7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Tanaman Sawit
Kelapa sawit (Elais guineesis) termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya tumbuh di daerah antara 12° Lintang Utara 12° Lintang Selatan. Curah hujan optimal yang dikehendaki antara 2.000 - 2.500 mm per tahun dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum berkisar antara 24°--38°C, ketinggian di atas permukaan laut yang optimum berkisar 0--500 meter (Risza, 1995). Klasifikasi botani tanaman kelapa sawit sebagai berikut : Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Palmales
Famili
: Palmaceae
Sub-famili
: Palminae
Genus
; Elaeis
Spesies
: Elais Oleivera, Elais melanococca, dan Elais odora.
Tanaman kelapa sawit termasuk tumbuhan monokotil. Bagian tanaman kelapa sawit yang penting adalah akar, batang dan daun. Biji kelapa sawit berkeping tunggal, sehingga akarnya adalah serabut. Sistem penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas. Sebagaimana fungsi akar pada umumnya, akar kelapa
8
sawit juga berperan terutama dalam penyerapan unsur hara dalam tanah dan respirasi tanaman (Ginting,1975). Adapun karakter akar tanaman ini antara lain adalah : 1. tidak berbuku atau asesori lain; 2. berwarna putih atau kekuningan; 3. bentuk ujungnya meruncing sehingga mudah menerobos ke dalam tanah; 4. ujung akar tumbuh terus, namun tidak secepat pertumbuhan batang.
Daun tanaaman sawit bersirip gelap, bertulang sejajar, panjangnya mencapai 3--5 meter. Daun mempunyai pelepah yang pada bagian kiri maupun kanannya tumbuh anak-anak daun, panjang pelepah dapat mencapai 9 meter. Tanaman kelapa sawit yang sudah dewasa mempunyai anak daun yang jumlahnya dapat mencapai 100-160 pasang. Pada bagian pangkal pelepah daun tumbuh duri dan bulu-bulu kasar dan halus. Duduknya pelepah daun pada batang tersusun teratur, melingkari batang membentuk konfigurasi spiral. Arah spiral ada yang kekiri dan ada pula yang kekanan, hal ini tampaknya merupakan pancaran ragam genetis. Produksi daun per tahun tergantung pada iklim setempat, terutama pada saat tanaman tersebut tumbuh (Syamsulbahri, 1996)
B. Potensi Pelepah Sawit
Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman tropik yang penting dan berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 4.686.000 ha dengan produksi 5.456.700 ton pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2004). Jumlah ini akan terus meningkat dengan bertambahnya permintaan dunia, akan minyak sawit (CPO).
9
Produksi tandan buah segar (TBS) akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Menurut Aritonang (1986), produksi tandan buah segar kelapa sawit per hektar per tahun sebesar 12,60--27,00 ton, bungkil inti sawit sebesar 0,30--0,60 ton, dan lumpur minyak sawit sebesar 0,60--1,40 ton.
Pelepah daun kelapa sawit merupakan hasil sampingan dari pemanenan buah kelapa sawit. Bila dilihat dari segi ketersediaannya maka pelepah dan daun kelapa sawit sangat potensial digunakan sebagai pakan ternak. Sesuai pernyataan Devendra (1990), siklus pemangkasan setiap 14 hari, tiap pemangkasan sekitar 3 pelepah daun dengan berat 1 pelepah mencapai 10 kg. Satu ha lahan ditanami sekitar 148 pohon sehingga setiap 14 hari akan dihasilkan ±4.440 kg atau 8.880 kg/bulan/ha. Kandungan bahan kering dari pelepah daun sawit sebesar 35% sehingga jumlah bahan kering pelepah sawit/bulan/ha sebesar 3.108 kg.
Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak, Departemen Peternakan FP USU (2000), pelepah daun kelapa sawit mengandung 6,50% protein kasar, 32,55% serat kasar, 4,47% lemak kasar, 93,4 bahan kering dan 56,00% TDN. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar pelepah daun kelapa sawit cukup rendah yaitu sebesar 6,5 % dengan serat kasar yang cukup tinggi sebesar 32,55%. Kandungan serat kasar yang cukup tinggi akan mempengaruhi kecernaan bahan pakan pada ternak.
Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70% serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah diindikasikan bahwa
10
kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil silase daun kelapa sawit (Ishida dan Hassan, 1992).
Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrien pelepah daun sawit dengan rumput (%) No
Nutrien
1 Bahan Kering (BK) 2 Abu 3 Protein Kasar (PK) 4 Lemak Kasar (LK) 5 Serat Kasar (SK) 6 BETN 7 TDN Sumber : Fakhri (2010)
Pelepah Daun Sawit Rumput --------------------(%)----------------------29,81 24,4 4,48 14,5 9,22 8,2 3,34 1,44 31,09 31,7 51,87 44,2 58,5 56,2
Tingkat kecernaan bahan kering pelepah dan daun kelapa sawit pada sapi mencapai 45%. Demikian pula daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun adanya lidi pada pelepah daun kelapa sawit akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan cara pencacahan yang dilanjutkan dengan cara penggilingan. Pemanfaatan pelepah daun kelapa sawit disarankan tidak lebih dari 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah daun kelapa sawit, dapat ditambahkan produk sampingan lain dari kelapa sawit. Pemberian pelepah daun kelapa sawit sebagai bahan pakan dalam jangka panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik (Balai Penelitian Ternak, 2003). Penggunan daun kelapa sawit dalam pakan telah dicobakan pada sapi pedaging dan sapi perah. Pada sapi pedaging dan sapi perah, daun kelapa sawit dapat diberikan 30--40% dari makanan (Ishida dan Hassan, 1992).
11
C. Pendegradasian Lignin
Limbah pertanian dan agroindustri yang digunakan dalam pakan ternak umumnya berkualitas rendah. Rendahnya kualitas pakan di karena tingginya kandungan serat kasar, ikatan lignoselulosa, lignohemiselulosa, dan silika. Hal ini yang menyebabkan kecernaan limbah pertanian tersebut rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai kecernaan tersebut dengan melakukan amonisasi dengan penambahan urea. Amoniasi adalah proses penambahan amoniak dalam pakan ternak yang diinkubasi selama 7--30 hari (Bantungan, et al., 1987).
Amoniasi diharapkan dapat merenggangkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga menurunkan kandungan serat kasar yang tinggi menjadi rendah serta memudahkan mikroba rumen untuk merombak ikatan tersebut yang akhirnya akan meningkatkan kecernaan bahan pakan. Amoniasi menghasilkan urease oleh mikroba pakan yang akan mengubah urea menjadi amoniak dan karbondioksida. Menurut Andayani dan Yatno (2001), kecernaan bahan kering, NDF, dan ADF pada pucuk tebu meningkat dengan proses amoniasi. Penggunaan urea secara langsung ke dalam ransum cukup berbahaya dan perlu dilakukan secara hati-hati. Menurut Yulianto dan Saparinto (2010), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan urea dalam pakan, yaitu : 1. penggunaan urea akan efektif jika kandungan protein ransum rendah, 2. penambahan urea maksimal sebanyak 1% dari total bahan kering ransum atau antara 2--3% dari total konsentrat, 3. penggunaan urea akan efisien jika pada waktu diberikan bersamaan dengan pakan yang mudah dicerna (tetes, pati, dan bekatul), mineral, dan vitamin.
