II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Penyandang Cacat Tubuh Penyandang cacat tubuh atau tuna daksa adalah suatu kondisi yang ada pada anak, yang memiliki kelainan pada tubuhnya atau daksa, baik yang berupa kelainan bentuk tubuh atau hilangnya sebagian atau seluruh anggota tubuh tertentu ataupun gangguan dalam fungsi-fungsi tulang, alat, dan persendian. (Irbani, 1990 dalam Isparjianti, 2008). Menurut Harum (1989) dalam Isparjianti (2008), yang dimaksud dengan cacat tubuh adalah kelainan tubuh atau tuna daksa yang dalam bahasa asing disebut dengan cripple, sedangkan Ekdiri (1990) dalam Isparjianti (2008) menyatakan bahwa yang dimaksud cacat tubuh atau tuna daksa adalah kelainan pada tubuh baik berupa kelainan bentuk tubuh, tidak sempurnanya organ tubuh maupun terjadinya gangguan fungsi tulang, alat, dan persendian. Menurut Suharman (1981) dalam Isparjianti (2008), faktor penyebab terjadinya kecacatan adalah sebagai berikut. 1. Penyakit Dengan adanya kemajuan di bidang ilmu kedokteran, angka kecacatan akan meningkat, hal ini disebabkan karena orang yang menderita penyakit tertentu dapat diselamatkan jiwanya meskipun meninggalkan bekas, yaitu cacat. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan, misalnya, adalah penyakit polio, TBC tulang, TBC sendi, dan Catitis lepra. 2. Kecelakaan Kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan orang menjadi cacat. Kecelakaan karena lalu lintas ini dapat berupa jatuh dari kendaraan, tertabrak mobil, dan tergilas kereta api. 3. Kecelakaan dalam pekerjaan Apabila bekerja di perusahaan tertentu yang berhadapan dengan mesin-mesin, dalam menjalankan mesin-mesin tersebut ada kalanya pekerja berlaku lengah yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja, misalnya berupa anggota tubuh yang tergilas mesin.
5
4. Peperangan Peperangan merupakan bencana yang tidak menimbulkan keuntungan bagi semua pihak. Mereka yang menang atau yang kalah mengalami pengorbanan yang besar. Akibat dari peperangan ini banyak korban yang mengalami kecacatan, sehingga kaki atau tangannya perlu diamputasi. 5. Cacat sejak lahir Cacat sejak lahir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) cacat bawaan, artinya begitu lahir sudah tampak cacat, atau anak lahir anggota badannya tidak lengkap, dan (b) anak lahir dalam keadaan normal atau sempurna, tetapi dalam pertumbuhannya tampak adanya kelainan. Penyandang cacat tubuh dapat digolongkan berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut (Saerogo dan Sutomo, 1976 dalam Isparjianti, 2008). 1. Penggolongan cacat diklasifikasikan menjadi (a) amputasi (atas kaki dan lengan tangan), (b) cacat tulang, persendian tungkai, dan persendian lengan, (c) cacat tulang pinggul, termasuk paraplegia dan, (d) TBC tulang dan sendi. 2. Penggolongan cacat tubuh berdasarkan tujuan untuk membutuhkan pertolongan rehabilitasi, terutama pada penempatan tenaga cacat dalam pekerjaan, yaitu (a) penyandang cacat yang hanya memerlukan pertolongan dalam penempatan pada pekerjaan yang cocok, (b) penyandang cacat yang karena kecacatannya memerlukan pelatihan keterampilan (vocational training) untuk ditempatkan dalam jabatan-jabatan biasa, (c) penyandang cacat yang setelah diberikan pertolongan
rehabilitasi
dan
latihan-latihan
mendapat
pekerjaan
dan
