( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.netBAB II PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT A. Penelitian sebelumnya yang Relevan Mencermati perspektif strategi pemberdayaan ekonom pesantren, secara fokus, peneliti belum menemukan penelitian yang secara khusus mengkaji term strategi pemberdayaan pesantren yang mengarah kepada kemandirian ekonomi pesantren. Namun, peneliti dapat menemukan beberapa penelitian relevan sebagai acuan literasi yang dapat membantu analisis tesis ini. Zuni Nurrochim, “Peran da’i dalam meningkatkan ekonomi umat” (Tesis tidak diterbitkan, PPs UIN Jakarta, 2004). Tesis ini menguraikan peran Da’i dan pesantren dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya. Secara garis besar, tesis ini menjabarkan peranan Aa Gym dan pesantren Daarut Tauhid di Bandung dalam meningkatkan pengembangan ekonomi keummatan. Mahful Muiz, “Peranan BMT dalam pendayagunaan dana produktif” (Tesis tidak diterbitkan, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005). Secara umum, tesis ini menjabarkan manajemen operasional BMT dalam mendayagunakan dana produktif. Pengelolaan dana produktif dalam BMT memiliki implikasi penting dalam pemberdayaan ekonomi pesantren. Sehingga, hasil penelitian ini penting menjadi salah satu literasi dalam analisis pemberdayaan BMT di Pesantren Darunnahdlatain Pancor. Mashur Malaka, “Strategi Pemberdayaan Zakat; Studi Kasus BAZDA Sulawesi Tenggara” (Tesis tidak diterbitkan, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005). Tesis ini menguraikan peranan dan strategi pemberdayaan zakat oleh BAZDA Sulawesi Tenggara.
Relevansi dengan kemandirian ekonomi pesantren yaitu bagaimana strategi dan manajemen operasional lembaga zakat dan shadaqah dapat diterapkan dalam kelembagaan pesantren. Disertasi yang membahas tentang Pemberdayaan Pesantren, yaitu Dr. Zubaidi, “Pemberdayaan masyrakat berbasis pesantren”. Disertasi ini telah dijadikan buku yang diterbitkan di Yogyakarta pada tahun 2007. Isi buku ini lebih pada mewartakan bahwa ide untuk fikih sebagai bagian dari pemecahan problem sosial telah mendasari langkah Kiai Sahl dalam merumuskan fikih sosial. L. Fauroni- Susilo dalam bukunya Menggerakkan Ekonomi Syariah Dari Pesantren. Buku ini diterbitkan di Yogyakarta pada tahun 2007 oleh Forum Pengkajian Pondok Pesantren Yogyakarta (FP3Y). Buku ini berbicara tentang kelayakan pesantren menjadi lokomotif pengembang ekonomi syari’ah di negeri ini. Fondasi motor penggerak adalah koperasi BMT. Fleksibilitas BMT sebagai lembaga bisnis jasa keungan syari’ah dan organ inti sel bisnis sektor riil, sinergis dan simultan bersama pesantren dengan cavtive market-nya. Departemen Agama R.I, judul buku Pola Pemberdayaan Masayrakat Melalui Pondok Pesantren, Perjalanan Panjang Tim Pendamping Pondok Pesantren Alqomariah Gunung halu, kab. Bandung Jawa Barat. Buku ini diterbitkan pada tahun 2003. Buku ini lebih khusus memaparkan tentang sebuah perjalanan panjang pemberdayaan masayrakat oleh tenaga pendamping alumni perguruan tinggi yang sangat peduli dengan kondisi masayrakat melalui Pondok Pesantren al-Qomariyah. Pola yang disajikan dalam buku ini adalah kisah nyata perjalanan panjang tim pendamping sebagai pelopor dari kegiatan pemberdayaan masayrakat sekitar pondok pesantren. Dari beberapa hasil penelitian relevan di atas, selain beberapa penelitian lainnya, Peneliti belum mendapatkan salah satu fokus kajian tentang strategi pemberdayaan ekonomi
pada pondok pesantren. Oleh karenanya, penelitian ini dianggap penting, kaitannya dengan strategi yang akan diterapkan untuk memberdayakan potensi ekonomi atau kegiatan ekonomi yang baru bergerak. Kegiatan ekonomi dengan strategi yang tepat dalam mengelola ekonomi pesantren Darunnahdlatain diharapkan mampu mewujudkan sebuah kemandirian ekonomi. B. Sejarah Perkembangan Pesantren Pesantren secara historis-kultural dapat disebut sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren bersamaan dengan proses Islamisasi yang terjadi di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, dan terus berkembang sampai saat ini. Ketahanan yang ditampakkan pesantren sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan sebagai suatu sistem pendidikan. Pesantren mampu menumbuhkan kepercayaan sekaligus menjadi harapan bagi sementara pada saat ini dan masa depan, sekaligus sebagai motor penggerak dan pengawal arus perubahan sosial. Penggunaan Istilah pesantren sehari-hari, biasa disebut dengan pondok saja atau kedua kata tersebut digabung menjadi satu sehingga disebut pondok pesantren. M. Arifin, sebagaimana dikutip oleh Mujarmil Qomar, mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khan yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pondok pesantren hampir semuanya tidak mempunyai satu keseragaman dalarn merumuskan tujuan pendidikannya. Namun demikian, dalam catatan Manfred Ziemek, tujuan pondok pesantren adalah membentuk kepribadian,
memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan. Adapun menurut Mastuhu, tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat. Embrio lahirnya lembaga pendidikan pesantren sesungguhnya bisa dilacak sejak periode Walisongo. Namun keberadaan lembaga ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada abad XVIII dan XIX. Dalam pandangan Abdurahman Mas'ud, lembaga pendidikan pesantren pada era kolonial cenderung diposisikan sebagai lembaga yang patut dicurigai karena menjadi basis "latihan para pejuang militan" guna melawan mereka. Sejalan dengan hal ini, watak pesantren itu sendiri memberikan kontribusi terhadap kemandirian dan ketahanan akan dominasinya melawan serangan dari luar. Pesantren pada posisi demikian ini dapat dipandang sebagai sebuah sistem pendidikan yang unik, dan bisa juga dilihat sebagai sebuah komunitas otonom di bawah para kiai yang kharismatik, yaitu suatu bagian dari populasi Jawa yang sungguh-sungguh mempertahankan identitas ke-Islamannya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai tempat di mana proses pengembangan keilmuan, moral, dan keterampilan para santri menjadi tujuan utamanya. Istilah pesantren berasal dari kata santri dengan awalan "pe" dan akhiran "an" yangberarti tempat tinggal santri. Kata santri sendiri menurut John berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Adapun menurut Berg berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau sarjana ahli kitab agama Hindu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren memiliki lima elemen penting yaitu pondok tempat menginap santri, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kiai.
Kelima elemen pondok pesantren di atas merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Meskipun kelima elemen tersebut saling menunjang keberadaan pesantren, namun posisi kiai dalam praktiknya memegang peranan central dalam dunia pesantren.
