PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL
(Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor)
SRI HANDAYANI BUDIYARTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penguatan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Melalui Pola Kemitraan Lokal (Studi Kasus Di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini.
Bogor,
Oktober 2005
Sri Handayani Budiyarti NIM. A 154040085
ABSTRAK
SRI HANDAYANI BUDIYARTI, Penguatan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Melalui Pola Kemitraan Lokal (Studi Kasus Di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh IRAWAN SOEHARTONO dan NINUK PURNANINGSIH. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dalam pembangunan, sebagaimana diatur menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Upaya tersebut dapat dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Bagi kelompok tenaga kerja penyandang cacat tubuh, karena faktor kecacatan, mengalami berbagai hambatan dalam kehidupannya, sementara itu dorongan pasar yang semakin kuat untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, seringkali merugikan dan mengabaikan keberadaan tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Berdasar hal tersebut, dikomunitas lokal tempat tenaga kerja penyandang cacat tubuh berasal, dengan modal sosialnya yang khas, dimungkinkan memiliki tanggung jawab sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh, melalui suatu pola kemitraan lokal. Kajian ini dilaksanakan dengan tujuan secara partisipatoris dapat membuat suatu strategi penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui suatu pola kemitraan lokal, yang terwujud dalam suatu rancangan kegiatan sebagai upaya pengembangan masyarakat khususnya di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor sebagaimana hasil Pemetaan Sosial dan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, studi dokumentasi dan studi kepustakaan serta fokus group diskusi. Perencanaan program kegiatan dilaksanakan secara partisipatoris dimulai dari (1) identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan (2) dilanjutkan penyusunan program kerja untuk merumuskan alternatif pemecahan masalah dan pencapaian kebutuhan, (3) perencanaan evaluasi dan pelaporan. Maka, dimulai dari pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat, diharapkan memfasilitasi masyarakat dalam penanganan masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Disamping itu membentuk jaringan kolaborasi antar stakeholder diperlukan agar kegiatan Forum Komunikasi Masyarakat dapat bekerja efektif serta didukung dengan Evaluasi dan Pembinaan Lanjut agar tujuan penguatan tanggung jawab sosial masyarakat yaitu kemandirian penyandang cacat tubuh dapat terlaksana dan tercipta adanya keberlanjutan program.
@ Hak cipta milik Sri Handayani Budiyarti, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikroflm, dan sebagainya
PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL
(Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor)
SRI HANDAYANI BUDIYARTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tugas Akhir
Nama NIM
: Penguatan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Melalui Pola Kemitraan Lokal (Studi Kasus Di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) : Sri Handayani Budiyarti : A 154040085
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Irawan Soehartono
Ir. Ninuk Purnaningsih, Msi
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister
Dekan Sekolah Pascasarjana
Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian : 28 Oktober 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mendapat kesempatan mengikuti Pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulisan tugas akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Pengembangan Masyarakat dengan judul: PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus Di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor), yang dimulai pada bulan Nopember 2004 dan berakhir bulan Desember 2005. Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 1. Bapak Dr. Irawan Soehartono dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih, Msi selaku pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini. 2. Seluruh dosen yang telah memberikan pengetahuannya selama kuliah di Program Studi Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 3. Bapak Drs. Abdul Latief Elly sebagai Kepala Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong-Bogor, yang telah memberikan kesempatan mengikuti pendidikan Pascasarjana. 4. Bapak Dr. Marjuki, MSc selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung, yang telah memberikan kesempatan menempuh pendidikan di Program Studi Pengembangan Masyarakat. 5. Kepala Bagian Tata Usaha, Kepala Sub Bagian Kepegawaian dan rekanrekan sejawat di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa CibinongBogor serta rekan -rekan kuliah seangkatan, semuanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, telah banyak mendorong dan membantu menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya. 6. Bapak Drs. Nana Mulyana, selaku Kepala Kelurahan Karadenan beserta jajarannya, yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan selama persiapan dan pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan. 7. Suami, Anak -Anakku, Ibuku dan Ibu Mertuaku tercinta, yang senantiasa memberi doa dan restu serta sabar memahami kesibukan selama mengikuti pendidikan Pascasarjana. Akhirnya penulis berharap, semoga kajian ini dapat memberikan manfaat kepada fihak-fihak yang berkepentingan dan dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat.
Bogor,
Oktober 2005
Sri Handayani Budiyarti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 28 Agustus 1967 sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara dari Suripto Mangun Soeharto (alm) dan Tumilah. Sejak tahun 1989 bekerja di Departemen Sosial RI dan ditempatkan sebagai staf di Kantor Wilayah Departemen Sosial RI Propinsi Kalimantan Selatan. Tahun 1992 penulis mendapat kesempatan meneruskan pendidikan tingkat Diploma IV Ahli Kesejahteraan Sosial di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung dan lulus tahun 1996. Pada tahun 1998, pindah tugas ke Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong-Bogor. Selanjutnya penulis pada tahun 2004 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Strata-2 pada Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………… x DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... xi DAFTAR MATRIK………………………………………………………… xii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................................................1
Permasalahan .................................................................................................6 Tujuan Kajian................................................................................................9 Kegunaan Kajian ...........................................................................................9 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Tanggung Jawab Sosial....................................................................11 Konsep Komunitas ........................................................................................14 Konsep Dasar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Cacat Tubuh ...............16 Konsep Pendayagunaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh................19 Konsep Kemitraan.........................................................................................22 Konsep Pengembangan Masyarakat..............................................................24 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ............................................................28 Kerangka Pemikiran ......................................................................................30 METODOLOGI KAJIAN Lokasi dan Waktu...................................................................................................................35
SifatKajian.....................................................................................................35 Teknik Pengumpulan Data............................................................................37 Teknik Analisis Data.....................................................................................38 Metode Penyusunan Program ......................................................................40 PETA SOSIAL Lokasi ............................................................................................................41 Kependudukan...............................................................................................43 Sistem Ekonomi............................................................................................46 Struktur Komunitas .......................................................................................49 Organisasi dan Kelembagaan ........................................................................51 Sumber Daya Lokal.......................................................................................54 Masalah Sosial ..............................................................................................56
viii
TINJAUAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Kelompok Usaha Ekonomis Produktif..........................................................59 Pengembangan Ekonomi Lokal Kelompok Usaha Ekonomis Produktif ......................................................................................65 Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Kelompok Usaha Ekonomis Produktif ......................................................................................66 Kebijakan dan Perencanaan Sosial Kelompok Usaha Ekonomis Produktif........................................................................................................70 Evaluasi Program Kelompok Usaha Ekonomis Produktif……………. ......73 Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga.....................................................75 Pengembangan Ekonomi Lokal Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga ............................................................................................................80 Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga .................................................................................... 82 Kebijaksanaan dan Perencanaan Sosial Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga.....................................................................................82 Evaluasi Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga......................................83 Konflik Sosial Dalam Masyarakat ................................................................84 ANALISIS PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat…………………………. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat………………………………………………………………
87 102
PERENCANAAN PARTISIPATIF Latar Belakang…………………………………………………………. Tujuan dan Sasaran ……………………………………………………. Identifikasi Potensi dan Masalah………………………………………. Program Aksi…………………………………………………………… KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan…………………………………………………………… Rekomendasi…………………………………………………………..
117 110 110 112
121 123
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 124
ix
DAFTAR TABEL Halaman
1
Penyaluran Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Lulusan Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Cibinong…………………………… 3
2
Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat………………… 35
3
Rincian Metode Pengumpulan Data……………………………………… 39
4
Luas Lahan Menurut Penggunaannya……………………………………. 42
5
Penduduk berdasar Umur dan Jenis Kelamin……………………………. 43
6
Penduduk berdasar Agama dan Kepercayaan…………………………… 44
7
Penduduk berdasar Tingkat Pendidikan………………………………….. 45
8
Penduduk berdasar Mata Pencaharian……………………………………. 46
9
Organisasi dan Kelembagaan……………………………………………. 52
10 Kelembagaan Pendidikan, Latihan dan Rehabilitasi …………………… 53 11 Sebab -sebab Kegagalan Kelompok Usaha……………………………… 63 12 Faktor-Faktor Pendukung Berkembangnya Kelompok Usaha………….. 64 13 Keterkaitan Modal Sosial, Aktor Kunci dan Kebijakan Pemerintah …… 71 14 Pengurus Koperasi Pengemudi Angkutan Lokal……………………….. 78 15 Kebutuhan dan Kepentingan Pihak Yang Berkonflik…………………
86
16 Rancangan Program Aksi……………………………………………… 112
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Alur Kerja Rehabilitasi Vokasional………………………………… 20
2
Pola Kemitraan……………………………………………………….. 24
3
Kerangka Pemikiran………………………………………………... 34
4
Alur Arus Informasi Isu-Isu Sosial di Masyarakat…………………
5
Jejaring Sosial Antar Organisasi dan Kelembagaan…………………. 54
6
Alur Masalah Sosial………………………………………………….. 58
7
Hubungan Antar Stakeholders dalam Pola Kemitraan………………. 75
8
Analogi Bawang Bombay……………………………………………. 86
51
xi
DAFTAR MATRIK Halaman 1
Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Melalui Bermitra berdasar Aspek Ekonomi…………………………………………… 95
2
Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Melalui Bermitra berdasar Aspek Sosial……………………………………………….. 97
3
Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat dengan Tidak Bermitra Berdasar Aspek Ekonomi……… ……………99
4
Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat dengan Tidak Bermitra berdasar Aspek Sosial…………………….. 100
5
Perbandingan Faktor Internal yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat yang Bermitra dan Tidak Bermitra……………… 109
6
Perbandingan Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat yang Bermitra dan Tidak Bermitra…………….. 110
7
Kekuatan dan Kelemahan Faktor yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat dengan Bermitra……………..
111
Kekuatan dan Kelemahan Faktor yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat dengan Tidak Bermitra……...
112
8
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Wilayah Kelurahan Karadenan……………………………………..127 2 Photo Kegiatan Diskusi Kajian Pengembangan Masyarakat ……………128 3 Pedoman Wawancara …………………………………………………….130 4 Pedoman Observasi……………………………………………………….134 5 Pedoman Diskusi………………………………………………………….136 4 Undangan Diskusi…………………………………………………………137 5 Daftar Hadir Diskusi……………………………………………………..138 5 Undangan Ujian Kajian Pengembangan Masyarakat…………………….139
xiii
1
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan pemerintahan daerah secara otonom terlihat semakin nyata setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bekerjasama dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, di segala bidang pembangunan. Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan warga negara lain. Hal tersebut sebagaimana Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 Pasal 11 dan 13 bahwa penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan mendapat pendidikan dan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajad kecacatannya. Dikarenakan faktor kecacatan, penyandang cacat mengalami berbagai kendala dan hambatan dalam kehidupannya. Sementara itu, dorongan pasar yang semakin kuat untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, seringkali mengabaikan dan
merugikan kepentingan masyarakat luas, yang menyebabkan program
pembangunan belum secara maksimal dapat diakses seluruh masyarakat. Bagi penyandang cacat tubuh, salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan sosialnya adalah dengan memberikan
pelayanan
rehabilitasi vokasional dalam panti pada sebuah lembaga rehabilitasi vokasional. Jadi upaya pembangunan bidang kesejahteraan
sosial, termasuk upaya
peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat tubuh merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Rehabilitasi vokasional, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Pasal 47 dan 48 dimaksud agar penyandang cacat dapat ditingkatkan kualitas sumber daya manusianya dengan memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. rehabilitasi vokasional dilakukan dengan pemberian pelayanan
2
secara utuh dan terpadu melalui kegiatan assesment pelatihan, bimbingan dan penyuluhan jabatan, latihan keterampilan serta pemagangan dan pembinaan lanjut. Dengan demikian esensi dari kegiatan rehabilitasi vokasional yang dilakukan dan diperuntukkan bagi penyandang cacat tubuh adalah perlindungan dan pelayanan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Peran masyarakat berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, adalah mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya berperan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Peran masyarakat terhadap penyandang cacat tubuh dapat dilakukan melalui : 1. Pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka penyusunan
peraturan
perundang-undangan
dan
kebijakan
dibidang
kesejahteraan sosial penyandang cacat. 2. Pengadaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dalam bentuk sarana prasarana umum (fisik) atau pelayanan khusus dan pelayanan informasi (non fisik). Penyediaan aksesibilitas ini dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. 3. Pendirian fasilitas dan penyelenggaraan rehabilitasi penyandang cacat, artinya lembaga rehablitasi penyandang cacat tidak hanya didirikan oleh pemerintah tetapi dapat pula diupayakan oleh masyarakat. 4. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli atau sosial untuk melaksanakan dan membantu melaksanakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyadang cacat serta bantuan dalam menunjang atau menumbuhkan iklim usaha positif meliputi permodalan, fasilitas usaha, jasa, kemitraan. 5. Pemberian kesempatan dan perlakuan bagi penyandang cacat disegala aspek kehidupan dan penghidupan sesuai kemampuan dan derajat kecacatannya serta tidak diskriminatif. 6. Kegiatan lain dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Disisi lain, penyandang cacat, diharapkan memiliki citra diri yang positif bahwa kecacatan bukan menjadi halangan untuk berkompetisi dan meraih
3
prestasi, sebagaimana orang yang tidak cacat. Kemampuan tersebut perlu untuk diupayakan melalui pengembangan sumber daya manusia, sehingga penyandang cacat dapat lebih berkualitas dan mandiri. Untuk mencapai peningkatan kualitas, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui proses pendidikan dan pelatihan. Sebagai ilustrasi, salah satu lembaga rehabilitasi vokasional milik pemerintah yang melaksanakan pelayanan terhadap penyandang cacat tubuh didalam panti adalah Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) di Jalan SKB No. 5 Karadenan Cibinong-Bogor. Berdasar data dari Seksi Resosialisasi dan Pembinaan Lanjut Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Cibinong, setiap tahun angkatan, jumlah tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang diterima menjadi siswa
dan selanjutnya lulus dari rehabilitasi vokasional adalah seratus (100)
orang. Dari sejumlah seratus (100) siswa lulusan tiap tahun angkatan, diterima bekerja di perusahaan, adalah sebagaimana Tabel 1 : Tabel 1. Persentase Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Lulusan Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong Yang Dapat Disalurkan NO
TAHUN ANGGARAN
PERSEN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1997/1998 (Uji Coba) 1998/1999 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003
30 58 71 75 69 47
7. 2003/2004 Keterangan : Dihitung dari 100 orang lulusan
69
Tenaga kerja penyandang cacat tubuh tersebut tersebar sekitar eratus empat puluh enam (146)
perusahaan
di seluruh Indonesia. Angka-angka tersebut
menujukkan belum signifikan, apabila dikaitkan den gan skala makro dari keseluruhan jumlah atau populasi penyandang cacat tubuh sebanyak 35,06 persen dari 1.847.692 jiwa penyandang cacat, data tersebut berasal dari (Pusat Data dan Informasi Departemen Sosial, 2004).
Demikian pula gambaran jumlah
perusahaan yang ada dikawasan Jakarta Bogor Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) saja, yang mencapai 9.699 perusahaan, data Departemen Tenaga Kerja, (1999), dan belum lagi perusahaan-perusahaan lain yang tersebar diseluruh Indonesia.
4
Hasil pemetaan sosial dan evalu asi program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan di Kelurahan Karadenan, terdapat beberapa permasalahan sosial yaitu kemiskinan, pengangguran dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk, yang dialami masyarakat termasuk didalamnya penyandang cacat tubuh. Berdasar data Potensi Desa (Oktober 2004) Kelurahan Karadenan, jumlah penyandang cacat tubuh sebanyak tujuh belas orang. Dari jumlah penyandang cacat tubuh, lima belas
orang diantaranya berusia produktif usia enambelas sampai enam
puluh empat tahun dan rata-rata berasal dari keluarga miskin sejahtera 1 dan sejahtera 2 dengan katagori bekerja sebagai pekerja pabrik, sopir ojek, bekerja mandiri, bekerja pada perseorangan serta bekerja swasta lain dengan tingkat pendidikan lulus Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Sepintas situasi dan kondisi tersebut menggembirakan, karena masyarakat Karadenan telah memiliki rasa tanggung jawab sosial untuk mengatasi permasalahan penyandang cacat tubuh di daerahnya. Demikian pula apabila dibanding dengan jumlah penduduk produktif usia enambelas sampai tiga puluh lima tahun sebanyak 4.172 jiwa, terdapat rata-rata pengangguran dan keluarga miskin dengan kategori pra sejahtera, sejahtera 1 dan sejahtera 2, sebanyak
tiga puluh jiwa tiap Rukun Tetangga. Di Karadenan
terdapat enam puluh dua
Rukun Tetangga, sehingga jumlah rata-rata
pengangguran dan keluarga miskin untuk usia produktif mencapai rata-rata 1.860 jiwa. Dengan demikian, jumlah lima belas
orang penyandang cacat tubuh
tersebut dapat dikatakan tidak sebanding dengan jumlah penduduk usia produktif tidak cacat dengan memiliki masalah pengangguran dan keluarga miskin secara keseluruhan. Akan tetapi kelompok penyandang cacat tubuh memiliki permasalahan khusus, terutama karena kecacatan yang dimilikinya, disamping permasalahan lain terutama rentan terhadap masalah upaya perlindungan akan hak, kewajiban, serta peranan yang tidak sama dengan warga negara lainnya. Dengan demikian masalah ketenaga kerjaan penyandang cacat tubuh menjadi masalah khusus di Karadenan. Bagi masyarakat Karadenan upaya-upaya pemecahan masalah terhadap penyandang cacat tubuh masih terbatas pada penerimaan sosial, berdasar nilainilai kesetiakawanan serta nilai-niilai keagamaan, sedangkan peranan yang lebih
5
dari itu diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pemerintah, antara lain berupa pemberian latihan keterampilan, pemberian bantuan stimulan maupun harapan penyaluran pekerjaan.pada sebuah perusahaan. Demikian pula kontribusi dari pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh oleh dunia usaha di Karadenan lebih kepada upaya karitatif dan terkait pada peran lembaga pemerintah pada penyaluran dan pembinaan lanjut yang dilakukan melalui pendekatan antar lembaga secara individual. Dengan demikian pola kemitraan masih bersifat birokratis, dan akhirnya tanggung jawab sosialnyapun lebih bersifat pencapaian target,
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan
penyandang
cacat
tubuh
serta
memungkinkan faktor ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah dan dunia usaha. Pada hakekatnya, di Karadenan terdapat beberapa perusahaan -perusahaan lokal atau industri-industri dalam skala kecil sampai menengah yang diharapkan memiliki kontribusi terhadap masyarakat sekitarnya, termasuk juga terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang tidak hanya bersifat karitatif dan hanya terkait
adanya biaya sosial dalam perusahaan serta terkait adanya prosedur
birokratis suatu lembaga pemerintah melalui bentuk penyaluran tenaga kerja. Pemerintah daerah dengan unsur-unsur aparatnya sampai ditingkat lokal kelurahan atau desa merupakan stakeholder memungkinkan dapat dilakukan polapola kemitraan dengan stakeholder lainnya dan diharapkan mampu memiliki tanggung jawab sosial kuat yang memungkinkan tenaga kerja penyandang cacat tubuh dapat mandiri. Demikian pula program-program kegiatan yang berkaitan dengan upaya tanggung jawab sosial terhadap penyandang cacat tubuh dapat berkelanjutan (suatainable).
Program tersebut dimungkinkan seiring dengan
adanya percepatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat, sebagai pendekatan operasional yang merupakan komitmen Pemerintah Kabupaten Bogor.
6
PERMASALAHAN
Berdasar latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan
yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh
adalah
upaya penguatan tanggung jawab sosial
masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui kemitraan lokal antar stakeholder di Kelurahan Karadenan, terutama
dalam mengatasi
masalah sebagai berikut : Masalah praktis. 1. Semakin kuatnya persaingan dengan pencari kerja lainnya, baik yang cacat maupun yang tidak cacat. Kondisi ini akibat kesenjangan antara kesempatan kerja tidak sebanding dengan besarnya jumlah angkatan kerja yang makin membengkak. Situasi dan kondisi ini memerlukan
motivasi kuat
bagi
masyarakat dan pengguna tenaga kerja, memiliki komitmen yang kuat untuk bersama-sama meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja penyandang cacat tubuh. 2. Di komunitas lokal terdapat perbedaan tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat atau pengguna tenaga kerja, yang akan mempengaruhi pengetahuan, pemahaman, penerimaan dan upaya memfasilitasi tenaga kerja penyandang cacat tubuh ataupun tenaga kerja yang bukan penyandang cacat tubuh. Permasalahan ini diperlukan adanya suatu kejelasan dan ketepatan informasi tentang aksesibilitas tenaga kerja penyandang cacat tubuh, tentang hak, kewajiban, peranan serta permasalahan yang dihadapi dalam hidup dan kehidupannya.
Masalah kebijakan 1. Telah dilaksanakan pembicaraan bersama yang menghasilkan suatu kesepakatan dan tertuang dalam suatu keputusan tertulis dalam mengatasi permasalahan penyandang cacat antara : 1.1. Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen
Sosial
dan
Asosiasi
Pengusaha
Indonesia
tentang
7
Penyaluran atau Pendayagunaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan atau Masyarakat. 1.2. Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk
dan
Cukai atas Impor Barang untuk Keperluan Khusus Kaum Tuna Netra dan Penyandang Cacat lainnya. dan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis serta Keputusan Menteri Pekerjaan Umum tentang Teknis Bangunan Gedung. Pelaksanaan dari kesepakatan tersebut dimungkinkan sekali melalui suatu program dengan melibatkan stakeholder yang ada, terutama ditingkat komunitas lokal. Melihat masih terdapatnya permasalahan ketenaga kerjaan penyandang cacat tubuh, terutama masalah belum maksimalnya pelaksanaan dari aspek sosial dalam kerjasama atau kemitraan yang terjalin dan masih dalam nuansa birokratis. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ternyata masih terdapat masalah yang berkaitan dengan kebijakan kerjasama yang dilaksanakan terutama dalam implikasi dari kebijakan kerjasama tersebut, utamanya dalam aspek sosial kemitraan yang ada belum bersifat partisipatif. 2. Terdapatnya perubahan-perubahan kebutuhan dari pengguna atau dunia usaha atau instansi, diikuti dengan kebijakan tentang kapasitas penerimaan serta penempatan tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang akan memasuki dunia kerja. Hal tersebut lebih dikarenakan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga pengguna tenaga kerja memberikan persyaratan
kompetensi khusus, ketika akan menerima tenaga kerja yang akan dipekerjakannya. Disisi lain sebagai regulator, pemerintah melindungi penyandang cacat melalui kebijakan atau peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah. Dengan demikian kedua tujuan tersebut perlu diupayakan dalam suatu bentuk penguatan tanggung jawab sosial. 3. Tanggung jawab sosial masyarakat terutama pengusaha dan dunia usaha yang merupakan salah satu bentuk corporate social responsibility, masih dinikmati oleh beberapa kelompok komunitas tertentu saja sebagai bentuk trickle down effect dari beroperasinya sebuah industri. Sehingga, upaya perlindungan terhadap penyandang cacat oleh pemerintah
pusat masih belum direspon
sesuai dengan harapan pemerintah. Demikian pula community development
8
terhadap penyandang cacat tubuh masih dianggap sebagai program charity, merupakan struktur yang terpisah dan bersifat extern al cost dari perusahaan. Dengan demikian pemerintah lokalpun perlu untuk merespon upaya perlindungan terhadap penyandang cacat tubuh melalui proses regulasi perijinan usaha dan kewajiban community development dari perusahaan yang dilasanakan secara partisipatif. 4. Proses sosialisasi yang dilaksanakan lembaga rehabilitasi vokasional atau keterampilan, masih dalam tataran makro dan belum menjangkau tataran mikro ditingkat cacat tubuh berasal dan pengusaha ditingkat lokal melaksanakan usaha komunitas lokal. Dala m kenyataannya, dikomunitas lokal dimana tenaga kerja penyandang produksinya, pada hakekatnya memiliki nilai-nilai dan norma lokalitas yang dapat didayagunakan bersama-sama mengatasi permasalahan tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Masalah praktis dan masalah kebijakan terhadap penyandang cacat tubuh tersebut, senada dengan pendapat Suryadi dalam Sumardjo dan Saharudin, (2004) bahwa masih terdapat empat Kelemahan Program Pengembangan Masyarakat oleh perusahaan atau dunia usaha yaitu : 1. Masih bersifat sektoral dan masih sebatas sebagai keputusan dan memenuhi tanggung jawab atau komitmen politis. 2. Semata-mata diprioritaskan bagi kemudahan dalam akses pelayanan dasar masyarakat yang bersifat karitatif dari pada program yang dibutuhkan masyarakat. 3. Belum maksimal melibatkan masyarakat lokal penerima manfaat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. 4. Program semata-mata diukur dengan komitmen untuk mengalokasikan anggaran dalam jumlah tertentu dan bukan efektivitasnya bagi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tanpa menghasilkan ketergantungan pada perusahaan. Untuk itulah masyarakat perlu berperan lebih banyak untuk mempengaruhi pemerintah serta melakukan kontrol terhadap pemerintah. Artinya, pemecahan masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh dengan pelibatan stakeholderstakeholder di komunitas lokal secara partisipatif.
9
Dengan demikian permasalahan pokok yang dapat dirumuskan adalah : “Bagaimana Penguatan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Melalui Kemitra an Lokal ?” Secara spesifik, beberapa pertanyaan kajian yang hendak dijawab adalah : 1. Bagaimana performa tanggung jawab sosial masyarakat Karadenan terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh ? 2. Bagaimana faktor-faktor internal dan eksternal mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh ? 3. Bagaimana strategi penguatan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, yang diharapkan oleh masyarakat ?
TUJUAN KAJIAN
Tujuan utama kajian adalah secara partisipatif menyusun program penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui suatu kemitraan lokal. Untuk merumuskan program tersebut tujuan khusus kajian adalah untuk : 1. Mengetahui bagaimana
performa
tanggung
jawab
sosial
masyarakat
Karadenan terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. 2. Mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. 3. Mengetahui bagaimana strategi penguatan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, yang diharapkan oleh masyarakat .
KEGUNAAN KAJIAN Kegunaan kajian ini adalah untuk : 1. Kegunaan praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap lembaga-lembaga
rehabilitasi
vokasional
atau
keterampilan
dalam
mewujudkan penguatan tanggung jawab sosial masyarakat melalui kemitraan lokal dalam penyaluran tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
10
2. Kegunaan strategis, diharapkan dapat menjad i masukan model kebijakan yang partisipatoris, khususnya bagi Departemen Sosial ataupun Instansi lain dalam upaya memecahkan masalah ketenaga kerjaan penyandang cacat tubuh atau penyandang cacat lainnya. 3. Kegunaan akademis, diharapkan dapat memperkaya referensi tentang praktekpraktek pengembangan masyarakat yang tumbuh secara partisipatif.
11
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Tanggung Jawab Sosial. Konsep tanggung jawab sosial di dunia usaha, badan atau lembaga bisnis lain, sudah mengalami pergeseran yaitu dari konsep teoritik kepada sesuatu hal yang bersifat praktik, yang ditandai oleh dua faktor : 1. Mulai tumbuhnya kesadaran pada sejumlah pelaku bisnis bahwa tanggung jawab sosial merupakan sesuatu hal yang positif bagi kegiatan bisnis; 2. Dalam proses pertumbuhannya dipengaruhi oleh aktivitas organisasi non pemerintah (NGOs) yang secara aktif melakukan kampanye sosial yang menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya Hak-Hak Pekerja belakangan ini. Sejumlah perusahaan telah meresponnya secara positif dengan ikut
ambil
bagian
melalui
pengembangan
program-program
sebagai
tanggungjawab sosial perusahaan antara lain berpartisipasi dalam upaya pemenuhan kebutuhan kemanusiaan termasuk rekruitmen tenaga kerja Penyandang cacat tubuh. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) menurut “World Business For Sustainability Development (2002) adalah : “The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the equality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large” (Komitmen perusahaan untuk bersikap etis dan berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi, serta pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup karyawannya dan keluarga mereka serta masyarakat setempat dan rakyat luas” Dari rumusan tersebut, tersirat bagaimana agar suatu kegiatan bisnis menguntungkan secara ekonomi dan secara sosial bisa diterima dengan memberikan bentuk kontribusi yang nyata bagi lingkungan masyarakatnya (triple bottom line). Dengan kata lain konsep tanggung jawab sosial memiliki dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan kata lain tanggung jawab sosial perusahaan merupakan konsep multidimensio nal dan dinamis dimana kebijakan
12
bisnis dalam prakteknya secara bertahap melakukan proses adaptasi pada variabel ekonomi, sosial dan keadaan lingkungan (sustainable development). Jadi dunia usaha merupakan entitas bisnis yang memiliki tujuan tidak hanya profit oriented melainkan juga mengemban misi sosial. Maka profit oriented mewakili semangat menggerakkan misi ekonomi secara makro, sedangkan misi sosial merupakan salah satu bentuk corporate social responsibility dan dikenal sebagai
program
community
development.
Kedudukan
corporate
social
responsibilit dan good coorporate governance merupakan dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Implikasi dari pelaksanaan kegiatan tersebut adalah dengan adanya program yang melibatkan stakeholder dalam upaya keberlanjutan program. Pelaksanaan konsep ini memberikan manfaat komunitas bisnis antara lain : 1. Memperoleh ijin setempat untuk menjalankan bisnis karena pola hubungan baik dengan masyarakat. 2. Menciptakan keunggulan strategis termasuk reputasi. Konsep ini perlu didukung kolaborasi positif atas dasar kesetaraan, transparansi dan saling menguntungkan antara pemerintah, masyarakat dan NGOs. 3. Mendapatkan benefit mengenai isu-isu spesifik dalam menjalankan bisnis “………ethical companies do better financially”, peningkatan efisiensi, mengurangi limbah, mengurangi litigasi, dan lain-lain. Oleh karena itu pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dan dunia usaha hanya efektif jika : 1. Perusahaan memahami jiwa tanggungjawab sosial perusahaan adalah pemberdayaan dan keberlanjutan. 2. Perusahaan memahami tujuan dan kebutuhan masyarakat atau stakeholder. 3. Perusahaan mengintegrasikan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai bagian dari semua proses bisnisnya. Tanggung jawab sosial perlu adanya pendorong dan penggerak yang memiliki kekuatan berbeda agar dapat terwujud, yang bukan hanya dengan suatu peraturan tertentu akan tetapi dapat melalui adanya jalinan kerjasama antar stakeholder di komunitas lokal. Hal ini dikarenakan tanggung jawab sosial bukan hanya sekedar
13
sikap yang terdiri dari komponen kognitif, afektif dan tingkah laku akan tetapi lebih dari pada itu tanggungjawab sosial dapat dijadikan salah satu dari nilai-nilai modal sosial yang berada dikomunitas lokal, dimana faktor kepercayaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dilaksanakan. Sebagai suatu sikap, komponen kognitif dapat dirancang sehingga orang dapat memahaminya, akan tetapi tidak cukup untuk menimbulkan perubahan masyarakat atau kalangan dunia usaha. Komponen afektif dan tingkahlaku baru akan terjadi apabila orang dapat merasakan dan melakukan. Untuk itu penting kesiapan kedua belah pihak, kelompok yang kurang beruntung dan kurang berkemampuan. Pengalaman dan perasaan baru akan tumbuh bila keduanya melakukan interaksi. Apabila interaksi dapat berlangsung dengan baik maka sikap-sikap menghambat termasuk keraguan akan potensi penyandang cacat akan makin menghilang. Sebagai salah satu dari nilai-nilai modal sosial di komunitas lokal, tanggungjawab sosial akan melembaga dalam kehidupan komunitas lokal sebagai suatu bentuk pedoman-pedoman untuk bertingkahlaku dan bertindak dengan suatu pertimbangan moral tertentu, dan merupakan upaya pembagunan yag berkelanjutan (sustainable development). Jadi tanggung jawab sosial sebagai sesuatu yang bersifat praktis,
dalam
pelaksanaannya senantiasa terbuka dengan menyesuaikan diri sesuai situasi dan kondisi dimasyarakat dimana pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut dilaksanakan, dengan memanfaatkan sumber-sumber daya manusia, sosial dan ekonomi setempat. Demikian pula upaya keberlanjutan dan kontrol dari bentuk -bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial, dapat dilaksanakan secara kontinyu dengan melibatkan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan tanggung jawab sosial di komunitas lokal tanggung jawab sosial sebagai suatu upaya pengembangan masyarakat yang bertujuan kearah pemberdayaan masyarakat, sehingga secara ideal partisipatif merupakan inti dari pengertian tanggung jawab sosial di masyarakat.
