Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM PERDASUS NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DALAM HUKUM TANAH NASIONAL Mahasiswa S2 Program MKM FH UNS
Abstract participate coloring inside every policy about land which in remove. Regulation land from the new order be studied in depth, regarding the history mores, history ownership and also value - values which contained within the society customary law such . Surely must anyway pay attention the existence of a balance between formal law and law who living in that community. Questioning about the various policies of the center to the implementing regulations in their respective areas . How where implementation ? Until now there has been bringing fresh air for indigenous peoples. Is it all just rhetoric?. Keywords: government policy, community customary law and customary rights Abstrak Politik hukum pertanahan dan keadilan formal,untuk menyatukan dua kalimat ini sangat tidak mudah karena begitu banyak kepentingan ikut mewarnai dalam setiap kebijakan tentang pertanahan yang di keluarkan. Regulasi pertanahan dari orde baru hingga ke era reformasi masih saja belum menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di bidang pertanahan, khususnya mengenai masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Membicarakan hukum adat secara ilmiah harus dikaji secara mendalam,mengenai sejarah adat istiadat,sejarah kepemilikan dan juga nilai-nilai yang terkandung didalam masyarakat hukum adat tersebut. Tentunya harus pula memperhatikan adanya keseimbangan antara hukum formal dan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. menyoal tentang berbagai kebijakan dari pusat hingga ke peraturan pelaksana di daerah masingmasing. Bagai mana implementasinya ? Sampai saat ini belum membawa angin segar bagi masyarakat hukum adat. Apakah semuanya hanya retorika belaka?. Kata Kunci: kebijakan pemerintah, masyarakat hukum adat dan hak ulayat
A. Pendahuluan Pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat terdapat dalam berbagai peraturan perundangundangan baik dari pusat hingga ke daerah,begitupun halnya di Papua yang masih kental dengan hukum adatnya,sertaUndang-undang Otonomi Khusus dan peraturan pelaksana daerah Undang-Undang no 23 tahun 2008 tentang hak ulayat masyarakat berharap implementasinya benar-benar dapat membawa angin segar bagi masyarakat hukum adat. Hak Ulayat sebagai istilah teknik yuridis yaitu hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada 152
masyarakat hukum adat berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun keluar.(Laporan Penelitian integrasi Hak Ulayat dalam Yuridiksi UUPA, 1978,Depdagri-Falkutas Hukum Universitas Gajah Mada) Pengertian mengenai hak ulayat menurut G Kertasapoetrada.dkk bahwa : “Hak Ulayat merupakan hak tertinggi atas tan ah y ang dimil iki o le h suat u persekutuan hukum(desa,suku) dimana para warga masyarakat (persekutuan Hukum) mempunyai hak untuk menguasai tanah,yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuaan
(kepala suku/kepala desa) yang bersangkutan” (G.Kertasapoetra:1982:88). Dalam perpustakaan hukum adat hak ulayat disebut dangan nama”besehikking-rect” adalah nama yang diberikan oleh Van Vollenhoven untuk menyebutkan hak ulayat sebagai sebutan nama yang tidak bisa disalin dalam bahasa Indonesia. (Boedi Harsono,203: 186). Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA yang diatur dalam pasal 3,selain itu dalam Konstitusi kita sebagai sumber hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 18B ayat (2) telah menjamin bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang.” Dari isi ayat di atas maka negara mengakui dan menghormati hak-hak tradisional masyarakat hukum adat salah satunya yaitu hak ulayat atas tanah masyarakat adat. Namun yang menjadi permasalahan saat ini meskipun otonomi khusus telah diterapkan di Papua, berbagai kebijakan negara yang dikeluarkan baik berupa undang-undang, maupaun peraturan daerah khusus yang tidak boleh bertetangan dengan perundang-undangan diatas masih banyak sekali subtansi dari produk kebijakan negara tersebut yang merugikan masyarakat hukum adat di Papua, salah satunya yang akan penulis bahas yaitu Peraturan daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kurang lebih 14 tahun Provinsi Papua telah diberikan otonomi khusus namun sampai saat ini apabila kita lihat perkembangan di provinsi tersebut masih banyak penyimpanganpenyimpangan yang terjadi pada tanah ulayat di Papua yang diambil alih secara besar-besaran oleh pemerintah bahkan oleh pemilik modal perusahaan maupun industri. Hal-hal tersebut sebenarnya telah merugikan fungsi-fungsi tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat di Papua, terdapat 5 fungsi utama tanah ulayat diantaranya: 1. Tempat perlindungan yang aman 2. Tempat untuk memperoleh sumber makanan
3. 4. 5.
