11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah: watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Definisi daerah aliran sungai pada Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Daerah aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai. Olehnya itu, tataguna daerah aliran sungai harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan kepentingan. Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Dalam sistem DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting.
Dalam
setiap
aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah pelaksanaan
12
kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan
demikian
pengelolaan
daerah
aliran
sungai
selain
mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar pada Gambar 2.
Gambar 2. Model pengelolaan daerah aliran sungai (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004) Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka daerah aliran sungai dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri: lereng terjal, terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukan dan keluaran berupa air dan sedimentasi.
13
Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil, tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik: alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk dataran banjir serta terbentuk meander. Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber daya air. Kodoatie dan Sjarief (2008) menguraikan bahwa dalam suatu DAS banyak sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air. Olehnya itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu kesatuan minimal dalam suatu daerah aliran sungai. Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem. Asdak (2007) menguraikan proses interaksi dalam DAS yaitu dengan masukan berupa curah hujan dan erosi. Sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen. Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai bertindak sebagai prosessor. Proses erosi pada daerah tangkapan air sangat erat kaitannya dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem DAS
merupakan
suatu
rangkaian
komponen
ekosistem
yang
harus
dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas input, proses dan output tergambar pada Gambar 3.
14
Input = Curah hujan
Vegetasi
Tanah
Sungai
Manusia = IPTEK
DAS = Prosessor
Output = debit dan muatan
Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007) Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidroorologis di alam. Keseimbangan tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas tanah serta kondisi sungai. Keterkaitan antara karakteristik DAS dengan kinerja sungai diuraikan oleh Haryoguritno (1998) bahwa keberlanjutan sungai dapat diungkapkan sebagai kinerja sungai dalam menyediakan aliran andalan bagi komunitasnya. Indeks kinerja sungai ditentukan luas DAS, panjang sungai, kelerengan sungai, kondisi geologi DAS, kerapatan pematusan, curah hujan, tata guna lahan, persentase luas hutan, persentasi aliran permukaan yang terkendali dan kepadatan pendudukan di wilayah sungai.
2.2.Sungai Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa: “sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.”. Sungai adalah bagian dari muka bumi yang paling rendah dibandingkan dengan permukaan sekitarnya dan
menjadi tempat air mengalir. Dari sudut
15
pandang ekologi,
sungai dipandang sebagai wilayah keairan dinamis akibat
pengalirannya. Sungai merupakan sistem terbuka dengan faktor dominan aliran air. Aliran air ini melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran sungai atau morfologi sungai tertentu. Hui dan Ming (2009) mengungkapkan bahwa sungai memiliki lima fungsi alamiah yaitu: 1) Fungsi transportasi aliran yaitu mengangkut aliran air hujan serta mengangkut sedimen serta mempertahankan kondisi normal sungai, 2) Fungsi sumber daya air permukaan, 3) Fungsi tangkapan air pada limbah industri, pertanian dan pemukiman, 4) Fungsi habitat bagi biota akuatik, dan 5) Fungsi natural barrier atau pelindung alami.
Dari kelima fungsi tersebut, fungsi
pengangkutan aliran air dan sedimen merupakan fungsi yang terpenting dalam pengelolaan sungai. Sosrodarsono dan Takeda (2006) menguraikan bahwa sungai mempunyai fungsi
mengumpulkan
curah
hujan
dalam
suatu
daerah
tertentu
dan
mengalirkannya ke laut. Sungai dapat digunakan untuk berjenis-jenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan lain-lain. Dalam bidang pertanian sungai berfungsi sebagai sumber air yang penting untuk irigasi. Sungai juga merupakan salah satu elemen dalam siklus hidrologi dimana sungai mengumpulkan 3 (tiga) jenis limpasan yakni limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater runoff) (Sosrodarsono dan Takeda, 2006). Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian terinfiltrasi dan sebagian mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah yang lebih rendah dan masuk ke sungai. Aliran air ini merupakan limpasan permukaan. Aliran intra berasal dari aliran air yang terlebih dahulu terserap oleh tanah dan keluar kembali menuju ke sungai. Limpasan air tanah bersumber dari air tanah (groundwater) yang keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah yang rendah. Jika dilihat dari bentuknya, maka morfologi sungai menggambarkan keterpaduan antara karakteristik abiotik (fisik, hidrologi, hidrolika, sedimen dan lain-lain) dan karakteristik biotik (biologi atau ekologi) daerah yang dilaluinya. Faktor yang berpengaruh terhadap morfologi sungai tidak hanya faktor abiotik
16
dan biotik namun juga campur tangan manusia dalam aktivitasnya mengadakan pembangunan di wilayah sungai (sosio antropogenik). Pengaruh campur tangan manusia ini dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang jauh lebih cepat daripada pengaruh alamiah abiotiik dan biotik saja. Forman dan Gordon (1983) dalam Waryono (2008) menguraikan bahwa morfologi sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar yang secara rinci digambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk morfologi sungai (Waryono, 2008) Berdasarkan uraian dan Gambar 4, maka morfologi sungai tidak hanya mencakup badan sungai tetapi juga daerah sekitarnya. Daerah A merupakan bantaran sungai yang merupakan pembatas antara badan sungai dengan daerah datar sekitarnya. Daerah B merupakan tebing sungai yang merupakan pembatas daerah aliran. Daerah C adalah badan sungai dan D menunjukkan tinggi muka air. Vegetasi yang tumbuh pada bantaran dan tebing sungai disebut juga vegetasi riparian. Selain itu, morofologi sungai juga ditandai dengan adanya pulau-pulau di sungai. Pulau secara ekologis merupakan habitat yang paling cocok untuk perkembangan
ekologi,
karena
pulau
relatif
terlindung
dari
gangguan
antropogenik. Secara hidrolik pulau berfungsi sebagai komponen penahan kecepatan aliran sungai dan meningkatkan deversifikasi distribusi aliran sungai. Hal ini berguna bagi proses sedimentasi, erosi dan perkembangan ekologi akuatik dan amphibi sungai (Maryono, 2008)
17
Adapun konfigurasi pulau di sepanjang sungai yang dapat muncul disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Konfigurasi pulau di sungai (Maryono, 2008) Konfigurasi pulau di sungai yang berbeda-beda disebabkan oleh pola aliran dan resistensi pulau terhadap aliran. Jika ditinjau pada arah memanjang sungai, bentuk alur sungai dapat dibedakan menjadi lurus, bercabang-cabang dan bermeander. Menurut Rosgen dalam Maryono (2007), bentuk sungai dapat dibedakan menjadi 7 tipe yaitu tipe A,B,C,D,E,F dan G sebagaimana nampak pada Gambar
6. Tipe-tipe tersebut terbentuk terutama dipengaruhi oleh
kemiringan dasar dan sedimen penyusun dasar sungainya.
