KEPEMIMPINAN ADAT DALAM KEPATUHAN MASYARAKATPADA NORMA ADAT (Studi Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat)
NURUL HAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Kepemimpinan AdatDalamKepatuhanMasyarakatPada Norma Adat(Studi Kasus Di Kasepuhan Sinar Resmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat). Adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Nurul Hayat I353080111
ABSTRACT The study focus of this thesis was to explore issues of leadership in indigenous communities in compliance with customary norms. With a case studyincommunitydistrictsKasepuhanSinar Resmi atCisolokdistrict Sukabumi regency. In this study,assessedthe historyandbackgroundon thedynamicsleadership atKasepuhan, divisionsandrestrukturasiinstitutionalcustomaryineveryeraof AbahleadershipfollowingKasepuhaninvariousnationaland localeventsthat influence thedynamics ofits lead. Changesleadershipdynamicsthat occurinsocietyKasepuhanSinar Resmiwere also analyzedby looking ata variety ofexternal and internal factorsthat influence it. This studyshowsthat theinternalpolitical affairsin theinterests ofa Kasepuhan largefamily, the introduction of educationalsoaffectedtheleadership ofAbah,a money economyculture, lifestyle changes, the intensity ofinteractionwith the outside world, becomeimportant factorsthat influence(directly or indirectly) toward the changesandtransforms thetraditional valuesthat hadheldstronglyas theback of theorderof sociallife. Alongwith thesocialtransformationthat occurred,a leadershipstyleat KasepuhanSinar Resmi also changed. On the other hand, variousfactors drivingsocialchangealso affectedthechanges incompliance withthenorms andtraditionalvaluesand attitudesonleadershipstylesinthe currentKasepuhanSinar Resmi. Key Word: The leadership dynamics, Indigenous Peoples, adherence to traditional norms, Kasepuhan Sinar Resmi, Sukabumi District, West Java.
RINGKASAN Nurul Hayat. Kepemimpinan Adat Dalam Kepatuhan Masyarakat Pada Norma Adat (Studi Kasus Di Kasepuhan SRI Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat). Dibimbing oleh Nurmala K. Pandjaitan dan Winati Wigna. Penelitian ini mencoba melihat tentang dinamika kepemimpinan masyarakat di kasepuhan, sejak Kasepuhan itu berdiri hingga saat ini. Dimana dalam dinamika setiap kepempinan kebanyakan adanya intrevensi-intervensi pemerintah dalam tatanan kehidupan di masyarakat kasepuhan, serta saat ini kepemimpinannya justru pemerintah dijadikan mitra kelangsungan kehidupan sehingga membawa dampak terhadap masyarakatnya karena dinilai telah melanggar norma adat. Untuk itu beberapa pertanyaan penelitian diharapkan dapat terjawab, adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah : (1) bagaimana kepemimpinan yang ada di Kasepuhan SRI?, (2) bagaimana norma-norma adat yang ada di Kasepuhan SRI?, (3) bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap norma adat di Kasepuhan SRI?, (4) bagaimana peran pemimpin adat terhadap pemeliharaan norma adat?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi pendekatan studi kasus karena fokus yang di teliti adalah Abah sebagai pucuk kepemimpinan di Kasepuhan sejak berdirinya kasepuhan hingga saat ini, dengan segala dinamikanya, kasus yang menyoroti perilaku individu Abah sebagai pemimpin di kasepuhan, serta masyarakat kasepuhan yang mendapatkan dampak dari kepemimpinannya dari berbagai tingkatan peristiwa baik nasional maupun lokal. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2012, di Kasepuhan SRI, pemimpin dalam bahasa Kasepuhan di sebut Abah, dan masyarakatnya di sebut incu-putu. Incu-putu kasepuhan tersebar di Jawa Barat, Banten Hingga Lampung karena adat tidak mengenal batas wilayah administrasi. Pusat pemerintahan kasepuhan Sinar Resmi secara adminstrasi masuk kedalam Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara umum penelitian ini mengasilkan bahwa gaya kepemimpinan Kasepuhanditinjau dari sudut tinjauan historis sebelum terbitnya UU No. 5/1979 yang memaksa Kasepuhan untuk tidak lagi hidup berpindah-pindah dan mengakui wilayah otoritas pemerintahan desa, masyarakat Kasepuhan SRI masih sangat teguh didalam menjalankan aturan adat Kasepuhan. “Abah” sebagai patron dari incu putunya, sangat teguh dan konsistennya “Abah” menjalankan norma-norma adat. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan khususnya di dalam pengelolaan lahan kolektif masyarakat kasepuhan beserta ritual yang menyertainya dilakukan oleh masyarakat kasepuhan secara bersama-sama tanpa pembagian kerja yang ketat di kalangan masyarakat Kasepuhan. Penananaman padi dengan jenis padi lokal yang ditanam hanya sekali dalam setahun juga tetap dipertahankan. Sehingga kelembagaan “leuit” berperan besar di dalam pemenuhan pangan seluruh masyarakat Kasepuhan. Dalam struktur kekuasaan dan pola kepemimpinan otokratik dari “Abah” menuntut kesetiaan incu putunya terhadap Abah. Kesetiaan pengikut juga
terpelihara karena “Abah” menciptakan jarak sosial yang sangat dekat antara “Abah” dan “Incu Putunya”. Meskipun pola kepemimpinan “Abah” yang cenderung mengambil keputusan tanpa melibatkan “incu putunya” dan kemudian menuntut mereka untuk mematuhi keputusan “Abah”, namun karena konsistensi “Abah” dan kecilnya jarak sosial diantara “incu putunya” menyebabkan timbulnya rasa kesetiaan pengikut terhadap sang “Abah”. Dinamika kepemimpinan adat Kesepuhan, bahwa gejolak sosial di masyarakat Kasepuhan sendiri sesungguhnya muncul dari luar sistem sosial Kasepuhan kemudian merembes ke dalam sistem sosial masyarakat Kasepuhan. Titik awal dari gejolak sosial yang dialami oleh Kepemimpinan Kasepuhan SRI melalui terbitnya UU No. 5/1979 memaksa tunduknya masyarakat Kasepuhan terhadap tata aturan pemerintah. Melalui perundang-undangan tersebut, artinya bahwa saat itu masyarakat Kasepuhan SRI tidak lagi berfikir dan bertindak secara lokal. Misalnya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya yakni tidak boleh lagi hidup berpindah-pindah, dan harus mengakui legitimasi pemerintahan “desa”. Dinamika kepemimpinan berubah pada tahun 1985, karena adanya perpecahan kekuasaan kasepuhan hingga karena ketika salah satu anak dari abah di jadikan kepala desa sehingga tumpang tindihnya (peran) kepentingan yang diemban oleh “Abah” dan kepala desa. Tidak konsistennya Abah kemudian membawa pada sifat keterbukaan “Abah” di dalam menerima program-program pembangunan. Dan sekaligus akibat penerimaan terhadap pembangunan, juga merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat Kasepuhan antara lain di dalam pengelolaan sumberdaya pertanian yang secara adat telah melanggar normanorma. Perubahan kepemimpinan puncaknya adalah ketika kasepuhan mulai hidup menetap, dan meningkatnya pendidikan, sehingga membawa pada hubungan masyarakat kasepuahn dengan masyarakat luar begitu mudah, dan merubahnya kehidupan di Imah-Gede, dan merubah gaya hidup serta mendekatkan masyarakat Kasepuhan dengan ekonomi uang. Sehingga terjadi perpecahan kasepuhan kembali di kasepuhan. Sehingga kini kasepuhan menjadi tiga Kasepuhan SRI, CGR, dan CMA. Dampak dari perubahan gaya kepemimpinan serta perpecahan kasepuhan tersebut pada Incu-putu, adalah pada keyakinan yang membawa pada kepatuhan terhadap Abah sehingga kasepuhan mana yang menurut keyakian dari incu-putu mempunyai “pancar pangawinan” sebagai sumber kekuasaan yang dimiliki oleh tiap Abah. Sehingga akhirnya kompetisi “legitimasi“ diantara tiga kasepuhan yang terpecah dibawah payung “pancar pangawinan”,guna mendapatkan keyakinan dari para incu-putu yang ada, karena ketiga kasepuhan tersebut merasa memiliki akan pancar pangawinan. Kata Kunci : Dinamika kepemimpinan adat, norma adat, Kasepuhan SRI, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
GLOSSARY Abah Ambu : Amil Kasepuhan : Huma Huma Serang Imah Gede : Incu-putu: Leuit : Kabendon: Kabuyutan Kokolot Lembur Pancar Pangawinan Panasehat kasepuhan
Seren-taun : Wangsit
:
Pemimpin Adat kasepuhan Sebutan seorang istri Abah di kasepuhan Sekretaris Kasepuhan : Sawah lahan kering [ladang] : Sawah lahan kering [ladang] milik kasepuhan dan di kelola bersama Istana kasepuhan, serta sebagai pusat komunikasi dan interaksi Abah dengan warganya [incu-putu] Warga masyarakat atau keturunan kasepuhan Lumbung padi Hukuman [sanksi] yang ada di kasepuhan : Para leluhur [pendahulu] yang membuat peraturan sebelum kasepuhan berdiri : Orang yang di beri tanggung jawab oleh Abah di salah satu kampung yang ada di kasepuhan : WasiatdanketurunandariPrabuSiliwangi : Mereka yang sudah ada garis keturunan secara kuat dengan para Abah maka akan di angkat menjadi penasehat Abah Ritual adat puncak kegiatan pertanian [huma] : Ilham atau amanat yang di berikan pada seseorang yang akan menjadi pemimpin [Abah] di kasepuhan, wangsit ini datangnya kebanyakan melalui mimpi
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan lapora, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
KEPEMIMPINAN ADAT DALAM KEPATUHAN MASYARAKAT PADA NORMA ADAT (Studi Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat)
NURUL HAYAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Terima Kasih Kepada Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.Si Sebagai penguji Luar Komisi, atas segala masukan, keritikan yang membangun dan inspirasinya.
PRAKATA Klawan nybut Asmane Alloh SWT, Kang Murah Ing dalm Dun-ya Tur-kang Asih Ing dalm Akhirat Alhamdulillahirrabil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, penulis bersyukur yang begitu dalam kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan menimba Ilmu di Sekolah Pascasarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik ini dengan baik. Dengan kerendahan hati penulis, dalam kesempatan yang mulia ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2008, para sahabat dan keluarga baik langsung maupun tidak yang memberikan spirit bagi penyelesaian tesis ini, adapun mereka tersebut adalah : 1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS., DEA., dan Dra. Winati Wigna, MDS., selaku pembimbing tesis. Terima kasih atas segala bimbingan dan dedikasi, motivasi serta kesabaran yang teramat luar biasa kepada penulis dalam proses panjang penulisan tesis ini. Kesempatan dalam memperoleh bimbingan secara langsung dari beliau berdua adalah kesempatan belajar yang teramat mulia dan luar biasa bagi penulis. 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, Msc. Agr., selaku Ketua Program Studi sosiologi Pedesaan dan Dr. Ir. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Studi Sosiologi Pedesaan yang selalu memberikan motivasi dan memacu penulis untuk menyelesaikan studi di Mayor Sosiologi Pedesaan. 3. Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.Si. Selaku dosen penguji Luar Komisi. Terima kasih telah begitu murah hati dalam meluangkan waktu, memberikan masukan, keritikan yang membangun dan motivasi kepada penulis hingga memacu bagi penulis untuk memperbaiki tesis ini lebih baik. 4. Dosen-dosen dilingkungan Sosiologi Pedesaan; Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Dr. Arif Satria, SP., M.Si. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, Msc. Agr. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS., DEA. Dra. Winati Wigna, MDS. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Dr. Ir. Soeryo Adi Wibowo, MS. Ir. Said Rusli, MA. Dr. Ir. Ekawati S.Wahyuni, MS. Dr. Ir. Saharudin, M.Si.Ir. Melani A. Sunito, M.Sc. Ir. Nuraini W. Prasodjo M.Si. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. Terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuan yang diberikan pada penulis semoga bermanfaat bagi penulis kedepan. 5. Sahabat-sahabat perjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2008;Nendah Kurniasari, Eko Cahyono, Dian Ekowati,Favor A. Bacin, Gentini Ika Lestari,Aldi Basir dan Usep Setiawan. Semoga pertalian ini tidak lekang oleh waktu. 6. Para sahabat Sosiologi Pedesaan; Sofyan Sjaf, Sultan, Djaya Hendra,Yanti dan Donny.
7. Staff administrasi yang telah membantu memperlancar kegiatan akademik: Ibu Anggra Irene Bondar, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta Staff Departemen Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekonomi Manusia. 8. Keluarga Besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo (Alm), Dr. Ir. Gunawan Wiradi, Prof. M.P Tjondronegoro, terima kasih atas keteladanan hidup dan inspirasinya. 9. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Banten (KMB) Bogor;Kang Wawan, Ahmad Hidayatullah, Suardi, Asep Badru Tamam, Rifqi, Mega Natasya,Fazmi Nawafi serta saudara Ahmad Pudori (Untirta). 10. Persembahan khusus untuk Kasepuhan Sinar Resmi; Abah Asep Nugraha, Uwa Ugis, Amil Bukhari, Kang Dede Mulyana, serta Incu-putu Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. 11. Tesis ini didedikasikan sebesar-besarnya untuk kedua orang tuaku; Bapak Mad Seni, Ibu Siti Hayati yang senantiasa memberikan do’a dan spirit yang diberikan kepada penulis serta teteh-teteh dan adik-adikku; Mareni, Tati Yulyana, Mulyati, Siti Fatonah dan Rafiuddin. Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan Hidayah, Inayah, Magfirah dan keberkahan (Rizki, kesehatan umur, ilmu) kepada kita semua, sehingga kita mampu menjadi hamba-Nya yang berkualitas. Amin
Bogor, Agustus 2012
Nurul Hayat
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Nambo Kecamatan Walantaka serta berjarak 10km dari Kabupaten Serang, Provinsi Banten pada tanggal 05 Juni 1979dan merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari Ayahanda Mad Seni dan Ibunda Siti Hayati. Penulis menempuh pendidikan di sekolah dasar Negeri (SDN) di desa yang sama lulus pada tahun 1992, kemudian melanjutkan di Pondok Pesantren “Daar El Qolam” Gintung, Balaraja, Tangerang lulus pada tahun 1995. Penulis lulus dari Sekolah Teknik Menengah (STM) Prisma. Kabupaten Serang pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis di terima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten pada jenjang strata I dimasa menjadi Mahasiswa penulis aktif di organisasi intra dan ekstra kampus dan lulus pada tahun 2007. Kemudian bekerja sebagai konsultan padi hybrida di HKTI di Subang dan Sumedang pada tahun 2007-2008. Pada tahun 2008 penulis memutuskan melanjutkan studi jenjang strata II di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, serta pada tahun 2010 penulis aktif di Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) sebagai Kepala Departemen Advokasi Pertanian hingga sekarang, dan pada tahun 2011 menjadi Staf Ahli Komisi III DPRD Kota Serang Provinsi Banten.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................
i
DAFTAR MATRIK..................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................
5
1.4 Kegunaan Penelitian.............................................................................
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS.............................................................
7
2.1. Kepemimpinan Adat ..........................................................................
7
2.1.1. Kepemimpinan Adat Dalam Pemeliharaan Norma Adat.........
11
2.1.2. Peranan Kepemimpinan Adat...................................................
14
2.2. KepatuhanAdatTerhadap Norma Adat .............................................
15
2.3. KekuasaanKepemimpinanAdat.........................................................
16
2.4. Kelembagaan Sosial di Masyarakat Adat............................................
17
2.5. Kerangka Pemikiran............................................................................
20
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................
23
3.1. Batasan Penelitian...............................................................................
23
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian..............................................................
23
3.3.PendekatansertaTahapanPenelitian.................................................
24
3.4.TeknikPengumpulan Data.................................................................
25
3.5.TeknikPengolhan Data......................................................................
27
BAB IV GAMBARAN UMUM KESEPUHAN SINAR RESMI.........
29
4.1. Lokasi Kasepuhan Sinar Resmi..........................................................
29
4.2. Demografi...........................................................................................
30
4.2.1. Penduduk..................................................................................
30
4.2.2. Mata Pencaharian......................................................................
30
4.2.2.1. Pertanian Peladang......................................................
30
4.2.2.2. Perkebunan dan Peternakan.........................................
33
4.2.2.3. Pengelolahan Hutan......................................................
34
4.3. Sistem Religi di Kasepuhan................................................................
35
4.4. Sejarah Terbentuknya Kasepuhan.......................................................
36
4.4.1. Kabuyutan.................................................................................
36
4.4.2. Kasepuhan.................................................................................
38
4.5. Sumber kekuasaan kepemimpinan Kasepuhan Sinar Resmi..............
41
4.5.1. Keturunan.................................................................................
41
4.5.2. Wangsit.....................................................................................
42
4.5.3. Mitos.........................................................................................
42
BAB V DINAMIKA KEPEMIMPINAN KESEPUHAN.....................
45
5.1. Periode Kepemimpinan di Kasepuhan................................................
45
5.1.1. Kepemimpinan Abah JSN......................................................
45
5.1.2. Kepemimpinan Abah RSD......................................................
49
5.1.3. Kepemimpinan Abah AJ........................................................
56
5.1.4. Kepemimpinan Abah UT.........................................................
60
5.1.5. Kepemimpinan Abah ASN.........................................
62
BAB VI KASEPUHAN SINAR RESMI DIBAWAH KEPEMIMPINAN ABAH ASEP NUGRAHA....................................
63
6.1. KasepuhanSinarResmi.................................................................
63
6.2. StrukturKepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi......................
67
6.3. PerubahanKepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi.......................
69
6.3.1. Leuit : SebagaiKekuatandalamKepemimpinanKasepuhan SinarResmi.............................................................
69
6.3.2. ImahGede: PusatPolitikKepemimpinanKasepuhan Sinar Resmi............................................................................ 6.4.
Faktor
yang
MempengaruhiPerubahanKepemimpinan
71 di
KasepuhanSinarResmi………………………………………….
72
6.4.1. Pendidikan Formal………………………………………….
72
6.4.2. InteraksiDenganMasyarakatLuarKasepuhan…………….....
73
BAB VII KELEMBAGAAN ADAT DIKASEPUHAN SINAR RESMI.......................................................................................
75
7.1. TataliParantiKaruhunSebagaiSumber Norma……...................
75
7.2. Norma-normaSosialKasepuhanSinarResmi....................................
76
7.2.1. IbuBumi, BapakLangit, Tanah Ratu……………………..
76
7.2.2. TiluSapamilu, DuaSakarupa, Nu Hiji Eta-Eta Keneh……
77
7.2.3. PerubahanKepemimpinandalamMenjaga Norma Adat….
80
7.2.4. PergeseranSumberKekuasaan……………………………..
81
7.3. Pergeseran Kelembagaan Kasepuhan…......................................
82
BAB VIII KEPATUHAN MASYARAKAT ADAT TERHADAP NORMA ADAT KASEPUHAN…………………………..
83
8.1. KepatuhanIncu-PutuTerhadap Norma AdatKasepuhan...............
83
8.2. DampakPerubahanKepemimpinanTerhadapKehidupanIncuPutu........................................................................................ 8.2.1. Berubahnya Gaya Hidup…………………………………..
84 84
8.2.2. MemudarnyaFungsiLeuit, ImahGededanTumbuhnya EkonomiUang……………………………………………..
85
BAB IX PERNANAN PEMIMPIN DALAM PEMELIHARAAN KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP NORMA ADAT................................................................................
87
9.1. PerananPemimpindalamMasyarakatAdatKasepuhan…...........
97
9.2. PerananPemmpindalamPemeliharaanSumberDayaAlam.......
98
9.3. PengaruhPerubahanKepemimpinanAdatTerhadapKepatuhan MasyarakatPada Norma Adat……………………………………..
91
BAB X PENUTUP………………………………………………………
95
10.1. Kesimpulan………………………………………………………..
95
10.2. Saran………………………………………………………………
96
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
97
LAMPIRAN
DAFTAR MATRIKS Matriks
Judul
Halaman
2.1.
Perbandingan Rujukan Tentang Masyarakat Adat
10
3.1.
Jenis Data dan Sumber Informasi dalam Penelitian
27
4.1.
Rangkaian Ritual Kegiatan Huma di Kasepuhan Sinar Resmi
32
5.1.
Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Periode Abah Jasiun
48
5.2.
Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah
56
Rusdi 5.3.
Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah
59
Arjo 5.4.
Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah
62
Ujat 5.5.
Struktur Kepemimpinan Kasepuhan Sinar Resmi
68
7.1.
Pergeseran Norma Kasepuhan
80
7.2.
Data pendidikan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi
83
7.3.
Pergeseran Sumber Kekuasaan, Kelembagaan Kasepuahn dan
88
dampaknya pada incu-putu
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Judul Perubahan
Gaya
Kepemimpinan
Halaman dan
Dampaknya
Pada
23
Kepatuhan Masyarakat Terhadap Norma Adat 4.1.
Susunan Genealogi Kabuyutan
39
4.2.
Susunan Genealogi Kasepuhan
42
5.1.
Perubahan Masa Kabuhunan ke Masa Kasepuhan
47
5.2.
Intervensi pemerintah pada kepemimpinan Abah Rusdi
54
5.3.
Susunan Genealogi Kasepuhan
65
6.1.
landasan filosofis kehidupan kasepuhan dalam tatali Paranti karuhun
73
6.2.
Perubahan Kelembagaan pada tiap Kepemimpinan Kasepuhan
78
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kepemimpinan
masyarakat
adat
di
Indonesia
sangat
berbeda
pelaksanaannya dengan praktik kepemimpinan modern pada saat sekarang ini, serta model kepemimpinan masyarakat adat juga bervariasi dan disesuaikan dengan tempat di mana mereka berada. Ada yang melegitimasi melalui dukungan dari masyarakatnya ataupun juga dari kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin itu sendiri. Dilihat dari ciri-ciri dan sifatnya, kepemimpinan masyarakat adat termasuk ke dalam kepemimpinan tradisional. Menurut Kartono (2001), bahwa pimpinan tradisional dapat berpengaruh pada masyarakat di dalam peranan sosialnya baik yang sifatnya positif maupun negatif. Status sosial tersebut pada hakikatnya kebanyakan didapat dari faktor keturunan, kekayaan, taraf hidup, pengalaman hidup, kharisma ataupun jasanya terhadap masyarakat. Dengan demikian pemimpin dan kepemimpinan tradisional tidak memiliki penunjukkan secara formal legitimasi sebagai pemimpin, tetapi
masyarakat menunjuk dan
mengakuinya sebagai pemimpinnya. Dalam kepemimpinan tersebut terdapat sistem kepemimpinan adat dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen kepemimpinan (struktur) yang saling terikat diantara satu dengan yang lainnya, dan aturan-aturan hukum yang berlaku guna menjalankan kehidupan dalam masyarakat adat tersebut. Dalam sistem kepemimpinan tradisional terdapat nilai individu yang sangat kuat (bathin/magis), beserta norma-norma yang selalu dipegang dan dijaga untuk menjaga kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin di dalam masyarakat adat adalah orang yang paling berpegang teguh dalam memegang norma-norma, seperti terlihat di masyarakat Adat Baduy Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten di mana seorang Puun1 diharuskan menjaga kewibawaan adat serta masyarakatnya dan pikeukeuh2
1
Puun bahasa Sunda (lokal) Baduy yang artinya pemimpin adat di masyarakat Baduy yang meliputi Baduy Panamping (Luar) maupun Baduy Kajeroan (Dalam), dan Puun bertempat di
1
yang selalu menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Baduy (Danasasmita dan Djatisunda 1986), walaupun pada saat sekarang ini ada kecendrungan pergeseran perilaku yang dilakukan oleh pengikut-pengikutnya seperti terlihat di Baduy Luar yang mulai mengenal modernisasi terutama di Kampung Kadu Ketug. Kepemimpinan adat di Indonesia mulai terusik/berubah
pada waktu
penerapan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman pemerintahan
desa
yang
bertujuan
untuk
penataan
administratif
serta
menjembatani perbedaan struktur administratif dan sistem pemerintahan desa di Jawa dan di luar Jawa. Masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang serta kebijakan dari pemerintah yang mengharuskan adanya modernisasi terhadap pedesaan praktis akan membawa dampak yang signifikan terhadap sistem kepemimpinan adat yang ada di Indonesia.3 Menurut
Surianingrat
(1981),
sebelum
adanya
regulasi
tentang
penyeragaman sistem pemerintahan secara nasional, desa-desa yang telah lama ada berbentuk kesatuan-kesatuan hukum adat baik yang bersifat teritorial maupun genelogis, serta beraneka ragam bentuk dan coraknya tergantung di mana kesatuan adat tersebut berada, seperti di Aceh (gampong), Sumatera Barat (Nagari), Jawa Barat (Kampung), Makassar (Gaukay) dan seterusnya. Pada masa reformasi saat ini Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tersebut diganti dengan Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 serta disempurnakan dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur tentang sistem pemerintahan desa, dan memberikan keleluasaan terhadap masing-masing daerah untuk menggunakan kembali tatanan budaya lokal dalam sistem pemerintahannya, termasuk di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Masyarakat adat yang kita kenal dengan sebutan “Kesatuan Adat Banten Kidul”, di dalamnya terdapat beberapa Kasepuhan yang salah satunya adalah Kasepuhan SRI di desa Sirnaresmi.
Baduy Dalam. Terdapat tiga kapuunan di Baduy yaitu Puun Cibeo, Puun Cikeusik dan Puun Cikartawana (Suhada, 2003). 2 Pikeukeuh bahasa Sunda (lokal) Baduy artinya aturan yang berlaku di masyarakat adat Baduy dan tidak tertulis (konvensi), tetapi sudah menjadi pedoman di dalam mengisi kehidupan bagi masyarakat Baduy; baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam (Garna, 1993). 3 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Jurnal Mei 1999.
2
Hasil penelitian Asep (2000), di Kesatuan Adat Banten Kidul menjelaskan bahwa struktur organisasi pemerintahan Kasepuhan yang menempatkan Sesepuh Girang sebagai pemimpin, serta yang mengatur tatanan kehidupan di Kasepuhan, selalu berbenturan dengan adanya sistem peraturan desa yang dipimpin oleh Kepala Desa. Hal ini berdampak pada nilai-nilai yang berlaku di Kasepuhan Banten Kidul, seperti terdesaknya peranan (kewibawaan) Sesepuh Girang di dalam melaksanakan Tatali paranti karuhun4, dengan masyarakat di Kasepuhan SRI. Peranan dari seorang pemimpin adat Kasepuhan di dalam pelaksanaan kepemimpinannya. Dominasi peran dan fungsi dari kepala Desa yang telah mempunyai aturan secara formal dari pemerintah untuk masyarakatnya, telah mendesak. Guna mempertahankan eksistensi kepemimpinan di Kasepuhan SRI peranan seorang pemimpin adat memerlukan elastisitas di dalam pelaksanakan kepemimpinannya. Pola kepemimpinan adat harus memperhatikan hubungan antara masyarakat dengan pemimpinnya serta lingkungan di mana kepemimpinan berada, serta kewewenangannya di dalam melaksanakan kepemimpinan tersebut agar senantiasa
terjadi pola hubungan yang baik antara pemimpin dengan
masyarakatnya. Gaya dan perilaku kepemimpinan berkaitan erat dengan bentuk pendekatan yang digunakan pemimpin dalam mengarahkan, menggerakkan, menggairahkan serta menciptakan suasana yang baik bagi masyarakatnya. Kasepuhan SRI sampai dengan saat ini dipimpin oleh seorang Abah5. Abah sebagai pemimpin bersama-sama masyarakatnya menjaga norma yang ada di Kasepuhan. Di Kasepuhan SRI Pola hubungan masyarakat Kasepuhan dan pemimpinnnya pada saat sekarang ini mulai bergeser karena sebagian masyarakatnya telah mengikuti pendidikan secara formal, dan pemimpin adat
4
Tatali paranti karuhun adalah aturan adat di kasepuhan-kasepuhan yang tergabung dalam Kesatuan Adat Banten Kidul, yang mengatur tentang pola hidup masyarakat Kasepuhan yang telah ada sejak dahulu, baik yang mengatur pernikahan, bertani dan lain sebagainya dan harus di taati oleh setiap warganya. 5 Panggilan Pemimpin di Kasepuhan SRI
3
sendiri mengikuti pendidikan formal6 tersebut. Hal ini telah mempengaruhi gaya kepemimpinan di Kasepuhan SRI. Banyak situasi-situasi penting yang terjadi baik nasional maupun lokal yang mendasari gaya kepemimpinan seseorang, sehingga menggambarkan suatu dinamika kepemimpinan yang sejalan dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Dinamika gaya kepemimpinan inilah yang bisa menjadi fenomena cukup menarik untuk dipelajari. Pemikiran modernisasi yang mulai masuk melalui pendidikan dan adanya perubahan pada lingkungan masyarakat, telah membawa pengaruh pada kepemimpinan di Kasepuhan SRI.
1.2. Rumusan Masalah Salah satu ciri pemimpin adat adalah mempunyai kharisma yang sangat kuat terhadap pengikutnya. Seorang pemimpin yang karismatik memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga pengikutnya sangat besar. Kepemimpinan tradisional mempunyai kekhasan/gaya di dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu adanya ikatan kekeluargaan yang dalam atau patron-klien. Pemimpin adat berpegang teguh terhadap norma-norma yang ada di masyarakatnya, hal tersebut agar kewibawaan sebagai pemimpin terus terjaga di dalam masyarakat tradisionalnya, namun eksistensi kepemimpinan tradisional ini telah mendapat tantangan saat sekarang ini, sehingga di perlukan elastisitas di dalam melaksanakan kepemimpinan guna mempertahankan eksistensinya. Hal tersebut yang dialami oleh Kasepuhan SRI di Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan SRI sampai saat ini berada pada gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, Abah jabatan pemimpin yang diberikan pada seorang pemimpin yang mendapatkan wangsit serta adanya turunan yang mempunyai kekhasan di dalam melaksanakan kepemimpinanya. Setiap
fase-fase
kepemimpinan
mempunyai
corak
(gaya)
kepemimpinannya masing-masing, dan tidak akan sama satu sama lainnya karena perbedaan waktu dan masalah yang dihadapi berbeda pula. Peristiwa-peristiwa
6
4
Abah ASNpemimpin Kasepuhan SRI sekarang adalah lulusan SMA dan anak-anak beliaupun juga mengenyam pendidikan sampai dengan SMA.
penting tersebut mendasari dinamika kepemimpinan di Kasepuhan SRI, baik peristiwa nasional sebelum kemerdekaan, pada masa Orde Lama, sampai Orde reformasi saat ini, serta tentunya peristiwa penting yang bersifat lokal yang ada di Kasepuhan SRI sendiri. Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi baik nasional maupun lokal telah berdampak pada gaya kepemimpinan yang di laksanakan oleh tiap Abah demi eksitensi Kasepuhan SRI sebagai masyarakat adat, serta berdampak pada kehidupan sosial serta norma-norma yang ada. Kepemimpinan di Kasepuhan juga mengalami dinamika dengan norma-norma yang ada. Dengan batasan ruang lingkup permasalah di atas, maka rumusan permasalahanan yang akan dikaji dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kepemimpinan yang ada di Kasepuhan SRI? 2. Bagaimana norma-norma adat yang ada di Kasepuhan SRI? 3. Bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap norma adat di Kasepuhan SRI? 4. Bagaimana peran pemimpin adat terhadap pemeliharaan norma adat?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraikan pada latar belakang serta dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah : 1. Mengetahui pola kepemimpinan adat di Kasepuhan SRI saat ini. 2. Mengetahui norma adat di Kasepuhan SRI. 3. Mengetahui kepatuhan masyarakat terhadap norma adat di Kasepuhan SRI. 4. Mengetahui peran pemimpin adat terhadap pemeliharaan norma adat.
1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang dinamika kepemimpinan tradisional, pada masa sekarang yang dapat memperkaya pengetahuan mengenai pola-pola kepemimpinan. Selain itu hasil studi ini dapat dimanfaatkan juga oleh pengambil kebijakan dalam pemerintahan
5
dalam rangka menyusun program pengembangan masyarakat agar dapat memiliki pendataan yang lebih tepat.
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Kepemimpinan Adat Kepemimpinan
merupakan
bagaimana
cara
seseorang
untuk
mempengaruhi orang lain, untuk melegalkan/tercapai segala hasrat tujuannya. Beberapa ahli mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan yang di miliki seseorang di dalam melaksanakan/mempengaruhi tindakan orang lain dalam
menentukan
menjalankannya
respons
dengan
yang
senang
diinginkan, hati
(Dahama
serta dan
mereka
di
dalam
Bhatnager
1980).