Tempat mengembangkan keturunan dalam rangka melanjutkan kebudayaan Tempat pemukiman sebagai sarana integrasi sosial Arena aktualisasi diri sebagai bagian dari tuntutan perkembangan dan kreativitas masyarakat. (Agus sumele, 2003: 69)
Hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat hukum adat sampai saat ini masih menjadi masalah yang kursial kerena pemerintah tidak konsekuen dalam mengakui keberadaan hak–hak rakyat (Masyarakat Adat) terhadap kepemilikan tanah ulayat seperti yang terjadi di tanah Papua, walaupun terkenal dengan hukum adatnya tetapi tetap terdapat ketidak jelasan tentang hak ulayat di daerah Papua Tersebut. Contoh kasus yang terjadi antara masyarakat hukum adat Amugme dan Komoro di Timika Papua dengan PT Freeport Indonesia telah melakukan kegiatan penambangan berdasarkan kontrak kerja pertama yang ditandatangani pada tahun 1967, kontrak tersebut memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada PT Freeport untuk mengunahkan tanah dan kepemilikan lainnya di wilayah tambang, juga untuk memindahkan masyarakat adat dari tempat tinggal. (Elisabeth karinaLonita: 2008:1). Akibatnya kontrak karya tersebut masyarakat hukum adat kehilangan hak ulayatnya,juga berpengaruh bagi dampak lingkungan terhadap tanah ulayat meeka tercemar dengan pembuangan limbah, dan mereka terpaksa dipindahkan jauh dari areal tambang. Ada pula kasus sengketa tanah hak ulayat di Kabupaten Nabire Papua, yaitu mengenai hak atas tanah hak ulayat suku Wate kepada pemerintah kabupaten Nabire berdasarkan surat kesepakatan bersama dari kepala kampung Oyehe bersama seluruh rakyat nabire tertanggal 06 Mei 1966 no 001/ KPRS/51966 tentang penyerahan 3 tanah kepada pemerintah dengan sukarela tampa menuntut ganti rugi untuk kepentingan proyek di Nabire dalam arti luas, salah satunya bandar udara Nabire. (Ronald Amahorseya, 2008: 118) Kasus lainya yaitu masyarakat hukum adat Ormu (suku Jautunyi) dengan Pemerintah daerah Papua yang mana pemerintah merekayasa dan secara paksa menghilangkan eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat Ormu seluas kurang lebih 6000 hektar dan di jadikan sebagai tanah negara, dasar Pemerintah kesepakatan bersama Overeenkomst 1959, sementara masyarakat hukum
153
Jurnal Repertorium, Ritta Yoafifi. ISSN:2355-2646, Implementasi EdisiPolitik 3 Januari-Juni Hukum PERDASUS 2015 Nomor 23 Tahun 2008 ...