12
Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di dalam rumen tidak akan dapat berlangsung. Polimer alami yang sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulose (kayu) terutama bagian lignin. Lignin adalah polimer alami yang tergolong ke dalam senyawa rekalsitran karena tahan terhadap degradasi atau tidak cepat redegradasi dengan cepat di lingkungan. Molekul lignin adalah senyawa polimer organik kompleks yang terdapat pada dinding sel tumbuhan yang berfungsi memberikan kekuatan pada tanaman (Munir, 2006). Bagan ikatan antara lignin dan selulosa dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Penampang lignin, hemiselulosa, dan selulosa dalam batang
13
Gambar 2. Penampang lignin, hemiselulosa, dan selulosa sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pendegradasi lignin
Lignin tersusun dari tiga senyawa fenilpropanoid, yaitu alkohol komaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil. Ketiganya tersusun secara random membentuk polimer lignin yang amorfus atau tidak beraturan (Higuchi, 1980). Rumus bangun lignin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk struktur lignin
Lignin merupakan salah satu polimer fenilpropanoid yang sulit dirombak (recalcitrant). Hal ini disebabkan oleh strukturnya heterogen dan sangat kompleks. Lebih dari 30% material tumbuhan tersusun oleh lignin, sehingga dapat
14
memberikan kekuatan pada kayu terhadap serangan mikroorganisme ( Orth et al., 1993).
Beberapa kelompok jamur yang dilaporkan mampu mendegradasi senyawa lignin, misalnya kelompok white-rot fungi yang mampu menggunakan selulosa sebagai sumber karbon untuk substrat pertumbuhannya dan mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. Jamur pendegradasi lignin yang paling aktif adalah white-rot fungi seperti Phanerochaete chrysosporium dan Coriolus versicolor yang mampu merombak hemisellulosa, sellulosa dan lignin dari limbah tanaman menjadi CO2 dan H2O (Paul, 1992; Limura, et al., 1996).
Gambar 4. Jamur Phanerochaete chrysosporium
Klasifikasi botani tanaman jamur Phanerochaete chrysosporium : Kingdom
: Fungi
Phylum
: Basidiomycota
Class
: Basidiomycetes
Subclass
: Agaricomycetidae
Order
: Polyporales
Family
: Phanerochaetaceae
Genus
: Phanerochaete
15
Species Phanerochaete allantospora Phanerochaete chrysosporium Phanerochaete radicata Phanerochaete avellanea Phanerochaete burtii Phanerochaete salmonicolor Phanerochaete tuberculata Phanerochaete velutina Phanerochaete carnosa Phanerochaete chrysorhizon Phanerochaete arizonica
Pada umumnya basidiomisetes white-rot fungi mensintesis 3 macam enzim, yaitu Lignin-peroksidase (LIPs), Manganese-peroksidase (MNPs) dan Laccase. Ketiga enzim tersebut sangat berperan dalam proses degradasi lignin ( Srinivasan et al., 1995). Enzim-enzim tersebut juga mampu mengoksidasi senyawa-senyawa fenol. Dilaporkan, sebagian besar reaksi degradasi lignin oleh basidiomisetes dikatalisis oleh enzim lignin peroksidase, Mn peroksidase (Addleman and Archibald 1993; Dozoretz, et al., 1993).
Jamur pendegradasi kayu dilaporkan mampu mensintesis satu atau dua jenis enzim tersebut di atas, misalnya Phanerochaete chrysosporium, Trametes versicolor mampu mengekskresikan lignin-peroksidase dan manganese-peroksidase ke dalam medium, sedangkan kelompok brown- rot fungi hanya mampu mensintesis lignin-
16
peroksidase saja. Enzim ligninase dan organisme yang mampu memproduksi enzim tersebut mempunyai peluang yang sangat besar untuk diaplikasikan di industri-industri, seperti misalnya untuk degradasi polutan, biokonversi lignin, biobleaching dan biopulping dari potongan-potongan kayu (wood chip), desulfurisasi minyak bumi dan batu bara dan deligninasi limbah pertanian (Dosoretz et al., 1993). Proses degradasi lignin oleh white-rot fungi juga berguna untuk bioremediasi. Menurut Sulistinah (2008) jamur Melanotus sp mampu tumbuh pada media ligninase dan berpotensi sebagai jamur pendegradasi lignin.
