rehabilitasi kepada korban penyalahgunaan Narkotika dalam rangka untuk mencapai tujuan pemidanaan dan pembinaan itu sendiri. Terdapat pula pertimbangan Majelis Hakim yang mengatakan bahwa perbuatan terpidana tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas peredaran dan penggunaan narkoba secara ilegal sehingga dijadikan sebagai hal-hal yang memberatkan hukuman. Akan tetapi, argumen ini bisa jadi mendapat serangan dengan argumen yang mengatakan bahwa memang sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk memberantas semua kejahatan sehingga semua orang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah orang yang tidak mendukung tujuan negara. Jawaban terhadap serangan argumen ini adalah narkotika adalah barang yang jika disalahgunakan maka akan menyebabkan kehancuran terhadap masyarakat suatu bangsa dan khususnya menjadi penghambat regenerasi para pemuda. Dewasa ini, gejala penyalahgunaan dan kecenderungan narkotika telah menjalar sedemikian luas sehingga mencapai titik yang membahayakan sehingga peredaran dan penggunaan narkotika secara melawan hukum menduduki posisi sebagai tindak pidana yang hampir menduduki posisi puncak baik dalam kuantitas maupun kualitas kerusakan yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, wajarlah jika jenis tindak pidana ini lebih diutamakan pemberantasannya dan lebih berat sanksinya ketimbang beberapa 54
kejahatan-kejahatan lainnya. Jadi, menurut penulis wajarlah argumen hakim yang memasukkan tindakan terpidana sebagai perbuatan yang merusak bangsa dan menjadi alasan pemberatan pidana. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/ PN.Mks. menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana narkotika, sehingga terhadap pelaku tindak pidana narkotika tersebut, penjatuhan pidana penjara merupakan hal yang utama demi menciptakan tujuan hukum yakni kepastian hukum (Rechzekerheid), namun dalam pandangan penulis, hukum Pidana merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir, dan secara filosofis, penyalagunaan merupakan korban yang dimana sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan, baik korban karena lingkungan, pergaulan maupun korban dari Bandar itu sendiri, sehingga selayaknya konsideran atau pertimbangan Majelis Hakim tidak menjatuhkan pidana penjara dan terhadap penyalagunaan narkotika, melainkan memasukkan ke lembaga rehabilitasi pengguna narkotika atau BNN badan Narkotika Nasional, untuk menjalani proses penyembuhan dari ketergantungan narkotika. Mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Disamping itu penggunaan sistem pidana minimal dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 memperkuat asumsi bahwa Undang55
Undang tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
56
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan
Hasil
penelitian, maka
penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut: 1. Penerapan hukum pidana materil pada Putusan Nomor 102/Pid.B/2012/PN.Mks adalah salah menurut kaca mata hukum karena unsur-unsur yang dikenakan tidak terpenuhi dan kesalahan dalam pengenaan pasal. 2. Bahwa pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam
Putusan
menyatakan
Nomor
bersalah
penyalahgunaan
102/Pid.B/2012/PN.Makassar melakukan
Narkotika,
Hakim
tindak
pidana
mempertimbangkan
mengenai tuntutan Jaksa Penuntut Umum, barang bukti dan alat bukti. Namun, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan penyalahgunaan merupakan korban yang dimana sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik
karena
adanya
paksaan,
desakan,
ataupun
ketidaktahuaan, baik korban karena lingkungan, pergaulan maupun korban dari Bandar itu sendiri, sehingga selayaknya pertimbangan Majelis Hakim tidak menjatuhkan pidana penjara dan
terhadap
penyalagunaan
narkotika,
melainkan
57
memasukkan ke lembaga rehabilitasi pengguna narkotika dan agar majelis hakim membebaskan terdakwa atau menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan
Jaksa
Penuntut
Umum
melainkan
karena
ketergantungan pada shabu-shabu.
B.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis mengajukan saran-
saran sebagai berikut: a. Penegakan hukum, dimulai dari instansi Kepolisian dengan mengedepankan sosialisasi tentang bahaya penyalahgunaan Narkotika bagi generasi muda dan kalangan menengah kebawah, peran kepolisian merupakan ujung tombak bagi penegakan hukum terhadap penyalahgunaan Narkotika di masyarakat, oleh karenanya masyarakat turut mengambil bagian dalam gerakan anti-narkotika. Selain daripada itu peran Badan
Narkotika
Nasional
(BNN)
tidak
hanya
menjadi
lembaga/komisi yang memerangi penyalahgunaan Narkotika namun menjadi wadah bagi generasi muda untuk memerangi Narkotika. Pesan yang disampaikan dalam bahasa perundangundangan dalam kepres Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, sebagai lembaga non-struktural yang mengakomodir instansi pemerintah dalam upayah repressive
58
(tindakan) namun lebih mengedepankan upaya preventife (pencegahan). b. Dalam
memberikan
putusan,
Hakim
hendaknya
selalu
memberik pertimbangan sosiologis dan psikologis bukan hanya secara normatif terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika dan memperhatikan ketergantungan yang dideritanya sehingga mendapatkan putusan yang baik serta tidak menimbulkan tekanan psikologis terhadap korban penyalahgunaan narkotika.
59
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Bagian I. Jakarta. PT.RajaGrafindo Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan, Pradnya Paramita. ------------------,1994. Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika, Sinar Grafika. ------------------, 1994, Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta. A.R.Sujono,2011. Komentar dan pembahasan Undang Undang Nomor35. Sinar grafika. Bambang Waluyo. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta. Sinar Grafika. E.Y.Kanter.2002. Asas-asas hukum pidana dan penerapannya. Storia G. Gosita Arif, 1993, Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Hari Sasangka.2003. Narkotika dan Psikotropika. CV.Mandar Maju. P.A.F.Lamintang.1997. Dasar-dasar Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Pipin Syarifin. 2000. Hukum Pidana di Indonesia. Bandung. Pustaka Setia. Soedjono Dirdjosisworo. 2011. Narkoba dan peradilannya. PT.Alumni Moeljatno.1993. Asas-asas Hukum Pidana. PT. BIna Aksara Moh.Taufik Makarao. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Narkotika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Website http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
60