Gambar 6. Karakteristik sungai (Rosgen, 1996 diacu dalam Maryono, 2007)
18
Jika ditinjau dari lebar dan luas DAS, maka sungai terbagi atas empat kelompok (Okologie, 1999 diacu dalam Maryono, 2005) yaitu: − Kali kecil dari suatu mata air yaitu dengan luas DAS 0–2 km2 dan lebar 0–1 m. − Kali kecil yaitu dengan luas DAS 2–50 km2 dan lebar 1–3 m. − Sungai kecil yaitu dengan luas DAS 50-300 km2 dan lebar 3–10 m. − Sungai besar yaitu dengan luas DAS lebih dari 300 km2 dan lebar lebih dari 10 meter. Pembagian sungai menjadi empat jenis tersebut sangat penting artinya dalam menelaah sifat-sifat sungai. Sungai-sungai kecil akan mempunyai karakter yang hampir sama, demikian pula dengan sungai sedang dan sungai besar. Salah satu karakter sungai yang dapat dilihat dari penggolongan tersebut adalah debit sungai. Pada sungai kecil yang masih alamiah, debit aliran berasal dari air tanah atau mata air dan debit aliran permukaan atau air hujan. Aliran air pada sungai jenis ini menggambarkan kondisi hujan daerah yang bersangkutan. Sedang pada sungai besar, sebagian besar debit alirannya berasal dari sungai-sungai kecil di atasnya. Secara melintang, sungai dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah badan sungai dan daerah sempadan sungai. Daerah badan sungai adalah bagian sungai yang dalam dan yang dangkal yang bila airnya surut akan diisi dengan gugus endapan. Daerah ini biasa juga disebut dengan zona akuatik. Dasar sungai dapat terdiri dari substrat berbatu, kerikil, pasir atau lumpur. Substrat berbatu atau kerikil merupakan substrat keras yang menyediakan tempat bagi tumbuhan dan hewan akuatik untuk hidup. Air mengalir melalui permukaan bebatuan akan mengandung lebih banyak oksigen. Sedangkan substrat berpasir atau berlumpur ditemukan ketika air sungai bergerak lambat. Hal ini terjadi karena aliran sungai yang lambat tidak mampu mengangkut partikel sedimen yang berukuran lebih besar seperti bebatuan atau kerikil. Sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah dengan lebar longsoran tebing sungai yang mungkin terjadi. Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan daerah hidrologis sungai yang sangat penting. Daerah sempadan sungai berfungsi memberikan kemungkinan luapan banjir pada sisi kiri dan kanan sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi, energi air dapat
19
diredam dengan demikian erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat berkurang. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir. Sempadan sungai merupakan area yang dipertimbangkan dalam perbaikan fungsi ekologi aquatik dan terrestrial, kualitas air, hidraulik dan morphologi sungai. Penetuan lebar sempadan sungai berbeda-beda tergantung tujuan pemanfaatannya. Secara rinci penentuan lebar sempadan sungai sesuai manfaatnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penentuan lebar sempadan sungai Manfaat Lebar Sempadan (meter) Tujuan konservasi Perbaikan kualitas air 5.00 30.00 Perbaikan habitat akuatik 3.00 30.48 30.00 500.00 Perbaikan habitat biota
terestrial Perlindungan kualitas air Perlindungan gerakan meandering dan banjir Sumber: Maryono, 2010
15.00 5.00
-
80.00 90.00
Namun demikian fungsi sempadan sungai untuk kepentingan kualitas lingkungan seakan diabaikan. Saat ini sebagian besar sungai di daerah-daerah pertanian telah direduksi fungsinya menjadi drainase dengan kapasitas pemulihan (self capacity) yang kecil
serta pengembangan nilai konservasi alami yang
minim. Konservasi sungai dilakukan dengan pelurusan dan pengerukan untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanian. Akibatnya terjadi perubahan kondisi fisik sungai yaitu: pengurangan panjang aliran, pengurangan fungsi penyimpanan air, tidak adanya bantaran banjir (floodplains) dan hilangnya vegetasi di sepanjang sungai (Petersen et al. 1992) Pengurangan panjang aliran sungai serta tidak adanya meandering akibat pelurusan akan memperpendek retensi waktu dan mengurangi energi disipasi hidrolik. Perubahan kondisi fisik ini menyebabkan air sungai lebih cepat mengalir ke laut, kapasitas pemulihan (self cleaning capacity) berkurang dan terjadi peningkatan transpor hara ke laut. Pengurangan fungsi penyimpan air akan mengurangi ketersediaan habitat bagi ikan dan jenis hewan akuatik lainnya. Selanjutnya tidak adanya bantaran banjir akan meningkatkan volume run off dan
mengurangi fungsi keseimbangan air (water table).
Biodiversitas juga akan
berkurang akibat tidak adanya flora dan fauna pada bantaran banjir.
20
Selain itu, vegetasi pada bantaran banjir dapat mengurangi angkutan sedimen di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian Irawan (2008) bahwa vegetasi pada riparian adalah salah satu cara untuk mengendalikan erosi tebing sungai. Demikian pula dengan uraian Sandercock et al. (2007) bahwa vegetasi pada bantaran sungai berpengaruh terhadap proses pengendapan dan pencegahan terhadap erosi. Sebagai sumber air, sungai sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Olehnya itu, maka sungai harus dikelola dengan baik demi menjaga keberlangsungan
fungsinya
berdasarkan
karakteristik
keteraturan
dan
kompleksitasnya. 2.3. Banjir Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 2007). Pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Aliran/genangan air yang terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi, 1987). Dengan demikian, kejadian banjir pada sungai menunjukkan adanya luapan di kiri dan kanan sungai dan dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Banjir terjadi ketika curah hujan dan limpasan melebihi kapasitas alur sungai untuk mengangkut debit aliran yang meningkat (Chech, 2005) Selanjutnya Arsyad (2006) menguraikan bahwa banjir yang menggenangi lahan-lahan di perkotaan dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan terjadi sebagai akibat tidak tertampungnya aliran permukaan yaitu air yang mengalir di permukaan tanah, oleh sungai dan saluran air lainnya. Debit aliran yang meningkat disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan. Selain itu limpasan permukaan juga meningkat akibat kapasitas infiltrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan curah hujan yang terjadi. Olehnya terjadinya banjir sangat terkait dengan intensitas curah hujan, infiltrasi dan limpasan permukaan. Olehnya itu, maka dalam menentukan debit banjir
21
diperlukan data curah hujan yang dianalisis menjadi intensitas curah hujan. Gambaran kejadian banjir pada sungai disajikan pada Gambar 7
DAERAH PENGUASAAN SUNGAI
GS DEBIT > 50 TAHUNAN
BANJIR
Garis Sempadan (GS)
DATARAN BANJIR DATARAN BANJIR SUNGAI
Gambar 7. Kejadian banjir di sungai Nahak et al. (2008) yang mengkaji tentang penyebab utama terjadinya genangan pada Sungai Muke di NTT serta alternatif pengendalian banjir dengan menganalisis kapasitas tampang hidraulis sungai dalam mengalirkan debit banjir kala ulang 10 tahun. Hasil kajiannya adalah banjir terjadi akibat rendahnya kapasitas tampang maksimum (bank full capacity) sungai. Sedang penanganan terhadap genangan banjir yang direkomendasikan adalah dengan membuat storage area. Kondisi bankfull capacity yang kecil terjadi karena tingginya sedimentasi disepanjang alur sungai akibat erosi alur dan longsoran tebing sungai. Selain itu, banjir sungai juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pasang. Hal ini sesuai dengan penelitian Nanlohy et al. (2008) yang mengkaji ruas-ruas kritis banjir pada Sungai Tondano. Hasil penelitiannnya menunjukkan bahwa banjir di Sungai Tondano diakibatkan oleh bankfull capacity yang kecil serta pengaruh backwater akibat pasang naik dan lateral inflow. Alternatif terbaik yang disarankan dalam penanggulangan banjir adalah pembangunan tanggul sungai Karakteristik daerah aliran sungai juga mempengaruhi kondisi banjir yang terjadi. Untuk daerah hulu dengan alur sungai yang relatif curam dan bukit yang terjal, maka banjir dengan waktu datang sangat singkat sering terjadi. Namun di daerah ini banjir akan datang dengan waktu yang singkat, demikian pula dengan waktu berakhirnya, karena elevasi daerah yang relatif lebih tinggi sehingga air banjir dengan mudah mencari alur keluar.