perlindungan, dan (d) penyandang cacat yang karena sedemikian berat cacatnya akan terus-menerus memerlukan perawatan dan tidak produktif. 3. Penggolongan penyandang cacat tubuh berdasarkan berat atau ringannya kecacatan, yaitu sebagai berikut: a. cacat ringan, yakni kecacatan yang tidak akan mempengaruhi dan menghambat sama sekali terhadap kegiatan sehari-hari, misalnya kehilangan salah satu jari kaki atau tangan; b. cacat sedang, yakni kecacatan yang banyak mengganggu kegiatan yang dilakukan sehari-hari dan tidak dapat melaksanakan sebagian kecil dari
6
seluruh aktivitas sehari-hari, misalnya cacat amputasi lengan kiri/kanan dan kaki jinjit; c. cacat berat, kecacatan yang mengakibatkan tidak dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari sehingga mereka perlu mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis, sosial, dan psikologis, misalnya kelainan pada seluruh anggota badan, paraplegia komplit, dan kehilangan kedua lengan; d. cacat parah, kecacatan yang mengakibatkan penyandang cacat tidak dapat melakukan semua kegiatan dan selalu memerlukan perawatan khusus atau mendapatkan perawatan medis dan tanpa latihan kerja sehingga mereka perlu diberikan kesibukan-kesibukan yang ringan, misalnya marsela siscopy. 2. 2. Ruang Terbuka Simonds (1983) mengartikan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai suatu karakter arsitektural ketika ruang tersebut tertutup secara keseluruhan ataupun hanya sebagian saja oleh elemen arsitektural. RTH terbuka ke arah langit sehingga memiliki keuntungan mendapat limpahan sinar matahari, pola-pola bayangan, banyaknya udara yang mengalir, serta dapat melihat warna langit dan keindahan dari awan-awan yang bergerak. RTH juga memiliki beberapa fungsi yang berbeda seperti rekreasi pada grup asrama atau tempat latihan militer yang diapit oleh barak tentara. Terlepas dari apakah RTH tersebut berkaitan atau tidak dengan struktur yang digunakan, ruang tersebut haruslah berada dalam karakter struktur tersebut. Menurut Permendagri No. 1 Tahun 2007, ruang terbuka adalah ruangruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk kawasan/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka hijau kawasan perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Penataan RTHKP adalah proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian RTHKP (Depdagri, 2007). Tujuan penatan RTHKP (Depdagri, 2007) adalah a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
7
b. mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan; c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih, dan nyaman. Fungsi RTHKP (Depdagri, 2007) adalah a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; b. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara; c. tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati; d. pengendalian tata air; e. sarana estetika kota. Manfaat RTHKP (Depdagri, 2007) adalah a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial; d. sarana peningkatan ekonomi lahan perkotaan; e. sarana penumbuhan rasa bangga dan peningkatan prestise daerah; f. sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa, dan manula; g. sarana evakuasi untuk keadaan darurat; h. sarana peningkatan cadangan oksigen perkotaan. Pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang alam berdasarkan aspek biogeografis dan struktur ruang kota serta estetika. Pembentukan RTHKP harus mencerminkan karakter alam dan/atau budaya setempat yang bernilai ekologis, historis, dan panorama yang khas dengan tingkat penerapan teknologi (Depdagri, 2007). Disebutkan juga dalam Permendagri No.1 Pasal 6 Tahun 2007 mengenai jenis RTHKP, yaitu meliputi taman kota; taman wisata alam; taman rekreasi; taman lingkungan perumahan dan pemukiman; taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial; taman hutan raya; hutan kota; hutan lindung bentang alam seperti gunung, bukit lereng, dan lembah; cagar alam; kebun raya; kebun binatang; pemakaman umum; lapangan olah raga; lapangan upacara; lapangan parkir terbuka; lahan pertanian perkotaan; jalur di bawah tegangan tinggi (saluran udara tegangan tinggi/SUTT dan saluran udara tegangan ekstra tinggi/SUTET); sempadan sungai, pantai, bangunan, situ, dan rawa; jalur
