KESENIAN KUDA LUMPING DITINJAU DARI PERSPEKTIF NORMA-NORMA MASYARAKAT
Indra Yunita Setyorini Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang E-mail:
[email protected]
Abstrak: Tujuan Penelitian ini adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. penelitian pendekatan yang bersifat kualitatif, sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah kata-kata atau ucapan suatu tindakan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan ini menghasikan asal usul kesenian kuda lumping, gerakan pokok dan makna tari kesenian kuda lumping, tata cara pertunjukan, persepktif norma dalam gerak tari kesenian kuda lumping, perspektif norma dalam tata cara pertunjukan kesenian kuda lumping. Kata Kunci: Kesenian Kuda Lumping, Norma-norma Masyarakat
Kesenian merupakan salah satu dari ketujuh unsur kebudayaan yang mempunyai wujud, fungsi dan arti di dalam kehidupan masyarakat.Bentuk-bentuk kesenian yang tersebar di seluruh tanah air menunjukkan corak-corak dan karakter yang beraneka ragam.Corak atau karakter tersebut muncul karena banyak dipengaruhi oleh sifat atau karakter budaya setempat, darimana masyarakat berasal atau bertempat tinggal. Berdasarkan rumusan di atas ternyata kebudayaan itu mempunyai ruang lingkup yang sangat luas.Untuk mengetahui mengetahui lebih mendalam, maka rumusan kebudayaan di atas perlu dijabarkan dalam unsur-unsurnya. (Koentjaraningrat, 2009:165) menegaskan “Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia.Setiap kebudayaan di dunia memiliki isi pokok yang meliputi tujuh unsur yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian”.
Kesenian tradisional merupakan peninggalan leluhur nenek moyang yang layak dilestarikan, karena memiliki kehidupan manusia yang menarik untuk dilihat dan dihayati sebagai kesenian tradisional daerah. Namun, seiring dengan pesatnya kemajuan IPTEK dan seni yang dengan mudah mengakses seni budaya modern, kesenian tradisional semakin terdesakkeberadaannya, dan tidak mustahil akan hilang dengan sendirinya jika tidak ada upaya melestarikan untuk menghidupkannya kembali. Kesenian berperan sebagai media komunikasi, sehingga suatu bentuk kesenian yang akan lahir, tumbuh dan berkembang berdasar situasi maupun kondisi masyarakat dimana kesenian tersebut menampakkan eksistensinya, serta mampu bertahan dalam perubahan jaman sekaligus menumbuhkan jiwa tertentu (dalam istilah lain disebut elastisitas seni). Sepanjang sejarah kehidupan manusia, seni selalu hadir sebagai unsure kebudayaan yang penting.Hal ini disebabkan seni memiliki daya ekspresi sehingga mampu merefleksikan secara simbolik kehidupan batiniah.Seni dalam hal ini dapat diartikan atau ditafsirkan sebagai media komunikasi untuk berekspresi, menyampaikan pesan, kesan dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungan. Kesenian kuda lumping juga disebut "Jaran Kepang" adalah salah satu unsur kebudayaan Jawa dan Indonesia yang mengandung nilai etis dan estetika yang berharga untuk dipelajari. Ternyata kesenian tradisional kuda lumping memiliki kontribusi yang banyak bagi pendidikan masyarakat, karena di dalam setiap pementasannya kesenian tradisional kuda lumping menyampaikan nilai-nilai pesan normatife yang dapat memberikan pendidikan bagi masyarakat (penonton) yang khususnya memuat nilai-nilai kehidupan. Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan sangat penting artinya bagi masyarakat, dalam hal ini berfungsi sebagai sarana penghibur, sarana pendidikan, juga sarana dalam upacara adat atau ritual dan lain-lain.Kesenian pada umumnya memiliki persamaan fungsi sebagai penghibur, tetapi untuk masa pembangunan seperti saat ini banyak sekali titipantitipan pesan pembangunan untuk disampaikan kepada para penonton melalui dialog-dialog misalnya. Kesenian kuda lumping mempunyai fungsi : (1) ritual sakral dalam upacara bersih desa; (2) pertunjukan; (3) hiburan. Mencermati kata ritual itu akan terbayang adanya suasana magis dalam pelaksanaan kesenian itu. Kesenian kuda lumping merupakan bagian dari kesenian yang sejak dulu digunakan sebagai sarana untuk melibatkan masyarakat secara langsung dalam pertunjukan.Kesenian kuda lumping dapat dengan cepat dilingkungan