22
Untuk daerah tengah banjir yang terjadi datangnya tidak secepat pada daerah hulu, demikian pula air banjir biasanya masih mudah untuk diatuskan keluar daerah dengan gaya beratnya sendiri. Pada daerah hilir, kemiringan dasar sungai maupun kemiringan tanah di kawasan ini biasanya sangat kecil dan relatif datar. Biasanya waktu datang banjir cukup lama, namun pengatusan air genangan juga mengalami kesulitan. Hal ini biasanya disebabkan oleh energi air yang sudah kecil, sehingga air genangan tidak mungkin diatuskan dengan gaya berat. Jika kondisi ini dibarengi dengan pasang surut air laut pada kondisi tinggi, maka pengatusan air tanpa bantuan pompa, hampir tidak mungkin. Pada daerah ini, penanganan banjir harus menginteraksikan pengaruh aliran banjir di sungai dengan hidrodinamika gerakan pasang surut di laut. Dalam pengelolaan banjir debit sungai merupakan parameter penentu yaitu besarnya volume aliran di sungai. Besarnya debit atau limpasan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu elemen meteorologi dan sifat fisik daerah pengaliran. Elemen meteorologi menyangkut jenis presipitasi, intensitas curah hujan, lamanya curah hujan, distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran, arah pergerakan curah hujan, curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah. Sedang elemen daerah pengaliran mencakup kondisi penggunaan tanah (landuse), daerah pengaliran, kondisi topografi dalam daerah pengaliran, jenis tanah dan beberapa faktor lain (Sosrodarsono dan Takeda, 2006). Data curah hujan terlebih dahulu harus dihitung probabilitasnya sehingga memenuhi standar dengan tingkat ketelitian yang dapat diterima. Probabilitas curah hujan dihitung dengan Metode Gumbel dan Metode Log Pearson Type III serta Uji Chi Square. Metode Gumbell adalah metode distribusi eksponensial yang sekaligus telah menggunakan kurva asimetris kerapatan dan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: = X + S . K…………………………………………………………………(1) K = ( Yt – Yn)/Sn…………………………………………………………… (2) Keterangan: = Harga rata-rata dari data curah hujan (mm) X = Besarnya curah hujan rata-rata rencana (mm)
23
S
= Simpangan baku
K = Faktor frekuensi Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (n) Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data (n) Yt = Reduced variate Metode Log Pearson Type III menggunakan parameter harga rata-rata, standar deviasi dan koefisien kepencengan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Harga rata – rata :
………………………………………………(3) Standar Deviasi :
………………………………… ……(4) Koefisien kepencengan :
…………………………………………(5) Keterangan: Log X = Logaritma data yang dicari = Logaritma rata-rata data Log Xi = Logaritma data tahun ke-i K
= Konstanta Log Pearson Type III, berdasarkan Cs
S
= Simpangan baku
Cs
= Koefisien kepencengan
n
= Jumlah data Uji kesesuaian Chi Square …………………………………………………(6)
Keterangan: = Harga uji statistik Ei
= Frekuensi yang diharapkan
Oi
= Frekuensi pengamatan
24
Besarnya intensitas hujan dapat ditentukan dengan rumus empiris Talbot, Sherman dan Ishiguro dengan
Metode Van Breen, Metode Bell Tanimoto
(Soemarto : 1986) yang diuraikan sebagai berikut: Metode Van Breen menggunakan persamaan sebagai berikut:
……………………………………………(7) Keterangan = Intensitas Hujan (mm/jam) pada PUH T pada waktu konsentrasi tc Tc
= Waktu konsentrasi (menit)
RT
= Curah hujan harian maksimum PUH T (mm/jam) Metode Bell Tanimoto menggunakan persamaan :
………………………………………….………(8) Keterangan R
= Curah hujan (mm)
T
= Periode ulang (Tahun)
T
= durasi hujan (menit)
R1
= besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto
R2
= besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 2 menurut Tanimoto
Persamaan Talbot: I=
a ………………………………………………………………(9) t +b
(∑ I .t ).(∑ I 2 ) − (∑ I 2 t )(∑ I ) …………………………………….(10) a= n(∑ I 2 ) − (∑ II ) 2 b=
(∑ I .(∑ I .t ) − n(∑ I 2 t ) ……………………………………………(11) n(∑ I 2 ) − (∑ II ) 2
Persamaan Sherman: I=
a …………………………………………………………………(12) tn
log a =
[
]
(log I ). (log .t ) − (log .t. log .I )(log .t )
[
]
n. (log .t ) − (log t ) 2 2
………………………(13)
25
n=
[ ] n.[(log .t ) ] − (log t )
(log I ). (log .t ) − n(log .t. log .I ) 2
2
………………………………..(14)
Persamaan Ishiguro: I=
a t +b
……………………………………………………..……(15)
a=
(I .t )( I
b=
(I .)( I 2 .t 0.5 ) − n.( I 2 t 0.5 ) ……………………..…………………..(17)
) − ( I 2 t 0.5 )( I ) n.( I 2 ) − ( I ) 2
0.5
2
………………………………………(16)
n.( I 2 ) − ( I ) 2
Keterangan: I = Intensitas hujan (mm/jam) t = waktu (durasi) hujan (menit) a,b = konstanta ( ) = jumlah angka-angka dari tiap suku. Curah hujan efektif merupakan parameter curah hujan yang dipengaruhi oleh koefisien limpasan/koefisien pengaliran. Koefisien tersebut merupakan perbandingan antara banyaknya limpasan dengan banyaknya curah hujan. Koefisien limpasan ditetapkan berdasarkan tabel koefisien limpasan yang disajikan pada Tabel 2. Besarnya curah hujan efektif adalah hasil perkalian antara intensitas hujan dengan koefisien limpasan permukaan. Tabel 2. Koefisien limpasan Kondisi daerah pengaliran dan sungai Daerah pegunungan yang curam Daerah pegunungan tersier Tanah bergelombang dan hutan Tanah dataran yang ditanami Persawahan yang diairi Sungai di daerah pegunungan Sungai kecil di dataran Sungai besar yang lebih dari setengah daerah pengalirannya terdiri dari dataran Sumber : Sosrodarsono dan Takeda, 2006.
f 0.75 – 0.90 0.70 – 0.80 0.50 – 0.75 0.45 – 0.60 0.70 – 0,80 0.75 – 0.85 0.45 – 0.75 0.50 – 0.75
Selanjutnya untuk menggambarkan variasi debit atau permukaan air menurut waktu dibuat hidrograf satuan. Hidrograf satuan adalah hidrograf
26
limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif merata di DAS dengan intensitas tetap (diambil 1 mm/jam) dalam satu satuan waktu yang ditetapkan (diambil 1 jam). Hidrograf satuan ini dianggap tetap selama faktor fisik DAS tidak mengalami perubahan. Upaya ini bisa digunakan untuk menghitung debit sungai (Priyantoro, 2009). Diagram ini dapat dibuat berdasarkan hasil pembacaan di lapangan. Namun jika data tersebut tidak tersedia, maka dapat dibuat hidrograf sintetik antara lain dalam bentuk hidrograf Nakayashu. Hidrograf Nakayasu digunakan untuk menganalisis debit banjir yaitu berdasarkan Gambar 8.
