BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati dan Norma Masyarakat Adat 1. Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat Masyarakat adat menganggap dirinya sebagai bagian dari alam. Masyarakat berkembang bersama seluruh komponen yang ada di dalamnya, baik secara individual maupun kelompok. Masyarakat adat tidak menjalani hidup yang hanya mementingkan hubungan dengan sesama (manusia). Penting bagi mereka untuk melakukan interaksi dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa cara hidup masyarakat adat sangat berkaitan dengan kondisi alam disekitarnya (Keraf. 2010: 364-365). Masyarakat adat memandang alam, sumber daya, dan karakteristik ekosistem merupakan komponen yang menentukan totalitas kegiatannya. Dengan kata lain, kegiatan masyarakat adat berkaitan dengan pengelolaan alam di sekitarnya (Suryadarma, 2009: 46). Pada dasarnya pengelolaan dilakukan untuk memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Begitu pula, pada aspek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Menurut Mitchell (2010:253), aspek-aspek kunci pembangunan berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat lokal (masyarakat adat), swasembada dan keadilan sosial. Salah satu usaha untuk mencapai hal
11
tersebut adalah berpindah dari bentuk pengelolaan lingkungan dan sumberdaya, yang didominasi oleh ahli professional dari sektor pemerintah dan swasta, menuju pendekatan yang mengkombinasikan pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman berbagai kelompok masyarakat tradisional. 2. Nilai Religius Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati Kesamaan pemahaman merupakan hal yang paling mendasar dari seluruh masyarakat adat di dunia dipandang dari sudut etika lingkungan. Masyarakat tradisional memandang alam dan interaksi antara dirinya dengan alam dari sudut pandang religius dan spiritual. Interaksi antar keduanya diwarnai oleh kesadaran spiritual yang merupakan kesadaran paling tinggi. Spiritual mewarnai seluruh interaksi antara manusia dengan seluruh komponen yang ada di alam termasuk interaksi antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib. Dengan demikian, pandangan inilah yang menjadikan agama sebagai sebuah cara hidup yang meuntun manusia untuk mencapai tujuan yang selaras dengan alam. Dengan kata lain yang spiritual menyatu dengan yang material (Keraf. 2010: 362-363). Menurut (Mitchell, 2010: 298), pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidupnya mempunyai peran sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan.
12
Salah satu bentuk praktik kearifan lokal masyarakat adat Jawa ialah menganggap beringin sebagai pohon keramat dan angker. Pandangan tersebut memberikan stigma bahwa sesuatu yang keramat tidak dapat diperlakukan sembarangan. Jika, stigma tersebut dilanggar, maka pelakunya kana mendapat sanksi baik dari alam. Dengan demikian, konservasi terhadap keutuhan beringin tetap lestari. Hal tersebut merupakan bentuk aksi konservasi yang bersumber dari masyarakat lokal. Pohon beringin memiliki akar yang dalam dan biasanya di bawahnya terdapat sumber air. Berdasarkan hal tersebut, aksi masyarakat adat membantu melestarikan konservasi pohon beringin dan sumber air (Suhartini, 2009: 211-212). Menurut Zuhud (2007: 5), suatu spesies tumbuhan yang berinteraksi dengan manusia dalam jangka waktu yang sangat lama, diyakini konservasi dan bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa sikap dan perilaku manusia menyesuaikan dengan kebutuhan hidup spesies tumbuhan tersebut. Dengan pengertian lain, bahwa keberlangsungan suatu spesies tumbuhan tergantung pada sinyal sebagai informasi yang ditangkap oleh manusia. Sinyal tersebut dapat berupa infromasi kelangkaan yang berhubungan dengan regenerasi spesies tumbuhan tersebut, sehingga dapat menjadi stimulus maupun pendorong terhadap sikap masyarakat maupun pengelola untuk aksi konservasi. Beyond Belief, melaporkan potensi ajaran agama dapat mendorong dan berkontribusi sebagai salah satu sarana dalam melindungi kawasan konservasi.
