II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan berdasarkan nilai rata-rata tahunan, variasi harian dan tahunan serta nilai ekstrim dari beragam elemen pembentuknya. Smith (2001) menjelaskan iklim adalah akumulasi suhu udara, dinamika (angin, gerak vertikal, arus lautan), termodinamika, hidrologi (kelembaban udara, awan, total kolom kelembaban, daratan dan permukaan air), sistem gobal (tekanan dan densitas atmosfer, salinitas lautan) dan dipengaruhi presipitasi, evapotranspirasi, turbulen, dll. Berdasarkan luas wilayah, iklim terbagi menjadi iklim makro, meso dan mikro. Iklim makro meliputi wilayah yang sangat luas (zona iklim, kontinen hingga global). Iklim meso berkaitan variasi dan dinamika iklim dalam satu zona iklim atau area tertentu seperti kota. Iklim mikro berupa variasi iklim pada lingkup kecil seperti di sekitar bangunan konstruksi perkotaan (Brooks, 1988). Secara makro, sesuai klasifikasi iklim Köppen, Indonesia masuk dalam zona iklim tropis basah. Menurut Petterssen (1941) zona ini memiliki karakteristik: (1) suhu udara tinggi, suhu bulanan terendah >18°C dengan variasi tahunan < 6°C; (2) curah hujan tinggi, hujan setiap musim dengan dua puncak atau satu periode panjang musim hujan dan satu musim kering; (3) vegetasi megaterm yang membutuhkan suhu udara tinggi dan konstan, serta presipitasi dan kelembaban relatif tinggi. Beragam problematik terkait iklim ini yaitu curah hujan tinggi, radiasi matahari menyengat, suhu udara di atas toleransi kenyamanan, kelembaban tinggi dan aliran udara yang relatif lambat bagi pencapaian kenyamanan termal. Iklim skala meso yaitu pada lingkup kota. Kawasan perkotaan sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2007 pasal 1 ayat (3) adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Menurut Allaby (2007), pada kawasan ini terjadi kondisi serupa „pulau panas‟ (heat island). Gagasan ini pertamakali diutarakan Luke Howard dalam The Climate of London pada tahun 1818. „Heat island‟ mengidentifikasi kota sebagai area dengan
5
kondisi termal lebih panas dibandingkan sekitarnya, seperti pulau yang hangat di tengah lautan yang sejuk. Efek ini beragam bergantung pada aktivitas penggunaan lahan. Bangunan perkotaan menurunkan kecepatan angin dan menurunkan kapasitas pertukaran udara. Udara kota semakin panas, berakumulasi dengan pemanasan oleh bangunan dan industri, membentuk kubah panas yang terpolusi. Dominasi material aspal dan beton menyerap panas lebih besar, memantulkannya dan menjadikan suhu udara kota lebih tinggi dibanding sekitar. Selain itu, berkurangnya banyak vegetasi mengurangi jumlah transpirasi. Padahal, vegetasi berperan penting menghasilkan kelembaban dan menyerap panas. Menurut Brooks (1988), beragam permasalahan iklim perkotaan dapat diatasi melalui perencanaan modifikasi iklim mikro. Iklim mikro merupakan iklim spesifik tapak dimana beragam kondisinya membentuk iklim kota keseluruhan seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Marsh (2005)
Gambar 2. Kondisi Mikroklimat Pada Beragam Lokasi di Kota 2.2 Iklim Mikro Menurut Brown dan Gillespie (1995), iklim mikro merupakan kondisi yang terbentuk dari radiasi matahari dan terestrial, angin, suhu dan kelembaban udara, serta presipitasi dalam lingkup ruang luar yang kecil. Iklim mikro terbentuk
6
