ICASERD WORKING PAPER No.25
TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN KREDIT PERTANIAN Supadi dan Sumedi Januari 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 25
TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN KREDIT PERTANIAN Supadi dan Sumedi Januari 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail :
[email protected]
No. Dok.033.25.04..04
TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN KREDIT PERTANIAN Supadi dan Sumedi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat signifikan dalam sejarah pelaksanaan program pembangunan pertanian di Indonesia. Selain sebagai faktor pelancar, kredit juga berfungsi sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif, sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia. Sejarah kredit pertanian diawali dengan adanya kredit program untuk Padi Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan 1969 menjadi Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang Disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Pada tahun 1985 Kredit Bimas diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Kredit program sektor pertanian tersebut digulirkan dengan tujuan untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi padi. Namun sejak digulirkannya KUT, cakupan komoditas yang dapat dilayani menjadi lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura. Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian mengikuti perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah (Insus, Supra Insus, IP Padi-300 dan lain-lain). Sejak dikeluarkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi mengeluarkan KLBI untuk pendanaan kredit program (termasuk KUT), sehingga semua kredit program yang bersumber dari KLBI dihapuskan mulai rahun 2000. Sebagai pengganti skim pembiayaan pertanian maka diluncurkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Mekanisme penyaluran KKP mirip dengan KUT dengan beberapa penyesuaian pada tingkat pelaksana kredit. Perbedaan antara KUT dan KKP terletak pada sumber pendanaan dan tanggung jawab terhadap risiko kredit. Sumber dana KUT berasal dari KLBI dan risiko kredit ditanggung pemerintah, sementara sumber dana KKP berasal dari bank pelaksana dan risiko kredit ditanggung bank pelaksana sebesar 50 persen. Sisanya ditanggung oleh konsorsium (untuk KKP tanaman pangan), sementara KKP pada komoditas selain pangan risiko kredit sepenuhnya ditanggung bank pelaksana. Tingkat bunga KKP sama dengan tingkat bunga di pasar, namun sebagian dibayar oleh pemerintah melalui subsidi, sehingga tingkat bunga yang diterima petani relatif sama dengan bunga yang dikenakan pada KUT. Kata kunci : kredit pertanian, tanaman pangan, perkebunan, peternakan,perikanan, KKP, KUT
PENDAHULUAN
Pengalaman menunjukkan peranan kredit pertanian sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian Indonesia.
Kredit merupakan salah satu faktor
pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sabagai salah satu critical point of development (simpul kritis pembangunan yang efektif) (Syukur, et al., 1998, 1999). Dalam sejarah pelaksanaan pembangunan pertanian, peranan kredit pertanian sangat nyata. Sejak awal Pelita I melalui program Bimas dalam rangka usaha 1
peningkatan produksi pangan melalui intensifikasi padi, dukungan pembiayaan memegang peranan yang sangat menentukan terutama dalam introduksi teknologi budidaya yang merupakan awal dimulainya revolusi hijau. Adanya kredit pertanian lebih mendorong petani untuk mengadopsi teknologi baru karena tersedia modal usaha yang memadai. Dalam pelaksanaan program intensifikasi berikutnya; Inmas,Insus, dan Supra Insus, sampai akhirnya pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, selalu diikuti dengan pendampingan kredit pertanian. Melalui kredit usahatani bersubsidi, yang disediakan
Bank Indonesia melalui fasilitas Kredit Likuiditas Bank
Indonesia. Sejak tahun 1990-an, kinerja kredit usahatani mengalami penurunan baik dilihat dari
aspek
penyalurannya
yang
cenderung
menurun
maupun
dari
tingkat
pengembaliannya. Artinya terjadi peningkatan tunggakan yang signifikan, kecuali pada tahun 1998/1999, dimana terjadi peningkatan volume kredit pertanian sampai 2000 persen yang disebabkan perubahan kebijakan pemerintah dalam penetapan plafon dan mekanisme penyaluran.
Pada periode sebelumnya penyaluran kredit menggunakan
mekanisme executing, di mana bank penyalur berperan sebagai pemutus kredit, sementara pada tahun 1998/1999 pola yang digunakan adalah chanelling. Keputusan kredit berada di Dinas Koperasi, sedangkan bank hanya bertindak sebagai perantara pencairan dana saja. Kebijakan penyaluran kredit pertanian kemudian diubah kembali menjadi pola executing pada tahun berikutnya karena pola chanelling dinilai tidak efektif dalam seleksi calon nasabah. Mulai tahun
1999/2000 program kredit pertanian yang bersumber dari KLBI
dihapuskan seiring dikeluarkannya UU No 23, tanggal 16 November 1999 tentang Bank Indonesia, di mana BI tidak diperkenankan lagi memberikan Kredit Likuiditasnya (KLBI) untuk kredit program. Pada saat yang bersamaan terjadi pelandaian pertumbuhan produksi pangan (terutama padi) dan kemandegan inovasi teknologi baru oleh petani. Padahal pada sisi lain penemuan varietas unggul padi oleh Puslitbang Tanaman Pangan telah mencapai 60 jenis varietas, namun hanya beberapa varietas saja yang diadopsi oleh petani secara luas. Patut diduga hal ini erat kaitannya dengan semakin berkurangnya dukungan kredit dalam introduksi teknologi baru di samping masalah kinerja penyuluhan pertanian yang semakin menurun.
