87 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
KECEMASAN MEMPEROLEH PASANGAN HIDUP PADA PENYANDANG CACAT TUBUH
Hastuti Rifayani Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta Email:
[email protected]
Abstract Each periode of development has the development task that must be mastered, if the individual is not able to master one task will lead to the development of crisis raises anxiety. One of the development task of early adulthood in choosing a life partner. The aimed of this study is to understanding how people with disabilities in getting a life partner, what symptoms of anxiety experienced by, any factors affected and how strategic coping been used. Subject of this study consist of 3 persons who have the characteristics of persons with disabilities, men and women. Age 20-30, Surakarta research sites. Observation, depth interview and documentation are used as data methods and descriptive analysis used as data analysis. The data analysis show that disabilities persons get anxiety from families denial and denial of environment partners, increasing age, do not yet have a sing of the couples, worried for his or her partner a bandoned, has no descendants, anxious not to get a better pair of physical condition from his or her. The physical symptom are : anger, insomnia, no appetite, heart beats, shocked, the body chills, headache, fever, less focus, moody, sensitive, less enthusiastic, lazy, less attraction and fear. The factors influencing anxiety in getting couples to physical trauma defect, condition and the environment, how to evercome problems through escapism, minimization, self blame, seeking meaning and instrumental action.
Keyword : Anxiety, Coping Strategic, The Disabled Body.
88 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kecemasan penyandang cacat dalam mernperoleh pasangan hidup, gejala kecemasan apa saja yang dialami, faktor apa saja yang mempengaruhi dan bagaimana strategi coping yang digunakan. Subjek penelitian ini berjumlah tiga orang yang memiliki ciri-ciri penyandang cacat tubuh, laki-laki dan perempuan, usia 20-30 tahun, lokasi penelitian berada di Surakarta. Metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam, dokumentasi. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penyandang cacat mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya. Gejala fisik yang dialami yaitu: mudah marah, sulit tidur, tidur tidak nyenyak, tidak nafsu makan, j antung berdebar-debar, kaget, badan terasa panas dingin, tidak enak badan, pusing, masuk angin, kondisi kesehatan menurun. Sedangkan gejala psikologis yang dialami oleh penyandang cacat yaitu: gelisah, kurang konsentrasi, murung, sensitif, kurang besemangat, malas beraktivitas, bersikap dingin pada lawan jenis, dan ketakutan. Faktor yang mempengaruhi kecemasan dalam memperoleh pasangan hidup pada penyandang cacat yaitu kondisi fisik, trauma, conditioning, dan lingkungan. Cara mengatasi masalah yang dilakukan yaitu Escapism atau penolakan, Minimization atau pengurangan beban masalah, self blame atau penyalahan diri sendiri, seeking meaning atau pencarian makna dan instrumental action.
Kata kunci : Cacat Tubuh, Kecemasan, Strategi Coping.
89 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
PENDAHULUAN Setiap masa perkembangan memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi atau dikuasai oleh setiap manusia. Seperti diungkapkan oleh Hurlock (1997), cepat atau lambat semua orang akan sadar bahwa mereka diharapkan menguasai tugas-tugas tertentu pada berbagai periode sepanjang hidup mereka. Kesadaran inilah yang mempengaruhi sikap dan perilaku mereka sendiri, demikian pula sikap orang lain terhadap mereka. Masih menurut Hurlock (1997), konsekuensi yang serius dari kegagalan menguasai tugas-tugas tersebut adalah dasar untuk penguasaan tugas-tugas berikutnya dalam perkembangan berikutnya menjadi tidak adekuat. Sehingga individu tertinggal terus dari kelompok sebayanya dan keadaan ini menambah perasaan tidak adekuat mereka. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus dan tidak ditangani secara tepat akan mengakibatkan krisis yang menimbulkan kecemasan bagi individu tersebut. Menurut teori yang dikemukakan oleh Hurlock (1997), tugas perkembangan pada awal masa dewasa adalah mulai bekerja, memilih pasangan, belajar hidup dengan tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, dan
mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Tugas-tugas perkembangan tersebut harus dikuasai oleh setiap individu, namun dalam pengusaannya individu tersebut sering kali menemui hambatan. Adapun faktor-faktor yang menghalangi penguasaan tugastugas perkembangan yaitu tingkat perkembangan yang mundur, tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan tersebut, atau tidak ada bimbingan untuk dapat menguasainya, tidak ada motivasi, kesehatan yang buruk, cacat tubuh, dan tingkat kecerdasan yang rendah. Apabila individu pada awal masa dewasa tersebut tidak mampu mengasai salah satu saja dari tugastugas perkembangannya seperti memilih pasangan hidup karena kondisi fisik yang mengalami kecacatan akan menimbulkan kecemasan. Individu yang mengalami cacat tubuh akan menemui hambatan pada penguasaan tugas-tugas perkembangannya termasuk pada tugas memperoleh pasangan hidup. Walau bagaimanapun manusia sebagai makhluk sosial, baik dalam kondisi yang normal atau mengalami kelainan dalam perkembangan jasmani maupun sosialnya akan selalu membutuhkan orang lain dalam hidupnya (Sinniah, 2003). Individu yang mempunyai kecacatan biasanya disebut dengan kondisi luar biasa. Menurut data
90 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
PBB, jumlah penyandang cacat diseluruh dunia berjumlah sekitar 500 juta orang dan 80% diataranya terdapat di negara-negara berkembang (Pikiran Rakyat, 18 Juli 2004). Sedangkan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), memperkirakan 3% atau 6,3 juta penduduk Indonesia menderita kecacatan. Menurut WHO (World Health Organisation) atau organisasi kesehatan dunia, jumlah penderita cacat tubuh adalah 5% dari sekitar 20 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 10,5 juta jiwa (kompas, 7 februari 2001). Kecemasan dalam memperoleh pasangan hidup adalah kecemasan yang merupakan perwujudan dari berbagai perasaan baik secara fisik maupun psikis seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang dan kurang percaya diri yang disebabkan karena belum mendapatkan pasangan hidup (Pangesti, 2002). Menurut survey yang dilakukan oleh surat kabar Yomiuri di Jepang menunjukkan bahwa semakin tua manusia semakin sedikit yang mengatakan bahagia hidup melajang, mereka menyadari bahwa semakin tua semakin sepi hidup tanpa pasangan (Larasati, 2007). Kebutuhan para penyandang cacat ini seringkali terbentur beberapa faktor dalam pemenuhannya, karena setiap orang dalam pemilihan calon pasangan
hidup memiliki kriteria-kriteria ideal. Hal ini sangat potensial bagi timbulnya kesulitan dalam mendapatkan calon pasangan hidup, terutama bagi para penyandang cacat tubuh (Mutmainah, 2005). Kondisi ini diperburuk oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung, dimana terdapat pandangan negatif masyarakat terhadap para penyandang cacat tubuh yang dianggap sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Mereka hanya dianggap sebagai beban hidup, sehingga banyak orang tua yang tidak mengijinkan anaknya menikah dengan penyandang cacat tubuh. Daradjat (1990) mengatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak menentu, rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami sumber ketakutannya. Selanjutnya Daradjat menjelaskan bahwa kecemasan merupakan menifestasi dari proses emosi yang bercampur baur yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustrasi) dan pertentangan (konflik). Lebih lanjut dikatakan oleh Priest (1987) bahwa kecemasan adalah istilah yang melukiskan perasaan was-was dan takut terhadap keadaan yang dialami sekarang atau yang akan datang, bisa juga merupakan panik tanpa adanya penyebab yang jelas. Kecemasan ditandai dengan adanya rasa
91 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