13
Tempat-tempat suci yaitu tempat atau situs-situs dan lingkungan yang telah dibentuk dan hadir secara alami maupun semi alami dapat secara langsung berkontribusi pada upaya-upaya konservasi global. Ajaran agama memberikan pengaruh melalui filsafat, aksi dan pengaruh dan dampak dimana para pengikutnya memandang tentang perlindungan alam (Mangunjaya. 2007: 31). B. Pohon Beringin dalam Budaya Jawa Menurut Sunjata et al, (1995), menyatakan bahwa masyarakat Jawa mengenal Ficus benjamina dengan sebutan beringin atau waringin. Pemaknaan terhadap pohon beringin ini diantaranya sebagai komponen simbol dalam lambang negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Garuda Pancasila dan simbol partai politik. Penggunaan simbol pohon Beringin ini tidak serta merta muncul saat kemerdekaan Negara Indonesia. Namun, sudah ada sejak masa kerajaan Mataram yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam budaya Jawa, beringin merupakan simbol pohon kehidupan yaitu pohon yang mampu memberikan hayat atau kehidupan kepada manusia yang fungsinya dapat memberikan pengayoman dan perlindungan serta mempertebal semangat dan keyakinan masyarakat. Bentuknya yang besar dan rimbun menimbulkan rasa gentar dan hormat serta berkesan menakutkan. Oleh karenanya banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pohon beringin mempunyai kekuatan istimewa. Beringin sering di tanam di halaman pusat pemerintahan maupun di pusat keramaian (alunalun, pasar, pertigaan/perempatan jalan, dan di tempat lainnya). Hal ini tidak lepas dari makna yang terdapat di serat Salokapatra yang menyatakan bahwa pohon
14
beringin ditanam di lingkungan pusat pemerintahan/keraton sebagai perwujudan lambang perlindungan, pengayoman pemimpin (raja) kepada rakyatnya serta melambangkan bersatunya raja dan rakyatnya (Baskara dan Wicaksana: 2013. 22).
Gambar 1. Pohon Beringin Ditanam Sejak Zaman Kerajaan Mataram di Halaman Masjid Besar Kota Gede (Sumber: Dokumentasi Pribadi). C. Keistimewaan Arsitektur Tata Ruang Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta memiliki filosofi dan histori penataan ruang yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan. Sejak masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I, pembentukan struktur ruang kota sudah direncanakan melalui keselarasan lingkungan yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang kuat. Konsep pembentukan struktur ruang Kota Yogyakarta divisualisasikan melalui formasi linier yang meliputi garis imajiner Gunung Merapi, Kraton, Laut Selatan. Sumbu imajiner tersebut selaras dengan konsep Tri Hita Karana dan Tri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu-Tengah-Hilir serta nilai Utama-
15
Madya-Nistha) melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang termasuk lima komponen pembentukannya, yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan angkasa (eiter) (Kurniawan & Sadali. 2015: 162)
Gambar 2. Visualisasi Garis Imaginer Tata Ruang Yogyakarta Keraton Yogyakarta adalah kompleks kedudukan Sultan Hamengku Buwana selaku pemimpin Kasultanan Yogyakarta sejak Sultan I hingga X yang sekarang bertahta. Keraton ini menyumbang tiga peran penting. Pertama, sebagai tempat
16
kediaman raja dan keluarga terdekatnya yang melayani kegiatan keseharian. Kedua, sebagai tempat upacara yang terkait dengan raja dan kerajaan yang menampilkan keagungan dan kewibawaan. Ketiga, sebagai ungkapan filosofis yang mewujudkna gagasan-gagasan luhur tentang diri manusia dan semesta yang disimbolkan dalam ruang, bangunan, tanaman, dan tindakan (Dinas Kebudayaan DIY. 2009: 2). D. Tumbuhan dalam Mereduksi Polutan di Udara Perkotaan Daun tanaman dapat mengintersepsi, merefleksi, mengabsorbsi, dan mentransmisikan sinar matahari. Efektivitasnya tergantung pada karakteristik spesies tumbuhan, misalnya bertajuk tebal dan rapat atau tipis dan renggang, berkulit batang kasar atau halus, dan memiliki aksesoris lainnya seperti akar nafas. Setiap spesies tumbuhan mempunyai bentuk karakteristik, warna, tekstur, dan ukuran. Tumbuhan dapat digunakan sebagai pembentuk ruang, pembatas, pengatap, pelantai, dan dapat memberikan efek ruang luas menjadi sempit serta memberikan suasana yang tentram dan nyaman. Habitus tumbuhan dapat dimanfaatkan untuk menciptakan latar yang unik dalam pembentukan ruang. Pepohonan dapat memberikan kesan ruang tiga dimensi, menutupi pemandangan yang kurang indah (Irwan. 2005: 51).