ketika iklim suatu wilayah atau zona berinteraksi dengan elemen lanskap lokal sehingga bersifat unik dan beragam. Frick dan Suskiyanto (2007) menambahkan bahwa faktor lokal yang mempengaruhi iklim di lapisan udara dekat permukaan bumi diantaranya adalah karakteristik vegetasi, badan air yang kecil dan aktivitas manusia yang dapat merubah kemurnian iklim mikro. Iklim mikro secara langsung mempengaruhi aktivitas manusia yang berada di dalamnya. Menurut Grey dan Deneke (1978), empat elemen utama iklim mikro yang dominan mempengaruhi manusia yaitu radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan pergerakan udara, dimana interaksi keempatnya membentuk zona kenyaman bagi manusia. Berikut penjelasan keempat elemen utama iklim mikro dan kenyamanan termal:
2.2.1
Radiasi Matahari Menurut Brooks (1988), matahari berperan penting membentuk iklim
dengan memancarkan energi ke bumi melalui sinar ultraviolet, sinar nampak dan infra merah. Frekuensi sinar nampak (cahaya) berupa gelombang pendek dan frekuensi inframerah (panas) berupa gelombang panjang. Marsh (2005) menambahkan, radiasi mencapai bumi secara langsung (difusi dan refleksi) dan jumlahnya bergantung sudut datang matahari. Sudut datang matahari dihitung dengan terlebih dulu mengetahui deklinasi matahari sesuai tanggal (Gambar 3A), menentukan sudut zenith (Gambar 3B) hingga didapatkan sudut datang matahari.
Sumber: Marsh (2005)
Gambar 3. Penentu Sudut Matahari: (A) Grafik Deklinasi; (B) Sudut Zenith
7
Brown dan Gillespie (1995) menambahkan, radiasi yang sampai pada suatu obyek akan direfleksikan, diserap dan ditransmisikan. Kemampuan suatu benda meradiasikan energi yang diserapnya disebut emisivitas sedangkan perbandingan radiasi yang dipantulkan dengan radiasi yang datang pada suatu benda dinamakan albedo. Emisivitas dan albedo tiap obyek berbeda jumlahnya, dipengaruhi jenis, karakter dan warna permukaan (Tabel 1). Tabel 1. Nilai Albedo dan Emisivitas Beragam Elemen Lanskap Albedo (%) Emisivitas (%) Vegetasi Rumput 20-30 90-95 Lapangan rumput 3-15 Padang rumput 10-30 Vegetasi berkayu 5-20 Hutan deciduous 10-20 Hutan konifer 5-16 97-98 Hutan Rawa 12 97-99 Air Badan air (sudut matahari tinggi) 5 92-97 Perkerasan kota Aspal 5-15 95 Beton 10-50 71-90 Bata 20-50 90-92 Batu 20-35 85-95 Atap beraspal dan kerikil 8-18 92 Atap genteng 10-35 90 Besi berombak 10-16 13-28 Cat putih 50-90 85-95 Cat merah, cokelat, hijau 20-35 85-95 Cat hitam 2-15 90-98 Sumber: Brown dan Gillespie (1995)
Perkerasan dan vegetasi paling signifikan mempengaruhi iklim dalam lanskap. Perkerasan menyerap panas lebih besar dan merefleksikannya ke sekitar sehingga mengakibatkan suhu udara lebih tinggi dan iklim tidak nyaman. Sedangkan tanaman memiliki karakteristik yang beragam dari bentuk tajuk, daun, percabangan dan lain-lain sehingga mampu mempengaruhi jumlah radiasi yang diserap dan direfleksikan guna modifikasi iklim khususnya di perkotaan. Bentuk radiasi lainnya yaitu radiasi terestrial yang dipancarkan langsung oleh setiap obyek. Radiasi ini memiliki karakteristik sama dengan radiasi matahari
8
namun berbeda dalam jumlah energi yang dipancarkan. Semakin tinggi suhu obyek maka semakin besar radiasi yang dipancarkan. Pemukaan aspal panas yang tersinari matahari langsung akan memancarkan radiasi lebih besar dibandingkan aspal yang lebih dingin (dalam naungan). Radiasi terestrial ini turut mempengaruhi perningkatan suhu udara perkotaan (Brown dan Gillespie, 1995).
