BAB I PENDAHULUAN
1.1. Judul Penelitian Implementasi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Studi Kasus Kota Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor)
1.2. Latar Belakang Masalah Semenjak awal pembentukan negara Indonesia muncul berbagai kasus sengketa tanah antara negara (dalam hal ini pemerintah) dan masyarakat adat setempat. Sengketa ini dipengaruhi oleh masa transisi pemerintahan di Indonesia yang berbeda ketika zaman kerajaan hingga pemerintahan Hindia-Belanda. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah berinisiatif mengeluarkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor 5 Tahun 1960 yang didalamnya mengatur mengenai hukum pertanahan, serta mempertajam fungsi dan kewenangan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan lembaga peradilan lainnya. Amidhan, dkk (2005: 140) menyatakan bahwa UUPA adalah sebuah produk hukum yang menjadi dasar politik agraria nasional dan berkehendak melakukan Reforma Agraria guna menata
1
ulang struktur agraria warisan kolonial yang telah mengakar ratusan tahun dan menjadi acuan hukum agraria di Indonesia. Sayangnya, eksistensi hak ulayat hanya diakui sebagai hukum konkrit dan bukan sebagai lembaga hukum. Secara substantif tidak dijelaskan mengenai apa saja kriteria yang menggambarkan tanah tersebut berada di wilayah hak ulayat tanah. Hak ulayat tidak bersifat eksklusif, keberadaannya sama dengan hak tanah lainnya yang merupakan hak negara. Maksudnya, menurut Sumardjono (2001: 66), apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau kepentingan lain yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka hak ulayat itu dapat diberikan kepada pihak lain. Masyarakat pemegangnya tidak diperbolehkan mempertahankan hak itu melainkan harus bersedia menerima “recognite” yang akan diserahkan bagi mereka (Ruwiastuti, 2000: 75). Penguasaan tanah tak bertuan dan tak bersertifikat seutuhnya dikembalikan kepada negara. Sementara bagi masyarakat adat, tanah ulayat (tanah adat kolektif) sebagai wilayah leluhur yang kepemilikannya kolektif dan menyeluruh dimana penduduk asli memperhitungkan diri mereka sendiri sebagai “penjaga” dari wilayah leluhur, bukan pemilik seperti yang biasa diartikan dalam ekonomi pasar modern (Sugandi, 2008: 11). Kasus sengketa tanah semakin meluas dan otonomi daerah pada tahun 1999 yang ditetapkan pemerintah Indonesia mencetuskan terbitnya Peraturan Mentri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat pada 24 Juni 1999. Dengan begitu, penentuan tentang keberadaan hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah 2
(Pemda) dengan mengikutsertakan masyarakat hukum adat yang ada di daerah tersebut, pakar hukum adat, LSM, dan instansi yang terkait dengan sumber daya alam (Sumardjono, 2001: 67-68). Sengketa tanah yang terjadi di Papua sama halnya dengan yang terjadi di daerah lainnya, terutama yang masih mengakui adanya masyarakat adat di wilayahnya. Perluasan pembangunan yang diusung pemerintah terhambat karena masalah legalisasi tanah (ganti rugi) yang menyangkut lahan di dalam wilayah hak ulayat. Dikarenakan permasalahan tersebut dan berdasarkan Permen Nomor 5 tahun 1999 dan mandat kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu mengeluarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi (Perdasus) Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Dengan harapan, masyarakat adat di Papua mendapat perlindungan atas hak asli mereka dan menjadi payung hukum penanganan sengketa tanah dan konflik agraria yang terjadi di tanah Papua segera tuntas. Jumlah kasus pertanahan yang masuk ke Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (dalam bpn.go.id) mencapai 4.544 kasus, yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012 yang belum diselesaikan sebanyak 1.888 kasus serta kasus baru sebanyak 2.656 kasus. Secara nasional, menurut jaya-tv.com (7 Juli 2014), rata-rata kasus sengketa dan konflik tanah di Papua tiap tahun mencapai empat ribu kasus. 3