Bahkan, kebesaran nama sebuah
pesantren juga sangat ditentukan oleh kebesaran nama/kharisma sang kiai sebagai pemimpin puncaknya. Sebagai faktor determinan di kalangan pesantren, kiai-lah yang menjadi fondasi kekuatan eksistensi sebuah pesantren. Hal ini karena di mata santri, figur kiai adalah panutan baginya dan oleh karenanya upaya perubahan orientasi pengembangan pesantren (modernisasi) akan berjalan efektif kalau dimulai dari perubahan sang kiai. Zamachsyari Dhofier berpandangan bahwa pondok pesantren diibaratkan seperti kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) di lingkungan pondok pesantren. Oleh sebab itu, logis kalau dikatakan bahwa penentu arah dan kebijakan pondok pesantren berada pada kekuasaan otoritas kiai. Dari sini maka jelaslah kalau terjadi suatu proses personalisasi pondok pesantren oleh figur seorang kiai. Kondisi demikian, menyebabkan fungsi-fungsi organisasi pondok pesantren pada setiap lininya berjalan tidak efektif. Dalam pandangan K.H. Abdurahman Wahid, terdapat tiga elemen dasar yang membentuk pondok pesantren sebagai subkultur, (1) Pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara, (2) Kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan (3) Sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Kepemimpinan kiai di pondok pesantren sangat unik karena mereka menggunakan sistem kepemimpinan pramodern dengan mendasarkan pada asas saling percaya. Ketaatan santri kepada kiainya lebih didasarkan pada sebuah pengharapan yaitu mendapat limpahan barakah (grace). Sementara itu, elemen kedua yaitu
pemelihara/pentransfer khasanah Islam klasik dengan sistem periwayatan ilmu melalui jalur yang jelas dari pihak-pihak yang dinilai juga memiliki otoritas keulamaan yang dapat dipertanggungjawabkan, yang sumber literaturnya sering disebut dengan "kitab kuning". Kemudian sistem nilai yang dianut pesantren sesungguhnya merupakan refleksi atas nilai-nilai yang dibangun oleh kalangan salafus shalih yang diderivasi dari berbagai literatur klasik sebagai sumber nilainya dengan mendasarkan pada ketaatan kepada para kiai yang diyakini menjadi sumber barakah. Tiga elemen pondok pesantren tersebut saling berkaitan situ sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Kini, kepemimpinan kiai merupakan subjek pelembagaan yang telah ditentukan oleh kalangan pondok pesantren sendiri atau dari pihak luar pesantren yang akin berimplikasi pada sifat dasar, ruang lingkup, dan bentuk kepemimpinan pondok pesantren yang unik . Sejarah menunjukkan bahwa pesantren selama ini berperan sebagai agen ortodoksi yang paling penting, dengan upaya menjaga kesinambungan ajaran Islam dari tarikan akulturatif budaya lokal dan modern yang tidak sejalan dengan prinsip umum ajaran Islam. Watak ortodoksi pesantren menyiratkan eksistensi lembaga ini lebih menampakkan dirinya sebagai komunitas agama dengan bangunan ajaran yang lebih dogmatis, dan oleh karenanya cara pandangnya pada umumnya masih 'hitam putih' dalam memaknai suatu persoalan. A. Orientasi Pendidikan Pesantren Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah. Akan tetapi, misi kedua itulah yang justru menonjol. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran. Dalam pandangan Abdurahman Mas'ud, ide pemeliharaan kultural yang
berkembang di komunitas santri, merupakan salah sate keistimewaan kultur pesantren dan agama sebagai ekspresi "Islam kultural" di mana ulama sebagai agents of social change dalam rangka melanjutkan tradisi Walisongo untuk menerapkan dan memberikan perhatian lebih terhadap substansi ajaran Islam, yang telah diformulasikan oleh ulama salaf al-shalih. Sebagai agen perubahan social dan interpreter sejati ajaran Islam, seorang kiai merupakan figur di pesantren. Dialah yang merupakan pengarah dunia pesantren dengan supremasi kharismatiknya dan konsistensinya terhadap prinsip-prinsip religius yang dengan sempurna diikuti oleh para santri. Pada awalnya, kebanyakan pesantren berdiri lebih didasarkan pada motivasi dasar hanya untuk mengembangkan keilmuan agama. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki tiga peran yaitu; (1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, (2) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan (3) Sebagai pusat reproduksi ulama. Dalam kaitan dengan tujuan pendirian pesantren ini, dalam praktiknya, karakteristik pondok pesantren khususnya ketika dihadapkan pada tradisi pesantren secara kategoris dibedakan menjadi dua, yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi merupakan pesantren yang masih tetap mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Di pondok pesantren yang salafi ini tidak diajarkan pengetahuan umum. Adapun pesantren khalafi tampaknya menerima tata nilai baru yang dinilai sesuai dengan hukum Islam. Pesantren khalafi ini biasanya menggunakan sistem klasikal yang memuat pelajaran agama sekaligus ilmu-ilmu umum. Namun demikian, seiring dengan laju perkembangan kehidupan yang kompleks ditandai dengan lajunya arus modernisasi di berbagai bidang, pesantren dituntut siap beradaptasi dengan ritme kehidupan. Pada posisi demikian, sebagian pesantren melakukan perubahan orientasi terutama pada dimensi model pengembangan pendidikan dan
pengajarannya dengan membuka berbagai lembaga pendidikan formal dan berbagai lembaga pengembangan bakat, minat, serta keterampilan hidup sebagai bekal para alumninya. Berkaitan dengan keberadaan pesantren, Kuntowijoyo berpendapat bahwa komitmen sosial pesantren pada masyarakat telah terbukti bahkan dari abad ke abad. Pesantren disamping memiliki lingkungan, la juga milik lingkungan. Posisi demikian ini membuat pondok pesantren sering dijadikan referensi, khususnya dalam memecahkan masalah agama. Globalisasi (dengan berbagai implikasi sosialnya) sebagai sebuah produk zaman telah merasuki seluruh institusi sosial, tak terkecuali pondok pesantren. Apa reaksi kalangan pondok pesantren terhadap fenomena ini, tentu mengambil sikap yang ragam. Sudah barang tentu penyikapinnya akan melahirkan tiga kategori penyikapan, yaitu ada yang membuka kran modernisasi, ada yang menutupnya, dan ada yang mengambil jalan tengah di antara kedua ekstrem tersebut. Kelompok tengah inilah yang sesungguhnya menjadi mainstream dengan mendasarkan pada kaidah "al-muha>fadhah ala al-qadi>m al-sha>lih wa al-akhd bi al-jadi>d al-ashlah", yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik dan mengambil hal baru jauh lebih baik atau maslahat. Transformasi pondok pesantren dalam upaya memodernisasi dirinya merupakan respon kalangan pesantren untuk mendefinisikan dirinya di tengah arus perubahan. Kaidah dasar yang selalu menjadi acuan kalangan pesantren adalah "memelihara tradisi lama yang masih dinilai relevan dan pengembangan hal-hal baru yang tentunya lebih baik". Kaidah ini mengandaikan pesantren sebagai agen perubahan dengan pendekatan keagamaan. Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh sebagian pondok pesanten dalam menghadapi arus perubahan adalah membentuk berbagai alternatif pengembangan di bidang ekonomi dengan
mendirikan berbagai institusi ekonomis. Di samping sebagai instrumen pembelajaran di bidang ekonomi, juga diharapkan ada impact, baik secara sosial maupun ekonomi terhadap pesantren secara kelembagaan berupa kemandirian ekonomi pesantren. Pola dasar pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak santrinya sebagai insan yang sha>lih dan akram. Sha>lih berarti manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kaitannya dengan kehidupan sesama makhluk. Akram merupakan pencapaian kelebihan dalam kaitan manusia sebagai makhluk terhadap Kha>liq-nya untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Visi keduniaan (sha>lih) dan visi keakhiratan (akram) merupakan dwitunggal yang integral, yang menuntut orientasi pengembangan keilmuannya tidak melulu ilmu agama raja tetapi juga perlu dikombinasikan dengan ilmu-ilmu umum. Kemampuan pesantren untuk mengubah orientasi pengembangan dua ilmu secara proporsional itu akan mengubah citra pesantren di hadapan masyarakat sebagai lembaga yang terbuka terhadap arus perubahan. Dalam Skala makro, sasaran pesantren adalah masyarakat luas. Keberadaan pesantren di tengah masyarakat sebagai suatu komunitas pada hakikatnya adalah membangun jalinan nilai spiritualitas dan moralitas sebagai tatanan nilai yang seharusnya dipraktikkan. Tanggung jawab pesantren adalah memberikan kontrol dan sekaligus stabilisator perkembangan kehidupan masyarakat yang sering mengalami ketimpangan kultural. Fungsi dan peran pesantren dalam kaitan dengan arus perubahan adalah memproyeksikan nilai-mlal transendental dalam tataran praksis sebagai nilai yang hidup dan dipraktikkan melalui proses pembinaan yang dilakukan secara sistematis dan simultan. Salah satu kegiatan pesantren yang dianggap sebagai perkembangan baru adalah upaya pemberdayaan masyarakat yang selain ini masih digarap secara sporadis dan
