BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Reformasi di institusi pemerintah mulai dibangun dengan dikeluarkannya
beberapa landasan hukum seperti peraturan-peraturan mengenai daerah otonom, pengenalan perangkat teknologi untuk mempercepat proses organisasi, dan penerapan sistem organisasi dengan berbasiskan good governance kepada institusi pemerintah. Salah satu pilar utama sistem good governance adalah akuntabilitas. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Salah satu bentuk media pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat adalah melalui laporan keuangan yang melaporkan aktivitas pengelolaan keuangan di institusi pemerintah. Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia pasca reformasi adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah (Mardiasmo, 2006). Otonomi daerah telah mengubah sistem pengelolaan keuangan negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Menurut Wells (2007), kecurangan akuntansi mengacu kepada kesalahan akuntansi
yang
dilakukan
secara
sengaja
dengan
tujuan
menyesatkan
pembaca/pengguna laporan keuangan. Tujuan ini dilakukan dengan motivasi negatif. Pihak-pihak tertentu akan mengambil keuntungan individu dari kecurangan akuntansi yang dilakukan. Dorminey (2011) menyatakan bahwa faktor rasionalisasi
dan tekanan merupakan karakteristik pelaku kecurangan akuntansi yang tidak dapat diobservasi karena mustahil untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh pelaku ketika akan melakukan kecurangan akuntansi. Menurut Association Of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan akuntansi dapat digolongkan menjadi tiga jenis : kecurangan dalam laporan keuangan, penyalahgunaan aktiva dan korupsi. Dalam korupsi, tindakan yang lazim dilakukan adalah memanipulasi, pencatatan, penghilangan
dokumen,
dan
mark-up
yang
merugikan
keuangan
atau
perekonomian negara. Manipulasi akuntansi mungkin dilakukan dalam praktikpraktik bisnis oleh perusahaan dan biasanya melibatkan pihak-pihak intern. Kecurangan akuntansi telah mendapat banyak perhatian publik sebagai dinamika yang menjadi pusat perhatian para pelaku bisnis di dunia. Kasus Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (KKA) di Indonesia terjadi secara berulang-ulang. Berita mengenai hal tersebut banyak dijumpai di media massa sehingga bagi masyarakat kasus KKA seperti bukan rahasia lagi. Ini dibuktikan dengan adanya kasus korupsi di Indonesia yang meningkat 12% disepanjang tahun 2014. Indonesia Corruption Watch (ICW)menyatakan bahwa dari laporan kepolisian dan KPK, tercatat 629 kasus korupsi dengan berbagai jenis seperti suap, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan dana serta pemalsuan data. Dari semua jenis kasus korupsi tersebut, terdapat lebih dari 1300 orang yang telah ditetapkan tersangka. Data tahun 2014 ini lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kasus korupsi tahun 2013 sebanyak 560 kasus dengan 1271 orang tersangka (Karwur,2015).Pada sektor publik KKA dilakukan dalam bentuk kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di sektor swasta bentuk KKA
juga terjadi dalam bentuk yang sama yaitu ketidaktepatan dalam membelanjakan sumber dana. Kecurangan akuntansi sangat erat hubungannya dengan etika. Kecurangan akuntansi merupakan suatu tindakan ilegal. Menurut Baucus (dalam Hernandez dan Groot, 2007) secara umum perilaku ilegal adalah bagian dari perilaku tidak etis, oleh karena itu ada hukum yang harus ditegakkan sebagai bagian dari usaha penegakkan standar moral. Hernandez dan Groot (2007) menemukan bahwa etika dan lingkungan pengendalian akuntansi merupakan dua hal yang sangat penting terkait kecenderungan seseorang dalam melakukan kecurangan akuntansi. Kecurangan akuntansi dipengaruhi oleh tingkat korupsi suatu negara (Gaviria, 2001).Kasus korupsi yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch(ICW) dikutip dari www.antikorupsi.orgtanggal 14 September 2015 menyatakan kinerja penegakan hukum masih dianggap belum maksimal. Selama setengah tahun pertama 2015, ICW memantau 308 kasus dengan 590 orang tersangka. Total potensi kerugian negara dari kasus-kasus ini mencapai 1,2 triliun rupiah dan potensi suap sebesar 457,3 miliar rupiah. Pada semester I tahun 2015, modus yang paling banyak digunakan adalah penggelapan (82 kasus), penyalahgunaan anggaran (64 kasus), penyalahgunaan wewenang (60 kasus), dan mark up (58 kasus). Dilihat dari latar belakang korupsi, pejabat atau pegawai di lingkungan Kementerian dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (212 orang). 55 persen atau 169 kasus yang diproses termasuk di wilayah non-infrastruktur dengan kerugian negara sebesar 411,4 miliar rupiah. Sementara kasus korupsi infrastruktur ada 139 kasus atau 45 persen dengan kerugian negara
sebesar 832,3 miliar rupiah. Korupsi non-infrastruktur banyak terjadi di sektor keuangan daerah dengan 96 kasus (potensi kerugian negara 356 miliar rupiah). Ditinjau dari teori atribusi, teori ini membahas penyebab-penyebab perilaku seseorang dan upaya untuk memahami penyebab dibalik perilaku seseorang.Sebab perilaku
kecurangan
terjadi
karena
dipengaruhi
faktor
internal
dan
eksternal.Perilaku kecurangan juga dapat dijelaskan oleh Fraud Triangle Teory.Seseorang melakukan kecurangan karena adanya tekanan, peluang dan rasionalisasi.Seseorang mungkin merasa mendapat tekanan untuk melakukan kecurangan karena adanya kebutuhan atau masalah finansial.Menurut Montgomery et al.(dalam Kurniawati, 2012) kesempatan yaitu peluang yang menyebabkan pelaku secara leluasa menjalankan aksinya yang disebabkan oleh pengendalian internal yang lemah, ketidakdisiplinan, kelemahan dalam mengakses informasi, tidak ada mekanisme audit, dan sikap apatis. Longgarnya pengendalian internal dan kurangnya pengasawan dalam suatu perusahaan dapat memicu karyawan untuk melakukan kecurangan. Rasionalisasi merupakan sikap yang membenarkan pihakpihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya.