Tetapi, data yang masuk di BPN, di Papua hanya terdapat 13 kasus yang sedang di proses atau masuk ke ranah hukum dengan 11 kasus yang telah diselesaikan dan sisanya 2 kasus. Hal ini karena konflik agraria seperti gunung es, apa yang terlihat tidak seperti apa yang terjadi di lapangan. Belum lagi menurut tabloidjubi.com (16 Juli 2014), dengan laju pertumbuhan 5 (lima) persen, tidak sebanding dengan jumlah sertifikasi yang dimiliki penduduk Papua. Hingga September 2013 tercatat baru 228.897 bidang tanah yang memiliki sertifikat di Provinsi Papua (bpn.go.id, 15 Juli 2014). Dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus), disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Tetapi, menurut sebagian penduduk asli setempat, pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Papua tidak merata, sementara pemerintah lebih fokus terhadap pembebasan lahan untuk para investor atau dengan “tujuan kepentingan umum”. Dikhawatirkan, masyarakat adat yang selama ini sangat bergantung dengan alam (termasuk tanah) aksesnya memanfaatkan hasil alam jadi terbatas. Dalam Pasal 2 dan 3 Perdasus 23 tahun 2008 ditegaskan bahwa keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah harus didasarkan pada hasil penelitian. Pasal 2 sampai dengan Pasal 6, Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 mengharuskan hukum tertulis (sertifikasi) untuk pengakuan, penetapan dan pemeliharaan tanah hak ulayat. Di sisi lain, sama seperti beberapa daerah lainnya, di Provinsi Papua belum efektif karena penetapan batas 4
wilayah atau jumlah tanah ulayat yang disebutkan belum jelas. Batas tapal wilayah yang hanya menggunakan unsur alam menyulitkan tugas BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk mendata. Jadi, proses registrasi di BPN untuk mendapatkan penetapan tanah adat atau hak ulayat belum dapat dilanjutkan. Hingga kini, baik institusi pemerintah kabupaten atau pemerintah terkait belum mengeluarkan kebijakan atau program untuk menerapkan peraturan hak ulayat dan hukum adat (Buletin DTE Edisi Khusus No. 89-90, 2011). Masalah yang berkembang di masyarakat adat setempat karena tanah menurut mereka adalah adalah “ibu”. Akibatnya, muncul ketidakrelaan mereka memperjual-belikan tanahnya dan tidak semua ingin mendapat ganti rugi dalam bentuk uang karena memang mata pencaharian mereka berasal dari tanah atau lahan yang mereka miliki. Di beberapa kasus, orang asli Papua mengajukan klaim atas tanah dan menuntut kompensasi atas penggunaan tanah yang sudah berjalan puluhan tahun tanpa rekognisi. Kasus ini terjadi di Distrik Nimbokrang dan Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura (Tabloidjubi.com, 28 Juli 2013 dalam Savitri, 2014). Padahal di dalam UU Otsus Nomor 21 tahun 2001 di tiap ayat dalam Pasal 42, serta Pasal 43 (3) dan Pasal 43 (5). Disebutkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Papua memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat dengan mengakui serta menghormati keberadaan mereka termasuk para penanam modal. Jika terjadi penyerahan tanah antara masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan termasuk nilai imbalannya, dilakukan melalui musyawarah. Fungsi
5
pemerintah sebagai mediator aktif sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Kasus lainnya yang terjadi, sertifikasi tanah penduduk yang legal di bawah pemerintah daerah dapat ditolak “oknum” yang mengakui diri sebagai pemilik tanah adat dengan alasan historikal tanpa bukti yang jelas. Beberapa konflik yang terjadi di Papua seperti konflik yang terjadi di distrik Iwaka terjadi karena klaim atas tanah antara warga trans dan penduduk asli. Hal ini karena kebanyakan warga Trans tidak tetap di tanah mereka. Kemudian, karena tidak digunakan, beberapa tanah diambil, dan terjadi saling klaim (majalahselangkah.com, 2014). Selain mengakibatkan konflik antara kedua belah pihak, proses penempatan lahan akan tertunda lama. Contoh kasus lainnya yang terjadi adalah adat antara daerah satu dan lainnya berbeda satu dan lainnya menyebabkan perbedaan cara pelepasan hak ulayatnya. Misalnya di suatu daerah tidak mengapa jika terjadi proses pelepasan tanah tanpa adanya proses adat, sementara di daerah atau adat lain (misalnya adat Tobatdji Enj’ros di Provinsi Papua) yang harus melewati proses adat untuk proses pelepasan tanah. Di antara masyarakat Papua terdapat kolektif-kolektif etnik yang mengatur sistem hak ulatnya melalui klan (merupakan hak komunal). Selain itu terdapat pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak ulayatnya melalui keluarga inti atau hak individu (Djojosoekarto: 2008). Bukan hanya itu, berbagai sengketa tanah yang berhubungan hak ulayat masih dibawah ke ranah peradilan umum (tatanan negara) karena hukum adat belum
6
diakui secara utuh. Hambatan lainnya dijabarkan oleh Kepala Kantor BPN Papua Gembira Perangin-Angin, yaitu: “Hambatan lain dalam penyelesaian sengketa tanah itu yakni, luas wilayah, sehingga sulit untuk berkoordinasi memanggil para pihak yang bersengketa. Kesadaran masyarakat tentang hukum pertanahan masih rendah, sehingga masyarakat adat tidak mau mengajukan gugatan ke lembaga peradilan, kurang SDM baik kuantitas maupun kualitas penyelesaian sengketa, kurangnya sarana pendukung dan terbatasnya anggaran penyelesaian kasus pertanahan” (dpr.go.id, 7 Juli 2014).