2
Pentingnya peranan kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait dengan tipologi petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pemupukan modal untuk investasi pada teknologi baru.
Dengan demikian dukungan pembiayaan tetap
harus dilakukan. Syukur et al., (1998 dan 1999) menyatakan bahwa peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1)
membantu petani kecil dalam mengatasi
keterbatasan modal dengan bunga yang relatif ringan, (2) mengurangi ketergantungan petani pada pedagang perantara dan pelepas uang dan dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3)
mekanisme
transfer pendapatan di antara masyarakat untuk mendorong pemerataan dan (4) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian.
SUMBER-SUMBER KREDIT/PEMBIAYAAN PERTANIAN Sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan penyebaran dan adopsi teknologi.
Pengalaman menunjukkan bahwa
sebaran spasial adopsi teknologi ternyata berimpit dengan sebaran spasial penyaluran kredit usahatani. Dalam tulisan ini yang dimaksud kredit pertanian adalah kredit program dengan bunga yang relatif rendah di mana penyalurannya menggunakan skim tertentu. Sebenarnya sumber permodalan bagi petani dalam menjalankan usahanya di samping berasal dari modal sendiri dan kredit program, juga berasal dari kredit bank komersial, atau lembaga keuangan lainnya seperti BPR, Koperasi serta dari sumber pembiayaan informal, antara lain pedagang (input/output), money lender atau pinjaman dari keluarga/ tetangga. Manurung (1998) membagi secara garis besar sumber biaya usaha pertanian menjadi 4 kelompok yaitu: (1) pemilik usaha (modal sendiri); (2) kredit formal; (3) kredit informal dan (4) kemitrausahaan. Kredit formal dapat dibagi menjadi kredit program dan kredit non program. Kredit program umumnya bersifat sektoral untuk mencapai sasaran yang diinginkan misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan). Kelembagaan kredit formal terdiri dari (1) koperasi unit desa; (2) bank dan (3) pegadaian.
3
Beberapa jenis perkreditan yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian skala kecil di Indonesia antara lain (1) Kupedes; (2) KIK (Kredit Industri Kecil)); (3) KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen); (4) KKU (Kredit Kelayakan Usaha); (5) PHBK (Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat); (6) KKPA (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota); (7) PKM (Proyek Kredit Mikro); (8) KUK (Kredit Usaha Kecil). Kelembagaan perkreditan informal pada umumnya tidak memerlukan persyaratan seperti: bunga, agunan dan persyaratan lainnya. Hubungan antara peminjam dengan pihak yang meminjamkan hanya didasarkan pada sikap saling mempercayai satu sama lain.
Sedangkan kemitrausahaan atau kerjasama dapat dilakukan oleh BUMN atau
perusahaan swasta. Perusahaan swasta atau BUMN memberikan bantuan kredit atau menyediakan sarana produksi, peralatan atau membantu manajemen dan pemasaran hasil. Kelebihan perkreditan melalui kemitraan ini adalah di samping memberi kredit tanpa bunga dan tanpa agunan juga berfungsi sebagai pasar (penampung hasil) bagi produksi dan penyediaan input (sarana produksi). Salah satu kendala yang dihadapi para petani dan pelaku agribisnis skala kecil untuk mengembangkan usahanya adalah kurang aksesnya ke sumber-sumber permodalan (Sudaryanto, 1999).
Hal ini terlihat dari masih sangat rendahnya
penyerapan dana yang disediakan dibandingkan sektor lain. Di tingkat lapangan, kredit berbunga murah yang ditujukan untuk pengembangan ekonomi rakyat (petani, usahawan dan koperasi) masih sulit cair.
Pihak birokrasi
beralasan karena kredit program ini ada keterbatasan-keterbatasan bagi peminat. Padahal seharusnya dalam penyaluran kredit program yang perlu diperbaiki adalah prosedur yang relatif panjang karena sering merupakan penyebab utama keengganan masyarakat pedesaan untuk berhubungan dengan bank.
KINERJA KREDIT PROGRAM Pembiayaan pertanian yang bersumber dari kredit program tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembangunan pertanian, yang mengarah pada program peningkatan produksi padi nasional yang didukung oleh program pembiayaan yang memadai dan kontinu. Program ini merupakan program yang utama dan memiliki sejarah terpanjang 4
dalam pembangunan pertanian Indonesia. Program peningkatan produksi pangan (padi) tidak saja memiliki arti ekonomi juga memiliki arti sosial politik yaitu menciptakan stabilisasi ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan pada pasokan pangan impor. Sejarah kredit pertanian bersamaan dengan sejarah program peningkatan produksi pangan nasional pada awal Pelita I, yaitu dengan dilaksanakannya program intensifikasi melalui Bimas. Pendampingan pendanaan yang lebih dikenal dengan Kredit Bimas, dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi, yaitu dengan memberi bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit unggul, pupuk, pestisida dan biaya hidup (cost of living) yang bertujuan meningkatkan produktivitas usahatani padi. Sesuai dengan tujuannya maka sebaran spasial kredit usahatani akan berimpit dengan sebaran spasial
program Bimas.