14
Konsep Komunitas. Istilah komunitas dalam batas -bats tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Adanya hubungan sosial antar anggota komunitas merupakan salah satu ciri khas bagi adanya suatu komunitas. Demikian pula adanya kriteria yang dapat dikatakan bahwa komunitas menunjuk pada masyarakat yang bertempat tinggal disuatu wilayah dalam arti geografis dengan batas-batas tertentu dan faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar diantara para anggotanya dibandingkan dengan penduduk diluar batas wilayahnya (Soekanto, 1990). Komunitas adalah suatu unit atau kesatuan social yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial Nasdian (2004 : 22). Menurut Chris tian dan Robinson dalam Nasdian dan Dharmawan, (2004), ada empat komponen utama dalam memahami komunitas, yaitu : (1) people; (2) place or teritory; (3) social interaction dan (4) psychological identification. Dari kedua pendekatana secara lokalitas dan kepentingan diatas, secara umum komunitas dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu : 1. Communities of locality or community of place, yaitu komunitas yang didefinisikan atau dikenali berdasarkan cirri tempat tinggal atau wilayah. 2. Commun ities of interest, yaitu kmunitas yang didefinisikan berdasarkan kesamaan minat, perhatian atau keprihatinan bersama. 3. Communities of identity (race religion, ethinicity, culturall background, job ), yaitu komunitas
yang didefinisikan atau dikenali berdasarkan identitasnya
Nasdian (2004). Komunitas (community) dalam perspektif sosiologi adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat yang lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of interest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi (an attachment community). Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs). Dengan demikian kebutuhan bersama merupakan ciri lain suatu komunitas Ife, dalam (Nasdian, 2004).
15
Suatu komunitas pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal atau wilayah tertentu. Komunitas yang mempunyaii
tempat tinggal tetap dan permanen,
biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Secara garis besar, komunitas berfungsi sebagai ukuran untuk menggaris bawahi hubungan-hubungan sosial dengan suatu wilayah tertentu. Istilah komunitas menurut Mayo dalam Nasdian dan Dharmawan, (2004) mempunyai tiga tingkatan, yang menggambarkan cakupan kommunitas yang berbeda dimana intervensi makro dapat diterapkan, yaitu : 1. Grass root atau neighbourhood work, (agen perubahan melakukan intervensi terhadap individu, keluarga dan kelompok masyaakat yang berbeda didaerah tersebut misalnya Desa , Kelurahan, Rukun Warga atau Rukun Tetangga). 2. Local agency dan inter-agency work, (agen perubahan melakukan intervensi terhadap organisasi “payung” di tingkat lokal,, provinsi ataupun di tingkat yang lebih luas, bersama jajaran pemerintahan yang terkait serta organiisasi non pemerintah yang berminat terhadap hal tersebut). 3. Regional dan community planning work, (agen perubahan melakukan intervensi pada isu yang terkait dengan pembangunan ekonomi, ataupun isu mengenai perencanaan lingkungan yang mempunyai cakupan lebih luas dari bahasan ditingkat lokal. Menurut Unicef dalam Nasdian dan Dharmawan, (2004)
terdapat tujuh
komponen kapasitas tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk dapat mendorong aktivitas-aktivitas ekonomi anggotanya, yaitu : 1. Community leader, siapa saja orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat yang dapat mendorong penguatan kelompok usaha ekonomi produktif 2. Community technology, teknologi apa
yang diguunakan oleh masyarakat
untuk memproduksi sesuatu, apa konsekuensi dari suatu intervensi ? 3. Community fund , apakah ada
mekanisme perhimpunan dana dalam
masyarakat ? 4. Community material, sarana apa saja yang ada di masyarakat yang berguna untuk pengembangan kelompok, apa modal usaha keluarga atau kelompok ?
16
5. Community knowledge, apa persepsi
masyarakat berkaitan dengan usaha
mereka, apa harapan mereka terhadap pelayanan ekonomi produktif, sejauhmana kepercayaan pada pelaku pelayanan eknomi produktif ? 6. Community decision making, apakah masyarakat disertakan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan program secara keseluruhan ? 7. Communityy organization , usaha ekonomi mana yang dapat berkembang menjadi organisasi ekonomi produktif ? Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara komunitas pedesaan (rural community) dan komunitas perkotaan (urban commun ity). Perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam komunitas modern, betapapun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat sederhana pengaruh dari kota secara relatif sangat rendah. Perbedaan antara komunitas pedesaan dengan komunitas perkotaan pada hakekatnya bersifat gradual.
Konsep Dasar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Cacat Tubuh Penyandang cacat tubuh sebagai bagian dari komunitas, yang hanya karena kondisi kecacatan yang disandangnya memerlukan upaya perlindungan dan penanganan khusus, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama di masyarakat. Penanganan khusus dimaksud adalah melalui kegiatan Rehabilitasi sosial dan Rehabilitasi vokasional. Rehabilitasi sosial, menurut Nomor
4
Tahun
1998,
diarahkan
untuk
Peraturan Pemerintah
memfungsikan
kembali
dan
mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman mereka. Rehabilitasi sosial bagi Penyandang cacat tubuh ini akan menjadi sesuatu yang kurang realistis tanpa dilakukannya rehabilitasi vokasional khususnya bagi Penyandang cacat tubuh yang telah memasuki usia produktif dan memiliki kualifikasi serta persyaratan keterampilan yang memadai untuk bekerja dan mandiri. Demikian juga sebaliknya rehabilitasi vokasional tanpa didasari rehabilitasi sosial, akan menjadi lemah dan rapuh.
17
Pelatihan vokasional menurut Direktorat Penyand ang Cacat Departemen Sosial, (1991) dimaksudkan sebagai suatu rangkaian kegiatan pelatihan yang berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk suatu pekerjaan. Oleh karena itu, pengembangan fungsi Rehabilitasi vokasional pada lembaga rehabilitasi vokasional salah satunya Balai Besar Rerhabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong merupakan cara yang efektif, rasional dan bermanfaat sebagai investasi sosial jangka pendek dan jangka panjang. Metode
pelatihan
merupakan
metoda
yang
cukup
efektif
untuk
mengembanngkan kualitas sumber daya manusia, juga metode sistematis untuk perubahan keterampilan, pengetahuan, sikap dan perilaku sosial. Lynton dan Pareek dalam Pudjianto, (2002) mengemukakan bahwa pelatihan merupakan upaya sistematis untuk mengembangkan sumber daya manusia baik perorangan, kelompok dan juga kemampuan keorganisasian yang diperlukan untuk mengurus tugas dan keadaan sekarang, juga untuk memasuki masa depan dan menanggulangi masalah serta persoalan yang timbul, karena dalam pelatihan mengandung unsur belajar dan bekerja (learning by doing ). Metode pelatihan dalam buku yang sama harus memenuhi prinsip -prinsip sebagai berikut : (1) Memotivasi para peserta pelatihan untuk belajar keterampilan yang baru; (2) Memperlihatkan keterampilan -keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari; (3) Mengajarkan keterampilan-keterampilan Memungkinkan partisipasi
inter personal; (4)
aktif; (5) Memberikan kesempatan berpraktek dan
perluasan keterampilan. Kebutuhan mendesak dalam mengembangkan sistem rehabilitasi vokasional berbasis masyarakat ditemukan pada Unit Pelaksana Teknis yaitu
lembaga
rehabilitasi vokasional di seluruh Indonesia, demikian pula keberadaan penyandang cacat yang berada di komunitas lokal di seluruh Indonesia. Ini berarti bahwa sistem tersebut memberikan manfaat bagi penyandang cacat dalam cakupan yang lebih luas dengan memfokuskan pada kebutuhan pasar kerja lokal, assessment atau pencandraan dan bimbingan vokasional yang berlaku, pelatihan vokasional yang efektif dan fleksibel termasuk penempatan kerjanya.
18
Tujuan rehabilitasi vokasional
tersirat dalam salah satu rumusan dari
Rekomendasi ILO No. 168 (1983). Rehabilitasi vokasional adalah “ …. upaya yang terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan yang memungkinkan penyandang cacat memperoleh pekerjaan sesuai dengan kematangan vokasional yang dimilikinya” Lohnes dan Ceribbon dalam Pudjianto, (2002) mengungkapkan kematangan vokasional bukanlah sekedar kematangan keterampilan individu tehadap suatu aktivitas tertentu dalam memasuki pekerjaan tetapi pengertian kematanga vokasional jadi lebih luas dari sekedar pemilihan pekerjaan, karena akan melibatkan kemampuan individu
baik dalam membuat keputusan maupun
aktivitas perencanaan. Jadi kematangan vokasional lebih menekankan adanya kesiapan merencanakan pekerjaan yang mengandung beberapa aspek seperti sikap terhadap pekerjaan, pemahaman tentang dunia kerja, aktivitas perencanaan dan kemammpuan memecahkan masalah sehubungan dengan pekerjaan yang dicitacitakan. Artinya kondisi yang menunjukkan keserasian antara kematangan fisik, kematangan mental serta pengalaman belajar sehingga individu mempunyai kemampuan untuk melaksanakan suatu kegiatan atau tingkah laku tertentu dalam hubungannya dengan pekerjaan. Kematangan vokasional tiap individu akan berbeda, dan perbedaan tersebut disebabkan banyak faktor yang mempengaruhinya baik yang bersumber dari dalam diri individu (konsep diri) maupun yang bersumber dari luar (lingkungan). Wiegersina dalam Monk dan kawan -kawan (1991), bahwa
kematangan
vokasional dipengaruhi oleh potensi psikis, fisik dan pembentukan atau bantuan yang datang dari lingkungan. Fuhrmann dalam Pudjianto, (2002) mengemukakan atribut-atribut fisik yang dimiliki individu dapat memberikan kemudahan untuk mendapatkan pekerjan tertentu karena atribut tersebut membuat satu individu terseleksi dari individu yang lain. Beberapa penelitian dibarat
telah pula
menunjukkan bahwa perkembangan karier atau pekerjaan dan kematangan vokasional seseorang diantaranya dipengaruhi oleh informasi pekerjaan yang diterima melalui upaya-upaya sosialisasi yang memadai.
19
Konsep Pendayagunaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh. Kecacatan sering diidentikkan dengan orang yang kurang kemampuan dan tidak pernah dilihat sebagai orang yang mandiri. Biasanya mereka diyakini sebagai orang yang patah semangat dan tidak bisa ditolong lagi. Masyarakat berkesan ingin menjadikan obyek belas kasihan. Dari sejumlah pengalaman negara maju, diawali dengan pandangan dari kelompok kurang berkemampuan, bahwa masyarakat harus mengubah cara pandang, bahwa kekurangan yang ada merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah. Untuk
mengubah
paradikma
dunia
mengenai
cacat
atau
kurang
berkemampuan, kiranya Amerika patut menjadi acuan. Negara ini dianggap memiliki peraturan yang paling komprehensip diantara negara maju. Pada tahun 1988 Amerika Serikat mengeluarkan Undang-Undang yang dikenal sebagai TechAct (Technology Related Assistance for Individuals with Disability Act of 1988 ). Tech -Act ini merupakan produk hukum dari perubahan paradikma tentang disability yang intinya adalah bahwa teknologi merubah cara pandang kita terhadap kemanusiaan, lingkungan yang menjadi satu sistem yang sinergis, yang mengubah banyak sekali faktor dalam tatanan kehidupan. Perubahan dimulai dari bentuk bangunan, fasilitas, akomodasi dan peraturan dalam berbagai kehidupan. Melalui proses yang kumulatif adanya gerakan dan perbaikan peraturan, terbentuklah paradikma baru yang biasa dikenal sebagai paradikma teknologi atau paradikma ekologi. Perubahan ini tampak pada masalah semantik dimana istilah cacat (handicap) diganti dengan kurang mampu (disability). Hal yang mendasari paradikma teknologi atau ekologi meliputi : 1. Tidak ada hambatan akses melakukan berbagai kegiatan. 2. Peningkatan mobilitas melalui pemberian sarana prasarana dan alat bantuan. 3. Pemanfaatan pengetahuan dan teknologi agar ketidak mampuan dapat diatasi. Dalam paradikma ini disability diartikan sebagai kekurangsesuaian antara tujuan, kapasitas orang tertentu dengan sember-sumber yang ada di lingkungan dan bagaimana usaha untuk meningkatkannya. Dalam konteks ini Departemen Sosial melalui Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi vokasional mencoba mengadopsi paradikma tersebut berangkat dari kondisi umum penyandang cacat tubuh, dilihat dari jenis dan tingkat kecacatannya
20
untuk dapat didayagunakan dalam kesempatan kerja, yang memerlukan proses tersendiri secara bertahan mulai dari rehabilitasi medis, sosial, edukasional sampai pada Rehabilitasi vokasional. Alur kegiatan Rehabilitasi vokasional sebagaimana dikatakan Tanaka Norio, (2001) meliputi : assessment atau pencandraan vokasional, bimbingan vokasional dan latihan keterampilan atau latihan persiapan kerja. Hakekat assesment vokasional adalah menaksir berbagai kemampuan penyandang cacat dari aspek fisik, mental, sosial dan vokasional untuk menentukan apakah yang bersangkutan mampu bekerja atau tidak, apabila mampu bidang pekerjaan apa yang memungkinkan. Bimbingan vokasional adalah informasi pertimbangan yang diberikan tenaga asesor terhadap Penyandang cacat tubuh dalam proses penentuan pilihan mengenai bidang pelatihan vokasional yang sesuai dengan kondisi obyektif yang dimiliki Penyandang cacat tubuh. Sedangkan pelatihan vokasional merupakan proses transfer pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan sesuai dengan kualifikasi dan tuntutan pasaran kerja. Penyandang cacat
Asesment dan Bimbingan Vokasional
Latihan persiapan kerja
Latihan vokasional
Bimbingan Vokasional
Penyaluran
Pekerjaan yang dilindungi
Pekerjaan
Pembinaan Lanjut
Gambar 1. Alur Kerja Rehabilitasi Vokasional Sumber : (Tanaka Norio, 2001).
21
Konsep pendayagunaan tenaga kerja penyandang cacat tubuh ini berkaitan pula dengan konsep Kompetensi. Kompetensi bukanlah merupakan temuan baru, akan tetapi istilah kompetensi sudah lahir sejak pendidikan berkembang di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan. Secara definisi kompetensi adalah kemampuan dasar yang dapat dilakukan oleh para siswa pada tahap pengetahuan, keterampilan dan sikap. Kemampuan dasar ini akan dijadikan sebagai landasan melakukan proses pembelajaran dan penilaian siswa. Kompetensi merupakan target, sasaran dan standart sebagaimana yang telah digariskan oleh Bloom dan Gagne, dalam Yamin, (2005) yang menyatakan bahwa “….. dasar pengembangan tujuan instruksional diberbagai kegiatan pendidikan dan latihan, secara singkat meliputi isi kawasan sebagai berikut : (1) kawasan kognitif; (2) kawasan afektif; (3) kawasan psikomotor”. Dengan berbasis kompetensi inilah maka peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pendayagunaan tenaga kerja penyandang cacat tubuh dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan baik secara formal, non formal dan informal, demikian pula dilingkungan penerima atau pengguna dari sumber daya menusia yaitu perusahaan dan instansi, standart kompetensi merupakan salah satu persyaratan tenaga kerja yang akan memasuki dunia kerja. Disisi yang lain, konsep diri dari penyandang cacat tubuh yang bersifat positif perlu untuk terus dikembangkan. Hal ini disebabkan penampilan fisik individu mempunyai pengaruh pula secara psikologis.
Seperti dikemukakan Hurlock
(1973) yang menyatakan bahwa kekurangan fisik yang dimiliki ind ividu dapat menjadi sumber kesulitan dan rendah diri padanya. Hal inilah yang menimbulkan kesulitan
baginya
untuk
membentuk
persepsi
yang
realistis
tentang
kemampuannya dan keterbatasan-keterbatasannya. Koentjoro dalam Pudjianto (2002) tentang pelatihan kematangan vokasional memasuki dunia kerja bagi penyandang cacat tubuh mengatakan, bahwa komponen yang paling diperlukan dalam diri penyandang cacat adalah adanya pengubahan konsep diri dari yang tidak berharga menjadi tahu ada harganya dan akibatnya timbuln ya percaya diri. Selain itu reaksi lingkungan terhadap kecacatannya mempengaruhi konsep diri mereka, sebagaimana Cruickshank dalam Pudjianto (2002), bahwa sikap keluarga, teman sebaya, teman sekolah dan
22
orang-orang pada umumnya memegang peranan dalam pembentukan konsep diri orang cacat dan responnya dalam situasi sosial. Dengan demikian terlihat bahwa perasaan -perasaan “negatif” yang dialami individu yang cacat lebih banyak disebabkan oleh perasaan dalam dirinya tersebut, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa situasi ini juga dapat disebabkan oleh reaksi-reaksi orang lain terhadap kecacatannya.
Konsep Kemitraan Menyinggung konsepsi kemitraan, merupakan suatu cara kerjasama dengan menggunakan tidak hanya prinsip-prinsip sosial antara
ekonomi tetapi juga adanya aspek
pihak -pihak yang bermitra, yang dibuat untuk menguntungkan
semua pihak yang bermitra dengan tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut antara lain, untuk memberikan kepuasan dan layanan kepada konsumen, penghematan serta tujuan -tujuan lain yang didasari adanya suatu kepercayaan (trust). Pernyataan tersebut tertuang dalam (Materi Bintek Kemitraan Otonomi Daerah, Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha Milik Nenaga atau Daerah, Swasta dan Masyarakat, 2005). Kerjasama pemerintah dan swasta, masyarakat atau organisasi pemerintah lainnya yang selanjutnya disebut sebagai pihak kedua pada dasarnya diselenggarakan berdasarkan suatu bentuk win win solutions partnership. Dwight Waldo, dalam Materi Bintek Kemitraan Otonomi Daerah (2005) mengemukakan kegiatan manusia adalah kooperatif apabila berakibat sesuatu yang tidak akan ada tanpa adanya kerjasama. Dalam konteks kontemporer istilah ini kemudian lebih popular dengan kemitraan (partnership). Kemitraan antara pemerintah dan pihak kedua terutama pihak swasta merupakan sarana untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka kemitraan dalam (Materi Bintek Kemitraan Otonomi Daerah, 2005) adalah : 1. Berorientasi kepada kepen tingan publik. 2. Efisiensi dimaksudkan dalam rangka mengoptimalkan pencapaian hasil dan memberikan kepuasan pada pelanggan.
23
3. Efektifitas dapat dicapai dengan memperhatikan dinamika internal, seperti kepentingan pribadi dari organisasi atau lembaga dalam menjalankan tugasnya, keterbatasan kemampuan para pelaksana, konflik antar anggota dan sebagainya. 4. Memacu dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. 5. Mengelola resiko, yang dapat ditanggung bersama (risk sharing). Batasan kemitraan juga telah tercantum dalam Undang-Undang N0. 9 tahun 1995 yang berbunyi “ Kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”. Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor : 44 tahun 1997 juga menyatakan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah yang saling memperkuat, saling menguntungkan dan saling menghidupi. Dengan demikian hubungan kemitraan tidak bersifat perjanjian “bisnis murni” semata akan tetapi berdasar asas saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Berdasar konsep tersebut maka melalui pola kemitraan antar stakeholder yaitu pengusaha atau dunia usaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan prinsip -prinsipnya partiisipatif, dapat menumbuhkan tanggungjawab sosial untuk bersama-sama mengatasi permasalahan Penyandang cacat tubuh, tanpa harus dikemas dalam koridor yang bersifat birokratis dan formal. Konsep ini memberi pengertian bahwa penanganan masalah penyandang cacat adalah menuntut tanggungjawab bersama atau dukungan kemitraan positif yang didasari kesetaraan, transparansi dan saling menguntungkan antar stakeholder. Pemerintah pusat, akan mendasarkan kesetaraan, keadilan dan keamanan serta perlindungan
melalui upaya-upaya pembuatan kebijakan. Pemerintah daerah
sendiri, melalui struktur kelembagaan lokal mendasarkan kemitraan melalui pengakuan terhadap eksistensi penyandang cacat tubuh dalam bentuk penyediaan pelayanan lokal, dan penerimaan akan keberadaan mereka. Swasta atau pengusaha mendasarkan pertumbuhan ekonomi melalui usaha penyediaan lapangan kerja, pengembangan kualitas sumber daya manusia, penetapan standart investasi sosial dan sebagai mitra usaha bersama yaitu pembinaan usaha dan pola sub-kontrak.
24
Hal ini sebagaimana : Managing Partnership in Development IBL (2001) pada Gambar 2 :
Pemerintah dasar kesetaraan,keadilan & keamanan melalui Hukum peraturan,perlindungan
Kesetaraan
Swasta dasar ekonomi dan pembangunan melalui Usaha lapangan kerja,pengem.SDM, Investasi sosil,dll
Transparansi
Masyarakat dasar kebebasan & tg. jawab sosial yg diekspresikan Struktur Sosial pendidikan,legitimasi penyediaan pelayanan
Saling Menguntungkan Sumber : Managing Partnership in Development.IBL, (2001)
Gambar 2. Pola Kemitraan Jadi penyandang cacat tubuh tidak hanya dipandang sebagai suatu konsep komuditi secara ekonomi, akan tetapi merupakan suatu modal sosial yang perlu untuk ditumbuh kembangkan serta diberdayakan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan, agar tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dapat diperkuat melalui suatu bentuk penerimaan dan pemberian fasilitasi kearah kemandirian dan bukan menciptakan ketergantungan kepada pengusaha atau pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang lain.
Pengembangan Masyarakat Menurut Korten (1984) pengembangan masyarakat adalah Suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbanngan sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat.
25
Dalam pengembangan masyarakat terkandung esensi partisipasi. Partisipasi mengandung makna peran serta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang secara sadar di inginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut (Sumardjo dan Saharuddin, 2004). Partisipasi merupakan bentuk perilaku sadar. Ini berarti bahwa tanpa kesadaran dan kesukarelaan akan terjadi partisipasi semu. Berdasarkan hasil kajian tentang keberhasilan atau kegagalan dalam partisipasi masyarakat menyimpulkan bahwa ada dua hal yang dapat mendukung terjadinya partisipasi sebagaimana
menurut Oppenheim dalam Sumardjo dan
Saharuddin (2004), yaitu unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri sesorang (person inner determinant)
dan terdapat iklim atau lingkungan
(environment factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu. Faktanya menunjukkan kecenderungan yang sangat nyata bahwa masyarakat yaitu pihak-pihak yang diharapkan berpartisipasi tidak akan berpartisipasi (dalam arti sebenarnya) atas kemauan send iri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan, kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada rencana akhir atau adanya manfaat dalam penilaian mereka. Masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau aktivitas yang dapat mereka rasakan. Partisipasi masyarakat akan muncul bila terdapat persyaratan tertentu, ada tiga persyaratan sebagaimana Sumardjo dan Saharuddin (2004) yaitu adanya : 1. Kesempatan adalah suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi. 2. Kemauan yaitu sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berup a manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasi tersebut. 3. Kemampuan
adalah
kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia
mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, biasa berupa pikiran, tenaga atau waktu atau sarana dan material lainnya.
26
Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan dikondisikan sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak terdistorsi ESCAPE dalam (Adimihardja dan Hikmat 2001). Pemahaman kondisi ketidak berdayaan perlu dilakukan sebelum membahas mengenai pemberdayaan, karena pemahaman kondisi tersebut merupakan bagan dari proses pemberdayaan yang dialami oleh perseorangan, kelompok dan komunitas. Ketidak berdayaan sebagaimana dikemukakan Sennet, Cabb dan Conway dalam Suharto (1997), disebabkan ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan dan adanya ketegangan fisik mauupun emosional. Sementara Seeman (1985), Seligman (1972) dan Leaner (1986), meyakini bahwa ketidak berdayaan yang dialami individu atau sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi dengan masyarakat. Mereka dianggap diri mereka sebagai lemah dan tidak berdaya, karena masyarakat memang mmenganggapnya demikian. Seeman menyebut hal ini sebagai alinasi, sementara Seligman menyebutnya sebagai ketidak berdayaan yang dipelajari (learned Hellpessness) dan Learner menyebut dengan istilah ketidak berdayaan surplus (surplus powerlessness), (Suharto 1997). Pendapat lain yang lebih menekankan faktor internal disampikan Solomom dalam Payne dalam Suharto, (1997) mendefinisikan ketidak berdayaan individu atau kelompok masyarakat sebagai ketidakmampuan untuk mengelola perasaan perasaan, keterampilan-keterampilan, pengetahuan -pengetahuan dan atau sumber material. Pendapat ini menunjukkan bahwa ketidak berdayaan bukan berarti tidak memiliki potensi, pengetahuuan atau sumber material lainnya, tetapi karena individu atau komunitas yang tidak berdaya belum atau tidak memiliki kemampuan untuk mengelola potensi, perasaan dan pengetahuan yang dimilikinya. Ketidak berdayaan secara khusus diiungkapkan Leamer dalam Suharto (1997) sebagai suatu proses dimana orang merasa tidak berdaya melalu pembentukan
27
seperangkat pikiran, emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinan -kemungkinan yang sebenarnya ada. Penjelasan tentang ketidak berdayaan yang lebih lengkap mencakpp penjelasan-penjelasan diatas, disampaikan oleh Ife yang mengacu kepada konsep ketidak beruntungan (disadvantage). Ife (2002) mengemukakan “empowerment aims to increase the power oof dis adventaged”. Pemberdayaan dilakukan untuk memberikan atau meningkatkan kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat yang lemah atau kurang beruntung. Ife selanjutnya membagi kelompok-kelompok yang kurang beruntung tersebut kedalam tiga kelompok sebagai berikut : 1. Kelompok lemah secara struktur (primary structural disadvantaged groups), yaitu mereka yang kurang beruntung akibat tekanan -tekanan ketidak beruntungan structural terutama terkait dengan kelas,, gender dan etnis yang meliputi orang miskin, penganggur, wanita, masyarakat local dan kelompok komunitas. 2. Kelompok lemah khusus (other disadvantaged groups), yaitu manula, anak dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental) gay, lesbian, suku terasing. Mereka adalah bukan akibat tekanan ketidak beruntungan struktur, namun perlu dipertimbangkan dalam program perberdayaan. 3. Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged), yaitu kelompok masyarakat yang menjadi kurang beruntung sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang mengalami masalah pribadi, keluarga dan kesedihan krisis identitas. Kelompok ini membuutuhkan akses pada banyak sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehinggga perlu memperoleh pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksud dengan mengacu pada pendapat Dharmawan dalam Nasdian dan Utomo (2004) mengandung aspek yang bermakna sebagai : (1) memperbesar peluang dalam melakukan pilihan-pilihan ekonomi dan politik, (2) meningkatkan derajad kebebasan seseorang atau suatu komunitas tertentu dalam mengembangkan kehidupannya, penguasaan sumberdaya ekonomi, besar dalam menentukan sesuatu.
(3) meningkatkan kapasitas dalam
(4) memiliki posisi dan kewenangan lebih
28
Lebih lanjut Sumardjo dan Saharudin (2004) mengemukakan beberapa ciri khas kelompok atau masyarakat yang berdaya, yaitu : 1. Mampu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi, merumuskan dan menetapkan prioritasnya. 2. Mampu merumuskan alternatif, jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut. 3. Mampu mengorganisasikan diri sebagai salah satu cara penanggulanagan secara bersama. 4. Mampu mengembangkan aturan main, nilai, norma yang disususn, disepakati serta dipatuhi bersama (karena menguntungkan semua pihak). Mampu memperluas kerjasama dan menjalin kemitraan yang setara (saling menjaga mutu).
Pembangunan Berkelanjutan Hakekat atau pengertian pembangunan berkelanjutan menurut Brundtland dalam Materi Pelatihan Fungsional Perencana Tingkat I, (2004), pada dasarnya adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, sebagai suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pembangunan dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Dalam perkembangannya, Stren, While dan Whitney dalam Materi Pelatihan Fungsional Perencana Tingkat I, (2004) menyatakan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu interaksi antara tiga sistem : sistem biologis, sistem ekonomi dan sistem sosial. Konsep trilogi dalam pembangunan berkelanjutan ini menjadi pelaksanaan yang lebih jelas dan relevan terhadap permasalahan pembangunan. Dengan demikian konsep pembangunan berkelanjutan dalam perkembangannya terfokus pada berbagai aspek kehidupan. Konsep yang menyeluruh tersebut dijabarkan lebih rinci dengan mengkategorisasikan empat jenis capital stock, yaitu : 1. Natural capital stock, berupa segala sesuatu yang disediakan oleh alam; 2. Human -made capital stock, antara lain dalam wujud invetasi dan teknologi;
29
3. Human capital stock,
berupa sumber daya manusia dengan segenap
kemampuan, keterampilan dan perilakunya; 4. Social capital stock, berupa organisasi sosial, kelembagaan atau institusi; Selanjutnya, Serageldin dan Steer dalam Materi Pelatihan Fungsional Perencana Tingkat I, (2004) mengidentifikasi tiga pendekatan bagi pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada tiga subjek pembangunan yang berbeda yaitu: 1. Pendekatan berdasarkan segi ekonomi yang menempatkan fokusnya pada peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam kerangka modal dan keahlian yang tersedia. Sumber daya alam merupakan modal yang akan terus berkurang dan akan menjadi langka sehingga akan menjadi hambatan dalam usaha peningkatan kemakmuran. Sementara itu sumber daya manusia dengan keahlian dan teknologinya akan mmenjadi harapan untuk mengubah keterbatasan dan hambatan yang ada. Hal tersebut secara nyata menjadi harapan dalam mendukung kontinuitas peningkatan kemakmuran. 2. Pendekatan berdasarkan segi ekologi yang menekankan pada pemeliharaan kesatuan ekosistem
alam secara keseluruhan sebagai
syarat vital untuk
menjamin pengembangan kehidupan yang berkelanjutan. 3. Pendekatan berdasarkan kehidupan sosal dengan penekanan pada pentingnya demokratisasi, pemberdayaan, partisipasi, transparansi dan preservasi terhadap budaya sebagai isyarat bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Beberapa orang berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan akumulasi berbagai usaha kontinyu “Think globally and act locally”. Pendekatan mikro dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berbasis komunitas dianggap sebagai pendekatanpaling sesuai untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Meskipun untuk mengkaitkan antara kondisi mikro dan makro memerlukan waktu lama dan usaha serius semua pihak, namun demikian janganlah hal tersebut menjadi masalah bahkan sebaliknya dibawa kedalam prinsip -prinsip yang jelas dan bertanggung jawab.