2.2.2
Suhu Udara Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala
tertentu dengan termometer bola kering. Suhu udara dipengaruhi musim, sudut matahari dan jumlah radiasi yang diterima, pengaruh daratan-lautan, topografi, angin, panas laten, penutup tanah dan tipe tanah. Suhu udara berubah sesuai waktu dan tempat, serta memiliki variasi harian yang serupa (Tjasyono, 1996). Menurut Brooks (1988), suhu udara harian terendah terjadi sesaat sebelum subuh, meningkat mulai matahari terbit hingga mencapai puncak saat tengah hari dan kemudian menurun secara bertahap hingga malam. Perbedaan suhu udara di lanskap merupakan pemicu terjadinya pertukaran panas baik secara konduksi, konveksi dan radiasi antara lingkungan dengan tubuh maupun bangunan. Ketika terjadi perbedaan suhu udara, energi panas akan ditrasferkan dari area bersuhu udara tinggi ke area dengan suhu udara yang lebih rendah. Menurut Frick dan Suskiyanto (2007), kehangatan suhu udara di kota saat siang hari meningkat di pusat kota, membumbung di situ dan memadatkan partikel debu, dan sebagainya. Kubah debu terbentuk secara berkala di atas kota sebagai akibat dari aktivitas dalam kota. Udara tercemar tersebut membentuk kanopi kabut yang mengurangi sinar matahari langsung. Pada malam hari, kanopi kabut mengurangi pemantulan radiasi ke angkasa, mengakibatkan peningkatan suhu sampai 6°C dan menghalangi angin sejuk ke dalam kota.
2.2.3
Kelembaban Udara Menurut Allaby (2007), kelembaban adalah banyaknya kadar uap air di
udara. Istilah ini hanya mewakili air yang hadir dalam bentuk gas. Kelembaban dapat dihitung dalam beragam cara yaitu mixing ratio, specific humidity dan relative humidity. Berkaitan dengan laporan cuaca, kelembaban yang dimaksud
9
atau umum digunakan adalah relative humidity (kelembaban relatif) dimana biasa disingkat RH. Kelembaban relatif adalah rasio antara massa uap air yang ada dalam satuan massa udara kering (mixing ratio) dengan jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan saturasi (saturation mixing ratio) dalam udara tersebut. Angka kelembaban bernilai 0-100 % dimana 0% artinya udara kering dan 100 % berarti udara jenuh dengan uap air dimana akan terjadi titik-titik air (saturasi). Menurut Brooks (1988), kelembaban udara bersiklus dan berhubungan erat dengan suhu udara. Secara umum, kelembaban udara maksimum terjadi pagi hari sebelum matahari terbit saat suhu udara minimum. Hal ini memicu pengembunan bila udara bersentuhan dengan permukaan bersuhu lebih rendah dari suhu titik embun. Kelembaban udara minimum terjadi saat tengah hari bersamaan dengan suhu udara maksimum. Kelembababan tertinggi terjadi di khatulistiwa sedangkan terendah terjadi di lintang 40°. Besarnya kelembaban dapat menstimuli curah hujan. Di Indonesia kelembaban tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau. Kelembaban tinggi merupakan kondisi lingkungan yang tidak nyaman bagi manusia. Kondisi lingkungan nyaman bila kelembaban antara 40-75%. Walaupun peningkatan kelembaban di daerah tropis menyebabkan berkurangnya kenyamanan, namun gerakan air dapat menimbulkan kesejukan.
