BAB V Kesimpulan MIFEE
merupakan turunan dari sebuah proyek besar yang dirumuskan
diabwah kewenangan Kementerian Pertanian, yang merancang kegiatan usaha budidaya tanakan dalam skala luas (> 25 ha) atau yang lebih dikenal dengan nama Food Estate yang mengusung target untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri lumbung pangan tidak hanya dalam skala nasional melainkan juga dalam skala global. Dengan mengajukan kemasan pola agrikultural modern, teknokratik dan korporatik. MIFEE
dibayangkan dapat menjadi salah satu pilot proyek yang
mampu menyediakan suplai pangan
guna mengatasi problematika krisis,
kerawanan pangan, ketahanan pangan di tingkat nasional serta global. Kehadiran program pembangunan food estate sendiri menemukan momentumnya , dalam rangka merespon krisis energi pangan global 2007-2008 . Selain itu, tanpa mengesampingkan tujuan utama pembangunan ketahanan pangan, MIFEE juga digadang-gadang menjadi proyek pilot bagi pengembangan energi alternatif. Disatu sisi MIFEE memiliki potensi ekonomi strategis, jika menaksir nilai perdagangan atas komoditi-komoditi yang ditumbuhkan didalamnya. Oleh karena itu, dapat dipahami apabilaMIFEE juga tidak luput menjadi salah satu program partikuler yang dianggap mampu mempercepat pencapaian kemajuan ekonomi Indonesia menuju kekuatan
ekonomi baru sesuai targetan MP3EI.
Sebagai bagian dari proyek besar food estate di Indonesia, MIFEE memberi porsi besar bagi korporasi swasta maupun BUMN asing maupun dalam negeri besar untuk berinvestasi. Dalam kerangka idealnya, disebutkan bahwa MIFEE diletakkan atas dasar keterpaduan subsektor dalam sistem agribisnis dengan kelembagaan yang kokoh, dimana proyek tersebut diarahkan kepada sistem agribisnsis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat/lokal dan sistem kemitraan berdasarkan prinsip kesetaraan, saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Dengan kata lain MIFEE, merupakan salah satu proyek besar
124
dibidang pangan dan energi yang dirancang secara holistik tanpa mengesampingkan hak-hak manfaat mendasar bagi penduduk lokal/adat didaerah pengembangann.ya. Kenyataannnya
dalam
pelaksanaanya,
proyek
MIFEE
menampakkan
fenomena terbalik yang jauh dari gambaran idealnya. Konflik-konflik dalam kontek sosial lingkungan bereskalasi seiring mulai dilancarkannya teritorialisasi lahan oleh korporasi-korporasi investor yng telah mengantongi izin konsesi dari negara. Pengkaplingan maupun pemerataan lahan
oleh korporasi investor, telah
mengundang sikap resisten dan memicu konflik yang terjadi baik antara masyarakat terhadap perusahaan, terhadap pemerintah (birokrasi) dan diantara kalangan masyarakat. Konflik yang mengemuka menyentuh permasalahan dampak-dampak dari perubahan sosial lingkungan yang telah dirasakan masyarakat lokal maupun dampak lanjutannya atas terampasnya tanah/lahan mata pencaharian masyarakat lokal menjadi properti usaha korporasi dibawah lisensi Hak Guna Usaha. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menemukan bahwa pola pengembangan proyek-proyek serupa MIFEE, yang melibatkan lahan dalam skala luas, dan pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi korporasi sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Model serupa juga terjadi diberbagai negara berkembang. Proyek-proyek investasi lahan pangan skala luas diberbagai negara tersebut juga memiliki kesamaan, yakni cenderung menyulut konflik-konflik sosial dan lingkungan pada areal pengembangan proyeknya. Pada proyek-proyek tersebut, konflik yang menyeruak pada umumnya menampakkan adanya sikap resistensi masyarakat lokal/adat atas pola pembangunan agribisnis dalam lahan skala luas yang dinilai hanya akan menguntungkan korporasi, merampas lahan-lahan hidup otonom masyarakat lokal, serta dapat mengancam kelestarian lingkungan melalui pengelolaannya yang teknokratik dan tidak alamiah. Keseluruhan dinamika tersebut pada akhirnya, dikhawatirkan dapat menciptakan pemiskinan secara struktural kepada masyarakat lokal/adat pedesaan yang telah secara tradisional Penelitian ini mendapatkan bahwa faktor dan penyebab socio environmental conflict
tidak hanya bersandar pada aspek teknis pelaksanaannya semata.