30
KERANGKA PEMIKIRAN
Rehabilitasi vokasional adalah salah satu upaya mempersiapkan penyandang cacat tubuh agar memiliki kemampuan
atau terampil untuk bekerja baik
dilapangan kerja terbuka (open employment), secara terlindung (sheltered workshop) melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) maupun usaha mandiri. Dikarenakan permasalahan yang dialaminya, tidak mudah bagi
tenaga kerja
penyandang cacat tubuh untuk bersaing dalam lapangan kerja dengan masyarakat termasuk dalam usaha mandiri. Permasalahan ketidak beruntungan pada tenaga kerja penyandang cacat tubuh,
mengakibatkan tenaga kerja penyandang cacat tubuh tidak memiliki
pendidikan dan keterampilan yang memadai untuk dapat meneruskan kehidupannya yang layak bahkan masih adanya pembedaan-pembedaan yang intinya tidak lebih dari sekedar adanya diskriminatif. Disamping itu tanpa adanya perlindungan kerja yang memadai, rehabilitasi vokasional menjadi upaya mubazir karena lulusannya akan tetap menganggur bahkan terjadi peningkatan masalah karena adanya penambahan unsur frustasi bahkan mengalami permasalahan sosial lainnya. Rehabilitasi vokasional secara birokratis khususnya dalam upaya penyaluran tenaga kerja penyandang cacat tubuh, ditempuh melalui pola-pola kerjasama dengan lembaga atau instansi lain. Hal tersebut adalah sebagaimana misi dari undang-undang dan peraturan pemerintah bahwa tanggung jawab sosial terhadap penyandang cacat tubuh adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Tanggung jawab sosial melalui pola kerjasama yang dilaksanakan saat ini, adalah sebagai bentuk regulasi dari peraturan pemerintah pusat serta merupakan program karitatif dari dilaksanakannya suatu industri. Sehingga
kesempatan
kerjasama tersebut belum membuahkan sesuatu sesuai kebutuhan penyandang cacat tubuh dan akhirnya membuka peluang ketergantungan yang besar terhadap pengguna tenaga kerja maupun kepada pemerintah. Di era otonomi daerah, kesempatan melaksanakan tanggung jawab sosial akan lebih terbuka oleh pemerintah daerah sampai ketingkat lokal di komunitas
31
desa atau kelurahan, dimana tenaga kerja penyandang cacat berasal serta dimana terdapat modal-modal sosial masyarakat yang memungkinkan masyarakat lebih dapat berpartisipasi membangun daerahnya masing-masing. Penguatan tanggung jawab sosial masyarakat ditingkat lokal dimungkinkan dilaksanakan melalui suatu upaya kemitraan seluruh stakeholders dikomunitas lokal, sehingga kegiatan yang dilaksanakan terhadap penyandang cacat tubuh dapat sustainable serta program dan kebijakan
berorientasi kepada up aya
kemandirian sesuai kebutuhan penyandang cacat tubuh. Performa tanggung jawab sosil masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, dipengaruhi adanya aspek -aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi meliputi kapasitas penyediaan fasilitas aksesibilitas sebagai upaya mempermudah beraktifitas bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh, kebutuhan akan tenaga kerja manusia sebagai salah satu unsur pelaksana produksi, keuntungan yang diperoleh dari pengguna tenaga kerja yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat tubuh baik secara materiil dan non materiil serta aturan dan kesepakatan-kesepakatan bersama antar stakeholder yang bermitra. Aspek sosial dan lingkungan dari performa tanggung jawab sosial adalah adanya
unsur-unsur
kepercayaan,
nilai-nilai
keagamaan,
peranan
dan
kesetiakawanan sosial yang kesemua itu terdapat dimasyarakat, serta adanya perlindungan dan kepastian hukum melalui aturan dan kebijakan pemerintah yang berlaku. Performa tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dalam pelaksanaannya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi motivasi dalam melaksanakan tanggung jawab sosial yang akan mempengaruhi kemauan seseorang dalam melaksanakan tanggung jawab sosial. Kedua faktor tersebut didukung sekaligus mempengaruhi kemampuan melaksanakan tangung jawab sosial. Faktor eksternal atau lingkungan berupa sosialisasi lembaga-lembaga rehabilitasi vokasional tentang tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, kebijakan atau peraturan yang berlaku tentang ketenaga kerjaan penyandang cacat tubuh, unsur kepemimpinan serta upaya pengambilan keputusan yang memiliki
32
keberpihakan kepada upaya kesejahteraan sosial bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Pelaksanaan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, disatu sisi telah dilaksanakan baik itu oleh pemerintah melalui departemen terkaitnya, serta oleh masyarakat berupa kegiatan yang berdasar kesetiakawanan sosial masyarakat atau sebaliknya sebagai kegiatan yang berorientasi ekonomis karena terkait adanya suatu ijin produksi dari suatu perusahaan atau pelaku ekonomi lainnya. Dengan demikian, pelaksanaan dan hasil yang diperoleh baik secara kualitatif dan ku antitatif belum menggembirakan, karena pelaksanaan masih terkesan bersifat top down yang dilaksanakan lebih bedasarkan campur tangan pemerintah pusat, bersifat karitatif serta upaya pencapaian keuntungan ekonomis. Dikarenakan pelaksanaan tanggung jawab sosial pengusaha dan dunia usaha, masih sebatas kepentingan charity atau ekonomis saja dalam rangka upaya pemenuhan peraturan pemerintah dan aturan -aturan perusahaan yang berlaku baik dari segi kapasitas perusahaan serta kompetensi atau kebutuhan yang disyaratkan. Kondisi tersebut menimbulkan dampak yang kurang menggembirakan karena kegiatan
sifatnya
masih
dalam
upaya
pencapaian
target
serta
tidak
mempertimbangkan kegiatan yang berkelanjutan dan kemandirian tenaga kerja penyandang cacat tubuh, dan akhirnya menimbulkan dampak ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Jadi pola-pola kemitraan atau kerjasama yang telah terjalin lebih karena unsur politis tertentu bahkan penempatan tenaga kerja tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja penyandang cacat tubuh, belum sustainable, belum sesuai kebutuhan penyandang cacat
tubuh dan menimbulkan
ketergantungan. Diperlukan kesediaan masyarakat, dunia usaha dan unsur pemerintah daerah untuk bersama-sama memiliki tanggung jawab sosial yang kuat dalam membantu mendayagunakan tenaga kerja Penyandang cacat tubuh melalui penerimaan dan pemberian fasilitas yang lebih sustainable dan berorientasi terhadap kebutuhan penyandang cacat tubuh agar dapat mandiri. Namun fakta dilapangan menunjukkan, banyak sekali permasalahan dan kendala-kendala dalam rangka
33
penerimaan dan penempatan tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Dengan berbagai alasan yang intinya (1) tidak adanya kepercayaan akan kemampuan penyandang cacat tubuh dan tenaga kerja tidak sesuai dengan standart kompetensi yang disyaratkan; (2)
tidak adanya aksesibilitas yang dimiliki perusahaan dan
kapasitas perusahaan yang terbatas; (3) tanggung jawab sosial pengusaha belum maksimal atau kuat. Kondisi demikian merupakan bentuk pembedaan yang tidah seharusnya terjadi,
walaupun realitasnya dalam hal jenis keterampilan yang
dikuasai, mereka tidak kalah dengan sebagian besar tenaga kerja lainnya. Penyandang cacat tubuh, perlu untuk mengubah konsep dirinya yang bersifat negatif kearah yang bersifat positif, sehingga lebih memungkinkan bagi mereka untuk mengaktualisasikan keterampilan yang diperolehnya selama mengikuti kegiatan rehabilitasi vokasional sehingga kualitas sumber daya manusianya terus meningkat. Masyarakat juga hendaknya memerlukan penyandang cacat tubuh secara proporsional,
karena yang mereka butuhkan bukan belas kasihan melainkan
pengakuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya. Apabila ada pandangan positif dan optimisme dari masyarakat antara lain pengusaha terhadap penyandang cacat tubuh, maka mereka bisa didayagunakan sebagai aset produksi dalam kegiatan ekonomi perusahaan yang pantas diperhitungkan.Penyandang cacat tubuh memiliki pandangan positif dan optimisme, bahwa dengan keterampilan memadai yang dikuasainya, merupakan potensi penting untuk meraih hidup yang lebih layak, maka memungkinkan terbangun kerjasama yang saling menguntungkan diantara semua pihak. Untuk itu diperlukan suatu penguatan tanggung jawab sosial terhadap tenag a kerja penyandang cacat tubuh melalui kemitraan lokal. Penguatan tanggung jawab sosial melalui pola kemitraan lokal, diharapkan dapat terwujud melalui kegiatankegiatan yang bersifat partisipatoris dengan pelibatan seluruh stakeholder yang di komunitas lokal dimana tenaga kerja penyandang cacat tubuh tersebut berasal dan bertempat tinggal. Hal itu diperlukan berdasarkan konsep penyandang cacat tubuh merupakan modal sosial masyarakat yang diberdayakan dalam masyarakat madani, sebagai
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan, kerangka
pemikiran tersebut sebagaimana Gambar 3 :
34
Faktor Internal pelaksanaan tanggung ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------jawab sosial : 1. Motivasi 2. Kemauan dan Kamampuan Melaksanakan tanggung jawab sosial.
Faktor Eksternal pelaksanaan tanggung jawab sosial : 1. 2. 3. 4.
Performa Tanggung jawab Sosial masyarakat : 1. Aspek-Aspek Ekonomi : Kapasitas, Kebutuhan dan Keuntungan serta Etika kemitraan dari pengguna tenaga kerja. 2. Aspek-Aspek Sosial dan lingkungan: Kepercayaan,nilai keagamaan,peranan,ke setiakawanan,perlindungan & kepastian hukum
Tujuan strategi penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap penyandang cacat tubuh melalui kemitraan : Agar terjadi : 1. Kemandirian Penca Tubuh 2. Sustainable program
Sosialisasi Kebijakan & peraturan Kepemimpinan Pengambilan keputusan -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keterangan :
mempengaruhi tidak langsung Gambar 3. Kerangka Pemikiran
mempengaruhi
35
METODOLOGI KAJIAN LOKASI DAN WAKTU
Alasan pemilihan lokasi kajian di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor adalah karena di Kelurahan Karadenan merupakan lokasi Praktek Lapangan I dan II, sehingga pengkaji telah memiliki data-data awal yang selanjutnya memungkinkan untuk di tindak lanjuti melalui Kajian Pengembangan Masyarakat. Dengan demikian waktu kerja lapangan, dalam rangka penulisan kajian pengembangan masyarakat ini telah dimulai sejak Praktek Lapangan I (Pemetaan Sosial) dan Praktek Lapangan II (Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat) yang akhirnya dilanjutkan dalam Kajian Pengembangan Masyarakat. Adapun jadwal kajian pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut : Tabel
No
2.
Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor. Jenis Kegiatan
di
Pelaksanaan
1.
Pemetaan Sosial
Nopember 2004
2.
Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat
Pebruari sampai Maret 2005
3.
Pengumpulan Data Kajian
Juni, Juli sampai Agustus 2005
4.
Penyusunan Program Pengembangan Masyarakat
Juli dan Agustus 2005
5.
Pengolahan, Analisis Data dan Penyusunan Laporan Kajian Pengembangan Masyarakat
Agustus sampai September 2005
SIFAT KAJIAN
Sifat kajian ini adalah studi kasus, yaitu penerapan serangkaian metode kerja (multi metode) kajian untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas satu atau lebih kejadian atau gejala sosial Stake and Yin dalam (Sitorus dan Agusta 2004).
36
Melalui metode ini diharapkan dapat memperoleh gambaran pemahaman yang nyata, dalam arti dapat menangkap realitas sosial secara holistik dan mendalam. Studi aras mikro juga lebih relevan untuk kajian komunitas karena karakter pengembangan masyarakat yang menyesuaikan diri dengan konteks lokal sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami, bersifat menyeluruh, rinci dan dapat menangkap proses sosial yang tidak terlihat melalui analisis statistik serta dapat menangkap pola-pola yang khas yang terdapat dalam masyarakat. Tipe kajian adalah studi kasus khusus dan intrinsik, yaitu studi kasus instrinsik yang menarik perhatian peneliti. Kasus dipilih bukan untuk maksud instrumental tertentu, tetapi karena alasan tertentu dan menarik untuk diteliti. dalam (Sitorus dan Agusta 2004). Yang dijadikan subyek kajian adalah informan yang selanjutnya dijadikan sebagai unit analisis, yang akan dipilih berdasar kepada tujuan (Purposive) artinya ditujukan kepada orang-orang yang berkenaan langsung dengan masalah kajian, yaitu : pimpinan perusahaan dan dunia usaha, unsur pemerintah pusat di lembaga rehabilitasi vokasional, komunitas lokal aparat pemerintah desa, komunitas disek itar perusahaan, tokoh masyarakat yaitu Ketua Rukun Tetangga dan Ketua Rukun Warga, tokoh agama serta penyandang cacat tubuh yang berada dikomunitas lokal. Adapun kriteria penyandang cacat tubuh adalah usia produktif usia 16 sampai 35 tahun, Pendidikan minimal Sekolah Dasar atau yang sederajat, telah lulus dari rehabilitasi vokasional atau memiliki sertifikat keterampilan lain, menganggur dan sedang mencari pekerjaan, telah bekerja dikomunitas lokal serta penyandang cacat tubuh yang sedang mengalami permasalahan dalam usaha mandirinya. Jumlah informan yang dipilih dan memenuh persyaratan pencapaian tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Penyandang cacat tubuh
= 8 orang
2. Unsur pengusaha
= 3 orang
3. Unsur pemerintah pusat (Depsos RI)
= 1 orang
4. Unsur pemerintah daerah (Lokal)
= 2 orang
5. LPM
= 1 orang
6. PSM
= 1 orang
7. Tokoh Masyarakat (RT/RW)
= 2 orang
8. Tokoh Agama
= 2 orang
37
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Data yang dikumpulkan pada kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Tahapan pengumpulan data dalam kajian ini sebagai berikut : Data primer dikumpulkan dengan cara : 1. Wawancara mendalam (in depth interview ), dilakukan dengan aparat kelurahan,
tokoh
masyarakat,
pengusaha,
penyandang
cacat
tubuh
dikomunitas local, aparat lembaga rehabilitasi vokasional/keterampilan, untuk mendalami bagaimana tingkat tanggung jawab sosial masyarakat melalui pola kemitraan lokal. 2. Observasi lapangan ditujukan untuk mengumpulkan data-data lainnya antara lain potensi ekonomi kelurahan, lingkungan fisik atau aksesibilitas, dinamika masyarakat, dinamika penyandang cacat tubuh di komunitas lokal, dinamika penyandang cacat tubuh dalam lembaga rehabilitasi vokasional/keterampilan serta ketika berada di perusahaan. 3. Diskusi dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) digunakan sebagai salah satu cara untuk memperoleh informasi dari peserta tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat. Diskusi juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana performa tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga program yang didasari tanggung jawab sosial yang kuat lebih berorientasi pada penerimaan dan pemberian fasilitas kearah sesuai kebutuhan penyandang cacat tubuh yaitu kemandirian dan sustainable program agar tidak menciptakan ketergantungan. Adapun data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi di lokasi penelitian. Teknik pengumpulan data tersebut diatas (wawancara, observasi, focus group discussion, studi kepustakaan serta studi dokumentasi), secara keseluruhan dimaksudkan untuk mengetahui performa tanggung jawab sosial masyarakat, faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat, serta tujuan dari upaya penguatan tanggung jawab sosial masyarakat yaitu kemandirian penyandang cacat tubuh dan keberlanjutan kegiatan melalui strategi penguatan
38
tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang berlokasi di kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor yang dilaksanakan secara partisipatif. Data yang telah terkumpul, nantinya akan bertahap dianalisis secara kualitatif.
TEKNIK ANALISIS DATA
Tahapan analisis data secara kualitatif adalah dengan melakukan reduksi data, penyajian data kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Kesimpulan berisi dan berkaitan dengan tema, masalah dan tujuan kajian. Reduksi data, dilakukan melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstakan dan trans formasi data kasar dari catatan lapangan secara terus menerus selama penelitian. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka cara (1) melalui seleksi ketat; (2) melalui ringkasan atau uraian singkat; (3) menggolongkannya dalam pola yang lebih luas. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif, bentuk matriks, grafik, jaringan atau bagan. Selanjutnya penarikan kesimpulan adalah berdasar hasil penyajian data yang telah dilaksanakan, tinjauan ulang catatan serta proses tukar pikiran dengan teman sejawat ataupun pakar pengembangan. Jadi data primer dan data sekunder akan diidentifikasi dan dikelompokkan dalam bentuk matriks dan naratif sesuai bidangnya, selanjutnya dianalisis, didiskripsikan akhirnya diadakan penarikan kesimpulan. Tentang rincian metode pengumpulan data sebagaimana Tabel 3 :
Tabel 3. Rincian Tentang Jenis, Sumber Dan Cara Pengumpulan Data Tujuan
Jenis Data
Sumber Data
Cara Pengumpulan
39
Data 1. Menganalisis performa tanggung jawab sosial masyarakat Karadenan terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
1. Aspek ekonomi Kapasitas, kebutuhan dan keuntungan serta etika bermitra. 2. Aspek sosial Kepercayaan, nilai agama, partisip asi, kesetiakawanan & perlindungan serta kepastian hukum.
Komunitas lokal (pengusaha, penyandang cacat tubuh,tomas/meli puti Ketua RT & RW,petugas SKB dan aparat lembaga rehabilitasi vokasional serta aparat pemerintah kelurahan
2. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempenga ruhi adanya tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
1. Faktor Internal : a. Motivasi b. Kemampu an 2. Faktor Eksternal : a. Sosialisasi b. Kebijakan, norma,aturan. c. Pengambilan keputusan dan kepemimpinan
Komunitas lokal (pengusaha, penyandang cacat tubuh,Ketua RT & RW),petugas SKB dan aparat lembaga rehabilitasi vokasional serta aparat pemerintah kelurahan.
Wawancara, observasi dan Diskusi kelompok
c. Merancang bagaimana strategi penguatan tanggung jawab sosial masyarat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
Tujuan strategi penguatan : Kemandirian penca tubuh dan keberlanju tan program.
Komunitas lokal (pengusaha, penyandang cacat tubuh,Ketua RT & RW), petugas SKB dan aparat lembaga rehabilitasi vokasional serta pemerintah kelurahan.
Diskusi kelompok (FGD)
Telaah pustaka, dokumentasi, wawancara, observasi.
METODE PENYUSUNAN PROGRAM
40
Rencana penyusunan program disusun dalam bentuk program pembangunan yang bersifat partisipatif, dilakukan dengan Metode Focus Group Discussion (FGD). Ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam penyusunan program tersebut dengan pelibatan stakeholder di komunitas lokal itu, sendiri sekaligus nan tinya akan dipilih bersama sebagai fasilitator. Ketiga tahapan tersebut meliputi : 1. Identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan. 2. Penyusunan program kerja untuk merumuskan alternatif pemecahan masalah dan pencapaian kebutuhan. 3. Evaluasi dan pelaporan. Ketiga tahap tersebut, didukung berdasar penggalian aspirasi dari berbagai pihak berkepentingan (stakeholder) yang ada melalui analisis keterkaitan stakeholders dengan rencana program. Identifikasi potensi dan kebutuhan serta masalah, dilakukan berdasar hasil penyajian data primer dan sekunder serta berasal dari aspirasi pihak berkepentingan (stakeholder) melalui wawancara dan diskusi kelompok terfokus.
PETA SOSIAL
41
LOKASI
Kelurahan
Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, secara
teritorial berlokasi sangat berdekatan dengan aktivitas perekonomian lokal yaitu pasar (1 km), pusat pemerintahan Ibu Kota Kabupaten Bogor dan Perkantoran lain atau Kawasan Pemda Kabupaten Bogor (5 km) dan Ibu Kota Kecamatan Cibinong (16 km) serta Rumah Sakit Umum Kelas.1A Kabupaten Bogor (10 km). Secara karakteristik tata kota Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Kelurahan Karadenan merupakan kawasan primadona sebagai lokasi pusat pendidikan dan kawasan hunian/tempat tinggal di Kabuipaten Bogor. Berdasarkan jarak dari Kantor Kelurahan Karadenan ke Pusat Pemerintahan Kabupaten yang relatif dekat, akan mempermudah kegiatan -kegiatan administratif yang perlu dilakukan, serta lebih mempermudah arus informasi dan komunikasi antara Kelurahan Karadenan dengan Pusat Pemerintahan maupun Perkantoran lain di lokasi Pemda Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan alat transport yang digunakan masyarakat umum, jarak tempuh dari Kelurahan Karadenan ke Ibu Kota Kecamatan Cibinong dilalui dengan waktu tiga puluh menit ongkos Rp. 1.500,- dan ke Ibu Kota Kabupaten dan Kawasan Perkantoran lain di Pemda dilalui dengan waktu lima belas menit ongkos Rp. 1.000,- serta Ke Rumah Sakit Pusat Kelas. 1A Kabupaten Bogor dengan waktu tempuh 20 menit ongkos 1.500,-. Sedangkan waktu tempuh ke pusat fasilitas lain seperti Puskesmas bersebelahan dengan Kantor Kelurahan, pasar lokal, fasilitas ekonomi lokal lainnya dan pendidikan, masyarakat menggunakan jasa angkutan lokal “odong-odong” ongkos Rp. 500,- atau “ojeg” ongkos Rp. 1.500,- atau Rp. 2.000,- dengan jarak waktu lima belas menit. Adapun jarak fisik antar Rukun Warga relatif mudah dijangkau, karena jalan sudah beraspal, dan hanya sebagian jalan kampung yang belum beraspal, terutama
terdapat di wilayah Rukun Warga 5, 6 dan 7. Jalan protokol yang
dilewati sebelum memasuki kawasan Kelurahan Karadenan adalah jalan Raya Pemda yang merupakan jalur lintasan antara Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor dengan Bogor Kota, dimana disepanjang jalan terdapat berbagai macam
42
kegiatan perekonomian, sosial, kesehatan dan pendidikan (negeri, swasta, inti dan unggulan) baik dalam skala kecil, menengah, besar dan yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta. Secara geografis, Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong, berbatasan dengan beberapa wilayah yaitu : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sukahati; 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pasir Jambu; 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cilebut Timur; 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Nanggewer. Kelurahan Karadenan mempunyai luas wilayah 404,17 Ha yang terdiri atas empat belas Rukun Warga dan enam puluh dua Rukun Tetangga. Karadenan memiliki ketinggian dari permukaan laut + 200 m, dengan curah hujan 1.000 mm3 dengan jumlah bulan hujan sebanyak enam bulan, sedangkan penggunaan area tanah di wilayah Kelurahan Karadenan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Persentase Dan Luas Lahan Menurut Penggunaannya No 1. 2.
Penggunaan Tanah Luas (HA) Pemukiman 231,55 Sawah, Ladang, Tegalan , Perikanan 117,75 dan Perkeb unan serta Peternakan 3. Pemakaman Umum 0,15 4. Perkantoran 8,7 5. Perusahaan/Pusat perekonomian 39,25 6. Lain-lain 6,77 Jumlah 404,17 Sumber Data : Potensi Kelurahan Karadenan Tahun 2004
Persen 57 27,75 0,04 2,15 9,25 1,67 100
Berdasar Data penggunaan lahan tersebut maka 57 persen wilayah digunakan sebagai area pemukiman dan pekarangan penduduk dengan katagori perumahan yang dihuni pendatang dan penduduk lokal Karadenan menempati pada pemukiman umum (kampung), hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pelapisan sosial dan pengelompokan kawasan pemukiman serta munculnya para pendatang dari luar Kelurahan Karadenan. Disamping kawasan pemukiman, di Kelurahan Karadenan masih terdapat areal sawah, tegalan, ladang dan perikanan dengan primadona pertanian singkong, perikanan atau balong lele dan ikan mas dan perkebun bambu serta sebagaian
43
peternakan ayam buras. Penggunaan
lahan ini sangat menunjang untuk
perekonomian keluarga dan berkaitan dengan mata pencaharian penduduk. Sedangkan aktivitas perekonomian lainnya dari penduduk adalah dengan memanfaatkan lahan pemukiman yang letaknya disepanjang jalan protokol lintasan Pemda Kabupaten Bogor dan Bogor Kota (Simpang Karadenan). Aktifitas perekonomian ini didominasi oleh penduduk pendatang, sedangkan penduduk lokal memanfaatkan rumah-rumah di kampung ataupun melalui warung-warung tenda disepanjang pinggiran jalan. Demikian pula keberadaan perkantoran
dan
perusahaan-perusahaan di Karadenan diharapkan akan
memberikan kontribusi terhadap pembangunan di Karadenan.
KEPENDUDUKAN
Penduduk Kelurahan Karadenan berdasar Data Potensi Kelurahan sampai dengan bulan Oktober 2004, jumlah penduduk adalah sebanyak 12.157 jiwa yang terdiri dari 2.812 KK, dengan rincian 6.870 jiwa laki-laki (56,51 %) dan 5.287 jiwa penduduk perempuan (43,49 %), sebagaimana Tabel 5 berikut: Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasar Umur Dan Jenis Kelamin No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Golongan Umur (Tahun)
Laki-Laki
Perempuan
0–4 914 946 5–9 1.181 983 10 – 14 791 448 15 – 19 664 578 20 – 24 658 532 25 – 29 482 410 30 – 34 491 357 35 – 39 408 218 40 – 44 306 187 45 – 49 236 176 50 – 54 234 156 55 – 59 261 112 60 – 64 134 102 65 – 69 58 47 70 Keatas 52 35 Jumlah 6.870 5.287 Sumber : Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004
Jumlah 1.860 2.164 1.239 1.242 1.190 892 848 626 493 412 390 373 236 105 87 12.157
44
Berdasar Tabel 5 tentang Komposisi Penduduk Karadenan
terlihat jelas
bahwa komposisi penduduk Karadenan usia produktif sebagaimana ketentuan BPS (Biro Pusat Statistik) Indonesia yaitu usia limabelas sampai enam puluh empat tahun, termasuk dalam katagori struktur penduduk usia kerja dengan jumlah 6.702 jiwa (55,13 %), sedangkan untuk golongan pemuda sebagaimana Diknas limabelas sampai tiga puluh empat berjumlah 4.172 jiwa (34,32 %). Tingkat Rasio Beban Tanggungan (RBT) penduduk Karadenan yaitu sebesar 81,40 %, artinya tiap seratus orang yang produktif harus menanggung delapan puluh satu orang yang tidak produktif. Dengan kata lain perbandingan penduduk produktif dengan tidak produktif adalah lima jiwa berbanding empat jiwa penduduk. Dengan demikian jelaslah bahwa begitu tidak seimbangnya Rasio Beban Tanggungan penduduk Karadenan, yang tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi penduduk dalam pembangunan, terlebih lagi apabila jumlah penduduk produktif berada pada tingkat penghasilan rendah yang berakibat pada sulitnya terwujud pembangunan wilayah. Angka fertilitas di Karadenan cukup tinggi yang ter lihat dari jumlah penduduk usia nol sampai empat tahun mencapai 1.860 jiwa (15,30 %), namun demikian berdasar data terakhir Oktober 2004 dari 2.812 Kepala Keluarga, PUS (Pasangan Usia Subur) sebanyak 2.193 pasangan telah mengikuti program KB (Keluarga Berencana) sebanyak 1.549 pasangan (70,63 %) yang diharapkan akan dapat menurunkan angka fertilitas. Komposisi penduduk tersebut apabila dilihal berdasar agama dan kepercayaan sebagaimana Tabel 6 berikut ini : Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasar Agama Agama Jumlah Islam 11.711 Kristen Protestan 330 Kristen Khatolik 98 Budha 18 Jumlah 12.157 Sumber ; Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004 N0 1. 2. 3. 4
Berdasarkan
% 96,33 2,72 0,80 0,14 100
Tabel 6 tentang agama yang dianut penduduk Karadenan,
mayoritas adalah Islam. Di Karadenan masyarakat dalam memeluk dan beribadah
45
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang berbeda dapat terlaksana dengan rukun dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Berdasar tingkat pendidikan, dari jumlah penduduk Karadenan sebanyak 12.157 jiwa, yang memiliki pendidikan cukup baik (Tamat Sekolah Menengah Atas
dan Perguruan Tinggi) sebanyak 2.186 jiwa (17,99 %), sedangkan
pendidikan yang terbanyak dimiliki oleh penduduk Karadenan adalah tamat Sekolah Menengah Pertama atau sederajat yaitu sebanyak 4.079 jiwa (33,60 %) dan diikuti tamat Sekolah Dasar atau sederajat sebanyak 3.878 (31,90 %). Untuk lebih jelasnya komposisi penduduk berdasar tingkat pendidikan dapat dilih at pada Tabel 7 berikut ini : Tabel 7. Jumlah Dan Persentase Penduduk Berdasar Tingkat Pendidikan No
Tingkat Pendidikan
1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah
Belum sekolah 1.730 Usia 5 – 45 Tidak pernah sekolah 69 Tidak Tamat SD 215 Tamat Sekolah Dasar atau Sederajat 3.878 Tamat Sekolah Menengah Pertama atau 4.079 Sederajat 6. Tamat Sekolah Menengah Atas atau Sederajat 2.025 7. Perguruan Tinggi 161 Jumlah 12.157 Sumber : Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004
Persen 14,23 0,60 1,80 31,90 33,60 16,70 1,32 100
Tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Karadenan telah dikatagorikan sebagaimana ketentuan pemerintah tentang Wajib Belajar 9 Tahun, akan tetapi untuk kondisi saat ini, dimana peluang dan pasaran kerja yang sulit (pasca krisis) yang mensyaratkan pada tingkat pendidikan, keterampilan maupun pengalaman kerja, membuat penduduk Karadenan sulit bersaing dalam pasaran kerja yang layak. Dengan demikian secara kuantitas jumlah penduduk dengan usia kerja yang relatif banyak merupakan sumber potensial, akan tetapi secara kualitas, penduduk Karadenan yang mayoritas lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama merupakan sesuatu yang kurang menguntungkan. Tingkat mortalitas di Karadenan berdasar Laporan kependudukan Kelurahan Karadenan bulan Oktober 2004 relatif kecil, yaitu kematian balita nol sampai lima tahun hanya dua orang, dan kematian lanjut usia tujuh puluh tahun tahun
46
keatas dua orang serta kematian penduduk usia produktif limabelas sampai enam puluh empat tahun sebanyak satu orang. Dari data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesehatan ibu dan balita nol sampai lima tahun relatif baik. Secara umum migrasi penduduk Karadenan cukup tinggi berdasar laporan kependudukan Kelurahan Karadenan bulan Oktober 2004 menunjukkan jumlah penduduk yang datang sebanyak dua puluh sembilan Kepala Keluarga, dengan data tersebut jelas bahwa Karadenan sebagai lokasi pemukiman dan tempat tinggal sangat tepat karena muncul rumah-rumah baru maupun lokasi perumahan. Kondisi ini juga mempengarugi mobilitas penduduk karena sebagai penduduk pendatang pada umumnya bekerja di tempat lain Jakarta Bogor Tangerang dan Bekasi, sehingga mengakibatkan mobilitas penduduk terutama pendatang di Karadenan relatif tinggi, hal ini bertolak belakang dengan mobilitas penduduk lokal yang pada umumnya melakukan mobilitas di lokasi Karadenan dan sekitarnya.