Secara ekologis, pengelompokan fungi pelapuk kayu ada dua, yaitu fungi pelapuk putih (FPP) dan fungi palapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Kayu yang didegradasi oleh FPP akan menjadi putih atau keputih-putihan, lunak, tetapi tidak menyusut. Sebaliknya, fungi pelapuk coklat dapat mendegradasi hemiselulosa, dan selulosa, tetapi tidak dapat mendegradasi lignin. Di alam presentase fungi pelapuk coklat lebih sedikit daripada fungi pelapuk putih. Jamur basidiomisetes merupakan kelompok utama pendegrasi lignoselulosa. Green dan Higly (1997) menyatakan bahwa berdasarkan mekanisme degradasi, jamur pembusuk kayu digolongkan ke dalam jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk coklat yang masing-masing memiliki metabolisme degradatif yang berbeda. Jamur busuk putih mampu mendegradasi seluruh komponen material lignoselulosa termasuk lignin, sedangkan jamur busuk coklat cenderung mendegradasi bagian selulosa dan hemiselulosa, tetapi tidak lignin. Jamur pembusuk putih mendegrasi lignin untuk mendapatkan selulosa dari lignoselulosa. Ketidakteraturan struktur lignin ini menyebabkan proses degradasi menjadi kompleks dan enzim-enzim yang berperan dalam degradasi lignin bekerja
17
secara nonspesifik. Proses ini berlangsung melalui pembentukan radikal-radikal yang dapat menyerang sejumlah besar molekul organik.
Penggunaan kultur campuran antar jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk coklat memiliki prospek yang tinggi untuk mendapatkan glukosa dari alternative dari material lignoselulosa (Munir dan Goenadi, 1990). Menurut Nakasone (1993), fungi pelapuk putih dikelompokkan ke dalam lima ordo, yaitu: Aphlyllophorales, Agaricales, Auriculariales, Tremellales, dan Dacrymycetales. Fungi pelapuk putih lebih banyak dijumpai pada kayu Angiospermae atau kayu keras. Selanjutnya, dijelaskan bahwa semua fungi pelapuk coklat termasuk Basidiomycetes yang umumnya Polyporales dan sebagian besar berasosiasi dengan konifer. Tidak kurang terdapat 125 spesies fungi pelapuk coklat dan dikelompokkan ke dalam empat ordo, yaitu: Aphullophorales (Corticiaceae, Coniophoraceae, Fistulinaceae, dan Polyoraceae), Agaricales, Tremellales, dan Dacrymycetales. Sebagian besar fungi pelapuk coklat tersebut merupakan kelompok Polyporaceae. Sekitar 85% fungi pelapuk coklat berasosiasi dengan inang kayu Gimnospermae.
D. Metode Proksimat
Analisis proksimat merupakan salah satu cara untuk menentukan kandungan zat makanan secara kimia pada pada suatu pakan atau ransum. Bagan kandungan zat di dalam pakan terdapat pada Gambar 5. Analisis yang dilakukan analisis proksimat hanya mencakup analisis terhadap air, abu/ mineral, protein, lemak, dan serat kasar. Selama ini, pakan konsentrat dan hijauan banyak dianalisis dengan menggunakan analisis proksimat. Metode ini sebenarnya kurang tepat untuk menduga kandungan serat kasar dalam pakan hijauan.
18
Pakan Air
Bahan kering Abu/ mineral
Bahan organik
Protein
Bahan organik non-ogen Oooooooooooooooooooooo oooooooooooooogebetnitro Lemak Karbohidrat gen Serat kasar
Bahan ekstrak tanpa nitrogen
Gambar 5. Bagan zat makanan dalam pakan menurut Metode Proksimat
E. Analisis Serat Kasar Karbohidrat dalam pakan mempunyai dua fraksi utama yaitu serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Serat kasar mempunyai pengertian sebagai fraksi karbohidrat yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan selama 30 menit. Analisa serat kasar ini tidak diperoleh fraksi selulosa dan lignin sehingga fraksi-fraksi tersebut perlu di ketahui secara khusus untuk hijauan makanan ternak atau umumnya pakan berserat. Untuk mengetehui fraksi selulosa dan lignin perlu dilakukan analisa lain yang lebih khusus yaitu metoda analis Van Soest.