17
Gambar 3. Tanaman sebagai Pembentuk Ruang dan Pengarah Jalan di Jalan Tamansiswa (Sumber: Dokumentasi Pribadi) Jenis tanaman yang berbeda sebagai komponen tanaman hutan kota merupakan faktor yang berpengaruh dalam kemampuan mereduksi kandungan logam berat. Jarak tanam dari tanaman ke sumber pencemar akan mempengaruhi jumlah logam berat yang terjerap oleh tanaman. Bentuk dan struktur daun serta umur tanaman yang ditunjukkan dari tinggi dan keliling batang juga berpengaruh dalam mereduksi kandungan logam berat. Semakin tinggi dan besar ukurannya dalam membentuk tajuk pohon maka reduksi logam berat akan semakin tinggi dan kandungan unsur pencemar logam berat di udara ambien akan berkurang (Fahruddin. 2014: 147). Menurut Zulkifli (2014: 55-56), prinsip pencemaran udara adalah apabila di dalam udara terdapat unsur-unsur pencemar baik primer maupun sekunder yang melebihi ambang batas normal. Sumber pencemar tersebut dapat berasal dari aktivitas manusia dan sebagian kecil dari aktivitas alam yang dapat mempengaruhi
18
keseimbangan komponen udara normal. Selain itu, juga mengakibatkan gangguan terhadap komponen biotik dalam ekosistem. Di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan dan pemakaian bahan bakar minyak, maka emisi yang diintroduksikan ke atmosfer juga semakin meningkat jumlahnya. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon dioksida (CO2), karbon monooksida (CO), maupun logam berat plumbum (Pb) yang dilepaskan ke udara (Eka, dan Husin, 2006: 4). Selanjutnya Wright (2008: 546) menyatakan bahwa Pb merupakan polusi udara golongan primer karena berasal langsung dari pembakaran. Aktivitas transportasi kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 setengah dari jumlah penduduk Indonesia akan menghadapi permasalahan pencemaran udara perkotaan, yang didominasi oleh emisi dari kendaraan bermotor (Kusminingrum, dan Gunawan, 2008: 3). Manusia selalu membuang kembali ke lingkungan segala sesuatu yang sudah tidak dipergunakannya lagi. Misalnya, pembuangan logam berat timbal sisa pembakaran bahan bakar minyak melalui knalpot kendaraan bermotor. Salah satu dampak ditimbulkan adalah adanya penurunan kualitas udara terutama di daerah perkotaan yang padat lalu lintas dan industri. Selain itu, pembuangan ini dapat berakibat buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. (Akhadi. 2009: 116).