insidental. Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, diharapkan tidak hanya akan melahirkan ulama yang berwawasan luas, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan arus perubahan. Kemampuan pesantren untuk melakukan perluasan orientasi yang tidak hanya terjebak pada pendalaman ilmu-ilmu agama saja, mempersyaratkan berbagai perubahan visi pesantren yang tidak hanya berurusan pada hal-hal yang berdimensi spiritual, melainkan ada kesediaan melakukan evaluasi internal untuk mereposisi peran dan fungsi pesantren. Dalam praktiknya, untuk melakukan pembaharuan sistem pendidikan di pesantren, terdapat beberapa kendala yaitu kendala psikologis, politik, pedagogis, dan pembiayaan. Untuk mengatasi kendala di atas, Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip oleh Ruchman Basori, memetakan beberapa hal pokok di bawah ini: 1. Perubahan pesantren harus dimulai dari dalam, karena tidak ada yang memimpin perubahan pesantren kecuali "orang dalam". 2. Agar gagasan-gagasan baru tersebut diterima, diperlukan kepemimpinan yang legitimate. 3. Perubahan yang terjadi hendaknya tidak bersifat radikal dan revolusioner. 4. Perubahan pesantren tidak hanya dengan modal kharisma, tetapi juga memerlukan skill. 5. Mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas program, sehingga perlu disusun Skala prioritas terutama pada perombakan kurikulum. Seiring dengan majunya pembangunan dan teknologi yang merambah seluruh kehidupan, dunia pesantren dihadapkan pada persoalan internal. Persoalan yang secara spesifik dihadapi oleh sang kiai sebagai pengasuh adalah terjadinya pergeseran peran sentral kiai karena masuknya sistem pendidikan klasikal dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi di lingkungan pondok pesantren. Pergeseran itu bisa terjadi karena kiai tidak lagi satu-satunya sumber pengetahuan di mata santrinya. Di samping itu, kiai juga dihadapkan pada realitas kebutuhan ekonomi, sehingga bisa saja kiai dihadapkan pada situasi yang dilematis antara bekerja dan berkorban untuk pendidikan, atau memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Hal ini sudah barang tentu akan berkait dengan konsep keikhlasan. Pertentangan antara tuntutan untuk mengabdi dan mencari nafkah menjadi persoalan tersendiri di dunia pesantren dan inilah situasi yang mengharuskan pesantren melakukan reorientasi fungsi pendidikan pesantren yang tidak saja murni lembaga tafaqquh fi al-di>n, tetapi menyeimbangkan antara tafaqqah fi di>n dan tafaqquh fi> duny>a, suatu pandangan yang berangkat dari tata nilai transendental "Rabbana> a>ti>\na>-fi dunya> hasanah wa fi al-a>khirati hasanah". C. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Pandangan dunia pesantren didasarkan pada keyakinan bahwa manusia pada dasarnya mencintai yang ma'ru>f (kebaikan) dan membenci yang munkar. Kebaikan hidup akan tercapai manakala manusia bisa memaknai kehadirannya di muka bumi sebagai khali>fatulla>h fi al-ardh. Kesadaran akan posisi strategis inilah yang harusnya menjadi motivasi lahirnya berbagai program yang
program
kreatif
dan
inovatif
dalam
mengarahkan fungsi kekhalifahan manusia di atas bumi sesuai dengan ajaran agama melalui proses-proses pendidikan. Agar pesantren mampu menegaskan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, maka pesantren dituntut untuk mendesain lembaga pendidikannya sebagai lembaga yang mampu menyiapkan santrinya sebagai komponen penting dalam pengembangan masyarakat. Kesadaran akan peran strategi pesantren inilah yang memaksa pesantren untuk memodernisasi sistem pendidikannya secara integralistik atau terpadu.
Pemikiran tentang kemungkinan pondok pesantren eksis dengan dirinya sendiri sebagai basis perkembangan masyarakat yang dimulai tahun 1970an, telah berkembang menjadi suatu gerakan besar bagi transformasi sosial, termasuk pondok pesantren sendiri. Kemunculan gagasan tentang perlunya pondok pesantren ikut menggerakkan proses transformasi sosial telah menempatkan pondok pesantren sebagai salah satu komunitas yang ikut mengawal lajunya arus perubahan sosial. Secara paradigmatik, pengembangan fungsi dan peran pesantren dalam konteks pemberdayaan masyarakat berpijak pada tatanan nilai yang diyakini dan dianut oleh kalangan pesantren yang bermuara pada dua nilai yaitu nilai ilahi dan nilai insani. Nilai-nilai ilahi merupakan akumulasi doktrinal yang suci yang berisi nilai-nilai fundamental kehidupan yang tidak berubah-ubah yang bersumber dari sumber teks-teks otoritatif, baik dalam al-Qur'an ataupun sabda Rasulullah SAW. Adapun nilai-nilai insani adalah tumbuh atas dasar kesepakatan manusia dan berkembang dari peradaban umat manusia. Dengan pola pengembangan pesantren yang terpola dalam dua nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai agama yang diyakini oleh pesantren mendasarkan pada dua nilai, yaitu; (1) nilai-nilai kebenaran yang memiliki kebenaran mutlak yang dominan bercorak fiqh-stifistik; (2) nilai agama yang memiliki kebenaran yang relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari menurut hokum agama. Tata nilai yang dikembangkan oleh pesantren adalah mendasarkan pada dua basis nilai yaitu nilai-nilai ilahi dan nilai-nilai insani. Nilai ilahi merupakan nilai yang transenden yang bersumber dari Allah dan Rasulullah yang berlaku universal dan menjadi sumber nilai perilaku manusia dalam mencapai fala>h (kebahagiaan), baik di dunia maupun di akhirat. Adapun nilai-nilai insani merupakan nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta
hidup dan berkembang dengan mendasarkan pada kemaslahatan bersama. Dialektika kedua tata nilai inilah yang menjadikan dunia pesantren adaptif terhadap realitas perubahan yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Beberapa tata nilai yang khas dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat adalah, nilai teosenris, sukarela dan mengabdi, kearifan, kesederhanaan, kolektivitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, mandiri, mengamalkan ajaran agama, dan restu kiai. Beberapa komponen nilai di atas kalau diimplifikasikan dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu nilai kepatuhan dan kebersamaan. Pondok pesantren sebagai lembaga dakwah, pengkaderan ulama, pengembangan ilmu pengetahuan (khususnya agama), dan pengembangan masyarakat, telah memberikan kontribusi yang besar dalam ikut mendirikan Republik Indonesia ini. Pada masa awal gerakan kemerdekaan sampai masa pembangunan sekarang ini, pesantren telah berperan di segala bidang sesuai dengan posisi masing-masing. Dalam kaitan dengan posisinya sebagai lembaga dakwah, pesantren harus mampu menjadi transformator dalam pembangunan. Sebagai transformator, pesantren dituntut mampu mentransformasikan nilai-nilai agama sebagai nilai yang membumi dan dapat dipraktikkan oleh masyarakat sehingga melahirkan semangat masyarakat untuk melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Adapun sebagai motivator dan inovator, pesantren harus mampu memberi rangsangan kepada masyarakat untuk menggerakan potensi yang dimiliki masyarakat agar menjadi masyarakat
yang bermartabat. Dengan bekal kemandirian dan basis massa yang kuat, pondok pesantren merupakan elemen penting yang berpotensi untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil society) sebagai pilar demokratisasi. Namun demikian potensi itu akan menjadi kenyataan ketika pondok pesantren sendiri harus melakukan demokratisasi dari dalam, sehingga pesan demokratisasi itu tidak hanya sekadar slogan tetapi membumi dan betel-betel hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan komunitas pesantren. Signifikansi dari proses perubahan pola relasi sosial pesantren yang feodalistik ke demokratis juga akan mengubah pencitraan pondok pesantren itu sendiri. Dengan keteguhannya yang diimbangi denyut fleksibilitasnya dalam merespon arus perubahan sosial, pesantren akan mudah mengambil pesan strategis dalam proses pemberdayaan sosial. Paling tidak, dengan menggunakan jaringan alumninya, pesantren sangat memungkinkan mengembangkan potensi yang dimilikinya, baik potensi keilmuan maupun ekonomi. Dalam teori sosial, Pengembangan Masyarakat (PM) memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. PM seringkali diimplementasikan dalam bentuk; (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b) kampanye dan aksi sosial yang
memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab. Pengembangan masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu "pengembangan" dan "masyarakat".