19
F. Metode Van Soest
Metode Van Soest merupakan salah satu alternative metode mengevaluasi zat makanan secara kimiawi pakan atau ransum khususnya pada bagian kandungan serat kasar. Bahan kering tanaman mengandung dua bagian utama, yaitu dinding sel atau neutral-detergent-insoluble fiber (NDF) dan isi sel atau neutral-detergentsolubles (NDS). Bagan kandungan zat makanan menurut Metode Van Soest terdapat pada Gambar 6. Pakan + larutan detejen netral (1 jam)
Tidak larut/dinding sel/ (NDF) kering
Larut /isi sel/NDS
+ larutan detejen asaml (1 jam)
Larut/ hemisellulosa/ADS mineral
Tidak larut/lignoselulosa/ADF
+ 72% H2SO4 (15°C)
Larut/selulosa
Tidak larut/lignin dan silika
Menguap/lignin
Sisa/abu/silika
Gambar 6. Bagan zat makanan dalam pakan menurut Metode Van Soest
20
G. Neutural Detergent Fiber (NDF) Komponen serat yang tergabung dalam NDF merupakan bahan yang tidak larut dalam matrix dinding sel tanamaan. Serat tersebut secara kovalen terikat sangat kuat dengan ikatan hidrogen, kristallin atau ikatan intramolekular lain yang sangat resisten terhadap larutan yang masih berada pada tingkat konsentrasi fisiologi. Karena larutan netral tidak bersifat hidrolitik maka hampir semua ikatan-ikatan tersebut berada dalam residu NDF. Hal ini dapat dilihat apabila dibandingkan antara nilai daya cerna in vitro dan in vivo dari NDF. Terdapat sedikit perbedaan daya cerna akibat dari adanyapenghancuran beberapa komponen seperti silika dan tanin oleh neutural detergent. Tidak semua komponen dari dinding sel terikat ke dalam matriks. Pektin, sebagai contoh hampir 90% nya dapat dilarutkan oleh larutan detergen netral, demikian juga pektin adalah komponen yang mudah difermentasikan, sehingga hal ini memperlihatkan tidak adanya pengaruh lignifikasi pada ikatan pektin. Dengan demikian NDF tidak dapat dinyatakan mewakili komponen dinding sel secara keseluruhannya, tetapi hanya mewakili sebagai residu dari komponen nutrisi yang mempunyai ikatan dengan matriks lignin da secara physik merupakan struktur yang tidak dapat larut dan mempunyai pengaruh khusus baik pada rumen maupun pada saluran pencernaan non ruminan. Serat biasanya digunakan sebagai indeks negatif dari kualitas pakan, dimana secara umum digambarkan bagian dari komponen pakan yang tidak di cerna. Meskipun NDF telah mencakup semua komponen yang tidak dapat dicerna, dibandingkan dengan ADF (NDF – hemiselulosa + selulosa), atau serat kasar (lignin +
21
hemiselulosa), korelasi NDF dengan daya cerna pada ruminan sering tidak bisa menggambarkan hasil yang diinginkan. Hal ini telah menyebabkan digunakannya ADF sebagai standar untuk menguji daya cerna hijauan, meskipun NDF lebih baik hubungannya dengan ruminansi (mamah biak), efisiensi, dan konsumsi pakan. Standar kebutuhan serat untuk ruminansia hanya bisa dinyatakan dengan nilai NDF, hal ini disebabkan hemiselulosa mempunyai pengaruh yang besar. Nilai NDF adalah kandungan semua serat yang teranalisis, dan ini satu-satunya cara yang bisa menggambarkan kandungan serat meskipun dari bahan hijauan atau konsenterat yang berbeda. NDF adalah satu-satunya analisis serat yang bisa merangking komponen pakan mulai dari yang tidak berserat, sedikit mengandung serat sampai pada bahan yang sangat tinggi seratnya seperti jerami, pelepah daun sawit, dan selulosa.