BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemahaman Pemberdayaan terhadap Penyandang Cacat melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat 1. Pengertian dan kategori penyandang cacat Coleridge melalui WHO mengemukakan defenisi kecacatan yang berbasis pada model sosial sebagai berikut : Impairment (kerusakan/kelemahan): Ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya, kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki. Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan): adalah Kerugian/ keterbatasan dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orangorang yang menyandang "kerusakan/ kelemahan" tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas sosial. (1997:132) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatankegiatan secara layak, terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis. Kategori penyandang cacat tersebut disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang
11
cacat yang mendefenisikan bahwa Penyandang Cacat adalah "setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya," yang terdiri dari penyadang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental. Ferial dan Slamet (1998:2) dalam manual RBM, mendefinisikan penyandang cacat sebagai bayi/anak/dewasa/ orang tua yang mengalami gangguan-gangguan sebagaimana berikut, yaitu : a. Gangguan kejang (ayan), adalah kecacatan yang disebabkan oleh adanya iritasi didalam otak. b. Gangguan belajar, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam mempelajari sesuatu, karena memiliki tingkat kecerdasan atau kepandaian yang rendah dibandingkan dengan yang lainnya. c. Gangguan wicara, adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam berbicara atau menyampaikan sesuatu. d. Gangguan
pendengaran,
yaitu
seseorang
yang
mengalami
hambatan dalam mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi atau masih bisa berkomunikasi tetapi tidak baik.
12
e. Gangguan kelainan
penglihatan,
pada
indera
adalah
seseorang
penglihatan
yang
sedemikian
mempunyai
rupa,
sehingga
menghambat dalam melaksanakan aktivitas sekali-hari. f.
Gangguan gerak, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam menggerakkan lengan, badan, atau tungkai. Hal ini disebabkan karena lemahnya fungsi dari lengan, badan dan tungkai, atau karena kehilangan salah satu anggota badannya.
g. Gangguan perkembangan; yaitu kondisi secara khusus yang dialami oleh bayi atau anak kecil, dimana perkembangannya tidak senormal orang lain. h. Gangguan Tingkah laku, adalah keadaan dimana seseorang memperlihatkan gangguan tingkah laku karena pikirannya tidak bekerja seperti biasanya, berubah-ubah dan tidak dapat berpikir jernih dan bahkan tidak menyadari akan tingkah lakunya. i.
Gangguan mati rasa, yaitu keadaan dimana seseorang sudah tidak dapat memfungsikan indera perasanya.
j.
Gangguan lain-lain, seperti bibir sumbing, luka bakar, sesak, termasuk yang mengalami gangguan/cacat ganda. Untuk mempermudah
memahami perbedaan definisi tersebut di
atas, dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
13
Tabel. 2 Kategori Penyandang Cacat dan Dasar Penggolongan No
Nama Ahli/Sumber
Dasar kategori
Kategori penyandang cacat
1
WHO
Pendekatan medis atau dokter
a. Impairment b. Disability c. Handicap
2
Peter Coleredge
Pendekatan sosial
a. Impairment b. Disability/handicap
3
UU No. 4 tahun 1997
Pendekatan sosial
a. Penyandang cacat fisik b. Penyandang cacat mental c. Penyandang cacat ganda
4
Manual RBM
Pendekatan medis, sosial, pendidikan dan keterampilan
a. Gangguan b. Gangguan c. Gangguan d. Gangguan e. Gangguan f. Gangguan g. Gangguan h. Gangguan i. Gangguan
kejang belajar wicara pendengaran penglihatan gerak perkembangan tingkah laku lain-lain