8
pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas, dan pedestrian; kawasan dan jalur hijau; daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; taman atap. RTH ideal menurut Undang-Undang No. 1 Pasal 9 Tahun 2007 adalah 20% yang mencakup RTHKP publik dan privat. RTHKP publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten, sedangkan RTHKP privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan, dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota (kecuali DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi). Permendagri No.1 Tahun 2007 Pasal 12 Butir 5 dan 6 menyatakan bahwa pemanfaatan RTHKP privat dikelola oleh perseorangan atau lembaga/badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pemanfaatan RTHKP diperkaya dengan memasukan berbagai kearifan lokal dalam penataan ruang dan konstruksi bangunan taman yang mencerminkan budaya setempat. Permendagri No. 1 Tahun 2007 Pasal 13 mengatur mengenai pengembangan RTHKP dengan mengisi berbagai macam vegetasi yang disesuaikan dengan ekosistem dan tanaman khas daerah. Vegetasi yang dimaksud juga disesuaikan dengan bentuk dan sifat serta peruntukannya, yaitu a. botanis, merupakan campuran jenis pohon ukuran kecil, ukuran sedang, ukuran besar, perdu setengah pohon, perdu, semak, dan tanaman penutup tanah/permukaan; b. arsitektural, merupakan heterogenitas bentuk tajuk membulat, menyebar, segitiga, bentuk kolom, bentuk tiang, memayung, dan menggeliat, serta mempunyai nilai eksotik dari sudut warna bunga, warna daun, buah, tekstur batang struktur percabangan; c. tanaman
yang
dikembangbiakan
tidak
membahayakan
manusia
dan
memperhatikan estetika. Taman merupakan salah satu jenis RTH yang menjadi daya tarik lingkungan yang memberikan nilai tambah. Taman dalam pengertian terbatas merupakan lahan yang ditata sedemikian rupa sehingga mempunyai keindahan, kenyamanan, dan keamanan bagi pemilik atau penggunanya (Arifin, 2005).
9
2. 3. Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Douglass
(1982)
mengartikan
rekreasi
sebagai
suatu
kegiatan
menggunakan waktu luang yang menyenangkan dan konstruktif dan memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman mental dan fisik dari sumber daya alam dalam waktu dan ruang yang terluang. Rekreasi dapat dilakukan baik di dalam ruangan maupun di luar ruang terbuka. Rekreasi alam terbuka adalah semua kegiatan rekreasi yang dilakukan tanpa dibatasi suatu bangunan, atau rekreasi yang berhubungan dengan lingkungan dan berorientasi pada penggunaan sumber daya alam seperti air, hutan, pemandangan alam, atau kehidupan di alam bebas. Pada prinsipnya, rekreasi adalah semua kegiatan manusia yang berhubungan dengan kesenangan yang dilakukan untuk mengembalikan kesegaran mental dan beban pikiran sehingga kelanjutannya dapat beraktivitas dengan baik. Menurut Douglass (1982), berdasarkan pengalaman yang ditimbulkannya, aktivitas rekeasi dapat dikategorikan sebagai berikut: a. rekreasi fisik, yang memerlukan pengerahan tenaga atau usaha fisik