HIKAYAT JAYA LENGKARA: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS NILAI-NILAI MORAL SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
oleh Muhamad Zainal Abidien 109013000075
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
ﻠﹶﺢﹺ ﺍﹾﻷَﺻﺪﻳﺬﹸ ﺑﹺﺎﹾﳉﹶﺪﺍﹾﻟﻸَﺧﺢﹺ ﻭﺎﻟﻢﹺ ﺍﻟﺼﻳﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻘﹶﺪﺎﻓﹶﻈﹶﺔﹸ ﻋﺤﺍﻟﹾﻤ “Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”
ﻱﺪ ﺍﹾﳌﹸﻘﹾﺘﻦﺴﻥﹾ ﺍﹶﺣﺍﺉﹺ ﻭﺪﺘﺒﻠﹾﻤﻞﹸ ﻟﺍﹾﻟﻔﹶﻀ “Keutamaan bagi orang yang memulai, meskipun setelahnya itu lebih baik”
Persembahan: Karya kecil ini dipersembahkan untuk semua pelestari budaya dan semua orang yang berani tampil beda.
i
ABSTRAK
MUHAMAD ZAINAL ABIDIEN, 109013000075, “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., Januari 2014. Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tangan yaitu ilmu filologi. Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah yang berbentuk hikayat. Hikayat dikaji secara filologi untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah nilai moral. Pembelajaran moral di sekolah dapat dilakukan dengan memberikan pembinaan dalam pembelajaran karya sastra. Salah satu hikayat yang bisa dijadikan pilihan dalam pembelajaran moral di sekolah adalah Hikayat Jaya Lengkara. Hal itu dikarenakan dalam hikayat ini sarat dengan nilai-nilai moral yang layak untuk dijadikan contoh oleh peserta didik. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini diarahkan pada analisis kajian filologi dalam Hikayat Jaya Lengkara dan nilai moral. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap isi cerita dan nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara sehingga dapat dibaca, dinikmati dan bermanfaat bagi masyarakat saat ini khususnya dalam bidang pendidikan. Data penelitian yang dipakai berupa kalimat dan paragraf atau pernyataan yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang mengandung informasi tentang nilai moral. Adapun sumber data penelitian ini adalah Hikayat Jaya Lengkara tebal 31 halaman, berkode ML. 53, dan merupakan naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode naskah tunggal edisi standar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kajian filologi yang dilakukan secara mendalam, dapat mengungkap isi cerita dalam Hikayat Jaya Lengkara sehingga dapat dibaca dan dinikmati masyarakat saat ini. Nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral positif meliputi: sikap adil, kasih sayang, percaya, menolong, bertanggung jawab, hormat, bersyukur, pemberani dan sabar. Adapun nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral negatif meliputi: fitnah, iri, dengki, hasut, berbohong, tidak sabar, khianat, mencuri, menipu, penakut dan serakah. Kata kunci : filologi, hikayat, suntingan teks, dan nilai moral.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya karena atas izin dan kasih-Nya penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral Serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw suri tauladan bagi semesta alam. Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu, motivasi, kasih sayang dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini; 3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 4. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar, disiplin, telaten, dan penuh tanggung jawab membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Syukron Katsiron, Jazakumullah Ahsanal Jaza. 5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan.
iii
6. Siti Amriah dan Muhammad Mahmur Zain, kedua orangtua penulis, yang telah melahirkan, merawat, mendidik, mendukung, memotivasi, dan mendoakan penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang. Terima kasih Umi…Abah…; 7. Umi Yayah Ummu Adiyah dan Buya KH. Drs. Burhanuddin Marzuki beserta seluruh Asaatidz dan Asaatidzah Pondok Pesantren Qotrun Nada yang telah mendidik, membimbing, mendukung dan mendoakan penulis; 8. BUMN Peduli Pendidikan PT. Angkasa Pura II yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa program pendidikan Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 9. KH. Utob Tobroni, Lc. beserta seluruh musyrif dan musyrifah Ma’had UIN Syarif Hidayatullah serta Bagian Kemahasiswaan yang telah mendidik, membimbing, dan membantu penulis; 10. Seluruh keluarga penulis, Aa Andri, Teh May, Ka Khoir, Ka Mursit, Aa Afif, Teh Diah, Lala, Ziah yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 11. Seluruh teman seperjuangan penulis, PANDAWA dan SRIKANDI PBSI UIN Syarif Hidayatullah, khususnya Siti Nurfitriani, S.Pd., yang telah mendukung, memotivasi, membantu, dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 12. Sahabat karib penulis: Abang Arif, Boim, Bayu, Fadhlan, Tantowi, dan Zaki serta seluruh teman asrama Ma’had UIN Syarif Hidayatullah; Siroj, Habib, Joni, Zaki, Yusuf, Mas Arif dan lainnya yang telah membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 13. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Amin.
Tangerang, Januari 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………………... i ABSTRAK ............................................................................................. ii KATA PENGANTAR ........................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. B. C. D. E. F. G. H.
Latar Belakang Masalah ........................................................ Identifikasi Masalah ………………………………………… . Pembatasan Masalah .............................................................. Perumusan Masalah ............................................................... Tujuan Penelitian ................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................. Metode Penelitian .................................................................. Sistematika Penulisan ............................................................
1 4 5 5 6 6 7 9
BAB II KAJIAN TEORETIS ............................................................... 10 A. Hakikat Filologi ................................................................... 10 1. .. Pengertian Filologi ..................................................... 10 2. Dasar Kerja Filologi ................................................... 11 3. Objek Filologi ............................................................. 12 B. Hikayat ................................................................................. 14 1. Pengertian Hikayat ..................................................... 14 C. Nilai-nilai Moral .................................................................. 15 1. Pengertian Nilai ......................................................... 15 2. Pengertian Nilai Moral ............................................... 15 3. Bentuk Penyampaian Moral ....................................... 18 D. Penelitian yang Relevan ...................................................... 20 v
BAB III HIKAYAT JAYA LENGKARA: NASKAH DAN TEKS ......... 21 A. Tinjauan Naskah .................................................................. 21 1. Inventarisasi Naskah .................................................. 21 2. Deskripsi Naskah ....................................................... 21 B. Suntingan Teks ................................................................... 22 1. Tanda-tanda Suntingan ............................................... 22 2. Pemakaian Ejaaan ...................................................... 22 3. Pedoman Penulisan Kata-kata Arab ............................ 23 C. Teks Hikayat Jaya Lengkara .............................................. 24
BAB IV HIKAYAT JAYA LENGKARA DAN NILAI-NILAI MORAL ............................................................. 41 A. Sinopsis Hikayat Jaya Lengkara .......................................... 41 B. Unsur Instrinsik Hikayat Jaya Lengkara ............................ 43 1. Tema .......................................................................... 43 2. Alur ........................................................................... 43 3. Tokoh dan Penokohan ................................................ 47 4. Latar .......................................................................... 56 5. Sudut Pandang ........................................................... 60 6. Gaya Bahasa .............................................................. 60 7. Amanat ...................................................................... 62 C. Nilai-nilai Moral Hikayat Jaya Lengkara .......................... 62 1. Nilai Moral Positif ..................................................... 64 a.
Kasih Sayang ...................................................... 64
b.
Adil .................................................................... 65
c.
Tanggung Jawab ................................................. 65
d.
Tolong-Menolong ............................................... 66
e.
Beryukur ............................................................ 67
f.
Sabar .................................................................. 68
g.
Hormat ............................................................... 71
h.
Berani ................................................................. 73
vi
2. Nilai Moral Negatif .................................................... 74 a.
Tidak Sabar ........................................................ 74
b.
Hasud, Bohong, dan Fitnah ................................. 75
c.
Khianat ............................................................... 77
d.
Mencuri .............................................................. 78
e.
Menipu ............................................................... 79
f.
Penakut ............................................................... 79
g.
Serakah ............................................................... 80
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ............ 82
BAB V PENUTUP ................................................................................. 85 A. Simpulan ............................................................................... 85 B. Saran .................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 87 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Naskah sebagai karya sastra klasik merupakan warisan kebudayaan hasil karya nenek moyang yang mempunyai peranan sangat besar dalam pembangunan mental spiritual bangsa. Bidang mental dan spiritual merupakan salah satu bidang yang penting peranannya dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Karya sastra lama juga mengandung berbagai macam gambaran kehidupan, ide-ide, ajaran budi pekerti, nasihat, aturan, pantangan, dan lain-lain, yang merupakan konvensi dan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Dengan mempelajari dan memahami karya sastra lama, kita dapat mengetahui pandangan dan cita-cita nenek moyang kita zaman dahulu yang digunakan sebagai pedoman hidup untuk mencapai keselamatan dan ketentraman. Sebab, nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kebudayaan yang tinggi nilai dan tarafnya. Melalui khazanah kebudayaan masa lampau itulah tempat berakar dan berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa dewasa ini. Pengetahuan seseorang tentang kebudayaan bangsa pada masa lampau dapat digali melalui peninggalan-peninggalan nenek moyang. Kebudayaan nenek moyang yang sudah ada beberapa abad yang lampau dapat diketahui kembali dalam bermacam-macam bentuk peninggalan, antara lain dalam bentuk tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain, dan naskah-naskah. Selain itu, ada juga peninggalan
yang
berbentuk
lisan.
Naskah
sebagai
peninggalan
kebudayaan merupakan dokumen bangsa yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama karena memiliki kelebihan, yaitu dapat memberi informasi yang luas dibandingkan peninggalan yang berbentuk puing
1
2
bangunan seperti candi, istana raja, dan lain-lain yang tidak dapat berbicara dengan sendirinya tetapi harus ditafsirkan.1 Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Hal ini selain karena bentuk tampilan yang kurang menarik, juga disebabkan keberadaannya yang pada umumnya tersimpan di lemari-lemari penduduk dan museum, serta sulit mengetahui maknanya tanpa penelaahan dengan disiplin ilmu khususnya. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tersebut yaitu ilmu filologi. Filologi dapat diartikan sebagai cinta pada ilmu dengan objek penelitiannya naskah. Tujuan filologi adalah untuk menemukan bentuk asal dan bentuk mula teks dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Naskah dapat diartikan sebagai semua bentuk tulisan tangan nenek moyang kita pada kertas, lontar, dan kulit kayu yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Namun pada hakikatnya tidak ada peninggalan suatu bangsa yang lebih memadai untuk keperluan penelitian sejarah dan kebudayaan daripada kesaksian tertulis. Oleh sebab itu, naskah lama mempunyai kedudukan yang sangat penting. Lewat dokumen tertulis seperti itu dapat dipelajari secara lebih nyata dan seksama bagaimana cara berpikir bangsa yang menyusunnya. Naskah lama merupakan salah satu wujud dokumen sejarah yang banyak mengandung nilai-nilai budaya masa lampau. Naskah klasik sudah pasti mempunyai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya biasanya mencakup berbagai aspek kehidupan, antara lain nilai sosial, nilai budaya, keagamaan, nilai estetis, nilai moral, nilai hiburan, dan masih banyak lagi nilai-nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. 1
Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 86.
3
Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah hikayat. Hikayat adalah cerita tentang kehidupan seseorang. Salah satu hikayat yang mengandung nilai-nilai moral adalah Hikayat Jaya Lengkara. Sebagaimana naskah-naskah kuno lainnya yang pada umumnya tidak diketahui siapa pengarangnya atau anonim dan tidak diketahui asal muasalnya. Hal senada juga terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang tidak diketahui siapa pengarangnya dan dari mana asal muasalnya. Hikayat Jaya Lengkara ini merupakan naskah Melayu yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi. Hikayat ini termasuk ke dalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Di dalam hikayat tersebut banyak terdapat nilai-nilai moral yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini berangkat dari permasalahan bahwa sejauh yang penulis ketahui, belum adanya penelitian terhadap naskah lama di jurusan kependidikan. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya dengan belum adanya penelitian mengenai naskah lama di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Naskah lama yang ditulis dengan aksara Jawi menimbulkan kesulitan untuk membacanya bagi sebagian orang, apalagi untuk menelitinya. Begitu juga yang terjadi dengan naskah Hikayat Jaya Lengkara. Naskah ini ditulis dengan aksara Jawi, banyak orang yang tidak memahaminya, padahal penelitian terhadap naskah ini sangat bermanfaat. Hikayat Jaya Lengkara mengandung pesanpesan yang baik, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah karena pada umumnya karya sastra lama itu bersifat didaktis instruktif, yaitu mengandung pengajaran dan bimbingan sosial. Di dalam karya sastra lama juga banyak mengandung pengajaran dan keteladanan, terutama tentang kearifan hidup, baik dalam bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama. Hikayat merupakan salah satu bentuk sastra lama. Kegiatan pembelajaran sastra khususnya sastra lama seperti hikayat dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik terhadap sejarahnya, selain itu
4
juga nilai-nilai yang terkandung dalam hikayat dapat bermanfaat bagi pembentukan karakter peserta didik. Oleh karena itu, pendidik harus pandai-pandai dalam memilih hikayat untuk dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan ajar pembelajaran sastra, khususnya sastra lama di sekolah. Jurang yang telah tumbuh antara sastra lama dan manusia modern akan bertambah besar bila tidak ada pemeliharaan yang terarah dalam bentuk pelajaran sekolah dan pengadaan buku mengenai sastra itu sendiri. Keasingan ini menyebabkan pula orang enggan mempelajarinya, yang mengakibatkan karya-karya sastra lama tidak dipelihara dan akhirnya punah. 2 Hal inilah yang menggerakkan hati penulis untuk meneliti dan mengungkap
nilai-nilai
moral
yang terdapat di dalamnya serta
mengungkap implikasi nilai-nilai moral tersebut dalam bidang pendidikan. Selain itu hal ini juga merupakan suatu upaya untuk melestarikan nilainilai yang terdapat di dalam naskah lama agar masih dapat dibaca dan dihayati oleh manusia di masa kini, khususnya dalam bidang pendidikan yang merupakan benteng pertahanan untuk menyelamatkan tradisi, identitas, dan jati diri bangsa yang sedang dikepung arus modernisasi dan globalisasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat skripsi dengan judul “Hikayat Jaya Lengkara: Suntingan Teks dan Analisis Nilai-nilai Moral serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”
B. Identifikasi Masalah 1. Naskah lama merupakan salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia
yang
kurang
mendapat
perhatian
dari
masyarakat
dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. 2. Di dalam naskah lama banyak terdapat nilai-nilai moral, bersifat didaktis, penuh dengan keteladanan dan kearifan hidup namun tidak 2
Achdiati Ikram, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 32.
5
semua orang dapat membaca dan mengkaji isi naskah lama karena untuk dapat membaca dan mengkajinya diperlukan ilmu khusus di antaranya filologi. 3. Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu dari sekian banyak naskah lama yang belum disunting dan ditransliterasikan ke dalam Bahasa Indonesia agar dapat dibaca, dikaji, dan dihayati nilai-nilai moral dan kearifan hidup yang terdapat di dalamnya oleh pembaca di masa kini. 4. Derasnya arus modernisasi, globalisasi, dan westernisasi yang datang bertubi-tubi berdampak serius bagi kelangsungan tradisi yang telah lama ada di bumi nusantara ini. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi identitas dan jati diri bangsa ini. Oleh karenanya harus ada upaya dari berbagai pihak terutama di bidang pendidikan untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi lama yang baik serta mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari hikayat-hikayat serta mengambil dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan masalah dapat difokuskan pada suntingan teks, analisis nilai-nilai moral yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dan implikasinya dalam pembelajaran sastra di Sekolah.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana suntingan teks Hikayat Jaya Lengkara agar dapat dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas. 2. Bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hikayat Jaya Lengkara?
6
3. Bagaimana implikasi nilai-nilai moral Hikayat Jaya Lengkara dalam pembelajaran sastra di sekolah? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Menyajikan suntingan teks Hikayat Jaya Lengkara agar dapat dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas.
2. Menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hikayat Jaya Lengkara. 3. Menjelaskan implikasi nilai-nilai moral Hikayat Jaya Lengkara dalam pembelajaran sastra di sekolah. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini secara teoretis dapat menjadi masukan dalam memberikan informasi mengenai hakikat Hikayat Jaya Lengkara terutama nilai moral yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah sumber pengetahuan khususnya pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini juga diharapakan dapat dipakai sebagai sumber referensi dan informasi bagi disiplin ilmu lainnya, misalnya bidang ilmu linguistik, sastra, budaya, dan lain sebagainya. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat secara praktis diharapkan dapat membantu pembaca yang belum mengerti dan memahami naskah lama yang ditulis dengan menggunakan aksara Arab Jawi dalam membaca, memahami dan mengkaji naskah lama tersebut yang sarat akan kearifan dan nilai-nilai kehidupan.
7
G. Metode Penelitian Metode merupakan cara atau sistem kerja, sedangkan metodologi dapat dikatakan pula sebagai pengetahuan tentang apa saja yang merupakan cara untuk menerangkan atau meramalkan variabel konsep maupun definisi konsep yang bersangkutan dan mencari konsep tersebut secara empiris. Untuk itu metode filologi berarti pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian filologi.3 Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan penelitian filologi antara lain: inventarisasi naskah, deskripsi naskah, suntingan teks, dan interpretasi. Tahap Pertama: Inventarisasi naskah yaitu suatu usaha dalam mencari sejumlah naskah dengan judul yang sama di tempat-tempat koleksi naskah. Inventarisasi naskah dilakukan dengan melihat judul-judul naskah yang sama dengan naskah yang akan diteliti di katalog-katalog yang berbeda.
Tahap Kedua: Deskripsi naskah yaitu menyajikan gambaran secara objektif dan sejujur-jujurnya terhadap identitas naskah yang meliputi aspek-aspek antara lain: judul naskah, nomor naskah, nama pengarang, tarikh penyusunan, tempat penyusunan, nama penyalin, aksara/huruf, bahasa, ukuran, jumlah baris setiap halaman, bahan naskah, jenis kertas, cap kertas, tebal naskah, jilid, penomoran halaman, pemilik naskah, dan lain sebagainya. Tahap Ketiga: Suntingan Teks. Hikayat Jaya Lengkara merupakan naskah salinan dari Singapura. Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal. Namun setelah ditelusuri, ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah yang bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, berdasarkan kolofon yang terdapat dalam teks, naskah induk terdapat di Singapura. Mengingat jarak, tenaga, dan waktu yang terbatas, serta 3
Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1996), h. 70.