masyarakat dan lingkungannya melalui gending-gending jawa serta gerak tari para jatilan dengan menunggangi kuda dari anyaman bambu.Seni kuda lumping tidak dapat melepaskan diri dari tata hidup dan kehidupan masyarakat lingkungannya.Masyarakat secara langsung ikut terlibat dalam pertunjukan, sehingga kesenian kuda lumping merupakan bidang kesenian yang paling dekat untuk mengekspresikan tata hidup masyarakat lingkungannya.Pertunjukan kesenian kuda lumping sebagai ritual bedah bumi (bersih desa). Pertunjukan kesenian kuda lumping dalam upacara ini sebagai sarana pelengkap dalam keselamatan dan mempunyai tujuan untuk membersihkan desa dari segala mara bahaya yang akan menimpa. Bersih desa selalu diadakan pada bulan Selo, tetapi masingmasing desa berbeda dalam mengambil harinya.Yang ingin dibersihkan dari desa ini adalah roh yang membahayakan desa.Upaya ini diawali dengan selamatan pada pagi hari dimakam pendiri desa, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa-doa bagi arwah leluhur serta membawa hidangan dan sesajen.Pada malam hari diadakan seni pertunjukan kesenian kuda lumping yang menarik banyak penonton sehingga menambah semaraknya pertunjukan. Perkembangan berikutnya terbukti, bahwa ritualitas upacara adat tradisional itu ternyata telah ternodai oleh ulah manusia-manusia yang telah menodai maksud dan tujuan dari misi kebudayaan itu sendiri.Dalam pertujukan kesenian kuda lumping banyak para seniman yang mengkonsumsi alkohol sebelum pertunjukan dimulai. Sutiyo sesepuh kesenian tradisional kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu mempunyai sebuah pertanyaan yang masih mengganjal dalam pikirannya yakni sampai kapan kesenian tradisional, seperti kuda lumping akan selalu terpinggirkan. Minat generasi muda sangat minim ditambah menyusutnya tingkat apresiasi masyarakat, bahkan untuk sekedar menonton pertunjukan kesenian tradisional, menjadi semacam momok di kalangan penggiat kesenian tradisional di tanah air.Generasi muda sekarang lebih senang bentuk kesenian yang praktis semacam music rock, pop, dangdut, atau semacam karaoke.Upaya penyelamatan sering kali dilakukan yaitu, dengan mengadakan pertunjukan kesenian kuda lumping pada malam gebyakan (malam jum’at legi). Berdasarkan pada pemikiran diataspeneliti merasa tertarik untuk mengetahui perspektif norma-norma yang berlaku di masyarakat terhadap pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Atas dasar tersebut maka peneliti mengangkat judul “ Pertunjukan Kesenian Kuda Lumping Ditinjau
Dari Perspektif Norma-Norma Masyarakat Kedung Desa Giripuno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Kesenian kuda lumping adalah Kuda lumping (dikenal juga dengan nama jaran kepang atau jathilan) adalah tarian dengan memakai anyaman bambu yang "dirakit" sedemikian rupa hingga menyerupai bentuk kuda. Pengertian lain tentang kuda lumping adalah Kuda Lumping juga disebut "Jaran Kepang" adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Menurut Sugiarto (1990:30) “ keberadaan seni Jawa yang didukung oleh masyarakat Jawa yang masih mempunyai keyakinan dan berlatar belakang pada konsep etis, sabar dan sareh yang mengandung makna bahwa segala sesuatu dilakukan tidak tergesa-gesa, tetapi pasti terselesaikan”. Refleksi dari konsep etis dan estetis tari yang menarik ini dapat dilihat pada ritme gerak yang sering terasa agak terlambat melangkah, menapakkan kaki pada lantai yang pada umumnya dilakukan sesaat setelah jatuh dan hitungan genap. Kesenian kuda lumping adalah pertunjukan yang menyajikan tarian-tarian. Dalam setiap pertunjukan harus sesuai dengan norma-norma masyarakat. Masyarakat dalam menjalankan kehidupan menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu adanya suatu norma. Masyarakat di dalam kehidupan memerlukan norma sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak. Macam-macam norma yang berlaku dalam masyarakat di bedakan menjadi empat yaitu, norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Norma agama terbagi menjadi dua, yaitu agama wahyu (samawi, sama’I, langit) dan agama budaya (Daradjat dalam Machmudin, 2003:15).Agama wahyu adalah suatu ajaran Allah yang berisi perintah, larangan, dan kebolehan yang disampaikan kepada umat manusia berupa wahyu melalui Malaikat dan Rasul-Nya.Sedangkan agama budaya adalah ajaran yang dihasilkan oleh pikiran dan persaan manusia secara kumulatif.Norma agama merupakan tuntutan hidup manusia untuk menuju arah yang lebih baik dan benar.Norma agama mengatur tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan dan dirinya sendiri. Pelanggaran terhadap norma agama akan mendatangkan sanksi dari Tuhan. Norma kesusilaan adalah aturan hidup yang berasal dari suatu hati manusia yang menentukan nama perbuatan yang baik dan nama perbuatan yang tidak baik, sehingga norma kesusilaan itu bergantung pada pribadi manusia itu sendiri (Machmudin 2003:15). Manusia dapat berbuat baik atau buruk, karena bisikan hati nuraninya (geweten). Norma kesusilan
mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya guna kesempurnaan manusia agar ia menjadi insane kamil. Norma kesusilaan ditujukan kepada sikap batin manusia, asalnya dari manusia itu sendiri, dan ancaman atas pelanggaran norma kesusilaan adalah dari batin manusia itu sendiri berupa rasa penyesalan. Norma kesusilaan bersifat onotom, bukan merupakan paksaan dari luar dirinya. Contoh yang termasuk ke dalam norma kesusilaan, misalnya berbuatlah jujur, hormatilah sesama, dan sebagainya. Norma kesopanan adalah aturan hidup yang timbul dari pergaulan hidup masyarakat tertentu. Landasan norma kesopanan adalah keputusan, kepantasan, dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Norma kesopanan sering kali disamakan dengan norma sopan-santun, tata karma, atau adat, walaupun ada pakar hukum yang tidak mau menyamakan pengertian kebiasaan dengan adat dan sopan santun (Purnadi Purbacaraka dalam Machmudin, 2003:15). Menurut Kansil dkk (2007:6) menyatakan bahwa “norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia”.Peraturan-peraturan itu harus diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada disekitarnya. Priyanto dkk (2008:6) menuliskan bahwa “norma hukum adalah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.Machmudin (2003:16) menuliskan bahwa “norma hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang, sehingga berlakunya dapat dipertahankan”.Menurut Van Kan (dalam Machmudin, 2003:16) sifat yang khas dari peraturan hukum, ialah sifat memaksa menghendaki tinjauan yang lebih mendalam.Memaksa bukanlah berarti senantiasa dapat dipaksakan, contohnya, apabila hukum selalu dapat dipaksakan tidak mungkin ada orang dipenjara karena mencuri, membunuh, dan sebagainya.Menandakan bahwa sanksi hukum tidak selalu dapat dipaksakan. Kaidah atau norma hukum tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, namun yang diperhatikan hukum, adalah bagaimana perbuatan lahiriah seseorang secara nyata. Kaidah hukum atau norma hukum tidak hanya membebani seseorang dengan kewajiban semata, melainkan memberinya juga seseorang hak.
Berdasarkan pertunjukan kesenian kuda lumping yang dalam menyelenggarakan acara harus memperhatikan norma-norma masyarakat, maka permasalahan yang timbul adalah: (1) asal usul kesenian kuda lumping, (2) gerakan pokok dan makna tari kesenian kuda lumping, (3) tata cara pertunjukan kesenian kuda , (4) perspektif norma-norma dalam seni tari kuda lumping, (5) perspektif norma dalam tata cara penyelenggaraan kesenian kuda lumping.
METODE Penelitian tentang seni tradisional “kesenian kuda lumping” di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian dikategorikan penelitian studi kasus. Penelitian kualitatif mengacu pada berbagai cara pengumpulan data yang berbeda dan menekankan pada pendekatan data serta berdasarkan konsep bahwa pengalaman adalah cara terbaik untuk memahami perilaku sosial. Menurut Sulistia (1991:234) “ Metode penelitian kualitatif mengacu pada strategi penelitian seperti observasi partisipan, wawancara mendalam, partisipasi total kedalaman aktifitas mereka yang diselidiki, kerja lapangan dan sebagainya yang memungkinkan peneliti memperoleh informan tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan”. Populasi target penelitian ini meliputi semua pengurus yang tergabung dalam struktur organisasi kesenian kuda lumping, pemain kesenian, dan masyarakat di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Data yang diperlukan adalah wawancara dan observasi di lapangan, oleh karena itu perlu data yang disebut sebagai sumber data sekunder. Sumber data sekunder bisa berupa dokumentasi. Data digunakan untuk mendapatkan informasi tentang jawaban dari sebuah penelitian. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan Reduksi data. Miles dan Huberman (dalam Azizah, 2008:48) mengungkapkan bahwa mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian dicari tema dan pola dan menghapus atau membuang yang tidak perlu. Teknik-teknik perlu digunakan untuk mendapatkan data yang absahan dalam penelitian kualitatif. Adapun teknik yang digunakan sebagai berikut: (1) perpanjangan
keikutsertaan, (2) ketekuan, (3) observasi yang mendalam, (4) triangulasi. Tahap penelitian ini dilakukan mulai dari persiapan, pelaksanaan, serta laporan penelitian. Persiapan dimulai dengan perijinan, tahap pelaksanaan dilakukan dengan cara obserwasi dan wawancara mendalam, dan tahap laporan penelitian merupakan tahan yang terakhir dalam penelitian Setelah data diperoleh, dianalisis kemudian dikonsultasikan.Apabila data dinilai masih kurang, peneliti mencari lagi informasi yang diharapkan untuk membuat laporan penelitian. Kegiatan dalam tahap pelaporan ini adalah menyusun hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sesuai dengan pedoman yang berlaku di Universitas Negeri Malang.