sebagai pengalaman utama aktivitas; b. rekreasi sosial yang melibatkan interaksi sosial sebagai pengalaman utama; c. rekreasi kognitif, yang meliputi aktivitas budaya, pendidikan, kreatif, atau estetis; d. rekreasi yang berkenaan dengan lingkungan, yang memerlukan pemanfaatan sumber daya alam seperti air, pepohonan, hujan, pemandangan alam, atau kehidupan liar di alam bebas untuk menyediakan suasana khas bagi aktivitasnya. Menurut Gold (1980) rekreasi adalah melakukan berbagai aktivitas pada waktu luang yang bertujuan mencapai kepuasan pribadi dan mendapat pengalaman pribadi. Sumber daya rekreasi adalah tempat tujuan bagi orang yang melakukan aktivitas rekreasi. Ketersediaan sumber daya untuk rekreasi merupakan jumlah dan kualitas dari sumber daya yang tersedia di tempat rekreasi yang dapat digunakan pada waktu tertentu. Rekreasi aktif adalah bentuk pengisian waktu senggang yang didominasi oleh kegiatan fisik dan partsispasi langsung dalam kegiatan tersebut, seperti olah
10
raga dan bentuk-bentuk permainan lain yang banyak memerlukan kegiatan fisik (Depdagri, 2007). Rekreasi pasif adalah bentuk kegiatan waktu senggang yang lebih kepada hal-hal yang besifat tenang dan relaksasi untuk stimulasi mental dan emosional, tidak didominasi kegiatan/pergerakan fisik atau partisipasi langsung pada bentuk permainan atau olah raga (Depdagri, 2007). 2.4. Taman Hortikultura Taman hortikultura merupakan perpaduan dari tanaman sayur yang ditanam di pot, vertikultur, atau lahan. Namun, perpaduan ketiga tempat tersebut tidak bersifat mutlak. Bisa jadi, taman hanya terdiri dari tanaman di pot saja, tanaman di vertikultur saja, atau tanaman di lahan saja. Taman hortikultura dapat didesain di halaman depan, halaman belakang, atau teras (Supriati et al., 2008). Vertikultur adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang diambil dari istilah verticulture dalam bahasa Inggris. Istilah ini berasal dari dua kata, yakni vertical dan culture. Makna vertikultur adalah sistem budi daya pertanian yang dilakukan secara vertikal atau bertingkat. Sistem ini sangat cocok diterapkan khususnya oleh siapa saja yang memiliki lahan sempit atau terbatas. Vertikultur dapat pula diterapkan pada bangunan-bangunan bertingkat, perumahan umum, atau bahkan pada pemukiman di daerah padat yang tidak mempunyai halaman sama sekali. Dengan metode vertikultur ini, kita dapat memanfaatkan lahan semaksimal mungkin. Untuk mendapatkan keindahan, aneka tanaman hias pun dapat ditanam secara bertingkat (Widarto, 1994). Beberapa kelebihan penanaman dengan sistem vertikultur (Widarto, 1994), antara lain, adalah sebagai berikut: 1. memperbanyak jumlah tanaman yang ditanam jika dibandingkan dengan penanaman secara konvensional; 2. menghemat pemakaian pupuk karena media tanam berada pada suatu wadah sehingga pupuk yang diberikan tidak mudah tercuci oleh air hujan; 3. menghemat penggunaan pestisida, khususnya pestisida untuk serangga tanah jika menggunakan media steril; 4. mengurangi pekerjaan pencabutan rumput karena penanaman secara vertikal mengurangi tumbuhnya gulma;
11