Dalam
perkembangannya
program Bimas
mengalami
penyempurnaan menjadi Inmas (Intensifikasi Masal), Inmum, Insus dan Supra Insus, program kredit pendampingan juga mengalami berbagai perubahan baik plafon maupun sistem penyaluran dan pengembaliannya.
Kredit Bimas selanjutnya berganti nama
menjadi Kredit Usahatani. Program peningkatan produksi pangan melalui penerapan intensifikasi dan ekstensifikasi dilakukan dengan mengerahkan segala sumberdaya termasuk alokasi kredit usahatani yang semakin meningkat, meskipun pada sisi lain besarnya tunggakan juga terus meningkat. Pada sisi pasar input, pemerintah memberikan subsidi harga benih, pupuk dan pestisida.
Sementara pada pasar output pemerintah memberlakukan
kebijaksanaan harga dasar. Usaha ini membawa hasil yang cukup memuaskan yaitu dengan dicapainya swasembada pangan (beras) pada tahun 1984, yang mengubah posisi dari negara pengimpor terbesar menjadi negara yang self sufficient. Setelah tercapainya swasembada beras, program intensifikasi dan ekstensifikasi tidak lagi hanya difokuskan pada komoditas padi, namun diperluas kepada komoditas lainnya, terutama palawija dan hortikultura. Seiring dengan itu program bantuan kredit murah juga diperluas selain untuk komoditas padi, juga untuk jagung, kedelai, ubikayu, dan ubi jalar serta komoditas hortikultura. Menurut Syukur, et al., (1999) meskipun pola KUT dianggap memiliki kelemahan, khususnya dalam pengamanan kredit (memperkecil jumlah tunggakan), namun pola KUT juga memiliki banyak keberhasilan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk mengintroduksikan skim-skim kredit ini pada sub sektor lainnya, seperti perkebunan, 5
peternakan dan perikanan. Sehingga lahirlah berbagai skim kredit, misalnya kredit Tebu rakyat Intensifikasi, Kredit Program Intensifikasi Lada, Cengkeh dan Kopi. Pada sub sektor peternakan dikenal kredit program penggemukan sapi potong, intensifikasi ternak ayam, sapi bibit dan lain-lain. Sementara itu pada sub sektor perikanan terdapat kredit Fisheries Credit Project, Ex Trawl, Intensifikasi Tambak (Intam), dan lain-lain. Di samping sektor pertanian primer, skim kredit program juga diperuntukkan bagi sektor industri pengolahan skala kecil, koperasi dan pemasaran.
Lembaga yang
berfungsi menopang atau mendukung program pemerintah, seperti BULOG juga memperoleh alokasi kredit program. Perkembangan kredit program selanjutnya sangat terkait dengan kebijkasanaan makro di bidang moneter. Sejak dikeluarkannya Paket Januari 1990, pemerintah melaksanakan reorientasi kebijaksanaan perkreditan (Bank Indonesia, 1997 dalam Syukur, et al., 1999) yang arahnya sebagai berikut: (1) Kredit Program: alokasi kredit diserahkan pada mekanisme pasar. Bank-bank bebas dalam memobilisasi dana dan menyalurkannya kepada masyarakat baik jumlah, bunga, penggunaan maupun dalam persyaratan-persyaratannya. (2) Penyederhanaan struktur bunga sehingga terbentuk suku bunga pasar yang wajar melalui pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. (3) Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) secara bertahap dikurangi dan hanya diberikan
untuk
mendukung
pengembangan koperasi.
pelestarian
swasembada
pangan
dan
Program yang mendapat KLBI tersebut, unsur
subsidinya sejauh mungkin dikurangi sehingga suku bunga kredit berorientasi kepada suku bunga pasar. Kredit program tersebut antara lain Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Kepada KUD (KKUD), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), Kredit Kepada BULOG untuk pengadaan pangan nasional dan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/KPRSS). Selanjutnya untuk skim-skim kredit tersebut di atas dibiayai dengan dana masyarakat yang dihimpun perbankan. (4) Sebagian dari kredit perbankan diarahkan untuk usaha kecil melalui pemberian kewajiban kepada semua bank untuk menyediakan KUK minimum 20 persen dari jumlah pemberian kredit. Di samping itu, untuk mencapai pertumbuhan
6
konomi yang cukup tinggi, kepada bank asing/campuran dan bank devisa diwajibkan menyediakan sebagian dananya untuk kredit ekspor. Dampak deregulasi perkreditan tersebut tidak berdampak terhadap alokasi kredit sektor pertanian primer terutama KUT, karena tidak dilakukan pembatasan terhadap plafon KUT. Penyaluran KUT, selama periode 1990-1996 mengalami penurunan, dari sekitar 108 milyar pada tahun 1990/1991 menjadi 34 milyar pada tahun 1996/1997, namun dari sisi tunggakan kredit terdapat kecenderungan peningkatan (Syukur, et al., 1999). Hal ini menunjukkan kinerja program KUT yang semakin menurun, baik dari sisi penyaluran maupun pengembaliannya sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian dalam memproduksi pangan. Seiring penurunan penyerapan KUT, pertumbuhan produksi pangan terus mengalami pelandaian yang kemudian diiringi dengan peningkatan impor beras, sehingga swasembada beras tidak lagi bisa dipertahankan.