Hasil dan Pembahasan A. Asal usul Kesenian Kuda Lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu Kesenian tradisional “ kuda lumping” di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu masih dilestarikan oleh masyarakatnya. Ada beberapa argumen untuk mendeskripsikan kesenian kuda lumping itu sendiri yang pada intinya mempunyai makna yang sama. Kuda Lumping disebut juga jaran kepang yaitu tarian yang menggunakan anyaman bambu berbentuk seperti kuda yang ditampilkan oleh sekelompok penari tengah menunggang kuda.Kuda Lumping adalah seni tradisional berupa tarian-tarian yang diiringi dengan alat musik tradisioal seperti gong, kenong, gamelan, dan terompet serta nyanyian. Hadi Samporno, sesepuh Desa Giripurno menjelaskan dalam wawancara pada tanggal 24 September 2012 pukul 19.00 di Rumah beliau, sebagai berikut: Berdasarkan cerita turun-temurun kesenian kuda lumping pertama kali muncul di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu sejak tanggal 10 November 2010 dengan nama Turonggo Wahyu Senggoro.
Sejarah lahirnya Kesenian Kuda Lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu rasa ingin melestarikan kesenian khususnya Kesenian Kuda Lumping. Berdasarkan cerita turun-temurun kesenian kuda lumping pertama kali muncul di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu sejak tanggal 10 November 2010 dengan nama Turonggo Wahyu Senggoro.
Sekitar tahun 2011 terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan sesepuh pendiri kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Untuk memberi nama kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno yang awalnya bernama Turunggo wahyu Senggoro akhirnya diganti dengan Turunggo wahyu singo darmo. Nama itu diperoleh dengan cara Semedi yang dilakukan oleh salah satu anggota yang bernama Bapak Sadik salah satu sesepuh dari Desa Giripurno. Persemedian itu dilakukan di Lereng Gunung Arjuno. Akhirnya semua sepakat dengan nama Turunggo Wahyu Singo Darmo dipercaya akan membawa kemakmuran dan kedamaian di Desa Giripurno. Kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripuno Kecamatan Bumiaji Kota Batu sejak tanggal 10 november 2010 dengan nama Turonggo Wahyu Senggoroh. Kemudian sekitar tahun 2011 terjadi perbedan pendapat mengenai nama. Setalah melakukan semedi yang dilakukan di Lereng Gunung Arjuno seperti mendapatkan wangsit untuk mengganti nama dari Turonggo Wahyu Senggoroh menjadi Turonggo Wahyu Singo Darmo. Karena masyarakat di Dusun Kedung Desa Giripurno masih mempercayai cara tersebut dari turun temurun sesepuh atau nenek moyang Dusun Kedung Desa Giripurno. B.