5. mencegah kerusakan karena hujan, mengingat bangunan vertikal diberi atap dari plastik atau paranet; 6. menghemat biaya penyiraman karena atap dari plastik atau paranet; 7. meningkatkan efisiensi penggunaan lahan karena vertikultur dapat diterapkan pada lahan yang sempit; 8. menghadirkan nilai estetik atau keindahan, terlebih jika dikombinasikan dengan tanaman hias; 9. memudahkan pemindahan tanaman ke tempat yang lain karena ditanam dalam wadah (pot); 10. mempermudah pelaksanaan pemeliharaan karena tanaman mengelompok pada suatu lokasi. Meskipun banyak memiliki kelebihan, sistem vertikultur tidak lepas dari beberapa kekurangan (Widarto, 1994). Kekurangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. rawan terhadap serangan jamur jika populasi tanamannya tinggi (akibat kelembaban udaranya juga tinggi, terlebih dengan adanya atap dari plastik atau paranet); 2. investasi awalnya cukup tinggi terutama untuk membuat bangunan vertikultur. 3. sistem penyiramannya harus dilakukan secara kontinyu (setiap hari) sekalipun turun hujan karena adanya atap yang melindungi tanaman dari guyuran hujan; 4. tidak adanya tangga atau bangku yang dapat dinaiki, khususnya untuk pemeliharaan dan pemanenan pada tingkat bangunan vertikultur yang tinggi. Pada pola bertanam vertikultur di ruang terbuka perlu diperhatikan jenis tanaman sayuran yang dipilih. Untuk kondisi demikian, jenis sayuran yang dapat ditanam pun sebaiknya yang tahan sengatan matahari langsung seperti sawi, selada, dan seledri. Selain itu, pemilihan sayuran juga didasarkan pada sosok tanaman yang tidak terlalu tinggi dan akarnya juga tidak terlalu panjang mengingat volume vertikultur yang tidak terlalu luas (terbatas) (Supriati et al., 2008). Bahan vertikultur terbuat dari paralon dengan diameter 4 inchi (±10 cm) sehingga terkesan lebih bersih, selain cocok ditempatkan pada lahan terbuka dengan sinar matahari yang cukup. Vertikultur dapat didesain dengan beberapa
12
tingkat, misalnya tiga tingkat. Penempatan jenis tanaman perlu diatur. Pada tingkat yang paling tinggi, perlu dipilih jenis tanaman yang betul-betul tahan dengan sengatan sinar matahari langsung, misalnya sawi. Sementara pada tingkatan di bawahnya, dapat digunakan jenis tanaman yang agak tahan naungan (selada hijau), begitu pula dengan tingkatan yang paling bawah (seledri) (Supriati et al., 2008). Berikut ini jenis-jenis sayuran, karakter, dan kebutuhan lingkungan tempat tumbuhnya (Tabel 1).
Tabel 1. Persyaratan Lingkungan Tanaman Sayur (Widarto, 1994) dan Umur Panen (Supriati et al., 2008) No.
Tanaman
Kisaran PH
Ketinggian Tempat (m)
suhu (0C)
Kelemba ban (%)
Cahaya Matahari
6 - 7,5
dat. rendah-tinggi
20 - 30
tinggi
tinggi
Umur Panen (bulan) 1 - 1,5
1
Bayam
2
Bawang Merah
5 - 6,5
200 - 1000
18 - 25
tinggi
tinggi
-
3
Bawang Daun
6,5 - 7,5
200 - 1000
18 - 25
tinggi
tinggi
2,5
4
Cabai
5-7
dat. rendah-tinggi
20 - 30
tinggi
tinggi
4
5
Paprika
5,5 - 7
700 - 1000
25 - 28
tinggi
tinggi
-
6
Kacang Merah
7
Ketimun
8 9 10
Seledri
5 -6,5
250 - 1000
11
Selada
5 - 6,5
500 - 2000
6 - 7,5
800 - 1000
20 - 30
tinggi
tinggi
3-4
5,5 - 7,5
dat. rendah-tinggi
15 - 30
sedang
tinggi
-
Kubis
6 - 7,5
200 - 1500
15 - 25
tinggi
tinggi
3-4
Sawi
6-7
5 - 1200
20 - 30
tinggi
sedang
2
18 - 25
tinggi
sedang
2-3
15 - 20
sedang
sedang
2
2. 5. Elemen Desain Menurut Van Dyke (1990), elemen desain merupakan faktor penting dalam membuat suatu gambar desain lanskap sehingga perlu pemahaman terhadap penerapan-penerapan elemen tersebut. Elemen-elemen desain tersebut, antara lain, adalah titik, garis, bidang, ruang, nilai, warna, dan tekstur. Simonds (1983) mengemukakan bahwa titik berat desain lebih ditujukan pada penggunaan ruang atau setiap volume yang memiliki bentuk, ukuran, bahan, warna, dan kualitas lainnya. Reid (1993) menambahkan bahwa elemen dasar proses perancangan dapat diidentifikasi dengan jelas, yaitu titik, garis, bidang, bentuk, pergerakan, warna, dan tekstur.