Gambar 8. Hidrograf Nakayashu Besarnya debit puncak dihitung dengan persamaan: Qp =
CA . R0 3.6(0.3 Tp + T0.3 )
…………………………………………(18)
Keterangan: Q p = Besarnya debit puncak banjir (m3/dt) CA = Catchment Area = Luas daerah aliran (km2) R0
= Curah hujan satuan (1 mm)
Tp
= Waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T 0.3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari debit puncak sampai menjadi 30 % dari debit puncak (jam).
27
Untuk menghitung Tp dan T 0.3 digunakan rumus: Tp = Tg + 0.8 Tr ………………………………………………(19) = α . Tg ……………………………………………………...(20)
T 0,3
Tr = 0.75 . Tg …………………………………………………..(21) a. Jika panjang sungai > 15 km : Tg = 0.4 + 0.058 L
………………………………………(22)
b. Jika panjang sungai < 15 km : Tg = 0.21 . L0.7 ………………………………….………….(23) Keterangan: Tg = Time lag, yaitu waktu antara permulaan hujan sampai puncak banjir (jam) Tr = Satuan waktu hujan (jam) α = Parameter hidrograf L = Panjang alur sungai (km). Bagian lengkung Model Nakayasu mempunyai persamaan sebagai berikut: Waktu naik : 0 ≤ t < Tp t Q n = Q p . Tp
2.4
……………………………………………(24)
Waktu turun : Tp ≤ t < (Tp + T 0.3 ) : t −Tp T 0.3.
Q t = Qp . 0.3
……………………………………(25)
(Tp + T 0.3 ) ≤ t < (Tp + T 0.3 + 1.5 T 0.3 ) t − Tp + 0.5T0.3 1, 5 − T0.3
Q t = Q p . 0.3
……………………………………(26)
t > (Tp + T 0.3 + 1.5 T 0.3 ) t − Tp +1.5T0.3 2 T0.3
Q t = Q p . 0.3
…………………….………………(27)
28
Penentuan terjadinya banjir didasarkan pada perbedaan tinggi muka air banjir dengan tinggi tanggul. Tinggi muka air banjir dihitung berdasarkan persamaan hidrolika. Karakteristik tersebut adalah kekasaran saluran, debit sungai (Q) dan tinggi muka air banjir (h). Parameter tersebut diperoleh berdasarkan persamaan sebagai berikut (Maryono, 2005): Perhitungan drag koefisien berdasarkan kecepatan air dan ketinggian air aktual.
…………………………………………….(28) Keterangan: λ
= drag koefisien
Vm = kecepatan aktual lapangan (m/s) h
= ketinggian air (m)
IE
= garis energi (%) Persamaan 1/√λ dan R/K s diperoleh dengan memasukkan nilai Ks (duga)
secara berulang hingga diperoleh beberapa nilai 1/√λ yang pada persamaan: ………………………………(29) Keterangan: R
= jari-jari hidrolis saluran
Jari –jari hidrolis saluran diperoleh dengan rumus: R = P/A……………………………………………………….(30) Keterangan: P = Keliling basah saluran (m) A = Luas penampang basah (m2) Persamaan kecepatan air:
………………………………..………(31) Keterangan : V = kecepatan air (m/s)
29
Persamaan debit: Q = VxA ……………………………………..………..(32)
Keterangan: Q = debit aliran (m3/s) A = luas penampang basah (m2) 2.4. Pengelolaan Sungai Pengelolaan sungai merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air. Dalam Undang Undang No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 1 diuraikan bahwa pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Selanjutnya
dalam Pasal 25 diuraikan bahwa konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai. Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai Pasal 18 diuraikan bahwa pengelolaan sungai meliputi konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai. Tahapan kegiatan dalam pengelolaan sungai adalah penyusunan program dan kegiatan, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan dan evaluasi. Salah satu bagian pengelolaan sungai adalah upaya pengendalian banjir atau pengendalian daya rusak air. Pengendalian banjir dapat dilaksanakan dengan dua metode yaitu metode struktur dan metode non struktur. Metode struktur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: a) perbaikan dan pengaturan sistem sungai berupa sistem jaringan sungai, normalisasi sungai, perlindungan tanggul, tanggul banjir, sudetan, dan floodway dan b) bangunan pengendali banjir berupa bendungan, kolam retensi, pembuatan check dam, bangunan penguras, kemiringan sungai, groundsill, retarding basin dan polder. Sedang metode non strukutural antara lain adalah pengelolaan DAS, pengaturan tataguna lahan, pengendalian erosi. Pengembangan daerah banjir, pengaturan daerah banjir, penanganan kondisi darurat, peramalan banjir, peringatan bahaya banjir, asuransi dan penegakan
30
hukun. (Kodoatie dan Sugianto, 2002). Sedang dalam Undang Undang No.7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 21 diuraikan bahwa upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau sipil teknis
melalui pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Upaya tersebut
merupakan dasar dalam penatagunaan lahan. Uraian ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan sungai dapat dilakukan secara struktural (sipil teknis) dan non struktural (vegetatif). Namun demikian, secara umum upaya pengelolaan sungai dilakukan secara sturktural. Pengembangan sungai-sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir ini mengalami peningkatan pembangunan fisik yang realatif cepat. Pembangunan fisik tersebut misalnya pembuatan sudetan, pelurusan, pembuatan tanggul sisi dan pembetonan tebing, baik pada sungai kecil maupun pada sungai besar. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan aliran menuju hilir dan sungai bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang lebih besar dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan sebelumnya. (Maryono, 2005) Sudetan
merupakan
pengelolaan
sungai
yang
bertujuan
untuk
menghilangkan aliran sungai pada meandering dengan cara menyudet sungai di tempat-tempat tertentu sehingga air tidak melewati meander lagi. Pada pengelolaan tersebut, maka secara ekologi pada daerah meander tidak lagi merupakan suatu ekosistem sungai. Demikian pula pada kegiatan normalisasi sungai yang menyebabkan adanya anak-anak sungai yang tidak lagi berfungsi karena ditutup pengalirannya. Normalisasi sungai merupakan upaya untuk mengubah tampang alur memanjang sungai yang semula bermeandering menjadi relatif lurus. Selain itu, pada tampang melintang sungai yang semula tidak teratur diubah menjadi teratur (tampang segiempat atau trapesium). Pengelolaan sungai yang umum dilakukan adalah pembuatan tanggul di kiri dan kanan sungai. Pembuatan tanggul memanjang sungai (damming) adalah rekayasa teknik hidro dengan tujuan membatasi limpasan atau luapan air sungai sehingga banjir di kawasan tersebut dapat dihindari (Maryono, 2007). Konstruksi ini dinilai dapat melindungi kawasan sekitar sungai dari banjir. Tanggul dapat dibuat memanjang pada satu sisi sungai atau kedua sisinya. Tanggul satu sisi biasanya dibangun pada kondisi sungai berbatasan dengan tebing di sisi lainnya.