2.2.4
Angin Angin merupakan pergerakan udara akibat perbedaan tekanan udara di
atmosfer. Angin bergerak dari area bertekanan tinggi ke area bertekanan rendah. Menurut Brooks (1988), distribusi dan karakteristik angin di suatu wilayah dipengaruhi faktor global dan lokal seperti distribusi tekanan udara global musiman, rotasi bumi, variasi harian pemanasan dan pendinginan daratan-lautan, topografi dan kondisi wilayah sekitarnya. Pada perkotaan, menurut Grey dan Deneke (1978), penataan lahan terbangun mempengaruhi kecepatan angin menjadi menurun pada level dekat permukaan. Peningkatan topografi bangunan di perkotaan memindahkan profil kecepatan angin ke atas dan meninggalkan angin yang lebih lambat di dekat permukaan. Hal ini berbeda dengan pergerakan angin di tepi kota dan pedesaan.
10
Sumber: Marsh (2005)
Gambar 4. Profil Kecepatan Angin Daerah Urban Hingga Pedesaan Marsh (2005) memberi tiga contoh angin akibat perbedaan ukuran, jarak dan tata ruang terbangun perkotaan. Pertama (A), seperti pada Gambar 5 di halaman selanjutnya, udara bergerak mengikuti dan melewati struktur bangunan sesuai prinsip kontinuitas. Kecepatan angin tertinggi mencapai puncak gedung dan berlalu melewati atap. Angin pada dinding dibelokkan menurun dan menurun kecepatannya, menyebar dan sebagian mengarah ke permukaan.
Sumber: Marsh (2005)
Gambar 5. Tiga Bentuk Aliran Udara Melalui dan Sekitar Bangunan Kedua (B) yaitu gedung dengan ketinggian yang sama dan jarak rapat, angin tetap di atas dan tidak mengalir turun ke permukaan. Hal ini mengakibatkan area tersebut memiliki kecepatan angin mikro lebih rendah dari atmosfer sekitar.
11
Ketiga (C) berkaitan dengan posisi sejajar bangunan tinggi dan jalan, dimana akan tercipta topografi seperti ngarai. Jika posisi searah angin maka akan seolah menarik aliran udara dan kecepatan angin tinggi pada permukaan jalan. Menurut Brown dan Gillespie (1995), angin secara signifikan dapat dimodifikasi dengan menggunakan elemen lanskap guna kenyamanan termal. Beberapa karakteristik obyek lanskap yang mempengaruhi angin adalah ukuran, lokasi, orientasi, porositas, dan kerapatan. Berkaitan kenyamanan, angin berperan dalam perpindahan panas secara konvektif dimana menciptakan pendinginan melalui evaporasi. Angin membawa panas dari tubuh dan bangunan dan secara efisien menggabungkan perbedaan dalam suhu dan kelembaban udara di lanskap. 2.3 Temperature Humidity Index (THI) Pengaruh keadaaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia dinyatakan dengan istilah kenyamanan. Menurut Grey dan Deneke (1978), terdapat empat elemen utama iklim yang dominan mempengaruhi kenyamanan adalah radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara serta pergerakan udara, dimana
bervariasi bergantung pada jenis kelamin, umur maupun zona iklim
tertentu yang ditoleransi seseorang. Interaksi seluruhnya membentuk zona nyaman bagi manusia yang tergambarkan dalam grafik bioklimat berikut.
Sumber: Olgyay dalam Brooks (1988)
Gambar 6. Grafik Bioklimat Zona Kenyamanan
12
Menurut Niewolt dalam Retno (2008), salah satu skala pengukur kenyamanan termal adalah Temperature Humidity Index (THI). Metode ini berguna untuk menentukan efek dari kondisi panas pada kenyamanan manusia melalui kombinasi antara suhu dan kelembaban udara. Kenyamanan termal sesuai skala THI terbagi menjadi 3 yaitu nyaman (THI 21-24), sedang (THI 25-28) dan tidak nyaman (THI >28). THI dihitung dengan rumus THI =
;
dimana T adalah suhu udara (°C) dan RH adalah kelembaban udara (%).
