BAB II STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun) A. Deskripsi tentang Kabupaten Simalungun 1. Tinjauan mengenai historis (sejarah) Simalungun Stagnasi penulisan sejarah Simalungun 109 disebabkan oleh beberapa hal 110 yaitu: a) Minimnya sumber-sumber tertulis yang merupakan rangkaian peristiwa sejarah di Simalungun, sehingga mengalami kesulitan untuk membentangkan, mendeskripsikan, serta menjelaskan peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau itu. b) Di antara sumber tertulis yang ada umumnya dibukukan setelah masuknya era perkebunan 111 sehingga era praperkebunan tersebut tidak diketahui, jika pun ada dari segi tradisi tulis, umumnya dilakukan oleh datu atau guru bolon 112 dan isinya merupakan mantera-mantera atau pengobatan tradisional. Lain daripada itu manuskrip 113 (partikkian) yang ada tidak mengisahkan angka tarikh atau tahun yang jelas, dan pengarang yang anonimus. Sementara itu, sumber-sumber pengelana asing 114, juga tidak menyebutkan nama “Simalungun” secara pasti, walaupun di 109 Nama dan penamaan Simalungun sesungguhnya masih relatif baru. Peta yang dibuat oleh D.B. Hagen (eincompassauf namen) tahun 1883, belum mencantumkan nama Simalungun meskipun wilayah dimaksud adalah Simalungun sekarang. Dalam tradisi Kesultanan Melayu disebut “Batak Dusun” untuk menyebut Simalungun. Demikian pula ketika RMG memulai penginjilannya (1903) disebut “Timor landen”. Pada waktu itu, dikenal Batak Timur yakni orang Batak yang terletak disebelah timur Danau Toba (Negeri Timur). Sebenarnya kurang tepat apabila nama Simalungun sekarang dikaitkan dengan kepribadian orang Simalungun sebagai “Simou-mou malungun” atau meratap, sunyi, sepi, dan tertutup. 110 Asumsi ini tentu saja didasarkan pada minimnya buku-buku standard tentang Simalungun. Demikian pula bahwa, kebanyakan buku tersebut ditulis oleh bukan sejarahwan akademis tetapi oleh sejarahwan non akademis ataupun budayawan. Tulisan yang dihasilkan cenderung untuk konsumsi kerabat (kalangan tertentu) yang kurang dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan ilmiah. Namun demikian, sejumlah Theolog sudah banyak mencoba mengurai sejarah masyarakat dan kebudayaan Simalungun dari perspektif theology khususnya Kristen. 111 Kebiasaan bagi orang Belanda adalah mengirimkan ilmuwan khususnya etnolog dan filolog ke daerah yang akan dikuasainya. Masuknya pengusaha perkebunan asing di Sumatera Timur (1862), Simalungun (Sejak 1875) meninggalkan sepenggal noktah tentang Simalungun. Umumnya tulisan tersebut adalah nota penjelasan para penguasa daerah dan pengembangan wilayah perkebunan. Laporan komprehensif tentang Simalungun diperoleh dari J. Tidemann (1922), yakni kontrolir afdeeling Simeoloengen, itupun ditulis dalam kerangka pengetahuan kolonial terhadap sejarah etnis, kebudayaan dan topografis untuk perluasan perkebunan. Dalam kata pengantarnya, Tidemann mengemukakan terimakasih penyambung lidahnya kepada masyarakat yakni Johannes Hutapea khususnya dalam pengumpulan informasi tentang masyarakat Simalungun pada saat itu. 112 Periksa, JE. Saragih, Pustaka Laklak Museum Simalungun No 252, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P dan K, 1981). Salinan terhadap naskah-naskah Pustaha Simalungun seperti yang dikerjakan oleh Vorhooeve tahun 1938 belum dipublikasikan, demikian pula nota-nota penjelasan daerah Simalungun dalam catatan kolonial belum pernah diterbitkan, dan jikapun diterbitkan masih terlalu singkat, sehingga keadaan ini menambah sulit historiografi Simalungun berdasarkan sumber tertulis. 113 Manuskrip yang ada seperti Parpadanan Na Bolag (PNB), Parmongmong Bandar Syahkuda (PBS), Partikkian Bandar Hanopan (PBH), tidak terdapat klan dan tarikh peristiwa tersebut, demikian pula penulisnya yang anonimus. Lain daripada itu, analisis teks terhadap manuskrip ini belum pernah dilakukan hingga saat ini. 114 Periksa William Marsden, History of Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxford University of Press, 1966), John Anderson, Mission to the East Cost of Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxford in Asia, 1971). Ma Huan, Ying-Yai Shen-Lan: The Overal Survey of the Ocean Shores 1433, (Cambridge: Hakluyt Society, 1970), Tome Pires, The Summa Oriental of
Universitas Sumatera Utara
kemudian hari wilayah yang dimaksud adalah Simalungun, c) Kebanyakan bukubuku tentang Simalungun pada masa sekarang, baik yang diterbitkan (ber-ISBN) ataupun masih dalam bentuk laporan tesis atau disertasi adalah tinjauan theology (Kristen) sehingga analisis terhadap kesejarahannya masih terbatas pada aspek theologis 115, d) Minimnya Sarjana-sarjana penulis sejarah dan sosial berpredikat (master dan doktor 116) yang menggeluti dunia kesejarahan ini sehingga literatur sejarah menjadi jarang dijumpai di toko buku, e) Di antara buku-buku yang ada cenderung ditulis untuk keperluan pribadi atau keluarga 117 yang dalam pembentangannya kurang menjelaskan kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau juga dari satu wilayah dengan wilayah lainnya, f) Kerancuan daripada sejarah Simalungun sekarang dengan sumber terbatas itu berdampak pada pola penulisan yang mengadopsi penulis awal 118 tanpa adanya dialog sumber sehingga makin lama makin terasa biasnya, g) Tradisi menulis yang belum memasyarakat 119, dan h) Minimnya penyelidikan lintas disiplin ilmu 120 Tomme Pires: An account of the east from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515, (Armando Corteasao, ed) Germany: Lessing Druckerij, Edwin M. Loeb (ed), 1935. Sumatera: Its History and People Singapore: Oxford University, atau juga Anthony Reid (ed) 1995. Witnessses to Sumatera: A Travelers Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University. Atau juga WP. Groeneveltd (ed). 1960. Historical Notes on Indonesia and Malay: Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bharata. Kong Yuanzhi. 2007. Cheng Ho Muslim Tionghoa: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Hembing W, Ed). Jakarta: Obor 115 Lihat misalnya.Martin Lukito Sinaga, Identitas Postkolonial Gereja Suku Indonesia: Studi Tentang JW. Saragih, (Yogyakarta: LkiS, 2006), atau Martin Lukito Sinaga dan Juandaharaya Dasuha, Tole den Timorlanden das Evanggelium: Sejarah 100 Tahun Injil di Simalungun, ( Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003) Satu buku yang diterbitkan tentang Simalungun adalah buah karya Arlin Dietrich Jansen. Gonrang Simalungun: Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun, (Medan : Bina Media, 2003). 116 Kebanyakan tema-tema penelitian yang ditulis oleh penulis asing tentang Simalungun adalah ekonomi pertanian dan perkebunan serta politik. Masih jarang dijumpai penulis yang mengurai sejarah Simalungun. Lain daripada itu kebanyakan para intelektual (professor, doktor, maupun magister) adalah berlatar belakang ilmu Paedagogis (ilmu pendidikan), Pertanian, Hukum, dan Tehnik, Kesehatan dan Theologi. Sedang dalam bidang ilmu sejarah, anthropologi maupun sosiologi (rumpun ilmu sosial lainnya) terutama yang aktif menulis buku masih jarang. Bilapun ada penulis sejarah cenderung bukan dalam kerangka akademis.
117 Lihat dan periksa buku-buku yang ditulis tentang Simalungun masih terfokus pada riwayat Raja dan Kerajaan, seperti Sejarah Kerajaan Raya, Kerajaan Siantar Sang Na Ualuh Damanik, Kerajaan Purba Pakpak, Kerajaan Panei Purba Dasuha dst, yang ditulis untuk keperluan keluarga. Demikian pula buku biografi atau semacam memoir yang ditulis dengan penjelasan minim tentang Simalungun. 118 Bandingkan dengan pendapat Michael Faucault yang mengemukakan bahwa dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun karena penguasa memilih wacana tertentu yang kemudian mendominasi wacana lainnya, maka wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan dan termarginalkan. Lihat Michael Faucault, What is an author?. In: Josue Harari (ed), Textual Strategies: Perspectives in Post Structuralis Criticism, (London: Methuen 1979). Maksud daripada pernyataan ini adalah ada-nya semacam fenomena penulisan buku dengan merujuk pada penulis luar Simalungun di mana rujukan tersebut sebenarnya bertentangan dengan keadaan Simalungun dan apalagi dengan penjelasan yang sangat dangkal. Contoh, penulis Simalungun masih saja merujuk bahwa klan dan asal usul orang Simalungun berasal dari Pusuh Buhit, tradisi Raja dan Kerajaan khususnya Raja Maropat adalah bentukan Singamangaraja, Nama dan penamaan Simalungun adalah sebagai (orang) yang ‘Malungun’, ‘Sunyi’, ‘Sepi’, (Sima-sima, Simou dan Malungun) padahal tidak punya dasar sama sekali. 119 Walaupun dengan analisis dan rujukan yang terbatas, beberapa diantaranya telah mencoba menulis seperti Sortaman Saragih, Orang Simalungun, (Jakarta: Citama Vigora, 2007). 120 Berdasarkan diskusi tak resmi dengan Kepala Museum Negeri Sumatera Utara dan Balai Arkeologi Medan, demikian pula tinggalan (artifak) arkeologis yang banyak di temukan di Simalungun, namun penelitian untuk mendapatkan data yang akurat seperti ekskavasi, geomorphologis, carbodanting atas tinggalan tersebut belum pernah dilakukan. Contoh fort of Nagur, Catur Nagur, arca raja yang menunggang Gajah maupun tinggalan
Universitas Sumatera Utara
2. Nama Simalungun dalam perdebatan 121 Masih menjadi pertanyaan, darimana asal kata “Simalungun” ?. Sebagai pedoman adalah sebagai berikut : a. Pendapat dari U. Hamdar (Urich H. Damanik) : Simalungun berasal dari kata : Si-ma-lungun, yaitu bertitik tolak dari pemecahan secara etimologis bahwa Si adalah kata penunjuk, ma adalah awalan, lungun artinya sunyi atau rindu. b. Pendapat Kasim Sipayung : Simalungun berasal dari Siou-ma-lungun, dengan penjelasan bahwa Siou adalah daerah atau wilayah, ma adalah awalan lungun adalah sunyi atau rindu. Malungun berarti yang sunyi atau yang dirindui. Iou artinya Negeri. Dalam pergaulan sehari-hari kata ini tidak banyak dipakai tetapi dalam Kidung mengandung arti “kasih sayang” dan “kerinduan”, misalnya jika seorang anak meninggal dunia maka ibunya akan meratap dengan kalimat “juppa ma parsirangan”, “madaoh ma pardomuan”, “lahoma tunas mardomu nadaoh, marlangit anak-anak martamoh pulau-pulau” artinya : kinilah kita berpisah, tak akan bertemu lagi (karena) dikau pergi ke “negeri jauh” dengan bumi dan langit yang terasing. Jadi Simalungun berarti daerah tersayang yang (menjadi) sunyi. c. Pendapat T. Ms. Purbaraya : Simalungun berasal dari kata Silou-ma-lungun, yakni dengan menghubungkan sejarah runtuhnya Kerajaan Silou Tua sebagai lanjutan dari Kerajaan Nagur dan lain-lain yang berhubungan dengan perpindahan penduduk (migra-si) dan wabah penyakit sampar. d. Pendapat T.B.A. Purba Tambak : Simalungun berasal dari kata : Simou dan Lungun. Simou artinya samarsamar yakni antara nampak dan tidak nampak dengan terang, tetapi jelas ada. Ibarat Sima (kuman) tidak dapat dilihat dengan terang tetapi jelas ada. Lungun artinya sunyi atau lengang, karena wilayah itu dulunya adalah terdiri dari hutan belantara yang sunyi dan lengang dimana penduduknya hampir tidak kelihatan e. Pendapat D. Kenan Purba : Kata Simalungun berasal dari kata Sima-lungun. Sima artinya sisa, lungun artinya kesedihan, maka Simalungun artinya Sisa dari Kesedihan. Dalam
tradisi megalitik lainnya belum pernah diteliti sehingga belum didapat informasinya. Jika pun ada, masih terbatas pada segi arsitektur seperti yang dilakukan oleh Claire Holt dan Ery Soedewo. Lihat, Buletin Sangkakala, (Medan: Balai Arkeologi. 2005). 121
Pemberian nama Simalungun masih memerlukan penelitian dari ahli bahasa, sejarah dan budaya Simalungun : Bukan Sibalungun, bukan Simelungun, melainkan Simalungun, demikian O.J Sinaga dari Tiga Balata, SIB, 15 Januari 1977 dalam Kenan Purba dan J.D Poerba, Sejarah Simalungun, (Jakarta : Bina Budaya Simalungun, 1995), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
bahasa daerah Simalungun biasa disebut : “Sima-sima ni lungun” yang akhirnya dilafazkan menjadi Simalungun. Asal kata Simalungun karena itu, berasal dari bahasa Simalungun, “lungun” artinya sunyi/ sepi. Bila penjelasan ini diceritakan di tempat orang lain, maka menurut tata bahasa Simalungun ditambah dengan kata “ma” (malungun), menunjukkan kondisi territorial yang sunyi sepi itu. Dalam perkembangan tata bahasa Simalungun, bila kata sebutan tentang sesuatu benda atau wilayah menjadi nama, biasanya ditambah “si” misalnya : si Anu jika wilayah Simarjarunjung, Simalungun. 122 “Malungun” menggambarkan keadaan asli, bahwa tanah yang sangat luas itu masih jarang manusia penghuninya, penuh dengan binatang-binatang buas, tempat burung-burung bersarang. Belum ada jalan manusia, hanya padang belantara (harangan toras/ hutan belukar), sungai (bah), bukit-bukit gunung dan lembahlembah. Legenda yang bersifat “mythos”, ada seorang bidadari berasal dari kahyangan, sepanjang hidupnya merasa kesepian (malungun) karena merindukan sesuatu yang tak kunjung datang. Dari segi panorama, nun jauh mata memandang disebut marsima-sima artinya sima : lungun menjadi “Simalungun”. Itulah asal mula munculnya istilah/ nama Simalungun. 3. Masuknya orang Tapanuli ke Simalungun Dimulai pada abad ke 19, kampung halaman Batak Toba sudah mulai sesak akibat pertambahan alamiah, angka kematian mulai menurun, sedang angka kelahiran menjadi meningkat. 123 Jumlah penduduk bertambah dengan cepat dan sejalan dengan itu tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, terutama dalam persawahan menjadi masalah yang pelik di daerah Dataran Tinggi Toba 124. Di berbagai wilayah, luas lahan persawahan yang diusahai penduduk semakin sempit. Pembukaan dan perluasan persawahan baru semakin tidak mungkin karena berbagai hal, diantaranya faktor sumber air dan iklim. Hasil yang diperoleh dari lahan kering pun kurang memuaskan. Berbagai :tantangan” di kampung halaman harus dihadapi. Sementara itu cita-cita untuk selalu mengejar 3H (Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon) tidak pernah padam dalam diri setiap orang. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di wilayah sendiri mendorong mereka meninggalkan kampung halamannya. Pada awalnya tidak sedikit dari kaum tani yang bekerja keras membuka hutan dan
122 123
Ibid, hal. 14 Ini adalah salah satu dampak positif dari usaha-usaha Zending Jerman di bidang kesehatan
Universitas Sumatera Utara
membangun kampung baru dengan menghadapi tantangan yang berat tanpa memperhitungkan risiko di daerah lain. Pada tahun 1912 atas kerjasama Pemerintah Hindia Belanda dengan zending Kristen didatangkanlah orang-orang dari Toba, Angkola, dan Mandailing, dengan menjanjikan fasilitas-fasilitas tertentu asal mau membawa rombongan dalam jumlah besar ke Simalungun terutama untuk membuka areal persawahan. Pada tahun 1920 telah ada orang Toba sebanyak 21.832 orang dan Mandailing sebanyak 4.699 orang yang tersebar di daerah-daerah persawahan di Simalungun. Sesuai dengan janji yang diumbar oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sejalan dengan Politik Devide Et Impera, maka bagi suku-suku pendatang, diangkatlah pimpinan-pimpinan yang diambil dari kalangan mereka sendiri. Untuk memimpin orang-orang Toba diangkatlah Andreas Simangunsong dengan gelar Jaihutan (Raja Ihutan). Demikian juga jabatan-jabatan di pemerintahan seperti Pangulu Balei (Kepala Kantor Raja), Kerani, Guru dan lain-lain banyak yang diberikan kepada suku-suku pendatang tanpa memperhatikan perimbangan dengan penduduk setempat. Hal ini mendapat tantangan keras dari Raja-raja Simalungun, sehingga akhirnya pada tahun 1921 jabatan Jaihutan, Pangulu dan Kepala Rodi untuk orangorang Toba dihapuskan. Selain itu pemerintah Kolonial Belanda memberikan lokasi tanah persawahan bagi orang-orang Jawa, terutama bagi mereka yang telah habis masa kontraknya di perkebunan, maka berdirilah perkampungan orang Jawa di Bandar dan Sidamanik, perkampungan seperti ini disebut Javakolonisasi. Keseluruhan kegiatan tersebut di atas adalah untuk memperbesar persaingan (tidak jarang jadi permusuhan) antara penduduk setempat dengan para pendatang sesuai dengan kepentingan politik Belanda. Sesuai dengan sifat orang Simalungun yang suka menyendiri, mudah tersinggung, dan tidak mengenal pertanian sawah, akhirnya mereka mudik ke daerahdaerah yang relatip lebih kurus (kurang subur atau gersang), karena daerah-daerah subur dan yang dapat dijadikan persawahan hampir seluruhnya diduduki orang-orang pendatang. Dengan kata lain, setelah tersebar berita tentang keadaan Simalungun di Tapanuli, yang dibawa oleh petugas mission, beberapa waktu kemudian telah ada yang memberanikan diri untuk melihat keadaan daerah itu, ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean Samosir terus ke Parapat dan dari Panahatan melewati hutan terus ke Tigadolok dan sampai ke Siantar setelah empat hari perjalanan. Sesudah melihat keadaan daerah tersebut, mereka memutuskan untuk membuka perkampungan. Untuk menambah tenaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh, beberapa orang disuruh pulang dan sekaligus memberi kabar kepada keluarganya dan teman-teman sekampung agar mereka ikut dalam perjalanan 124
O.H.S Purba dan Elvis F. Purba, Migrasi Batak Toba, di luar Tapanuli Utara : Suatu Deskriptif. (Medan : Monora, 1998), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
berikutnya. Demikian pula berita yang diwartakan pekabar Injil melalui majalah mingguan Immanuel sangat cepat tersebar dan menarik perhatian, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki lahan yang luas. Sejak itu, beberapa rombongan, sebagian naik sampan dari Balige ke Panahatan terus ke Tigadolok dan sebagian berjalan kaki dari Lumban Julu terus ke Tigadolok dan dari sana menuju arah Siantar. Perjalanan yang melelahkan dengan melewati hutan yang diselang-selingi terik matahari dan hujan tidak menjadi penghambat bagi mereka memasuki daerah Simalungun. Pada tahun 1904 di Pematang Bandar telah dimulai membuka persawahan yang diprakarsai oleh missioner G.K. Simon. Proyek ini hanya berjalan beberapa lama karena hasilnya sangat sedikit dan akhirnya tutup 125. Ketika itu untuk membentuk persawahan sangat sukar karena saluran irigasi belum ada. Oleh karena itu orang Batak Toba kurang berminat tinggal disana. Disamping dorongan dari diri sendiri, missioner Jerman juga mendukung perpindahan sebagian orang Batak Toba ke Simalungun dengan maksud untuk memberi contoh dalam cara bercocok tanam di persawahan dan sekaligus untuk memberi teladan cara hidup Kristiani. Tahun 1905 orang-orang dari Tapanuli sudah makin banyak yang pindah, ada yang menuju Panai, Bandar dan Tanah Jawa. Petanipetani yang sudah membuka perladangan berusaha mengubahnya menjadi persawahan. Pada tahun itu juga petani-petani yang tinggal di dekat Siantar berhasil menggali tali air dari Sungai Bah Biak secara gotong royong dengan berpedoman pada teknologi irigasi yang mereka bawa dari kampung asalnya. Sejak pembukaan tali air tersebut, persawahan mulai ada. Nama tempat persawahan itu pun, yang semula adalah perladangan (juma) berubah menjadi Juma-Saba, yang bermakna perladangan (juma) berubah menjadi persawahan (saba), yaitu di derah Simpang Empat yang sekarang. Dalam beberapa tahun, areal pertanian pangan yang dibuka petani-petani Batak Toba sudah menunjukkan hasil yang lumayan. Keberhasilan tersebut ternyata mendapat perhatian dari pemerintah Kolonial. Mereka mengetahui bahwa petani-petani tersebut sungguh-sungguh mengerjakan lahan pertaniannya dan melihat semangat petani-petani yang datang belakangan membuka lahan pertanian pangan. Sadar akan kesungguhan dan keagresifan petani-petani tersebut, serta sesuai dengan politik mereka, pemerintah kolonial melalui Kontrolir Batubara mengadakan perjanjian dengan raja Bandar, agar orang Batak Toba diberi kesempatan memasuki daerah Bandar dalam rangka membuka persawahan 126 Sejak perjanjian tersebut semakin banyak kaum tani dari Tapanuli menuju Bandar, walaupun kemudian hari banyak yang pindah kembali. Tahun 1906 petanipetani dari Toba Holbung, Silindung, dan Humbang datang untuk membuka persawahan. Mula-mula mereka tiba di Bandar Meratur dan dari sana menyebar ke 125 126
M.Joustra, van Medan Naar Padang En Terugi, (Leiden:S.C van Doesburq, 1915), hal.39 Batara Sangti, dkk, Sejarah Batak, (Balige : Karl Sianipar Company,1977), hal.179
Universitas Sumatera Utara
daerah sekitarnya 127. Pada tanggal 31 Desember 1906, sudah terdapat sebanyak 94 orang Kristen Batak, terdiri dari 40 laki-laki dewasa, 11 perempuan dewasa dan 43 anak-anak yang datang dari Tapanuli tinggal di Pematang Bandar 128. Pada tahun yang sama, di Juma-Saba sudah diadakan kebaktian yang dipimpin oleh evangelis Theopilus Pasaribu 129 Tahun 1907 sudah terdapat beberapa keluarga Batak Toba yang datang dari Toba Holbung, Humbang, dan Silindung tinggal di daerah Panai 130. Selain ke daerah Panai, banyak pula yang menuju Siantar, kearah Dolok Merlawan dan daerah lainnya di Simalungun. Sebaliknya perpindahan ke Tanah Jawa ketika itu mendapat hambatan. Mereka tidak diijinkan oleh pemerintah, yaitu kontrolir yang lama memerintah dan mengawasi rakyat di daerah itu 131. Pada bulan September 1907 tujuh raja Simalungun menandatangani Korte Verklaring 132. Penandatanganan perjanjian tersebut merupakan pengakuan terhadap kedaulatan Belanda di sana dan ketika itu raja-raja tersebut berjanji tidak akan melakukan hubungan-hubungan politik dengan negeri-negeri asing serta setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Sejak itulah dirintis perluasan perkebunan di Simalungun 133. Pembukaan perkebunan tersebut membuka kesempatan yang lebih luas lagi bagi kaum terdidik Batak Toba mendapatkan pekerjaan di daerah itu. Dalam kurun waktu 3 Tahun, beberapa daerah di Simalungun sudah dihuni orang-orang Batak Toba. 4. Pemerintahan Swapraja Sesudah penandatangan Korte Verklaring tahun 1907, sistem pemerintahan di Simalungun sudah berubah, dari kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri berubah menjadi Swapraja yang disebut Landschap berada dalam Onder Afdeling Simalungun di bawah pemerintahan Hindia Belanda. 134 Dengan adanya perubahan tersebut maka peranan Harajaan (dewan kerajaan) tidak ada lagi, karena semua kekuasaan telah dipusatkan pada Raja sebagai Kepala Landschap. Sejak tahun 1904 kerajaan-kerajaan Dolok Silau, Raya, Purba dan Silimakuta termasuk daerah dalam penguasaan Pemerintah Belanda, dikepalai oleh seorang 127
Sihombing, P.T.P., Saratus Taon Huria Kristen Batak Protestan, (Medan : Philemon & Liberty,1961),
hal. 56. 128 H.Marbun, Barita Djujur Taon-Laporan Tahunan (1946-1960), (Doloksanggul, Humbang, Bandar, Asahan, D. Serdang, Medan-Atjeh dan Medan TImur), (Medan;Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nomensen,1990) , hal. 77 129 Panitia Jubileum, Buku Sejarah HKB P Pematangsiantar, Pesta Jubileum 75 Taon 29 September 190729 September 1982, (Pematangsiantar; Grafina,1982) hal. 16. 130 Sihombing, loc cit 131 A.A Sitompul, Perintis Kekristenan di Sumatera Bagian Utara, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1986), hal.159 132 Reid, Anthony, The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatera. (Kuala Lumpur : Oxford University Press,1979), hal. 101. 133 Liddle, R, William, Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study, (New Haven : Yale University Press, 1970), hal. 25 134 Kenan Purba & J.D. Poerba, Sejarah Simalungun , op cit, hal. 60
Universitas Sumatera Utara
Controleur bernama V.CJ Westenberg yang berkedudukan di Bangun Purba, sedangkan kerajaan-kerajaan Siantar, Tanah Jawa dan Pane telah terdahulu (sejak akhir tahun 1890) pengaruh Pemerintah Belanda dibawah pimpinan seorang Controleur yang berkedudukan di Labuhan Ruku daerah Batu Bara. 135 Pelaksanaan Pemerintahan oleh Belanda dilakukan dengan cara tournee ke Daerah-daerah dan di mana perlu menyelesaikan sesuatu persoalan langsung di lapangan, ataupun para Raja-raja dan pembesar-pembesarnya datang berkumpul untuk berrapat (Harungguan Nabolon). Harungguan Na Bolon pada waktu dalam hubungan ada sesuatu sengketa, maka dijadikan merupakan sidang pengadilan sedangkan penuntut umum (Jaksa) pertama untuk daerah Hukum Saribu Dolok ialah Ingat-dolok Saragih (Tuan Sinasih) dan untuk daerah hukum P.Siantar Jaksa pertama ialah Manase Sitompul. Hasil penerimaan/pendapatan dari Pemerintah Belanda ialah Candu yang merupakan hadiah mengurangi ketegangan Politik. Pada akhir tahun 1909 daerah Karo disatukan dengan Pemerintahan daerah kerajaan Simalungun di bawah pimpinan Assintent-Resident Westenberg yang berkedudukan di Saribu Dolok (Westenberg sebelumnya conroleur di Bangun Purba). Untuk daerah Simalungun didudukkan seorang Controleur bertempat di P.Siantar dan kemudian Controleur untuk daerah Karo bertempat di Kabanjahe (tahun 1911). Pada tahun 1910 didirikanlah markas Tentera Belanda di Seribu Dolok, tetapi pada pertengahan tahun 1911 dipindahkan ke Sidikalang. Di daerah Simalungun Atas, Politik Pemerintahan tidak begitu pesat perkembangannya, sedangkan di daerah Simalungun Bawah dengan adanya penanaman karet, pertumbuhannya cepat sekali, sehingga kedudukan Assistant – Resident pada tahun 1912 dipindahkan dari Seribu Dolok ke P.Siantar. Demikianlah sejak pertengahan tahun 1920 daerah Simalungun termasuk daerah penanaman modal asing. Sesudah penandatanganan “kontrak pendek” dengan pemerintah Belanda pada tahun 1907, maka kekuasaan Raja-Raja di Simalungun dengan berangsur-angsur menjadi kurang, sekalipun dinamakan pemerintahan itu diserahkan seluas-luasnya mengurus rumah tangganya sendiri. Hanya bayangan nama “Raja” sesungguhnya merupakan “Kepala Adat” dimana kekuasaannya telah dibatasi oleh Pemerintah Belanda. Dengan surat keputusan Pemerintah Belanda Lembaran Negara 1914 No.24 yang pelaksanaannya untuk daerah Simalungun baru disahkan pada tahun 1917, maka berlakulah peraturan-peraturan yang diperbuat oleh pemerintah Belanda mengenai wewenang dari Raja-Raja Simalungun dan pengaturan mengenai peradilannya. Mulai tahun ini dibangun kantor Raja di tiap-tiap kerajaan untuk melaksanakan administrasi Pemerintahan. Pada tiap-tiap kantor diangkat seorang kepala kantor yang dinamakan “penghulu balai” dan bertindak juga selaku jaksa (penuntut Umum) dalam perkara pidana pada Pengadilan Swapraja tingkat “kerapatan urung”. Yaitu pelanggaran denda di antara 20-60 rupiah uang Belanda dan ancaman 135
TBA Purba Tambak, Sejarah Simalungun, (Pematangsiantar:Danau Singkarak,1982), hal.129
Universitas Sumatera Utara
hukuman penjara selama 14 hari sampai 5 bulan dan dalam bidang perkara perdata bertindak selaku panitera yang memutuskan perkara dengan nilai harga 50-100 rupiah uang Belanda. Onder Afdeling Simalungun dibagi habis dalam 7 Kerajaan, dan Kerajaan dibagi atas beberapa Distrik (semua ada 16 Distrik) dan selanjutnya Distrik dibagi habis dalam beberapa Kampung (huta). Adanya Kerajaan/ Landschap dan Distrik di Simalungun pada waktu itu adalah sebagai berikut : No Landschap Distrik 1 Siantar 1. Siantar 2. Bandar 3. Sidamanik 2 Tanoh Jawa 4. Tanoh Jawa 5. Bosar Maligas 6. Jorlang Hataran 7. Dolog Panribuan 8. Girsang Sipangan Bolon 3 Panei 9. Panei 10. Dolog Batu Nanggar 4 Raya 11. Raya 12. Raya Kahean 5. Dolog Silou 13. Dolog Silou 14. Silou Kahean 6. Purba 15. Purba 7. Silima Kuta 16. Silima Kuta Dalam hal perubahan kewenangan raja-raja berdasarkan besluit Gubernement tahun 1914 No 24 ditetapkan hak-hak dan wewenang Raja-Raja Simalungun termasuk Peradilan Swapraja/Landraad sebagai pengganti Kerapatan atau Harungguan, tetapi baru mulai berlaku pada tahun 1917. Pada tahun 1917 gedung Kantor para Kepala Landschap (Raja) di Simalungun dibangun dan pada setiap kantor diangkat seorang Pangulu Balei (Kepala Kantor) yang sekaligus merangkap sebagai jaksa pada tingkat Kerapatan Urung. Sedangkan hirarki dan tingkat-tingkat peradilan yang ada di Simalungun waktu itu adalah sebagai berikut : a. Tingkat Huta (Kampung) tugas peradilan dipegang oleh Kepala Kampung (Pangulu) dibantu oleh beberapa orang pengetua (Partuha Maujana).
