BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 VARIETAS KELAPA SAWIT Ada beberapa varietas tanaman kelapa sawit yang telah dikenal. Varietas-varietas itu dapat dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau berdasarkan warna kulit buahnya. Selain varietas-varietas tersebut ternyata dikenal juga beberapa varietas unggul yang mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain mampu menghasilkan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lain. Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, dikenal lima varietas kelapa sawit, yaitu : 1. Dura Tempurung cukup tebal antara 2 – 8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada bagian luar tempurung. Daging buah relatif tipis dengan persentase daging buah terhadap buah bervariasi antara 35 – 50%. Kernel (daging biji) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah. Dari empat pohon induk yang tumbuh di Kebun Raya Bogor, varietas ini kemudian menyebar ketempat lain, antara lain ke negara Timur Jauh. Dalam persilangan, varietas Dura dipakai sebagai pohon induk betina. 2.
Pisifera
Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi, sedangkan daging biji sangat tipis. Jenis Pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis yang lain. Varietas ini dikenal sebagai tanaman betina yang steril sebab bunga betina gugur pada
Universitas Sumatera Utara
fase dini. Oleh sebab itu, dalam persilangan
dipakai sebagai pohon induk jantan.
Penyerbukan silang antara Pisifera dan Dura akan menghasilkan varietas Tenera. 3. Tenera Varietas ini mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua induknya, yaitu Dura dan Pisifera. Varietas inilah yang banyak ditanam diperkebunan-perkebunan pada saat ini. Tempurung sudah menipis, ketebalannya berkisar antara 0,5 – 4 mm, dan terdapat lingkaran serabut disekelilingnya. Persentase daging buah terhadap buah tinggi, antara 60 – 96%. Tandan buah yang dihasilkan oleh Tenera lebih banyak daripada Dura, tetapi ukuran tandannya relative lebih kecil. 4. Macro Carya Tempurung sangat tebal, sekitar 5 mm, sedang daging buahnya tipis sekali. 5. Diwikka - Wakka Varietas ini mempunyai ciri khas dengan adanya dua lapisan daging buah. DiwikkaWakka dapat dibedakan menjadi diwikka-wakkadura, diwikka-wakkapisifera, dan diwikka-wakkatenera. Dua varietas kelapa sawit yang disebutkan terakhir ini jarang dijumpai dan kurang begitu dikenal di Indonesia (Donald, dkk, 2003). Perbedaan ketebalan daging buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan persentase atau rendemen minyak yang dikandungnya. Rendemen minyak tertinggi terdapat pada varietas Tenera yaitu sekitar 22 – 24 %, sedangkan pada varietas Dura antara 16 – 18 %. Jenis kelapa sawit yang diusahakan tentu saja yang mengandung rendemen minyak tinggi sebab minyak sawit merupakan hasil olahan yang utama. Sehingga tidak mengherankan jika lebih banyak perkebunan yang menanam kelapa sawit dari varietas Tenera ( Diktat Lonsum, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.2. MINYAK KELAPA SAWIT Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) dapat menghasilkan dua jenis minyak, yakni minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang diekstraksi dari mesokrap buah kelapa sawit, dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil, PKO) diekstraksi dari biji atau inti kelapa sawit. Minyak kelapa sawit ini diperoleh dari mesokarp buah kelapa sawit melalui ekstraksi dan mengandung sedikit air serta serat halus yang berwarna kuning sampai merah dan berbentuk semi solid pada suhu ruang yang disebabkan oleh kandungan asam lemak jenuh yang tinggi. Dengan adanya air dan serat halus tersebut menyebabkan minyak kelapa sawit mentah tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan pangan maupun non pangan (Naibaho, 1988). Minyak sawit dapat dimanfaatkan diberbagai industri karena memiliki susunan dan kandungan gizi yang cukup lengkap. Industri yang banyak menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku adalah industri pangan serta industri nonpangan seperti kosmetik dan farmasi, bahkan minyak sawit telah dikembangkan sebagai salah satu bahan bakar. Manfaat minyak sawit diantaranya sebagai bahan baku untuk industri bahan pangan dan industri nonpangan (Fauzi, 2007). Agar minyak sawit menjadi bisa dimakan (edible), maka unsur-unsur trigliserida harus dipisahkan dari unsur-unsur non-trigliserida. Unsur-unsur non-trigliserida yang larut dalam minyak seperti asam lemak bebas (FFA), karoten, serta antioksidan dapat dipisahkan secara kimiawi, sementara unsur non-trigliserida yang tidak larut dalam minyak dapat langsung dipisahkan melalui proses filtrasi bertingkat (Hadi, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku pembuatan minyak makan. Sementara minyak makan merupakan salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan minyak makan di dalam dan di luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peraanan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa (pahan, 2006).