31
Namun demikian kegagalan struktur sering dialami berupa jebolnya tanggul akibat daya kinetis air yang besar. Akibat adanya tanggul, maka kecepatan air pada sungai menjadi lebih cepat. Pembangunan tanggul secara parsial
akan
menyebabkan terjadinya banjir di hilir, hilangnya vegetasi tebing sungai serta adanya habitat yang hilang pada daerah genangan. Uraian di atas mengindikasikan bahwa pengelolaan sungai secara struktural yang masih merupakan pilihan yang utama walaupun berdampak pada kondisi lingkungan biotik dan abiotik. Hal ini terjadi karena pengelolaan tersebut hanya memperhitungkan karakteristik hidrolika tanpa memperhitungkan karakteristik ekologi dan sosial. 2.5 Konsep Ekohidrolik Ekohidrolik berasal dari kata ecological hydraulics
yaitu konsep yang
mengembangkan unsur ekologi atau lingkungan dalam pengelolaan sungai. Konsep ini merupakan salah satu bagian dari pengelolaan sumber daya air terpadu. Sebagaimana uraian Naiman et al. (2007) bahwa dalam pengelolaan sumber daya air terpadu (IWRM) terdapat empat konsep yaitu hydroecology, aquatic ecohydrology, ecohydraulics dan environmental flows. Adapun definisi ecohydraulic adalah konsep atau kajian yang mengintegrasikan antara proses fisik dan respon ekologi pada sungai, estuaria dan lahan basah. Herricks dan Suen (2003) menguraikan bahwa ekohidrolik merupakan konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi dalam analisa hidrolika lingkungan yang memperhitungkan keberadaan organisme pada saluran. Selanjutnya Dong
(2004) menguraikan bahwa konsep ekohidrolik yang
mengintegrasikan rekayasa hidrolika dengan ekologi. Konsep ini menguraikan tentang pengaruh rekayasa hidrolika pada sistem ekologi sungai, syarat kesehatan dan keberlanjutan ekosistem akuatik. Dalam penanggulangan banjir secara ekohidrolik, maka komponenkomponen daerah aliran sungai dipandang sebagai suatu kesatuan sistem ekologi dan hidrolik secara integral. Berbeda dengan pengelolaan sungai secara konvensional yang hanya memandang daerah aliran sungai sebagai sistim hidrolik sehingga air diharapkan mengalir secepatnya ke daerah hilir. Konsep ekohidrolik
32
bertujuan untuk menahan atau merentensi air di DAS bagian hulu, tengah dan hilir secara merata. Cara ini juga sekaligus mempertahankan daerah bantaran sungai sebagai daerah penyimpan air dan dapat menanggulangi kekeringan pada musim kemarau. Pemanfaatan vegetasi dalam pengelolaan sungai merupakan tanggapan atas pengelolaan sungai yang bersifat hidrolik murni. Adapun kelemahan dari konsep hidrolik murni yaitu tidak bersifat berkelanjutan, yakni bangunan seperti tanggul akan berkurang fungsinya pada masa tertentu sesuai dengan umur rencana. Selain itu, dalam masa pemakaiannya, perlu dilakukan tindakan pemeliharaan secara berkala. Pengelolaan sungai dengan konsep hidrolik murni menyebabkan hilangnya karakter alamiah dari sungai seperti pulau, delta dan meander. Keanakeragaman hayati sungai juga berkurang dan konservasi air menurun. Maryono (2007) menguraikan bahwa penanganan banjir dengan konsep ekohidrolik secara konkrit terdiri atas: konservasi hutan, konservasi air, penataan tata guna tanah, penataan bantaran sungai serta pencegahan erosi. Konservasi hutan pada DAS bagian hulu dilakukan
untuk meningkatkan retensi dan
tangkapan air. Hal ini sesuai dengan uraian Asdak (2007) bahwa secara umum peranan hutan dalam menurunkan besaran banjir adalah melalui peran perlindungannya terhadap permukaan tanah dari gempuran kinetis air hujan (proses terjadinya erosi). Erosi dan tanah longsor pada dapat mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada sungai dan menyebabkan terjadinya banjir. Konservasi air pada penanganan banjir yaitu dengan berupaya menyebarkan jumlah air yang mengalir di sepanjang alur sungai. Maryono (2007) menguraikan bahwa konsep ekohidrolik menganut pada konsep distribusi banjir yaitu banjir besar yang terjadi secara lokal dibagi-bagi menjadi banjir kecil di sepanjang alur sungai. Banjir kecil tersebut diperlukan oleh ekosistem sepanjang sungai sebagai kelangsungan hidup flora dan fauna. Selain itu, konsep ini juga memungkinkan diaktifkannya situ atau embung alamiah sebagai kantong air. Penataan tata guna tanah pada daerah aliran sungai memberikan pengaruh terjadinya banjir. Asdak (2007) menguraikan bahwa: perubahan tata guna lahan khususnya perubahan tegakan hutan tampaknya akan memberi pengaruh terhadap terjadinya banjir dengan periode ulang 5 sampai 20 tahun. Pengaruh itupun terjadi
33
dengan catatan bahwa perubahan dari hutan menjadi bentuk tata guna lahan selain hutan, terutama tata guna lahan yang bersifat lebih memadatkan permukaan tanah sehingga menurunkan laju infiltrasi tanah atau meningkatkan air larian. Hasil penelitian Suroso dan Susanto (2006) menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan di DAS Banjaran sejak tahun 1994 hingga 2002 memberikan pengaruh terhadap debit banjir. Konsep ekohidrolik juga mengaktifkan daerah bantaran sungai sebagai retensi banjir.
Sebagai penyangga ekologi, bantaran sungai merupakan areal
penting bagi keberlanjutan sungai. Onrizal (2005) menguraikan bahwa bantaran sungai merupakan areal sempadan kiri dan kanan sungai yang terkena/terbanjiri luapan air sungai, baik dalam periode waktu yang pendek maupun periode waktu yang panjang, yang merupakan daerah peralihan (ekoton) antara sistem akuatik dengan ekosistem daratan. Sebagai ekoton, daerah bantaran sungai memiliki peran penting antara lain: menyediakan habitat yang unik bagi biota, mengatur suplai organik kesistem akuatik, sebagai indikator hidroklimat, dan mempunyai visual quality yang kuat dalam menciptakan warna, variasi dan citra yang berbeda serta menciptakan wilderness experience. Secara teknis penataan sempadan sungai dapat dibagi atas empat bagian yaitu: lebar bantaran banjir (flood plain), lebar bantaran longsor (sliding zone), lebar bantaran ekologi penyangga (ecological buffer zone) dan lebar keamanan (safety zone) (Maryono, 2007). Hal tersebut tergambar pada Gambar 9.
Gambar 9. Lebar sempadan sungai dengan pendekatan ekohidrolik. (Maryono, 2007)
34
Bantaran banjir adalah areal tepi sungai yang tergenangi air pada saat banjir. Peterson et al. (1992) menguraikan beberapa istilah terkait dengan bantaran banjir yaitu buffer strip, riparian zone, floodplain dan corridor. Semua istilah tersebut menunjukkan daerah antara aliran sungai dan dataran di sekitarnya.