SISTEM EKONOMI
Sistem mata pencaharian penduduk Karadenan cukup beragam, dan apabila dikembangkan
pada
hakekatnya
potensial
dapat
meningkatkan
tingkat
kesejahteraan penduduk. Namun demikian perbandingan antara jumlah satu mata pencaharian dengan mata pencaharian lainnya terdapat adanya perbedaan jumlah meskipun tidak begitu siknifikan, hal ini dapat dilhat sebagaimana Tabel 8 berikut Tabel 8. Jumlah Dan Persentase Penduduk Berdasar Mata Pencaharian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Mata Pencaharian Pegawai Negeri Sipil ABRI Pegawai swasta Perdagangan Pertukangan Kayu dan Batu Petani, Buruh Tani dan Peternak Pengrajin Lain-lain
Jumlah 425 32 755 105 264 164 25 2.285
Persen 10,50 0,79 18,67 2,60 6,53 4,54 0,62 56,49
Jumlah
4.045
100
Sumber : Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004
47
Secara garis besar, berdasar Tabel 8 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk Karadenan adalah pegawai Negeri Sipil, yang pada umumnya adalah mata pencaharian penduduk pendatang. Diikuti oleh pegawai swasta yang umumnya pegawai swasta dengan gaji besar adalah penduduk pendatang, sedangkan pegawai swasta dengan gaji kecil adalah pegawai swasta dari penduduk lokal Karadenan dengan status hanya sebagai buruh harian di perusahaan-perusahaan yang terdapat disekitas Karadenan baik perusahaan kecil misalnya pabrik kerupuk mi, pabrik pembuatan sagu, usaha pembuatan gorong-gorong dan pavling blok serta pengusaha mebel, skala menengah misalnya pom bensin, alfa mart atau klinik swasta bersama dan skala besar misalnya beberapa perusahaan garment ataupun pada usaha-usaha perseorangan mis alnya penjaga toko atau warung-warung. Demikian pula untuk sektor perdagangan, adalah mulai dari perdagangan besar dan menengah adalah dari penduduk pendatang, sedangkan perdagangan kecil-kecilan adalah dari penduduk local misalnya pedagang warungan, penju al sayur keliling, pedagang makanan keliling dan sebagainya. Sedangkan untuk bidang pertukangan kayu dan batu dimaksud, adalah pertukangan yang hanya bersifat lokal saja dan sebagai pembantu tukang, yang tentu saja dengan standar gaji yang rendah. Mata pencaharian lain -lain yang dimaksud dalam Tabel 8 adalah mata pencaharian yang bersifat informal maupun free lance (tidak imengikat) bekerja baik itu hari dan jam kerjanya, misalnya sebagai pembantu rumah tangga yang hanya mencuci dan menyetrika (paruh waktu atau karena ada pesanan), sebagai makelar tanah, tukang pijit, tukang ojek atau sopir odong-odong yang dibagi jam kerjanya dan pekerjaan lain-lain yang sifatnya tidak tetap. Untuk mata pencaharian penduduk Karadenan sektor pengrajin, adalah aneka pengrajin bambu, yang dalam pelaksanaannya dikerjakan secara tradisional, dengan manajemen sederhana dan merupakan usaha keluarga, akan tetapi produk dari bambu ini telah memasyarakat dan dikonsumsi oleh penduduk Karadenan dan sekitarnya dengan cara dijual secara keliling maupun dipasarkan lewat pedangan kerajinan bambu dipinggir jalan yang banyak dijumpai di jalan Lintas Pemerintah Daerah
dengan Kedung Halang. Kerajinan bambu
ini karena
48
memanfaatkan tanaman
bambu yang banyak
terdapat disebagian lokasi di
Wilayah Karadenan dan sekitarnya. Mata pencaharian pertanian (sebagai petani dan buruh tani), sebagian penduduk masih mengandalkan sektor ini dengan pertanian tanaman singkong sebagai tanaman primadonanya. Tanaman singkong ini merupakan primadona pertanian di Karadenan, karena tanah yang tidak begitu subur (latar belakang tanah di Karadenan adalah bekas hutan karet milik PT Cemerlang) sehingga hanya cocok untuk tanaman singkong yang khusus untuk dibuat sagu. Keberadaan ekonomi lokal, sesungguhnya apabila dikelola dengan baik, akan dapat dikembangkan secara optimal, karena mulai dari bahan baku terdapat di lokasi Karadenan dan sekitarnya. Dalam pemasaran hasil produksinya dalam skala lokal. Berdasar temuan yang terdapat dilapangan keberadaan ekonomi lokal tidak pernah mengalami masa paceklik meskipun dari segi keuntungan belum memperoleh hasil yang maksimal, akan tetapi
tetap dapat
menjual hasil
produksinya. Namun demikian usaha yang dilaksanakan belum tersentuh teknologi modern, tetapi dari segi kualitas, produk yang dihasilkan dapat diandalkan. Hal ini merupakan salah satu bentuk tata niaga output yang dapat diandalkan. Keluhan yang umumnya dirasakan dari para pelaku ekonomi lokal di Karadenan adalah dalam
permodalan yang sulit
diperoleh pencarian
tambahannya. Hal tersebut dikarenakan pihak perbankkan mewajibkan sistem jaminan yang umumnya tidak dimiliki. Di Karadenan terdapat satu Lembaga Keuangan Syariah, yang memberikan penawaran tabungan dengan bunga dan tanpa jaminan, namun demikian karena kurangnya sosialisasi, maka tidak sedikit komunitas Karadenan lebih memilih meminjam kepada keluarga, kerabat terdekatnya atau oleh investor lain yang bersedia memberikan pinjaman, dengan system bagi hasil. Situasi dan kondisi tersebut merupakan merupakan salah satu bentuk tata niaga input di Karadenan.
49
STRUKTUR KOMUNITAS
Berbicara mengenai struktur komunitas, maka hal yang pertama yang harus dipahami dan merupakan fenomena yang penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat lokal membangun suatu komunikasi satu dengan lainnya adalah gejala pelapisan sosial masyarakat yang umumnya sangat dihargai dalam kelompok sosial masyarakat. Sistem pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat Karadenan bersifat terbuka artinya meskipun terdapat lapisan masyarakat akan tetapi dalam kehidupan
pelapisan tersebut tidak menimbulkan adanya kesenjangan yang
mencolok diantara warga Karadenan, sehingga interaksi sosial mereka tetap berjalan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Pelapisan sosial di komunitas Karadenan didasarkan adanya beberapa faktor yaitu : (1) Faktor kearifan dalam kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan; (2) Faktor pekerjaan; (3) Faktor kekayaan yang dimiliki. Lapisan pertama adalah keberadaan tokoh-tokoh masyarakat maupun tokohtokoh agama sangat besar pengaruhnya terhadap program-program pemerintah maupun kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Peranan tokok-tokoh masyarakat dan tokoh agama di wilayah Karadenan cukup berarti, dimana keberadaan tokoh-tokoh ini berperan terhadap pembangunan fisik dan mental. Untuk pembangunan fisik peranan yang diberikan adalah dengan memberikan sumbang saran bagi pelaksanaan kegiatan. Pembangunan mental adalah dengan penyelesaian
masalah -masalah
maupun
konflik -konflik
yang
terjadi
di
masyarakat, demikian pula pembinaan mental terhadap para generasi muda, tokoh-tokoh agama dan masyarakat pertama kali akan berperan. Adapun yang dimaksud dengan tokoh masyarakat adalah termasuk juga Ketua Rukun Warga dan Ketua Rukun Tetangga. Lapisan kedua adalah mereka yang masuk dalam pemimpin formal yaitu aparat Kelurahan ataupun para pegawai dan Angkatan Bersenjata. Kepatuhan warga terhadap pemimpin formal umumnya menyangkut masalah-masalah yang bersifat formal dan prosedural seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk, maupun surat-surat lain.
50
Lapisan ketiga adalah kelompok yang memiliki sosial ekonomi tinggi dan kesetiakawanan sosial kepada warga, umumnya mereka menyebutnya sebagai dermawan atau donatur. Pelaksanaan pemilihan Ketua Rukun Warga dan Rukun Tetangga dilakukan secara demokratis oleh masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor wibawa dan kharisma yang dimiliki dan yang terpenting adalah faktor kedekatan terhadap masyarakat. Hubungan masyarakat dengan pemimpin yang bersifat formal, bersifat pasif dan kurang aspiratif. Umumnya masyarakat berhubungan dengan pemimpin formal melalui tokoh-tokoh masyarakat ataupun tokoh agama, karena masyarakat telah mempercayakan segala urusan kepada tokoh-tokoh informal ini, sehingga hubungannya relatif lebih dekat dengan tokoh-tokoh informal. Jejaring sosial yang terjadi dalam membangun interaksi dan kepemimpinan di Karadenan adalah melalui tokoh-tokoh informal yang selanjutnya akan diselesaikan secara musyawarah dan akhirnya menjadi keputusan bersama seluruh warga. Isu-isu sosial yang muncul biasanya bukan hanya berasal dari masyarakat akan tetapi juga dari pihak pemerintah yang akan melaksanakan pembangunan wilayah, melalui kepemimpinan informal isu-isu tersebut diteruskan kepada masyarakat untuk kemudian hasilnya dibicarakan dalam suatu musyawarah bersama ditingkat Kelurahan ataupun hanya secara informal disampaikan di Kelurahan, yang akhirnya baru menjadi suatu keputusan warga masyarakat. Dari alur tersebut jelas terlihat, begitu berperannya kepemimpinan informal di Karadenan. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam gambar 4 tentang bagaimana arus informasi adanya isu-isu sosial di masyarakat diterima dan selanjutnya disalurkan yang akhirnya menjadi suatu agenda musyawarah di tingkat Kelurahan Karadenan.
51
Gambar 4. Informasi Isu-Isu Sosial Di Masyarakat
ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN Di kelurahan Karadenan, sistem norma yang dibangun merupakan sistem norma yang dilatar belakangi oleh agama yaitu agama Islam, disamping juga berdasarkan kebiasaan yang bersifat turun-temurun. Artinya kedua norma tersebut menjadi ukuran menyimpang atau tidaknya suatu perilaku di masyarakat. Untuk memahami hal tersebut terdapat beberapa hal yang perlu untuk dipahami yaitu : 1. Idiologi Nilai-nilai tradisional yang bersifat umum sebagai komunitas Sunda dan Betawi sebatas dipahami dan diterima tetapi tidak sepenuhnya dilaksanakan, sedang norma
yang lebih dominan adalah norma-norma agama terutama
Islam. 2. Sikap. Kegiatan gotong-royong di tingkat kewilayahan Rukun Tetangga dan Warga masih dilaksanakan dan tetap terpelihara dengan baik dan terlihat ketika acaraacara atau kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. 3. Pola Pengasuhan dan Sistem Kekerabatan. Pola pengasuhan di dalam keluarga masih relatif kuat, meskipun hal ini banyak terjadi di penduduk lokal Karadenan. Sistem kekerabatan yang masih kuat ini dibuktikan adanya keluarga yang tinggal salng berdekatan dalam satu pemukiman, atau bahkan masih tinggal dalam satu rumah.
52
4. Religi Dikarenakan mayoritas penduduk Karadenan beragama Islam, sistem keagamaan dan kepatuhan dibangun melalui media keagamaan pada kelompok-kelompok pengajian, Taman Pendidikan Al-Quran, Madrasah Syanawiyah (negeri dan swasta), Panti Asuhan bernuansa Islam serta peringatan hari-hari besar agama. Sistem kontrol sosial masyarakat lebih dilandasi oleh faktor religi (agama). Dan apabila perilaku yang menyimpang sudah bersifat kriminal maka sistem kontrol akan diserahkan kepada aparat keamanan. Berkenaan dengan kelompok sosial kemasyarakatan umumnya dibanguun berdasar kebutuhan masyarakat dan lebih bersifat fungsional. Oleh karena itu kelompok ini lebih bersifat sebagai upaya peningkatan ekonomi
dan
kesejahteraan keluarga maupun dalam upaya pelaksanaan kegiatan pemerintah. Organisasi dan kelembagaan yang terdapat di Kelurahan Karadenan bersifat formal maupun informal, bersifat formal yaitu memiliki identitas kolektif, struktur kompleks dan memiliki tata aturan yang jelas. Umumnya organisasi dan kelembagaan yang berada pada permasalahan pembangunan wilayah. Sedangkan yang bersifat informal, dibangun berdasar sentimen kelompok untuk mengatasi masalah antar sesama atau berdasar aktifitas keagamaan. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 9 berikut ini tentang organisasi dan kelembagaan. Tabel 9. Jumlah Organisasi Dan Kelembagaan Menurut Jenisnya No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13.
Jenis Organisasi Dan Kelembagaan PKK Kelurahan Karang Taruna Kelurahan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Majlis Taklim Majelis Ulama Indonesia Tingkat Kelurahan Kelompok Pengajian Al-Hidayah Koperasi Rukun Kematian Kelompok Penimbangan Kelompok Usaha Lembaga Keamanan atau Hansip Kelompok Usaha Gerakan Rehabilitasi Lahan Dan Hutan Kelembagaan Politik
Jumlah 1 1 1 23 1 1 1 1 14 35 41 1 2
53
Sumber : Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004 Berdasar Tabel 9 diatas, maka organisasi dan kelembagaan di Karadenan sangat berwariasi. Situasi dan kondisi ini mencerminkan adanya dinamika sosial yang tergabung dalam suatu kelompok atau wadah tertentu baik yang bersifat formal dan informal. Keseluruhan organ isasi dan kelembagaan di Karadenan dengan segala aktivitasnya senantiasa berusaha untuk mendukung program pemerintah. Di Kelurahan Karadenan terdapat pula organisasi atau kelembagaan pendidikan, hal ini dikarenakan Karadenan berdasar Tata Kota Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor merupakan kawasan
pendidikan. Adapun lembaga-lembaga
pendidikan yang terdapat di Karadenan sebagaimana Tabel 10 dibawah ini : Tabel 10. Jumlah Kelembagaan Pendidikan, Latihan Dan Rehabilitasi No Pendidikan 1. Taman Kanak-Kanak (Negeri dan Swasta) 2. SD dan sederajat 3. SLTP dan sederajat 4. SLTA daan sederajat 5. Kursus Komputer 6. Sanggar Kegiatan Belajar 7. Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa 8. Panti Sosial Bina Grahita Sumber : Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004
Jumlah 7 12 5 3 2 1 1 1
Dari Tabel 10 terlihat bahwa Karadenan banyak terdapat lembaga pendidikan, namun demikian justru dimanfaatkan oleh masyarakat di luar Karadenan, sedangkan penduduk Karadenan sendiri mayoritas hanya berpendidikan SLTP dan sederajat. Sistem jaringan yang dibangun antar organisasi dan kelembagaan adalah relatif kuat dan telah terbentuk suatu jaringan tersendiri dan terbuka untuk masuk menjadi
anggota
kelompok,
kecuali
kelompok-kelompok
tertentu
yang
mengharuskan adanya persyaratan-persyaratan khusus, misalnya organisasi atau kelembagaan yang anggotanya khusus wanita atau pria, unsur kecacatan, berdasar persyaratan umur dan prosedur politik dalam kelembagaan politik atau prosedur-
54
prosedur lain yang mengikat. Sistem jejaring sosial tersebut sebagaimana Gambar 5 berikut :
Gambar 5. Jejaring Sosial Antar Organisasi Dan Kelembagaan Berdasar Gambar 5 tentang Jejaring Sosial di Komunitas Karadenan menunjukkan bahwa jaringan terjadi antara (1) kelompok ekonomi antara lain Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Kelompok Usaha Ekonomis Produktif (KUPP)dan Kelompok Usaha Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Hutan; (2) kelompok sosial misalnya Kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Rukun Kematian, Kelompok Penimbangan dan Lembaga Keamanan; (3) pasar; (4) koperasi; (5) kelompok kepemudaan yaitu Karang Taruna; (6) kelompok keagamaan meliputi Majlis Taklim, Majelis Ulama Tingkat Kelurahan, Kelompok Pengajian Al-Hidayah; (7) kelembagaan politik; (8) masyarakat yaitu seluruh komunitas Karadenan. Jejaring sosial yang dilaksanakan
di
Komunitas
Karadenan
bersifat
kolaboratif
dan
saling
menguntungkan. Situasi dan kondisi tersebut merupakan modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam rangka upaya pengembangan masyarakat.
SUMBER DAYA LOKAL
Hubungan penduduk Kelurahan Karadenan dengan ekosistemnya
dapat
dilihat dari bagaimana pemanfaatan sumber daya yang ada dilingkungannya oleh masyarakat setempat. Secara
umum
hubungan
penduduk
Kelurah an
Karadenan
dengan
lingkungannya baik yang menyangkut sistem ekonomi, social maupun
55
kelembagaan yang ada di masyarakat relatif cukup baik meskipun dinilai belum maksimal, dalam arti masyarakat dapat mengakses system-sistem tersebut dalam batas-batas tertentu dan dalam kapasitas tertentu saja. akses terhadap system ekonomi, terlihat dengan terserapnya warga sebagai tenaga kerja dalam kegiatan usaha kecil, menengah dan skala besar, begitu pula akses terhadap sarana pendidikan, kaitannya dengan wajib belajar 9 tahun. Dalam pemanfaatan bahan baku, akses terhadap pengrajin bambu dan produksi sagu, dapat diperoleh di lokasi Karadenan sendiri. Kelembagaan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam baru saja dibentuk bulan Oktober 2004 yaitu Kelompok Gerakan Usaha Rehablitasi Lahan Dan Hutan yang jumlah anggotanya 8 (delapan) orang untuk tiap Kelurahan. Kelembagaan ini dibentuk oleh Dinas Kehutanan dengan tujuan untuk pelestarian lingkungan. Secara umum tingkat kerusakan ekosistem tidak ada, bahkan penggunaan pupuk kompos merupakan keharusan yang dilakukan petani di Karadenan. Hal ini juga terlihat bahwa tidak adanya musibah akibat bencana yang ditimbulkan oleh kerusakan ekosistem. Mengingat Karadenan merupakan salah satu primadona Kecamatan Cibinong yang potensial untuk dikembangkan, maka harus dioptimalkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduknya, dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi local yang ada. Beberapa potensi lokal yang terdapat di Kelurahan Karadenan adalah sebagai berikut : 1. Lahan Lahan dimaksud adalah selain untuk pemukiman juga dapat dimanfaatkan untuk aktivitas perekonomian yang produktif. 2. Tenaga Kerja Tenaga kerja produktik usia limabelas
sampai enam puluh empat
tahun
menduduki komposisi tertinggi di Karadenan yang potensial untuk diberdayakan melalui semangat kerja dan kewirausahaannya. 3. Modal. Modal terkait dengan modal ekonomi dan modal sosial. Modal ekonomi menyangkut asset produksi yang dimiliki oleh pelaksana kegiatan ekonomi
56
lokal serta merupakan dana investasi. Modal sosial yang penduduk Karadenan miliki adalah system kelembagaan, ikatan-ikatan social dan kelompokkelompok yang terbentuk berdasar kepercayaan, kerjasama dan jaringan sehingga keberadaan kegiatan dapat dilaksanakan.
MASALAH SOSIAL
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan baik itu aparat ditingkat Kecamatan, Kelurahan, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama, serta berdasar Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Desa/Kelurahan sampai dengan Oktober 2004, diperoleh beberapa masalah sosia l ekonomi yang terdapat di Kelurahan Karadenan, yaitu: 1. Cacat Fisik atau Daksa
=
17 Orang
2. Cacat Mental
=
7 Orang
3.
Lanjut Usia Terlantar
=
4.
Keluarga Miskin
= 723 KK
2 Orang
(Katagori Pra sejahtera dan sejahtera 1) Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa di Kelurahan Karadenan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang paling menonjol adalah Keluarga Miskin Pra sejahtera dan sejahtera 1 dengan berbagai permasalahan yang menyertainya. Masalah Keluarga Miskin yang terdapat di Kelurahan Karadenan pada umumnya dialami oleh penduduk lokal. Adapun masalah lain yang menyertainya antara lain kurangnya kemampuan orangtua untuk menyekolahkan anaknya, sehingga terjadi anak tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan lebih tinggi atau putus sekolah, latar belakang tesebut menyebabkan pemuda sebagaimana ketentuan Dinan Pendidikan Nasional usia 15 sampai 34 tahun menjadi sulit untuk memperoleh pekerjaan yang layak, karena ketidaksiapan kemampuan mereka dalam persaingan pasar kerja. Persoalan lain yang muncul adalah perkawinan-perkawinan usia muda yang dialami oleh pemuda yang sudah tidak bersekolah atau yang semi menganggur (kerja apa saja yang penting halal
57
meski pun dengan upah yang relatif kecil). Akhirnya muncul pula keluargakeluarga miskin baru. Persoalan lama yang menyertai masalah kemiskinan berupa perumahan kurang layak, sanitasi dan kesehatan lingkungan, peningkatan pendapatan keluarga, perbaikan dan peningkatan gizi, Keluarg a Berencana, bantuan beras untuk keluarga miskin (Raskin), bantuan tambahan permodalan dan perbaikan infra struktur belum dapat dilaksanakan dengan hasil yang maksimal, muncul masalah baru yaitu keluarga miskin baru. Dengan demikian masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat sulit untuk dihilangkan, namun demikian perlu untuk terus diatasi agar masalah tersebut tidak berkepanjangan dan semakin banyak dialami oleh penduduk Karadenan. Adapun permasalahan -permasalahan sosial lain yang dialami oleh masyarakat Karadenan yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga kerja penyandang cacat fisik. Umumnya masalah tersebut diatasi oleh keluarga ataupun merupakan tanggung jawab sosial bersama bagi warga setempat. Tokoh masyarakat dan aparat setempat dalam mengatasi permasalahan adalah sesuai dengan kemampuan dan fasilitas yang tersedia dimasyarakat, sedangkan upaya mengatasi masalah secara profesional akan langsung diserahkan kepada lembaga pemerintah misalnya dalam memberikan pelatihan keterampilan ataupun memberikan alat bantu rehabilitasi serta upaya pemberian pendidikan ketingkat yang lebih tinggi. Kondisi tersebut dikarenakan berdasar data yang diperoleh tenaga kerja penyandang cacat fisik berasal dari keluarga miskin dan tidak memiliki latar belakang pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai. Situasi dan kondisi tersebut mengakibatkan masalah pengangguran di Karadenan yang perlu untuk mendapat perhatian bersama. Berkenaan dengan masalah keluarga miskin dengan masalah yang menyertai begitu kompleks dan sulit dicarikan alternatif pemecahannya, muncul harapan harapan dan alternatif dari beberapa informan ketika penulis mengadakan wawancara mendalam, yaitu : 1. Memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran melalui pemudanya atau usia produktif (normal dan penyandang cacat). 2. Memecahkan masalah kemiskinan melalui Kepala Keluarga.
58
3. Memecahkan masalah kemiskinan melalui wanitanya atau istri. Dari hasil wawancara diperoleh pula informasi, bahwa Kelembagaan Masyarakat Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Koperasi di Kelurahan, tidak berjalan sampai dengan saat penulis mengadakan wawancara. Demikian pula kinerja aparat kelurahan, yang, belum maksimal pelayanannya serta hubungan yang terkesan sangat formal. Kondisi yang demikian tentu saja tidak bersifat kondusif dalam rangka upaya pembangunan wilayah. Komunikasi personal harus dibangun secara informal agar muncul adanya kepercayaan dan keterbukaan di masyarakat secara keseluruhan untuk bersama-sama melaksanakan pembangunan wilayah Karadenan. Dari alur masalah kemiskinan yang terjadi di Karadenan
dengan segala
masalah yang menyertai dapat diatasi dengan kegiatan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan dan dunia usaha dan salah satunya melalui pemberdayaan ekonomi lokal agar peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Untuk dapat melihat alur masalah sosial di Karadenan sebagaimana Gambar 6
Gambar 6. Alur Masalah Sosial
59
TINJAUAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT KELOMPOK USAHA PEMUDA PRODUKTIF Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) merupakan salah satu program pembangunan yang terkait dengan kepemudaan khususnya pada bidang pembangunan sumber daya manusia Departemen Pendidikan Nasional
RI.
Program dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan (empowerment) dan partisipatif sebagai suatu syarat dari model pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sasaran dari program pembangunannya adalah meningkatnya kualitas hidup pemuda dibidang ekonomi, sosial, agama dan budaya serta meningkatnya pengembangan sikap keteladanan, kemandirian, akhlak mulia dan disiplin dalam bermasyarakat dan bernegara. Adapun sasaran pemuda produktif berdasar kriteria usia enambelas sampai tiga puluh lima tahun, dengan kategori pengangguran dan berada pad a standart atau kategori miskin keluarga pra sejahtera , sejahtera 1 dan sejahtera 2. Kegiatan Program Pembinanaan dan Peningkatan Partisipasi Pemuda melalui Kelompok Usaha Pemuda Produktif,
ini merupakan pelaksanaan dari Visi
Pembangunan Sumber Daya Manusia yaitu “Terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas, sehat, produktif dan berakhlak mulia” dan sebagaimana Deklarasi Dakar tentang Pendidikan Untuk Semua (butir 3) “Menjamin bahwa kebutuhan belajar manusia muda dan orang dewasa, terpenuhinya melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai”, sehingga kegiatan ini tidak hanya bersifat reaktif terhadap keadaan darurat yaitu pengangguran dan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan, juga bersifat strategis sebagaimana pendekatan yang diterapkan dalam kegiatan ini yaitu partisipatif. Dengan demikian pengelolaan seluruh kegiatan pada pengembangan usaha kelompoknnya dan jaminan sarana dan prasarana usaha yang memadai pada prinsipnya dilakukan secara mandiri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi/monitoring serta pelaporan, bertumpu pada kelompok usaha masingmasing.
60
Pada pelaksanaan perencanaan, program yang akan dilaksanakan merupakan alternatif dari adanya isu masalah sosial yang berasal dari masyarakat
lokal
Karadenan yaitu adanya masalah kemiskinan dan pengangguran (berdasar hasil pendataan dan wawancara mendalam dari kader -kader dan tokoh masyarakat) yang telah dilaporkan ke Pemerintah Kabupaten Bogor. Adapun perencanaan program dilaksanakan melalui sosialisasi program yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui keterlibatan tohoh-tokoh masyarakat dalam hal ini melalui Ketua Rukun Tetangga, Kader Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dan Kesehatan serta dari Pekerja Sosial Masyarakat. Pelaksanaan pada kegiatan ini sedapat mungkin bersifat mandiri dengan prinsip kewirausahaan dan kemitraan serta memperkuat kelembagaan. Adapun bantuan/dana yang diberikan berasal dari anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (partisipasi dan life skills) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan berupa pelatihan dan pemagangan, modal usaha serta pendampingan teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan. Dana tersebut merupakan dana hibah yang disalurkan kepada Kelompok-kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP). Di Kelurahan Karadenan, program ini dilaksanakan tahun 2003 (dana life skills) dan tahun 2004 (dana partisipasi). Dengan demikian evaluasi dan analisis ini terhadap program atau proyek yang telah dilaksanakan. Kegiatan pelatihan, sebagai koordinator adalah kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan di Kecamatan Cibinong yang pelaksanaannya dilakukan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Bogor berkoordinasi dengan instansi terkait (sesuai keterampilan dan usaha kelompok). Demikian pula kegiatan magang yang terkait pada kegiatan pelatihan yang telah diikuti sasaran garapan merupakan tanggungjawab Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Bogor, yang pelaksanaannya dilakukan di perusahaan -perusahaan di lingkungan Kabupaten Bogor. Dana bantuan modal usaha disalurkan secara langsung melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Cibinong kepada kelompok masing-masing melalui rekening ketua kelompok yang dipilih oleh anggota kelompok, pencairan dana tersebut atas sepengetahuan koordinator pelasana di tingkat Kabupaten Bogor dan Kecamatan Cibinong. Dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal awal
61
yang berupa uang (pembelian bahan baku) serta pembelian sarana dan prasarana usaha. Sebagai unsur pendamping atau yang diistilahkan “pamong”, berasal dari pegawai Dinas Pendidikan yang ditempatkan di Sanggar Kegiatan Belajar Kabupeten Bogor sebanyak lima belas
orang. Persyaratan untuk menjadi
pendamping sebagai berikut : (1) diprioritaskan berdomisili di Karadenan dan umumnya sebagai tokoh-tokoh masyarakat, (2) memiliki pengetahuan tentang bidang usaha kelompok yang didampingi. Proses pendampingan yang dilaksanakan adalah melalui pemberian bimbingan dan arahan, baik melalui kegiatan fisik (pembentukan kelompok), ekonomi (penyediaan sarana dan prasarana usaha, bahan baku, kualitas, manegement usaha, administrasi atau pembukuan keuangan dan pelaporan serta pemasaran, sosial (pemanfaatan jejaring sosial dan kemitraan) yang didasarkan pada pendekatan pembangunan yang bertumpu pada kelompok (community base development) dengan berbasis komunitas. Kelompok dibentuk atas dasar ikatan-ikatan kesamaan tujuan, kesamaan kegiatan atau usaha, kesamaan keterampilan dan kedekatan domisili yang mengarah pada efisiensi, efektivitas dan mendorong tumbuh dan berkembangnya modal sosial (social capital) di masyarakat. Melalui pengembangan usaha-usaha produktif yang berbasiskan komunitas diharapkan dapat dilibatkannya stakeholder lain (kelembagaan kolaboratif) yang terus dikembangkan dan harus mampu menjalin hubungan berdasarkan kesetaraan dengan stakeholder tersebut. Berdasar hasil pendataan tokoh-tokoh masayarakat dan para kader serta PSM (Pekerja Sosial Masyarakat) melalui kunjungan rumah ke rumah, maka dari data (Potensi Desa 2004) jumlah pemuda usia limabelas sampai tiga puluh lima tahun sebanyak 4.172 jiwa, terdapat rata-rata pengangguran dan keluarga miskin pra sejahtera, sejahtera 1 dan sejahtera 2 usia limabelas sampai tiga puluh lima tahun sebanyak rata-rata tiga puluh
jiwa tiap -tiap Rukun Tetangga, sedangkan di
Kelurahan Karadenan terdapat enam puluh dua Rukun Tetangga, jadi jumlah ratarata mencapai 1.860 jiwa. Rumusan pengangguran dan keluarga miskin adalah: (1) tidak bekerja tetap (serabutan) sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, (2)
62
rumah tidak layak atau tidak memiliki rumah tetap atau menumpang orang tua, (3) lingkungan kumuh, (4) memiliki keterampilan dasar dan tidak memiliki modal. (Dinas Pendidikan Kecamatan Cibinong). Dari 1.860 jiwa yang telah terdata yang memenuhi syarat prio ritas kelayakan sebanyak 165 jiwa (0,09%) layak untuk mendapat bantuan hibah berupa latihan keterampilan dan bantuan modal untuk kegiatan usaha ekonomis produktif. Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) yang mendapat dana partisipasi sebesar Rp.2.250.000,- untuk masing-masing kelompok, dikelompokkan menjadi tiga puluh Kelompok Usaha yang masing -masing kelompok terdiri atas lima orang. Kelompok-kelompok usaha tersebut adalah kelompok dengan jenis usaha Pembuatan Tas (4 kelompok), Aneka Kue Jajan Pasar (2 kelompok), Menjahit (2 kelompok), Es Rumput Laut (2 kelompok), Percetakan dan Sablon (6 kelompok), Tata Boga (5 kelompok), Peternakan Lele (4 kelompok), Konveksi (2 kelompok), Warung Tenda (2 kelompok) dan Bambu (1 kelompok). Kelompok usaha yang mendapat dana life skill sebesar Rp.10.000.000,- untuk masing-masing kelompok dan berjumlah tiga kelompok yang terdiri atas lima orang dengan jenis usaha Menjahit (1 kelompok), Las dan Besi Tempa (1 kelompok) serta Furniture (1 kelompok) dengan jumlah pendamping secara keseluruhan sebanyak lima belas orang.