Kepemimpinan sebagai pola hubungan yang kuat antara pemimpin dan yang di pimpin, serta disesuaikan tempat dan situasi di mana mereka berada di dalam melaksanakan kepemimpinannya (Nordholt. 1987). Menurut Kartodirdjo (1984), akibat interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan faktor situasional akan menghasilkan pemimpin. Secara terperinci lagi bahwa kepemimpinan adalah pertemuan antar berbagai faktor yang diantaranya adalah : (1) Sifat golongannya, (2) Kepribadian dan (3) Situasi atau kejadian. Ketiga faktor itu menunjukan sifat multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologis, sosiologis-antropologis, dan sosialhistoris. Pendekatan sosial-psikologis akan memusatkan perhatian kepada sistem dan akan mengungkapkan banyak ciri-ciri kepemimpinan ataupun sifat kepribadian yang menjadi indikator atau tolak-ukur kepemimpinan. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari sistem kepribadian. Pada dimensi sosiologis-antropologis bisa dilihat dari pola interaksi pemimpin dengan masyarakatnya, sedangkan dimensi sosial-historis dengan maksud agar konteks sosial-historis lebih menekankan pada perbandingan tentang kepemimpinan, waktu atau masa kepemimpinan. Dewasa ini banyak pengertian tentang pemahaman masyarakat adat dari berbagai pihak. Ada 3 (tiga) rujukan yang dapat digunakan untuk melakukan pemahaman terhadap pengertian komunitas adat (diterjemahkan umumnya sebagai traditional communities, atau juga disebut indigenous, yaitu menurut
7
Pemerintah, menurut LSM Kongres Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan menurut Bank Dunia. Menurut Pemerintah Republik Indonesia memberi batasan pengertian Komunitas Adat Terpencil adalah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil sebagai berikut : “Komunitas Adat Terpencil yang selama ini dikenal dengan sebutan masyarakat terasing adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik.” Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hasil kongres pada tahun 1999, menyatakan bahwa: “Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.” Sedangkan menurut Bank Dunia (Panduan Oprasional 2001), menyebut Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan istilah Indigenous Vulnerable People (IVP) mendefinisikan Masyarakat Adat sebagai berikut : “Kelompok-kelompok yang memiliki identitas sosial dan budaya yang berbeda dari kelompok dominan dalam masyarakat dan menyebabkan mereka rentan dirugikan dalam proses penanganan.” Ada 2 (dua) point utama yang menunjukkan komunitas adat. Pertama memiliki identitas sosial budaya berbeda (unique) dibanding kelompok dominan masyarakat dan cenderung berada dalam posisi dirugikan. Karakteristik masyarakat adat menurut Pemerintah berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil adalah : 1. Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen 2. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan 3. Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau
8
4. Pada umumnya hidup dengan ekonomi subsisten 5. Peralatan dan teknologinya sederhana 6. Ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi 7. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Sementara itu AMAN memberikan batasan karakteristik masyarakat adat sebagai berikut : 1. Ketergantungan manusia dengan alam 2. Hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat 3. Sistem
dan
struktur
pengaturan
berdasarkan
kelembagaan
adat
memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi 4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas 5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama. Menurut Bank Dunia dalam Panduan Operasional Bank Dunia (2001), tentang Masyarakat Adat, karakteristik yang diberikan bahwa kelompok masyarakat dikatakan komunitas adat (indigenous) adalah sebagai berikut : 1. Keterikatan yang kuat atas tanah leluhur dan pada sumber daya alam di area tersebut. 2. Mengidentifikasi diri sendiri dan diidentifikasi oleh lainnya sebagai kelompok yang berbeda budaya. 3. Memiliki bahasa asli yang berbeda dari bahasa nasional 4. Adanya lembaga adat sosial dan politik 5. Produksi terutama untuk kebutuhan sendiri (subsisten)
9
Matriks 2.1. Perbandingan Rujukan Tentang Pengertian Masyarakat Adat Aspek Sumber Rujukan Pemerintah AMAN World Bank Ciri khas - Lokal - Turun temurun - Memelihara - Terpencar - Wilayah adat lembaga Adat - Kepemilikan - Berbeda kolektif identitasnya - Terikat akan tanah leluhur - Bahasa sendiri (kelompok minoritas) Aksesibilitas - Terpencil, kurang atau belum dilayani - Terbatas jaringan pelayanan sosial ekonomi dan politik Eksistensi - Berdaulat - Hidup - Hukum dan subsisten lembaga adat (rentan di rugikan) Weber (dalam Setiadi dan Kolip, 2011) membagi kepemimpinan tersebut dari perspektif otoritas atas tiga bagian yaitu otoritas kharismatik, otoritas tradisional dan otoritas rasional. Kepemimpinan tradisional didasarkan pada otoritas berdasar pada pengakuan kultural. Biasanya, kepemimpinan yang didasarkan kepada kepemimpinan tradisional (termasuk juga kepemimpinan genealogic-hereditically atau keturunan dan kharismatik), sangat memudahkan dalam mempengaruhi masyarakat. Konsep kekuasaan atau otoritas karismatik di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya masyarakat Jawa khususnya, mempunyai denotasi pengertian kesaktian. Menurut Anderson (dalam Kartodiredjo, 1984) bahwa konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep dalam pewayangan: sakti-mandraguna, mukti-wibawa. Mandraguna menunjukan pada kecakapan, kemampuan ataupun keterampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olahsenjata, kesenian, pengetahuan dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan
10
kedudukan yang penuh kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestige) yang membawa pengaruh besar (Kartodiredjo.1984). Dengan adanya komponen kekuasaan, dan wewenang berarti terdapat bentuk hubungan simetris dan asimetris. Menurut Soekanto (1987), Pada kenyataannya terdapat lebih banyak hubungan asimetris dari pada hubungan simetris. Salah satu bentuk hubungan asimetris didasarkan pada daya tarik (misalnya karena mempunyai kualitas tertentu), sedangkan bentuk hubungan asimetris yang lain terjadi melalui tekanan (coercive) dari atas dan kepatuhan dari bawah.
2.1.1. Kepemimpinan Adat Dalam Pemeliharaan Norma Adat Masyarakat Adat merupakan suatu bentuk masyarakat kecil yang timbul berdasarkan hubungan kekerabatan misalnya di dalam suku, terdapat ikatan sosial yang kokoh di antara sesama anggotanya. Ikatan sosial ini ditandai dengan keanggotaan yang relatif kecil, solidaritas di antara sesama anggota suku, serta adanya kepemimpinan yang kharismatik yang timbul dari dalam hubungan kekerabatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan kekeluargaan dalam suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tata susunan atau struktur masyarakat adat yang bersangkutan, karena di antara keduanya ada hubungan timbal balik dimana: (1) Tata susunan masyarakat memberikan corak pada sistem kekeluargaan, (2) Hubungan kekeluargaan dapat memberikan corak pada tata susunan masyarakat (Kartasapoetra, 1986). Keeratan hubungan antara sesama anggota karena adanya solidaritas yang kuat serta kepemimpinan yang sangat kharismatik yang tumbuh dalam masyarakat adat sangat menentukan sifat elastisitas ikatan sosial pada masyarakat, yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada terbentuknya satuan sosial yang lebih besar yang sangat tergantung pada elastisitas dalam masyarakat adat tersebut. Menurut Garna (1992:96), yang terpenting dalam membahas masyarakat adat adalah: pertama kelompok tersebut tidaklah statis seperti dianggap orang atau memiliki alam pikiran bersahaja yang dipengaruhi oleh tradisi, ataupun tidak memiliki kepercayaan. Kedua ialah tampak pada pengertian tentang masyarakat terpencil sebagai konsep kerja atau oprasional para penyuluh masyarakat berubah
11
dari waktu kewaktu. Kontak masyarakat luar memungkinkan suatu kelompok masyarakat mengalami perubahan sosial, dalam waktu cepat atau melalui kurun waktu yang panjang, tergantung dari berbagai aspek dorongan baik dari dalam maupun dari luar masyarakat tersebut. Menurut Havelock (dalam Dama, 1987). pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang dapat memodifikasi (menyesuaikan kondisi) diri dengan norma yang baru yang di inginkan oleh masyarakatnya, serta di dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya harus memahami fungsi kepemimpinan yang di antaranya: 1. Memahami situasi dan kondisi kehidupan masyarakatnya. 2. Mempertahankan dan memodifikasi norma dan tujuan masyarakatnya sesuai kebutuhannnya. 3. Menumbuhkan peranan akan kelembagaan yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat 4. Mengharmoniskan pola-pola hubungan kerja dalam masyarakat. Pemahaman
pemimpin
terhadap
situasi/kondisi
wilayahnya
harus
mempunyai kelenturan di dalam melaksanakan sebuah aturan untuk kepentingan masyarakatnya di tengah gempuran teknologi yang semakin maju dewasa ini, tanpa menghilangkan identitas dari masyarakat tradisional tersebut. Selanjutnya masyarakat adat yang ada di Indonesia telah dilegitimasi oleh perundang-undangan yang berlaku, berhak menjalankan segala tata-aturan (norma-norma) yang dimiliki oleh masyarakat adat masing-masing. Hal tersebut diperkuat dengan Undang-undang otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 mengakui masyarakat hukum adat yang di dalam undang-undang tersebut disebut dengan kata desa. Pasal 1 huruf O memberikan pengertian tentang desa sebagai berikut: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Masyarakat adat dari setiap wilayah yang ada di Indonesia mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dan mempunyai norma-norma masing-masing pula
12
dalam
menjalankan
segala
kehidupannya,
sehingga
senantiasa
menjaga
keseimbangan alam dan hubungan dengan pemimpinnya sampai dengan saat ini, namun terdapat kelemahan dari masyarakat adat tersebut terutama terhadap tanah (lahan) karena dalam masyarakat adat tanah dimiliki oleh adat atau kepemilikan kolektif serta tidak memiliki surat maupun sertifikat perorangan, hal tersebut banyak terjadi penyerobotan lahan adat oleh masyarakat luar7. Masyarakat Adat mulai bergeser dari pola kehidupan tradisional menuju ke pola kehidupan masyarakat modern, namun tidak seluruhnya meninggalkan pola kehidupan tradisional. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sebagai akibatnya timbul formalisme, yaitu adanya nilainilai pengaturan yang diterbitkan secara teoritis yang dalam hal ini adalah pemerintah yang dapat menerbitkan sebuah regulasi (aturan), tetapi pada kenyataannya diabaikan dan masih cenderung menganut pola-pola lama (Louer, 1993). Proses ini yang disebut perubahan pola tradisional menuju modernisasi telah melenyapkan atau setidaknya menghancurkan tradisi lama, seperti perubahan pada norma-norma yang ada di masyarakat tradisional. Dalam perspektif modernisasi masyarakat di pandang sebagai suatu entitas yang dapat tumbuh dan berkembang. Mulai dari bentuk masyarakat yang sangat sederhana, hingga masyarakat modern. Karena itu suatu masyarakat akan selalu mengalami perubahan-perubahan, walaupun perubahan sosial tersebut berjalan secara perlahan-lahan dan bertahap (Suwarsono 1991). Menurut Talcott Parsons masyarakat selalu dilandasai dan diikat oleh norma dan nilai yang telah disepakati sebagai landasan di dalam kehidupan. Artinya masyarakat secara harmonis terikat dan berusaha mempertahankan nilai dan norma tersebut dalam kestabilan bersama, maka dalam sudut pandang ini, perubahan dan konflik berusaha diselesaikan sendiri di internal mereka agar tidak merusak tatanan sosial yang sudah ada. Ini menunjukan unsur norma merupakan hal yang penting di dalam masyarakat.
7
Salah satu kelemahan dari masyarakat adat adalah akan kepemilikan tanah (lahan) yang memang tidak tertulis dan dimiliki secara kolektif. Contoh kelemahan tersebut adalah permasalahan lahan di Baduy yang selalu diambil oleh masyarakat luar Baduy dengan alasan tapal batas dan surat tanah (sertifikat) yang tidak dimiliki oleh masyarakat Baduy, serta perambahan hutan. Lihat di http://feryfaturohman.blogspot.com/2009/08/keresahan-masyarakat-adat-baduy-dan.html
13
Dalam proses perkembangannya dinamika proses masyarakat tradisional dihadapkan pada dua permasalahan pokok, yakni perubahan yang terjadi karena dinamika internal secara sadar harus dihadapi sesuai dengan perubahan lingkungan sosial dan alamnya, khususnya yang disebabkan oleh tekanan penduduk. Masalah kedua adalah perubahan-perubahan yang dipaksakan kepada mereka oleh pemerintah resmi (nasional) dalam bentuk program pembangunan desa (Dove, dalam Garna 1993). Menanggapi tekanan dari dalam maupun dari luar, menurut Dove, norma masyarakat tradisional Indonesia tidak statis melainkan merupakan suatu penyesuaian dan perubahan terus menerus dalam suatu proses adaptasi (Dove, 1985). Berbagai bentuk strategi adaptasi di tempuh oleh masyarakat dalam menyeimbangkan integrasi sosialnya yang terguncang karena tekanan struktur tersebut (Salman, 1995).
2.1.2. Peranan Kepemimpinan Adat Kepemimpinan adat tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan berbasis genealogic-hereditically (keturunan) dan kharismatik, namun diantara dua tipologi basis kepemimpinan ini, kepemimpinan berbasis kharismatik merupakan peletak dasar setiap kepemimpinan adat di berbagai entitas sosial. Peranan pemimpin adat mengacu kepada wewenang adat seperti yang dikemukakan oleh Weber, di mana kepatuhan tidak diterima sebagai peranan menurut aturan formal, akan tetapi kepada individu yang menduduki posisi wewenang yang didasarkan kepada tradisi (Parsons dalam Ismady, 1992). Dalam menjalankan perannya, pemimpin harus mempunyai pengaruh yang dijadikan sebagai dasar kepemimpinan yang dilihat dari segala aspek. Dasar sumber pengaruh ini erat kaitanya dengan ukuran atau kriteria yang digunakan untuk menggolongkan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan. Menurut Soekanto (1987), penggolongan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan tersebut biasanya menggunakan ukuran atau kriteria: kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Hal itu juga dapat dijadikan landasan bagi seorang pemimpin. Menurut Prasadja (1986), kepemimpinan seseorang didasarkan pada kekuasaan formal, kepercayaan, dan kekayaan, akan tetapi untuk pemimpin informal seperti
14
halnya pemimpin adat, kepercayaan dan kekayaanlah yang paling utama sedangkan kekuasaan legal tidak harus ada.
2.2. Kepatuhan Adat Terhadap Norma Adat Kepatuhan merupakan adalah tingkat kesesuaian perilaku seseorang terhadap norma atau kesepakatan dengan pihak lain. Dasar-dasar kepatuhan menurut Bierstedt dalam Soekanto (1987), diantaranya adalah: a. Introduction, b. Habituaion, c. Utulity, d. Group Identification. Adapun penjelasan mengenai dasar-dasar kepatuhan, sebagai berikut: a. Introduction Alasan utama masyarakat mematuhi peraturan adalah karena dia telah diindoktrinir untuk mematuhi peraturan dari sejak kecil. b. Habitiation Sejak kecil manusia mengalami sosialisasi maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk memenuhi kaedah-kaedah yang berlaku. Memang pada awalnya sukar untuk menerima peraturan itu tetapi karena setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan. c. Utility Alasan utama masyarakat mematuhi peraturan di sini adalah karena satu sama lain manusia itu berbeda. Apa yang pantas bagi dirinya, mungkin bagi orang lain dianggap tidak pantas. Dengan demikian, maka salah satu faktor masyarakat taat aturan karena kegunaan daripada peraturan tersebut, maka perlu disadari bahwa hidup itu perlu ada yang menjamin kehidupannya. d. Group Identification Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya.
15
Kepatuhan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat adat, dengan adanya kepatuhan maka peraturan-peraturan yang dibuat akan dijalankan sesuai dengan ketentuan. Masyarakatpun akan hidup dengan tentram dan damai tanpa adanya
suatu
permasalahan
karena
semua
orang
mematuhi
peraturan.
Masyarakatnya telah menjadikan suatu aturan sebagai sebuah kebiasaan dan tidak menjadikan aturan sebagai suatu beban karena masyarakat sadar akan manfaat dari kepatuhan itu sendiri.
2.3. Kekuasaan Kepemimpinan Adat Pola kepemimpinan dan struktur kekuasaan pada suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi masyarakatnya. Struktur kekuasaan bukanlah hubungan yang statis, akan tetapi berpotensi untuk mengalami perubahan. Pemahaman terhadap perubahan sosial yang menjurus pada perubahan struktur kekuasaan pada masyarakat Kasepuhan SRI akan dilakukan dengan pendekatan sejarah. Berawal dari pemahaman bahwa sebuah struktur sosial dapat berubah karena terjadinya perubahan pada komponen sosial lain dan sejarah menawarkan pendekatan untuk memahami perubahan sosial. Perubahan sosial secara umum
sangat luas cakupannya dalam semua
institusi mulai dari agama, ekonomi, adat, politik, kekuasaan dan keluarga. Pendekatan sejarah sangat dibutuhkan untuk mengkaji dinamika dalam masyarakat Kasepuhan SRI. Realita yang dibutuhkan ialah gambaran dinamika struktur kekuasaan dalam masyarakat Kasepuhan SRI. Struktur kekuasaan pada setiap daerah berbeda-beda karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti kondisi sosial masyarakat, budaya dan latar belakang sejarahnya. Menurut Almond dan Powell dalam Siregar (1999), struktur kekuasaan mengacu pada tingkah laku para individu yang dapat diamati. Konsep tersebut menjadi acuan dalam melihat struktur kekuasaan masyarakat Kasepuhan SRI. Menurut Weber dalam Wrong (2003), mengatakan bahwa kriteria utama dari otoritas adalah kepatuhan sukarela. Secara destingtif, otoritas adalah system keyakinan yang mendefinisikan pelaksanaan kontrol sosial sebagai sah, kemudian
16
Weber membedakan otoritas atas tiga tipe berdasarkan keyakinan legitimasi yang memvalidasikan mereka, yakni: 1. Otoritas yang dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Tatanan sosial saat ini dipandang sebagai suci, abadi dan tidak bisa dilanggar dalam “otoritas tradisional”. Orang atau kelompok dominan biasanya didefinisikan oleh warisan, dianggap telah ditetapkan sebelumnya untuk memerintah yang lain. 2. Otoritas kharismatis, dimana seorang pemimpin dan misinya sebagai diilhami oleh Tuhan atau kekuatan supranatural. Ketaatan kepada pemimpin dan keyakinan bahwa keputusannya meliputi semangat dan cita-cita gerakan adalah sumber ketaatan kelompok pada perintahperintahnya. 3. Otoritas legal, yaitu otoritas yang dilegitimasi oleh keyakinan formalitas pada supermasi hukum apapun isi spesifiknya, dalam system ini kepatuhan tidak disebabkan oleh orang, akan tetapi oleh seperangkat prinsip hukum yang berlaku. Weber dalam teorinya juga mengemukakan tentang hal-hal yang mendasari legitimasi terhadap kekuasaan penguasa yaitu, kesucian tradisi dan faktor ketergantungan kepada penguasa. Ketergantungan yang lebih mendasar dari rakyat terhadap penguasanya adalah ketergantungan ekonomi. Russel memandang bahwa kekuasaan terdapat dalam bentuk kekayaan, tentara, pemerintahan, jasa dan pengaruh. Kekayaan yang diperoleh dapat merupakan hasil dari kekuasaan dengan mempergunakan kekuatan tentara dan pengaruh. Kekuasaan ekonomi yang sekarang menjadi sumber kekayaan adalah sumber asal semua jenis dari hasil kekuasaan yang lain, sedangkan kekayaan sendiri diartikan sebagai hak untuk memiliki sesuatu sebagai sumber kesejahteraan yang dapat diatur, dinikmati, dipindah untuk kesenangan pemiliknya.
2.4. Kelembagaan Sosial di Masyarakat Adat Koentjaraningrat (1984), menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
17
kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Polak dalam Kolopaking et al (2003), Kelembagaan sosial atau social institution adalah “ suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting”. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting. Menurut Doorn dan Lammers dalam Kolopaking et al (2003), Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku. Konsisten dengan itu, maka fungsi kelembagaan sosial adalah: 1. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-malah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhankebutuhan, 2. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara, 3. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control): artinya pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya, dan 4. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Menurut Uphoff dalam Kolopaking et al (2003), sampai sejauh ini memang belum ada yang membedakan secara eksplisit antara institusi dan organisasi. Uphoff menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi dan sebaliknya. Tetapi, jelas bahwa kelembagaan adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi adalah struktur dari peran-peran yang diakui dan diterima. Pandangan lain melihat kelembagaan sosial sebagai kompleks peraturanperaturan dan peranan sosial yang mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting. Terlepas dari perbedaan antara kedua perspektif tersebut, kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri pokok yang membedakannya
18
dari konsepsi-konsepsi lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi adalah sebagai berikut (Soekanto, 1990): 1. Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya, 2. Memiliki kekebalan tertentu, pelembagaan suatu norma memerlukan waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan, 3. Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu, 4. Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan, 5. Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan 6. Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis. Proses
perkembangan
kelembagaan
sosial
tersebut
dinamakan
pelembagaan sosial atau “institutionalization”. Proses ini meliputi lahirnya peraturan dan norma-norma baru yang mengatur antarhubungan dan antar aksi, yaitu suatu proses strukturalisasi antarhubungan melalui ankulturasi konsepkonsep kebudayaan baru, misalnya nilai-nilai dan norma-norma baru. Prosesproses seperti ini akan terjadi dimana-mana dan terus menerus dalam masyarakat, sepanjang mengenai kebutuhan pokok manusia dan melahirkan sistem yang stabil dan universal. Dengan kata lain, kelembagaan sosial dalam masyarakat berkembang melalui prose pelembagaan sosial, yaitu suatu proses pengaturan dan pembinaan pola-pola prosedur (tata cara) disertai beragam sanksi dalam masyarakat. Proses pelembagaan dimulai dari masyarakat mengenal, mengakui, mengahrgai, mentaati, dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Setelah norma-norma diterima berlanjut sampai ke tahap mendarah-daging (internalisation) atau menghargai norma-norma tersebut. Tingkat internalisasi norma-norma tersebut dapat dinilai dengan menggunakan tingkatan norma yang melembaga berdasarkan kuat atau lemahnya ikatan yang dimiliki oleh norma tersebut. Tingkatan norma tersebut diukur berdasarkan sanksi moral dan sanksi masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan. Sanksi moral merujuk kepada tingkat perasaan bersalah dari perilaku (individu atau kelompok) atas pelanggaran yang dilakukannya atas tingkatan norma tertentu. Sanksi masyarakat merujuk kepada hukuman yang diberikan oleh
19
masyarakat yang mendukung suatu kelembagaan sosial tertentu terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran atas tingkatan norma tertentu.
2.5.
Kerangka Pemikiran Pada setiap periode kepemimpinan Abah mengalami peristiwa-peristiwa
penting baik nasional maupun lokal, dan peranan Abah di Kasepuhan SRI selaku pemimpin
Kasepuhan
mengalami
kegoyahan.
Guna
mempertahankan
kepemimpinannya membutuhkan keluwesan seorang pemimpin dalam memimpin masyarakatnya. Pada kepemimpinan Abah ASNdi Kasepuhan SRI Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cicolok, Kabupaten Sukabumi ini yang awalnya otokratis mulai bergeser ke arah demokratis. Pergeseran ini mengakibatkan perubahan pada norma-norma adat dalam masyarakat Kasepuhan SRI. Tatali paranti karuhun sebagai aturan adat yang sangat kuat serta sudah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Kasepuhan SRI sejak berabad yang silam telah mengalami perubahan dalam kehidupan masyarakat seiring derasnya modernisasi yang masuk ke Kasepuhan SRI. Hal tersebut di awali dengan masuknya pendidikan sebagai gerbang pemikiran rasional, pendidikan tersebut membawa pada pola pikir Abah sendiri yang semakin maju ditambah dengan keluarga serta incu-putunya (masyarakat) yang menjadikan mereka mampu berfikir kritis sehingga merubah cara pandang terhadap pemimpinya. Kemudian dari dunia pendidikan tersebut mambawa pada interaksi dengan masyarakat di luar Kasepuhan semakin intens, dan terbukanya akses ke Kasepuhan semakin lebar yang tentunya bersamaan dengan masuknya jaringan komunikasi dan infrastruktur ke Kasepuahan seperti akses transportasi, media komunikasi sehingga merubah cara pandang masyarakat Kasepuhan terhadap Tatali Paratni Karuhun yang diamanatkan, yang berpengaruh pada pola hidup kepemimpinan dan incu-putunya di Kasepuhanan saat ini. Salah satu perubahan di Kasepuhan adalah meningkatnya ekonomi uang khususnya yang terjadi di kalangan Imah Gede yang nantinya akan mengubah pada fungsi leuit sebagai pusat ketahanan pangan pada kehidupan di Kasepuhan SRI. Selanjutnya adalah akan mengantarkan pada perubahan gaya hidup yang
20
diawali di lingkaran Imah Gede, mengakibatkan pada berubahnya gaya kepemimpinan Abah sebagai pemimpin di Kasepuhan SRI. Perubahan gaya hidup tersebut berdampak pada perubahan gaya kepemimpinan Abah terhadap incuputunya (masyarakat) yang membawa pada persepsi incu-putu terhadap peranan Abah selama memimpin di Kasepuhan SRI. Persepsi tersebut adalah berupa pandangan dari incu-putu terhadap Abah yang telah memimpin di Kasepuhan mulai dari era kepemimpinan Abah JSN yang tidak mengenyam pendidikan secara formal sampai dengan era kepemimpinan Abah ASN dan keluarganya yang telah mendapatkan pendidikan secara formal. Perubahan gaya kepemimpinan di Kesepuhan Sinar Resmi secara otomatis akan menumbuhkan sebuah konsekuensi (dampak) baik bagi Abah selaku pemimpin maupun incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI, serta kehidupan antara masyarakat Kasepuhan dengan masyarakat Non-Kasepuhan yang ada. Dampak dari perubahan kepemimpinan tersebut menyebabkan berkurangnya kepatuhan masyarakat kepada Abah sebagai pemimpin di dalam menjalankan kehidupan di Kasepuhan. Dengan perkataan lain bahwa terjadi memudarnya norma-norma Kasepuhan yang sebabkan oleh berubahnya kepemimpinan adat sehingga berdampak pada nilai kepatuhan incu-putu kepada pemimpinnya, lihat Gambar 2.1.
21
Peningkatan Pendidikan
Kontak dengan dunia luar kasepuhan
Meningkatnya Ekonomi Uang
Perubahan Gaya Hidup elit Kasepuhan
Perubahan Gaya Kepemimpinan
Persepsi Masyarakat Kasepuhan pada Pemimpin
Kepatuhan Masyarakat Kasepuhan pada Norma Adat
Gambar 2.1. Kepemimpinan Adat Dalam Kepatuhan Masyarakat Pada Norma Adat
22
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Batasan Penelitian Batasan dalam penelitian ini adalah mengkaji, tentang persoalan peran kepemimpinan. Seorang Abah (Pemimpin) dalam menjalankan kepemimpinannya di Kasepuhan, sejak kasepuhan itu ada sampai saat ini, berdasar peristiwa yang terjadi baik secara nasional maupun berskala lokal dalam hubungannya terhadap apa kepatuhan masyarakat terhadap norma adat. Tujuan penelitian ini adalah : (1) Bagaimana dinamika gaya kepemimpinan adat di Kasepuhan SRI di tengah perubahan situasi dan peristiwa penting nasional dan lokal?; (2) Bagaimana gaya kepemimpinan Kasepuhan SRI saat ini?; (3) Bagaimana dampak perubahan gaya kepemimpinan adat terhadap tingkat kepatuhan masyarakat akan norma-norma adat di Kasepuhan SRI?.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kasepuhan SRI, salah satu bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Kasepuhan SRI secara administrasi masuk dalam Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Kasepuhan SRI menjadi lokasi penelitian karena : 1.
Memiliki historis tentang kepemimpinan Kasepuhan mulai dari Kaepuhan berpindah-pindah tempat, sampai dengan Kasepuhan hidup menetap, dan dinamika kepemimpinannya.
2.
Kasepuhan SRI sebagai gerbang awal masuknya sarana dan prasarana modern, serta bersinggungan langsung dengan masyarakat luar Kasepuhan.
3.
Meningkatnya pendidikan formal pada masyarakat Kasepuhan, sehingga masyarakat Kasepuhan lebih kritis di dalam menyikapi problematika kehidupan kepemimpinannya.
Masyarakat Kasepuhan SRI ini masih berpegang akan nilai-nilai leluhurnya serta menerima akan masuknya arus modernisasi yang datang dari luar
23
Kasepuhan SRI. Penelitian ini di laksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2012.
3.3. Pendekatan serta Tahapan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach), di mana penekanan utamanya adalah agar melihat sedekat mungkin sasaran penelitian. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk lebih mendalam memahami secara utuh realitas kondisi objek penelitian dalam keseharian, dengan informasi yang bersifat subjektif dan historis (Moleong 1993). Strategi pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan studi kasus. Studi kasus merupakan strategi penelitin kualitatif, dengan fokus kajian penelitian yang mempelajari kasus tertentu, kasus (peristiwa) itu akan berlaku apabila suatu pertanyaan penelitian “bagaimana” dan “mengapa” yang menyangkut dalam sebuah peristiwa tertentu, Yin (1981) dalam Salim (2001). Studi kasus yang menyoroti perilaku individu Abah sebagai pemimpin di Kasepuhan, serta masyarakat Kasepuhan yang mendapatkan dampak dari kepemimpinannya dari berbagai tingkatan peristiwa baik nasional maupun lokal. Kegiatan penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yang diantaranya adalah : 1. Memahami kondisi Kasepuhan SRI itu terbentuk, hal ini penting guna mengetahui gambaran secara utuh Kasepuhan itu terbentuk dan apa yang melatarbelakanginya. Kondisi Kasepuhan dapat diperoleh melalui kajian data primer maupun skunder. Data skunder diperoleh dari studi literatur baik dari akademisi serta LSM yang terkait dengan Kasepuhan, serta data primer dapat diperoleh dari wawancara mendalam pada Abah Kasepuhan SRI, penasehat Kasepuhan, kokolot lembur (tokoh kampung), maupun masyarakat Kasepuhan yang dinilai mengetahui terhadap pembentukan Kasepuhan. 2. Memahami kepemimpinan Kasepuhan secara mendalam guna mendapatkan
informasi
tentang;
(1)
Bagaimana
dinamika
kepemimpinan di Kasepuhan SRI di tengah perubahan situasi dan peristiwa penting nasional dan lokal?; (2) Bagaimana gaya
24
kepemimpinan Kasepuhan SRI saat ini?; (3) Bagaimana dampak perubahan gaya kepemimpinan adat terhadap tingkat
kepatuhan
masyarakat akan norma-norma adat di Kasepuhan SRI?.
3.4. Teknik Pengumpulan Data Menurut Creswell (1998), mengungkapkan bahwa apabila kita akan memilih studi untuk suatu kasus, dapat dipilih sumber informasi yang meliputi: observasi partisipan, wawancara, dokumentasi dan laporan. Dalam melaksanakan observasi partisipan ini peneliti mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Abah dan masyarakat Kasepuhan SRI. Kegunaan dari observasi partisipan adalah peneliti dapat
melihat
secara
langsung
objek
penelitian,
serta
memungkinkan
pembentukan pengetahuan bersama antara peneliti dan tineliti. Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu salah satu bentuk wawancara tak terstruktur yang bertujuan memperoleh data-data informasi dari semua responden yang dibutuhkan, serta susunan kata dan urutan pertanyaannya disesuaikan dengan bidang dan pengetahuan setiap responden. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan semua informan dengan cara dan suasana yang berbeda-beda. Peneliti menyesuaikan gaya berdasarkan tingkat pemahaman informan, sehingga informan mudah mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan. Wawancara mendalam ini dengan menggunakan teknik bola salju dilakukan sampai pada titik jenuh informasi pengetahuan tentang Kasepuhan SRI. Sebuah kemudahan yang peneliti dapatkan dalam mendapatkan data primer dari para informan ialah, karakter setiap informan yang cenderung berterus terang. Hal ini peneliti rasakan dari ekspresi yang muncul ketika wawancara dilakukan. Ketika informan menemukan suatu kebaikan dalam pemimpin yang ada di Kasepuhan, maka mereka berbesar hati menyampaikannya, akan tetapi ketika pemimpin yang ada di Kasepuhan itu ada cacatnya, dan itu dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak takut-takut membicarakannya. Studi dokumentasi (literatur), dilakukan dengan melihat hasil dari peneliti terdahulu yang terkait Kasepuhan SRI berupa skripsi, tesis, kepustakaan, LSM, maupun tulisan yang diakses dari internet. Dengan menggunakan tiga teknik
25
dalam pengumpulan data tersebut diharapkan dapat mengurangi kelemahan dari setiap teknik yang dipakai melalui tambal sulam, sehingga kebenaran interpretasi dari hasil penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan. Data yang telah diperoleh dari lokasi penelitian diinterpretasikan kedalam laporan, dan apabila kekurangan data maka dilakukan komunikasi dengan pihak Kasepuhan yang telah menyanggupi apabila adanya kekuarangan dalam bentuk data-data dikemudian hari hingga dianggap lengkap dan memadai. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan waktu dalam penelitian serta adanya catatan harian penelitian. Berikut disajikan pada Matriks. 3.1. Jenis data dan sumber informasi penelitian yang dilakukan pada saat turun lapang.
Matriks 3.1. Jenis Data dan Sumber Informasi dalam Penelitian No. 01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
26
Data Informasi Sejarah Kasepuhan dan para pemimpin kasepuhan Aturan-aturan (norma) dalam kasepuhan Gaya Kepemimpinan Kasepuhan SRI
Sumber Informasi Abah Kasepuhan SRI, tokoh masyarakat adat Abah Kasepuhan SRI, tokoh masyarakat adat
Penasehat Abah Kaspuhan Sinar Resmi dan dukun serta Amil Kasepuhan Gaya hidup Penasehat Abah, dan 2 Kepemimpinan incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI kasepuhan Faktor perubahan Penasehat Abah, Kepemimpinan kokolot lembur dan Kasepuhan SRI incu-putu (masyarakat) kasepuhan Kelembagaan Kasepuhan Penasehat Abah, Amil Kasepuhan Dukun, pamakayaan kasepuhan Pola Hubungan Abah Kasepuhan SRI, kepemimpinan dengan Kepala Desa masyarakat kasepuhan Sirnaresmi, Penasehat dan non kasepuhan Abah, dan 1 incu-putu (masyarakat) kasepuhan Dampak kepemimpinan Kepala Desa Kasepuhan SRI terhadap Sirnaresmi, Penasehat
Pendekatan Dokumentasi, dan wawancara mendalam Literatur, dan wawancara mendalam Wawancara mendalam
Wawancara mendalam Wawancara mendalam
Dokumentasi, Observasi Partisipan, Wawancara Mendalam Dokumentasi, dan wawancara mendalam
Wawancara mendalam
masyarakatnya
Abah, dan 2 incu-putu (masyarakat) kasepuhan
3.5. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah melalui analisis interpretatif suatu penafsiran terhadap hasil pengumpulan data. Pengolahan data tersebut agar menjadi ringkas dan sistematis, sehingga memudahkan dalam analisis data. Selanjutnya pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menelaah seluruh data, yaitu dimulai dengan kegiatan mencatat, membaca, mempelajari dan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber, baik dari wawancara mendalam, observasi partisipan, studi dokumentasi. 2. Meredukasi data, yaitu dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga berada tetap di dalamnya. 3. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data, yaitu memeriksa kebenaran dari data yang di peroleh melalui-teknik pengecekan data. 4. Menyajikan data, yaitu mendeskripsikan data yang di peroleh secara verbal melalui analisis data yang ditetapkan.