Untuk itu perlu dilakukan terobosan dalam penyaluran KUT kepada
petani. Fenomena ini bukan saja terjadi pada KUT namun skim kredit program lainnya, yang kesemuanya terdapat 17 skim kredit program yang mencakup sektor pertanian primer, pengolahan, perdagangan dan industri kecil. (Sinar Tani, 24 Februari 1999) El-Nino yang terjadi pada tahun 1997, yang kemudian dilanjutkan dengan munculnya gejala La-Nina, telah memukul produksi pangan nasional.
Krisis moneter
yang terjadi pada pertengahan 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi turut memperparah kinerja sektor pertanian.
Pemerintah dalam hal ini Departemen
Pertanian berinisiatif melaksanakan program IP-Padi 300 dengan mengupayakan penanaman pada pada MK-II 1998. Program ini didukung dengan pendanaan pola KUT untuk menjamin penerapan teknologi padi. Sejak MT 1998/1999 dilaksanakan upaya terobosan untuk meningkatkan penyerapan kredit KUT, dengan merubah pola penyaluran di mana Bank hanya berperan sebagai chanelling (penyalur), sementara executing (pemutus kredit) berada pada Departemen Koperasi atau LSM. Selain itu plafon KUT dinaikkan yang bersumber dari dana KLBI. Dengan pola demikian berhasil mendongkrak pencairan kredit hingga 1000 persen. Penyaluran KUT untuk tanaman pangan dan hortikultura mencapai 8 trilyun rupiah. Peningkatan pencairan KUT yang demikian besar sepatutnya dapat meningkatkan produksi padi pada tahun 1999, namun ternyata justru sebaliknya, mengalami penurunan.
Keyataan selanjutnya ditunjukkan
dengan tingginya tunggakan kredit yang terjadi yaitu sekitar 6 trilyun rupiah.
7
Kondisi demikian menunjukkan bahwa pola bank sebagai chanelling agent ternyata kurang efektif dalam hal pengembalian kredit bahkan lebih buruk dibandingkan dengan pola sebelumnya di mana Bank bertindak sebagai executing agent. Pada tahun berikutnya pola penyaluran KUT kembali ke pola semula.
Dengan pola demikian
penyaluran KUT menjadi lebih selektif, walaupun sebagai konsekuensinya penyaluran kredit mengalami penurunan. Kebijaksanaan moneter selanjutnya yang merupakan kesepakatan dengan IMF dalam pemulihan ekonomi nasional, di mana KLBI harus dihapuskan. Dengan demikian alokasi dana untuk kredit program termasuk KUT tidak tersedia lagi. Pada sisi lain sektor pertanian masih memerlukan kredit dengan bunga yang murah. Untuk mengatasi tidak diperbolehkannya lagi Bank Indonesia mengeluarkan Kredit Likuiditas untuk kredit program (UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia), maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No 345/,KMK217/2000 tentang Pendanaan Kredit Ketahanan Pangan dan SK Menteri Pertanian No 399/Kpts/BM530/8/2000 tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Skim Kredit Katahanan Pangan, telah ditetapkan skim kredit program untuk pembiayaan pengembangan pertanian, peternakan dan perikanan, melalui skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang hakekatnya merupakan penyesuaian dari Skim KUT. Perbedaan yang signifikan antara skim KUT dengan KKP terletak pada sumber pendanaan dan tanggungjawab risiko kredit.
Sumber dana KUT berasal dari Bank
Indonesia dengan sebagian besar risiko kredit ditanggung oleh Pemerintah sementara sumber dana Kredit Ketahanan Pangan berasal dari dana bank pelaksana dengan ketentuan:
(1).
Risiko kredit untuk kegiatan intensifikasi padi, jagung, kedelai, ubikayu dan ubi jalar ditanggung bank pelaksana sebesar 50 persen dan konsorsium asuransi sebesar 50 persen. Kredit KKP pada kegiatan lainnya (peternakan,perikanan dll) risiko sepenuhnya ditanggung bank pelaksana.
(2).
Tingkat bunga yang diterima oleh bank pelaksana sebesar tingkat bunga komersial yang berlaku. Pada tahun pertama pelaksanaan KKP, tingkat bunga yang disepakati bagi bank pelaksana sebesar 22 persen per tahun.