Secara singkat,
pengembangan atau
pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya metiputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan social budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu: 1. Masyarakat sebagai sebuah "tempat bersama", yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. 2. Masyarakat sebagai "kepentingan bersama", yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas Para pengguna pelayanan kesehatan mental. Istilah masyarakat dalam konteks pemberdayaan biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan
sosial
kemasyarakatan
yang
membedakannya
dengan
pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan di
rumah mereka dan atau atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Adapun perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan "negara". Misalnya, "sektor masyarakat" sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal, dan bersifat bottom-up. Sementara itu, lawannya, yakni "sektor publik", kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar dan lebih birokratis. Pengembangan Masyarakat yang berbasis masyarakat seringkali diartikan dengan pelayanan sosial gratis dan swadaya yang biasanya muncul sebagai respon terhadap melebarnya kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan dengan meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan pelayanan. PM juga umumnya diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih bernuansa pemberdayaan (empowerment) yang memperhatikan keragaman pengguna dan pemberi pelayanan. D. Konstruksi Teoritis Pengembangan Ekonomi Pesantren Secara sosiologis, pesantren mempunyai keunggulan dan kedekatan strategis untuk memberdayakan masyarakat. Ikatan (emosional, rasional, dan nilai) keagamaan serta kharisma seorang kiai-ulama bagi masyarakat menjadi faktor yang signifikan untuk menempatkan pesantren sebagai salah satu motor penggerak lahirnya perubahan sosial melalui aksi pemberdayaan sosial. Kemampuan pesantren untuk melakukan ikhtiar pemberdayaan akan efektif kalau ada perubahan cara pandang pesantren yang tidak hanya berorientasi ke dalam dengan hanya berbicara murni soal agama tanpa peduli dengan
realitas sosial sebagai basis perjuangan yang juga semestinya dilakukan oleh pesantren. Pesantren dan masyarakat adalah dua entitas yang satu dan padu, karena bagaimanapun kelahiran pesantren merupakan gambaran dan keinginan komunitas di mana pesantren didirikan. Pondok pesantren sebagai pusat pendidikan, sumber kepemimpinan informal telah menyediakan ruang bagi berbagai kegiatan sosial yang memungkinkannya untuk mengambil peran pemberdayaan. Kenyataan ini memberikan indikator yang jelas betapa pesantren dengan tokoh kiainya berusaha melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dengan memberikan berbagai program pendidikan ataupun pelatihan khususnya pada rakyat kecil, di kala pendidikan hanya mengabdi kepada masyarakat elit saja dalam rangka penumbuhan masyarakat yang beradab (civil society). Dalam pandangan Ali Maschan (PW NU Jatim), bahwa tugas pokok kiai adalah menciptakan kesejahteraan umum melalui penguatan civil society. Peran kiai dalam proses penumbuhan civil society ini dilakukan melalui dimensi pendidikan, ekonomi, dan penegakan amar makru>f nahi munkar. Secara teknis, upaya itu dilakukan kiai dengan memberi inspirasi, motivasi, dan stimulasi agar seluruh potensi masyarakat diaktifkan dan dikembangkan secara maksimal dengan kegiatan pembinaan pribadi, kerja produktif yang diarahkan pada upaya menciptakan kesejahteraan bersama. Dalam konteks pengembangan ekonomi umat, upaya-upaya kiai untuk melakukan pemberdayaan ekonomi umat telah banyak dilakukan oleh beberapa pondok pesantren. Berbagai pengembangan ekonomi umat yang berbasis pesantren ini biasanya mengambil bidang garap pengembangan ekonomi umatnya dengan mendasarkan pada potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat basisnya. Paling tidak, beberapa sektor pengembangan ekonomi yang selama ini banyak dikembangkan bermuara pada empat kategori yaitu
pengembangan ekonomi sektor jasa, perdagangan, agrobisnis, dan peternakan. Pilihan pada jenis usaha ekonomi apa yang perlu dikembangkan oleh pesantren tentunya mendasarkan pada realitas objektif potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat sekitar pesantren, sehingga gagasan pengembangan ekonomi yang dimotori oleh pesantren secara kelembagaan tidak tercerabut dari basis sosial ekonomi masyarakat sekitar pesantren. Pada posisi demikian, akan lahir pola kerjasama sinergis antara pesantren dan masyarakat dalam proses pengembangan ekonomi sehingga mampu menghadirkan realitas baru bahwa pesantren dapat memosisikan sebagai partner sekaligus icon perubahan untuk penguatan ekonomi masyarakat. Pada saat yang sama, hasil sinergi tersebut pada akhirnya akan memperkuat basis kelembagaan pondok pesantren menjadi pesantren yang mandiri dan mempunyai fundamental ekonomi yang kuat. Berbicara tentang pemberdayaan ekonomi, pikiran kita dapat dipastikan tidak hanya dapat terfokus pada dunia materi, tetapi juga nonmateri (nonekonomi) seperti masalah kesadaran, aktor, dan peran kelembagaan. Hal ini selaras dengan Sudjatmoko yang mengatakan bahwa pembangunan bidang ekonomi bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi terkait dengan penjelmaan perubahan sosial dan kebudayaan. Dengan kata lain, membangun aspek ekonomi terkait erat dengan aspek non-ekonomi seperti perubahan pola pikir, kesadaran, persepsi, dan budaya masya rakat. Terkait dengan masalah agraria dan transformasi sosial, khususnya keterkaitan antara ajaran agama dan perkembangan dunia material, penemuan Weber, Berger, dan Geertz kiranya dapat dijadikan sebagai pijakan dalam penelitian ini. Weber, dalam karya monumentalnya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism mencatat bahwa ajaran Protestan madzhab Calvinis secara signifikan merangsang dan mendongkrak tumbuh suburnya Kapitalisme Barat. Etika Calvinis
membantu meningkatkan atmosfir keadaan jiwa perekonomian yang kemudian memunculkan Kapitalisme Barat. Madzhab Calvinis sebagaimana temuan Weber berkeyakinan bahwa manusia akan selamat dari murka Tuhan jika manusia selalu memenuhi keinginan Tuhan. Keinginan Tuhan yang dimaksud antara lain adalah usaha mandiri dan kerja keras. Pendapat demikian dipercayai Weber sebagai tipe ideal kaum Calvinis. Sukses dalam dunia bisnis yang dicapai melalui usaha mandiri merupakan "jalan bebas hambatan" untuk mencapai surga Tuhan. Kerja keras dan usaha mandiri inilah yang dipercayai Weber sebagai asal-usul bangkitnya kapitalisme. Orientasi religius baru ini dapat mengubah sikap masyarakat terhadap dunia. Nilai religius tersebut juga menjadi sikap yang menekankan penguasaan yang lebih rasional tentang dunia dan transformasinya. Perubahan sikap tersebut membawa dampak langsung pada dunia material (ekonomi). Dan penyembahan Tuhan dan jaminan keselamatan manusia, umat manusia diajak untuk menciptakan sistem ekonomi baru yang berdasarkan pencapaian keuntungan rasional. Walaupun demikian, Weber menegaskan bahwa kapitalisme tidak berkembang hanya karena agama Protestan, tetapi tanpa agama dengan nilai semacam itu, kapitalisme tidak akan berkembang seperti sekarang. Hal yang harus diperhatikan dalam mencermati perkembangan kapitalisme adalah adanya peraturan-peraturan yang secara teknis mengikat dan menjamin keberhasilan kapitalisme. Dengan hukum yang rasional, seorang kapitalis akan dapat tegak secara hukum. Demikian juga, seorang kapitalis tidak akan berbuat apa-apa jika peradilan dan pengadilan memutuskan hukum sesuai dengan cara-cara dan teknis yang meliputi cara perhitungan secara rasional dengan pembuatan neraca, kalkulasi, dan sebagainya. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa proses transformasi sosial menurut
Weber adalah karena adanya beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah pencapaian "tipe ideal". Dalam hal ini tipe ideal dapat terinspirasi dari ajaran agama maupun ajaran moral. Tipe ideal adalah contoh model kegiatan-kegiatan sosial yang dipakai dalam menafsirkan dan memahami tingkah laku manusia. Tipe ideal adalah entitas mental atau gagasan tentang tindakan. Sebagai contoh dari penjelasan di atas, Weber menggunakan tipe ideal kapitalisme dan Islam. Dan tipe ideal ini memunculkan ciri-ciri tingkah laku (baik kapitalis, Protestan, maupun Islam) yang dipilih, dibuang, dan diperluas untuk membentuk sebuah model tingkah laku. Adapun yang kedua adalah organisasi otoritas. Secara naluriah manusia ingin mengejar kepentingan-kepentingan sesuai dengan tipe idealnya maupun kepentingan materinya. Peran yang dipandang menentukan adalah organisasi-organisasi otoritas. Melalui fungsi dan peran organisasi otoritas ini akan menjamin dan melegitimasi maksud (tipe ideal) yang diinginkan. Hukum-hukum rasional ala mereka dapat dijadikan sebagai sandaran dalam beraktivitas. Weber secara tidak sadar menomorsatukan faktor organisasi otoritas sebagai langkah awal transformasi. Artinya, walau tipe-tipe ideal itu ada dalam masyarakat, tetapi selagi tipe ideal itu tidak diperjuangkan dengan bantuan organisasi otoritas (terutama otoritas rasional), maka upaya pencapaian itu tidak akan tercapai dengan maksimal. Dalam masyarakat Indonesia, agama menjadi spirit pada tahap awal perkembangan modernisasi ekonomi di beberapa tempat, terutama pesisir utara Jawa sebagai sentra perdagangan para penyebar Islam di Nusantara. Selain Weber, terdapat beberapa ahli lain yang menunjukkan etika agama menjadi pendorong munculnya transformasi ekonomi di beberapa tempat seperti ditunjukkan oleh Geertz (1963), Castle (1967), Kuntowijoyo (1971), de Jonge (1989), dan Muhaimin (1990).
Agama memiliki kekuatan yang dapat memberikan legitimasi religius, di samping dapat menjadi legitimator institusi sosial. Legitimasi religius ini tampak dalam aktivitas keseharian para pengikut agama tertentu yang menunjukkan kepatuhan dan kesalihan sebagai wujud dari "ideasi religi" yang terakumulasi dalam tradisi keagamaan. Adapun legitimasi agama terhadap lembaga-lembaga sosial berupa pemberian status ontologis yang absah, yakni meletakkan lembaga-lembaga tersebut dalam suatu kerangka acuan keramat dan kosmik. Masih terkait dengan agama dan perubahan sosial, karya lanjutan Weber dalam sosiologi agama memperkuat tesis dasamya bahwa hanya reformasi protestan-lah yang mampu menciptakan asketisme duniawi sebagai conditio sin qua non bagi berkembangnya rasionalitas instrumental ekonomi pasar kapitalistik. Sangat kontras dengan Protestanisme, karya perbandingannya tentang Islam dipenuhi oleh sikap skeptiknya tentang kernarnpuan Islam tentang untuk menumbuhkan rasionalitas instrumental dan orientasi keduniawian bagi para pengikutnya. Menurut Weber, Islam yang dipenuhi ajaran sufistik dan orientasi petualangan para warrior penyebar Islam mencegahnya untuk menumbuhkan asketisme duniawi sebagaimana yang terjadi di Kristen. Terkait dengan tools of social and economic transformation sebagai sebuah elemen perubahan sosial, menarik untuk disimak juga temuan Geertz dalam karyanya The Religion of java dengan subjek penelitian di Mojokuto. Sekalipun menggunakan frame analisisnya Weber, Geertz melihat sisi lain dari perubahan sosial di Mojokut
Geertz
melihat kemiripan semangat kapitalisme dalam umat Islam sebagaimana tradisi dalam masyarakat Protestan di Barat, In the light of theories of Max Weber concerning the role of Protestantism in stimulating the growth of the business community in the West, it is perhaps not surprising that the leaders in the creation of such a community in Mojokuto are for the most part intensely reformist Moslem, for the intellectual role of reform
in Islam has at least in some ways, approached the Protestantism in Christianity. Emphasizing that the systematic and untiring pursuit of worldly ends may be a religiously significant virtue of fundamental importanc. Tumbuhnya rasionalisme berarti hilangnya praktik-praktik Magis dan spekulatif dalam suatu masyarakat. Hasil reformasi yang dilakukan lembaga agama menurut Weber adalah munculnya suatu pola kehidupan yang konsisten, sistematis, dan etis. Penemuan Geertz tentang Islam di Jawa menepis temuan Weber sebelumnya yang mengatakan bahwa spirit Islam bersifat cenderung sufistis, yang menjadi faktor stagnannya dunia material. Geertz menemukan kenyataan lain di Mojokuto bahwa kita tidak dapat menafikan pengaruh reformasi Islam yang sedang tumbuh subur di Indonesia masa 1950an dalam mendorong tumbuhnya sikap rasional di kalangan pengusaha Muslim perkotaan. Dalam analisisnya tentang perkembangan masyarakat urban di Mojokuto, Geertz mengamati proses transformasi sosial yang ditimbulkan oleh usaha sistematis kalangan pengusaha Muslim perkotaan untuk menciptakan bisnis yang efisien dan akumulasi modal. Perkembangan ini ada dan mirip sebagaimana pada kasus gerakan Protestanisme yang diamati Weber. Selain mengakui kemelekatan ekonomi pasar dalam sistem sosio-kultural yang lebih lugas, Geertz juga percaya bahwa ide tentang pasar, sistem pertukaran, dan profit-making adalah sesuatu yang pada dasarnya asing bagi orang Jawa. Sementara itu, dia menginsyafi bahwa perdagangan sedang tumbuh berkembang menjadi bagian integral dalam struktur
ekonomi pasar pribumi yang rasional. Bagi Geertz, perkembangan pasar yang rasional di Jawa juga ditopang oleh peran birokrasi, sekalipun Geertz tidak memungkiri bahwa mode produksi utama masyarakat Jawa adalah pertanian. Bagi penganut Weberian yang lain, seperti Castle dan Peacock, institusi legal-rasional adalah determinan lain yang sangat penting bagi munculnya ekonomi kapitalistik. Institusi legal-rasional ini penting untuk menopang institusi pasar supaya berfungsi dengan baik. Dia berfungsi untuk menjamin terlaksananya perjanjian kontrak jual-beli, melindungi hak milik, menyediakan fasilitas publik, dan memberi hukuman bagi mereka yang melanggar aturan main ekonomi pasar. Lebih dari itu, institusi legal-rasional adalah produk agregat dari rasionalitas individual. Kerangka ini mengandaikan sebuah proses perubahan yang linier dari rasionalitas individu ke institusi legal-rasional. Rasionalitas individu membentuk rasionalitas kolektif dan rasionalitas kolektif tercermin dalam rasionalitas institusi politik dan birokrasi untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung berfungsinya institusi pasar. Linearitas ini juga terlihat dari ramalannya tentang Indonesia masa depan. Baginya, rasionalitas individual dan institusional adalah prasyarat bagi apa yang dinamakan modernisasi. Pemikiran Soedjatmoko ini selaras dengan Alfian, yakni menekankan pentingnya posisi kebudayaan. Bagi Alfian, kebudayaan menjadi unsur utama dalam proses transformasi. Seperti Soedjatmoko, Alfian menekankan fungsi kebudayaan sebagai acuan nilai dalam menjaring unsur-unsur baru yang relevan dalam proses transformasi sosial. Pemikiran Soedjatmoko ini selaras dengan Alfian, yakni menekankan pentingnya posisi kebudayaan. Bagi Alfian, kebudayaan menjadi unsur utama dalam proses transformasi. Seperti Soedjatmoko, Alfian menekankan fungsi kebudayaan sebagai acuan nilai dalam
menjaring unsur-unsur baru yang releva dalam proses transformasi sosial. Secara kelembagaan, pesantren sebagaimana dalam sejarahnya memiliki peran sentral dalam pengembangan agama Islam di Nusantara. Sebagai sebuah institusi, lembaga ini dengan kiainya memiliki kekuatan yang mengakar pada masyarakat. Karena begitu kuat pengaruh kultur pesantren terhadap masyarakat, inovasi dan pembaharuan yang berasal pesantren akan cepat diserap dan diadopsi masyarakat. Ini karena pesantren, kalau memakai istilah Berger, sebagai lembaga sosial yang memiliki legitimasi kuat berdasarkan nuansa agama. Karena legitimasi ini, community development dalam berbagai bidang, termasuk pengembangan ekonomi masyarakat akan low resistence, dibanding dengan lembaga yang tidak memiliki legitimasi. Di sisi lain, Islam sebagai sistem nilai sangat berpengaruh pada perilaku penganutnya, sebagaimana temuan Geertz yang menyatakan bahwa komunitas muslim perkotaan memungkinkan untuk mengambil peran-peran dalam pengembangan ekonomi kiranya relevan untuk dijadikan dasar pijakan dalam merumuskan teori pengembangan ekonomi pesantren yang notabene institusi pendidikan yang berbasis agama Islam. Dalam hal ini, Islam oleh Geertz dipandang sebagai faktor determinan dalam membangun dinamika dunia material yang mendasarkan pada basis pemahaman perlunya keseimbangan antara dimensi spiritual dengan material, atau antara yang sakral dan profan. Dengan mendasarkan pada kerangka teoritis di atas, maka proses penelitian menjadi terarah dan bisa memaknai setiap fenot riena/fakta sebagaimana adanya untuk kemudian ditafsirkan menjadi bagian dari temuan ini.
E. Pengertian Strategi Pemberdayaan Ekonomi Pesantren 1. Pengertian Strategi
Strategi berasal dari kata stratos dan ag yang berarti memimpin, yang artinya seri atau ilmu untuk manajemen di seorang jenderal. Konsep ini cukup relevan dengan situasi zaman dulu yang memang sering diwarnai oleh perang, dimana jenderal butuhkan untuk memimpin suatu angkatan perang agar dapat selalu memenangkan perang. Menurut Stoner, Freeman, dan Gilbert, Jr, konsep strategi dapat didifinisikan berdasarkan perspektif yang berbeda, yaitu : a. Dari perspektif yang organisasi ingin dilakukan “ intens to do “ b. Dari perspektif yang organisasi akhirnya dilakukan (eventually does) Strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dari pengilementasikan misinya, atau sebagai pola tanggapan dan respon organisasi. Terhadap lingkungannya sepanjang waktu, strategi memberikan kesatuan arah bagi semua anggota organisasi, bila konsep strategi tidak jelas, maka keputusan yang diambil akan bersifat subjektif atau berdasarkan institusi berlaku dan mengabaikan keputusan yang lain. Manajemen strategi adalah merupakan sesuatu terus menerus, dan walaupun pada waktunya harus dipilih titik-titik yang berlainan dengan maksud untuk pengembalian keputusan hal ini dilakukan sepanjang tahun dan tidak hanya selama rapat tahunan saja. Pada umumnya disepakati bahwa penyusunan dan mengkomunikasikan strategi termasuk dalam kegiatan-kegiatan yang penting daripada pola pada manajer pada manajemen puncak. Ross dan Kami dalam buku mereka yang mengupas tentang kegiatan banyak pemasukan besar di Amerika Serikat mengatakan bahwa “ tanpa strategi, perusahaan sama seperti sebuah kapal tanpa pengemudi yang berlayar mengelilingi lingkungan, sama seperti gelandang yang tanpa tujuan pada dasarnya kedua penulis itu
mengatakan bahwa kegagalan perusahan pada umumnya disebabkan kurang strategi diterapkan secara efektif maka kegagalan hanya soal waktu saja. Strategi dengan pengakuan tentang pentingnya strategi, banyak pula kekecewaan yang timbul terhadap strategi, penyusunan dan penerapannya. Seorang konsultan terkenal pernah meyatakan, terutama sekali dalam perencanaan strategi “ dikebanyakan perusahaan, perencanaan cenderung bersifat akademis merupakan kegiatan yang tidak didefinikan dengan baik, dengan sedikit atau dampak sama sekali terhadap laba perusahaan. Banyak pejabat eksekutif kepada perusahaan telah meremehkan strategi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti perencanaan pada dasarnya hanya merupakan alat permainan orang-orang staf saja, atau perencanaan strategi, hanya pemborosan waktu belaka. Sejumlah perusahaan dan bahkan beberapa badan pemerintahan telah mencoba menyusun perencanaan strategi tetapi mereka hanya berhubungan dalam hal-hal yang bersifat umum, studi-studi yang tidak produktif dan program-program yang tidak sampai pada pelaksaan praktis. Untuk lebih mengefektifkan pemberdayaan ekonomi pada pesantren ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain : 2. Analisis SWOT Sebelum menentukan dan merancang strategi apa yang tepat bagi suatu perusahaan, maka perusahaan perlu untuk mengidentifikasi keadaan lingkungan sekitar dari perusahaan. Lingkungan perusahaan yang dimaksud
adalah lingkungan internal dan eksternal
perusahaan. Analisa akan situasi lingkungan yang dihadapi oleh suatu perusahaan dikenal
dengan istilah analisa SWOT. Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisa ini didasarkan
pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisa SWOT membantu perusahaan dalam mengamati situasi lingkungan dengan empat elemen
tersebut. Analisa SWOT ini menjadi penting bagi perusahaan untuk
dilaksanakan karena situasi lingkungan ini dapat menuntun perusahaan ke arah strategi yang tepat sehingga perusahaan dapat mempunyai kinerja yang baik dan keuntungan yang diharapkan atau mengarahkan perusahaan mengambil strategi yang kurang sesuai dengan keadaan lingkungan sehingga menghasilkan kinerja dan keuntungan yang tidak sesuai dengan standar perusahaan.
kekuatankekuatan yang berharga
Perusahaan A
Starus perusahaan
Kelemahan-
Kelemahan yang
Perusahaan B
Kritikal peluang-peluang
status
Ancaman-Ancaman dalam lingkungan
lingkungan
yang kritikal
Gambar 1. Analisa SWOT Pentingnya analisa situasi lingkungan ini tergambar akan banyaknya waktu yang dihabiskan oleh para manager dalam mengumpulkan informasi-informasi yang mereka butuhkan akan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan. Untuk mengetahui peluang dan ancaman perusahaan, perusahaan tidak hanya mendapatkan informasi lewat sumber informasi yang dipublikasikan seperti laporan teknik seperti melakukan wawancara akan kunjungan ke perusahaan pesaing, tidak memberi informasi ke pelanggan baik pelanggan sendiri atau pesaing, mengikuti tur ke pabrik pesaing atau membeli tempat sampah pesaing. Sedangkan untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan, para manager dan eksekutif perusahaan mempelajari laporan tahunan, anggaran, rasio keuangan, laporan rugi laba ataupun survei yang dilakukan tentang perusahaan baik keadaan kerja ataupun kepuasan karyawan. Dalam analisa SWOT, perusahaan dapat mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi perusahaan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar keempat elemen lingkungan tersebut dapat mendukung dan membantu perusahaan untuk menentukan pilihan atas strategi yang akan dijalankan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya. Melalui lingkungan eksternalnya, perusahaan dapat melihat peluang dan ancaman operasionalnya, dimana pada
akhirnya perusahaan diharapkan dapat memanfaatkan peluang-peluang (opportunies) yang ada bagi perkembangan dan pertumbuhan perusahaan dan pada waktu yang bersamaan perusahaan dapat mengambil langkah-langkah sehingga dapat dihadapi perusahaan. Sementara itu, lingkungan internal dapat menjadi partner yang lebih baik bagi lingkungan eksternal bagi kelancaran kegiatan perusahaan. Melalui lingkungan internalnya, perusahaan dapat mempelajari dan memahami kekuatan-kekuatan yang terapat dalam perusahaan sehingga dirapkan dapat menggunakan kekuatannya dalam memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman. Pemahaman lebih lanjut atas lingkungan dengan kekuatan dan kelemahan serta lingkungan internak dengan peluang akan dibahas berikut ini : 1. Lingkungan eksternal (peluang/oppurtunity dan ancaman/threat) Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan harus mengamati dan menganalisa lingkungan eksternal perusahaan, seperti ekonomi, budaya politik, domografi, pemerintah, tren dari kompetisi atau teknologi. Penting untuk diingat bahwa lingkungan eksternal dapat memperlihatkan peluang ke suatu organisasi akan tetapi dapat menjadi ancaman ke organisasi lain dalam infustri yang sama karena perbedaan sumber daya manajemen. Lingkungan eksternal terdiri dari peluang dan ancaman yang dapat mendukung operasi perusahaan ataupun menghambat suksesnya perusahaan diluar control organiasasi. Peluang adalah karesteristik dari lingkungan eksternal yang memberikan nilai positif kepada perusahaan dengan potensi pencapaian tujuan organisasi atau lebih baik. Sedangkan ancaman adalah ciri negatif dari lingkungan eksternal yang dapat menghambat perusahaan dalam mencapai tujuannya. Analisa lingkungan eksternal biasa disebut dengan the enveronmental scanning atau analisa industri. Analisa industri mengungkapkan kunci
peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan, sehingga para manager dapat mengformulasikan strategi-strategi untuk mengambil kesempatan atas peluang dan menghindari ancaman. 2. Lingkungan internal (kekuatan/strength dan kelemahan/weakness)menghadapi lingkungan eksternal dapat dilakukan dengan lingkungan internal perusahaan, dimana kekuatan-kekuatan perusahaan megambil kesempatan atau peluang dan menghindari ancaman. Lingkungan internal perusahaan tidak hanya terdiri dari kekuatan tapi juga terapat kelemahan sebagai bahan dari perusahaan. Kekuatan perusahaan adalah ciri positif dari perusahaan dimana perusahaan dapat melakukan dengan baik dengan sumber daya yang memadai dalam mencapai kinerja perusahaan. Sementara kelemahan perusahaan adalah sisi negatif perusahaan dimana perusahaan tidak dapat melakukan dengan baik atau kurangnya sumber daya sehingga menghambat kinerja perusahaan. Kekuatan perusahaan itu dapat menjadikan perusahaan agar memiliki distinctive competence sehingga posisi kompetisi perusahaan menjadi lebih baik dari pesaing, seperti unggulnya sistem pemasaran, R&D yang kreatif, operasi dan produksi yang efektif dan efisien, ataupun moral karyawan yang baik.