8
keterjangkauan naskah ini maka peneliti akhirnya memutuskan untuk menggunakan metode naskah tunggal dalam penelitian ini. Sebab, naskah yang terjangkau oleh peneliti hanya terdapat satu naskah saja di Indonesia, sehingga perbandingan naskah tidak mungkin dilakukan. Dalam menyunting naskah Hikayat Jaya Lengkara digunakan metode edisi naskah tunggal. Menurut Djamaris, penggarapan naskah dengan metode naskah tunggal dapat dilakukan melalui dua cara, yakni edisi diplomatik dan edisi standar.4 Edisi standar dianggap peneliti paling sesuai dengan naskah Hikayat Jaya Lengkara ini. Hal ini sesuai dengan isi dari naskah sendiri dan juga analisis yang hendak dilakukan peneliti yakni menggali nilai-nilai moral dan implikasinya dalam dalam pembelajaran sastra di sekolah. Edisi Standar atau edisi kritis yaitu suatu usaha perbaikan dan penelusuran teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penelitian. Tujuan edisi ini adalah untuk menghasilkan suatu edisi teks baru yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, huruf besar dan kecil, penambahan dan pengurangan kata sesuai EYD, membuat penafsiran atau interpretasi setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan sehingga teks dapat mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca sebagai masyarakat modern.5 Edisi standar digunakan apabila isi naskah dianggap sebagai cerita biasa bukan cerita suci. Meskipun demikian, penggarapan naskah dengan edisi standar juga membutuhkan ketelitian dan kejelian. 6 Adapun hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar menurut Djamaris adalah sebagai berikut: mentransliterasikan teks, membetulkan kesalahan teks, membuat catatan perbaikan atau perubahan, memberi komentar atau tafsiran
4
Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 11. Djamaris, op. cit., h. 15. 6 Ibid., h. 15. 5
9
(informasi di luar teks), membagi teks dalam beberapa bagian, dan menyusun daftar kata sukar (glosari).7 Tahap Keempat: Interpretasi. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penelitian filologi, pada tahap ini dilakukan penafsiran atau penjelasan dalam hal ini mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
H. Sistematika Penulisan Skripsi ini dimulai dengan pendahuluan pada bab pertama. Dalam pendahuluan terdiri atas delapan subbab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menunjukan garis besar masalah yang diangkat oleh penulis sebelum masuk ke dalam analisis atau data. Selanjutnya masuk pada bab kedua yang berisi landasan teoritis mengenai hakikat filologi, pengertian filologi, objek filologi, dasar kerja filologi, hikayat, dan nilai-nilai moral. Bab ketiga terdiri atas dua bagian. Bagian pertama tinjauan naskah yang berisi deskripsi naskah dan bagian kedua tinjauan teks yang berisi pengantar edisi dan teks Hikayat Jaya Lengkara Bab keempat terdiri atas empat bagian yaitu sinopsis, unsur intrinsik, interpretasi nilai moral, dan implikasi nilai moral dalam pembelajaran sastra di sekolah. Bab kelima merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran.
7
Ibid., h. 21.
BAB II LANDASAN TEORETIS
A. Hakikat Filologi 1. Pengertian Filologi Baried mengungkapkan,
"pengertian filologi adalah suatu
pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.” Kata filologi menurut etimologi, filologi berasal dari kata Yunani philos yang berarti “cinta” dan kata logos yang berarti “kata”. Pada kata filologi, kedua kata tersebut membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Kemudian arti ini berkembang menjadi “senang belajar”, “senang ilmu”, dan “senang kebudayaan”.1 Filologi sebagai istilah mempunyai beberapa arti sebagai berikut: a.
Filologi pernah diartikan sebagai hermeneutik atau ilmu tafsir teks yang dihubungkan dengan bahasa dan kebudayaan masyarakat yang memiliki teks tersebut.
b.
Filologi pernah diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.
c.
Filologi pernah diartikan sebagai ilmu sastra karena yang dikaji karya sastra. Saat ini filologi ada yang mengartikan sebagai ilmu bantu sastra karena filologi menyiapkan teks-teks sastra, khususnya sastra klasik agar siap dikaji.
d.
Filologi ada juga yang mengartikan sebagai studi bahasa atau linguistik.2 Tidak jauh berbeda dengan pendapat Baried, Lubis menjelaskan
“pengertian filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti
1 2
Baried, op.cit., h. 1. Ibid., h. 2.
10
11
luas yang mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan.”3 Sementara itu, Sudardi mengungkapkan pengertian “filologi adalah suatu disiplin ilmu yang meneliti secara mendalam naskah-naskah klasik dan kandungannya.”4 Jadi, menurut penulis, filologi yaitu ilmu yang mempelajari naskah disertai pembahasan dan penyelidikan kebudayaan bangsa berdasarkan naskah klasik. Dari naskah klasik itulah orang dapat mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat pada zaman lampau misalnya, adat istiadat, agama, kesenian, bahasa, pendidikan, dan sebagainya. Filologi juga merupakan usaha keras untuk menampilkan karya klasik dalam bentuk yang baru dan mudah dipahami. 2. Dasar Kerja Filologi Berangkat dari latar belakang lahirnya filologi sebagai satu istilah bagi suatu bentuk studi, filologi diperlukan karena munculnya variasi-variasi dalam teks yang tersimpan dalam naskah. Gejala tersebut memperlihatkan gejala bahwa dalam penyalinan naskah, teks senantiasa mengalami perubahan sehingga lahirlah wujud teks yang bervariasi. Dengan demikian, adanya variasi-variasi untuk suatu informasi masa lampau yang terkandung dalam naskah itulah yang melahirkan kerja filologi. Dapat dikatakan bahwa kerja filologi didasarkan pada prinsip bahwa teks berubah dalam penurunannya. Jadi, filologi bekerja karena adanya sejumlah variasi. Munculnya variasi memperlihatkan satu sifat penurunan suatu teks yang tidak pernah setia. Secara disengaja atau tidak disengaja penurunan yang dilakukan oleh manusia penyalin akan menimbulkan bentuk penyalinan yang tidak setia. Faktor manusia dengan berbagai keterbatasannya dan manusia dengan berbagai subjektivitasnya
3 4
h. 1.
Lubis, op.cit., h. 16. Bani Sudardi, Dasar-dasar Teori Filologi (Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia, 2001),
12
mempunyai peran yang penting dan menentukan terhadap wujud hasil salinannya.5 Variasi yang merupakan dasar kerja filologi pada awalnya dipandang sebagai kesalahan, satu bentuk korup (rusak), satu bentuk keteledoran si penyalin. Sikap terhadap variasi yang muncul dalam transmisi naskah pun, dalam perkembangannya juga berubah. Variasi dipandang tidak hanya sebagai kesalahan yang dibuat oleh penyalin, tetapi juga sebagai bentuk kreasi penyalin,
yaitu hasil dari
subjektivitasnya sebagai manusia penyambut teks yang disalin dan sebagai penyalinan yang menghendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya. Sikap-sikap
inilah
yang
kemudian
melahirkan
berbagai
pandangan dalam filologi. 1). Sikap yang memandang variasi sebagai satu bentuk korup yang berarti sebagai wujud kelengahan dan kelalaian penyalin, melahirkan pandangan yang oleh beberapa orang disebut filologi tradisional. Dalam konsep ini, filologi memandang variasi secara negatif. Sebagai akibatnya, teks harus dibersihkan dari bentukbentuk korup dan salah satu itu. 2). Sikap yang memandang variasi sebagai bentuk kreasi melahirkan pandangan yang oleh sementara orang disebut filologi modern. Dalam konsep ini variasi dipandang secara positif, yaitu menampilkan wujud resepsi si penyalin. Dalam pandangan yang kedua ini, perlu diingat pula bahwa adanya gejala yang memperlihatkan keteledoran si penyalin tetap juga diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pembacaan. 3. Objek Filologi Setiap ilmu mempunyai objek penelitian, tidak terkecuali filologi yang bertumpu pada kajian naskah dan teks klasik. Naskahnaskah yang menjadi objek material penelitian filologi adalah naskah yang ditulis pada kulit kayu, bambu, lontar, dan kertas.
5
Baried, op.cit., h. 5.
13
Sudardi mengungkapkan “objek penelitian filologi adalah teks dari masa lalu yang tertulis di atas naskah yang mengandung nilai budaya.”6 Adapun menurut Baried, “filologi mempunyai objek yaitu naskah dan teks.”7 a. Naskah Baried mengungkapkan “naskah merupakan benda kongkret yang dapat dilihat atau dipegang, seperti semua bahan tulisan tangan yang disebut naskah (handschrift). Di Indonesia bahan naskah yaitu dapat berupa lontar, kayu, bambu, rotan, dan kertas Eropa.8 Sedangkan Ikram mengungkapkan, naskah adalah wujud fisik dari teks.9 Tulisan-tulisan pada kertas disebut naskah, dalam bahasa Inggris naskah disebut dengan istilah manuscript, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut handschrift.10 Jadi naskah ialah wujud fisik segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya disebut hasil karya sastra, yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik naskah. b. Teks Baried mengungkapkan, “teks adalah sesuatu yang abstrak. Teks ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan.” Teks lisan yaitu suatu penyampaian cerita turun-temurun lalu ditulis dalam bentuk naskah. Naskah itu kemudian mengalami penyalinan-penyalinan dan selanjutnya dicetak. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan (yang disebut naskah) dan tulisan cetakan. 11 Sementara
itu,
Lubis
mengungkapkan,
“teks adalah
kandungan atau isi naskah.” Isi teks mengandung ide-ide atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. 6
Sudardi, op.cit., h. 3. Baried, op.cit., h. 3. 8 Ibid., h. 54. 9 Achdiati Ikram, 10 Djamaris, op.cit., h. 11. 11 Baried, op.cit., h. 4. 7
14
Di dalam proses penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan ada tiga macam teks yaitu: teks lisan, teks tulisan, dan teks cetakan.12
B. Hikayat 1. Pengertian Hikayat Secara etimologis, istilah “hikayat” berasal dari bahasa Arab, yakni ( ) ﺣﻜﻰhaka yang berarti menceritakan atau bercerita.13 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misalnya Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Seribu Satu Malam. Salah satu hasil sastra Melayu tradisional adalah hikayat. Hikayat menyampaikan kisah manusia (legendaris) dan seringkali juga tentang hewan yang bersifat manusia, seperti kemampuan berbicara. Hikayat dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) jenis rekaan, misalnya Hikayat Malim Dewa dan Hikayat Si Miskin; (2) jenis sejarah, misalnya Hikayat Patani dan Hikayat Raja-raja Pasai; (3) jenis biografi, misalnya Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dan Hikayat Abdullah. Hikayat sekarang mengacu ke bentuk karya sastra beragam prosa yang berisi kisah fantastik dan penuh dengan petualangan. Kata hikayat merupakan bentuk serapan dari bahasa Arab, di dalam bahasa asalnya semata-mata berarti narrative, tale, story.14 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hikayat adalah karya sastra Melayu lama yang berbentuk prosa berisi kisah
12
Lubis, op.cit., h. 30. E. Kosasih, Khazanah Sastra Melayu Klasik (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 57. 14 Panuti Sudjiman, Filologi Melayu (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), h. 17. 13
15
kemanusian. Biasanya hikayat menyampaikan kisah manusia dan seringkali juga tentang binatang yang bersifat seperti manusia.
C. Nilai-Nilai Moral 1. Pengertian Nilai Secara umum, nilai berarti sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai hakikatnya.15 Istilah “nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan.16 Dengan kata lain, nilai dapat dipandang sebagai sesuatu yang berharga, memiliki kualitas tinggi atau rendah. 2. Pengertian Nilai Moral Secara etimologis kata “moral” berasal dari bahasa Latin, yaitu
mos (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup).. Kata moral mempunyai arti yang sama dengan kata etos (Yunani) yang menurunkan kata etika. Di dalam bahasa Arab, moral berarti akhlak sama dengan pengertian budi pekerti, sedangkan dalam konsep Indonesia, moral berarti kesusilaan. 17 Elizabeth
Hurlock
mengungkapkan
dalam
bukunya
Child
Development: True morality is behaviour wich conforms to social standards and wich is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and consiste of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary Consideration to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to aposition of secondary importance. 15
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi III, h. 783. 16 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 29. 17 Dr. C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 24.
16
Pokok-pokok isi yang terpenting dari kutipan di atas ialah, moralitas yang sungguh-sungguh itu sebagai berikut: a.
Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar).
b.
Kelakuan yang disertai dengan rasa tanggung jawab atas tindakan itu.
c.
Tindakan yang mendahulukan kepentingan umum daripada keinginan atau kepentingan pribadi.18 Norma-norma moral merupakan tolok ukur yang dipakai
masyarakat
untuk
mengukur
kebaikan
seseorang.19
Menurut
Nainggolan, ditinjau dari sudut bahasa, moral sebagai kata benda yang berarti berhubungan dengan prinsip baik dan buruk dari satu cerita dan kisah atau pengalaman.20 Selanjutnya, Atkinson dalam Sjarkawi mengemukakan “moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar atau salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan.” 21 Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Krammer dalam Darmodihardjo yang dikutip oleh Nurgiantoro, mengatakan bahwa “moral merupakan suatu ajaranajaran ataupun peraturan peraturan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Moral disebut juga kesusilaan yang berarti keseluruhan dari berbagai kaidah dan
18 Dr. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 8. 19 Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), h. 19. 20 Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Tentang Moral Pancasila Moral Barat dan Moral Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), h. 21. 21 Sjarkawi, op.cit., h. 29.
17
pengertian yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik dalam suatu golongan (masyarakat).”22 Dengan kata lain, nilai moral merupakan sesuatu yang berharga yang berisi aturan-aturan, baik lisan maupun tulisan yang mengatur tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan manusia yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, moral merupakan suatu aturan atau ajaran yang di dalamnya mengatur sebuah nilai, baik itu nilai baik maupun nilai buruk yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dalam bertingkah laku. Adapun Kenny (dalam Nurgiyantoro) mengungkapkan, moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan
“petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.23 Nilai moral dalam karya sastra selalu dalam pengertian yang baik. Artinya, jika dalam sebuah karya sastra seorang pengarang menampilkan sikap dan tingkah laku dari seorang tokoh antagonis yang cenderung negatif, bukan berarti pengarang memberikan pendidikan yang kurang baik kepada pembaca. Penokohan tersebut hanya dimaksudkan sebagai sebuah model atau contoh saja, agar pembaca mampu mengetahui mana yang baik dan yang kurang baik. Pembaca diharapkan mampu menganalisis perbuatan yang layak untuk dicontoh dan yang tidak layak dicontoh. Dengan begitu, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tokoh “jahat” tersebut. 22
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengakajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), h. 11. 23 Ibid., h, 321.
18
Eksistensi dari sesuatu yang baik biasanya justru akan lebih mencolok jika dihadapkan dengan sesuatu yang bertentangan. Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai moral merupakan sesuatu yang dianggap berharga dalam diri manusia yang di dalamnya terdapat aturan-aturan tertentu yang harus ditaati oleh manusia tersebut. Nilai moral erat hubungannya dengan tingkah laku manusia. Dalam bertingkah laku, hendaknya manusia mengikuti aturanaturan yang berlaku dalam masyarakat. Pengarang dalam karyanya, mengajak pembaca untuk lebih teliti dalam menganalisis nilai moral yang disampaikan dalam
karya
yang diciptakannya. Pembaca
diharapkan mampu menemukan nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang tersebut. Selain itu, pembaca juga diharapkan mampu menerapkan nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Ajaran moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ajaran moral bersifat praktis sebab dapat ditampilkan, atau ditemukan dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.24
3. Bentuk Penyampaian Moral Secara umum, bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi dapat disampaikan secara langsung ataupun tidak secara langsung. Hal tersebut dikembalikan pada tujuan pengarang dalam menciptakannya. Ada beberapa pengarang yang secara langsung memperlihatkan pesan yang ingin disampaikan dengan cara langsung menonjolkan dalam karya sastra. Akan tetapi, ada juga pengarang yang ingin menyampaikan pesan namun tidak secara langsung ditonjolkan dalam karyanya tetapi ia sampaikan
melalui
simbol-simbol
tertentu
ketelitian untuk menganalisis pesan tersebut.
24
Ibid., h. 321.
sehingga
dibutuhkan
19
Adapun “pengelompokan nilai moral tersebut dapat berbentuk penyampaian langsung dan tidak langsung.”25 Penjabarannya adalah sebagai berikut: a. Bentuk penyampaian langsung Bentuk
penyampaian
langsung
merupakan
bentuk
penyampaian pesan moral yang dilukiskan secara langsung dalam teks. Misalnya dalam pelukisan watak tokoh, dilukiskan secara langsung dengan teknik uraian, telling, penjelasan atau expository. Pada intinya, dalam bentuk penyampaian secara langsung, pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dilukiskan secara langsung atau eksplisit. Apabila dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan kepada pembaca, teknik penyampaian langsung ini bisa dikatakan komunikatif. Karena dalam hal ini, pembaca akan mudah memahami pesan yang akan disampaikan olehpengarang. Pembaca tidak akan mengalami kesulitan dalam menafsirkan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. b. Bentuk penyampaian tidak langsung Bentuk penyampaian tidak langsung merupakan bentuk penyampaian pesan moral yang dilakukan oleh pengarang secara tidak langsung. Pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca dilukiskan secara tersirat dalam teks cerita. Pengarang tidak sertamerta menunjukkan secara jelas pesan yang hendak disampaikannya kepada pembaca. Oleh karena itu, ketika pembaca membaca teks cerita tersebut, diperlukan ketelitian tinggi untuk menemukan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca dipaksa untuk merenungkan, menghayati secara intensif makna yang tersirat dalam cerita. Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan nilai moral dalam suatu karya sastra, dapat dilakukan dengan menggunakan kedua bentuk penyampaian moral di atas. Akan tetapi, 25
Ibid., h. 335-342.
20
dalam penelitian ini penulis hanya akan berpedoman pada satu bentuk penyampaian moral di atas yaitu bentuk penyampaian moral secara langsung dengan langsung menganalisa pesan moral dalam hikayat Jaya Lengkara yang dapat dianalisis secara langsung.
D. Penelitian yang Relevan Adapun Hikayat Jaya Lengkara belum pernah ada yang meneliti atau menjadikan objek kajian filologi sebelumnya. Akan tetapi skripsi kajian filologi dengan objek-objek lainnya baik berupa hikayat maupun syair sudah banyak ditemukan, yang dapat penulis ketahui diantaranya: 1). Syair Peladuk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat (Kajian Filologis) oleh Ulis Sa’diyah dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya mengambil fokus naskah klasik berupa syair.26 2). Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral oleh Wikurnia dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang objek penelitiannya mengambil fokus naskah klasik berupa hikayat.27 Dari kedua pengkajian naskah lama yang pernah dilakukan tersebut, penulis mencoba mengkaji sesuatu yang berbeda dalam hal objek kajian maupun implikasinya . Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya pencontekan hasil karya orang lain. Untuk itu, dalam penelitian kali ini, penulis melakukan pengkajian dalam aspek nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara serta implikasinya dalam bidang pendidikan.