8
(3).
Tingkat bunga KKP yang ditanggung petani untuk kegiatan intensifikasi padi, jagung, kedelai, ubikayu dan
ubi jalar ditetapkan sebesar 12 persen dan
selebihnya (10 persen) disubsidi oleh pemerintah.
(4).
Tingkat bunga KKP untuk petani, peternak, nelayan atau koperasi untuk kegiatan selain intensifikasi
komoditas tersebut di atas dikenakan bunga sebesar 16
persen dan selebihnya (6 persen) disubsidi oleh pemerintah. Secara umum dapat dikatakan bahwa sekalipun fasilitas KLBI sudah tidak diperkenankan lagi, namun pemerintah tetap memberikan kemudahan bagi kredit sektor pertanian dalam bentuk penerapan skim khusus (KKP) dan subsidi terhadap suku bunga yang ditanggung petani.
Melalui mekanisme subsidi bunga pemerintah melakukan
intervensi dalam rangka membantu permodalan petani yang diharapkan dapat meningkatkan produksinya. Kondisi yang dihadapi petani terutama untuk komoditas pangan dalam pengembangan usaha saat ini adalah: (1) harga input/biaya produksi yang semakin tinggi, (2) rata-rata luas lahan petani yang sempit dengan produktivitas rendah, (3) aksesibilitas terhadap sumber kredit yang sulit, suku bunga kredit yang tinggi dan (4) harga produk di tingkat petani yang rendah dan berfluktuasi. menyebabkan petani kurang mendapatkan insentif
Kondisi tersebut
untuk tetap bertahan pada sektor
tersebut. Di lain pihak sektor pertanian khususnya tanaman pangan memiliki peranan yang sangat besar dan strategis baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan nasional maupun dalam penyediaan lapangan kerja, sehingga perlu didukung pengembangannya antara lain dengan memberikan keringanan (subsidi bunga kredit). Beberapa bank swasta nasional yang telah menyalurkan Kredit Ketahanan Pangan antara lain Bank BRI, Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank BCA, dan Bank Pembangunan Daerah. Namun karena sumber dana berasal dari masing-masing bank pelaksana dan juga risiko kreditnya maka penyalurannya menjadi lebih hati-hati dan selektif sehingga volume pencairan kredit menjadi rendah. Selain kredit program, pembiayaan sektor pertanian ada yang bersumber dari dana program pembangunan sektor pertanian. hibah atau dana bergulir.
Dana ini dialokasikan dalam bentuk
Banyak contohnya, (1) program intensifikasi kedelai dan
jagung yang umumnya didampingi dengan dana pengadaan benih dan sebagian pupuk, (2)
program penggemukan dan inseminasi buatan pada sub sektor peternakan, (3)
Bantuan bergulir kapal penangkapan ikan, dan masih banyak lainnya. Program-program 9
tersebut dilaksanakan melalui Direktorat Jenderal di masing-masing sub sektor melalui proyek P2RT, DPG atau PSSP.
Pada sub sistem pengolahan, dibentuk KUBA
(Kelompok Usaha Bersama) yang di dalamnya terkandung dukungan dana permodalan awal untuk menjalankan usaha. Program Ketahanan Pangan (PKP) yang dilaksanakan pada tahun 2000 merupakan contoh paling akhir pendanaan dengan sistem hibah bergulir. Sekalipun demikian, dilihat dari kinerja pengembalian ataupun pemupukan modal masih perlu dikaji. Program-program tersebut walaupun tidak bersifat masal dan terjadi secara spasial pada lokasi dan waktu yang tidak dapat direncanakan oleh petani, namun jika petani memperolehnya merupakan salah satu sumber pembiayaan usaha pertanian. Meskipun masih terdapat kredit program melalui dana bergulir, serta PKP namun jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat karena keterbatasan anggaran pemerintah.
