BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Sosiologis
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Menurut Rappaport (1987) dalam Hikmat (2001) pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang. Masih dalam Hikmat (2001), McArdle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang selalu konsekuen melaksanakan keputusan
tersebut.
Orang-orang
yang
telah
mencapai
tujuan
kolektif
diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun demikian, McArdle mengimplikasikan hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan, melainkan makna pentingnya proses pengambilan keputusan. (Andriani, 2008: 19) Aziz (2005) mengemukakan konsep pendekatan sosio kultural dalam pemberdayaan. Menurutnya pendekatan sosio kultural adalah salah satu pendekatan yang dilakukan sebagai upaya melakukan upaya perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dengan memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Di samping pendekatan sosio kultural ini, sering kali perubahan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural, yaitu pendekatan dari atas ke bawah. Aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat itu adalah agama, budaya, pendidikan, adat istiadat, ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya. Aspek-aspek itulah yang dalam proses perubahan sosial sering disebut dengan dimensi sosio kultural. Di antara berbagai aspek tersebut setiap komunitas memiliki aspek yang dominan yang mempengaruhinya hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang dipegang oleh masing-masing masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya pada masyarakat perkotaan yang paling berpengaruh adalah dimensi ekonomi dan pendidikan, sedangkan pada masyarakat desa biasanya adalah adat istiadat atau budaya setempat dan agama. Sedangkan pada masyarakat santri nilai yang paling dominan berpengaruh adalah agama. Dalam studi-studi tentang perubahan sosial, konsep “pemberdayaan” (empowerment)
merupakan
anti-thesis
dari
konsep
“pembangunan”
(development). Konsep pembangunan lebih mencerminkan hadirnya model perencanaan dan implementasi kebijakan yang bersifat top-down. sedangkan “pemberdayaan” lebih bersifat buttom-up, berbasis kepentingan konkret masyarakat. (Aziz, 2005: 133-134) Menurut Setiawan (2011: 27) tujuan pemberdayaan adalah mencari langkah berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat tak berdaya sehingga mereka memiliki kemampuan otonom mengelola seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya. Dalam konteks pemberdayaan, sekurang-kurangnya dilakukan melalui tiga aspek: Pertama,
menciptakan
suasana
atau
iklim
yang
memungkinkan
berkembangnya potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sebab setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Untuk itu, pemberdayaan dilakukan untuk mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran potensi sumber daya yang dimilikinya dan mengembangkannya secara produktif. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memberi masukan berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana pendukung, baik fisik maupun sosial, serta mengembangkan kelembagaan pendanaan, penelitian dan pemasaran di daerah, serta dengan memberikan kemudahan akses dan berbagai peluang yang akan membantu masyarakat semakin berdaya. Ketiga, melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang antara masyarakat yang berdaya dengan masyarakat yang kurang atau paling tidak berdaya melalui program yang bersifat pemberian yang dalam pelaksanaannya harus diarahkan
Universitas Sumatera Utara
pada pemberdayaan masyarakat, bukan membuat masyarakat bergantung, karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri. (World Bank dalam Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dirjen PMD Depdagri, 2010_ 143-144) Menurut Azis (2005) ada beberapa tahapan yang seharusnya dilalui dalam melakukan pemberdayaan antara lain: 1. Membantu masyarakat dalam menentukan masalahnya. 2. Melakukan analisa atau kajian terhadap permasalahan tersebut secara mandiri (partisipatif). 3.
Menentukan skala prioritas masalah, dalam arti memilah dan memilih masalah yang paling mendesak untuk diselesaikan.
4. Mencari cara penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, antara lain dengan pendekatan sosio kultural yang ada dalam masyarakat. 5.
Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
6. Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan itu untuk dinilai sejauh mana keberhasilan dan kegagalannya. Pemberdayaan bersifat buttom-up, masyarakat merupakan subjek yang paling tahu tentang kebutuhannya, sehingga kurang tepat bila pemberdayaan dilakukan dengan melaksanakan program-program dari atas (pemerintah). Aktor perubahan itu harus berasal dari masyarakat itu sendiri. Pihak luar hanya berfungsi sebagai fasilitator dan motivator dalam perubahan dan pemberdayaan tersebut.
2.2. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Tertua di Indonesia Menurut Mahmud dalam Suwito (2005: 312) pondok pesantren merupakan rangkaian kata yang terdiri dari “pondok” dan “pesantren”. Kata pondok (kamar, gubuk, kamar kecil) yang dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. “funduk” yang berarti ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana. Karena pondok (tradisional umumnya) memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.