Tumbuhan berupa pohonan, rumputan dan semak-semak atau
campuran berbagai bentuk dan jenis vegetasi yang ditanam sepanjang tepi kiri dan kanan sungai disebut riparian buffers strips atau filter strips. Secara umum istilah yang digunakan adalah jalur hijau sungai. Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai dengan cara menahan atau menangkap tanah (lumpur) yang tererosi serta unsur-unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida yang terbawa dari lahan di bagian kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk ke sungai. Selain itu, penyangga riparian juga menstabilkan tebing sungai. Pohonan yang ditanam di sepanjang sungai juga lebih mendinginkan air sungai yang menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air. Ferrera dan Aquiar (2006) menguraikan bahwa komposisi tanaman dan pola struktural pada vegetasi aquatia dan riparian menunjukkan indikator penting dalam mengendapkan erosi. Olehnya itu, pendekatan ekologi pada daerah bantaran sungai diarahkan untuk berperan dalam proses sedimentasi.
Dalam
kegiatan konservasi sungai secara ekologis perlu diperhitungan jenis tanaman dan daya tahannya akan kondisi basah dan kering. Vandersande et al. (2001) juga menguraikan
bahwa
Tamarix
ramosissima,
Baccharis
salicifolia,
Salix
gooddingii, Populus fremontii dan Pluchea sericea memiliki ketahanan akan salinitas dan genangan air pada Sungai Colorado bagian hilir. Pada sliding zone, dilakukan penataan vegetasi dengan tujuan agar longsoran tebing dapat dicegah. Penataan ini dilakukan dengan penerapan soil bioegineering yaitu melakukan rekayasa biologi terhadap tanah untuk mencegah erosi dan keruntuhan lereng. Teknik ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan memanfaatkan material lokal sehingga relatif murah dan mudah jika dibandingkan dengan teknik perlindungan tebing yang konvensional. Howell dalam Lammeranner et al. (2004) menguraikan bahwa soil bioegineering adalah penggunaan tanaman hidup atau potongan material tanaman
35
secara bersama-sama atau parsial untuk mengontrol erosi dan perpindahan tanah. Budinetro (2001) dalam Maryono (2005) mengungkapkan bahwa tanaman yang dapat digunakan sebagai pelindung tebing sungai di Indonesia adalah Vetiveria Zizanioides (rumput vetiver), Ipomoea Carnea (karangkungan) dan bambu. Selain itu, vegetasi pada bantaran sungai diharapkan dapat memperkecil kecepatan air. Helmio dan Jarvela (2004) menguraikan bahwa konsep bioengineering sangat berpengaruh pada hidrolika saluran yaitu pada faktor friksi Darcy Weisbach, koefisien Manning dan kekasaran dinding saluran. Ketiga faktor ini berpengaruh pada kecepatan aliran air. Selanjutnya Jarvela (2004) menguraikan hasil penelitiannya bahwa dedaunan pada vegetasi bantaran banjir berpengaruh terhadap resistensi aliran air. pengaruh tersebut berbeda-beda untuk setiap jenis dedaunan. Metode perhitungan pengaruh daerah bantaran sungai terhadap kecepatan air dan debit dilakukan berdasarkan persamaan yang diuraikan dalam Maryono (2005) sebagai berikut: Kekasaran (k T ) pada daerah bantaran sungai dihitung dengan rumus: k T = c. b II + 1.5 d P ………………………………………………(33) Keterangan: c = koefisien komposisi vegetasi b II = lebar bantaran sungai (meter) d p = diameter vegetasi Koefisien komposisi vegetasi dihitung dengan rumus: C = 1.2 – 0.3 (B/1000) + 0.06 (B/1000)1.5………………………(34) Keterangan : B = parameter vegetasi yang dihitung dengan rumus: 2
ay a ……………………………………………(35) B = x − 1 . d d p p
Keterangan: a x = jarak antar vegetasi arah melintang (m) a y = jarak antar vegetasi arah memanjang (m) d p = diameter vegetasi (m)
36
-
Perhitungan pengaruh lebar
bantaran sungai terhadap debit air untuk
ketiga jenis vegetasi. Debit air dihitung dengan persamaan: Q = (A1 x V1) + (A2 x V2) + (A3 x V3) ………………………(36) Keterangan: A1, A2, A3 = luas penampang (m2) V1,V2, V3 = kecepatan air (m/s) Q = debit (m3/s) Perhitungan luas penampang didasarkan pada notasi yang diuraikan pada Gambar 10. b3
b1
b2 Q3
Q1
h1
Q2
H
h2 b
Gambar 10. Potongan penampang sungai Gambar 10 menunjukkan bahwa Q 1 dan Q 3 adalah kapasitas bantaran sungai dalam menampung luapan air dari palung sungai, sedang Q 2 menunjukkan kapasitas sungai. Gambaran berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sungai dengan pendekatan ekohidrolik dapat diterapkan dengan penanaman vegetasi pada bantaran sungai. Kualitas ekologi sungai termasuk pada bantarannya akan meningkatkan stabilitas sungai sehingga pola aliran dan angkutan aliran tidak menyebabkan kerusakan pada ekosisten. Sebagai bagian pengelolaan sumber daya air, maka pengelolaan sungai yang
memperhitungkan lingkungan fisik dinilai mampu mempertahankan
dinamika sungai sebagai ekosistem yang stabil. Mathuwatta dan Chemin (2002) menguraikan bahwa perencanaan sumber daya air tergantung pada lingkungan fisik yaitu vegetasi dan kondisi hidrologi sungai. Pertumbuhan vegetasi baik secara alami maupun dengan campur tangan manusia berpengaruh terhadap
37
dinamika sungai. Zonasi pertumbuhan vegetasi lebih baik dibandingkan dengan zonasi agroekologi eksisting dan pemetaan land use pada permukaan sungai. Dengan demikian, maka konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik merupakan konsep yang kompleks dan harus melibatkan semua unsur terkait. Reed (2009) menguraikan bahwa terdapat tiga tahapan yang dilaksanakan dalam menerapkan pengelolaan sungai yang berkelanjutan yaitu keterlibatan stakeholder, pengembangan teknis, dan keterlibatan semua unsur pemerintah. 2.6. Kebijakan Secara umum istilah kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 1999). Secara rinci Dwijowijoto (2003) menguraikan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah. Analisis kebijakan merupakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2004). Dengan demikian, pengertian analisis kebijakan merupakan upaya untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang dibutuhkan untuk suatu kebijakan dengan menggunakan berbagai metode penelitian dan pembahasan dalam suatu kondisi tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah. Setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi dan misi) bersama yang telah disepakati. Kebijakan merupakan peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Kebijakan dikatakan efektif apabila penerapan kebijakan dan instrumennya dapat menghasilkan perubahan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sementara itu, dikatakan efisien jika kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang rendah. Kebijakan publik merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik sesuai dengan kewenangannya. kebijakan publik harus mengandung beberapa unsur.