KOMODITAS-KOMODITAS YANG DIBIAYAI KUT DAN KKP
Komoditas yang dibiayai dengan KUT sesuai dengan ketentuan terdiri dari (1) padi, jagung dan kedelai yang ditanam secara monokultur; (2) kacang tanah, kacang hijau, ubijalar dan padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan jagung dan kedelai; dan (3) hortikultura: buah-buahan (nenas, pisang, pepaya, markisa, jeruk dan salak), sayur-sayuran (cabe merah, kentang, bawang merah dan bawang putih), dan tanaman obat-obatan (jahe). Khusus untuk tanaman buah-buahan, KUT diberikan untuk biaya pemeliharaan tanaman yang sudah menghasilkan. KUT untuk intensifikasi hortikultura diberikan: (1) secara selektif berdasarkan daerah maupun komoditas dengan memperhatikan pola pembiayaan hortikultura yang sudah berjalan di daerah bersangkutan; (2) mempunyai jaminan pemasaran. Pola kredit dalam pembiayaan program TRI melalui Kredit Kepada Koperasi untuk Anggotanya (KKPA-TRI), KKPA-TRI disalurkan melalui bank pemberi kredit adalah bank umum yaitu BRI, Bank BUKOPIN, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD Jabar. Koperasi Primer dalam rangka pembiayaan program TRI adalah KUD. KKP (Kredit Ketahanan Pangan) merupakan skim kredit program untuk pembiayaan pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Kegiatan usaha
10
yang dapat
memanfaatkan KKP antara lain: (1) Intensifikasi padi, jagung, kedelai,
ubikayu dan ubi jalar, (2) Pengembangan budidaya tebu rakyat, (3) Peternakan sapi potong, unggas dan itik, (4) Penangkapan dan budidaya ikan, dan (5) Pengadaan pangan (gabah, jagung dan kedelai) Kredit Ketahanan Pangan merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk membantu permodalan petani dalam kondisi tidak adanya fasilitas KLBI, meskipun dari sisi penyaluran masih rendah. Salah satu faktor rendahnya penyaluran KKP adalah sampai saat ini masih banyak petani/kelompok tani yang masih memiliki tunggakan KUT pada periode sebelumnya (sejak MT 1998/1999), sehingga banyak petani/kelompok tani yang tidak dapat mengakses KKP, karena salah satu persyaratan untuk memperoleh fasilitas KKP adalah tidak memiliki tunggakan KUT. Realisasi KKP untuk tanaman pangan di Indonesia merupakan yang terkecil dibandingkan komoditas lainnya (Sinar Tani, 2002). Sebagai gambaran sampai dengan bulan April 2002 realisasi KKP berturut-turut adalah Rp 349,22 milyar (92,7%)untuk budidaya tanaman tebu rakyat, sementara untuk budidaya ternak sebesar 26,45 persen, pengadaan pangan 15,66 persen, penangkapan ikan 14,43 persen dan paling kecil realisasinya adalah KKP untuk tanaman pangan yaitu hanya 9,57 persen dari total penyaluran KKP. Penyaluran KKP untuk budidaya tebu rakyat merupakan yang terbesar karena adanya jaminan dari pabrik gula. Pabrik gula dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga penjamin kredit, yang bertanggungjawab atas kredit yang diterima oleh petani. Hal ini dimungkinkan karena semua hasil panen tebu dijual ke pabrik gula penjamin. Rendahnya penyaluran KKP pada tanaman pangan,dibandingkan plafon yang disediakan menyebabkan dilakukannya realokasi KKP intensifikasi tanaman pangan yang semula Rp1,85 trilyun dikurangi menjadi Rp 785,135 milyar. Sementara plafon KKP untuk budidaya tebu meningkat dari Rp 376,5 milyar menjadi Rp 675,6 milyar, KKP peternakan meningkat dari Rp 182,23 milyar menjadi Rp 282,33 milyar. Sedangkan KKP penangkapan ikan dan pengadaan pangan tidak berubah 43,519 milyar dan Rp 294,845 milyar.
11
yaitu masing-masing Rp
PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN KREDIT PERTANIAN Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan kredit program bagi petani sejak pendirian Padi Sentra (1963) yang menangani masalah penyuluhan, penyaluran dan pengembalian kredit. Kredit tersebut diperuntukkan bagi pembelian sarana produksi dan uang untuk biaya hidup sampai usaha menghasilkan (cost of living). Kredit memerlukan agunan berupa lahan sawah atau jaminan produksi padi yang akan dipanen sehingga petani sering mendapatkan kesulitan untuk menyediakan agunan tersebut. Dengan diluncurkannya program Bimas pada tahun 1966, pemerintah juga membenahi sistem kelembagaan perkreditan untuk mendukung program intensifikasi padi. Penyaluran kredit menjadi tanggung jawab BNI Unit II (sekarang BRI). Penyaluran kredit dilakukan melalui Koperasi Produksi Petani (Koperta). Kredit diberikan dalam bentuk sarana produksi dengan agunan usahatani padi yang sedang diusahakan. Selanjutnya pada tahun 1969 diganti dengan Bimas Gotong Royong. Pada saat itu kredit usahatani diberikan dengan sistem bagi hasil, yaitu 1/6 produksi kotor diperuntukkan untuk pembayaran kredit. Pada tahun 1970 pemerintah menyempurnakan program Bimas Gotong Royong menjadi Bimas yang Disempurnakan.
Dengan penyempurnaan ini, kredit program
intensifikasi disalurkan melalui BRI Unit Desa sedangkan pengadaan dan penyaluran sarana produksi dilaksanakan melalui BUUD/KUD.
