BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan Tanaman pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu tanaman buah tropis asal Meksiko Selatan. Tanaman ini diketahui tumbuh di daerah-daerah basah, kering, daerah dataran rendah, serta pegunungan (sampai ketinggian 1.000 m dpl). Di daerah dataran tinggi, sebenarnya pepaya dapat tumbuh, tetapi buah yang dihasilkan kurang optimal (Sujiprihati dan Suketi, 2009).
Gambar 1 : Pepaya (Carica papaya Linn.) Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang tergolong buah terpopuler dan digemari oleh seluruh penduduk penghuni bumi. Daging buahnya lunak, warna merah atau kuning, rasanya manis dan menyegarkan, karena mengandung banyak air. Nilai gizi buah ini cukup tinggi karena banyak mengandung provitamin A dan vitamin C juga mineral kalsium. Pemanfaatan pepaya cukup beragam daun pepaya, bunga dan buah yang masih mentah dapat
dibuat sebagai bahan berbagai ragam sayuran. Dan buah yang masak biasanya di buat manisan, buah dalam sirup, saus, selai, dan sebagainya (Kalie, 1996). 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Pepaya Berdasarkan taksonominya, tanaman pepaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom
:
Plantae
Divisi
:
Spermatophyta
Kelas
:
Angiospermae
Sub Kelas
:
Dicotyledonae
Ordo
:
Caricales
Famili
:
Caricaceae
Genus
:
Carica
Spesies
:
Carica papaya Linn.
2.1.2 Morfologi Tumbuhan Pepaya Pepaya termasuk buah buni dengan daging buah yang tebal dan memiliki rongga buah di bagian tengahnya. Batangnya berbentuk selinder dengan diameter 10-30 cm dan berongga. Daun-daunya tersusun spiral berkelompok dekat dengan ujung batang, tangkai daun, dapat memanjang 1 m, berongga dan berwarna kehijauan, merah jambu kekuningan dan keuangan. Helaian daunnya berdiameter 25-75 cm, bercuping 7-11, menjari, kadang-kadang ada yang tidak menjari, serta tidak berbulu. Buah pepaya umumnya berkulit tipis, halus, serta berwarna kekuningkuningan
sampai atau jingga ketika matang. Daging buah yang berwarna
kekuning-kuningan sampai dengan warna jingga merah memiliki rasa yang manis dengan aroma yang lembut dan sedap (Sujiprihati dan Suketi, 2009). 2.1.3 Daerah Asal Tumbuhan Pepaya Menurut sejarah, asal dari pohon pepaya ini adalah mexiko bagian selatan. Sedangkan orang yang berjasa menyebarkan pepaya kedaerah tropis adalah oarang-orang dari spanyol (muljana, 2008). 2.1.4 Nama Daerah Tumbuhan Pepaya Papaw (Inggris), Pepaya (Indonesia), Betik, kates, Telo gantung (Jawa), Gedang (Sunda), popaya (Gorontalo). 2.1.5 Manfaat daun pepaya Daun pepaya ternyata memiliki segudang manfaat untuk tubuh. Dibalik rasa pahitnya ternyata daun pepaya menyimpan khasiat yang begitu banyak diantaranya
mengobat
jerawat,
pelembut
daging,
melancarkan
ASI,
memperlancar pencernaan, mengobati demam berdarah, nyeri hait, batu ginjal, malaria, kanker dan lain-lain. 2.1.6 Kandungan Daun Pepaya Pepaya (Carica papaya Linn) memiliki kandungan zat kimia yang cukup banyak diantaranya yakni alkaloid carpaine, caricaksantin, violaksantin, papain, saponin, flavonoid, dan tanin. Selain itu Daun pepaya juga mengandung berbagai macam zat, yang sangat dibuthkan oleh manusia untuk meningkatkan kesehatan tubuh antara lain Vitamin A yang jumlahnya sangat besar (tinggi) 18250 SI, Vitamin B1 0,15 mg, Vitamin C 140 mg - Kalori 79 kal, Protein 8,0 gram, Lemak 2 gram, Hidrat
Arang 11,9 gram, Kalsium 353 mg, Fosfor 63 mg, Besi 0,8 mg, Air 75,4 gram (Rita, 2010).