adat Ormu menganggap mereka tak melepaskan Hak ulayat yang di maksud karena kepala suku, Ondoafi sama sekali tidak terlibat dan ikut menandatangani Overeenkomst yang di buat tahun 1956, dan sampai kini masih menuntut agar pemerintah mengakui eksistensi ulayatnya dan memberi ganti rugi atas tanah-tanah hak ulayat yang telah di gunakan oleh pemerintah. (Ritta Y, 2006: 41-42) Disamping kasus-kasus diatas, masih begitu banyak kasus-kasus pertikain hak ulayat yang terjadi antara suku yang satu dengan suku yang lain dalam memperebutkan hak ulayat . sengketa mengenai Hak ulayat di tanah Papua masih meningalkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh pemerintah. Sebenarnya dengan adanya Otonomi khusus dan perdasus No 23 Tahun 2008 dan regulasiregulasi lain yang dikeluarkan tentang hak ulayat setidaknyadiharapkan dapat mengurangi permasalaan tentang hak ulayat yang terjadi di Tanah Papua tetapi kenyataanya permasalaan tanah hak ulayat masih tetap menumpuk dan tumpang tindih di tanah Papua. Roberth. K.R. Hammer dalam ujian disertasi di Universitas Gajah Mada yang berjudul : Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat mengatakan bahwa:berkenaan dengan eksistensi hal ulayat masyarakat hukum adat, perlu dibangun dialog yang berkesinambungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten serta masyarakat hukum adat untuk menyampaikan persepsi tentang hak ulayat. Terlebih lagi, hak ulayat tidak pernah mendapat pengakuan atau diinventarisasi oleh pemerintah setempat. Hak ulayat itu tidak hanya meliputi tanah saja, tetapi objek yang ada di atasnya. Dengan adanya inventarisasi jenis tanah ulayat dan tanah negara diharapkan bisa mengurangi konflik di Papua dan membantu dalam membangun keterbukaan investasi di tanah Papua.Diakui Hammar, konflik yang sering terjadi di tanah Papua disebabkan oleh adanya perebutan dan kepemilikan hak ulayat.(http:/ugm.ac.id/id/berita/2011) Pidato kepala BPN-RI dalam acara pembukaan worskhop Penyelesaian Konflik Pertanahan Masyarakat Hukum Adat di hotel Grand sahid Jakarta tanggal 2-4 september 2014 salah satu bagian isi pidato berbunyi:”Konflik yang terjadi antara masyarakat hukum adat dengan pihak lainnya yang terjadi hampir diseluruh Indonesia 154
salah satunya dikarenakan adanya ketidakpastian wilayah tanah ulayah masyarakat hukum adat tersebut. Peranan Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dengan pihak-pihak lainnya ini adalah dengan mendorong pihak pemerintah daerah untuk melakukan penelitian mengenai masih ada atau tidak adanya masyarkat hukum adat pada suatu daerah yang kemudian dituangkan dalam peraturan daerah. Sehingga wilayah tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat menjadi lebih pasti”. (http:/www.bpn.go.id/publikasi pidato kepala bpn) Dari kasus dan permaslahan tentang tanah yang penulis uraikan, dan melihat pada pidato kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tersebut diatas maka penting diadakan penelitiaan tentang kepemilikan hak ulayat, batas-batas hak ulayat yang di buat dalam suatu pemetaan yang jelas dan baku antara batas tanah –tanah suku juga antara tanah negara dan tanah hak ulayat. Diharapkan dengan pemetaan dan status kepemilikan yang jelas dapat mengurangi konflik pertanahan khususnya hak ulayat di Papua, disamping itu perlu jiwa besar dari pihak pemerintah untuk mengakui hak ulayat suku-suku yang masih eksis di Papua.
B. Politik Hukum, Tujuan Negara dan Hukum Sosiologi 1.
Politik Hukum Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni: (1) sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, dan (2) sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Menurut Muhadar (Muhadar, 2006:51), politik hukum adalah yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup: pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materimateri hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, termasuk materimateri hukum di bidang pertanahan; juga bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan bpembinaan para penegak hukum. Dengan kata lain, politik hukum mencakup
proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya hal-hal berikut: (1) Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum; (2) sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; (3) perencanaan dan kerangka fikir dalam perumusan kebijakan hukum; (4) isi hukum nasional dan faktorfaktor yang mempengaruhinya; (5) pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative, review, dan sebagainya (Mahfud, 2006:16). 2.
Tujuan Negara Po li tik hu ku m merupa ka n ar ah pembangunan hukum yang berpijak pada sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara atau masyarakat bangsa. Hukum di Indonesia harus mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yakni tegaknya hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mengakhiri tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak-hak asasi manusia; dan karenanya politik hukum harus beorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD1945 (Nusantara, 1988: 20).
3.
Hukum Sosiologis (Sociological Jurisprudence) Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (living law). Adanya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup di masyarakat, atau kepentingan penguasa dan kepentingan masyarakat. Sociology jurisprudence di kembangkan oleh Eugen Erlich. Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial. Hukum
sebagai suatu konsep yang dapat dikembangkan sedemikian rupa untuk dijadikan alat rekayasa sosial (Roscoe Pound). Hukum sebagai kaidah yang perkembangannya sangat tergantung pada komponen-komponen diluarnya. Logika sejarah, adat istiadat, pedoman perilaku yang benar, hakikatnya merupakan kekuatan yang berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum.
C. Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional 1.