2.4 Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, pada pasal 1 dijelaskan pengertian ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka tanpa bangunan. Dalam pasal 1 dijelaskan pula pengertian ruang terbuka hijau kawasan perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Menurut Grey dan Deneke (1978), salah satu manfaat utama pengadaan hutan kota (RTH) adalah untuk ameliorasi iklim guna kenyamanan termal. Dalam perencanaannya, vegetasi alami dipertahankan karena memiliki daya penyesuaian paling kuat. Menurut Frick dan Suskiyanto (2007), kriteria penataan RTH merupakan keterkaitan antara bentang alam, jenis pemanfaatan ruang serta kriteria vegetasi, dimana: (1) rencana dikembangkan sesuai dengan pemanfaatan ruang kota; (2) direncanakan pada lahan menurut kelerengan, kegiatan di atasnya serta kedudukan terhadap jalur sungai dan jalan; (3) pada lahan yang dikuasai badan hukum atau perorangan yang tidak dimanfaatkan dan atau ditelantarkan.
2.5 Perencanaan RTH untuk Ameliorasi Iklim Menurut Simonds (1983), perencanaan adalah suatu proses sintesis yang kreatif, kontinu, tanpa akhir dan bertambah. Perencanaan melalui tahapan persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, dan pelaksanaan yang saling terhubung dimana perubahan pada suatu bagian akan mempengaruhi yang lain.
13
Perencanaan tata hijau berupa konfigurasi RTH menurut Dahlan (1995) dibutuhkan sebagai penyeimbang ruang terbangun di perkotaan. Menurut Grey dan Deneke (1978), pohon, semak dan rumput mampu mengameliorasi suhu udara lingkungan perkotaan dengan mengontrol radiasi matahari. Efektifitas vegetasi dalam ameliorasi bergantung pada kerapatan, bentuk daun serta pola percabangan. Menurut Grey dan Deneke (1978), pohon paling efektif mengameliorasi iklim dimana mampu menurunkan suhu pada waktu siang hari dan menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi saat malam hari. Tajuk pepohonan yang rapat efektif menurunkan efek peningkatan radiasi matahari pada siang hari dan menahan turunnya suhu pada malam hari. Pohon sebagai pendingin udara alami mampu
mentranspirasikan
400
liter
air/hari
setiap
pohonnya
melalui
evapotranspirasi (setara lima pendingin ruangan yang setiapnya berkapasitas 2500 kcal/jam dan beroperasi 20 jam/hari). Brown dan Gillespie (1995) menambahkan, dedaunan mampu menyerap, memantulkan dan mentransmisikan radiasi yang diterima dari matahari. Pada tutupan kanopi pohon, secara vertikal terdapat perbedaan suhu dan kelembaban udara. Hal ini turut dipengaruhi adanya angin, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.
B
A
Sumber: Grey dan Deneke (1978)
Gambar 7. Suhu dan Kelembaban Udara di Sekitar Kanopi RTH: (A) Tanpa Pergerakan Udara dan (B) Ada Pergerakan Udara Menurut Grey dan Deneke (1978), konfigurasi vegetasi bermanfaat untuk ameliorasi iklim dengan memodifikasi pergerakan udara. Penanaman searah angin mampu membantu pemerataan kenyamanan termal karena angin efektif
14
menggabungkan perbedaan suhu dan kelembaban. Komposisi vegetasi berupa pemecah angin (shelterbelt) dapat mengurangi kecepatan angin. Angin yang berhembus pada shelterbelt akan dibelokkan ke atas, menyebabkan kecepatan angin berkurang di daerah tersebut namun akan meningkat seiring bertambahnya jarak. Terdapat perbedaan perubahan kecepatan angin karena perbedaan kerapatan shelterbelt, seperti dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber: Grey dan Deneke (1978)
Gambar 8. Pengaruh Angin dalam Pemerataan Pendinginan Udara