Universitas Sumatera Utara
b. Tingkat Parbapaan (gabungan beberapa kampung) peradilan diadakan melalui Kerapatan Balei yang diketuai oleh Parbapaan dan anggota-anggotanya adalah para Pangulu yang ada di wilayahnya. c. Tingkat Landschap (Kerajaan) melalui Kerapatan Urung yang langsung diketuai oleh Raja (Kepala Landschap) dibantu oleh Pangulu Balei dan beberapa Gamot Harajaan. d. Pengadilan Tertinggi di Onder Afdeling Simalungun disebut Kerapatan Na Bolon yang langsung diketuai oleh Controleur dan anggotanya adalah ke 7 Raja-raja Simalungun. Tugasnya ialah untuk menyelesaikan perkara atau sengketa di antara Raja-raja Simalungun. Tetapi hakekatnya kepada Badan tersebut dibebankan juga tugas-tugas pelaksanaan pengaturan otonomi dan medebewind (tugas perbantuan). Controleur mempunyai tugas ganda, yaitu sebagai Zelfbestuur (Pemerintah di Daerahnya) dan sebagai Voorzitter (Hakim). Dalam sistem Swapraja ini Raja-raja merasa kuasanya dikukuhkan, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjadi alat kolonial. Sebagai bukti, raja-raja sudah ditugaskan memungut belasting (pajak) dan bagi rakyat yang tidak mampu membayar pajak dipaksa untuk melaksanakan pekerjaan Rodi (Kerja Paksa). 5. Asal Usul Orang Simalungun a. Marga Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu : 1) Sinaga 2) Saragih 3) Damanik 4) Purba Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar (raja-raja yang pernah berkuasa di Simalungun), untuk
Universitas Sumatera Utara
tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh). Keempat raja itu adalah : Raja Nagur bermarga Damanik Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja Banua Sobou bermarga Saragih Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Raja Banua Purba bermarga Purba Purba menurut bahasa, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor. Dilihat dari perkembangan marga-marga Dilihat dari perkembangan marga-marga di Simalungun bahwa marga Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba (Sisadapur) hanyalah merupakan marga pokok saja. Hal itu dapat kita lihat dari perkembangan berikutnya berdasarkan hubungan kekerabatan dari raja-raja atau partuanon dahulu, maka di masing-masing kerajaan terdapat tambahan marga-marga yang baru sebagai berikut : a. Di bekas Kerajaan Purba : Marga Lingga, Silalahi dan Haloho b. Di bekas Kerajaan Raya : Marga Sipayung, Silalahi, Sinurat dan Sitopu c. Di bekas Kerajaan Tanoh Jawa : Marga Manurung, Butar-butar, Sirait, Sitorus dan Margolang. d. Di bekas Kerajaan Siantar : Marga Dabahu (Naibaho), Dasopang, Dasalak bahkan dari etnis Melayu, Banjar, dan Sipirok/Mandailing. e. Di bekas Kerajaan Dolog Silou : Marga Sipayung, Tarigan, Sembiring, Ginting dan Munthe. f. Di bekas Kerajaan Panei : Marga Sipayung , Turnip dan Sitio.
Universitas Sumatera Utara
g. Di bekas Kerajaan Silimakuta : Marga Tarigan, Sembiring, Silalahi, Simanjorang dan Situngkir. 136 b. Perkerabatan Simalungun Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acaraacara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” (dari mana asal usul anda?). Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanon Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging. Adapun perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menentukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut : a). Tutur Manorus / Langsung Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri b). Tutur Holmouan / Kelompok Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun c). Tutur Natipak / Kehormatan Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. Menurut penelitian G. Ferrand seorang antropolog dari Amerika menyimpulkan bahwa kedatangan penduduk ke Nusantara terjadi dalam 2 periode. Periode pertama disebut “protomelayu/ proto Simalungun” yang datang sekitar 1000 tahun SM, diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari 136
Kenan Purba & J.D. Poerba, Sejarah Simalungun , op cit, hal. 4-5
Universitas Sumatera Utara
Raja dinasti Damanik, yang diperkirakan menjadi penduduk pertama Nusantara. Pada awalnya protomelayu banyak mendiami pesisir pantai di pulau-pulau Nusantara. Kelompok ini antara lain adalah Batak (termasuk Simalungun), Toraja, Dayak dan Nias. 137 Periode kedua datang sekitar tahun 500 SM dan disebut “deuteromelayu / deutero Simalungun”, datang dari suku-suku di sekitar Smalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun. Kelompok ini termasuk orang Jawa, Madura dan Makasar. Kedatangan “deutromelayu” ini mendesak protomelayu sehingga suku “protomelayu” semakin bergerak dan berpindah ke pegunungan di pulau-pulau Nusantara. Dikisahkan, pada waktu perpindahan gelombang “protomelayu”, ada sekelompok penduduk yang hijrah (pindah) dari India Selatan secara estafet. Awalnya kelompok ini berangkat dari India Selatan menuju Champa (baca : Siam = Thailand sekarang).; Setelah beberapa puluh tahun tinggal di Champa, komunitas ini diserang oleh suku Mongolia dari utara. Kaum pria banyak dibunuh dan wanitanya dikawini para pria Mongolia. Dari hasil perkawinan campuran ini terlahirlah suatu turunan ras baru berkulit sawo matang. Setelah peristiwa serangan tersebut sebagian dari kelompok ini berpindah lagi dan berpencar menuju pulau-pulau di sekitarnya (yakni Indonesia dan Philipina sekarang). Di Nusantara ada kelompok yang menuju Sulawesi dan ada yang menuju Sumatera. Mereka yang mendarat di Sulawesi tersebut, beranak-pinak menjadi suku Toraja. Sementara kelompok yag pindah menuju Sumatera mendarat di Batubahra (Sekarang : Batubara) dan dari sana mulai menyebar ke seluruh pelosok Sumatera bagian Utara. Kelompok inilah yang beranak-pinak menjadi leluhur orang Simalungun (termasuk Batak lainnya). 138 Sementara kelompok ketiga berpindah menuju Tagalog (Philipina). Di sana beranak-pinak dan kelak menjadi leluhur orang Philipina. Bukti budaya sebagai fakta otentik hingga kini masih ada ditemui persamaan budaya dalam ketiga kelompok ini. Misalnya pemakaian kain perca putih (simalungun = porsa), yang diikatkan pada kepala seperti slayer pada saat kematian orang tua yang sudah lanjut usia. Juga adanya budaya makan sirih serta meratakan gigi (mangkihir ipon). “Mangkihir ipon” adalah tradisi meratakan gigi dengan cara memotongnya dengan alat kikir. Setelah diratakan, untuk menghilangkan rasa ngilu, gigi dioles dengan getah kayu (Simalungun : saloh) sehingga gigi kelihatan berwarna hitam. Budaya ini ditemukan pada semua kelompok keturunan di atas. Budaya “mangkihir ipon” di Simalungun masih ditemukan pada saat kedatangan orang Jawa ke Simalungun. Oleh sebab itu dulu orang Simalungun 137
MD.Purba, Museum Simalungun, [(s.l): (s.n), 1978], menjelaskan bahwa Nagur sebagai leluhur Simalungun datang dalam gelombang protomelayu ke Nusantara 138 Penelitian (disertasi) tentang gen yang dilakukan oleh Del tri Munir dosen USU di Leiden menyimpulkan bahwa gen HLA yang terdapat pada Orang Mongolia dan orang Batak, Thailand, Toraja dan Philipina adalah berasal dari induk yang sama
Universitas Sumatera Utara
menyebut orang Jawa dengan sebutan “si bontar ipon” (si gigi putih) karena giginya putih atau tidak hitam sebagaimana gigi orang Simalungun. 139. Pada gelombang Proto Simalungun di atas, juga disebutkan bahwa Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir. Pustaha Parpandanan Na Bolag (Pustaka Simalungun Kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. 140 6. Filosofi Hidup orang Simalungun Pandangan Religi Tradisional Simalungun Sebelum masuknya agama Islam maupun Kristen di daerah Simalungun, orang Simalungun sudah menganut agama animisme parhabonaron. Keyakinan ini secara umum merupakan warisan Hindu yang tertanam secara turun-temurun. Animisme parhabonaron adalah suatu keyakinan yang mempercayai bahwa semua makhluk (benda) mempunyai kekuatan (power) yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya. Menurut J.Tideman orang Simalungun pada saat itu meyakini semua makhluk, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu mempunyai kekuatan gaib. Dan mereka mempercayai bahwa ada Tuhan pencipta langit dan bumi beserta segala isinya dikenal dengan nama Naibata (dewata). Pemahaman akan Naibata bagi orang Simalungun saat itu adalah sebagai suatu oknum yang maha adil. Selain oknum Naibata orang Simalungun juga menyembah roh-roh bernama Sinumbah dan Simagot. Habonaran Do Bona Ada suatu pemahaman yang sangat kental pada keyakinan leluhur orang Simalungun bahwa Naibata itu maha kuasa, maha adil dan maha benar. Manusia juga dituntut untuk bersikap benar. Segala sesuatu harus didasarkan kepada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari filosofi “Habonaron Do Bona” pada orang Simalungun. Falsafah Habonaron Do Bona merupakan filosofi hidup bagi orang Simalungun. Habonaron Do Bona arti harfiahnya adalah “kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga enak bagi semua pihak. Mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya (kebenaran) di hadapan sesama manusia. 139 140
G.Ferrand dalam Sortaman Saragih, Orang Simalungun, op cit, hal.23 ibid
Universitas Sumatera Utara
Bersumpah Untuk membuktikan kejujuran, dulu sering dilakukan “bersumpah” atau dalam bahasa Simalungun disebut marbija. Apabila orang lain mencurigai seseorang melakukan kejahatan, maka orang tersebut biasa mengangkat sumpah dengan mempertaruhkan sesuatu yang sangat berharga padanya. Semisal jiwa anaknya. Jika terbukti melakukan kejahatan tersebut maka anaknya akan menjadi tumbal. Dalam marbija ini seseorang harus jujur karena jikalau bersumpah palsu, diyakini tumbal sumpahnya menjadi nyata. Orang tidak berani berdusta hanya untuk menutupi kesalahan sesaat. Di samping marbija, di Simalungun dulu ada suatu cara menguji kejujuran yakni dengan menyerukan atau mengucap “si pittor bilang” kepada Naibata. Artinya biarlah Naibata yang akan membalaskan kepada pelaku kejahatan tersebut. Nilai-nilai falsafah ini terasa sangat positif dalam membentuk keharmonisan hidup dengan sesama. Falsafah ini membimbing manusia untuk hidup dalam kejujuran dan ketentraman. Hal “Habonaron Do Bona” ini juga dijunjung oleh para pemimpin seperti raja-raja yang ada di Simalungun. Raja sendiri tidak bertindak dengan seenaknya. Para orangtua juga selalu menanamkan prinsip hidup “Habonaron Do Bona” kepada anak-cucunya. Harus bijaksana dalam bergaul di tengah masyarakat. Dari filosofi “Habonaron Do Bona”, tercermin prinsip-prinsip hidup yang banyak diungkapkan. Berupa kata-kata nasehat dan prinsip hidup dalam bentuk ungkapan, pepatah, kiasan dan perumpamaan. Secara umum prinsip Habonaron Do Bona menanamkan kehati-hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Menurut MD. Purba sebagai penjabaran Habonaron Do Bona dapat disebutkan dalam 8 nilai kebenaran yang dianut pada saat itu yakni : a. Berpandangan yang benar Orang Simalungun diajarkan untuk tetap teguh berpandangan yang benar. Jangan ada niat jahat untuk merugikan orang, jangan merugikan orang yang pernah memberikan pertolongan kepadanya, jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain. Namun harus juga selalu member arti kepada sesama manusia dan jangan saling memburukkan. b. Berencana (berniat) yang benar Habonaron Do Bona mengajarkan orang Simalungun untuk tidak menjadi manusia provokator dan hidup tanpa aturan, tanpa perhitungan dalam segala hal. c. Berbicara yang benar
Universitas Sumatera Utara
Orang Simalungun selalu diajarkan untuk hidup dengan cara yang benar. Jangan pernah membodohi orang lain sebab bisa merugikan diri sendiri, Jangan terlalu banyak bicara kalau tidak benar adanya. d. Bekerja (bertindak) yang benar Orang Simalungun diajarkan untuk melakukan pekerjaan yang benar dan tidak menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sekali kebijakan diputuskan, pantang untuk surut melakukannya. e. Berkehidupan yang benar Habonaron do Bona mengajarkan sikap kepada orang Simalungun untuk hidup yang benar. Jangan sampai hidup tersisih karena tidak disenangi orang lain, jangan sampai dibenci orang lain. f. Berusaha (berkarya) yang benar Orang Simalungun diajarkan untuk hidup dengan pekerjaan yang terencana dan target yang benar. Hidup harus direncanakan supaya dapat mencapai kemajuan. Janganlah hanya hidup tanpa ada kemajuan. g. Berprinsip yang benar Orang Simalungun diajarkan Habonaron do Bona untuk hidup dengan prinsip yang benar. Punya pendirian yang teguh dengan prinsip yang benar. Punya pendirian yang teguh dan idealis yang positif. Jangan mudah terpengaruh oleh hal yang tidak baik. Perkembangan agamapun awalnya sangat sulit di Simalungun, tetapi setelah dianut, kian susah untuk mengubah pilihannya (mengganti agama). h. Berpikiran yang benar Dalam hal berpikir, Orang Simalungun diajarkan untuk menganut pola pikir yang benar dalam hidup bersama dengan orang lain. Tidak boleh hanya menang sendiri. Harus memikirkan perasaan dan harapan orang lain. Filosofi dalam budaya adat Kepribadian dan karakter Orang Simalungun juga dapat dilihat dari falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Tatanan dan manajemen sosial tercermin dalam cara pelaksanaan adat. Secara prinsip, dalam adat Simalungun adalah suatu tatanan kehidupan yang digambarkan dalam “3 sahundulan 5 saodoran”. Tolu sahundulan artinya adalah bahwa dalam masyarakat Simalungun, secara manajemen untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh kesepakatan dari tiga pihak keluarga. Mereka duduk bareng untuk berembuk dan memutuskan bentuk
Universitas Sumatera Utara
kebijakan yang akan diambil. Ketiga pihak tersebut yakni : Suhut (pihak tuan rumah), tondong (pihak keluarga si istri), boru (pihak keluarga si suami). Aplikasi prinsip adat ini bagi orang Simalungun adalah, setiap orang memiliki ikatan kekeluargaan yang begitu luas dan begitu kuat. Untuk merencanakan sesuatu program kerja, harus terlebih dahulu mengundang dan meminta pendapat dari empat pihak keluarga lain. Di sisi lain hal ini membuat kebijakan yang lamban dan tidak dapat cepat disimpulkan. Prinsip ini terbawa-bawa dalam semua sisi kehidupan orang Simalungun, lebih banyak berembuk dari pada berbuat. Filosofi ayam dalam adat Satu hal yang sangat penting dicermati dalam tatanan adat Simalungun adalah menggunakan “ayam” sebagai makanan adat. Simalungun tidak mengenal ternak babi dalam pelaksanaan adat. Pada zaman dahulu, keluarga raja pada umumnya memakai sapi atau kerbau sebagai makanan adat. Karena dalam acara pesta kerajaan, banyak hadirin. Alasan memilih ayam sebagai makanan ternak karena ada beberapa sifat dan prinsip ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia yakni, mengerami telurnya, melindungi anaknya, dan disiplin terhadap waktu. Selain itu, alasan pemakaian ayam sebagai makanan adat mencerminkan pola hidup Orang Simalungun yang disiplin, rela berkorban demi anak dan selalu melindungi anak. Akan tetapi resiko yang terlalu melindungi anak sering menjadikan orang tua kurang mendidik anak, dan justru dominan membela anak. Konsekwensinya adalah anak menjadi kurang mandiri dan kurang mampu untuk bersaing dengan orang di sekitarnya. 141 7. Simalungun dalam Angka a. Tinjauan mengenai letak geografis daerah Kabupaten Simalungun Kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu Daerah di Propinsi Sumatera Utara, terletak antara: 020360 – 030180 LU , 980320 – 990350 BT dengan ketinggian 369 meter di atas permukaan laut dengan batas-batas sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang/Serdang Bedagai -
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan/Batu Bara
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo
Kabupaten Simalungun yang secara Adminstratif Pemerintahan terdiri dari 31 Kecamatan dengan 345 Desa, 22 Kelurahan dengan perincian sebagai berikut: 4.386,60 km2 (6,12%) dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara.
141
Sortaman Saragih, Orang Simalungun, loc cit
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3 Luas Daerah Menurut Kecamatan. 142 No.
Kecamatan Sub Regency
Luas/Area (Km2)
1 2 3 1 Silimakuta 77,50 2 Pematang Silimahuta 68,20 3 Purba 172,00 4 Haranggaol Horison 34,50 5 Dolok Pardamean 99,45 6 Sidamanik 83,56 7 Pematang Sidamanik 125,19 8 Girsang Sipangan Bolon 123,00 9 Tanah Jawa 213,95 10 Hatonduhan 275,80 11 Dolok Panribuan 154,30 12 Jorlang Hataran 92,25 13 P a n e i 72,30 14 Panombeian Panei 82,20 15 R a y a 335,60 16 Dolok Silau 288,45 17 Silau Kahean 220,50 18 Raya Kahean Tapian 226,25 19 Dolok 116,90 20 Dolok Batu Nanggar 126,10 21 Siantar 79,11 22 Gunung Malela 108,97 23 Gunung Maligas 58,52 24 Hutabayu Raja 156,13 25 Jawa Maraja Bah Jambi 73,72 26 Pematang Bandar 95,00 27 Bandar Huluan 102,35 28 Bandar 109,18 29 Bandar Masilam 97,72 30 Bosar Maligas 294,40 31 Ujung Padang 223,50 Kabupaten Simalungun 4.386,60 Sumber : Buku Rencana Tata Ruang Kabupaten Simalungun (2004-2014)
142
Rasio Terhadap Jumlah/Ratio on Total 4 0,02 0,02 0,04 0,01 0,02 0,02 0,03 0,03 0,05 0,06 0,04 0,02 0,02 0,02 0,08 0,07 0,05 0,05 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,07 0,05 1,00
Simalungun Dalam Angka, Op.Cit, hal.6
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4 Banyaknya Nagori (Desa) dan Kelurahan menurut Kecamatan 2009 143 No.
Kecamatan Sub Regency
1 2 1 Silimakuta 2 Pematang Silimahuta 3 Purba 4 Haranggaol Horison 5 Dolok Pardamean 6 Sidamanik 7 Pematang Sidamanik 8 Girsang Sipangan Bolon 9 Tanah Jawa 10 Hatonduhan 11 Dolok Panribuan 12 Jorlang Hataran 13 P a n e i 14 Panombeian Panei 15 R a y a 16 Dolok Silau 17 Silau Kahean 18 Raya Kahean Tapian 19 Dolok 20 Dolok Batu Nanggar 21 Siantar 22 Gunung Malela 23 Gunung Maligas 24 Hutabayu Raja 25 Jawa Maraja Bah Jambi 26 Pematang Bandar 27 Bandar Huluan 28 Bandar 29 Bandar Masilam 30 Bosar Maligas Ujung Padang 31 Kabupaten Simalungun Sumber : BPMN Kab. Simalungun
Nagori Village 3 5 8 9 4 11 12 9 2 19 9 14 9 12 10 17 10 16 10 9 14 17 16 9 12 8 10 10 13 9 16 16 345
Kelurahan Urban 4 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 22
Jumah Total 5 6 8 10 5 11 13 10 5 20 9 14 10 13 10 18 10 16 11 10 15 17 16 9 13 8 12 10 15 9 17 17 367
b. Tinjauan mengenai keadaan iklim Kabupaten Simalungun Keadaan iklim Kabupaten Simalungun bertemperatur sedang, suhu tertinggi terdapat pada bulan Juni dengan rata-rata 25,90 C. Rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah 30,00 C dan terendah 21,00 C. 143
Ibid, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
Kelembaban udara rata-rata perbulan 84,0% dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Maret yaitu 87% dengan penguapan rata-rata 3,18 mm/hari. Dalam satu tahun rata-rata terdapat 15 hari hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada bulan Maret sebanyak 23 hari hujan, kemudian bulan Desember sebanyak 19 hari hujan. Curah hujan terbanyak terdapat pada bulan September sebesar 478 mm. c. Tinjauan mengenani penduduk di Kabupaten Simalungun Penduduk Kabupaten Simalungun tahun 2009 sebanyak 859.879 jiwa yang terbagi laki-laki sebanyak 430.913 jiwa dan perempuan 428.966 jiwa dan tersebar di 31 kecamatan, dengan perbandingan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan (sex ratio) sebesar 100,45. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Bandar yaitu sebesar 67.807 jiwa dan terkecil berada di Kecamatan Haranggaol Horisan yang hanya sebesar 5.883 jiwa. Kecamatan yang memiliki luas wilayah yang terbesar terdapat di kecamatan Raya dengan luas 335.60 Km dan wilayah terkecil di kecamatan Haranggaol Horisan (34.50 Km), wilayah yang paling padat penduduknya terdapat di kecamatan Bandar Masilam (621.00 jiwa/Km), disusul kecamatan Gunung Maligas (440.00) jiwa/Km) dan Siantar (415.00 jiwa/Km). d. Tinjauan mengenai pendidikan di Kabupaten Simalungun Sarana pendidikan yang tersedia di Kabupaten Simalungun untuk tingkat SD s/d SMA baik negeri maupun swasta berjumlah 1.043 sekolah. Ditingkat SD jumlah sekolah negeri sebanyak 806 buah dan sekolah swasta 45 buah, dengan jumlah guru SD Negeri sebanyak 8.576 orang dengan rasio murid terhadap guru sebesar 12, sedangkan untuk SD swasta jumlah guru 400 orang dengan rasio murid terhadap guru yang lebih tinggi dibandingkan dengan SD negeri yakni sebesar 7. Pada tingkat SMP, jumlah sekolah negeri sebanyak 51 sekolah dan sekolah swasta sebanyak 88 sekolah, dengan jumlah guru untuk SMP negeri sebanyak 1.929 orang dan SMP swasta sebanyak 1.229 orang atau dengan rasio murid terhadap guru masing-masing sebesar 8 baik untuk SMP negeri dan 13 untuk SMP swasta. Untuk tingkat SMA, jumlah sekolah negeri sebanyak 20 sekolah dengan jumlah guru 768 orang dan rasio murid terhadap guru sebesar 11, sedangkan jumlah sekolah swasta sebanyak 30 sekolah dengan jumlah guru 579 orang dan rasio murid terhadap guru sebesar 13. Untuk tingkat SMK negeri hanya ada 2 yakni di Kecamatan Raya dengan jumlah guru 70 orang dan murid sebanyak 673 orang dan Kecamatan Bandar
Universitas Sumatera Utara
Masilam dengan jumlah guru 11 orang dan murid sebanyak 61 orang, sementara untuk SMK swasta jumlah sekolah mencapai 27 sekolah dan jumlah guru 427 orang dan murid sebanyak 8.978 orang. B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional 1. Sistem Hukum Tanah Nasional Menurut Ludwig Von Bertalanffy, yang dimaksud sistem adalah complex of elements in mutual interaction. 144 Sejalan dengan Ludwig Von Bertalanffy, Geoffrey Samuel menyatakan bahwa system is method of comprehending an object, not through reductionism and causality as such, but through, a global unity interrealtion between elements. 145 Sudikono Mertokusumo menyatakan bahwa: hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peratuaan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum. 146 Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo 147 menyatakan bahwa : sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaedah apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan. Wu Min Aun memberikan ruang lingkup tentang unsur-unsur dalam sistem hukum yaitu:
144
Ludwig von Bertalanffy, General System Theory, Foundations, Development, applications,( New York: Braziller, 1972), hal. 34. 145 Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, SA, (Vormgevers: Tilburg, 1994), hal. 124. 146 Sudikno Mertokusumo – I, Mengenal Hukum, Op Cit. hal.115. 147 Sudikno Mertoksumo-II, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty 2001), hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
In legal system, the most important areas of social organization are the people's attitude to the following : a. political system ; the way society is governed. b. economic system ; the ownership, production and distribution of society's resources. c. Moral standards ; what constitutes acceptable and unacceptable behaviour. d. Social intercourse; relationships between people. 148
Tiga komponen utama yang dimiliki oleh sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M Friedman, yaitu Legal Structure, Legal Substance, and Legal Culture. 149 Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya. B.F. Sihombing menjabarkan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum dalam kaitannya dengan sistem hukum, yaitu: 1)
2) 3)
Struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan undang – undang; Substansi hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma, dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut; Budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan system hukum. Ke dalam budaya hukum adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), idea tau gagasannya dan harapan-harapannya. 150
Riduan Syahrani memberikan pengertian tentang sistem hukum, yaitu : “Suatu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain tersusun sedemikian rupa menurut asasasasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.” 151 148
Wu Min Aun, The Malaysian Legal System, (Longman Malaysia: Selangor Darul Eksan, 1990), hal. xv. Lawrence M Friedman, American Law, Op Cit, hal. 5-6. 150 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan, Op Cit, hal. 32. 151 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, , 1999), hal. 169149
170.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam sistem hukum terdapat unsurunsur hukum dimana antara unsur hukum yang satu dengan unsur hukum yang lain saling berkaitan dan saling berpengaruh serta tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, sehingga membentuk suatu pengertian tentang hukum. Secara yuridis ruang lingkup agraria dimuat dalam UUPA, meliputi bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang lingkup agraria disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yaitu "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuban Yang Maha . Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional". Pengertian Hukum Agraria dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. 152 Kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum Agraria. Agraria terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis terdapat Hukum Adat yang berkaitan dengan agraria. Berdasarkan ruang lingkupnya, Hukum Agraria bukan merupakan satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber daya agraria. Boedi Harsono menyatakan bahwa kelompok bidang hukum dalam Hukum Agraria, yaitu: a. Hukum Tanah Hukum Tanah mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi. 152
Sudikno Mertokusumo – II,Penemuan Hukum, Op.Cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
b. Hukum Air Hukum Air mengatur hak-hak penguasaan atas air. c. Hukum Pertambangan. Hukum Pertambangan mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian. d. Hukum Perikanan Hukum Perikanan mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam Ruang Angkasa. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam- Ruang Angkasa mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA. 153 Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Hukum Agraria pada dasarnya adalah suatu hukum yang mengatur perihal tanah beserta segala seluk beluk yang. ada hubungannya dengan pertanahan, misalnya hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sebagainya. 154 Dari pendapat Boedi Harsono dan Purnadi Purbacaraka menunjukkan bahwa dalam Hukum Agraria tidak terdapat satu bidang hukum, melainkan berbagai bidang hukum yang di dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan. Bumi sebagai salah satu unsur dari agraria, meliputi permukaan bumi (tanah), termasuk pula tubuh bumi di bawahnya, serta bagian bumi yang berada di bawah air. Tanah merupakan pengertian yuridis dari permukaan bumi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, sedangkan tanah dalam pengertian hak adalah hak atas tanah yang mempunyai batas-batas dan berdimensi dua yaitu panjang dan lebar. Pengertian tanah dalam UUPA ada kesamaan dengan pengertian land dalam
153
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,,op cit, hal. 8. Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi – sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 9. 154
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5 National Land Code Malaysia 1965, yaitu : 1. the surface of the earth and all substances forming that surface; 2. the earth below the surface and all substances there in; 3. all vegetation and other natural product, whether or not requiring the priodical application of labour th their production, and whether on or below the surface; 4. all things attached to the earth or permanently fastened to any thing attached to the earth, wheter on or below the surface; and
Land covered by water Salah satu bidang dalam Hukum Agraria adalah Hukum Tanah. Effendi Perangin–angin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturanperaturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubunganhubungan hukum yang konkrit dengan tanah. 155 Pengertian hukum tanah yang lebih lengkap dikemukan oleh Boedi Harsono, yaitu: keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama,yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum yang konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. 156
Hukum Tanah sebelum Indonesia merdeka adalah Hukum Tanah Kolonial yang mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku Hukum Tanah Barat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Barat, dan
155
Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal.95.