2.2 Alkaloid Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan (tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan). Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhtumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit. Selanjutnya dalam Meyer’s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh-tumbuhan, dan sering dibedakan berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan sepasang elektronnya (Lenny, 2006).
Gambar 2 : Struktur Kimia Alkaloid Purin (Fattorusso dan Scafati, 2008).
Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat, berbentuk kristal tidak berwarna (berwarna dan sepertinya berwarna kuning). Alkaloid sering kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya. Ada juga alkaloid yang berbentuk cair, seperti konina, nikotina, dan higrina. Sebagian besar alkaloid mempunyai rasa yang pahit. Alkaloid juga mempunyai sifat farmakologi. Sebagai contoh, morfina sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang, atrofina berfungsi sebagai antispamodia, kokain sebagai anestetik lokal, dan strisina sebagai stimulan syaraf. Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan pemakaiannya di bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali kabur. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut (Robinson, 1995): 1. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang tidak dianut lagi). 2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan konsep yang direka-reka dan bersifat ‘manusia sentris’. 4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat. 5. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion dalam tumbuhan. Sejalan dengan saran ini, pengamatan menunjukkan bahwa pemberian nikotina ke biakan akar tembakau meningkatkan pengambilan nitrat. Alkaloid dapat pula berfungsi dengan cara pertukaran dengan kation tanah. Semua alkaloid mengandung paling sedikit sebuah nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Batasan mengenai alkaloid seperti dinyatakan di atas perlu dikaji dengan hati-hati. Karena banyak senyawa heterosiklik nitrogen lain yang ditemukan di alam bukan termasuk alkaloid. Misalnya pirimidin dan asam nukleat, yang kesemuanya itu tidak pernah dinyatakan sebagai alkaloid (Achmad, 1996). Metode pemurnian dan karakterisasi alkaloid umumnya mengandalkan sifat kimia alkaloid yang paling penting yaitu kebasaannya, dan pendekatan khusus harus dikembangkan untuk beberapa alkaloid (misalnya rutaekarpina, kolkisina,
risinina) yang tidak bersifat basa. Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstrasi bahan tumbuhan memakai asam yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya lalu basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter, dan sebagainya. Beberapa alkaloid jadian/sintesis dapat terbentuk jika kita menggunakan pelarut reaktif. Untuk alkaloid yang dapat menguap seperti nikotina dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Larutan dalam air yang bersifat asam dan mengandung alkaloid dapat dibasakan kemudian alkaloid diekstraksi dengan pelarut organik sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air (Robinson, 1995). Garam alkaloid berbeda sifatnya dengan alkaloid bebas. Alkaloid bebas biasanya tidak larut dalam air (beberapa dari golongan pseudo dan proto alkaloid larut), tetapi mudah larut dalam pelarut organik agak polar (seperti benzena, eter, kloroform). Dalam bentuk garamnya, alkaloid mudah larut dalam pelarut organik polar . Sistem klasifikasi yang diterima adalah menurut Hegnauer yaitu berdasarkan asal mulanya (biogenesis) dan hubungannya dengan asam amino (aktivitas, asal– usul asam amino dan sifat kebasaannya), alkaloid dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: (1) True alkaloid, (2) Proto alkaloid, dan (3) Pseudo alkaloid. Ciri-ciri dari ketiga kelas alkaloid adalah sebagai berikut (Lenny, 2006) : 1. True alkaloid Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; toksik, perbedaan keaktifan fisiologis yang besar, basa, biasanya mengandung atom nitrogen di dalam
cincin heterosiklis, turunan asam amino, distribusinya terbatas dan biasanya terbentuk di dalam tumbuhan sebagai garam dari asam organik. Tetapi ada beberapa alkaloid ini yang tidak bersifat basa, tidak mempunyai cincin heterosiklis dan termasuk alkaloid kuartener yang lebih condong bersifat asam. Contoh dari alkaloid ini adalah kolkhisina dan asam aristolokhat.