khawatir, kegelisahan, perasaan tidak aman, ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan, kurangnya kepercayaan diri dalam menentukan dan memperoleh penyelesaian masalah. Lazarus (1976) mengatakan bahwa kecemasan tersebut mempunyai dua arti, yaitu: a. Kecemasan sebagai respon, yaitu perasaan yang dialami individu yang berhubungan dengan pengalaman yang hanya dapat dirasakan dan diketahui individu yang bersangkutan. Kecemasan sebagai respon biasanya ditandai dengan adanya perasaan gelisah, bingung, khawatir, dan takut. Kecemasan sebagai respon ini dibagi dua, yaitu: 1) State anxiety, adalah kecemasan yang timbul karena individu dihadapkan pada keadaan yang mengancam yang dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat atau dipelajari individu pada masa lalu dan akan turun apabila keadaan tidak membahayakan. 2) Trait anxiety, adalah kecemasan yang relative menetap yaitu keadaan cemas yang dialami individu berhubungan dengan kepribadian individu tersebut, karena kecemasan dipandang sebagai suatu keadaan yang menunjukkan adanya suatu penyesuaian diri. Individu yang
mengalami kecemasan biasanya cenderung lebih mudah mengartikan lingkungan sebagai ancaman. b. Kecemasan sebagai intervening variable yaitu kecemasan disini lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya sebagai situasi dimana kecemasan mendorong agar individu dapat mengatasi suatu masalah. Menurut Tillich (Adi, 1988) ada tiga macam kecemasan yaitu: a. The anxiety of fale and death ontic anxiety, yaitu kecemasan akan nasib dan kematian b. The anxiety emptiness and meaninglessness atau spiritual anxiety, yaitu kecemasan akan rasa kosong dan tidak bermakna. c. The anxiety of guilt ang pondermation atau moral anxiety, yaitu kecemasan akan rasa bersalah dan kutukan atau stigma (cap) dari masyarakat. Daradjat (1990) mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut: gejala fisik (fisiologis), yaitu kecemasan yang sudah dipengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf. Ciri-cirinya: ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang kepala pusing, nafas sesak. Gejala mental
92 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
(psikologis), yaitu kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan, ciricirinya: takut, tegang, bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak berdaya rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup, perubahan emosi, turunya kepercayaan diri, tidak ada motivasi. Page (dalam Badriyah, 2001), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut: faktor fisik, trauma dan konflik, conditioning, emosi-emosi, konstitusi, hereditas, lingkungan awal yang tidak baik. Pasangan adalah bagian yang terpisah, yang jika disatukan akan saling melengkapi satu sama lain. Pasangan hidup adalah satu hubungan antara dua orang atau individu yang telah sah, hidup dalam satu atap ataupun terpisah, terikat dalam suatu pernikahan dan menjalani rumah tangga, dimana yang satu berperan sebagai suami dan yang lain berperan sebagai istri (Khairuddin, 2002). Aldwin dan Revenson (1988) mengatakan bahwa menurut fungsinya strategi menghadapi masalah dapat dibedakan menjadi dua: a. Strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada ‘masalah’ yaitu: coutisness, instrumental, negotiation.
b. Strategi mengahadapi masalah yang berorientasi pada ‘emosi’ yaitu : escapism atau pelarian dari masalah, minimization atau penguarangan beban masalah, self blame atau menyalahkan diri sendiri, seeking meaning atau pencarian makna. Kecacatan atau impairmen adalah suatu kemunduran, melemahnya atau kehilangan dari fungsi yang sisebabkan oleh penyakit atau luka (Chaplin, 1995). Termasuk dalam hal ini adalah cacat tubuh. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan (Magunsong, 1998) cacat fisik adalah individu yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, otot, sendi) sedemikian rupa sehingga untuk keberhasilan pendidikannya maka perlu mendapatkan perlakuan khusus. Soeharso (1983) mengatakan bahwa berat ringannya kecacatan tubuh diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu: a. Cacat ringan, penderita cacat ini masih bisa mengurus dirnya sendiri serta masih dapat hidup bersama masyarakat meskipun terdapat kecacatan pada dirinya. Individu yang menderita cacat ringan ini biasanya mengalami kelemahan pada salah satu tangan, kaki dan terpotong dibawah siku salah satu tangan.