Pengertian Hak Menguasai Dari Negara Pengertian hak menguasai negara yaitu suatu hak yang negara secara mutlak dalam menguasai sesuatu. Dalam konteks sumber daya alam yang dimaksud adalah hak negara untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bahwa bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Batasan yang diberikan Pasal 33 UUD 1945 Secara formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur sebelum diamandemenkan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dijelaskan dalam penjelasannya alinea ke 4 kemudian dituntaskan secara kokoh didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Pelaksanaannya menurut Pasal 2 dan 4 UUPA Dalam Pasal 2: 1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2. Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dn pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
155
Jurnal Repertorium, Ritta Yoafifi. ISSN:2355-2646, Implementasi EdisiPolitik 3 Januari-Juni Hukum PERDASUS 2015 Nomor 23 Tahun 2008 ...
b.
3.
4.
Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan, berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantara dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (http://muariflaw. blogspot.com/2012/03/ hukumagraria).
Hak menguasai dari negara dalam Pasal 2 UUPA ayat (2) adalah sebagai hubungan hukum publik semata-mata, tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka penyelenggaraaannya oleh Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pemegang amanat tersebut pada tingkatan yang tinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2.
Pengakuan Hak Ulayat DalamUUPA Hak ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disertai 2 sya rat yaitu “eksistensinya” dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulaya t diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Didaerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat, tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Pelaksanaan hak ulayat dalam UUPA diatur dalam Pasal 3 yaitu : “Pelaksanaan Hak Ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak bileh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Pengakuan hak ulayat menurut eksistensinya berarti bilamana menurut kenyataannya
156
di lingkungan kelompok masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Dan mengenai pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa. Apa yang merupakan kriteria bagi masih adanya hak ulayat dilingkungan kelompok warga masyarakat hukum adat tertentu itu tidak terdapat ketentuannya, baik dalam UUPA sendiri maupun dalam penjelasannya. Kiranya masih adanya hak ulayat diketahui dari kenyataan mengenai : a. Masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat tertentu. b. Masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaannya bersama para warga masyarakat hukum adat itu sebagai “lebensraum”nya. c. Kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari, sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat hukum adatnya. Mengelola, mengatur peruntukannya, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut (Boedi Harsono, 2003: 192). 3.
Perlu Pemetaan Tanah Ulayat Masyarakat Adat di Papua Sampai dengan saat ini belum ada pemetaan yang jelas terkait hak ulayat masyarakat adat di Papua, sehingga hal ini seringkali menjadi penyebab dalam sengketa atau persoalan tanah (Aldp-papua.com). Berdasarkan fakta di lapangan, sering terjadi klaim antara masyarakat adat terkait hak ulayat, dimana satu objek tanah bisa, diklaim sebagai hak milik oleh dua marga atau lebih. Pemetaan yang jelas ini harus diprogramkan dn didukung oleh Pemerintah Daerah Papua, tujuannya untuk memperjelas masing-masing tanah ulayat dari marga/suku yang ada di Papua. Pertikaian antara masyarakat hukum adat di Papua sudah biasa terjadi dan bukan hal yang baru lagi. Pertikaian batas-batas tanah ulayat hingga berujung pada perang suku, dan memakan korban nyawa, pemerintah daerah Papua sendiri seakan berdiam diri, dan tak
mencari solusi dari pertikaian tentang tanah adat antar suku yang sudah menelan banyak korban jiwa.
wilayah kekuasaan mereka. Wilayah kekuasaan mereka ini kemudian diwariskan turun temurun kepada anak-cucu dan diklaim sebagai tanah ulayat dari masyarakat hukum adat.
Apalagi dengan berlakunya UndangUndang Otonomi Khusus Nomor 35 Tahun 2008/ Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat, diharapkan pemerintah bisa menganggarkan dana otonomi khusus dan dana dari APBD dan membentuk satu tim khusus yang terdiri dari ahli-ahli hukum adat, ahli-ahli antropologi dan tokohtokoh adat yang dilibatkan untuk mengkaji dan meneliti sejarah kepemilikan tanah ulayat dan membuat pemetaan secara tegas batas-batas ulayat masing-masing suku/marga kemudian ditetapkan dalam suatu peraturan khusus yang mempunyai sanksi tegas bagi yang melanggarnya.