Sumber : Diolah dari Coloredge (1997), Nomor 4 tahun 1977 dan Manual RBM (1998) Caleridge dalam membahas permasalahan penyandang cacat dengan menggunakan tiga model pendekatan yaitu model tradisional, model medis dan model sosial. Model tradisional merupakan konstruk yang dibuat oleh agama dan budaya ditiap masyarakat, yang memandang kecacatan sebagai sebuah hukuman, penyandang cacat dianggap sebagai orang yang telah berbuat dosa besar, dan akibat kemarahan para leluhur. Penyandang cacat
14
dalam model ini dipandang sebagai orang yang bernasib sial, berbeda, kotor dan tercela. Metode
kedokteran
abnormalitas,
sehingga
dinormalkan,
dikoreksi,
menganggap
orang
yang
ditanggulangi
kecacatan
mengalami dan
sebagai
suatu
kecacatan
harus
disembuhkan,
sehingga
hambatan yang mereka hadapi di masyarakat dapat diatasi. Model sosial, disusun berdasarkan pemahaman bahwa penyatuan diri penyandang cacat diartikan sebagai proses merobohkan rintanganrintangan dan menjinakkan ranjau-ranjau sosial. Model ini menekankan aspek perubahan sikap masyarakat terhadap penyandang cacat yang menghambat kemandirian dan pengembangan dirinya. Pada kebanyakan negara berkembang masalah orang cacat dikendalikan oleh orang yang bukan cacat. Lembaga, pusat pelatihan khusus, pusat pendidikan, dan bengkel kerja semuanya dirancang dan dikerjakan oleh ahli-ahli yang bukan cacat (1991:10) Goffman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (1990:47), mengungkapkan
bahwa
masalah
sosial
utama
yang
dihadapi
penyandang cacat adalah bahwa mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar telah memberikan stigma kepada penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak
15
mampu dalam segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah di atas. Berdasarkan penyandang
cacat,
berbagai terlihat
gambaran bahwa
tentang
permasalahan
permasalahan yang
dihadapi
penyandang cacat tidak sebatas pada penyandang cacat itu sendiri melainkan terkait dengan keluarga penyandang cacat dan masyarakat. Kenyataan sebagaimana terungkap diatas mengarah kepada kesimpulan bahwa penyandang cacat, keluarga dan masyarakat adalah sasaran dari pembinaan dan pendidikan dalam rangka memahami dan mengerti kecacatan serta cara-cara untuk mengatasinya. Adam dan Soifer dalam Browne (1982 :49) mengemukakan adanya berbagai
kebutuhan
dari
penyandang
cacat
dan
keluarganya.
Penyandang cacat membutuhkan dukungan emosional, kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan perilaku, secara bertahap supaya mendapatkan kembali pengetahuan mengenai pengendalian diri dan emosional yang terdapat pada individu. Selanjutnya mereka mengemukakan bahwa keluarga dan anggotanya yang lain perlu untuk memahami bagaimana hubungan dengan satu sama lainnya menjadi berubah. Keluarga perlu untuk mengetahui siapa yang mengambil alih peran dan fungsi, bagaimana anggota keluarga dan penyandang
cacat
merasakan
perubahan-perubahan
tersebut,
dan
16
bagaimana keluarga sebagai suatu unit ekonomi dan sosial, telah merubah keberfungsiannya. 2. Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa Rehabilitasi
diarahkan
untuk
memfungsikan
kembali
dan
mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Lebih
lanjut
dijelaskan,
rehabilitasi
bagi
penyandang
cacat
meliputi: 1) Rehabilitasi medik; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai kemampuan fungsional secara maksimal. 2) Rehabilitasi Pendidikan;
dimaksudkan agar penyandang cacat
dapat pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. 3) Rehabilitasi Pelatihan; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. 4) Rehabilitasi
Sosial;
dimaksudkan
untuk
memulihkan
dan
mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal di masyarakat.