Gerakan pokok dan makna tari Kesenian Kuda Lumping Gerakan pokok dalam tari Kesenian Kuda Lumping umumnya, pertunjukan yang
berisi tarian Senterewe. Gerakan pokok tari senterewe tangan berada di pinggang, dengan menaiki kuda dari anyaman bambu dan menggerakkan kedua tangan bersamaan dengan gerakan kaki sesuai irama. Menurut Hadi Samporno, sesepuh sekaligus ketua kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu mengatakan dalam wawancara pada tanggal 24 September 2012, Pukul 19.00 di Rumah beliau : Gerakan pokok tari senterewe tangan berada di pinggang, dengan menaiki kuda dari anyaman bambu dan menggerakkan kedua tangan bersamaan dengan gerakan kaki sesuai irama musik tradisional. Gerakan Pokok Tari Barong atau Buto Lawas diawalai dengan gerakan kaki kanan maju selangkah bersamaan dengan gerakan pinggul dan tangan mengepal sambil digerakan ke kanan ke kiri.Gerakan Pokok Tari Celeng diawali dengan badan merunduk, kepala menunduk, dengan membawa sebuah celengan yang diumpamakan seolah olah seperti hewan. Pada fragmen Buto Lawas, penari berwujud kepala raksasa berwajah seram (Buto)
dan badan manusia. Fragmen selanjutnya adalah tari senterewe, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian ini menggambarkan tentang kehidupan manusia yang di dalamnya berisi keserasian, keseimbangan dan perbedaan atau perselisihan dalam hidup. Dalam perjuangannya meniti kehidupan , penari diganggu oleh perwujudan setan yang divisualisaskan dengan penari barong atau buto lawas yang berwajah menyeramkan yang gerakan tariannya sengaja mengecoh atau mengganggu para penari agar berbuat kesalahan. Selanjutnya, penari yang hanyut oleh penari buto lawas akan kesurupan (ndadi). Pada bagian ini kadang-kadang apresiasi pelaku seni terkadang kurang tepat, sehingga untuk menjiwai peran ini melibatkan pihak-pihak yang dapat membuat orang kesurupan lalu menghentikannya. Sebenarnya tidak harus ksurupan sungguhan tetapi cukup dengan ekspresi saja. Setelah itu ada bagian tari yang menggambarkan perwatakan manusia berkepala naga, sebuah simbol angkara murka diperankan dengan tari barong dan tari celengan yang mengandung maksud menggambarkan kehidupan di hari pembalasan. C.
Tata cara pertunjukan Kesenian Kuda Lumping di Dusun Kedung Desa
Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Masyarakat di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu memiliki kegemaran pada kesenian khususnya kesenian kuda lumping dan ingin mengadakan pertunjukan. Dalam melakukan pertunjukan harus melalui proses perijinan terlebih dahulu. Prosedur perijinan yang pertama yaitu ijin ke RT kemudian RW setempat kemudian ke Kantor Desa untuk mendapatkan buku ijin keramaian, kemudian ke Kantor Kecamatan juga ke Koramil dan terakhir ke Kepolisian yang akan mengeluarkan surat ijin keramaian diberikan kepada yang punya hajat rekomendasi dari Dinas. Tata cara pertunjukan kesenian kuda lumping sebagai berikut: Pertama, mempersiapkan alat-alat seperti gamelan, gong, kenong, kendang teropet yang akan digunakan untuk pertunjukan; kedua, pengrawit menepati alat musik masing-masing dan mulai memainkan; ketiga, menata/menyiapkan perlengkapan seperti kuda, barongan, celengan; keempat, menyiapakan bunga setaman, wangi-wangian fambo, dupa dan kemenyan; kelima, menyiapkan kostum yang akan dipakai para jatilan;keenam, para pemain dan sinden bersiap-siap dengan kostum dan make up; ketujuh, pertunjukan siap dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh para penari yang menunggangi kuda dari anyaman
bambu, kemudian penari dengan memakai barongan dilanjutkan penari dengan memakai celengan. Sebelum pertunjukan kesenian kuda lumping berlangsung, para pemain khususnya penari jatlilan memerlukan make up, sebagai berikut: Waktu make up yang digunakan kurang lebih 1 jam menjelang pertunjukan dan yang diperlukan antara lain: bedak, minyak wangi, kostum, jarit, dan lain-lain. Proses pertunjukan kuda lumping selalu diwarnai adanya kesurupan atau kerasukan karena kesenian kuda lumping selalu identik dengan pemanggilan roh halus yang sengaja dipanggil untuk meramaikan pertunjukan, namun tetap didampingi para datuk atau pawang. Seorang datuk atau pawang adalah orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju yang dikenakan serba hitam. Para datuk atau pawang ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih. D. Perspektif norma-norma dalam gerak tari kesenian kuda lumping. a.