2.3. KLASIFIKASI MINYAK KELAPA SAWIT Pengklasifikasian minyak kelapa sawit sudah dimulai empat abad lalu, dan menurut nama buahnya Elaeis guineensis dapat dipecah menjadi beberapa varietasvarietas yaitu: 1. Nigrescens Warna buah lembayung atau violet sampai hitam waktu muda, dan berubah menjadi kuning atau orange sesudah matang. 2. Virescnes Warna buah hijau ketika muda, dan berubah menjadi merah kuning sesudah matang. 3. Albesnes buah keputih-putihan ketika muda, dan berubah menjadi kekuning-kuningan sesudah matang (Donald, dkk, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.4. KOMPOSISI MINYAK KELAPA SAWIT Minyak kelapa sawit tersusun atas lemak dan minyak alam yang terdiri atas trigliserida, digliserida dan monogliserida, asam lemak bebas, moisture, pengotor dan komponen-komponen minor bukan minyak / lemak yang secara umum disebut dengan senyawa yang tidak dapat disabunkan (sekjen deperindag, 2007). Disamping komponen utama penyusun minyak kelapa sawit berupa asam lemak jenuh dan tak jenuh (stearin dan olein), juga terdapat komponen minor yang terdapat pada minyak kelapa sawit dalam jumlah kecil. Minyak kelapa sawit mengandung sekitar 1% komponen minor diantaranya: karoten, vitamin E (tokoferol dan tokotrienol), sterol, posfolipid, glikolipid, terpen dan hidrokarbon alifatik. Kegunaan yang terpenting dari karoten dan vitamin E adalah memberikan kontribusi sifat fisiologis yang penting pada tubuh (Choo Yen, 1994). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Senyawa
Konsentrasi (ppm) Karotenoid 500-700 Tokoperol dan Tokotrienol 600-1.000 Sterol 326-527 Phospholipid 5-130 Triterpen Alkohol 40-80 Metil Sterol 40-80 Squalen 200-500 Alkohol Alifatik 100-200 Hidrokarbon Alifatik 50 Tabel 1. Komponen minor dari minyak kelapa sawit (Tan, 1981)
Minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) dan inti minyak kelapa sawit (Kernel Palm Oil) merupakan susunan dari fatty acids,esterified, serta glycerol yang masih banyak lemaknya. Didalam keduanya tinggi serta penuh akan fatty acids, antara 50% dan 80% dari masing-masingnya. Minyak kelapa sawit mempunyai 16 nama carbon yang penuh asam lemak palmitic acid berdasarkan dalam minyak kelapa minyak kelapa sawit
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar berisikan lauric acid. Minyak kelapa sawit sebagian besarnya tumbuh berasal alamiah untuk tocotrienol, bagian dari vitamin E. Minyak kelapa sawit didalamnya banyak mengandung vitamin K dan magnesium (sekjen deperindag, 2007).
2.5. STANDAR MUTU MNYAK KELAPA SAWIT Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama, benar‐benar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifat-sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing- masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih Diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor- faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan (sekjen deperindag, 2007). Mutu minyak kelapa sawit yang baik mempunyai kadar air kurang 0,1 persen dan kadar kotoran lebih kecil dari 0,01 persen, kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (kurang lebih 2 persen), bilangan peroksida dibawah 2, bebas dari warna merah dan kuning (harus berwarna pucat) tidak berwarna hijau, jernih dan kandungan logam berat serendah mungkin atau bebas dari ion logam (Ketaren, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % ‐ 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % ‐ 2,1 % (terendah) (sekjen deperindag, 2007). Minyak sawit hasil ekstraksi ini masih merupakan bentuk kasar sehingga dinamai CPO yang mengandung bahan-bahan lain (impurities), ALB, Phosphatides, zat warna, zat pembau, air dan lai-lain. CPO berupa minyak kental berwarna kuning jingga kemerahmerahan yang mengandung FFA 5% dan provitamin E (800-900 ppm) (PT. International Contact Business System, 2000).
