TINJAUAN PUSTAKA
Ubi Kayu Tanaman ubi kayu telah lama dikenal dan dibudidayakan di Indonesia serta sering disebut singkong atau ketela pohon. Ubi kayu merupakan tanaman daerah tropis dan mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan. Selain itu ubi kayu pada keadaan kurang subur dan kurang air namun cukup gembur dapat memberikan hasil yang memuaskan (Ciptadi et al., 1983). Dalam
sistematika
(taksonomi)
tumbuhan,
kedudukan
ubi
kayu
diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan), Divisi : Spermathophyta (tumbuhan berbiji), Sub division : Angiospermae (berbiji terbuka), Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua), Ordo : Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus : Manihot, Spesies : Manihot utilisima (Rukmana, 1997). Pengolahan ubi kayu dapat menghasilkan berbagai produk seperti tepung gaplek, gula cair dan tepung tapioka. Diantara produk pengolahan ubi kayu yang paling banyak adalah tepung tapioka. Sitorus (1984), menyatakan bahwa dalam proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dihasilkan limbah cairan dan limbah padat yang terdiri atas empat macam yaitu: kulit yang berasal dari proses pengupasan umbi ubi kayu, sisa-sisa umbi yang tidak terparut yang berasal dari proses pengupasan, onggok yang merupakan sisa dari proses ekstraksi pati, lindur atau elot yang berasal dari pengendapan air buangan. Di Indonesia, pemakaian ubi kayu sebagai bahan pakan ternak masih sangat terbatas. Padahal potensi limbah ubi kayu tersedia melimpah. Limbah ubi
4 Universitas Sumatera Utara
kayu yang dapat digunakan bahan pencampur ternak adalah daun, kulit ubi kayu dan onggok (Rukmana, 1997).
Potensi Kulit Ubi Kayu sebagai Pakan Ternak Kulit ubi kayu merupakan limbah pengolahan tapioka yang lebih banyak terbuang sebagai sampah daripada dimanfaatkan. Darmadjati (1985), menyatakan bahwa kulit ubi kayu yang sebanyak 10-15 % dari umbinya merupakan bahan yang baik sebagai bahan pakan ternak. Lapisan ubi kayu dapat dipisahkan menjadi dua lapisan yaitu bagian luar yang berwarna gelap dan lapisan dalam yang berwarna terang yang jumlahnya kira-kira 12 %. Kulit yang diberikan pada ternak adalah kulit bagian dalam yang mengandung pati (Winarno, 1985). Dari hasil penelitian Wargiono (1979), kandungan HCN kulit ubi kayu lebih tinggi dari ubinya. Asam sianida (HCN) merupakan faktor pembatas pengguanaan kulit ubi kayu sebagai pakan ternak. Meskipun HCN terdapat dalam kulit ubi kayu namun ternak monogastrik terutama unggas diketahui kurang bermasalah dengan HCN ini dibandingkan dengan ternak ruminansia karena suasana asam dalam pencernaannya dapat menonaktifkan enzim linamarine, dengan demikian menghambat produksi HCN (Wanasuria, 1990). Menurut Rukmana (1977), komposisi kimia kulit ubi kayu adalah bahan kering 17,45 %; protein 8,11 %; TDN 74,73 %; serat kasar 15,20 %; lemak 1,29 %; Ca 0,63 % dan P 0,22 %.
Universitas Sumatera Utara
Pengolahan Pakan Ternak dengan Fermentasi Fermentasi adalah proses metabolisme dimana enzim dari mikroorganisme melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan
kimia
pada
suatu
substrat
organik
produk
tertentu
(Saono, 1974 disitasi sinaga, 2002). Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat merupakan fermentasi yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi didalam fase cair (Hardjo et al., 1989). Hardjo et al., (1989) mengemukakan keuntungan penggunaan medium padat antara lain: 1. Tidak memerlukan tambahan lain kecuali air. 2. Persiapan inokulum lebih sederhana. 3. Dapat menghasilkan produk dengan kepekatan tinggi. 4. Kontrol terhadap kontaminan lebih mudah. 5. Kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah. 6. Produktifitas tinggi. 7. Aerasi optimum. 8. Tidak diperlukan kontrol terhadap pH maupun suhu yang teliti. Selain itu dalam menyiapkan proses fermentasi medium padat perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu sifat substrat terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan derajat polimerisasi, sifat organisme karena
Universitas Sumatera Utara
masing-masing mikroba mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan metabolismenya, kinetika metabolisme dan kinetika enzim (Hardjo et al., 1989). Penambahan bahan-bahan nutrien kedalam fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan pada proses fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan karbon dioksida yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino (Fardiaz, 1989). Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium dan konidia. Pada proses fermentasi tahap awal, pertumbuhan kapang belum terlihat karena masih dalam tahap adaptasi. Selanjutnya pertumbuhan sel kapang meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah spora yang tumbuh di permukaan substrat (Supriyati et al., 1998). Pada proses fermentasi dibutuhkan dosis jamur tertentu dan waktu fermentasi tertentu pula, makin banyak dosis jamur yang digunakan makin cepat proses fermentasi berlangsung dan makin lama waktu yang digunakan makin banyak bahan yang dirombak (Sulaiman, 1998), sedangkan menurut Winarno dan Fardiaz (1979), menyatakan bahwa fermentasi kapang pada umumnya membutuhkan waktu antara 2 sampai 5 hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi menurut Kuswanto (1989) adalah konsentrasi gula, pH fermentasi, temperatur, penambahan nutrisi seperti nitrogen dan fosfor, ammonium sulfat, ammonium fosfat dan lain-lain yang mengandung N, P, K waktu fermentasi, dan aerasi.
