BAB II PEMBAHASAN Hukum Sebagai Alat Pengatur Masyarakat
A.
Fungsi Hukum dalam masyarakat. Untuk tetap bertahan dalam hidupnya dan untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya
manusia harus berinteraksi dengan manusia yang lain. Manusia sering kali diidentifikasikan tidak hanya sebagai makhluk biologis saja tetapi juga sebagai makhluk sosial sebagaimana dikatakan oleh Paul Vinogradoff, pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial. Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan perintah alam. Hal ini karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya hidupnya dalam keadaan terisolasi dan terpisah dengan alam dan manusia lainnya karena dia senantiasa membutuhkan orang lain untuk melakukan kerjasama dan saling membantu dengan manusia yang lainnya. Pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang sebenarnya dan fungsi hukum dalam masyarakat, dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar apaka tujuan hukum itu. Tujuan pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat yang fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Lepas dari segala hal lain yang menjadi tujuan dari hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat, maka manusia, masyaraat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahpisahkan. Disamping ketertiban menurut Prof, Muchtar Kusumaatmaja tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda si dan ukuranya, menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarajat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya secara optimal didalam masyarakat tempat dia hidup.
1.
Hukum sebagai kaedah sosial
Adanya hukum sebagai kaedah sosial tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri diatur pula oleh agama , kaedah susila, kaedah kesopanan, adat-kebiasaan dan kaedah-kaedah sosial lainnya. antara hukum dan kaedah-kaedah sosial lainnya in, terdapat jalinan hubungan yang erat yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaedah-kaedah sosial lainnya itu.
Akan tetapi dalam satu hal, hukum berbeda dari kaedah sosial yang lainnya, yakni bahwa penataan ketetntuan-ketetntuannya dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Artinya, pemaksaan guna menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tun duk pada aturanaturan
tertentu,
baik
mengenai
bentuk,
cara
maupun
alat
pelaksanannya.
Hal ini tampak dengan jelas dalam suatu negara, pemaksaan itu biasanya berada di tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya. Soal pemaksaan ketaatan terhadap hukum ini membawa kita ke suatu masalah yang pokok bagi penyelamatan dari hakekat hukum, yakni masalah hukum dan kekuasaan. Permasalahan yang menyangkut berfungsinya hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Teori-teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum sebagai kaedah; pertama.kaedah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya Kedua kaedah hukum tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan). Ketiga kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya
2.
sesuai
dengan
cita-cita
hukum
sebagai
nilai
positif
yang
tertinggi.
Hukum sebagai sarana Pembangunan Masyarakat
Kata pembangunan biasanya diarahkan pada perubahan yang direncanakan dan dikehendaki. Proses perubahan yang direncanakan dapat dilakukan pada bidang-bidang kehidupan tertentu, tetapi dapat juga secara menyeluruh dan simultan. Dalam kenyataannya sangat sulit untuk membatasi perubahan dalam bidang tertentu. Hal ini dapat disadari karena semakin kompleknya permasalahan sehingga perubahan yang terjadi pada suatu bidang cenderung menjalar pada bidang kehidupan yang lain. Pada masyarakat yang sedang membangun perubahan dibidang hukum akan berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu , fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik
dan dilain pihak untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi dimasa lalu.Jika mengetengahkan hukum sebagai sarana pembahauan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan suber atau datanya dapat diperoleh melalui penelitianpenelitian terhadap masyarakat diberbagai bidang kehidupan. Data yang sudah diperoleh kemudian diabstraksikan agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun menjadi tata hukum. Karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek, maka akan dihadapkan pada diferensiasi yang berbeda-beda pula yang akhirnya membawa akibat pada struktur masing-masing masyarakat. Masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi. Memang setiap pebangunan maerupakan proses menuju suatu tujuan tertentu melalui berbagai terminal; selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka transisi masih akan tetap ada. Pada masayarakat yang sederhana, hukum timbul dan tumbuh bersama-sama dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Disini penguasa lebih banyak mengesahkan atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup dimasyarakat. Akan tetapi hal yang sebaliknya agaknya terjadi pada masyarakat yang kompleks. Kebhinekaan masyarakat yang kompelks menyebabkan sulit untuk memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling bertentangan. Walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap dari masyarakat. Dengan demikian peranan nilai-nilai didalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan kaedah hukum apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat berlaku efektif. Dengan demikian berhasil atau gagalnya suatu proses pembaharuan hukum, baik pada masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks sedikit banyak ditentukan oleh pelembagaan hukum didalam masyarakat. Jelas bahwa usaha ini memerlukan perencanaan yang matang, biaya yang cukup besar dan kemampuan meproyeksikan secara baik. Di dalam masyarakat seperti Indonesia yang sedang mengalami masa peralihan menuju masyarakat modern tentunya nilai-nilai yang ada mengalami proses perubahan pula. Dengan demikian masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada
nilai-nilai dalam masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan sifat dan sikap orang-orang yang terlibat didalam masyarakat yang membangun. Jadi, perubahan yang terjadi tanpa melibatkan sikap dan sifat yang mengarak pada kehidupan modern tidak mustahil akan berakibat pemborosan dan sedikit sekali ati pembangunan itu. Jadi hakekat pembangunan nasional adaah masalah pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Hanya saja masalah yang dipahami adalah nilai-nilai dan sikap yang mana yang harus ditinggalkan dan dipertahankan dan nilai yang mana yang harus digantikan dengan yang baru. Pemuka madzab sejarah mengatakan bahwa hukum itu ekpresi dan semangat dari jiwa rakyat (volksgeis). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Konsep demikian ini memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah yaitu pada masyarakat yang masih sederhana sehingga tidak dijumpai perana pembuat undang-undang seperti terdapat pada masayarakat modern. Di Indonesia madzab sejarah ini sangat berpengaruh mulai zaman Hindia Belanda melalui saluran pendidikan dan pemerintahan yang masih terasa hingga sekarang lewat ahli-ahli hukum adat. Madzab ini memainkan peranan penting dalam mempertahankan hukum adat sebagai pencerminan nilai-nilai kebudayaan penduduk pribumi dan berusaha untuk mencegah tejadinya pemaratan yang teralalu cepat. Namun dibalik politik hukum yang diilhmi oleh madzab sejarah ini terdapat segi-segi yang kurang menguntungkan. Politik hukum yang dimaksud melindungi golongan pribumi justru dalam perkembangannnya telah mengislasi golongan ini dengan perkembangan hukum masa kini sehingga mengakibatkan keterbelakangan golongan
ini
sehingga
tidak
mampu
bersaing
dengan
golongan
lain.
B. Hukum sebagai alat Pengatur dan cermin perubahan masyarakat.
Melihat sub judul di atas mungkin akan muncul sebuah pertanyaan apakah hukum mampu mengubah masyarakat? Andi Amrullah mengamati bahwa para pemikir tentang hukum saat ini masih banyak yang belum dapat memandang atau bahkan menerima hukum suatu sistem yang di samping memiliki komponen-komponen substansif berupa kaedah-kaedah, juga memiliki komponenkomponen struktur dan kultur hukum. Masih banyak sarjana hukum indonesia yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kaedah yang ekslusif dan autonom. Sebagai konsekuensi dari pendangan tersebut banyak sarjana hukum indonesia hanya berfungsi sebagai a tool of social control (alat pengawasan/control masyarakat) yang secara pasif mengikuti perubahan masyarakat; manakala masyarakat berubah, maka hukumpun berubah pula. Jadi hukum disini hanya merupakan stabilisator yang bertugas menjaga keseimbangan hidup masyarakat. Namun sebaliknya, konsepsi yang memandang hukum sebagai sistem yang memiliki komponen substantif (kaedah-kaedah) dan komponen struktural dan kultural memberikan fungsi hukum secara langsung dan aktif sebagai a tool
off
social
engenering
yang
dapat
memaksakan
perubahan
masyarakat.