17
Pelayanan rehabilitasi dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan yang bersifat kelembagaan atau system panti (institutional Based) maupun rehabilitasi yang berbasis masyarakat (community Based). Kegiatan rehabilitasi melalui pendekatan berbasis masyarakat kemudian dikembangkan menjadi pelayanan system non panti; artinya pelayanan rehabilitasi yang diselenggarakan diluar panti yang dikenal dengan sebutan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) atau Community Based Rehabilitation. Pendekatan RBM ini telah berkembang selama beberapa dekade terakhir sebagai cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan orang cacat di negara-negara berkembang dan untuk memungkinkan integrasi sosial mereka. Gautama dkk (1995:1.52), mengemukakan berbagai kelemahan dari rehabilitasi berbasiskan lembaga sebagai berikut : 1) Kedudukan lembaga yang jauh dari lingkungan keluarga orang cacat mensyaratkan transportasi mahal sehingga menghalangi kontak dengan keluarga, terutama keluarga miskin. 2) Manfaat positif solidaritas kelompok sebaya hilang setelah anak meninggalkan sekolah kediamannya, sementara kontak dengan masyarakat tidak dapat dilakukan. 3) Standar kehidupan material bagi anak-anak cacat sering lebih tinggi dari keluarga dan masyarakat.
18
4) Metode komunikasi untuk anak-anak tuna netra dan tuna rungu tidak dipelajari oleh keluarga atau masyarakat. 5) Anak-anak cacat belum mempelajari pentingnya kehidupan dan keterampilan
sosial
berdasarkan
cara
tradisional
masyarakatnya. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan pendekatan berbasiskan masyarakat yang dapat melibatkan profesional, penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. WHO
sebagaimana
yang
diikuti
oleh
Gautam
dkk.
(1995:154)
memberikan pengertian RBM sebagai berikut : “(RBM merupakan rehabilitasi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada di masyarakat, terdapat suatu transfer pengetahuan dan keterampilan dalam skala besar mengenai kecacatan dalam rehabilitasi kepada orang-orang cacat, anggota keluarga, anggota masyarakat,serta melibatkan masyarakat dalam, perencanaan, pembuatan keputusan, dan evaluasi program)” Selanjutnya dalam penjelasan bersama dari ILO, UNESCO dan WHO (1995:154) dijelaskan dua elemen dasar dari RBM adalah : “Rehabilitasi bersumberdaya masyarakat adalah suatu strategi dalam pengembangan masyarakat untuk rehabilitasi, kesamaan kesempatan dan integrasi sosial bagi penyandang cacat. RBM dilaksanakan melalui perpaduan antara penyandang cacat, keluarga dan masyarakat melalui pendekatan pelayanan kesehatan, pendidikan, keterampilan dan sosial yang tepat”
19
Program WHO dalam kegiatan RBM didasarkan pada buku manual tentang pelatihan dalam masyarakat untuk penyandang cacat yang terdiri dari 30 paket pelatihan menyangkut semua aspek kecacatan, dan empat pedoman untuk digunakan pada tingkat penyandang cacat, guru dan tim rehabilitasi masyarakat.
Manual merupakan hasil dari pengalaman dan uji
lapangan dimana banyak para ahli yang terlibat didalamnya. Proses pemberdayaan penyandang cacat sebagaimana fokus dari penelitian ini dilaksanakan melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
(RBM).
WHO,
sebagaimana
dikutip
oleh
Gautam
dkk,
mengemukakan cara-cara pelaksanaan RBM ini. Pertama, seorang pelopor dan calon pengawas, tingkat lokal direkrut dari masyarakat kemudian memperoleh berbagai latihan.
Kedua, la melatih keluarga penyandang
cacat yang meliputi dasar-dasar rehabilitasi. Ketiga, masyarakat pada gilirannya, menjadi pendukung keseluruhan proses, dengan demikian berdasarkan gambaran tersebut, RBM mendasarkan diri pada dua asumsi utama yaitu peran keluarga sebagai sumber daya paling penting dalam rehabilitasi penyandang cacat dan bahwa masyarakat sekitar bisa digerakkan sebagai pemberi dukungan dan semangat (1995:155). Handojo (2001:21) menekankan pentingnya partisipasi keluarga dan masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan perilaku masyarakat terhadap masalah kecacatan perlu dilakukan, dalam rangka perbaikan sikap, peningkatan pengetahuan dan keterampilan
20
masyarakat terhadap kecacatan melalui suatu proses perubahan yang meliputi
pemberian
informasi,
motivasi,
pendidikan,
pelatihan,
demonstrasi dan uji coba. Satu hal penting yang menjembatani proses tersebut adalah adanya peran Agent of Change yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan RBM baik secara individu maupun kelompok. 3. Konsep-Konsep Pemberdayaan dan ketidakberdayaan Konsep pemberdayaan (empowerment) mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an (akhir abad ke-20).