Dari segi norma agama Pertunjukan kesenian kuda lumping di dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan
Bumiaji Kota Batu dilihat dari perspektif norma agama, Agama tidak bisa dicampur dengan kesenian “berdiri sendiri”, “Agama tanpa kesenian kaku dan kesenian tanpa agama amburadul “. Agama merupakan tuntunan hidup dan kesenian merupakan kebutuhan hidup, yang sasarannya adalah batin.Agama dan seni ibarat “rel kereta api” sejajar tetapi tidak akan ketemu. Ilmu itu kedepan bisa salah, tetapi agama itu merupakan dokma (selalu benar) dimana tergantung penafsiran masing-masing individu. Seni itu merupakan keindahan yang bisa dinikmati dan memberikan kepuasan batin khususnya kesenian Kuda Lumping. Dilihat dari segi kesurupan atau kerasukan roh halus, kesurupan atau kerasukan roh halus sudah menjadi bagian pertunjukan kesenian kuda lumping namun dalam pandangan agama memang tidak bisa dihubungkan. Karena kami hanya berniat untuk melestarikan kesenian. Kesurupan hanya bagian dari kesenian kuda lumping tidak dapat disatukan dengan agama. Agama merupakan tuntunan hidup manusia untuk menuju arah yang lebih baik dan benar sedangkan kesenian keahlian manusia untuk menciptakan hal-hal yang bernilai dan indah. Norma agama juga menyoroti pertunjukan kesenian kuda lumping yang kadang diikuti dengan minuman keras, minuman keras seharusnya tidak diperbolehkan dalam
kesenian tapi masih sering ada seniman yang selalu mengkomsumsi alkohol saat prtunjukan berlangsung. Kesenian kuda lumping itu sendiri merupakan budaya yang positif, tetapi minuman keras merupakan budaya negatif yang keberadaannya membuat citra kesenian kuda lumping menjadi buruk. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam kesenian kuda lumping itu sendiri merupakan budaya positif yang harus dilestarikan dan minuman keras yang merupakan budaya negatif tidak ada di dalamnya, bahkan dalam tata tertib minuman keras itu dilarang dikonsumsi di arena pentas ( panggung pertunjukan), sehingga tergantung sosialisasi setiap daerah yang terdapat kesenian kuda lumping dan kesadaran dari pribadi untuk bila menyungguhkan pertunjukan kesenian kuda lumping seperti yang diharapkan. b.
Dari segi norma kesusilaan Pertunjukan kesenian kuda lumping dari segi norma kesusilaan dapat dilihat dari
hubungan antara penari kesenian kuda lumping dengan penonton, meskipun saat petunjukan selalu diwarnai dengan kesurupan dan tidak jarang penonton juga ikut kesurupan tapi penonton kesenian kuda lumping tetap banyak peminatnya, mereka saling percaya dan menghormati saat pertunujukan berlangsung, agar pertunjukan lancar dan memuaskan. Kesurupan atau kerasukan roh halus sudah menjadi bagian pertunjukan kesenian kuda lumping namun kami tidak khawatir bila pada saat pertunujukan ada penonton yang ikut kesurupan, karena itu sudah biasa terjadi, dan kami sudah ada seorang datuk atau pawang yang akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih. Pertunjukan kesenian kuda lumping selalu diwarnai dengan kesurupan, banyak juga para penonton yang ikut kesurupan, namun sudah ada pendekar/datuk yang siap menyembuhkan kesadaran penonton. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan pertunjukan kesenian kuda lumping mempunyai hubungan antara penari kesenian kuda lumping dengan penonton selalu identik dengan kesurupan, tapi itu tidak jadi masalah karena dalam sudah ada seorang pendekar/pawang yang akan menyadarkan kesadaran mereka. c.
Dari segi norma kesopanan
Norma kesopanan merupakan aturan yang berasal dari masyarakat, pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusum Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu selalu memperhatikan norma tersebut. Rombongan kesenian kuda lumping dalam pertunjukan selalu memperhatikan kepentingan yang ada dalam masyarakat, misalnya: saat adzan berkumandang, selalu menghentikan proses pementasan atau pertunjukan. Pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu mempunyai fungsi untuk menghibur atau memberi tontonan, tetapi apabila terjadi aksi yang mengganggu kesopanan dalam masyarakat itu dikembalikan pada pribadi masing-masing manusia. Masyarakat menilai kesenian kuda lumping tidak ada yang melanggar norma kesopanan, terbukti dari banyaknya orang-orang yang masih menanggap kesenian kuda lumping. Pertunjukan kesenian kuda lumping di Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebelum digelar pertunjukan telah melalui proses perizinan, yaitu dari RT, RW lalu dari desa melalui Kantor Desa/Kelurahan untuk mendapatkan buku keramaian , kemudian di Kantor Kecamatan juga di Koramil dan Kepolisian yang akan mengeluarkan surat ijin keramaian dengan melampirkan rekomendasi dari Dinas. Untuk menjaga kesopanan dalam pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu tetap terjaga, arena kesenian kuda lumping harus tertata rapi, jumlah pemain maksimal sama dengan jumlah penari sehingga pertunjukan tertib dan terlihat indah. d.