Pandangan bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan perubahan dianut leh savigny. Ia dengan tegas menyangkal kemungkinan penggunaan hukum sebagai alat melakukan perubahan. Pendapatnya didasarkan atas konsepsinya mengenai hukum. Yaitu melihat hukum sebagai suatu yang tumbuh alamiah dari pergaulan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa savigny adalah pemuka mazhab sejarah dalam hukum yang mengatakan bahwa hukum merupaka perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeis) yaitu bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan, dan bukan dari pembentuk undang-undang.
Masih banyak sarjana yang menganggap bahwa hukum selalu ketinggalan dari perubahan sehingga hukum tidak dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat, namun apakah keadaannya memang demikian dalam arti bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat?
Kesadaran untuk menggunakan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai untuk tujuantujuan yang dikehendaki, beranjak dari inti pemikiran yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yang dikenal dengan law as a tool off social engenering , yang di Indonesia mulai muncul sekitar tahun 1970 oleh seorang pakar hukum yang pada berbagai kesempatan mencoba untuk menarik perhatian orang mengenai penggunaan hukum sebagai sarana perubahan Dalam masyarakat. Dalam prasaran yang dikemukakan pada seminar lembaga ilmu pengetahuan indonesia mengenai pengaruh faktor sosial budaya dalam pembangunan nasional permulaan tahun 1970, ia sudah menyampaikan pendapatnya yang mengatakan bahwa hukum tidak dapat memainkan peranan penting dalam proses pembaharuan. Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Disampiang itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seharusnya dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.
Berdasarkan pendapat di atas apabila melalui hukum akan dilakukan perubahan terhadap masyarakat dalam arti bahwa hukum digunakan sebagai sarana untuk menguba masyarakat dan perubahan itu ditujukan ke arah yang baru, berati hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan haus memuat bentuk masyaakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian untuk melakukan perubahan itu maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus
dirumuskan terlebih dahulu seta harus memenuhi unsur-unsur masyarakat yang dikehendaki. Jadi apabila akan membentuk masyarakat pancasila yang adil dan makmur, maka masyarakat pancasila yang dil dan makmur itu dirumuskan terlebih dahulu, dan hukum yang akan diberlakukan itu telah memuat rumusan masyarakat pancasila yang adil dan makmur. Untuk melihat sejauh mana peran hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat, Mochtar Kusumaatmaja menunjuk beberapa contoh tentang putusan dilarangnya pengayauan, larangan pembakaran mayat di Bali. Dalam bidang hukum internasional mengenai hukum pertambangan, nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, contoh lain dapat pula dilihat dalam UUPA yang dalam banyak hal bertujuan membentuk masyarakat baru dalam bidang pertanahan. Contoh lain dapat pula disampaikan bahwa Keputusan Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 yang menetapkan bahwa anak perempua dan laki-laki dari
seorang
peninggal
waris
bersama-sama
berhak
atas
harta
warisan.
Dengan diundangkankannya UU Nomor 44 Tahun 2008 yang ingin mengubah tatanan masyarakat yang menganggap pornografi sebagai bagian dari budaya dan gaya hidup menjadi tatanan masyarakat yang lebih bermartabat serta bermoral dimata manusia dan Tuhan, ini merupakan sebagian dari contoh yang dapat disampaikan berkaitan dengan fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat. Atau dengan kata lain bahwa hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat sangat berperan didalam proses pembaharuan.
Hukum di dalam masyarakat juga dapat di gunakan sebagai cermin perubahan, berubahnya masyarakat dapat dilihat bagaimana hukum melakukan perubahan terhadapnya. Dengan melihat sejarah bagaimana hukum di Indonesia cita hukum yang diperjuangkan dalam konteks hukum indonesia adalah cita hukum pancasila. Namun demikian Prof. Mahfud mengatakan sesuatu yang pasti dirasakan adalah bahwa dalam sembilan terakhir sejak era reformasi 1998 gema pancasila sudah sangat mengendur, sebelum era reformasi pancasila selalu dijadikan bahan teriakan dalam berbagai pidato pejabat, slogan di media masa dan alat untuk menyanjung dan menjatuhkan orang. Selanjutnya mahfud mengatakan tetapi setelah gerakan reformasi berhasil menjathkan rezim orde baru yang ternyata penuh korupsi, kolusi dan nepotisme, maka gema pancasila pun nyaris lenyap. Hal ini dimungkinkan karena malu karena memiliki pemerintah yang selalu mendengungkan pancasila
namun
pada
kenyataannya
justru
melakukan
KKN.