26
Ulis Sa’diyah, “Syair Peaduk Jenaka: Suntingan Teks, Analisis Nilai-nilai Luhur dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat (Kajian Filologis).” Skripsi pada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan. 27 Wikurnia, Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Interpretasi Nilai Moral. Skripsi Skripsi pada UNS, Semarang, 2006, tidak dipublikasikan.
BAB III HIKAYAT JAYA LENGKARA: NASKAH DAN TEKS
A. Tinjauan Naskah 1. Inventarisasi Naskah Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini tidak banyak. Pertama, naskah yang terkenal dan tersimpan di Perpustakaan Kebangsaan Singapura. Kedua, ialah Hikayat Makdam dan Makdim yang tersimpan di SOAS-London yang merupakan satu versi dari hikayat ini yang salah satu fragmennya tersimpan di Jakarta. Adapun naskah Hikayat Jaya Lengkara yang akan dijadikan objek penilitian adalah salah satu koleksi naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Salemba Raya 28A Jakarta dengan nomor ML. 53. 2. Deskripsi Naskah Naskah Hikayat Jaya Lengkara merupakan salah satu koleksi yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. naskah Hikayat Jaya Lengkara berbahasa Melayu aksara Jawi. Naskah tersebut berbentuk prosa yang berupa hikayat. Judul dalam teks adalah ‘Ini Alamat Hikayat Jaya Lengkara Namanya’ dengan menggunakan aksara Jawi dan ‘Djaja-Langkara’ dengan menggunakan aksara bahasa Indonesia (h-1). Naskah Hikayat Jaya Lengkara ini termasuk kedalam hikayat peralihan zaman Hindu-Islam. Naskah ini merupakan salinan dari naskah Singapura yang disalin pada 15 hb. Rabiul Awal H. 1237 (1863). Pemiliknya ialah seorang bernama Muhaidin dari Kampung Melaka.1 Naskah terdiri atas 31 halaman. Naskah ini tidak diberi nomor halaman. Secara fisik, naskah mempunyai ukuran sampul dan halaman
1
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
210.
21
22
yang sama yaitu 14 x 18,5 cm, sedangkan ukuran blok teks ialah 10,5 x 15 cm. Setiap halaman naskah rata-rata memuat 13 baris tulisan. Keadaan naskah masih baik, walaupun kertas terdapat tanda bekas terkena air. Tulisan dengan tinta hitam dalam naskah masih jelas terbaca. Naskah dijilid dengan karton marmer warna cokelat. Kertas yang dipakai untuk menyalin naskah yaitu dari bahan kertas Eropa.
B. Suntingan Teks Hikayat Jaya Lengkara merupakan naskah salinan dari Singapura. Ini berarti naskah bukanlah naskah tunggal. Namun setelah ditelusuri, ternyata di Indonesia hanya terdapat satu naskah yang bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Mengingat jarak, tenaga, dan waktu yang terbatas, serta keterjangkauan naskah ini maka peneliti akhirnya memutuskan untuk meneliti naskah yang ada di PNRI. Pengantar edisi atau suntingan teks ini merupakan panduan dalam membaca dan memahami suntingan naskah Hikayat Jaya Lengkara. Penulis membuat suatu edisi yang baru dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, huruf besar dan kecil, pembubuhan tanda baca, membuat penafsiran (interpretasi), dan sebagainya, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca masa kini. 1. Tanda-tanda Suntingan Sebelum penulis menyunting teks Hikayat Jaya Lengkara, terlebih dahulu penulis memaparkan tanda-tanda yang terdapat di dalam suntingan teks. Adapun tanda-tanda dalam suntingan teks sebagai berikut: a) < >
= Tambahan dari penyunting
b) / /
= Nomor halaman naskah
c) [ ]
= Penghilangan huruf atau kata
2. Pemakaian Ejaan Pada dasarnya, ejaan yang dipergunakan dalam tulisan ini menggunakan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Bagi
23
penulisan teks yang menggunakan bahasa Melayu ini, kadang-kadang penerapan EYD secara sempurna sulit dilaksanakan. Kesulitan terutama karena konvensi bahasanya yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini untuk beberapa hal EYD tidak dapat dilaksanakan, misalnya penulisan huruf besar pada kata-kata tertentu yang mengawali kalimat yang dalam bahasa Indonesia hal ini tidak dibenarkan. Contoh: “dan”, “sehingga”, “maka”, “sedang” dan sebagainya yang merupakan kata-kata dalam bahasa Indonesia tidak dibenarkan menjadi pembuka kalimat. Selain itu, penulis juga memberikan tanda hubung (-) untuk kata-kata ulang (repetition) yang biasanya dalam penulisan naskah ditulis dengan angka (2). Contoh: “kira2” menjadi “kira-kira”, “kuma2” menjadi “kuma-kuma”, “mengguling2kan” menjadi “menggulinggulingkan”, dan sebagainya. 3. Pedoman Penulisan Kata-Kata Arab Teks Hikayat Jaya Lengkara menggunakan aksara Arab. Aksara Arab menurut Pigeaud (1967) sudah dipakai untuk menulis bahasa Melayu untuk segala macam keperluan praktis di Nusantara sejak abad ke-16. Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa sukusuku bangsa saat ini biasa disebut aksara Jawi, Pegon, atau aksara Arab Gundul. Aksara Arab yang digunakan sebelumnya disesuaikan dengan tata fonem masing-masing bahasa.2 Kata-kata arab yang sudah dipandang umum dalam naskah ditulis mengikuti pedoman ejaannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Contoh: “masygul”, “barakat”, “fikih”, dan sebagainya. Pedoman transliterasi Arab yang penulis gunakan sebagai berikut:
2
Elis Suryani, Filologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 127.
24
Arab ١
Melayu A
Arab ﺱ
Melayu S
Arab ﻝ
Melayu L
ﺏ
B
ﺵ
SY
ﻡ
M
ﺕ
T
ﺹ
SH
ﻥ
N
ﺙ
S
ﺽ
DH
ﻭ
W
ﺝ
J
ﻁ
TH
ﻩ
H
ﺡ
H
ﻅ
ZH
ﻱ
Y
ﺥ
KH
ﻉ
‘
ﻙ
G
ﺩ
D
ﻍ
GH
ﻉ
NG
ﺫ
Z
ﻑ
P
ﻱ
NY
ﺭ
R
ﻕ
Q
ﭺ
C
ﺯ
Z
ﻙ
K
١ﻭ
O/U
١ﻯ
E
١ﻱ
I
C. Teks Hikayat Jaya Lengkara /1/ Wa bihi nasta’inu bi ‘l-lahi ‘ala ini hikayat menyatakan cerita orang yang dahulu kala ada seorang raja terlalu besar kerajaannya lengkap dengan hulu balang menterinya segala menghadap raja Saiful Muluk muda negerinya dan nama negerinya Ajam Saukat. Maka sudah daripada itu maka negeri itupun terlalu juga ramai negerinya akan orang lah, segenap negeri sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin. Maka tiada juga berapa lamanya baginda diyasa3 tahta kerajaan. Maka baginda pun baharu juga beristri seorang bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum, baginda itu raja meski akan tetapi baginda itu tiada beranak barang seorang maka itu sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak maka raja itu pun pikir dalam hatinya hendak/2/ beristri seorang lagi bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang. Maka dengan takdir Allah wa ta’ala maka tuan putri pun hamillah maka dengan beberapa lamanya tuan putri itu pun beranaklah dua orang 3
Di-ya-sa, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
25
laki-laki dinamai baginda Makdim kemudian Makdam dan yang muda itu dikasih baginda anak dua lagi istri, dan istri baginda yang lama itu tiada dikasihani seperti dahulu kala
gi,4 maka tuan putri pun pikir dalam hatinya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri Sanda5 Cahaya bermohon doa kepada Allah subhanahu wata’ala demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri meminta doa kepada Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamillah. Setelah genap bulannya tuan Putri Sakanda Cahaya Rum beranak pula seorang laki-laki yang elo rupanya kikang6 gemilang seperti bulan purnama empat belas kepada goa tiga cuci7 cahaya muka, dan lagi suatu alamat
pada mukanya seperti
kandil yang terang kepada malam, demikianlah alamat yang di kepalanya itu. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat, kemudian lagi buah-buahan pun terlalu jadi, dan padi beras pun terlalu murahnya. Daripada barakat baginda itu juga dan segala dagang pun terlalu banyak pergi datang terlalu lebih daripada dahulu maka terlalu sekali indah-indah dilihat sebelum anakda baginda pun jaya. Belum pernah daripada zaman dahulu kala tiada demikian itu adanya seperti zaman baharu ini. Dan tuantuan pun terlalu banyak dan barang yang fakir dan miskin banyak mengambil sedekah.
4
gi gi Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. 5 Sanda Sanda ‘sanda’ merupakan kata yang tidak mempunyai makna, kata ini terjadi karena kekeliruan penyalin naskah. Kata ini seharusnya adalah ‘Sakanda’ karena melihat kata-kata yang terdapat sebelumnya. 6 Ki-ka-ng, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 7 Go-a-ti-ga-cu-ci, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
26
Maka baginda pun pikir dalam hatinya sebab/4/ anakku yang bernama Jaya Lengkara kah atau tiadakah? Adapun segala rakyat dia di negeri itupun semuanya membawa persembahannya kebu8 duli baginda Jaya Lengkara. Maka tiada beberapa lamanya persatu anakdalah bernama Jaya Lengkara maka baginda pun menghimpunkan segala hulubalang dan segala nujum dan seisi negeri semuanya pun datang menghadap baginda baginda itu, maka baginda pun bertitah kepada segala hulubalang dan ahli nujum “Hai tuan-tuan sekalian, adapun hamba[h]9 ini hendak bertanyakan hal anakku yang bernama Jaya Lengkara itu apakah artinya jaya apa artinya lengkara itu apakah artinya? ku minta lihat kepada nujum sekalian.” Maka setelah dilihat nujum sekalian, maka sembah segala hulubalang dan ahli nujum sekalian itu pun masing-masing berdatang sembah, demikian bunyinya surat/5/ mengatakan kepadanya maka semuanya mengucap syukur “Alhamduli l-lahi Rabbil ‘alamin segala pujipuji bagi Allah subhanahu wata’ala juga memberi hambanya kebesaran dan kemuliaan atas hambanya yang di dalam dunia ini. Maka hamba segala hulung10 dan ahli nujum adapun semua ini tiada tahu akan artinya anakda Jaya Lengkara itu.” maka sabda baginda kepada segala nujum “Adapun aku hendak akan artinya Jaya itu apakah artinya dan Lengkara itu a[w]rtinya11”. Maka sembah segala hulu balang dan ahli nujum “Ya Tuanku Syah Alam, adapun duli tuanku hendakkan artinya paduka anak dinama itu baik dan jahatnya itu, duli Tuanku menyuruh bertanya kepada tuan kadi, karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih adapun fikih itulah yang mengetahui segala yang tiada dapat oleh orang lain maka/6/ 8
Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 9 Hambah hamba[h] Penghilangan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. 10 Hulung ‘hulung’ merupakan kata yang tidak mempunyai makna, kata ini terjadi karena kekeliruan penyalin naskah. Kata ini seharusnya adalah ‘hulubalang’ karena melihat kata-kata yang terdapat sebelumnya. 11 Awrtinya a[w]rtinya Penghilangan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.
27
diketahuinya itu yang boleh, makruh, yakin, segala nama seorang-seorang Ya Tuanku”. Maka raja pun diamlah mendengar sembah sekalian itu. Hatta maka beberapa lamanya maka raja pun memanggil anaknya dua orang bernama Makdam dan Makdim, Itupun segera datanglah menghadap pada ayahanda baginda. Maka titah baginda kepada anaknya “Hai anakku, itu Jaya apakah artinya dan Lengkara apakah artinya itu? dan cahaya hal saudaramu itu supaya kita ketahui baik dan jahatnya”. Maka Makdam dan Makdim pun bermohon kepada ayahanda, maka iapun berbualan12 mendapatkan kadi. Maka dilihat kadi Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya, diarakan oleh seperti adat anak raja-raja. Maka kadi pun berkata “Ya tuanku, pengalah tuk13 kepada rumah patik yang hina ini, selamanya belum pernah /7/ anakku datang kemari ini”. karena maka kata titah Makdam dan Makdim “Adapun hamba ini datang karena dititah oleh duli Stah Alam pergi kepada tuan kadi bertanya akan hal adinda yang baharu jadi itu, karena anakda baginda itu tatkala dia jadi maka suatu alamat kepada ububan-ububannya14 adinda itu seperti cahaya
kandil
yang
terpasang
kepada
malam
bercahaya-cahaya,
demikianlah alamatnya kepada adinda itu.” maka ujar tuan kadi “Ya tuanku siapalah namanya adinda itu?” maka ujar Makdam dan Makdim “Ya kadi, adapun nama adinda itu Jaya Lengkara” maka tuan kadi pun membuka kitabnya dan tafsirnya. Surat sudah dilihatnya kepada kitabnya dan tafsirnya maka tuan kadi pun terus-terus serta mengucap syukur Alhamduli ‘l-lahi Rabbil ‘Alamin. Maka Makdam dan Makdim pun berkata “Ya Tuan /8/ kadi, mengapakah tuan hamba berkata syukur Alhamduli ‘l-lahi Rabbil ‘alamin itu?” maka sembah kadi “Ya tuanku, 12
Ber-bu-al-an, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 13 Pe-nga-lah-tuk, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 14 U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
28
adapun alamat menjadi raja besar terlalu sangat saktinya, insya Allah ta’ala negeri ini pun akan murah makan makanan dan segala raja-raja yang gagah berani semuanya takluk pada adinda itu dan sekalian orang takut akan adinda itu” maka kata Makdam dan Makdim “Hai tuan kadi apakah alamatnya yang kepada ububan-ububannya15 Jaya Lengkara?” maka ujar kadi “Adapun alamatnya itulah alamat bulan dan matahari, karena bulan itu akan membuka segala keji dan matahari itu kan menerangkan segala alam, itulah alamat adinda itu. Artinya Lengkara Jaya itu terlalu sekali baiknya” maka kata Makdam dan Makdim “Hai tuan kadi, apakah artinya maka kata kadi ya tuanku adapun artinya Jaya Lengkara itu suda16 barang dikehendaknya jadi. Dan/9/ Jaya artinya dan lengkara itu yang tiada dapat oleh orang lain, maka dapat olehnya sebabnya bernama Jaya Lengkara. Artinya Jaya Lengkara, adapun jika ia hendak berjalan di darat pun boleh dan jika ia hendak berjalan di laut pun boleh juga degan karenanya Allah subhanahu wata’ala kepada adinda itu. Maka adinda itu tiada dapat dilawan orang dan segala jin pun tiada dapat melawan dia”. Maka Makdam dan Makdim pun segan hatinya mendengarkan kadi demikian itu sarat ia pulang bermohon kepada kadi. Maka Makdim pun berkata di tengah jalan itu “Hai kakanda apakah kata kita pada raja sekarang ini?” maka kata Makdam “Hai adinda, kata itu janganlah disusahkan kata kadi manda17 tadi adalah kepada aku” maka itupun berjalanlah mendapatkan ayahanda baginda sarat ia pun sampai kepada raja dengan tangisnya maka titah raja “Hai anakku, mengapakah engkau mena/10/ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya tuanku, adapun patik dititah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi kepada anakda kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat 15
U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 16 Suda Suda Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. 17 Man-da, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
29
anakda yang baharu jadi itu maka kata kadi kepada anakda kedua tadi “Adapun alamat adinda yang kepada ububan-ububannya18 Jaya Lengkara anakda itu besar celakanya padi, beras, segala buah-buahan akan mahal karena sebab besar celakanya. Dan segala rakyat di dalam negeri pun banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku” maka patik menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah sebab-sebab patik menangisi adinda. Maka baginda medengar samabda anakda kedua itu, maka bagindapun terlalu masygul sarat dengan percayaannya. Hatta beberapa lamanya maka bagindapun berjalan ke rumah Jaya Lengkara. Maka baginda pun berkata kepada/11/ istrinya tuan Sakanda Cahaya Rum “Hai adinda bua19 hatiku cermin mataku, adapun anak kita Jaya Lengkara itu kakanda pinta kepada adinda dahulu” maka sembah bunda Jaya Lengkara “Iya kakanda, mengapa tuanku bekata demikian itu?” maka kata raja “Hai adinda, adapun maka kakanda berkata demikian karena anak kita itu hendak kakanda bunuh karena terlalu amat celakanya besar sangat, itulah maka kakanda hendak membunuh dia!” maka sembah bunda Jaya Lengkara “Ya tuanku, adapun jikalau anak hamba ini dibunuh maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali!” maka kata raja “Hai adinda, mengapakah adinda berkata demikian itu?” maka kata bunda Jaya Lengkara “Ya tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak hamba dibunuh itu, karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba turut akan” maka raja pun diamlah mendengar kata istrinya. Baginda itupun mengalah serasa hatinya. Maka samabda Makdam dan/12/ Makdim “Ya tuan, jikalau demikian baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera tuanku membuangkan dia karena mereka orang yang celaka itu! apakah
18
U-bu-ban-nya, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 19 Bua bua Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.
30
gunanya kalau negeri duli tuanku bilanya? karena negeri ini belum lagi jauh inilah sembah patik dua bersaudara. Jangan anak lagi kecil, jika patik sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga. Gunanya puluh anak lagi kecil demikian tuanku sayangkan demikian sembah hamba. Tuanku, mana harga anak tuanku seorang sama dengan harga rakyat duli tuanku seisi negeri! karena segala raja-raja itu, jikalau kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat apalah akan gunanya?” maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti kata anakku itu. Maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya. Hatta maka mangkubumi pun berjalanlah ke dalam hutan rimba dan padang/13/belantara
membawa Jaya
Lengkara dua20 dengan
bundanya itu. Maka kira-kira tujuh hari tujuh malam perjalanan itu disanalah Jaya Lengkara ditinggalkan dengan bundanya oleh mangkubumi maka mangkubumi pun langlah21. Maka Jaya Lengkara pun diamlah di dalam hutan itu berdua dengan bundanya, maka beberapa lamanya di dalam hutan itu maka pikir dalam hatinya bunda Jaya Lengkara isyarat dengan tangisnya bercitakan dirinya. Maka ia pun pikir dalam hatinya “Adapun aku juga duduk pada tempat ini kalau-kalau ada juga kehendak raja kepada anaku ini niscaya didapatnya juga aku dan anaku ini, baiklah aku lari daripaada tempat ini membuangkan diriku.” Serta ia berjalan maka kira-kira sembilan hari sembilan malam perjalanan itu, maka ia pun bertemu dengan suatu goa terlalu besar, maka maka di dalam goa itu terlalu banyak dalamnya seperti harimau rupanya dan ular dan kala maka semuanya/14/ itupun sujud menyembah kepada bunda Jaya Lengkara. Maka bunda Jaya Lengkara pun diamlah di sana di dalam goa itu, maka beberapa lamanya segala peristiwa Jaya Lengkara pun hendak
20
dua dua merupakan perfiks pembentuk verba. Jadi, perlu ditambahkan perfiks pada kata dua, karena menyatakan jumlah. 21 langlah langlah Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu.