Kemunculan konsep ini hampir
bersamaan dengan aliran-aliran, seperti eksistensialisme, fenomenoligi, dan personalisme. Disusul kemudian oleh masuknya gelombang pemikiran neomarxisme, freeudianisme, termasuk didalamnya aliran-aliran strukturalisme dan sosiologi kritik sekolah Frankurt.
Bermunculan pula konsep-konsep
seperti elite, kekuasaan, anti kemampanan (anti-establishment), gerakan populis, anti struktur, legitimasi, ideology, pembebasan dan civil society (Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa darah dengan aliran-aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran post-modernisme.
Aliran ini menitikberatkan pada
sikap dan pendapat yang beorientasi pada jargon-jargon antisistem, antistruktur, antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.
21
Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang dikembangkan disuatu negara (Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Pada awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Pada hakikatnya, proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak-absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer).
Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang
berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme, dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisme eksistensi manusia.
Demikian juga, aliran neo-marxis,
freudianisme, sosiologi kritik, yang menolak industrialisasi, kapitalisme, dan teknologi. Mereka beralasan bahwa ketiga hal diatas dapat mematikan manusia dan kemanusiaan.
Aliran-aliran ini bercita-cita untuk dapat
menemukan sistem yang sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan (Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Sosiologi struktural fungsionalis parson menyatakan bahwa konsep power dalam masyarakat adalah variabel jumlah.
Menurut perspektif
tersebut, power masyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut tujuan kolektif (misalnya, dalam pembangunan ekonomi). Logikanya, pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila
22
ditunjang oleh adanya struktur sosial yang berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful).
Dengan pengertian lain, kelompok miskin dapat
diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan.
Hal ini yang oleh Schumacker
disebut pemberdayaan (Thomas, 1992). Pemberdayaan akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum, maksudnya, proses pemberdayaan itu dibarengi oleh adanya power kelompok terhadap kelompok lainnya. Weber mendefenisikan power sebagai kemampuan seseorang/individu/kelompok untuk mewujudkan keinginannya, kendatipun terpaksa menentang yang lainnya. Jika keadaan seperti itu, istilah pemberdayaan yang disamakan dengan power harus dinegosiasikan sebagai strategi untuk mengadakan reformasi sosial. (Craig dan Mayo, 1995). Craig dan Mayo (1995) menyatakan bahwa perspektif Marxis terhadap power dalam masyarakat kapitalis tidak dapat dipisahkan dari kekuatan ekonomi.
Power ini bersinggungan erat dengan kepentingan-
kepentingan kapitalis lewat kerjasama transnasional yang berskala global. Dalam keadaan semacam itu, pemberdayaan masyarakat miskin dibatasi oleh gerakan-gerakan kapitalis. Karena itu, masyarakat miskin dan sangat miskin harus diberdayakan untuk dapat berpartisipasi lebih efektif dalam proyek
dan
program
pembangunan
yang
dicanangkan
pemerintah.
Kemampuan tawar-menawar (bargaining position) dan pelayanan terhadap
23
masyarakat miskin pun semakin meningkat. Namun demikian, keadaan ini tidak terlepas dari masalah untung rugi dalam pasar global. Perspektif Marxis terhadap power of ideas adalah proses setting ideologi dan konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci untuk menganalisis kerangka kerja ekonomi dan kekuatan politik.