(Sumber : Data Dinas Pendidikan
Kecamatan Cibinong). Dana yang diberikan tersebut hanya diberikan satu kali dan tidak diperbolehkan untuk periode atau Tahun Anggaran berikutnya, karena dana tersebut hanya berupa dana stimulan yang wajib untuk dikembangkan sendiri. Dalam perkembangannya, sejak awal tahun anggaran tahun 2003 dan tahun anggaran 2004, dari tiga puluh kelompok usaha yang mendapat bantuan dana partisipasi hanya dua puluh dua kelompok usaha yang masih bertahan hidup dan sampai saat ini masih terus berusaha dan terus berkembang, sedangkan delapan kelompok lainnya sudah tidak berusaha lagi (usaha mati) sejak akhir tahun anggaran 2004 sehingga usaha tersebut hanya mampu bertahan selama satu tahun. Kelompok usaha yang mendapat bantuan dana life skill, kelompok usaha yang berjumlah tiga kelompok tersebut masih terus melakukan usaha, bahkan menambah usaha yang lain yang disesuaikan dengan permintaan dan kondisi pasar. (Sumber: Data Dinas Pendidikan Kecamatan Cibinong).
63
Dari hasil wawancara mendalam kepada petugas pendamping/pamong dan anggota kelompok, latar belakang dari kegagalan usaha yang dialami masingmasing kelompok usaha adalah sebagaimana Tabel 11 berikut ini : Tabel 11. Penyebab Keg agalan Kelompok Usaha Menurut Jenis Usaha No
Jenis Usaha
Penyebab Dari Pendamping
Penyebab Dari Kelompok Usaha
1.
Percetakan dan sablon (4 klp)
1. Kekurangan modal 2. Kesulitan pemasaran 3. Sulit dibimbing lagi.
1. Kekurangan modal 2. Kesulitan pemasaran 3. Tidak kompak lagi 4. Petugas tidak dapat menyelesaikan masalah yang dialami kelompok
2.
Konveksi (2 klp)
1. Kekurangan modal 2. Kesulitan bahan baku 3. Kesulitan Pemasaran
1. Kekurangan modal 2. Lebih suka kerja di pabrik saja. 3. Petugas tidak perhatian
3.
Warung Tenda (2 klp)
1. Kekurangan modal 2. Modal habis 3. Tidak ada rasa tanggung jawab
1. Kekurangan modal 2. Kurang laku 3. Kalah Persaingan
Sumber : Hasil wawancara mendalam Dari Tabel 11 terlihat bahwa kegagalan usaha mereka, umumnya lebih dikarenakan
adanya kekurangan dana
dan tidak adanya akses dana lainnya
sehingga kesulitan untuk membeli bahan baku, perbaikan alat-alat produksi bahkan tidak adanya sarana pemasaran, serta adanya potensi konflik diantara anggota kelompok yang sulit untuk diselesaikan, lunturnya rasa tanggungjawab dan kebersamaan, demikian pula masih dirasakan kurang maksimalnya peran dan fungsi dari pendamping yang notabene tidak semua pendamping melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendamping dan lebih kepada pemenuhan target semata (semua pendamping pegawai Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Bogor), sehingga kondisi kelompok yang sedang berkonflik dan bermasalah tidak dapat diselesaikan permasalahannya. Jadi berdasar Tabel 11, ternyata terdapat dua jenis sebab kegagalan yang sedikit berbeda, sehingga dapat diketahui bahwa antara kelompok dan pendamping memiliki segi kelemahan dan
64
kekurangan masing-masing sebagai penyebab kegagalan usaha produktif pemuda yang notabene sebagai proyek pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Kelompok-kelompok usaha yang terus berkembang bahkan memiliki usahausaha
baru
adalah
dikarenakan
adanya
faktor-faktor
yang
mendukung
berkembangnya usaha mereka sebagaimana dikemukakan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Cibinong, dalam Tabel 12 berikut ini : Tebel 12 : Faktor-Faktor Pendukung Berkembangnya Usaha Kelompok Usaha Pemuda Produktif di Kelurahan Karadenan
No
Jenis Kelompok Usaha
Faktor Pendukung Utama Kelompok Utama
Kelompok Usaha Partisipasi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pembuatan Tas Aneka Kue Jajan Pasar Menjahit Es Rumput Laut Tata Boga Peternakan Lele Bambu Percetakan atau sablon (2 kelompok)
(1) a; b; dan e (2) a; c; dan d (3) a; c; dan e (4) a; b; dan c (5) a; b; d dan e (6) a; dan e (7) a; dan e (8) a; d; dan e
Kelompok Usaha Life Skill : 1. 2. 3.
Menjahit Las dan Besi Tempa Furniture
(1) a; d; dan e (2) a; dan e (3) a; dan e
Sumber : Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Cibinong Keterangan : (a) semangat, tanggung jawab, jujur, kompak dan ulet; (b) tidak tergantung modal pemerintah tetapi bisa pinjam ketempat lain; (c) dapat menambah usaha lain tergantung pemasaran; (d) dapat memodifikasi jenis usaha yang berbeda; (e) pendampingan dan kemitraan. Berdasar data diatas dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung usaha adalah tidak hanya berasal dari luar kelompok, akan tetapi juga faktor yang berasal dari dalam kelompok, namun demikian dari kedua faktor pendukung tersebut, faktor dari luar begitu dominan terutama kepada pendampingan dan kemitraan yang
65
dirasakan dapat membantu dalam membuka jaringan pemasaran serta adanya bantuan modal agar tetap dapat membuka usaha.
Pengembangan Ekonomi Lokal Kelompok Usaha Pemuda Produktif Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat merupakan upaya penanggulangan kemiskinan dengan meningkatkan pendapatan kelompok-kelompok masyarakat melalui usaha pembangunan ekonomi lokal, yang dicirikan dengan semakin meningkatnya pendapatan dan membaiknya distribusi pendapatan kelompok sasaran. Pemberdayaan ekonomi masyarakat harus dilakukan dalam kerangka (frame) pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), menyangkut pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus meningkat dan berkelanjutan serta dalam memanfaatkan sumber daya (alam) tetap memperhatikan kelestariannya. Bertumpu pada upaya pemberdayaan social ekomoni masyarakat, maka Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP), merupakan sekumpulan pemuda yang menyatukan diri dalam kelompok yang bergerak dalam usaha ekonomis produktif, yang tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk kepentingan para anggota dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan hidup bagi anggotanya. Kelompok Usaha Pemuda Produktif yang difasilitasi melalui dana partisipasi ataupun life skill di Kelurahan Karadenan, telah memperhatikan potensi lokal yaitu selain memperhatikan faktor keterampilan dan pengetahuan atas jenis usaha serta peluang pemasaran yang cukup jelas. Pada Kelompok Usaha
yang mendapat dana partisipasi, memprioritaskan
kepada kelompok sasaran yang belum memiliki usaha, sedangkan KUPP yang mendapat dana life skill, memprioritaskan kepada kelompok sasaran yang telah memiliki usaha, akan tetapi kekurangan permodalan dan tidak memiliki akses permodalan yang lain. Kelompok-kelompok yang mendapat dana life skill inilah yang diharapkan dapat membantu memberikan keteladanan dan saling bertukar pikiran terhadap kelompok usaha yang baru tumbuh khususnya usaha yang sejenis dan umumnya sesama kelompok Kelompok Usaha Pemuda Produktif. Bentuk keteladanan melalui semangat wirausaha yang mandiri dan upaya saling tukar pikiran antar kelompok usaha merupakan upaya lebih berkembang dan berkelanjutan
(sustainable)
suatu
usaha
pemberdayaan
sosial
ekonomi
66
masyarakat. Namun demikian, Usaha ekonomi lokal yang dijalankan, meskipun dapat berkembang akan tetapi terdapat adanya keterbatasan -keterbatasan terutama kaitannya dengan pasar yang lebih luas memiliki kecenderungan kontribusi yang relatif sedikit. Karenanya, skala usahanya diupayakan untuk memenuhi kebutuhan local dan masyarakat sekitar Kelurahan Karadenan terlebih dahulu, setelah itu dipasarkan di luar Kelurahan Karadenan. Faktor-faktor yang mendukung berkembangnya Kelompok Usaha Pemuda Produktif tersebut sebagaimana karakteristik Usaha Kecil Menengah menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmadja (2004) yaitu : 1. Fleksibel, relatif mudah dalam melakukan perubahan bidang usaha; 2. Permodalan tidak terlalu tergantung modal dari luar, bisa juga digunakan kekuatan modal sendiri; 3. Sanggup mengembalikan pinjaman dengan suku bunga tinggi (sehingga tidak berkembang cepat); 4. Tersebar diseluruh wilayah Indonesia dengan beragam aktivitas; 5. Hikmah krisis bagi Usaha Kecil Menengah diperhatikan lebih serius oleh pemerintah (terutama dalam hal permodalan). Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Kelompok Usaha Pemuda Produktif Menurut Putman dan Fukuyama dikutip Webstarmaster dalam Nasdian dan Utomo (2004), konsep modal sosial tidak saja diterapkan pada tingkat individu, tetapi juga pada kelompok, komunitas bahkan nasional. Komunitas membangun modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi, demokrasi, penguatan pemilikan komunitas dan kepercayaan. Sumber-sumber modal sosial itu muncul dalam bentuk tanggung jawab dan harapan-harapan yang tergantung pada kepercayaan dari lingkungan sosial, kemampuan aliran informasi dalam struktur sosial dan norma-norma yang disertai sanksi Coleman dalam (Dasgupta dan Seregeldin 1999). Bank Dunia (1999) Social Capital merujuk pada institusi, relasi dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas interaksi sosial dalam masyarakat.
67
Secara umum modal sosial (social capital) didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial Woolcock dalam (Nasdian dan Utomo 2004). Menurut Woolcock dikutip Colletta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo (2004), modal sosial memiliki empat dimensi. Pertama adalah integrasi (integration), yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya, seperti ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama. Kedua adalah pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal, seperti jejaring (net work) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. Ketiga adalah integritas organisasional (organizational integrity) yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi (synergy) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan komunitas (state-community relations). Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horisontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertikal. Dalam uraian Woolcock dalam Nasdian dan Utomo (2004), konsep modal sosial, menjangkau aspek yang
selanjutnya
lebih luas sehingga dapat
mengatasi konsekuensi-konsekuensi negatif yang dimaksudkan oleh Portes, dengan apa yang disebut sebagai “embeddednes” (kerekatan) dan “aoutonomy” (otonomi) yang mencakup tingkat mikro dan juga tingkat makro. Keeratan pada tingkat makro merujuk pada ikatan-ikatan intra komunitas dan pad a tingkat makro merujuk pada hubungan negara dan masyarakat. Otonomi pada tingkat mikro merujuk pada jaringan antar komunitas, dan pada tingkat makro merujuk pada pengembangan kapasitas dan kredibilitas. Bertitik tolak pada pendapat tersebut
diatas, maka dalam mengevaluasi
Kelompok Usaha Pemuda Produktif ini, konsep modal sosial yang kami gunakan sebagai kerangka analisis utamanya dan lebih menjadi penekanan adalah kepada prespektif sinergi. Prespektif sinergi ini kami gunakan dengan beberapa pertimbangan bahwa Kelompok Usaha
sebagai kelompok usaha ekonomis
produktif (yang masih berjalan) telah mencapai pada tahap berkembang, sehingga
68
melalui dimensi sinergi dapat diketahui apakah institusi pemerintah memberikan ruang yang luas atau tidak terhadap partisipasi masyarakat, dalam hal ini stakeholder yang terlibat dalam kegiatan Kelompok Usaha, sedangkan ketiga dimensi lain dalam social capital tetap ada
dan juga menjadi ciri kegiatan
Kelompok Usaha. Sedangkan gerakan sosial (social movement) menurut Baldrige dalam Nasdian dan Utomo (2004),
“……suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang
melibatkan sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau sebaliknya menolak suatu perubahan sosial.” Perilaku kolektif menurut Sunarto dalam Nasdian dan Utomo (2004), “…… perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang, tidak bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.” Perilaku kolektif adalah tindakan sosial. Sebagai tindakan sosial memiliki empat ciri dasar, yaitu : 1. Nilai-nilai adalah tujuan umum yang menjadi penuntun bagi tindakan sosial tertentu; 2. Norma yaitu aturan yang menuntun keseluruhan upaya pencapaian sasaran tindakan sosial; 3. Mobilisasi kedalam peran terorganisir yang dimobilisasi dalam hal ini adalah energi individu; 4. Kemudahan situasional berupa situasi sosial yang sangat mendukung terjadinya suatu tindakan sosial, Smelser dalam (Nasdian dan Utomo, 2004). Mengacu pada definisi gerakan sosial yang dikemukakan Baldrige dalam Nasdian dan Utomo (2004), ada empat aspek pokok dalam gerakan sosial yaitu : 1.
Kelompok orang berbakti : gerakan sosial mempersyaratkan komitmen yang kuat dari sekelompook orang;
2. Mendorong atau menolak perubahan : gerakan sosial dapat berorientasi perubahan, dapat pula mempertahankan status quo; 3. Tujuan definitive : semakin kongkrit tujuan, semakin ketat organiisasi, semakin kuat pimpinan gerakan;
69
4. Kesadaran dan kesenjangan dalam mendorong atau menolak perubahan melalui kegiatan politik dan pendidikan. Jadi gerakan sosial harus memiliki tujuan yang tegas, struktur organisasi dan idiologi yang berorientasi pada perubahan yang jelas. Dengan merujuk pada konsep social capital dari diskripsi singkat tentang Kelompok Usaha Pemuda Produktif sebagaimana kami paparkan diatas, maka Kelompok Usaha Pemuda Produktif merupakan suatu social capital, karena apa yang menjadi dimensi dan gambaran dari social capital juga terdapat pada kelompok tersebut yaitu : 1. Kelompok Usaha Pemuda Produktif memiliki norma (norms) dan jaringan (network) yang dapat menggerakkan orang (anggota) sebagai individu dan kelompok untuk melakukan kegiatan atau tindakan secara bersama-sama (kolektif) dalam wadah suatu kelompok,
pada kegiatan yang bersifat
ekonomis produktif. Hal ini nampak jelas sekali karena meskipun tidak ada kewajiban pengembalian modal, akan tetapi karena adanya komitmen dan tanggung jawab bersama mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. 2. Dalam melaksanakan kegiatan Kelompok Usaha Pemuda Produktif, anggota kelompok saling berelasi dan berinteraksi satu sama lain secara timbal balik (resiprocity) atas dasar kepercayaan (trust) dan kejujuran (honesty) serta pertalian (linkage). Dengan relasi dan interaksi ini diharapkan dapat terbentuk institusi atau kelembagaan yang kuat dari masyarakat sipil (civil society) dan jaringan kerja (network) yang mantap. Hal yang dapat dijadikan sarana bagi kelompok
sasaran
untuk
memecahkan
masalah
(pengangguran
dan
kemiskinan) yang dialaminya secara mandiri, sesuai kapasitas yang dimiliki oleh kelompok tersebut. 3. Kelompok Usaha Pemuda Produktif merupakan kelompok usaha ekonomis produktif yang mempunyai azas pemberdayaan dan partisipatif ini berupaya untuk mengembanngkan aspek lokalitas. Aspek lokalitas ini dengan mempertimbangkan potensi yang ada dalam masyarakat, menjembatani institusi yang terkait : pemerintah, swasta dan pasar serta masyarakat. Interaksi antar pemerintah, masyarakat, swasta dan pasar dilakukan secara seimbang dengan norma-norma tertentu (transparansi, demokrasi atau
70
partisipasi dan akuntabilitas) sehingga tercipta sinergi untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terpecahkannya masalah pengangguran dan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kelompok Usaha Pemuda Produktif termasuk dalam bentuk gerakan sosial, karena pendekatan yang dibangun berangkat
dari gejala pengharapan yang
meningkat dan adanya gejala ketertindasan sosial berupa hambatan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Proses yang dilakukan Kelompok Usaha Pemuda Produktif dilakukan dengan mobilisasi berbagai potensi yang ada di masyarakat kedalam suatu peran yng terorganisir yang dimobilisasi oleh energi individu dalam kelompok. KUPP juga memberikan suatu kemudahan situasional yang menunjang terjadinya suatu tindakan sosial. Jiwa altruisme yang merupakan faktor psikologis ditunjukkan oleh anggota kelompok yang memiliki komitmen dan tanggungjawab yang kuat dari sekelompok orang untuk mendorong terjadinya perubahan meskipun tidak ada kewajiiban pengembaliann modal. Perubahan
ini dirancang melalui suatu
perumusan tujuan yang kongkrit dan jelas, organisasi dan kelompok yang ketat, pemimpin gerakan yang kuat yang secara sengaja dan dengan kesadaran mendorong perubahan dalam hal ini peningkatan usaha ekonomisnya hingga mencapai taraf kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan dan Perencanaan Sosial Program Kelompok Usaha Pemuda Produktif Selaras dengan pendapat Woolcock dikutip Colletta
dan
Cullen dalam
Nasdian dan Utomo (2004), Kelompok Usaha Pemuda Produktif dapat dilihat dari empat dimensi modal sosial, dikaitkan dengan aktor utama program dan kebijakan pemerintah, sebagaimana Tabel 13
71
Tabel 13 : Keterkaitan Modal Sosial, Aktor Kunci dan Kebijakan Pemerintah
No 1
Dimensi Modal Sosial Integrasi yaitu suatu ikatan yang kuat antar anggota keluarga dan keluarga dengan tetangga sekitarnya.
Aktor Kunci
Kebijakan Pemerintah
1. Anggota kelompok 2. Kelompok Komunitas 3. Relawan Sarjana Penggerak Pembangunan
1. Kecil itu indah 2. Terjalinnya 3. Ikatan yang erat antar kelompok sasaran
2
Pertalian yaitu 1. Sektor swasta atau suatu ikatan pengusaha lokal dengan 2. Kelompok usaha lain ko0munitas 3. Sektor publik lain di luar komunitas asal
3
1. Pemerintah Integritas Kabupaten, Organisasional Kecamatan, yaitu suatu Kelurahan keefektifan 2. Pendidikan, dan Kesra, LPM kemampuan institusi negara menjalankan fungsinya, menciptakan kepastian hokum dan menegakkan peraturan.
4
Sinergi yaitu suatu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan komunitas.
1. Anggota kelompok komunitas dan relawan 2. Swasta 3. Pemerintah
1. Menjembatani distribusi & pemasaran 2. Kemitraan 3. Penciptaan zona usaha
Adanya aturan tertulis program kegiatan KUPP (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring)
1. Usaha bersama dan saling melengkapi 2. Partisipasi & pemberdayaan 3. Pendampingan,kemandirian 4. Kewirausahaan 5. Kemitraan 6. Kepastian Hukum
72
Kebijakan program Kelompok Usaha Pemuda Produktif, digulirkan melalui langkah dan proses berdasar pendekatan partisipatif dan pemberdayaan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dan monitoring sehingga dapat memutus panjangya birokrasi yang memungkinkan terjadinya keboco ran anggaran. Adapun langkah-langkah pelaksanaan kegiatan adalah : 1.
Pembahasan tingkat Kabupaten dan Kecamatan;
2.
Rembug adanya isu social dan kesiapan masyarakat; melalui rembug desa atau kelurahan, Focus Group Discusion tingkat Rukun Warga dan pemetaan swadaya, serta perumusan program;
3.
Pembentukan kelompok ;
4.
Pelatihan keterampilan dan proses magang;
5.
Penetapan pendamping;
6.
Pencairan dana langsung kepada kelompok;
7.
Pendampingan, evaluasi dan monitoring. Begitu juga dalam pemilihan pimpinan kolektif atau kelomp ok, dilakukan
melalui pendekatan partisipatif, karena pemilihan dilakukan oleh anggota kelompok masing-masing.
Pimpinan atau ketua kelompoklah yang akan
membuka nomor rekening untuk pencairan dana (sepengetahuan pendamping) dan yang
akan
bertanggungjawab
memimpin
kelompok
usahanya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, ketua kelompok ini tidak bersifat permanen, akan tetapi bergilir sesuai kesepakatan kelompok masing-masing. Sebagaimana program pembangunan yang lain, program Pembinaan dan Partisipasi Pemuda melalui Kelompok Usaha Pemuda Produktif ini melalui proses sosialisasi, karena sebagai suatu program pembangunan, pemerintah berharap adanya keberlanjutan program ini. Sosialisasi dilaksanakan secara formal dan informal yang melibatkan stakeholder mulai dari tingkat kabupaten (seksi kepemudaan pada Dinas Pendidikan), kecamatan (Dinas Pendidikan Kecamatan), Kelurahan (Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Seksi Kesejahteraan Rakyat) sampai ke Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Kebijakan pemerintah dalam Kelompok Usaha Pemuda Produktif, pada hakekatnya telah menganut pendekatan partisipatif dan pemberdayaan serta
73
penyederhanaan proses birokrasi yang mengarah pada transparansi dan akuntabilitas dana langsung kepada kelompok sasaran. Namun demikian kebijakan ters ebut menimbulkan adanya kendala tersendiri. Kendala tersebut terkait dengan tidak adanya kewajiban pengembalian dana karena sifat dana merupakan hibah murni dari pemerintah, demikian pula proses pendampingan yang belum maksimal dari petugas pendamping. Hal ini sudah barang tentu memerlukan suatu tanggungjawab besar bagi pendamping, terlebih lagi usia pemuda usia limabelas sampai tiga puluh lima tahun, merupakan usia yang rawan permasalahan sosial, sehingga peran pendamping perlu kerja keras untuk terus menerus melakukan upaya penyadaran dan tanggungjawab pengorganisasian. Demikian pula perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan ekonomis produktif dari pemuda yang memang rentan terhadap permasalahan. Kondisi tersebut ternyata terbukti dengan adanya perkembangan program, yaitu
“macet”nya usaha sepuluh kelompok dari tiga
puluh kelompok yang telah terbentuk. (anggaran 2004). Meski demikian dua puluh dari kelompok usaha produktif (dana partisipasi) dan tiga kelompok (dana life skill) dapat berkembang bahkan dapat menambah usaha atau modifikasi jenis usaha yang lain, meskipun sampai saat ini masih terkesan adanya ketergantungan dengan pendamping dan memerlukan penguatan kapasitas kelembagaannya agar tetap surfive dengan semangat kemandirian dan kewirausahaannya. Evaluasi Program Kelompok Usaha Pemuda Produktif Secara Umum Ditinjau Dari Dimensi Sinergi Dan Kemitraan. Dimensi sinergi dari modal sosial adalah dengan melihat fokus perhatian apakah pemerintah memberikan ruang gerak yang luas atau tidak bagi pertisipasi warganya yang ditandai adanya relasi antara institusi pemerintah ataupun stakeholders lainnya, dengan komunitas serta kelompok sasaran. Dimensi sinergi ini tidak akan dapat berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan dimensi-dimensi lain dalam modal social yaitu dimensi integrasi, pertalian dan integritas organisasional. Melalui dimensi sinergi ini, muncul adanya kelompok usaha yang saling melengkapi, upaya kemitraan, kemandirian, kewirausahaan, partisipatif dan
74
pemberdayaan, pendampingan serta kepastian hukum yang memungkinkan adanya rasa aman dalam berusaha. Dengan kata lain dimensi sinergi merupakan dimensi yang berlangsung mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi dan monitoring kegiatan usaha ekonomis produktif dalam Kelompok Usaha Pemuda Produktif. Dari diskripsi tentang pelaksanaan kegiatan usaha ekonomis produktif oleh Kelompok Usaha Pemuda Produktif di Kelurahan Karadenan, terbukti mierupakan modal sosial bagi kelompok sasaran pemuda usia limabelas sampai tiga puluh lima tahun (pengangguran dan keluarga miskin). Hal ini dapat dilihat adanya perubahan paling tidak mulai dari partisipasi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dan monitoring kegiatan. Perubahan yang nyata adalah bahwa selama ini program yang datang dari pemerintah (program lain), sifatnya hanya menerima saja bahkan tanggung jawab kewajiban pengembalian dana tidak pernah terwujud artinya dana macet. Sedangkan
melalui program Kelompok Usaha Pemuda
Produktif terbukanya peluang modal yang ditopang dengan kelompok yang dipilih sendiri dan timbulnya motivasi kemandirian serta kewira usahaan dengan tanpa menghilangkan kearifan-karifan lokal. Efektifitas dari Kelompok Usaha Pemuda Produktif bekembangnya keluarga,
aktif
usaha
ekonomis
berpartisipasi
produktifnya,
dalam
akan terlihat dari
peningkatan
pembangunan
terutama
kesejahteraan terentasnya
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), mempunyai kelompok yang kuat dan kapasitasnya berkembang. Keberhasilan Kelompok Usaha juga adanya jejaring sosial antara stakeholder yang terkait sehingga memungkinkan berkembangnya usaha. Dalam jaringan ini saling berelasi dan berinteraksi secara selaras dan seimbang sehingga teratasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Demikian pula adanya rasa tanggungjawab, jujur dan niat tulus untuk mencapai tujuan bersama merupakan ikatan yang luar biasa diantara pemuda. Sinergi yang kuat itu didukung peran pemerintah melalui pendekatan partisipatif dan pemberdayaan yang akhirnya mengarah pada suatu sistem yang transparan, mandiri dan semangat wirausaha. Demikian pula sistem kemitraan dari sektor swasta, menjadikan adanya bentuk ikatan kuat yang senantiasa diperlukan upaya
75
peningkatan kapasitasnya. Dengan adanya peningkatan kapasitas maka harapan akan
sustainable program akan dapat tercapai. Hubungan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut
sebagaiman Gambar 7: Hubungan antar
stakeholders dalam pola kemitraan
Gambar 7. Hubungan Antar Stakeholders Dalam Pola Kemitraan
Adapun dilihat dari adanya peluang dalam kaitannya mengatasi masalah pengangguran terhadap tenaga kerja penyandang cacat, situasi dan kondisi ini merupakan peluang untuk dapat diadakan kemitraan antar kelompok usaha (Kelompok Usaha Bersama khusus bagi penyandang cacat) yang merupakan binaan dari Dinas Sosial Kabupaten Bogor. Demikian pula dilihat dari faktor psikologis, kemitraan antar pemuda yang mengalami masalah ketunaan dengan pemuda yang tidak mengalami ketunaan akan memberikan semangat tersendiri untuk terus maju dan berusaha bersama. Disisi lain bagi pengguna tenaga kerja, diharapkan adanya ikatan kuat yang mengganggap bahwa tenaga kerja merupakan partner kerja yang senantiasa perlu mendapat perlindungan dan peningkatan kesejahteraan sosialnya serta tidak bersifat ketergantungan.
USAHA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN WARGA Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga dilaksanakan melalui Koperasi dan bersifat swadaya oleh paguyuban pengemudi angkutan lokal.. Angkutan odongodong dan ojek merupakan alat transportasi lokal di Kelurahan Karadenan yang melewati jalur Kelurahan Karadenan dan Desa Cimandala Kecamatan Sukaraja.
76
Adapun sekretariat Koperasi berlokasi di sebuah rumah penduduk yang berada 500 M dari Kantor Kelurahan Karadenan. Koperasi berdiri sejak tanggal 5 Januari 2004, melalui surat ijin dari Kelurahan Karadenan, tembusan surat kepada Kecamatan Cibinong dan kepada Dinas Koperasi Kabupaten Bogor. Sedangkan sampai saat ini status keorganisasian Koperasi sebatas diakui keberadaan dan kegiatannya, karena dari pengurus Koperasi belum mengajukan permohonan ijin secara resmi kepada Dinas Koperasi Kabupaten Bogor. Sebagai ilustrasi, angkutan “odong-odong” merupakan angkutan lokal yang keberadaannya secara turun -temurun telah ada sejak limabelas sampai duapuluh tahun yang lalu, jadi mulai adanya desa Kaum Pandak Karadenan dan desa-desa sekitarnya. Angkutan ini dahulunya hanya berupa mobil sejenis mikrolet dan tanpa surat-surat resmi, namun dalam perkembangannya sampai dengan saat ini kesan “bodong” artinya “tanpa surat resmi” masih juga ada, karena ada beberapa mobil yang memang kondisinya tanpa surat dan ada beberapa mobil yang kurang layak jalan meskipun ada beberapa mobil yang masih bagus dan layak jalan. Selain kesan “bodong” nama “odong -odong” juga merupakan ciri khas dari Karadenan, dengan demikian apabila ke Karadenan pasti identik dengan angkutannya “Odong-odong”. Selain “odong-oodong”, transportasi lokal lain yang terdapat di Karadenan adalah ojek, yang trayeknya berdasar kesepakatan dengan pengemudi “odong-odong”. Kedua angkutan inilah merupakan sarana transportas i yang sangat mendukung aktivitas perekonomian dan aktivitas lain bagi masyarakat Karadenan. Selain itu pekerjaan sebagai pengemudi ojek dan pengemudi “odong-odong” juga
merupakan salah satu mata pencaharian
penduduk Karadenan tanpa kecuali termasuk juga tenagaa kerja penyandang cacat tubuh. Dari data yang diperoleh kami (berdasar data di Koperasi), saat ini jumlah “odong-odong” tercatat dalam trayek atas nama tiga puluh tujuh orang. Dari tiga puluh tujuh orang trayek, yang aktif beroperasi sebanyak dua puluh lima odongodong, uniknya yang masuk menjadi anggota Koperasi sebanyak empat puluih lima orang. Hal ini dikarenakan dari sebanyak dua puluh “odong -odong” yang aktif beroperasi, status mereka empatpuluh persen bukan pemilik dan hanya sebagai penyewa yang setiap hari memberikan setoran sebesar antara Rp. 30.000,-
77
sampai
Rp. 40.000,- perhari tergantung kondisi dan jenis mobil angkutan.