Universitas Sumatera Utara
Aspergillus niger Aspergillus niger adalah kapang anggota Genus Aspergillus, Famili Eurotiaceae, Ordo Eurotiales, Sub-klas Plektomycetidae, Klas Ascomycetes, Subdivisi Ascomicotina dan Divisi Amastiqmycota (Hardjo et. al, 1989). Aspergillus niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, dipak secara padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memanjang diatas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup. Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35-37º C dan membutuhkan kadar air media antara 65 % sampai 75 %. Derajat keasaman untuk pertumbuhannya adalah 2 - 8,5 tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi keasaman atau pH yang lebih rendah (Fardiaz, 1989). Hardjo et al., (1989), menyatakan bahwa Aspergillus niger didalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum diserap kedalam sel. Untuk itu Aspergillus niger menghasilkan enzim ekstraselluler seperti amylase, amiglukosidase, selulase, katalase dan glukosidase, sangat baik dipergunakan untuk fermentasi kulit ubi kayu. Dalam pertumbuhannya, Aspergillus niger sangat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa nitrogen baik organik seperti pepton maupun anorganik seperti garam-garam amonium dan nitrat (Suriawiria, 1985).
Universitas Sumatera Utara
Ransum Domba Ransum adalah bahan makanan yang diberikan kepada ternak selama 24 jam. Ransum terdiri dari bermacam-macam hijauan dan bermacam-macam bahan selain hijauan makanan ternak. Ransum yang diberikan kepada ternak hendaknya dapat memenuhi beberapa persayaratan berikut. a. Mengandung gizi yang lengkap, protein, karbohidrate, vitamin dan mineral. Makin banyak ragam bahan makin baik. b. Digemari oleh ternak. Ternak suka melahapnya. Untuk ini ransum hendaknya sesuai dengan selera ternak atau mempunyai cita rasa yang sesuai dengan lidah ternak. c. Mudah dicerna, tidak menimbulkan sakit atau gangguan yang lain. d. Sesuai dengan tujuan pemeliharaan. e. Harganya murah dan terdapat di daerah setempat. (Lubis, 1998) Tabel 1. Kebutuhan harian zat-zat makanan untuk ternak domba BK Energi Protein BB ME TDN Total Kg Kg % BB DD (Mcal) (Kg) (g) 5 0.14 0.6 0.61 51 41 10 0.25 2.5 1.01 1.28 81 68 15 0.36 2.4 1.37 0.38 115 92 20 0.51 2.6 1.8 0.5 150 120 25 0.62 2.5 1.91 0.53 160 128 30 0.81 2.7 2.44 0.67 204 163
Ca (g)
P (g)
1.91 2.3 2.8 3.4 4.1 4.8
1.4 1.6 1.9 2.3 2.8 2.3
Sumber : NRC (1995)
Pencernaan pada Ternak Ruminansia Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam saluran pencernaan. Proses pencernaan ternak ruminansia lebih kompleks dibandingkan ternak lainnya. Sutardi (1980) menyatakan
Universitas Sumatera Utara
pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanik oleh mulut, fermentatif oleh mikroba rumen, dan hidrolitik oleh enzim induk semang. Ciri utama ternak ruminansia adalah perutnya terdiri atas empat bagian yaitu retikulum, rumen, omasum, dan abomasum. Dalam studi fisiologi pencernaan ternak ruminansia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal yang disebut retikuo-rumen. Pencernaan fermentatif di dalam retikulo-rumen sangat intensif dan dalam kapasitas sangat besar. Pencernaan ini terletak sebelum usus halus. Posisi ini sangat menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, ternak menjadi mampu menggunakan pakan serat dalam jumlah yang lebih besar. Pada pencernaan ruminansia terdapat suatu proses memamah biak. Pakan berserat yang dimakan untuk sementara waktu ditahan di rumen. Pada saat ternak beristirahat pakan dari rumen dikembalikan ke mulut (regurgitasi)buntuk dikunyah kembali (redeglutasi). Selanjutnya dicerna lagi oleh enzim mikroba rumen menjadi VFA, CO2 dan CH4. Aktifitas pengunyahan dan ruminasi dalam mulut membantu degradasi pakan secara mekanis. Aktifitas ini juga merangsang sekresi saliva dari mulut. Saliva merupakan sumber cairan buffer utama untuk stabilitas ekosistem rumen. Fungsi saliva adalah sebagai cairan buffer, lubrikan, penghematan air, homeostatis Na, memperkecil kemungkinan terjadinya kembung perut (bloat) dan Sebagai buffer, cairan saliva agak alkalis dengan pH 8,20 (Sutardi, 1977). Ukuran rumen dan retikulum sangat besar meliputi 70-75% dari organ pencernaan. Retikulo-rumen dihuni bermacam-macam mikroba. Dari segi peencernaan pakan, peranan retikulo-rumen memberi sumbangan 40-70%
Universitas Sumatera Utara