31
menyusu pada bundanya tiada berair, maka bundanya pun teteslah air matanya. Maka kata bundanya “Hai anakku, apalah dayaku akan engkau, karena aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tiada makan dan tiada minum air, dimanakah ada air susuku!” maka Jaya Lengkara pun sangatlah menangis mengguling-gulingkan dirinya di atas batu, maka dengan takdir Allah subhanahu wata’ala maka keluarlah air daripada sebelah batu itu. Maka bundanya pun heranlah melihat airnya serta diminumnya oleh bundanya dengan takdir Allah subhanahu wata’ala, maka Jaya Lengkara pun diberi oleh bunda menyusu. Maka Jaya Lengkara pun suda pulih rasanya tubuhnya. Hatta beberapa lamanya, maka Jaya Lengkara/15/ pun besarlah, tahu bermain-mainan panah di dalam hutan itu sehari-sehari memanah kambing menjangan, setiap hari bermain-main di dalm hutan tiada lain pekerjaannya Jaya Lengkara itu. Hatta beberapa lamanya, maka tersebutlah perkataan raja Ajam Saukat sepeninggal Jaya Lengkara itu, maka ia pun sakit terlalu sangat. Tabib di dalam negeri ini dipanggil mengobati raja itu tiada juga sembuh, makin sangat payahnya raja itu. Maka Makdam dan Makdim pun sangat masygul akan dirinya, maka ia pun memangil ahli nujum pun dengan nujumnya serta menggerak-gerakan kepalanya serta berdatang sembuh. “Ya tuanku, adapun penyakit ayahanda itu terlalu keras, jika tiada lekas baik penyakit baginda itu, maka menjadi melarat mata” maka kata Makdam dan Makdim “apalah/16/ akan obatnya baginda itu?” maka samabda ahli nujum “Ya tuanku, kembang kumakuma putih di puncak gunung Mesir itulah akan obatnya baginda itu, maka baik penyakitnya baginda itu!” maka Makdam dan Makdim kembali daripada ahli nujum itu serta menyuruh kan orang mencari kembang kuma-kuma putih itu. Maka seorangpun tiada beroleh sampai kepada gunung Mesir itu beberapa lamanya 15 laskasa.22 22
Lak-sa-sa, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan
32
Maka tersebut perkataan, seorang raja negeri Madinah pun terlalu sakit penyakitnya. Adapun beberapa lamanya sakit baginda itu beberapa dukun dan tabib dipanggilkan mengobati baginda itu tiada juga baik, makin sangat sakitnya. Maka anaknya yang bernama tuan Putri Ratna Kasina pun sangat masygulnya, orang di dalam Madinah pun sangat juga/17/masygulnya, karena sekalian rakyat di dalam negeri tiada mengobatinya baginda itu. Maka anakda tuan putri pun tidur, lalu bermimpi melihat ada seorang perempuan datang kepada tuan putri Ratna Kasina, maka kata tuan Putri Ratna Kasina maka kata orang perempuan tua itu kepada tuan putri Ratna Kasina maka katanya “Ya tuanku putri Ratna Kasina, adapun kan obatannya ayahanda ini kembang kuma-kuma putih di puncak gunung Mesir tempatnya, itulah kan obatnya ayahanda itu maka yang kan daripada ayahanda itu” maka tuan putri Ratna Kasina pun terlihat daripada tidurnya itu, maka ia lalu memanggil mangkubumi, maka mangkubumi pun datang mengadap tuan putri maka kata tuan putri “Hai ninik23 ku mangkubumi, suruhkan titahku segala rakyat kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka sembah/18/ Mangkubumi “Ya tuanku, dimanakah tempatnya kuma-kuma putih itu?” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai ninik, 24 aku pun tidak tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih itu, karena aku beralpalah daripada mimpiku juga” Hatta
berapa
lamanya
mangkubumi
menyuruhkan rakyat
beberapa ribu orang berjalan dan berlayar mencari kembang kumakuma putih itu, seorang pun tiada mendapat kembang itu dan lagi pun orang yang disuruh itu semuanya tiada tahu akan kembang-kembang itu. Jangankan melihat rupanya kembang itu, mendengarnya pun baharu inilah. Maka putri Ratna Kasina terlalu kasian kan ayahandanya,
aslinya. 23 Ni-ni-k, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya. 24 Ni-ni-k, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
33
baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum. Maka pikir tuan putri “Jika aku hidup, sekalipun dengan seorang diriku apakah gunanya jika ayahku sudah mati. Maka jadi piatulah aku” Hatta tuan putri Ratna Kasina /19/ pun berjalan dengan segala rakyat, dan mangkubumi pun mengerahkan rakyat dua ribu orang rakyat berjalan mengiringkan tuan putri Ratna Kasina itu. Maka beberapa lamanya naik gunung turun gunung berjalan itu, beberapa lamanya melalui hutan dan rimba padang, beberapa banyak mati di dalam hutan itu karna perjalanan itu terlalu jauh. Maka sembah mangkubumi “Ya tuanku, apalah hal rakyat duli tuanku sekalian ini? beberapa rakyat yang mati kelaparan dan kepanasan dan letih daripada berjalan terlalu jauhnya!” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai tuanku mangkubumi, jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tidalah aku mau kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu tiada ku balik” maka mangkubumi pun tiadalah mau pulang. Maka tuan putri pun berjalan dengan mangkubumi dan dan segala rakyat beberapa lamanya berjalan terlalu lagi panas /20/ dan dahaga air maka tuan putri Ratna Kasina pun menangis-nangis karena ia ditinggal seorang dirinya, maka berjalan isyarat dengan tangisnya sebab ia membuat dirinya berapa lamanya sekira-kira tujuh hari tujuh malam. Maka tuan putri Ratna Kasina pun bertemulah dengan sebuah goa, maka ia pun masuk ke dalam goa itu. Adalah dilihatnya ramai <se>ekor25 naga terlalu besarnya seperti bukit, maka tuan putri pun sangat gemetar tubuhnya karena takut melihat naga itu. Maka kata naga “Ya tuan putri, janganlah tuan takut karena hamba ini kebu26 duli tuanku” maka kata tuan putri “Hai naga, jika demikian minta tolong kepadamu!” maka kata naga “Iya tuanku, mengapalah duli tuanku bertitah demikian itu kepada patik ini 25
Ekor <se>ekor Penambahan huruf agar kata menjadi utuh, bermakna dan tidak rancu. Penggunaan ‘se’ pada kata ‘ekor’ dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kata yang dimaksud bukan ekornya tetapi binatangnya. 26 Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
34
karena patik ini hamba kebu27 duli tuanku” maka kata tuan putri “Jika demikian itu /21/ baiklah hai naga, adapun aku ini datang kepadamu karena aku hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat ayahku sakit!” maka sembah naga “Ya tuanku hendak kan kembang kuma-kuma putih itu, insya Allah ta’ala duli tuanku peroleh juga dengan barakat tuanku Jaya Lengkara” maka pikir tuan putri dalam hatinya juga maka katanya “Siapa gerangan yang bernama Jaya Lengkara itu?” maka kata naga “Ya tuanku, diam juga tuanku dahulu disini karena tuanku hendak mengambil kembang kuma-kuma itu” maka kata tuan putri “Apakah kerjaku diam disini?” maka sembah naga “Disini juga dahulu, karena ada seorang laki-laki yang bernama Jaya Lengkara inilah yang boleh mendapat kembang kuma-kuma putih itu, Ya tuanku nanti juga dahulu, manakala datang ia kemari disanalah tuanku turut bersama-sama berjalan mengambil kuma-kuma putih itu” maka tuan putri Kasina pun diamlah di dalam mulut naga itu menanti datang Jaya Lengkara itulah adanya. Alkisah, maka tersebutlah perkataan/22/ Makdam dan Makdim beberapa lamanya menyuruhkan rakyatnya, maka tiada juga sampai kepada gunung itu maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, marilah kita berjalan!” maka Makdam dengan Makdim pun berjalanlah ke dalam hutan. Maka berlamanya berjalan itu, maka ia pun bertemu dengan Jaya Lengkara di dalam hutan itu, maka didapatnya Jaya Lengkara lagi bermain panah-panahan kijang dan menjangan, maka tanya “Hai orang muda, orang manakah tuan hamba ini?” maka kata Jaya Lengkara “Hamba orang hutan, maka diam di dalam hutan inilah” maka ujar Makdam dan Makdim “Hai orang muda, jika tuan hamba diam di dalam hutan ini, mintalah air hamba ini telalu dahaga” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita pada tempat hamba diam” maka ia masuklah goa itu mengambil air di dalam kendi, maka [maka] Makdam 27
Ka-bu, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
35
dan Makdim pun heranlah melihat goa itu, maka Jaya Lengkara pun keluarlah serta memberikan kendi itu/23/ kepada Makdam dan Makdim, maka disambut oleh Makdam dan Makdim kendi itu lalu diminumnya oleh Makdam dan Makdim. Maka kata Jaya Lengkara “Hai bundaku mintalah anakda sayur” maka bundanya Jaya Lengkara membawa sayur di dalam bokor. Maka [maka] ia melihat Makdam dan Makdim, maka katanya “Dari manakah anakku datang ini dan hendak kemanakah anaku ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Hai ibuku, adapun hamba datang ini hendak mencari kembang kuma-kuma putih itu” maka kata bunda Jaya Lengkara “Hai anakku, apalah gunanya kembang kuma-kuma putih itu? maka sembah Makdam dan Makdim “Ya tuanku, akan obat sri paduka baginda sakit terlalu sangat, karena empat puluh hari tiada makan dan tiada minum air. Maka sebab inilah mulanya maka patik dua bersaudara datang kemari ini” maka kata Jaya Lengkara “Hai ibuku, jika demikian hamba ini [ini] anak raja manakah?” maka kata bundanya “Hai anakku, adapun anakku ini anak raja di negeri Ajam Saukat” maka kata Jaya Lengkara/24/ “Hai ibuku, apalah mulanya maka kita ke dalam hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya Makdam dan Makdim. Maka saudaranya dua itu pun heran melihat rupa Jaya Lengkara karena rupanya Jaya Lengkara itu terlalu sekali elok parasnya elok parasnya seperti bulan empat belas hari goa tiga cuci.28 Maka Makdam dan Makdim pun sujud pada kakinya Jaya Lengkara, maka kata “Hai ibuku, orang ini kenapalah? maka kata ibunya “Hai anakku, inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah bernama Makdim anak raja Ajam Saukat ri istrinya yang muda. Karena ia hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat ayahandamu sakit, maka kata Jaya 28
Go-a-ti-ga-cu-ci, kata yang sulit ditemukan artinya di dalam kamus. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan membaca, peneliti menulis kata tersebut sesuai dengan aslinya.
36
Lengkara “Jikalau demikian hai kakanda Makdam dan Makdim, dimanakah tempat kembang itu?” maka kata Makdam dan Makdim “Hai saudaraku karena kakanda pun tiada juga tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih/25/ itu” maka kata Makdim “Adapun dalam kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka Makdam dan Makdim pun terlalu suka hatinya mendengar kata Jaya Lengkara demikian itu. Makdam dan Makdim “Hai adinda, marilah kita berjalan mencari lekas-lekas sekarang ini juga!” maka kata Jaya Lengkara “Hai kakanda tunggu dahulu, karena ibu hamba lagi hendak menjamu kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam” maka Makdam dan Makdim pun menanti jua beberapa lamanya makan dan minum yang amatlah nikmatnya jua rasanya maka Makdam dan Makdim pun terlalu suka hatinya dijamu oleh saudaranya itu. Maka setelah sudah makan dan minum itu, maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, baiklah kita lekas berjalan mencari kembang kuma-kuma putih itu!” maka kata Jaya Lengkara “Alhamduli ‘l-lahi rabbil ‘alamin” maka pikir Makdam/26/ dan Makdim dimana gerangan dia beroleh makanan di dalam hutan ini seperti makan makanan raja di dalam negeri rupanya. Maka Jaya Lengkara pun berjalan tiga bersaudara, maka bundanya diringgalkanlah seorang dirinya di dalam hutan itu. Beberapa lamanya berjalan itu, berapa melalui gunung turun gunung, melalui rimba padang, maka Makdam dan Makdim pun terlalu letih serta ia berkata “Hai adinda, adapun hamba ini sangat dahaga hendak minum air” maka Jaya Lengkara pun mencari akan kakanda air ke sana ke sini maka tiada juga mendapat air barang sedikit pun tiada juga beroleh. Maka Makdam dan Makdim pun tiada sadar dibawah pohon kayu beringin terlalu besarnya, maka dilihat oleh Jaya Lengkara Makdam dan Makdim itu tidur seperti orang mati rupanya. Maka Jaya Lengkara pun naik ke atas pokok beringin itu, maka ditotoknya pucuk
37
beringin itu maka dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala maka keluarlah air seperti air pancoran dari/27/ pucuk beringin itu. Maka Jaya Lengkara pun membangunkan saudaranya, maka katanya “Hai kakanda bangunlah minum air” Makdam dan Makdim pun terkejutlah daripada tidurnya, serta dilihat oleh Makdam dan Makdim itu pun heranlah melihat hikmat Jaya Lengkara itu, maka Makdam dan Makdim pun minumlah air itu, maka baharulah sadar tubuhnya. Maka tiada berapa lama Jaya Lengkara pun berjalanlah dengan Makdam dan Makdim maka sekira-kira tiga hari tiga malam perjalanannya itu. Maka bertemu dengan raksa dan harimau, maka Makdam dan Makdim sangat gemetar tubuhnya serta berlindung disamping Jaya Lengkara maka katanya “Hai adinda, hidup-hiduplah nyawa kakanda dua ini” serta dengan tangisnya, maka Jaya Lengkara “Hai kakanda janganlah takut, karena sudah adad kita anak laki-laki” maka Makdam dan Makdim pun menangislah makin sangat menangis, maka ujar Jaya Lengkara “Hai raksa dan harimau, baiklah engkau pergi dari sini karena kakanda ini sangat melihat engkau” maka kata raksa dan harimau “Ya tuanku Jaya/28/ Lengkara, hamba ini sahaja hendak mengiringkan duli tuanku berjalan pada tempat kuma-kuma putih itu” maka kata Jaya Lengkara “Hai harimau dan raksa, apakah salahnya jika aku sendiri ini, karenaku dengan kakanda kedua sangat takutnya kepadamu” maka raksa pun lari serta harimau. Maka Makdam dan Makdim pun diamlah, maka ia pun baharu berjalan bersama-sama tiga orang dengan Jaya Lengkara. Beberapa lamanya berjalan itu maka ia pun bertemu dengan suatu goa tempat naga goa itu, maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita masuk ke dalam goa itu!” maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena sangat takut cahaya ini, karena siapa tahu barangkali ada harimau dan raksa atau ular dan kala kah!” maka Jaya Lengkara pun masuk juga seorang ke dalam goa itu dengan seorang dirinya, maka iapun melihat
38
ada seekor naga terlalu besar maka mulutnya terngiang-ngiang, maka dilihat oleh Jaya Lengkara ada perempuan terlalu elok parasnya. Alkisah maka tersebut perkataan tuan putri Ratna Kasina pun terlalu suka hatinya melihat Jaya Lengkara dating. Maka kata naga “Ya tuanku Jaya Lengkara, marilah duduk dengan putri ini!” maka kata tuan putri/29/ “Hai naga, siapakah laki-laki itu?” maka kata naga “Ya tuan putri Ratna Kasina, inilah laki-laki yang dapat mengambil kembang kuma-kuma putih itu!” maka kata tuan putri Ratna Kasina “Jika demikian, itu rupanya laki-laki yang bernama Jaya Lengkara?” maka sahut naga “Iya tuan putri, inilah Jaya Lengkara anak raja Ajam Saukat”. Maka tuan putri pun sukalah hatinya karena dalam pikirnya tuan putri “Adapun kata naga dahulu kepada aku, apabila datang Jaya Lengkara aku mengikut kepadanya maka sekarang Jaya Lengkara sudah datang insya Allah subhanahu wata’ala lekaslah rupanya aku mengambil kembang kuma-kuma itu” maka Jaya Lengkara pun pula berkata-kata kepada naga “Hai naga, siapakah nama perempuan ini dan manakah negerinya perempuan ini?” maka sembah naga “Ya tuanku, inilah yang bernama tuan putri Ratna Kasina anak Raja negeri Madinah hendak mengambil kembang kuma-kuma putih itu juga” maka pikir Jaya Lengkara dalam hatinya “Tuan putri perempuan lagi hendak mengambil kembang kuma-kuma juga” konon aku anak laki2 ujar Jaya Lengkara “Hai naga, dimanakah tempat kembang itu?” maka ujar naga “Ya tuanku, adapun kembang kuma-kuma putih itu pada puncak gunung Mesir,/30/ disanalah tempatnya” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita berjalan kesana!” maka kata tuan putri “Ya kakanda, nantilah dahulu hamba hendak berbuat makanan-makanan” Hatta beberapa lamanya, maka Jaya Lengkara pun keluar dari dalam gua itu maka kata naga “Ya tuanku, adapun kucing kucing hitam putih kedua itu akan mengawali tuan putri. Jikalau ada orang hendak jahat kepada tuan putri ini, maka kucing kedua itu menjaga dia”. Maka Jaya Lengkara pun keluar dari dalam gua itu serta dengan tuan putri dan
39
kucing dua ekor. Naga Guna demikianlah nama naga penunggu gua itu, menyambut mereka dengan baik dan membawa mereka ke puncak gunung itu. Naga itu menerangkan bahwa kembang kumkuma itu baharulah timbul bila air pasang, karena gunung itu adalah pusat laut. Untuk sementara itu, naga itu ingin tidur dulu empat puluh hari lamanya naga itu tidur. Makdam dan Makdim tidak sabar lagi dan mendesak Jaya Lengkara menyuruh Putri Ratna Kasina mengambil bunga itu, bila disentuh saja, bunga itu sudah berakar di telapak tangan putri Ratna Kasina, tetapi tidak berhasil. Jaya lengkara sendiri hanya dapat mengambil daunnya saja, baharu saja diambil sehelai daun bunga itu, ia sudah ditolak oleh Makdam dan Makdim ke laut. Hanya dengan berpegang dan bergantung pada daun itu Jaya Lengkara dapat menyelamatkan nyawa. Bila naga itu bangun dari tidurnya, ia mengirim dua ekor kucingnya pergi mencari Jaya Lengkara. /31/Tersebutlah Putri Ratna Gemala anak raja Mesir juga bermimpi tentang bunga ini, dia bersumpah tiada akan makan dan minum kalau ia tiada mendapatkan bunga itu. Dalam pada itu Putri Ratna Dewi anak raja Peringgi juga bermimpi tentang bunga ajaib ini dan ingin memilikinya, ayahandanya raja Peringgi mengirim dua orang menteri pergi mencari bunga itu. Seorang menteri pergi menipu raja Mesir dan seorang lagi berangkat ke puncak gunung Mesir. Menteri yang dikirim ke puncak gunung Mesir itu bertemu dengan Makdam dan Makdim beserta Putri Ratna Kasina dan menangkap mereka, Makdam daan Makdim pun dipenjarakan. Naga Guna menyelamatkan Jaya Lengkara bersama-sama mereka pergi ke negeri Peringgi. Dengan bantuan raja jin, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara. Ratna Kasina dan Ratna Dewi menerangkan siapa Jaya Lengkara sebenarnya, jamuan makan lalu diadakan. Jaya Lengkara menganjurkan supaya Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam. Bunga kuma-kuma juga sudah diperolehnya, mangkubumi Mesir mencoba mengambil bunga itu dari Jaya Lengkara tapi gagal. Jaya Lengkara mengampuni
40
dia, bila mendengar sebab-sabab ia ingin mendapatkan bunga itu. Jaya Lengkara pergi ke negeri Mesir dan memohon supaya Putri Ratna Gemala dikawinkan dengan Makdim, permohonannya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama-sama dengan Ratna Kasina Jaya Lengkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan penyakit raja yang tiada lain adalah ayahandanya. Selang berapa lamanya Jaya Lengkara kembali ke hutan mencari bundanya, Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian karena tiada tahan diganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah kembali ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan Putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim mencoba membunuh Jaya Lengkara, naga Guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan Putri Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat bergembira, Jaya Lengkara dikawinkan dengan Putri Ratna Kasina, raja Madina sendiri juga kawin dengan bunda Jaya Lengkara. Hatta beberapa lamanya Jaya Lengkara menjadi raja Madinah. Adapun tatkala Jaya Lengkara menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar kerajaannya, segala raja besar mengantar upeti ke Madinah setiap tahun.