Abidin (2002)
mengungkapkan bahwa: Unsur kebijakan adalah (1) tujuan kebijakan; (2) masalah; (3) tuntutan atau demands; (4) dampak (outcomes); (5) sarana atau alat
38
kebijakan. Sedang proses kebijakan terdiri atas tahap-tahap identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam mengidentifikasi masalah publik, hal yang perlu diperhatikan adalah
masalah
tersebut
menyangkut
kepentingan
orang
banyak
dan
penyelesaiannya memerlukan campur tangan pemerintah, karena tidak mungkin diselesaikan oleh anggota masyarakat. Kegiatan ini berkaitan dengan unsur tujuan kebijakan dan tuntutan masyarakat. Atas dasar tersebut masalah dikelompokkan menjadi masalah strategis atau tidak strategis. Abidin (2002) mengungkapkan bahwa masalah strategis adalah masalah yang antara lain memenuhi syarat-syarat berikut: luas cakupannya, jangka waktunya panjang, mempunyai keterkaitan yang luas serta mengandung resiko dan kemungkinan keuntungan yang besar. Setelah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah maka perumusan kebijakan publik dilakukan. Perumusan ini disebut formulasi kebijakan. Perumusan kebijakan publik merupakan inti dari kebijakan publik dimana pada kegiatan ini dirumuskan batas-batas kebijakan. Selanjutnya keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh dua faktor. Faktor tersebut diungkapkan oleh Abidin (2002) bahwa faktor penentu tersebut adalah mutu dari kebijakan dilihat dari substansi kebijakan yang dirumuskan serta faktor dukungan pada strategi kebijakan yang dirumuskan. Implementasi kebijakan merupakan langkah setelah formulasi kebijakan. Implementasi kebijakan berkaitan pada tindakan-tindakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun individu (kelompok), swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya.
Tindakan-tindakan
ini,
pada
suatu
saat
berusaha
untuk
mentransformasikan keputusan-keputusan menjadi pola-pola operasional, serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan baik dari yang besar maupun yang kecil yang diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan tertentu. Proses pelaksanaan suatu kebijakan berkaitan dengan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor utama internal meliputi kebijakan yang dilaksanakan dan faktor-faktor pendukung sedang faktor utama eksternal adalah kondisi lingkungan dan pihak-pihak terkait. Kondisi kebijakan adalah faktor yang paling dominan
39
dalam proses pelaksanaan, karena yang dilaksanakan justru kebijakan itu sendiri, tanpa ada kebijakan yang tidak dilaksanakan. Faktor utama internal kedua dalam proses pelaksanaan adalah sumber daya yang merupakan faktor pendukung (supporting factors) bagi kebijakan. Faktor pendukung tersebut berupa sumber daya (human resources), keuangan (finances), logistik (logistic), informasi, legitimasi (legitimation) dan partisipasi (participation). Kondisi lingkungan menyangkut legitimasi atau dari dukungan lembaga yang berwenang dalam memberi persetujuan akan suatu kebijakan. Selanjutnya partisipasi masyarakat merupakan faktor pendukung eksternal dari suatu kebijakan. Partisipasi dapat berbentuk dukungan atau persetujuan dapat pula berbentuk menentang atau menolak kebijakan. Berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sungai, maka pemerintah telah menetapkan suatu piranti pengaturan pembangunan daerah melalui Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kebijakan tersebut diatur beberapa urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah kepada Pemerintah Provinsi atau Daerah antara lain adalah perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian lingkugan hidup. Selanjutnya dalam Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 25 diatur pula bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan beberapa aspek antara lain adalah: keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup Kedua kebijakan tersebut menuntut pada Pemerintah Daerah untuk melakukan pengelolaan lingkungan dengan tepat dan sesuai dengan daya dukung lingkungan termasuk dalam pengelolaan sungai. Uraian tersebut juga didukung oleh Undang Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 16 bahwa wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi antara lain: a) menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya; b) menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
40
Selanjutnya dalam diatur pula Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 5 diuraikan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya air mencakup aspek konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, dan sistem informasi sumber daya air yang disusun dengan memperhatikan kondisi wilayah masing-masing. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sungai, pengendalian daya rusak air merupakan upaya pengendalian banjir. Adapun Pengendalian daya rusak air meliputi upaya: a) pencegahan sebelum terjadi bencana; b) penanggulangan pada saat terjadi bencana; dan c) pemulihan akibat bencana. Hal ini sesuai dengan uraian pada Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011 tentang Sungai bahwa pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Lembaga yang berperan dalam pengelolaan sungai diatur dalam Peraturan Menteri PU No. 11A/PRT/M/2006 tentang
Kriteria dan Penetapan Wilayah
Sungai Pasal 1 bahwa pengelolaan sumber daya air dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan penetapan wilayah sungai. Secara spesifik pengelolaan daerah bantara sungai juga diatur dalam berbagai kebijakan. Pada Undang Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
Pasal 21 diuraikan bahwa salah satu upaya
perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan melalui pengaturan daerah sempadan sumber air. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 58 ayat 2 diatur bahwa untuk mempertahankan fungsi daerah sempadan sumber air, Menteri atau menteri yang terkait dengan bidang sumber daya air atau pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya: a) mencegah pembuangan air limbah yang tidak memenuhi baku mutu, limbah padat, dan/atau limbah cair; b) mencegah pendirian bangunan dan pemanfaatan lahan yang dapat mengganggu aliran air, mengurangi
kapasitas
tampung
sumber
air
atau
tidak
sesuai
peruntukannya; dan c) melakukan revitalisasi daerah sempadan sumber air.
dengan
41
Secara rinci pengelolaan bantaran sungai juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai yang memuat
definisi
sempadan dan bantaran sungai yaitu: -
Garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
-
Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau di kanan palung sungai.
Dengan
demikian,
maka
pengelolaan
sungai
hendaknya
mempertimbangkan daerah sempadan sungai Pada daerah sempadan sungai terdapat tanggul untuk mengendalikan banjir, ruang antara tepi palung sungai dan tepi dalam kaki tanggul merupakan bantaran sungai. Batas daerah sempadan sungai diatur dalam peraturan tersebut Pasal 10 yaitu garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 100 m (seratus meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai. Sedang garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 m (lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjangalur sungai. Kebijakan tentang pengaturan daerah sempadan sungai terkait dengan penataan ruang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 52 bahwa daerah sempadan sungai merupakan salah satu kawasan perlindungan setempat. Adapun kriteria sempadan sungai adalah: a) daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar; b) daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan c) daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka pemerintah daerah disyaratkan membuat regulasi tentang pengaturan daerah sempadan sungai sebagai bagian dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota untuk sungai-sungai strategis di wilayahnya.