Universitas Sumatera Utara
Hukum .Tanah Adat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat. Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hukum, Hukum Adat tentang tanah dijadikan dasar bagi pembentukan Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional. Supriadi menyatakan bahwa "Pembangunan Hukum Tanah Nasional secara yuridis formal menjadikan Hukum Adat menjadi sumber utama, sehingga bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional sumbernya tetap mengacu kepada Hukum Adat, baik berupa konsepsi, asas-asas, lembaga- lembaga hukum, dan sistem hukumnya.” 157 Unsur-unsur Hukum Tanah Nasional yang dimuat dalam UUPA, adalah : 1) Hukum Adat Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Adat sebagai unsur Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Pasal 5 UUPA, yaitu "Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama".
Hukum Adat yang menjadi dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional bukan Hukum Adat yang murni, melainkan Hukum Adat dengan 156
Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 31. Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 2.
157
Universitas Sumatera Utara
persyaratan dan pembatasan tertentu yang telah disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ketentuan lain dalam UUPA yang menunjukkan bahwa Hukum Adat sebagai unsur dalam Hukum Tanah Nasional, adalah Pasal 56, yaitu "Selama Undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan Hukum Adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak atas tanah yang memberi wewenang, sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.
Pasal 50 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa "Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan Undang-undang". Untuk mengisi kekosongan hukum tentang ketentuan Hak Milik ditetapkan oleh Pasal 56 UUPA, yaitu selama Undang-undang tentang Hak Milik belum terbentuk, maka berlaku ketentuan Hak Milik menurut Hukum Adat setempat. 2) Hukum Barat Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Barat sebagai unsur Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Dictum Memutuskan UUPA di bawah perkataan 'Dengan Mencabut" Angka 4, yaitu "Buku II Kitab Undangundang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini". Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
"Selama Undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan- ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937 —190".
Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 UUPA menetapkan bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dbebani Hak Tanggungan. Selanjutnya dalam Pasal 51 UUPA ditetapkan bahwa "Hak Tanggungan yang 'dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-undang. Hypotheek merupakan lembaga jaminan dalam Hukum Barat yang obyeknya dapat berupa tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Pemberlakuan Hypotheek yang obyeknya berupa tanah dengan maksud untuk mengisi kekosongan hukum selama Undang-undang tentang Hak Tanggungan belum terbentuk. Setelah berlangung selama 36 tahun sejak berlakunya UU PA, yaitu tanggal 24 September 1960, diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka Hypotheek yang obyeknya berupa tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Hypotheek yang obyeknya berupa tanah berlaku selama 36 tahun sejak diundangkan UUPA.
3) Hukum Islam Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Islam sebagai unsur dalam Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu "Perwakafan tanah Hak Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Universitas Sumatera Utara
Hak atas tanah tidak hanya direncanakan dan dipergunakan untuk keperluan Negara, tetapi juga dapat direncanakan dan dipergunakan untuk keperluan keagamaan, peribadatan, pendidikan, dan sosial. Lembaga wakaf tidak terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat, melainkan ada di dalam Hukum Islam. Dalam wakaf tanah Hak Milik terdapat perbuatan hukum oleh pemiliknya untuk menyerahkan tanah Hak Milik selama-lamanya guna kepentingan peribadatan, sosial, dan pendidikan. Dengan wakaf, maka terputus sudah hubungan hukum untuk selama-lamanya antara pemilik tanah dengan tanahnya. Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik. Perwakafan tanah Hak Milik yang diatur dalam Hukum Islam dimasukkan menjadi bagian dari Hukum Tanah Nasional melalui, pendaftaran wakaf tanah Hak Milik kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai tanda bukti pendaftaran wakaf tanah Hak Milik diterbitkan Sertipikat Wakaf T'anah Hak Milik oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Antara sistem hukum nasional, sistem hukum tanah nasional, hukum tanah nasional, dan Hak Pengelolaan mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan itu dapat dijelaskan, yaitu pada mulanya sistem hukum nasional adalah sistem hukum adat yang bersifat tidak tertulis. Dengan masuknya agama Islam di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, masyarakat hukum adat meresap agama Islam ke dalam hukum adatnya. Selanjutnya dengan masuknya Belanda yang menjajah Indonesia, maka hukum Barat diberlakukan kepada masyarakat Indonesia. Dengan demikian, sistem hukumnya adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat. Setelah Indonesia merdeka berubahlah sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber kepada Pancasila dan Undang -undang Dasar 1945. 158 Sistem hukum suatu bangsa - negara tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang terdapat dalam bangsa - negara yang bersangkutan. Lebih-lebih apabila bangsa - negara itu mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa atau negara lain. 159 Sistem hukum nasional menurut Sudikno Mertokusumo, “ 160 adalah keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut sistem hukum nasional”. Kemudian masih dikenal sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara. Selanjutnya dikenal sistem hukum keluarga, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan. Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, Riduan Syahrani mengemukakan bahwa : Seluruh peraturan hukum dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat berbagai macam bidang hukum yang masing masing mempunyai sistem sendiri-sendiri, sehingga ada sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, dan sebagainya. Kemudian dalam sistem hukum perdata (Barat), misalnya terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan, dan 158
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum, Op.Cit, hal. 57-64. Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan, Muh. Miftahudin, Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta : UII Press, 1992), hal. 33. 160 Sudikno Mertokusumo I, Mengenal Hukum, Op.Cit., hal. 116. 159
Universitas Sumatera Utara
sistem hukum pembuktian. 161
Dalam sistem hukum nasional, tidak hanya terdapat sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, tetapi juga sistem hukum internasional, sistem hukum administrasi, dan sistem hukum agraria. Dalam sistem hukum agraria terdapat sistem hukum tanah, sistem hukum air, sistem hukum kehutanan, sistem hukum pengairan, sistem pertambangan. Dengan demikian, sistem hukum tanah nasional merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum tanah nasional yang merupakan bagian dari sistem Hukum Agraria tersebut terdapat hak penguasaan atas tanah, pendaftaran tanah, pencabutan hak atas tanah, hak tanggungan, wakaf tanah hak milik, penatagunaan tanah, dan landreform. Dalam sistem hukum .tanah nasional terdapat hak penguasaan atas tanah, yang di dalamnya terdapat hak menguasai negara atas tanah, hak atas tanah, dan hak pengelolaan. Dengan demikian, hak pengelolaan sebagai bagian dari hak penguasaan atas tanah merupakan unsur, dalam hukum tanah nasional. Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem Hukum Tanah Nasional, adalah keseluruhan dari unsur-unsur, bagian-bagian, atau elemen-elemen yang merupakan kaedah dari Hukum Tanah Nasional yang berkaitan erat, berinteraksi, atau bekerja sama satu dengan yang lain. Kaedah-kaedah dalam Hukum Tanah Nasional sebagai unsur-unsurnya ada yang berasal dari Hukum Adat tentang tanah, Hukum Islam khususnya dalam wakaf tanah Hak Milik, dan Hukum Barat dalam ketentuanketentuan mengenai Hypotheek yang berakhir sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
161
Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
2. Konsep Hukum Tanah Nasional Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu 162 dengan tanah ulayatnya. Konsepsi hukum tanah adat adalah konsepsi asli Indonesia yang tertitik tolak dari keseimbangan antara kepentingan bersama dan kepentingan perseorangan. Oleh karena itu, dapat juga disebut sebagai konsepsi Pancasila 163 karena memposisikan manusia dan masyarakatnya dalam posisi yang selaras, serasi, dan seimbang dan tidak ada pertentangan antara masyarakat dan individu. Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut. 164
162 Van Vollenhoven, “Het Adatrecht van Nederlandsh Indie,” jilid 1 Bagian I (Leiden:E.J Brill, 19041933), hal.27. Dalam buku ini dikemukakan adanya 19 macam lingkungan hukum adat (rechtskring). Suatu deskripsi yang baik mengenai hubungan masyarakat hukum adat dengan lingkungan tanahnya terjadi di beberapa masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan. Masyarakat hukum adat tersebut merupakan kesatuan – kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Dalam hal ini lihat dalam Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1970). 163 Padmo Wahyono, Bahan – Bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1984), hal. 28-29. 164 Arie Sukanti Hutagalung, “Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2003), hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
Falsafat hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konspesi hukum tanah nasional yang menurut Boedi Harsono, terwakili dalam satu kata kunci, yaitu komunalistik religius. 165 Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. 166 Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan : “ seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Sementara itu, sifat religius konsepsi hukum tanah nasional terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan : “ seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa`adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. 167 Konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya menyangkut wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para
165
Ibid., hal. 23. Konsepsi hukum tanah nasional yang bersifat komunalistik religious ini disimpulkan oleh Boedi Harsono, dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA yang mengatur tanah hak bersama bangsa Indonesia, dihubungkan dangan ketentuan Pasal , Pasal 6, dan Pasal 16 ayat 1 UUPA yang mengatur hak-hak atas tanah. Hal ini berarti bahwa hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukum adat. Sunaryo Basuki, Diktat Hukum Agraria Jilid 1 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), hal. 2. Pembahasan lebih mendalam dapat dibaca dalam Boedi Harsono, “Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya dangan TAP MPR RI No.IX/MPR/2001,” (Jakarta: Universitas Trisakti, Maret 2002), hal. 49. 167 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit., Pasal 1 166
Universitas Sumatera Utara
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional, semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. 168 Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Tanah Barat dan Konsepsi Tanah Feodal, konsepsi hukum tanah barat berlandaskan konsepsi liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhannya masingmasing. Keadaan itu menimbulkan paham individualism yang ajarannya memberi tekanan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan pribadi, dimana menurut konsep Burgerlijk Wetboek (BW) dalam sistem hukum Belanda, hak perorangan disebut Hak eigendom sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. 169 Sebagai hak yang paling sempurna, pemilik Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain 170, artinya sebagian hak orang lain, hak eigendom atas tanah adalah merupakan hak prima yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan Tuhan baginya. Konsepsi ini tersirat dalam kalimat kedua dari Declaration Of Independence Amerika Serikat, dinyatakan antara lain : “…that all men are created equal..” dan dikaruniai hak-hak “Life, Liberty and pursuit of happiness.” 171 sedangkan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme 172 tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal dan religius. 168
Boedi, Sejarah, Op.Cit., hal. 229. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. Ke-31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 570. Ketentuan ini sempat berlaku di Indonesia (Hindia Belanda) sebagai daerah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka dan terbit UUPA, ketentuan buku II kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan mengenai Hypotheek dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dangan tanah yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dangan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. 170 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 69. 171 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta Selatan : Republika, 2008), hal.51 172 Ternyata konsep individualism liberal tersebut tidak membawa kemakmuran yang merata pada rakyat. Kemakmuran hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat yaitu yang memiliki tanah dan alat – alat produksi. Maka, timbulah pemikiran baru, yaitu bahwa Negara turut campur tangan dalam kehidupan ekonomi dan sosial yang dikenal konsep welfare state. Seiring dangan itu, muncul pula pemikiran berdasarkan konsepsi komunikasi 169
Universitas Sumatera Utara
Konsepsi tanah feodal juga tidak sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik raja 173. Semua tanah yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan raja adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak lagi menganut bentuk kerajaan, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ada pada negara sebagai pengganti kedudukan raja. 174 Berdasarkan pembahasan tentang sejumlah konsepsi di atas, tentu tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa konsepsi hukum tanah nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional selayaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan konsepsi yang lahir dan digali dari akar budaya nasional tanpa menutup diri dari perubahan-perubahan yang berlangsung sejak beberapa dasawarsa terakhir seperti era globalisasi, otonomi daerah, dan hak asasi manusia. Menurut Arie Sukanti Hutagalung 175 penyempurnaan Hukum Tanah Nasional juga diperlukan dalam menghadapi era globalisasi, yang dewasa ini sudah terasa pengaruhnya di bidang kegiatan-kegiatan yang memerlukan penguasaan tanah, misalnya ada tuntutan untuk lebih dipermudah cara memperoleh tanah yang diperlukan dunia usaha. Tata cara perolehan tanah kini sudah dipermudah, dengan
dangan kekuasaan absolute pada Negara. Lihat dalam Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 61-78 dan Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 146-223. 173
Seperti misalnya berlaku di Inggris, hak-hak penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak milik Raja tersebut, dengan sendirinya tidak ada yang setingkat hak milik, Muchtar Wahid, op cit, hal.54. 174 Arie Soekanti Hutagalung, Konsepsi,Op.Cit., hal. 31. 175 Arie Soekanti Hutagalung, Pergulatan Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional (Suatu Pendekatan Multidisipliner), (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2011), hal.108.
Universitas Sumatera Utara
dimungkinkannya perubahan Hak Milik yang sudah bersertifikat menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai secara langsung. Dalam hal suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas memerlukan tanah yang berstatus Hak Milik, tidak lagi perlu ditempuh tata cara permohonan hak baru berupa Hak Guna Bangunan yang diawali dengan acara pelepasan Hak Milik tersebut oleh pemiliknya yang memerlukan waktu dan biaya Konsepsi komunalistik religius yang telah dianut sejak 24 September 1960, di samping telah teruji hingga saat ini hendaknya perlu juga dilestarikan untuk mewujudkan cita-cita politik Agraria nasional yang tercantum dalam Pasai 33 Undang-Undang Dasar 1945. 176
3. Objek Hukum Tanah Nasional a. Hak Bangsa Indonesia Dalam Penjelasan UUPA disebutkan bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, juga menjadi hak bangsa Indonesia; jadi tidak semata-mata menjadi hak para pemiliknya saja. Demikian pula tanahtanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara. 177 Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoesia yang bersatu sebagai bangsa
176
Ibid., hal. 43. Arie Soekanti Hutagalung, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal. 20. 177
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. 178 Hal ini berarti bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesia. adalah hak bersama dari bangsa Indonesia (beraspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat. 179 Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur,yaitu sebagai berikut. 180 -
Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA) Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik dari konsepsi Hukum Tanah Nasional.
-
Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama tersebut.
Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu, penyelengaraanya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 181
178
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria,Loc.Cit. Ibid. 180 Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi, Op.Cit., hal. 17. 179
181
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Aspek Publik ini tercermin dari adanya kewenangan Negara untuk mengatur tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas Kewewenangan ini dilaksanakan oleh negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 182 Bumi , air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagian-bagian atau bidang-bidang tanah hak bersama tersebut dapat diberikan kepada orang dan badan hukum dengan dikuasai dalam bentuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai. Pemberian hak tersebut terkait dengan subjek pemegang haknya. Dalam hal ini menurut undang-undang kewarganegaraan yang dimaksud dengan orang-orang yang termasuk warga negara Indonesia atau rakyat Indonesia disebut Warga Negara Indonesia (WNI). Setiap warga negara Indonesia tidak dibedakan menurut asal keturunannya (asli atau keturunan asing) maupun tidak dibedakan jenis kelaminnya (pria atau wanita). 183 Ketentuan ini menjadikan setiap warga negara Indonesia yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh bidang182 Undang-Undang dasar 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Namun, pasal 33 Ayat (3) tidak mengalami perubahan. Berdasarkan amandemen ke empat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ditambah menjadi lima ayat. Indonesia, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33.
183
Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dangan undang-undang sebagai warga negara. Maksud “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Indonesia, undang-undang tentang kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006, LN No. 63 Tahun 2006, TLN No. 4634, Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
bidang tanah sesuai dengan kebutuhannya. 184 Bidang tanah tersebut dapat dimiliki dalam bentuk hak milik sebagai hak atas tanah yang tertinggi maupun dengan hakhak atas tanah lainnya, sesuai dengan keperluan subjek pemegang haknya. Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang bersifat abadi dan merupakan kekayaan nasional. 185 Hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasan atas tanah yang lain yaitu hak, menguasai negara dan hak-hak perorangan atas tanah. 186 b. Hak Menguasai Negara Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia membentuk negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap tanah air Indonesia dan melaksanakan tujuan bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. 187 Untuk melaksanakan tujuan tersebut, negara Republik Indonesia mempunyai hubungan hukum dengan tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia agar
184
Indonesia, Undang-Undang Pokok Pokok Agraria, Op.Cit.,Pasal 9 Boedi, Sejarah, Op.Cit.,hal. 269.
185
186
Ibid.
187
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit., Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
dapat memimpin dan mengatur tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia atas nama Bangsa Indonesia melalui peraturan perundangundangan, yaitu UUPA dan peraturan pelaksanaannya. 188 Hubungan hukum tersebut dinamakan Hak Menguasai Negara. Hak ini tidak memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya seperti hak`atas tanah karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini negara berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa. 189 Penguasaan negara atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia bersumber pula pada Hak Bangsa Indonesia yang meliputi kewenangan negara dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu: 190 a.
Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang
188
Ibid. Boedi, Sejarah, Op.Cit.,hal. 270-278.
189
Universitas Sumatera Utara
dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan – perbuatan hukum yang mengenai bumi ,air, dan ruang angkasa. Dengan rincian kewenangan mengatur, menentukan, dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam Pasal 2 tersebut, oleh UUPA diberikan suatu interpretasi autentik mengenai hak menguasai dari negara yang dimaksudkan oleh UndangUndang Dasar 1945 sebagai hubungan hukum yang bersifat publik semata – mata. Dengan demikian, tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar tersebut.
PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945 SEBELUM AMANDEMEN SETELAH AMANDEMEN Ayat (1) Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan kekeluargaan Ayat (2) Ayat (2) Cabang – cabang produksi yang Cabang – cabang produksi yang penting penting bagi Negara dan menguasai bagi Negara dan menguasai hajat hidup hajat hidup orang banyak dikuasai oleh orang banyak dikuasai oleh Negara Negara Ayat (3) Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk Negara dan dipergunakan untuk sebesar sebesar – besarnya kemakmuran – besarnya kemakmuran rakyat. 190
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
rakyat. Ayat (4) Perekonomian nasional diselengarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Konsep ini berbeda dengan hubungan hukum yang bersifat kepemilikan antara negara dengan tanah berdasarkan alas domein verklaring 191 dalam Hukum Tanah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda yang telah dicabut dalam UUPA. Asas domein verklaring yang dipergunakan sebagai dasar dari perundangundangan agraria yang berasal dari pemerintah jajahan tidak dikenal dalam UUPA. Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas dari negara yang merdeka dan modern. Berkaitan dengan ini, asas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan domein", yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874-94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut. UUPA berpangkal pada' pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun
191
Ibid, hal 42. Domein verklaring/pernyataan domein dimaksudkan untuk menegaskan bahwa satusatunya penguasa yang berwenang memberikan tanah – tanah yang dimaksudkan tersebut kepada pihak lain
Universitas Sumatera Utara
Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa. 192 4. Prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasional Prinsip hukum atau asas hukum yang dalam Bahasa Belanda disebut rechts beginsel dan dalam Bahasa Inggris disebut principle of law. Henry Campbell Black memberikan pengertian tentang prinsip adalah “a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others ". 193 Bruggink J.J.H menyatakan bahwa asas / prinsip hukum adalah nilai-nilai yang melandasi norma hukum. 194 Selanjutnya Bruggink J.J.H menyetir pendapat Paul Scholten yang menyatakan bahwa asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundangundangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuanketentuan dan keputusan – keputusan individual. George Whitecross Paton menyatakan bahwa “A principle is the broad reason, which lies at the base of rule of law.” 195 Ronald Zelfianus Titahelu menyatakan bahwa sebagai nilai dasar, prinsip
adalah Pemerintah. Domein verklaring ini menjadi landasan hukum bagi pemerintah sebagai pemilik tanah. Pemberian tanah dilakukan dangan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima hak. 192 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit., Penjelasan 193 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, A Bridged Sixt Edition, (Minn : West Publishing, 1991), hal.828. 194 Bruggink, , Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit, hal.121. 195 George Whitecross Paton, A Textbook of Jurisprudance, (Oxford : University Press, 1969), hal. 204.
Universitas Sumatera Utara
hukum memiliki nilai dasar sebagai: 196 a. Pokok yang menguasai isi dari setiap hubungan hukum; b. Pokok yang memberi makna bagi setiap figur hukum; c. Pokok yang menjadi dasar system penentu nilai (waarde bepalende system) dan dasar system penentu pengertian. Menurut Bruggink J.J.H., kaedah hukum dapat dibedakan dalam kedudukannya sebagai kaedah perilaku dan sebagai mata kaedah. Kaedah perilaku adalah kaedah yang ditunjukkan pada perbuatan warga suatu masyarakat tertentu, dalam artian kaedah tersebut memuat perintah perilaku (gedragsvoorschrift), sedangkan mata kaedah dipahami sebagai kaedah yang berkenaan dengan keberadaan dari kaedah perilaku. 197 Hal yang senada juga dikemukakan oleh HLA Hart yang membedakan aturan hukum sebagai Primary rules (untuk kaedah perilaku) dan secondary rules (untuk mata kaedah). 198 Sebagai kaedah perilaku, aturan hukum di dalamnya akan dapat berisi kaedah yang digolongan sebagai kaedah perintah (gebod), larangan (verbod), pembebasan (vrijstelling, dispensasi), dan izin (toestemming). 199 Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum dan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. 200 selanjutnya Satjipto Rahardjo mengutip pendapat dari George Whitecross Paton, yaitu asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum ini pula yang membuat 196 Ronald Zelfianus Titahelu, Penetapan Asas-asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat Op.Cit, hal. 12. Seperti dikutip Ronald Zelfianus Titahelu. “Penetapan Asasasas Hukum Umum dalam Pengguanaan Tanah Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat (Suatu Kajian Filosofi dan Teori Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia”, disertasi (Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga, 1993), hal. 92 197 Bruggink J.J.H, Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit De Rechtstheorie, Op.Cit, hal. 121. 198 Hart HLA, The Concept Of Law, (Oxford : Clarendon Press, 1961), hal. 92. 199 Bruggink J.J.H., Op.Cit, hal 100-101.
Universitas Sumatera Utara
hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan belaka, karena asas mengandung nilai-nilai dan tuntunan-tuntunan etis. 201 Brugging J.J.H. menyatakan bahwa prinsip hukum adalah kaedah yang memuat ukuran (kriteria) nilai. Prinsip hukum berfungsi sebagai mata kaedah terhadap kaedah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan hukum dan wilayah penerapan aturan tersebut. 202 Peranan prinsip hukum dalam kedudukannya sebagai dasar atau pedoman dalam pembentukan aturan hukum dikemukakan oleh van Eikema Hommes yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu prinsip hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkrit, tetapi dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. 203 Suatu prinsip hukum berubah menjadi aturan hukum, bukan berarti prinsip hukum itu akan kehilangan kekuatannya. Prinsip hukum akan tetap hidup sebagai prinsip hukum walaupun telah melahirkan dan atau terumuskan dalam aturan hukum. Oleh karena itu, prinsip hukum akan dapat terus melahirkan aturan aturan hukum lainnya. 204 Y.Sogar Simamora menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum diperlukan sebagai dasar dalam pembentukan aturan sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia
200
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 45. Ibid. 202 Bruggink J.J.H., Op.Cit, hal.123. 203 Sudikno Mertokusumo-II, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Op.Cit, hal. 5. 204 George Whitecross Paton, Op.Cit, hal. 85. 201
Universitas Sumatera Utara
tidak memadai. 205 Prinsip hukum atau asas hukum merupakan salah satu obyek terpenting dalam kajian ilmu hukum. Pembahasan tentang prinsip hukum lazimnya disandingkan dengan aturan hukum atau kaedah hukum untuk memperoleh gambaran yang jelas menyangkut perbedaannya. 206 Prinsip hukum dalam ilmu hukum mempunyai peran yang sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan aturan hukum. Prinsip hukum dan aturan hukum merupakan elemen dari sistem hukum. Oleh karenanya, antara prinsip hukum dan aturan hukum memiliki keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut George Whitecross Paton yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, 207 ada keterkaitan antara prinsip hukum dan aturan hukum. Beliau menyampaikan ada 2 (dua) hal penting dalam memahami hubungan antara prinsip hukum dan aturan hukum yaitu pertama, prinsip hukum merupakan landasan yang luas bagi lahirnya suatu aturan hukum. Aturan-aturan hukum itu pada akhimya dapat dikembalikan pada prinsip-prinsip hukum tersebut. Ini berarti materi dari aturan hukum itu harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip hukum yang menjadi dasar lahirnya atau sumber dari aturan hukum tersebut. Setiap konflik norma yang ada dalam setiap aturan hukum, penyelesaiannya harus dikembalikan pada prinsip , hukum. Kedua, prinsip hukum merupakan rario legis, alasan bagi lahirnya suatu aturan hukum. Prinsip hukum tidak hanya dapat melahirkan satu aturan hukum saja, tapi bisa lebih
205 Yohanes Sogar Simamora, “Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah”, disertasi, (Surabaya : PPS Unair, 2001), hal. 22. 206 Ibid, hal. 23. 207 Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, Op.Cit. hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
dari satu. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan pendapatnya bahwa asas hukum atau prinsip hukum dapat saja timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian diadopsi oleh pembuat Undang-undang, sehingga menjadi aturan hukum, akan tetapi tidak semua asas atau prinsip hukum dapat dituangkan menjadi aturan hukum. 208 Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas atau prinsip hukum bukanlah merupakan peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. 209 Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkret. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan- ketentuan konkret itu. 210 Dalam kaitannya dengan peran dari prinsip hukum dalam menyelesaikan persoalan hukum, Yohanes Sogar Simamora menyatakan bahwa aturan hukum diperlukan untuk menjawab persoalan hukum. Realitas menunjukkan bahwa tidak setiap persoalan hukum dapat dipecahkan hanya mengandalkan aturan hukum, ada
208
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, Majalah YURIDIKA, Vol. 18 No. 3, (Surabaya : FH Unair, 2003), hal.193. 209 Sudikno Mertokusumo-I, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Op.Cit, hal. 34. 210 Ibid, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
persoalan hukum yang harus ditemukan jawabannya melalui prinsip hukum. 211 Dari uraian di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya prinsip hukum dalam kaitannya dengan aturan hukum. Pentingnya prinsip hukum tersebut dalam hal: a. pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting); b. penyelesaian kasus atau perkara yang penyelesaiannya melalui pengadilan; c. dalam penyelesaian suatu kasus atau perkara hukum, ternyata tidak dijumpai adanya aturan hukum. Dalam keadaan ini, prinsip hukum berperan mengisi kekosongan hukum dengan cara memberikan dasar hukum bagi hakim untuk memberikan putusan. UUPA diundangkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA mencabut peraturan dan keputusan yang berkaitan dengan agraria yang dibuat oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Muchsin dkk menyatakan bahwa dicabutnya peraturan oleh UUPA dan dinyatakannya Hukum Adat sebagai dasar Hukum Agraria Nasional, adalah dalam rangka mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan hukum tersebut. 212 Sampai sekarang masih ada orang yang mempermasalahkan dan mempertanyakan hubungan Hukum Adat dengan UUPA, yakni Hukum Adat manakah yang dimaksud oleh UUPA tersebut? Hukum adat dimaksud UUPA adalah : 1) Formal : “…bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis di kalangan orang-orang Indonesia asli yang mengandung ciri-ciri nasional, yaitu…” 2) Materil : “…sifat kemasyarakatan yang berasaskan keseimbangan dan diliputi suasana keagamaan.” 213 211
Yohannes Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak, Op.Cit, hal.23. Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Dalam Prespektif Sejarah, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal. 50. 212
213
Dengan pengertian yang demikian, maka apa yang disebut Hukum Adat tidak harus diartikan semata-mata sebagai rangkaian norma-norma hukum saja, akan tetapi meliputi juga :
Universitas Sumatera Utara
Hukum Tanah Nasional diatur dalam UUPA memuat prinsip hukum dan aturan hukum yang menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan di bidang pertanahan dan memutuskan kasus atau perkara di bidang pertanahan. UUPA sebagai peraturan dasar yang mengatur pokok-pokok keagrariaan dan merupakan landasan Hukum Tanah Nasional tidak memberikan pengertian yang tegas baik mengenai istilah “tanah” maupun istilah “agraria”. 214 Untuk mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogianya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria. Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Menurut Maria S.W. Sumardjono 215, prinsipprinsip dasar pembaruan agraria tersebut adalah: a. menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber agraria merupakan hak ekonomi setiap orang; b. unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme); c. keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antargenerasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya); d. fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas; e. penyelesaian sengketa pertanahan; f. pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan manajemen sumber-sumber agraria; g. transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan; h. landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-
a. b. c. d.