Keduanya
dimanfaatkan sebagai alat legitimasi dan contestable yang efektif dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut merupakan salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi, politik, dan transformasi sosial (Craig dan Mayo, 1995). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial.
Menurut Rappaport (1987), pemberdayaan diartikan
sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan
keputusan
oleh
orang-orang
yang
secara
konsekuen
melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif
diberdayakan
melalui
kemandiriannya,
bahkan
merupakan
”keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan
24
eksternal. Namun demikian, Mc Ardle mengimplikasikan hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan, melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.
Partisipasi merupakan komponen penting dalam
pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995).
Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut
sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa
percaya
diri,
memiliki
harga
mengembangkan keahlian baru.
diri
dan
pengetahuan
untuk
Prosesnya dilakukan secara kumulatif
sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan berpartisipasinya. Konsep pemberdayaan kemunculannya di dasari oleh gagasan yang menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri. Payne
sebagaimana
dikutip
Adi
(2001:32),
menjelaskan
bahwa
pemberdayaan adalah : Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Berdasarkan pandangan Payne tersebut, terdapat pemahaman bahwa pemberdayaan merupakan proses pertolongan kepada klien agar
25
mempunyai kemampuan untuk pengambilan keputusan dan pilihanpilihan yang selaras dengan kehidupannya. Hasenfeld dalam DuBois dan Miley (1992: 227) memberikan batasan pemberdayaan sebagai berikut : Empowerment is a process through which client obtain resources personal, organizational, community - then enable them to gain greater control over their environment and to obtain their aspirations (Pemberdayaan adalah suatu proses melalui mana klien mencapai sumber-personal, organisasi, komunikasi yang memungkinkan mereka memperoleh pengendalian yang lebih besar atas lingkungan mereka dan mencapai aspirasi-aspirasi mereka) Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan suatu proses yang memberikan peluang bagi klien untuk dapat mengungkapkan aspirasi mereka, memperoleh sumber baik individu, organisasi, maupun komunitas. Ife (1995:182) menjelaskan bahwa "empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge and skill to increase their capacity to determine their own future and to participate in and affect the life of their community." Pemberdayaan sebagai sarana untuk memberikan orang dengan sumber-sumber, kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga dapat menentukan masa depannya dan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas mereka.
26
Lebih lanjut Ife (1995:183) mengemukakan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung kepada masyarakat yang lebih adil dan akan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya mewujudkan komunitas dengan berbasis struktur yang efektif. Pemberdayaan
dilaksanakan
dengan
bertolak
dari
situasi
ketidakberdayaan yang dialami oleh klien baik secara perseorangan, kelompok
maupun
komunitas.
Ketidakberdayaan
sebagaimana
dikemukakan Keiffer dan Torre yang dikutip oleh Suharto (1997:1-34) pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat karena kondisi fisik maupun
faktor-faktor
tertentu
sehingga
mereka
terpaksa
tidak
berkemampuan dan berkesempatan untuk menentukan apa yang ada pada dirinya. Ife membagi kelompok-kelompok yang tidak berdaya/beruntung kedalam tiga kelompok sebagai berikut : a. Kelompok
lemah
secara
struktur
(primary
structural
disadvantaged groups), yaitu mereka yang tidak beruntung akibat tekanan-tekanan struktural terutama terkait dengan kelas;
gender
dan
etnis
yang
meliputi
orang
miskin,
penganggur, wanita, masyarakat lokal dan kelompok minoritas.
27
b. Kelompok lemah khusus (other disadvantaged groups), yaitu manula, anak dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental), gay, lesbian, suku terasing. c. Kelompok
lemah
secara
personal
(the
personally
disadvantaged), menjadi tidak beruntung, sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang mengalami masalah pribadi, keluarga, dan kesedihan krisis identitas. B. Pemberdayaan Partisipatif Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses pembangunan belakangan ini di berbagai negara. Kemiskinan yang terus melanda dan mengerus kehidupan umat manusia akibat resesi internasional yang terus bergulir dan proses restrukturisasi, agen-agen
nasional-internasional,
serta
negara-negara
setempat
menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap partisipasi masyarakat sebagai sarana pencepatan proses pembangunan.