19
1. Timbal (Pb)
Timbal (Pb) merupakan unsur kimia jenis logam berat yang lunak berwarna kebiru-biruan atau kelabu keperakan. Luasnya penggunaan Pb dalam aktivitas industri menyebabkan unsur ini dapat ditemukan pada berbagai tempat di lingkungan sekitar. Salah satu penggunaan unsur Pb adalah untuk meningkatkan nilai oktan bahan bakar minyak. Bensin yang kaya akan kandungan Pb dengan nilai oktannya 98 memungkinkan kendaraan unutk berlari kencang (Akhadi. 2009:117). Logam berat Pb dijumpai dalam sisa pembakaran bahan bakar minyak sebagai pengikat untuk meningkatkan nilai oktan. Sampai saat ini BBM yang beredar di Indonesia sebagian besar mengandung Pb dalam bentuk TEL (Tetra Ethyl Lead). Hal ini menyebabkan semakin tingginya pencemaran udara, khususnya di perkotaan yang padat lalu lintas (Eka, dan Husin, 2006: 4). Tabel 1. Perkiraan Persentase Komponen Pencemar Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia Komponen pencemar Persentase CO 70,50 % NOX 8,89 % SOX 0.88 % HC 18,34 % Partikel 1,33 % Total 100 Sumber: Zulkifli (2014:61). Timbal (Pb) yang terpapar ke dalam tubuh manusia akan menganggu sirkulasi peredaran darah, sistem saraf, ginjal dan sistem reproduksi. Pengaruh Pb dapat menyebabkan anemia. Efek Pb yang terpapar pada ibu hamil dapat
20
menghambat pertumbuhan janin, sedangkan pada anak-anak dapat menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) (Zulkifli. 2014: 61). 2. Mekanisme Tanaman dalam Mereduksi Logam Berat
Polusi logam berat di dalam organisme memberikan efek yang berbahaya bagi sistem kehidupan. Logam berat yang bersifat toksik diantaranya ialah timbal (Pb), kobalt (Co), dan kadmium (Cd). Hal ini dikarenakan logam berat tersebut dapat terakumulasi di dalam organisme tetapi tidak dapat didegradasi. Hal tersebut memberikan keuntungan bagi lingkungan. Namun, tidak bagi tanaman itu sendiri. Tanaman mereduksi logam berat melalui beberapa cara yang disebut fitoremidiasi. Fitoremidiasi meliputi mekanisme fitoekstraksi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi, dan fitovolatilisasi. Dengan demikian, tanaman dapat mereduksi logam berat dari udara, tanah, dan air melalui akar, batang, dan daunnya. (Tangahu, dkk. 2011: 5). E. Keunikan Tumbuhan Beringin sebagai Mitigasi Kerusakan Lingkungan Akar selalu mencari zat hara untuk menyokong pertumbuahan tanaman. Akar tanaman secara alami menyerap berbagai mineral dari tanah dan air di sekitarnya. Beberapa akar dapat menyerap dan mencerna bahan berbahaya. Sampai saat ini tanaman terus beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga munculah suatu mekanisme toleransi, agar tanaman mampu bertahan hidup (survive) pada lingkungan yang kurang sesuai. Secara kontinyu tanaman melawan pencemaran organik dan hasil metabolik yang bersifat toksik melalui mekanisme untuk
21
beradaptasi, sehingga tanaman mampu tetap tumbuh kondisi lingkungan kurang sesuai (Fahruddin. 2014: 145). Tajuk pohon beringin yang rapat mampu menangkap air dan akar pohon ini dapat menyerap dan menyimpan air dalam jumlah banyak dari sekitar tempat tumbuhnya, sehingga pohon ini sering dijumpai di lokasi mata air. Pohon beringin mudah tumbuh pada lahan kritis (sebagai pohon pionir). Beringin mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng berbatu yang terjal. Perakarannya yang dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah tumbang. Selain itu pohon beringin ini dapat ditanam sebagai pohon pionir untuk rehabilitasi lahan kritis (Mukhlisa. 2015: 21).