Konsepsi (ajaran, teori) Asas-asas (yang merupakan perwujudan dari konsepsi) Lembaga –lembaga hukum Sistem (tata susunan yang teratur), Arie Sukanti, Pembentukan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional, hal.15). 214
Dari ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (4), (5), dan (6) jo Pasal 2 ayat (1) UUPA dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Agraria mengandung makna yang luas, yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 215 Maria S.W Sumardjono, Transitional Justice atas Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM, 2001), hal.4.
Universitas Sumatera Utara
sumber agraria; i. usaha-usaha produksi di lapangan agraria; j. pembiayaan program-program pembaruan agraria. Tidak jauh berbeda dari prinsip-prinsip di atas, ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menetapkan duabelas prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, sebagai berikut: a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasikan keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat; f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pernanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan, daya dukung lingkungan; h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam; k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, Kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, Kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Dimuatnya keduabelas prinsip pembaruan agraria tersebut dalam Ketetapan MPR mengharuskan prinsip-prinsip itu dijadikan acuan dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini membawa konsekuensi terhadap perlunya upaya pengkajian ulang dan harmonisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, yaitu melakukan upaya pencabutan, penggantian, atau penyempurnaan undang-undang
Universitas Sumatera Utara
sektoral di bidang keagrariaan. 216 Dalam kaitannya dengan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya dalam hal penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA, maka seyogianya undangundang itu mengacu pada prinsip-prinsip 217: a. prinsip kebangsaan; b. hubungan hukum antara negara, pemerintah, masyarakat, dan individu dalam kaitannya dengan sumber daya agraria; c. pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, baik dalam dimensi global, dimensi nasional, maupun dimensi regional; d. prinsip landreform; e. prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah; f. akomodasi hukum adat (pluralisme dalam unifikasi hukum); g. fungsi sosial dan fungsi ekologis atas sumber daya agraria; h. prinsip keadilan, baik keadilan antargenerasi maupun keadilan gender dalam perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria; i. pemberlakuan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan sumber daya agraria. Prinsip-prinsip di atas merupakan reorientasi atas prinsip-prinsip yang terdapat dalam UUPA selama ini, dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Tap MPR tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan mengacu pada falsafah bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sinergi yang baik antara prinsip-prinsip UUPA yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria, diharapkan dapat mencapai tujuan penyempurnaan UUPA, yaitu keadilan, efisiensi, serta pelestarian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Atas dasar prinsip-prinsip pembaruan agraria di atas, maka Pasal 5 Tap MPR No. IX/MPR/2001 menetapkan arah kebijakan pembaruan agraria sebagai berikut. a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; b. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; c. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan 216
Maria S.W Sumardjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, Surat Kabar harian Kompas, Jakarta, 24 September 2001, hal. 2. 217 Maria S.W Sumardjono, Menggagas ulang Penyempurnaan UUPA sebagai Pelaksanaan TAP MPR-RI NO. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Yogyakarta, 21 September.
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; d. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi; f. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi. Selanjutnya, menurut Maria S.W. Sumardjono 218, apabila arah kebijakan pembangunan dipandang sebagai "raga," maka prinsip-prinsip pembaruan agraria perlu diakomodasi sebagai landasan yang akan berfungsi sebagai "jiwa" yang akan menjadi dasar untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang berlandaskan pada konsep pembaruan agraria harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut 219 : a. Cara pandang dan tindakan berkenaan dengan tanah. Tanah tidak boleh diperlakukan secara eksklusif, tetapi harus dilihat sebagai satu subsistem dari keseluruhan sistem berkenaan dengan penguasaan/pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam dan dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria tersebut di atas. Dengan demikian, dapat dihindarkan tumpang tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan sektoral. Pembaruan agraria memerlukan reformasi di bidang hukum yang terkait dengan sumber daya agraria/sumber daya alam. b. Karena di masa yang akan datang kesempatan untuk menggantungkan hidup dari sumber-sumber pertanian akan semakin berkurang, maka untuk mendukung pembaruan agraria, pelaksanaan program pembaruan agraria perlu dilengkapi dengan penciptaan sumber pendapatan dan peluang kerja, di samping program pendukung lainnya. c. Berbagai konflik untuk memperebutkan sumber daya alam antarberbagai kelompok kepentingan akan semakin meningkat, baik dalam skala lokal maupun regional. Perlu diupayakan cara-cara penanggulangannya. d. Dengan semangat otonomi, perlu meningkatkan tanggung jawab daerah dalam merancang bersama alokasi dan penatagunaan tanah. e. Untuk mendorong pelaksanaan pembaruan agraria, diperlukan keberadaan suatu lembaga yang berkomitmen dan bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaannya, dengan dukungan pembiayaan yang memadai. f. Pendekatan, sikap, dan perlakukan terhadap hukum adat dan masyarakat 218
Maria S.W Sumardjono, Arti Strategis Pembaruan Agraria, sebagai landasan pembangunan, makalah pada seminar dan lokakarya nasional Pengelolaan SDA berkelanjutan yang ramah lingkungan dan Pembaruan Agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, (Bandung: ITB-UNPAD, 2001), 14-16 September, hal.9. 219 Ibid, hal.9-10.
Universitas Sumatera Utara
hukum adat. Perlu pendekatan baru dalam menyikapi hukum adat pada saat kini dengan memperhatikan kecenderungan global, nasional, dan lokal dalam upaya mengakomodasi prinsip-prinsip hukum adat ke dalam tatanan hukum positif. Hak masyarakat hukum adat atas tanah milik bersama, hak cipta serta hak-hak lain yang terkait dengan pengetahuan tradisional masyarakat hukum adat yang bersangkutan, harus dihormati dan dilindungi oleh hukum positif. Pada intinya, keduabelas prinsip pembaruan agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 itu, jika diringkas akan berpangkal pada tiga prinsip utama 220 : a. prinsip demokratis, dalam dimensi kesetaraan antara pemerintah dengan rakyat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan good governance dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria; b. prinsip keadilan, dalam dimensi filosofis baik keadilan intergenerasi maupun keadilan antargenerasi dalam upaya mengakses sumber daya agraria; c. prinsip keberlanjutan, dalam dimensi kelestarian fungsi dan manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna. Ketiga prinsip utama sebagai rangkuman dari dua belas prinsip pembaruan agraria di atas, saling terkait, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Manakala berbicara prinsip demokrasi, maka terkandung di dalamnya makna prinsip keadilan. Manakala berbicara prinsip keadilan, terkandung di dalamnya makna prinsip keberlanjutan. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara. Sementara itu, dalam pemahaman empiris (procedural democracy), merupakan demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis. Keadilan adalah ukuran yang dipakai dalam memperlakukan objek (manusia) di luar diri seseorang. Ukuran tersebut tidak dapat dilepaskan dari arti yang diberikan pada manusia. 221 Sementara itu, memahami keberlanjutan dalam kaitannya dengan lingkungan alam akan selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini ada syarat keharusan (necessary condition) bagi keberlanjutan ekonomi yang harus dipenuhi, yaitu bahwa lingkungan alam tempat perekonomian itu berkembang harus dijaga agar terus menerus memberikan manfaatnya. 222 Dengan kegiatan perekonomian yang berkelanjutan dan dilakukan dengan mengacu pada norma-norma yang demokratis, maka keadilan dalam kegiatan ekonomi pun dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut H.S. Dillon 223, berbicara mengenai demokrasi berarti berbicara mengenai kemerdekaan dan kesetaraan, karena kemerdekaan dan kesetaraan 220
Maria S.W Sumardjono, Transisional, Op Cit, hal. 7. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op Cit, hal.165. 222 Azis Khan, Pengelolaan Sumber Daya Alam: Ruang Kompromi dan Harmonisasi Kepentingan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan: dalam Harijadi Kartidihardjo. dkk., Dibawah satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Suara Bebas, cet.I edisi revisi, 2005), hal. 83. 223 H.S. Dillon, Pembaruan Agraria sebagai alat demokrasi HAM, keadilan di Indonesia, makalah pada semiloka Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, (Bandung, 2001), hal. 4. 14-16 September. 221
Universitas Sumatera Utara
adalah prinsip dasar demokrasi. Kemerdekaan berarti bebas dari hegemoni politik dan (ketergantungan) ekonomi. Kesetaraan berarti bebas dari diskriminasi atas kesetaraan hak dan peluang, artinya demokrasi bertujuan untuk menegakkan keadilan, yang bermakna diakhirinya segala bentuk diskriminasi terhadap manusia dan alam semesta. Dalam hal ini pengertian demokrasi bukan lagi sekadar berbicara mengenai format demokrasi politik formal, melainkan menurut H.S. Dillon juga mencakup format demokrasi ekonomi untuk peningkatan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Jika diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, maka hal ini berarti membebaskan rakyat dari keterbelengguan, dan menuju penguatan otonomi rakyat di segala bidang (ekonomi, politik, sosial-budaya, dan sebagainya). Dalam konteks permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini, maka demokrasi harus dapat mengakhiri dan/atau mengoreksi ketidakadilan struktural dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya yang terjadi sebagai warisan pemerintahan orde baru dan hingga kini masih kerap terjadi. Dari sisi hak asasi manusia, hal di atas merupakan bentuk pelanggaran massal atas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya terbesar bagi rakyat Indonesia yang termarjinalkan oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan negara di bidang tanah dan sumber daya agraria/alam. Baik dalam Article 25 dari international Convenant on Economic, Social and Cultural Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, maupun dalam Article 47 dari International Convenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sama-sama menegaskan bahwa: Nothing in the present convenant shall be interpreted as impairing the inherent rights of all peoples to enjoy and utilize fully and freely their natural wealth and resources. Atas dasar kedua ketentuan dalam kedua buah konvenan di atas, maka dalam kaitannya dengan aspek hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, pelaksanaan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak-hak yang melekat pada seluruh masyarakat untuk menikmati secara penuh dan bebas atas kekayaan dan sumber daya alam mereka. Atas dasar kondisi di atas, tidak mungkin membangun demokrasi dan keadilan tanpa upaya pembaruan agraria sehingga pembaruan agraria merupakan suatu keniscayaan bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia, bahkan bagi negara yang meskipun pemerintahnya mempraktikkan paradigma modernisasi. 224 Jika dipahami bahwa pembaruan agraria merupakan suatu upaya merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, maka ketiga prinsip utama di atas harus menjadi landasan 224
Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria: Perjalanan yang belum berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, cet.I, 2001), hal.4.
Universitas Sumatera Utara
segala upaya restrukturisasi. Dalam hal prinsip demokratisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, hal tersebut ditentukan oleh sejauh mana peran serta masyarakat dapat tumbuh dan berkembang secara adil. Dalam hal ini peran serta masyarakat harus ditafsirkan sebagai hak dasar dari rakyat untuk terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses perumusan kebijakan. Keterlibatan itu dapat dimulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahap pengawasan. Pemahaman demokrasi tidak dapat disederhanakan hanya sebagai mekanisme pengambilan kebijakan saja, lebih dari itu. 225 a. Demokrasi itu berkaitan dengan input atau sumber-sumber aspirasi, gagasan, dan potensi. Dari mana aspirasi digali, siapa yang mengontrol sumber daya yang ada yang akan menjadi input proses pembangunan. b. Demokrasi itu berkaitan dengan proses, yakni tentang bagaimana pengambilan keputusan dilakukan, siapa yang terlibat dan bagaimana proses tersebut dijalankan. c. Demokrasi juga berkaitan dengan output, artinya bagaimana output dari suatu proses didistribusikan. Siapa yang paling mempunyai akses untuk mengontrol distribusi. Ketiga pemahaman demokrasi di atas merupakan segi-segi dasar dari proses demokrasi itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan ketiga pemahaman demokrasi tersebut, dapat dilihat misalnya, apakah pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya sudah mencerminkan keadilan, atau bagaimana pola hubungan antara penguasa dengan rakyat dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria. Demokratisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria tidak mungkin dilaksanakan jika hak-hak masyarakat terutama masyarakat hukum adat dan lokal yang selama ini tertindas, tidak diupayakan untuk dipulihkan. Akses masyarakat terhadap sumber daya agraria harus dibuka lebar untuk mewujudkan keadilan agraria sebagai kata kunci pembaruan agraria. C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun 1. Hukum Pertanahan di Simalungun Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda menginjakkan kakinya di daerah Simalungun, mereka sudah punya hubungan politik dengan beberapa kesultanan di daerah Pantai Sumatera Timur, misalkan Kesultanan Deli Serdang, Langkat, Asahan dan Labuhan Batu. Kontrak yang mereka lakukan disebut “kontrak panjang” dan investor-investor asing (Nederland) juga dibawa dalam bidang perkebunan, seperti Deli Maatschapij, penghasil cerutu (tembakau pembungkus cerutu) 226 225 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara: Kajian kritis atas kebijakan otonomi daerah, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Umum, cet.I, 2001), hal.47. 226 Djariaman Damanik, Berpikir Multi Disiplin, Belajar dari Sejarah, (SL:SN ,2006), hal.110
Universitas Sumatera Utara
Kolonel van Dalen (pemimpin marsuse Belanda) mulai memasuki Sibayak, tanah Karo, melalui perbukitan Dairi, sementara Snouck Hurgronje menaklukkan Aceh. Pada pertengahan abad XIX (1860), Pemerintah Hindia Belanda sudah menduduki Sibolga (sebelah Barat daerah Simalungun). Raja-raja di Simalungun hanya diakui sebagai “pemimpin / partongah”, sebagai primus interparis. Partongah secara turun-temurun diberikan kepada anak laki-laki tertua. Tanggung jawab raja sangat mulia dan besar, padanya ada kharisma (sahala) sehingga semula digelari “Tuhan” (yang disembah). “naniminakan ni Naibata” (yang diminyaki oleh Tuhan). Tahun 1907, dikenal tahun masuknya Belanda ke Simalungun dimana Simalungun dengan Raja Marompatnya, yaitu Kerajaan Siantar, Tanah Jawa, Panei dan Dolog Silau. Pemerintahan Hindia Belanda selalu mengabaikan lembaga raja marompat, tidak diakui, lebih jauh lagi empat kerajaan ini dimekarkannya menjadi tujuh (kerajaan, raja Napitu). Filosofi adat “Habonaran do bona” (veritas est Alpha), artinya kebenaran adalah awal segala sesuatu, maknanya : aturan dalam hidup manusia harus mengacu kepada Yang Maha Kuasa. Dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya tumbuh dan timbul apa yang disebut “hukum kepatutan” dalam masyarakat Simalungun, menurut paradigma masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Disamping aturan hukum adat berbasiskan kekeluargaan “Tolu Sahundulan Lima Saodoran” ada dan berlaku hukum adat mengenai pertanahan secara sederhana. Dalam masyarakat Simalungun dikenal juga lembaga-lembaga di tingkat bawah (lingkaran daerah territorial paling kecil) yang disebut “huta”, tempat pemukiman yang disebut “parhutaan”. Di sekeliling “Huta” terdapat tanah pertanian penduduk, tanah penggembalaan, hutan lindung, biasanya ada daerah aliran sungai sebagai tempat pemandian/ tapian sekaligus sebagai tempat untuk dijadikan bongbongan (tambak atau kolam pemeliharaan ikan) kebutuhan masyarakat huta. Jadi ada sejumlah aset kepunyaan dari “Huta” itu untuk dijadikan sumberdaya alam demi eksistensi penduduk desa bersangkutan, tanah pertanian, hutan, aliran sungai yang melintas tanah kepunyaan huta itu, merupakan “tanah ulayat huta” dalam arti luas. Bila huta itu berfungsi sebagai tempat kediaman Partuanon/ Parbapaan, maka huta itu menyandang sebutan “Pamatang” Jadi “Huta” atau “Pamatang” mempunyai daerah teritorial sendiri yang menjadi landasan hidupnya secara materil demi eksistensinya untuk seterusnya. Jadi dapat dipahami betapa nilai dan harga materil dan sprituil dari lingkungan hidupnya itu bagi masyarakat adat setempat. Boleh disimpulkan itulah hidupnya, tanpa tanah dan air serta hutan bagaimana dapat menghidupi keluarganya? Itulah keseluruhan yang dimilikinya, bila itu sudah tidak ada lagi, maka ia sudah tidak punya akar
Universitas Sumatera Utara
penghidupan di daerahnya sendiri. Suasana inilah yang dijumpai sebelum masuknya pemerintahan penjajahan Belanda ke Simalungun. Bagaimana sikap pemerintahan penjajahan terhadap keberadaan masyarakat dan hak pertanahannya masa silam. Dengan singkat dapat dikemukakan 227, bahwa pemerintahan Hindia Belanda benar-benar memarginalkan hukum adat pertanahan di Simalungun dengan memperalat pemerintahan “zelfbestuurders/ swapraja Simalungun”. Semua perilaku kebijaksanaannya, melulu demi kepentingan tuan-tuan dari maskapai-maskapai Belanda atau asing; untuk mencapai tujuannya itu memakai golongan penduduk dari luar daerah ke Simalungun dengan tidak memperdulikan hak-hak pertanahan yang sudah berlaku berabad-abad di Simalungun. Pada tahun-tahun 1910-1920an, dikeluarkanlah tanah-perkampungan (tanahtanah ulayat) dari kekuasaan raja-raja Simalungun yang didudukkan mereka sebagai “domeinheer” tanah-tanah termasuk hak ulayat rakyat/ penduduk asli (otokton) Simalungun. 228 Perlu dicatat bahwa ada pertentangan prinsipil antara Pemerintahan Hindia Belanda sebagai penganut dan pencipta “Domein teori” dengan para Sarjana Hukum Adat (van Vollenhoven dan Ter Haar). Disamping perbedaan yang ada, juga ada persamaan, yaitu pendirian bahwa “Alle gronden, zowel bebouwde en onbebouwde behoren aan de gemeente” (semua tanah yang sudah dikerjakan oleh rakyat dan tanah-tanah yang belum digarap rakyat, adalah kepunyaan Gemeente, yang artinya masyarakat keseluruhan). Penguasa desalah yang mengurus hal-hal/ perkara yang berkenaan dengan tanah atau pertanahan di lingkungan desanya. 229 Daftar “Historical Injustices” 230 di Daerah Simalungun Tahun 1906/07-1945 Selama Penjajahan Belanda dan Jepang. Di Bidang Politik Pertanahan. a. Memberlakukan “Vorstelijke Domein Verklaring” atas tanah yang sudah maupun yang belum diolah di lingkungan hak ulayat atau hak Partuanon Urung, Partuanon Parbapaan, Partuanon Huta.
227
J. Tideman (Assisten-Resident Simalungun dan Karo): “Simeloengoen, Hetland der Timoer-Bataks...”, (Leiden:Van Doesburg, 1922), [(s:a)]. 228 Djariaman Damanik, op cit, hal. 114 229 Ibid, hal.115 230 Ibid, hal.116
Universitas Sumatera Utara
b. Memfasilitasi pendatang-pendatang ke daerah Simalungun, dalam rupa pemberian tanah-tanah subur secara gratis untuk pembukaan sawah-sawah, kepentingan perkebunan dan perkotaan, tanpa mengindahkan pembinaan atau pengembangan SDM setempat. c. Rekrutering pegawai-pegawai pemerintahan Hindia Belanda, perkebunan, swapraja dari kalangan para pendatang tanpa mempertimbangkan penduduk setempat yang masih uneducated sedang mereka adalah juga manusia-manusia yang deserve kemajuan dan kesempatan dalam pembangunan di semua aspek kehidupan di daerahnya. Dengan singkat, kepentingan penduduk setempat yang otokton dikesampingkan, melulu mengedepankan kepentingan dan keuntungannya sendiri sebagai penjajah. d. Terasa sekali perilaku yang diskriminatif terhadap para pendatang atas penduduk asli (otokton) dibelakangkan, karena “sesama pendatang” ke daerah Simalungun, sekaligus memberlakukan politik devide et impera (peristiwa pengangkatan Hoofd der Tobasche zaken) e. Sikap dan pendirian RMG pun berjalan paralel dengan Pemerintahan Hindia Belanda, terhadap penduduk asli Simalungun yang masih “heiden” atau Islam. f.
Orang-orang pendatang, khususnya dari Tapanuli tidak memberlakukan hidup perantau “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”, kadang-kadang menunjukkan sikap yang arogan memarginalkan orang-orang Simalungun.
g. Kapan kesenjangan-kesenjangan dan sikap arogansi itu dapat diatasi dan sekaligus mencegah konflik-konflik yang tidak diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam buku J. Tideman 231: “Simeloengoen, Het land der Timoer-Bataks in zijz vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het culturgebied van de Oostkust van Sumatra”: “De grond kon niet als eigendom van het Gouvernement beschouwd worden, zodat geen regeling kon worden getroffen, welke de gemeente het recht gaf titels daarop uit te geven (rekayasa)”. “De oplossing zal worden gevonden door eene schenking van de grond door het zelfbestuur van Siantar aan het Gouvernement, warrna de grondpolitiek binnen de gemeente in de juiste banen kan worden geleid”. (Artinya, Tanah tidak bisa dianggap sebagai hak milik, oleh karena itu tidak ada peraturan dapat diterapkan termasuk juga di mana Pemerintah Kodamadya memberikan title “hak atas tanah” tersebut. Penyelesaian akan ditentukan oleh penyerahan oleh Swapraja Siantar kepada Pemerintah, demikian politik tanah di dalam pemerintahan dapat dilaksanakan dalam cara-cara yang benar.) Pertanyaan lain yang timbul 232: Apakah istilah “zelfbestuur Siantar” sama dan serupa dengan “Raja Siantar”. Raja Siantar in person dalam Bahasa Belanda disebut “de zelfbestuurder van Siantar”. “Zelfbestuur” berarti “raja dan aparat harajaannya” atau “raja tambah harajaan” (pemerintahan adat). Dalam hal perembugan dan mufakat dengan Harajaan Siantar, mungkin tidak relevan menurut Raja Riahkadim. Raja ini sudah “over het paard ghetild” (diberikan kekuasaan/ wewenang yang berlebih) dan dia pun tinggal tanda-tangan saja. Sungguh menyedihkan. Tapi inilah siasaat pemerintahan Hindia Belanda: memanfaatkan kepolosan raja-raja Simalungun untuk mencapai tujuan politik penjajahannya. Dalam bukunya J. Tideman, mengenai “Grondrechten” (halaman 129 dst) dicatat : “Persekutuan-persekutuan hukum (Harajaan: Urung/ PartuanonParbapaan dan Huta) terbentuk dan didirikan oleh penyandangpenyandang marga yang berkuasa di sesuatu wilayah, dan sekaligus terbentuklah wilayah kekuasaannya (ulayat kekuasaannya/ partuanon atas tanah dan air); yang dikenal dengan nama “rechtgemeenschap” besar dan kecil yang mempunyai hak ulayat atas tanah dan air dalam “rechtgemeenschapkring”-nya. Dan bahwa “rechtgemeenschaprechtgemeenschap” itu punya “zelfbeschikkingsrecht” atas tanah dan air dalam wilayah yang dikuasainya. Dapat dipahami bahwa ada hubungan khusus antara kaula/ warga dengan tanah dan air dalam lingkungan hak ulayat terkait, dimana yang berwenang adalah “Marga” Harajaan/ 231 232
J.Tideman dalam Djariaman Damanik, Ibid, hal.119 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Urung/ Partuanon/ Parbapaan, terjelma dalam “marga pamungkah” di wilayah itu. Maka terjadilah “beschikkingsrecht: (Hak Ulayat) dari marga itu. Hak Ulayat dari persekutuan-persekutuan hukum itu diselenggarakan oleh Kepala-kepala persekutuan hukum terkait (Partongah/ Tuan/ Parbapaan). 233 Di Simalungun, pada umumnya, para Partuanon mempunyai wewenang yang agak otokratis atas tanah-tanah yang berada dalam hak ulayat Huta/ Urung/ Harajaan, namun persekutuan-persekutuan hukum dan lembaga-lembaga hak ulayatnya tidak pernah punah atau hancur, walaupun sudah berlangsung berabadabad. a. Kooreman (Indische Gids 1914) mencatat: “Setiap Persekutuan Hukum (PH) memelihara: batas-batas hak ulayatnya, perangkat pemerintahannya, lembagalembaga adat yang berasal dari hukum kodratnya sendiri termasuk hak ulayatnya atas hutan belukar (woeste gronden misalnya) dan setiap anggota dari Persekutuan hukum itu berhak untuk menguasai hutan belukar yang termasuk hak ulayat Persekutuan masing-masing. Adanya otonomi dari masing-masing persekutuan hukum dipelihara secara baik/ serasi antara PH yang rendah dan yang lebih tinggi, dipelihara secara seimbang atas hak-hak ulayat masingmasing. b.
Dalam Adatrechtbundel IX Pag. 38 disebutkan: “De zuivere Batakadat kent immers geen andere overheidsrechten (t.a. V. Van de grond, welke berusten bij de stam (marga yang berkuasa) en krachtens het aan deze ontleende gezag, door de atamhoofden worden uitgeoefend”. 234
Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan, bahwa penjualan (grondverkoop) “pengasingan tanah” dilarang; yang ditolerir hanya “jual gadai” (peminjaman uang 233 234
Ibid Ibid, hal.120.
Universitas Sumatera Utara
dengan tanah sebagai jaminan), namun dalam praktek sudah menyerupai jual-beli biasa. Ada berbagai pengertian dalam hukum adat tanah yang harus dibedakan, yaitu: tombak, harangan, galoenggoeng, sampalan, parmahanan, tanoh rih, parhutaan, pamatang, tapian, dalan bah, paranggiran, harangan panumbahan, jerat, pokkalan, parjabuan, parjumaan, parsabahan, parkobunan, harangan larangan, umbul ni bah, pinggiran ni bah, parbalogan, sabah lombang, lombang, reben-reben, dan lain-lain. Istilah-istilah di atas dapat dilihat (masih eksis) di Kabupaten Simalungun 235 : 1) Harangan : Hutan
Gambar 1 : Harangan 2) Sappalan : Tempat makanan kerbau. Sappalan adalah milik Huta Sappalan (Sampalan) : Tanah yang berisi rumput-rumputan saja, tidak ada kayu, tempat masyarakat melepaskan kerbaunya, tempat makanan kerbau.
Gambar 2 : Sappalan
3) Tanoh rih : tanah yang berisi lalang-lalang saja
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3 :Tanoh rih 4) Pokkalan : Tempat kaum bapak minum tuak di ladang. 5) Parjabuan : Rumah-rumah yang bertumpuk. 6) Parbalogan : Batas ladang, sempadan.
Gambar 4 : Parbalogan / Parbalokan Tempat berdirinya orang ini ada parit / Parbalokan antara dusun Siloting dengan Sombul sepanjang 100m dengan lebar 80cm dan kedalamannya 1m, sekarang telah ditutupi semak belukar dan pohon bambu. 7) Sabah Lombang : Sawah yang kiri kanannya jurang.
235
Wawancara yang telah diolah dengan L.Sitopu,S.Kom, dan mendampingi peneliti selama di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
Gamba r 5 : Sawah Lomba ng 8) Tano-Reben / Reben-reben : Tanah miring.
Gambar 6 : Tanoh / Tano Reben
9) Tanah / Tano Roba : Tanah yang sudah ditinggalkan.
Gambar 7 : Tanoh /
Universitas Sumatera Utara
c.