Karena itu, perlu
ditekankan peningkatan tentang pentingnya pendekatan alternatif berupa pendekatan
pembangunan
yang
diawali
oleh
proses
pemberdayaan
masyarakat lokal (Craig dan Mayo, 1995). Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan
28
yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agen internasional, Bank dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri (Paul, 1987). Dalam hal ini cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat, berani mengambil resiko, berani bersaing, menumbuhkan semangat untuk bersaing, dan menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi masyarakat. Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu sentral pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di negaranegara dunia ketiga merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan industrialisasi (Craig dan Mayo, 1995).
Bank dunia
meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987). Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi LSM, termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat (Clarke, 1991). menyimpulkan
bahwa
jaminan
pembangunan
Brudtland
berkelanjutan
adalah
29
partisipasi masyarakat (Craig dan Mayo, 1995). Clarke menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi. Namun, penyertaan para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara pemberdayaan. Pendekatan ini sama dengan laporan Lembaga Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendefenisikan partisipasi dalam pola pengambilan keputusan dan power yang ada, termasuk partisipasi ekonomi (UNDP, 1993). Kini, pemberdayaan masyarakat miskin sudah menjadi slogan umum. Dalam bidang pembangunan dan partisipasi masyarakat, pemberdayaan merupakan hal terpenting bagi pembangunan negara-negara yang belum berkembang dan miskin di bagian utara-selatan (Craig dan Mayo, 1995). C.
Indikator dan Proses Pemberdayaan
1. Kondisi ketidakberdayaan dan kondisi berdaya Ketidakberdayaan
atau
ketidakberuntungan,
dijelaskan
Ife,
melalui analisa yang diklasifikasikan, dalam empat perspektif. Pertama, individual perspective melihat permasalahan ketidakberuntungan sebagai permasalahan individu yang bersumber dari individu itu sendiri.
30
Kedua,
institutional
Reformist
perspective
menempatkan
ketidakberuntungan sebagai masalah yang terkait dengan struktur kelembagaan dalam masyarakat.
Misalnya tidak memadainya system
keadilan dilihat sebagai faktor yang memberi konstribusi terhadap masalah kriminal, kenakalan, kemiskinan. Ketiga, Structural Persfective memahami permasalahan ketidakberuntungan sebagai akibat tekanan dan ketidakadilan struktur sosial. Keempat, Post Structural Perspective yang lebih berfokus pada wacana dan
pemahaman
baru
yang
akumulatif
terhadap
permasalahan.
Gambaran yang lebih jelas dari perspektif ketidakberuntungan ini dapat dalam dilihat dalam skema berikut ini.
31
Gambar 1 : Skema Kategori Kondisi Ketidakberdayaan
PERSPEKTIF
INDIVIDU
INSTITUSIONAL REFORMIST
STRUKTURAL
POST STRUCTURAL
PENYEBAB MASALAH
Patologi individu : Psikologi, biologis, moral, cacad pribadi
KLASIFIKASI KETIDAKBERDAYAAN
OTHER DISADVANTAGE
Manula, anak dan remaja, Penyandang Cacad, gay, lesbian, suku terasing
PERSONAL DISADVANTAGE
Orang yang mengalami kesedihan, krisis identitas masalah keluarga dan pribadi
Lembaga yang dibangun tidak berfungsi
Ketidakadilan struktural; penindasan, ras, gender, distribusi pendapatan
Modernity, bahasa formasi & akumulasi pengetahuan, sharing pemahaman
KELOMPOK TIDAK BERDAYA
PRIMARY STRUKTURAL DISADVANTAGE
Orang miskin, pengangguran, pengangguran, wanita, masyarakat local dan kelompok minoritas
Sumber : Olahan Penulis dari Ife ( 1995 : 52-62) 32
33