2.6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU MINYAK SAWIT Bagi negara konsumen terutama negara yang telah maju, selalu menginginkan minyak sawit yang benar–benar bermutu. Permintaan tersebut cukup beralasan sebab minyak sawit tidak hanya digunakan sebagai bahan baku dalam industi non pangan saja, tetapi banyak industri pangan yang membutuhkannya. Lagi pula tidak semua pabrik minyak kelapa sawit mempunyai teknologi dan instalasi yang lengkap, terutama yang berkaitan dengan peroses penyaringan minyak sawit. Pada umumnya, penyaringan hasil
Universitas Sumatera Utara
minyak sawit dilakukan dalam rangkaian proses pengendapan, yaitu minyak sawit jernih dimurnikan dengan sentrifugasi. Rendahnya mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor – faktor tersebut dapat langsung dari sifat pohon induknya, penanganan paska panen, atau kesalahan selama proses pemerosesan dan pengangkutannya. Faktor – faktor yang mempengaruhi mutu adalah kadar air, kadar kotoran, asam lemak bebas, bilangan peroksida dan daya pemucatan. Faktor–fakor lain adalah titik cair, kandungan gliserida padat dan sebagainya. Semua faktor–faktor ini perlu dianalisa untuk mengetahui mutu minyak kelapa sawit (PS, 1997).
2.7 PEMANFAATAN MINYAK KELAPA SAWIT Minyak sawit dapat dimanfaatkan diberbagai industri karena memiliki susunan dan kandungan gizi yang cukup lengkap. Industri yang banyak menggunakan minyak sawit sebagai sebagai bahan baku adalah industri pangan serta industri nonpangan seperti kosmetik dan farmasi, bahkan minyak sawit telah dikembangkan sebagai salah satu bahan bakar. Manfaat miinyak sawit diantaranya sebagai bahan baku untuk industri bahan pangan dan industri nonpangan (Fauzi, 2007).
1.Minyak Sawit Untuk Industri Pangan Menurut standard Badan Kesehatan Dunia (WHO) konsumsi perkapita minyak dan lemak makanan minimal sebanyak 12 kg per tahun. Konsumsi minyak san lemak makanan di Negara-negara maju saat ini sudah melebihi 30 kg per kapita/tahun. Di
Universitas Sumatera Utara
Negara berkembang konsumsi minyak dan lemak makanan per kapita masih jauh di bawah Negara-negara maju. Indonesia, misalnya, kini setidaknya membutuhkan 3 juta ton minyak dan lemak sawit guna memenuhi konsumsi sebanyak sekitar 230 juta penduduk. Jadi, konsumsi minyak dan lemak sawit per kapita Indonesia berkisar 12-13 kg per tahun dan angka ini sudah setara standard WHO (Fauzi, 2007). Agar minyak sawit menjadi bisa dimakan (edible), maka unsur-unsur trigliserida harus dipisahkan dari unsure-unsur non-trigliserida. Unsur-unsur non-trigliserida yang larut dalam minyak seperti asam lemak bebas (FFA), karoten, serta antioksidan dapat dipisahkan secara kimiawi, sementara unsur non-trigliserida yang tidak larut dalam minyak dapat langsung dipisahkan melalui proses filtrasi bertingkat (Hadi, 2007). Minyak sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan dari minyak sawit maupun minyak inti sawit melalui proses fraksinasi, refinasi, dan hidrogenasi. Produksi CPO di Indonesia sebagian besar difraksinasi sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Fraksi olein tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestic sebagai pelengkap minyak goreng (Fauzi, 2007). Sebagai bahan baku untuk minyak makan, minyak sawit antara lain digunakan dalam bentuk minyak goreng, margarine, butter, vanaspati, shortening, dan bahan untuk membuat kue-kue. Sebagai bahan pangan, minyak sawit mempunyai beberapa keungulan dibandingkan minyak goreng lain, antara lain mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E. Di samping itu, kandungan asam linoleat dan linolenatnya rendah sehingga minyak goring yang terbuat dari buah sawit memiliki kemantapan kalor (heat stability) yang tinggi dan tidak mudah teroksidasi. Oleh karena itu, minyak sawit sebagai minyak goreng bersifat lebih awet dan