Tano Roba Contoh kedua politik pertanahan pemerintahan Kolonial Belanda dijalankan untuk mengakomodasi eksploitasi “hutan belukar” (woeste gronden) yang masih banyak dijumpai di daerah Simalungun (Kerajaan Siantar/ Bandar/ Sidamanik/ Tanah Jawa/ Panei) oleh maskapai-maskapai perusahaan asing (Belanda, Swiss, Belgia, dan lain-lain) yang haus akan tanah untuk penanaman karet, teh, sisal, kelapa sawit, dan lain-lain. Juga dengan memakai politik “domein verklaring” atas tanah-tanah di daerah-daerah itu, seolah-olah Raja/ Partuanon/ Tuan menjadi pemilik (eigenaar) dari tanah-tanah yang termasuk wilayah Hak Ulayat Urung, Partuanon/ Parbapaan. Oleh Raja atau Partuanon diadakan perjanjian dengan Perusahaan Perkebunan Besar, memberikan tanah luas sebagai/ dengan hak Konsesi atau Erfpacht untuk waktu misalnya 75 tahun, dengan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda c.q Gubernur Jenderal yang berarti bertolak belakang dengan makna “sistem hak ulayat atau “beschikkingsrecht” dari Urung/ Parbapaan/ Partuanon yang masih berlaku di kalangan masyarakat Simalungun sejak berabad-abad. 236
Pemerintah Hindia Belanda meminjam tangan “Raja Simalungun untuk mencapai tujuan politik kolonialnya, demi kepentingan pengusaha-pengusaha besar asing untuk perkebunan karet, sisal, teh, kelapa sawit, dan lain-lain. Pada umumnya di daerah Simalungun, rechtsgemeenschappen (masyarakat hukum/persekutuan hukum) diawali dengan pembentukan “Huta” (Pamatang). Baru sesudah itu berkembang menjadi “Oeroeng” (sebagai pemekaran dari huta atau pamatang) oleh suatu marga (yang kemudian menjadi marga yang berkuasa atau yang
236
Ibid, hal.121.
Universitas Sumatera Utara
memerintah di suatu daerah tertentu). Karena faktor-faktor geografis, ditentukanlah batas-batas daerah kekuasaan dari masyarakat hukum adat itu. 237 Dengan begitu, terjadilah hubungan yang mantap dan mendalam antara penduduk dan bumi di lingkungan daerah tersebut, terlebih lagi bagi generasi yang lahir kemudian. Hubungan dimaksud bertambah mendalam (ingat di Jerman: “blut und boden” dan di Indonesia “tanah tumpah darahku”). Dalam hubungan itulah, maka terbentuk akar alamiah hak ulayat (beschikkingsrecht) dari Marga tertentu atas daerah dalam lingkungan masyarakat hukumnya (beschikkingsrecht) yang tentu atau dengan sendirinya dilaksanakan (dikelola) oleh kepala persekutuan-persekutuan terkait (partongah/ partuanon/ parbapaan). Pada mulanya, seorang warga cukup memberitahukan kepada kepala persekutuan, bahwa yang bersangkutan ingin membuka ladang pertanian di suatu tempat (dalam lingkungan masyarakat hukumnya). Namun kemudian, dengan pertumbuhan jumlah penduduk, seorang warga harus minta ijin dari kepala persekutuan yang akan menunjuk sebidang lahan untuk dikerjakan si pemohon. Di daerah Simalungun, para raja, pada awalnya hanya berkedudukan sebagai kepala Urung, sebagaimana telah kita lihat, berhasil menarik kekuasaan yang bersifat otokratis pada dirinya masing-masing dan ini telah berlangsung ratusan tahun. Namun persekutuan-persekutuan hukum dan lembaga-lembaganya (harajaan = bestuur) tetap dapat bertahan dan tidak dapat dihancurkan.
Tuan Kooreman (Indische Gids 1914. I) 238 Kesimpulan yang diambilnya : “Tiap persekutuan tetap memiliki (mempertahankan) batas-batas daerahnya, pemerintahan, lembaga-lembaga “harajaan”-nya, yang terlahir dari hukum kodrat hak ulayat atas hutan-hutan belukar (woeste grond) dan tiap warga persekutuan berhak untuk mengelola hutan belukar milik persekutuan hukum, dan seterusnya. Telah kita lihat bagaimana Urung-urung (vazalstaatjes) dapat mempertahankan kedaulatannya (kebebasannya) dari kekuasaan para raja, juga terhadap hak ulayatnya atas tanah dan berbagai lembaga adatnya. Dalam banyak hal para raja itu digambarkan sebagai “despoten” sejati, khususnya terhadap para rakyatnya atau bawahannya yang diakui banyak terjadi. Namun bahwa para raja itu diposisikan sebagai pemilik-pemilik dari tanah belukar/ hutan-hutan, sebagaimana dicatat oleh 237 238
J.Tideman dalam Djariaman Damanik, Ibid, hal.122. Djariaman Damanik, Ibid, hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
Batakspiegel (hal. 28) dan juga “diadvokasi” (betogen) oleh banyak penulispenulis (van Dijk, hal. 196), menurut pendapat Kooreman, adalah tidak benar sama sekali (J. Tideman). (Perkara tanah Silampuyang dengan Sumatera Rubber/ Marihat, tahun 1919). Van Dijk berkata demikian: bahwa sebenarnya “raja-raja itulah” yang jadi pemilik dari hutan-hutan (woeste gronden), juga dari semua tanah (alle gronden). Sementara “de Batakspiegel” mengedepankan, bahwa sang raja malah mempunyai hak mencabut hak menguasai sawah dari seseorang, karena alasan kekurangan tanah, dan menyerahkannya kepada orang lain. Mungkin hal-hal serupa itu pernah terjadi, tetapi kejadian serupa itu tergolong sebagai “penyalahgunaan kekuasaan raja”. Adatrechtbundel IX mencatat dengan singkat dan tegas: Adat Batak asli (murni) tidak mengenal sama sekali hak-hak publik (penguasaan) atas tanah, kecuali yang dimiliki oleh Stam/ Clan/ Marga dan berdasarkan kuasanya itu dilaksanakan oleh “Partongah” (Stamhoofd). Itulah sebabnya, maka setiap kaula atau warga persekutuan hukum adat bebas untuk memilih sebidang tanah di lingkungan hak ulayat persekutuan hukum bagi usaha pertaniannya, sedangkan seorang asing, harus terlebih dahulu meminta ijin dari “Partongah” (kepala persekutuan hukum), dan kemudian membayar sejenis “bunga tanah” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: penjualan tanah dilarang, dan jual gadai tanah hanya dapat ditolerir, namun jual gadai tersebut biasanya berujung pada jual beli tanah. Hak-hak “penduduk asli” sudah demikian menipis, sehingga orang yang menjual tanahnya karena pindah desa, tetap punya hak untuk menebus kembali tanahnya, dengan syarat bahwa ia tetap memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap desa walaupun ia sudah menjadi warga desa lain. 2. Masyarakat Hukum Adat Simalungun Sebelum membicarakan apa yang disebut dengan hak atas tanah adat (Simalungun) perlu diketahui subjek 239 dari hak tersebut yaitu masyarakat adat (persekutuan hukum adat). Dikenal 2 konsep besar yang sering diterjemahkan sama yaitu Indigenous peoples (pribumi) maupun tribal peoples (suku bangsa). Pada jaman Hindia Belanda terdapat istilah ‘inlanders’ yang diterjemahkan sebagai Bumi Putera berdasarkan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling, dimuat dalam Staatsblad tahun 1855 Nomor 1 jo 2 yang membagi penduduk Hindia Belanda dalam golongan : Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera. Penggolongan ini memperbaiki apa yang ada dalam Regelment op het beleid op Regering van Nederland Indie. Golongan pertama 239
Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No.5/1999, Kriteria adanya Hak Ulayat maka etnis Simalungun sebagai si Pukkah Huta Pakon si Mada Talun (Pembuka Kampung dan Pemilik Tanah Ulayat, Syamsudin Manan Sinaga, Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Simalungun, Makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun, Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan Yayasan Pelpem GKPS, Pematangsiantar, 15 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
dan kedua tunduk pada sistem hukum Eropa sedangkan golongan Bumi Putera tunduk pada hukum adat mereka kecuali apabila diinginkan lain. Yang dimaksudkan adalah orang-orang setempat (inlanders, natives, indigenous) yang tunduk pada hukum adat mereka masing-masing. 240 Pada awalnya Perserikatan Bangsa Bangsa mengartikan indigenous people sebagai: “Descendents of those who inhabited in a country or a geographical region at the time when people of different cultures or ethnic region arrived, the new arrival later becoming dominant through conquest, occupation, settlement or other means” Yang dimaksudkan adalah kaum Indian di seluruh kawasan Amerika (dari Kanada sampai Chili), Maori di Selandia Baru, Aborigin di Australia dan suku Sami di Eropa Utara (Nordik). International Labour Organization mengadakan konvensi tentang indigenous people pada 1957, dan yang terakhir diperbaiki pada 1989 yang cakupannya lebi luas dari aspek ketenagakerjaan karena termasuk juga aspek-aspek : anti diskriminasi, perlindungan tradisi dan budaya. Pasal 1 (1.b) Konvensi International Labour Organization Nomor 169 Tahun 1989 241 merumuskan bahwa Indigenous People adalah: masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada asal-usul (keturunan) mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara atau suatu wilayah geografis di mana suatu negara terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penerapan batas-batas Negara yang baru tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka. Hal ini diartikan bukan hanya kaum Indian, Maori, Aborigin dan Sami, namun juga tribal groups yang dalam konteks Indonesia termasuk ‘suku terasing’. Demikian juga pendapat dari Amnesti Internasional. Pasal 1 (1.a) Konvensi mengistilahkan tribal people sebagai :
240
Sandra Moniaga, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia:Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional & Masyarakat (Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998), hal.135. Kosakata masyarakat adat juga merupakan sebutan tandingan terhadap berbagai sebutan yang merendahkan, seperti suku terasing, masyarakat terbelakang, dan perambah hutan, yang digunakan secara resmi oleh pemerintah, Arianto Sangaji, Kritik terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia dalam Jamie S.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta:KITLV, YOI, 2010), hal.347. 241 Sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people, sesungguhnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang dalam perbincangan internasional. ILO, sebuah badan antar pemerintahan dengan struktur tripartit yang terdiri atas perwakilan pemerintah, pengusaha-pengusaha nasional dan organisasi-organisasi buruh sudah menaruh perhatian dengan isu pekerja asli (indigenous worker) sejak 1920an. Sekitar tiga decade kemudian ILO memperkenalkan perjanjian pertama tentang “indigenous and tribal population” dikenal dengan konvensi ILO 107. Konvensi ini direvisi menjadi konvensi ILO 169 yang dikeluarkan pada tahun 1989 Kingsburry dalam Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniagra, Adat Dalam Politik Indonesia,ibid, hal. 348.
Universitas Sumatera Utara
“mereka yang berdiam di negara-negara merdeka di mana kondisi-kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan yang statusnya diatur seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.” Dari rumusan ini jelas terdapat warga Indonesia yang dapat dikategorikan baik sebagai indigenous maupun tribal people. 242 Menurut peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Petanahan Nasional No.5 Tahun 1999 (PMNA/KBPN No.5 / 1999) tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1, angka (3), “Masyarakat Hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.” Ada 4 (empat) elemen yang membentuk masyarakat adat tersebut, yaitu : a. Sekelompok orang yang masih terikat dengan spiritualitas nilai-nilai sikap dan perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain. b. Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan SDA lainnya yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang produksi sehari-hari (sumber mata pencaharian), tetapi menjadi bagian utuh dari sistem religi dan sosial budaya kelompok sosial tersebut. c. Praktek-praktek yang berbasis pada pengetahuan (kearifan) tradisional yang terus menerus diperkaya / dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan hidup mereka. d. Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum dan kelembagaan adat) yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang diterima dan berlaku di dalam kelompok sosial tersebut. 243 Masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschap, Belanda) oleh pakar-pakar hukum adat Belanda pada umumnya diterima secara umum atau kenyataan di hampir
242
Stephanus Djuweng dan Sandra Moniaga, Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk. Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia? Kata Pengantar Konvensi International Labour Organization 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Berkembang, (Jakarta:ELSAM dan LBBT, 1994), hal.135. 243 Abdon Nababan, Masyarakat Adat Dalam Disain Hubungan Pusat-Daerah : Peluang dan Tantangan untuk mengembalikan otonomi asli komunitas adat, dalam P.Panggabean, Pemberdayaan hak MAHUDAT (Masyarakat Hukum Adat) Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, (Jakarta : Permata Aksara, 2011), hal.55. Pertanyaan Abdon tentang hal ini : lembaga mana yang sah mewakili masyarakat adat? Bagaimana mereka mendapatkan dan mempertahankan keabsahan tersebut? Bagaimana mereka menghasilkan keputusan yang mengikat ke dalam dan ke luar? Apakah pranata adat yang ada saat ini masih menyediakan norma dan mekanisme untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul saat ini? Bagaimana keputusan-keputusan ini ditegakkan? Bagaimana posisi dan relasi komunitas adat ini dengan struktur administrasi Negara dan pihak-pihak luar non Negara seperti perusahaan atau Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP).
Universitas Sumatera Utara
seluruh Indonesia. Khususnya di daerah-daerah di mana hukum adat masih berlaku, dalam hal ini di Kabupaten Simalungun 244. Sejarah sebelum dan sesudah pemerintahan Belanda berkuasa di Simalungun, kita mengenal Sistem Harajaan dalam pemerintahan (Zelfbesturende Landschappen = Swapraja) Raja Marompat, yang kemudian dimekarkan pada tahun 1907 menjadi Raja Napitu: Siantar, Tanah Jawa, Pane, Dolok Silau, Raya, Poerba, dan Silimakuta. Potret susunan pemerintahan tradisional di kerajaan-kerajaan itu boleh dikatakan sama, sebagai contoh (sifatnya bertingkat dan berlapis): 245 Harajaan Siantar dengan pemekarannya : Harajaan Bandar dan Harajaan Sidamanik berasal dari satu leluhur (Partiga-tiga Sipunjung), bermarga Damanik. Dalam hukum adat kedudukannya setaraf, juga mengenai pertanahan berkaitan dengan masyarakat hukum adatnya. Pembagian/ struktur pemerintahan Landschaap Siantar dan Distrik (Partuanon Bandar dan Sidamanik) di samping Siantar Proper, adalah ciptaan Pemerintahan Hindia Belanda dalam rangka uniformisasi/ restrukturisasi pemerintahan swapraja di Simalungun). Menurut hukum adat yang berlaku di Kerajaan Siantar, bertalian dengan “adatrecht-gemeenschappen”, terdapat Masyarakat Hukum adat yang bertingkat atau berlapis: 1. Lapis Atas: Urung Siantar 2. Lapis Tengah: Partuanon (Sipolha, Silampuyang, Dolok Malela, dan lain-lain) 3. Lapis Bawah: Huta (Naga Huta, Siantar) Urusan pertanahan secara internal, cukup diselesaikan oleh Pemerintahan Huta atau Desa, namun apabila ada urusannya dengan pihak luar (bukan kaula/warga masyarakat hukum adat), maka diurus oleh lapis yang lebih tinggi, misalnya Pemerintahan Partuanon (Lapis Tengah). Bila urusannya tidak terselesaikan oleh Pemerintahan Partuanon, maka akhirnya diangkat persoalannya pada masyarakat hukum adat Lapis Atas, yakni Kepala Urung (Landschaap) atau pemerintahannya. Dengan demikian, ada semacam “check and balances” di antara pemerintahan masyarakat hukum yang berlapis-lapis itu. Pertanyaan mungkin timbul lagi: “Kenapa di Simalungun terdapat masyarakat hukum yang berlapis itu?” Untuk dapat memberi penjelasan, menurut sejarah 244
Masyarakat Hukum Adat Simalungun adalah warga masyarakat asli Simalungun karena kesamaan tempat tinggal (territorial) dan atau atas dasar keturunan (genealogis) yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat Simalungun, Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat Simalungun, makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun”, op cit. 245 Djariaman Damanik, Op Cit, hal.128.
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan atau perkembangan kerajaan Partuanon masing-masing Urung (Landschaap). Misalnya, bagaimana sejarah pembentukan Harajaan Siantar, Bandar dan Sidamanik. Perlu diingat, Harajaan Siantar memiliki sejarah pembentukannya sendiri sejak asal mulanya sampai pada pemekarannya menjadi tiga urung (landschaap): Siantar, Bandar, dan Sidamanik. 246 Partuanon Silampuyang yang bermarga Saragih, juga mempunyai sejarah pembentukannya yang khas. Partuanon Silampuyang menurut sejarahnya, lebih dahulu ada atau eksis, sebelum pembentukan atau pendirian Harajaan Siantar, kirakira akhir abad XV. Untuk pengetahuan lebih jelas, baik untuk dibaca: “Verhandeling tanah partuanon Silampuyang yang diberikan menjadi erfpacht Perkebunan Marihat oleh Raja Siantar, Tuan Riahkadim (Tuan Waldemar Damanik) pada tahun 1919”. Pendirian Tuan Silampuyang bahwa, yang berhak menentukan status tanah dalam lingkaran masyarakat Hukum Adat Silampuyang adalah dirinya, bukan Raja Siantar semata-mata, akhirnya diakui atau dibenarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Keputusannya : Perkampungan Silampuyang dan tanah-tanah keperluan rakyatnya dikembalikan sebagian kepada Tuan Silampuyang. Pertimbangannya dapat diduga, karena di Kerajaan Siantar berlaku Masyarakat Hukum Adat berlapis. Jadi, berbeda masyarakat hukum adat di Siantar dengan di Tapanuli. Di Siantar, hampir sama dengan masyarakat hukum adat yang ada di Penyabungan dan di Sipirok, berbeda dengan masyarakat hukum adat di Toba, yang titik sentralnya (heavy-nya) berada di Huta atau Desa. Dalam perkembangan terakhir, kadang-kadang Huta pun tidak lagi merupakan Masyarakat Hukum Adat di Simalungun. Jadi yang tinggal kemudian adalah Masyarakat Hukum Partuanon (Parbapaan) dan masyarakat Hukum Urung (landschaap) atau Partuanon Banggal. 3. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun Menurut Hukum Adat Simalungun, pada mulanya pemilikan tanah adalah hak milik Marga yang dikuasai oleh Raja dari salah seorang anak keluarga marga tersebut. Rakyat hanya mempunyai hak pakai (hak massamod) disebut: “Galunggung”. Hak massamod (Galunggung) bagi rakyat berlaku turun-temurun dan dapat diwariskan, juga dapat dijual. Sebenarnya Kabupaten Simalungun yang penduduknya
246
Ibid, hal.129.
Universitas Sumatera Utara
etnis Batak, berada di Pantai Timur Sumatera Utara ini sangat berbeda dengan daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan maupun Karo 247. Penduduk dapat membuka perladangan/persawahan dengan sekuat kemampuannya dengan ketentuan tanaman keras di atas tanah tersebut adalah milik Marga oleh salah seorang Raja dari marga tersebut. Sebagai Pemerintah tertinggi di wilayahnya masing-masing penduduk diwajibkan mendapat persetujuan dari Raja untuk massamod yang baru dan setiap penjualan hak massamod dari rakyat kepada orang lain harus diketahui oleh Raja, untuk itu yang bersangkutan memberikan suatu pertanda berupa hasil dari atau peliharaan atau uang tunai (tidak ada ketentuan). Masyarakat adat Simalungun adalah masyarakat Batak Simalungun di wilayah Kabupaten Simalungun yang berprinsip Tolu Sahundulan Lima Saodoran (kedudukan nan tiga, barisan nan lima, Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, Anak Boru Mintori). Hak bersama atas tanah disebut “rahatan ni huta”. Rahatan ni huta termasuk juga hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk kecuali untuk keperluan kampung itu umpamanya untuk balai desa, lumbung desa. 248 Pada mulanya ada beberapa fase yang dilalui untuk dapat mengusahakan sebidang tanah yaitu: a. Fase penebangan kayu
b.
Pada fase ini ditentukan waktunya, kemudian pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah, yaitu ladang yang disebut “juma tombakan”. Fase dimana ladang yang dipakai untuk tahun kedua, ketiga disebut “gas-gas”. Gas-gas adalah tanah yang tidak produktif (unsur haranya habis). Gas-gas kebalikan dari “juma roba” (hutan yang masih perawan, sangat subur karena belum pernah ditanami).
c.
Fase untuk pertama kalinya ditinggalkan gas-gas tadi, disebut “bunga talun” sedangkan apabila ditinggalkan untuk kedua kalinya disebut “talun”(Tanaman
247 Moshedayan Pakpahan, Tanah Adat di Daerah-Daerah Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 1998), hal.6. 248 Hasil wawancara pra penelitian dengan salah seorang tokoh adat.
Universitas Sumatera Utara
yang tidak ada di suatu tempat tetapi hanya di satu talun). Bunga Talun ada di daerah Gulting, Sondi Raya. d.
Perladangan yang karena ditinggalkan, tapi masih ada di atasnya tanam-tanaman muda, disebut “galunggung” (bukit-bukit, perladangan).
e.
Hak memperusahai / memakai atas tanah ini melekat apabila terus-menerus dikerjakan. Dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak dikerjakan maka hak itu “kembali” kepada Penghulu/Kepala Adat, yang kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. Sebagai catatan, bahwa tanaman-tanaman keras biasanya tidak boleh ditanami di sini, agar pada waktunya (secara rotasi) dapat kembali berladang ke daerah kawasan hutan perkampungan ini, kecuali di tepi gubuk ladang (sopou juma). Dalam hal perladangan tersebut oleh Penghulu diberikan kepada orang lain, oleh karena pemegang hak pakai semula tidak memerlukannya, maka tanam-tanaman keras tadi (biasanya pohon durian dan petai) oleh si pemakai yang memperoleh kemudian itu, harus membersihkan sekeliling tersebut jelasnya lingkungan tanaman-tanaman itu tidak turut boleh diperladanginya, istilah dalam bahasa Simalungun “i-salagsagi”. Tempat tanaman-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut ”partoguh” atau “bidei” dari perkampungan dan tempat ini disebut “pohon” diberi ganti kerugian.
f.
Hak “Panunggu” atau “Pangayakan” hanya terdapat pada tanah sawah yaitu tanah sebelah kiri dan kanan sawahnya ditambah bagi orang yang bersawah paling ujung ialah tanah sebelah hulunya.
g.
1) “Rahatan ni Huta”, hutan yang berdekatan dengan kampung (merupakan hak bersama atas tanah). 2) “Hak Parjalangan sahuta” yaitu tempat penggembalaan hewan. 3) “Hak bong-bongan sahuta” : kolam tempat mengambil ikan. 4) “Hak Panambunan sahuta” yaitu pekuburan bersama. Adakalanya pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di “pohonnya”. dan cara ini
Universitas Sumatera Utara
dibolehkan, mengingat status tanah “pohon” itu dikerjakan secara turuntemurun. 249 Sekali lagi kalau diurutkan “Hak Tanah” menurut Hukum Adat Simalungun adalah sebagai berikut: 1. Hak Tombakan 2.
Hak Gas-gas
3.
Hak Bunga Talun
4.
Hak Talun
5.
Hak Pohon
6.
Hak Panunggu
7.
1) Hak Rahatan ni Huta 2) Hak Parjalangan 3) Hak Bong-bongan Sahuta 4) Hak Panambunan Sahuta
Jadi Hak Atas Tanah Adat yang terdiri atas Hak Ulayat dan hak perseorangan atas tanah (adat) di Kabupaten Simalungun masih eksis 250, Meskipun dari segi objek (adanya bong-bongan sahuta, tapian, juma na bolak, dan lain-lain). Masyarakat Hukum Adat masih ada tapi “lemah”, ditandai dengan adanya pimpinan adat dalam acara-acara ritual seperti pesta, Hukum Adat Simalungun juga masih dipakai meskipun di sana-sini sudah mengalami pergeseran (pen). Berikut ini bukti bahwa masih terdapat objek hak ulayat (tanah atau yang dipersamakan dengan tanah,misalnya: tano reben, tano roba, harangan, parmahanan, parjalangan sahuta, parsinumbahan / pamelean, bong-bongan sahuta, dan lain-lain, juga masih terdapat subjek hak ulayat yaitu “huta” dan “marga”, seperti di bawah ini : 1) Bong-bongan sahuta 249
Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, (Medan: PD Aslan, 1974), Hal.23. Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun, tesis, (Medan : PPS USU, 2001), hal. 16. Bahwa menurut PMNA No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat : Harus ada subjeknya (Masyarakat Hukum Adat), Objeknya (Tanah dan yang dipersamakan dengan Tanah), Hubungan Subjek dan Objek tersebut. 250
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8 : Bong- Bongan Sahuta
Bong-Bongan Sahuta adalah kolam ikan bersama, berawal dari Parawangan ni Horbou ( tempat pemandian kerbau), kemudian melebar terus sehingga menjadi Bong-bongan , oleh warga karena dia hanya mengandalkan air hujan dan pintu keluar air pun tidak ada, maka dimanfaatkan untuk menanam benih ikan sehingga jika tiba masa kemarau panjang, airnya akan menjadi surut, saat itulah warga setempat “mandurung”, mananggok/ mengambil ikan. Saat ini oleh Huta, dibuat sebagai tempat pemancingan ikan, uang pemasukannya dimasukkan menjadi kas desa/Huta. Ini terdapat di Huta Kampung Baru, desa Dolog Huluan, kecamatan Raya dan dusun Baringin Raya, kelurahan Pam.Raya. Luas Bong-bongan itu ± 15 rantai (6000 meter) sedangkan daratannya ± 5 rantai (2000 meter) jadi luas keseluruhan 8000 meter yang merupakan milik Huta 2) Parmahanan
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9 : Parmahanan Huda pakon Horbou Tuan Damak Raya.
(Parmahanan/penggembalaan kuda dan kerbau milik Tuan Damak/Pangulu Damak). Parmahanan adalah tempat penggembalaan hewan seperti kerbau dan kuda.
:
Gambar 10 Horbangan
(Horbangan/Pintu masuk ke Parmahanan). Gambar di atas adalah horbangan/harbangan yaitu pintu masuk ke Parmahanan Damak Nagori Siporkas kecamatan Raya kabupaten Simalungun.
Gam bar 11 : Tem pat merawat hewan (kuda / kerbau).
Parmahanan lebih “sistematis”, terawat / rapih daripada Parjalangan Sahuta. 3) Parjala ngan Sahuta
Universitas Sumatera Utara
Gambar 12 : Parjalangan Sahuta Parjalangan Sahuta hampir sama dengan Parmahanan : sama-sama tempat penggembalaan ternak. Hanya bedanya dalam Parmahanan lebih terawat, mempunyai sistem, sedangkan dalam parjalangan sahuta tidak terawat, bebas. Samasama memiliki pintu yang disebut “horbangan”. Yang memiliki parjalangan sahuta adalah Huta. Sipukkah horbangan disebut “si jolom horbangan”. Sistem ini diterapkan dalam hukum perkawinan adat, yang membuka pintu adalah “para pemuda”, biasanya diberi sirih/demban. Ini terdapat di daerah/dusun Mappu, Nagori Siporkas, kecamatan Raya. 251 4) Parsinumbahan Gambar 13 : Parsinumbahan / Pamelean
Parsinumbahan adalah tempat penyembahan masyarakat sebelum adanya agama berupa “pohon yang sangat besar”, luasnya ± 4 rantai (5000m), di dalamnya saat ini masih terdapat patung-patung yang disembah dulu, yang disebut “pamelean”. Parsinumbahan (pamelean) ini terdapat di Siloting. Parsinumbahan adalah milik Marga (Saragih Garingging).
5) Paridian ni Raja
251
Observasi dan hasil wawancara dengan Ernawati Br Purba, 27 Januari 2013 di dusun Mappu Nagori Siporkas kec.Raya, Gamotnya bernama Dedy Saragih Garingging (35 tahun), memiliki 6 ekor kerbau yang
Universitas Sumatera Utara
Gambar
14 : Paridian ni Raja Paridian ni Raja Raya (Tuan Rondahaim Saragih Garingging). Ada 2 (dua) tempat, masing-masing punya pintu masuk untuk laki-laki dan perempuan, beserta umbul ni bah (mata air) dari sebuah batu, terletak di Aman Raya Kelurahan Pematang Raya, kecamatan Raya. Pancurannya sudah diubah semula bentuk bambu sekarang menjadi bentuk pipa besi. Sebagai bukti sejarah, tempat pemandian umum (dalam hal ini meskipun umum, yang berhak masuk hanyalah marga-marga Garingging, karena pemiliknya adalah Marga (Saragih Garingging) (Keturunan Raja Rondahaim) oleh Pemkab Simalungun sudah direnovasi, di atasnya ada Parsinumbahan juga Pamelean yang sudah dibeton. Ketika ada acara besar/acara adat seperti Rondang Bittang, sebelum pembukaan acara tersebut, biasanya Bupati beserta jajarannya “maranggir” (mandi dengan menggunakan air jeruk purut). Ada yang disebut istilah dalan ni bah : jalan ke pemandian seperti gambar berikut ini;
Gambar 15 : Dalan ni Bah Kemudian Pinggir ni bah : tepian sungai Umbul ni bah : mata air seperti gambar berikut ini ;
berkandang di belakang rumahnya. Dari jam 12.00-17.00 setiap hari “ngangon”/ngurusi kerbaunya, kerbau-kerbau tidak akan dikeluarkan jika di desa tersebut ada “pesta”.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 16 : Umbul ni Bah Jika musim kemarau, debit airnya tetap sehingga bisa digunakan untuk sumber air penduduk setempat. Airnya sangat jernih seperti air AQUA. Paridian ni Raja Raya ini merupakan hak milik komunal marga (marga Saragih Garingging). 6) Losung Losung atau lesung adalah tempat menumbuk padi, terletak pada “martokkarang”/sopou/ rumah panggung : inganan ni losung (tempat losung) terdiri dari 4 (empat) tiang tetapi tidak menggunakan paku (hanya dipahat), ada gambar tulisan dari Raja Sulaiman. Atapnya terbuat dari ijuk (arribut) sekarang sudah diganti “seng”. Keempat tiang tersebut terbuat dari kayu pokki (sama seperti kayu pembuatan losung).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 17 : Martokarrang / Sopou : rumah panggung tempat losung berada.