42
2.7. Metode Pengambilan Keputusan Dalam Disain Kebijakan Salah satu bagian dalam kegiatan disain kebijakan adalah proses pengambilan keputusan. Keputusan tentang arahan kebijakan didasarkan pada kondisi masyarakat sebagai pihak yang merasakan dampak akan adanya kebijakan yang akan dibuat. Dalam suatu tindakan pengelolaan sumber daya alam yang terkait dengan kepentingan masyarakat, maka partisipasi merupakan suatu penentu akan keberhasilan suatu program. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai diungkapkan
bahwa
Pemerintah,
pemerintah
provinsi,
dan
pemerintah
kabupaten/kota sesuai kewenangannya melakukan pemberdayaan masyarakat secara terencana dan sistematis dalam pengelolaan sungai. Pemberdayaan masyarakat
meliputi kegiatan sosialisasi, konsultasi publik dan partisipasi
masyarakat. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga dalam disain kebijakan perlu dikaji faktor-faktor tersebut. Faktor – faktor yang terkait dengan partisipasi dapat dikaji dengan analisis neural network dengan algoritma back propagation. Kusumadewi (2003) menguraikan bahwa : back propagation merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma back propagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron dikatifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid, yaitu: f ( x) =
1 ………………………………………………(36) 1 + e −x
Struktur multi layer pada algoritma back propagation diuraikan pada Gambar 11
43
wij
Input layer
h0 = 1
h1 X0 = 1
X1
X2
h2
Vjk
Y1
h3
h4 Output layer
XI hj Hidden layer
Gambar 11. Struktur algoritma backpropagation Keterangan gambar: xi
=
Variabel input node i pada input layer
hj
=
Node j pada hidden layer
yk
=
Output node k pada output layer
w ij
=
vjk
=
Bobot yang menghubungkan node i pada input layer dengan node j pada hidden layer Bobot yang menghubungkan node j pada hidden layer dengan node k pada output layer
Tahapan yang dilakukan pada algoritma backpropagation adalah: 1. Inisialisasi − Normalisasi data input x i dan target yk dalam range antara 0 – 1 − Berikan nilai random (antara nilai -1 dan 1) untuk semua w ij dan v jk.
44
2. Tahapan feedforward (prediksi T dengan nilai y) −
Gunakan nilai x i dan y k kemudian menghitung nilai hj dan yk dengan persamaan:
hj = yk =
1 ………………………………………(37) w .x 1 + e ∑ ij i −
1 …………………………………………(38) v .h 1 + e ∑ jk j −
3. Tahapan backward (menghitung nilai w ij dan v jk yang baru.) −
Hitung nilai δ k dan v jk dengan persamaan:
δ k = y k (1 − t k )(t k − y k ) …………………………………..(39) v jk = v jk + ( β .δ k .h j ) ………………………………..……(40)
Nilai β adalah konstan, misalnya = 0.3. −
Hitung nilai τj dan v jk dengan persamaan:
δ j = h j (1 − h j ).∑ δ k .v jk …………………………………(41)
wij = wij + ( β .δ j .xi ) …………………………………(42) 4. Proses iterasi, lanjutkan tahapan feedforward dan backward hingga nilai yk dan t k hampir sama atau tingkat kesalahan lebih kecil dari 0.0001. Tingkat kesalahan dihitung dengan persamaan: E = ∑ 0.5(t kp − ykp ) 2 ………………….…………..……(43) p
Selanjutnya dalam penentuan arahan kebijakan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan metode Bayes. Kedua metode ini diuraikan sebagai berikut: Analytical Hierarchy Process (AHP) Penggunaan AHP dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik. Variabel yang dikaji dalam analisis ini adalah faktor pendukung dalam kebijakan, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sungai, program pengelolaan sungai serta skenario pengelolaan yang tepat. Analisis data dilakukan dengan membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau
45
pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan judgement dari stakeholder dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala komparasi 1–9 berdasarkan skala Saaty yang tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Skala perbandingan berpasangan Skala
Definisi
Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap tujuan Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen 3 lainnya (moderately importance) Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya 5 (strongly importance) Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen 7 lainnya (very strongly importance) Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen 9 lainnya (extremely importance) Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan 2,4,6,8 (intermediate value) Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan 1/(1-9) dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i Sumber: Saaty (1991) 1
Output dari analisis prioritas kebijakan adalah faktor pendukung dalam kebijakan, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sungai, program pengelolaan sungai serta skenario pengelolaan yang tepat. Langkah-langkah Penyelesaian 1.
Matriks pendapat individu Pada penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen
keputusan di setiap tingkat hirarki keputusan dilakukan dengan judgement melalui komparasi berpasangan. Nilai yang didapat disusun dalam bentuk matrik individu dan gabungan yang kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat. Jika C 1 , C 2, ……..
Cn merupakan set elemen suatu tingkat keputusan
dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk matrik A yang berukuran n x n. Apabila C i dibandingkan dengan C j , maka a ij merupakan
46
nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan C i terhadap C j . Nilai matriks a ij = 1/ a 1j , yaitu nilai kebalikan dari nilai matriks a ij . Untuk i = j , maka nilai matriks a ij = a ji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C 1 , C 1, …….. Cn untuk ij = 1, 2, 3, ……n dan ij disajikan pada Gambar 12. Gambar 12. Hasil transformasi matriks pendapat C1 C2 C3 .. Cn
C1 1 1 / a 12 1 / a 13 .. 1 / a 1n
C2 a 12 1 1 / a 23 .. 1 / a 2n
C3 a 13 a 23 1 .. 1 / a 3n
.. .. .. .. .. ..
Cn a 1n a 2n a 3n .. 1
2. Penyelesaian dengan Manipulasi Matriks Matriks pendapat pakar diolah untuk menentukan bobot dari kriteria, yaitu dengan menentukan nilai eigen dengan prosedur yang diuraikan dalam Marimin (2005): -
Kuadratkan matriks pendapat.
-
Hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi.
-
Lakukan secara berulang (iterasi) dan hentikan proses ini jika perbedaan antara jumlah dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu.
-
Hitung weighted sum vector dengan jalan mengalikan matriks pendapat dengan matriks eigen.
-
Hitung Consistensi Vector (p) dengan menentukan nilai rata-rata dari weighted sum vector.
-
Hitung nilai indeks consistensi dengan rumus : CI = (p – n) (n – 1)………………………….(44)
-
Hitung Consistensi Rasio (CR) yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekwen atau tidak. Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus:
47
CR =
CI …………………………………………(45) RI
RI : Indeks Acak (Random Index) Nilai Indeks Acak (RI) bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Untuk lebih jelasnya, indeks acak untuk orde tertentu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai indeks acak rata-rata berdasarkan orde matriks Ukuran Indeks Konsistensi Matriks Acak (RI) 1 0.00 2 0.00 3 0.58 4 0.90 5 1.12 6 1.24 7 1.32 8 1.41 9 1.45 10 1.49 Sumber : Saaty (1991) Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriksnya. Jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan karenanya proses AHP perlu diulang kembali. Nilai rentang penerimaan bagi CR disajikan pada Tabel 5 Tabel 5. Nilai rentang penerimaan bagi CR Ukuran Matriks Konsisteni Rasio (CR ≤3x3 0.03 4x4 0.08 >4x4 Sumber : Saaty (1991)
0.10
48
3. Penggabungan pendapat responden Matriks pendapat gabungan (G), merupakan susunan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya (g ij ) berasal dari rata-rata geometrik pada elemen matriks pendapat individu (a ij ) yang resiko konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Selanjutnya pada matriks baru dilakukan perhitungan nilai eigen dan bobotnya. Metode Bayes Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal (Marimin, 2005). Persamaan Bayes yang digunakan untuk menilai setiap alternatif adalah: TotalNilai = ∑ Nilaiij .( Krit j ) ………………………………………(46) j =1
Keterangan : Total Nilai i
= Total nilai akhir dari alternatif ke-i
Nilai ij
= Nilai dari alternative ke-i pada kriteria ke-j
Krit j
= Tingkat kepentingan kriteria ke-j
i
= 1,2,3,…n = jumlah alternatif
j
= 1,2,3,…n = jumlah kriteria