Universitas Sumatera Utara
makanan yang digoreng dengan menggunakan minyak sawit tidak cepat tengik (Fauzi, 2007). . 2. Minyak Sawit Untuk Industri Nonpangan Secara umum 90% minyak sawit digunakan sebagai minyak dan lemak makanan, sisanya 10% dikonsumsi industri oleokimia dan farmasi. Produk nonpangan yang dihasilkan dari minyak sawit dan minyak inti sawit diproses melalui hidrolisis (splitting) untuk menghasilkan asam lemak dan gliserin (Fauzi, 2007). 3. Minyak sawit sebagai bahan bakar alternatif (palm biodisel) Indonesia dan Malaysia adalah Negara produsen minyak sawit di dunia juga telah mengembangkan biodisel dari minyak sawit (palm biodisel) tetapi pengembangannya belum komersial. Palm biodisel mempunyai sifat kimia dan fisika yang sama dengan minyak bumi (petroleum diesel) sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan petroleum diesel. Palm biodiesel merupakan bahan bakar yang lebih bersih dan lebih mudah ditangani karena tidak mengandung sulfur dan senyawa benzene yang karsinogenik (Anonim, 2007).
2.8. DOBI (Deterioration Of Bleachibility Index). DOBI (Deterioration Of Bleachibility Index) atau data index pemucat merupakan perbandingan dari kandungan karoten dan produk oksidasi skunder pada CPO. Nilai DOBI yang rendah mengindikasikan naiknya kandungan produk oksidasi skunder sehingga memiliki daya pemucat yang lebih rendah atau dengan kata lain membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
bleaching Earth sehingga sulit dipucatkan karena produk-praduk karotenoid telah teroksidasi sehingga sulit dipucatkan (Warta PPKS, 2008). Karoten dalam minyak sawit bereaksi dengan asam kuat dalam kondisi tanpa adanya air menghasilkan kation hijau-biru. Perubahan warna hijau-biru yang dilihat sebagian pada proses pemucatan karena keberadaan kation – kation ini. Menurut Sarier dan Guiler, penyerapan karoten disebabkan asam aktif yang terdapat dalam tanah montmorillonit menyerap pada bagian permukaan kation karoten. Hasil dari beberapa reaksi oksidasi β-karoten dengan senyawa peroksida sendiri atau dengan katalis adalah berbagai senyawa metal oksida (dan katalis metal oksida). Reaksi oksidasi molekul ini mempengaruhi sebuah faktor elektron dan sebuah faktor stereokimia. Walaupun demikian, oksidasi β-karoten dengan molekul oksigen tak dapat dipisahkan dari reaksivitas molekul β-karoten. Karena molekul β-karoten lebih kecil dari ukuran molekul oksigen maka relatif tidak bereaksi dengan oksigen dibandingkan dengan radikal peroksida. Beberapa literatur menyatakan bahwa panas dapat mengakibatkan degradasi βkaroten dan perubahan kimia pada CPO. Pada temperatur ruangan atau sampai temperatur 100oC, umumnya diterima bahwa degradasi β-karoten oleh oksidasi. Pada temperatur yang lebih tinggi, konsentrasi oksigen menjadi tidak penting dari pada efek dari panas. Sebenarnya β-karoten tidak stabil pada temperatur yang tinggi, dan data literatur menunjukkan bahwa lebih dari 90% β-karoten rusak karena panas dalam gliserol atau parafin cair pada 210oC selama 5 menit. Kehilangan terbesar dari β-karoten pada minyak sawit ketika dipanaskan sampai 160, 180, and 200oC dan dipertahankan temperatur ini selama 20, 40 dan 60 menit (Choo Yen, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan minyak sawit pada mesokarp buah sawit yang telah masak merupakan salah satu sumber karotenoid atau karoten yang terkaya pada tanaman (500-700 ppm) (Choo, et al,1993). Karotenoid, termasuk diantaranya β-Caroten pada minyak sawit mentah berada pada kondisi bebas dan terlarut sehingga pemanfaatannya (melalui absorbsi) oleh tubuh dapat dilakukan dengan baik (Parker, 1996). Selain itu, karoten tersebut dalam bentuk trans isomer sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi vitamin A dibandingkan