Gambar 4. Beringin Tumbuh di Media Beton di Jembatan Lempuyangan Kota Yogyakarta (Sumber: Dokumentasi Pribadi) Baskara dan Wicaksana (2013: 23), melaporkan bahwa beringin oleh masyarakat Jawa dipercayai sebagai tanaman suci dan memiliki daya magis yang tinggi. Beringin memiliki nilai ekologis dan hidrologis yang tinggi. Beringin dijumpai pada berbagai sumber mata air yang berada di kawasan karst bagian
22
selatan Jawa Timur seperti Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang. Kemampuan ini tak lepas dari arsitektur pohon beringin yang memiliki bentuk tajuk yang tebal dan rapat, sekaligus menunjukkan sistem perakaran yang dalam dan menyebar dan mencengkeram tanah dengan baik. Akar pohon beringin dapat menyebar dan mencengkeram dengan kedalaman tanah hingga di area sungai bawah tanah yang banyak tersedia di kawasan karst. Beringin dimaknai sebagai pohon suci dan pohon kehidupan yang diimplementasikan dalam bentuk simbol pada lambang NKRI maupun partai politik. Dalam budaya Jawa, pohon beringin tidak lepas dari kehidupan masyarakat kerajaan khususnya Yogyakarta dan masyarakat Jawa yang lainnya. Beringin ditanam di tempat-tempat strategis seperti di alun-alun, halaman perkantoran, taman-taman, pasar, halaman pusat pendidikan, hutan kota, di pertigaan jalan, dan di jalur hijau seperti di tepi jalan raya. Penanaman di lokasi strategis ini selain sebagai filosofis simbol hubungan pemerintah dan rakyatnya, juga didasarkan pada alasan fungsional beringin sebagai tanaman penghijau jalan di Kota Yogyakarta. Bentuk tajuk yang lebar dan rapat serta memiliki sifat evergreen mampu memberikan efek yang menentramkan. Dalam hal ini, pohon beringin memberikan efek suhu yang sesuai dengan kata lain nyaman untuk beraktivitas di sekitarnya.
23
Gambar 5. Pohon Ficus di Sumber Air Ngedaren I, Ponjong, Gunung Kidul (Sumber: Dokumentasi Pribadi) F. Tinjauan Umum tentang Beringin 1. Taksonomi Beringin Menurut Heyne (1987) dalam Desyanti (2012: 11), klasifikasi tumbuhan beringin adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus
: Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Urticales : Moraceae : Ficus.
Pohon beringin tergolong ke dalam suku Moraceae. Ficus merupakan marga terbesar dalam suku Moraceae yang banyak dijumpai Indonesia.
24
Terdapat sekitar 1000 jenis suku Moraceae dan sebagiannya adalah Ficus. Pohon ini dapat tumbuh di tanah dan di pohon lainnya sebagai hemi-epifit (Ulum,2010). 2. Persebaran dan Habitat Beringin Marga Ficus merupakan jenis yang hidup pada tempat dengan intensitas cahaya yang mencukupi, sehingga jarang tumbuh pada tegakan hutan yang rapat. Beringin terbagi menjadi tiga cara hidup yaitu epifit, hemi-epifit, dan pohon. Epifit biasanya hidup menumpang pada batang pohon lain dan pada akhirnya membunuh pohon inangya. Hemi-epifit pada awalnya hidup menumpang, tetapi kemudian akarnya dapat mencapai tanah dan akhirnya dapat hidup sendiri, sedangkan jenis beringin yang termasuk pohon dapat hidup langsung di tanah tanpa perantara pohon inang (Astika, 2003). Menurut Harrison (2005), marga Ficus mempunyai sistem penyerbukan yang berbeda dengan pohon-pohon lainnya. Penyerbuk bunga Ficus disebut tawon Ficus (figwasp) dari suku Agaoninae, Agaonidae, dan Chalcidoidea. Tawon masuk ke dalam sikonium muda untuk melakukan polinasi dan meletakkan telur pada beberapa ovul. Saat telur mulai menetas dan beranjak dewasa, buah Ficus terutama yang berumah satu (satu buah terdapat fungsi bunga jantan dan betina) kemudian akan terjadi penyerbukan di dalam buah. Sekitar satu bulan setelah telur diletakkan, tawon akan menetas dan tawon jantan akan mati setelah kawin, sedangkan tawon betina keluar dan menyebar membawa serbuk sari dari buah Ficus asal. Tawon betina harus menemukan