Kredit diberikan kepada petani
pemilik/penggarap dengan jaminan berupa barang bergerak atau usahataninya. Pada tahun 1982 penyaluran kredit tidak hanya melalui BRI Unit Desa, tetapi dapat juga melalui KUD. Masalah yang dihadapi adalah makin membesarnya tunggakan kredit. Tahun 1985 pemerintah
menghentikan kredit Bimas dan menggantikannya
dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Pada prinsipnya KUT ini hampir sama dengan Kredit Bimas, namun cakupan komoditasnya lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura. Petani yang tergabung dalam kelompok tani dapat akses kredit KUT dengan membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Pada saat Indonesia mulai dilanda krisis pada tahun 1998 dan karena pengaruh kemarau panjang (El-Nino) yang menyebabkan dampak negatif pada usahatani padi, pemerintah memutihkan tunggakan KUT MT 1985 sampai dengan MT 1995. Sementara tunggakan KUT untuk periode MT 12
1995/1996 sampai dengan MT 1997 dilakukan penundaan pembayaran selama dua tahun. Sejak MT 1998/1999 Pemerintah mengubah pola penyaluran KUT yang tadinya hanya melalui BRI dan KUD dengan memberikan kesempatan pada bank pelaksana lain serta LSM dan koperasi untuk menyalurkan kredit kepada petani.
Pada saat itu bank
pelaksana hanya berfungsi sebagai penyalur (chanelling) dana KUT yang berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dengan mekanisme ini ternyata banyak terjadi penyimpangan kredit yang berdampak pada besarnya tunggakan kredit. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI tidak lagi menyalurkan kredit program (termasuk KUT) sehingga sejak saat itu bank pelaksana harus menanggung dana KUT. Perkembangan selanjutnya melalui SK Menteri Keuangan No 345./KMK.017/2000 tentang pedoman Kredit Ketahanan Pangan dan SK Menteri Pertanian No 399/Kpts/BM.530/8/2000 tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan skim Kredit Ketahanan Pangan, pemerintah menghapus kredit program KUT dan meluncurkan skim kredit usahatani baru yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). KKP pada hakekatnya mengkomodasikan KUT, Kredit Kepada Koperasi dalam rangka pengadaan pangan (Kkop Pangan) dan Kredit
kepada Koperasi Primer untuk
anggotanya (KKPA). Penyaluran KKP menggunakan sistem executing, di mana bank pelaksana merupakan lembaga pemutus kredit. Jenis usahatani yang dibiayai mencakup
usahatani tanaman pangan (padi,
jagung, kedelai, ubikayu, dan ubi jalar), usaha ternak (sapi potong, ayam ras dan itik) serta budidaya ikan. Pada pelaksanaanya KKP masih mengalami hambatan baik pada sisi bank pelaksana yang belum siap, maupun pada sisi KUD /Koperasi atau petani yang masih menunggak utang KUT. PENUTUP Masalah kredit di sektor pertanian, terutama untuk petani kecil, seakan tidak pernah lepas dari berbagai masalah, sehingga niat baik pemerintah untuk membantu mereka dalam penyediaan modal usaha seringkali tidak mencapai sasaran dan masih jauh dari sempurna. Keragaan Kredit Usahatani (KUT) menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan pemerintah belum sepenuhnya dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan petani dari skala kecil hingga skala besar, dan dari yang berjangka pendek hingga berjangka panjang. Selain itu sistem kredit yang ada cenderung menumbuhkan ketergantungan petani kepada bantuan pemerintah.
13
Dalam upaya penyempurnaan penyaluran kredit untuk sektor pertanian hendaknya skim kredit tidak terlalu banyak, namun dapat mencakup semua komoditas dan golongan petani.
Sementara itu karena sektor pertanian memiliki karakteristik
sendiri, diusulkan juga adanya bank khusus yang menangani sektor pertanian (Bank Agribisnis) atau menurut Ato Suprapto (1999) Bank Petani dan Koperasi. Selama kurun waktu lebih dari 10 tahun terakhir ini, alokasi kredit bagi sektor pertanian kurang dari 10 persen dari total kredit yang disalurkan kepada seluruh sektor ekonomi. Alokasi kredit yang timpang tersebut tidak serta merta disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor pertanian untuk mengembalikan kredit tetapi lebih disebabkan oleh keberpihakan yang masih rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit yang kaku, terutama bagi petani dan pelaku agribisnis dan agroindustri. Ketersediaan kredit pertanian khususnya kredit program saat ini sangat terbatas seiring dengan berlakunya Undang-Undang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI (Letter of Intents) antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter International (IMF) di mana fasilitas KLBI yang selama ini merupakan sumber pendanaan dari berbagai kredit program dihapuskan. Dengan demikian kredit pertanian kemudian harus memanfaatkan dana-dana komersial yang bersumber dari bank-bank komersial, meskipun sampai saat ini masih diberikan subsidi bunga oleh pemerintah yang besarnya berkisar antara 10 sampai 12 persen, namun mekanisme lainnya seperti prosedur dan persyaratannya telah megacu pada kredit komersial.
DAFTAR PUSTAKA Adjid, D.A. 1991. Sistem Pendukung dalam Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian Dalam Pengembangan Alat dan Mesin Menunjang Industri Pertanian. Risalah Lokakarya dan Ekspose Alat dan Mesin Menunjang Industri Pertanian. Bogor, 1314 Agustus 1991. Eko Ananto dan Ridwan Thahir (Penyunting). Puslitbang Tanaman Pangan. Hal.79-88. Andin H. Taryoto, Abunawan Mintoro, Soentoro, dan Hermanto. 1992. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. SK Bisnis Indonesia. 1999. Jakarta.