13
Dalam hal lanskap dikenal dua jenis elemen, yaitu elemen lanskap mayor dan elemen lanskap minor. Elemen lanskap mayor seperti bentuk alam (topografi, pegunungan, lembah, sungai) dan kekuatan alam (angin, curah hujan, suhu) relatif sulit diubah oleh manusia. Elemen lanskap minor seperti bukit, anak sungai, dan hutan-hutan kecil dapat dimodifikasikan oleh perencana. Perubahan yang dilakukan secara garis besar dapat dibagi empat, yaitu melestarikan, merusak, mengubah, dan memberi penekanan. Secara umum, elemen lanskap dibagi menjadi soft material dan hard material. Karakter tapak yang menarik harus dipertahankan atau diciptakan sehingga semua elemen yang banyak variasinya dapat menjadi satu kesatuan yang harmonis (Simonds, 1983). McDowell dan Clark-McDowell (1998) menyatakan bahwa kunci untuk taman adalah meluangkan dan menjalin relasi dengan alam, sifat kealamian, bukan hanya tanaman. Terdapat tujuh elemen desain yang diajukan sebagai acuan untuk merancang dan mengidentikkan tujuan pembagian ruang. Hal tersebut merupakan perpaduan antara taman dan kealamian. Ketujuh elemen desain tersebut adalah sebagai berikut: 1. gerbang khusus yang mengundang masuk dan menjaga pengunjung untuk merasa nyaman di dalam taman; 2. elemen air untuk efek psikologis, kejiwaan, dan fisik; 3. penggunaan elemen warna dan pencahayaan (baik yang berasal dari tanaman atau sumber cahaya dari buatan manusia) untuk membangkitkan emosi, kenyamanan dan/atau perasaan kagum dari pengguna taman; 4. penggunaan aksen yang alami sebagai focal point seperti penggunaan batu, kayu, pagar alami, screen, teralis/jari-jari, angin, dan suara; 5. integrasi dari unsur seni untuk membangkitkan karakter dari taman tersebut; 6. elemen taman yang mengakomodasi atraksi kehidupan satwa liar dan menjadi habitat bagi keberagaman satwa liar; 7. sarana-sarana bagi pengguna untuk menikmati atraksi-atraksi yang ada di dalam taman. 2. 6. Prinsip Desain Sebuah desain yang baik akan tercipta dari kesesuaian komposisi dan susunan berbagai elemen penyusunnya (Reid, 1993). Reid (1993) menyatakan
14
bahwa prinsip-prinsip desain terdiri dari dominansi (dominance), skala (scale), kontras (contrast), kesatuan (unity), keserasian (harmony), dan karakter ruang (spatial character). Menurut Cooper-Marcus dan Barnes (1999), taman yang baik menerapkan prinsip desain sebagai berikut. 1. Pembagian keragaman ruang Ruang terbagi menjadi ruang publik (ruang untuk berkumpul secara berkelompok) dan ruang privat (ruang untuk menyendiri). Dengan tersedianya pilihan beberapa ruang tercipta kontrol
pengguna terhadap sekelilingnya