BAB IV HIKAYAT JAYA LENGKARA DAN NILAI-NILAI MORAL A. Sinopsis Hikayat Jaya Lengkara Alkisah ada seorang raja bernama Saiful Muluk dan nama kerajaannya Ajam Saukat. Sang raja mempunyai seorang istri bernama Putri Sakanda Cahaya Rum. Karena sudah lama menikah tetapi belum mempunyai seorang anak, akhirnya sang raja menikah kembali dengan Putri Sakanda Bayang-bayang serta dikaruniai anak kembar bernama Makdam dan Makdim. Putri Sakanda Cahaya Rum pun gelisah karena ia sudah tidak dipedulikan lagi oleh raja. Kemudian ia berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak dan Allah pun mengabulkan doanya. Akhirnya Ia pun melahirkan seorang anak bernama Jaya Lengkara. Ketika Jaya Lengkara lahir, negeri menjadi makmur dan sentosa. Sampai-sampai raja pun heran dan menyuruh anaknya Makdam dan Makdim untuk meramalkan nasib Jaya Lengkara kepada seorang kadi. Kadi itu pun meramalkan bahwa kelak Jaya Lengkara akan menjadi raja segala raja, sakti mandraguna, serta tidak ada seorangpun yang akan dapat mengalahkannya baik dari golongan jin dan manusia. Makdam dan Makdim pun kecewa mendengar hasil ramalan Jaya Lengkara, mereka pun berdusta kepada ayahandanya dengan memutarbalikan fakta dan mengatakan bahwa kelak Jaya Lengkara akan mendatangkan malapetaka yang akan menyebabkan negeri akan binasa. Raja pun mengasingkan Jaya Lengkara beserta ibunya ke dalam hutan belantara. Di dalam hutan belantara, Jaya Lengkara bersama ibunya tinggal di dalam gua. Suatu ketika Jaya Lengkara kehausan dan ingin menyusu kepada ibunya, tetapi apalah daya karena ibunya sudah berhari-hari tidak makan dan minum maka ia pun tidak bisa menyusui Jaya Lengkara. Jaya Lengkara pun menangis lalu berguling-guling di atas tanah. Dengan izin
41
42
Allah, keluarlah air memancar dari tanah dan ibunya pun langsung meminum air tersebut sehingga ia dapat menyusui Jaya Lengkara. Jaya Lengkara tumbuh berkembang menjadi dewasa dengan banyak keahlian yang dimiliknya. Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raja Saiful Muluk menderita sakit parah dan obat yang akan menyembuhkannya adalah kembang kumakuma yang ada di puncak gunung Mesir. Makdam dan Makdim pun mencari kembang itu. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Jaya Lengkara dan ibunya di hutan. Jaya lengkara memutuskan untuk mencari kembang kuma-kuma itu bersama saudara tirinya Makdam dan Makdim. Aral dan rintangan menghampiri mereka dalam perjalanan mencari kembang kuma-kuma. Sampai suatu ketika mereka bertemu Putri Ratna Kasina di sebuah goa yang terdapat naga di dalamnya. Ternyata putri itu pun mempunyai motif yang sama yaitu ingin mencari kembang kumakuma untuk obat ayahnya yang sedang sakit. Bukan hanya itu, ternyata banyak juga orang yang ingin memiliki kembang ajaib itu diantaranya Putri Ratna Gemala anak Raja Mesir dan Putri Ratna Dewi anak Raja Peringgi. Alkisah, akhirnya Jaya Lengkara pun mendapatkan kembang kuma-kuma itu di puncak gunung Mesir. Makdam dan Makdim mencoba untuk membunuh Jaya Lengkara dengan membuangnya ke laut namun rencananya gagal, Jaya Lengkara berhasil diselamatkan oleh seekor naga. Jaya Lengkara pun pergi ke kerajaan Ajam Saukat untuk mengobati ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah bersama Putri Ratna Kasina untuk mengobati Raja Madinah. Jaya Lengkara pun dinikahkan dengan Putri Ratna Kasina oleh Raja Madinah yang tiada lain adalah bapaknya. Jaya Lengkara pun menjadi raja segala raja yang hidup bahagia, rakyatnya hidup makmur, sentosa, aman, dan sejahtera.
43
B. Unsur Instrinsik Hikayat Jaya Lengkara 1. Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia atau sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.1 Stanton dan Kenny mengungkapkan, tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Eksistensi tema sangat bergantung pada unsur-unsur lain seperti tokoh, plot, latar, alur, dan sebagainya yang bertugas mendukung dan menampaikan tema. Sehingga tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung melainkan secara implisit.2 Tema yang diangkat dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah keserakahan manusia terhadap harta, tahta dan wanita. Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya, mengapa demikian karena setiap manusia yang lahir ke dunia dianugrahi nafsu dan akal yang harus selalu berdampingan dan jangan sampai berseberangan antara satu sama lainnya. Apabila nafsu lebih dominan daripada akal maka akan menjadikan manusia menjadi serakah. Serakah merupakan sifat tercela yang ada pada diri manusia yang dapat menyebabkan sifat-sifat buruk lainnya seperti bohong, fitnah, hasud, dan sebagainya. Orang yang serakah akan melegalkan segala cara dan mengorbankan apapun demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Tidak peduli apakah yang dikorbankannya itu kehormatan, nama baik, atau nyawa orang lain. 2. Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.3 Alur atau plot juga dapat diartikan sebagai struktur peristiwa-peristiwa dalam karya fiksi. Pengurutan dan penyajian 1 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terjemahan dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 36. 2 Nurgiantoro, op.cit., h. 67. 3 Stanton,op. cit., h. 26.
44
berbagai peristiwa tersebut adalah untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Plot is the sequence of events and actions in a literary work. The structure of plot is the pattern formed by the events and actions in a literary work. Traditional element of structure are introduction,complications, climax, and conclusion.4 Plot merupakan sebuah rangkaian peristiwa dan kegiatan dalam sebuah karya sastra. Struktur dari plot membentuk pola-pola peristiwa dan kegiatan dalam sebuah karya sastra. unsur dasar plot adalah pengenalan, konflik, puncak konflik, dan kesimpulan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat digambarkan bahwa plot merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam sebuah karya sastra. Rangkaian-rangkaian peristiwa tersebut saling berhubungan sehingga membentuk sebuah pola yang terdiri dari pengenalan, konflik, puncak konflik, dan penyelesaian konflik. Menurut konvensi yang berlaku dalam pengaluran cerita pada sastra
lama,
cerita diawali dengan penyampaian pujian atau
penghormatan kepada orang yang lebih dahulu ada di dalam hubungan dengan cerita yang disalin atau dibawakan itu. Setelah itu tidak lupa pengarang memohon kekuatan dan petunjuk dari Yang Mahakuasa, Nabi, dan para Sahabat agar selamat sempurna pekerjaan mengarang yang dilakukannya itu.5 Dalam Hikayat Jaya Lengkara dimulai dengan “Wa bihi nasta’inu billahi ‘ala ini hikayat”. Alur yang digunakan dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah alur maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hikayat ini berturut-turut menceritakan peristiwa yang dialami Jaya Lengkara. Cerita dimulai dari kelahiran Jaya Lengkara di lingkungan kerajaan yang penuh suka cita, dikatakan demikian karena kelahiraannya sudah ditunggu-tunggu sejak lama oleh bundanya. Namun ketika sudah lahir di dunia, ia dan
4 5
Judith A. Stanford, Responding to Literature, (New York: Mc Graw Hill, 2006), p. 31. Panuti Sudjiman, Filologi Melayu, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 38.
45
bundanya harus rela terusir dari lingkungan kerajaan dan diasingkan ke dalam hutan karena dianggap berbahaya dan membawa malapetaka. Jaya Lengkara tumbuh berkembang menjadi anak yang luar biasa hebatnya yang mempunyai banyak keahlian. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan saudaranya Makdam dan Makdim yang telah menyebabkan ia dan ibunya diasingkan di dalam hutan. Mereka pun pergi mencari kembang kumakuma untuk Ayahnya yang sedang sakit parah dan di perjalanan mereka bertemu dengan Putri Ratna Kasina yang juga sedang mencari kembang kumakuma itu untuk ayahnya. Konflik terjadi ketika Jaya Lengkara yang telah susah payah mendapatkan kembang kumakuma itu mau dibunuh oleh Makdam dan Makdim dengan melemparkannya ke laut, tetapi ia masih bisa selamat. Ternyata tidak hanya Jaya Lengkara dan Putri Ratna Kasina saja yang ingin mendapatkan bunga itu, tetapi Putri Ratna Dewi dan Putri Ratna Gemala pun menginginkannya. Akhirnya kembang kumakuma itu menjadi bahan rebutan. Dengan keahliannya dan dengan bantuan naga, akhirnya Jaya Lengkara dapat mendapatkan kembali kembang kumakuma tersebut. Ia pun berhasil menyembuhkan ayahnya. Ia pun berhasil membebaskan Makdam, Makdim, dan Putri Ratna Kasina. Keserakahan Makdam dan Makdim belum berhenti, mereka pun ingin membunuh Jaya Lengkara untuk yang kesekian kalinya, namun tetap gagal. Pada akhir cerita, Jaya Lengkara menikah dengan Putri Ratna Kasina yang cantik jelita anak Raja negeri Madinah dan ia pun menjadi Raja segala raja. Cerita biasanya berakhir dengan happy end, sesuai dengan sifatnya yang didaktis, akhir yang menggembirakan itu membuktikan bahwa protagonis dengan sifat-sifatnya yang harus diteladani itulah yang menang.6 Akhir cerita Hikayat Jaya Lengkara ini berakhir dengan kemenangan Jaya Lengkara yang dalam kisah ini menjadi simbol 6
Ibid., h. 40.
46
kebaikan dalam melawan keserakahan dan kezaliman terhadap dirinya semenjak dari kecil sampai dewasa yang menimpa dirinya dan ibunya. Sejatinya, kejahatan dan kezaliman sampai kapan pun tidak akan pernah menang melawan kebaikan. Pemaparan alur dalam hikayat ini dapat digambarkan sebagai berikut. 3
1
2
4
5
Keterangan 1. Pengenalan Pengenalan tokoh Jaya Lengkara dan tokoh-tokoh lainnya 2. Konflik Konflik diawali dengan pengusiran Jaya Lengkara dan Ibunya dari kerajaan karena difitnah oleh Makdam dan Makdim 3. Klimaks Percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Makdam dan Makdim terhadap Jaya Lengkara dan perebutan kembang kumakuma oleh Makdam, Makdim, Putri Ratna Kasina, Putri Ratna Dewi, dan Putri Ratna Gemala. 4. Peleraian Jaya Lengkara mendapatkan kembali kembang kumakuma yang telah diperebutkan dan berhasil mengobati ayahnya yang sedang sakit parah. 5. Penyelesaian Jaya Lengkara menikah dengan Putri Ratna Kasina anak Raja negeri Madinah, kemudian menjadi Raja segala raja yang hidup bahagia, sejahtera, dan sentosa.
47
3. Tokoh dan Penokohan Abrams mengungkapkan, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sementara itu Jones mengungkapkan, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. 7 Mengingat karya sastra lama pada umumnya bersifat didaktis, tokoh-tokoh sentralnya ditampilkan sebagai tokoh datar sehingga jelas benar tokoh mana dan sifat-sifat yang bagaimana yang perlu diteladani “putih” dan yang mana tokoh durjana “hitam” dengan sifat-sifatnya yang tidak terpuji. Penokohan pun menggunakan metode diskursif/perian yang dengan jelas melukiskan baik penampilan fisik maupun pengalaman emosional sang tokoh.8 Tokoh-tokoh dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah: a. Jaya Lengkara Jaya Lengkara merupakan tokoh utama yang juga namanya menjadi judul dalam hikayat ini. Citra tokoh utama, asal-usul dan pengalamannya dikatkan dengan berbagai mitos, seperti saat kelahiran dan kematian yang dibarengi oleh peristiwa alam yang luar biasa seperti matahari dan bulan yang berdekatan, kilat yang menyilaukan, atau bunyi guntur yang menggelegar. Ia diberi ciri fisik yang sesuai dengan sifat keteladanannya, serta tabiat dan tindakan yang terpuji.9 Jaya Lengkara digambarkan sebagai pribadi yang luar biasa tampan elok rupawan. Hal itu terlihat dari kutipan berikut:
7
Nurgiantoro, op.cit., h. 165. Sudjiman, op.cit., h. 32. 9 Ibid., h. 33. 8
48
…seorang laki-laki yang elo rupanya gemang gemilang seperti bulan purnama empat belas hari goa tiga cuci cahaya muka dan lagi suatu alamat pada mukanya seperti kandil yang terang kepada malam, demikianlah alamat yang di kepalanya itu. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat.10 Selain itu Jaya Lengkara juga digambarkan sebagai orang yang sakti mandraguna, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:
adapun jika ia hendak berjalan di darat pun boleh dan jika ia hendak berjalan di laut pun boleh juga dengan karenanya Allah subhanahu wata’ala kepada adinda itu maka adinda itu tiada dapat dilawan orang dan segala jin pun tiada dapat melawan dia[nya].11
Jaya Lengkara pun naik ke atas pokok beringin itu, maka ditotoknya pucuk beringin itu maka dengan takdir Allah subhanahu wa taala maka keluarlah air seperti air pancoran dari/27/pucuk beringin itu 12 Jaya Lengkara juga merupakan sosok yang baik hati dan suka membantu sesama, seperti yang tersirat dalam kutipan berikut:
10
Hikayat Jaya Lengkara, h. 3. Ibid., h. 9. 12 Ibid., h. 26. 11
49
Jaya Lengkara pun mencari akan kakanda air ke sana kesini maka tiada juga mendapat air barang sedikit pun tiada juga beroleh13 Selain itu Jaya Lengkara juga merupakan seorang yang pemberani dan pemaaf, sebagaimana terlihat dari kutipan berikut:
maka Jaya Lengkara “Hai kakanda, janganlah takut karena sudah adad kita anak laki-laki”14 Sebagai tokoh utama, Jaya Lengkara mendapatkan citra yang istimewa, yang tiada tara, yang hanya ada pada dirinya. Keistimewaan yang tiada tara terungkap baik dalam fisiknya maupun dalam sikap dan perilakunya. Dalam hal fisiknya dinyatakan bahwa parasnya “terlalu elok”, mukanya “seperti cahaya bulan empat belas hari (bulan purnama). Keunggulan dan kehebatan Jaya Lengkara diungkapkan secara ekstensif adalah keberaniannya yang dibarengi dengan keperkasaan dan kegagahannya. b. Raja Saiful Muluk Raja Saiful Muluk merupakan ayah Jaya Lengkara. Pada dasarnya ia merupakan raja yang adil, akan tetapi tidak sabar dan mudah terprovokasi. Sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut:
seorang raja terlalu besar kerajaannya lengkap dengan hulubalang menterinya, sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin15 13
Ibid., h. 26. Ibid., h. 27. 15 Ibid., h. 1. 14
50
baginda itu raja meski akan tetapi baginda itu tiada beranak barang seorang maka itu sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak maka raja itu pun pikir dalam hatinya/2/ beristri seorang lagi bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang.16
Maka baginda mendengar sa[ma]bda anakda kedua itu maka bagindapun terlalu masygul sarat dengan percayaannya. 17
maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti kata anakku itu, maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya.18 Sebagai seorang raja, Raja Saiful Muluk belum dapat dikategorikan sebagai raja yang bijaksana karena ia tidak sabar dalam menghadapi permasalahan serta mudah sekali terprovokasi dengan fitnah dan hasutan orang lain. Sebagai pemimpin tertinggi seharusnya ia mampu menimbangkan kembali setiap informasi yang ia dapatkan sebelum mengambil keputusan.
16
Ibid., h. 1-2. Ibid., h. 10. 18 Ibid., h. 12. 17
51
c. Putri Sakanda Cahaya Rum Putri Sakanda Rum merupakan ibu Jaya Lengkara yang digambarkan sebagai sosok yang sabar dan penyayang. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Tuan Putri Sanda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri Sakanda Cahaya bermohon do’a kepada Allah subhanahu wata’ala demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri minta do’a dia kepada Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamil lah.19
maka sembah bunda Jaya Lengkara “Ya Tuanku, adapun jikalau anak hamba ini dibunuh maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali” maka kata bunda Jaya Lengkara “Ya Tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak hamba dibunuh itu karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba turut akan.”20 Selain itu, Putri Sakanda Cahaya Rum juga merupakan seorang yang tidak pendendam dan pandai menyimpan rahasia, serta sangat menghormati tamunya meskipun tamunya itu adalah orang 19 20
Ibid., h. 2. Ibid., h. 11.