dengan jenis karoten yang berbentuk cis isomer (Johnson et al., 1996). Istilah karoten digunakan untuk menunjuk ke beberapa zat yang berhubungan yang memiliki formula C40H56. Karoten adalah pigmen fotosintesis berwarna oranye yang penting untuk fotosintesis. Zat ini membentuk warna oranye dalam wortel dan banyak buah dan sayur lainnya. Dia berperan dalam fotosintesis dengan menyalurkan energi cahaya yang dia serap ke klorofil (Anonim, 2006). Deterioration Of Bleachability Index ( DOBI) bukan merupakan salah satu dari spesifikasi mutu. Bagaimanapun, kebanyakan dari para pembeli CPO menginginkan produk yang telah mengalami proses penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil). Bleachibilitas atau daya pemucatan yang baik akan menjadi suatu indikator dari " kesiapan CPO untuk digunakan". Analisa kadar air, pengotoran dan asam lemak bebas sendiri tidak cukup untuk membuktikan mutu dari CPO. DOBI dalam analisanya dapat memperlihatkan suatu indikasi yang baik dari status oxidative dari CPO setelah CPO di produksi (Gee Keck Seng (M) Berhad, 2005). Produsen CPO di eropa menggunakan pengalaman mereka dalam test pemucatan di laboratorium untuk mengukur nilai pemucatan pada CPO. Produsen-produsen
Universitas Sumatera Utara
Malaysia telah mengadopsi dasar-dasar prosedur yang lebih ilmiah yang dikembangkan oleh PORIM. Prosedur ini dikenal dengan nama The Deterioration Of Bleachibility Index atau biasa disebut test DOBI. Test DOBI melibatkan pengukuran serapan ultraviolet dari minyak yang telah dilarutkan dengan suatu pelarut dengan dua panjang gelombang pengukuran yang berbeda. Yang pertama kali diukur adalah jumlah karoten dalam larutan yang belum berubah bentuk (karoten mudah rusak karena teroksidasi oksigen). Pengukuran lainnya di tujukan untuk mengukur konsentrasi produk-produk oksidative tertentu dari asam lemak bebas pada CPO. Perbandingan dari pengukuran pertama dan kedua itu adalah indikator yang sensitif untuk melihat jumlah oksidasi secara luas pada CPO. PORAM menetapkan nilai DOBI minimal 2,30 sebagai standar ( Anonim, 2006). Masalah lain yang dianggap sebagai penyebab rendahnya angka DOBI CPO adalah parameter kualitas CPO yang masih berpatokan pada asam lemak bebas (ALB) yang terkandung pada CPO maksimum 5 %. Angka 5 % ini sesuai dengan spesifikasi persyaratan mutu pada SNI Crude Palm Oil (CPO) No. SNI 01-0016-1998 yang disahkan pada tahun 1998. Dasar pengukuran mutu CPO yang berbeda dengan pasar internasional menyebabkan terjadinya potongan harga atau diskon pada CPO asal Indonesia (Sekjen Deptan, 2004). DOBI itu sendiri merupakan angka perbandingan angka serapan absorben terhadap asam lemak bebas. Apabila dihubungkan dengan aspek kualitas berdasarkan DOBI, ada 5 kelas minyak sawit mentah (CPO). CPO dengan angka DOBI <1,68, termasuk kedalam CPO yang memiliki kualitas yang buruk. Sementara itu CPO dengan angka DOBI antara 1,78 – 2,30 memiliki mutu yang kurang baik. Kemudian CPO dengan
Universitas Sumatera Utara
angka DOBI 2,30 – 2,92 mengindikasikan bahwa CPO ini memiliki mutu cukup baik. Angka DOBI 2,93 – 3,23 memperlihatkan indikasi CPO dengan mutu baik. Dan Angka DOBI diatas 3,24 berarti CPO memiliki kualitas yang sangat baik. Sementara itu kebanyakan negara tujuan ekspor menetapkan angka DOBI CPO yang dapat diterima harus memiliki angka DOBI lebih besar atau sama dengan 2,8. Angka DOBI minimal 2,8 yang diminta oleh pedagang CPO dunia diambil dari ketentuan dalam Codex Allimentariurs Commision. Pada kenyataannya sampai saat ini, CPO Indonesia rata rata memiliki angka DOBI dibawah 2,8. Dan nilai ini dianggap nilai yang kurang baik (Sekjen Deptan, 2004). DOBI adalah perbandingan nilai absorbansi spectrophotometri pada gelombang 446 nm
dengan gelombang 269 nm. Metoda ini dikembangkan oleh Dr. P. A. T.