sehingga dapat menurunkan tingkat stress. Ruang privat tersedia bagi pengguna yang ingin menjauh dari lingkungan luar dan ruang publik tersedia untuk kelompok kecil (seperti anggota keluarga atau kerabat) yang dapat memberikan dukungan sosial kepada pasien. 2. Pemanfaatan yang maksimal dari material tanaman Taman meminimalkan penggunaan elemen keras (hard material) dan memaksimalkan penggunaan elemen lunak (soft material). Dengan adanya tanaman yang terdapat pada lanskap sekitarnya, pengguna tapak dapat merasakan kemajuan kesehatannya. 3. Dorongan bagi pengunjung untuk beraktivitas dan berinteraksi Taman dapat mengakomodasi aktivitas sebagai bentuk latihan yang berkaitan dengan penurunan tingkat stress. 4. Penyajian sarana petualangan/pengalaman yang positif Pengalihan yang alami seperti tanaman, bunga, dan atraksi permainan air dapat menurunkan tingkat stress. Kegiatan lainnya seperti bekerja dengan tanaman dan berkebun juga dapat menyajikan petualangan yang positif di taman. 5. Peminimalan segala bentuk gangguan Faktor-faktor negatif seperti kebisingan kota, asap, dan cahaya buatan diminimalkan di taman. Pencahayaan dan bunyi yang alami merupakan tambahan efek positif di taman. 6. Peminimalan kerancuan (ambiguitas) Lingkungan yang abstrak (ruang-ruang yang misterius dan rumit) dapat menarik dan menantang bagi orang yang sehat, tetapi tidak bagi orang sakit. Sejumlah
15
penelitian menunjukkan bahwa keabstrakan sebuah desain tidak dapat diterima oleh orang sakit. Fitur-fitur dan elemen-elemen taman yang dapat diidentifikasikan haruslah terdapat pada desain taman. Seni yang abstrak pada fasilitas dan taman seringkali tidak tepat. 2. 7. Perencanaan Lanskap Menurut Gold (1980), proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis untuk menentukan keadaan awal dan keadaan yang diharapkan serta cara yang terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis dan mengikat. Proses ini pada awalnya dimulai dengan memperhatikan nilai dan tingkah laku atau mengutamakan kepentingan umum dan mengakomodasikannya melalui jalan musyawarah serta lebih mengutamakan masukan. Pada seluruh tahap proses perencanaan tetap diharapkan adanya perubahan dan kompromi penyesuaian terhadap kesukaran yang tidak dapat dikendalikan, yang akhirnya semua akan digunakan sebagai dasar untuk menunjang tujuan semula. Kesemuanya ini merupakan sesuatu yang sangat penting jika dibandingkan dengan bentuk hasil dari perencanaan itu sendiri. Perencanaan/perancangan
memerlukan
suatu
pendekatan
terhadap
kebutuhan tertentu dari suatu kelompok sosial atau lahan. Pendekatan perencanaan yang dikemukakan oleh Gold (1980) adalah sebagai berikut. 1. Pendekatan Sumber Daya Tipe dan jumlah rekreasi ditentukan oleh sumber daya fisik atau sumber daya alami. Tujuan utamanya adalah kelestarian alam, sedangkan kebutuhan pemakai dan pendanaan tidak terlalu dipertimbangkan. Pendekatan sumber daya sangat efektif digunakan pada perencanaan sumber daya kawasan pinggiran kota (kawasan sumber-sumber air, kawasan konservasi alam, dan taman nasional). 2. Pendekatan Aktivitas Aktivitas yang telah ada pada tapak menentukan jenis, dan jumlah aktivitas yang akan dikembangkan kemudian. Dalam hal ini, faktor sosial lebih diutamakan daripada faktor alam.