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu (wikipedia. org/wiki/tanah-ulayat). Hak ulayat adalah serangkaian wewenangwewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak di lingkungan wilayahnya (Budi Harsono, 2003: 283). Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Umumnya batas wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Untuk perangkaian hak-hak dan kewajibankewajiban masyarakat hukum adat itu UUPA memakai nama hak ulayat. Sebenarnya untuk hak itu hukum adat tidak mnemberi nama, namua yang ada menunjukkan kepada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Ulayat artinya wilayah. Dalam perpustakaan hukum adat hak ulayat disebut dengan nama “besehikkingsrecht adalah dunia yang diberikanoleh van vollenhoven untuk menyebutkan hak ulayat sebagai sebutan nama tidak bisa disalin dalam bahasa Indonesia (Boedi Harsono, 2003: 186).
Efektivitas peraturan tentang pengakuan hak ulayat tergantung pada inisiatif pemerintah daerah untuk melakukan penelitian sebagai dasar penentu keberadaan hak ulayat di daerah Papua, baik ketika timbul permasalahan pada saat tanah hak ulayat tertentu diperlukan, maupun tidak ada permasalahan yakni dalam rangka memperoleh informasi mengenai status tanah-tanah diderah tersebut (Maria S.W, 2005 : 69).
D. Pembahasan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Papua 1.
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kebersamaan tempat tinggal ataupun karena dasar keturunannya. Suku adalah persekutuan genologis dari masyarakat hukum adat (http://gudangilmuhukum. blogspot.com/ 2010/08/ hukum agraria).
Mengenal Pengertian Hukum Tanah dalam Adat Pengertian Tanah Ulayat Menurut Masyarakat Adat Jayapura Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Penguasaan tanah ulayat ini dilakukan dengan cara berperang dan juga menjelajahi tempat-tempat baru, kemudian merebnut dan menaklukkan, bermukim, bercocok tanam dan menanam pohon atau menggunakan batu-batu besar yang telah ada untuk memberi tanda
2.
Kepemimpinan Dalam Masyarakat Hukum Adat Papua/Jayapura Penegak Hukum Adat Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat. Di Propinsi Papua istilah untuk pemangku adat berbeda-beda antar satu daerah dan daerah lainnya. Dalam makalah ini penulis khususkan 157
Jurnal Repertorium, Ritta Yoafifi. ISSN:2355-2646, Implementasi EdisiPolitik 3 Januari-Juni Hukum PERDASUS 2015 Nomor 23 Tahun 2008 ...
untuk daerah wilayah Jayapura, misalnya untuk wilayah Kota Jayapura kepala dari suatu perkumpulan adat yang membawahi suku-suku disebut ondoafi, fungsinya mengayomi sukusuku yang ada dalam suatu kesatuan wilayah adat (secara umum). Selain ondoafi di setiap suku ada kepala/ atau pemimpin yang diangkat untuk mengepalai setiap suku, pemimpin disetiap suku disebut kepala suku. Setiap klen/suku mempunyai kepala dengan peran utama yang menonjol yaitu pelindung, mensejahterakan rakyatnya, pelestari (Alexander L. Griapon, 2000: 116). Baik ondoali maupun kepala suku, merupakan jabatan turun temurun, dan tidak sembarang orang bisa menduduki jabatn ini. Dalam kaitannya dengan hak ulayat ondoafi disini fungsinya sebagai pelindung dari tanah-tanah adat yang dipunyi oleh setiap sukusuku yang ada dalam wilayah kepemimpinan ondoafi. Ondoafi tidak berhak melepas sebuah tanah milik suku lain tanpa persetujuan dari kepala suku tersebut. Dalam hal pelepasan tanah atau pengalihan tanah pada pihak lain kepala suku yang harus melepaskan tanah adat tersebut. Kepala adat/suku mempunyai tugas kewajiban, mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama baik yang diperuntukkan bagi kepentingan bersama, maupun bagi kepentingan warganya (Boedi Harsono, 2003: 82). 3.