Dengan demikian anggota Koperasi adalah seluruh pengemudi beserta sebagian pemilik “odong-odong”, yang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang sama. Latar belakang berdirinya koperasi ini, adalah murni inisiatif dari komunitas pengemudi yang merasakan kebutuhan adanya suatu wadah atau perkumpulan yang dapat mempersatukan mereka. Dengan demikian pengertian koperasi sebagai “alat kebijakan pemerintah” berbeda dengan anggapan mereka sebagai “usaha bersama dan kekeluargaan ”. Sebagai alat pemerintah, koperasi akan kehilangan otonominya dan tidak akan dapat mengembangkan diri sebagai lembaga demokratis dan mandiri. Jadi Koperasi, adalah milik dan alat para anggotanya sendiri, sehingga faktor kemandirian dan asas kekeluargaan koperasi merupakan faktor penting dalam Koperasi. Pada awalnya, kegiatan sebelum mereka tergabung dalam suatu bentuk Koperasi adalah berupa arisan bulanan sebesar Rp. 50.000,- tiap bulan. Kegiatan arisan ini merupakan kegiatan rutin dan turun-temurun meskipun dalam jumlah yang berbeda-beda. Berawal dari kegiatan arisan tersebut akhirnya mereka memutuskan membuat sebuah Koperasi. Pada saat berdiri dan sampai saat ini Pengurus Koperasi telah melaksanakan berbagai kegiatan yang dirumuskan sesuai dengan seksinya. Diantara kepengurusan Koperasi tersebut, seksi sosial adalah seorang penyandang cacat tubuuh yag memang sengaja dippilih karena akibat kecelakaan yang dialami sebelumnya sehingga mengalami kecacatan dan tidak dapat menjadi sopir lagi. Adapun kepengurusan Koperasi adalah sebagaimana Tabel 14
78
Tabel 14. Pengurus Koperasi Pengemudi Angkutan “Lokal” No
Pengurus
Rincian Tugas
1
Ketua
1. Mengkordinir semua kegiatan. 2. Bertanggungjawab atas kegiatan dan keberadaan koperasi 3. Mewakili anggota untuk kegiatan keluar
2
Wakil
1. Bertanggungjawab atas kegiatan didalam koperasi 2. Mewakili ketua jika berhalangan 3. Menyelesaikan masalah didalam koperasi
3
Sekretaris
Urusan administrasi
4
Bendahara
1. Urusan keluar masuk keuangan 2. Administrasi keuangan
5
Seksi Trayek
1. Mengatur jadwal trayek dan iuran harian 2. Menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan trayek, iuran harian,dan perebutan penumpang
6
Seksi Toko
Bertanggung jawab terhadap toko mulai dari pembelanjaan, penjualan dan pelaporan.
7
Seksi Simpan-Pinjam dan Arisan
Bertanggung jawab terhadap urusan simpanpinjam keuangan Dan Urusan arisan
8
Seksi Sosial
Bertanggung jawab terhadap urusan social kemasyarakatan.
Sumber : Data Koperasi Sumber pendanaan Koperasi adalah swadaya murni dari anggota yang berupa iuran harian sebesar Rp. 3.000,- dan iuran bulanan sebesar Rp. 30.000,Merujuk kepada keterangan Ketua Koperasi, bahwa
79
“Selama kurun waktu satu tahun, Koperasi yang telah kita rintis bersama-sama telah membuahkan hasil, yang awalnya hanya dengan membuka toko/kios bensin, saat ini kios telah dilengkapi dengan menyediakan maka nan, minuman, rokok serta keperluan hidup harian lainnya, bahkan saat ini Koperasi juga mulai menyediaan onderdilonderdil mobil dan motor meskipun hanya kecil -kecilan. Koperasi juga telah menjalin relasi dengan bengkel mobil lokal di Karadenan dalam upaya memberikan pelayanan apabila terjadi kerusakan mobil atau motor sedangkan anggota belum dapat membayar ongkos, maka Koperasilah yang akan membayar terlebih dahulu”. Demikian juga urusan seksi sosial, Koperasi senantiasa memberikan bantuan sesuai dengan keputusan bersama. Sedangkan untuk penyelesaian masalah mendesak dapat diselesaikan sesegera mungkin adapun keputusan atau permasalahan yang menuntut keputusan bersama, senantiasa diselesaikan melalui pertemuan bulanan sekaligus arisan. Dengan demikian jelaslah asas dan pendekatan partisipatif, kemandirian dan kegotong-royongan serta kebersamaan senantiasa ditumbuhkan dikalangan anggota Koperasi, meskipun memiliki latar belakang suku yang berbeda-beda, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mencari nafkah atau bekerja untuk kesejahteraan hidup keluarga. Dikarenakan
perkembangan
daerah,
Pemerintah
Daerah
berencana
mengadakan peremajaan keberadaan angkutan lokal dengan cara kredit dan tukar tambah. Program tersebut hanya dengan pertimbangan perkembangan daerah Karadenan yang cukup pesat dan sebagai salah satu kawasan primadona pembangunan di Kecamatan Cibinong, dari sebuah desa menjadi kawasan perkotaan. Program tersebut berdampak pada perbedaan pendapat terutama pada semua anggota Koperasi Angkutan Lokal yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik diantara anggota Koperasi yang selama ini saling menghormati, karena sama-sama
mencari
nafkah
untuk
menghidupi
keluarga.
Hal
tersebut
sebagaimana merujuk pada penjelasan Ketua Koperasi, “Saat ini Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Perhubungan Darat (DLLAJR), telah menawarkan pemberian trayek resmi No..31 dengan rute yang lebih panjang yaitu melewati Jalan Raya Cibinong dan tambah kondisi apapun odong -odong yang tanpa surat atau tidak layak jalan) dihargai 1 juta rupiah untuk mobil yang memiliki kondisi baik dan ada surat-suratnya harga akan menyesuaikan, sedangkan harga mobil baru sebesar 120 juta rupiah dengan cara mengangsur setiap bulan 2 juta rupiah setiap bulan. Tawaran ini akhirnya menjadi agenda kegiatan kami tahun 2005, karena saya punya keyakinan tawaran
80
tersebut pasti menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan yang berbeda dari semua anggota Koperasi, karena menyangkut hidup dan matinya pekerjaan orang, yang pasti apabila program tersebut banyak menimbulkan masalah dan kerugian, kami tentu akan menolaknya”. Berdasar penjelasan Ketua Koperasi tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya karena latar belakang pendidikan dan keterampilan yang kurang memadai, maka mengemudi merupakan pekerjaan pokok sekaligus tumpuan hidup sebagian masyarakat Karadenan yang memang secara turun-temurun mengemudi angkutan lokal. Mengemudi angkutan lokal, bagi masyarakat Karadenan tentu saja berdasar alasan-alasan tertentu, yang sebaiknya tetap menjadi pertimbangan Pemerintah Daerah ketika akan mengadakan suatu proyek baru. Alasan tersebut sebagaimana pendapat salah satu pengemudi angkutan lokal bernama Ango : “Ibu, angkutan ini dari jaman bapak saya sudah ada, mobilnya malah lebih parah lagi kondisinya, yang pasti Ibu, bensinnya irit, setoran kecil, makanya ongkosnya juga kecil, mana ada orang kampung sini yang mau banyar mahal, paling-paling para pendatang itupun tidak banyak, karena umumnya mereka pada punya motor atau mobil. Selama ini kami hidup rukun dengan sesama sopir angkot atau ojek, karena sama -sama cari makan, kami juga tidak membeda-bedakan, bahkan ketika ada pemuda menganggur, cacat lagi, kami ajak mereka jadi sopir ojek bahkan menjadi pengurus Koperasi Angkutan. Makanya Ibu saya jadi heran kenapa pemerintah membuat trayek baru dengan mengganti angkutan yang harganya sangat mahal, padahal kami ini rakyat miskin yang hanya mengandalkan dari sisa setoran, meskipun hanya kecil tapi cukup untuk hidup sehari-hari. Untuk itu lewat Koperasi kami akan mengadakan pertemuan anggota sekaligus nantinya kami akan mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Daerah agar urusannya jelas dan pasti, karena kami tidak ingin hidup tambah sengsara”.
Pengembangan Ekonomi Lokal Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga Agaknya tak pernah berhenti didengungkan, bahwa Koperasi merupakan bangunan ekonomi yang sesuai dengan alam Indonesia dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Penjelasan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, dimana bentuk usaha yang cocok adalah Koperasi. Koperasi penting sebagai wadah membina kemampuan usaha golongan
81
ekonomi lemah, akan tetapi didalam gemuruhnya gerak langkah dunia koperasi, masih cukup banyak orang meragukan koperasi sebagai alternatif bentuk usaha, sedangkan Koperasi merupakan sebuah pilihan yang baik, karena mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan bentuk usaha lain. Dengan demikian, Koperasi yang dikembangkan komunitas pengemudi anggkutan “odong-odong” merupakan pengembangan ekonomi lokal. Dalam hal ini bagaimana Koperasi dengan kegiatannya yang berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan
serta
melalui
pendekatan
partisipatif
merupakan
upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat, karena selain bersifat fleksibel, mandiri, dan memiliki daya tahan yang kuat. Aktivitas yang dilaksanakan Koperasi adalah dapat dilihat dari kegiatan pada seksi-seksinya yaitu seksi trayek, seksi pertokoan, seksi simpan-pinjam dan arisan serta seksi social. Aktivitas tersebut saat ini telah berkembang menjadi suatu pengembangan sector ekonomi local untuk kesejahteraan keluarga khususnya anggota Koperasi. Demikian pula keberadaan angkutan “odong-odong” yang mampu memberikan kontribusi bidang ekonomi bagi masyarakat, di Kelurahan Karadenan. Manfaat yang dirasakan anggota Koperasi, khususnya berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup lapangan pekerjaan bagi pengemudi, yang notabene menggantungkan hidup dari menarik angkutan “odong-odong”. Demikian pula ketika menghadapi kondisi perekonomian yang tidak stabil, keberadaan Koperasi dirasakan sebagai strategi dalam bertahan hidup. Apalagi dengan adanya campur tangan pemerintah yang akan menggantikan keberadaan angkutan ”odong-odong” dengan angkutan dan trayek baru dengan suatu persyaratan yang sangat memberatkan. Keberadaan Koperasi merupakan suatu wadah untuk saling menyatukan harapan dan tujuan bersama yaitu kesejahteraan keluarga. Jadi upaya kemitraan antara Koperasi dan Pemerintah sangat diperlukan, sehingga pengembangan ekonomi lokal benar-benar dapat terwujud. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga
82
Koperasi merupakan modal sosial sekaligus merupakan gerakan social. Sebagai suatu modal social, kegiatan Koperasi memiliki kriteria sejalan dengan dimensi modal social integrasi, pertalian, integritas organisasional dan sinergi. Hal tersebut terbukti adanya ikatan yang kuat antar anggota Koperasi yang lebih kepada adanya kesamaan profesi dan pekerjaan serta tujuan bersama. Selain integrasi terdapat pula adanya pertalian dengan sector yang lain misalnya bengkel local ataupun pasar (toko onderdil). Demikian pula integritas organisasional yaitu melalui adanya kepastian hukum dan keamanan berusaha yang dilaksanakan, sehingga tercipta sinergi antara Koperasi dan Pemerintah yang memberikan ruang gerak partisipasi komunitas. Adapun bentuk sinergi yang ditampilkan adalah bagaimana Koperasi tumbuh dan berkembang berdasar partisipasi seluruh anggota Koperasi. Artinya ruang gerak partisipasi seluruh masyarakat merupakan warna dan identitas dari Koperasi “odong -odong” di Karadenan dan merupakan modal sosial. Koperasi juga merupakan gerakan sosial, karena adanya suatu harapan yang ingin dicapai. Demikian pula komunitas pengemudi “odong-odong”, merupakan komunitas yang relatif memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk mendapatkan akses program pembangunan dari pemerintah. Melalui Koperasi yang dikoordinir Ketua (pilihan bersama), jiwa altruisme (faktor psikologis) menimbulkan adanya semangat mencapai tujuan bersama
dalam suatu wadah atau
institusi yang
disebut Koperasi. Kebijakan dan Perencanaan Sosial Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga Kebijakan dan perencanaan kegiatan Koperasi, bersifat bottom up
dan
berdasar pendekatan partisipatif. Kata “partisipasi” benar -benar merupakan kunci dari upaya pengembangan masyarakat yang dikembangkan oleh komunitas pengemudi angkutan “odong-odong” dengan mendirikan Koperasi sebagai wadah usaha bersama berdasarkan kekeluargaan. Adapun peran dan kebijakan pemerintah lebih diharapkan kepada proses kemitraan dan pendampingan. Evaluasi Usaha Peningkatan Kesejahteraan Warga. Kita perlu membedakan pengertian Koperasi sebagai alat kebijakan pemerintah dan alat pemerintah. Kalau sebagai alat pemerintah, Koperasi akan
83
kehilangan otonominya dan dengan demikian tidak akan dapat mengembangkan diri sebagai lembaga demokratis dan mandiri. Faktor kemandirian Koperasi ada dua hal yaitu : pertama kemandirian modal artinya koperasi seharusnya menyandarkan modalnya pada dua sumber utama yaitu, pertama dari partisipasi para anggota sendiri sebagai sebagai ekspresi sikap mandiri dan self-help, yang biasanya berbentuk berbagai simpanan, yang kedua modal yang berasal dari modal cadangan kekayaan Koperasi, kedua kemandirian manajemen, artinya Koperasi adalah organisasi ekonomi, dari oleh dan untuk rakyat. Dalam mengatur hubungan Koperasi dengan pemerintah, melakukan pendekatan mengadakan pembatasan terhadap kebijaksanaan yang dapat diambil pemerintah dalam mengatur masalah koperasi. Peranan pemerintah yang terlalu jauh mengatur Koperasi akan menghambat sifat keswadayaan, keswasembadaan serta keswakertaan Koperasi. Turun tangan (bukan campur tangan) hal ini hanya dilakukan guna memberikan pengamanan terhadap aas dan sendi dasar Koperasi serta kebijaksanaan masyarakat guna kepentingan gerakan Koperasi maupun keperluan masyarakat. Berdasar hal tersebut, tumbuh dan berkembangnya Koperasi “odong-odong” merupakan suatu program yang berasaskan keswadayaan, pemberdayaan dan partisipatif. Adanya campur tangan pemerintah yang terlalu jauh pada gilirannya akan merugikan masyarakat atau anggota Koperasi, lebih dari itu pemerintah diwajibkan untuk memberikan kebebasan yang wajar bagi Koperasi untuk mengatur kehidupannya sendiri dalam rangka mewujudkan asas dan sendi dasar dari Koperasi. Melalui Koperasi, telah pula tumbuh adanya tanggung jawab sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan anggotanya serta upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran secara swadaya ditingkat lokal.
84
KONFLIK SOSIAL DALAM MASYARAKAT Konflik menurut Fisher dan kawan-kawan dalam. Prasodjo dan Yuhana (2004), dimaknai sebagai hubungan antar dua pihak (individu atau kelompok) atau lebih yang memiliki/merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Sementara itu ada pendapat lain yang menyatakan konflik adalah enturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Namun demikian Beebe dan Masterson (1994) menyatakan konflik hanya mempunyai dampak negatif apabila : (1). Konflik itu menghalangi kita mencapai tujuan bersama; (2). menggangu kualitas dan produktifitas masyarakat; (3). mengancam kesatuan. Mengacu pada rumusan diatas kami melihat adanya potensi konflik antara kelompok pengemudi angkutan odong-odong dengan kelompok pengemudi ojek. Konflik ini muncul ketika Pemerintah Daerah menawarkan adanya trayek dan angutan baru menggantikan angkutan odong-odong yang dirasa sudah tidak layak lagi, karena adanya kemajuan daerah. Konflik ini terjadi dik arenakan jalur yang ditawarkan oleh Pemerintah Daerah khususnya yang melewati Desa Nanggewer Kecamatan Cibinong merupakan jalur khusus ojek. Padahal selama ini jalur Karadenan-Cimandala-Pomad merupakan jalur yang biasa dilewati kedua angkutan tersebut (odong-odong dan ojek) bersama-sama tanpa pernah terjadi keributan dan saling menghargai. Ketika Pemerintah Daerah memberikan tawaran kepada pengemudi “odongodong” dan melewati jalur khusus ojek, membuat kemarahan pengemudi ojek, kekecewaan tersebut
tidak ditujukan kepada Pemerentah Daerah akan tetapi
kepada pengemudi “odong-odong” yang diharapkan memberikan tawaran kepada Pemerintah Daerah untuk merubah jalur sesuai jalur “odong-odong” semula (seperti saat ini) dan bahkan berprasangka bahwa rute atau jalur rencana Angkutan Kota No 31, merupakan masukan dari pengemudi “odong-odong”. Jadi isu konflik yang berkembang adalah adanya prasangka penyerobotan rute atau jalur trayek ojek oleh pengemudi angkutan “odong-odong”. Alat Bantu analisis yang digunakan adalah analogi bawang Bombay. Yaitu suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak pihak yang berkonflik yang dilihat dari faktor kepentingan dan kebutuhan.
85
Tujuannya adalah untuk mencari titik kesamaan diantara kelompok, sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. Dengan tidak digunakannya alat bantu yang lain dalam memberikan analisis konflik yang terjadi, dikarenakan konflik yang terjadi memiliki eskalasi periode waktu yang pendek dan cepat, yang dimulai dari
prakonflik, konfontasi, krisis, akibat dan pasca konflik
berlangsung hanya empat belas hari, demikian pula periode krisis yang terjadi tidak bersifat anarkhis dan merusak, akan tetapi sebatas pernyataan protes dan adanya ketidak sepahaman. Apabila konflik tersebut terpetakan maka peta tersebut telah jelas yaitu konflik antara pengemudi “odong-odong” dengan pengemudi ojek dengan akar konflik adanya prasangka perebutan trayek. Jadi melalui alat bantu Bawang Bombay dapat dimungkinkan sebagai persiapan untuk melancarkan dialog diantara kelompok dalam suatu konflik. Kepentingan dan kebutuhan pihak yang berkonflik: antara kelompok pengemudi ojek dengan pengemudi “odong -odong” yang mengalami perbedaan baik itu dari posisi, kepentingan dan kebutuhan. Dapat dianalisis melalui Analisa Bawang Bombay sebagaimana Gambar 8 dan Tabel 15 berikut ini Pengemudi Odong-odong Pemkab sewenang -wenang.
Pengemudi Ojek Pemkab sewenangwenang
Trayek tetap
Posisi
Kepenting an Kebu tuhan
Solusi terbaik
Keamanan berusaha Keamanan berusaha
Gambar 8 Analogi Bawang Bombay
86
Tabel 15 : Kebutuhan Dan Kepentingan Pihak Yang Berkonflik
Kelompok Pengemudi Ojek
Kelompok Pengemudi Odong-Odong
Posisi : Apa yang dikatakan tentang Posisi : Apa yang dikatakan tentang yang diinginkan. yang diinginkan. 1. Mengojek merupakan pekerjaan 1. Odong-odong sudah ada terlebih pokok. dahulu dan merupakan pekerjaan 2. Pengemudi odong-odong mentaati pokok. kesepakatan jalur ojek. 2. Pengemudi odong-odong telah 3. Kebijakan pemda sewenang-wenang. berbaik hati untuk bekerjasama dengan pengemudi ojek (usaha bersama). 3. Kebijakan trayek, pembaharuan mobil dari pemda memberatkan pengemudi odong-odong. (sewenang-wenang) Kepentingan : Apa yang sebenarnya dinginkan. 1. Jalur trayek tidak ada perubahan 2. Pengemudi ojek juga mendapat perhatian pemerintah kabupaten.
Kepentingan : Apa yang sebenarnya dinginkan. 1. Mentaati aturan Pemda asal tidak memberatkan 2 Pemda perlu mencarikan solusi yang tepat kepada odong- odong
Kebutuhan : Apa yang seharusnya dimiliki Lapangan pekerjaan yang mapan untuk hidup dan meningkatkan kesejahteraan Keluarga. (keamanan berusaha)
Kebutuhan : Apa yang seharusnya dimiliki Lapangan pekerjaan yang mapan untuk hidup dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. (keamanan berusaha)
87
ANALISIS PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT PERFORMA TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT Tanggung jawab sosial sebagai suatu yang bersifat praktis, berupa aktifitas atau kegiatan yang dilakukan masyarakat baik secara individu atau kelompok, melalui suatu lembaga atau institusi (pemerintah atau swasta) maupun secara pribadi, merupakan upaya yang bertujuan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai suatu derajat tujuan yang bersifat ideal, pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial dikomunitas lokal
dapat memanfaatkan modal-modal
sosial yang terdapat di komunitas lokal. Dengan memanfaatkan modal sosial di komunitas lokal diharapkan selain memiliki tujuan sebagaimana yang diharapkan masyarakat, keberlanjutan kegiatan akan dapat terwujud. Bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh, tanggung jawab so sial sebagai suatu bentuk upaya kesejahteraan sosial, akan lebih bermakna apabila kegiatan yang dilaksanakan memiliki tujuan kearah kemandirian bagi penyandang cacat tubuh melalui suatu kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan. Dengan demikian upaya-upaya tersebut tidak akan menimbulkan dampak ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Komunitas Kelurahan Karadenan yang memiliki masalah kemiskinan, pengangguran dan belum adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi, memerlukan perhatian khusus serta memerlukan jangka waktu yang tidak dapat dibatasi hanya dengan ukuran proyek saja. Keseriusan pemerintah daerah bersama-sama masyarakat
telah dibuktikan dengan upayanya melaksanakan
program pemerintah didukung adanya kepedulian sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi secara swadaya. Adapun pelaksanaan kegiatan sebagai bentuk tanggung jawab soial. adalah
melalui kelembagaan -
kelembagaan sosial yang ada baik ditingkat Rukun Tetangga, melalui kelompokkelompok
yang
memiliki
kepentingan
bersama
ataupun
karena
rasa
kesetiakawanan dan nilai-nilai keagamaan yang dimiliki oleh seseorang. Tanggung jawab sosial tersebut ditujukan kepada
Penyandang Masalah-
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang terdapat di Karadenan, yaitu
88
penyandang cacat, lanjut usia terlantar dan keluarga miskin. Tanggung jawab sosial
yang dibangun masyarakat Karadenan, tumbuh dan dibangkitkan oleh
tuntutan pemenuhan kebutuhan sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang didukung pula oleh peranan dan inisiatif tokoh-tokoh masyarakat. Jadi nilai dan norma keagamaan dan sosial kemasyarakatan telah mengikat perilaku masyarakat akan pelaksanaan tanggung jawab sosial. Nilai dan norma keagamaan tersebut terutama agama Islam disamping agama lain yang juga dianut oleh sebagian masyarakat Karadenan. Sebagai tenaga kerja penyandang cacat tubuh di Karadenan, tanggung jawab sosial masyarakat dirasakannya tidak hanya berdasar pada nilai-nilai keagamaan dan sosial kemasyarakatan, akan tetapi terdapat adanya suatu kegiatan tanggung jawab sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Departemen Sosial RI dalam bentuk
kerjasama dengan pengguna tenaga kerja,
melalui suatu upaya penyaluran dan pembinaan lanjut bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Namun demikian bahwa
kenyataan dilapangan menunjukkan
terdapat berbagai kendala dan permasalahan terutama adanya
ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja dan program kegiatan yang belum berkelanjutan artinya sangat tergantung kepada dana pemerintah. Untuk hal tersebut sebagaimana pengertian tanggung jawab sosial, maka tanggung jawab sosial dapat dianalisis berdasar aspek ekonomi, sosial dan lingkungan baik itu tanggung jawab sosial melalui kemitraan ataupun tanggung jawab sosial yang tidak melalui suatu upaya bermitra. Analisis tersebut relevan dengan situasi dan kondisi yang khas di Karadenan, karena adanya upaya tanggung jawab sosial masyarakat sebagai suatu embrio, yang dimungkinkan adanya upaya penguatan tangggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Dalam memberikan analisis penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, berangkat dari hasil Pemetaan Sosial dan Evaluasi Program Pengembangan Manyarakat di Karadenan, terdapat tujuh belas (17) orang penyandang cacat tubuh. Selanjutnya, melalui proses wawancara dengan salah satu Pekerja Soosial Masyarakat di Karadenan, yaitu Ibu Erln, diperoleh keterangan :
89
“…….. Dengan demikian latar belakang pendidikan penyandang cacat tubuh juga rendah sehingga bekerja apa adanya, seperti, sopir ojek, menunggu toko, buruh pabrik mi, buruh pabrik sagu bahkan ada yang mengngggur atau kerja apa adanya. Meski demikian ada juga beberapa penyandang cacat yang memiliki latar belakang lulu s Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan menjadi siswa di Balai Rehabilitasi Vokasional, sehingga melalui balai dapat disalurkan pekerjaan di perusahaan seperti di perusahaan konveksi, percetakan, bekerja mandiri atau dengan kelompok-kelompok usaha. Apabila dibandingkan yang disalurkan pemerintah dengan yang mencari pekerjaan sendiri samasama ada baik dan buruknya, yang paling dirasakan tentu keduanya membuat ketergantungan kepada pengguna tenaga kerja dimana penyandang cacat tubuh tersebut bekerja. Akhirnya apabila sudah tidak kuat terutama perempuan, kebanyakan keluar dari pekerjaannya dan memilih berumah tangga. Jadi untuk mengatasi masalah penyandang cacat tubuh, harus melibatkan berbagai pihak yang terkait secara terbuka dan tidak bisa sendiri-sendiri serta jangan hanya mencari keuntungan semata-mata, sedangkan penyandang cacat juga perlu hidup yang layak yang tidak dibeda-bedakan dengan masyarakat lain”. Berdasar pernyataan tersebut dapat disimak, permasalahan penyandang cacat tubuh bukanlah sesuatu yang bersifat sederhana dan sektoral saja sebagai bentuk kegiatan pemerintah ataupun sosial kemasyarakatan dan keagaman. Namun demikian penanganan masalah penyandang cacat
tubuh diperlukan
suatu
tanggung jawab sosial masyarakat secara keseluruhan oleh seluruh komponen komunitas dimana penyandang masalah tersebut berada, tanpa menimbulkan suatu bentuk ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh dan diharapkan melalui suatu kegiatan yang sifatnya berkelanjutan (sustainable) agar penyandang cacat tubuh tetap dapat hidup layak di masyarakat. Suatu bentuk tanggung jawab sosial, yang bernuasa kesetiakawanan sosial dan berlandaskan norma serta nilai keagamaan serta kekuatan positif lainnya yang secara komunal dan tradisional dapat menerima keberadaan penyandang cacat tubuh, telah pula mewarnai kehidupan masyarakat Karadenan, hal ini terlihat sebagaimana pernyataan salah satu penyandang cacat tubuh yang pernah mendapat latihan keterampilan di Balai Rehabilitasi Vokasional, yang saat ini berusaha mandiri di Karadenan sebagai montir elektronik bernama Udn, sebagai berikut : “Ibu, saya merasa senang dan berterima kasih kepada warga disini karena saya dapat diiterima di masyarakat sebagaimana adanya. Meskipun saya cacat tapi tidak ada satupun warga yang mencemooh saya, pelanggan saya
90
juga banyak dan sering dimintai tolong sama tetangga dekat, bahkan sudah ada yang datang dari kelurahan lain. Adapun imbalan yang saya terima, meskipun saya tidak pernah memasang tarif, tetapi saya tidak pernah rugi dan masih ada keuntungan. Makanya ibu, saya bisa kontrak tempat dan mencoba membuka usaha secara mandiri. Saya juga aktif di kepemudaan masjid serta aktif dikegiatan lain yang bersifat sosial di lingkungan rukun tetangga” Tanggung jawab sosial masyarakat Karadenanpun tidak pula membedakan jenis pekerjaan apa dari penyandang cacat tubuh, hal ini merupakan bentuk rasa kesetiakawanan sosial, nilai-nilai kebersamaan serta nilai-nilai keagamaan yang tidak diskriminatif. Masyarakat secara sosial dapat menerima keberadaan penyandang cacat tubuh melalui suatu kegiatan ketetanggaan dan sosial kemasyarakatan. Berdasar wawancara yang pengkaji laksanakan terhadap salah satu penyandang cacat tubuh yang bekerja sebagai sopir ojek bernama Uck, mengungkapkan perasaannya : “Ibu, saya itu orang bodoh yang sekolah hanya lulus Sekolah Dasar, makanya saya tidak biasa diterima masuk di Balai Departemen Sosial RI untu menjadi muridnya, tapi untungnya ada yang bersedia menerima saya jadi ojek. Jadi ini bukan motor saya, tiap hari saya harus setor Rp. 25.000,-. Pak Haji yang punya motor juga ngerti, misalnya saya hanya biasa setor separohnya, ya tidak apa -apa, meskipun tidak sering-sering sih, Alhamdulillah saya selalu dapat setor sesuai kesepakatan. Warga disini juga biasa-biasa saja, saya juga sering ikut main bola dengan pemuda di lapangan Sanggar Kegiatan Belajar. Saya juga punya banyak langganan ojek, termasuk ibu juga khan sering naik ojek saya” Disisi lain, bagi pengguna tanaga kerja penyandang cacat tubuh
yan g
notabene sebuah perusahaan baik dalam skala kecil dan menengah, bentuk tanggung jawab sosialnya adalah sebagai upaya pengembangan masyarakat dimana perusahaan tersebut berproduksi yang berkaitan adanya ijin produksi didaerah, adanya dana sosial perusahaan serta karena adanya kerjasama dengan pemerintah melalui upaya penyaluran pekerjaan. Di Karadenan terdapat tiga buah perusahaan garmen dalam skala menengah, sedangkan untuk perusahaan skala kecil adalah
perusahaan percetakan,
perusahaan mi dan perusahaan sagu serta beberapa peternakan ayamk. Sebagai Upaya pengembangan masyarakat, tanggung jawab sosial perusahaan seharusnya merupakan program perusahaan untuk komunitas membawa nilai-nilai yang
91
mendukung perusahaan. Hal ini sebagaimana Riker, H.A. dan Roetter, M.F dalam Tom Cannon (1995) yang menjelaskan : Kualitas…yang akan menetukan (keberhasilan perusahaan) adalah keinginan untuk memproyeksikan visi perusahaan…pernyataan mengenai tujuan, aspirasi dan nilai-nilai…yang mempunyai makna umum bagi pelanggan, pegawai, pemasok, pemegang saham dan banyak komunitas dimana perusahaan itu berada. Hal tersebut senada dengan pendapat dari salah satu pengusaha garmen yang berada di Karadenan Ibu Slt : “ Bahwa sebagai wujut dari bentuk tanggung jawab sosial adalah upaya perekrutan pegawai yang berasal dari masyarakat sekitar perusahaan. Perusahaan kami telah banyak menerima pegawai dari masyarakat sekitar mulai dari offies boy sampai kepada pekerja harian. Sedangkan khususnya bagi penyandang cacat tubuh yang memang kebetulan telah mendapat latihan tingkat terampil, dengan pendidikan yang cukup memadai, disamping itu pihak perusahaan juga telah melaksanakan kerjasama dalam hal ini dengan pemerintah Departemen Sosial RI, maka kami dapat menempatkan penyandang cacat tersebut sebagai pegawai tetap, bahkan telah ada satu orang yang kami percaya sebagai penanggung jawab salah satu bagian finising, karena memang prestasinya bagus selama kurun waktu dua tahun bekerja”. Dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas, maka tanggung jawab sosial khususnya terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh di Karadenan dapat dianalisis dari
pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh yaitu para
pengusaha dan pelaku ekonomi serta komunitas lain yang berkaitan dengan tenaga kerja penyandang cacat tubuh di Karadenan antara lain perusahaan garmen’’CV Teratai Djaya”, dan “PT Karadenan Garment”, “Syahrul Colektion” serta Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Karadenan yang bergerak dibidang percetakan,
Koperasi,
Wiraswasta
angkutan
lokal,
Wiraswasta
reparasi
elektronika, aparat pemerintah lokal dan pusat serta tokoh-tokoh masyarakat. Perusahaan-perusahaan dan kelompok-kelompok usaha tersebut telah mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat tubuh, melalui bentuk kerjasama dengan pemerintah, terkait adanya ijin produksi didaerah serta atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu yang mewarnai kehidupan khas di Karadenan. PT Teratai Widjaya merupakan perusahaan garmen yang telah beroperasional di Karadenan sejak tahun 1999 yang dipimpin oleh Bapak Sutrisno dan
92
merupakan perusahaan yang paling banyak menerima tenaga kerja penyandang cacat tubuh di Karadenan. Sejak berdiri dan sampai sekarang PT Teratai tetap eksis dibidangnya bahkan terus berkembang, terbukti dengan semakin meluasnya pemasaran dari produknya, yaitu selain untuk komsumen dalam negeri wilayah Jakarta Bogor Tangerang Bekasi (Jabotabek) dan wilayah Jawa Tengah, selain itu juga bekerjasama dengan perusahaan garmen lain untuk menembus pemasaran luar negeri. PT Teratai Widjaya merekrut tenaga kerja penyandang cacat tubuh pada tahuun 2000 sebanyak lima orang siswa lulusan Balai Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Departemen Sosial RI, dari sembilan orang siswa yang dimagangkan. Kelima tenaga kerja tersebut tiga orang diantaranya merupakan warga asli Karadenan. Selain perekrutan pegawai melalui kerjasama, PT Teratai Djaya juga merekrut pegawai cacat tubuh dari masyarakat lokal meskipun hanya sebagai offies boy. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Karadenan, merupakan kelompok usaha yang bergerak dibidang percetakan yang terdiri atas lima orang tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Pada awal tumbuh, merupakan binaan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam hal ini Dinas Sosial dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor sejak tahun 1999. Kelima orang tenaga kerja tersebut sebelumnya telah mendapat pendidikan dan latihan dari Pemerintah Daerah Kabupaten serta mendapat dana stimulan sebagai modal usaha yang harus terus dikembangkan. Kelompok ini bekerja berdasar prinsip kewirausahaan yang didampingi melalui proses pendampingan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Sampai saat ini KUBE percetakan belum tersentuh oleh upaya kemitraan dari
pihak swasta di Karadenan, sehingga usaha yang dilakukan
bersifat musiman dan berdasar order yang tidak pasti sehingga sulit untuk berkembang. Jadi kerjasama yang hanya mengandalkan antar instansi pemerintah semata tidak dapat memaksimalkan tujuan yaitu kemandirian dan kewirausahaan tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Proses perekrutan tenaga kerja yang terkait dengan upaya penyaluran dan pembinaan lanjut dari pemerintah yang diawali dengan proses pemagangan siswa, adalah yang berdasar adanya suatu bentuk kerjasama antara pemerintah dengan
93
pengguna tenaga kerja sebagaimana petunjuk teknik dan pelaksanaan kegiatan. Adapun jumlah siswa yang direkrut adalah sesuai dengan kapasitas perusahaan serta kebutuhan dari pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh, untuk menerima pegawai. Adapun perekrutan pegawai lokal (masyarakat setempat) adalah berdasarkan kebutuhan perusahaan dan persyaratan yang ditetapkan dan berorientasi kepada keuntungan perusahaan dan terkait perijinan produksi disuatu wilayah tertentu. Tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang memutuskan bekerja secara mandiri setelah mendapat pelatihan kerja dari pemerintah, sampai saat ini belum tersentuh oleh perusahaan sebagai upaya kemitraan, sehingga penyandang cacat yang memutuskan bekerja secara mandiri harus merintis mulai dari nol dan akhirnya dapat tumbuh meskipun secara lamban. Bagi masyarakat Karadenan, tentu saja keberadaan perusahaan diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitarnya termasuk terbuka peluang bermitra dengan pekerja mandiri. Berdasar ken yataan tersebut semakin jelas menunjukkan adanya potret ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja terutama di perusahaan-perusahaan. Dengan demikian tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, yang dilaksanakan dengan bermitra yang selama ini terlaksana adalah lebih bersifat top down , terkait adanya dana pemerintah atau dana sosial perusahaan serta terkait adanya perijinan produksi disuatu daerah. Sehinga kegiatan yang terlaksana lebih kepada upaya pencapaian target, bersifat seragam sesuai petunjuk teknis dan pelaksanaan kegiatan serta lebih berdasar kepada tercapainya kebutuhan untuk dapat bekerja dan diwarnai harapan keuntungan oleh perusahaan. Dengan demikian
tanggung jawab sosial masyarakat yang
dilaksanakan melalui kemitraan yang selama ini terlaksana lebih berorientasi memiliki aspek ekonomi dari pada aspek sosial dan lingkungan. Karenanya menimbulkan adanya ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh dan ketidak berlanjutan (unsustainable) kegiatan. Dengan demikian untuk mengetahui performa tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dapat dianalisis berdasar aspek ekoonomi, sosial dan lingkungan melalui suatu kegiatan yang bermitra dan tidak bermitra.