Dari segi norma hukum Priyanto dkk (2008:6) menuliskan bahwa “norma hukum adalah peraturan-peraturan
yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Hal ini membuktikan bahwa Kesenian kuda lumping tetap diperbolehkan bila dilihat dari segi norma hukum, bila mana pada saat pertunjukan tidak melanggar suatu aturan hukum yang ada di Negara Indonesia khususnya. Dan selalu mendapat Izin dari pihak Koramil dan Kepolisian setempat dan dari RT, RW lalu dari desa melalui Kantor Desa/Kelurahan. Pertunjukan kesenian kuda lumping di Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebelum digelar pertunjukan telah melalui proses perizinan, yaitu dari RT, RW lalu dari desa melalui Kantor
Desa/Kelurahan untuk mendapatkan buku keramaian , kemudian di Kantor Kecamatan juga di Koramil dan Kepolisian yang akan mengeluarkan surat ijin keramaian dengan melampirkan rekomendasi dari Dinas. Di kalangan kesenian kuda lumping khususnya di Dusun Kedung Desa Giripurno dari pihak keamanan saling menjaga dan selalu siap siaga. Pemain yang melanggar aturan akan dihukum sesuai aturan yang berlaku, contohnya: bila pemain kedapatan pemain yang merusak serta mengganggu proses pertunjukan yang berlangsung, misalnya berkelahi di arena pertunjukan kesenian kuda lumping, akan ditindak aparat keamanan (hansip/polisi) yang bertugas pada waktu itu. E. Perspektif norma dalam tata cara penyelenggaraan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Tata cara penyelenggaraan kesenian kuda lumping Kecamatan di Dusun Giripurno Bumiaji Kota Batu ditinjau dari perspektif norma yaitu, dalam melakukan pertunjukan Kesenian Kuda Lumping harus melalui proses perijinan terlebih dahulu ini terdapat dalam norma kesopanan dan norma hukum.Prosedur perijinan yang pertama yaitu ijin ke RT kemudian RW setempat kemudian ke Kantor Desa untuk mendapatkan buku ijin keramaian, kemudian ke Kantor Kecamatan juga ke Koramil dan terakhir ke Kepolisian yang akan mengeluarkan surat ijin keramaian diberikan kepada yang punya hajat rekomendasi dari Dinas. Tata cara pertunjukan kesenian kuda lumping Pertama, mempersiapkan alat-alat seperti gamelan, gong, kenong, kendang teropet yang akan digunakan untuk pertunjukan; kedua, pengrawit menepati alat musik masing-masing dan mulai memainkan; ketiga, menata/menyiapkan perlengkapan seperti kuda, barongan, celengan; keempat, menyiapakan bunga setaman, wangi-wangian fambo, dupa dan kemenyan; kelima, menyiapkan kostum yang akan dipakai para jatilan;keenam, para pemain dan sinden bersiap-siap dengan kostum dan make up; ketujuh, pertunjukan siap dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh para penari yang menunggangi kuda dari anyaman bambu, kemudian penari dengan memakai barongan dilanjutkan penari dengan memakai celengan.Sebelum pertunjukan kesenian kuda lumping berlangsung, para pemain khususnya penari jatlilan memerlukan make up, Waktu make up yang digunakan kurang lebih 1 jam menjelang pertunjukan dan yang diperlukan antara lain: bedak, minyak wangi, kostum, jarit, dan lain-lain.
Proses pertunjukan kuda lumping selalu diwarnai adanya kesurupan atau kerasukan makluk halus/roh halus hal ini tidak bisa dihubungkan dengan norma Agama. Namun masih memperhatikan atau menaati Norma- norma yang lainnya seperti Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan dan Norma Hukum. Proses pertunjukan kuda lumping selalu diwarnai adanya kesurupan atau kerasukan karena kesenian kuda lumping selalu identik dengan pemanggilan roh halus yang sengaja dipanggil untuk meramaikan pertunjukan, namun tetap didampingi para datuk atau pawang. Pertunjukan kesenian kuda lumping di Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebelum digelar pertunjukan telah melalui proses perizinan, yaitu dari RT, RW lalu dari desa melalui Kantor Desa/Kelurahan untuk mendapatkan buku keramaian , kemudian di Kantor Kecamatan juga di Koramil dan Kepolisian yang akan mengeluarkan surat ijin keramaian dengan melampirkan rekomendasi dari Dinas.Di kalangan kesenian kuda lumping khususnya di Dusun Kedung Desa Giripurno dari pihak keamanan saling menjaga dan selalu siap siaga. Pemain yang melanggar aturan akan dihukum sesuai aturan yang berlaku, contohnya: bila pemain kedapatan pemain yang merusak serta mengganggu proses pertunjukan yang berlangsung, misalnya berkelahi di arena pertunjukan kesenian kuda lumping, akan ditindak aparat keamanan ( hansip/polisi) yang bertugas pada waktu itu. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa perspektif norma dalam tata cara penyelengaraan kesenian kuda lumping Kecamatan di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu tidak lepas dari norma-norma yang berlaku di masyarakat yaitu norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum namun tidak dapat dihubungkan antara kesenian dengan norma agama. Karena Agama merupakan tuntunan hidup dan kesenian merupakan kebutuhan hidup, yang sasarannya adalah batin. PENUTUP Berdasarkan penelitian mengenai pertunjukan kesenian kuda lumping ditinjau darai perspektif norma-norma masyarakat Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu maka peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut: Kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu masih tetap terjaga, terlihat pada masyarakatnya yang lebih menggemari pertunjukan kesenian kuda lumping dibanding kesenian lain sebagai hiburan dan tontonan untuk memeriahkan acara bersih desa, pernikahan, dan khitanan. Gerakan Pokok dan makna dalam