Eksistensi Hak Ulayat di Papua Eksistensi hak ulayat di Papua sendiri semakin terlindungi dan diakui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahuan 2001 yang telah di ganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua yang mana dalam salah satu pasalnya ditetapkan pula mengenai hak ulayat, terdapat pasal 43 yang ditetapkan, bahwa “Pemerintah Propinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakjan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku”. Hak-hak masyarakat hukum adat tersebut meliputi hak ulayat dan hak perorangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
158
Pelaksanaan hak ulayat di Papua sepanjang kenyataan sampai saat ini masih ada dan dikuasai oleh masing-masing masyarakat hukum adat dan dilakukan oleh penguasa adat/ kepala suku dan masyarakat hukum adatnya menurut ketentuan hukum adat setempat. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ditegaskan, bahwa hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan perorangan dan juga bukan penguasa adat, meskipun banyak diantara mereka yang menjabat secara turun temurun. Sebagai peraturan pelaksana untuk lebih melindungi eksistensi masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya maka pemerintah daerah Papua mengeluarkan peraturan khusus Nomor 23 Tahun 2008 tentang “Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Papua”. Peraturan daerah khusus ini untuk lebih melindungi masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya yang cenderung dirampas oleh pemerintah, tanpa sebuah prosedur yang benar dan jelas, hak-hak masyarakat adat dirampas oleh tangan-tangan penguasa dengan dalil kepentingan umum dan tanah negara. Apakah Perdasus No. 23 Tahun 2008 tentang hak ulayat (hak adat orang asli Papua agtas tanah) sudah jelas mendudukkan posisi mereka dalam pembangunan sektoral (misalnya kehutanan) di Tanah Papua? Tentang Hak Ulayat (hak adat), kalau kita sandingkan UU 2008:35/UU 2001:21 dengan Perdasus 2008:23, nampak seolah-olah identitas komunitas dan hak adatnya atas tanah hanya bisa diakui kalau ada pengakuan dari Gubernur (kepala daerah/pemerintahan) Daerah Papua. Legislator justru menempatkan pemerintah sebagai seakan-akan pemilik yang sebenarnya atas wilayah Tanah Papua, sehingga komunitas masyarakat adat setempat (orang asli Papua) yang sudah ada jauh sebelum lahirnya UUD 1945, UU Agraria 1960 dan UU Otsus 2008 itu sebagai seolah-olah pendatang baru yang membutuhkan pengakuan dan penempatan di suatu wilayah. Kejanggalan juga dapat terbaca pada UU 2008:35/UU 2001:21 pasal 1(r): “Masyarakat hukum adat (MHA) adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu
dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya”; yang disandingkan dengan Perdasus 2008:23 pasal 8(1): “Setelah ada keputusan pengakuan oleh Gubernur, MHA yang bersangkutan berwenang: Mengelola tanah hak ulayat sesuai hukum adat setempat; Melakukan musyawarah dengan pihak luar yang memerlukan tanah tersebut untuk berbagai kepentingan; Menyerahkan sebagian atau seluruh tanah ulayat kepada warga untuk dikuasai oleh masing-masing warga sebagai hak perorangan.” Maria S. W. Sumardjono dalam bukunya “kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi (Penerbit Kompas, Jakarta, 2005, 57). Menjelaskan pula kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, yaitu : a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subjek hak ulayat. b. Adanya tanah/wilayah dengan batasbatas tertentu sebagai ebensraum yang merupakan objek hak ulayat. c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. 4.
Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Dalam kerangka pelaksanaan hukum tanah nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni1999 telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. P e ra t u ra n y an g d im ak s u d u n tu k menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang me mper jelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat” dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat “hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA kebijaksanaan tersebut meliputi : a. Penyamaan persepsi mengenak “hak ulayat” (Pasal 1)
b.
c.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5). Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4).
Dalam upaya mencapai kesepakatan, kompensasi yang diberikan kepada masyarakat hukum adat hendaknya mempertimbangkan hilangnya tanah atau sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupannya. Mengenai kewajiban mendengar pendapat masyarakat hukum adat yang bersangkutan terdapat pengaturannya antara lain dalam Pasal 1 dan 9 Kepres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum, harus dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, kiranya kesepakatan dalam musyawarah itu tidak hanya mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian sebgai imbalan yang akan diberikan kepada pemegang hak ulayat. Pertama-tama kesepakatan iptu juga mengenai kesediaan masyarakat hukum adat untuk menyerahkan sebagian tanah ulayatnya kepada pihak yang memerlukan. Bentuk imbalan terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat ditetapkan dalam Pasal 14 penggantian diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Ini yang dimaksudkan dengan bentuk “recognitie”. Recognitie tidak diberikan dalam bentuk uang. Arti “recognite” adalah pengakuan. Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat (Boedi Harsono, 2003: 198). Pada kenyataannya berbagai ketentuan tentang hak ulayat sudah diatur namun masih saja hak-hak rakyat tentang hak ulayat diperoleh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan dan juga tidak memberi rasa keadilan bagi masyarakat hukum adat.