Gambar 18 : Losung Jantan. Losung ini dibentuk / dipahat dari kayu pokki, mempunyai kepala layaknya (menyerupai) manusia. Ini adalah losung berjenis kelamin “jantan” 252 kelihatan dari bentuk telinganya yang lebih panjang. Losung-losung ini terletak di huta Sambual desa Nagori Raya Bayu. Di desa ini terdapat 27 kepala keluarga (KK) berjarak 8 km, dengan medan (area) yang sulit dicapai. Losung ini sudah berusia ± 100 tahun lebih terdiri dari 14 (empat belas) lubang (jantan maupun betina), dan terbuat dari kayu pokki. Tinggi losung ± “satohot” (1 lutut).
Gambar 19 : Losung Betina
Ini adalah losung berjenis kelamin betina, mempunyai lubang juga berjumlah 14 (empat belas), yang membedakannya hanya telinga, telinga losung betina lebih pendek sementara telinga losung jantan lebih panjang, sedangkan mata & hidung sama. 252
Wawancara yang sudah diolah bersama Marsen Saragih , 5 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
Menurut sejarahnya, pembuatan losung dikerjakan di hutan, kayunya adalah kayu pokki, setelah selesai dikerjakan, secara gotong-royong ditarik dengan menggunakan roda oleh masyarakat dan diiring nyanyian “aloi-aloi”. Andalu / alu : alat penumbuk dimiliki oleh masing-masing warga , panjangnya ± 2 atau 3 m. Losung ini mempunyai nilai “magisch” diyakini warga jika ada yang berniat tidak baik, misalnya mencuri maka ia tidak akan bisa keluar dari desa tersebut. Biasanya yang ditumbuk pada losung tersebut adalah : padi, kopi, bumbubumbu masakan jika ada pesta, dan hasil yang ditumbuk pada losung tersebut terasa lebih wangi serta tidak mengurangi kadar gizinya jika dibandingkan dengan jika ditumbuk/digiling dengan menggunakan mesin. Ada kebiasaan (adat) masyarakat setempat, jika ingin memakan daging ayam, maka ayamnya tidak boleh dibawa dari luar (luar desa tersebut), harus ayam dari daerah / huta Sambual, tujuannya untuk mencegah warga dari berbagai penyakit, seperti penyakit flu burung pada hewan. Jika pun dijual, harganya akan lebih mahal, padi atau kopi yang ditumbuk pada losung tersebut daripada jika padi dan kopi itu digiling dengan menggunakan mesin.
4. Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional a. Hak Atas Tanah Adat dalam UUD RI Tahun 1945 beserta kritikan terhadapnya : Undang-undang Dasar 1945 meletakkan dasar Politik dan Hukum Tanah Nasional yang dimuat dalam : 1) Pasal 33 ayat (3)nya yaitu : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung perintah kepada Negara, sehingga tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tahun 2000, dilakukan amandemen yang kedua terhadap UUD 1945 yang menghasilkan klausul baru mengenai masyarakat adat. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 I Ayat (3) hasil amandemen yaitu : 2) Pasal 18 B Ayat (2) : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
Universitas Sumatera Utara
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.” 3) Pasal 28 I Ayat (3) : “Identitas budaya dan hak tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Pada awal era Pasca- Soeharto, memang terjadi perubahan mendasar untuk melindungi masyarakat adat. Pasal 18 B ayat (2) Bab VI UUD RI Tahun 1945 yang sudah diamandemen pada tanggal 18 Agustus 2000 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormarti kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya. Tahun 2001, TAP MPR menyatakan bahwa hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak asasi manusia, akan tetapi , perubahan-perubahan ini belum memberikan arti apa-apa bagi masyarakat adat di lapangan. Dalam berbagai sengketa sumber daya alam, masyarakat selalu kalah, berhadapan dengan perselingkuhan antara pemodal dan aparat Negara 253. b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan kritikan terhadap UUPA : Baru pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah berhasil membentuk Hukum Tanah Nasional yang dituangkan dalam UUPA, UUPA melaksanakan ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sesuai dengan tujuan di undangkannya UUPA tersebut. Ketentuan mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 UUPA yaitu : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.” Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, artinya bila kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat masyarakat hukum adat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak Milik atas tanah adat (yang asli), karena belum tuntas pengaturannya, belum terlayani persertifikatannya, diragukan kepastiannya karena berdasarkan ada tidaknya sertifikat tanah, pemilik tanah adat digusur akibat pendatang baru pemegang HGU, HGB atau hak pakai (HP) bahkan hak pengelolaan. 253
Arianto Sangaji, Kritik terhadap gerakan masyakat adat di Indonesia dalam Jamie S. Davidson, op cit,
hal 355.
Universitas Sumatera Utara
Polemik UUPA dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (sudah diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. 1. Adanya perbedaan pandangan tentang pelimpahan kewenangan bidang agraria/pertanahan kepada daerah. a. Pelimpahan kewenangan berdasar Pasal 2 ayat (1) UUPA 1960, yang mengatur bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilaksanakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Realisasi pelimpahan kewenangan, dalam bentuk medebewind, sebab persoalan agraria pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat. b. Penyerahan kewenangan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999, mengatur bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah dan kota adalah semua kewenangan pemerintah, termasuk bidang pertanahan kecuali yang ditentukan Pasal 7 dan 9. 254 2. Pendapat yang menginginkan hanya kewenangan tertentu/terbatas saja yang dilimpahkan pada daerah. Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan, bahwa hak menguasai negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat 255 apabila diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sedangkan Pasal 11 UU Nomor 22 Tahun 1999 menentukan bahwa semua kewenangan bidang agraria / pertanahan harus diserahkan kepada daerah. 256
UUPA sendiri memang mengakui adanya hak ulayat dengan pembatasan mengenai eksitensi dan pelaksanaannya, tetapi UUPA tidak memberi penjelasan tentang hak ulayat itu kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Juga UUPA tidak memberikan kriteria dan eksistensi hak ulayat. 254 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, dengan diberlakukannya undang-undang ini maka pada prinsipnya seluruh kewenangan berada pada daerah kabupaten dan kota. Penyerahan kewenangan tersebut, tidak perlu dilakukan secara aktif melainkan cukup melalui pengakuan saja. 255 Menilik namanya, objek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja, dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah. Objek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui Undang-Undang sektoral, untuk memenuhi menjawab permasalahnpermasalahan yang belum diatur UUPA, Maria S.W Sumardjono, Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah. Materi Kuliah Hukum, hal.1. 256 Yusriyadi, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hal. 179-181.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA dapat ditemukan dalam Pasal 2 Ayat (4), 3, 5, 22 Ayat (1), 56, 58 257. Dengan mengakui hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional, berarti mengakui lebih dari satu tatanan hukum tanah, ini menandai adanya konsepsi pluralisme hukum (sesuai dengan kerangka teori yang dipakai dalam disertasi ini). Pluralisme hukum disini bukan merupakan suatu antinomi antar pluralisme hukum dengan unifikasi hukum, melainkan interaksi antara sistem hukum yang saling berbeda mengikuti pendapat. Setelah memahami konsepsi Hak Atas Tanah UUPA, disebut hak atas tanah menentukan penggunaan tanah, bukan penggunaan tanah mengarahkan hak tanah, justru seperti diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA. Secara langsung ataupun tidak langsung alam pikiran hukum barat mempengaruhi rumusan ketentuan-ketentuan dalam UUPA yang merupakan rumusan kompromistis 258 secara lengkap atau sebagian untuk sementara atau selamanya, sehingga meragukan kemurnian UUPA yang secara formal dikatakan Hukum Adat adalah dasar UUPA, sehingga hak atas tanah yang strategis dan terkait dengan banyak aspek, dirumuskan memberi wewenang untuk menggunakan dan menentukan pemanfaatan, rumusan ini berdasarkan Hukum Barat (setidaknya berorientasi kepadanya), bukan berdasarkan dan berorientasi kepada Hukum Adat. 259 Hak atas tanah itu berorientasi pada eigendom yang merupakan hak privat, dimana benda di atas tanah seperti rumah, melekat pada tanah. Maka aspek penggunaan mengikuti aspek penguasaan. Hal itu dalam pelaksanaan UUPA menimbulkan banyak permasalahan hak atas tanah apapun yang bersifat privat menentukan penggunaan tanah yang bersifat publik, sehingga menyebabkan pemanfaatan tanah tidak terarah untuk mewujudkan kemakmuran bersama. 260 c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Secara jelas nampak pada Pasal 9 Ayat (1) : “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.
257
Yulia Mirasuti, Konflik-konflik Mengenai Tanah Ulayat, op cit, hal. 88. Soedjarwo Soeromihardjo, Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria, Meretas Jalan Menuju Penataan Kembali Politik Agraria Nasional, (Jakarta: Cerdas Pustaka, 2009), hal.139, lihat juga AP Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, (Bandung:Alumni, 1981), hal.167, dan perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, ketika UUPA dibicarakan ternyata banyak hal yang dapat diungkapkan bahwa produk Undangundang itu sebagai suatu kompromi yang maksimal yang dapat dicapai. 259 Menurut Penelitian Soedjarwo Soeromihardjo, pada saat penyusunan UUPA suasana kebatinan masih berpikir Belanda, walaupun sudah ada kehendak untuk meninggalkannya dan berpikir Indonesia. 260 Akibatnya menghasilkan kawasan hutan yang tidak berhutan (jutaan hektar), perkebunan yang tidak merupakan kebun karena tidak diusahakan (jutaan hektar), tanah perkotaan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan, tumbuhnya hutan beton ke samping dan ke atas yang akhirnya mengganggu resapan air dan menjadi banjir, juga perubahan iklim (menipisnya lapisan ozon). 258
Universitas Sumatera Utara
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria/ Kepala BPN) No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 1) Dalam Pasal 1 Angka 1, pengertian hak ulayat, yaitu : “Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertrentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan” UUPA tidak memberikan kriteria khusus mengenai eksistensi hak ulayat itu, namun menurut pandangan dari Mahadi yang menyebut bahwa masyarakat hukum adat inhern dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima, tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu. 261 2) Pasal 2 Ayat (1) : “Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat” 3) Pasal 2 Ayat (2) : Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1). Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama satu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menetapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2). Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup pada warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. 3). Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut artinya harus ada subjek (masyarakat hukum adat), objek (tanah atau yang dipersamakan dengan tanah), hukum adat dan hubungannya antara Subjek (hak ulayat/ dan Objek (hak ulayat). 261
A.P. Parlindungan dalam Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
e. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 1) Dalam Pasal 5 Ayat (3) : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” 2) Dalam Pasal 6 Ayat (1) : “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.” 3) Dalam Pasal 6 Ayat (2) : “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. f. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUPK) dan kritikan terhadap UUPK : 1) Pasal 1 huruf f : “Hutan adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. 2) Pasal 4 ayat (3) : “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. 3) Dalam Pasal 5 Undang-undang tersebut mengatur tentang status hutan sebagai berikut : 1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari a). Hutan Negara b). Hutan Hak 2. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. 3. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. 4. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Artinya hutan adat, hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lain dinyatakan sebagai hutan negara. Menurut Pasal 1 Nomor 4 Undang-undang ini “hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. Tanah yang tidak dibebani hak atas tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut dengan tanah negara/ tanah bebas. Akibatnya,
Universitas Sumatera Utara
negara dapat memberi tanah bebas itu dengan suatu hak kepada suatu subjek hukum. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap objek hak ulayat, sehingga objek hak ulayat menjadi lenyap. Hal ini menjadi salah satu sebab timbulnya konflik agraria yang berkepanjangan. 4) Pasal 34 : “Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada : (a) masyarakat hukum adat; (b) lembaga pendidikan; (c) lembaga penelitian; (d) lembaga sosial dan keagamaan”. 5) Pasal 37 ayat (1) : “Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya”. 6) Pasal 37 ayat (2) : “Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya”. 7) Pasal 67 ayat (1) : “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”. Kemudian diatur kriteria mengenai suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, yaitu jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain : a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschap); b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. Ada wilayah hukum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati d. Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penetapan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat tersebut sebaiknya diterangkan dalam Peraturan Daerah dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pihak ahli hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat yang bersangkutan, serta instansi dari pihak lain yang terkait. 262 262
Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:LPHI,2005),
hal.129
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tidak secara jelas mengakui hak para warga masyarakat hukum adat untuk membuka hutan ulayatnya dan mengusahakan tanah bekas hutan yang dibukanya. Kata-kata yang digunakan adalah hak masyarakat hukum adat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku, yang secara tegas disebut terbatas pada mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pernyataan dalam Pasal 68 Undang-Undang ini, setiap orang, jadi bukan hanya warga suatu masyarakat hukum adat saja, berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penerapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dinyatakan, bahwa Pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. Namun demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tidak memberikan solusi mengenai penyelesaian masalah hilangnya hak masyarakat hukum adat 263 yang hutan ulayatnya selama orde baru diberikan kepada para pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Bahwa dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu “dibekukan”, kenyataannya dihapuskan. Pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya oleh warga masyarakat hukum adat yang ada di belakang rumahnya, yang semula menurut ketentuan hukum adat merupakan haknya, tanpa izin pemegang HPH, menjadi suatu tindak pidana. 8) Pasal 67 Ayat (2) : “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. 9) Pasal 67 Ayat (3) : “Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Proses peminggiran terhadap hak-hak masyarakat lokal diyakini sudah terjadi sejak lama dan secara turun-temurun, dimana mereka telah menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, mereka telah turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hutan, telah menjadi masyarakat asing di tanah kelahirannya / leluhurnya sendiri. Dampak yang jelas-jelas terjadi pada masyarakat sekitar hutan sekurang-kurangnya dapat berwujud :
263
Disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah. Maria S.W Sumardjono, Harmonisasi kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah, Materi kuliah hukum Sumber Daya Alam, hal.2.
Universitas Sumatera Utara
a. Peminggiran secara ekonomis yang berwujud : masyarakat lapar tanah (tuna kisna) karena 80% 264 tidak memiliki tanah dan hanya tergantung pada pekerjaan mencari rencek / kayu bakar yang semakin sulit untuk mengimbangi tingginya harga bahan kebutuhan pokok, langkanya pekerjaan 265 dan terbatasnya keahlian yang memaksa mereka hanya tergantung pada hutan di tengah semakin sulitnya bercocok tanam di tengah hutan. Masyarakat miskin atau kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan hutan yang terus-menerus bertambah, sedangkan lapangan pekerjaan di sekitar hutan sangat tergantung pada musim menanam, musim tebang, dan lain-lain. b. Peminggiran secara sosial yang berwujud terputusnya akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya, sehingga sering dikeluhkan mahalnya biaya trasnportasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain. c. Peminggiran secara politis yang berwujud tidak pernah terserapnya aspirasi politik masyarakat dalam kegiatan demokrasi. d. Peminggiran secara kultural yang berwujud ketertinggalan dari berbagai bentuk informasi ke arah perubahan yang lebih positif. Dampak langsung berwujud banyaknya kasus penjarahan hutan jati, penguasaan secara massal tanah kawasan hutan Perhutani, pembabatan secara massal tanaman jati muda. 266 g. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Dalam Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup sub ke 2 : “Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, adat, dan budaya. h. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Hukum Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dikeluarkan pada tahun 2001 melalui Ketetapan MPR Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 4 TAP MPR No. 264
Subadi, Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, (Jakarta: PT Prestasi Pustakarya, 2010),
hal.134. 265 Pekerjaan menanam dan tebang kayu, hanya bersifat musiman yang tidak bisa dijadikan handalan dalam penopang hidup Rumah tangga yang permanen.
266
Subadi, ibid, hal.135.
Universitas Sumatera Utara
IX/MPR/2001 tersebut menentukan antara lain dalam sub j : “Mengakui, Menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/ sumber daya alam” Pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat terdapat dalam berbagai peraturan termasuk Peraturan Daerah (PERDA) yang menggunakan landasan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pembuatan Perda maupun landasan hukum yang berkaitan dengan materi yang diatur dalam Perda tersebut. Contoh beberapa daerah yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy : Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat. Daerah yang sedang membuat Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Tobelo, Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Halmahera Utara 267. i. Undang-undang No. 22/2009 tentang Minyak dan Gas Bumi serta kritikan terhadapnya. 1) Pasal 34 Ayat 1 : “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 2) Pasal 34 Ayat 2 : “Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara : (a) jual beli, tukar-menukar, ganti-rugi yang layak; (b) pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara”. 3) Penjelasan Pasal 34 Ayat (2) : “Yang dimaksudkan dengan pengakuan dalam ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan”. Pengaturan perundang-undangan dalam bidang energi dan sumber daya mineral di Indonesia juga mengalami beberapa kali pengaturan. Pertama kali Undangundang yang mengatur bidang pertambangan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 267
Adonia Ivonne Laturette, Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional, disertasi, (Surabaya : Unair, 2011), hal. 131.
Universitas Sumatera Utara
1959 tentang Pembatalan Hak-hak Pertambangan. Kemudian pada tahun 1961, diundangkan Undang-Undang No. 11 tahun 1961 tentang Tambahan Atas Lampiran Undang-undang No. 10 Tahun 1959, dengan pertimbangan masih ada hal-hal pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949 dan hingga tanggal 25 April 1959 tidak atau belum dikerjakan serta masih termasuk dalam daftar hak-hak pertambangan yang dibatalkan. Kemudian pada tahun 1967 regulasi pertambangan diperkuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sampai sebelum memasuki Tahun 1971, segala bidang usaha pertambangan menggunakan Undang-undang No. 11 Tahun 1967. Barulah pada tahun 1971 dibentuklah Undang-undang yang lebih spesifik yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 268. Perkembangan terbaru dalam bidang pertambangan mineral dan batubara adalah telah diundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-undang Minerba) yang efektif sejak 12 Januari 2009. Kritikan terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009/ Undang-undang Minerba ini sebagai pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1967 itu tak ubah seperti ular berganti kulit. Undang-undang ini dinilai sarat dengan kepentingan melindungi perusahaan tambang, pemegang Kontrak Karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, sehingga makin melenggangkan sistem keruk cepat dan jual murah bahan tambang Indonesia. 269 Menurut Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), setidaknya ada 6 (enam) masalah yang utama dalam Undang-undang Minerba : 1. Tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan negosiasi terhadap Kontrak Karya 2. Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini menguatkan ego sentral, melalui lahirnya Wilayah Pertambangan 3. Undang-undang ini tidak menempatkan pentingnya menjaga dan melindungi perairan pesisir laut
268
Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum (Yogyakarta : Pusaka Yustisia, 2010), hal. 34. 269
Ibid, hal. 53-54
Universitas Sumatera Utara
4. Undang-undang ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses perijinannya sehingga tidak efektif untuk menangani dampak pencemaran lingkungan\ 5. Mempercepat kerusakan sarana dan prasarana umum karena Undangundang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membolehkan untuk dimanfaatkan menjadi Sarana Pertambangan 6. Terjadi Kontradiktif dengan Undang-undang Lingkungan Hidup yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan 270 Menurut hasil survei tahunan konsultan independen Pricewaterhouse Cooper (PwC) terhadap sektor pertambangan Indonesia, Undang-undang Minerba dinilai memperburuk iklim investasi. Hasil ini disampaikan Technical Advisor PwC bidang pertambangan Saeha Winzenried 271 Survei juga menyebutkan Undang-undang Minerba merupakan kemunduran dibandingkan sistem Kontrak Karya dan menghambat perkembangan sektor pertambangan dan peraturan kehutanan, duplikasi dan kontradiksi antara peraturan pemerintah pusat dan daerah serta ketidakadilan divestasi kepemilikan asing dan penutupan tambang dinilai merugikan pebisnis. Banyak proyek dan rencana investasi pertambangan yang dijadwalkan mulai tahun ini tertunda, akibat sistem KK diganti. Kendati industri pertambangan mencatat hal keuangan yang bagus ketika lojakan harga komoditas pada 2007 & 2008, pengeluaran eksplorasi untuk proyek baru sangat rendah. Pemerintah bahkan gagal menarik investasi baru pada masa keemasan harga komoditas sebab masalah yang menghambat investasi baru sulit diselesaikan. 270
Ini menimbulkan masalah bagi masyarakat adat yakni : Hak veto mereka tidak diakui karena hanya memiliki 2 pilihan yakni ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke Pengadilan. Bahkan penduduk lokal beresiko dipidana setahun atau denda Rp. 100 juta jika menghambat kegiatan pertambangan. 2. Kawasan lindung dan hutan adat yang diakui oleh masyarakat hukum adat akan terancam karena alih fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah, H.P Panggabean, Inkonsistensi Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, khususnya dalam hal pemberdayaan hak masyarakat Hukum Adat, Seminar MHA, 6 Agustus 2012, Hermina Hall Darma Agung, Medan 271 Hasil Survei PwC, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Perburuk Iklim Investasi Tambang” http : //www.tekmira.esdm.go.id/ currentissues/?p=1759 1.
Universitas Sumatera Utara
Investor pertambangan nasional lebih memilih untuk mengeluarkan biaya tetapi tidak bersedia menanamkan modal, hingga saat ini belum ada jaminan, sebagian besar masalah yang menghambat pertambangan dapat diselesaikan melalui Undang-undang Minerba 272. Berikut diuraikan beberapa hal yang bersifat kontroversi setelah diundangkannya UU Minerba : 1. Adanya kontradiksi pada Pasal Peralihan Dalam Pasal 169 a UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan : “Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan dan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian”. Namun butir b menyebutkan : “Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan Negara.” Pada Pasal 169 a, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini akan tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak maupun perjanjian, sementara pada pasal b, disebutkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B harus disesuaikan paling lambat 1 tahun setelah Undang-undang diberlakukan kecuali terkait penerimaan negara. Aturan Peralihan pada hakikatnya memberikan kepastian hukum. Ketentuan tersebut membingungkan, di satu sisi mengakui dan menghormati jangka waktu kontrak/ perjanjian, akan tetapi di sisi lain substansi kontrak/ perjanjian disesuaikan dengan Undang-undang baru, artinya ketentuan peralihan memaksa para pihak untuk mengubah kontrak/ perjanjian 2. Sistem kontrak/ perjanjian diganti dengan sistem perizinan Hampir semua wilayah yang mengandung batu bara nyaris sudah dibagi habis oleh sejumlah Konglomerasi melalui PKP2B itu. 273 272
Ibid
273
H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2005, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 35, Usaha pertambangan dilakukan dalam tiga bentuk : a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) c. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Dalam Pasal 36, IUP terdiri dari 2 tahap : 1) IUP eksplorasi : penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. 2) IUP operasi produksi : kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. 3. Pendapatan Negara dan Daerah Dalam pasal 129 UU Minerba ditegaskan bahwa : a. Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar 4% (empat persen) kepada pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. b. Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut : 1) Pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen) 2) Pemerintah kabupaten/ kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen), dan
Universitas Sumatera Utara
3) Pemerintah kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen) Dengan adanya ketentuan ini, investor mau tidak mau harus membayar 10% kepada pemerintah dari keuntungan bersih usahanya. Tidak ada peluang negosiasi atas jumlah yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Tentu saja hal ini memberikan keuntungan kepada pemerintah dan sekali lagi memperkuat posisi pemerintah sebagai regulator. 4. Kewajiban reklamasi dan pascatambang Pasal 100 UU Minerba : 1) Pemegang IUP dna IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. 2) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menerapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Artinya pelaku usaha tidak diberi kewajiban tuntas dan tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang ditimbulkannya. 274 Sebenarnya ketentuan ini bermaksud memberikan jaminan perlindungan lingkungan dan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan usaha pertambangan. Namun adanya klausula bahwa investor wajib memberikan dana jaminan reklamasi dan pascatambang yang dapat digunakan oleh pihak ketiga jika investor tidak melakukan kewajibannya memberikan peluang kepada invenstor untuk bersikap “cuek” (apatis) terhadap kewajiban tersebut 275. Seharusnya kewajiban pemberian dana tersebut disertai dengan sanksi apabila investor tidak melakukan reklamasi dan pascatambang. Dengan ketentuan Pasal 100, akan memungkinkan investor untuk tidak melakukan kewajibannya karena 274
Pandangan Fraksi PAN mengenai RUU Minerba ;
Id=8>
Universitas Sumatera Utara
pemerintah akan menunjuk pihak ketiga untuk menggantikan investor melakukan kewajibannya. 5. Pasal 91 UU Minerba : “Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini jelas merugikan masyarakat. Dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik maka yang akan dirugikan bukan hanya masyarakat melainkan pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi, seperti di Kalimantan Selatan, jalan yang seharusnya digunakan oleh 8 ribu kendaraan per hari, bias dilewati hingga 9 ribu lebih kendaraan, dan jumlah itu yang paling banyak adalah truk-truk pengangkut batu bara. Sebanyak 27% (dua puluh tujuh persen) jalan-jalan yang dilewati oleh truk batu bara menjadi rusak berat. Belum lagi efek pemakaian jalan tersebut, bisa menimbulkan kecelakan atau infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Artinya Undang-undang ini memberi ruang terhadap keburukan-keburukan, dan yang menanggung biaya adalah masyarakat lokal dan APBD. Hal ini berarti pula UU Minerba tidak punya sensitivitas terhadap masalah. 276 j. Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan 277 Pasal 35 Ayat (6) : “Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, penyelesaiannya dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai peraturan perundangundangan di bidang pertanahan dengan memerhatikan ketentuan hukum adat setempat.” 275
H.P. Panggabean, Op Cit, hal 11. Nida Sa’adah, “UU Minerba dan BatuBara : Melanggengkan Sistem Keruk Cepat dan Jual Murah Bahan Tambang Indonesia;
277 Mahkamah Konstitusi telah menjelaskan, hak menguasai Negara yang tercantum dalam Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 sebagai berikut, dengan Putusan MK dalam pengujian UU Ketenagalistrikan : Bukan dalam makna Negara harus memiliki, melainkan Negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan 276
pengaturan (regelandaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaa), melakukan pengawasan (toetzichthourdesdaad), Andi Muttaqinh, op cit, hal.266.