Melainkan juga dari paradigma ekonomi politik neoliberal yang termanifestasikan kedalam proyek-proyek pembangunan pangan dan agrikultural secara global.
125
Dengan menggunakan analisis food regime, maka dapat sisimpulkan kebijakan pengembangan pangan yang diletakkan dalam
lingkup internal suatu negara
merupakan bentuk adaptasi dari norma atas pembangunan pangan global. Disini dapat dianalisa tentang bagaimana struktur produksi–distribusi pangan berjalan, serta siapa aktor-akor yang hegemonik dalam menentukan, mengendalikan dan mengarahkan, jalannya sistem pangan global, yang
tak terlepas dari struktur
ekonomi kapitalistik neoliberal. Paham neoliberal yang bersandar pada pemahaman mendasar tentang liberalisme ekonomi menyodorkan tiga keyakinan utama atas pembangunan ekonomi, yakni deregulasi, liberlasasi (investasi, perdagangan komoditi barang dan jasa), privatisasi (swastanisasi sektor-sektor publik, dan pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi korporasi unttuk mengembangkan diri). Secara institusional, paradigma ini disebarkan melalui peranan dan kekuasaan lembaga-lembaga finansial global yang rutin memberikan
pinjaman dana mapun arahan
pembangunan ekonomi negara-negara didunia, seperti IMF, World Bank, dan pada sektor perdagangan terdapat instutisi WTO. Pandangan neoliberalisasi ini sejalan dengan kepercayan terhadap pencapaian ekonomi maju melalui modernisasi, modernisasi membutuhkan, teknologi, kapital/modal dan pengorganisasian. Berangkat dari hal tersebut pula, neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari proses akumulasi kapital, sebab pada tiap tahapan pembangunan ekonomi, kapital dibutuhkan sebagai prasyarat utama keberlangsungannya. Model pembangunan neoliberal-kapital mengalir ke berbagai ranah sektor pembangunan ekonomi tak terkecuali pada sektor pangan. Saat peranan korporasi semakin menguat atas keberlangsungan paradigma neoliberal, sektor pangan saat itu juga telah mulai semakin meruncingkan dinamika ekonomi politiknya menuju era corporate food regime (rezim pangan korporasi). Salah satu dinamika pangan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proyek-proyek pembangunan agrikultur dalam era corporate food regime, adalah keberlangsungan krisis.
Ia memiliki
pendekatan tersendiri dalam konteks corporate food regime. Serangkaian rekomendasi pola pembangunan agrikultural demi menyokong ketahanan pangan dan mencegah terjadinya kerawanan pangan , secara umum menampakkan
126
pernyataan bahwa suplai pangan yang beredar dalam pasar global harus terus memadai. Lebih khusus, meminjam analisis Erick Holt Gimenez, pendekatan atas krisis pangan di tahun 2007-2008 yang digunakan oleh negara-negara kaya modal maupun megakorporasi dari berbagai negara, adalah dengan menanamkan investasi produksi pangan pada lahan-lahan kosong dalam skala luas yang umumnya tersedia banyak di areal pedesaan
negara-negara berkembang.
Meskipun model
pengembangan lahan pangan skala luas,sebenarnya bukan hal baru, sebab di era developmentalisme, negara-negara melaksanakan ekstensifikasi
lahan melalui
program revolusi hiau, namun, berdasarkan berbagai sumber penelitian, salah satunya yakni dari Joachim Von Braun dan Ruth Meizen Dick bahwa arus konsesi lahan skala luas melalui investasi untuk tujuan produksi bahan pangan mendunia secara sporadik khusunya pasca krisis pangan, energi dan finansial di tahun 20072008. Berangkat dari dinamika global ini, dapat ditarik bahwa posisi food estate dan MIFEE
adalah salah satu model pengembangan aribisnis pangan dalam Era
Corporate food regime. Laporan pengembangan serupa food estate dari berbagai negara, menunjukkan bahwa pembangunan tersebut sarat dengan eskalasi konflik sosial dan lingkungan. Tak terkecuali di Indonesia pada proyek MIFEE. Pada dasarnya pembangunan tersebut, selalu berbenturan dengan isu-isu perampasan lahan masyarakat lokal oleh korporasi. Adapun resistensi yang muncul dari kalangan masyarakat adat Malind Anim Merauke atas pengembangan MIFEE yang juga nampak terjadi di negara lain, menyuarakan hal-hal berikut tentang
:
hilangnya hutan-hutan adat yang merupakan wilayah mata pencaharian otonom bagi masyrakat Malind Anim, berganti menjadi area operasional milik perusahaan selama masa Hak guna Usaha yang dapat mencapai hingga 35 tahun; Informasi yang tidak transparan. Sosialisasi yang dilakukan seringkali hanya untuk menegaskan tentang akan adanya proyek yang telah legal, dan membahas tentang negosiasi ganti rugi lahan; Tidak terealisasikannya janji pembangunan sarana publik, sebagai kompensasi seiring dimulainya aktifitas operasional perusahaan; Negosiasi ganti rugi lahan,
127
dinilai tidak sebanding areal lahan yang diokupasi oleh korporasi dan tidak sebanding dengan pendapatan penduduk ketika lahan masih bebas dan dapat mereka gunakan sehari-hari ; Adanya perbedaan ganti rugi untuk tiap-tiap kelompok penduduk yang mendorong kesenjangan dan konflik horizontal; Keluhan masyarakat atas pencemaran lingkungan sebagai akibat dari aktivitas operasional perusahaan., Sebagai dampak lanjutannya, masyarakat menghadapi ancaman kesehatan, seperti penyakit kulit, kekuranan nutrisi, akibat berubahnya pola lingkungan kehidupan mereka. Terlepas dari dinamika eskalasi dan dampaknya, maraknya konflik yang bereskalasi
pada proyek serupa
yang berlangsung dinegara-negara lain,
menimbulkan pertanyaan apa yang salah dari pembangunan agrikultur lahan skala luas, yang ditujukan untuk menyokong produktivitas, memperkokoh ketahanan pangan dan mengatasi krisis secara global, justru berlangsung begitu konfliktual dan mengundang begitu banyak reaksi negatif dari berbagai kalangan. Maka penelitian ini menyimpulkan bahwa pola pembangunan agrikultur lahan skala luas serupa food estate yang berjalan dengan karakteristik neoliberal adalah masalah utama. Sebab paradigma neoliberal, memberikan ruang bagi siklus kapitalisme berkembang dan hanya memberi porsi yang besar bagi pemilik modal atau korporasi untuk mengendalikan dan menguasai akses atas sumber daya alam dan hak atas produksi. Oleh karena itu, pola pengembangan pangan yang bertumpu pada pola-pola kapitalisasi sumber daya alam, akan ikut mengadaptasi proses-proses yang berkaitan dengan siklus akumulasi kapital, diantaranya adalah accumulation by dispossession, Yaitu akumulasi kapital yang tidak terlepas dri serangkaian bentuk perampasan/pemisahan antara kelas proletar, kelas petani, kelas masyarakat adat dengan tanah sebagai alat produksi mereka yang beralih menjadi properti penguasaan kelas tertentu untuk dikelola guna meraih profit. Konsep accumulation by disposession dalam penelitian ini, yang kemudian digunakan sebagai jembatan untuk melihat bagaimana korelasi antara paradigma neoliberal dengan Socioenvironmental conflict dalam kasus MIFEE. Paradigma pembangunan neoliberal dalam konteks MIFEE memberikan kesempatan konsolidasiyang besar bagi
128
korporasi untuk mengelola sumber daya alam sebanyak-banyak nya, seluasluasnya,menempatkan sumber daya alam tersebut sebagai kapital/modal untuk melanggengkan siklus kapitalisme dengan tujuan akhir meraih profit yang sebesarbesarnya. Penempatan tanah sebagai komoditas dan sekaligus alat produksi ke dalam sistem kapitalisme disertai dengan praktik-praktik accumulation by dispossession, pada akhirnya memicu hadirnya konflik-konflik dalam kerangka sosial dan lingkungan pada masyarakat diarea pengembangan MIFEE
129