27
BAB IV GAMBARAN UMUM KESEPUHAN SINAR RESMI
4.1. Lokasi Kesepuhan Sinar Resmi Secara administrasi lokasi Kasepuhan SRI berada di Kampung Sirnaresmi Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Kasepuhan SRI juga berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kasepuhan SRI berjarak 23 Km dari Kecamatan Cisolok dan 33 km dari Kabupaten Sukabumi. Batasan wilayah Kampung Sirnaresmi dibatasi oleh Sungai Cibareno di sebelah utara, Kampung Cibongbong di sebelah selatan, kampung Cikaret di sebelah timur, dan Desa Cicadas di sebelah barat. Menurut Pak Buhari kasepuhan Sirna Resmi tidak memandang pada batasan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara administratif, karena jumlah masyarakat (incu-putu) kasepuhan tersebar baik yang ada di desa Sirnaresmi maupun yang ada di luar desa Sirnaresmi. Pegunungan Halimun yang secara administrasi sudah dijadikan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak oleh Kementrian Kehutanan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan Masyarakat Adat Banten Kidul dan Kasepuhan SRI bagian dari Masyarakat Adat Banten Kidul. Kasepuhan SRI berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut, tepatnya berada di lereng selatan Gunung Halimun. Tempat tinggal masyarakat Kasepuhan umumnya mengambil wilayah yang relatif datar sementara lahan pertanian masyarakat pada umumnya berada di lereng-lereng bukit. Kondisi lingkungan di kampung ini relatif alami dikarenakan berada di daerah pinggiran hutan. Terdapat banyak tanaman keras di sela-sela persawahan atau ladang. Kondisi cuaca relatif berubah-ubah dan hujan sering terjadi sehingga udara cenderung dingin dan lembab.
28
4.2. Demografi 4.2.1. Penduduk Menurut Abah ASN bahwa karena lokasi Kasepuhan SRI memang berada di desa Sirnaresmi akan tetapi untuk warga Kasepuhan tersebar mulai dari Desa Sirnaresmi itu sendiri, Bogor, Banten hingga Lampung. Penulis dalam mengidentifikasi penduduk dalam penelitian ini dibatasi hanya penduduk yang berada di Kasepuhan saja bukan jumlah penduduk desa Sirnaresmi. Adapun jumlah warga Kasepuhan SRI pada saat sekaranng ini berjumlah 8.320 jiwa.
4.2.2. Mata Pencaharian 4.2.2.1. Pertanian Berladang Pada umumnya incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI bertani ladang atau dalam bahasa lokalnya huma yaitu bertani padi di kawasan hutan yang dilakukan di kawasan pegunungan Halimun dengan sistim penanaman satu tahun sekali, sesuai dengan norma-norma yang dianut di Kasepuhan. “Ibu Bumi, bapak langit” adalah falsafah untuk Bumi di ibaratkan sebagai ibu yang melahirkan anak hanya satu kali, maka perlakukanlah ibu dengan baik, dan langit yang memberikan kehidupan kepada bumi berupa hujan guna menyuburkan tanaman terutama padi. Adapun rangkain dalam sistim huma di Kasepuhan SRI berikut diuraikan dalam matriks dibawah ini:
Matriks 4.1. Rangkaian Ritual Kegiatan Huma di Kasepuhan SRI No.
Kegiatan
01.
Narawas
02.
Nyacar
03.
Ngahuru
04.
Ngerukkan
05.
Nyara
06.
Ngaseuk
Uraian Menandai ladang yang akan di jadikan lahan humma Membersihkan lahan biasanya selama seminggu Membakar tanaman perdu yg tdk brguna untuk dijadikan pupuk organik Membakar sisa-sisa perdu yang belum di bakar Meremahkan (diolah agar tanah gembur) Merupakan kegiatan menanam padi huma dengan memasukkan
Pelaksanaan Juni Juli Agustus
Agustus Agustus September
29
07.
Ngored
08.
Beberes Mager
09.
Ngarawunan
10.
Mipit
11.
Ngalantayan
12.
Mocong dan ngunjal
30
benih ke dalam lubang menggunakan aseuk (tongkat kayu). Dilakukan oleh Abah pertama kalinya dan diteruskan dengan incu-putu Kasepuhan Menyiangi padi Ritual selametan dilakukan di ladang yang diikuti oleh sebagai tokoh Kasepuhan gunanya adalah untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan di huma serang (ladang milik Kasepuhan), kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam (perhitungan dalam kalender Islam). Ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur, sempurna dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu untuk meminta doa kepada Abah melalui bagian pamakayaan (bagian pertanian). Ngarawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat bulan. Memanen padi huma yang dilaksanakan di huma serang (ladang milik kasepuhan), alat yang digunakan untuk memanen padi ini disebut ani-ani, dan sebelum pemotongan padi pertama dilakukan “pengawinan padi” sebagai simbol rasa sukur hal ini dilakukan oleh Abah dan didampingi dengan bagian Pamakayaan. Padi yang sudah di potong kemudian dijemur dengan menggunakan bambu atau pohon, dan berjajar dijemur selama satu bulan Mengikat padi yang kering (dipilah) kembali untuk diangkut ke lumbung
Oktober Oktober
November
April
April
Mei
13.
Nutu dan Nganyaran
Kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen, dilakukan oleh para ibu-ibu Kasepuhan. Sedangkan nganyaran memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua bulan setelah masa panen dan di santap dengan cara bersama. 14. Seren taun Seren-taun merupakan puncak dari ritual pertanian yang ada di Kasepuhan yaitu memasukan hasil panen ke lumbung (leuit si jimat) dari hasil panen tersebut tiap warga menyumbangkan padi minimal 2-5 (dua sampai lima) ikat (beungkeut) yang di rata-ratakan dengan setandar kilogram sebanyak 10-14,5 kg. Sumber : data primer (diolah), 2012
Juni
Juni
Setiap rangkain kegiatan pelaksanaan huma di Kasepuhan SRI semuanya diawali dengan ritual. Menurut Abah ASNmenta do’a ka Gusti Alloh lan salametan ngirim-do’a ka para leluhur Kasepuhan menta kaberkahana, yang artinya minta do‟a kepada Allah, serta mengirim do‟a kepada para leluhur Kasepuhan minta keberkahannya dan pada ritual selametan tersebut diadakan di Imah Gede yang dihadiri oleh para sesepuh serta incu-putu Kasepuhan SRI. Dalam hal selamatan tersebut dijelaskan oleh Bapak Bahari selaku amil Kasepuhan SRI sebagai berikut: “Padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada Abah sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali. Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incuputu Kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji, Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika panen padi dari setiap incu-putu.” Gabah yang telah di proses dengan cara di tumbuk menggunakan alat penumbuknya disebut lesung kemudian menjadi beras. Dalam aturan Kasepuhan SRI melarang setiap incu-putu (masyarakat Kasepuhan) untuk memperjualbelikan
31
beras, karena gabah yang telah diproses menjadi beras dapat diartikan seperti seorang perempuan, apabila telah terkupas gabah dengan kulitnya dan menjadi beras dapat diumpamakan seperti perempuan yang tidak berbusana. Jadi memperjualbelikan beras maka sama saja dengan memperjualbelikan seorang perempuan. Peraturan Kasepuhan SRI melarang dalam memperjualbelikan beras, akan tetapi diperbolehkan untuk menjual padi, ketika akan melaksanakan menjual padi menurut Abah ASNada beberapa syarat yang harus dilaksanakan, yang diantaranya adalah : 1.
Keluarga incu-putu yang akan menjual padi harus memiliki leuit (lumbung padi) lebih dari satu dan terisi dengan padi semua,
2.
Kebutuhan pangan dalam keluarga tercukupi setahun kedepan,
3.
Yang dijual adalah bukan berbentuk beras,
4.
Tidak boleh dilakukan penjualan berkelanjutan.
Apabila melanggar aturan tersebut, akan mendapat teguran (sanksi) dari Abah serta mendapatkan kebendon berupa petaka yang akan menimpa pada keluarga yang melanggar tersebut berupa gagal panen di tahun berikutnya, sakit dan lain sebagainya, karena sang leluhur marah.
4.2.2.2. Perkebunan dan Peternakan Pada prinsipnya kegiatan berkebun dan berternak ini dikalangan incu-putu Kasepuhan sebagai nganunggu panen (menunggu panen padi huma) yang dilaksanakan pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sehingga ada aktivitas selama menunggu padi huma panen tersebut, kegiatan berkebun dan berternak seperti: 1. Talun (palawija) atau kebun warga ditanami oleh tanaman pisang, jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan, 2. Menanam pohon tahunan seperti mahoni dan albasia untuk keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah, 3. Ternak ayam kampung, ternak ikan.
32
Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian, namun untuk pohon kayu-kayuan tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana Ibadah.
4.2.2.3. Pengelolaan Hutan Menurut Marina (2011), kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan hutan diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian, Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi mendatang,
dan
tidak
boleh
berubah
keutuhannya,
yang
memiliki
keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di hutan. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya. Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan, masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang ditebangnya sesuai dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan usaha untuk mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang diperkirakan terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang, Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.
33
4.3. Sistem Religi di Kasepuhan Incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI pada hakekatnya telah beragama Islam sejak dahulu, tetapi dalam pelaksanaan ritual Kasepuhan masih dicampurkan dengan sunda-wiwitan seperti adanya kemenyan, mengundang leluhur guna keselamatan dalam kegiatan. Menurut Sulhi sebagai ustadz di Kasepuhan yang di tugaskan oleh Kementrian Agama yang ada di Kabupaten Sukabumi bahwa masyarakat Kasepuhan SRI dalam beragama mengaku Slampangan dika Gusti Rasul. Slampangan dika Gusti Rasul diartikan sebagai masyarakat Kasepuhan beragama Islam, mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul. Karena diharuskan masyarakat Kasepuhan SRI sampai saat ini beragama Islam sebatas pengakuan dan keyakinan dalam hati, namun sangat sedikit dalam pelaksanaan peribadatan. Abah ASNsebagai pemimpin di Kasepuhan SRI ketika diskusi dengan Bapak Ustadz Sulhi mengenai Incu-putu yang sangat jarang melaksanakan peribadatan kecuali shalat Jum‟at, dan jawab Abah: “Incu-putu mah tos pada gede, masa kudu disuruh-suruh ku Abah, kan Abah geus nyontokeun ngiringan shalat Jum’at, cuman incu-putu tacan ngarti mun solat Jum’at jeung solat lima waktu teh wajib”. Dalam tatanan kehidupan agama di Kasepuhan dikenal adanya Kiyai Marhaba dan Kiyai Kamaitan. Kiyai Marhaba adalah berfungsi sebagai pemimpin dalam pelaksanaan selamatan atau upacara adat yang ada di Kasepuhan SRI dilaksanakan di dalam Imah Gede, Kiyai Marhaba adalah julukan bagi seseorang yang biasa membacakan do‟a-do‟a dan orang tersebut adalah seorang Panghulu atau juga Dukun Kasepuhan. Kiyai Kamaitan juga sama fungsinya dengan Kiyai Marhaba namun memimpin selametan dalam bidang pertanian (huma) dan hanya pelaksanaannya juga di ladang tidak dilangsungkan dalam Imah Gede, serta langsung di pegang oleh urusan Pamakayaan
34
4.4. Sejarah Terbentuknya Kasepuhan 4.4.1. Kabuyutan Sejarah adanya masyarakat Kasepuhan ini menurut Bapak Buhari8 dimulai dari Sajira Banten, yang dipimpin oleh Buyut Agung dengan masa kepemimpinan 100 tahun. Kemudian diteruskan oleh Aki Buyut Bao Rosa, dan istrinya bernama Ambu Buyut Sampih dan bertempat di Cipatat Bogor. Dari Cipatat berpindah ke Maja, setelah beliau wafat, Kabuyutan diteruskan oleh anaknya yang bernama Aki Buyut Warning dan istrinya bernama Ambu Buyut Samsiah, serta berpindah tempat ke Lebak Larang. Ketika Aki Buyut Warning meninggal di Lebak Larang, Kabuyutan diteruskan oleh Aki Buyut Kayon dan kemudian berpindah tempat ke Lebak Binong Banten selama 27 tahun. Ketika Aki Buyut Kayon meninggal, anak pertamanya yang bernama Aki Buyut Ceboy belum dewasa, sehingga kepemimpinan Kabuyutan diwarnen9 oleh Aki Buyut Santayan dan bertempat di Pasir Talaga Sukabumi selama 23 Tahun. Setelah Aki Buyut Ceboy dewasa maka diangkat menjadi Aki Buyut bertempat di Tegal Lumbu Banten hingga ke Bojong Cisono selama 32 Tahun. Kemudian diteruskan oleh Uyut Jasiun lalu pindah ke Cicemet. Kabuyutan, sangat terkait dengan kerajaan Pajajaran karena masih keturunan Prabu Siliwangi. Pada masa itu, kerajaan Sunda Pajajaran berperang dengan Kesultanan Banten yang di pimpin oleh Sultan Maulana Yusuf. Akibat dari kekalahan dalam peperangan tersebut, banyak dari keluarga raja dan rakyatnya yang senantiasa loyal terhadap rajanya melarikan diri ke arah selatan (kidul) di kawasan pegunungan, dan satu kelompok dari keturunan inilah kemudian membentuk masyarakat Kabuyutan. (Adimihardja, 1992). Menurut Djajadiningrat (1983), bahwa pada Tahun 1579 Masehi ketika pengambilalihan kekuasaan dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran ke Kesultanan Banten yang di Pimpin oleh Sultan Maulana Yusuf, selain pengambilalihan kekuasaan juga terjadi penyebaran Agama Islam pada masyarakat Pakuan (Pajajaran) serta
8
Pak Buhori adalah menjabat sebagai Amil atau juru-basa (sekretaris) di Kasepuhan SRI dimasa kepemimpinan Abah ASN saat ini juga merangkap sebagai carik atau sekretaris desa di desa Sirnaresmi kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. 9 Warnen adalah orang yang diserahi menjadi Pemangku adat karena penerusnya belum dewasa
35
penguasanya yang dipimpin Prabu Suryakencana atau yang di kenal dengan Prabu Pucuk Umun Sumber Banten yang ditulis oleh Tb. Roesjan (1954), mengemukakan bahwa pada tahun 1579 Pakuan Pajajaran diambil kekuasaannya oleh Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, sebanyak 800 anggota kerajaan Pakuan Pajajaran melarikan diri ke lereng gunung Cibodas dan lereng Gunung Palasari dan ada yang menyingkir ke Jayanga (Jasinga) dan sekitar Bayah bahkan ada yang melarikan diri ke daerah Sanghiyang Sirah dan Boros-hongora (Ujung Kulon). Para Pandita melarikan diri ke daerah selatan tepatnya gunung Kendeng di daerah selatan disebut dengan penghuni parahyangan yang memelihara sunda wiwitan dan dikenal dengan masyarakat kanekes (baduy). Menurut Uwa Ugis10 bahwa di masa kepemimpinan Aki Buyut Agung sampai dengan Aki Buyut Ceboy adalah masa Kabuyutan dan kabuyutan merupakan para leluhur dari masyarakat Kasepuhan yang saat ini ada, para buyut juga yang membuat segala aturan-aturan (norma) tentang kehidupan masyarakat Kasepuhan yang hingga kini terus dijaga. Penulis tidak membahas kepemimpinan secara mendalam dari para Kabuyutan tersebut yang dikarenakan minimnya informasi tenang Kabuyutan, namun penulis mengupas secara mendalam pada masa Kasepuhan yang hingga kini masih ada.
10
36
Uwa Ugis adalah Penasehat Abah dari ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi yaitu: Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA. Serta bertempat tinggal (rumah) di Kasepuhan SRI.
Aki Buyut Agung Sajira Banten
Aki Buyut Bau Rosa (Ciparai Bogor)
Ambu Buyut Sampih
Aki Buyut Warning (Lebak Binong Banten)
Ambu Buyut Samsiah
Aki Buyut Santaian (Pasir Talaga Sukabumi)
Aki Buyut Ceboy (Tegal Lumbu – Gejeng cisono Banten)
Aki Buyut Jasiun
(Era Kasepuhan)
Keterangan : : Awal Kabuyutan Terbentuk / Buyut pertama : Buyut Pemimpin Kabuyutan : Ambu Kabuyutan : Turunan Gambar 4.1. Susunan Genealogi Kabuyutan
4.4.2. Kasepuhan Kasepuhan berasal dari suku kata sepuh dan berasal dari bahasa Sunda yang artinya tua atau dituakan, kemudian muncul pengertian sesepuh, yaitu orang yang dituakan dan biasanya memimpin suatu organisasi. Kata Kasepuhan dalam konteks tulisan ini, mengacu pada pemahaman terhadap suatu kelompok sosial, di mana semua aktivitas warganya masih berazaskan pada adat-istiadat lama sebagai warisan nenek moyang (buyut) yang antara lain tampak berupa tata cara menanam
37
dan memelihara padi di huma (ladang) dalam sistem pertanian tradisional (Adimihardja, 1992). Menurut Abah ASN bahwa nama Kasepuhan lahir ketika pada zaman kepemimpinan Uyut/Buyut/Abah JSN pada tahun 1960 dan nama Kasepuhannya adalah Cicemet yang disesuaikan dengan nama kampung dimana keberadaan kasepuhan itu tinggal. Kasepuhan ini terbagi menjadi tiga wilayah adminstratif; pertama yang terdapat di Kabupaten Lebak Provinsi Banten yaitu di kecamatan Sajira, Bayah, Cikotok, Cibeber dan Sobang; kedua Kabupaten Bogor terdapat di Kecamatan Jasinga dan Leuwi liang; ketiga di Kabupaten Sukabumi terdapat Kecamatan Cisolok. Pada Tahun 1977 Kasepuhan-Kasepuhan yang terdapat di wilayah Banten dan Jawa Barat tersebut kemudian di persatukan dalam satu ikatan yang diprakarsai oleh Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan di setujui oleh semua Abah atau Olot Kasepuhan. Peristiwa tersebut terjadi, di Kasepuhan Cikaret di bawah kepemimpinan Abah RSD. Dengan nama ikatannya adalah KESATUAN ADAT BANTEN KIDUL. Memakai nama Banten Kidul karena berdasarkan historis keberadaan Kabuyutan ini berada di Banten Kidul (Sajira) serta sehingga berubah menjadi Kasepuhan. Kasepuhan-Kasepuhan juga terbanyak berada di wilayah Banten Kidul (selatan) hal-hal itulah yang mendasari nama persatuan seluruh Kasepuhan. Setiap pemimpin di Kasepuhan hakikatnya berdasarkan keturunan (lihat gambar 4.2.) sehingga antara tiap Kasepuhan yang ada saat ini umumnya bersaudara satu dengan yang lainnya.
38
Masa Kebuhunan
Abah Jiun
Nini Ane Abah RSD Ema Anom Lesmana Mintarsih
Ema Anat Ambu Yayat
Abah AJ
Iis
Lia
Nyai Sukinten
Abah Anom Abah Uum Sukmawijaya
Abah Ugis
Arsih
Ambu Purminah
Abah UT Sujati
Meli
Erni
Ambu Nunung
Bela
Berlin
Astri
Abah Asep
Saragoza Gia
Leni
Elen
Ambu Yuyun
Pilka
Keterangan : Abah Pemimpin Kasepuhan : Ambu (Istri) : Ambu (Istri) Dicerai : Anak Perempuan : Anak Laki-laki : Turunan Gambar 4.2. Susunan Genealogi Kasepuhan
39
4.5. Sumber Kekuasaan Kepemimpinan di Kasepuhan 4.5.1. Keturunan Sumber-sumber kekuasaan didalam kepemimpinan Kasepuhan SRI dibagi menjadi dua sumber kekuasaan; 1) Keturunan setiap anak laki-laki Abah merupakan calon pemimpin kasepuhan untuk menggantikan Abah setelah wafat dan terutama anak laki-laki pertama, 2) Pengikut (incu-putu), 3) Mitos; Pancarpangawinan merupakan amanat kepemimpinan yang datangnya dari Prabu Siliwangi kerajaan Pajajaran, serta masyarakat kasepuhan selalu mengatakan dirinya sebagai turunannya, Faktor keturunan (ascribe status), merupakan kecenderungan yang terjadi adalah jika sang ayah “abah” di Kasepuhan maka kecenderungan anaknya untuk naik tahta menggantikan ayahnya yang telah mangkat akan lebih besar. Kemudian incu-putu sebagai masyarakat yang tidak terpisahkan dari Kasepuhan serta menjadi entitas kepatuhan terhadap Abah. Kemudian pancar pangawinan serta wangsit sebagai sumber kekuasaan selanjutnya, dan tilu-sapamilu merupakan sumber norma-norma kehidupan yang tertuang dalam Tatali Paranti Karuhun. Keturunan anak pertama dari keluarga Abah secara otomatis dapat menggantikan Abah. Bila telah wafat, namun apabila putra pertama tersebut dinilai belum memumpuni dari segi usia, akan didahulukan dengan pemimpin warnen (sela). Pemimpin sela adalah pemimpin pengganti sementara karena calon pemimpin yang telah ada, belum memumpuni dilihat dari segi usia (baru usia 1016 tahun) dan di gantikan sementara kepada saudara Abah yang usianya telah memenuhi syarat diatas 17 tahun berdasarkan musyawarah keluarga beserta dukun. Akan tetapi setelah usia 17 tahun makan tampuk kepemimpinan tersebut akan di serahkan kepada haknya kepada anak yang telah usia 17 tahun tersebut. Yang kedua apabila seorang Abah tersebut memiliki anak laki-laki lebih dari satu maka diantara anak-anak laki-laki tersebut memiliki tanda-tanda khusus. Hal ini yang dapat melihat tanda-tanda pemimpin pengganti Abah berikutnya hanya seorang Abah itu sendiri sejak anak-anaknya kecil juga Dukun dari Kasepuhan SRI secara supernatural.
40
4.5.2. Wangsit Wangsit merupakan petunjuk secara supranatural yang ada diri pemimpin atau calon pemimpin (Abah) yang datangnya dari leluhur. Biasanya terdapat tanda pada calon pemimpin seperti tingka laku maupun simbol yang terdapat di bagian tubuh calon pemimpin. Menurut Abah ASNwangsit tersebut datangnya secara tibatiba kepada siapa saja yang akan menjadi calon pemimpin dalam sebuah Kasepuhan, dan wangsit juga bukan hanya untuk mencari figur kepemimpinan secara magis akan tetapi kepindahan Kasepuhan juga mencari cadangan kehidupan serta menikah lagi bagi seorang Abah guna memperbanyak keturunan. Wangsit sebagai sumber kekuasaan dalam kepemimpinan di Kasepuhan, sebagai legitimasi kepemimpinan maka wangsit tidak bisa dilihat oleh semua incu-putu, tetapi hanya orang-orang tertentu seperti Abah, dan Dukun, serta sifatnya yang supranatural maka wangsit ini kebanyakan datangnya lewat mimpi oleh Abah sebelumnya dan yang mendapatkan wangsit selanjutnya (pengganti) Abah mempunyai ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan mimpi yang dialami oleh Abah dan akan di kabarkan melalui Dukun kepada incu-putu. Hampir semua kepemimpinan Abah yang ada di Kasepuhan memperoleh wangsit guna menjadi seeorang Abah mulai dari Abah JSN, Abah RSD, Abah AJ, dan Abah Asep. Namun Abah UT yang mengaku dirinya mendapatkan wangsit, karena sebelum menjabat menjadi Abah bapak Ujat terlebih dahulu menjadi kepala desa, sehingga menurut beberapa incu-putu bahwa Abah UT hanya mengaku mendapatkan wangsit guna menduduki Kasepuhan karena di intervensi oleh pemerintah.
4.5.3. Mitos Pancar Pangawinan: Klaim Otoritas Adat di Kasepuhan Terdapat suatu kesadaran yang mendalam bahwa masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan secara langsung dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang bersumber dari apa yang mereka sebut pancer pangawinan (Guillot, 2008). Berdasarkan keterangan beberapa orang sesepuh Kasepuhan serta dari kokolot lembur bahwa masyarakat Kasepuhan selalu menyatakan dirinya,
41
kami mah turunan pancer pangawinan_kami ini merupakan keturunan pancer pangawinan. Dalam bahasa Sunda, kata pancer berarti lulugu, yang dalam bahasa Indonesia „asal usul‟ atau „sumber‟ kata pangawinan berasal dari kata ngawin yang berarti membawa tombak pada saat upacara perkawinan. Kata pangawinan dikalangan warga Kasepuhan, memiliki makna yang lebih luas. Dengan demikian kata kawin tercermin makna mempersatukan dua batin yang berbeda, dua pendapat yang berbeda, dua keinginan yang berbeda dari seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi satu tekad, satu jiwa, satu pendapat, satu keinginan, satu rasa dan satu tujuan, yaitu membina kehidupan yang sejahtera, dan harmonis lahir batin. Sikap dasar tersebut dinyatakan warga Kasepuhan dengan ungkapan kata-kata
ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salebak
atau membina suatu
kehidupan yang harmonis dalam satu kesatuan hidup rumah tangga (Adimihardja, 1992). Pada hakikatnya bahwa dapat dipahami masyarakat Kasepuhan sebagai keturunan pancer pangawinan. Mereka anggap sebagai suatu magis yang di ungkapkan dengan kata-kata sing saha nu bisa ngawinkeun langit jeung bumi, manusa jeung kamanusaanana, eta nu disebut pancer pangawinan. Barang siapa yang bisa mengawinkan bumi dengan langit, manusia dengan kemanusiaannya, itulah namanya pancer pangawinan. Abah adalah orang yang diamanatkan yang harus memegang akan Pancar pangawinan serta dapat legitimasi akan kepemimpinannya. Menurut Safa‟at et al (2008), setiap kepemimpinan masyarakat adat mempunyai pegangan secara mitos guna melanggengkan kekuasaanya dalam masyarakat, serta bagaimana menjaga aturan-aturan adat yang berlaku sebagai kekuatan sosial. Abah dinilai oleh kalangan masyarakat Kasepuhan yang menjadi tuntunan karena memiliki (memegang) pancar pangawinan, sebagai sumber otoritas kepemimpinan Kasepuhan juga diamanatkan untuk menjaga normanorma Kasepuhan. Pancar pangawinan merupakan prasyarat mutlak bagi setiap pemimpin dan calon
untuk
memilikinya
kepemimpinan terhadap incu-putunya.
42
karena merupakan
legitimasi
Pancar pangawinan dikonstruksi oleh setiap pemimpin adat sebagai simbolisme kepemimpinan yang sifatnya sangat abstrak dan bersifat individual. Konstruksi masyarakat bahwa pancar pangawinan merupakan “tanda” atau “simbol” personal dari setiap individu untuk terpilih sebagai pemimpin dalam sebuah Kasepuhan, dan fungsi dari Abah yang dapat membaca siapa anaknya yang memiliki pancar pangawinan serta dibantu dengan Dukun untuk membacanya secara magis. Sehingga secara historis, kepemimpinan Kasepuhan dikondisikan untuk tidak terbentuk demokrasi di level bawah. Pada perinsifnya bahwa pancar pangawinan adalah semua incu-putu Kasepuhan adalah turunan dari pancar pangawinan, karena pancar pangawinan ini adalah amanat dari Prabu Siliwangi untuk di incu-putu kasepuhan. Namun yang menjaga dan memiliki pancar pangawinan adalah pemimpin dari Kasepuhan, serta menurut Uwa Ugis11 dan Dukun Kasepuhan bahwa tidak semua Abah memiliki pancar pangawinan, hanya para Abah pendahulu saja yang memilikinya serta salah satu dari ketiga Kasepuhan yang ada di Desa Sirnaresmi yang
kini
memiliki
(memegang)
pancar
pangawinan.
Tetapi
ketika
dikonfirmasikan kepada Abah ASNsebagai pemimpin di Kasepuhan SRI, Abah Ugis pemimpin di Kasepuhan CGR, serta Abah Hendrik pemimpin di Kasepuhan CMA mereka mengakui (klaim) akan memegang pancar pangawinan. Menurut beberapa sumber yang ada di kasepuhan bahwa walaupun pancar pangawinan ada yang mengatakan adalah berwujud benda pusaka, serta ada di pihak lain mengatakan bahwa hanya sebuah kharisma yang datang dari leluhur yang dapat berpengaruh pada incu-putu akan kepatuhan pada Abah serta aturanaturan adat yang telah di tetapkan. 4.6. Pergeseran Sumber Kekuasaan Sumber kekuasaan yang dipakai Abah AJ adalah keturunan, wangsit serta mitos (Pancar Pangawinan) guna melegitimasi segala kekuasaanya tersebut Abah AJ cenderung otorioter kepada incu-putu, tetapi justru dengan penerapan otokratis tersebut incu-putu merasa senang dan adanya pengakuan kembali semua aturan11
Uwa Ugis dan Dukun tidak memberikan keterangan secara terperinci tentang siapa saja para Abah yang memegang pancar pangawinan secara turun temurun diberikan kepada Abah tersebut, hanya berupa merujuk pada pendahulu yang mendapatkannya serta kini ada di salah satu kasepuhan.
43
aturan adat yang ada. Sehingga kepatuhan incu-putu semakin kuat dan menaruh kepercayaan yang maksimal kepada Abah AJ. Legitimasi kekuasaan Abah UT selain faktor keturunan juga adanya pihak luar Kasepuhan (pemerintah) sehingga di masa kepemimpinannya intrevensi dari pemerintah terutama dalam pembangunan pertanian semakian kuat dan hal itu mempunyai konsekuesi pada Incu-putu serta ekistensi kelembagaan leuit semakin lemah dan itulah yang kemudian memporak-porandakan sistem Huma. Pada masa kepemimpinannya politik praktis dengan pemerintah mulai menjamah di kehidupan
Kasepuhan.
Aroma
perpecahan
Kasepuhan
terjadi
pada
kepemimpinannya. Kepemimpinan Abah ASNini sumber kekuasaan yang mulanya adanya keturunan, wangsit dan motos kini masuknya pendidikan yang membawa pada nilai materialisme kebendaan yang pantang dimiliki oleh pemimpin adat, saat kepemimpinan adat Abah ASNsudah tidak berlaku lagi. “Previlage” sang “Abah” lebih kepada kehidupan modernisme, misalnya memiliki kendaraan beroda empat, anak-anak Abah sendiri kurang mengikuti pola kehidupan Kasepuhan serta Abah lebih mengedepankan relasi luar Kasepuhan kepentingan elit politik baik nasional maupun lokal.
44
BAB V KEPEMIMPINAN DI KESEPUHAN
5.1. Periode Kepemimpinan di Kasepuhan 5.1.1. Kepemimpinan Abah JSN Kepemimpinan Abah JSN (1937-1960) adalah fase transisi sebagai peletak pertama didalam pembentukan Kasepuhan dari Kabuyutan. Kasepuhan Abah JSN terletak di daerah Cicemet, namun akhirnya dipindahkan ke daerah Cikaret. Pemindahan Kasepuhan ke Cikaret karena selain wangsit alasan lainnya yaitu kemanan, karena pada waktu itu terjadi penjajahan belanda. Abah JSN memiliki karakter yang keras dalam kepemimpinannya dan sangat memegang teguh adat dalam menjalankan aturan Kasepuhan pada incu-putunya. Di
masa
pemerintahannya
cenderung
menunjukkan
pola-pola
kepemimpinan yang otokratis, dalam hal pengelolaan sumberdaya pertanian yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kasepuhan. Misalnya saja, Abah JSN dengan sangat konsisten menjaga aturan pengelolaan lahan adat (huma), dengan kegiatan penanaman padi sekali dalam setahun dengan masih menggunakan varietas lokal. Terlebih penyetoran hasil sawah dalam bentuk gabah kering bisa masuk sepenuhnya ke dalam Leuit, serta mengatur agar pembagian hasil panen berdasarkan aturan adat dengan mempertimbangkan lapisan sosial berdasarkan pada jumlah kepemilikan lahan. Kecenderungan yang terjadi, Abah selalu tetap mempertahankan pola hidup berpindah. Dan dalam permasalahan adat, ketegasan Abah dan konsistensi Abah menjaga nilai-nilai luhur adat Kasepuhan menjaga keluhuran nilai-nilai tatali paranti karuhun agar tetap mendarah daging pada masyarakat Kasepuhan. Abah JSN lemah ketika menghadapi kuatnya intervensi pemerintah (Militer/TNI) terhadap masyarakat Kasepuhan. Sehingga pada tahun 1960 nama Kabuyutan dirubah menjadi Kasepuhan, dan itu disetujui oleh incu-putunya, lihat dalam gambar 5.1. Seperti yang telah dikemukankan oleh Abah ASNKasepuhan SRI seperti berikut: “Pergantian nama dari Kabuyutan menjadi kasepuhan, Abah JSN mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal
45
tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai amanat dari para buyut/leluhur.” Ada dua versi dari perubahan nama Kabuyutan menjadi Kasepuhan karena bertepatan dengan intervensi dari Militer/TNI di satu sisi dan di sisi lain bahwa pergantian Kabuyutan ke Kasepuhan merupakan hasil dari wangsit yang datang dari leluhur yang harus dilaksanakan oleh Abah JSN.
Kabuyutan
Abah
Milter/TNI
Incu-Putu Kasepuhan Kasepuhan
Keterangan : : Intervensi : Koordinasi : Hasil : Turunan Gambar 5.1 Perubahan Masa Kabuhunan ke Masa Kasepuhan Abah JSN bukan tanpa alasan mengubah nama Kabuyutan menjadi Kasepuhan karena situasi bangsa Indonesia yang baru merdeka serta pemerintahan Belanda sudah menginjakan kakinya di Kabuyutan (Agresi Belanda II) yang dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bersama terutama menyangkut kepercayaan (religi) yang di nilai oleh incu-putu (masyarakat) kabuyutan tanah Kabuyutan adalah suci yang sangat sehingga tidak boleh diduduki oleh orang asing.
46
Disamping adanya Agresi Belanda perubahan nama Kabuyutan juga adanya serangan dari DI/TII pada Tahun 1959 yang menghawatirkan terganggunya keamanan incu-putu kabuyutan sehingga pemerintah (TNI) dinilai sangat perlu menghawatirkan keselamatan incu-putu. Peragam peristiwa eksternal itulah Kabuyutan dirubah menjadi Kasepuhan sangat dimungkinkan hingga sekarang ini. Berikut ini disajikan dalam Matriks 5.1. beberapa peristiwa penting yang terjadi saat kepemimpinan Abah JSN.
Matriks 5.1 Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Periode Abah JSN No 01.
Situasi/Kondisi Agresi Militer Belanda
Waktu Sebelum kemerdekaan sampai dengan Tahun 1955 pada masa Orde Lama
02.
Pemberontakan DI/TII
Terjadi pada tahun 1959 masa orde lama
03.
Intervensi pemerintah (TNI)
Sejak terjadinya agresi belanda dan pemberontakan DI/TII
Ruang Menyangkut keyakinan terhadap kepercayaan yang dianut Kabuyutan tabu (pantang) terhadap orang luar (diluar keyakinan dan kepercayaan) menduduki tanah leluhur kabuyutan Keamanan incu-putu yang terancam karena ulah dari kedatangan DI/TII ke tanah Kabuyutan yang sering membuat konflik dengan incuputu Pemerintah mengedepankan aspek politik dan keamanan terhadap masyarakat lokal
Sumber : data primer (diolah) 2012
Terlepas dari segala peristiwa-peristiwa tersebut yang tersaji dalam Matriks 5.1. itu bahwa pemerintahan Abah JSN menurut beberapa sumber yang ada di Kasepuhan SRI, Abah JSN membuat Amanat buat Incu-putu yang harus dijalankan dan ditaati. Adapun amanat tersebut adalah : “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan 47
sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” (Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga kelakuan, menjaga tekad) “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggangunggang bilih bekasna nyalahan” (Berbicara harus diukur, berkata harus ditimbangtimbang takut berbekas kesalahan) “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah) “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) Memaknai dari amanat Abah JSN tersebut menurut Uwa Ugis12 bahwa dapat di bagi menjadi tiga hal yaitu: 1.
Amanat yang berkaitan dengan sistem huma (pertaninan ladang) “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” maksudnya adalah ketika panen padi huma para incu-putu harus meminta izin untuk memetiknya kepada bumi yang sering di injak-injak, dibuat bangunan , menanam tanaman yang dibutuhkan oleh incu-putu sehingga untuk memetik hasilnya para incu-putu harus minta izin kepada yang mempunyai dan menciptakan bumi ini dan harus memberlakukannya seperti seorang Ibu yang telah melahirkan manusia ke dunia ini maka di kenal dengan “Ibu Bumi”, dan langit yang memberikan hujan (rejeki) buat kelangsungan kehidupan serta memberi keberkahan buat hasil pertanian “Bapak Langit” maka keduanya harus diberlakukan
12
48
Uwa Ugis adalah Penasehat Abah dari ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi yaitu: Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA. Serta bertempat tinggal (rumah) di Kasepuhan SRI.
layaknya sepertu “Ratu”. Sehingga di incu-putu (masyarakat) kasepuhan dikenal dengan falsafah IBU BUMI BAPAK LANGIT TANAH RATU. Dan harus menjaga layaknya kita menjaga lisan (lampah) dan mempertanggung-jawabkan (tekad) 2.
Berkaitan dengan pola hubungan antar manusia “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan. Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn”
setiap berhubungan dengan antar manusia dengan
manusia maka bagaimana incu-putu harus menjaga segala perkataan dan perbuatan, karena dikhawatirkan salah
ucap
dan akan
menimbulkan ketidaksenangan yang akan mengakibatkan talisilaturahmi kurang harmonis. 3.
“Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” yang ketiga inilah sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kasepuhan, karena berkaitan dengan politik dan kekuasaan; incu-putu keutuhan Kasepuhan, jangan memperebutkan kekuasaan, karena kekuasaan harus diberikan pada yang berhak dan dinilai mampu.
Perinsipnya segala aturan-aturan Kasepuhan yang telah digariskan oleh para leluhur maupun aturan Agama harus ditaati dan dijaga dan dipertanggungjawabkan apabila melanggarnya. Keselamatan dalam kehidupan incu-putu (masyarakat) Kasepuhan adalah bagaimana menjaga hubungan baik dengan saudara dan masyarakat luar Kasepuhan.
5.1.2. Kepemimpinan Abah RSD Kepemimpinan kasepuhan yang kedua di pegang oleh anak pertama dari Abah JSN yaitu Abah RSD (1960-1982), dan pusat pemerintahan pada masa kepemimpinan Abah RSD ini selalu berpindah-pindah, yang pada mulanya berlokasi di Cimaja. Pada masa kepemimpinan Abah RSD ini mengalami pergantian rezim pemerintahan Negara Republik Indonesia dari masa Presiden Sukarno (Orde Lama) ke masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru). Pada masa orde lama nyaris tidak kentaran (tidak ditemukan) intervensi atau bentuk penekanan dalam kehidupan di Kasepuhan. Namun dimasa Orde Baru intervensi
49
pemerintah penekanan kehidupan di Kasepuhan justru banyak di temukan bentukbentuk intervensi (penekanan) terhadap kehidupan masyarakat (incu-putu) Kasepuhan. Bentuk dari intervensi pemerintah tersebut seperti diterbitkannya Undangundang pemerintahan desa nomor 5 Tahun 1979. Menurut Surianingrat (1981), bahwa
sebelum
diterbitkannya
regulasi
tentang
penyeragaman
sistem
pemerintahan secara nasional yang telah di terapkan (secara paksa) oleh pemerintahan Presiden Suharto, desa-desa yang telah lama ada berbentuk kesatuan-kesatuan hukum adat baik yang bersifat teritorial maupun genelogis, serta beraneka ragam bentuk dan coraknya tergantung di mana kesatuan adat tersebut berada, seperti di Aceh (gampong), Sumatera Barat (Nagari), Jawa Barat (Kampung), Makassar (Gaukay) dan seterusnya. Petikan dari isi Undang-undang nomor 5 Tahun 1979 adalah : “Bahwa karena jumlah adat-istiadat serta suku-suku yang ada di nusantara ini beranekaragam ditambah dengan nama-nama wilayah terkecil setingkat desa (jawa) beraneka ragam pula, maka Pemerintah merasa dinilai sangat perlu mengeluarkan regulasi tentang pemerintahan desa tersebut adalah untuk penataan administratif serta menjembatani perbedaan struktur administratif dan sistem pemerintahan desa di Jawa dan di luar Jawa.” Pada prinsipnya adalah penerbitan Undang-undang pemerintahan desa tersebut oleh pemerintah Orde Baru semata-mata adalah untuk menyeragamkan nama desa dan kampung sebagaimana yang ada di Jawa dipakai juga di daerahdaerah lain yang ada di Indonesia serta mengkerdilkan terhadap kesatuan-kesatuan adat yang ada di Indonsia yang pada intinya adalah pemerintah justru tidak menghargai falsafah Bangsanya sendiri yaitu BHINEKA TUNGGAL IKA, tetapi hanya menginginkan kepentingan penguasa secara sempit. Sehingga tidak sedikit dari kesatuan-kesatuan adat yang ada di Indonesia hilang akan identitasnya. Hasil kajian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)13 bahwa akibat penerapan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut terjadi banyak benturan antara pemerintahan desa dengan sistem yang di anut oleh suku-suku setempat.
13
Jurnal edisi Mei 1999. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
50
Berdasarkan Undang-Uudang Nomor. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah. Akibat tekanan dari pemerintah, kegiatan hidup berpindah-pindah kemudian terancam, Legitimasi Abah RSD sebagai pemimpin Kasepuhan sebagai entitas sosial juga ikut terancam. Ini karena dampak dari penerapan undangundang nomor 5 Tahun 1979, nantinya Abah harus mengakui kekuasaan lainnya, misalnya mengakui legitimasi kepala desa yang diangkat oleh pemerintah sebagai perpanjangan tangan mereka (pemerintah), artinya kekuasaan Abah tidak akan otonom kembali. Kemudian pada tahun 1980 terjadi konflik dengan kementrian Agama yang mempertanyakan tentang status Agama yang dianut oleh Kasepuhan, karena pengakuan oleh pemerintah terhadap Agama di Indonesia hanya 5 (lima) Agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu. Sementara yang dianut oleh masyarakat Kasepuhan adalah Agama Islam namun masih memakai tradisi-tradisi leluhur di dalam menjalankan ritual keagamaan. Pihak Kasepuhan selalu mengakui bahwa kamimah tos-ti baheulana ngilu Agama Islam ku Nabi Muhamad, (kami masyarakat Kasepuhan sudah sejak dulu menganut Agama Islam yang di ajarkan Nabi Muhamad). Tetapi masyarakat Kasepuhan didalam menjalankan kehidupan selalu selaras dengan adat istiadat yang kami junjung tinggi. Sebagaimana ungkapan dari Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI sebagai berikut: “Pas eta Kasepuhan SRI di handap kepemimpinan Abah RSD pihak Dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering dongkap ka Kasepuhan jeung selalu naroskeun tentang kayakinan ni dianut
51
masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha Pangerana (tuhan)?. Urang masyarakat Kasepuhan sering nagajwab bahwa urang teh Agamana Islam dan Gusti Alloh SWT eta Tuhan nu urang bacakeun upami selametan. Teras saha nu ngabacakeun?, teras dijawab, aya penghulu atawa dukun nu ngabacakeun atawa pamakayaan lamun diladang, nu nyieun pihak Kasepuhan tersinggung, tapi abah teu marah ka pemerintah. Malah bertindak sareng memindahkeun Kasepuhan ka Cigana. Dan sampe ayeuna, pihak Departemen Agama masih ngontrol tentang peribadatan Kasepuhan, terbukti ngirikmkeun ustadz ti Depag Kabupaten Sukabumi.” Artinya tuturan Dukun ketika Kasepuhan SRI di bawah kepemimpinan Abah RSD pihak dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering datang ke kasepuhan dan selalu menanyakan tentang keyakinan-kepercayaan yang dianut masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha pangerana (tuhan) dan itu sering. Kami masyarakat Kasepuhan selalu menjawab bahwa kami ini beragama Islam dan gusti Alloh SWT itu tuhan Kami; tapi kemudian terus menekan hingga tentang kemenyan, do‟a-do‟a yang kami bacakan setiap selametan. Terus siapa yang membacakan lalu dijawab ada penghulu atau dukun yang membacakan atau pamakayaan kalu di ladang, yang membuat pihak Kasepuhan tersinggung, tapi Abah tidak marah kepada pemerintah tersebut, melainkan bertindak dengan memindahkan Kasepuhan ke Ciganas. Dan sampai dengan sekarang pihak Agama masih mengontrol tentang peribadatan Kasepuhan terbukti telah mengirim ustadz dari Depag Kabupaten Sukabumi. Hasil dari kutipan wawancara dengan Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI tersebut bahwa prinsipnya hanya perbedaan persepsi pada pelaksanaan peribadatannya antara pihak kasepuhan dengan pemerintah, karena tidak ada titik temu Abah RSD memindahkan pusat pemerintahan Kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, guna menghindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak pemerintah. Pemindahan pusat pemerintahan Kasepuhan tersebut selain faktor eksternal juga adanya wangsit (ilham) dari leluhurnya agar memindahkan pusat Kasepuhan tersebut, serta akan selalu dipatuhi oleh incu-putu. Incu-putu Kasepuhan selalu memandang Abah sebagai panutan karena sebagai turunan dari Abah JSN dan para leluhurnya serta orang yang selalu di beri ilham (wangsit) setiap perjalanan kepemimpinan guna mempertahankan amanat yang telah di gariskan untuk menjaga norma-norma Kasepuhan, keturunan dan wangsit itulah
52
sebagai sumber kepemimpinan dari Abah RSD serta ditambah dengan kharisma yang dimiliki oleh Abah RSD. Maka incu-putu menilai dari faktor keturunan serta mempercayai Abah RSD orang yang selalu mendapatkan wangsit untuk menjaga incu-putu itulah kepatuhan incu-putu timbul dan meyakini menjadi mengkristal pada diri dari tiap incu-putu. Bukti kepatuhan itu adalah ketika mengindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak pemerintah, maka Abah RSD memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, dan incu-putu selalu mentaati keputusan Abah tersebut, serta bagaimana untuk menjaga adat istiadat (amanat) incu-putu selalu mengikuti (Abah) yang dipandang sebagai orang yang secara langsung mendapatkan wangsit tersebut (lihat Gambar 5.2.). Kasepuhan UU No. 05 Tahun 1979
Perum Perhutani TNGH
DEPAG
ABAH
INCU-PUTU
Agresi Belanda II
Keterangan : : Intervensi : Koordinasi : Instruksi : Turunan : Mempengaruhi Gambar 5.2. Intervensi Pemerintah pada Kepemimpinan Abah RSD
Kelemahan dari Kasepuhan adalah tidak adanya hukum tertulis didalam memiliki tanah adat dan mungkin semua masyarakat adat yang ada di seluruh Indonesia, karena bagi mereka adalah bahwa tanah adat merupakan amanat dan suatu wasiat yang harus dijaga oleh adat. Begitupun dengan tanah yang ada di
53
Kasepuhan, terutama yang menyangkut tanah yang di atasnya ditumbuhi dengan tanaman. Dalam hal kepemilikan tanah adat menurut Abah ASNKasepuhan SRI sebagaimana hasil kutipan wawancara sebagai berikut: “Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagian tanah Kasepuhan dimiliki oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi lahan Kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah (Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga Abah RSD kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.” Bagi masyarakat Kasepuhan hutan merupakan sumber kehidupan yang harus dijaga, maka fungsi hutan di bagi menjadi tiga zonasi yang diantaranya adalah: 1. Leuweung Titipan (hutan titipan); merupakan hutan larangan atau hutan warisan dari leluhur yang harus dijaga dan terlarang untuk kegiatan apapun. 2. Leuweung Tutupan (hutan konservasi) adalah hutan yang boleh di ambil
kayunya
untuk
keperluan
rumah
tangga
Kasepuhan
(membangun rumah) serta kegiatan Kasepuhan lainnya tetapi harus di tanam kembali (tambal sulam). 3. Leuweung garapan (hutan garapan) hutan yang bisa dibuka untuk lahan pertanian (huma).
Adapun peristiwa-peristiwa nasional dan lokal ketika kepemimpinan Abah RSD seperti tertuang dalam Matriks 5.2. berikut ini.
54
Matriks 5.2 Peristiwa-Peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah RSD No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan 01 Agresi Militer Belanda Tahun 1960-1963. Kasepuhan menjadi tempat II Pada masa Orde bagi militer (TNI) juga. Lama Leuit sebagai lumbung pangan kasepuhan, menjadi perbekalan TNI atas kebijakan Abah RSD 02 Isu PKI Tahun 1965-1966 TNI menuduh pihak kasepuhan beraliran PKI karena kaspuhan menerima setiap tamu yang datang termasuk PKI sehingga terjadi kesalahpahaman antara pihak TNI dan Kasepuhan yang mengakibatkan kasepuhan mendapat tekanan secara mental dari TNI. Walau pada kepemimpinan korem Cisarua yang baru meminta maaf karena tuduhan tersebut tidak mendasar. 03 Penetapan dan Peralihan masa Adanya dualisme pemberlakuan Undang- pemerintahan dari kepemimpinan di kampung Undang Pemerintahan Orde lama ke masa tempat bermukimnya Desa Nomor 5 tahun pemerintahan Orde kasepuhan 1979 Baru. 04 Tekanan tentang Tahun 1980 pada 1. Pihak kasepuhan keyakinan dan masa pemerintahan mndapatkan tekanan kepercayaan terhadap Orde Baru mental dan psikologis Agama. drai pihak Departemen Agama Kantor wilayah Kabupaten Sukabumi 2. Pemindahan Kasepuhan dari Cikaret ke Cimaja/Ciganas untuk menghindari konflik dengan pihak pemerintah. 05 Konflik dengan Ferum- Tahun 1981-1982 1. Incu-putu banyak yang Perhutani (masa Orde baru) ditangkap oleh pihak Tanah Adat yang di Ferum-Perhutani karena klaim oleh pihak dituduh mencuri kayu Ferum perhutani, dan ditanah leluhurnya yang dijadikan sebagai di klaim menjadi Taman Taman Nasional Nasional Gunung
55
Gunung Halimun (TNGH)
Halimun (TNGH). 2. Kasepuhan dipindahkan kembali dari Ciganas ke Cikaret guna menghindari konflik terbuka dengan FerumPerhutani.
Sumber data primer (diolah), 2012
5.1.3. Kepemimpinan Abah AJ Dimasa pemerintahan Kasepuhan Abah AJ memimpin selama empat tahun mulai dari tahun 1982 hingga 1985 dengan jumlah pengikut 28.000 jiwa lokasi Kasepuhan yang awalnya di Cikelat, tetapi bergesekan dengan Kepala Desa Cikelat Bapak Usep Nuryana, yang disebabkan berbenturannya peraturan desa dengan sistem pemerintahan Kasepuhan sebagai imbas dari diberlakukannya Undang-undang pemerintahan desa nomor 5 tahun 1979. Maka pusat pemerintahan Kasepuhan dipindahkan ke Babakan Ciptarasa, sehingga Kasepuhan bernama Ciptarasa. Kepemimpinan Abah AJ dan setelah pindah ke Ciptarasa Di tempat baru inilah Abah AJ memurnikan kembali nilai-nilai adat baik dalam hal pemerintahan adat, pengelolaan sumberdaya, dan eksistensi hidup berpindah-pindah. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah AJ cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Karena Abah AJ mempunyai dua orang istri dan diantaranya memiliki keturunan laki-laki maka disinilah titik awal keretakan Kasepuhan terjadi. Kepemimpinan Abah AJ ini berhasil mengembalikan kemurnian (norma) Kasepuhan
di bantu dengan peranan dari sistem kepemimpinannya baik itu
Dukun, Panasehat dan lainnya, masyarakat Kasepuhan selalu mentaati segala ucapan yang telah tergariskan oleh Abah AJ. Sehingga kemurnian norma-norma apa yang terkandung didalam Tatali Paranti Karuhun dapat ditanamkan kembali di Kasepuhan, seperti dalam pemerintahan adat, pengelolaan sumberdaya, dan eksistensi hidup berpindah-pindah. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah AJ cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Seperti yang telah
56
diungkapkan oleh Bapak Dede Mulyana selaku panasehat Abah ASNKasepuhan SRI sebagai berikut: “Pas Abah AJ memimpin Kasepuhan segala aturan adat dikuatkan kembali, dan incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah AJ sangat tegas pas memimpin. Dan Abah AJ mempunyai 2 (dua) orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan.” Awal Perpecahan Kasepuhan Abah AJ mempunyai dua orang Ambu (istri). Pada umumnya para Abah Kasepuhan memiliki lebih dari satu Ambu. Prinsip menikahi lebih dari satu istri disamping untuk memperbanyak keturunan, juga untuk mencari pemimpin (Abah) kelak. Sehingga sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dilarang dalam aturan Kasepuhan. Melaksanakan pernikahan lebih dari satu (buat Abah) yang penting mendapat izin oleh Ambu agar tidak terjadi perselisihan dikemudian hari dan reaksi dari incu-putu menilai bahwa memiliki istri dari satu tidak menjadi masalah yang penting bagaimana bisa berlaku adil. Demikin juga yang dilakukan oleh seorang Abah AJ yang mempunyai dua Ambu (istri). Dari Ambu pertama dikaruniai bapak Uum Sukma Wijaya (kelahiran tahun 1939), Ibu Nyai Sukinten dan Bapak Ujat Sudjati (kelahiran tahun 1945). Serta dari Ambu yang kedua dikaruniai anak laki-laki bernama Bapak Encup/Anom (lahir tahun 1966). Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah AJ yang begitu kuatnya memegang teguh akan aturan-aturan adat terutama dalam pengelolahan sumber daya (pertanian) dan bertepatan dengan program pemerintah BIMAS akan tetapi tidak begitu mudah diterima dalam masyarakat Kasepuhan karena dinilai dalam penanaman padi hanya dapat dilakukan sekali setahun. Hal tersebut sesuai dengan falsafah dalam pengelolahan sumber daya pertanian di Kasepuhan “IBU BUMI, BAPAK LANGIT, TANAH RATU”. Pemerintah melalui Dinas Pertanian di Kabupaten Sukabumi tidak kehilangan akal untuk merealisasikan program pembangunan dibidang pertanian tersebut, sehingga pemerintah menarik anaknya Abah AJ untuk menjadi Kepala Desa di Desa Sirnaresmi dan Bapak Ujat Sudjati menjadi Kepala Desa guna memuluskan program pemerintah nantinya.
57
Pada Tahun 1985 Abah AJ meninggal dunia. Pimpinan Kasepuhan Ciptarasa digantikan oleh Bapak Encup. Pada tahun 1985 Abah Encup memimpin Kasepuhan Ciptarasa karena memang mempunyai persyarakatan pemimpin di Kasepuhan, serta mendapatkan wangsit, hal tersebut juga dapat disetujui (restui) pula oleh Bapak Uum Sukmawijaya dan Bapak Ujat dari Istri pertama Abah AJ. Ketika Kasepuhan dibawah pemerintahan Abah Encup Kasepuhan berpindah tempat karena mendapatkan wangsit di kampung Cipta Gelar dan Kasepuhan pun dinamakan Kasepuhan CGR. Selang beberapa bulan Bapak Encup menjadi dinobatkan menjadi Abah, Bapak Ujat mendapatkan Wangsit (menurut Bapak Ujat dan Saudaranya) mendeklarasikan untuk mendirikan Kasepuhan di Sirnaresmi, maka beliau menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Lokasi Sinaresmi sebagai pusat pemerintahan sebetulnya pernah di gunakan ketika pemerintahan Abah RSD (Abah kedua). Dalam pandangan incu-putu Kasepuhan bahwa tempat yang pernah dipakai seharusnya tidak boleh ditempati kembali (karena akan mendapatkan musibah/kawalat/kabendon) dari para leluhurnya. Menurut Kang Dede Mulyana sebagai Panasehat Abah ASNmanyatakan bahwa Bapak Ujat menjadi Abah waktu itu karena adanya campur tangan pemerintah untuk melanggengkan segala program-program dalam bidang pembangunan pertanian yang ketika pada kepemimpinan Abah AJ kurang begitu diterima. Sehingga mencari celah dari segi kekuasaan. Berikut disajikan dalam Matriks 5.3. Peristiwa-peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah AJ. Matriks 5.3. Peristiwa-peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah AJ No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan 01 Penerapan UndangTahun 1982 (masa 1. Adanya dualisme undang Nomor 5 Tahun Orde baru) terjadi kepemimpinan di 1979 tentang konflik dengan kampung tempat pemerintahan Desa pemerintahan Desa bermukimnya Kasepuhan Cikelat dengan 2. Menghindari konflik kepala Desanya terbuka dengan pihak bernama Usep Desa Cikelat, pusat Nuryana pemerintahan Kasepuhan di pindahkan ke kampung Babakan Ciptarasa 02 Penetapan Babakan Pada Tahun 1982, Ciptarasa menjadi terjadi di kampung Sirnaresmi Sirnaresmi yang disaksikan oleh pihak 58
03.
Intervensi pemerintah melalui Dinas pertanian
03.
Setelah wafatnya Abah AJ pemerintahan Kasepuhan di pegang oleh Abah Encup (anom) Bapak Ujat mengkliem mendapatkan wangsit guna mendirikan kasepuhan baru
04.
pemerintah Pada tahun 1983 guna mengubah sistem pertaninan lokal (penanaman padi 1 kali dalam setahun, akan dijadikan 2 kali dalm setahun dan menggunakan pupuk kimia) Pada tahun 1985, dan Abah Encup ini adalah anak pertama dari Ambu (istri) kedua Pada tahun 1985 Abah UT meresa mendapatkan wangsit dari leluhur untuk mendirikan Kasepuhan/ meneruskan di Kasepuhan Sirnarasa tempat Abah AJ dahulu.
1. Abah AJ menolak dengan tegas karena tidak sesuai dengan tatali paranti karuhun. 2. Anak Abah AJ yang kedua yaitu Bapak Ujat diangkat dan didukung oleh pemerintah menjadi Kepala Desa Sirnaresmi. Kasepuhan berpindah tempat ke kampung Cipta Gelar dan kasepuhan bernama Cipta Gelar karena mendapatkan wangsit 1. Selama tiga tahun (1983-1985) sebelum menajdi Abah, Bapak Ujat menjadi kepala desa Sirnaresmi dan ketika menjadi Abahpun masih menjabat kepala desa yang mengakibatkan terjadi dua peran dalam kepemimpinan antara desa dan kasepuhan 2. Perpecahan tidak dihindarkan di Kasepuhan sehingga incu-putu terbelah akan panutan dan kepatuhan terhadap Abah
Sumber: data primer (diolah) 2012
59
5.1.4. Kepemimpinan Abah UT Pemerintahan Abah UT dimulai pada tahun 1985 sampai dengan 2000, pusat pemerintahan Kasepuhan berlokasi di Kampung Sirnaresmi, dengan jumlah pengikut sebanyak 14.200 jiwa. Abah UT sebelum menjadi Abah beliau adalah seorang Kepala Desa Sinaresmi, yang nantinya sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk mengintervensi Kasepuhan. Dan proses menjadi “Abah” di Kasepuhan Bapak Ujat mendeklarasikan diri menjadi Abah karena merasa mendapatkan wangsit. Seperti yang telah di paparkan pada masa kepemimpinan Abah AJ tentang Bapak Ujat sebelum menjadi Abah adalah seorang kepala desa di Sirnaresmi. Layaknya seorang kepala desa yang berinteraksi langsung dengan pusat kekuasaan baik lokal maupun nasional, baik berupa program-program pertanian, maupun secara politik. Kasepuhan di bawah kepemimpinan Abah UT norma-norma Kasepuhan semakin mengendur yang disebabkan oleh : 1. Pemerintah berhasil memasuki sistem pertanian Kasepuhan untuk mengintroduksi
inovasi-inovasi
pembangunan
melalui
program
“BIMAS” guna mengganti penanaman varietas padi lokal dengan bibit unggul IR 63 dan 64, yang dipanen dua kali dalam satu tahun, serta menggunakan pupuk kimia. 2. Kasepuhan membolehkan pemerintahan desa untuk membuat kartu tanda penduduk (KTP) di wilayah Kasepuhan. Serta adanya pelanggaran norma-norma Kasepuhan yang dilakukan oleh Abah UT sendiri. Hasil kutipan wawancara dengan Uwa Ugis sebagai penasehat Abah dari ketiga Kasepuhan yaitu: Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA, serta di kuatkan dengan hasil wawancara dengan Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi sebagai berikut: “ bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Abah UT adalah: 1. Menikahkan anak keduanya (perempuan bernama irna) dengan orang cina (waktu itu belum beragama Islam dari pihak lakilakinya) 2. Dapat hadiah anjing pekking dari menantu (chinanya) kemudian di pelihara di dalam Imah Gede. 3. Kawin lagi tanpa persetujuan dari istri pertama.” 60
Abah UT mendapatkan sakit (struk) dan ketika sakit tersebut di rawat oleh kakak pertamanya yang bernama Bapak Uum Sukmawidjaya, hingga akhir usianya. Para incu-putu percaya bahwa Abah UT mendapatkan kabendon dari leluhur Kasepuhan. Berikut peristiwa-peristiwa nasional dan lokal ketika kepemimpinan Abah UT tersaji pada Matriks 5.4.
Matriks 5.4. Peristiwa-peristiwa Nasional dan Lokal Kepemimpinan Abah UT No Situasi/Kondisi Ruang/waktu Dampak pada Kasepuhan 01. Terjadi perpecahan Antara Abah Encup Incu-putu terbelah dan harus kasepuhan dan Abah UT pada memilih secara hati nurani Tahun 1985 pada keyakinan dan kepatuhan pada Abah 02. Intervensi Pemerintah Program BIMAS di Penanaman padi selain padi dalam bidang pertanian perbolehkan oleh huma juga padi IR 63 dan 64 Abah UT tahun 1986 ditanam oleh incu-putu Kasepuhan 03. Adanya peran ganda Abah UT memiliki Incu-putu menilai Abah UT antara kepala desa dua peran telah melanggar tatali paranti dengan Kasepuhan kepemimpinan yaitu karuhun karena memiliki kepala desa dan dua peran dalam Abah di kasepuhan kepemimpinan dan Sirnaresmi. akibatnya Abah UT harus Kepemimpinan melepaskan jabatan kepala berperan ganda desanya oleh incu-putu tersebut pada tahun 1985 04. Dampak dari penerapan Tahun 1986 Abah Incu-putu merasa dibatasi Undang-undang desa UT memperbolehkan akan wilayah oleh pihak desa untuk pemerintah dengan membuat KTP pada dilegalkannya KTP incu-putu kasepuhan 05. Menikah lagi tanpa Ambu kemudian Menyalahgunakan Imah persetujuan Ambu meminta cerai gede sebagai pusat sosial pertama Kasepuhan untuk menikahkan anak perempuan dari istri pertamanya dengan orang Cina yang menurut incu-putu tidak boleh karena beda keyakinan Sumber: data primer (diolah) 2012
61
5.1.5. Kepemimpinan Abah ASN Perpecahan Kasepuhan Sirnaresmi Abah UT pada Tahun 2000 meninggal dunia, karena anak pertama bapak Asep Nugraha Bapak Asep Nugraha masih ada di Jakarta terikat kontrak pekerjaan dan Usia masih muda, maka untuk sementara pimpinan Kasepuhan Sirnaresmi di pegang oleh mamang (Paman) Bapak Asep Nugraha yaitu Bapak Uum diangkat menjadi Abah-warnen di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah-warnen ini apabila Anak Pertama yang pada saat sepeninggalnya Abah UT adalah Bapak Asep Nugraha telah memenuhi kesanggupannya (memenuhi syarat) sebagai Abah di Kasepuhan maka kepemimpinan harus diserahkan kepada yang berhak yaitu Bapak Asep Nugraha. Sebagaimana hasil kutipan wawancara dengan Aki Ompi penasehat Abah ASNKasepuhan SRI sebagai berikut: “Pas Usia Bapak Asep tos cekap sareng tos dianggap siap jadi abah di Kasepuhan Sirnaresmi, harita eta taun 2002, abah uum alim ngalepasken kapamimpinan abah-wamena ka bapak asep, tapi saterasna kaluar ti Kasepuhan Sirnaresmi sareng ngabawa paralatan pusaka Kasepuhan teras ngadambel Kasepuhan anyar nudi pasihan ngaran Kasepuhan CMA. Dina tanggal 20 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha dijadiken Abah Kasepuhan Sirnaresmi, ayapun Abah Uum Sukmawijaya ngadambel Kasepuhan CMA sareng ngabawa pusaka Kasepuhan Abah ASNngaikhlaskeun . Menurut Abah ASNbilih aya perselisihan sareng aya goyahna Kasepuhan, teras Abah Uum Sukmawijaya diperbolehkan nyien pusat pemerintahan Kasepuhan anyar nu dipasihan namina Kasepuhan CMA. Artinya : pada Tahun 2002 ketika Usia Bapak Asep telah mencukupi dan dianggap siap menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah Uum tidak melepaskan kepemimpinan Abahwarnennya untuk diserahkan kepada Bapak Asep, tapi justru keluar dari Kasepuhan Sirnaresmi dan membawa peralatan pusaka Kasepuhan serta membuat Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan CMA. Pada tanggal 02 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha di nobatkan sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi dan adapun Abah Uum Sukmawijaya telah membuat Kasepuhan CMA serta membawa segala benda pusaka Kasepuhan Abah ASNmengikhlaskan saja, karena menurut Abah ASNdi takutkan adanya perselisihan dan mengakibatkan goyahnya Kasepuhan, dan Abah Uum Sukmawijaya di perbolehkan membuat pusat pemerintahan Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan Cipya Mulya.”
62
BAB VI KASEPUHAN SRI DI BAWAH KEPEMIMPINAN ABAH ASN
6.1. Kasepuhan SRI Setelah di nobatkan sebagai Abah pada Tahun 2002, Sirnaresmi.
Menurut
Abah
ASNsesuai
dengan
tradisi
di Kasepuhan leluhur
apabila
kepemimpinannya Kasepuhan berganti maka kasepuhan harus berpindah tempat atau ganti nama. Kasepuhan Sirnaresmi tersebut di ganti menjadi KASEPUHAN SRI. Pergantian nama Kasepuhan menjadi Sinar Resmi bukan tanpa alasan Sinar berarti bercahaya dan Resmi selalu bersemi. Jadi arti secara luas adalah Kasepuhan SRI akan terus bercahaya dan harum bersemi sepanjang masa. Lokasi pemerintahan Kasepuhan berpusat di desa Sirnaresmi, dengan jumlah pengikut sebanyak 8.320 Jiwa. Kepemimpinan Abah ASNkehidupan berpindah-pindah kemudian berhenti digantikan dengan hidup menetap Menurut Amil Buhari Perkataan atau petuah Abah ASN setelah mengganti nama Kasepuhan dari Sirnaresmi menjadi Kasepuhan SRI, dan tertanam hingga sekarang di incu-putu (masyarakat) Kasepuhan adalah: “Mangga bae arek make teknologi dan ikut modernisasi, asalkan teu ngaganggu jeung ngarusak kana tatanen/pertanian (ngahuma) anu puguh disakralkeun baheula sampe ayeuna, para karuhun nu heula mah Ninggalnya heunteu ninggalkeun raga” artinya silahkan saja menggunakan teknologi dan mengikuti modernisasi, yang penting tidak mengganggu dan merusak pada pertanian yang sudah disakralkan dari dulu sampai sekarang, karena para pendahulu meninggalnya bukan meninggalkan raga tapi wangsiat” Masa kepemimpinan Abah ASN sekarang ini selalu mengajak incu-putunya menjaga akan keutuhan segala aturan Kasepuhan yang berlaku, serta bila ada permasalahan di selesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, dan pada awal kepemimpinannya selalu menerima masukan dari incu-putu serta lembaga Kasepuhan SRI.
63
Namun apabila menyangkut dengan aturan tentang pertanian Abah ASNtidak kenal kompromi sesuai dengan aturan yang berlaku sejak zaman leluhur/nenek moyang. Menurut Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi dan Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan SRI mengatakan bahwa: “Abah ASNhanya tegas dalam urusan pertanian (huma) saja, akan tetapi kurang transfaran apabila bersentuhan dengan finansial seperti hasil kegiatan Mipit atau seren taun yang biasanya dapat kucuran dana dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan sponsor. Serta dalam menegakan aturan adat Kasepuhan di kalangan keluarga Abah justru yang sering melanggar aturan yang ada, akan tetapi Abah ASNbelum pernah menengurnya. Hal inilah yang membuat incu-putu selalu bertanya pada Dukun atau Kokolot Lembur.” Kemahiran berdiplomasi adalah salah satu bakat yang dimiliki oleh Abah Asep, sehingga sangat berbeda dengan kepemimpinan yang dilakukan oleh para Abah terdahulu. Kepemimpinan sebelum Abah ASNyang umumnya selalu berbenturan dengan pemerintah, tapi pada kepemimpinan Abah ASNini justru pemerintah dijadikannya sebagai mitra dalam bekerja (lihat Gambar 6.1.) Asep dinilai oleh banyak kalangan termasuk incu-putunya sangat baik melakukan pola hubungan dengan masyarakat luar kasepuhan di bandingkan dengan Kasepuhan yang lain.
64
Kasepuhan Pendidikan Pemerintah
Gaya Hidup ElitPolitik Nasional/lokal
Abah
ImahGede Matrealisme
Swasta
Penasehat Abah
LSM
Incu Putu
Pembangkangan
Akademisi
Keterangan
: : Koordinasi : Konflik Internal : Hasil : Turunan : Mempengaruhi ` : Komunikasi
Gambar 6.1. Perubahan Kepemimpinan Abah ASN
Dalam Gambar 6.1. menjelaskan bahwa awal kepemimpinan Abah JSN sampai Abah AJ Kasepuhan selalu berbenturan dan diintervensi oleh pemerintah. Tapi pada periode Abah ASN ini justru pemerintah dijadikan mitra dalam menjalankan sistem pemerintahan Kasepuhan SRI, seperti berhubungan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mempunyai tujuan ekonomi untuk pembuatan girik (sertifikat tanah) buat incu-putu Kasepuhan, meningkatkan hubungan politik dengan para pemimpin nasional maupun lokal, guna meningkatkan pengakuan kekuasaan serta motif ekonomi seperti pada tahun 2009 kedatangan Sutioso untuk meminta restu menjadi calon Presiden Republik
65
Indonesia, dan moment tersebut juga sutioso dinobatkan sebagai kokolot lembur di wilayah Jakarta. Serta bagaimana pemanfaatan pihak swasta untuk kegiatan upacara mipit, dan Seren-taun sebagai pihak sponsor, serta dirangkulnya pihak LSM dan Akademisi untuk meminta pendapat tentang segala yang berkaitan dengan politik kebudayaan. Pada periode kepemimpinan Abah JSN sampai dengan Abah AJ dikenal dengan pola hidup yang berpindah-pindah (nomaden) sesuai dengan wangsit yang didapat dari leluhurnya mereka (Abah). Hidup berpindah bukan hanya diamanatkan oleh wangsit leluhur tapi lebih jauh dari itu adalah agar menambah pengaruh dimana wilayah baru yang ditempati serta memang adanya tekanan politik dari pihak luar Kasepuhan atau konflik. Pada periode kepemimpinan Abah UT dan Abah ASNyang sudah menetap di satu wilayah yaitu kampung Sirnaresmi sehingga nama Kasepuhan disesuaikan dengan nama lokasi yang ditempati. Wilayah Sirnaresmi tersebut dahulunya pernah dipakai pada kepemiminan Abah AJ, kalau melihat aturan leluhur pada tatali paranti karuhun menurut Uwa Ugis hal tersebut tidak di bolehkan, berikut dihasil kutipan wawancara dengan Uwa Ugis : Kalau mengacu pada seluruh aturan para buyut tentang bagaimana etika pemimpin dalam melaksanakan segala kepemimpinannya harus sesuai dengan tatali paranti karuhun, karena didalamnya mengatur bagaimana wangsit itu datang dan yang mengetahui hanya Abah serta Dukun secara supranatural. Amanat Abah JSN yang tentang jangan berebut dalam kekuasaan yang tertuang dalam “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) hal itulah yang muali terkikis mulai kepemimpinan Abah UT bagaimana beliau menjadi Abahnya, serta Abah ASNyang mulai memudarkan segala aturanaturan yang ada kalau Abah ASNmengamalkan Amanat Abah JSN “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah), mungkin tidak mementingkan individu. Adapun tentang Kasepuhan seharusnya tiap kepemimpinan ganti harusnya tempatpun harus pindah beberapa tahun kemudian kembali lagi itu dibolehkan atau mengganti nama Kasepuhan.
66
Pada periode kepemimpinan Abah UT dan Abah ASNyang sudah menetap di satu wilayah yaitu kampung Sirnaresmi sehingga nama kasepuhan disesuaikan dengan nama lokasi yang ditempati. Wilayah Sirnaresmi tersebut dahulunya pernah dipakai pada kepemimpinan Abah AJ, kalau melihat aturan leluhur pada tatali paranti karuhun hal tersebut tidak diperbolehkan. Pada saat sekarang ini yang perubahan begitu cepatnya dari berbagai hal mulai dari teknologi, ilmu pengetahuan serta arus transportasi yang sudah memandai, dan pegunungan halimun yang kini menjadi Taman Nasional Gunung Halimun, semakain sempit gerak Kasepuhan.
6.2. Struktur Kepemimpinan di Kesepuhan Sinar Resmi Pemimpin tertinggi dalam Kasepuhan SRI adalah Abah kemudian peranan (tugas) Abah tersebut dibantu oleh beberapa lembaga Kasepuhan yang telah ada sejak lama hingga saat ini masih ada. (lihat Gambar 6.2.), tentang struktur kepemimpinan di Kasepuhan SRI serta peranannya: TUTUNGGUL(ABAH) ABAH GANDEK
DUKUN
PENGHULU
BENGKOK
PARAJI
PAMAKAYAAN
PAMORO
KEMIT
TUKANG BANGUNAN
NGURUS LEUIT
EMA PANGBERANG
KEBERSIHAN
DUKUN HEWAN
CANOLI
TUKANG PARA
KESENIAN
TUKANG DAPUR
PANDAY
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
KOKOLOT LEMBUR
INCU PUTU Gambar 6.2. Struktur Kepemimpinan Kasepuhan SRI dan Peranan Sumber : Data Sekunder Amil Kasepuhan SRI 2012 67
Penjelasan masing-masing jabatan sebagai berikut : 1. Abah Sebagai pemimpin Kasepuhan SRI sejak dilantik pada tahun 2002 hingga sekarang Kasepuhan dipimpin oleh Abah ASN, dan berperan menjaga eksistensi Kasepuhan serta menjaga akan keutuhan normanorma Kasepuhan dan incu-putunya. 2. Gandek adalah Staf Abah/ajudan dimanapun Abah bebergian Gandek harus mendampingi kemanapun Abah melangkah. Saat ini Gandek di pimpin oleh Bapak Omid. 3. Dukun selain Apabila ada warga yang mendapat musibah jika secara medis tidak menunjukan sakit maka akan di obati secara tradisional oleh seorang dukun. Dan yang paling penting adalah apabila Abah berhalangan ada, maka tugas abah di gantikan oleh dukun, dan kini di pimpin oleh Bapak Unta. 4. Panghulu yang saat ini di pimpin oleh Bapak Ijat berfungsi sebagai pemimpin do‟a setiap kegiatan kasepuhan baik berupa salametan ataupun yang ritual Kasepuhan lainnnya. 5. Bengkong bertugas melaksanakan sunatan terhadap anak-anak dari masyarakat Kasepuhan. Di jabat oleh Aki Anuk 6. Paraji adalah Bidan kasepuhan yang bertugas sebagai bidan apabila diantara warga ada yang akan melahirkan, saat ini Paraji di pimpin oleh Mak Ancah. 7. Pamakayaan adalah seseorang yang mendapat tanggung jawab untuk mengelola huma-serang serta mengatur pelaksanaan berhuma di Kasepuhan, dan adapun Pamakayaan saat ini di pimpin oleh bapak Olis Sunarja. 8. Pamaro yang kini di pimpin oleh Bapak saidi, mengatur keperluan padi huma yang akan di bagi antara incu-putu dengan Abah untuk kepentingan bersama dan akan disimpan di leuit. 9. Kemit di pimpin oleh bapak Sunarja penanggung jawab dalam keamanan lingkungan Kasepuhan.
68
10. Tukang Bangunan bertugas membuat bangunan baik rumah atau yang berkaitan dengan rancang bangun rumah gede di kasepuhan, dan kini di pimpin oleh bapak Marthu. 11. Tukang leuit bertugas sebagai mengelola keluar dan masuknya padi dari leuit (lumbung padi) kini di pimpin oleh bapak Suharman. 12. Ema Bangberang bertugas sebagai menjaga terhadap lingkungan secara fisik Imah Gede (istana kasepuhan), kini di pimpin oleh bapak Martu. 13. Kabersihan bertugas menjaga kebersihan lingkungan Imah Gede, dibawah pimpinan Bapak Junaedi. 14. Dukun Hewan bertugas sebagai memelihara hewan Kasepuhan atau warga yang ingin memiliki hewan harus izin dan sepengetahuan dukun hewan, dan saat ini dipimpin oleh Bapak Jaja. 15. Canoli bertugas sebagai mengatur ketersediaan beras yang ada di Imah Gede di bawah pimpinan Ibu Rumsih. 16. Tukang Para bertugas sebagai mengatur segala makanan buat upacara yang ada di Kasepuhan, dipimpin oleh Bapak Urna. 17. Tukang Dapur di pimpin oleh Mak Omah bertugas sebagai yang mengatur dapur di Imah Gede mulai membuat makanan dan menghidangkannya baik buat Abah dan keluarganya maupun buat tamu dan atau masyarakat bila ada yang kekurangan. 18. Panday bertugas sebagai yang mengatur semua peralatan baik pakarangan maupun peralatan pertanian di buat oleh panday (panday besi) saat ini dipimpin oleh Bapak Asta. 19. Kokolot Lembur dipimpin oleh Bapak Martu bertugas apabila adanya tamu maka diwajibkan melalui kokolot lembur, serta bertanggung jawab terhadap incu-putu yang ada di tiap lembur Kasepuhan.
6.3. Perubahan Kepemimpinan di Kasepuhan SRI Dalam pandangan kepemimpinan Kasepuhan bahwa leuit sangat berperan dalam penjamin keberlangsungan pangan yang ada di Kasepuhan SRI. Maka dari itu pada kepemimpinan terdahulu sistim huma yang diterapkan di Kasepuhan masih begitu kuat dengan segala aturan-aturan leluhur, seperti penanaman padi
69
hanya sekali dalam setahun, serta tidak memakai pupuk kimia. Akan tetapi pada saat sekarang ini telah terjadi pergeseran seperti setelah menanampadi huma kemudian incu-putu dapat diperbolehkan menanam padi IR 63-64 padi pemerintah dan dengan sistem penanamannya di sawah serta mulai mengenal pupuk kimia. Pergeseran tersebut dapat di mengerti mengingat Abah sudah begitu kuat menjalin hubungan dengan pihak pemerintah (dinas Pertanian) yang sangat bertanggung jawab terhadap pembangunan pertanian pada saat sekarang ini. Pemerintah (Dinas Pertanian) selalu membantu dalam menyediaan benih padi serta pupuk hal inilah yang menjadi magnet bagi kepemimpinan Kasepuhan, sehingga menggeser dominasi padi lokal (huma) yang ada di Kasepuhan. Maka fungsi leuit yang biasa menampung padi lokal sangat besar terutama leuit Si-Jimat mulai berkurang karena lahan huma (ladang) sudah dijadikan sawah untuk penanaman padi IR 63-63 yang pada gilirannya nanti akan mengalami perubahan.
6.4. Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Kepemimpinan di Kasepuhan SRI 6.4.1 Pendidikan Formal Masuknya pendidikan sebagai salah satu sumber
kekuasaan justru
membawa perubahan kepemimpinan yang berimplikasi pada peningkatan wawasan, pengetahuan, kemampuan dan jaringan sosial-ekonomi-politik. Peningkatan jenjang pendidikan, khususnya yang mampu ditempuh oleh elit dan pimpinan Kasepuhan SRI telah membawa semangat perubahan dan pemikiran baru dalam pengembangan dan kemajuan masyarakat. Abah ASNketika mengikuti pendidikan Perguruan tinggi (di Bogor) menurut Bapak Dede selaku penasehat Abah menyatakan bahwa : “Ketika melanjutkan pendidikan di Bogor (perguruan tinggi) Bapak Asep (belum menjadi Abah) kemudian tidak sampai lulus di perguruan tinggi tersebut, tetapi pemikiran bapak Asep sangat baik (cerdas) dalam tingkat Kasepuhan dan desa Sirnaresmi. Sehingga beliau banyak menjalin hubungan dengan para politisi Kabupaten Sukabumi (lokal) dan hubungan dalam urusan ekonomi.”
70
Kemudian pendidikan formal di Kasepuhan SRI ini, memberi ruang terhadap masyarakat lebih berinteraksi dengan non-Kasepuhan mulai dari pengalaman ilmu dan pengetahuanya masing-masing dan membawa pada pola pemikiran masyarakat Kasepuhan SRI lebih kritis dan membawa perubahan akan pandangannya terhadap Abah sebagai pemimpin. Sekarang ini masyarakat Kasepuhan SRI menilai bahwa menjalankan Pendidikan formal itu boleh dilakukan sebagaimana Abah dan keluarganya dan saat ini masyarakat Kasepuhan yang sedang menjalankan pendidikan dari usia dini hingga Perguruan Tinggi berjumlah 2445 orang dan jumlah yang sampai lulus pendidikannya 1763 data ini di peroleh dari desa Sinaresmi sebagai pusat pemerintahan Kasepuhan SRI seperti tersaji dalam Matriks 6.1. No. 01. 02. 03. 04. 05.
Matriks 6.1. Data pendidikan Masyarakat Kasepuhan SRI Tingkat Pendidikan Sedang Studi Jumlah lulusan TK 350 199 SD 1.876 1.300 SMP 177 186 SMA 38 69 S1 4 9 2445 1763 Jumlah Total Sumber: Data Skunder diolah, 2012
6.4.2. Interaksi Dengan Masyarakat Luar Kasepuhan Hubungan sosial antara incu-putu (masyarakat) masyarakat luar Kasepuhan sebagai bentuk dari sikap keterbukaan incu-putu Kasepuhan (positive-thanking) terhadap masyarakat luar Kasepuhan yang didasari oleh aturan-aturan yang ada leluhur yang tertuang dalam Tatali Paranti Karuhun dan tidak bisa dijabarkan karena bersifatnya supranatural, atau amanat Abah JSN sebagai landasanya “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah) sehingga masyarakat luar Kasepuhan apabila berkunjung (tamu) seperti bagian dari incu-putu Kasepuhan. Setiap masyarakat luar Kasepuhan yang akan berkunjung ke Kasepuhan ini harus bertemu secara resmi dengan Abah sebagai pemimpin Kasepuhan untuk meminta izin maksud dan tujuannya berkunjung ke Kasepuhan. Pola interaksi antara pemimpin (abah) dengan masyarakat luar Kasepuhan ternyata membawa
71
perubahan bagi individu Abah (pemimpin) maupun keluarga Abah. Perubahanperubahan tersebut seperti ketika kepemimpinan Abah RSD telah menjalin interaksi dengan Gubernur Jawa Barat (Solihin Gautama Prawira) pada tahun 1972 yang membawa perubahan terhadap Kasepuhan-Kasepuhan yang ada di Banten (masih bagian Jawa Barat) dan yang ada di Sukabumi untuk dipersatukan menjadi KESATUAN ADAT BANTEN KIDUL. Perubahan
hal tersebut
membawa interaksi-interaksi yang mengikat antara incu-putu dengan masyarakat luar Kasepuhan. Hubungan antara masyarkat luar Kasepuhan dengan incu-putu Kasepuhan adalah diakibatkan semakin tingginya pendidikan di Kasepuhan seperti yang dialami oleh Abah ASNsendiri serta anak-anaknya. Pendidikan formal dapat meningkatkan pola fikir tiap individu manusia dan membawa pada hubungan interaksi dengan masyarakat luar Kasepuhan. Anak-anak laki-laki Abah ASNyaitu Saragoza Gia, dan Pilka setelah menamatkan pendidikan dari SMA justru bekerja di sebuah perusahaan di Korea Selatan akibat dari hubungan baik antara Abah ASNdengan Mahasiswa Korea yang melaksanakan penelitian di Kasepuhan SRI.
72
BAB VII KELEMBAGAAN ADAT DI KASEPUHAN SRI
7.1. Norma Adat 7.1.1. Tatali Paranti Karuhun Sebagai Sumber Norma Keyakinan incu-putu (masyarakat) terhadap kebendon (sanksi) dalam norma-norma yang telah mengikat disetiap sendi-sendi kehidupan Kasepuhan SRI begitu dijunjung tinggi secara turun temurun yang telah diwariskan oleh para leluhur. Norma (aturan) kasepuhan tersebut tertuang dalam tatali paranti karuhun. Menurut Asep (2000), secara harfiah makna dari Tatali Paranti Karuhun adalah mengikut, mentaati, mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang telah dilakukan oleh leluhur (karuhun). Adapun kata Tatali Paranti berasal dari tali yang dalam pemahaman masyarakat Sunda, seutas tali yang dapat dipergunakan untuk mengikat dan untuk mengukur serta bimbingan dalam hidup. Rikin dalam Asep (2000), makna mendalam dari tatali paranti merupakan berkaitan erat dengan falsafah kehidupan orang Sunda,
yang memaknai kehidupan sebagai
suatu lingkaran; akhir jalan kehidupan manusia itu adalah pulang ka asal. Tali Paranti dalam hal ini adalah suatu bentuk lingkaran yang kedua ujungnya bertemu kembali; dalam lingkaran tersebut penuh dengan simpul-simpul yang merupakan upacara tuntutan hidup yang harus dilakukan tiap orang dari permulaan sampai kembali keasal. Namun menurut Bapak Punta selaku Dukun Kasepuhan SRI seperti dikutip dibawah ini : “Tatali Paranti itu aturan adat nu aya di kasepuhan yang harus ditaati oleh incu-putu yang telah digariskan oleh leluhur serta incu-putu wajib mengetahui, tatali paranti itu menyangkut beberapa aspek seperti tata-cara huma (pertanian ladang kering), kehidupan beragama, serta bermasyarakat semuanya telah tertuang dalam Tatali Paranti. Tatali Paranti dapat dimaknai seperti tetali atau ikat yang selalu dipakai pada kepala incu-putu Kasepuhan dan apabila telah dipakai di kepala antara ujung ikat tersebut bertemu dan diikit kembali melingkar di kepala dan tidak akan ketemu ujungnya lagi. Jadi artinya segala aturan adat Kasepuhan itu harus dijunjung tinggi seperti ikat yang ada di kepala, karena itu adalah aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur.”
73
Dengan demikian barang siapa yang tidak menjalankan dan mentaati Tatali Paranti Karuhun akan dianggap oleh incu-putu sebagai perbuatan yang tercela dan akan mendapatkan Kebendon. Kebendon merupakan sebuah sanksi atau hukuman yang datang dari leluhur (dapat malapetaka) seperti sakit atau gagal panen serta keluarganya kuarng baik (tidak harmonis) dan lain sebagainya. Kabendon ini sifatnya magis atau supranatural, oleh karena itu incu-putu yang mendapatkan kabendon (hukuman) ini biasanya dapat dilihat dari ciri-ciri yang tidak pernah keluar rumah atau mendadak aneh dalam perilaku keseharian. Dalam kehidupan kasepuhan kabendon yang sifatnya supranatural itu sebagai hukuman, dan hukuman secara nyatanya itu berupa teguran saja, tidak adanya hukuman secara nyata. Menurut Merina et al. (2008), seluruh masyarakat kesatuan Adat Banten Kidul yang di dalamnya bernaung seluruh KasepuhanKasepuhan dalam penegakan hukumannya hanya berupa kabendon yang bersifat magis, serta tidak adanya ketegasan secara nyata. Aturan-aturan Kasepuhan SRI pada prinsipnya bersifat tidak tertulis akan tetapi telah mengikat pada setiap individu-individu incu-putu (masyarakat) Kasepuhan SRI di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, yang tertuang dalam Tatali paranti karuhun. Tatali paranti karuhun ini akan dijabarkan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
7.1.2. Ibu Bumi, Babak Langit, Tanah Ratu IBU BUMI, BABAK LANGIT, TANAH RATU, artinya adalah IBU BUMI: Bumi itu diibaratkan seperti seorang ibu, BAPAK LANGIT: langit dan menurut tafsiran masyarakat Kasepuhan seperti Laki-laki yang memberikan kesuburan terhadap Ibu, dan TANAH RATU: Tanah (Bumi) tersebut harus di berlakukan seperti seorang Ratu. Maksudnya adalah manusia harus tunduk terhadap alam semesta, karena manusia sangat tergantung terhadap alam seperti anak yang tergantung pada ibunya, dari alam manusia biasa hidup, membangun rumah, mencari makan dan lain sebagainya. Aturan Ibu Bumi, Bapak Langit Tanah Ratu, dipakai dalam pengelolahan sumber daya alam khususnya bidang pertanian (huma). Pertanian sebagai urat nadi di dalam kehidupan Kasepuhan, sehingga incu-putu Kasepuhan
74
mengenal penanaman padi (huma) hanya melakukannya sekali dalam setahun mengacu pada Ibu Bumi. Menurut kepercayaannya incu-putu Kasepuhan bahwa seorang ibu hanya melahirkan satu kali dalam setahun, tidak akan melahirkan dua kali atau lebih, karena apabila melahirkan lebih dari satu dalam setahun akan merusak rahim dari Ibu tersebut, begitupun juga dalam penanaman padi huma. Maka perlakukan alam (Ibu) tersebut seperti seorang ratu yang harus dijaga oleh incu-putu Kasepuhan.
7.1.3. Tilu Sapamilu, Dua Sakarupa, Nu Hiji Eta-Eta Keneh
Tekad
Tilu Sapamilu
Dua Sakarupa
Nu Hiji eta-eta Keneh
Ucap
Lampah
Buhun
Nagara
Syara
Ruh
Raga
Pakean
Ruh
Raga
Pakean
Raga
Pakean
Ruh
Ruh
Pakean
Raga
Ruh
Raga
Pakean
Gambar 7.1. landasan filosofis kehidupan kasepuhan dalam tatali Paranti karuhun
Tilu-sapanulu Tekad
Ucap
lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku).
75
Buhun Ruh
Nagara Raga
Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama)
Papakean (nyawa, raga, pakean)
Dua Saka Rupa; Buhun/mukaha, Nagara, Syara (aturan adat, pemerintah dan agama).
Nu Hiji Eta Keneh; Nyawa/ruh, Raga, Pakean. Manusia harus memiliki ketiga-tiganya sehingga memiliki kamanusiaan. Jika tidak akan disebut manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat, manusia tanpa raga berarti makluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa pakaian diibaratkan makluk hidup yang telanjang (hewan).
Tilu sapamulu, (tiga dalam satu artian yang sama atau satu wajah), dua sakarupa (dua yang satu rupa), nu- hiji eta-eta keneh (dan satu akan kmbali ke satunya juga/ pada tilu-sapamilu). Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat
berlangsung dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga
syarat, yaitu : 1. Tekad, ucap dan lampah, (niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan) harus selaras dan dapat dipertanggung jawabkan kepada
incu-putu (keturunan warga Kasepuhan) dan sesepuh
(para orang tua dan nenek moyang) 2. Jiwa, raga dan perilaku, harus selaras dan berakhlak 3. Kepercayaan adat sara, nagara, dan mokaha harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu dengan lainnya. Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan di dalam menjalankan hidup, maka harus mempunyai pedoman didalam hidupnya (hukum) sebagai pedoman agar tidak salah langkah atau dalam bahasa incu-putu (masyarakat) Kasepuhan “Patokan Nyangkulu ka hukum” yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum; hukum kedudukannya diatas segala-galanya sehingga hukum harus asli baik hukum Agama maupun hukum Adat, dan ditaati oleh masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat
76
oleh pencipta manusia. Serta “Nunjang ka Nagara” norma yang harus dipatuhi oleh anggota komunitas adalah ketundukan pada peraturan negara (Hukum Indonesia), dan didalam masyarakat Kasepuhan dikenal dengan “Mupakat jeng balarea” apabila didalam melaksanakan segala sesuatu di awali dengan musyawarah untuk mufakat, termasuk terdapat masalah apabila terjadi di kalangan masyarakat adat (incu-putu) diselesaikan dengan musyawarah. Kandungan dalam tatali paranti karuhun ini selalu di laksanakan dengan baik oleh incu-putu Kasepuhan SRI dalam berbagai bidang kehidupan keseharian seperti ketika mencari nafkah (bertani-huma) sebagai urat nadi Kasepuhan, pembuatan rumah sampai dengan hubungan dengan masyarakat luar Kasepuhan. Karena pengertian yang menurut incu-putu Kasepuhan bahwa tatali paranti karuhun sangat luas cakupannya, keyakinan tersebut seperti di ucapkan oleh Abah ASN: ”Setiap incu-putu wajib mentaati segala aturan yang ada di tatali paranti karuhun, karena merupakan aturan yang dibuat oleh para leluhur (adat-syara-nagara serta mukoha). Patokan hukum yang ada di tatali paranti karuhun tersebut agar selaras dengan hukum Agama (syara) dan menghargai pada hukum Negara (nagara) sehingga terjadi keselarasan dalam penegakan hukum (tidak terjadi tumpang tindih). Serta jangan sampai melanggarnya karena pasti akan mendapatkan kabendon.” Kabendon inilah yang menjadi pagar bagi incu-putu agar jangan sampai keluar jalur hukum seperti yang telah di gariskan oleh tatali paranti karuhun yang telah di wariskan oleh para leluhur Kasepuhan SRI sampai dengan saat ini. Kabendon merupakan sanksi yang tidak tertulis, namun incu-putu meyakini bahwa kabendon tersebut ada dan datang secara tiba-tiba bagi mereka (incu-putu) yang melanggar norma-norma Kasepuhan.
77
7.2. Kelembagaan Adat 7.2.1. Leuit ; Sebagai Ketahanan Pangan Pada umumnya setiap incu-putu Kasepuhan memiliki leuit (lumbung) sebagai tempat penyimpanan padi huma, juga sebagai penyediaan pangan keluarga untuk persediaan pangan di masa yang akan datang. Selain leuit individu juga terdapat lumbung umum milik semua warga Kasepuhan. Lumbung umum itu biasa pula disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik. Lumbung umum itu merupakan cadangan pangan dikalangan warga Kasepuhan pada saat paceklik (Adimihardja, 1992). Kasepuhan SRI mempunyai leuit (lumbung) komunal yang berada di Kampung Gede (pusat kegiatan sosial dan keagamaan semua anggota Kasepuhan). Menurut Abah ASNLeuit Si-Jimat tersebut bisa menampung gabah yang telah dipanen sekitar 7.850 pocong/beungkeut (ikat), dan cerita turun temurun nama Leuit komunal tersebut “leuit-paceklik“ namun ketika musim paceklik kemudian tiba-tiba pada malam harinya terdapat gabah yang di beungkeut yang cukup untuk keperluan incu-putu Kasepuhan dan bersifat magis maka kemudian di ganti nama leuit-Paceklik menjadi Leuit Si Jimat. Leuit Si-Jimat berfungsi sebagai pusat pangan (cadangan pangan) Kasepuhan SRI apabila pada tahun-tahun mendatang adanya musim paceklik dimana padi (huma) mengalami kegagalan dalam panen. Menurut Uwa Ugis Leuit Si-Jimat tersebut selain menyedia pangan, juga dapat dipergunakan sebagai peminjaman incu-putu Kasepuhan SRI apabila dalam rumah tangganya kekurangan padi untuk keperluan makan, dan harus dibayar berupa padu lagi setelah panen tiba. Setiap peminjam dari Leuit Si-Jimat dicatat oleh Juru Amil (sekretaris) Kasepuhan SRI, sebagai bahan laporan pada saat upacara serah tarima ponggokan (upacara pengakuan kesalahan tiap incu-putu, dan memohon tobat pada sang pencipta; pada acara tersebut di saksikan oleh Abah, Dukun dan dilaksanakan di Imah Gede sebelum pelaksanaan Seren-taun). Peminjaman padi itu tidak hanya terbuka bagi warga Kasepuhan, tetapi juga terbuka bagi warga masyarakat desa Sirnaresmi yang tinggal di sekitar Kampung Gede Kasepuhan SRI.
78
7.2.2. Imah Gede: Pusat Politik Kepemimpinan Kasepuhan SRI Imah Gede sebagai pusat interaksi antara incu-putu dengan Abah serta tamu yang datang dari luar Kasepuhan. Imah Gede ini adalah sebagai Istana Kasepuhan yang dibuat berdasarkan gotong royong oleh incu-putu Kasepuhan. Serta dalam kegiatan gotong-royong tersebut incu-putu memberikan bantuan sesuai dengan kemampuanya seperti ada yang memberikan kayu, ijuk (untuk atap) dan lain sebagainya. Imah Gede ini adalah milik Kasepuhan atau incu-putu untuk kepentingan incu-putu. Sebagai pusat interaksi ini adalah dimaksudkan untuk pusat kegiatan keagamaan, upacara adat, selametan serta musyawarah Kasepuhan sehingga Imah Gede ini sebagai pusat komunikasi Kasepuhan, dan boleh di tempati Abah dan keluarganya serta mentaati segala aturan yang ada di Imah Gede, sebagaimana yang tertuang dalam tatali paranti karuhun. Sebagai pusat komunikasi dan interaksi Kasepuhan, maka keberadaan Imah Gede juga untuk menerima tamu-tamu penting yang datang dari luar Kasepuhan. Beberapa tamu tersebut diantaranya: akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta tokoh politik yang sengaja datang untuk berbagai keperluan. Para tokoh politik (elit nasional maupun lokal) yang datang ke Abah dan senantiasa ditempatkan di Imah Gede menurut beberapa sumber yang berhasil di himpun kebanyakan untuk menarik simpati dari incu-putu Kasepuhan serta tidak jarang dari para elit politik lokal tersebut meminta pada Abah untuk “keberkahan secara magis” seperti dapat dimudahkan dalam memimpin suatu wilayah dan lain sebagainya. Maka keberadaan Imah Gede mulai berubah fungsi yang pada awalnya sebagai pusat segala aktivitas Kasepuhan secara komunal, pada ssekarang ini berubah menjadi kepentingan individu Abah.
79
7.3. Perubahan Kepemimpinan dalam Menjaga Norma Adat Dari pemetaan tiap kepemimpinan Abah tersebut maka dapat dilihat pergeseran nilai kepatuhan terhadap norma-norma Kasepuhan berikut terlihat dalam Matrik 7.1.
Matriks 7.1. Pergeseran Norma Kasepuhan Abah Arjo
Ujat
Asep
Norma kasepuhan 1 2 Menjaga dan Mengembalikan memurnikan nilaimempertahankan aturan nilai adat yang telah di wariskan dari leluhur Menjaga dan Telah mengaburkan akan niat, ucap mempertahankan aturan lampah yang telah di wariskan dari leluhur balas budi dengan pemerintah 1. Menjaga dan Telah mengaburkan akan niat, ucap mempertahankan aturan lampah yang telah di wariskan dari leluhur - tidak tegas dalam penerapan sanksi
Sumber : data Primer (diolah), 2012 Keterangan : 1. Norma Ibu Bumi bapak langit, tanah ratu 2. Tilu sapamilu dua sakarupa nu hiji eta-eta keneh Dari analisis Matriks 7.1. tersebut bahwa kepemimpinan Abah AJ memurnikan kembali norma-norma Kasepuhan yang terdapat di tilu sapamilu pada masa kepemimpinan sebelumnya yang banyak penekanan dari pihak luar Kasepuhan (masa kepemimpinan Abah RSD). Dimasa Abah UT, norma-norma Kasepuhan adat kemudian mulai semakin mengendur. Ini tidaklah mengherankan karena sebelum memperoleh gelar Abah di Kasepuhan, peran sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai kekuatan supra lokal yang ditolak oleh masyarakat yakni sebagai Kepala Desa pernah Ia duduki selama dua tahun. Abah UT memagang dua peran penting kepemimpinan, baik sebagai Abah di Kasepuhan dan Kepala Desa. Akibat tumpang tindih fungsi tugas dan tanggung jawab, maka banyak pelanggaran norma-norma adat Kasepuhan yang juga dilanggar oleh Abah, antara lain melakukan poligami tanpa sepengetahuan istri
80
pertama, selain juga mulai memperluas pintu bagi inovasi pertanian yang di amanatkan oleh pemerintah. Kepemimpinan Abah ASN norma-norma yang terdapat di tilu-sapamilu semakin mengendur seperti kehidupan berpindah-pindah kemudian berhenti digantikan dengan hidup menetap. Kepemimpinan Abah ASNkemurnian nilai-nilai Kasepuhan kemudian semakin melemah yang berdampak pada kelembagaan Kasepuhan.
7.3. Pergeseran Kelembagaan di Kasepuhan Kelembagaan Kasepuhan yang di buat oleh para leluhur untuk ditaati baik oleh Abah maupun oleh incu-putunya, namun Abah juga dapat mempengaruhi dan menggeser kelembagaan seiring berkembangnya waktu terutama fungsi dan nilai dari sebuah lembaga adat yang ada di Kasepuhan. Abah memiliki sumber kekuasaan dalam memimpin Kasepuhan, sehingga masyarakat (incu-putu) patuh pada Abah, tetapi apabila salah satu sumber kekuasaan tersebut hilang maka incuputu akan meninggalkannya kepatuhan pada Abah, karena Abah dinilai sudah melanggar tatali paranti karuhun sebagai falsafah kehidupan Kasepuhan, lihat Gambar 7.2.
Kepemimpinan
Kepatuhan Masyarakat
Kelembagaan Kasepuhan
Sumber kekuasaan Keterangan : Mempengaruhi Situasi
Gambar 7.2. Perubahan Kelembagaan pada tiap Kepemimpinan Kasepuhan Tatali Paranti Karuhun sebagai falsafah hidup masyarakat Kasepuhan tidak mempunyai sanksi yang tegas secara langsung apabila ada incu-putu yang
81
melanggar hanya berupa teguran. Menurut Marlina (2007) bahwa dalam masyarakat Kasepuhan melanggar norma hanya mendapatkan sanksi berupa teguran oleh pemimpin (abah) hal tersebut berlaku di seluruh Kasepuhan yang tergabung dalam Kasepuhan Adat Banten Kidul. Kasepuhan SRI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kesatuan adat Banten Kidul sehingga segala normanorma yang ada tidaklah berbeda.
82
BAB VIII KEPATUHAN MASYARAKAT ADAT TERHADAP NORMA ADAT KASEPUHAN 8.1. Kepatuhan Incu-putu Terhadap Norma Adat Kasepuhan Menyangkut kesetiaan dapat dilihat dari perilaku dan sikap incu-putu terhadap norma maupun pada pemimpin, sebagaimana tertuang pada: IBU BUMI, BABAK LANGIT, TANAH RATU, yang selalu dijalankan pada setiap kehidupan baik yang menyangkut pertanian maupun dalam kehidupan keseharian, bagaimana incu-putu kasepuhan menjaga akan segala aturan-aturan tersebut serta tilusapamilu, dua sakarupa, nu hiji eta-eta keneh yang selalu di junjung tinggi. Begitupun juga sebaliknya seorang Abah untuk mendapat kesetiaan atau ketaatan dari incu-putu (masyarakat), maka pemimpin harus menjaga segala norma-norma adat : 1. Ibu Bumi, Bapak Langit, Tanah Ratu 2. Tilu-sapamilu Dua-sakarupa, Nu hiji eta-eta keneh 3. Menjaga Pancar pangawinan 4. Amanat Abah JSN Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana”
(jangan
bertinggi-tinggi
berdiri,
dan
jangan
saling
mendahului/berebut dalam kekuasaan) 5. Menjaga Imah-gede Nilai kesetiaan incu-putu terhadap pemimpinnya ini dapat digambarkan bagaimana kesetiaan Abah terhadap tatali paranti karuhun yang selalu diamalkan oleh setiap Abah; karena menjadi seorang Abah selain dari faktor keturunan, juga bagaimana mengerti mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tatali paranti karuhun. Nilai kesetiaan tentu tidak dipaksakan, tapi berasal dari hati yang paling dalam (keyakinan) tiap individu incu-putu terhadap pemimpinnya. Untuk mendapat kesetiaan seperti ini maka orang yang disetiakan harus memiliki sifatsifat mulia sebagaimana tertuang dalam Tatali Paranti Karuhun, juga harus bersih dari perbuatan ternoda, mampu menghilangkan hal-hal yang kotor, mampu mengayomi incu-putu, berprilaku baik, lemah-lembut dalam perkataannya dan berwibawa.
83
Bentuk kesetiaan masyarakat terhadap pemimpinnya dapat dilihat dari ketaatan masyarakat dalam menjalankan aturan-aturan Kasepuhan (Tatali Paranti Karuhun) dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Abah, dan ada perasaan malu dari setiap incu-putu apabila melanggar segala aturan adat Kasepuhan yang menyimpang dan takut terkena kabendon. Kepatuhan atau kesetiaan incu-putu (masyarakat) terhadap norma-norma adat Kasepuhan serta pemimpinnya akan terus terjaga selama pemimpin tidak menyimpang dari Tatali Paranti Karuhun. Hal ini terbukti masih kuatnya dengan menjalankan keputusan Abah sebagai pemimpin di Kasepuhan. Serta tercermin dalam membangun rumah, harus meminta izin kepada Abah terlebih dahulu, serta masih berbentuk rumah panggung. Pembangunan rumah panggung tersebut dipercaya oleh incu-putu bahwa mereka sudah melaksanakan prinsip tilu sapanulu, yang mana siku penyangga rumah berbentuk segitiga. 8.2. Dampak Perubahan Kepemimpinan Terhadap Kehidupan Incu-Putu 8.2.1. Berubahnya Gaya Hidup Dampak dari masuknya pendidikan dalam legitimasi kekuasaan Abah ASNadalah arus modernisasi telah masuk dalam lingkungan Kasepuhan melalui teknologi yang mempengaruhi gaya hidup yang dilakukan oleh para elit Kasepuhan datang dari kalangan keluarga Abah yang sudah tidak memakai pakaian adat Kasepuhan kecuali ketika upacara adat seren-taun dan lebih memilih berpakaian modern, anak-anak Abah sangat minim mendapatkan pengetahuan tentang pertanian urat nadinya masyarakat Kasepuhan, dan sampai sekarang ini tidak melaksanakan pola hidup bertani (huma) sebagaimana yang telah di amanatkan oleh para leluhurnya, serta lebih memilih keluar dari Kasepuhan setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMA dan kuliah guna mendapatkan pengalaman hidup. Perubahan gaya hidup dari aras teknologi adalah kepemilikan 1 (satu) buah mobil, motor serta yang paling mencolok adalah kepemilikan Hand Phone (HP) yang diawali dikalangan keluarganya, kemudian di tirukan oleh incu-putu sebagai tumbuhnya nilai-nilai materialisme kebendaan yang pantang dimiliki oleh pemimpin adat, saat kepemimpinan adat Abah ASNsudah tidak berlaku lagi.
84
“Previlage” sang “Abah” lebih kepada kehidupan modernisme. Menurut Bapak Punta selaku Dukun Kasepuhan di Sinar Resmi bahwa : “Dalam Tatali paranti karuhun semua yang dilakukan oleh Abah dengan keluarganya tersebut jelas melanggar norma-norma yang ada yang akan membawa hal buruk bagi eksistensi Kasepuhan itu sendiri. Abah juga mulai berpolitik di luar pemerintahan Kasepuhan, dan berelasi dengan tokoh-tokoh elit politik di pusat. Kepemimpinan Abah juga dipertanyakan ketika terjadi pengalihan bantuan pupuk sebanyak 40 ton kepada “incu putunya”, kemudian dijual kembali untuk alasan kepemilikan kendaraan roda empat milik Abah dan keluarganya.” Konflik internal kepemimpinan juga tidak dapat dihindari. Kebebasan cara berfikir Abah ASNmisalnya terlihat saat dukun berdiskusi dengan Abah mengenai permasalahan masyarakat yang ada yang melanggar adat dan meminta ketegasan Abah, namun jawaban abah “engke oge karaseun kumanehna” (nanti juga akan mendapatkan musibah oleh yang melanggar). Pernyataan tersebut dinilai sangat wajar karena yang melanggar norma-norma Kasepuhan diawali dari kalangan keluarganya sendiri, Selain itu juga Abah yang cenderung hibridisasi antara leizzer feire dan demokratis ini kemudian tidak lagi memaksakan pengelolaan lahan pertanian digarap hanya sekali dalam setahun. Karena sang Abah lebih sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk memudahkan introduksi pertanian. 8.2.2. Memudarnya Fungsi Leuit, Imah Gede dan Tumbuhnya Ekonomi Uang Fungsi Leuit yang senantiasa menjadi pusat ketahanan pangan Kasepuhan mengalami pergeseran sejalan dengan dapat diperjual belikannya padi huma secara berkelanjutan sehingga masuknya ekonomi pasar yang nantinya incu-putu ketergantungan terhadap ekonomi modern. Lunturnya nilai leuit sebagai pusat ketahanan pangan dan lambang kemakmuran dalam individu incu-putu Kasepuhan. Masuknya budaya ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan SRI, menggeser nilai-nilai ikatan sosial yang di dasarkan pada bentuk pertukaran sosial maupun akibat kontak dan komunikasi langsung dengan masyarakat umum (non Kasepuhan) dengan beragam pengaruh akulturasi budaya yang terus terjadi hingga kini. (termasuk didalamnya adalah para elit dan pimpinan di Kasepuhan
85
Sinar `Resmi di Kasepuhan) yang lebih kompleks dan telah mulai mengenal budaya modernitas. Imah Gede yang seharusnya menjadi simbol Kasepuhan kini dijadikan sebagai
ajang komersialisasi
untuk
menghasilkan ekonomi
uang yang
dikendalikan oleh Ambu (gelar Istri Abah), seperti adanya masyarakat luar Kasepuhan yang mengunjungi bila menempati Imah Gede maka terjadi transaksi guna menempati Imah Gede tersebut. Serta padi sebagai hasil panen (dalam bentuk gabah kering) apabila masyarakat luar Kasepuhan yang menginginkannya diperbolehkan dengan catatan transaksi yang baik, seperti yang diungkapkan oleh Ambu “teu nanaon nu penting mah sami-sami ikhlas keneh bae” (tidak apa-apa yang penting sama-sama ikhlas saja). Perubahan Imah Gede sebagai pusat interaksi sosial Kasepuhan dan keagamaan serta padi sebagai lambang dari IBU BUMI yang harus di jaga tapi kini telah di komersialisasi oleh Ambu sebagai individu. Perubahan nilai tersebut menurut Parson (1986) dalam Nasikun (1992), sebagai pergeseran nilai-nilai sosial budaya, individu dimana orang perorangan memiliki sistem kepribadian, persepsi dan sikap.
86
BAB IX PERANAN PEMIMPIN DALAM PEMELIHARAAN KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP NORMA ADAT
9.1.
Peranan Pemimpin Dalam Masyarakat Adat Kasepuhan Pemimpin (Abah) didalam masyarakat Kasepuhan merupakan orang yang
sangat dihormati, disegani serta berpengaruh yang luar biasa terhadap masyarakat (incu-putu) karena menurut kepercayaan incu-putu Kasepuhan bahwa segala ucapan, perbuatannya adalah nasehat atau perintah yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh incu-putu hal tersebut tercipta karena Abah merupakan representasi dari para leluhur yang telah membuat segala aturan Kasepuhan. Serta diturunkannya kepada Abah hingga saat ini. Maka terdapat faktor keturunan abah tersebut dapat berkuasa dan memerintah di Kasepuhan hingga akhir hayatnya, disamping itu Abah juga memiliki wangsit yang dipercaya adalah sebagai ilham yang datang dari para leluhur. Wangsit tersebut seperti bagaimana pemindahan Kasepuhan dari satu tempat ketempat yang berikutnya yang dinilai sesuai untuk ditempati, atau juga dalam pengelolahan/pemanfaatan sumberdaya alam. Abah atau pemimpin harus berpedoman atau taat menjalankan syariat agama, bertanggung jawab (mengurus dan mengayomi incu-putunya), bersifat sosial (suka memberikan bantuan), tidak ingkar janji, mencegah terjadinya malapetaka, adil karena Abah dinilai mempunyai pengetahuan yang lebih oleh incu-putunya.
tekad-ucap-lampah
yang
terkandung
dalam
tilu-sapamilu
merupakan kewajiban mutlak bagi seorang pemimpin (Abah) untuk selalu di junjung dalam setiap kehidupannya. Seorang Abah (pemimpin) Kasepuhan harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat yang dipimpinnya (incu-putu), baik dalam menjalankan agama, bertindak maupun berperilaku. Abah dalam mengadakan hubungan dengan incuputu atau masyarakat luar Kasepuhan juga harus memakai pedoman-pedoman yang terkandung dalam tatali paranti karuhun serta amanat Abah JSN Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn, amanat tersebut bagaimana Abah (pemimpin) serta incu-putu harus menjaga
87
hubungan dengan masyarakat luar Kasepuhan, dan bagaimana menjaga ucapan (omongan) sehingga pada hubungan sosial tersebut tidak ada yang sakit hati, apalagi hubungan dengan incu-putunya. Kepemimpinan Kasepuhan yang telah sesuai dengan Tatali Paranti Karuhun yang sejalan dengan konsep kepemimpinan Jawa Menurut Anderson (dalam Kartodiredjo, 1984) bahwa konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep dalam pewayangan: sakti-mandraguna, muktiwibawa. Mandraguna menunjukan pada kecakapan, kemampuan ataupun keterampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah- senjata, kesenian, pengetahuan dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestige) yang membawa pengaruh besar (Kartodiredjo,1984). Maka seorang pemimpin juga harus mempunyai sifat ing ngarso sung tulada, seorang pemimpin harus mampu bersikap sehingga perilakunya dapat menjadikan dirinya sebagai panutan bagi orang-orang yang dipimpinnya, juga mempunyai sifat ing madya mangun karsa. Seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dipimpinnya, serta “tut wuri handayani”, seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab atau dalam bahasa tatali paranti karuhun yang tertuang dalam tilu-sapamilu adalah tekad-ucap lampah. 9.2. Peranan Pemimpin dalam Pemeliharaan Sumber Daya Alam Sumberdaya alam bagi masyarakat kasepuhan merupakan hal yang sangat vital karena itu menjaga guna masa depan anak-anak mereka (generasi penerus) merupakan hal yang sangat berharga. Dalam masyarakat Kasepuhan sumberdaya yang sangat penting tersebut adalam hutan atau dalam masyarakat Kasepuhan disebut dengan leuweung. Menurut Adimihardja (1992), bahwa masyarakat Kasepuhan dikenal dengan aturan-aturan didalam pengelolahan hutan yang sudah di wariskan dari leluhur dan harus dijaga kelestariannya. Demikian
sangat
vitalnya
fungsi
Leuweung
terhadap
kehidupan
masyarakat kasepuhan maka didalam pemenfaatan hutan (leuweung) tersebut incu-putu membagai fungsi hutan menjadi tiga zonasi hutan yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. (1) Leuweung-titipan atau 88
dapat disebut dengan leuweung karamat atau leuweung kolot harus dijaga tidak boleh dirusak (ditebang) pohonnya karena terdapat sumber mata air sebagai kelangsungan hidup incu-putu Kasepuhan atau Leuweung sirah cai dan pusat keseimbangan ekosistem, (2) Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia (incu-putu) atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan atau hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya. Serta yang terakhir adalah Leuweung Sampalan (garapan) adalah jenis hutan yang dapat dipergunakan (dieksploitasi) oleh incu-putu Kasepuhan. Leuweung Sampalan tersebut dapat dijadikan (dimanfaatkan) sebagai tempat berladang (huma),
berkebun,
talun,
untuk
menggembala
hewan
peliharaan
serta
pengambilan kayunya untuk membuat rumah. Namun kesemuanya itu ada aturan yang mengikat seperti didalam pembukaan hutan garapan (leuwueng sampalan) untuk keperluan apapun harus mengadakan ritual selametan untuk meminta izin agar diberkahi oleh para leluhur. Incu-putu Kasepuhan memiliki indigenous knowledge, sehingga untuk menjaga keseimbangan alam mereka melakukannya dengan upaya pengawasan dan pelestarian agar hutan agar tidak rusak. Sesuai dengan keyakinan yang telah ada dalam Tatali Paranti Karuhun, seperti yang telah dikemukakan oleh Abah ASN“gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, ulah ngaruksak bangsa jeung nagara”. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa adanya aturan adat yang menguatkan agar leuweung (hutan) jangan sampai disalahgunakan apalagi di ekspoitasi besar-besaran untuk kepentingan individu sangat dilarang, dan apabila membutuhkan kayu atau lahan dalam hutan untuk kepentingan incuputu ada aturannya, karena aturan itu dibuat untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar. Berdasarkan hal tersebut maka Abah mempunyai peranan penting guna menjaga serta melestaraikan leweung (hutan) untuk kepentingan incu-putu dimasa yang akan datang, yang sesuai dengan wangsit dari leluhur. Amanat tersebut harus dijalankan dan mengarahkan pada incu-putu untuk memanfaatkan hutan sebagaimana mestinya.
89
Kawasan hutan (hutan garapan) tersebut dapat dimanfaatkan oleh incuputu kapan saja dan berapa luasan lahan tergantung kemampuan tenaga yang dimilikinya, terutama untuk berladang (huma). Adapun dalam penggarapan huma tersebut terdapat huma-serang yaitu huma bersama untuk kepentingan Kasepuhan. Pada saat ini Abah dalam menjaga hutan untuk kepentingan Kasepuhan adalah hanya sebatas dengan aturan adat Tatali Paranti Karuhun, dan dari ketiga Kasepuhan juga telah mendatangi pihak pemerintah Kabupaten Sukabumi agar mengeluarkan peraturan daerah tentang perlindungan tanah ulayat tersebut yang sampai dengan saat ini belum ada titik temu. Berbeda dengan masyarakat Adat Baduy yang ada di Banten, oleh pemerintah Kabupaten Lebak yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 (Bab 1 Pasal 1) seperti berikut penjelasannya: “Bahwa Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Desa Kanekes ditetapkan sebagai tanah hak ulayat yang berarti kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Peraturan tersebut cukup menguatkan kepemilikan tanah ulayat Baduy dan merupakan salah satu solusi dalam penyelesaian konflik, di samping pemagaran dan pematokan batas tanah ulayat Baduy yang tidak permanen oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Upaya masyarakat adat Baduy dalam penyelesaian konflik adalah membuat perjanjian dengan warga luar Baduy untuk tidak mengulangi penyerobotan lagi. Perjanjian ini ditandatangani oleh pihak yang terlibat konflik, serta pelaporan kepada pihak kepolisian.” Kasepuhan dinilai sangat penting untuk membuat pengakuan atas hak tanah ulayat seperti masyarakat adat Baduy, agar tidak terjadi kembali konflikkonflik tentang tanah adat dengan pemerintah seperti dahulu serta penyerobotan oleh masyarakat luar Kasepuhan yang lebih mengetahui tentang sertifikasi yang nantinya mengklaim kepemilikan beberapa lahan garapan yang dimiliki oleh adat Kasepuhan. Sebagai pembanding adalah hasil penelitian dari Sardi (2010), yang terjadi di orang rimba (Suku Anak Dalam) menunjukan bahwa pola pemanfaatan sumberdaya hutan di tingkat orang rimba dan warga desa sudah mengalami
90
pergeseran, dari pemanfaatan hutan yang berbasis akses pemanfaatan hutan yang berbasis akses penguasaan. Dalam hal ini, pergeseran pola pemanfaatan dan akses penguasaan dipandang sebagai produk situasi yang diciptakan oleh kelompok yang mempersempit akses kelompok sub ordinat terhadap sumberdaya hutan. Uraian diatas tentang peranan Abah didalam pemeliharaan sumberdaya alamnya menurut Peneliti berpendapat bahwa Abah harus melindungi akses pemanfaatan sumberdaya alam sebagai komponen penting di dalam kehidupan di Kasepuhan SRI, serta pada dasarnya incu-putu membutuhkan legitimasi (berupa perda atau regulasi yang menyangkut hak-hak tanah ulayat) dari Pemerintah. Karena legitimasi tersebut nantinya agar dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan incu-putu Kasepuhan serta manfaatnya akan dirasakan oleh masyarakat yang ada di luar Kasepuhan.
9.3. Pengaruh Perubahan Kepemimpinan Adat Terhadap Kepatuhan Masyarakat Pada Norma Adat Keretakan hubungan antara Abah dan Incu Putunya semakin dalam ketika masa kepemimpinan Abah Asep. Keretakan hubungan terbukti dengan terpecahnya kembali Kasepuhan SRI menjadi dua bagian antara lain : (1) Kasepuhan SRI; (2) Kasepuhan CMA. Abah Asep, dengan mudah ditunggangi oleh urusan-urusan politik pemerintah. Karena besarnya pengaruh Abah terhadap Incu Putunya maka Abah untuk meningkatkan populeritas elit-elit politik. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Abah ASNjuga menggunakan saluran ekonomi di dalam menjalankan kepemimpinannya. Abah kemudian memonopoli pembagian dan perdagangan saprodi kepada Incu Putunya. Kepemilikan barangbarang yang datang dari luar Kasepuhan (modern) juga dimiliki oleh “Abah Asep”, sehingga jarak sosial antara “Abah” dan “Incu putunya” semakin lebar. Akibat nilai-nilai materialime yang telah merembes ke sistem sosial Kasepuhan mengakibatkan runtuhnya rasa kebersamaan yang dibangun oleh pemerintahan Kasepuhan sebelumnya. Serta kemudian digantikan oleh sifat yang individual yang mulai tumbuh di Kasepuhan. Lemahnya solidaritas antara Abah dengan Incu Putunya nampak pada saat Incu-Putu di Kasepuhan SRI sering mengadakan rariungan (diskusi) ketika
91
bertani maupun pada waktu berada di rumah salah seorang panasehat Abah, mereka selalu menanyakan tentang segala kehidupan yang dilakukan oleh Abah serta keluarganya, yang dinilai sudah banyak keluar dari norma-norma Kasepuhan yang ada. Abah ASNjuga sudah jarang mendatangi para incu-putunya tiap rumah berbeda dengan Abah sebelumnya guna mengetahui keberadaan Incu-Putunya, tapi justru lebih intens berhubungan dengan para elit politik lokal/nasional. Kasepuhan tidak adanya hukuman/sanksi secara langsung apabila ada yang melanggar cuma teguran dari Abah apabila yang melakukan adalah incu-putu. Tapi justru saat ini adalah bukan incu-putu yang hanya membuat pelanggaran akan tetapi Abah dan keluarganya yang melakukan pelanggaran tersebut. Sekali lagi, dampak dari bergesernya kepentingan Abah dan gaya kepemimpinannya berdampak pada renggangnya solidaritas sosial dan kepatuhan incu-putu kasepuhan kepada Abah. Kepatuhan menjadi indikator penting di dalam melihat dampak perubahan dari gaya kepemimpinan Abah. Melemahnya kepatuhan incu putu kepada Abah ditunjukkan dengan penurunan jumlah pengikut Kasepuhan. Dampak lainnya dari perubahan gaya kepemimpinan Abah selanjutnya adalah banyak incu-putu menyeberang ke Kasepuhan lain seperti Kasepuhan CGR maupun Kasepuhan CMA. Walaupun keyakinan terhadap Abah berpindah, akan tetapi tempat tinggal dibolehkan berada di kawasan Kasepuhan SRI, sehingga akhirnya kompetisi legitimasi diantara tiga Kasepuhan terpecah dibawah payung pancar pangawinan, guna mendapatkan keyakinan dari Incu-putu yang ada,
karena ketiga Kasepuhan tersebut merasa memiliki akan pancar
pangawinan. Ikatan yang sangat kuat yang sudah terbangun sejak leluhur (Kasepuhan) maka hubungan Incu-putu antar ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi ini, yakni Kasepuhan SRI, Kasepuhan CGR maupun Kasepuhan CMA adalah saling menghargai karena bagi incu-putu tidak ada perbedaan yang mendasar terhadap Kasepuhan tersebut kecuali keyakinan dan kepatuhannya terhadap Abah sebagai pemimpin itu yang menjadi legitimasi di masyarakat (incu-putu) Kasepuhan (lihat Gambar 9.1.).
92
SUMBER KEKUASAAN *Keturunan *Wangsit *Pancerpangawinan
Abah
Abah
Kasepuhan Cipta Mulya
Kasepuhan Sinar Resmi
Incu Putuh
Incu Putuh
Abah
Kasepuhan Cipta Gelar
Incu Putuh
keterangan : : : : : :
Klaim memiliki sumber kekuasaan Instruksi Turunan Kepatuhan/keyakinan Klaim kyakinan Incu-putu thp Abah memiliki sumber kekuasaan : Koordinasi
Gambar 9.1. Keyakinan Incu-putu Terhadap Abah (pemimpin) di Kasepuhan Pada gambar 9.1. tersebut bahwa ketika Abah telah berubah didalam melaksanakan
kepemimpinannya
(ketidaksesuaian)
dengan
norma
adat
Kasepuhan yang disebabkan oleh peningkatan pendidikan dari seorang pemimpin yang akan membawa pada perubahan gaya hidup seperti yang telah di jabarkan pada sub-bab sebelumnya maka incu-putu berhak menilai Abah dan membawa pada keyakinan dan kepatuhan terhadap pemimpinnya apakah masih memiliki sumber-sumber kekuasaan terutama wangsit dan pancar-pangawinan dan incuputu kemudian mencari Abah di Kasepuhan CGR dan Kasepuhan CMA demikian juga sebaliknya, yang dinilai memiliki kedua sumber kekuasan tersebut.
93
Jika berpijak pada pemikiran Weber dalam Martin (1990), mengenai sumber legitimasi seorang pemimpin antara lain kharisma, tradisional, dan rasional, maka kekuasaan Kasepuhan pada masa hidup Abah AJ dan Ujat cenderung didominasi oleh legitimasi yang sifatnya kharismatik dan tradisional, namun pada masa kepemimpinan pada Abah ASN (Kasepuhan mulai menetap), serta masuknya pendidikan dalam kekuasaan, maka tipe legitimasinya cenderung legal rasional. Pada akhirnya, dinamika tersebut membawa pada perubahan sosial kemasyarakatannya. Solidaritas sosial kemudian semakin memudar karena Abah sebagai pemimpin Kasepuhan berubah orientasinya bukan lagi kecenderungan penuh di dalam perlindungan Incu Putunya tetapi lebih pada kepentingan dirinya sendiri, lihat Matriks 7.3. Matrik 9.1. Pergeseran Sumber Kekuasaan, Kelembagaan Kasepuahn dan Dampaknya pada incu-putu Abah Arjo
Sumber kekuasaan Dari dalam Kasepuhan berdasarkan “turunan” wangsit dan “pancar pangawinan”
Ujat Keturunan, Keyakinan individu, luar Kasepuhan dan “pancar pangawinan” Asep
Dari dalam Kasepuhan berdasarkan “keturunan, dan wangsit” Masuknya pendidikan
Kelembagaan Adat Imah Gede Leuit Sebagai Sebagai pusat, tempat keagamaan, ketahanan interaksi pangan sosial antara kasepuhan Abah dengan incu putu Pusat Memudarnya keagamaan keutuhan dan fungsi leuit Terbukanya untuk kepentingan luar kasepuahan Pusat Masuknya keagamaan kepentingan pusat politik ekonomi uang
Sumber: Data Primer (diolah), 2012
94
Individu
Dampak Incu-putu
Karena merasa berkewajiban dari leluhur untuk dijalankan
diakui sampai meninggal dunia
Karena merasa berkewajiban dari leluhur untuk dijalankan
Kepatuhan mulai terkikis
Karena merasa berkewajiban dari leluhur untuk dijalankan
Kepatuhan mulai terkikis Terjadi pembangkangan
BAB X PENUTUP
10.1. Kesimpulan Kepemimpinan adat Kasepuhan sesungguhnya berpijak pada nilai-nilai dan norma yang terkandung di dalam Tatali Paranti Karuhun Dinamika kepemimpinan yang terjadi bertitik tolak pada perubahan di dalam pelaksanaan norma tersebut oleh setiap “Abah” sebagai pemimpin Kasepuhan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : 1. Kepemimpinan Kasepuhan SRI tidak lagi berpijak pada aturan/normanorma lokal. Hanya Abah AJ dan para Abah sebelumya yang konservatif, sementara Abah UT, mulai mengendur akan ikatan norma. Serta kepemimpinan Abah ASNyang cenderung lebih memudarkan nilai-nilai tatai paranti karuhun, 2. Kepemimpinan yang terjadi bertitik tolak pada perubahan di dalam pelaksanaan norma tersebut oleh setiap Abah sebagai pemimpin Kasepuhan, serta adanya intervensi dari pemerintah terhadap sistem kepemimpinan Kasepuhan. 3. Perubahan kepemimpinan yang Akibat dari masuknya pendidikan dalam legitimasi
kekuasaan
kepemimpinan
sehingga
sekaligus
menciptakan
perpecahan
di
dalam
gejolak
perubahan
solidaritas
sosial
masyarakat Kasepuhan SRI, pelunturan nilai-nilai Tatali Paranti Karuhun baik di dalam peran pengelolaan sumberdaya pertanian, sistem pemerintahan adat, hingga masalah adat Kasepuhan.
95
10.2. Saran Walaupun modernisasi masuk kedalam kehidupan Kasepuhan SRI namun masih perlu mempertahankan adat istiadat yang sudah sekian lama di wariskan oleh leluhur. Meskipun pemimpin adat tidak hanya kehilangan pendukungnya dalam hal ini masyarakat Sinar. Pergeseran kepemimpinan Abah membawa dampak besar terhadap pola interaksi dalam masyarakat Kasepuhan. Selain perubahan gaya kepemimpinan, masyarakat di Kasepuhan juga dihadapkan pada masuknya nilai-nilai luar yang mendorong perubahan dalam Kasepuhan sendiri.
96
DAFTAR PUSTAKA Buku Adimihardja, K. (1999). Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan dalam Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi Bandung: Humaniora. Suryaningrat, Bayu. (1981). Pemerintahan dan Administrasi Desa. Penerbit Aksara Baru, Jakarta. Burke, Peter. (2001), Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia Dahama dan Bhatnager. OP. (1980). Education and Communication for Devalopment. Oxford of IBH Publishing. Co. New Delhi. Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes, Bandung : Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud. Evres, Hans, Dieters. 1980 Sociology Of South East Asia. Reading on Social Chang and Development. Oxford University Press Garna. Yudistira. (1992). Teori – teori Perubahan Sosial. Bandung. Penerbit Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran. Garna, Judistira, “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli Terhadap Pembangunan“ dalam Lim Teek Ghee dan Alberto G. Gomes (peny.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993 Gidden, Anthony (1986). Kapitalisme dan Teori sosial Modern, Suatu Analisis Karya-tulis Marx, Durkheim, Max Weber. UI Pers, Jakarta Hayami, Y. Dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Kartodirjo, Sartono. (1984), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta. Kartasapoetra, et al. (1986) Desa dan Daerah dengan Tata Pemerintahannnya. Bina Aksara Jakarta Kartono. K. (2001). Pemimpin dan Kepemimpinan. Apakah Kepemimpinan Abnormal itu? Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Kolopaking, Lala et al (2003). Sosiologi Umum “Tim Editor Sosiologi Umum IPB”. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor 97
Louer H. Robert (1993). Perspektif Tentang Prubahan Sosial. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Moleong. J. Lexy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif; Remaja Rosdakarya. Bandung Nordholt Schulte. Nico (1987). Ojo Dumeh Kepemimpinan Lokal Dalam Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Salim, Agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. PT Tiara Wacana, Yogyakarta. Setiadi, M Elly dan Kolip, Usman (2011). Pengantar Sosiologi “Pemahaman Fakta dan Gejala Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya”. Prenada Media group. Jakarta Simandjuntak A. Bungaran, (2002). Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jendela,YogyakartaSoemardjan. Selo. (1981). Perubahan Sosial Di Yogjakarta. UGM Press. Yogyakarta Soekanto, Soerjono (1987). Sosiologi Suatu pengantar. Raja Grafindo prsada. Jakarta Suwarsono, dan Alvin, So. Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES, Jakarta. Siregar E. Amir, (1999). Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Tiara Wacana, Yogyakarta Suhada, (2003). Masyarakat Baduy Dalam Rentang Sejarah. Dinas Pendidikan Propinsi Banten. Parson, Talcott and Henderson A.M (1947) . Max Weber The Teory of Social and Economic Organization. The Free Pess, New York. Ritzer, George dan Goodman, Dounglas J, (1994). Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana. Wrong, Dennis (2003), Max Weber Sebuah Khasanah. Ikon Teralitera, Yogyakarta
98
Skripsi dan Tesis Asep. (2000). Kesatuan Adat Banten Kidul “Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat”. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dama, Nurdin. (1987). Peranan Kepemimpinan Desa dalam Perubahan Struktural Masyarakat Pedesaan. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Dosineang. Herman Hawang. (1991). Kepemimpinan suku Dalam Pemerintahan desa: Studi Kasus Dalam Masyarakat Suku Ekagi di Desa Mauwa, Kecamatan Kamu, Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai Propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya. Tesis Fakultas Pascasaraja IPB Ismady, Idal Bahri. (1992). Peranan Pemimpin tradisional Dalam LKMD dan Peranan kecamatan Dalam pembinaan LKMD. “Studi Kasus di Kecamatan Darussalam Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar D.I. Aceh” Tesis Program Pascasarjana IPB. Jabar, Aryuni Salpiana (2007). Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007 “kasus: kubu NUSA dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2007” tesis sekolah Pascasarjana IPB. Mardiyaningsih, I. Dyah (2010). Perubahan Sosial di Desa Pertanian Jawa: Analisis Terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Tani. Tesis, Sekolah Pascarasjana IPB. Marina, Ina (2011). Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi (Studi kasus Kampung Sinar Resrni), Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi FEMA IPB Sandjaja, Palar Paradi (1990) Karakteristik dan Gaya kepemimpinan Ketua KUD Dalam Aktivitas Komunikasi Organisasi “kasus jawa Barat”. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB Sardi, Idris (2010). Konflik Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus di Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi.
99
Jurnal Anonimus. (1999). Aaliansi Masyarakat Adat Nusantara: Suara Baru Masyarakat Adat di Indonesia. Down to earth no. 41, mei 1999 Marina, Nina et al. (2007). Kepercayaan Masyarakat Kasepuhan Cicarucup dalam Aktivitas Pertanian. Bandung: BPSNT Rahmawati, Rita. et al. (2008). Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Sosio-ekologis. Solodarity; Jurnal Transdisiplin, Komunikasi dan Ekologi Manusia. FEMA IPB.
Undang-undang/Peraturan Undang-undang Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979. Pustaka Tinta Mas. Surabaya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
100
Lampiran 1. CATATAN HARIAN PENELITIAN Di Kasepuhan Sinar Resmi Februari s/d Maret 2012
Sketsa Kasepuhan berdiri Pada Tahun 611 sampai dengan tahun 1937 masih mengikat dengan menggunakan nama kabuyutan kabuyutan berarti leluhur atau yang membuat segala aturan (norma) yang ada buat incu putu (pengikut) di kabuyutan tersebut dan kabuyutan itu di pimpin oleh seorang buyut. Menurut Uwa Ugis bahwa di masa kepemimpinan Aki Buyut Agung sampai dengan Aki Buyut Ceboy adalah masa “Kabuyutan” dan kabuyutan merupakan para leluhur dari masyarakat kasepuhan yang saat ini ada, para Buyut juga yang membuat segala aturan-aturan (norma) tentang kehidupan masyarakat kasepuhan yang hingga kini terus dijaga. Menurut Abah Asep Nugraha bahwa nama Kasepuhan lahir ketika pada zaman kepemimpinan Uyut/Buyut/Abah Jasiun pada tahun 1960 dan nama Kasepuhannya adalah Cicemet yang disesuaikan dengan nama kampung dimana keberadaan kasepuhan itu tinggal. Kasepuhan ini terbagi menjadi tiga wilayah adminstratif; pertama yang terdapat di Kabupaten Lebak Provinsi Banten yaitu di kecamatan Sajira, Bayah, Cikotok, Cibeber dan Sobang; kedua Kabupaten Bogor terdapat di Kecamatan Jasinga dan Leuwi liang; ketiga di Kabupaten Sukabumi terdapat Kecamatan Cisolok. Sedangkan Asal usul Kesatuan Adat Banten Kidul yang merupakan cikal bakal dari kasepuhan Sinar Resmi menurut Buchori Muhaemin (amil kasepuhan) yang dicatat sejak tahun 1978 adalah sebagai berikut: No. Tahun 01. 611-807 02. 807-1001 03. 10011181 04. 11811381 05. 13811558 06. 15581720 07. 17201797 08. 17971834 09. 18341900 10. 19001937
Kabuyutan Sadjra Seni/Kembang Kuning Djasinga
Wilayah Lebak Banten Lebak –Banten Bogor
Lebak Binong
Bogor
Cipatat Urug
Bogor
Lebak Larang
Banten
Lebak Binong
Banten
Pasir Talaga
Sukabumi
Tegal Umbu
Banten
Bodjong Tjisono
Banten
11.
Tjitjemat
1937-
Kasepuhan (1960) Priangan
Sukabumi
12. 13. 14. 15.
1960 19601982 19821985 19852000 20022010
(Abah Jasiun) Tjikaret (lokasi Sinar Resmi/Abah Rusdi) Cipta Rasa (Abah Arjo) Cipta Rasa (Abah Ujat)
Sukabumi Sukabumi Cipta Gelar (Abah Anom)
Sinar Resmi (Abah Asep Cipta Nugraha) Gelar (Abah Ugis)
Sukabumi
Cipta Mulya Sukabumi (Abah UumAbah Hendrik)
Pada awalnya sebelum terbentuknya kasepuhan itu ada, bermula kabuyutan dan hal tersebut karena buyut berarti leluhur atau para orang tua yang telah membuat segala aturan akan kasepuhan ini kelak. Dan menurut Abah Asep Nugraha kabuyutan tersebut selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan berawal dari sadjira yang ada di Lebak Banten kemudian ke Bogor hingga Sukabumi sekarang ini. Pada masa kabuyutan para Abahnya (pemimpin) Abah Asep tidak bersedia menyebutkan pada masyarakat luar kasepuhan, karena menurut beliau hal itu tabu serta akan mendapat musibah atau dalam bahasa Kasepuhan Kebendon bagi Abah Asep sendiri maupun bagi incu-putu (pengikutnya). Dan menurut Bapak Dede (penasehat Abah Asep) bahwa silsilah dari Kasepuhan sinar resmi itu ditunjukan pada gambar dibawah ini atau lebih tepatnya asal-usulnya:
Susunan ngaran-ngaran luluhur Banten Kidul Wilayah Lebak Binong Larang
Kibuyut Rembang Kuning Sukma Sakti Kuda Alas Kandang Dewa
Lembur Cipatat Urug
Kibuyut Rosa Sukma Sakti Kuda Alas Kandang Dewa
Lembur Lebak Larang
Kibuyut Warni Sukma Sakti Kuda Alas Kandang
Kibuyut Kayon
Kibuyut Ceboy
Tilem-timbul
Kibuyut Santayan
Ki Eoh
Ki Sanam
Kibuyut Manik
Nyai Saleha
Kibuyut Inay
Uyut Jasiun
Kibuyut Anca
Sampai saat ini kasepuhan selalu berpindah-pindah tempat namun lokasinya masih di kawasan pegunungan halimun, alasan lokasi kasepuhan selalu pindah-pindah karena disamping dengan adanya wangsit juga untuk memperluas daerah/cadangan kehidupan/memperbanyak keturunan. Lahirnya kasepuhan pada tahun 1960 ketika dipimpin oleh abah Djasioen dan nama kasepuhannya Tjitjemet yang disesuaikan dengan nama tempat atau kampung itu berada. Serta situasi politik di negara Indonesia pada waktu itu atau adanya intervensi dari Negara. Hingga Abah Djasiun pun memakai peci karena disesuaikan dengan pemimpin bangsa (bung Karno) tidak memakai Ikat Kepala
khas kasepuhan jadi ketika Abah Djasioen norma tentang berpakaianpun mulai berubah walau hanya pemimpinnya saja. kepindahan lokasi juga dipengaruhi karena adanya konflik atau diserang oleh DII/TII pada tahun 1959 dan pindah ke cikaret yang sekarang Namanya Menjadi sinar resmi, pada tahun 1980, terjadi konflik dengan pihak kementrian keagamaan dan pindah ke ciganas/cimaja, dan terjadi konflik kembali dengan pihak perhutani sehingga pindah kembali ke cikaret. Dan pada tahun 1965-1966 dengan isu PKI. Sistem dan Kelembagaan Sosial Kasepuhan Sinar Resmi Masyarakat kasepuhan Sinar Resmi pada prinsifnya dalam menjalankan kehidupan keseharian sesali bergotong royong karena telah di sesuaikan dengan falsafah hidup yang telah tertuang dalm “tatali paranti karuhun” namun seiring berjalannya waktu serta pergantian kepemimpinan yang ada otomatis pola hidup masyarakatnya berubah di tambah dengan masuknya ilmu dan pengetahuan yang datang dari luar kasepuhan. Menurut Pak Buhari kasepuhan Sirna Resmi tidak memandang pada batasan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara administratif, karena jumlah masyarakat (incu-putu) kasepuhan tersebar baik yang ada di desa Sirnaresmi maupun yang ada diluar desa Sirnaresmi. Abah Asep Nugraha juga menambahkan bahwa karena lokasi Kasepuhan Sinar Resmi memang berada di desa Sirnaresmi akan tetapi untuk warga kasepuhan tersebar mulai dari desa Sirnaresmi itu sendiri, Bogor, Banten hingga lampung. Adapun jumlah warga kasepuhan Sinar Resmi pada saat sekarang ini berjumlah 8.320 jiwa. Jumlah warga kasepuhan tersebut, menurut Abah Asep Nugraha adalah pengikut kasepuhan Sinar Resmi yang didalamnya terdapat laki-laki dan perempuan. Dan didalam pencatatannya adalah laporan berupa data kelahiran yang didapat dari paraji serta kematian dari kokolot lembur kepada Amil kasepuhan Sinar Resmi yang dijabat oleh Bapak Buhori kemudian dilaporkan kepada Abah Asep Nugraha. Falsafah yang tertuang dalam “tatali partanti karuhun” tersebuta adalah “IBU BUMI BAPAK LANGIT DAN TANAH RATU”. Falsafah tersebut dalam artian harfiahnya adalah ibu bumi: bumi itu diibaratkan seperti seorang ibu, bapak langit : langit diibartakan orang tua laki-lai yang memberikan kesuburan terhadap ibu, dan tanah ratu: tanah bhumi tersebut harus di berlalkukan seperti seorang ratu. Maksudnya adalah manusia harus tunduk terhadap alam berarti bahwa manusia tergantung dengan alam seperti anak yang tergantung pada ibunya, karena alam kita biasa untuk berjalan, membuang sesuatu yang sifatnya jasad manusia, tempat untuk mendirikan bangunan dan lain sebagainya; namun yang paling penting adalah alam atau bumi itu untuk menanam padi karena masyarakat kasepuhan pertanian adalah sebagai pangkuan dalam hidupnya (sistim humma) maka alam/bumi tersebut sebagai tempat untuk bercocok tanam padi (humma) oleh masyarakat kasepuhan, dan langit yang memberikan akan kesuburan berupa hujan maka berlakukanlah bumi seperti seorang ratu yang harus dijaga oleh segenap warga kasepuhan dan bagi masyarakat kasepuhan dimanapun tempat tinggalnya harus selalu menghormati alam dimanapun berada.
Sehingga didalam bercocok tanam padi (huma) masyarakat kasepuhan hanya melakukannya sekali dalam setahun karena diibaratkan seorang ibu tidak akan melahirkan anaknya setahun dua kali atau lebih yang akan merusak dari perempuan itu sendiri (ibu). Setiap rangkaian kegiatan pelaksanaan huma di kasepuhan Sinar Resmi semuanya diawali dengan ritual. Menurut Abah Asep menta do’a ku Gusti Alloh lan salametan ngirim-do’a ku para laluhur kasepuhan menta kaberkahana, yang artinya minta do’a kepada Allah, serta mengirim do’a kepada para leluhur kasepuhan minta keberkahannya” dan pada ritual selametan tersebut diadakan di Imah Gede yang dihadiri oleh para sesepuh serta incu-putu kasepuhan Sinar Resmi. Menurut Bapak Buhari bahwa padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada Abah sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali. Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incu-putu kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji, Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika panen padi dari setiap incu-putu. Pada umumnya setiap incu-putu kasepuhan memiliki leuit (lumbung) sebagai tempat penyimpanan padi huma, juga sebagai penyedia pangan keluarga untuk persediaan dikemudian hari. Selain leuit individu juga terdapat lumbung umum milik semua warga kasepuhan. Lumbung umum itu biasa pula disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik. Menurut Abah Asep Leuit Si-Jimat tersebut bisa menampung gabah yang telah dipanen sekitar 7.850 pocong/beungkeut (ikat), dan cerita turun temurun nama Leuit komunal tersebut “leuit-paceklik“ namun ketika musim paceklik kemudian tiba-tiba pada malam harinya terdapat gabah yang di beungkeut yang cukup untuk keperluan incu-putu kasepuhan dan bersifat magis. Leuit Si-Jimat berfungsi sebagai pusat pangan (cadangan pangan) kasepuhann Sinar Resmi apabila pada tahun-tahun mendatang adanya musim paceklik dimana padi (huma) mengalami kegagalan dalam panen. Menurut Uwa Ugis Leuit Si-Jimat tersebut selain menyedia pangan, juga dapat dipergunakan sebagai peminjaman incu-putu kasepuhan Sinar Resmi apabila dalam rumah tangganya kekuarangan padi untuk keperluan makan, dan harus dibayar berupa padu lagi setelah panen tiba. Konsep pilosofis masyarakat Kasepuhan dalam tatali paranti karuhun: 1. Tilu sapamilu Tilu sapamilu Tekad Ucap Lampah Buhun Nagara Syara Ruh Raga Papakean
2. Dua sakarupa Ruh + Raga-papakean = mahluk hidup yang tidak berpakean adalah binatang Raga +Papakean-Ruh = mahluk yang sudah tidak bernyawa atau mayat Ruh + Papakean-raga = mahluk gaib 3. Nu hiji eta-eta keneh= ruh+raga+papakean = Mahluk hidup yang harus berpakean = manusia Keterangan: 1. Tilu-sapanulu Tekad ucap lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku). Buhun Nagara Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama) Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean) 2. Dua saka rupa; buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama). 3. Nu hiji eta keneh; nyawa/ruh, raga, pakain. Manusia harus memiliki ketiga-tiganya sehingga memiliki kamanusiaan. Jika tidak akan disebut manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat, manusia tanpa raga berarti makluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa pakaian diibaratkan makluk hidup yang telanjang (hewan).
Tilu Sapamilu
Dua Sakarupa
Nu Hiji eta-eta Keneh
Tekad
Ucap
Lampah
Buhun
Nagara
Syara
Ruh
Raga
Pakean
Ruh
Raga
Pakean
Raga
Pakean
Ruh
Ruh
Pakean
Raga
Ruh
Raga
Pakean
Kasepuhan Sinar Resmi. Sebagaimana tertuang dalam gambar 1. Bahwa pondasi dari tatali paranti karuhun sebagai falsafah adalah Tilu-sapanulu: Tekad ucap, Lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku). Buhun
Nagara
Syara (aturan adat, Pamarentahan, Agama)
Ruh Raga Papakean (nyawa, raga, pakean); Dua saka rupa buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah dan agama); Nu hiji eta keneh, nyawa/ruh, raga, pakain. artinya Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan harus mempunyai pedoman di dalam hidupnya (norma) Incu-putu (Masyarakat) kasepuhan Sinar Resmi pada hakekatnya telah beragama Islam sejak dahulu, tetapi dalam pelaksanaan ritual kasepuhan masih dicampurkan dengan sunda-wiwitan seperti adanya kemenyan, mengundang leluhur guna keselamatan dalam kegiatan. Menurut Sulhi sebagai ustadz di kasepuhan yang di tugaskan oleh Kementrian Agama yang ada di Kabupaten Sukabumi bahwa masyarakat kasepuhan Sinar Resmi dalam beragama mengaku Slampangan dika Gusti Rasul. “Slampangan dika Gusti Rasul adalah kami beragama Islam, mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul”. Manusia yang mempunyai segala maksud dan tujuan di dalam menjalankan hidup, maka harus mempunyai pedoman didalam hidupnya (hukum) sebagai sandara agar tidak salah langkah atau dalam bahasa masyarakat kasepuhan “Patokan Nyangkulu ka hukum” yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum; hukum kedudukannya diatas segala-galanya sehingga hukum harus asli baik hukum Agama maupun hukum Adat, dan ditaati oleh masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pencipta manusia (Gusti Alloh). Serta “Nunjang ka nagara” norma yang harus dipatuhi oleh anggota komunitas adalah ketundukan pada peraturan negara (Hukum Indonesia), dan didalam masyarakat kasepuhan di kenal dengan “Mupakat jeng balarea” apabila didalam melaksanakan segala sesuatu di awali dengan musyawarah untuk mufakat, termasuk terdapat masalah apabila terjadi di kalangan masyarakat adat (incu-putu) diselesaikan dengan musyawarah. Dari hal tersebut kemudian di refresentasikan pada kelembagaan kasepuhan yang telah ada sejak lama hingga saat ini masih ada.. berikut kelembagaan kasepuhan serta peranannya: No. 01.
Lembaga Kasepuhan Abah
Pemimpin
02.
Gandek
0mid
03.
Dukun
Pa unta
Asep (sekarang)
Peran
Nugraha Sebagai pemimpin kasepuhan Sinar Resmi sejal dilantik pada tahun 2002 hingga sekarang, dan berperan menjaga eksistensi kasepuhan serta menjaga akan keutuhan norma-norma kasepuhan dan incu-putunya. Staf Abah dimanapun abah bebergian gandek harus mendampingi jikalau terdapat masalah atau hal yang sanagt penting di jalan. Apabila ada warga yang mendapat musibah jika secara medis tidak menunjukan sakit maka akan di obati secara tradisional oleh seorang dukun.
Dan yang paling penting adalah apabila aabah berhalangan ada, maka tugas abah di gantikan oleh dukun. 04.
Panghulu
Pa Ijat
05.
Bengkong
Aki Anuk
06.
Paraji
Ma Ancah
07. 08. 09.
Pamakaan Pamoro Kemit
Pa Saidi Sunarja
10.
Tukang Bangunan
Pa Marhu
11.
Ngurus Leuit
Pa Suarman
12.
Pa Marhu
13.
Ema Pangberang Kabersihan
14.
Dukun Hewan
Pa Jaja
15. 16. 17. 18.
Canoli Tukang Para Kasenian Tukang Dapur
Pa Junaedi
Setiap kegiatan kasepuhan baik berupa salametan ataupun yang lainnya dilaksanakan secara adat, dan ritualnya untuk doanya dipimpin oleh panghulu. Melaksanakan perayaan sunatan terhadap anak-anak dari masyarakat Kasepuhan. Bidan buat para istri dari warga yang mau melahirkan atau yang berkaitannya.
Penanggung jawab dari keamanan Kasepuhan serta warga harus ikut menjaga keamanan lingkungan kasepuhan dengan mengikuti ronda setiap malam secara bergiliran dengan dipimpin oleh petugas kelembagaan kasepuhan Membuat bangunan baik rumah atau yang berkaitan dengan rancang bangun rumah gede di kasepuhan. segala persiapan dan perawatan yang berkaitan dengan pemeliharaaan leuit Menjaga dan pemeliharaan keadaan fisik lingkungan Imah Gede lingkunan sekitar Imah Gede harus terjaga dan dikontrol kebesihan kasepuhan. Apabila warga kasepuhan yang akan memelihara hewan maka di wajibkan meminta izin padanya serta jika hewan terkena penyakit maka akan diurusi oleh dukun hewan
Pa Urna Mak Omah
Mak Omah ini hanya sebagai koordinator bagaian dapur di Imah Gede mulai membuat makanan dan menghidangkannya baik buat Abah dan keluarganya maupun buat tamu dan atau masyarakat bila ada yang
19.
Panday
Pak Asta
20.
Kokolot Lembur
Pa Martu
kekurangan. Pande, semua peralatan yang baik pakarangan maupun peralatan pertanian di buat oleh panday. Apabila ada tamu maka harus melalui kokolot lembur, serta bertanggung jawab akan warga yang ada di lembur yang di dalam otoritasnya.
Kepemimpinan di Kasepuhan Sinar Resmi Para Abah yang ada di kasepuhan ini mempunyai karakteristik masing-masing, karena beda lingkungan dan situasi yang memungkinkan menerapkan gaya kepemimpinannya berikut ini para Abah dimasa kepemimpinannya masingmasing : 1. Kepemimpinan Abah Djasioen (1937-1960) Abah Djasioen sebagai pemimpin memiliki karakter yang keras dan sangat memegang teguh adat karena semasa kepemimpinan beliau bertepatan dengan penjajahan Belanda yang masuk ke daerah kasepuhan. Dalam menjalankan kepemimpinan fase transisi dari kabuhunan ke kasepuhan Abah Djasioen memiliki sangat watak keras (otoriter) didalam menjalankan segala aturan kabuhunan pada incu-putunya. Selain peristiwa penjajahan Belanda, terjadi peristiwa yang membuat masyarakat kasepuhan geger yaitu diserang oleh DII/TII pada tahun 1959 yang memang belung diketahui maksudnya, hingga Abah Djasioen memindahkan lokasi kasepuhan dari cicemet ke cikaret karena selain wangsit dan sifat nomaden juga untuk mempertahankan kasepuhan dari penjajah Belanda. Kasepuhan ke cikaret karena alasan politik dan keamanan, dan di jaman Abah Djasioen pula adanya nama Kasepuhan yang awalnya kabuyutan. Dan pada tahun 1960 “kabuyutan tersebut berubah nama menjadi Kasepuhan” adapun nama kasepuhannya tergantung dari nama kampung yang ada (ditempati sebagai pusat pamarentahan kasepuhan) dan tidak banyak yang
mengetahui apakah ada intervensi pemerintah Soekarno didalam perubahan nama tersebut. Seperti yang telah dikemukankan oleh Abah Asep kasepuhan Sinar Sesmi seperti berikut: Pergantian nama dari “kabuyutan” menjadi “kasepuhan”, Abah Jasiun mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai amanat dari para buyut/leluhur. Amanat yang di tetapkan abah jasiun dan mungkin juga semua pemimpin kasepuhan sebelum beliau diantaranya sebagai berikut: “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” (Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga kelakuan, menjaga tekad) “nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan” (berbicara harus diukur, berkata harus ditimbang-timbang takut berbekas kesalahan) “kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurna” (Harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah) “ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan)
Memaknai dari amanat tersebut menurut Wa Ugis di bagi menjadi beberapa hal yaitu: 1.
Amanat yang berkaitan dengan sistem huma (pertaninan ladang) “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” maksudnya adalah ketika panen padi huma para incu-putu harus meminta izin untuk memetiknya kepada bumi yang sering di injak-injak, dibuat bangunan , menanam tanaman yang dibutuhkan oleh incu-putu sehingga untuk memetik hasilnya para incu-putu harus minta izin kepada yang mempunyai dan menciptakan bumi ini dan harus memberlakukannya seperti seorang Ibu yang telah melahirkan manusia ke dunia ini maka di kenal dengan
2.
3.
“Ibu Bumi” , dan langit yang memberikan hujan (rejeki) buat kelangsungan kehidupan serta memberi keberkahan buat hasil pertanian “Bapak Langit” maka keduanya harus diberlakukan layaknya sepertu “Ratu”. Sehingga di incu-putu (masyarakat) kasepuhan dikenal dengan falsafah IBU BUMI BAPAK LANGIT TANAH RATU. Dan harus menjaga layaknya kita menjaga lisan (lampah) dan mempertanggung-jawabkan (tekad) Berkaitan dengan pola hubungan antar manusia “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan. Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” setiap berhubungan dengan antar manusia dengan manusia maka bagaimana incu-putu harus menjaga segala perkataan dan perbuatan, karena dikhawatirkan salah ucap dan akan menimbulkan ketidaksenangan yang akan mengakibatkan talisilaturhaim kurang harmonis. “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” yang ketiga inilah sangat penting bagi kehidupan masyarakat kasepuhan, karena berkaitan dengan politik dan kekuasaan; incu-putu keutuhan kasepuhan, jangan memperebutkan kekuasaan, karena kekuasaan harus diberikan pada yang berhak dan dinilai mampu.
2. Abah Roesdi (1960-1982) Setelah meninggalnya abah Jasiun berdasarkan wangsit bahwa pimpinan kasepuhan harus di pegang oleh Abah Rusdi (1960-1982), Abah Rusdi merupakan sosok yang berbicara seperlunya dan aturan adat agak melemah dari segi perpakaian dan prilaku masyarakatnya. Karena di masa Abah Roesdi bertepatan dengan masa revolusi dan agresi militer ke 2 (serangan Belanda). Ketika agresi militer II Belanda pada tahun 1960-1963, peranan Abah Roesdi serta masyarakat kasepuhan dalam hal ini adalah memberikan perbekalan (logistik) untuk TNI yang berjuang melawan belanda. Akan tetapi masyarakat Kasepuhan belum diperkenankan ikut berperang melawan Agresi belanda tahap II tersebut, Pasokan logistik dari Kasepuhan tersebut dibawa oleh Bapak Ompi dengan warga Kasepuhan yang lain berjalan kaki dari kasepuhan Tjitjemet sampai ke arah bogor tepatnya di Batalion Cisarua yang dipimpin oleh Jend. Isak Korem Bogor, dengan melakukan penyamaran sebagai pengembala kerbau dimana setiap menggembala kerbau mereka membawa perbekalan beras dan lainnya untuk TNI. Peranan masyarakat kasepuhan pada masa agresi Belanda tersebut tidak bisa dilepaskan oleh peran Abah Roesdi karena telah tertuang dalam aturan Adat di Kasepuhan itu sendiri agar membela terhadap Nagara. Pada tahun 1965-1966 dengan merebaknya isu PKI di tanah air, justru masyarakat kasepuhan yang telah bersahabat dengan militer (TNI) di tuduh beraliran PKI oleh TNI nya Soeharto sehingga kasepuhan sangat terpukul akan isu PKI. Walau pada akhirnya TNI merasa bersalah telah menuduh akan hal tersebut, dan bila Negara yang bersalah akhirnya tanpa adanya permohonan maaf pada Kasepuhan, dan peranan Abah yang selalu mendinamiskan akan keresahan dari masyarakat Kasepuhan akan tuduhan tersebut. Di masa Abah Roesdi pula mengalami masa Orde Baru atau masa dimana pergantian kepemimpinan Negara Republik Indonesia dan mengalami tekanan
dari pemerintahannya Soeharto tentang pengakuan Agama di Indonesa hanya 5 (lima) Agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kisten Protestan, Budha dan Hindu; yang pada masa itu pemerintah mempertanyakan akan status Agama yang dianut oleh masyarakat Kasepuhan hingga puncaknya terjadi pada tahun 1980, terjadi konflik dengan pemerintah melalui Kementrian Agama, walau pihak Kasepuhan selalu mengakui bahwa kamimah geus ti baheulana ngilu Agama Islam ku Nabi Muhamad, (kami masyarakat Kasepuhan sudah sejak dulu menganut Agama Islam yang di ajarkan Nabi Muhamad). Akan tetapi masyarakat kasepuhan didalam menjalankan kehidupan selalu selaras dengan adat istiadat yang kami junjung tinggi. Dan karena tidak ada titik temu dengan pemerintah, Abah Roesdi memindahkan pusat pemerintahan Kasepuhan ke Ciganas/Cimaja, guna menghindari konflik (benturan) secara fisik dengan pihak pemerintah. Di tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagaian tanah Adat di klaim b oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan berjibaku pada regulasi kehutanan, sehingga Abah Roesdi kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret. Walau Abah Roesdi memimpin Kasepuhan dengan tangan dingin sehingga beberapa aturan Adat mulai mengendur terutama tentang pola prilaku kehidupan, karena situasi politik dan bebrapa peristiwa yang etrjadi hingga hal tersebut ada, akan tetapi didalam aturan pertanian selalu kuat, serta hal yang lainnya selalu bersikap keras (otoriter). Menurut Abah Asep Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang tanah Adat dan sebagian tanah kasepuhan dimiliki oleh Ferumperhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi lahan kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah (Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga Abah Rusdi kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.
3. Kepemimpinan Abah Arjo (1982-1985) Setelah meninggalnya Abah Roesdi berdasarkan wangsit dari Kasepuhan kepemimpinan harus dipegang kemudian diserahkan kepada Abah Arjo (19821985), walau pada masa kepemimpinan Abah Arjo ini relatif singkat hanya 4 (empat) tahun namun di masa kepemimpinan Abah Arjo ini gaya kepemimpinan yang dianut sangat otoriter yang menginginkan akan kemurnian norma (tatali paranti karuhun) itu dimurnikan dari pengaruh pemerintah ketika di zaman Abah Roesdi memimpin. Kepemimpinan Abah Arjo ini berhasil mengembalikan kemurnian (norma) tersebut dibantu dengan peranan dari sistem kepemimpinannya baik itu Dukun dan lain sebagainya sehingga masyarakat Kasepuhanpun mengamini akan kemurnian segala norma-norma apa yang terkandung didalam Tatali Paranti Karuhun di Kasepuhan pemimpin yang sangat berpegang teguh pada kemurnian adat kasepuhan. Maka bentuk otoritarianisme pemimpin kasepuhan Abah Arjo cenderung kurang pada ranah konfrontasi melainkan lebih ke ranah pemurnian
adat di dalam Kasepuhan itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan oleh Bapak Dede selaku panasehat Abah Asep kasepuhan Sinar Resmi Pas Abah Arjo mimpin segala aturan adat dikuatkan kembali dan para incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah arjo sangat tegas pas memimpin. Dan abah arjo mempunyai 2 (dua) orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan (wawancara tanggal 26 Februari 2012) Dalam kepemimpinan Abah Arjo terjadi konflik dengan Kelurahan Cikelat yang pada waktu itu kepala Desanya Bapak Usep Nuryana, tentang sistim pemerintahan Desa dengan sistem pemerintahan Kasepuhan sehingga selalu berbenturan, maka pusat pamarentahan Kasepuhan pindah ke Babakan Ciptarasa dan Kasepuhan dinamai Kasepuhan Ciptarasa. Terjadinya konflik dengan Desa tersebut karena pada masa pemerintahan Presiden Suharto menerapkan Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa dan terjadi pemaksaan dari regulasi pemerintah tersebut penyetaraan semua wilayah di Indonesia agar mengikuti segala keinginan pemerintah, sehingga terjadi pengkikisan norma di Kasepuhan. Pada tahun 1982 nama Ciptarasa diganti menjadi Sinaresmi (nama desanya saja) oleh Abah Arjo dan di saksikan oleh Korem 01 Bogor dan tempat IMAH GEDE. Sampe pemerintahan Abah Ujat berikutnya nama Kasepuhan Cipta Rasa bertempat di Desa Sinaresmi.
4. Kepemimpinan Abah Ujat (1985-2000) Sebelum meninggal Abah Arjo mendapat wangsit yang waktu itu diantarkan oleh Karuhun Kutamane di Sukabumi dan itu harus diambil langsung dengan berjalan kaki. Dan wangsit itu jatuh kepada Abah Ujat. Namun ketika pulang Abah Arjo suasana di kasepuhan sedang gempar dengan perebutan kekuasaan oleh Abah Uum yang ingin menjadi Kesepuhan. Pada waktu pemerintahan Abah Arjo, dan Abah Ujat sebelum menjadi Abah, beliau menjadi kepala Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, sehingga Abah Ujat memimpin dua pemerintahan disatu sisi memegang pemerintahan formal sebagai Kepala Desa disisi lain harus memegang amanat wangsit sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Menurut Kang Dede sebagai Panasehat Abah Asep menyatakan bahwa Bapak Ujat menjadi Abah waktu itu karena adanya campur tangan pemerintah untuk melanggengkan segala program-program dalam bidang pembangunan pertanian yang ketika pada kepemimpinan Abah Arjo kurang begitu diterima. Karena dalam tatali paranti karuhun tidak mengenal akan dualisme kepemimpinan maka diantara anak almarhum Abah Arjo ini mempermasalahkan akan pengangkatan bapak Ujat sebagai Abah di Kasepuhan sehingga kekisruhan di Kasepuhan terjadi; maka guna meredam kekisruhan tersebut ditetapkanlah Abah Ujat sebagai pemegang kasepuhan Cipta Rasa dan Abah Encup yang menjabat sementara Kasepuhan Ciptarasa keluar dari Ciptarasa dan membuat Kasepuhan lagi dengan nama Cipta Mulya. Abah Ujat kemudian melepaskan jabatan sebagai Kepala Desa di Desa Sinaresmi dan lebih memilih sebagai Abah di Kasepuhan Cipta Rasa dan
kemudian mengubah nama pusat pamarentahannya menjadi Kasepuhan Cipta Gelar. Namun Abah Arjo yang pada Waktu itu membiarkan perpecah itu terjadi karena biarlah karena kedua-duanya toh anak abah Arjo. Sepeninggal Abah Ujat Sujati terjadi kekosongan pimpinan kasepuhan karena Abah Asep Nugraha yang berhak memimpin Kasepuhan berdasarkan wangsit/ mimpi dari penasehat kasepuhan yaitu aki Armad. Sementara waktu itu Usia abah Asep masih muda dan menempuh pendidikan sekaligus kerja di jakarta. Maka untuk sementara pimpinan kasepuhan diserahkan (diwarnen) kepada abah Uum (2000-2002) kakak dari Abah Asep. Pancar Pangawinan; Klaim Otoritas Adat di Kasepuhan Terdapat suatu kesadaran yang mendalam bahwa masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan secara langsung dari Prabu Silih-wangi dari Kerajaan Padjadjaran yang bersumber dari apa yang mereka sebut pancer pangawinan (Guillot, 2008). Bahwa masyarakat Kasepuhan selalu menyatakan dirinya, kami mah turunan pancer pangawinan_kami ini merupakan keturunan pancer pangawinan. Dalam bahasa Sunda, kata pancer berarti lulugu, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘asal usul’ atau ‘sumber.’ Kata pangawinan berasal dari kata ngawin yang berarti ‘membawa tombak pada saat upacara perkawinan.’ Kata pangawinan dikalangan warga kasepuhan, memiliki makna yang lebih luas. Dengan demikian kata ’kawin’ tercermin makna mempersatukan dua batin yang berbeda, dua pendapat yang berbeda, dua keinginan yang berbeda dari seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi satu tekad, satu jiwa, satu pendapat, satu keinginan, satu rasa dan satu tujuan, yaitu membina kehidupan yang sejahtera, dan harmonis lahir batin. Sikap dasar tersebut dinyatakan warga kasepuhan dengan ungkapan kata-kata ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salebak atau ‘membina suatu kehidupan yang harmonis dalam satu kesatuan hidup rumah tangga Pada hakikatnya bahwa dapat dipahami masyarakat Kasepuhan sebagai keturunan pancer pangawinan. Mereka anggap sebagai suatu ‘wangsit’ yang di ungkapkan dengan kata-kata sing saha nu bisa ngawinkeun langit jeung bumi, manusa jeung kamanusaanana, eta nu disebut pancer pangawinan.’ Barang siapa yang bisa mengawinkan bumi denga langit, manusia dengan kemanusiaannya, itulah namanya pancer pangawinan. Dan yang diamanatkan adalah Abah yang harus memegang akan Pancar pangawinan serta dapat legitimasi akan kepemimpinannya. Abah dinilai oleh kalangan masyarakat Kasepuhan yang menjadi tuntunan karena memiliki (memegang) pancar pangawinan, tonggak kepemimpinan di kalangan masyarakat kasepuhan adalah bagaimana menjaga akan segala aturan (norma-norma). Yang menjadi kekuatan dalam masyarakat Adat adalah bagaimana menjaga akan aturan-aturan Adat yang berlaku sebagai kekuatan sosial Pancar pangawinan pada saat sekarang ini menjadi klaim setiap kasepuhan yang ada, karena dari ketiga kasepuhan semuanya memerasa memiliki pancar pangawinan sehingga sangat mempengaruhi situasi lokal karena terjadi persaingan dalam kepemimpinan untuk mempengaruhi setiap masyarakatnya dan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan.
5. Abah Asep Nugraha (2002-sekarang) Ketika Abah asep sudah siap dan matang pada tahun 2002 karena memang beliaulah yang berhak memimpin kasepuhan berdasarkan wangsit. Menurut Aki Ompi sebagai penasehat kasepuhan bahwa : Pas Usia Bapak Asep tos cekap sareng tos dianggap siap jadi abah di kasepuhan sirnaresmi, harita eta taun 2002, abah uum alim ngalepasken kapamimpinan abah-wamena ka bapak asep, tapi saterasna kaluar ti kasepuhan sirnaresmi sareng ngabawa paralatan pusaka kasepuhan teras ngadambel kasepuhan anyar nudi pasihan ngaran kasepuhan Cipta Mulya. Dina tanggal 20 Februari 2002 bapak asep nugraha dijadiken abah kasepuhan sirnaresmi, ayapun abah uum sukmawijaya ngadambel kasepuhan cipta mulya sareng ngabawa pusaka kasepuhan abah asep ngaikhlaskeun . Menurut abah asep bilih aya perselisihan sareng aya goyahna kasepuhan, teras abah uum sukmawijaya diperbolehkan nyien pusat pemerintahan kasepuhan anyar nu dipasihan namina kasepuhan cipta mulya. Artinya : pada Tahun 2002 ketika Usia Bapak Asep telah mencukupi dan dianggap siap menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah Uum tidak melepaskan kepemimpinan Abah-warnennya untuk diserahkan kepada Bapak Asep, tapi justru keluar dari kasepuhan Sirnaresmi dan membawa peralatan pusaka kasepuhan serta membuat kasepuhan baru yang diberi nama kasepuhan Cipta Mulya. Pada tanggal 02 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha di nobatkan sebagai Abah di kasepuhan Sirnaresmi dan adapun Abah Uum Sukmawijaya telah membuat kasepuhan Cipta Mulya serta membawa segala benda pusaka kasepuhan Abah Asep mengikhlaskan saja, karena menurut Abah Asep di takutkan adanya perselisihan dan mengakibatkan goyahnya kasepuhan, dan Abah Uum Sukmawijaya di perbolehkan membuat pusat pemerintahan kasepuhan baru yang diberi nama kasepuhan Cipya Mulya. Namun abah Uum belum mau menyerahkan kepada abah asep. Abah Uum pindah ke atas atau cipta mulya dengan membawa semua peninggalan/pakayaan abah Ujat. Namun abah Asep legowo itu diterimanya. Abah Asep Nugraha dilantik secara adat untuk menjadi pemimpin kasepuhan pada tanggal 02 Februari 2002. Dimasa kepemimpinan Abah Asep Nugraha sejak tahun 2002 beliau dilantik dan karena telah mewariskan akan perpecahan (pada kepemimpinan abah Ujat); namun di zaman Abah Asep tersebut Kasepuhan terpecah menjadi 3 (tiga) kasepuhan yang di antaranya Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta kelar, dan Kasepuhan Cipta Mulya. Untuk adat yang telah terpengaruhi oleh teknologi dan arus modernisasi atu menerima perubahan itu dimulai sejak abah Ujat memimpin kasepuhan sedangkan untuk para pemimpin kasepuhan sebelum Abah Ujat, para abah masih menjaga kemurnian adat kasepuhan. Proses terjadinya perpecaan ini ketika zaman Abah Ujat sudah ada dua kasepuhan dan di masa Abah Asep ini menjadi tiga karena pas waktu muda Abah Asep berada di bogor melaksanakan kuliah (tidak menamatkan) lalu bekerja di Jakarta serta tergolong masih muda walau menapatkan wangsit guna menggantikan Abah Ujat (setlah Abah Ujat Wafat) namun ketika itu Abah Asep masih tergolong muda (belum memenuhi usia guna menjadi Abah). Sehingga terjadi kepemimpinan sela, akan tetapi ketika Usia Abah Asep sudah memenuhi syarat tapi Abah Uum tidak melepaskan jabatan Abahnya tapi kemudian keluar dari kasepuahan Sirnaresmi dan kemudian membuat kasepuahan Cipta Mulya.
Pada periode kepemimpinan Abah Ujat dan Abah Asep yang sudah menetap di satu wilayah yaitu kampung Sirnaresmi sehingga nama kasepuhannya disesuaikan dengan nama lokasi yang ditempati. Wilayah Sirnaresmi tersebut dahulunya pernah dipakai pada kepemiminan Abah Arjo, kalau melihat aturan leluhur pada tatali paranti karuhun menurut Uwa Ugis hal tersebut tidak di bolehkan, berikut dihasil kutipan wawancara dengan Uwa Ugis : Kalau mengacu pada seluruh aturan para buyut tentang bagaimana etika pemimpin dalam melaksanakan segala kepemimpinannya harus sesuai dengan tatali paranti karuhun, karena didalamnya mengatur bagaimana wangsit itu datang dan yang mengetahui hanya Abah serta Dukun secara supranatural. Amanat Abah Jasiun yang tentang jangan berebut dalam kekuasaan yang tertuang dalam “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) hal itulah yang muali terkikis mulai kepemimpinan Abah Ujat bagaimana beliau menjadi Abahnya, serta Abah Asep yang mulai memudarkan segala aturan-aturan yang ada kalau Abah Asep mengamalkan Amanat Abah Jasiun “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah), mungkin tidak mementingkan individu. Adapun tentang kaepuhan seharusnya tiap kepemimpinan ganti harusnya tempatpun harus pindah beberapa tahun kemudian kembali lagi itu dibolehkan atau mengganti nama kasepuhannya. Walau Abah asep mengikhlaskan adanya kasepuhan baru karena ditakutkan adanya perselisihan yang akan mengakibatkan goyahnya eksistensi Kasepuhan maka Abah Uum diperbolehkan mendirikan Kasepuhan tersebut. Dan Kasepuhan Sirnaresmi di rubah namanya menjadi Sinar Resmi oleh Abah Asep Nugraha. Perkataan (petuah Abah Asep) yang tertanam di masyarakat adalah: “Mangga bae arek make teknologi dan ikut modernisasi, asalkan teu ngaganggu jeung ngarusak kana tatanen/pertanian (ngahuma) anu puguh disakralkeun baheula sampe ayeuna” kata aki Amil. “ silahkan saja menggunakan teknologi dan mengikuti modernisasi, yang penting tidak mengganggu dan merusak pada pertanian yang sudah disakralkan dari dulu sampai sekarang” Berdasarkan kesaksian aki Ompi semasa beliau mengalami dipimpin oleh pemimpin kasepuhan berdasarkan wangsit yaitu Abah Jasiun-Abah Rusdi-Abah Ujat-Abah Asep. Untuk pemimpin kasepuhan sebelum abah Jasiun belum
didapatkan informasi yang akurat, dimungkinkan sebelum dan sampai dengan tahun 1937 belum ada teknologi yang memadai kalaupun ada sangat berbenturan dengan adat yang masih sangat kental sehingga sulit mendapatkan gambar ataupun raganya. Selain itu untuk saksi sejarah diwaktu itu sekarang telah tiada untuk menceritakan kepada turunannya. Dan menurut abah Asep N bahwa “para karuhun nu heula mah Ninggalnya heunteu ninggalkeun raga” Masa kepemimpinan Abah Asep Nugraha saat ini selalu mengajak incuputuhnya menjaga akan keutuhan segala aturan yang berlaku, serta bila ada permasalahan selalu di selesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, karena selalu menerima masukan dari masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Namun apabila menyangkut dengan aturan tentang pertanian Abah Asep tidak kenal kompromi harus seperti yang telah ada (sejak zaman nenek moyang) serta meurut masyarakatnya Abah Asep cenderung kurang transfaran didalam yang bersentuhan dengan finansial (hasil kegiatan) dan pada aturan prilaku masyarakat di kalangan keluarga Abah justru yang sering melanggar aturan yang ada, akan tetapi Abah Asep belum pernah menengurnya.
Pada masa kepemimpinan Abah Asep Nugraha selalu berkaitan dengan adat adapun persitiwa-peristiwa penting tersebut : Peristiwa Reformasi Otda Pemilu Terjadi BPN Banyak para pergulatan memberikan tokoh politik dengan perum sertifikat mendatangi perhutani tentang tanah pada abah untuk hak tanah masyarakat meminta hulayat. Desa dukungan Sirnaresmi masyarakat dan yang di kasepuhan utamakan agar menjadi untuk incu- pemimpin baik putuh daerah maupun kasepuhan, pusat. sebanyak 40 sertifikat tanah.
Lokal Kasepuhan Sinar Resmi pecah menjadi 3 (tiga) kasepuhan, jadi kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya dan Cipta Gelar
Pertobatan incu-putuh Kasepuhan ketika seren
taun.
Tantangan dan Harapan Kepemimpinan “Abah” di Kasepuhan Sinar Resmi Masyarakat Kasepuahan Sinar Resmi menilai setiap kepemimpinan para Abah selalu bervariasi semenjak kepemimpinan Abah Djasiun sampai pada masa kepemimpinan Abah Ardjo segala norma-norma Kasepuhan masih sangat kuat hal tersebut karena arus moderenisasi yang masih minim serta kondisi Bnagsa Indonesia yang baru merdeka. Namun ketika kepemipminan Abah Udjat Aturan Adat sudah mulai kendur. Karena sebelum jadi Abah di Kasepuhan, bapak Udjat pernah menjadi Kepala Desa Sirnaresmi selama 2 (dua) tahun. Dan di masa tersebut politik mulai menjamah di kehidupan Kasepuhan, dan pada masa kepemimpinan Abah Asep Nugraha nuansa politik itu kian mengental. Sebenarnya incu putuh harus mengetahui sedikitnya tentang saikat sabeungkeutkan yang artinya atau mengikat segala aturan dan tuturan yang ada di kasepuhan. Dukun sering berdiskusi dengan abah mengenai permasalahan masyarakat yang ada yang melanggar adat dan meminta ketegasan abah, namun jawaban abah “engke oge karasaan kumanehna” dan dimana adanya 40 usulan/ laporan dari orang yang berbeda akan disetujui sebagi aturan yang akan diterapkan dikasepuhan. Tantangan kasepuhan pada saat sekarang ini adalah bagaimana menjaga eksistensi kasepuhan, dan peran pemerintah yang terkait kebudayaan, untuk memotivasi masyarakat adat khususnya kasepuhan sebagai pemimbing karena melihat potensi yang ada dari kasepuhan serta memfungsikan dengan benar undang-undang tentang adat. Terhadap Abah yang harus dipertegas dalam hal budaya seperti kekhasan adat lebih ditekankan misalnya setiap orang yang berkunjung ke kasepuhan harus minimal menggunakan ikat kepala. Dan kedisiplinan pihak keluarga abah mencontohkan menggunakan menggunkaan pakaian adat yang diharuskan adat.
SEJARAH PERPECAHAN KASEPUHAN (ciptarasa/ciptagelar-sinaresmi-cipta mulya) Diawali ketika kepemimpinan Abah Ardjo (1982-1985), dan Abah Ardjo tersebut mempunyai 2 (dua) orang istri serta dari kedua orang istri ini masing-masing mempunyai keturunan anak laki-laki lalu ketika Abah Ardjo (meninggal) mangkat/pupus Ardjo telah mengangkat Abah Entjup (lahir tahun 1966) anak pertama dari istri yang kedua menjadi pengganti Abah Ardjo karena memang mempunyai persyarakatan pemimpin di kasepuhan. Dan serta dapat disetujui (restui) pula oleh bapak Uum (kelahiran tahun 1939) dan Bapak Ujat (kelahiran tahun 1945) dari istri pertama Abah Ardjo. Pada tahun 1985 Abah Encup (anom) menjadi Abah di Ciptarasa menggantikan Abah Ardjo. Ketika kasepuhan di bahwa pemerintahan Abah Encup maka mencari tempat kasepuhan kembali (berpindah) ke daerah yang di anggap pas sesuai dengan wangsit. Dan di namai dengan Kasepuhan Cipta Gelar. Dan selang
beberapa bulan Bapak Ujat yang ketika Abah Ardjo masih hidup menjadi kepala Desa di Sinaresmi mendapatkan wangsit (menurut bapak Ujat dan sodaranya) untuk mendirikan kasepuhan di Sinaresmi, maka beliau menjadi Abah di Kasepuhan Sinaresmi 1. Selama memimpin di Kasepuhan Sirnaresmi Abah Ujat banyak melanggar normanorma Kasepuhan yang telah ada, adapun pelanggarannya adalah: 1. Menikahkan anak keduanya (perempuan bernama irna) dengan orang china (waktu itu belum islam lalki-laki cinanya) 2. Dapat hadiah Anjing pekking dari menantu (chinanya) kemudian di pelihara di dalam imah Gede. 3. Kawin lagi tanpa persetujuan dari istri pertama. Sehingga beliau mendapatkan sakit (struk) dan ketika sakit tersebut di rawat oleh kakak pertamanya yang bernama Bapak Uum 2 hingga akhir usianya. Karena anak pertama Abah Ujat masih kecil (Asep Nugraha) yang pada waktu itu belum mengerti akan arti Kasepuhan secara utuh. Sepeninggal Abah Ujat 2000 di gantikan Kasepuhan Sirnaresmi tersebut oleh Abah Uum, karena anak pertama Abah Ujat bapak Asep Nugraha masih ada di jakarta dan usia masih muda. Abah Uum sebagai pemimpin sela akan tetapi bila Abah Asep di anggap cukup usia maka kepemimpinan tersebut di serahkan ke pada anak pertama dari Abah Ujat yaitu Bapak asep Nugraha. Namun ketika tahun 2002 Abah Uum tidak bisa menyerahkan jabatan (jabatan sela) ke abah Asep maka Abah uum membuat kasepuhan sendiri yang di namai kasepuhan Cipta Mulya. Dan bapak Asep pada tahun 2002 tersebut dinobatkan sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Lalu sesuai dengan tradisi apabila kepemimpinannya berganti maka kasepuhan harus berpindah tempat atau ganti nama. Dan kasepuhan Sirnaresmi tersebut di ganti menjadi KASEPUHAN SINAR RESMI. Hingga sekarang. Wawancara dengan wa ugis (21 mei 2012) SISTEM PERTANIAN DI KASEPUHAN Sistem pertanian pada perinsifnya tidak ada perubahan yang signipikan, akan tetapi ketika perum perhutani memberlakukan gunung halimun sebagai taman nasional maka, ruang gerak Adat mulai terusik terutama di bidang pertanian (pemerintahan ini terjadi ketika abah Rusdi) dan pihak perum perhutani membuat keputusan sepihak dengan cara pihak Adat boleh saja menggarap tanah di kawasan gunung halimun tapi ketika panen harus membayar cukai sebesar 15% (keputusan KRPH kecamatan cisolok) 15% tersebut dari 100%. Contoh apabila hasil panennya 100 bengkeut maka 15 bengket harus disetorkan ke pihak KRPH 1
Nama sinaresmi sebetulnya pernah di pakai dlokasi tersebut ketika pemerintahan Abah Roesdi (Abah kedua) di tanah Kasepuahan tersebut di desa sinaresmi. Dalam prspektif masyarakat Kasepuhan bahwa tempat yang pernah dipakai seharusnya tidak boleh ditempati kembali (karena akan mendapatkan musibah/kawalat/kabendon) dari para leluhurnya. 2 Kelak akan mempunyai kasepuahan
perum perhutani Cisolok. Dan masyarakat Kasepuhan hanya bisa pasrah. Hal ini tidak berlangsung lama ketika di awal pemerintahan Abah Arjo di setop karena katahuan oleh pihak pusat (perum perhutani). Namun di saat pemerintahan Abah Arjo ada intervensi lagi dari pemerintah pusat melalui dinas pertanian yang pada waktu itu ada program BIMAS dan INMAS. Pemerintah dengan segala cara memaksakan masyarakat adat agar memakai padi IR 63-64 karena di anggap lebih baik dari PADI lokal (padi kasepuhan) dan pola penanamannya pun dua kali serta menggunakan PUPUK KIMIA. Pada mulanya program pembangunan pertanian ini mendapatkan tantangan karena dinilai melanggar NORMA-NORMA ADAT tapi pemerintah tidak kehilangan akal dan membentuk KELOMPOK-KELOMPOK TANI di kasepuhan (kelompencapir) dan program pemerintah tersebut berhasil sehingga masyarakat tani kasepuhan ketergantungan terhadap pupuk kimia dan telah banyak membuat sawah (pola tanam di sawah bukan di humma/lahan darat) di jaman Abah arjo hanya 5% padi sawah dan di zaman Abah Asep sudah 30%. Sistem huma Huma merupakan bahasa lokal (bahasa sunda) artinya bertani padi di kawasan hutan (padi darat) yang hanya dilakukan penanamannya satu tahun sekali, karena sesuai dengan norma-norma yang ada di Kasepuhan agar menanam hanya satu kali yang didalam falsafahnya IBU BUMI, BAPAK LANGIT atau bumi di ibaratkan sebagai ibu yang hanya melahirkan anak hanya satu kali, maka berlakukanlah ibu dengan baik, dan langit yang bebberikan kehidupan kepada bumi berupa hujan guna menyuburkan tanaman terutama padi. Adapun di dalam sistem humma tersebut adalah sebagai berikut: No. Deskripsi Uraian dan pelaksanaan 01. Ngaseuk merupakan kegiatan menanam padi dengan memasukkan benih ke dalam lubang dengan menggunakan aseuk (tongkat). 02. Beberes Mager ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik Kasepuhan) dengan membaca doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam 03. Ngarawunan ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur, sempurna dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu untuk meminta doa kepada abah melalui bagian pamakayaan. Ngasrawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat bulan. 04.
Mipit
05. 06.
Nutu Nganyaran:
kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah sebagai pertBapak/Ibu masuknya musim panen kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua bulan setelah masa panen.
07.
Seren taun
Seren-tahun merupakan puncak dari ritual pertanian yang ada di kasepuhan yaitu memasukan hasil panen ke lumbung. (leuit si jimat) dari hasil panen tersebut tiap warga menyumbangkan padi minimal 2-5 (dua sampai lima) ikat (beungkeut) yang di rata-ratakan dengan setandar kilogram sebanyak 10-14,5 kg. 3
Padi hasil panen dari masyarakat Adat tersebut selain buat di simpan di LEUIT SI JIMAT tersebut, juga ada yang namanya zakat 10%. (sekitar 10 ikat/beungket padi) Zakat tersebut di gunakan (seperti menggaji) para kelembagaan adat seperti dukun, paraji, maro, amil kampung dan lain sebagainya. Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Peraturan adat menganalogikan padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan, maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan. Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudahm terpenuhi sampai panen padi Menurut abah : “Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.”
Mata pencaharian selain peladang (huma) Masyarakat adat Kasepuhan, selain hidup dari pertanian padi, mereka juga hidup dari berkebun dan berternak. Talun atau kebun warga ditanami oleh tanaman pisang, jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan. Selain itu, warga juga menanan pohon kayu-kayuan seperti mahoni dan albasia untuk keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah. Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian. Namun, untuk pohon kayu-kayuan tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana 3
Sebelum diadakan seren-taun masyarakat kasepuhan mendatangi IMAH GEDE untuk mengadakan ritual serah-ponggokan adalah melakukan tobat yang mempunyai salah ketika satu tahun hidup yang disesuaikan dengan mulai nanam sampai panen. Apa yang telah dilakukan masyarakat kasepuhan dan ritual ini dipimpin oleh Abah serta Dukun.
dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah. Selain berkebun, masyarakat juga beternak ayam. Hampir semua warga memiliki kBapak/Ibung ayam di depan rumahnya. Pengelolahan hutan. Kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan hutan diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian, Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi mendatang, dan tidak boleh berubah keutuhannya, yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di hutan. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya. Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan, masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang ditebangnya sesuai dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan usaha untuk mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang diperkirakan terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang, Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.
Hasil Wawancara di Kasepuhan Snar Resmi 1. “Padi hasil panen dari incu-putu tersebut, akan di serahkan kepada Abah
sebanyak 2 sampai dengan 5 beungkeut (ikat) sebagai tatali. Tatali dapat diartikan sebagai ikatan satu sama lain dalam incu-putu Kasepuhan sebagai solidaritas sosial yang kuat. Padi yang telah diserahkan kepada Abah tersebut akan di simpan di lumbung kasepuhan disebut Leuit si Jimat, selain itu juga dikenakan zakat sekitar 10 ikat/beungket padi. Zakat tersebut di gunakan untuk keperluan (menggaji) para kelembagaan adat seperti Dukun, Paraji, Pamaro, Kokolot Lembur dan lain sebagainya. Walaupun dalam memberikan zakat tersebut tergantung hasil yang dicapai ketika panen padi dari setiap incu-putu.” (wawancara tentang hasil panen, sumber Bapak Bahari selaku amil Kaepuhan Sinar Resmi). 2. “Incu-putu mah tos pada gede, masa kudu disuruh-suruh ku Abah, kan
Abah geus nyontokeun ngiringan shalat Jum’at, cuman incu-putu tacan ngarti mun solat Jum’at jeung solat lima waktu teh wajib”. (wawancara tentang Incu-putu yang sangat jarang melaksanakan peribadatan, sumber Bapak Ustadz Sulhi). 3. “Pergantian nama dari Kabuyutan menjadi kasepuhan, Abah Jasiun
mendapatkan wangsit dari leluhur guna menjaga keutuhan segala aturanaturan yang telah ditetapkan dari para buyut/leluhur. Hal tersebut diikuti dan ditaati oleh Incu-putu karena dinilai sebagai amanat dari para buyut/leluhur.” (wawancara tentang pergantian Kabuyutan menjadi Kaepuhan, sumber Abah Asep Nugraha). 4. “Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, mangan kedah
nu halal, ngucap kudu kalawan sabenerna, kedah miara ucap, miara lampah, miara tekad” (Panen harus izin, ambil harus minta, menggunakan harus suci, makan harus yang halal, berkata harus apa yang sebenarnya, harus menjaga perkataan, menjaga kelakuan, menjaga tekad) “Nyaur kedah diukur, nyabda kedah diunggang-unggang bilih bekasna nyalahan” (Berbicara harus diukur, berkata harus ditimbang-timbang takut berbekas kesalahan) “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah) “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) (wawancara tentang amanat Abah Jasiun kepada Incu-Putu, sumber Uwa Ugis).
5. “Pas eta kasepuhan Sinar Resmi di handap kepemimpinan Abah Rusdi
pihak Dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering dongkap ka Kasepuhan jeung selalu naroskeun tentang kayakinan ni dianut masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha Pangerana (tuhan)?. Urang masyarakat Kasepuhan sering nagajwab bahwa urang teh Agamana Islam dan Gusti Alloh SWT eta Tuhan nu urang bacakeun upami selametan. Teras saha nu ngabacakeun?, teras dijawab, aya penghulu atawa dukun nu ngabacakeun atawa pamakayaan lamun diladang, nu nyieun pihak Kasepuhan tersinggung, tapi abah teu marah ka pemerintah. Malah bertindak sareng memindahkeun Kasepuhan ka Cigana. Dan sampe ayeuna, pihak Departemen Agama masih ngontrol tentang peribadatan Kasepuhan, terbukti ngirikmkeun ustadz ti Depag Kabupaten Sukabumi.” Artinya tuturan Dukun ketika Kasepuhan Sinar Resmi di bawah kepemimpinan Abah Rusdi pihak dinas Agama Kabupaten Sukabumi sering datang ke kasepuhan dan selalu menanyakan tentang keyakinan-kepercayaan yang dianut masyarakat Kasepuhan Agamana naon? Saha pangerana (tuhan) dan itu sering. Kami masyarakat Kasepuhan selalu menjawab bahwa kami ini beragama Islam dan gusti Alloh SWT itu tuhan Kami; tapi kemudian terus menekan hingga tentang kemenyan, do’a-do’a yang kami bacakan setiap selametan. Terus siapa yang membacakan lalu dijawab ada penghulu atau dukun yang membacakan atau pamakayaan kalu di ladang, yang membuat pihak Kasepuhan tersinggung, tapi Abah tidak marah kepada pemerintah tersebut, melainkan bertindak dengan memindahkan Kasepuhan ke Ciganas. Dan sampai dengan sekarang pihak Agama masih mengontrol tentang peribadatan Kasepuhan terbukti telah mengirim ustadz dari Depag Kabupaten Sukabumi. (Wawancara tentang keyakinan/kepercayaan yang dianut oleh Kasepuhan, sumber Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan Sinar Resmi). 6. “Pada Tahun 1981-1982 terjadi konflik dengan pihak perhutani tentang
tanah Adat dan sebagian tanah Kasepuhan dimiliki oleh Ferum-perhutani sebagai bagian Taman Nasional Gunung Halimun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, perbedaan dalam hal legalisasi lahan Kasepuhan dengan pemahaman lahan versi pemerintah (Perhutani). Pada saat itu masyarakat banyak yang ditangkap karena dianggap mencuri kayu di lahan perhutani. Sehingga Abah Rusdi kembali memindahkan Kasepuhan ke Cikaret.” (wawancara tentang kepemilikan tanah adat, sumber Abah Asep Nugraha). 7. “Pas Abah Arjo memimpin Kasepuhan segala aturan adat dikuatkan
kembali, dan incu-putupun merasa senang dengan hal itu, Abah arjo sangat tegas pas memimpin. Dan abah arjo mempunyai 2 (dua) orang Istri, kedua-duanya dari kalangan kasepuhan.”
(wanwancara tentang bentuk otoritarianisme pemimpin Kasepuhan Abah Arjo, sumber Bapak Dede Mulyana selaku panasehat Abah Asep Kasepuhan Sinar Resmi). 8. “ bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Abah Ujat adalah: a. Menikahkan anak keduanya (perempuan bernama irna) dengan orang cina (waktu itu belum beragama Islam dari pihak laki-lakinya) b. Dapat hadiah anjing pekking dari menantu (chinanya) kemudian di pelihara di dalam Imah Gede. c. Kawin lagi tanpa persetujuan dari istri pertama.” (wawancara tentang pelanggaran norma-norma Kasepuhan yang dilakukan oleh Abah Ujat, sumber Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi). 9. Pas Usia Bapak Asep tos cekap sareng tos dianggap siap jadi abah di
Kasepuhan Sirnaresmi, harita eta taun 2002, abah uum alim ngalepasken kapamimpinan abah-wamena ka bapak asep, tapi saterasna kaluar ti Kasepuhan Sirnaresmi sareng ngabawa paralatan pusaka Kasepuhan teras ngadambel Kasepuhan anyar nudi pasihan ngaran Kasepuhan Cipta Mulya. Dina tanggal 20 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha dijadiken Abah Kasepuhan Sirnaresmi, ayapun Abah Uum Sukmawijaya ngadambel Kasepuhan Cipta Mulya sareng ngabawa pusaka Kasepuhan Abah Asep ngaikhlaskeun . Menurut Abah Asep bilih aya perselisihan sareng aya goyahna Kasepuhan, teras Abah Uum Sukmawijaya diperbolehkan nyien pusat pemerintahan Kasepuhan anyar nu dipasihan namina Kasepuhan Cipta Mulya. Artinya : pada Tahun 2002 ketika Usia Bapak Asep telah mencukupi dan dianggap siap menjadi Abah di Kasepuhan Sirnaresmi. Abah Uum tidak melepaskan kepemimpinan Abah-warnennya untuk diserahkan kepada Bapak Asep, tapi justru keluar dari Kasepuhan Sirnaresmi dan membawa peralatan pusaka Kasepuhan serta membuat Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan Cipta Mulya. Pada tanggal 02 Februari 2002 Bapak Asep Nugraha di nobatkan sebagai Abah di Kasepuhan Sirnaresmi dan adapun Abah Uum Sukmawijaya telah membuat Kasepuhan Cipta Mulya serta membawa segala benda pusaka Kasepuhan Abah Asep mengikhlaskan saja, karena menurut Abah Asep di takutkan adanya perselisihan dan mengakibatkan goyahnya Kasepuhan, dan Abah Uum Sukmawijaya di perbolehkan membuat pusat pemerintahan Kasepuhan baru yang diberi nama Kasepuhan Cipya Mulya.” (wawancara tentang kesanggupan Bapak Asep Nugraha sebagai Abah di Kasepuhan, sumber Aki Ompi penasehat Abah Asep Kasepuhan Sinar Resmi). 10. “Mangga bae arek make teknologi dan ikut modernisasi, asalkan teu
ngaganggu jeung ngarusak kana tatanen/pertanian (ngahuma) anu puguh disakralkeun baheula sampe ayeuna, para karuhun nu heula mah Ninggalnya heunteu ninggalkeun raga” artinya silahkan saja menggunakan teknologi dan mengikuti modernisasi, yang penting tidak mengganggu dan merusak pada pertanian yang sudah disakralkan dari
dulu sampai sekarang, karena para pendahulu meninggalnya bukan meninggalkan raga tapi wangsiat” (wawancara tentang Perkataan atau petuah Abah Asep Nugraha setelah mengganti nama Kasepuhan dari Sirnaresmi menjadi Kasepuhan Sinar Resmi, sumber Amil Buhari). 11. “Abah Asep hanya tegas dalam urusan pertanian (huma) saja, akan tetapi
kurang transfaran apabila bersentuhan dengan finansial seperti hasil kegiatan Mipit atau seren taun yang biasanya dapat kucuran dana dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan sponsor. Serta dalam menegakan aturan adat Kasepuhan di kalangan keluarga Abah justru yang sering melanggar aturan yang ada, akan tetapi Abah Asep belum pernah menengurnya. Hal inilah yang membuat incu-putu selalu bertanya pada Dukun atau Kokolot Lembur.” (wawancara tentang pertanian Abah Asep, sumber Bapak Martu sebagai Kokolot Lembur Sinaresmi dan Bapak Punta sebagai Dukun Kasepuhan Sinar Resmi). 12. Kalau mengacu pada seluruh aturan para buyut tentang bagaimana etika
pemimpin dalam melaksanakan segala kepemimpinannya harus sesuai dengan tatali paranti karuhun, karena didalamnya mengatur bagaimana wangsit itu datang dan yang mengetahui hanya Abah serta Dukun secara supranatural. Amanat Abah Jasiun yang tentang jangan berebut dalam kekuasaan yang tertuang dalam “Ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagirang-girang tapiana” (jangan bertinggi-tinggi berdiri, dan jangan saling mendahului/berebut dalam kekuasaan) hal itulah yang muali terkikis mulai kepemimpinan Abah Ujat bagaimana beliau menjadi Abahnya, serta Abah Asep yang mulai memudarkan segala aturan-aturan yang ada kalau Abah Asep mengamalkan Amanat Abah Jasiun “Kudu hade catur kasadulur, hade carek kasaderek, kandeu nyaur tinggal ngangsurn” (harus memelihara persaudaraan dengan baik, bersikap baik kepada teman, berbicara dengan merendah), mungkin tidak mementingkan individu. Adapun tentang Kasepuhan seharusnya tiap kepemimpinan ganti harusnya tempatpun harus pindah beberapa tahun kemudian kembali lagi itu dibolehkan atau mengganti nama Kasepuhan. (wawancara tentang kepemimpinan Abah Ujat dan Abah Asep yang sudah menetap di satu wilayah menurut aturan leluhur pada tatali paranti karuhun tidak di bolehkan, sumber Uwa Ugis). 13. “Ketika melanjutkan pendidikan di Bogor (perguruan tinggi) Bapak Asep
(belum menjadi Abah) kemudian tidak sampai lulus di perguruan tinggi tersebut, tetapi pemikiran bapak Asep sangat baik (cerdas) dalam tingkat Kasepuhan dan desa Sirnaresmi. Sehingga beliau banyak menjalin hubungan dengan para politisi Kabupaten Sukabumi (lokal) dan hubungan dalam urusan ekonomi.” (wawancara tentang Abah Asep ketika mengikuti pendidikan Perguruan tinggi, sumber Bapak Dede selaku penasehat Abah).
14. “Tatali Paranti itu aturan adat nu aya di kasepuhan yang harus
ditaati oleh incu-putu yang telah digariskan oleh leluhur serta incu-putu wajib mengetahui, tatali paranti itu menyangkut beberapa aspek seperti tata-cara huma (pertanian ladang kering), kehidupan beragama, serta bermasyarakat semuanya telah tertuang dalam Tatali Paranti. Tatali Paranti dapat dimaknai seperti tetali atau ikat yang selalu dipakai pada kepala incu-putu Kasepuhan dan apabila telah dipakai di kepala antara ujung ikat tersebut bertemu dan diikit kembali melingkar di kepala dan tidak akan ketemu ujungnya lagi. Jadi artinya segala aturan adat Kasepuhan itu harus dijunjung tinggi seperti ikat yang ada di kepala, karena itu adalah aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur.” (wawancara tentang Tali Paranti,sumber Bapak Punta selaku Dukun Kasepuhan Sinar Resmi). 15. ”Setiap incu-putu wajib mentaati segala aturan yang ada di
tatali paranti karuhun, karena merupakan aturan yang dibuat oleh para leluhur (adat-syara-nagara serta mukoha). Patokan hukum yang ada di tatali paranti karuhun tersebut agar selaras dengan hukum Agama (syara) dan menghargai pada hukum Negara (nagara) sehingga terjadi keselarasan dalam penegakan hukum (tidak terjadi tumpang tindih). Serta jangan sampai melanggarnya karena pasti akan mendapatkan kabendon.” (wawancara tentang Kandungan dalam tatali paranti karuhun, Abah Asep Nugraha). 16. Dalam Tatali paranti karuhun semua yang dilakukan oleh Abah dengan
keluarganya tersebut jelas melanggar norma-norma yang ada yang akan membawa hal buruk bagi eksistensi Kasepuhan itu sendiri. Abah juga mulai berpolitik di luar pemerintahan Kasepuhan, dan berelasi dengan tokoh-tokoh elit politik di pusat. Kepemimpinan Abah juga dipertanyakan ketika terjadi pengalihan bantuan pupuk sebanyak 40 ton kepada “incu putunya”, kemudian dijual kembali untuk alasan kepemilikan kendaraan roda empat milik Abah dan keluarganya.” (wawancara tentang Perubahan gaya hidup, sumber Bapak Punta selaku Dukun Kasepuhan di Sinar Resmi).