Kredit Agribsinis Rp 115 Trilyun.
Senin, 3 Mei 1999.
SK Bisnis Indonesia. 2001. Meneliti Collateral Kredit tanpa Agunan. September 2001. Jakarta. Colter, Yusuf Mada. 1984. Masalah Perkreditan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 14
Kamis, 27
dalam Pembangunan Pertanian.
Departemen Pertanian. 1997. Buku Pintar Intensifikasi Pertanian. Sekretariat Badan Pengendali Bisnis. Jakarta. Hadi, Prajogo, U. 2001. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hermanto. 2001. Perkembangan Kelembagaan Pertanian. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Mardianto dan M. Ikhsan (Editor). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) 1-13. Hutabarat, B., A. Husni Malian, Adimesra Djulin , Tri Bastuti P dan Sumedi, Dampak Kebijaksanaan Moneter terhadap Kinerja Sektor Pertanian. 2000 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Manurung, V.T. 1998. Keragaan Kelembagaan Perkreditan Usaha Penangkapan Ikan Tuna Skala Kecil di Kawasan Indonesia Timur. FAE Vol.16 No.2 Desember 1998. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal:62-74. Mayrowani, H, Hendiarto, Saktyanu Kristyantoadi , Wahida, Bambang Prasetyo dan Dewa K.S. Swastika, 1998. Kajian Ketersediaan dan Pemanfaatan Skim Kredit untuk Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Mayrowani, H, Mat Syukur dan Sunarsih. 2000. Peningkatan Peranan Kredit dalam Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rachman, B, Maesti Mardiharini, Sumedi, Andi Askin, dan Elly Riswati, 2000. Perumusan Kebijaksanaan Pembiayaan Perikanan Rakyat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rachman, B, Saptana, Supena Friyatno dan Sumedi, 1999. Food Policy Support Activity. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rachman, B, Saptana, Supena Friyatno dan Sumedi,. 2000. Food Policy Support Activity. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. SK Sinar Tani. 1999. 17 Skim Kredit untuk Rakyat Masih Sulit Cair. 24 Februari 1999. Jakarta. SK Bisnis Indonesia. Mentan; Skema Kredit Baru Tak Pengaruh Kucuran KUT. 25 Januari 2000. SK Bisnis Indonesia. Pemerintah dan IMF Sepakati Skema Kredit Baru UKM. 24 Januari 2000. SK Bisnis Indonesia. Skema Baru Kredit UKM Kian Persulit Akses Dana. 25 Januari 2000. SK. Bisnis Indonesia. Kredit Agribisnis Rp 115 triliun 3 Mei 1999. Soehadji. 1992. Usaha Peternakan Sekarang dan di Masa Depan. Dalam Prosiding Agro Industri Peternakan di Pedesaan, 10-11 Agustus 1992, Ciawi Bogor. Balai Penelitian Ternak. M. Sabrani, I Putu Kompiang, Sofjan Iskandar, Uka Kusnadi dan Syafrizal Syahgiar (Penyunting). Puslitbang Peternakan. Hal:1-32.
15
Sudaryanto T., I.W. Rusastra dan Erizal Jamal. 1999. Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Dalam Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. T. Sudaryanto, I. W. Rusastra, Erizal Jamal (Penyunting). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal:V-XXIII. Sudaryanto, T. 1999. Pespektif Pembangunan Ekonomi dalam Era Pasar Bebas. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah, Bogor, 16-17 November 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Syukur, M., Sumaryanto dan Sumedi. 1999. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif Penyempurnaannya untuk Pengembangan Pertanian. Dalam Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Monograph Series No.20. Tahlim Sudaryanto, I Wayan Rusastra, dan Erizal Jamal (Penyunting) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal:221-246. Syukur, M., Sumaryanto dan Sumedi, 1998. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif Penyempurnaannya untuk Pengembangan Pertanian. Monograph Series No.20, T. Sudaryanto, I. W. Rusastra dan Erizal Jamal (Eds) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Syukur, Mat, Sumaryanto, Saptana, A. Rozany Nurmanaf, Budi Wiryono, Iwan Setiajie Anugrah dan Sumedi, 1999. Kajian Skim Kredit Usahatani Menunjang Pengembangan IP-Padi 300 di Jawa Barat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Syukur, M. 1994. Skim Kredit Pedesaan dan Peranannya pada Program Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1994. Wahyuni, Dwi, 2000. Penjaminan Indonesia, 5 Desember 2000.
Kredit
UKM
Masih
Isapan Jempol.
Bisnis
Wiyono, Teguh. 2002. Dukungan Pemerintah terhadap Kelangsungan Pelaksanaan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Sk Sinar Tani Edisi 18-24 Desember 2002 dan Edisi 25-31 Desember 2002.
16