Coram et al.(2008) menjelaskan bahwa organisasi yang memiliki fungsi audit internal akan lebih dapat mendeteksi kecurangan akuntansi. Untuk menangani masalah kecurangan akuntansi, diperlukan monitoring, untuk mendapatkan hasil
monitoring yang baik, diperlukan pengendalian internal yang efektif (Wilopo, 2006). Ruslan (dalam Hermiyetti, 2010) pengendalian internal yang baik memungkinkan manajemen siap menghadapi perubahan ekonomi yang cepat, persaingan, pergeseran permintaan pelanggan serta restrukturasi untuk kemajuan yang akan datang. Jika pengendalian internal suatu perusahaan lemah maka kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecurangan semakin besar.Sebaliknya, jika pengendalian internalnya kuat, maka kemungkinan terjadinya kecurangan dapat diperkecil. Keefektifan pengendalian internal mempunyai pengaruh yang besar dalam upaya pencegahan kecenderungan kecurangan akuntansi, dengan adanya pengendalian internal maka pengecekan akan terjadi secara otomatis terhadap pekerjaan seseorang oleh orang lain. Menurut Arens (2008), pengendalian internal meliputi lima elemen yaitu lingkungan pengendalian, penilain resiko, aktivitas pengendalian informasi dan komunikasi, dan pengawasan. Elemen-elemen tersebut membantu perusahaan untuk mencapai tujuannya. Kegiatan sektor publik merupakan kegiatan yang memiliki perhatian serius dalam masyarakat. Mulai dari perencanaan tujuan sampai dengan hasil yang diinginkan merupakan kerangka pemikiran mutlak yang diinginkan oleh setiap pemerintahan. Untuk dapat mewujudkan hal ini, pemerintah dapat melakukan pengendalian dalam setiap proses pelaksanaannya. Boynton et al.(2006) mendefinisikan aktivitas pengendalian sebagai kebijakan dan prosedur yang membantu memastikan bahwa perintah manajemen telah dilakukan.Organisasi dengan tingkat kontrol yang tinggi akan menurunkan tingkat terjadinya kecurangan (Gunadi, 2001). Sistem pengendalian intern merupakan proses integral pada
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai pemerintah. Tindakan ini untuk memberi keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi pemerintah yang optimal. Tentu saja optimalitas itu terjadi jika organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien, memiliki keandalan pelaporan keuangan, menjalankan pengamananaset negara, dan taat terhadap peraturan perundang-undangan. Integritas adalah suatukomitmen pribadi yang teguh terhadapprinsip ideologi yang etis dan menjadi bagiandari konsep diri yang ditampilkanmelalui perilakunya(Schlenker, 2008). Bernard Williams, Harcourt(dalam Susanto, 2013) setuju bahwa integritas berarti suatusituasi di mana orang terikat dengan apayang orang lain anggap sebagai sesuatuyang etis danberharga. Furrow(dalam Susanto, 2013) mengungkapkan perspektif yang unik pada integritasdan melihatnya sebagai sejauh manaberbagai komitmen dapat membentuk sesuatuyang harmonis dan utuh. Ia juga mengembangkan tentang konsepintegritas dengan mencatat bahwa memiliki integritas berarti menjadi mampuhidup sesuai dengan komitmen secarakonsisten. Schlenker (2008)mengungkapkan ada 3 aspek yang digunakandalam pengukuran integritas, yaitu:
1) Perilakuberprinsip Perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang etis dan sesuaidengan nilaimoral. 2) Komitmen teguh padaprinsip-prinsip meski ada keuntungan maupun tekanan. Adanya komitmen untuktetap berpegang pada prinsip
yangtelah dipegang meskipun ada tekanandari pihak lain maupun tawaran keuntunganpribadi. 3) Keengganan untukmerasionalisasi perilakuberprinsip Tetap berkomitmen dantidak melakukan tawar-menawarterhadap prinsip yang telah dipegangmeski dalam situasi dan kondisitertentu.