Distinctive
competence berarti bahwa perusahaan memiliki kekuatan yang unik sehingga pesaing tidak dengan mudah dapat mengikuti atau membuat imitasinya. Dalam menganalisa lingkungan internal sebaiknya dilakukan pada setiap fungsional yang terdapat dalam perusahaan. Functional audit dapat dijadikan alat penilaian positif dan negatifnya kontribusi setiap area fungsional. 3. Strategi Pemasaran Syari’ah Murasa menjelaskan berwirauaha yang unggul yaitu memasarkan citra bisnis (pemasaran emage) melalui strategi untuk suatu produk tertentu dan diukur menurut
kelayakan usahanya berdasarkan syari’ah. Menurut Ketler dan Amstrong starategi pemasaran yang dengannya unit usaha berharap dapat mencapai tujuan pemasarannya. Ismail Yusanto mendefinisikan strategi pemasaran sebagai kumpulan keputusan dan kebijakan yang digunakan secara epektif untuk mencocokkan program pemasaran (produk, harga, promosi dan distribusi) dengan peluang pasar sasaran guna mencapai sasaran usaha. Dalam bahasa yang lebih sederhana, suatu strategi pemasaran pada dasarnya menunjukkan bagaimana sasaran pemasaran dapat dicapai. Al-Hasil, pada prinsipnya konsep strategi pemasaran berdasarkan syari’ah tidak berbeda dengan starategi pemasaran konvensional, hanya saja strategi pemasaran dan berdasarkan syari’ah dibingkai dengan norma agama Islam. Berbeda dengan konsep-konsep pemasaran konvensional yang lebih mengarah pada pengertian fisik dan materi tidak memperhatikan kepada yang dilarang agama. Bagi Islam, strategi pemasaran berdasarkan syariah yang dilakukan oleh manusia hanya mengejar satu tujuan yang utama, yaitu al-falah dan kesejahteraan umat. Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh umat, untuk menjadikan kehidupan yang lebih sejahtera dan lebih bernilai, tidak miskin dan menderita.
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Tarjamahnya Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.
4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ Taramahnya Allah
tidak
hendak
menyulitkan
kamu,
tetapi
dia
hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. Oleh karenanya konsep strategi pemasaran dalam islam dapatlah dikatakan sebagai usaha strategi pemasaran yang berdasarkan islam disamping meyakinkan dan memmberikan kepuasan konsumen untuk menggunakan produknya, memperoleh laba dengan cara yang halal dan toyyib juga sebagai kumpulan petunjuk dan kebijakan yang digunakan secara efektif untuk mencocokkan program pemasaran (produk, harga, promosi dan distribusi) dengan peluang pasar sasaran tepat guna mencapais sasaran usha tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga immateri untuk mewujudkan aanya manusia seutuhnya dalam ridha Allah SWT. Menurut Syafi’i Antonio mendefinisikan strategi pemasaran syari’ah adalah sebagai alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang dimasuki
dan program pemasaran yang digunakan untuk mencapai pasar sasaran tersebut yang harus bertumpu pada empat prinsip dasar ; ketuhanan (rabba>niyyah), menjunjung tinggi akhlak mulia (akhla>qiyyah), mewaspadai keadaan pasar yang selalu berubah (wa>qi’iyyah) dan selalu memartabatkan manusia dan terpola syarat terbingkai syari’ah dengan inovasi, efisiensi, servis dan responsibility. Murasa menjelaskan strategi pemasaran syariah diperlukan karena gho>yah (tujuan) hidup setiap insan adalah mardha>tillah, maka semua pendekatan itu harus dimulai dengan niat lillah, yang disinergikan dengan kaifiyyat (cara) berdasarkan syari’ah. Misalnya, kalau kita berbicara tentang pengganti atas pelarangan bunga atau riba dan gharar maka instrumen pengganti yang digunakan adalah usaha berbagi laba dan rugi. Format kerjasama antara pemodal (sha>hib al-ma>l) dan peminjam atau investor (mudha>rib) disebut dengan al-mudha>rabah. Namun demikian, untuk apa saja usaha itu? Usaha yang dibolehkan adalah yang menghasilkan komoditi (jasa atau barang) yang halal dan thayyib. Setiap usaha dengan demikian hanya ditujukan untuk kemaslahatan umat dan ditempuh melalui instrumen yang tidak menganiaya dan tidak dianiaya lain orang. Dengan kata lain, fungsi tujuan dari setiap usaha ialah memaksimumkan pemenuhan kebutuhan dalam perspektif tujuan mardha>tillah. Masudul Alam Choudury menjelaskan, bahwa ada tiga prinsip dalam perekonomian islam yang dibutuhkan dalam upaya strategi pemasaran syari’ah : a) Prinsip tauhid dan ukhuwah Untuk mewujudkan prinsip tauhid dan persaudaraan, islam melarang riba dalam segala bentuknya dan menifestasinya dan tidak dibenarkan dalam menzholimi orang lain saat
melakukan strategi pemasaran Syari’ah sehingga terjaga keimananan dan persatuan semakin erat. Secara tauhidi, Allah Swt. Sebagai pemilik sumber daya ekonomi telah menentukan bahwa setiap kekayaan adalah untuk kepentingan semua manusia, sehingga tidak diperkenankan dalam strategi pemasaran adanya unsur riba. b) Kerja dan produktifitas Kerja adalah hak dan sekaligus kewajiban setiap orang, diantara kesuksesan dalam upaya strategi pemasaran syari’ah yaitu dengan kerja dan produktivitas. Hasil karya dan produk yang bermanfaat dan dibutuhkan bagi masyarakat merupakan suatu keharusan. Berkehidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan kebutuhan setiap individu. Melakukan strategi pemasaran yang sesuaai dengan syari’ah menuntut setiap insan bekrja dengan cara-cara yang sesuai sah dan halal menuju ridha Allah sebagai visi dan misi hidup di dunia ini. Dalam berproduksi, aktor muamalah ini mengelola input produksi berupa tenaga kerja, modal kerja dan investasi. Keluarannya berupa barang atau jasa yang berharga ketika dipertukarkan di pasar. Ia memperoleh nilai lebih dari hasil usahanya itu. Upah untuk tenaga kerja dibayarkan sebelum keringatnya mengering dan besarnya cukup untuk menghidupi keluarganya. Dalam ekonomik Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah mencapai tiga sasaran, yaitu : 1) Mencukupi kebutuhan hidup (al-isyba>’) 2) Meraih laba yang wajar (al-irba>h) 3) Menciptakan kemakmuran lingkungan baik sosial maupun alamiah (al-i’mar) c) Keadilan distributif Keadilan distribusi merupakan simbolisasi kesuksesan wirausahawan setelah melakukan upaya produksi, menetapkan harga, dan adanya promosi. Namun, yang
dimaksud keadilan distributif bagi Masudul Alam adalah setiap wirausaha hendaknya memperlihatkan unsur pemerataan distribusi melalui zakat atau sadakah sebagai upaya pembangkitan ekonomi umat. Dalam islam, berbagai permasalahn perekonomian telah dijamin dalam pengoptimalan distribusi, yaitu dengan cara menentukan tatacara pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta mensuplai orang yang tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harta yang bisa menjamin hidupnya
dalam
rangka
mewujudkan
keseimbangan
dalam
memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya diantara sesama. Dengan demikian Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi tersebut. Instrumen zakat digunakan untuk menanggulangi kemiskinan dapat mencakup perluasan kesempatan kerja, kesejahteraan keluarga, rehabilitasi manusia usia lanjut, asurasni pengangguran, kompensasi bagi yang berkekurangan ketika resesi dan depresi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi pemasaran syari’ah dapat diartikan sebagai kumpulan petunjuk dan kebijakan yang digunakan secara efektif untuk mencocokkan program pemasaran (produk, harga, promosi dan distribusi) dengan keunggulan kompetitif agar tercapai sasaran usaha dengan berbasis syari’ah yaitu merubah posisi dari apa adanya (dassaein) kepada apa yang seharusnya (dassolen) dengan berbasis syari’ah. Ada empat strategi yang dilakukan sebuah wirausaha dalam menjalankan kegiatan-kegiatan strategi pemasaran syari’ah. 1. Strategi Produk Syari’ah Strategi produk bisa berupa barang atau jasa, menurut Kotler dan Amstrong (1997) produk dapat didefinisikan segala sesuatu yang dapat dtawarkan ke pasaruntuk mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan, atau dikonsumsi dan dapat memuaskan