93 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
b. Cacat sedang, individu yang mengalami cacat sedang ini memerlukan pertolongan dan alatalat khusus untuk bisa hidup ditengah-tengah masyarakat. Cacat sedang ini misalnya kedua kaki lemah, serta satu kaki dan satu tangan putus. c. Cacat berat, individu mengalami cacat yang parah sehingga tidak dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Individu yang mengalami cacat berat ini tiga perempat atau seluruh anggota tubuhnya lumpuh sehingga membutuhkan perawatan. METODE Subjek dalam penelitian ini berrjumlah 3 (tiga) orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: penyandang cacat tubuh, laki-laki dan perempuan, usia 20-30 tahun. Penelitian ini dilakukan di Surakarta. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Setelah data diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif yaitu analisis yang berupa paparan, uraian dan gambaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyandang cacat tubuh akan mengalami gangguan emosi seperti minder, malu, tidak percaya diri, rasa rendah diri, menarik diri dari lingkungan, menurut Meichati (1988) cacat tubuh adalah tidak
berfungsinya anggota tubuh secara normal yang disebabkan oleh faktor bawaan, penyakit atau pemotongan. Pada prinsipnya orang yang mengalami cacat tubuh biasanya merasa malu, sangat menderita dan mengalami frustrasi. Hal ini juga dialami oleh subjek bahwa keadaan kecacatannya membuatnya merasa tidak percaya diri, merasa berbeda dari kebanyakan orang karena tidak bisa melakukan berbagai hal yang dapat dilakukan oleh orang normal, merasa minder jika berhadapan dengan orang lain dan rasa rendah diri karena merasa bahwa dirinya tidak sebaik orang-orang disekitarnya, hingga membuatnya harus menghindari tempat-tempat yang menampilkan gambar dirinya seperti kaca dan etalase toko, penyandang cacat juga kerap kali menyesali keadaan fisiknya, berharap keadaan sedikit lebih baik. hal ini dilakukan sebagai penolakan terhadap kecacatannya. Seperti juga orang normal pada umumnya, penyandang cacat juga memiliki keinginan untuk memperoleh pasangan hidup yang lebih baik dari keadaannya. Subjek 1 menginginkan pasangan hidup yang memiliki pemahaman agama yang baik sehingga dapat lebih mampu memahami dan menerima keadaan dirinya agar dapat saling melengkapi, subjek II memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki pasangan hidup yang normal secara fisik agar dapat memiliki status sosial yang baik di
94 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
masyarakat sehingga dapat dihargai oleh orang lain dan akan memillih untuk hidup sendiri tanpa pasangan dari pada memiliki pasangan sesama penyandang cacat. Sedangkan subjek III pada dasarnya juga menginginkan pasangan hidup yang normal keadaan fisiknya karena apabila mendapatkan pasangan yang sesama penyandang cacat maka kesulitan yang akan dihadapi dalam berumah tangga akan lebih berat, namun apabila pada akhirnya ia mendapatkan pasangan hidup sesama penyandang cacat subjek akan dapat menerimanya selama dapat saling melengkapi.
Penyandang cacat tubuh mengalami kecemasan akan nasib yaitu jika subjek tidak memperoleh pasangan hidup yang tidak seperti harapannya, tidak memiliki teman, tidak sukses dan tidak memiliki status social yang baik dimasyarakat. Penolakan dan diskriminasi menjadikannya merasa tidak berharga, ini menunjukkan rasa kosong dan tidak bermakna. Penyandang cacat juga mengalami kecemasan jika kelak tidak diterima oleh keluarga pasangan dan lingkungan sekitar karena dianggap tidak pantas menikah dengan orang normal.
Selain kriteria yang diinginkan oleh para penyandang cacat sendiri dalam memperoleh pasangan, mereka juga akan dihadapkan pada kriteria yang diharapkan oleh orang tua dan lingkungan. Hal ini juga menimbulkan kecemasan pada penyandang cacat dalam memperoleh pasangan hidup. Hambatan terbesar yang dihadapi oleh penyandang cacat dalam memperoleh pasangan hidup yaitu orang tua dan tuntutan lingkungan. Pengalaman traumatis dialami oleh subjek I yang telah beberapa kali mengalami penolakan dari orang tua calon pasangan dengan alasan yang sama yaitu pekerjaan, penghasilan dan kondisi fisik yang dikhawatirkan akan menurun kepada keturunannya.
Gejala fisik yang dialami oleh penyandang cacat tubuh dalam kaitannya dengan kecemasan memperoleh pasangan hidup antara lain: mudah marah, sulit tidur, tidur tidak nyenyak, tidak nafsu makan, jantung berdebar-debar, kaget, badan terasa panas dingin, tidak enak badan, pusing, masuk angin, kondisi kesehatan menurun. Sedangkan gejala psikologis yang dialami oleh penyandang cacat yaitu: gelisah, kurang konsentrasi, murung, sensitif, kurang bersemangat, malas beraktivitas, bersikap dingin pada lawan jenis, dan ketakutan. Dalam menyelesaikan masalah penyandang cacat tubuh lebih banyak menekankan pada diri individu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1988) strategi