25
sikonium muda yang reseptif dari spesies yang sesuai selama rentang hidupnya (2 sampai 3 hari) untuk bereproduksi. Seiring dengan hal tersebut, serbuk sari bunga Ficus yang terbawa oleh tawon betina akan membantu penyerbukan pada sikonium yang beruntung untuk pembentukan biji (Baskara dan Wicaksono (2013:24). Di seluruh dunia terdapat sekitar 1200 spesies satwa pemakan buah beringin yang berbuah sepanjang tahun yang penting bagi satwa liar ketika buah-buahan lainnya yang tidak tersedia. Keberadaan beringin pada kawasan hutan dapat dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan karena peran dari satwa liar yang memakan bijinya, kemudian memicu terjadinya komunitas lanjutan. Beringin juga sebagai sumber pakan dan suaka bagi beberapa jenis burung, serangga, reptilia, dan mamalia. Akar gantung pohon beringin merupakan tempat bermain untuk beberapa jenis primata (Ulum, 2009; Baskara dan Wicaksana, 2013: 24). 3. Botani Beringin Van Stenis, et. al (1975) dalam (Suwarno, 2006: 4) menyatakan bahwa marga Ficus termasuk ke dalam suku Moraceae. Anggota famili Moraceae dapat berupa pohon, tanaman memanjat atau perdu, dan biasanya bergetah. Daun duduknya berlainan dan tunggal. Marga Ficus mempunyai satu daun penumpu pada setiap daun, ujung daunnya menggulung. Daun penumpu yang rontok akan meninggalkan bekas (scar) yang jelas. Susunan bunganya memiliki berbagai tipe yakni bulir rapat atau sikonium. Sikonium berbentuk bola atau
26
“buah peer” dan memiliki lubang (ostiol) di bagian ujungnya. Bunga berkelamin dua, berumah satu dan atau dua. Bunga jantan memiliki daun tenda bunga 4 dan stamen berjumlah 4, kepala sari beruang dua. Bunga betina memiliki daun tenda bunga 4, bebas dan atau melekat, tidak rontok dan membesar setelah mekar. Bakal buah menumpang dan atau tenggelam, beruang 1, bakal biji berjumlah 1, tangkai putik berjumlah 1 sampai 2. Sebagian dari bunga berubah bentuk menjadi bunga gall (bunga yang disebabkan oleh adanya serangga yang tumbuh di dalamnya). 4. Kegunaan Beringin Menurut Heyne (1987), tumbuhan beringin sering ditanam di alun-alun dan halaman serta sangat dinilai tinggi oleh penduduk. Secara teknis, pohon ini bernilai rendah sama seperti jenis Ficus lainnya. Tumbuhan ini juga berkhasiat untuk obat-obatan yaitu pada bagian akar udara dan daun. Akar nafas pohon beringin bermanfaat untuk mengatasi pilek, demam, radang amandel, dan rematik. Daunnya bermanfaat untuk mengatasi malaria, radang usus akut, disentri, dan influenza (Desyanti, 2012: 12). Dari aspek lingkungan, pohon Ficus berperan dalam menjaga siklus air serta mencegah erosi karena secara alami struktur perakaran lateralnya yang dalam mampu mencengkram tanah dengan baik. Tajuknya yang tebal dapat menyerap CO2 dalam jumlah yang relatif tinggi dan polutan lainnya dari udara (Ulum, 2009).
27
G. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Masyarakat tradisional
Timbal (Pb)
Debu
Beringin dalam Mereduksi Bahan Pencemar Udara
Eksistensi
Peta Distribusi
Pengetahuan Masyarakat tentang Pohon Beringin
Ukuran pohon Beringin
Distribusi Pohon Beringin
DBH Tinggi CC Pohon
Umur
Basal Area
Pemangkasan Pot/Bis
Luas CC Lingkungan
Mitologi
Gambar 6. Kerangka Berpikir Penelitian
28
Sejarah