Mahfud mengatakan bahwa pancasila bukan negara agama dan negara sekuler, ideologi pancasila itu bukan didasarkan pada individualisme dan bukan pada kolektifisme. Penjelasan yang substansinya benar tapi disampaikan oleh penguasa yang tidak konsekuen itu muncul celetukan, kalau pancasila ini bukan yang ini dan yang itu berarti pancasila itu konsep yang bukan-bukan.
Pernyataan bahwa pancasila dalam konteks negara bukan negara agama dan bukan negara sekuler serta dalam konteks ideologi bukan individualisme dan bukan kolektivisme menurut mahfud
adalah benar adanya. Itu adalah pernyataan yang tepat untuk mengekpresikan kesepakatan para pendiri
negara
ketika
bersepakat
mendirikan
negara
pada
tahun
1945.
Dengan meminjam istilah yang disampaikan oleh Fred W Rings Mahfud menyebut pancasila merupakan suatu konsep prismatik, Prismatik adalalh suatu konsep yang mengambil segi-segi yang baik dari sua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat indonesia dan setiap perkembangannya. Negara indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi negara pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Negara pancasila adalah sebuah religions nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfaisilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk. Negara pancasila mengakui manusia sebagai individu yang mempunyai hk dan kebebasan, sekaligus mengakui bahwa secara fitrah manusia manusia itu juga adalah mahkluk sosial yang tidak bisa mejadi manusiawi kalau tidak hidup bersama manusia-manusia lain.
Dalam konsep keseimbangan yang seperti ini pancasila bukanlah penganut konsep individualisme yang memutlakkan hak dan kebebasan individu, tetapi juga bukan penganut konsep kolektivisme yang mau menyamakan semua manusia begitu saja tanpa menghargai hak dan kebebasan individu. Pengelolaan nilai kepentingan dan nilai sosial dari konsepsi yang seperti ini harus mengarah pada keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan bersama serta
nilai
sosial
paguyuban
dan
nilai
sosial
patembayan.
Itulah konsep pancasila sebagai konsep prismatik yang mempertemukan secara integratif segi-segi baik dari berbagai konsep yang dipandang saling bertentangan. Dalam kaitanya dengan pembangunan hukum, Mahfud mengatakan pancasila dapat disebut sebagai bingkai dari sistem hukum pancasila, sebuah sistem yang khas indonesia dan berbeda dengan sistem hukum yang lain. Meski belakangan ini menurut mahfud banyak orang yang merasa kurang gagah untuk menyebut sistem hukum pancasila sebagai sebuah sistem hukum yang khas, namun harus ada keberanian untuk mengangkatnya kembali sebagai paradigma dalam pembangunan hukum kita. Satcipto rahardjo menyebut bahwa hukum pancasila mencerminkan kekhasan bangsa indonesia yang penuh kekluargaan dan gotong-royong yang karenanya memang berbeda dengan sitem hukum yang lain. Oleh sebab itu tisak ada yang salah ketika sistem hukum pancasila disebut sebagai sistem hukum yang khas untuk melayani masyarakat indonesia.
Hukum adalah cermin dan pelayan masyarakatnya sehingga sistemnya pun harus sesuai dengan masyarakat yang dilayaninya.