Universitas Sumatera Utara
k. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan kritikan terhadapnya : 1) Dalam Pasal 6 Ayat 2 : “Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.” 2) Dalam Pasal 6 Ayat 3 : “Hak Ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”. Ada 4 (empat) variable yang sangat menentukan guna dipakai untuk melihat keberhasilan dari proyek privatisasi air, yaitu : 1) Jumlah pelanggaran (bertambah atau tidak) 2) Kualitas air (membaik atau memburuk) 3) Sumbangan terhadap PAD (bertambah atau membebani) 4) Tarif 5) Mutu pelayanan (Memuaskan atau menjengkelkan) Kemudian dapat dilihat dari dampak negatif antara lain : 1) Konflik kepentingan penggunaan air (antar petani, antara petani dengan perusahaan, antara petani dengan pemerintah) 2) Penurunan kualitas air sungai dari kelimpahan biota air 3) Perubahan pola tanam. Pengeluaran tambahan akibat pompanisasi karena air irigasi tidak ada atau tidak cukup. Tidak ada tambahan pendapatan masyarakat atau pendapatan desa. 4) Kecemburuan sosial terhadap masyarakat tertentu (hulu) 278
278
Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, (Semarang : Surya Pena Gemilang Publishing, 2010) hal. 260
Universitas Sumatera Utara
Masalah keadilan timbul dalam situasi yang oleh John Rawls 279 disebut “Circum Srance Of Justice (COJ), suatu rumusan yang berasal dari David Hume. Hume sendiri menyebut COJ untuk menggambarkan bahwa keadilan baru merupakan keutamaan yang relevan (relevant virtue) hanya apabila terjadi kelangkaan dan orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan bantuan. Prinsip keadilan Hume hanya berkaitan dengan situasi empiris transaksi antar individual, sedangkan COJ Rawl, adalah Objective COJ, yaitu “situasi normal sengketa klaim dimana kerjasama antara manusia dan perlu” Oleh Karena itu, pengertian keadilan mengandaikan dua syarat : 1) Masyarakat 2) Situasi kelangkaan wajar Kita hanya bias membicarakan masyarakat adil jika yang disebut masyarakat itu memang ada. Keadilan selalu berhubungan dengan hak. Keadilan sosial dalam bidang distribusi air akan muncul dan dibutuhkan telah terjadi kelangkaan distribusi air dalam masyarakat. 280 l. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan kritikan terhadapnya : 1) Pasal 9 Ayat (2) : “Dalam hal tanah yang diperlukan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak dimaksud Ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.” Justru Pasal tersebut di atas wujud pertentangan dengan konstitusi UUD RI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2). Berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis, maka UUPA akan dikalahkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan itu, karena UUPA merupakan peraturan dasar pokok-pokoknya saja dari Hukum Agraria Nasional bersifat umum, di dalam pasal-pasalnya berisi peraturan-peraturan penggunaan, 279 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial (Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005) hal. 4 280 Suteki, Op Cit, hal. 268.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan atas tanah melalui macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara kepada perseorangan/ badan hukum, sedangkan Undang-undang No. 18 Tahun 2004 hanya mengatur pengelolaan perkebunan (bersifat khusus). Hal ini menyebabkan terjadinya disinkronisasi secara horizontal jika berdasarkan lex posteriori derogate lex priori, maka UUPA pun akan dikalahkan oleh Undangundang No 18 Tahun 2004, karena UUPA lahir lebih dahulu, yaitu tahun 1960, sedangkan Undang-undang Perkebunan lahir tahun 2004. Secara ideologis filsafati keduanya sama-sama mengacu Pasal 33 ayat 3 UUD RI Tahun 1945, tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma 281 memang tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi menghilangkan hak-hak warganegara melalui Undang-undang Perkebunan. Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 6 menyatakan : Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas : pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan, kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan/ atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Penjelasan Pasal 6 ayat 1a : Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Undang-undang Perkebunan, materi muatan dalam pasal-pasalnya tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat (miskin), karena dalam kenyataan di lapangan rakyat masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor. Sudah sewajarnya jika perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai hakhak tradisional mereka yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk Undang-undang segera dapat diwujudkan agar dengan demikian ketentuan Pasal 18 B UUD 1945 mampu menolong keadaan hak-hak masyarakat hukum adat yang semakin termarginalisasi dan dalam kerangka mempertahankan pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara 282. Untuk mengatasi persoalan sengketa pemilikan tanah perkebunan yang berhubungan dengan hak ulayat seharusnya negara konsisten dengan penjelasan Pasal 9 Ayat (2) Undang-undang Perkebunan tentang eksistensi masyarakat hukum adat memenuhi 5 (lima) syarat yaitu (a) masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeinschaft), (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangat 281
Andi Muttaqien, dkk, Wajah Baru, Suhaningsih : Analisis hukum mengenai eksistensi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dengan permasalahan yang timbul, UU Perkebunan, hal. 271 282 Jadi bukannya meminggirkan bahkan meniadakan hak atas tanah ulayat, karena tercapainya musyawarah untuk mencapai sepakat mengenai penyerahan tanah ulayat pada pemegang hak baru (investor).
Universitas Sumatera Utara
penguasa adat, (c) ada wilayah hukum adat yang jelas, (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati, dan (e) ada pengukuhan dengan peraturan daerah. 283 Syarat ini berbeda dengan Permenag No. 5 Tahun 1999. Pasal 5 Ayat (1) Permenag No. 5 Tahun 1999 : “Penelitian dan Penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 di oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan instansi-instansi yang mengelola sumberdaya alam. Pasal 5 Ayat (2) menyatakan : “Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan menumbuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah”. 2) Pasal 6 menyatakan : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan”. Sebelum dilakukan penelitian tersebut, sulit menentukan siapakah yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan pidana Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Perkebunan. 284 Frasa “dan/ atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” dalam : 3) Pasal 21 Undang-undang aquo mengandung ketidakpastian hukum : Apakah yakin dengan tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya perkebunan-perkebunan disebut tindakan lainnya tentunya sangat luas dan tidak terbatas. 285 m. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Dalam Pasal 6 Ayat (2) : “Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hak adat dan/ atau kearifan lokal serta memerhatikan peran serta masyarakat”. 283
Achmad Sodiki : Putusan MK yang berkenaan dengan sumber agraria, Seminar dan Lokakarya Nasional, Konflik Perkebunan : Mencari Solusi yang berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil, (Malang : Unibraw, 2012), 24-25 Mei 2012, hal. 19. 284 Pasal 21 dan 47 Undang-Undang Perkebunan 285
Achmad Sodiki, Op Cit, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
n. Undang-undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Dalam Pasal 58 Ayat (3) : “Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian”. o. Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1) Dalam Pasal 1 Angka 33 : Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukin di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik sosial, dan hukum 2) Dalam Pasal 17 : 1) HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. 2) Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. 3) Dalam Pasal 18 : HP-3 dapat diberikan kepada : a) Orang perseorangan warga negara Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c) Masyarakat Adat 4) Dalam Pasal 21 : (4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk : 1) Memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
Universitas Sumatera Utara
2) Mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan/ atau masyarakat lokal; 3) Memerhatikan hak masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta 4) Melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3. 5) Dalam Pasal 61 : a) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. b) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan. Disamping berbagai Undang-Undang tersebut di atas, perlu dicatat bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA. Peraturan Menteri ini seara eksplisit mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak atas tanah adat berbagai macam dan bertingkat, yang paling tinggi adalah hak menguasai atau hak ulayat. Hak Ulayat. Hak ini yang merupakan hak terutama dari hak-hak atas tanah adat merupakan sekumpulan hak suatu persekutuan hukum adat yang biasanya merupakan suku, serikat desa atau biasanya hanya sebuah desa yang bersumberdaya dari hak untuk menguasai tanah beserta seluruh isinya dalam lingkungan hidup wilayahnya. Hak ini dikenal sebagai hak purba 286. Hak pertuanan 287 atau hak ulayat (UndangUndang Pokok Agraria, meminjam istilah Minangkabau). Oleh Van Vollenhoven hak ini disebut sebagai beschikkingsrecht. Di Jawa dan Madura kurang kuat dan tidak lagi mempunyai arti penting. Hak ini mempunyai beberapa ciri pokok yang dapat dilihat dengan jelas di luar Jawa sebagai berikut 288: Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah di wilayah kekuasaannya; Orang luar dapat mempergunakan tanah di wilayah tersebut dengan ijin penguasa wilayah tersebut disertai dengan pembayaran kepada persekutuan hukum. Bila tidak dianggap melakukan pelanggaran; Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah tersebut khusus untuk keperluan sendiri. Apabila untuk orang lain dianggap sebagai orang luar, Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di wilayah tersebut, terutama tindakan melawan hukum (delik); Hak ini tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan untuk selamanya; Hak ini juga meliputi tanah yang sudah merupakan milik perseorangan. Hak-hak atas tanah adat terutama hak ulayat sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban suatu persekutuan hukum adat atas lingkungan hidupnya ini meliputi bidang hukum publik seperti pengelolaan lingkungan tersebut maupun hukum perdata seperti kepunyaan bersama atas lingkungan tersebut. Hak ini meliputi semua tanah yang ada di lingkungan hidup tersebut baik yang sudah ada haknya maupun yang belum. Dalam hukum adat tidak dikenal istilah res nullius, benda atau tanah yang tidak ada pemiliknya sama sekali. Hak ulayat ini adalah milik semua anggota persekutuan hukum, bukan orang seorang. Hak Milik (Inlands Bezitsrecht). Apabila warga persekutuan hukum adat memerlukan tanah untuk kehidupannya mereka dapat pergi ke hutan dalam wilayah 286
M.M. Djojodigoeno, dan R Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middel-Java, (Bandung : Sukamiskin, 1940), hal. 36. 287 Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, terjemahan H.B. Jassin. (Jakarta : Gita Karya, 1963), hal. 236. 288 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, op cit, hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hidupnya dan membukanya. Perbuatan tersebut dilakukan dengan memenuhi asas religio-magis yaitu hubungan dengan dunia nyata maupun dunia yang tidak kelihatan. Hubungan dengan dunia nyata dilakukan dengan memberitahukannya kepada Kepala Persekutuan Hukum Adatnya. 289 Hubungan dengan dunia tidak kelihatan dilakukan dengan membuat upacara yang di luar Jawa terutama Sumatera disebut dengan pancung alas guna memulihkan keseimbangan religio-magis. Setelah terbukti intensitas pengerjaannya dalam waktu yang lama tanpa terputus tanah hutan tersebut dapat menjadi hak milik warga yang mengerjakan tanah tersebut. Di Jawa dan Madura hak ini disebut dengan hak atas tanah yasan (milik). Hak ini memberikan wewenang untuk memperlakukan suatu benda sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak ini meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari benda tersebut dan hak untuk mempergunakannya seolah-olah sang pemegang hak itu pemiliknya. Sehingga dia boleh menjual, menggadaikan atau memberikannya kepada pihak lain. Hak ini dibatasi oleh beberapa hal. Batas pertama adalah Staatsblad Tahun 1875 Nomor 179 tentang larangan Penjualan Tanah, Staatsblad Tahun 1906 Nomor 83 tentang Peraturan Desa (Inlandse Gemeente Ordonnantie). Yang lain adalah serangkaian kewajiban yaitu kewajiban untuk menghormati hak menguasai desa selama hak milik masih diliputinya; kewajiban menghormati kepentingan pemilik hak lainnya; kewajiban mentaati dan menghormati ketentuan-ketentuan tentang pemilik tanah dalam hukum adat. 290 Baik Perseorangan maupun persekutuan hukum dapat menjadi pemegang hak milik. Dengan demikian terdapat hak milik perseorangan dan hak milik komunal. Di luar Jawa dan Madura hak milik ini memberikan wewenang untuk mendapat kenikmatan sepenuhnya atas benda dan mempergunakannya seakan-akan kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak ini dapat diperoleh dengan : membuka tanah, dan mengajukan permintaan. Kepada para kuli kontrak di Lampung diberikan hak milik setelah tanah dikerjakan selama 10 tahun oleh Residen. Atas tanah domein bebas di ibukota-ibukota daerah dapat diberikan juga hak milik oleh Direktur Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan subjeknya terdapat dua jenis Hak Milik. Yang pertama adalah Hak Milik Perseorangan (Erfelijk Individueel Bezitsrecht). Di Jawa hak ini terdapat di Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah-daerah yang penduduknya berasal dari Madura; dan juga di Madura. Karena banyak tanah dibuka maka untuk mencegah hal yang berlebihan dikeluarkan Ontginnings Ordonnantie (Peraturan Pembukaan Tanah) 289 290
Happy Warsito, Hak-hak Keagrariaan Adat ,op cit, hal.127. Ibid
Universitas Sumatera Utara
dalam Staatsblad Tahun 1925 No. 649 jo Tahun 1928 No. 340, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, dan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 423. Untuk luar Jawa dimuat dalam peraturan agraria berlainan. Tanah negara bebas (vrijlands domein) boleh dibuka dengan ijin Gubernur. Dikecualikan adalah: lelaki yang tidak mampu, perempuan, perserikatan desa, badan keagamaan dan badan pemerintah. Apabila pemegang ijin meninggal maka warisnya berhak membuka atau melanjutkan pembukaan tanah. Apabila pemegang ijin tidak memenuhi syarat, ijin dapat dicabut. 291 Yang kedua adalah hak milik komunal: sawah desa (Cirebon, Kedu, Tegal, Pekalongan); playangan (Banyumas); sanggan (Bagelen); norowito, sewon, jung, bakon (Jepara); kramanan, ideran, bagen, rojo, kongsen (Rembang). Hak ini bukanlah hak asli bangsa. Perubahan hak milik perseorangan menjadi hak komunal terjadi sewaktu kompeni (Verenigde op Oost Indische Compagnie: VOC) mengadakan rodi (kerja paksa) dan monopoli. Hak ini berkembang terutama karena Tanam Paksa di Jawa dan Madura. Hak ini tidak boleh diasingkan namun boleh dijual atau digadaikan kepada bumiputera sesuai dengan hukum adat. 292 Apabila seorang warga desa membuka tanah yang diatasnya terdapat hak komunal maka diperolehnya hak pakai atas tanah tersebut. Hak ini memberikan wewenang untuk mengusahakan, serta memberikannya kepada orang lain, menggadaikan maupun menyewakan baik kepada bumiputera maupun bukan (Pasal 13 Inlands Gementee Ordonnantie, Staatsblaad Tahun 1906 Nomor 83). Di Jawa Tengah hak ini bercampur dengan hak milik perseorangan. Hak ini terdapat di Jawa Barat dan luar Jawa dan Madura. Di daerah dengan hak milik komunal terdapat pembagian dengan bagian yang tetap maupun yang diperbarui tiap waktu. Pekarangan rumah selalu merupakan hak milik perseorangan. Hak semacam ini sering menimbulkan penyalahgunaan yang berupa kecurangan dalam pembagian, kurangnya hasrat untuk mengerjakannya dengan baik atau memperbaikinya karena tiada jaminan untuk dapat mengerjakannya dalam waktu yang lama (diperbarui sewaktu-waktu). Karena itu diadakan kesempatan untuk mengubah (konversi) hak ini menjadi hak milik perseorangan dengan Convertie Besluit, Staatsblad Tahun 1885 Nomor 102. Konversi dilakukan apabila minimal ¾ dari yang berhak memakai tanah menghendaki dan menyetujui cara pembagiannya; tiap orang yang berhak memakai tanah komunal menerima bagian tanah dengan hak milik perorangan; dan tanah bengkok dikeluarkan dari pembagian. 293 Rencana 291
Ibid, hal.128. Ibid 293 Ibid 292
Universitas Sumatera Utara
pembagian diberitahukan kepada Residen yang membentuk Panitia Pemeriksaan. Setelah memeriksa dan mendengar yang berkepentingan kemudian dibuat berita acara. Apabila tidak terdapat keberatan Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten memutuskan perubahan tersebut. Karena ketentuan ini tidak sesuai dengan hukum adat maka jarang dipergunakan. Desa-desa dengan pembagian tetap kembali dengan sistem pembagian berganti. Selain dengan konversi, terdapat tiga cara untuk mendapatkan hak milik yaitu: pembukaan tanah, pemberian pemerintah, dan pernyataaan peraturan. Pasal 7 Staatsblad Tahun 1870 Nomor 118 menentukan bahwa Gubernur Jenderal menetapkan peraturan pembukaan tanah Bumiputera. Karena itu untuk Jawa Madura dikeluarkan Ontginnings Ordonnantie dalam Staatsblad Tahun 1874 Nomor 179, Staatsblad Tahun 1896 Nomor 44, dan Staatsblad Tahun 1925 Nomor 649, dengan beberapa perubahan. Peraturan ini mulai berlaku di Jawa Barat pada 1929 dengan Staatsblad Tahun 1928 Nomor 538, di Jawa Tengah pada 1931 dengan Staatsblad Tahun 1930 Nomor 428, dan di Jawa Timur pada 1931 dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 115. Terdapat tiga tujuan peraturan ini. Yang pertama adalah membatalkan penggarapan atau pembukaan tanah; yang kedua untuk mencegah pembukaan daerah dengan mata air yang menghalangi pengairan; dan yang ketiga untuk mengatur hak menguasai (ulayat) desa. 294 Ditentukan bahwa untuk membuka tanah diperlukan ijin pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal. Hal ini terjadi cuma-cuma dan tidak dapat dioperkan tanpa persetujuan pemberi. Apabila yang mendapatkannya meninggal maka ahli waris dapat melanjutkan atau memulai pembukaan tanah. Ijin dapat ditolak untuk kepentingan negara atau pihak ketiga. Ijin juga dapat dicabut bila tidak selesai dalam waktu ditentukan atau tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Dalam Pasal 6 ditentukan apabila semua syarat dipenuhi maka pembukaan tanah mendapatkan hak milik. Untuk luar Jawa Madura diatur dengan Peraturan Agraria (Agrarisch Reglement) : Staatsblad Tahun 1915 Nomor 678, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 497, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 560 untuk karesidenan Sumatra Barat; : Staatsblad Tahun 1918 Nomor 80, : Staatsblad tahun 1919 Nomor 98 untuk karesidenan Manado; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 508; Staatsblad Tahun 1927 Nomor 194, : Staatsblad Tahun 1927 Nomor 451, Staatsblad 1938 Nomor 157, Staatsblad 1938 Nomor 371 untuk karesidenan Bangka dan sekitarnya; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 509, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 394, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 561,
Universitas Sumatera Utara
Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371, Staatsblad Tahun 1939 Nomor 47 untuk karesidenan Bali dan Lombok; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 253, Staatsblad Tahun 1924 Nomor 595, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 392 untuk karesidenan Riau dan sekitarnya; Staatsblad Tahun 1927 Nomor 40, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 195, Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371 untuk karesidenan Tapanuli; Staatbld Tahun 1925 Nomor 353, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 596, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 141, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 286, Statblad Tahun 1927 Nomor 193, Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371 untuk keresidenan Sumatera Selatan. 295 Hak Usaha (Mengerjakan dan Menanami) 296. Di daerah-daerah dimana hak milik masih dikuasai oleh hak menguasai (ulayat) maka hak usaha ini sama dengan hak milik. Hak ini dapat diwariskan tetapi tidak dapat dijual. Hak ini timbul karena penggarapan tanah yang di bawah raja-raja yang berkuasa mutlak. Apabila raja ini tak ada lagi hak milik bebas timbul. Yang termasuk dalam hak semacam ini adalah : Hak atas tanah penduduk di sebelah barat Sungai Cimanuk yang di dalam Staatsblad Tahun 1912 Nomor 422 disebut sebagai hak erfpacht. Lain dengan hak erfpacht menurut Burgerlijk Wetboek. Selanjutnya Hak memetik berhubungan dengan kebun kopi pemerintah dulu. Dengan Staatsblad Tahun 1910 Nomor 163 mereka yang wajib menanami setelah hapusnya tanam paksa diberi hak memetik atas tanah negara yang atas perintah negara ditanami kopi; Hak para kuli kontrak dari Bagelen atau tempat lain di Jawa atas tanah di Lampung berdasarkan Bijblad Nomor 7535. Hak menikmati tanah untuk sementara. Tanah liar atau kosong yang tidak termasuk desa dibuka dengan tidak mendalam dan setelah dipungut hasilnya sekali atau dua kali, ditinggalkan. Hak ini lemah tak dapat dijual, digadaikan atau diwariskan dan akan bebas apabila penggarapan dihentikan. Hak pakai atas tanah persekutuan. Tanah persekutuan adalah tanah yang oleh golongan bumiputera dipakai perseorangan, yaitu tanah komunal di Jawa dan Madura maupun tanah bengkok. Hak pakai ini hanya berlangsung selama hidup atau selama menjadi penduduk desa atau selama menjabat. Hak meramu atau mengumpulkan. Hak ini meliputi wewenang untuk menggali, memburu dan menggembala sebagai akibat dari hak mengusai desa. Semula tidak ada campur tangan pemerintah namun akhirnya dipandang perlu untuk mengeluarkan Staatsblad Tahun 1930 Nomor 38 tentang Pertambangan, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 133 tentang Perburuhan dan Staatsblad Tahun 1932 Nomor 17 tentang Cagar Alam. Hak menggembala tersedia bagi tiap penduduk desa yang termasuk dalam desa 294
Ibid, hal.129. Ibid 296 Ibid, hal.131. 295
Universitas Sumatera Utara
atau di tempat tertentu atas tanah liar atau kosong atau tanah yang baru dipungut hasilnya bila dibiarkan kosong tidak ditanami atau dipagari. 297 Hak membagihasilkan. Sering seorang pemilik tanah menyuruh orang lain mengerjakan tanah dengan perjanjian bahwa hasil kotor dari tanah garapan tersebut akan dibagi bersama. Lazim dijumpai di atas tanah dengan hak milik perorangan, hak milik komunal atau bengkok. Biasa disebut ngedol tahunan dengan pembayaran uang ataupun hasil bumi. Penggarap atau pekerja menikmati hasil dari tanah orang lain lalu membayar sejumlah imbalan kepadanya. Jarang terjadi di antara Pribumi. Hak gadai atas tanah. Gadai adalah perjanjian dimana sebidang tanah oleh pemiliknya diserahkan kepada orang lain untuk dipakai dengan pembayaran sejumlah uang dengan kewajiban mengembalikannya apabila uang telah dibayar kembali atau denga kata lain perjanjian penyerahan tanah untuk dipakai orang lain dengan pembayaran dengan hak untuk menebusnya. Hak ini tidak dapat diwariskan. 5. Transaksi yang dikenal dalam hukum adat a) Transaksi atas Tanah Adat Dari hak atas tanah adat dapat timbul transaksi hak atas tanah adat. Transaksi dapat langsung yaitu transaksi atas tanah adat secara sempit: tanah dan transaksi yang tidak langsung namun bersangkutan dengan tanah. Terdapat bermacam transaksi tanah, umumnya jual. Sedang Transaksi yang bersangkutan dengan tanah: bagi hasil, sewa, kombinasi dan tanggungan atas tanah. Dari transaksi ini timbul pula hak turunannya. Dalam hukum adat pengertian tanah termasuk juga segala sesuatu yang berada di atas dan di dalamnya. Jual. Transaksi ini sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil di lapangan hukum harta kekayaan dan merupakan perbuatan tunai dan berobjek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai prestasi) bersamaan dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya atau sebagian sebagai kontra prestasi). Banyak istilah untuk perbuatan tersebut (Jual: Indonesia, sade: Jawa) Menurut hukum tanah transaksi ini dapat mengandung tiga maksud 298. Pertama, menjual gadai : menggadai (Minang), adol sende (Jawa), ngajual akad/gade (Sunda). Perbuatan ini berupa penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai dengan ketentuan bahwa si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan penebusan kembali. Timbul hak 297
Ibid Ibid, hal.133.
298
Universitas Sumatera Utara
gadai; Kedua, menjual lepas: adol plas, run tumurun, pati bogor (Jawa), menjual jaja (Kalimantan). Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai tanpa hak menebus kembali. Penyerahan ini berlaku untuk seterusnya/selamanya; Timbul hak milik atas pemilik baru untuk selamanya; dan Ketiga, menjual tahunan: adol oyodan (Jawa). Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai dengan janji: tanpa perbuatan hukum lagi tanah akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya sesudah berlalu beberapa tahun/beberapa kali panen (menurut perjanjian). Timbul hak milik untuk sementara. Dalam pengertian tanah termasuk pula perairan misalnya empang/tebat/tambak ikan. Transaksi itu harus dilakukan secara terang agar terjamin/terlindung dalam lalu-lintas hukum bebas khususnya terhadap kemungkinan gugatan/tangkisan pihak ketiga yaitu dilakukan dengan bantuan/kesaksian Kepala Persekutuan Hukum. Jual Gadai. Hak pembeli gadai untuk menikmati manfaat yang melekat pada hak milik benda gadai dengan pembatasan: tidak boleh menjual lepas tanah gadai kepada pihak lain; tidak boleh menyewakan tanah gadai untuk lebih dari satu musim (jual tahunan). Pembeli boleh mengoper gadai (doorverpanden) atau menggadaikan kembali/dibawah harga (onderverpanden) tanah kepada orang lain jika sangat memerlukan uang karena dia tidak dapat memaksa penjual gadai untuk menebus tanahnya; Membagi hasilkan (belah pinang, paruh hasil tanam, maro dan Penebusan gadai) tergantung dari kehendak penjual gadai. Hak menebus bahkan dapat beralih kepada ahli warisnya. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai. Dalam hal transaksi gadai disusuli dengan penyewaan tanah oleh penjual gadai sendiri dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak membayar uang sewa maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh pembeli (merangkap penguasa) atas tanah yang kini berfungsi rangkap: objek gadai sekaligus objek sewa. 299 Setahu dan seijin penjual gadai sang pembeli gadai dapat mengoperkan gadai kepada pihak ketiga yaitu menyerahkan tanah tersebut kepadanya dengan menerima sejumlah uang tunai. Dengan demikian terjadilah pergantian subjek di dalam perutangan yang sama: hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai semula berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai yang baru. Tanpa setahu dan seijin penjual gadai sang pembeli gadai dapat
Universitas Sumatera Utara
menggadaikan kembali tanah itu kepada pihak ketiga dengan janji: sewaktuwaktu dia dapat menebus tanah itu dari pihak ketiga tersebut. Dengan demikian terdapat dua perutangan: antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai semula (terang-terangan); serta antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketiga yang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi). Bila suatu waktu penjual gadai semula menebus tanahnya sang pembeli gadai yang semula harus cepat-cepat menebusnya dari pembeli gadai yang baru. Tanah yang menjadi objek transaksi rangkap kembali dengan aman kepada pemiliknya. 300 Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria gadai ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 (Undang_undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960) tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Peraturan ini berisi pembatasan terhadap lama waktu menggadaikan tanah dan bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tanah tersebut. Praktik menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh lebih besar dari bunga yang pantas dari uang pembeli gadai dahulu Pasal 7 nya menentukan bahwa tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada pemilik tanah/penjual gadai tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan. Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang terdapat di atasnya selesai dipetik hasilnya. Untuk gadai yang berlangsung kurang dari 7 tahun sang pemilik dapat memintanya kembali setiap waktu setelah selesai pemetikan tanaman yang ada dengan membayar uang tebusan berdasarkan rumus: (7+1/2) x waktu gadai : 7:2 x uang gadai. Dengan perubahan nilai mata uang. Mahkamah Agung telah menetapkan bahwa resiko dari perubahan nilai uang rupiah ditanggung rata oleh baik penjual gadai maupun pembeli gadai. Penilaian dilakukan menurut harga emas. Jual Lepas. Perjanjian jual lepas tanah selesai dengan tercapainya persetujuan/persesuaian kehendak (konsensus) diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan Kepala Persekutuan Hukum yang berwenang dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Perjanjian ini bersifat riil, hak milik atas tanah berpindah 299 300
Ibid Ibid, hal.134.