1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dirumuskan pertanyaan penelitian “Bagaimana Implementasi Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 di Provinsi Papua dengan studi Kasus di Kota Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor?”
1.4. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan dan membuktikan pengetahuan, Sedangkan secara khusus tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan. Menemukan berarti sebelumnya belum pernah ada atau belum diketahui. Dengan metode kualitatif, maka penulis dapat menemukan pemahaman terhadap situasi sosial yang diteliti, hipotesis, pola hubungan yang akhirnya dikembangkan menjadi teori (Sugiyono, 2010: 143). 1) Mengetahui implementasi kerja Pemerintah Kabupaten/Kota serta lembaga dan atau instansi yang bersangkutan dalam pelaksanaan Perdasus 23 tahun 2008
7
2) Mengetahui porsi keterwakilan perwakilan adat setempat dalam urusan hak ulayat (hak adat) dalam Perdasus 23 tahun 2008 3) Mengetahui relevansi Perdasus 23 tahun 2008 dengan adat istiadat yang dianut masyarakat asli Papua 4) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Perdasus 23 tahun 2008
1.5. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, penulis berharap para pembaca dapat memperoleh manfaat: 1. Manfaat praktis, sebagai sumber informasi tentang pelaksanaan kebijakan Perdasus 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah di wilayah Kota Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor 2. Manfaat ilmiah, sebagai sumber tambahan ilmu dan pengetahuan mengenai aplikasi kebijakan dan bentuk lingkungan dimana kebijakan itu dibuat. Serta menjadi bahan pertimbangan kebijakan penyelesaian sengketa tanah dikemudian hari.
1.6. Sistematika Penulisan Dalam penulisan Bab I Pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, alasan penulisan, dan manfaat dari penelitian ini. Latar 8
belakang menjelaskan tentang banyaknya kasus tenah yang terjadi di Indonesia dan Papua serta alasan terjadinya konflik tanah tersebut. Kemudian menjelaskan latar belakang terbitnya Perdasus 23 tahun 2008, namun konflik tanah masih juga terjadi. Untuk itu, penulis menggunakan kalimat pertanyaan “bagaimana” dalam rumusan masalah untuk mengetahui sejauh mana berjalannya Perdasu 23 tahun 2008 dan mengetahui secara deskriptif apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Papua setelah berlakunya Perdasus 23 tahun 2008. Dalam Bab II Studi Literatur dan Kerangka Pemikiran, menjelaskan tentang studi teori yang digunakan untuk mendeskripsikan penelitian ini dan analisis secara kontekstual antara teori yang digunakan dengan kejadian di lapangan. Serta kerangka
pemikiran
untuk
memudahkan
definisi
variabel-variabel
yang
mempengaruhi jalannya Perdasus 23 tahun 2008. Dalam Bab III Metodelogi Penelitian, menjelaskan tentang metode yang digunakan untuk memudahkan penulis mencari informasi yaitu melalui metode observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan mendeskripsikan fakta-fakta serta kendala-kendala yang terjadi ketika penelitian berlangsung. Dalam Bab IV Pandangan Masyarakat Adat Mengenai Tanah dan Hak Ulayat, penulis mendeskripsikan mengenai peran masyarakat adat dan lembaga perwakilan adat serta pengaturan hak ulayat di dalamnya dan beberapa contoh kasus sengketa tanah ulayat yang terjadi di Kota Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor. Bab V Implementasi Perdasus 23 Tahun 2008, merupakan jawaban dari rumusan penelitian. Dalam bab ini menjelaskan bagaimana jalannya Perdasus 23 9
tahun 2008 berdasarkan empat substansi pentingnya, yaitu penelitian tanah adat, pemetaan tanah adat, pengelolaan tanah adat, serta ganti kerugian dan penyelesaian konflik tanah di wilayah Kota Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor dengan mengkaitakan data dan informasi di lapangan. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa secara normatif terjadi non-implementation Perdasus 23 tahun 2008, tetapi secara empirik berdasarkan program kerja dari Pemkot Jayapura dan Pemkab Biak Numfor keempat substansi Perdasus tersebut terpenuhi. Di selanjutnya, Bab VI Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Perdasus 23 Tahun 2008, menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya non-implementation Perdasus 23 tahun 2008 namun terpenuhinya substansi Perdasus secara empirik. Faktor-faktor pengaruh tersebut yaitu faktor komunikasi, kondisi sosial dan budaya, serta faktor inisiatif pemerintah. Dalam bab tterakhir, Bab VII Penutup menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran yang mendesak kepada Pemerintah Provinsi selaku pembuat kebijakan Perdaus 23 tahun 2008 dan pelaksana kebijakan yaitu Pemerintah Daerah Kota Jayapura dan Kabupaten Biak Numfor.
10