94
Sebagai subyek kajian, untuk mengetahui performa tanggung jawab sosial masyarakat yang tidak bermitra pengkaji menggunakan subyek kajian yang sama, yang merupakan
pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang tidak
berdasar suatu kerjasamaatau bermit ra, akan tetapi karena dilandasi nilai-nilai keagamaan serta adanya rasa ketiakawanan dan kepedulian sosil. Hal ini dapat diketahui dari perekrutan tenaga kerja yang berkaitan atau tidak berkaitan dengan adanya program pemerintah yang menyertainya atau pihak -pihak yang terkait dengan tenaga kerja penyandang cacat tubuh, yang terdapat di komunitas lokal Karadenan. Untuk melihat sampai sejauh mana performa tanggung jawab sosial masyarakat yang bermitra berdasar aspek sosial dapat dilihat berdasar Matrik 1 :
95
Matrik 1. Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Melalui Bermitra Berdasar Aspek Ekonomi Aspek Ekonomi
Indikator Performa
Kapasitas penyediaan aksesibilitas
1. Belum adanya kapasitas penyediaan aksesibilitas yang memadai bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang bekerja pada sebuah perusahaan. 2. Aksesibilitas merupakan salah satu kebutuhan yang bermanfaat untuk mempermudah beraktifitas bagi penyandang cacat tubuh. 3. Aksesibilitas pada hakekatnya berkaitan dengan upaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sehingga memperkecil resiko kecelakaan kerja yang akan memperparah kondisi kecacatan yang dialaminya.
Kebutuhan
Kebutuhan mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat tubuh adalah berdasar (1) keterampilan, (2) tingkat pendidikan serta (3) kebutuhan akan tenaga sebagai unsur pelaku produksi.
Keuntungan
Orientasi keuntungan bagi pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh terkait dengan adanya pencapaian target produksi.
Etika Berrmitra
1. Terkait adanya proses perijinan berproduksi dalam suatu wilayah tertentu, yaitu kewajiban partisipasi sosial. 2. Kewajiban berdasar peraturan per-UndangUndangan yang berlaku bagi setiap perusahaan atau pelaku ekonomi lainnya untuk mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat tubuh sebagai bagian dari karyawannya.
Berdasar Matrik 1. dapat diketahui bahwa performa tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang dilaksanakan melalui proses kemitraan, apabila dilihat dari aspek ekonomi yang dimulai dari bagaimana kebutuhan dari pengguna tenaga kerja, orientasi dari segi keuntungan melalui pencapaian target produksi serta etika bermitra sebagai pelaksanaan dari adanya aturan-aturan yang berlaku. Dengan demikian dimungkinkan muncul
96
adanya faktor ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja, dan akhirnya tujuan ideal dari pelaksanaan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan kesejahteraan tidak akan tercapai, kar ena kegiatan menimbulkan ketergantungan dan ketidak berlanjutan (unsustainable). Bagi pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh, kebutuhan berdasar adanya keterampilan dan ppendidikan sering menjadikan nilai tawar yang tinggi. Demikian pula orientasi pencapaian keuntungan melalui target produksi, pelaksanaan angggaran sosial perusahaan serta kewajiban yang terkait adanya perijinan produksi dan peraturan pemerintah, merupakan potret kenyataan dari kemitraan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang saat ini dilaksanakan. Kendala lain yang akan memperburuk keadaan adalah belum adanya aksesibilitas atau fasilitas-fasilitas yang dapat mempermudah penyandang cacat tubuh untuk beraktifitas didunia kerja. Sebagai tenaga kerja penyandang cacat tubuh, kebutuhan akan fasilitas yang dapat mempermudah beraktifitas dapat pula bermanfaat memperkecil resiko kecelakaan dan tercapai keselamatan kerja. Di Karadenan kebutuhan akan fasilitas tersebut belum secara maksimal dilaksanakan oleh pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh dengan berbagai alasan yang menyertainya, sedangkan keberadaan fasilitas tersebut sangat dibutuhkan bagi penyandang cacat tubuh. Sebagaimana pernyataan dari Bapak Kepala Kelurahan Karadenan, Bapak Nm : “Ibu, ……Namun yang menjadi masalah yang pernah saya lihat, saya sering kasihan melihat penyandang cacat harus tertatih-tatih menaiki tangga perusahaan, atau naik angkutan. Saya jadi berfkir bagaimana yang memakai kursi roda, gimana ya mereka jika tanpa bantuan orang lain. Saya juga pernah mendapat laporan dari Ketua Rukun Warga, bahwa warganya yang kebetulan cacat tubuh pernah jatuh saat bekerja dipabrik garment yang akhirnya sampai mengalami benturan dikepalanya dan dibawa kerumah sakit, untungnya tidak sampai gegar otak, meski anak itu sempat trauma dan akhirnya mogok kerja. Saat ini anak itu telah kawin dan punya anak. Suaminya juga cacat tubuh dan sekarang bekerja mandiri membuka jahitan membantu suaminya”. Dari penjelasan Bapak Kepala Kelurahan Karadenan dapat dimaknai performa tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melaluii proses bermitra, dilihat dari aspek ekonomi, memiliki muatan ekonomi, sehingga penyediaan fasilitas kemudahan bekerja penyandang cacat tubuh belum diperoleh secara maksimal. Untuk mengetahui performa tanggung jawab sosial
97
masyarakat yang bermitra berdasar aspek sosial dapat dilihat berdasar Matrik 2 berikut ini : Matrik 2.
Aspek Sosial
Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Melalui Bermitra Berdasar Aspek Sosial Indikator performa
Kepercayaan
Kepercayaan dikenal melalui perekrutan dan penerimaan hasil produksi serta penempatan sesuai dengan keterampilan.
Nilai Keagamaan
1. Dikenal dan diterima sebagai bentuk ibadah yang berpahala. 2. Sebagai suatu ibadah, tanggung jawab social hanya dapat dinilai Allah SWT.
Partisipasi
1. Tanggung jawab sosial merupakan partisipasi yang berorientasi pada pelaksanaan kebijakan perusahaan. 2. Sistem partisipatoris bersifat pasif karena belum dimungkinkan adanya musyawarah bersama terutama antara pengguna tenaga kerja dengan tenaga kerja, terutama untuk mengetahui kebutuhan penyandang cacat tubuh, sehingga hubungan yang terjadi seseuai status pekerja dan pengguna tenaga kerja.
Kesetiakawan an
1. Dikenal sebagai perasaan senasib sepenanggungan yang dilatar belakangi kesamaan daerah. 2. Nilai-nilai kesetiakawanan juga merupakan harapan akan adanya perbaikan hidup untuk penyandang cacat tubuh.
Perlindungan dan Kepastian Hukum
1. Perlindungan dan kepastian hukum terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh disesuaikan dengan kebijakan interen dari pengguna tenaga kerja. 2. Sesuai aturan pemerintah yang berlaku.
Berdasar Matrik 2 dapat dijelaskan bahwa performa tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang dilaksanakan berdasar upaya kerjasama dilihat dari aspek sosial memiliki peluang untuk dikuatkan, meskipun dari sistem partisipatoris masih bersifat pasif namun demikian dengan adanya modal-modal sosial dan nilai-nilai lain yang bersifat positif, aspek sosial dari
98
performa tanggung jawab sosial dimungkinkan untuk dikuatkan. Kondisi tersebut didukung adanya kepercayaan, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kesetiakawanan serta telah adanya upaya perlindungan dan kepastian hukum meski sifatnya sangat intern. Oleh karena itu performa tanggung jawab sosial masyarakat
berdasar
aspek sosial sangat bermanfaat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Hal ini diungkapkan oleh salah satu tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang bekerja pada sebuah perusahaan garment Wdd : “Saat ini saya sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena saya sudah bekerja secara mapan sebagai pegawai tetap bahkan saya memperoleh kepercayaan sebagai kepala bagian finising. Selain iitu perusahaan juga sangat memperhatikan kesejahteraan kami para pekerja, khususnya penyandang cacat tubuh hak kami juga tidak dibeda -bedakan, meskipun begitu kami tetap diwajibkan untuk senantiasa menunjukkan prestasi yang baik. Kami juga berterima kasih karena dari pemerintah atau balai masih tetap mengunjungi kami” Berdasar uraian tersebut maka tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dengan bermitra yang dilihat dari aspek ekonomi dan sosial memiliki hal-hal yang bersifat positif dan negatif. Namun demikian secara keseluruhan performa tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang dilaksanakan dengan bermitra secara ideal harus dilakukan dengan seimbang, demikian pula pemanfaatan modal-modal sosial maupun unsur-unsur positif lain di komunitas lokal diharapkan mampu menjembatani kedua aspek yang memiliki orientasi berbeda. Adapun performa tanggung jawab sosial masyarakat dengan tidak bermitra dapat pula dilihat dari aspek ekonomi dan aspek sosial. Untuk jelasnya adalah sebagaimana matrik dibawah ini :
99
Matrik 3.
Aspek Ekonomi
Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Tidak Bermitra Berdasar Aspek Ekonomi Indikator Performa
Kapasitas
1. Belum ada aksesibilitas untuk penyandang cacat tubuh yang diberikan secara memadai, 2. Aksesibilitas yang memadai memerlukan biaya yang sangat mahal dan harus melibatkan banyak pihak yang bersifat profesional.
Kebutuhan
Berdasar kepada keterampilan semata.
Keuntungan
Berorientasi kepada bagi keuntungan atau saling menguntungkan antara pengguna tenaga kerja dengan tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
Etika Bermitra
Kerjasama yang kooperatif dan tidak tertulis.
Berdasar Matrik 3 diatas dapatlah dijelaskan bahwa performa tanggung jawab sosial masyarakat tehadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dengan tidak bermitra yang dilihat dari aspek ekonomi
adalah lebih berorientasi kepada
pencapaian keuntungan bersama-sama, tanpa adanya aturan-aturan tertulis. Demikian pula unsur keterampilan lebih ditekankan daripada unsur pendidikan dari tenaga kerja sehingga penyediaan aksesibilitas bagai tenaga kerja penyandang cacat tubuh bukan menjadi kewajiban yang harus disediakan oleh pengguna tenaga kerja. Namun demikian kondisi ini ada nilai-nilai positif, karena disamping harapan kepada bagi keuntungan akan tetapi juga berorientasi terhadap unsur pelaku produksi. Disisi lain, performa tanggung jawab sosial masyarakat yang tidak bermitra dan berdasar aspek sosial adalah sebagai berikut :
100
Matrik 4.
Aspek Sosial Performa Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Tubuh Dengan Tidak Bermitra Berdasar Aspek Sosial.
Aspek Sosial
Indikator Performa
Kepercayaan
Aspek kepercayaan dalam penerimaan tenaga kerja sangat dominan.
Nilai Keagamaan
Tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dikenal. Diterima sebagai bentuk ibadah yang berpahala yang melembaga dikalangan komunitas Karadenan.
Partisipasi
Partisipasi yang dibangun bersifat lebih terbuka, karenanya hubungan lebih akrap.
Kesetiakawanan
1. Adanya perasaan senasip sepenangggungan. 2. Harapan perbaikan hidup untuk penyandang cacat tubuh. 3. Kesetiakawanan dapat meningkatkan prestise dan nama baik seseorang.
Perlindungan dan Kepastian Hukum
Hanya berdasar kesepakatan yang tidak tertulis antara kedua belah pihak antara pengguna dan tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
Dari Matrik 4.
dapat diketahui, bahwa tanggung jawab sosial masyarakat
dengan tidak bermitra berdasar aspek sosial adalah sangat dominan. Kategori ini dapat dilihat dari adanya nilai-nilai keagamaan, kepercayaan dan kesetiakawanan yang tinggi, meski demikian masih belum adanya upaya perlindungan dan kepastian hukum. Situasi dan kondisi ini bukan berarti tidak akan menimbulkan ketergantungan dan terhindar adanya resiko kerja, karena kontrak kerja yang hanya berdasar kepercayaan, nilai keagamaan dan kesetiakawanan dapat berakibat memperlemah posisi tawar dari tenaga kerja penyandang cacat tubuh, karena pada umumnya sistem penggajian tidak sesuai dengan standart upah minimum dan hanya berdasar kesepakatan semata. Demikian pula pelaksanaan tanggung jawab dengan tidak melalui suatu kerjasama, yang didominasi aspek sosial akan memunculkan bentuk ketergantungan kepada pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
Hal tersebut
sebagaimana keterangan dari Bp. Ccp
sebagai
101
wiraswasta yang mempekerjakan penyandang cacat dan Syudn seorang penyandang cacat yang bekerja pada salah seorang warga dikaradenan sebagai seorang penjahit. Menurut bapak Cpp “Saya mempekerjakan penyandang cacat adalah karena memang memberikan bantuan kepada penyandang cacat adalah tangggung jawab semua manusia yang beragama, selain itu saya merasa kasihan karena penyandang cacat juga perlu hidup, sedangkan sulit bagi mereka untuk bekerja yang layak, apalagi yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan tidak memiliki keterampilan yang memadai. Selain itu tidak semua pabrik atau usaha -usaha lain yang mau menerima mereka meskipun penyandang cacat tubuh tersebut berpendidikan tinggi atau punya keterampilan. Kadang-kadang penyandang cacat juga agak sulit bekerja dipabrik yang harus disamakan dengan yang tidak cacat. Untuk itulah maka kami saling bagi keuntungan saja, bagaimanapun penyandang cacat sudah untung karena saat ini mencari pekerjaan itu sangat-sangat sulit, coba dari pada hanya jadi penerima telepon di perusahaan, ya mendingan bekerja mandiri atau bekerja sama -sama orang yang sekampung”. Berdasar penjelasan tersebut maka Karadenan
yang
dilakukan
memungkinkan dilaksanakan
tanpa
tanggung jawab sosial masyarakat
menggunakan
poses
kemitraan
lebih
berdasar carity ataupun nilai-nila i agama agar
mendapat pahala serta merupakan solusi awal dan jangka pendek adanya pengangguran. Demikian pula pernyataan dari Syudn : “Ibu, saya ini juga buruh, tapi bukan pada perusahaan. Karena saya hanya punya keterampilan menjahit yang sederhana saja dan tidak pernah khursus menjahit, saya juga pernah melamar pekerjaan di pabrik tetapi tidak diterima lantaran saya tidak punya ijasah. Disini saya mulai dari nol dan karena sering membantu teman, akhirnya lama-lama saya bertambah pintar. Untuk gaji saya tidak pernah memiinta lebih, yang seberenya aja (sengasihnya), tapi Ibunya (bos) memang baik, saya diperbolehkan belajar, setiap ada keperluan saya juga sering meminjam uang dulu baru setelah gajian saya dipotong makanya saya tidak tahu bagaimana bila saya diberhentikan, karena untuk mandiri rasanya saya masih sulit.. Saya bekerja dari nol akhirnya bisa menjahit, meskipun belum bisa untuk memotongnya. Mudah -mudahan saya tetap diperbolehkan bekerja disini agar saya tidak kembali menganggur, karena sat ini sulit mencari pekerjaan apalagi dengan kondisi cacat yang saya alami”.
102
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT
Tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang bermitra dan tidak bermitra dapat dilihat dari aspek ekonomi dan sosial. Adapun untuk melaksanakan tanggung jawab sosial, masyarakat akan dipengaruhi baik itu oleh faktor internal dan faktor eksternal yang terdapat di lingkungan. Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat, pengkaji mencoba menelusuri dari hal-hal sebagai berikut :
Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam, baik itu diri seseorang, lembaga atau badan usaha ketika akan melakukan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Faktor-faktor internal tersebut meliputi :
Motivasi Dan Kemauan. Motivasi merupakan dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk berbuat sesuatu dan lebih diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi tersebut adalah bagaimana dorongan melakukan tanggung jawab social oleh stakeholder yang bermitra ataupun tidak bermitra, terutama dalam memecahkan masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Motivasi ini sangat penting dan perlu untuk terus dik embangkan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga. Untuk mengetahui bahwa motivasi merupakan sesuatu faktor yang harus ada dan penting adalah sebagaimana pendapat dari selah seorang Pekerja Sosial Masyarakat di Karadenan Ibu Erln “ “Tanggung jawab social masyarakat di Karadenan itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, karenanya memiliki motivasi yang kuat karena akan berpahala, terlebih lagi kepada penyandang cacat, khan penyandang cacat ada di Al-Qu’an makanya banyak warga yang membantu penyandang cacat. Hal ini juga berbeda dengan pabrik atau kelompok usaha yang memang penyandang cacat bekerja dan berusaha karena bantuan dari pemerintah. Sebenarnya yang masih menjadi masalah adalah sifat ketergantungan di tempat dimana dia bekerja. Untuk yang bekerja dipabrik saya kurang jelas apakah mengikuti
103
aturan pemerintah atau tidak, karena menurut kelurahan mereka tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial atau Dinas Sosial Kabupaten, sedangkan saya banyak terlibat untuk masalah sosial yang umum diwarga, makanya saya tahu kalau ada sifat ketergantungan dari penyandang cacat dimana dia bekerja”. Berdasar pernyataan tersebut menggambarkan bahwa aspek motivasi akan mendasari komunitas Karadenan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial terhadap penyandang cacat tubuh. Motivasi ini juga berkaitan dengan adanya sisi keeratan hubungan
antar
stakeholder dengan penyandang cacat tubuh sendiri ataupun juga adanya polapola interaksi yang telah terjadi secara nyata. Dengan adanya pola-pola interaksi yang dilandasi oleh unsur-unsur yang bersifat positif akan menghasilkan suatu keeratan hubungan antar stakeholder akan memberikan motivasi yang kuat dalam melaksanakan tanggung jawab sosial dalam memecahkan masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Hal ini sebagaimana pernyataan dari salah seorang wakil pengusaha Ibu SLt “Untuk melaksanakan suatu tanggung jawab sosial kepada masyarakat, diperusahaan kami telah ada kebijakan khusus baik itu tentang dana ataupun kebijakan lain misalnya dalam menerima tenaga kerja lokal. Selain itu dari pihak kelurahan ijin yang diberikan juga mewajibkan pihak perusahaan untuk ikut berpartisipasi dalam upaya kesejahteraan sosial di masyarakat Karadenan. Dengan demikian tanggunggung jawab sosial kepada penyandang ca catpun termasuk juga didalamnya. Kondisi ini sebenarnya juga sangat menguntungkan bagi kami, karena para pekerja adalah warga sekitar yang tentunya mempermudah pihak perusahaan dalam melakukan pembinaan dengan biaya yang tidak begitu mahal, pihak perusahan juga merasa aman dalam berusaha karena adanya dukungan dari masyarakat”. Adanya motivasi kuat diantara stakeholder untuk melaksanakan suatu bentuk tanggung jawab sosial merupakan kontribusi
terhadap adanya partisipasi
masyarakat. Dengan demikian motivasi yang kuat mendorong seseorang untuk bersedia atau adanya kemauan untuk bertindak atau berperilaku. Dengan adanya kemauan berperilaku muncullah adanya partisipasi, yang merupakan suatu ciri positif yang mengarah adanya upaya-upaya pengembanngan masyarakat yang dilaksanakan oleh komunitas lokal.
104
Kemampuan. Kemampuan adalah kapasitas yag dimiliki oleh seseorang/lembaga/badan usaha dalam berbuat sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kapasitas ini merupakan kekuatan dari stakeholder untuk melaksanakan suatu tanggung jawab sosial dalam rangka memecahkan masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh di komunitas lokal. Kemampuan dapat dilihat dari sisi keterampilan, pengetahuan serta sikap dari stakeholder dalam melaksanakan tanggung jawab sosial. Unsur keterampilan merupakan unsur yang mendukung untuk melakukan suatu bentuk tanggung jawab sosial yang sifatnya tidak hanya charity akan tetapi sebagai suatu upaya pemberdayaan masyarakat. Keterampilan dalam memberikan fasilitas kemudahan beraktivitas (aksesibilitas) dan penempatan pegawai sesuai dengan kemampuan penyandang cacat, merupakan keterampilan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang seharusnya dimiliki oleh pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Demikian pula unsur pengetahuan, adalah berkaitan dengan adanya informasiinformasi yang diterima tentang penyandang cacat, aturan-aturan baik yang sifatnya nasional maupun internasional yang ada, pengetahuan tentang kebutuhan penyandang
cacat,
ataupun
pengetahuan
lain
pengembangan masyarakat melalui suatu bentuk
yang
mendukung
tanggung
upaya
jawab sosial
misalnya bagaimana modal-modal sosial yang ada di komunitas lokal atau unsurunsur positif lain yang ada di komunitas. Dengan demikian, unsur pengetahuan tentang stakeholder, aksesibilitas penyandang cacat tubuh, kebutuhan dan kebijakan yang mengatur tentang ketenaga kerjaan bagi penyandang cacat tubuh, merupakan pengetahuan yang diperlukan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial. Unsur sikap merupakan suatu bentuk yang berakibat terhadap adanya suatu yang dimiliki. Sebagai pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh sikap-sikap profesional akan menonjol sedangkan bagi yang tidak bermitra sikap-sikap kedermawanan, kesetiakawanan, nilai-nilai keagamaan akan lebih menonjol. Dengan demikian unsur keterampilan, pengetahuan dan sikap merupakan unsur-
105
unsur yang tidak dapat terpisahkan yang akan memberikan kemampuan stakeholder dalam melaksanakan tanggunng jawab sosial.
Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab sosial yang berasalah dari lingkungan. Faktor eksternal tersebut meliputi norma, aturan atau kebijakan yang berlaku, sosialisasi, kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan. Sebagaimana faktor internal, faktor eksternal merupakan faktor yang juga sangat berpengaruh dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat.
Norma, Aturan Atau Kebijakan Yang Berlaku. Peraturan, norma atau kebijakan yang berlaku akan mengatur tindakan atau perilaku stakeholder sehingga perilaku tersebut sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab sosial. Demikian pula norma atau peraturan akan mendasari tujuan pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat. Dengan ditaatinya norma atau kebijakan yang berlaku, maka tanggung jawab sosial akan memiliki tujuan yang terarah yaitu kemandirian penyandang cacat tubuh dan keberlanjutan program kegiatan. Demikian pula adanya norma atau aturan atau kebijakan akan mempermudah untuk diadakannya kontrol serta evaluasi. Masyarakat yang tidak bermitra, dalam melaksanakan tanggung jawab sosial terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, norma atau aturan masih diwarnai kepentingan masing-masing stakeholder, misalnnya aturan yang mengatur antara pengguna tenaga kerja dengan tenaga kerja penyandang cacat tubuh sebagai suatu upaya-upaya charity serta nilai-nilai keagamaan yang kuat. Namun sebaliknya tanggung jawab sosial masyarakat yang bermitra norma atau aturan adalah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dari suatu lembaga, karena adanya sifat formalitas kerjasama serta kewajiban pelaksanaan aturan yang berlaku. Demikian pula adanya kewajiban yang berkaitan dengan ijin usaha serta adanya kebijakan interen dari pengguna tenaga kerja penyandang cacat
106
merupakan norma atau aturan yang mengatur pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat. Sosialisasi. Suatu proses pemberian informasi yang jelas, benar dan tepat, baik itu sasaran dan waktunya . Jadi sosialisasi merupakan suatu upaya memberikan bentuk pengetahuan dan pemahaman yang bersifat positf pada stakeholder dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab sosial. Dengan adanya informasi
dan pemahaman yang positif, akan membuka
peluang pelaksanaan tanggung jawab sosial yang bertujuan kearah kemandirian dan bekerlanjutan program sesuai dengan kebutuhhan tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Penyampaian informasi tentang ketenaga kerjaan penyandang cacat tubuh ini sebaiknya tidak terbatas disampaikan terhadap pengguna tenaga kerja yang telah bermitra, akan tetapi juga kepada
yang belum bermitra, dengan
melalui upaya pemberian informasi yang bersifat saling memberi dan menerima serta dalam koridor parsipatoris. Hal ini sebagai mana pendapat salah satu tokoh masyarakat di Karadenan, Bapak Tpk. “Selama ini dari pihak-pihak lembaga pemerintah kurang memberikan informasi tentang penyandang cacat tubuh terutama kepada masyarakat langsung, harus diapakan mereka, sehingga kami warga masyarakat paling-paling hanya menyarankan mendaftar untuk ikut jadi siswa agar mendapat latihan agar biasa bekerja, atau kami warga memberikan bantuan sesuai kemampuan, ada yang mempekerjakan di pabrik mi, pabrik sagu, sopir ojek atau kerja apa aja yang penting mereka tidak memnta-minta dija lan atau mabuk-mabukan itu saja pokoknya tidak bikin malu”. Berdasar pernyataan tersebut, maka sosialisasi
merupakan faktor yang
menentukan pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat. Pernyataan tomas tersebut berbeda dengan salah satu petugas pemerin tah dari pusat Bp. Rj :
“Selama ini dari kami selalu intensif melakukan sosialisasi dan hubungan dengan pihak-pihak perusahaan, instansi atau Kelompok Usaha Bersama (KUBE) tentang upaya penyaluran dan pembinaan lanjut tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Kami juga akan menjajagi kerjasama dengan Sanggar Kegiatan Belajar guna ujian persamaan Sekolah Lanjutan Atas, selain itu melalui pameran yang kami ikuti di Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten bahkan sampai tingkat Asia saat pameran Abilympiq
107
yang kami laksanakan di kantor, seminar-seminar di seluruh Indonesia sampai pembetukan sistem jaringan telah kami laksanakan yang merupakan upaya kami mmemberikan sosialisasi kepada masyarakat” Melihat pernyataan salah satu petugas tersebut, maka sosialisasi yang jelas masih terbatas kepada adanya bentuk kerjasama dan terkait dengan program pemerintah.