52
yang menzaliminya dan anaknya. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
kata Jaya Lengkara/24/”Hai ibuku, apalah mulanya maka kita ke dalam hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya Makdam dan Makdim.21
kata Jaya Lengkara “Hai kakanda tar juga dahulu karena ibu hamba lagi hendak menjamu kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam”22 d. Putri Sakanda Cahaya Bayang Bayang Putri Sakanda Bayang Bayang merupakan istri kedua raja Saiful Muluk, ibundanya Makdam dan Makdim. Dalam Hikayat Jaya Lengkara tidak banyak yang diceritakan mengenai dirinya jadi tidak tergambar karakternya. e. Makdam dan Makdim Makdam dan Makdim merupakan saudara tiri Jaya Lengkara. Dalam Hikayat Jaya Lengkara, tokoh Makdam dan Makdim hampir selalu diceritakan beriringan, jadi dapat dikatakan karakter mereka pun hampir sama. Tokoh ini mempunyai sifat licik yang suka menghasud,
memfitnah,
dan berbohong.
tergambar dalam kutipan berikut ini:
21 22
Ibid., h. 24. Ibid., h. 25.
Sebagaimana
yang
53
maka itupun berjalanlah mendapatkan ayahanda baginda serta ia pun sampai kepada raja dengan tangisnya, maka titah raja “Hai anakku mengapakah engkau mena /10/ ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya Tuanku, adapun patik dia titah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi kepada patik kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat anakda yang baharu jadi itu maka kata kadi kepada patik kedua tadi “Adapun alamat adinda yang kepada ububun-ububunnya anakda itu besar celakanya. Padi, beras, segala buah-buahan akan mahal karena sebab besar celakanya dan segala rakyat di dalam negeri pun banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku syah alam.” maka patik menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah sebab-sebab patik menangis23
23
Ibid., h. 9-10.
54
Maka samabda Makdam dan/12/Makdim “Ya Tuan, jikalau demikian baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera tuanku membuangkan dia karena masihkah orang yang celaka itu apakah gunanya kalau negri duli tuanku bina<sa>lah tangan bilanya, karena negri ini belum lagi jauh inilah sembah patik dua bersaudara jangan anak lagi kecil, jika patik sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga gunanya puluh anak lagi kecil, demikian tuanku sayangkan demikian sembah hamba. Ya Tuanku mana harga anak tuanku seorang sama dengan harga rakyat duli tuanku seisi negri karena segala raja-raja itu jikalau kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat apalah akan gunanya?” maka pikirlah baginda itu sebesar-besarlah seperti kata anakku itu, maka baginda pun memanggil mangkubumi menyuruh membuangkan Jaya Lengkara berdua dengan bundanya. 24 f. Putri Ratna Kasina Putri Ratna Kasina merupakan anak raja negeri Madinah yang cantik jelita, bertanggung jawab, serta
sayang kepada
orangtuanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
maka dilihat oleh Jaya Lengkara ada perempuan terlalu elok parasnya. 25
kata tuan putri Ratna Kasina “Hai niniku mangkubumi, jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tiadalah aku mau kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu tiada ku balik.”26
24
Ibid., h. 12. Ibid., h. 27. 26 Ibid., h. 19. 25
55
Maka putri Ratna Kasina pun terlalu masgulnya kan ayahanda baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum, maka pikir tuan putri “Jika aku hidup sekalipun dengan seorang diriku, apakah gunanya jika ayahku sudah mati, maka jadi piatulah aku.27 g. Putri Ratna Dewi Putri Ratna Dewi merupakan anak raja Peringgi yang juga ingin mendapatkan kembang kumakuma. Saking ingin memilikinya ia sampai membujuk ayahnya untuk memerintahkan menterinya mengambil kembang kumakuma itu, ini menandakan bahwa Putri Ratna Kasina mempunyai sifat dan karakter yang ambisius. Selain itu ia juga mempunyai sifat baik hati dengan membela Jaya Lengkara dengan menerangkan kepada Raja Peringgi siapa Jaya Lengkara sebenarnya. h. Putri Ratna Gemala Putri Ratna Gemala merupakan anak raja Mesir yang juga ingin mendapatkan kembang kumakuma tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas akan digunakan untuk apa. Tidak banyak kisah yang diceritakan mengenai sosok ini, akan tetapi secara tersirat ia merupakan orang yang sangat ambisius dalam mendapatkan sesuatu. i. Raja Peringgi Raja Peringgi adalah ayah dari Putri Ratna Dewi. Hanya sekelumit kisah yang menceritakan tentangnya, tapi dari kutipan berikut digambarkan bahwa ia merupakan sosok orangtua yang penyayang dan menuruti keinginan anaknya untuk memiliki bunga kumakuma dengan mengirim menterinya. j. Raja Madinah Raja Madinah adalah ayah dari Putri Ratna Kasina, ia mempunyai perangai yang baik hati dan penyayang.
27
Ibid., h. 18.
56
k. Raja Mesir Raja Mesir adalah ayah dari Putri Ratna Gemala yang mempunyai sifat baik hati. l. Kadi Kadi merupakan orang yang ahli dalam masalah yang bersangkut-paut dengan hokum Islam. Kadi juga merupakan tempat bertanya dan meramal nasib seseorang. Sebagaimana tergambar dari kutipan berikut ini:
karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih. Adapun fikih itulah yang mengetahui segala yang tiada dapat oleh orang lain maka/6/ diketauinya itu yang boleh, makruh, yakin, segala nama seorang-seorang28 Selain itu kadi juga mempunyai sifat ramah, jujur, dan baik hati, sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut ini:
Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya diarakan oleh seperti adat anak raja-raja maka kadi pun berkata “Ya Tuanku pengalahtuk kepada rumah patik yang hina ini selamanya belum pernah /7/ kalau anakku datang kemari ini”29 4. Latar Pada dasarnya, latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. 30 Latar mencakup segala 28
Ibid., h. 5. Ibid., h. 6. 30 Stanton., op.cit., h. 35. 29
57
bentuk tempat, waktu, dan situasi sosial yang diceritakan dalam karya sastra. a. Latar Tempat Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan dapat berupa tempat-tempat dengan nama, inisial, atau lokasi tertentu. Latar tempat yang biasanya digunakan dalam hikayat-hikayat lama termasuk di dalamnya Hikayat Jaya Lengkara adalah lingkungan kerajaan seperti negeri, hutan belantara, gunung, dan sebagainya. Tidak sama dengan latar prosa yang hadir di zaman sekarang yang sudah menggunakan latar yang kompleks. Adapun latar tempat yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkarai sebagai berikut: 1) Negeri
[maka] negri itupun terlalu juga ramai negerinya akan orang [lah], segenap negeri sangat adil hukumnya [dan] daripada fakir dan miskin.31 2) Rumah Jaya lengkara
Hatta beberapa lamanya, maka bagindapun berjalan ke rumah Jaya Lengkara…. 32 3) Hutan
Hatta maka mangkubumi pun berjalanlah ke dalam hutan rimba dan padang/13/ belantara membawa Jaya Lengkara dua dengan bundanya itu33 31
Hikayat Jaya Lengkara., h. 1. Ibid., h. 10. 33 Ibid., h. 12. 32
58
4) Goa
….suatu goa terlalu besar maka di dalam goa itu terlalu banyak dalamnya seperti harimau, dan raksa, dan ular, dan kala34 5) Puncak Gunung Mesir
maka sembah ahli nujum “Ya tuanku, kembang kuma-kuma putih di puncak gunung Mesir itulah akan obatnya baginda35 b. Latar Waktu Latar waktu merujuk pada kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara dan hikayat lama lain pada umumnya tidak menggunakan latar waktu seperti bentuk prosa modern seperti: pagi, siang, sore, malam, Senin, tahun, dan sebagainya. Akan tetapi lebih kepada satuan-satuan waktu tertentu seperti: 1) Tujuh hari tujuh malam
maka kira-kira tujuh hari tujuh malam perjalanan itu disanalah Jaya Lengkara ditinggalkan dengan bundanya oleh mangkubumi36 2) Dua puluh hari dua puluh malam
ayahanda baginda dua puluh hari dan dua puluh malam tiada makan dan minum37
34
Ibid., h. 13. Ibid., h. 16. 36 Ibid., h. 13. 37 Ibid., h. 18. 35
59
3) Empat puluh hari empat puluh malam
“Hai anakku, apalah dayaku akan engkau karena aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tiada makan dan tiada minum air, dimanakah ada air susuku?”38 c. Latar Suasana Latar suasana atau latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat,
keyakinan,
pandangan
hidup,
cara
berpikir
masyarakatnya, dan juga status sosial tokohnya. Latar suasana atau latar sosial yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah suasana keluarga kerajaan. Hampir semua peristiwa yang ada di dalamnya terjadi di lingkungan kerajaan, jadi kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir masyarakatnya masih bersifat istanasentris. Hal itu ditandai dengan budaya ramal-meramal yang masih kental, rasa hormat terhadap keluarga kerajaan, perjodohan, jamuan makanan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
“Hai Tuan-tuan sekalian, adapun ‘hamba[h]’ ini hendak bertanyakan hal anaku yang bernama Jaya Lengkara itu, apakah artinya jaya? apa artinya lengkara itu? apakah artinya, ku minta lihat kepada nujum sekalian. 39
38 39
Ibid., h. 14. Ibid., h. 4.
60
Ya Tuanku Syah Alam, adapun duli tuanku hendakkan artinya paduka anak dinama itu baik dan jahatnya itu, duli Tuanku menyuruh bertanya kepada tuan kadi, karena kadi itulah yang tahu akan ilmu fikih.40
Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya diarakan [oleh] seperti adat anak raja-raja41
Hatta tuan putri Ratna Kasina /19/ pun berjalan dengan segala rakyat dan mangkubumi pun mengerahkan rakyat dua ribu orang rakyat berjalan mengiringkan tuan putri Ratna Kasina itu 42 5. Sudut Pandang Aminuddin mengungkapkan, titik pandang atau sudut pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.43 Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dalam Hikayat Jaya Lengkara, sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga atau narator luar serba tahu, karena pengarang mengetahui dan menceritakan segala hal yang terjadi pada tokoh, baik berupa tindakan, ucapan nyata maupun yang berupa pikiran atau perasaan tokoh. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Gaya bahasa dapat dibatasi dengan cara mengungkapkan pikiran melalui 40
Ibid., h. 5. Ibid., h. 6. 42 Ibid., h. 19. 43 Wahyudi Siswanto Pengantar Teori Sastra (Jakarta : PT Grasindo, 2008), h. 151 41
61
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). 44 Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis sehingga mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.45 Kaidah-kaidah stilistik yang digunakan merupakan suatu system konvensi yang diikuti oleh para pengarang di dalam mencipta karya, yang sangat menonjol adalah penggunaan pengulangan (repetition dan reccurency).46 Pengulangan kata yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara diantaranya: kuma2 (kumakuma), bayang2 (bayang-bayang), puji2 (puji-puji), dan sebagainya. Secara umum gaya bahasa yang digunakan dalam Hikayat Jaya Lengkara adalah gaya bahasa biasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang menggunakan bahasa Melayu seperti: patik, sembah, sabda, duli dan sebagainya. Namun ada juga penggunaan majas metafora yang terdapat pada kutipan berikut ini:
….suatu alamat kepada adinda itu seperti cahaya kandil yang terpasang kepada malam bercahaya-cahaya demikianlah alamatnya kepada adinda itu. seorang laki-laki yang elok rupanya gemang gemilang seperti bulan purnama empat belas hari. Tatkala baginda itu jadi, bulan dan mataharipun berdekat.
44
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 113. Siswanto., op.cit., h. 158. 46 Sudjiman., op.cit., h. 27. 45
62
7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 47 Amanat suatu cerita kadang-kadang atau adakalanya tidak hadir dalam cerita dalam arti amanat-amanat itu tidak dijelaskan secara eksplisit.48 Banyak sekali amanat yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara di antaranya: sabar dalam menghadapi sesuatu, sabar dalam menghadapi amarah, tolong menolong, menghormati tamu, bersyukur, dan lain sebagainya. Akan tetapi ada satu amanat yang ingin penulis bahas yaitu mengenai larangan untuk serakah. Serakah merupakan salah satu akhlak tercela yang dapat melahirkan sifat-sifat tercela lainnya seperti bohong, fitnah, hasud, iri, dengki, dan lain sebagainya. Orang yang serakah, hidupnya tidak akan pernah bahagia karena selalu merasa kurang dan tidak senang dengan kelebihan yang dimiliki orang lain seraya berharap apa yang dimilik oleh orang lain itu menjadi miliknya. Serakah tidak akan membawa kepada
kebahagiaan.
Serakah
hanya
akan
membawa
kepada
kesengsaraan.
C. Nilai-nilai Moral Hikayat Jaya Lengkara Wellek dan Werren mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah karya sastra yang menggambarkan peristiwa sosial dalam masyarakat, tentunya mengandung nilai-nilai di dalamnya, baik nilai moral, sosial, budaya maupun nilai religius.49
47 48
Siswanto., loc.cit., h. 162. Nikmah Sunardjo, dkk, Telaah Susastra Melayu Betawi, (Jakarta: Depdikbud, 1991), h.
35. 49
276.
Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusatraan, (Jakarta: Gramedia, 1989), h.
63
Suseno mengungkapkan bahwa kata moral selalu mengacu pada tingkah laku baik buruk manusia sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salah sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruk sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.50 Sedangkan Nainggolan mengemukakan bahwa moral ditinjau dari sudut bahasa merupakan kata benda yang berarti berhubungan dengan prinsip baik dan buruk dari satu cerita dan kisah atau pengalaman. 51 Dengan kata lain, nilai moral merupakan sesuatu yang berharga yang berisi aturan-aturan, baik lisan maupun tulisan yang mengatur tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan manusia yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, moral merupakan suatu aturan atau ajaran yang di dalamnya mengatur sebuah nilai, baik itu nilai baik maupun nilai buruk yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dalam bertingkah laku. Berdasarkan pendapat di atas, penulis menyimpulkan nilai moral yaitu tingkah laku manusia baik dan buruknya sebagai manusia. Tingkah laku baik dan buruk tersebut dapat digolongkan menjadi nilai moral positif dan nilai moral negatif. Tingkah laku yang baik dapat dimasukkan ke dalam nilai moral positif, sedangkan tingkah laku yang buruk dapat dimasukkan ke dalam nilai moral negatif. Jadi, interpretasi nilai moral dibagi menjadi dua golongan, yaitu nilai moral positif dan nilai moral negatif. Interpretasi nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Jaya Lengkara dari segi nilai moral positif meliputi: adil, kasih sayang, menolong, bertanggung jawab, hormat, bersyukur, pemberani dan sabar. Nilai moral yang ditemukan dari segi nilai moral negatif meliputi: menfitnah, iri dengki, hasut, mencuri, berbohong, khianat, menipu, penakut, dan serakah. 50 51
Suseno, op.cit., h. 18. Nainggolan, op.cit., h. 21.
64
1. Nilai Moral Positif Di dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat nilai moral yang positif yaitu nilai moral yang baik. Nilai moral positif yaitu perbuatan yang dapat membantu atau meringankan beban orang lain. Nilai moral positif dapat dijadikan suatu perbuatan yang perlu dicontoh atau diikuti oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. a.
Kasih Sayang “Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia” Demikianlah lirik lagu yang menggambarkan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Kasih sayang merupakan suatu sikap saling mengasihi antara sesama makhluk tuhan. Salah satu kasih sayang yang terdahsyat di dunia ini adalah kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya itu terlihat mulai dari prosesi mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, dan membesarkan anaknya dengan tulus, ikhlas, dan limpahan kasih sayang. Bahkan seorang ibu pun rela mati untuk anaknya sebagaimana yang terdapat dalam kutipan Hikayat Jaya Lengkara berikut ini:
maka sembah bunda Jaya Lengkara “Ya Tuanku, adapun jikalau anak hamba ini dibunuh maka baiklah bunuh dengan hamba sekali-kali” maka kata raja “Hai adinda, mengapakah adinda berkata demikian itu?” maka kata bunda Jaya Lengkara “Ya Tuan ku, hamba tiada sampai hati hamba melihat anak hamba dibunuh itu karena baik dan jahatnya anak hamba ini sahaja hamba turut akan.”.52
52
Ibid., h. 11.
65
Kutipan di atas menceritakan tentang pembelaan ibu Jaya Lengkara kepada anaknya yang ingin dibunuh oleh ayahnya sendiri karena dianggap jahat dan sangat berbahaya, ibunya pun rela mati demi membela anak satu-satunya dan kesayangannya. b.
Adil Salah satu pengertian adil adalah tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Sikap tersebut merupakan sikap terpuji yang harus dimiliki oleh manusia terutama bagi seorang penguasa atau pemimpin. Seorang penguasa atau pemimpin harus adil kepada seluruh rakyatnya atau bawahannya, ia tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tebang pilih, mengutamakan pribadi dan golongannya. Sikap adil ini secara tersurat terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yaitu pada kutipan berikut ini:
…negeri sangat adil hukumnya dan daripada fakir dan miskin.53 Kutipan di atas menunjukan bahwa Raja Saiful Muluk yang merupakan Raja dari negeri Ajam Saukat sangat adil, terutama kepada rakyat yang fakir dan miskin. Sejatinya harta dan jabatan hanyalah titipan serta amanah yang harus dilaksanakan dengan adil, amanah dan penuh tanggung jawab. c.
Tanggung Jawab Tanggung jawab merupakan suatu sikap terpuji yang harus dimiliki oleh manusia. Dengan sikap ini manusia dituntut untuk menghormati hak dan melaksanakan kewajibannya. Salah satu indikator orang yang bertanggung jawab adalah melakukan segala sesuatu terutama yang menyangkut kewajibannya dengan totalitas dan kesungguhan.
53
Ibid., h. 1.
66
Adapun salah satu sikap tanggung jawab yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
maka kata tuan putri Ratna Kasina “Hai niniku mangkubumi, jika demikian baiklah tuanku pulanglah, adapun aku ini tiadalah aku mau kan pulang jikalau belum aku beroleh kembang kuma-kuma putih itu tiada ku balik.”54 Kutipan di atas bercerita tentang kesungguhan seorang anak dalam mencari obat untuk ayahnya yang sedang sakit parah. Bahkan ia pantang menyerah ketika harus ditinggalkan oleh pengawal serta pengikutnya sendirian di perjalanan yang penuh dengan aral dan rintangan demi mendapatkan obat untuk ayahnya yang belum ia dapatkan. Kesungguhan ini merupakan bentuk tanggung jawab seorang anak kepada ayahnya yang sedang kesusahan. d.
Tolong Menolong Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Ada kalanya senang dan ada kalanya susah, adakalanya menolong dan ada kalanya ditolong, oleh karena itu manusia harus saling tolong menolong antara satu sama lainnya, tentunya tolong menolong dalam kebaikan bukan kejahatan. Sebagaimana firman Allah Swt:
ﺍﻥﻭﺪﺍﹾﻟﻌﻠﹶﻰ ﺍﹾﻹِﺛﹾﻢﹺ ﻭﺍ ﻋﻮﻧﺎﻭﻌﻻﹶ ﺗﻯ ﻭﻘﹾﻮﺍﻟﺘﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﺒﹺﺮﹺّ ﻭﺍ ﻋﻮﻧﺎﻭﻌﺗﻭ “Dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2)
54
Ibid., h. 19.