Tari Kesenian Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif melalui kibasan anyaman bambu yang menirukan gerakan layaknya seekor kuda ditengah peperangan.Makna Tari Kesenian Kuda Lumping banyak menceritakan tentang sejarah kepahlawanan dan seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis Tata cara pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu harus melalui proses perijinan terlebih dahulu, kemudian menyiapkan alat-alat yang digunakan dalam pertunjukan. Perspektif norma-norma dalam gerak tari kesenian kuda lumping, meliputi (a) Dari segi norma agama dalam kesenian kuda lumping itu sendiri merupakan budaya positif yang harus dilestarikan dan minuman keras yang merupakan budaya negatif tidak ada di dalamnya, bahkan dalam tata tertib minuman keras itu dilarang dikonsumsi di arena pentas ( panggung pertunjukan), sehingga tergantung sosialisasi setiap daerah yang terdapat kesenian kuda lumping dan kesadaran dari pribadi untuk bila menyungguhkan pertunjukan kesenian kuda lumping, (b) Dari segi norma kesusilaan, pertunjukan kesenian kuda lumping mempunyai hubungan antara penari kesenian kuda lumping dengan penonton selalu identik dengan kesurupan, tapi itu tidak jadi masalah karena dalam sudah ada seorang pendekar atau awang yang akan menyadarkan kesadaran mereka. (c) Dari segi norma kesopanan, untuk menjaga kesopanan dalam pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu tetap terjaga, arena kesenian kuda lumping harus tertata rapi, jumlah pemain maksimal sama dengan jumlah penari sehingga pertunjukan tertib dan terlihat indah. (d) Dari segi norma hukum, pertunjukan kesenian kuda lumping di Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebelum digelar pertunjukan telah melalui proses perizinan, Pemain yang melanggar aturan akan dihukum sesuai aturan yang berlaku, Sehingga pertunjukan dapat berlangsung dengan aman dan tertib. Bahwa perspektif norma dalam tata cara penyelengaraan kesenian kuda lumping Kecamatan di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu tidak lepas dari norma-norma yang berlaku di masyarakat yaitu norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum namun tidak dapat dihubungkan antara kesenian dengan norma agama. Karena Agama merupakan tuntunan hidup dan kesenian merupakan kebutuhan hidup, yang sasarannya adalah batin.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut: Bagi masyarakat di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu hendaknya menyadari akan pentingnya melestarikan kebudayaan dan kesenian yang ada di daerahDusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu dan menumbuhkembangkan kebanggaan terhadap kebudayaan yang ada di daerah ini dengan cara menjaga serta melestarikannya. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap kesenian kuda lumping sebaiknya, aparatur desa Giripurno mensosialisasikan kesenian kuda lumping kepada pemuda/pemula penerus dan penggemar kesenian kuda lumping agar melestarikan kesenian terebut, misalnya dengan pengarahan dan pelatihan tari kesenian kuda lumping, sehingga mampu memberikan sajian yang menarik dalam pertunjukan Kesenian Kuda Lumping. Proses pertunjukan kesenian kuda lumping di Dusun Kedung Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota Batu dalam pelaksanaan sudah sesuai prosedur, namun perlu untuk ditingkatkan keamanan dalam pertunjukan serta menghilangkan kebiasaan penari untuk menyertakan minuman keras dalam setiap pertunjukan.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy.2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pamadhi, Hadjar, dkk. 2007. Pendidikan Seni di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Priyanto, Sugeng A.T, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan Kelas IX Edisi 4. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Satori,Dr. Djam’an. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Tap MPR No. II Tahun 1998 tentang Garis- garis Besar Haluan Negara. ( Online), (http://www.tatanusa.co.id), diakses 4 Februari 2011. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang. Universitas Negeri Malang.