Dengan
demikian,
ternyata
upaya-upaya
sosialisasi
yang
dilaksanakan selama ini mulai dari tingkat Kabupaten atau Kota sampai ketingkat Asia, ternyata di tingkat Komunitas sendiri belum semua masyarakat memahami kesejahteraan bagai penyandang cacat tubuh yang dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat, artinya sosialisasi terbatas pada kalangan tetentu utamanya adanya unsur kerjasama. Dengan demikian begitu bermaknanya arti suatu sosialisasi pada pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat.
Kepemimpinan Dan Proses Pengambilan Keputusan Dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, proses pengambilan keputusan adalah satu faktor yang akan menentukan arah dan tujuan pelaksanaan tanggung jawab sosial stakeholder terhadap penyandang cacat tubuh. Pengambilan keputusan yang tepat merupakan sesuatu yang diharapkan dapat mencapai tujuan yang tepat pula. Bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh pengambilan keputusan yang tepat adalah suatu keputusan yang mampu mengarah kepada suatu kehidupan yang layak serta adanya upaya perlindungan dan kepastian hukum. Mungkin kedua hal tersebut adalah sesuatu yang bersifat sangat ideal sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan pemerintah, namun demikian pola pengambilan keputusan tersebut tetap diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi di komunitas setempat dalam suatu upaya partisipatoris. Bagi masyarakat Karadenan, sebagaimana harapan seorang penyandang cacat Slh, seorang pengusus siswa
Balai Rehabilitasi Vokasional yang kebetulan sebagai putra
Karadenan,berpendapat bahwa pengambilan keputusan dapat memberikan penguatan tanggung jawab sosial, sebagaimana pernyataannya sebagai berikut : “Pastinya saya tidak tahu, yang penting seorang pemimpin yang baik itu harus tetap memperhatikan nasib masyarakat termasuk saya, kalau pemimpin dapat mengambil keputusan yang baik, contoh yang baik serta berani menghukum yang salah, pasti bawahannya akan mengikuti yang baik pula dan tidak merugikan masyarakat, jangan mentang -mentang jadi
108
pemimpin yang keputusannya menguntungkan sebagain orang saja. Di balai ini misalnya, saya sebagai siswa, tidak boleh diperlakukan semenamena, tidak boleh hanya memanfaatkan keberadaan siswa-siswa disini hanya untuk menghabiskan uang negara, khan itu uang rakyat juga. Semua itu tergantung dari pimpinan di balai sini. Dan saya percaya dimana saja juga harus begitu namanya pimpinan wajib memperhatikan rakyat dan tidak hanya janjinya saja” Dari pernyataan terseb ut maka pengambilan keputusan dari seorang pemimpin terkait pula dengan adanya kepemimpinan dari suatu lembaga atau badan usaha tertentu, yang diharapkan dapat mengarahkan kegiatan kearah tujuan yang dikehendakai. Sebaliknya bagi masyarakat yang tidak bermitra pengambilan keputusan dan kepemimpinan sifatnya alamiah karena tidak bersifat tertulis, dan hanya berdasar unsure kewibawaan, ketulusan, kedermawanan, jiwa altruisme dari seseorang. Berikut ini adalah perbandingan faktor-faktor yang menentukan tanggung jawab social melalui bermitra dan tidak bermitra adalah sebagaimana Matrik dibawah ini :
109
Matrik 5. Perbandingan Faktor Internal Yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Bermitra Dengan Tidak Bermitra Faktor Internal
Bermitra
Tidak Bermitra
Motivasi dan kemauan dalam melakukan tanggung jawab sosial
Motivasi dan kemauan dibangun atas dasar bentuk kerjasama, terkait dengan perijinan usaha serta terkait adanya kebijakan perusahaan
Motivasi dan kemauan dibangun atas dasar pola keeratan interaksi, nilainilai keagamaan, serta kesetiakawanan serta kewajiban berpartisipasi sosial.
Kemampuan dalam melakukan tanggung jawab sosial
Kemampuan meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pengetahuan disini berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut tentang ketenaga kerjaan penyandang cacat tubuh baik itu aksesibilitasnya, keterampilannya, aturannya dll. Skill/keterampilan adalah kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial oleh pengguna tenaga kerja melalui penempatan pekerjaan yang sesuai dengan jenis kecacatan dan pemberian aksesibilitas. Sikap akan lebih professional
Kemampuan dilandasi oleh tingkat sosial ekonomi dan kebutuhan akan tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
110
Matrik 6. Perbandingan Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Bermitra Dengan Tidak Bermitra Faktor Eksternal
Bermitra
Tidak Bermitra
Sosialisasi
Lebih intensif, kontinyu, seragam dan menyeluruh terkait dengan program pemerintah pusat dan daerah
Belum intensif dan terkait kepada tanggung jawab warga atau diupayakan diserahkan kepada pemerintah.
Norma; Aturan; Kebijakan yang berlaku
Sesuai dengan aturan; norma; kebijakan yang tertulis.
Berdasar nilai-nilai keagamaan dan kesetiakawanan serta nilai-nilai positif lainnya di masyarakat.
Kepemimpinan
Bersifat formal
Bersifat informal.
Pengambilan Keputusan
Berdasar aturan dan kebijakan yang berlaku serta bersifat birokratis.
Bersifat alamiah dan adanya unsur kewibawaan sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat.
Berdasar Matrik 5 dan Matrik 6, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh baik yang bermitra maupun tidak bermitra, dari faktor internal dan faktor eksternal ternyata memiliki kekuatan dan kelemahan sebagaimana Matrik 7 dan Matrik 8 :
111
Matrik 7. Kekuatan dan Kelemahan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Dengan Bermitra Faktor-Faktor
Kekuatan
Kelemahan
Faktor Internal (motivasi, kemauan dan kemampuan)
Bersifat professional, jadi mulai dari motivasi, kemauan sampai kemampuan melaksanakan tanggung jawab sosial dilakukan melalui suatu proses dan prosedur yang telah dipersiapkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu terutama berkaitan dengan kerjasama yang telah dilaksanakan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi demikian pula anggaran tergantung dari kesepakatan sehingga terlepas dari tujuan charity semata.
Motivasi, kemauan dan kemampuan belum sifat partisipatoris karena relasi bersifat pasif antara pekerja dan pengguna tenaga kerja.
Faktor Eksternal (sosialisasi, norma, aturan, kebijakan yang berlaku, kepemimpinan, pengambilan keputusan)
Bersifat khusus dan menyeluruh sesuai kesepakatan yang didasari aturan yang berlaku. Dengan demikian kegiatan lebih jelas, mudah diukur dan terkontrol.
Terlepas dari pengaruh lokalitas komunitas dengan segala aspekaspek positif yang terdapat di stakeholders yang merupakan modal sosial di komunitas
Matrik 7 merupakan Matrik tentang kekuatan dan kelemahan faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat melalui bermitra. Adapun kekuatan dan kelemahan dari faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat yang tidak bermitra sebagaimana Matrik 8 :
112
Matrik 8. Kekuatan dan Kelemahan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Dengan Tidak Bermitra Faktor-Faktor
Kekuatan
Kelemahan
Faktor Internal (motivasi, kemauan dan kemampuan)
Dibangun berdasar nilainilai keagamaan, keeratan interaksi dan kesetiakawanan sosial. Dengan demikian lebih berorientasi pada aspek aspek sosial kemasyarakatan, sehingga tanggung jawab sosial dilaksanakan berdasar relasi yang bersifat aktif dan tidak birokratif.
Sangat tergantung pada pengguna tenaga kerja baik dari sisi motivasi, kemauan dan kemampuan akhirnya tidak menimbulkan kemandirian dan merupakan prestise yang akan memberikan nama baik bagi pengguna tenaga kerja
Faktor Eksternal (sosialisasi, norma, aturan atau kebijakan yang berlaku, kepemimpinan, pengambilan keputusan)
1. Bersifat fleksibel, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di komunitas lokal. 2. Tidak berdasar aturan yang tertulis.
Sulit untuk diadakan evaluasi dan kontrol.
Berdasar Matrik 7 dan 8, tentang kekuatan dan kelemahan faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab sosial baik yang bermitra dan tidak bermitra, maka dapat dianalisis bahwa potret tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh perlu adanya suatu strategi yang bersifat partisipatoris untuk dapat mengambil kekuatan dari masing-masing
tanggung
jawab sosial dan mencari solusi permasalahan yang ada, sehingga diperoleh suatu penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh.
113
PERENCANAAN PARTISIPATIF
Kegiatan perencanaan partisipatif bertujuan mencari strategi penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Strategi penguatan tanggung jawab sosial bertujuan
tercapainya kemandirian
penyandang cacat tubuh dan keberlanjutan program. Perencanaan partisipatif dilaksanakan dan
dirumuskan bersama-sama oleh stakeholder di Komunitas
Karadenan. Program yang dirumuskan merupakan hasil dari pendataan dan penilaian kebutuhan serta permasalahan nyata yang ternyata dihadapi di masyarakat Karadenan, terutama dalam upaya mengatasi permasalahan pengangguran serta kehidupan yang layak bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Ketika mengadakan proses penilaian kebutuhan serta permasalahan, pengkaji juga mengadakan suatu proses diskusi dengan warga yang terkait dengan penyandang cacat tubuh. Tujuan diadakannya diskusi adalah sebagai upaya yang bersifat partisipatoris yang akhirnya akan menghasilkan suatu program yang bersifat aspiratif dan diharapkan akan terus berkesinambungan.
LATAR BELAKANG
Berlatar belakang dari adanya permasalahan tentang bagaimana stategi yang bersifat partisipatif dalam upaya penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui kemitraan lokal, telah dilakukan serangkaian kegiatan yang dimulai dari kegiatan pemetan sosial, evaluasi program pengembangan masyarakat, analisis penguatan tanggung jawab sosial yang meliputi performa tanggung jawab sosial masyarakat baik yang bermitra dan yang tidak bermitra serta faktor-faktor
yang mempengaruhi
tanggung jawab sosial masyarakat dan akhirnya kegiatan perencanaan program partisipatoris. Perencanaan program partisipatoris melibatkan stakeholder yang terdapat di komunitas Karadenan yaitu tokoh-tokoh masyarakat dan agama, pengguna tenaga
114
kerja penyandang cacat tubuh
meliputi unsur pengusaha dan wiraswasta,
pemerintahan lokal dan pemerintahan pusat melalui Unit Pelaksana Teknis Balai rehabilitasi Vokasional di Karadenan , Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, petugas Sanggar Kegiatan Belajar serta penyandang cacat tubuh di Karadenan. Berdasar serangkaian kegiatan serta komunitas yang terlibat didalamnya maka disusunlah suatu rancangan program partisipatif berupa penguatan tanggung jawab sosial masyarakkat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui kemitraan lokal.
TUJUAN DAN SASARAN
Disusunnya rancangan program yang partisipatoris adalah dalam rangka penguatan tanggung jawab social masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tuuh melalui kemitraan lokal di Kelurahan Karadenan. Dengan demikian, tujuan disusunnya
rancangan program ini adalah
menentukan suatu bentuk
strategi yang bersifat lokal dalam rangka upaya pengembangan masyarakat melalui tanggung jawab sosial, untuk mengatasi masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh kearah suatu bentuk kemandirian dan keberlanjutan program. Sasaran rancangan program ini adalah masyarakat sebagai pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang berada di komunitas Kelurahan Karadenan serta penyandang cacat tubuh di Karadenan.
IDENTIFIKASI POTENSI DAN MASALAH
Identifikasi Potensi Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan adalah melalui suatu proses diskusi kelompok yang dilaksanakan pada tanggal 2 Agustus 2005 di Kelurahan Karadenan. Diskusi dikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat dan agama, pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh meliputi unsur pengusaha dan wiraswasta, pemerintahan lokal dan pemerintahan pusat di Balai Rehabilitasi Vokasional, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, petugas
115
Sanggar Kegiatan belajar serta penyandang cacat tubuh. Kehadiran mereka sekaligus sebagai subyek kajian. Dalam pelaksanan diskusi tersebut pengkaji penyampaikan beberapa potensi dan permasalahan yang diperoleh dari hasil pengumpulan data melalui wawancara, studi dokumentasi, observasi mulai dari pemetaan sosial, evaluasi program pengembangan masyarakat serta dalam kegiatan analisis
penguatan
tanggung jawab social masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Dalam kesempatan diskusii tersebut, pengkaji penyampaikan potensi tanggung jawab sosial masyarakat dalam mengatasi masalah yan g didasari oleh adanya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kesetiakawanan serta adanya suatu bentuk kerjasama dan jaringan sosial. Di Karadenan juga terdapat adanya suatu bentuk aktifitas perekonomian dan lembaga-lembaga sosial serta lembaga pemerintah yang telah bersama-sama mengatasi permasalahan yang terdapat di Karadenan sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial masyarakat. Potensi yang terdapat di Karadenan tersebut ternyata telah pula dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam rangka mengatasi permasalahan sosial yang ada terutama dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pengagguran khususnya penyandang cacat tubuh. Potensi lain yang dimiliki adalah adanya kepemimpinan yang berwibawa baik yang bersifat formal dan informal dimasyarakat.
Masalah Berdasarkan identifikasi,
maka
nampak bahwa tangguung jawab sosial
terhadap penyandang cacat melalui kemitraan, adalah masih lemahnya keberlanjutan program dan adanya sifat ketergantungan terhadap pengguna tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Untuk itulah diperlukan suatu strategi yang bersifat profesional dan partisipatoris dengan pelibatan stakeholder di masyarakat, serta tidak meninggalkan potensi-potensi yang dimiliki secara spesifik di komunitas lokal. Identifikasi tersebut dapat dilihat berdasar performa tanggung jawab sosial masyarakat melalui kemitraan dan tidak melalui kemitraan yang berdasar kepada aspek ekonomi dan sosial dan lingkungan. Demikian pula berdasar faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat terhadap penyandang
116
cacat tubuh yang terdiri atas faktor internal dan eksternal sehingga diperoleh adanya prinsip-prinsip tanggung jawab sosial yang memiliki tujuan-tujuan khusus. Bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh, kebutuhan secara spesifik berupa pemberian aksesibilitas yang bertujuan membantu dan memberikan kemudahan melaksanakan aktifitas. Sedangkan secara umum sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat adalah memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lainnya. Demikian juga pemberian kesempatan untuk hidup yang layak sesuai dengan perikemanusian sebagaimana warga negara lainnya.
117
PROGRAM AKSI
Program aksi yang telah disusun bersama stakeholder yaitu : Tabel 16. Rancangan Program Penguatan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Terhadap Penyandang Cacat Tubuh Melalui Kemitraan Lokal Program
Tujuan
Sasaran
Pelak sana Petugas UPT Depsos dan Pemerin tahan lokal.
Pendu kung Pemerintah Kabu paten.
Jadwal Kerja 3 hari
Program Evaluasi dan Pembinaan Lanjut pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat.
Mengetahui sejauhmana pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat yang telah dilaksanakan dan mencari upaya pemecahan masalah secara bersama-sama.
. Pengusaha dan wiraswasta. . Tomas RT, RW . Toga . LPM . Petugas UPT Diknas . PSM . Penca
Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat
Terciptanya pola relasi dan komunikasi yang efektif antar stakeholder, dalam rangka pelayanan rehabilitasi vokasional ditingkat lokal.
. Pengusaha dan wiraswasta. . Tomas RT, RW . Toga . LPM . Petugas UPT Diknas . PSM . Penca
Petugas UPT Depsos dan Pemerin tahan lokal.
Pemerintah Kabu paten.
1 tahun
Pembentukan Jejaring Kolaborasi antar Stakeholders.
Meningkatkan dan penggalangan dukungan kerjasama dalam upaya penguatan tanggung jawab sosial masyarakat melalui pola kemitraan.
. Pengusaha dan wiraswasta. . Tomas RT, RW . Toga . LPM . Petugas UPT Diknas . PSM . Penca
Petugas UPT Depsos dan Pemerin tahan lokal.
Pemerintah Kabu paten.
1 tahun
118
Program Evaluasi dan Pembinaan Lanjut Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat. Pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap penyandang cacat tubuh yang terdapat di Karadenan yang dilaksanakan melalui pola kerjasama merupakan potret dari pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagaimana petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan anggaran pemerintah. Disisi lain, pengusaha sebagai pengguna tenaga kerja penyadang cacat tubuh melaksanakan tanggung jawab sosial sebagai upaya pelaksanaan anggaran sosial di perusahaan serta terkait adanya kewajiban berpartisipasi sosial dari dilaksanakannya suatu produksi di suatu wilayah tertentu. Demikian pula sebagai warga yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosial, berdasar rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi, nilai-nilai keagamaan ataupun nilai-nilai positif lain yang melekat dan telah melembaga di Komunitas Karadenan, memberikan gambaran tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh sebagai suatu upaya yang bersifat charity. Berdasar hal-hal tersebut maka diadakan suatu program evaluasi dan pembinaan lanjut dari pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang selama ini telah dilakasanakan di Karadenan. Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan meliputi : 1. Sosialisasi tentang kebutuhan, hak, kewajiban dan peranan penyandang cacat tubuh serta aturan atau upaya perlindungan hukum terhadap penyandang cacat tubuh. 2. Mengadakan kunjungan kelokasi kerja dan kunjungan kerumah tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat diadakan evaluasi dari pelaksanaan tanggung jawab sosial terhadap penyandang cacat yang telah dilaksanakan dan ditemukan permasalahan yang timbul agar dapat dicarikan solusi pemecahan masalaha secara bersama-sama. Evaluasi dan Pembinaan lanjut ini dilaksanakan secara partisipatoris melalui suatu aktifitas aktif memberikan suasana pemecahan masalah.
dengan
aktif dengan pembahasan kasus, role play, simulasi serta
119
Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat. Pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap penyandang cacat tubuh di Karadenan telah berkembang dan terbuka untuk terus meningkat. Namun demikian tanggung jawab sosial yang dilaksanakan, berorientasi kepada tujuan pelaksanaan kebijakan perusahaan, kewajiban yang berkaitan dengan ijin usaha, pelaksanaan dari program pemerintah melalui kerjasama serta tujuan carity berdasar nilai-nilai keagamaan atau kesetiakawanan. Kondisi yang kondosif ini diperlukan suatu pola relasi dan komunikasi agar tujuan dari upaya tanggung jawab sosial berorientasi kearah kemandirian serta adanya kesinambungan program. Sebagai solusi adalah dibentuknya forum komunikasi masyarakat dengan pertimbangan akan menimbulkan kesadaran dan kepedulian warga masyarakat terhadap
permasalahan
mengantisipasi
dikomunitasnya.
Tujuan
lainnya
adalah
untuk
permasalahan yang akan muncul dikemudian hari serta
mengakomodir aspirasi warga dalam memecahkan masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh serta terbuka untuk penyandang cacat lainya dengan permasalahan yang sama. Hal-hal yang perlu diperhatikan dengan dibentuknya forum komunikasi masyarakat adalah : 1. Adakan sosialisasi tentang bentuk forum berupa kelompok-kelompok kerja, tujuan dan fungsi dari masing-masing kelompok kerja serta tujuan secara umum. 2. Realisasi kelomppok kerja bersifat partisipatoris dengan melibatkan stakeholder di komunitas lokal, agar dapat saling bekerjasama dan bekerja sesuai kemampuan dan tanggung jawab masing-masing. 3. Forum merupakan forum kemitraan dan bukan milik satu stakeholder dan tidak ada sub ordinasi. Untuk itulah dibentuk suatu sekretariat khusus.
120
Program Pembentukan Jejaring Kolaborasi Antar Sta keholders. Upaya memperoleh keberhasilan dalam menyelesaikan masalah
secara
optimal dan efektif, diperlukan banyak keterlibatan fihak-fihak terkait. Untuk membentuk suatu kerjasama antar warga secara efektif perlu dibentuk suatu jaringan kerjasama yang kolaboratif. Prinsip -prinsip yag terpenting dalam pembentukan jejaring antar stakeholders adalah dapat dilaksanakan berdasarkan aktifitas sosial yang mewarnai kerjasama antar warga baik yang bersifat formal dan informal. Bentuk jejaring kolaboratif sebaiknya tidak perlu diformalkan agar kualitas norma dan nilai yang mengikat masyarakat secara positif tetap lestari. Namun demikian bentuk jejaring kolaboratf tidak menutup kemungkinan dilaksanakan dan dikuatkan melalui suatu bentuk yang lebih bersifat formal. Kondisi ini dimungkinkan agar tercipta adanya kepastian hukum dalam rangka upaya perlindungan terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Namun demikian sifat formal dari suatu jejaring kolaboratif tetap berdasar dan berlatar belakang nilai-nilai kearifan lokal di komunitas Karadenan. Untuk itulah maka pola-pola kemitraan lokal lebih relefan dalam pelaksanaan jejering kolaboratif ditingkat lokal. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah jaringan kerjasama antara warga dengan pihak-pihak diluar wilayahnya. Sehingga keterlibatan aparat daerah baik ditingkat kecamatan dan kabupaten dapat dijadikan sebagai patner dan regulator kegiatan. Program ini sangat bermanfaat guna penguatan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh kearah suatu program yang berkelanjutan, selain juga dapat membuka peluang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang dapat mendukung penguatan tanggung jawab sosial masyarakat.
Sebagai syarat yang diharapkan ada adalah adanya kerelaan untuk
secara intensif melibatkan diri secara bersama-sama seluruh stakeholder sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian mampu mengkombinasikan fungsi-fuungsi
yang diperlukan bagi penyelesaian masalah ketenaga kerjaan
penyandang cacat tubuh.
121
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN
1. Permasalahan sosial di Karadenan adalah keluarga miskin, pengangguran dan rendahnya tingkat pendidikan yang
secara spesifik dialami oleh sebagian
warga yang mengalami kecacatan fisik. 2. Sebagai wujud dari tanggung jawab sosial masyarakat, pemerintah secara bermitra dan masyarakat secara swadaya (tidak bermitra) berupaya mengatasi masalah tenaga kerja penyandang cacat tubuh terutama dalam penyediaan lapangan pekerjaan. 3. Performa tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh melalui bermitra lebih baik untuk dilaksanakan dibanding yang tidak bermitra. 4. Tanggung jawab sosial masyarakat yang bermitra berdasarkan aspek ekonomi: 1.
Terkait adanya pelaksanaan aturan pemerintah bahwa 1 (satu) persen dari karyawan yang bekerja diperusahaannya adalah tenaga kerja penyandang cacat.
2.
Sebagian dari profit perusahaan digunakan untuk kepentingan sosial masyarakat sekitar.
5. Tanggung jawab sosial masyarakat yang bermitra berdasar aspek sosial dan lingkungan: 1.
Interaksi antara pengguna tenaga kerja dengan tenaga kerja penyandang cacat tubuh sesuai status dan keterampilan.
2.
Nilai-nilai kesetiakawanan karena adanya kesamaan daerah.
3.
Upaya perlindungan
dan kepastian hukum terhadap tenaga kerja
penyandang cac at tubuh sesuai aturan pemerintah. 6. Performa tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang tidak bermitra, berdasar aspek ekonomi: 1.
Harapan saling menguntungkan berdasar kesepakatan
dan umumnya
tidak tertulis. 2.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial tergantung profit pengguna tenaga kerja.
122
7. Performa tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh yang tidak bermitra, berdasar aspek sosial dan lingkungan: 1.
Interaksi yang dilaksanakan secara kekeluargan.
2.
Nilai kesetiakawanan dengan harapan mendapat nilai-nilai kebaikan (prestise) serta harapan memperoleh pahala berdasar nilai-nilai keagamaan.
3.
Perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kerja penyandang cacat tidak menjadi kewajiban pengguna tenaga kerja.
8. Tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh, dipengaruhi faktor internal dan eksternal. 1.
Faktor internal : a. motivasi dan kemauan dibangun atas dasar bentuk kerjasama, terkait dengan ijin usaha serta adanya kebijakan perusahaan. b. kemampuan meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mendasari pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat secara professional.
(2)
Faktor eksternal : a. sosialisasi dilaksanakan secara intensip, kontinyu dan menyeluruh terkait pada program pemerintah daerah dan pusat. b. aturan dan kebijakan secara tertulis. c. kepemimpinan bersifat formal dan pengambilan keputusan secara birokratis melalui suatu perencanaan.
9. Bersama-sama masyarakat secara partisipatoris membuat suatu strategi penguatan tanggung jawab sosial masyarakat melalui : Program Evaluasi dan Pembinaan Lanjut Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat yang telah dilaksanakan,
dilanjutkan
dengan
pembentukan
Forum
Komunikasi
Masyarakat sebagai wadah aspirasi dan pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang cacat tubuh dan agar tercapai keberlanjutan, program dilaksanakan melalui upaya pembentukan
Jejaring
Kolaboratif Antar Stakeholders di komunitas daalam dan luar Karadenan, sebagai upaya penguatan tanggung jawab social masyarakat.
123
REKOMENDASI
Faktor-faktor yang mempengaruhi tanggung jawab sosial masyarakat : (1) faktor internal meliputi motivasi, kemauan dan kemampuan, (2) faktor eksternal meliputi sosialisasi, aturan dan kebijakan yang berlaku, kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan. Hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh : 1.
Departemen Sosial : (a)
upaya sosialisasi tentang peran dan tanggung jawab masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat tubuh sesuai peraturan yang berlaku.
(b)
evaluasi dan peninjauan kembali kebijakan kerjasama yang telah dilaksanakan.
2. Pemerintah Daerah : (a)
pembuatan peraturan daerah sebagai pelaksanaan peraturan pemerintah, yang secara spesifik disesuaikan dengan komunitas.
(b)
memfasilitasi pelaksanaan peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial cacat tubuh di komunitas.
bagi penyandang
124
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Pengantar dan Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi-Universitas Indonesia; Craner, Lorne W. 2002. Promoting Corporate Social Responsibility Abroad The M.T. Human Rights and Democracy Perspective. Washington DC; Cannon, Tom. 1995. Corporate Responsibility Tanggung Jawab Perusahaan. Jakarta : PT Elex Media Komputindo; Departemen Sosial RI. 1997. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, Tentang Penyandang Cacat. Jakarta : Biro Hukum; Departemen Sosial RI. 1997. Pusat Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa atau National Vocational Rehabilitation Cenre, Cibinong. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial Direktorat Rehabilitasi Penyandang Cacat; Departemen Sosial RI. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Jakarta : Biro Hukum; Departemen Sosial RI. 2004. Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial; Departemen Sosial RI. 2004. Badan Usaha yang menyelenggarakan Usaha Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial; Haeruman, Herman dan Eryatno. 2001. Kemitraan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta : Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan Business Innovation Centre of Indonesia; Hikmat, Harry dan Adimihardja, Kusnaka. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama; Horton, Paul B.and Hunt, Chester L. 1996. Sosiologi. Jakarta : Erlangga; Hurlock, Elizabeth B. 1996. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga;
125
Ife, Jim. 2002. Community Development : Community Based Alternatives in an Age of Globalization. Australia : Person Education; Khairuddin. 2000. Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta : Liberty; Korten, Dafid C and Rudi Klauss (eds). 1984. People Centered Development Contributions toward Theory and Planning Frameworks. Connecticut : Kumarian Press, Inc; Lyntoon, R.D. dan Pareek, U, terjemahan. 1992. Pelatihan dan Pengemban gan Tenaga Kerja. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo; Monk, F.J, Knoers AMP ddan Haditono,S.R. 1991. Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada Univercity Press; Nasution, S, MA, Prof. DR. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara; Norio, Tanaka. 2001. Apa itu Asessmen Vokasional. Jakarta : Japan International Corporation Agensi (JICA); Pudjianto, Bambang, 2002. Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial Volume 7 Nomor 4 tentang Pelatihan Kematangan Vokasional Untuk Memasuki Dunia Kerja Pada Penyandang Cacat Tubuh. Jakarta : Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI; Reksadjaya, Bill S, editorial. 2002. Kelainan, Kecacatan, Keragaman, Penyimpangan dan Kebedaan. Jakarta; Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI; Syaukani, Gaffar Afan, Rasy id Ryaas. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar; Soekanto, Soerjono.1987. Sosiologi Industri Suatu pengantar. Bandung : PT Remaja Karya; Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Manajemen PT Raja Grafindo Persada; Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Spektrum Pemikiran. Bandung : Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial; {USCIB}, The United States Council for International Business, Jurnal. 2002. Advancing Corporate Responsibility. The United States;
126
Yamin, Martinis. 2003. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jambi : Gaung Persada Press; Yin, Robert K, Prof. DR. 2002. Studi Kasus (Desain Dan Metode). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada; Yoshimitsu, Kiyoshi. 2003. Rehabilitasi Vokasional Bagi Penyandang Cacat. Jakarta : Japan International Corporation Agensi; …….Himpunan Peraturan tentang Penyandang Cacat. 2002 Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja Direktorat Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja; …….Himpunan Lembaran Daerah Kabupaten Bogor tentang Desa/Kelurahan. 2000/2001. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor; …….Materi Bintek Kemitraan Otonomi Daerah, Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Swasta dan Masyarakat. 2005. Jakarta : Departemen Dalam Negeri Diektorat Jenderal Otonomi Daerah bekerjasama dengan Japan International Corporation Agensi; …….Materi Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Tingkat I. 2004. Yogyakarta Badan Perencanaan Nasional; …….Rekapitulasi Laporan Tahunan, Seksi Resosialisasi dan Pembinaan Lanjut tentang Data Penyaluran Siswa. Cibinong : Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa; …….Data Potensi Kelurahan Karadenan Oktober 2004.