Fenomena skandal keuangan yang terjadi juga dapat menunjukkan suatu bentuk kegagalan integritas laporan keuangan untuk memenuhi kebutuhan informasi pengguna laporan keuangan. Integritas pelayanan publik dapat diartikan sebagai wujud komitmen pemerintah guna memberikan layanan yang prima kepada masyarakat dengan mengedepankan integritas dan moralitas sebagai basis untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Integitas pelayanan publik terkait dengan komitmen antara pemerintah sebagai provider dengan masyarakat sebagai pengguna layanan. Survei nasional terhadap integritas sektor publik yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikutip dari www.kpk.go.id tanggal 18 Nopember 2014 menyatakan Indeks Integritas Unit Layanan di Kementerian/Lembaga pada 2014 mencapai 7,22, di atas standar minimal yang ditetapkan oleh KPK, yakni 6,00. Indeks ini terdiri dari indeks pengalaman integritas dan indeks potensi integritas.Meskipun indeks integritas sudah melampaui nilai yang ditetapkan, unit layanan tetap perlu memperbaiki dan memberikan layanan optimal bagi pengguna layanan. Caranya, bisa dengan edukasi anti korupsi dan pengelolaan pengaduan masyarakat, mengomunikasikan untuk memanfaatkan sarana media yang ada,
meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi, dalam rangka menciptakan pelayanan yang transparan, serta upaya yang lebih serius dalam menghilangkan praktik gratifikasi dalam layanan.Hasil survei kemudian digunakan sebagai dasar pijakan bagi kegiatan perbaikan integritas dan anti korupsi di sektor layanan publik oleh KPK maupun unit layanan/intansi terkait. Survei dilakukan bertujuan untuk memetakan tingkat integritas unit layanan pada organisasi publik seperti Kementerian/Lembaga. Pemerintah Kota Denpasar sebagai kota peraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan meraih predikat terbaik pertama secara nasional dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Ombudsman Republik Indonesia, dikutip dari http://denpasar.bpk.go.idtanggal 9 Juni 2014. Selain itu, Pemerintah Kota Denpasar ditetapkan sebagai pilot project atau percontohan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah di tingkat nasional, dikutip dari http://kominfo.denpasarkota.go.id tanggal 22 Agustus 2013.Meskipun Pemerintah Kota Denpasar memperoleh opini WTP, bukan berarti tidak ada permasalahan yang ditemukan. BPK menemukan beberapa kelemahan dalam Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, dikutip dari http://denpasar.bpk.go.idtanggal 9 Juni 2014. Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dengan ini penulis melakukan
sebuah
penelitian
yang
berjudul
“Pengaruh
Pengendalian
Internaldan Integritas pada Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Studi pada SKPD Kota Denpasar)”
1.2
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi inti
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah
Pengendalian
Internal
berpengaruhpada
KecenderunganKecurangan Akuntansi di SKPD Kota Denpasar? 2. Apakah Integritas berpengaruh pada KecenderunganKecurangan Akuntansi di SKPD Kota Denpasar? 1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang
menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
pengaruh
Pengendalian
Internal
padaKecenderunganKecurangan Akuntansi. 2. Untuk mengetahui pengaruh Integritas padaKecenderunganKecurangan Akuntansi. 1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis sebagai berikut : 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini dapat memberikan bukti empiris penyebab tindakan kecenderungankecurangan akuntansi di SKPD Kota Denpasar sesuai dengan teori atribusi dan fraud triangle teory yang menjelaskan bahwa kecurangan akuntansi terjadi karena perilaku atau karakteristik yang
dimiliki seseorang. Penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya. 2) Kegunaan Praktis Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai fraud khususnya di bidang pemerintahan. Bagi obyek penelitian, SKPD Kota Denpasar, sebagai masukanbagi manajemen untuk menerapkan peraturan danmelakukan evaluasi kinerja karyawan secara intensif serta meningkatkan integritas seluruh karyawan.
1.5
Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini disusun atas beberapa babuntuk memberikan
gambaran yang lebih jelas dan terperinci mengenai masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun sistematika penyajian penulisannya adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang relevan untuk mendukung pokok permasalahan penelitian ini serta diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya, dan disajikan mengenai dugaan sementara dari pokok permasalahan.
BAB III
METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan metode penelitian yang meliputi lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Bab ini memuat deskripsi dari hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan tentang simpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran yang dapat disampaikan dimana nantinya diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya.