BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
Kerangka Teori 1.
Pengertian Kebijakan Kebijakan dalam bahasa Inggris sering kita dengar dengan istilah
Policy. Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita perlu mengakaji terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy (2007: 24), memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-tindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut juga
10
11
harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah. Menurut Solichin Abdul (2008: 40-50), mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, memberikan beberapa pedoman yaitu: a) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan, b) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi, c) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan, d) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan, e) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, f) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif, g) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit, h) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu, i) Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat intra organisasi, dan
12
j) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah.
2.
Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara
diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut. Menurut Mustopadidjaja (2003: 5), kebijakan publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan publik merupakan kebijakan yang sudah ada dari dulu dan untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisidefinisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik. Menurut Thomas R. Dye (1981), Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian. Sedangkan Menurut Easton (1969), mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh
13
masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuanketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.
3.
Pengertian Kebijakan Pajak Menurut Mansury (2000: 6), kebijakan pajak adalah merupakan
bagian dari kebijakan fiskal karena instrument kebijakan fiskal adalah pajak (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy). Pajak dipungut dengan tujuan utama untuk mengumpulkan sumber daya dari masyarakat guna dapat membiayai barang-barang yang diperlukan oleh seluruh masyarakat.
14
Pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pajak, khususnya dalam memungut pajak, perlu terlebih dahulu menentukan tujuan utama pemungutan pajak. Sedangkan menurut Marsuni (2006: 3738), kebijakan pajak dapat dirumuskan sebagai: 1)
Suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang penerimaan Negara dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.
2)
Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan Negara.
3)
Suatu
keputusan
yang
diambil
pemerintah
dalam
rangka
meningkatkan pemerimaan Negara di sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi Negara.
4.
Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (www.depkeu.go.id). Menurut Rochmat Soemitrodalam buku Mardiasmo (2011: 1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang
15
(yang
dapat
dipaksakan)
dengan
tiada
mendapat
jasa
timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar
pengeluaran
umum.
Kedua
pendapat
tersebut
mempunyai unsur -unsur sebagai berikut: 1) pajak dipungut berdasarkan Undang – undang, 2) tidak ada timbal jasa (kontraprestasi) secara langsung,
3)
dapat
dipaksakan,
4)
hasilnya
untuk
membiayai
pembangunan. Definisi lainnya dikemukakan oleh S. I. Djajadiningrat dikutip oleh Siti Resmi (2011:1), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah sera dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal-balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dan tidak mendapatkan prestasi-prestasi kembali yang secara langsung dapat ditunjuk.
5.
Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 46 Tahun 2009 ialah
pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan
16
perpajakan dan dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Namun selain itu, ada pendapat juga menurut Siti Resmi tahun 2009 berpendapat bahwa pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Menurut Herry Purwono (2010: 86) mengemukakan mengenai pajak penghasilan yaitu salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan rakyat, merupakan wujud kewajiban kenegaraan dan peran serta rakyat dalam pembiayaan dan pembangunan Nasional. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Dalam menentukan penghasilan yang dikenakan pajak, dapat dikatakan tidak ada suatu negara pun yang memiliki format yang sama persis dengan negara lainnya. Pilihan untuk menentukannya merupakan suatu kebijakan perpajakan yang unik serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan (Rosdiana, 2004: 89). Oleh karena
17
itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
6.
Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Mardiasmo (2013: 188), Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Orang Pribadi. a.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam buku Mardiasmo
(2013: 190-191) adalah: 1. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; 2. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-
18
lembaga Negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan; 3. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; 4. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar; 5. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga
yang
menyelenggarakan
kegiatan,
yang
membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. b.
Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri adalah pekerja di sektor publik yang bekerja untuk
pemerintah suatu negara, yang terdiri atas: 1.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdiri atas: a. Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNS Pusat), yaitu Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada APBN dan bekerja pada
19
Kementerian, Lembaga Non Kementerian, Kesekretariatan Negara, Lembaga-lembaga tertinggi negara, serta kepaniteraan pengadilan. b. Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNS Daerah), Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Pemerintah Daerah dan gajinya dibebankan pada APBD, baik PNS Daerah Provinsi maupun PNS Daerah Kabupaten/Kota. 2.
Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)
3.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Penghasilan Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan Pensiunan
yang Pajak Penghasilan 21 nya ditanggung oleh Pemerintah adalah penghasilan yang diterima Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan Pensiunan yang dibebankan kepada Kauangan Negara atau Keuangan Daerah, berupa: a. Gaji Kehormatan; b. Gaji (gaji Pegawai Negeri Sipil dan gaji Hakim); c. Tunjangan-tunjangan yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun, seperti: 1) Tunjangan keluarga; 2) Tunjangan jabatan structural/fungsional 3) Tunjangan pangan
20
Dasar pengenaan Pajak Penghasilan 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP). Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sedangkan penghasilan neto dihitung seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan (Mardiasmo, 2013: 195): a. Biaya jabatan; b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun yang berlaku saat ini (PMK-196/PMK.011/2012) adalah: 1. Rp 24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; 2. Rp 2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; 3. Rp 24.300.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat:
Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang PPh Pasal 21, dan
21
Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga yang lain.
4. Rp 2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang). c.
Tarif Pajak dan Penerapannya Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan
dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan dalam buku Mardiasmo (2013: 195-198) adalah sebagai berikut: 1.
Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari: a. pegawai tetap; b. penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan; c. pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan; d. bukan
pegawai
berkesinambungan.
yang
menerima
imbalan
yang
bersifat
22
TABEL 2.1 TARIF PASAL 17 Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000,-
15%
Di atas Rp 250.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,-
25%
Di atas Rp 500.000.000,-
30%
Sumber: Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008
2.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap
atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas: a. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 150.000,- atau b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,-. 3.
Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
diterapkan atas jumlah kumulatif; 4.
Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
diterapkan atas jumlah penghasilan bruto;
23
5.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain
dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD yaitu:
TABEL 2.2 TARIF PAJAK PENGHASILAN 21 FINAL PEGAWAI NEGERI SIPIL Golongan PNS
Tarif Pajak
PNS Golongan I dan II, Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara dan
0%
pensiunannya; PNS Golongan III, Anggota TNI/POLRI Golongan 5% Pangkat Perwira Pertama dan pensiunannya; PNS Golongan IV, Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi dan
15%
pensiunannya; Sumber: hasil olahan peneliti
7.
Pajak Penghasilan Final Penghasilan, berdasarkan ketentuan, terdiri dari penghasilan yang
merupakan objek pajak dan penghasilan yang bukan objek pajak. Cara pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang objek pajak dilakukan dengan dua cara. Pertama, dikenakan Pajak penghasilan secara umum dengan menggunakan tarif umum (tarif Pasal 17) dan pengenaannya
24
dilakukan di SPT Tahunan. Kedua, dikenakan Pajak penghasilan secara final
(http://forum.detik.com/Pajak
penghasilan-final-pengertian-Pajak
penghasilan-final-dan-tarifnya-t573376.html: Mei 2014). Pengenaan Pajak penghasilan secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akan dikenakan Pajak penghasilan dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. Pajak penghasilan yang dikenakan, baik yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas Pajak penghasilan terutang tetapi sudah langsung melunasi Pajak penghasilan terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan Pajak penghasilan final ini tidak akan dihitung lagi Pajak penghasilan nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, Pajak penghasilan yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan (http://forum.detik.com/Pajakpenghasilan-final-pengertian-Pajak penghasilan-final-dan-tarifnya-t573376.html: Mei 2014). Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang
memberikan
mandat
kepada
Pemerintah
untuk
mengenakan Pajak penghasilan final atas penghasilan-penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan
25
Pemerintah untuk mengenakan Pajak penghasilan final atas penghasilan tertentu
dengan
pertimbangan
kesederhanaan,
kemudahan,
serta
pengawasan. Pengenaan Pajak penghasilan final sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga pengenaan Pajak penghasilan final berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final diantaranya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2), yaitu: a.
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan olehkoperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
penghasilan berupa hadiah undian;
c.
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.
penghasilan tertentu lainnya, dan
e.
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
26
8.
Wajib Pajak dan Subjek Pajak
a.
Wajib Pajak Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. b.
Subjek Pajak
1)
Subjek pajak penghasilan Subjek pajak penghasilan adalah sesuatu yang mempunyai potensi
untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak penghasilan. Subjek pajak akan dikenakan Pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 mengelompokkan Subjek Pajak sebagai berikut: 1.
Subjek pajak orang pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun luar Indonesia.
27
2.
Subjek pajak warisan yang terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisanyang belum terbagi sebagai Subjek pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut dapat dilaksanakan.
3.
Subjek Pajak Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi Perseroan Terbatas (PT), Persekutuan komanditer (CV), Perseroan lainya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, kongsi, koperasi, pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya termasuk reksa dana.
4.
Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
28
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang berupa: -
tempat kedudukan manajemen;
-
cabang perusahaan;
-
kantor perwakilan;
-
gedung kantor;
-
pabrik;
-
bengkel;
-
gudang;
-
ruang untuk promosi dan penjualan;
-
pertambangan dan penggalian sumber alam;
-
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
-
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
-
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
-
orang
atau
badan
yang
bertindak
selaku
agen
yang
kedudukannya tidak bebas; -
pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
29
-
agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko Indonesia; dan
-
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
2)
Bukan Subjek Pajak Penghasilan Yang tidak termasuk subjek pajak berdasarkan pasal 3 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tetang pajak penghasilan adalah: a.
Kantor perwakilan negara asing.
b.
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat – pejabat lain dari negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama – sama mereka, dengan syarat: bukan warga negara Indonesia, dan tidak menerima penghasilan lain diluar pekerjaannya tersebut.
c.
Organisasi – organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan mentri keuangan dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
30
d.
Pejabat – pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat: bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
9.
Jenis dan Fungsi Pajak
a.
Jenis Pajak Terdapat berbagai macam jenis pajak, yang dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) yaitu: (Siti Resmi, 2011: 7-8). 1.
Menurut Golongannya Menurut golongannya, pajak dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: a. Pajak Langsung, adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak penghasilan. b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan,
peristiwa,
perbuatan
yang
menyebabkan
31
terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh: Pajak pertambahan nilai. 2.
Menurut Sifatnya Menurut sifatnya, pajak dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: a. Pajak
Subjektif,
adalah
pajak
yang
pengenaannya
memperhatikan pada keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak penghasilan. b. Pajak
Objektif,
adalah
pajak
yang
pengenaannya
memperhatikan pada objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah, dan Pajak Bumi dan Bangunan. 3.
Menurut Lembaga Pemungutannya Menurut lembaga pemungutannya, pajak tersebut dikelompokkan
menjadi 2 (dua) yaitu:
32
a. Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya. Contoh: Pajak penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan. b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masingmasing.
Contoh Pajak Daerah Tk. I (Propinsi): Pajak kendaraan bermotor, Bea balik nama kendaraan, Bea balik nama tanah, Pajak ijin penangkapan ikan di wilayahnya.
Contoh Pajak Daerah Tk. II (Kabupaten/Kotamadya): Pajak pembangunan I, Pajak penerangan jalan, Pajak atas reklame, dan lain-lain.
b.
Fungsi Pajak Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai 2
(dua) fungsi yaitu (Mardiasmo, 2011: 1): 1)
Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2)
Fungsi
mengatur
(regulerend)
sebagai
alat
pengatur
ataumelaksanakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.
33
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak sebagai fungsi penerimaan merupakan sumber dana utama bagi penerimaan dalam negeri jadi kontribusi terhadap pembangunan juga cukup besar, maka tidaklah heran pemungutan atas pajak bisa dipaksakan kepada orang-orang yang memang wajib dikenakan pajak, tentunya semua sudah diatur dalam undang-undang. Fungsi mengatur pajak yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, misalnya dengan rendahnya tarif pemungutan pajak maka bisa mendorong investasi.
10.
Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 3 (tiga) sistem yaitu
sebagai berikut (Mardiasmo, 2011: 7): 1)
Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: c. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus, d. Wajib Pajak bersifat pasif,
34
e. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2)
Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang sepenuhnya
kepada
Wajib
Pajak
untuk
menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri, b. Wajib Pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3)
With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: a. Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga,
35
b. Pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. Dari penjelasan diatas, di Indonesia pada umumnya menggunakan metode
dengan
sistem
self
assessment,
yaitu
wajib
pajak
memeperhitungkan sendiri besarnya kewajiban perpajakan, dimana pada akhir tahun apabila terdapat kekurangan, wajib pajak harus membayar kekurangan tersebut dengan media yang dapat digunakan, sedangkan apabila pajak yang telah disetor wajib pajak melebihi dari yang seharusnya, maka wajib pajak dapat mengajukan pengembalian dengan sarana restitusi.
11.
Azas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith yang dikutip oleh Waluyo (2010:13) terdapat
azas-azas atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutannya sehingga pemungutan pajak dapat diterima oleh orangorang yang atas penghasilannya akan dikenakan pajak. Salah satu pendapat yang terkenal adalah pendapatan dari Adam Smith. Dalam bukunya “An Inquiry Into the Natura and Cause of the Wealth of Nation”, Adam Smith mengemukakan 4 (empat) azas dalam pemungutan pajak, yang disebut dengan The Four Maxims dengan uraian sebagai berikut:
36
1.
Equity Keadilan merupakan sesuatu yang sulit diterapkan. Keadilan yang hakiki sangat sulit didapatkan, namun dalam penyusunan suatu kebijakan, keadilan merupakan salah satu azas yang mendapat penekanan yang serius, dengan kata lain dalam perumusan suatu kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan publik, unsurunsur dan nilai-nilai keadilan haruslah dikedepankan agar kebijakan tersebut tidak merugikan sebagian pihak atau menguntungkan bagi sebagian pihak saja.
2.
Certainty Kepastian merupakan sesuatu yang ditentukan secara sewenangwenang, artinya pajak itu harus jelas bagi semua wajib pajak dan masyarakat. Bagi Adam Smith, kepastian lebih penting dari keadilan, karena kepastian hokum dalam pemungutan pajak memberikan jaminan ketenangan bagi rakyat.
3.
Convenience Azas kenyamanan menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat wajib pajak sedang dalam kondisi yang menyenangkan atau memudahkan bagi wajib pajak, misalnya saat menerima gaji atau penghasilan lainnya.
4.
Economy
37
Pada azas ini, pajak hendaknya menimbulkan kerugian yang minimal dalam arti jangan sampai biaya pungutannya lebih besar daripada penerimaannya. Sistem pemungutan pajak yang dipilih hendaknya adalah sistem yang membebani seluruh masyarakat dengan sekecil mungkin.
12.
Tarif dan Jenis Tarif Pajak
a.
Tarif Pajak Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak yang harus
dibayar. Ketentuan tentang tarif pajak adalah ketentuan tentang cara menghitung besarnya pajak yang terutang. Persentase tarif Pajak Penghasilan dapat dibedakan antara tarif marginal dan tarif efektif. Tarif marginal adalah persentase tarif pajak yang berlaku untuk suatu dasar pengenaan pajak (DPP). Sedangkan tarif efektif adalah besarnya persentase tarif yang berlaku atau yang harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu (Mansury, 1996: 173 - 175). b.
Jenis Tarif Pajak Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam Undang-
Undang pajak merupakan salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak. Penentuan besarnya suatu tarif adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat merugikan
38
berbagai pihak termasuk Negara. Dalam pemungutan pajak, terdapat beberapa jenis tarif pajak yang dikenal (Mardiasmo, 2013: 9-10) yaitu: 1.
Tarif Progresif (a progressive tax rate) Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.
2.
Tarif Degresif (a degressive tax rate) Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar.
3.
Tarif Proporsional (a proportional tax rate) Tarif
proporsional
adalah
tarif
pemungutan
pajak
yang
menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).
39
4. Tarif Tetap (a fixed tax rate) Tarif tetap adalah bentuk tarif yang besarnya tetap terhadap berbagai nilai objek yang dikenakan pajak (Judisseno, 2005: 44-45). Tarif ini diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan adanya Peraturan PemerintahNomor 24 Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp3.000,00 dan Rp6.000,00.
B.
Kajian Pustaka Penelitian tentang perpajakan ini sebelumnya juga sudah dilakukan oleh
beberapa pandangan yang berkaitan dengan kebijakan perubahan tarif pajak penghasilan, maka diperlukan acuan-acuan untuk membandingan dengan penelitian terdahulu, antara lain sebagai berikut: Penelitian Bahri (2006) dengan judul “Pengenaan Pajak Penghasilan Final Atas Tunjangan Kesejahteraan dan Tunjangan Khusus Ditinjau dari Aspek Keadilan”. Pada penelitian tersebut dilakukan terkait dengan kebijakan perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi DKI Jakarta memotong pajak penghasilan sebesar 15% dan bersifat final bagi guru Pegawai Negeri Sipil golongan III/a keatas, berupa tunjangan kesra dan tunjangan khusus yg diterima. Dalam hal ini peneliti meninjau dari aspek keadilan yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994,
40
sedangankan peneliti melakukan penelitian di lingkungan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. Penelitian Anggraini (2009) dengan judul “Kebijakan Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan pada Wajib Pajak Badan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Ditinjau dari Asas Keadilan”. Penelitian ini dilakukan terkait dengan UU Pajak Penghasilan mengenai fasilitas pengurangan tarif tertinggi sebesar 28% menjadi 14% atau sebesar 50% sebagaimana diatur dalam Pasal 31E. Pemberian fasilitas tersebut dinilai tidak adil bagi sejumlah UMKM yang mempunyai peredaran bruto di atas Rp 4,8 miliar, sedangkan pada penelitian yang dilakukan penelitian dengan subjek pajak yang dilakukan adalah Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV. Selain itu juga peneliti membahas tentang perubahan tarif pajak penghasilan 21 final. Penelitian Hartini (2009) dengan judul “Analisis Manfaat Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Pribadi Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Tahun 2009 Bagi Wajib Pajak”. Penelitian ini terkait dengan manfaat dari penurunan Pajak Penghasilan Pasal 21 tarif progresif dari 35% menjadi 30% dan insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah pada kategori usaha tertentu mengalami penurunan kemampuan daya beli akibat krisis global, dengan adanya penurunan tersebut
41
terbukti memberikan manfaat berupa kenaikan take home pay. Wajib Pajak tertentu yang berpenghasilan di atas PTKP akan tetapi tidak lebih dari Rp 5.000.000,- akan memperoleh tambahan kenaikan take home pay karena PPh nihil. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Hartini dengan peneliti adalah peneliti membahas tentang Pajak Penghasilan 21 final untuk Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV, selain itu juga peneliti melihat dampak apa yang akan timbul dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010. Penelitian terakhir yang dilakukan Fitrah Purnama Megawati (2007) dengan judul “Kebijakan Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Pada Wajib Pajak Badan Perseroan Terbuka (Suatu Tinjauan Terhadap Formulasi Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007). Penelitian itu bertujuan untuk menganalisis penerapan kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan Badan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 ditinjau dari sisi keadilan pemungutan pajak. Sedangkan yang dilakukan oleh peneliti adalah peneliti lebih fokus kepada kebijakan yang terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 dengan objek yang berbeda yaitu tarif pajak penghasilan 21 final Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV.
42
C.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan kajian pustaka yang telah dikemukakan di atas maka dalam
penelitian ini peneliti menggunakan kerangka pemikiran untuk membantu melakukan pemahaman dan pembahasan masalah seperti dibawah ini:
Kebijakan Perubahan Tarif (PP No 80 Tahun 2010)
Pajak Penghasilan 21 Final
Pegawai Negeri Sipil Golongan III dan IV
GAMBAR 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN Dasar pemikiran penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar jumlah honorarium dan imbalan lain atas Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan 21 Atas Penghasilan yang menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 dimana terjadi perubahan tarif Pajak Penghasilan 21 Final atas Pegawai Negeri Sipil golongan III dari 15% menjadi 5%.