Universitas Sumatera Utara
Nurcholis Majid (Dalam Yasmadi, 2005: 63) menjelaskan tentang asal kata “santri” yang terdiri dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap. Dhofier (dalam Yasmadi, 2005: 63) megatakan bahwa pesantren adalah sistem pendidikan Islam tradisional yang terdiri dari lima elemen pokok yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Hal senada mengenai ketradisionalan pesantren disampaikan oleh Sadjoko, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal (weton, sorogan, dan lain-lain) di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama arab abad pertengahan, dan biasanya santri tinggal di asrama. (Isnaini :6) Berdasarkan pendapat para ahli di atas, pesantren memiliki ciri “tradisional” yang di dalamnya ada kultur unik dan khas pesantren. Pengertian “tradisional “ dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (sekitar 500 tahun) yang lalu telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian umat Islam di Indonesia yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia. Telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat, bukan “tradisional‘ dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian. Sedangkan secara terminologi Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya
Universitas Sumatera Utara
yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi. (Isnaini: 39) Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang tumbuh berkembang sejak masa-masa awal kedatangan agama Islam ke Indonesia. Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren untuk pertama kalinya berdiri pada zaman Wali Songo, tepatnya pada masa Syekh Maulana Malik Ibrahim. Sejalan dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia, pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya pada masa kejayaan kerajaan Islam di Jawa dan Madura. Pada masa penjajahan, pesantren tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam yang mendidik kaum pribumi, meskipun mendapat tantangan dari pemerintah kolonial melalui berbagai kebijakannya karena dianggap sebagai sekolah liar. Pasca proklamasi kemerdekaan, pesantren semakin berkembang bukan hanya di pelosok-pelosok desa, tetapi juga di kota-kota besar. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk kearifan lokal Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pecinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai dimensi. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat berakar di negeri ini, pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sebagai bangsa yang akomodatif dan penuh tenggang rasa. Menurut Zamakhsary Dhofier, dalam bukunya “Tradition and Change in Indonesian Islamic Education,” mengatakan penilaian tentang keberhasilan pesantren
sebagai
kemampuannya
pendidikan
menyumbangkan
alternatif
salah
pembangunan
satunya mental
terletak
spiritual
pada melalui
pemberian ruang yang cukup untuk emotionalization of religious feeling yang diekspresikan secara intelektual.
Universitas Sumatera Utara
Dalam prespektif sosiologis, lembaga pendidikan pesantren dapat dilihat sebagai salah satu agen sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan proses di mana seseorang menghayati norma-norma kelompoknya, sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan diri. Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer (di dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (di dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal. Dalam istilah Berger dan Luckmann, dikenal dengan resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami pencabutan identitas diri yang lama. Institusi dikatakan total, ketika institusi ini membatasi ruang gerak orangorang di dalamnya pada tiap kesempatan. Mereka tidak bisa melepaskan diri, menghasilkan dan mereproduksi kenormalan didalam institusi sesungguhnya abnormal itu hanya nampak dari luar (Deleuze, 1988). Seperti itulah, institusi total sebagai organisasi yang mengatur keseluruhan kehidupan anggotanya. Ciri-ciri institusi total menurut Goffman (1961) antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi, barak militer, institusi pendidikan kedinasan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk di dalamnya rumah sakit jiwa), biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki kriteria institusi total yang dikatakan oleh Goffman terutama pesatren yang masih menerapkan sistem tradisional. Menurut Goffman tampilan institusi total dapat dideskripsikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: pertama, semua aspek-aspek kehidupan dilakukan di tempat yang sama dan dalam pengawasan tunggal yang
Universitas Sumatera Utara
sama. Kedua, masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan cenderung memiliki pemikiran yang sama. Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh sistem/organisasi dan pengawas formal. Keempat, berbagai aktivitas dipaksa dan diarahkan bersama-sama ke dalam
rencana tunggal untuk memenuhi tujuan
pimpinan institusi. Secara umum pondok pesantren memiliki tampilan yang sesuai dengan institusi total di atas. Pesantren juga sebagai simpul budaya, sebagai contoh, di Jawa ada seni Robana dengan berzanji dengan berbahasa Arab yang akrab dengan warga pesantren. Iringan musiknya lebih dekat ke lenggam Jawa dengan iringan lenggam Jawa yang mengacu kekerajaan Demak dan Timur Tengah. Di kampung sekitar pesantren juga berkembang Laras Madya yang berisi syair-syair nasehat dan tuntunan budi pekerti Rosulullah dalam bahsa Jawa dengan oringan musik yang lebih dekat dengan lenggam Jawa. Di lingkaran yang lebih luar lagi adalah Rodad, berisi kisah-kisah heroik dari sejarah Islam yang dimainkan para pemuda dengan pakaian warna-warni dengan peluit sebagai alat pemberi aba-aba. Dalam pesantren juga terdapat istilah religio feodalism atau feodalisme berbaju keagamaan, karena adanya perilaku menghormat kepada kiai sebagai pemegang otoritas di lingkaran itu. Penghormatan itu juga sampai pada keluarganya. Penghormatan itu sebenarnya sebagai bentuk kepercayaan dan mandat agar kiai dan keluarganya tetap teguh dalam mengemban amanah sebagai moderator dinamika nilali-nilai kultural disekelilingnya. Dengan demikian, tudingan akan adanya religio feodalism merupakan penilaian dari luar yang kurang teliti atas mandat masyarakat kepada kiai pesantren sebagai pemuka pendapat. Dilihat dari perkembangannya, perkembangan pondok pesantren saat ini dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut ”salafi”. Kedua, pesantren
yang
memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren “modern”. Ketiga, pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu
Universitas Sumatera Utara
agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Namun, apapun bentuknya, dinamika pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif khas, baik internal maupun eksternal (Miftahul. 2010: 25). Sementara, Ditjen Pendis Departemen Agama membagi pesantren ke dalam tiga kategori, pertama Salafiyah (tradisional), kedua, pesantren Ashriyah (modern), dan ketiga, pesantren kombinasi (perpaduan antara tradisional dan modern). Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, sekaligus lembaga budaya yang bercorak tradisional masih banyak dijumpai di Indonesia. Namun dalam perkembangan lembaga pesantren saat ini tidak hanya mengajarkan kitab klasik dan agama, akan tetapi pesantren mengajarkan ilmu umum dan keterampilan. Bahkan di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan tidak terdapat pembelajaran kitab-kitab kuning klasik, namun ciri khas pesantren lainnya masih melekat. Dalam pengkategorian oleh Departemen Agama pun Pesantren Hidayatullah Medan digolongkan ke dalam Pesantren Modern. Dalam Ensiklopedi Islam ciri-ciri pesantren dibedakan menjadi dua macam yaitu ciri khusus dan ciri umum. Ciri khususnya yaitu: (1) hubungan yang akrab antara santri dan kiai, (2) kepatuhan dan ketaatan santri kepada kiai, (3) kehidupan mandiri dan sederhana para santri, (4) semangat gotong-royong dalam suasana penuh persaudaraan, dan (5) kehidupan disiplin dan tirakat para santri. Agar dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar, yaitu masjid
atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kiai dan
keluarganya, pondok tempat tinggal para santri, dan ruang belajar. Sedangkan ciri umumnya yaitu pesantren memiliki lima elemen pokok yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan berada pada suatu kompleks tersendiri. Lima elemen itu adalah sebagai berikut. (1)
Pondok. Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama
tempat para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya kompleks pesantren dikelilingi pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum di sekelilingnya. Tetapi ada pula pesantren yang tidak berbatas.
Universitas Sumatera Utara
Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada pesantren yang didirikan atas biaya kiainya, kegotongroyongan para santri, sumbangan warga masyarakat, atau sumbangan pemerintah. Namun dalam tradisi pesantren ada kesamaan yang umum yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanya memiliki kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok. Setiap
pesantren
memiliki
kemampuan
yang
berbeda-beda
dalam
membangun pondok yang sangat diperlukan para santrinya, karena kebanyakan mereka datang dari tempat jauh untuk menggali ilmu dari kiai dan menetap di sana dalam waktu yang lama. Jika dalam sebuah pesantren terdapat santri laki-laki dan perempuan, pondok kediaman mereka dipisahkan. Ada pondok khusus bagi laki-laki dan ada pondok khusus bagi perempuan. Tempatnya dibuat berjauhan dan biasanya kedua kelompok ini dipisahkan oleh rumah keluarga kiai, masjid, atau oleh ruang belajar. (2)
Masjid. Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar
yang harus dimiliki pesantren karena merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khususnya dalam mengerjakan tata cara ibadah. Pengajaran kitab Islam klasik, dan kegiatan kemasyarakatan. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat rumah kediaman kiai dan berada di tengah kompleks pesantren. (3)
Pengajaran kitab klasik. Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab
Islam klasik lazimnya memakai metode berikut. (a) metode sorogan. Metode sorogan adalah bentuk belajar mengajar dengan cara kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi. wetonan dan bandongan.
Metode
wetonan dan bandongan
(b) Metode
adalah metode
mengajar dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjut
dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu, seperti
Universitas Sumatera Utara
sesudah shalat berjamaah Subuh atau Isya. Di daerah Jawa Barat metode ini dikenal dengan istilah bandongan. Dalam metode ini kiai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat yang sulit dari suatu kitab, dan para santri menyimak bacaan kiai sambil membuat catatan penjelasan di pinggiran kitabnya. Di daerah luar Jawa metode ini disebut halaqah (Ar.), yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab. (c) Metode Musyawarah. Metode musyawarah adalah sistem belajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiainya. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya. (4)
Santri. Jumlah santri dalam sebuah pondok pesantren biasanya
dijadikan tolok ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santrinya, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua macam, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal dalam pondok yang disediakan pesantren. Adapun santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren. (5)
Kiai. Secara kebahasaan, kiai antara lain berarti “orang yang
dipandang alim (pandai) di bidang agama Islam” atau” orang yang memiliki ilmu gaib”. Dalam masyarakat Jawa, kiai sebagai orang yang dianggap menguasai ilmu agama Islam biasanya mengelola dan mengasuh pondok pesantren. Kiai merupakan pilar utama sebuah pesantren, dan kepemimpinannya atas pesantren sangat menentukan, sehingga hidup matinya pesantren banyak ditentukan oleh faktor kiainya. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan dan membina akhlak mulia, mengembangkan swadaya masyarakat Indonesia, dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal dan formal yang diselenggarakannya. Secara informal lembaga pesantren di Indonesia telah berfungsi sebagai lingkungan komunitas yang membentuk watak dan kepribadian santri. Pesantren juga telah melaksanakan pendidikan keterampilan melalui kursus
Universitas Sumatera Utara
untuk membekali dan membantu kemandirian para santri dalam kehidupan masa depannya sebagai muslim yang juga dai dan pembina masyarakatnya. Secara keseluruhan, pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan oleh masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan masyarakat. Keberadaan pesantren di Indonesia telah berperan menjadi potensi yang sangat besar dalam pengembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim lapisan menengah ke bawah. Sebagai contohnya adalah Pondok Pesantren AlMunawwir, Krapyak dan Pesantren Modern IMMIM.
2.3. Konsep Pemberdayaan yang Berbasis Santri Pesantren sebagai sebuah “institusi budaya” yang lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren memposisikan dirinya (hanya) sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berupaya melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik (Aziz, dalam Halim, 2005: 207). Hingga kini pesantren terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pesantren memiliki cara yang beragam untuk beradaptasi di tengah-tengah perubahan sosial ekonomi yang terjadi. Pesantren selama ini telah terbukti tangguh menghadapi berbagai tantangan karena kuatnya nilai ajaran agama yang menjadi pijakan dan prinsip kemandirian. Dalam hal pengembangan ekonomi adalah bisa memiliki jiwa dan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) yang menjadi signifikan dan strategis bagi pengembangan perekonomian. Pesantren dengan demikian telah menjadi dan selalu menjadi “pelopor” atau pioneer pembangunan (ekonomi) ummat di Indonesia. (Aziz, dalam Halim: 218-219) Terkait dengan “kemandirian” pesantren seperti dijelaskan di atas, tentu sangat erat kaitannya dengan adanya “pemberdayaan” di pondok pesantren itu sendiri. Menurut Malik (2005: 34) pemberdayaan masyarakat (pesantren) adalah
Universitas Sumatera Utara
serangkaian proses dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Proses ini dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat agara mampu: 1. Menganalisis situasi kehidupan dan segala permasalahan yang dihadapi 2. Mencari pemecahan masalah berdasarkan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. 3. Membangun usaha dengan segala kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. 4. Membangun sistem untuk mengakses sumber daya yang diperlukan.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini akan mengantarkan masyarakat (pesantren) dalam proses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada, serta mencari jalan keluar sesuai sumber daya yang mereka miliki. Selanjutnya mereka sendiri yang membuat keputusan, rencana, implementasi, serta evaluasi efektifitas kegiatan yang dilakukan. Input utama program ini adalah pengembangan sumber daya manusia, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pengurangan sumber daya dari pihak luar, (baik pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat). Untuk itulah perlu dibuat garis petunjuk mengenai prinsip dasar pemberdayaan masyarakat di antaranya adalah: 1. Mengutamakan masyarakat, terutama santri, pengasuh atau lembaga ekonomi pondok pesantren. 2. Menciptakan hubungan kerja sama antara masyarakat dan lembaga-lembaga pengembang. 3. Memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya lokal
secara
keberlanjutan. 4. Mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sistem luar. 5. Membagi kekuasaan dan tanggung jawab masyarakat dalam mengurus persoalannya sendiri. 6. Meningkatkan tingkat keberlanjutan program kemandirian masyarakat.
Gambar 2.1.
Bagan Daur Manfaat Program Duroh/Pelatihan (Malik, 2005:
35)
Universitas Sumatera Utara
Investarisi
Masyarakat
potensi
Hasil program
kemandirian
Proses Program
Proses pemberdayaan
2.3.1. Potensi Sosial Ekonomi Pondok Pesantren Berdasarkan Gambar 1.5.2. di atas, maka perlulah untuk mengidentifikasi atau menginventarisasi potensi pondok pesantren sebelum akhirnya melihat lebih jauh proses pemberdayaan yang ada di pondok pesantren. Aziz (dalam Halim, 2005: 223) memaparkan tiga pilar utama pondok pesantren yaitu kiai-ulama, santri, dan pendidikan sebagai sebuah magnet yang sangat potensial menjadi sumber ekonomi bagi eksistensi dan pengembangan pondok pesantren tersebut. Dalam sumber yang lain, Faozan (2006) juga memaparkan hal yang sama seperti Aziz.
1) Kiai-ulama Keunikan sekaligus magnet pondok pesantren adalah figur kiai pemimpin pondok pesantren. Andai dalam lingkungan pondok pesantren tersebut terdapat beberapa kiai-ulama, maka keberadaan mereka haruslah tetap mengikuti ritme kiai-ulama sepuh di lingkungan pondok pesantren tersebut. Dalam masalah ini, muncul faktor yang sangat penting sekaligus sebagai syarat dalam tradisi Islam, yaitu seorang kiai-ulama adalah pemegang ilmu-ilmu doktrinal. Tugas ini tidak dapat dilimpahkan kepada masyarakat umum karena berhubungan dengan kepercayaan bahwa ulama merupakan pewaris nabi. Bila
Universitas Sumatera Utara
demikian, bagaimana keunikan kepemimpinan kiai-ulama pondok pesantren ini dapat dipandang sebagai potensi pondok pesantren yang bernilai ekonomis?
Menurut Halim (2005: 299) setidaknya ada tiga jawaban yang dapat diberikan. Pertama, dengan “menjual” figur kiai-ulama karena kedalaman ilmunya. Artinya, figur seorang kiai-ulama pondok pesantren merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa bagi calon santri, wali santri, dan masyarakat untuk berburu ilmu. Kedalaman ilmu sang kiai-ulama inilah sesungguhnya awal potensi ekonomi itu terbangun. Hal ini tidak bertujuan untuk konglomerasi ilmu agama, atau mencari keuntungan dari ilmu agama. Tetapi sudah selayaknya orang-orang yang berilmu diberi penghargaan meski tidak selalu berupa materi karena hal itu untuk kemaslahatan pondok pesantren juga. Kedua, pada umumnya, seorang kiai-ulama adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah. Ketokohan seorang kiai-ulama ini memunculkan sebuah kepercayaan, dan dari kepercayaan melahirkan akses. Dari sinilah jalur-jalur komunikasi, baik dalam kerangka ekonomis, politis, maupun yang lainnya terbangun dengan sendirinya. Persoalannya bagaimana mengemas kepercayaan yang telah menjadi aset itu dengan moralitas agama? Dalam konteks inilah Kiai-ulama pondok pesantren diuji. Ketiga, pada umumnya, seorang kiai-ulama, sebelum membangun sebuah pondok pesantren, telah mandiri secara ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya. Pada beberapa Ponpes para santri bahkan belajar bertani dan berdagang kepada sang kiai-ulama. Kiai-ulama semacam ini sering menjadi tumpuan keuangan pondok pesantren. Ini berarti sejak awal kiai-ulama telah mempersiapkan diri secara sungguhsungguh, tidak hanya dari aspek mental, tetapi juga sosial dan ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perekonomian ponpes. Apabila aset dan jiwa entrepreneurship ini dipadukan, maka hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pondok pesantren. Ketiga potensi ekonomi kiai-ulama ini apabila diskemakan, dapat tergambar sebagai berikut. Gambar 2.2. Potensi Ekonomi Kiai-ulama
Universitas Sumatera Utara
(Halim, 2005: 226)
2) Santri-Murid Di lingkungan pesantren terdapat santri dengan berbagai latar belakang kehidupan sosial, ekonomi, dan suku bangsa. Namun keragamaan tersebut relatif dapat disatukan sebagai kesatuan komunitas karena memegang prinsip agama, ideologi, nilai moral, dan tradisi keagamaan yang sama. Komunitas pesantren ini menunjukan kesantrian mereka, sehingga membentuk semacam tradisi yang khas dan hanya dipahami oleh komunitasnya sendiri. (Anas, 2012: 14) Kehidupan pondok pesantren memberikan beberapa manfaat antara lain: interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan kontrol terhadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu, menimbulkan stimulasi atau rangsangan belajar, dan memberi kesempatan yang baik bagi pembiasaan sesuatu. (Hadori, 2010: 92) Analisis potensi individu santri adalah hal yang perlu dilakukan, para santri tersebut sering mempunyai potensi/bakat bawaan, seperti kemampuan membaca Alquran, kaligrafi, pertukangan, dan sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, ada baiknya bila
Universitas Sumatera Utara
dalam pondok pesantren diterapkan penelusuran potensi/bakat dan minat santri, kemudian dibina dan dilatih. Dengan demikian, dalam pondok tersebut perlu juga dikembangkan Wadah Apresiasi Potensi Santri (WAPOSI), wadah semacam ini, mungkin sudah ada di beberapa pondok pesantren, tinggal bagaimana mengaturnya supaya produktif. Perlu juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri-murid ini merambah pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah pondok pesantren menjadi semakin kaya ragam dan warna. (Halim, 2005: 227) Hadori (2010) mengatakan bahwa santri haruslah menjadi pribadi yang profesional dan berdaya guna.
Masih dalam Hadori (2010: 89), Dhofier
mengatakan bahwa santri profesional merupakan komitmen santri yang belajar keilmuan Islam dan umum di pondok pesantren untuk menguasai berbagai keahlian baik ilmu agama maupun umum sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya. Sehingga mampu menghadapi persaingan hidup di era yang serba global ini. Gambar 2.3. Potensi Diri Santri
(Halim, 2005: 227) Ada beberapa alternatif yang dapat diupayakan oleh pondok pesantren dalam mencetak santrinya, diantaranya adalah: (1) prinsip kehidupan pondok modern, (2) manajemen organisasi yang rapi, (3) sistem pendidikan dan
Universitas Sumatera Utara
pengajaran,
(4)
kurikulum
pondok
modern,
(5)
memberikan
berbagai
keterampilan bagi santri. (Qomar dalam Hadori, 2010: 91)
3) Pendidikan Salah satu keunikan pondok pesantren terletak pada sistem pendidikannya yang integral. Lalu bagaimana halnya dengan potensi ekonomi dari pendidikan pesantren ini. Sebagaimana lazimnya pendidikan, di dalamnya pasti ada muridsiswa, guru, sarana, dan prasarana. Dari sisi murid-siswa misalnya, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar syahriah. Untuk kelancaran proses pembelajaran, diperlukan seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa dikembangkan salah satu unit usaha pondok pesantren yang menyediakan sarana belajar tersebut, semisal toko buku atau kitab, alat tulis, dan foto kofi, belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari seperti makan minum, air, telepon, asrama, pakaian, dan sebagainya. (Faozan, 2006: 8)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4.
Potensi Ekonomi Pendidikan Pondok Pesantren
(Halim, 2005: 230) Apabila ketiga pilar utama ini terpenuhi, pondok pesantren telah memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu: Pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). (Faozan, 2006: 9) 2.3.2. Potret Pemberdayaan dan Kemandirian Sosial Ekonomi Pesantren Dari pemaparan di atas, jelas bahwa pesantren adalah salah satu institusi sosial yang mempunyai potensi ekonomi cukup besar dan sampai saat ini masih belum dimaksimalkan. Hal tersebut terjadi di kebanyakan pesantren seperti hasil penelitian Arifin (2008: 9) di wilayah Kedu. Oleh karena itu penguatan ekonomi pondok pesantren diyakini dapat mempengaruhi ekonomi masyarakat sekitarnya,
Universitas Sumatera Utara
baik di sekitar pondok pesantren maupun di wilayah yang lebih luas lagi di mana pondok pesantren tersebut berada. Berdasarkan data lapangan yang diperoleh Arifin (2008: 9) usaha ekonomi yang dilakukan pesantren umumnya menyangkut empat hal pokok, yaitu: (a). Pertanian; (b). Peternakan; (c). Koperasi Pesantren; dan (d). Kerajinan. Keempat usaha yang dilakukan oleh pesantren tersebut, bervariasi antara satu pesantren dengan yang lainnya, tergantung pada luas lahan yang dimiliki dan besar jumlah santri yang ada. Demikian pula mengenai jenis produk pertanian yang dihasilkan juga bervariasi. Namun secara umum produk pertanian yang dihasilkan antara lain meliputi: padi, ketela, sayuran, kedelai, dan jagung. Namun hasil pertanian maupun peternakan pesantren secara umum tidak begitu banyak. Dilihat dari segi sarana dan prasarana pesantren, maka kelayakan sarana dan prasarana pesantren dapat mengacu pada UU Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, khususnya Pasal 1 Ayat 5 dan 6. Dalam ketentuan tersebut mencakup dua hal persyaratan kelayakan bagi sebuah pemukiman (pesantren), yaitu prasarana lingkungan dan sarana lingkungan. Persyaratan
pokok,
yaitu
prasarana
lingkungan
yang
menunjang
berfungsinya lingkungan pesantren seperti asrama santri, masjid, musholla, dapur, dan kamar mandi merupakan kebutuhan vital dari keberlangsungan pesantren yang harus ada. Namun, kuantitas dan kualitas dari jenis-jenis prasarana tersebut, dari masing-masing pesantren berbeda-bebeda. hal itu tidak terlepas dari kemampuan pesantren masing-masing dalam pengadaannya. Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan oleh Arifin (2008: 13) rata-rata ketersediaan prasarana lingkungan pesantren, seperti tersebut di atas sudah memadai. Sementara dari sisi sosial kemasyarakatan, pesantren pesantren turut mengembangkan masyarakat sekitar baik dari sisi spriritualitas keagamaan dengan program pembinaan agama terhadap masyarakat, maupun sisi sosial ekonomi seperti hasil penelitian Muchsin (2009) tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dilakukan oleh pondok pesantren. Dorongan ibadah dalam upaya pemberdayaan masyarakat merupakan dasar bagi para santri dalam kegiatan
Universitas Sumatera Utara
pemberdayaan masyarakat. Para santri ini mewakili kiai dengan tanggung jawab yang tinggi terhadap keberhasilan suatu kegiatan. Namun demikian, dalam pemberdayaan santri yang sudah mengakar sejak lama tersebut tidak terdapat kelemahan dan kendala. Adapun jika mengacu pada hasil penelitian Malik (2011: 30), masalah terkait pemberdayaan yang dihadapi oleh pondok pesantren di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1. Kultur di dalam pondok yang sudah terlanjur terekam para calon santri bahwa nyantri di pondok pesantren ya belajar ilmu-ilmu agama. 2. Sumber Daya Manusia pengelola pondok pesantren terhadap usaha bisnis yang benilai ekonomi tinggi sangat terbatas. Cenderung hanya mengelola usaha-usaha tradisional. 3. Fasilitas dan peralatan yang berteknologi terbatas. 4. Dana yang terbatas.
Sementara menurut Suhartini (dalam Halim, 2005: 234), jika mengacu pada peran dan fungsi pondok pesantren dalam usahanya membangun sosial ekonomi umat, setidaknya ada tiga problem mendasar yang harus disadari bersama dan segera dicari solusinya. Ketiga problem tersebut yaitu: Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan, dan terobosan/inovasi dan networking pondok pesantren yang masih kurang. Dalam bagian lain, Malik (2011: 30) mengatakan adapun manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan pemberdayaan santri diantaranya: 1. Para santri akan lebih mandiri dan lebih percaya diri, hal ini dikarenakan selain memiliki ilmu agama yang akan disampaikan (dakwahkan) kepada masyarakat, para alumni ini juga mempunyai bekal untuk memenuhi kebutuhan dunia (ekonomi) secara mandiri atau kebutuhan ekonomi tidak lagi menggantungkan kepada orang lain. 2. Pondok pesantren akan lebih mandiri dan cepat berkembang karena sumber dana yang selama ini hanya mengandalkan dari para santri dan para donatur, sekarang mempunyai sumber dana baru.
Universitas Sumatera Utara
3. Pondok pesantren akan lebih mendapat kepercayaan dari masyarakat, sehingga dengan demikian akan meningkatkan minat orang tua untuk mendaftarkan anak-anaknya ke pondok pensantren.
2.4. Metode Pendidikan Islam dalam Prespektif Sosiologis Menurut Durkheim (dalam Maliki, 2008: 92) pendidikan adalah satu kesatuan utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga dipandang sebagai institusi yang berfungsi sebagai “babysetting”, yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada yang memiliki perilaku menyimpang, misalnya menjadi anak jalanan, pengangguran, dan berprilaku social deviant lainnya. Guna mengemas pendidikan agar memiliki peran seperti itu harus ditetapkan prioritas yang tepat. Kebijakan penetapan prioritasnya dilakukan berdasar meritokrasi. Semua pada prinsipnya memiliki kesempatan yang sama dalam pengembangan kompetensi, namun prinsip meritokrasi harus diperhatikan. Pendidikan harus bisa memaksimalkan bakat siswa. Pendidikan juga harus didekatkan kepada masyarakat luas. Dalam sejarah Islam pendidikan sudah berkembang sejak masa Rosulullah. Pendidikan pada masa Rasulullah (661-632 M) dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan Madinah. Pada periode pertama sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada nabi. Bahkan tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain nabi. Nabi melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, kemudian setelah turun perintah, barulah dengan berpidato di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materinya hanya berkisar pada ayat-ayat Alquran sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya. Pada periode Madinah, usaha pendidikan nabi yang pertama adalah mendirikan “institusi” masjid. Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang bersifat kemasyarakatan. Usaha pendidikan lain yaitu dengan memberikan bebas
Universitas Sumatera Utara
bersyarat kepada tawanan perang Badar, tawanan perang dibebaskan jika berhasil mengajari baca tulis sepuluh orang anak kaum muslim sampai bisa. Berikutnya pada masa Khulafa Alrasyidin (632-661 M) sistem pendidikan dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga khuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing. Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan
di khuttab
mereka melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Pada masa dinasti Umayyah (661-750 M) hampir sama dengan masa Khulafa Alrasyidin, tidak ada perkembangan berarti dan hampir tidak ada kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Kemudian pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M) ada tujuh jenis lembaga pendidikan yang telah berdiri yaitu (a) lembaga pendidikan dasar, (b) lembaga pendidikan masjid, (c) kedai pedagang kitab, (d) tempat tinggal para sarjana, (e) sanggar seni dan sastra, (f) perpustakaan, dan (g) lembaga pendidikan sekolah. Semua institusi itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Dengan demikian, menurut Suwendi (2004), pendidikan Islam memiliki karakteristiknya masing-masing pada setiap periodisasi, karakteristik itu agaknya dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa nabi hingga Bani Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk keagamaan an sich. Sedangkan pada masa Abbasiyah yang wilayah kekuasaan Islamnya semakin jauh dan problematika serta perkembangan peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya. Dalam perkembangannya,
juga telah muncul beberapa tokoh ahli
pendidikan Islam yang konsep-konsep pendidikannya berupa buku-buku secara utuh atau menjadi bagian dari tulisan lain seperti Ibn. Khaldun (1405 M) yang menuangkan pemikiran kependidikannya dalam Mukadimah; al-Nawawi ( 1278
Universitas Sumatera Utara