67
Adapun contoh perbuatan tolong menolong dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut ini:
maka ujar Makdam dan Makdim “Hai orang muda jika tuan hamba diam di dalam hutan ini mintalah air, hamba ini telalu dahaga” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita pada tempat hamba diam” maka ia pun masuklah ke dalam goa itu mengambil air di dalam kendi, maka [maka] Makdam dan Makdim pun heranlah melihat goa itu. Maka Jaya Lengkara pun keluarlah serta memberikan kendi itu/23/kepada Makdam dan Makdim, maka disambut oleh Makdam dan Makdim kendi itu lalu diminumnya oleh Makdam dan Makdim. 55
maka kata Makdim “Adapun dalam kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka kata Jaya Lengkara “Marilah kita mencari kembang kumakuma putih itu!”56 Kutipan di atas bercerita tentang Jaya Lengkara yang menolong saudaranya yang sedang kesusahan di hutan serta menolongnya mencari kembang kumakuma untuk obat ayahnya yang sedang sakit. e.
Bersyukur Bersyukur merupakan bentuk atau cara berterimakasih seorang hamba kepada Tuhannya atas nikmat dan karunia yang telah diberikan kepadanya Dengan bersyukur berarti dia sudah
55 56
Ibid., h. 22-23. Ibid., h. 25.
68
menghormati Tuhannya. Ada banyak cara bersyukur bersyukur salah satunya dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam) ini menyatakan dan mengingatkan kepada kita bahwa segala puji-pujian itu hanya pantas disematkan kepada Tuhan bukan kepada manusia, oleh karena itu manusia tidak boleh sombong dan congkak. Adapun sikap bersyukur yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
maka semuanya mengucap syukur “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin segala puji-puji bagi Allah subhanahu wata’ala juga memberi hambanya kebesaran dan kemuliaan atas hambanya yang di dalam dunia ini. 57
maka tuan kadi pun terus-terus serta mengucap syukur Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.58
maka kata Jaya Lengkara “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”59 Kutipan di atas berisikan tentang bersyukurnya hulubalang, ahli nujum, dan kadi kepada Allah SWT karena telah diberikan karunia berupa kebesaran, kemuliaan dan pengetahuan. f.
Sabar Sabar merupakan sikap terpuji lagi mulia yang tidak semua orang dapat mengamalkannya. Terkadang manusia terlalu mudah kecewa dan putus asa apabila menghadapi kegagalan dalam hidupnya. Pada dasarnya kegagalan itu merupakan ujian dari Tuhan
57
Ibid., h. 5. Ibid., h. 8. 59 Ibid., h. 25. 58
69
kepadanya karena apabila ia berhasil menghadapi ujian tersebut niscaya Allah telah menyiapkan hadiah indah untuknya dan Allah juga beserta orang-orang yang sabar, sebagaimana firman Allah SWT:
ﻦﺎ ﺑﹺﺮﹺﻳ ﺍﻟﺼﻊ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﷲَ ﻣﻼﹶﺓﺍﻟﺼﺮﹺ ﻭﺒﺍ ﺑﹺﺎﻟﺼﻮﻨﻴﻌﺘﺍﺍﺳﻮﻨ ﺍﹶﻣﻦﻳﻬﺎﹶﺍﻟﱠﺬﺎ ﺍﹶﻳﻳ “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabr dan sholat menjadi penolongmu. Karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (QS: Al-Baqarah: 153) Adapun sikap sabar yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
dan istri baginda yang lama itu tiada dikasihani seperti dahulu kala gi, maka tuan putri pun pikir dalam hatinya Tuan Putri Sanda Cahaya Rum tahulah akan dirinya sebab tiada beranak maka tiada lagi dikasihani baginda seperti dahulu, maka tuan putri Sakanda Cahaya bermohon do’a kepada Allah subhanahu wata’ala demikian bunyinya “Ya Rabbi Yaa Sayyidi Ya Maulaaya Tuhanku berapalah kiranya hambamu beranak barang seorang saja”, demikianlah pintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka tiada juga beberapa lamanya tuan putri minta do’a dia kepada Allah subhanahu /3/ wata’ala, dia pun hamillah. Setelah genap bulannya, tuan putri Sakanda Cahaya Rum beranak pula seorang laki-laki yang elo rupanya gemang gemilang seperti bulan purnama empat belas hari.60
60
Ibid., h. 2-3.
70
Kutipan di atas bercerita tentang kesabaran Putri Sakanda Cahaya istri Raja Saiful Muluk yang sudah lama menikah akan tetapi belum juga dikaruniai seorang anak, sampai-sampai ia pun dimadu oleh suaminya itu. Akan tetapi dengan kesabarannya dan terus berdoa kepada sang pencipta, akhirnya ia dikaruniai seorang putra yang kelak akan menjadi raja.
”Hai ibuku, apalah mulanya maka kita ke dalam hutan ini?” maka kata ibunya pun diam tiada mau berkata lagi karena takut akan Jaya Lengkara marah akan saudaranya Makdam dan Makdim..61
“Hai ibuku, siapakah orang ini?” kata ibunya “Hai anakku, inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah saudaramu yang bernama Makdam yang muda inilah bernama Makdim, anak raja Ajam Saukat da istrinya yang muda, karena ia hendak mencari kembang kuma-kuma putih akan obat ayahanda mu sakit” maka kata Jaya Lengkara “Jikalau demikian hai kakanda Makdam dan Makdim, dimanakah tempat kembang itu?” maka kata Makdam dan Makdim “Hai saudaraku, karena kakanda pun tiada juga tahu akan tempat kembang kuma-kuma putih/25/itu” maka kata Makdim “Adapun dalam kira-kira kakanda kedua, jikalau lain daripada adinda mencari kembang itu, tiada dapat mengambil kembang itu” maka 61
Ibid., h. 24.
71
kata Jaya Lengkara “Marilah kita mencari kembang kumakuma putih itu!” 62 Kutipan di atas bercerita tentang kesabaran ibunda Jaya Lengkara
kepada
anak
tiri
yang
telah
memfitnah
dan
menghasudnya serta anaknya sehingga ia harus terusir dari kerajaan. Dan juga kesabaran Jaya Lengkara ketika mengetahui bahwa
orang
yang
ditolongnya
adalah
orang
yang
menyebabkannya hendak dibunuh dan diusir bersama bundanya, tetapi sedikitpun dia tidak marah, malah berniat menolong saudaranya itu untuk mencari obat buat ayahnya yang sedang sakit parah, dan ia juga sangat sabar dalam menghadapi orang yang jelas-jelas ingin mencuri kembang kumakuma itu yang telah susah payah dia dapatkan dengan mengampuninya. Kisah ini mengajarkan bahwa selain harus sabar dalam menghadapi
kegagalan,
menyimpan
rahasia
manusia
dan
sabar
juga dalam
harus
sabar
menahan
dalam amarah,
sebagaimana sabda Rasulallah SAW
ﺐﹺﻀ ﺍﹾﻟﻐﺪﻨ ﻋﻪﻔﹾﺴ ﻧﻚﻠﻤ ﻳﻱ ﺍﻟﱠﺬﺪﻳﺪﺎ ﺍﻟﺸﻤﻧ ﺍﺔﻋﺮ ﺑﹺﺎﻟﺼﺪﻳﺪ ﺍﻟﺸﺲﻟﹶﻴ Orang kuat itu bukanlah orang yang kuat bergulat, tetapi orang yang dapat menahan amarahnya”. (HR. Bukhari Muslim)63 g.
Hormat Sikap hormat merupakan salah satu sikap terpuji dan penting dalam kehidupan sosial manusia. Apabila yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda maka akan terciptalah kedamaian di dunia. Selain kepada yang lebih tua, sikap hormat dan takzim juga layak disematkan kepada orang yang berjasa seperti orangtua, guru, dokter, dan lain sebagainya. Dan ada pula sikap hormat yang diajarkan oleh Rasulallah SAW demi terciptanya kerukukan dan kedamaian dalam membina hubungan
62 63
37, h. 10.
Ibid., h. 25. Muhammad Said, 101 Hadits Tentang Budi Luhur, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), cet.
72
sosial antar manusia yaitu hormat kepada tetangga dan kepada tamunya. Sebagaimana sabdanya:
ﻔﹶﻪﻴ ﺿﻜﹾﺮﹺﻡﺮﹺ ﻓﹶﺎﹾﻟﻴﻡﹺ ﺍﹾﻷَﺧﻮﺍﹾﻟﻴ ﺑﹺﺎﷲِ ﻭﻦﻣﺆ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻳﻦﻣ “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya Ia menghormati tamunya.” (HR. Muslim)64 Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Nabi Ibrahim As setiap hari menyembelih seekor domba untuk dimasak untuk menjamu tamu-tamunya, dan banyak lagi cerita-cerita lainnya yang mengisahkan tentang penghormatan kepada tamu termasuk yang terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara dalam kutipan berikut:
Makdam dan Makdim serta dia bawa oleh kadi ke rumahnya diarakan [oleh] seperti adat anak raja-raja65
maka kata Jaya Lengkara “Hai kakanda tar juga dahulu karena ibu hamba lagi hendak menjamu kakanda makan dan minum tujuh hari tujuh malam” maka Makdam dan Makdim pun menanti jua beberapa lamanya makan dan minum yang amatlah nimat jua rasanya, maka Makdam dan Makdim pun terlalu suka hatinya dijamu oleh saudaranya itu.66 Kutipan di atas menceritakan tentang penghormatan seorang kadi kepada anak raja yang ingin berkunjung ke rumahnya dan penghormatan seorang ibu kepada anak tirinya yang telah menghasudnya sampai ia dikeluarkan dari kerajaan. Hal ini 64
Ibid., h. 19. Hikayat Jaya Lengkara., h. 6. 66 Ibid., h. 25. 65
73
mengajarkan manusia bahwa jangankan kepada teman, kepada lawanpun harus bersikap hormat. h.
Berani Berani merupakan suatu sikap hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, masalah, dan sebagainya. Berani di sini tentunya berani dalam melakukan kebaikan bukan kejahatan. Adapun sikap berani yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
maka Jaya Lengkara “Hai kakanda, janganlah takut karena sudah adad kita anak laki-laki”67
kata Jaya Lengkara “Marilah kita masuk ke dalam goa itu!” maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena sangat takut cahaya ini karena siapa tahu barangkali ada harimau dan raksa atau ar dan kala [kah]” maka Jaya Lengkara pun masuk juga seorang ke dalam goa itu dengan seorang dirinya..68 Kutipan di atas menceritakan tentang Jaya Lengkara yang pemberani dan berusaha untuk menenangkan saudaranya yang penakut. Sejatinya seorang hamba selagi ia benar harus berani kepada apapun dan siapapun, dan yang pantas ditakuti hanyalah Tuhan sang pencipta bukan makhluk ciptaanNya yang fana.
2. Nilai Moral Negatif 67 68
Ibid., h. 27. Ibid., h. 28.
74
Di dalam Hikayat Jaya Lengkara tidak hanya terdapat nilai moral yang positif, tetapi juga terdapat nilai moral yang negatif. Salah satu nilai moral negatif yaitu perbuatan yang merugikan orang lain. Nilai moral negatif dalam hikayat ini terjadi pada orang-orang yang mempunyai maksud buruk atau jahat. a.
Tidak Sabar Sikap tidak sabar ini merupakan kebalikan dari sikap sabar, sikap ini harus dihindari karena sikap ini akan membuat seseorang menjadi mudah menyerah dan putus asa serta melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang yang dapat merugikan dirinya maupun orang lain di sekitarnya. Adapun sikap tidak sabar yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
baginda itu tiada beranak barang seorang maka itu sebab baginda terlalu masygul rasa hatinya hendak beranak, maka tiada juga diberi Allah subhanahu wata’ala dengan anak maka raja itu pun pikir dalam hatinya diyasa /2/ beristri seorang lagi bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-bayang69 Kutipan di atas menceritakan tentang ketidak sabaran seorang raja sekaligus seorang suami kepada istrinya yang telah sekian lama menikah akan tetapi belum juga mempunyai keturunan, akhirnya karena tidak sabar ia menikah kembali dengan perempuan lain. Sampai suatu ketika istri pertamanya itupun hamil dan melahirkan seorang anak yang elok, gagah, dan pemberani yang kelak menjadi raja segala raja. 69
Ibid., h. 1-2.
75
b.
Hasud , Bohong, dan Fitnah Hasud, bohong, dan fitnah merupakan sifat tercela yang harus dihindari oleh seluruh manusia karena sikap ini selain merugikan untuk diri sendiri juga merugikan bagi orang lain. Sifatsifat ini saling berkaitan antar satu sama lainnya. Hasud merupakan sikap iri hati dan dengki seseorang atas keberhasilan, kesuksesan, dan kelebihan orang lain dan ia berharap agar keberhasilan itu segera hilang darinya untuk itu dia memfitnah, dan untuk memfitnah dia harus berbohong. Sikap hasud, fitnah, dan bohong yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut:
dia pun sampai kepada raja dengan tangisnya, maka titah raja “Hai anakku mengapakah engkau mena /10/ ngis sangat ini?” maka sembah Makdam dan Makdim “Ya Tuanku, adapun patik dia titah duli tuanku mendapat kadi, maka kata kadi kepada patik kedua tadi akan hal duli menyuruh kita bernanyakan alamat anakda yang ba[ha]ru jadi itu maka kata kadi kepada patik kedua tadi “Adapun alamat adinda yang kepada ububun-ububunnya anakda itu besar celakanya. Padi, beras, segala buah-buahan akan mahal karena sebab besar celakanya dan segala rakyat di dalam negri pun banyak mati karena bala besar akan datang kepada negeri ini ya tuanku syah alam.” maka patik
76
menangis-nangis karena saudara patik terbesar celakanya itulah sebab-sebab patik menangisi adinda..70 Kutipan di atas menceritakan tentang perbuatan hasud, iri, dan dengki Makdam dan Makdim kepada Jaya Lengkara karena mereka telah mengetahui kelebihan dan keutamaan Jaya Lengkara yang dikhawatirkan dapat menggangu posisi mereka di kerajaan sebagai penerus tahta. Merekapun berbohong, memfitnah, dan bersandiwara di hadapan ayahandanya dengan mengatakan bahwa Jaya Lengkara merupakan anak yang sangat berbahaya dan akan menyebabkan malapetaka.
Maka samabda Makdam dan/12/Makdim “Ya Tuan, jikalau demikian baiklah tuanku, buangkan dia dengan bundanya sekali-kali biarlah segera tuanku membuangkan dia karena masihkah orang yang celaka itu apakah gunanya kalau negri duli tuanku bina<sa>lah tangan bilanya, karena negri ini belum lagi jauh inilah sembah patik dua bersaudara jangan anak lagi kecil, jika patik sudah besar sekalipun jika ada celakanya duli tuanku juga buangkan juga gunanya puluh anak lagi kecil, demikian tuanku sayangkan demikian sembah hamba. Ya Tuanku mana harga anak tuanku seorang sama dengan harga rakyat duli tuanku seisi negri karena segala raja-raja itu jikalau kerasnya seperti raja Sulaiman sekalipun jikalau tiada dengan rakyat apalah akan gunanya?”71 Kutipan di atas menceritakan tentang raja yang termakan hasud dan fitnah anaknya, raja itu berniat untuk membunuh Jaya 70 71
Ibid., h. 9-10. Ibid., h. 12.
77
Lengkara lalu ibu jaya Lengkara pun menghalanginya, akhirnya merekapun diusir dari kerajaan ke dalam hutan tanpa makanan, minuman dan perbekalan. Ini semua merupakan akibat daripada perbuatan hasud, fitnah, dan bohong yang dapat sangat merugikan orang lain. Tidak salah jika Allah berfirman bahwa fitnah itu akan membawa dampak yang besar bagi korbannya sampai-sampai melebihi pembunuhan. Sebagaimana firman Allah SWT dan sabda Rasulallah SAW
ﻞﹺﻦَﺍﹾﻟﻘﹶﺘ ﻣﺪﺔﹸ ﺃﹶﺷﻨﺘﺍﹾﻟﻔﻭ “Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan” (QS: AlBaqarah: 191)
ﺍﹾﳊﹶﻄﹶﺐﺎﺭﺄﹾﻛﹸﻞﹸ ﺍﻟﻨﺎ ﺗ ﻛﹶﻤﺎﺕﻨﺄﹾﻛﹸﻞﹸ ﺍﹾﳊﹶﺴ ﻳﺪ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﺍﹾﳊﹶﺴﺪﺍﹾﳊﹶﺴ ﻭﺎﻛﹸﻢﺇﹺﻳ “Jauhilah sifat hasad/dengki, karena sesungguhnya hasad itu memakan (merusak) amal kebajikan, seperti api memakan kayu.” (HR. Abu Daud)72 c.
Khianat Khianat merupakan perbuatan tidak setia dan tipu daya. Sikap ini merupakan tindakan tercela karena akan merugikan diri sendiri karena akan menyebabkan kehilangan kepercayaan dari orang lain serta dapat merugikan orang lain. Orang yang berkhianat dikategorikan kedalam golongan orang munafik karena telah menyelewengkan amanah dan kepercayaan yang telah diberikan oleh orang lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasulallah SAW
ﺎﻥﹶ ﺧﻦﻤﺗﺇﹺﺫﹶﺍ ﺃﺅ ﻭﻠﹶﻒ ﺃﹶﺧﺪﻋﺇﹺﺫﹶﺍ ﻭ ﻭﺙﹶ ﻛﹶﺬﹶﺏﺪﻖﹺ ﺛﹶﻼﹶﺙﹲ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺣﺎﻓﺔﹸ ﺍﹾﳌﹸﻨﺃﹶﻳ “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkari, dan apabila dipercaya ia menghianatinya.” (HR. Bukhari) 73 72 73
Muhammad Said., op.cit., h. 32. Ibid., h. 9.
78
Adapun sikap khianat yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat dalam kutipan berikut ini:
baharu sahaja diambil sehelai daun bunga itu, ia sudah ditolak oleh Makdam dan Makdim ke laut. Hanya dengan berpegang dan bergantung pada daun itu Jaya Lengkara dapat menyelamatkan nyawa.74 Kutipan di atas menceritakan tentang pengkhianatan Makdam dan Makdim kepada Jaya Lengkara yang selama ini telah berbuat baik kepadanya dan membantunya untuk mendapatkan kembang kumakuma. Akan tetapi setelah bunga itu mereka dapatkan mereka malah mencoba untuk membunuh Jaya Lengkara dengan melemparkannya ke lautan. d.