keinginan atau kebutuhan yang meliputi obyek secara fisik, jasa, tempat, organisasi dan ide. Strategi produk merupakan unsur paling penting, karena dapat mempengaruhi strategi lainnya. Strategi produk dapat dilakukan mencakup bauran produk (produk mix), merek dagang (brand), cara pembungkus atau kemasan produk (produkct packaging), tingkat mutu atau kualitas dari produk, dan pelayanan (service) yang diberikan. Pada dasarnya, produk yang dibeli konsumen dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu : a) Produk inti, merupakan inti atau dasar yang sesungguhnya dari produk yang diperoleh atau didapat oleh konsumen dari produk tersebut. b) Produk aktual, yang merupakan mutu, desain, sifat, merek dan kemasan yang menyertai produk tersebut. c) Produk tambahan, yaitu tambahan produk aktual dengan berbagai jasa yang menyertainya seperti garansi, pemasangan, purnajual, pemeliharaan dan pengiriman. Faktor-faktor yang terkandung dalam suatu produk adalah : mutu/kualitas, penampilan, pilihan, gaya, merek, pengemasan, jenis produk dan macam produk. 2. Strategi Harga Syari’ah Strategi harga merupakan salah satu elemen yang paling fleksibel, menghasilkan pendapatan atau laba dan mewakili seluruh biaya. Menurut Kotler dan Amstrong, harga adalah jumlah uang yang yang ditagihkan untuk suatu produk atau jasa. Penetapan harga seyogyanya dilakukan setelah perusahaan memonitor harga yang ditetapkan pesaing agar harga yang ditentukan kompetitif. Tidak terlalu tinggi atau sebaliknya. Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah harga bahan baku, biaya produksi, biaya pemasaran. Faktor yang tidak langsung harga produk sejenis yang dijual
oleh pesaing, pengaruh harga terhadap hubungan antara substitusi dan produk komplementer serta potongan para penyalur dan konsumen. 3. Strategi Distribusi Syariah Saluran distribusi memindahkan barang dari produsen kepada konsumen, saluran disribusi mengatasi kesenjangan utama dalam waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang serta jasa dari mereka yang menggunakan. Tciptono memberikan definisi saluran distribusi kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan. Distribusi adalah kegiatan menyalurkan atau menyebarluaskan barang dari produsen ke konsumen. Barang-barang yang dihasilkan dalam kegiatan produksi, tidak ada berarti bila hanya disimpan digudang saja. Oleh sebab itu perlu disebarluaskan kepada konsumen di berbagai daerah. Komponen akses sangat berpengaruh terhadap bagaimana usaha dari sebuah perusahaan dalam menjual produk sampai ke konsumen. Dalam menentukan distribusi syari’ah perusahaan harus mengutamakan tempat-tempat distribusi yang sesuai dengan norma-norma Islam, bukan tempat judi, asusila, menjunjung tinggi prinsip keadilan, kejujuran dan tidak zhalim dalam merebut pasar. Strategi distribusi adalah untuk memastikan bahwa produk tiba dalam kondisi layak pakai pada tempat yang ditunjuk pada saat diperlukan. Dalam menetapkan sebuah strategi distribusi syari’ah, wirausaha muslim tidak akan pernah melakukan tindak kezaliman terhadap pesaing lain dalam melicinkan saluran pasarnya. 4. Strategi Promosi Syari’ah
Strategi promosi menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan wirausaha untuk mengkomunikasikan kebaikan akan produknya, membujuk dan mengingatkan pelanggan dan konsumen sasaran untuk membeli produk tersebut. Istilah promosi banyak diartikan sebagai upaya membujuk orang untuk menerima produk, konsep dan gagasan. Anara promosi dan produk tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sejoli yang yang saling berdekatan untuk suksesnya pemasaran. Harus ada keseimbvangan produk yang baik sesuai dengan selera konssumen dibarengi dengan tekhnik promosi yang tepat sehingga akan sangat membantu terhadap suksesnya usaha pemasaran. Strategi promosi terdiri dari iklan, penjualan pribadi, promosi penjualan dan hubungan masyarakat yang digunakan wirausaha untuk mencapai tujuan iklan dan pemasarannya. Kiat utama strategi promosi adalah sebagai berikut : a) Periklanan (advertising) : segala bentuk penyajian dan promosi bukan pribadi mengenai gagasan, barang atau jasa yang dibayar oleh sponsor teretntu. b) Penjualan pribadi (personal selling) : penyajian pribadi oleh tenaga penjual warausaha dengan tujuan menjual dan membina hubungan dengan pelanggan. c) Promosi penjualan (sales promotion) : intensif jangka pendek untuk mendorong pembelian atau penjualan dari suatu produk dan jasa. d) Hubungan masyarakat (public relation) : membina hubungan baik dengan berbagai kelompok masyarakat dengan wirausaha melalui publisitas yang mendukung, membina “citra perusahaan “ yang baik dan menangani atau menangkal desasdesus, dan perisiwa yang dapat merugikan perusahaan.
Strategi promosi syari’ah bagi perusahaan haruslah menggambarkan secara riil apa yang ditawarkan dari produk-produk atau servis-servis perusahaan tersebut. Promosi yang tidak sesuai dengan kualitas dan komptensi, contohnya promosi yang menampilkan imajinasi yang terlalu tinggi bagi konsumennya, adalah termasuk dalam praktik penipuan dan kebohongan tidak ada eksploitasi aurat wanita. Untuk itu, strategi promosi semacam tersebut sangat dlarang syari’ah marketing. Syafi’i Antonio menjelaskan keberhasilan strategi promosi syari’ah haruslah memperhitungkan unsur transendental. Sebab, sekali marketer melakukan strategi promosi dengan hal-hal yang tidak riil dengan produk yang ada bahkan menurunkan derajat wanita (dengan mengumbar lekuk dan keindahan tubuhnya) meskipun ia mampu membuat senyum pelanggan dan sekelompok pria terpuaskan tetapi dalam hal ini ia telah gagal melakukan strategi promosi ada penipuan dan ada pihak yang dirugikan yaitu konsumen dan wanita. Sebab dalam melakukan strategi promosi ada yang unsur penipuan dan tindakannya membuat murka Allah Swt. Filter syari’ah bukanlah satu-satunya yang menjamin perusahaan atau lembaga sesuai syari’ah. Murasa menjelaskan agar strategi pemasaran pada wirausaha sesuai dengan syari’ah, setidak-tidaknya membentuk DNA-artificial chromosom untuk sebuah wirausaha islami dalam bingkai strategi pemasaran berbasis syari’ah. Dalam pemasaran syari’ah dikenal adanya empat spirit, yakni : 1. Setiap pemilik wirausaha sepakat untuk berbagi untung dan rugi kepada sho>hibul ma>l (investor), 2. Mengusahakan komoditi (melalui produk, promosi) yang halal dan tayyib
3. Mengeluarkan zakat (proses distribusi) 4. Memberikan upah sebelum keringat buruh mengering Keempat spirit DNA inilah yang menjamin berlangsungnya kelestarian usaha sekaligus ketentraman bagi setiap pelaku wirausaha di hadapan Tuhannya dan antara sesama manusia dalam lingkungan dan daerahnya
Skema Kerangka Pikir
al-Qur'an dan al-Hadits
UU RI No 11 tahun 2009 Pasal I dan 12 te ntang
PONPES
DARUNNAHDLATAIN NW PANCOR
Koperasi
Wakaf
Peternakan Jeringo
Warnet
Analisis SWOT
Strategi Pemberdayaan
Jama’ah NW
BNK Syariah