terhadap kecernaan bahan organik pakan. Oleh sebab itu rumen dan retikulum merupakan bagian penting dari organ pencernaan ruminansia, rumen dihuni berbagai jenis berbagai jenis mikroorganisme anaerob yaitu bakteri, protozoa, fungi dan virus. Pada pertumbuhannya mikroba rumen membutuhkan suhu sekitar 39-410C dan pH 6,50-7,0 (Lloyd et al., 1978) Ruminansia
mempunyai
kemampuan
yang
unik
yakni
mampu
mengkonversi pakan dengan nilai gizi rendah menjadi pangan berkualitas tinggi. Proses konversi ini disebabkan oleh adanya proses microbial fermentation atau fermentasi mikrobial yang terjadi dalam rumen (Bartle, 2006). Rumen atau perut besar merupakan bagian terbesar dari susunan ruminansia. Namuan rumen tidak dapat dipisahkan dari ketiga bahan lainnya, yaitu retikulum, omasum dan abomasum. Disamping metabolisme dalam tubuh, pada ruminansia terjadi proses metabolisme dalam rumen oleh mikroorganisme melalui proses fermentasi pakan. Pelaku utama pada proses fermentasi dalam rumen ialah mikroorganisme. Produk akhir dari fermentasi adalah asam lemak terbang antara lain asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam formiat, asam valerat, asam suksinat, asam laktat, ammonia, karbondioksida dan air, yang bagi mikroorganismenya itu sendiri merupakan limbah, namun bagi induk semang merupakan sumber energi.
Ekologi Rumen Adanya mikroba dan aktifitas fermentasi di dalam rumen merupakan salah satu karakteristik yang membedakan sistem pencernaan ternak ruminansia dengan ternak lain. Mikroba tersebut sangat berperan dalam mendegradasi pakan yang masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat
Universitas Sumatera Utara
dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi (Yan Offer dan Robert 1996). Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan ruminanasia terdiri dari bakteri, protozoa, dan jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston dan Leng, 1987). Dan faktor-faktor lain yang membatasi keberadaan protozoa dalam rumen adalah konsentrasi amonia, kecepatan pertumbuhan bakteri, dan kandungan bahan kering dalam rumen (Veira et al, 1984). Bakteri rumen banyak jenisnya dan populasinya berkisar antara109 -1012 sel /ml isi rumen (Stewart, 1991). Menurut Baldwin dan Allison (1983) lebih kurang 80% bakteri rumen membutuhkan amonia untuk proses pertumbuhannya. Jumlah protozoa dalam rumen sangat beragam menurut jenis makanan, umur dan keturunan hewan tersebut. Hal ini juga didukung oleh Shirley (1986) yang mengatakan protozoa sangat sensitive terhadap asam, jumlahnya berkurang jika berada pada pH yang rendah (Arora, 1995) Populasi protozoa, salah satu jenis mikroba yang hidup di dalam rumen, berkisar antara 105-106 sel/ml cairan rumen (Ogimoto dan Imai, 1981), dan sangat tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Protozoa biasanya memberikan kontribusi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen. Walaupun populasinya hanya setengah dari populasi bakteri yang ada dalam rumen, tetapi biomassanya jauh lebih besar yaitu mencapai 50% dari total biomassa seluruh mikroba rumen (Jouany, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatyle Fatty Acids = VFA’s) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. VFA’s diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan sumber energi oleh ternak, sedangkan produk metabolis yang tidak dimanfaatkan oleh ternak pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun, yang lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant et al., (1995) menyebutkan bahwa 2/3 –3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba. Protozoa memangsa bakteri yang justru sangat bermanfaat dalam mencerna serat kasar, sehingga jumlah bakteri berkurang sampai setengahnya. Sehingga pada kondisi ini lebih baik dilakukan defaunasi pada rumen untuk mengurangi jumlah protozoa, menunjukkan bahwa domba yang didefaunasi, pertumbuhannya meningkat sebesar 37%. Oleh karena itu perlu ditekan sampai jumlah tertentu (Sembiring, 2010). Volatyle Fatty Acid (VFA) VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Komposisi VFA didalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf, dan frekuensi
Universitas Sumatera Utara
pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah adalah 80 sampai 160 mM. Produksi VFA total menunjukkan jumlah pakan (terutama karbohidrat yang merupakan prekusor produksi VFA total yang difermentasikan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1980). Sakinah (2005) menambahkan, semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Sutardi (1977) menyatakan produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan rumen dan frekuensi pemberian makan. Komposisi VFA didalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf, dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan (Sakinah, 2005). Asetat, propionat dan butirat merupakan tiga asam lemak terbang utama yang dihasilkan dalam perombakan karbohidrat.VFA diadsorbsi melalui dinding rumen dan diangkut dalam darah ke hati yang akan diubah menjadi sumber energi lain. Energi yang dihasilkan digunakan. Rasio VFA yang dihasilkan tergantung pada tipe bahan pakan yang diberikan dan dicerna. Energi yang digunakan untuk berbagai fungsi seperti produksi susu, hidup pokok, kebuntingan dan pertumbuhan.
Universitas Sumatera Utara
Asetat Asetat merupakan produk akhir fermentasi serat. Bahan pakan dengan kandungan serat tinggi namun rendah energi menghasilkan rasio asetat : propionat yang tingg. Asetat diperlukan untuk memproduksi lemak susu. Produksi asam asetat yang rendah dapat menekan produksi lemak susu. Propionat Propionat merupakan produk akhir fermentasi gula dan pati. Sebagian besar energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksi laktosa diperoleh dari propionat. Bahan pakan dengan kandungan karbohidrat mudah terfermentasi yang tinggi akan menghasilkan propionat dan butirat relatif lebih tinggi daripada asetat. Propionat dianggap lebih efisien sebagai sumber energi karena fermentasi dalam produksi propionat
menghasilkan lebih sedikit
gas metan dan
karbondioksida. Produksi propionat yang rendah menyebabkan sintesis laktosa dan produksi susu secara keseluruhan menurun. Defisiensi energi akibat ketidakcukupan produksi propionat, ternak akan merombak lemak tubuh yang menyebabkan ternak kehilangan berat badan. Butirat Butirat dimetabolisme dalam hati menjadi badan keton. Badan keton digunakan sebagai sumber energi untuk pembentukan asam lemak, otot kerangka dan jaringan tubuh lain. Badan keton juga dihasilkan dari perombakan lemak tubuh yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Gas Karbondioksida (CO2) dan methan dihasilkan selama fermentasi karbohidrat. Keduanya dibuang melalui dinding rumen atau hilang melalui
Universitas Sumatera Utara
eruktasi atau sendawa. Sebagian CO2 ada yang digunakan oleh mikroba intestin dan ternak untuk mempertahankan kandungan bikarbonat saliva. Methan tidak dapat dipergunakan oleh ternak sebagai sumber energi. Table 2 : Asam-asam lemak terbang cairan rumen dari berbagai spesies Spesies
Asetat
Sapi Domba Unta
50-56 53-66 77,1
Propionat (% molar dari total) 18-24 19-27 16,4
Butirat 13-21 12-17 6,5
(Arora, 1995)
Amonia (NH3) Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia. Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 7080%, atau 30-40% untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al.,2002). Selain itu, tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi kadar NH3. Gula terlarut yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk menghabiskan amonia (Arora, 1995). Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba, maka NH3 akan terakumulasi dan
Universitas Sumatera Utara
melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Peningkatan
jumlah
karbohidrat
yang
mudah
difermentasi
akan
mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia (Ranjhan, 1977). Parakkasi dan Haryanto (2005) mengatakan konsentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradibilitasnya, lama dalam rumen dan pH rumen. Peningkatan populasi mikroba sangat menguntungkan bagi hewan ternak, selain meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen ternak juga akan mendapat pasokan protein mikroba yang telah mati dan mengalir ke usus. Produksi amonia yang dapat memenuhi kebutuhan tidak akan merugikan sintesis mikroba rumen, sebaliknya jika produksi amonia rendah akan mempengaruhi produksi sintesis mikroba rumen. Wohlt et al (1973) menyatakan produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi. Jika pakan defesien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi maka,konsentrasi NH3 rumen akan rendah ( lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM).
Universitas Sumatera Utara