Gambar 3. Contoh dari true alkaloid: Kolkhisina dan Asam Aristolokhat (Lenny, 2006). 2. Proto alkaloid Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; mempunyai struktur amina yang sederhana, di mana atom nitrogen dari asam aminonya tidak berada di dalam cincin heterosiklis, biosintesis berasal dari asam amino dan basa, istilah biologycal amine sering digunakan untuk alkaloid ini. Contoh dari alkaloid ini adalah meskalina dan efedrina.
Gambar 4. Contoh dari Proto alkaloid: Meskalina dan Efedrina (Lenny, 2006).
3. Pseudo alkaloid Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; tidak diturunkan dari asam amino dan umumnya bersifat basa. Contohnya adalah kafeina
Gambar 5. Contoh dari Pseudo alkaloid: Konesina dan Kafeina (Lenny, 2006).
2.3 Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). 2.3.1 Tujuan Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses melarutkan komponen – komponen kimia yang terdapat dalam suatu bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan komponen yang diinginkan. Pemilihan pelarut harus memenuhi criteria : murah, dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral,
tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan oleh peraturan (Harbone, 1996). Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen – komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan dengan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi ini berdasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk menembus dinding sel dan masuk dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya perbedaan konsentrasi di dalam dan konsentrasi di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut oragnik yang mengandung zat aktif ke luar sel. Proses ini berlangsung terus – menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Anonim, 1996). 2.3.2 Maserasi Menurut bahasa maserasi adalah macerare artinya merendam. Sedangkan menurut istilah maserasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air, misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan buku resmi kefarmasian. Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 3 hari terlindung dari cahaya sambil berulamg – ulang diaduk. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil – kecilnya
antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Cairan penyari akan menembus dinding sel (Anonim, 1995).
2.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmialoff dan Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada KLT, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempengkaca, pelat aluminium,atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaru kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending),atau karena pengaruhgravitasi pada pengambangan secara menurun (descending ) (Gandjar dan Rohman, 2007). Pada dasarnya prinsip pada KLT sama dengan kromatografi kertas hanya KLT mempunyai kelebihan yang khas dibandingkan dengan kromatografi kertas yaitu keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya (Harborne, 1996). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupaka metoode kromatografi cair yang paling sederhana, penggunaannya telah meluas dan diakui merupakan cara pemisahan yang baik. KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, ataupun preparatif.
Maksudnya, KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion anorganik, kompleks senyawa organik dan anorganik, dan senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa organik sintetik. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai pada kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi/KCKT (Gritter, 1991). Kromatografi lapis tipis memiliki beberapa keuntungan : (1) kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis, (2) identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warana, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet, (3) dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), atau dengan cara elusi 2 dimensi, dan (4) ketetapan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak (Gandjar dan Rohman, 2007). Selain itu, kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, cepat dan mudah dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan dapat dilaksanakan lebih cepat. Kromatografi ini menggunakan lempeng kaca atau plastic yang dilapisi dengan adsoben berupa serbuk halus dengan ketebalan 0,1 – 0,25 mm (Sudjadi, 1998). Perpindahan komponen atau senyawa pada kromatografi ini tergantung pada jenis pelarut, zat pelarut, zat penyerap dan sifat daya serapnya terhadap masing – masing komponen. Komponen yang larut terbawa oleh fase gerak (cairan pengelusi) melalui adsorben (fase diam) dengan kecepatan perpindahan yang berbeda. Perbedaan kecepatan ini dinyatakan dengan Rf (faktor retensi), yaitu
perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dan jarak yang diutempuh pelarut (Adnan, 1997)
Harga Rf berkisar antara 0,1 – 0,99 dan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain : pelarut, suhu, struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari lapisan penyerap,
jumlah
cuplikan
yang
digunakan
serta
teknik
percobaan
(Sastrohamidjojo, 2002). Identifikasi senyawa tak berwarna pada lempeng, biasanya digunakan sinar UV (254 atau 366 nm) dan reagen semprot (Hostetman dan Marston, 1995).