95 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
menghadapi masalah yang berorientasi pada ‘emosi’ yaitu seseorang berusaha menghadapi masalah secara tidak langsung. Usaha-usaha yang dilakukan diarahkan untuk mengurangi atau menghilangkan stres yang dirasakan agar diperoleh keseimbangan afeksinya. Ada empat bentuk strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada emosi, yaitu: escapism atau pelarian dari masalah, minimization atau pengurangan beban masalah, self blame atau menyalahkan diri sendiri, seeking meaning atau pencarian makna. Usaha escapism atau pelarian dari masalah yang dilakukan penyandang cacat yaitu dengan membayangkan hal-hal yang indah-indah kebalikan dari kecemasannya, seperti misalnya membayangkan jika memiliki pasangan yang diinginkan, membayangkan duduk dipelaminan bersama pasangan. Untuk meminimalisasi beban masalah penyandang cacat tubuh, hal ini dilakukan dengan melupakan masalah, tidak terfokus untuk memikirkan masalah pasangan, mencari hiburan, mendengarkan music karena seakan bisa melepaskan emosi dengan bernyanyi-nyanyi, menonton DVD, berjalan-jalan, mencari kegiatan lain. Menyalahkan diri sendiri dilakukan oleh penyandang cacat tubuh sebelum mereka dapat menerima dirinya apa adanya. Penyandang cacat menyesali kehidupannya
dengan keadaan kecacatannya, rendah diri karena merasa tidak sebaik yang lainnya sehingga mengakibatkan mereka menjadi malas untuk menikah. Namun setelah bisa menerima keadaan dirinya apa adanya, mereka menjadi dapat berpikir lebih positif. Penyandang cacat tubuh dapat mencari makna dari apa yang alaminya, yaitu dapat berpikir positif bahwa kehidupannya harus terus berjalan, masih banyak yang dapat dilakukan. Terdapat juga penyelesaian masalah yang berorientasi pada masalah yaitu instrumental action atau aksi instrumental, penyandang cacat tubuh berorientasi pada pekerjaan karena orang tua pasangan yang selalu menanyakan mengenai pekerjaan dan penghasilan. SIMPULAN Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penyandang cacat tubuh mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya. Gejala fisik yang dialami yaitu: mudah marah, sulit tidur, tidur tidak nyenyak, tidak nafsu makan, jantung berdebardebar, kaget, badan terasa panas
96 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
dingin, tidak enak badan, pusing, masuk angin, kondisi kesehatan menurun. Sedangkan gejala psikologis yang dialami oleh penyandang cacat yaitu: gelisah, kurang konsentrasi, murung, sensitif, kurang bersemangat, malas beraktifitas, bersikap dingin pada lawan jenis, dan ketakutan. Faktor yang mempengaruhi kecemasan dalam memperoleh pasangan hidup pada penyandang cacat tubuh yaitu kondisi fisik, trauma, conditioning, dan lingkungan. Cara mengatasi masalah yang dilakukan yaitu escapism atau penolakan minimization atau pengurangan beban masalah, self blame atau penyalahan diri sendiri, seeking meaning atau pencarian makna dan instrumental action.
DAFTAR RUJUKAN Adi, A. W. 19988. Hubungan Shalat Dengan Kecemasan. Surakarta: Studio Press.
Daradjat, D. 1990. Hygiene Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung. Chaplin, J. P. 1995. Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Hurlock). Jakarta: Grafindo Persada. Hurlock, E. B. 1997. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Khairuddin. 2002. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Liberty. Kompas. 2001. Mendesak Sensus Penyandang cacat. Http://www.kompas.com Larasati. 2007. Surat wanita single (surat dari Amerika dan Indonesia). Http://www.google.com Lazarus, R. 1976. Stress and Coping the Indian Experience. New Dhelhi: Saga Publication
Aldwin, Reverson. 1998. Coping With Crises. St Andewa: Psicological Society.
Mangunsong, F. 1998. Psikologi dan Pendidikan Luar Biasa Get 1. Jakarta: Lembaga Penerangan Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (PPSP 3) UI.
Badriyah, R. 2001. Kemampuan Berafiliasi Remaja Ditinjau dari Kecemasan dan Tipe Kepribadian. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi UMS.
Meichati. 1983. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
97 TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
Mutmainnah, I. 2005. Menentukan Kriteria Pasangan, Perlukah? Http://www.google.com Pangesti. L. N. 2002. Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Dalam Memilih Pasangan Hidup Pada Wanita Usia Dewasa Awal. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Malang: UMM Pikiran R. 2004. Layanan Pendidikan Untuk Anak Cacat Perlu Ditingkatkan. 18 Juli 2004. Http://www.pikiranrakyat.com Priest, R. 1976. Stress dan Depresi. Edisi Pertama. Semarang: Bahana Priset Sinniah, dkk. 2003. Does Social Evaluative Anxiety Affect a Person’s Mental Heath? Anima Indonesian Psychology Journal. Soeharso. 1983. Polio Penyakit Lumpuh Anak. Surakarta: Penerangan YPAC.