159
Jurnal Repertorium, Ritta Yoafifi. ISSN:2355-2646, Implementasi EdisiPolitik 3 Januari-Juni Hukum PERDASUS 2015 Nomor 23 Tahun 2008 ...
E. Penutup Berdasarkan paparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dengan adanya otonomi khusus bagi Papua dan Perdasus nomor 23 tahun 2008 tentang hak ulayat tidak serta merta segala permasalaan tanah hak ulayat di Papua terselesaikan. Hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat hukum adat sampai saat ini masih menjadi masalah yang kursial karena pemerintah tidak konsekuen dalam mengakui keberadaan hak rakyat dalam kepemilikan hak ulayat,banyak tanah rakyat diambil paksa oleh pemerintah dan dijadikan tanah negara, dan juga sengketa tanah yang terjadi kerena ketidakjelasan batas-batas hak ulayat, dituntut peran pemerintah untuk melekukan penelitiaan tentang kepemilikan hak ulayat, batasbatas hak ulayat dalam sebuah pemetaaan yang jelas sehingga kawasan tanah ulayat suatau masyarakat hukum adat menjadi pasti. Pemerintah perlu berjiwa besar menjawab tuntutan masyarakat hukum adat terhadap eksistensi tanah ulayatnya yang telah dirampas oleh pemerintah dan dijadikan tanah negara dengan berpedoman pada peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan oleh penulis sehubungan dengan permasalaan yang telah dijelaskan sebelumnya,maka penulis akan menguraikan pula beberapa saran sebagai berikut: 1. Perlu ada pemetaan yang jelas terhadap kawasan hak ulayat. 2. Pemerintah perlu menganggarkan dana untuk melakukan suatu kajian kepemilikan status tanah-tanah ulayat yang sering menjadi problem pertikaian antara suku-suku di Papua dengan melibatkan LSM, Pakar Hukum Adat dan Tokoh-tokoh Adat di Papua. 3. Kepada para pemimpin di legislatif dan eksekutif Papua yang sebagian adalah anak adat, segera menganti kerugian atas tanahtanah hak ulayat yang dirampas dengan kedok kepentingan umum dan tanah negara
Daftar Pustaka Alexander Griapon, Menapak TilasInteraksi SosialEkonomi Orang Asli Jayapura. Yogyakarta : Bima Sakti Adi Sulistiyono, 2013 Kumpulan Materi Kuliah Teori Hukum. Surakarta: UNS 160
Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Petanahan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Boedi. Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan. Elisabet Karina Leonita.2008. Hak Ulayat Tanah di Papua Ditinjau Dari UUPA (Kasus Freeport), Jakarta: Unika Atma Jaya G. Kertasapoetra, dkk, 1985, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Bina Aksara Jakarta. Maria S.W. Sumarjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Kompas Press Maria S.W. Sumarjono. 2009, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi , Sosial dan Budaya. Jakarta. Buku Kompas. Soedjono Dirdjosisworo. 2001 Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta : Raja Grafindo http://Aldp.papua.com.2103, Koalisi Sipil Desak DPR Papua Revisi Perdasus Hak Ulayatuyju. http://gudangilmu.com.2010, Hukum Agraria. http://skripsi-tesis.com. 2008,Proses Pengadilan dan Eksistensi Hak Ulayat. http://Aldp.papua.com. 2013,Koalisi Sipil Desak DPR Papua Revisi Perdasus Hak Ulayat. http://gudangilmu.com.2010, Hukum Agraria. http://skripsi-tesis.com. 2008,Proses Pengadilan dan Eksistensi Hak Ulayat. Peraturan Menteri Negara Agraria/BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008. Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua. R. Amohorseya, 2008,Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat di Kabupaten Nabire Proponsi Papua, dalam http://www.eprints.undip.ac.id Ritta.Y. 2006, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Nafuway,STIH, Jayapura Roberth, K. R.Hammer,2011, Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat, dalam http://www.ugm.ac.id/berita.