Mencuri Mencuri adalah mengambil hak milik orang lain tanpa izin atau dengan sembunyi-sembunyi. Mencuri, merupakan tindakan tercela yang dapat merugikan orang lain. Perbuatan ini tidak diajarkan dan tidak dibenarkan oleh agama manapun. Adapun contoh perbuatan tercela ini tersurat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang terdapat dalam kutipan berikut
mangkubumi Mesir mencoba mengambil bunga itu dari Jaya Lengkara tapi gagal. Jaya Lengkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapatkan bunga itu.75 Kutipan di atas menceritakan tentang mangkubumi Mesir yang ingin mencuri bunga kumakuma yang telah diperoleh dengan susah payah oleh Jaya Lengkara, akan tetapi mangkubumi itu gagal mendapatkannya. Mencuri, menguntit, merampok, merompak, dan 74 75
Hikayat Jaya Lengkara., h. 30. Ibid., h. 31.
79
korupsi merupakan tindakan tercela yang tidak dibenarkan oleh siapapun, agama manapun, dimanapun, dan kapanpun. Rasulallah bersabda mengenai larangan mencuri dalam hadisnya:
ﺎﺫﹰﺍﻟﹶﺎ ﺟﺎ ﻭﺒ ﻟﹶﺎﻋﻪﻴ ﺃﹶﺧﺎﻉﺘ ﻣﻛﹸﻢﺪﺬﹶﻥﱠ ﺍﹶﺣﺄﹾﺧﻟﹶﺎ ﻳ “Janganlah kamu mengambil barang kepunyaan orang lain, baik bergurau (pura-pura) maupun dengan sengaja”. (HR. Tirmidzi)76 e.
Menipu Menipu merupakan perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, bohong, palsu, dan sebagainya
dengan maksud untuk
menyesatkan atau mencari untung. Perbuatan ini termasuk sikap tercela karenadapat merugikan orang lain. Adapun contoh perbuatan tercela ini terdapat dalam Hikayat Jaya Lengkara yang tersurat dari kutipan berikut:
Ayahandanya raja Peringgi mengirim dua orang menteri pergi mencari bunga itu, seorang menteri pergi menipu raja Mesir77 Kutipan di atas menceritakan tentang ambisi raja Peringgi yang sangat tinggi untuk memiliki bunga kumakuma sampaisampai ia mengutus seorang menteri untuk menipu raja Mesir agar bias mendapatkan bunga itu. Hal ini mengajarkan manusia bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu harus dengan usaha yang sungguhsungguh dan ikhtiar yang maksimal, tidak bisa hanya dengan cara instan apalagi sampai menghalalkan segala salah satunya dengan menipu. f.
Penakut Penakut merupakan salah satu sikap yang membuat manusia menjadi tidak bebas, pesimis, dan malas. sikap ini
76 77
Muhammad Said., op.cit., h. 15. Ibid., h. 31.
80
merupakan lawan dari sikap berani. Sejatinya, selama ia benar maka manusia tidak boleh takut kepada siapapun dan apapun, dan manusia hanya boleh takut kepada penciptanya yaitu Allah SWT. Adapun contoh sikap penakut yang ada dalam Hikayat Jaya Lengkara terdapat pada kutipan berikut:
“Marilah kita masuk ke dalam goa itu!” maka kata Makdam dan Makdim “Hai adinda, janganlah kita masuk ke dalam goa ini karena sangat takut cahaya ini karena siapa tahu barangkali ada harimau dan raksa atau ar dan kala kah”78
sekira-kira tiga hari tiga malam perjalanannya itu, maka bertemu dengan raksa dan harimau, maka Makdam dan Makdim sangat gemetar tubuhnya serta berlindung disamping Jaya Lengkara, maka katanya “Hai adinda hidup-hiduplah nyawa kakanda dua ini” serta dengan tangisnya79 Kutipan di atas menceritakan tentang ketakutan Makdam dan Makdim kepada harimau, raksasa, ular, dan kala dalam perjalanan mencari kembang kumakuma. g.
Serakah Salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya adalah serakah. Sikap ini tidak hanya merugikan orang yang bersangkutan akan tetapi dapat merugikan orang lain. Orang yang serakah selalu menginginkan sesuatu yang lebih banyak, ia tidak pernah akan puas
78 79
Ibid., h. 28. Ibid., h. 27.
81
dan menghalalkan segala cara untuk dapat meraihnya, tak peduli apakah harus mengorbankan kehormatan dirinya maupun orang lain, yang penting apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi.
Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian karena tiada tahan diganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah kembali ke negri Ajam Saukat Karena berahi mereka akan Putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim mencoba membunuh Jaya Lengkara80 Kutipan di atas menceritakan tentang keserakahan Makdam dan Makdim yang mengganggu Putri Ratna Kasina padahal mereka sudah mempunyai istri masing-masing. Tidak hanya itu, karena keserakahannya itupun mereka ingin membunuh Jaya Lengkara. Hal ini menyiratkan bahwa orang yang serakah itu tidak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya, ia selalu merasa kekurangan dan tidak mau ada seseorangpun yang dapat melebihi dirinya bahkan ia menghalalkan segala cara untuk dapat memperoleh apapun yang ia inginkan.
80
Ibid., h. 31.
82
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 2/89 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4 yang berbunyi: Mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya yang dimaksudkan antara lain bercirikan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut, terlihat bahwa pendidik mempunyai kewajiban untuk mendidik peserta didik menjadi pribadi yang utuh dan mandiri dengan dilandasi oleh akhlak dan budi pekerti yang luhur. Apabila tujuan pendidikan tersebut dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, terlihat adanya kesamaan di antara keduanya. Hal itu dapat dilihat dalam tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam Kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.139 Dalam tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, terlihat bahwa peserta didik harus mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan memperluas wawasan. Tujuan ini berkaitan dengan pengembangan kepribadian dan watak peserta didik tersebut dan sejalan dengan tujuan yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari pendidik untuk 81 Yeti Mulyati, Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Berorienatasikan Fungsi Komunikatif Bahasa untuk Siswa Sekolah Dasar, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/196008099 86012 diakses pada hari Kamis, 12 Desember 2013 pukul 19.19 WIB.
83
menciptakan peserta didik yang berkepribadian dan berwatak baik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Pendidik, dalam hal ini guru, harus berperan aktif dalam pembentukan kepribadian dan watak peserta didik. Pembentukan kepribadian dan watak ini dapat dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada peserta didik mengenai nilai moral yang baik. Pembelajaran nilai moral ini dapat dilakukan melalui pembelajaran mengenai karya sastra. Hal itu dikarenakan dalam suatu karya sastra, di dalamnya mengandung nilai-nilai positif yang bisa dijadikan contoh oleh peserta didik. Nilai positif yang bersifat langsung berupa penggambaran nilai moral, nilai sosial, dan nilai agama yang dapat dilihat secara tersurat dalam hikayat. Pada dasarnya, penggambaran nilai-nilai yang bersifat positif ini diharapkan turut membantu dalam pembentukan kepribadian dan watak peserta didik. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang pendidik untuk membantu peserta didik dalam menentukan karya sastra mana yang harus dibaca dan dapat dijadikan contoh oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya. Penerapan pembelajaran pembentukan kepribadian dan watak peserta didik melalui karya sastra ini dapat diterapkan oleh guru pada tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah mampu memahami berbagai hikayat dengan kompetensi dasar mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik serta mampu menemukan nilai-nilai positif yang ada dalam hikayat. Apabila dikaitkan dengan Hikayat Jaya Lengkara, seorang pendidik bisa memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu membaca dan menerapkan nilai-nilai yang disampaikan dalam Hikayat Jaya Lengkara. Hal itu dikarenakan dalam hikayat Jaya Lengkara ini sarat dengan nilai-nilai moral yang layak untuk dijadikan contoh oleh peserta didik.
84
Nilai-nilai moral ini dapat dilihat dari tokoh Jaya Lengkara yang mempunyai semangat untuk memperoleh sesuatu dan tidak pernah pantang menyerah untuk memperolehnya. Selain itu, sikap sabar yang dimiliki oleh Jaya Lengkara dan ibunya dalam menghadapi masalah pun merupakan salah satu dari bentuk nilai moral yang dapat dijadikan contoh oleh peserta didik. Selain itu, apabila kita melihat sikap dari tokoh Makdam dan Makdim, yang kurang layak untuk ditiru, misalnya penghasud, pembohong, penakut, pemfitnah, dan serakah, namun setidaknya ada beberapa sikap Makdam dan Makdim yang layak dijadikan panutan oleh peserta didik, sikap tersebut adalah sikap pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Dengan melihat sikap tokoh Makdam dan Makdim ini, akan membantu peserta didik dalam menentukan sikap mana yang layak dan tidak layak untuk ditiru. Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan hikayat ini diharapkan dapat membantu siswa dalam menentukan nilai-nilai positif baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Penggambaran nilai positif yang bersifat langsung berupa penggambaran nilai moral dalam hikayat. Penggambaran sikap positif ini, diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pengembangan kepribadian dan watak peserta didik. Oleh karena itu, setelah pembelajaran dalam pembacaan hikayat ini dilakukan, diharapkan peserta didik mampu menerapkan nilai-nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga pada akhirnya turut berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian dan watak dari peserta didik tersebut. Pembelajaran nilai-nilai moral yang telah didapatkan oleh peserta didik tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan dalam perjalanan hidup peserta didik sehingga peserta didik lebih bijaksana dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi seperti sekarang ini. Dengan kata lain, pembelajaran karya sastra lama, dalam hal ini hikayat pun turut membantu dalam pembentukan karakter bangsa.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam Hikayat Jaya Lengkara, dapat diambil beberapa simpulan yaitu: 1. Proses penyuntingan naskah Hikayat Jaya Lengkara dilakukan setelah proses inventarisasi dan deskripsi naskah. Proses penyuntingan menggunakan metode edisi naskah tunggal dengan metode standar atau kritis. Di dalam menyunting naskah, penulis membuat suatu edisi yang baru dengan mengadakan pembagian alinea-alenia, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran (interpretasi), sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca masa kini. 2. Nilai moral yaitu tingkah laku manusia baik dan buruknya sebagai manusia. Tingkah laku baik dan buruk tersebut dapat digolongkan menjadi nilai moral positif dan nilai moral negatif. Tingkah laku yang baik dapat dimasukkan ke dalam nilai moral positif, sedangkan tingkah laku yang buruk dapat dimasukan ke dalam nilai moral negatif. Jadi, interpretasi nilai moral yang ditemukan dari segi nilai moral positif, meliputi sikap adil, jujur, kasih sayang, percaya, menolong, bertanggung jawab, hormat, dan bersyukur. Adapun nilai moral yang ditemukan dari segi nilai moral negatif, meliputi: tidak sabar, khianat, menghasud, memfitnah, mencuri, berbohong, penakut, penipu dan serakah. 3. Nilai-nilai moral dalam Hikayat Jaya Lengkara tersebut, dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah mampu memahami berbagai hikayat dengan kompetensi dasar mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan hikayat serta mampu menemukan nilai-nilai positif yang ada dalam hikayat, baik itu nilai
85
86
moral, nilai sosial, nilai budaya, maupun nilai agama. Pembelajaran sastra melalui pembacaan hikayat ini diharapkan dapat membantu siswa dalam menentukan nilai-nilai positif baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Penggambaran nilai positif yang bersifat langsung berupa penggambaran nilai moral yang terdapat dalam hikayat. Oleh karena itu, setelah pembelajaran dalam pembacaan novel ini dilakukan, diharapkan peserta didik mampu menerapkan nilai-nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran Berdasarkan hasil penilitian ini, penulis mencoba memberi saran sebagai berikut. 1. Diharapkan Hikayat Jaya Lengkara ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan bagi pendidik untuk dapat memanfaatkan hikayat ini sebagai media pembelajaran sastra nantinya. 2. Pembelajaran nilai-nilai moral yang telah didapatkan dalam novel tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan dalam perjalanan hidup peserta didik sehingga peserta didik lebih bijaksana dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi seperti sekarang ini. 3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan muncul usaha-usaha baru dalam penelitian filologi di masa yang akan datang, terutama di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta agar dapat menjaga dan melestarikan khazanah sastra lama.
DAFTAR PUSTAKA
Baried., dkk. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. 11, 2011. Budiningsih, C. Asri. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Daradjat, Zakiah. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa, 2003. Djamaris, Edwar. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Ikram, Achdiati. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997. Kosasih, E. Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Nobel Edumedia, 2008. Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, dan Metodologi Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2001. Mulyati, Yeti. Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Berorienatasikan Fungsi Komunikatif Bahasa untuk Siswa Sekolah Dasar, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESI A/196008099 86012 diakses pada hari Kamis, 12 Desember 2013 pukul 19.19 WIB. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengakajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994. Said, Muhammad. 101 Hadits Tentang Budi Luhur. Bandung: Al-Ma’arif, Cet. 37, 1986. Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Stanford, Judith A. Responding to Literature. New York: Mc Graw Hill, 2006.
87
88
Stanton, Robert. Teori Fiksi, Terjemahan dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2007. Sudardi, Bani. Dasar-dasar Teori Filologi. Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia, 2001. Sudjiman, Panuti. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya, 1994. ----------------------. Adat Raja Raja Melayu. Jakarta: UI Press, 1996. Sunardjo, Nikmah. dkk, Telaah Susastra Melayu Betawi,. Jakarta: Depdikbud, 1991. Suryani, Elis. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012. Suseno, Magnis. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008. Vaughn, Lewis. Doing Ethics. New York: W.W. Norton & Company, 2008. Wellek, Rene. dan Austin Warren. Teori Kesusatraan. Jakarta: Gramedia, 1989. Yock Fang, Liaw. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga, 2003.
LAMPIRAN
Kata Sulit (Glosarium) Kata-kata sulit yang ditemukan dalam teks Hikayat Jaya Lengkara diartikan menurut Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Kata-kata sulit yang terdapat dalam teks Hikayat Jaya Lengkara sebagai berikut: 1.
Hulubalang
= kepala laskar; pemimpin pasukan;
2.
Kadi
= Hakim yang mengurus atau mengadili perkara-perkara yang
bersangkut-paut dengan Agama Islam (seperti,
perceraian, dan pelanggaran hukum Islam) 3.
Hatta
= kemudian dari itu; lalu; maka; sudah itu lalu…
4.
Masygul
= bersusah hati karena suatu sebab; sedih; murung
5.
Barakat
= karena; akibat dari;--
6.
Hikmat
= kebijakan; kearifan; kesaktian (kekuatan gaib)
7.
Isyarat
= segala sesuatu (gerakan tangan, anggukan kepala, dsb) yang dipakai sebagai tanda atau alamat
8.
Duli
= kaki, pergi, kata hormat yang digunakan apabila berkata kepada raja atau berbicara tentang raja (huruf pertamanya ditulis dengan huruf besar ataukapital)
9.
Maulaya
= (1) gelar kehormatan untuk ulama besar atau sufi, (2) tuan ku, (3) gelar kehormatan untuk Allah SWT (sebagai pelindung atau penolong, gelar kehormatan untuk para nabi (sebagai pembimbing umat).
10. Sayid
= Tuan
11. Rabbi
= Tuhanku (digunakan dalam doa)
12. Sembah
= 1. Pernyataan hormat dan khidmat di hadapan raja dsb dengan menangkupkan kedua belah telapak tangan serta menyusun jari sepuluh, lalu mengangkatnya hingga ke paras dagu atau dahi. 2. Kata-kata yang diucapkan atau ditujukan kepada raja (orang yang dimuliakan dsb)
13. Sabda
= 1. kata-kata atau perkataan yang diucapkan oleh nabi atau rasul 2. Kata atau perkataan (bagi raja dsb) 3. Kata atau perkataan yang diucapkan oleh wazir wazir.
14. Semabda
= serba cukup, kuat, kaya patut, pan tas, cocok
15. Kuma-kuma
= 1. BM stigma (daripada crocus berbunga ungu) yang berwarna
jingga,
berbau
kuat,
dan
dikeringkan,
digunakan untuk mewarnai dan memberi perisai kepada makanan 2. Kunyit. 16. Patik
= sl saya (dipakai sewaktu bercakap dengan raja); hamba
17. Jadi
= lahir, dilahirkan.
LAMPIRAN : NASKAH HIKAYAT JAYA LENGKARA
Cover Hikayat Jaya Lengkara
Bungkus Hikayat Jaya Lengkara
Bagian Depan Hikayat Jaya Lengkara
Bagian Belakang Hikayat Jaya Lengkara
Isi Naskah Hikayat Jaya Lengkara
Isi
PROFIL PENULIS
MUHAMMAD ZAINAL ABIDIEN, yang biasa dipanggil Zain merupakan anak keempat dari enam bersaudara ini lahir di Tangerang, 15 Januari 1990. Ia telah berhasil menuntaskan pendidikannya di MI Hidayaturrahman (2001), SMP Negeri 1 Teluknaga (2004), dan MA Qotrun Nada (2008). Setelah itu ia memilih melanjutkan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pria manis berlesung pipit, berkumis tipis, berbadan atletis, berkulit tropis ini suka sekali menulis, cenderung melankolis, sedikit apatis namun selalu optimis. Olahraga terutama sepakbola adalah kekasih keduanya, berpetualang adalah kegemarannya, coklat adalah makanan kesukaannya dan bermain game PES adalah hobinya. Pemilik tempat pencucian motor “Zain Motor Steam” ini suka sekali berwirausaha. Sedari kecil ia sudah berani berjualan berbagai macam komoditas seperti: es, pempek, pastel, jajanan, dan sebagainya. Bahkan selagi kuliah pun ia pernah jualan keripik singkong bersama Tita, Arif, dan Fitri. Menjadi pengusaha sukses merupakan idamannya. Pemeran utama “Jenny” dalam drama “Waria KM 25” ini mempunyai pengalaman menarik ketika awal pertama masuk kuliah yaitu ia sampai tiga kali keluar masuk kelas yang sama karena salah melihat jadwal kuliah yang harusnya Selasa malah dilihat Senin dan akhirnya ia pun menjadi bahan tertawaan temantemannya. Selasa, 1 September 2009 merupakan awal mulanya ia bergulat dan berkutat di Ciputat. Selama kuliah, penerima Beasiswa BUMN Peduli Pendidikan PT. Angkasa Pura II ini pernah menjadi delegasi untuk mengikuti berbagai macam kegiatan diantaranya: Debat Bahasa Mahasiswa Se-JABODETABEK di Pusat Bahasa Jakarta, Workshop Wirausaha Muda Mandiri di Jakarta Convention Center, Pelatihan Da’i Muda Lazuardi Birru di Jakarta, dan lain sebagainya. Mahasiswa yang lebih dominan menggunakan otak kirinya ini sangat menyukai filologi dan Alhamdulillah telah berhasil menyusun skripsi dengan kajian filologi berbahasa Indonesia pertama di almamaternya.