16
3. Pendekatan Ekonomi Fokus perencanaan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Penawaran dan permintaan dimanipulasi oleh harga, aktivitas, dan nilai tukar fasilitas yang akan dikembangkan. 4. Pendekatan Perilaku Perilaku manusia dan waktu luangnya menentukan pemilihan tempat, waktu, dan pengalaman aktivitas rekreasinya serta dampak aktivitas itu terhadap seseorang. Perencanaan ditentukan oleh permintaan. 5. Kombinasi Pendekatan Dalam hal ini, perencanaan menggabungkan aspek-aspek positif dari masingmasing pendekatan untuk mengakomodasi semua kebutuhan. Menurut Simonds (1983), proses perencanaan dan perancangan dalam arsitektur lanskap terdiri dari pemberian tugas, pengumpulan data, analisis, sintesis, pelaksanaan, dan pemeliharaan. Proses perencanaan dimulai dengan pengumpulan data dasar yang berkaitan secara khusus dengan tapak tersebut dan daerah sekitarnya. Data ini meliputi rencana induk, peraturan penzonaan, peta dasar dan udara, survei, data topografi, informasi geologi, hidrologi, tipe tanah, vegetasi, dan ruang terbuka yang ada. Informasi tersebut kemudian diperiksa dan dianalisis. Selanjutnya, ditentukan apakah tapak tersebut sesuai dengan kegunaan yang direncanakan. 2. 8. Perancangan Lanskap Van Dyke (1990) mengemukakan bahwa desain atau perancangan merupakan suatu bentuk pemecahan masalah dengan beberapa tahapan dan mengacu pada ide-ide desain yang direncanakan. Desain yang baik harus dapat memecahkan masalah dengan konsep yang baik dan merupakan hasil dari proses yang saling berhubungan dari tahapan desain. Selain itu, desain juga berfungsi untuk mengambil keputusan yang berorientasi pada kepentingan masa yang akan datang, menciptakan hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, serta bersifat dinamis, kontinyu, dan fleksibel. Desain lanskap adalah sebuah perluasan dari perencanaan tapak (Laurie, 1986). Selanjutnya, desain lanskap adalah proses yang melaluinya kualitas spesifik diberikan kepada ruang diagramatik rencana tapak dan merupakan level
17
lain yang dengannya arsitektur lanskap didiskusikan atau dikritik. Laurie (1986) menyatakan bahwa perancangan berkenaan dengan seleksi komponen-komponen rancangan, bahan-bahan, tumbuhan, dan kombinasi-kombinasinya sebagai pemecahan terhadap masalah-masalah tertentu di dalam rencana tapak dengan menggunakan dasar-dasar teknik mengenai lahan, rincian materi (detil), dan penghubung-penghubung visual. Booth (1983) juga menyatakan bahwa elemenelemen yang didesain harus dikoordinasikan untuk memunculkan aspek-aspek positif dari masing-masing elemen, sementara secara serempak mengurangi kualitas-kualitas lemahnya. Setiap elemen yang didesain mempengaruhi elemen lainnya. Menurut Simonds (1983), perancangan akan menghasilkan ruang tiga dimensi. Perhatian perancangan ini ditujukan pada penggunaan volume atau ruang, setiap volume memiliki bentuk, ukuran, bahan, warna, tekstur, dan kualitas lainnya.
Kesemuanya
ini
dapat
dengan
baik
mengekspresikan
dan
mengakomodasikan fungsi-fungsi yang ingin dicapai. Dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah dua dimensi, sedangkan pemikiran secara tiga dimensi membawa
manusia
ke
dalam
dunia
perancangan.
Suatu
perbedaan
pengorganisasian ruang dapat memberikan dampak yang berbeda terhadap psikologi manusia. Dampak tersebut dapat berupa timbulnya rasa takut, keriangan, gerak dinamis, ketegangan, keheningan, dan lain-lain. Laurie (1986) menyatakan bahwa faktor yang menentukan bentuk perancangan, antara lain, adalah raut wajah tapak itu sendiri, sirkulasi, topografi, arsitektur, bahan dan pemeliharaannya, serta fungsi dan kegunaan yang diinginkan dari tapak. Sumber bentuk yang paling mendasar pada perancangan lanskap adalah tapak itu sendiri yang dinyatakan dalam garis-garis pembatas dan topografi. Sumber yang kedua adalah berdasarkan perluasan fungsi atau kegunaan yang diinginkan. Ruang yang dihasilkan dapat dipertegas secara menyeluruh oleh bahan-bahan alamiah, bentuk lahan dan tumbuhan, ataupun oleh bahan-bahan buatan manusia. Vegetasi dan bentuk lahan sama efektifnya dengan dinding dan bangunan dalam hal mempertegas ruang. Meskipun demikian, perancangan lanskap umumnya mengakomodasikan penggunaan bahan-bahan alamiah dengan struktur-struktur buatan manusia.