Masyarakat yang berbeda tentu dilayani oleh sistem hukum yang berbeda pula. Sistem hukum pancasila berbeda dari sistem hukum eropa kontinental yang hanya menekankan pada legisme, civil law, adminitrasi, kepastian hukum, dan hukum-hukum tertulis yang negara hukumnya disebut Rechtsstaat. Sistem hukum pancasila juga berbeda dari sistem hukum Anglo saxon yang hanya menekankan pada pernan yudisial,Common law dan substansi keadilan yang negara hukumnya disebut The Rule of law. Sistem hukum pancasila mengambil segi-segi terbaik dari Rechtsstaat dan The rule Off law yang didalamnya bertemu dalam sebuah ikatan prismatik dan integratif prinsip kepastian hukum dan keadilan substansial. Dalam penegakan hukum, sistem hukum pancasila menghendaki kepastian hukum bahwa keadilan telah ditegakkan. Sistem hukum pancasila menghendaki penegakan keadilan substansial melalui aturan-aturan hukum yang formal atau mengehndaki kepastian hukum berdasarkan aturan hukum formal yang menjamin terpenuhinya keadilan substansial. Permusyawaratan dan sikap gotong royong yang penuh kekeluargaan ditonjolkan didalam sistem hukum pancasila sehingga membawa perkara kepengadilan hanya akan ditempuh jika penyelesaian dengan kekeluargaan ternyata gagal untuk dicapai.
Itulah konsep perismatik sistem hukum pancasila yang sesuai dengan akar buday bangsa yang secara khas telah hidup didalam kenyataan bangsa indonesia sejak-berabad-abad lamanya. Sehingga dengan demikian tidak perlu malu dan segan sebagai bangsa indonesia untuk menganggap pancasila sebagai satu konsep sistem hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar berperilaku dalam mengkonsep tata hukum Indonesia. Karena sistem hukum pancasila sangat mencerminkan kepribadian bangsa indonesia sebagai sebuah sistem hukum.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN.
Hukum sebagai suatu sistem memiliki sub-sistem yang menurut Friedmand ada tiga sub sistem yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Fungsi hukum didalam masyarakat adalah sebagai alat pengatur dan cermin perubahan masyarakat, sehingga untuk dapat berlaku sebagai alat perubahan hukum harus diformulasikan terlebih dahulu agar dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Namun demikian fungsi hukum selain sebagai alat perubahan masyarakat tentunya agar mampu juga menjadi efektif serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat perlu adanya satu konsep sistem hukum yang sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa tersebut. Sehingga keberadaan hukum ampu menjadi cermin dalam perubahan masyarakat.
Bangsa Indonesia dengan karakater masyarakatnya dalam politik hukumnya tentu harus memiliki konsep sistem hukum yang memiliki kekhasan bangsa indonesia dalam politik hukumnya agar sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia, sehingga bangsa indonesia menganggap pancasila sebagai cita hukum yag harus dipedomani yang telah diangap sesuai dengan kepribadian bangsa indonesiadan mampu menjadi cermin dalam mengawal perubahan masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum: Apakah hukum itu?.Bandung: Remaja karya Lili Rasjidi dan Arief Sidarta (Editor), 1998, Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang sedang Membangun, andung:Bandung. Mochtar Kusumaatmaja,1976, Fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta. Mochtar Kusumaatmaja, 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni Moh Mahfud, MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara \:Pasca amandemen konstitusi, Jakarta: LP3ES. ---------------------------, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta, UII Press. Satjipto Rahardjo,1986, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni -------------------------,2003, Sisi-sisi lain tentang hukum Indonesia, Jakarta:Kompas. Soeryono Soekanto dan Mustafa Abdullah,1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta:Jakarta. Sunaryati Hartono,1981, Politik Hukum Menuju sistem hukum nasional, Bandung: Alumni.
Tugas Kelompok P.I.H Hukum Sebagai Alat Pengatur Masyarakat Semester 1 Kelas Sore A Sumber : Gatot Sugiharto Disusun Ulang Oleh :
Sri Wahyuni
Asep Aldi Rifansyah
NPM: 114-117-3300-123
NPM: 114-117-3300-111
Dedi Wahyudin NPM: 114-117-3300-143