Swoboda dari Palm Oil Research Institute of Malaysia (sekarang dikenal dengan nama Malaysia Palm Oil Board) (Gee Keck Seng (M) Berhad, 2005). Keuntungan utama pemilihan metode spektrofotometri bahwa metode ini memberikan metode sangat sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil (Anonim, 1979). Spektrofotometri menyiratkan pengukuran jauhnya penyerapan energi cahaya oleh suatu sistem kimia itu sebagai suatu fungsi dari panjang gelombang radiasi, demikian pula pengukuran penyerapan yang menyendiri pada suatu panjang gelombang tertentu (Underwood, 1986). Dalam ilmu kefarmasian spektrofotometri digunakan untuk menganalisis kadar obat. Spektrofotometri dapat mengindikasikan bahwa setiap obat harus dapat bekerja secara maksimal dalam tubuh terutama dalam hal penyerapannya. Prinsip yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan adalah suatu molekul obat dapat menyerap ultraviolet dan cahaya tampak dengan kemungkinan bahwa elektron molekul obat akan tereksitasi ke tingkat energi yang tinggi. bertujuan untuk menetukan kadar obat secara spekrofotometri serapan pada daerah ultraviolet dan cahaya tampak Spektrofotometri yang paling sering digunakan dalam industri farmasi adalah spektrofotometri ultra violet dan juga cahaya tampak. Salah satu aplikasi dari spektrofotometri ultra violet adalah penetapan kadar yang memiliki peranan penting untuk melakukan penentuan kuantitatif bahan baku dan sediaan obat. Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur absorbsi maksimum dari kurva absorbsi. Jika penetuan kadar sangat rendah atau senyawa mula-mula mengabsorbsi dibawah 200 nm, maka sering kali senyawa ini terlebih dahulu diubah menjadi suatu senyawa yang berwarna melalui reaksi kimia dan absorbsi ditentukan dalam daerah tampak. Spektrofotometri merupakan metode analisis yang didasarkan pada absorpsi radiasi elektromagnet. Cahaya terdiri dari radiasi terhadap mana mata manusia peka, gelombang dengan panjang berlainan akan menimbulkan cahaya yang berlainan sedangkan campuran cahaya dengan panjang-panjang ini akan menyusun cahaya putih. Cahaya putih meliputi seluruh spektrum nampak 400-760 mm (Anonim, 1979).
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI
Prosedur penetuan nilai DOBI ( Deterioration Of Bleachibility Index) dilakukan menurut prosedur yang tertera pada STANDAR OPERATING PROCEDURE PT. PP. London Sumatera Indonesia Tbk, Dolok Palm Oil Mill, Prosedur ini digunakan dengan Spektrofotometer ultraviolet cahaya tampak UV-1700B Shimadzu.
3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat-alat Adapun alat-alat yang digunakan adalah: •
Labu Ukur 100 ml,
•
Neraca Analitis,
•
Pipet Tetes,
•
Beaker Glass,
•
Spektrofotometer UV-Visible 1700B Shimadzu.
•
Penangas air.
3.1.2 Bahan-bahan Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah: •
CPO (Crude Palm Oil), produksi PT. PP. London Sumatera Indonesia Tbk, Dolok Palm Oil Mill.
•
Iso-Oktan (pro analys).
Universitas Sumatera Utara
Prosedur kerja
Persiapan Sampel Dicairkan sampel pada temperatur 60°C-70°C dan dihomogenkan sebelum diambil untuk bagian test.
Prosedur • Ditimbang seksama 0,1 gram sampel. • Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. • Dilarutkan sampel dengan beberapa mililiter Iso-oktan p.a sampai garis tanda. • Diukur nilai DOBI dengan memakai DOBI test yang terdapat dalam Spektrofotometer UV-Visible 1700B Shimadzu. pada panjang gelombang
446
nm dan gelombang 269 nm.
Universitas Sumatera Utara