Universitas Sumatera Utara
meskipun formalitas balik nama belum dilakukan (dipandang sebagai bagian dari rangkaian pemindahan hak milik). Van Vollenhoven 301 berpendapat bahwa jual lepas sebidang tanah atau perairan adalah penyerahan benda itu di hadapan orang-orang yang ditunjuk oleh Hukum Adat dengan pembayaran uang pada saat itu atau kemudian (Adatrecht hal 241). Oleh Enthoven dikemukakan bahwa penjualan barang tidak bergerak adalah penyerahan dengan harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang membentuk kewajiban untuk menyerahkan. Menurut Hukum Indonesia penjualan dan penyerahan adalah satu 302. Sedangkan Ter Haar 303 menjelaskan bahwa pada waktu di hadapan Kepala Persekutuan Hukum dinyatakan bahwa saya mengaku telah menyerahkan tanahnya dan telah menerima harganya maka saat itulah hak pembeli tercipta baik hak gadai atau hak milik maupun hak sewa. Mahkamah Agung dalam keputusan tertanggal 25-9-1957 berpendapat bahwa keterangan jual beli saja belum mengakibatkan pemindahan atau penyerahan hak milik. Keterangan ini harus diikuti pula dengan semacam levering. Sebelumnya hak milik belum berpindah. Menurut pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa walaupun dengan surat Notaris dan surat di bawah tangan serta yang disimpan pada Notaris yang dimaksudkan dalam putusan judex facti di dalamnya disebutkan bahwa para pihak bersangkutan menerangkan menjualbelikan tanahnya belum dapat diterima bahwa sebenarnya telah terjadi pemindahan atau penyerahan hak milik oleh yang dinamakan penjual kepada yang dinamakan pembeli 304. Pembicaraan yang mengandung janji (afspraak) saja tidak mengakibatkan kewajiban. Namun janji lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu (uang atau benda lain) dapat menimbulkan kewajiban hanya untuk berbuat sesuatu missal untuk menjual atau membeli. Pembayaran ini disebut panjar. Tanpa panjar orang tidak merasa terikat. Dengan panjar orang merasa wajib melaksanakan hal yang ditentukan dalam janji. Perjanjian pokok (misal jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian panjar saja. Sesudah diadakan permufakatan serius tentang jual beli tersebut barulah terlaksana 301
J.C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlands-Indie, op cit, hal. 241. Juga dalam Iman Sudiyat, op cit, hal. 33. 302 Enthoven, Het Adatrecht der Inlanders in de Jurisprudentie dikutip oleh E.A. Boerenbaker, (Bandung: [s . n], 1935), , dalam Sudiyat, Ibid, hal. 33 303 Ter Haar Bzn, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Op Cit, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian tersebut 305. Bila perjanjian pokok tidak terjadi maka terdapat 2 kemungkinan: Apabila dibatalkan oleh pemberi panjar uang/benda sesuatu tersebut tetap pada penerima panjar; Apabila dibatalkan oleh penerima panjar maka sesuatu itu harus dikembalikan, dapat 2 kali nilainya. Holleman 306 menyatakan bahwa janji (afspraak) tidak mengikat hanya menimbulkan kewajiban moral untuk melaksanakannya. Sebelum perjanjian jual beli terjadi calon penjual dapat menjual barang kepada pihak lain dengan harga lebih tinggi. Tampak bahwa perjanjian jual menurut hukum adat adalah konkrit/riil tidak abstrak/konsensual seperti dalam Burgerlijk Wetboek. Dikatakan pula bahwa perjanjian jual beli di dalam Hukum Adat merupakan perbuatan kontan (contante handeling) Jual Tahunan. Dengan transaksi ini pembeli tahunan memperoleh hak untuk: mengolah tanah, menanami dan memetik hasil, dan berbuat dengan tanah seakan-akan miliknya sendiri. Sang pembeli dilarang untuk menjual/menyewakan tanah tanpa seijin pemiliknya. Jual lepas atau jual lagi yang mungkin dilakukan pemilik tidak mengurangi hak pembeli tahunan (koop brekt geen huur: jual tidak menghapus sewa). Baik jual gadai maupun jual tahunan mungkin juga dilakukan sebagai perjanjian pelunasan hutang (delgingsovereenkomst), hutang dibayar dengan penyerahan tanah untuk sementara. Dengan penyerahan tanah debitur merintis jalan untuk melunasi hutangnya dengan memperhitungkan hasil tanah itu dengan jumlah hutang tersebut. b) Transaksi yang menyangkut atas Tanah Adat Hukum Adat mengenal transaksi yang walaupun tidak langsung atas tanah namun bersangkutan dengan tanah. Akan dibahas beberapa di antaranya. Transaksi bagi hasil, belah pinang, paruh hasil tanam: memperduai (Minang), toyo (Minahasa), tesang (Sulawesi Selatan), maro, mertelu (1:1, 1:2, Jawa Tengah), nengah, jejuron (1:1, 1:2; Priangan). 307 Seseorang mempunyai tanah namun tidak ada kesempatan/semangat untuk mengusahakannya sendiri dan ingin memungut hasilnya. Karena itu dibuat transaksi dengan orang lain untuk mengerjakan, menanami dan memberikan sebagian hasil panennya. 304
Ibid, hal 143 Bedakan dengan uang muka (voorschot) menurut hukum barat. Ini adalah pembayaran di muka yang sebenarnya dan diperhitungkan dalam transaksi. Tidak memberikan kewajiban moral atau akibat hukum apapun. Apabila tak terjadi transaksi uang muka dikembalikan. Apabila terjadi Transaki uang ini diperhitungkan dalam harga. 306 F.D. Holleman, Het Adatrecht van de Afdelling Tulungagung, (Batavia: Buitenzorg, 1927), hal. 67 305
Universitas Sumatera Utara
Fungsi transaksi adalah untuk memproduktifkan tanah milik, tanpa pengusahaan sendiri dan memproduktifkan tenaga kerja tanpa tanah milik sendiri. Objeknya adalah tenaga kerja dan tanaman (bukan tanah). Untuk formalnya bantuan Kepala Persekutuan Hukum tidak merupakan syarat sah perjanjian, tidak harus terang cukup dengan kedua pihak saja. Jarang dibuat akad untuk perbuatan hukum tersebut, dan dapat dibuat oleh pemilik tanah, pembeli gadai, pembeli tahunan, pemakai tanah kerabat, pemegang tanah jabatan. Hak pertuanan tidak berlaku terhadap perbuatan hukum tanpa pembatasan terhadap yang membagi hasilkan. Transaksi ini biasanya disambung dengan lembaga tambahan yang melekat; srama, mesi (Jawa Tengah) berupa pembayaran sekedar uang pada permulaan transaksi. Pembayaran ini mengandung arti persembahan yang disertai dengan permohonan (srama) mengandung pengakuan bahwa seseorang berada di tanah orang lain (mesi), plais (Bali), balango (Sulawesi Selatan) merupakan hubungan di antara pinjaman uang dan bagi hasil. Pemegang/penguasa tanah meminjam uang tanpa bunga dari pembagi hasil dan pembagi hasil tetap boleh memegang hak mengerjakan tanah selama uang pinjaman belum dilunasi. Uang pembagi hasil tidak boleh dituntut kembali tetapi apabila ia dilarang terus mengerjakan tanah peminjam uang seketika dapat dituntut kembali. Terkadang diadakan perhitungan dari hutang dan hasil yang sudah dinikmati sehingga sesudah pemungutan hasil pertahun uang pinjaman dikurangi dengan jumlah tertentu, adakalanya uang pinjaman itu tetap besarnya hingga hutang lunas sekaligus. Mungkin juga pembagi hasil tidak dibolehkan mengerjakan tanah bersangkutan maka ia berhak menuntut ganti rugi dari pemegang tanah bukan tanahnya seperti hak dari transaksi jual. 308 Sewa. Dapat diartikan sebagai ijin kepada orang lain untuk mengerjakan atau mendiami tanah di bawah kekuasaannya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa sesudah tiap bulan, tiap panen atau tiap tahun dengan konsekuensi bahwa sesudah pembayaran itu transaksi dapat diakhiri. Mengasi di Tapanuli Selatan berarti hak sewa tanah maupun hak menikmati. Sewa bumi (Sumatera Selatan) berarti pajak yang harus dibayar oleh orang luar untuk pemungutan hasil dari wilayah lingkungan hak pertuanan. Cukai (Kalimantan) bermaksud pembayaran orang luar untuk pemungutan hasil dari wilayah lingkungan hak pertuanan. Cukai (Kalimantan) bermaksud pembayaran orang luar untuk pemungutan hasil dari wilayah 307 308
Happy Warsito, Op Cit, hal.136. Ibid, hal.137.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hak pertuanan dan pembayaran dari penyewa tanah. Sewa ewang (Ambon) dimaksudkan sebagai pemberian orang luar untuk memperoleh hak mengumpulkan hasil hutan di lingkungan hak pertuanan Negeri. Ngupetenin (Bali) adalah penyewaan tanah pertanian. Upeti adalah pajak yang harus dibayar oleh orang luar (sewa bumi) berdasarkan hak pertuanan. Kombinasi bagi hasil, sewa dengan gadai tanah dan sewa tanah dengan pembayaran uang di muka. Transaksi bagi hasil dan sewa sering dikaitkan dengan gadai tanah. Sesudah hak pembeli gadai diletakkan di atas tanah bersangkutan dia memperbolehkan si penjual gadai mengerjakan tanah tersebut selaku pembagi hasil atau penyewanya. Pembeli gadai tidak boleh membuat transaksi jual lepas atas tanah yang dibeli gadai. 309 Tanah juga tidak boleh dijual tahunan karena itu untuk sementara akan melanggar hak penjual gadai untuk menebusnya. Dia hanya dibenarkan untuk mengoperkan/mengalihkan gadai (doorverpanden) tanah itu kepada orang lain. Dia juga boleh mengijinkan orang lain masuk di tanah tersebut untuk mengerjakan atau mendiami berdasar kontrak yang dapat diputuskan setiap saat. Transaksi tersebut dapat diakhiri dalam waktu pendek. Terdapat kelalaian pada pihak-pihak: pembagi hasil, pemberi bagi hasil, penyewa atau pemberi sewa akan timbul hak menuntut ganti rugi bukan atas tanahnya. Gadai dapat diakhiri berdasarkan aturan gadainya sendiri. Transaksi gabungan ini mirip dengan transaksi pinjam uang dengan tanah sebagai jaminan/tanggungan. Pihak yang satu memberi uang kepada pihak lainnya dan selama uang belum dikembalikan pihak pertama menerima sebagian dari hasil panen tanah pertanian atau pembayaran berasal dari pihak kedua. Transaksi semacam ini dapat pula dilakukan sebagai transaksi uang yang disangkutkan dengan tanah sebagai tanggungan tetapi menurut Hukum Adat transaksi ini merupakan lembaga hukum yang lain. Persewaan tanah dengan pembayaran uang di muka digabungkan dengan memperbolehkan si pemberi sewa menjadi penyewa di tanahnya sendiri mirip dengan persekot atas tanaman atau pinjam uang dengan mengangsur padi (bagi hasil) atau uang (sewa) setiap tahun. Transaksi pinjam uang dengan tanggungan tanah: tahan (Batak), babaring (Dayak Ngaju), makantah (Bali), tanggungan, jonggolan (Jawa), borroh, borg, borot (tersebar luas). Titik inti perjanjian adalah perjanjian adalah perjanjian selama utang belum lunas tidak akan membuat transaksi tanah atas tanahnya kecuali untuk kepentingan kreditur. Tanah sebagai tanggungan adalah transaksi asesoir pada transaksi pinjam uang selaku transaksi pokok. Tindakan itu merupakan persiapan sewaktu debitur menerima uang pinjaman seketika ditetapkan sebidang tanah pertanian yang bila perlu/dikehendaki akan dipakai sebagai benda pelunas transaksi 309
Ibid
Universitas Sumatera Utara
(delgingsovereenkomst) dengan demikian transaksi pinjam uang diganti dengan transaksi tanah. Di Bali dan Batak tanah yang ditunjuk sebagai tanggungan digadaikan kepada yang meminjami uang bila bunganya sudah meningkat sampai taraf tertentu, utang sudah bertambah. Sedang di Jawa gadai sebagai perbuatan hukum sering disusul dengan tanggungan/jaminan (zekerheidstelling). Dan disini sering dilakukan tanpa sepengetahuan Kepala Persekutuan Hukum (tanggungan di bawah tangan, onderhanse zekerheidstelling) dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Akibatnya adalah: transaksi jual yang diadakan berakibat beban atas tanah tanggungan selama hutang belum lunas sah menurut hukum dan tanah tanggungan dapat dijual atas dasar vonnis hakim untuk melunasi pinjaman uang lainnya, sedang pemberi hutang dengan tanggungan di bawahtangan tidak mempunyai hak mendahului (voorrecht) terhadap kreditur lainnya. 310 Hal ini tidak berarti bahwa tanggungan di bawah tangan tidak berguna hanya tidak dapat dirumuskan suatu norma untuk melindungi penerima ‘tanggungan di bawah tangan’ terhadap pihak ketiga. Transaksi dengan sepengetahuan Kepala Persekutuan Hukum (Bali dan Batak) berakibat bahwa pemilik tanah tidak dapat dan tidak boleh memindahkan tanah/menggadaikan dengan tiada memanfaatkan hasil tanah untuk mengangsur hutang. Transaksi yang akan diadakan oleh peminjam uang harus diberitahukan kepada pemberi hutang bila debitur lalai. Tanpa pemberitahuan terjadi kecurangan dan penerima tanggungan berhak atas perlindugan hukum. Transaksi tahan (Batak) dan makantah (Bali) memberikan hak mendahului kepada pemberi hutang dengan tanggungan jika tanah dilelang berdasar vonnis hakim. Jurisprudensi dan doktrin di Jawa tidak seragam. Pendaftaran pada kepala dusun tidak/belum merupakan aturan yang menentukan berlakunya transaksi dalam lalu-lintas hukum namun ada yang mengakui hak ini karena pemberitahuan dan pendaftaran oleh Kepala Dusun berakibat hak mendahului yang dapat dilakukan menurut hukum positif bila dengan sukarela para pihak. Simulatio. Untuk menghindari larangan pengasingan tanah pada zaman Hindia Belanda sering dilakukan simulatio yang merupakan objek tersendiri dalam ajaran umum persetujuan, hukum perjanjian. Sebagai perbuatan/kompleks perbuatan dimana 2 orang/lebih sepakat menimbulkan kesan/semu dunia luar seakan-akan terjadi perjanjian (perbuatan hukum) tertentu sedangkan sesungguhnya sepakat bahwa perjanjian tidak akan berlaku dengan akan mempertahankan berlakunya hubungan hukum yang sudah ada atau akan melaksanakan perjanjian lain. Kadang hal ini untuk merugikan pihak ketiga kadang-kadang tidak. Walaupun sering dilakukan untuk menyembunyikan perjanjian terlarang namun simulatio sendiri tidak dilarang. 310
Ibid, hal.138.
Universitas Sumatera Utara
Biasanya simulatio meliputi seluruh perjanjian tetapi kadang-kdang hanya mengenai salah satu unsur dari perjanjian yang diadakan. Terdapat dua macam simulatio. Mutlak para pihak menimbulkan kesan seakan-akan mengadakan perjanjian tertentu dan diam-diam bersepakat bahwa dalam hubungan hukum yang telah berlaku tidak akan diadakan perubahan. Misalnya seorang pengusaha terancam pailit. Supaya hartanya tidak disita ia pura-pura menjual hartanya kepada orang lain. Para pihak sepakat bahwa sebenarnya tidak ada jual beli dan peralihan hak sedang si penjual purapura tetap memiliki harta tersebut. Pada simulatio Nisbi di belakang perjanjian yang disimulasikan, terdapat perjanjian yang didissimulasikan. Para pihak mengadakan perjanjian jual beli yang sebenarnya adalah hibah. Simulatio dapat meliputi seluruh perjanjian namun dapat juga hanya tentang salah satu unsur perjanjian misalnya di dalam perjanjian dicantumkan harga yang lebih rendah daripada yang sebenarnya disepakati. Dapat juga bahwa hal ini tak berhubungan dengan esensi kontrak namun dengan pihaknya: kontrak dilakukan antara A dan B, namun sebenarnya antara A dan C. Antara para pihak terdapat asas umum yang berlaku adalah kontrak yang didissimulasikan bukan yang disimulasikan kecuali terdapat hal yang berakibat batalnya kontrak yang tersembunyi. Para pihak tidak terkait kontrak yang disimulasikan karena tidak dikehendaki. Pada simulatio mutlak tidak terjadi perubahan hubungan hukum para pihak karena hal ini memang tidak dikehendaki. Pada simulatio relatif terdapat azas umum bahwa terdapat kekuatan hukum pada kontrak yang didissimulasikan karena itulah yang dikehendaki. Jadi terdapat persamaan penuh antara kehendak dan pernyataannya. Namun karena hal sebenarnya disembunyikan biasanya terdapat kekurangan yang biasanya adalah tujuan yang tidak dapat dibenarkan dan berakibat batal berdasarkan Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat formal juga dapat menghilangkan kekuatan hukum perjanjian misalnya hibah yang dilakukan dengan kontrak jual beli tanpa akta notaris. Pihak ketiga dapat menanggapi atas : kontrak yang disimulasikan, kontrak yang didissimulasikan, dan tidak terjadinya perubahan dalam hubungan hukum para pihak. Pada simulatio mutlak pihak ketiga dapat menanggapi kontrak yang disimulasikan dengan menanggapi kesan yang ditimbulkan oleh pernyataan para pihak. Biasanya mereka berkepentingan dengan pendirian bahwa kontrak yang dinyatakan adalah perbuatan semu dan karena itu tidak sah karena tidak berakibat perubahan dalam keadaan hukum para pihak. 311 Pada simulatio relatif terbuka tiga kemungkinan : Menanggapi perjanjian yang disimulasikan karena dapat dinyatakan reaksi atas semu yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi mereka yang tampak hanyalah perjanjian 311
Ibid, hal.140.
Universitas Sumatera Utara
yang disimulasikan sehingga terlindung dari janji tersembunyi sesuai dengan Pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian yang menyusul yang diadakan dengan akta/ perbuatan tersendiri yang bertentangan dengan perjanjian semula hanya berkekuatan bukti bagi pihak yang menjadi peserta dalam akta tersebut beserta ahli waris atau mereka yang memperoleh hak, tapi tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap pihak ketiga. Menanggapi perjanjian yang didissimulasikan jika diketahuinya sejak semula atau kemudian. Kebanyakan hal ini dipandang sebagai akibat langsung dari ketentuan Pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa alat bukti yang bertentangan tidak dapat merugikan pihak ketiga sehingga alat bukti tersebut harus menguntungkan bagi pihak ketiga. Menanggapi manipulasi/ tipu daya para pihak dengan menyatakan bahwa perjanjian semu, perjanjian yang tidak dikehendaki para pihak, tidak mempunyai kekuatan hukum. Atau bahwa perjanjian yang didissimulasikan memang dikehendaki terbukti dari pernyataan timbal balik para pihak. Pada perjanjian yang didissimulasikan biasanya terdapat sesuatu yang tidak beres karena justru hal itu diselubungi dengan perbuatan semu karena dengan itu para pihak ingin mencapai tujuan yang tidak dibenarkan hukum. Pihak ketiga dapat berpendirian bahwa hubungan hukum masih seperti semula sebelum adanya perbuatan semu. Perjanjian yang disimulasikan tidak ada karena tidak dikehendaki para pihak. Perjanjian yang didissimulasikan tidak dapat dipaksakan berlakunya bagi pihak ketiga berdasarkan pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian tersebut batal baik berdasarkan tujuan atau sifatnya yang tidak dibenarkan hukum. Gaius 312, seorang ahli hukum klasik Romawi yang menyamakan hukum alam (natuurrecht) dengan ius gentium (hukum alam sekunder yang khusus), menempatkan milik perseorangan (eigendom privat) sebagai hukum alam (its naturale). Karena itu Gaius berbicara bertolak dari pengelompokan benda-benda, di dalam mana termasuk juga tanah. Ia membagi benda-benda atas atas dua golongan yaitu : a.
res devini iuris, atau benda-benda yang berhubungan dengan kepentingan dewa-dewa, hal-hal yang suci, atau hal-hal yang sangat diutamakan;
b.
res humani iuris, atau benda – benda yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan manusia baik perorangan maupun masyarakat. Benda-benda yang termasuk res vini iuris umumnya dipandang sebagai benda-benda yang tidak dimiliki oleh siapapun, baik negara atau maupun pribadi seperti: a. res sacrae, yaitu benda-benda yang demi negara ditahbiskan ( disucikan
dengan upacara keagamaan). b. res religionae, yaitu benda-benda yang dibiarkan untuk menjadi tempat
kediaman para arwah yang telah meningal dunia. c. res sanetae, yaitu benda khusu yang memiliki arti sangat penting bagi negara
(kota) ; dinding-dinding dan pintu-pintu yang kota merupakan benda yang sangat khusus dan penting untuk itu. Sedangkan tanah yang termasuk res humani iuris ialah 5) res publicae, yaitu semua benda yang diperuntukan bagi dinas umum 6) resprivatea, yaitu benda-benda yang diperuntukan dan dimiliki oleh perseorangan Pandangan yang menyatakan bahwa negara bukan pemilik tanah, jelas menunjukkan bahwa yang menjadi pemilik atas tanah adalah manusia alami. Seperti yang telah dikemukan bahwa Gaius memandang sama hukum alam dengan hukum alam sekunder khusus (ius gentium) dalam hal ini milik perseorangan (eigendom privat) merupakan hukum alam (natuurrecht). Secara alami eksistensi manusia senantiasa disertai dengan hak-hak yang 312
Seperti dikutip Ronald Zelfianus Titahelu. “Penetapan Asas-asas Hukum Umum ,op cit, hal. 92
Universitas Sumatera Utara
secara alami melekat padanya,termasuk hak untuk memiliki. Bagi Gaius milik perseorangan ini adalah alami, dan karena itu bersifat asasi. Walaupun ada pembatasan berupa penggunaan hak milik yang merugikan orang lain maka Thomas Aquino (1225-1274) salah seorang penganut aliran hukum alam dari aliran Skolastik pada pertengahan (400-1500) di Eropa Barat, melihat milik perseorangan sebagai hak yang tidak bertentangan dengan hukum alam: a.
Setiap Orang lebih suka memperoleh sesuatu hal yang akan menjadi miliknya sendiri, dari pada sesuatu hal yang menjadi milik bersama atau milik orang banyak. Sebab setiap orang menghindarkan pekerjaan yang itu menjadi tugas orang banyak seperti apabila banyak pelayan.
b.
Sesuatu hal yang akan diperlakukan lebih teratur, apabila pemeliharaan dari pada sesuatu hal itu diserahkan pada masing-masing orang itu sendiri, sebab apabila semua orang diserahi pemeliharaaan semua hal tanpa diadakan perbedaaan akan timbul kekacauan.
c.
Di antara orang-orang akan ada perdamaian yang disebabkan karena setiap itu puas dengan apa yang menjadi miliknya. Itu sebabnya mengapa dapat dilihat bahwa diantara mereka .yang memiliki suatu hal bersama-sama lebih sering timbul pertentangan-pertentangan. 313
Hubungan yang terjalin, lahir melalui tindakan manusia atas tanah yang berkendak menjalin pertalian dengan tanah baik secara perseorangan (individu), keluarga maupun kelompok. Hubungan dilahirkan karena 313
Imam Soetiknjo, Undang-undang Pokok Agraria, Sekelumit Sejarah, Departemen Dalam Negeri. (Jakarta: Direktorat Jenderal Agraria,1985), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
adanya suasana bathin yaitu rasa cocok atau tidak cocok. Sedangkan hak dilahirkan berdasarkan kenyataaan penguasaaan yaitu tetap atau sementaranya penguasaan oleh orang atau kelompok tertentu atas tanah yang diakuinya. Karena itu hubungan bersifat tetap dan langgeng atau abadi sedangkan hak bersifat semu karena dapat berubah- ubah. 314 Menurut Ter Haar, Kuat dan langgeng dinyatakan sebagai sama dengan satu hubungan hukum (rechtsbetrekking). Dengan demikian, upacara ritual yang lazim dilakukan pada saaat orang melakukan hubungan dengan tanah oleh Ter Haar tidak di pandang semata-mata sebagai suatu upacara mistik akan tetapi suatu dialog antara manusia dengan tanah dan alam roh dalam rangka mengadakan jalinan hubungan hukum yaitu hubungan yang melahirkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak. Hakekat dari hubungan magis itu adalah merupakan pernyataan yang bersifat menegaskan bahwa telah terjalin pertalian atau ikatan nyata antara manusia dengan tanah dengan alam roh yang menguasai tanah. Hal ini bermakna bahwa roh-roh yang menguasai tanah secara gaib berhak dan berkewajiban untuk menduduki dan mengusahakan tanah dengan sebaik-baiknya agar tanah bisa mengeluarkan hasil yang menyenangkan semua pihak yang berkepentingan. Maka anti dan makna hubungan magis itu, pertama-tama adalah bahwa tanah digunakan untuk jaminan kehidupan jasmani dan rohani manusia maupun roh-roh yang menduduki dan menguasai tanah. Untuk dapat dikatakan mempunyai hubungan dan hak-hak perorangan
314
Herman Soesangobeng, Kontektualisme filosofi Adat Tentang Tanah dan Penerapannya setelah UU No.5/1960 serta advokasi Pertanahan di Indonesia, makalah (Bandung: Akatiga), 21 Pebruari 1998, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
atas tanah haruslah memenuhi tiga syarat pokok yakni tempat tinggal, kedudukan sebagai warga persekutuan dan intensitas penguasaaan serta pengolahan tanah 315 artinya hanya rnereka yang bertempat tinggal dalam lingkungan ulayatlah yang berhak memiliki hubungan dan hak perorangan yang kuat, baik secara individu, keluarga maupun kelompok. Begitu pula hanya warga persekutuanlah yang yang memiliki hak serta hubungan yang kuat terhadap tanah yang berada dalam lingkungan tanah ulayat. Selanjutnya tentang syarat ketiga yaitu intensitas penguasaan dan pengolahan tanah, artinya tanah yang secara terus menerus diusahakan dan diolah sehingga memberikan hasil dan manfaat. Syarat ini merupakan petunjuk bagi adanya sifat "menguncup mengembangnya" hubungan ulayat dengan hak perorangan. Dengan diusahakan tanah secara terus menerus dan hubungan penguasaan maupun pengolahan oleh seseorang ataupun keluarga atas tanah, maka hubungan hak perorangan berkembang menjadi kuat dan penuh sedangkan hubungan kewenangan ulayat mengucup dan menjadi bertambah lemah begitupun sebaliknya.Meskipun demikian, hubungan kekuasaan dan kewenangan ulayat, masih tetap meliputi dan menguasai hak perorangan yang bersangkutan. Karena itu, bilamana ketiga syarat tersebut dibaikan, maka hubungan hak perorangan atas tanah menjadi munguncup dan melemah atau lenyap, tetapi sebaliknya hubungan kekuasaan ulayat pun menjadi berkembang dan terpulihkan tanpa halangan apapun. 316
315
Ibid, hal. 29. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Op Cit, hal. 51.
316
Universitas Sumatera Utara
Atas dasar hubungan kewenangan dan kekuasaan ulayat maka dikembangkan hak-hak perorangan maupun masyarakat atas tanah. Hak dan kewenangan masyarakat atas tanah dapat dipilahkan menjadi tiga yaitu: 1. untuk mengatur dan menetapkan peruntukan serta penggunaan tanah 2. untuk mengendalikan penyimpangan atas peruntukan dan penggunaan tanah. 3. untuk memberikan tanah yang ditelantarkan kepada warga masyarakat lainnya yang diakui berhak. Sedangkan hak – hak perorangan yang dapat lahir ada empat yaitu: 1. Hak untuk mengambil hasil hutan serta pengairan dalam lingkungan ulayat 2. Hak untuk menanam dan memiliki bangunan atas tanah ulayat 3. Hak untuk membuka tanah dan hutan 4.
Hak untuk mengalihkan hak atas tanah serta bangunan dan tanaman diatasnya. Adapun kedudukan hak penguasaan/ hak perorangan adalah merupakan
hak yang diciptakan berdasarkan kekuasaan masyarakat (ulayat). Hak ini tidak bersifat abadi dan dikat oleh kekuasaan masyarakat. Ikatan mana bisa menjadi kuat atau melemah bergantung pada lamanya penguasaan dan intensitas pengolahan atas tanahnya. Lamanya waktu penguasaan itu biasanya dibuktikan dengan adanya kewenangan meneruskan hak penguasaan berupa mewariskan tanah kepada generasi penerus.
Universitas Sumatera Utara
Ter Haar 317 memberikan istilah hukum atas hubungan tersebut yang disebutnya erfelijk individueele bezitsrecht (hak penguasaan. perorangan yang diwariskan) dan diterjemahkan oleh S. Poesponoto menjadi "hak milik perorangan turun-temurun" sehingga dapat dipersamakan dengan hak milik yang sering di sebut sebagai "hak milik adat" Pemberian hak-hak perorangan atas tanah yang dibebankan diatas hak ulayat, oleh Ter Haar dilihat sebagai suatu perbuatan hukum sepihak dari masyarakat terhadap hak ulayatnya. Perbuatan sepihak itu dilihatnya sebagai memberi hak perorangan atas tanah ulayat yang dihisap dari hak ulayat. Oleh karenanya perbuatan itu dilihat sebagai suatu perbuatan mengalihkan hak, suatu "transaksi" hak atas tanah,yaitu hak ulayat ke hak perorangan. Dengan istilahnya Ter Haar itu di sebut sebagai Grondtransaktie. 318 Untuk melaksanakan hak memakai dan memanfaatkan tanah ulayat, hakhak perorangan yang membebani tanah ulayat tetap tunduk pada asas hukum tanah adat yang pertama dan utama yaitu : "didalam pemakaian dan pemanfaatan tanah ulayat atas dasar hak perorangan, kekuasaan masyarakat yang bersumber pada hak ulayatnya tidak hilang atau tersisihkan oleh hak-hak perorangan yang membebaninya. Segala macam hak perorangan atas tanah ulayat tetap hanya menumpang saja di atas hak ulayat" dengan asas ini berarti bahwa setiap macam hak perorangan yang ada diatas tanah ualayat, tetap berada dalam pengaruh dan
317
Ibid, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
pengawasan masyarakat sebagai pelaksana hak ulayat. Dengan demikian setiap waktu masyarakat dapat mencampuri dalam urusan pemakaian dan pemanfaatan hak perorangan yang bersangkutan bila dalam pemakaian atau pemanfaatan hak perorangan oleh yang bersangkutan ada hal-hal yang tidak sesuai atau berlawanan dengan prinsip-prinsip pemberian hak perorangan tersebut. Dalam sistem Hukum Adat, hak-hak pemakai dan pemanfaatan atas tanah ulayat ada bermacam-macam. Berdasar pada pemakaian dan pemanfaatan, ada hak-hak sebagai berikut: 319 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
hak kampung dan halaman hak sawah, ladang atau empang hak hutan hak mengambil hasil hak tanah kuburan hak tanah lapang hak tanah keramat dan tanah ibadah hak pasar
Di dalam hukum tanah Adat ada berbagai macam hak perorangan atas tanah yang kekuatan dan isinya berbeda-beda. Macam-macam hak perorangan atas tanah dilihat dari kualitasnya masing-masing yang berlainan itu, dalam pokoknya ada tiga macam yaitu 1. hak milik : menyangkut penguasaan atas tanah danga sifatnya yang kuat dan terbanyak isi muatannya
318 Moh Koesnoe, Kapita Selekta Hukum Adat Suatu Pemikiran Baru, (Jakarta: varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia, 2002), hal.110 319 Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. hak pakai : hak yang isinya terbatas pada pemakaian tanah saja 3. hak ambil hasil : hak yang pada dasarnya tidak mengenai tanahnya, tetapi hanya atas apa yang ada diatasnya. 320 Hak ulayat masih sangat kuat dan besar pengaruhnya atas hak perorangan. Pengaruh hak ulayat atas hak perorangan tidak pernah lenyap sama sekali sebab hak ulayat tetap meliputi dan mempengaruhinya sehinggga pada saat hak itu diabaikan, maka kekuasaaan hak ulayat berlaku kembali secara penuh.
320
Ibid
Universitas Sumatera Utara