M) dalam adab al-Daris wa al-Mudaris; Ibn. Sahnun (wafat 1274 H) dalam Kitab Adab al-Mualimin; Ibn Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhkaq ; al- Zarnuji (wafat 1203 M) dalam Ta’lim Al-Muta’alim Thuruq al-Ta’alum ; Ibn Jama’ah (1333 M) dalam Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa alMuta’allim, dan sebagainya. Begitupun pada masa modern, tidak sedikit para intelektual muslim yang telah mampu menghadirkan karya-karya besarnya di bidang pendidikan. Sebut saja, di antaranya, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia. Dalam Islam, tujuan pendidikan yang dikembangkannya adalah mendidik budi pekerti; oleh karenanya pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sesungguhnya dari proses pendidikan tanpa mengesampingkan pendidikan jasmani, akal dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam di Indonesia, tumbuh dan berkembangnya ajaran Islam tidak lepas dari proses pendidikan ketika itu. Mulanya pendidikan Islam dikembangkan melalui masjid dan langgar atau surau-surau yang tidak memakai kelas, hanya duduk bersila saja. Pada tahap selanjutnya konsep pendidikan semakin berkembang menjadi pondok pesantren, kemudian pada masa penjajahan pesantren menghadapi tantangan sehingga menurut Karl A. Stenbrink pesantren mengambil tindakan “menolak sambil mengikuti”. Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengikuti jejak langkah kaum reformis dalam batas-batas tertentu yang sekiranya pesantren mampu tetap bertahan. Meskipun pendidikan Islam di Indonesia berkembang, namun mendapat kritikan dari para pembaharu yang pemikirannya mengadopsi paham Muhammad Abduh di Mesir, tokoh pembaharu ketika itu diantaranya KH Ahmad Dahlan. Kritikan muncul karena pendidikan Islam tradisional di Indonesia tidak lagi mengajarkan nilai-nilai dasar Islam (Alquran dan Alhadits) secara serius, pesantren justru lebih memperdalam ilmu fiqih para ahli madzhab, itupun terbatas hanya madzhab Imam Syafi’i. Padahal fiqih adalah sesuatu yang relatif bisa
Universitas Sumatera Utara
berubah sesuai dengan perkembangan zaman, lain halnya dengan Alquran dan Alhadits. Metode pendidikan di pondok pesantren memadukan penguasaan sumber ajaran Islam Ilahi. Selain mengenal ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (prilaku) dalam pengajarannya, sejak dini pesantren mendasarkan diri pada tiga ranah utama, yaitu faqohah (kedalam pemahaman), thabiah (perangai, watak, karakter) dan kafaah (kecakapan operasional). Jika pendidikan adalah upaya perubahan maka yang harus berubah adalah tiga ranah itu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mengalami perkembangan dari dalam atau development from within, seperti para guru pesantren melakukan kunjungan ke lembaga pendidikan lain guna mengambil masukan atau input. Untuk
itu
tampak
beberapa model
pengembangn
pesantren.
Pertama,
mengembangkan keaneka ragaman pendidikan, sesuai dengan pilihan, minat dan bakat santri. Di sinilah kelebihan sistem pesantren, yang perlu sekali dikembangkan secara lebih kreatif. Kedua, mengembangkan pendidikan yang bukan menghasilkan alumni yang siap pakai (ready for use), yang pada dasarnya tidaklah ada, karena lembaga bukanlah sebuah pabrik atau siap belajar lagi (ready to learn) saja, melainkan pendidikan yang menyiapkan tamatan yang siap untuk dilatih
kembali
dengan
keahlian
yang
berbeda
(retrainable).
Ketiga,
mengembangkan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan keilmuan, seperti bahasa, metodologi, dan penelitian. Keempat, mengembangkan pendidikan yang beraspek pelayanan dan bimbingan sosial keagamaan, termasuk menyiapkan da’i dan guru agama yang mumpuni sesuai dengan kebutuhan umat. Menurut Huda (2003: 99), pesantren juga harus memiliki kurikulum yang seimbang antara trilogi keilmuan yang berlandaskan Islam, (1) Islamic Natural Sciences, (2) Islamic Social Sciences, (3) Religion Sciences. Diharapkan dengan kurikulum yang demikian, santri dapat menggabungkan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dan yang terpenting, dari kurikulum ini dapat ditanamkan kepada anak tentang esensi dari sebuah proses pembelajaran mengingat hal ini merupakan yang paling substantif bagi santri sebagai pelajar.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Teori Clifford Geertz tentang Santri Geertz
menulis mengenai santri, abangan dan priyai yang jelas sekali
berkaitan dengan kehidupan dalam umat Islam.
Konsep yang diperkenalkan
dalam buku ini melukiskan dan menganalisa tipe budaya utama sesuai dengan menurut keparcayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik. Meskipun klasifikasi ini banyak di kritik dan gejala yang diamati Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an, sehingga kini lebih banyak berubah, namun pemikiran Geertz ini cukup penting untuk kita ketahui karena sering digunakan para ilmuan untuk menjelaskan berbagai peristiwa di kala itu—terutama kehidupan politik di tahun-tahun menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 berupa kudeta Gerakan Tiga Puluh September serta epilognya (Sunarto, 2004: 133-134). Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan hidup diantara mereka. Substansi abangan yang menurut Geertz diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional serta kepercayaan kepada mahluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priyai, ditandai pengaruh mistik Hindu-Buddha prakolonial maupun pengaruh kebudayaan barat yang dijumpai pada kelompok elite “kerah putih” (white collar elite) yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini – abangan, santri, dan priyai—dengan tiga lingkungan—desa, pasar dan birokrasi pemerintah. (Sunarto, 2004: 134)
Universitas Sumatera Utara