TRADISI DAN MODERNITAS SASTRA LISAN MASYARAKAT BESEMAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN (judul: 12pt, Times New Roman, center, bold, UPPERCASE)
Arono (nama: 10pt, Times New Roman, center, bold)
Universitas Bengkulu (afiliasi: 10pt, Times New Roman, center)
Abstrak (judul abstrak: 10pt, Times New Roman, center, bold)
Tradisi bukan saja bisa berdampingan dengan modernitas, tetapi dapat memperkuat tradisi demi perkembangan dan kemajuan, salah satunya melalui dunia pendidikan. Penelitian ini untuk medeskripsikan tradisi dan modernitas sastra lisan masyarakat Besemah dan implikasinya dalam pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi dalam modernitas sastra lisan meringit dan andai-andai masyarakat Besemah, yaitu (1) latar belakang terciptanya modernitas sebuah tradisi (a) adanya cerita rakyat yang tersebar secara lisan pada warga masyarakat Besemah, (b) adanya beberapa kepercayaan yang dianggap oleh warga masyarakat suku Besemah, (c) adanya beberapa adat istiadat atau budaya tradisi yang diwariskan secara turun temurun menjadi latar belakang terciptanya lagu atau tembang daerah suku Besemah, (d) adanya sejarah budaya, (e) adanya tata kelakuan dan kebiasaan orang-orang suku Besemah yang bertempat tinggal di gunung atau perbukitan dan aliran sungai. (2) Nilai yang terkandung dari tradisi lisan masyarakat Besemah banyak mengungkapkan tentang makna sosial masyarakat dan tentang cinta kasih sesama manusia. Implementasi tradisi sastra lisan Besemah dilakukan dengan menggali nilai-nilai karakter berdasarkan metode terjemahan yang dilakukan dalam pembelajaran puisi dan prosa pada pendekatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. Kata kunci: Tradisi sastra; modernitas sastra; masyarakat Besemah; pembelajaran. (isi abstrak dan kata kunci: 10pt, Times New Roman, justify. Antara isi abstrak dan kata kunci diberi jarak spacing before 6pt)
1. Pendahuluan Tradisi lisan di masyarakat saat ini mulai tergerus oleh perkembangan dan kemajuan zaman. Hal itu dapat kita amati mulai dari resepsi pernikahan, syukuran, acara muda-mudi hingga acara keluarga semua menjadi praktis dan kurang sesuai dengan tradisi masyarakat kita. Ada beberapa daerah yang masih mempertahankan tradisi tersebut, tetapi lebih dominan sebagai simbol belaka. Kenaturalan dan prosesi yang kental ada dalam masyarakat tersebut sudah mulai luntur oleh polesan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, misalnya
pemakaian musik dalam resepsi pernikahan sudah diubah menggunakan organ tunggal atau kaset atau sejenisnya, menggunakan petatah-petitih atau pantun sudah menggunakan teks. Masyarakat Bengkulu yang wilayahnya sebagian besar berada pada daerah pesisir memuliki keunikan dalam penggunaan bahasanya dan begitu juga dengan budaya dalam hal ini tradisi lisan. Keunikan dan keragaman tersebut dapat dilihat berdasarkan bahasa daerah yang ada. Berdasarkan geografis dan daerah administratif bahwa bahasa daerah yang ada di Provinsi Bengkulu terdiri atas sembilan bahasa, yaitu bahasa Serawai, Besemah, dan bahasa Mulak yang terdapat di Bengkulu bagian selatan, bahasa Melayu Bengkulu di Kota Bengkulu, bahasa Lembak di Bengkulu bagian utara dan Kota Bengkulu, bahasa Rejang di Rejang Lebong dan di Curup, bahasa Muko-Muko dan bahasa Pekal, serta bahasa Enggano terdapat di Bengkulu bagian Utara (Arono, 2004:4). Keanekaragaman membuktikan bahwa wilayah Bengkulu memiliki kekhasan dalam tradisi dan pola hidup masyarakatnya, seperti daerah Enggano, Lebong, dan Mulak Bintuhan. Ketiga daerah ini memiliki keunikan tersendiri dalam hal bahasa dan budayanya. Salah satu alasannya, jika kita ke daerah tersebut, kita akan kesulitan dalam memahami dan berkomunikasi kepada masyarakatnya, begitu juga sebaliknya. Salah satu pelestarian tradisi lisan yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mulai dari tingkat prasekolah hingga pada perguruan tinggi. Dunia pendidikan dalam hal ini pendidikan menangah, tetapi guru kadang kala masih kurang menggali potensi daerah yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tradisi lisan masyarakat Besemah yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran di antaranya tradisi lisan meringit, betadut, andai-andai, begadisan, berasan, pantauan, bimbang, ngayikah anak, geguritan, memuningan, dan bimbang kule (Arono, 2004:162-66). Padahal, dengan tradisi lisan akan memungkinkan siswa menghargai dan melestarikan budayanya sendiri yang pada akhirnya akan membentuk nilai karakter peserta didik. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan zaman akan membawa pada perubahan perilaku masyarakatnya sehingga memerlukan sikap kita sebagai masyarakat yang menghargai budaya dan sejarah dalam pemertahanan nilai-nilai pendidikan anak bangsa. Inovasi, kreatifitas, dan modivikasi diperlukan oleh seorang guru agar tradisi lisan tersebut mampu mengakar dan membudaya terhadap tradisi lisan yang ada di masyarakat Besemah
yang disebut modernitas. Modernitas tersebut bagaimana guru mampu membawa dan mengembangkan tradisi lisan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Hal tersebut didukung dengan adanya tradisi lisan yang sudah digubah dalam bentuk teks, audio/video rekaman, dan dalam lagu-lagu daerah. Hal tersebut memungkinkan guru mengembangkan dan menggali potensi daerahnya terhadap pengembangan tradisi lisan daerahnya. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis mengungkapkan beberapa gambaran tradisi dan modernitas sastra lisan masyarakat besemah dan mengaplikannya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis saintifik khusus pada tradisi lisan andai-andai dan meringit. 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini mengunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris dilakukan oleh masyarakat tuturnya dalam tradisi lisan, sedangkan secara kualitatif bertujuan mengungkapkan isi dan pesan-pesan atau maksud yang terkandung dalam tradisi lisan jika dihubungkan dengan pembelajaran di sekolah (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Metode analisis isi merupakan metode yang memberikan perhatian pada isi pesan, dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi, pemaknaan isi komunikasi lisan, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi (Ratna, 2010:48-49). Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penutur, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen. Dengan kalimat lain, isi komunikasi pada dasarnya juga mengimplikasikan isi laten, tetapi belum tentu sebaliknya. Objek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna. Data diperoleh menggunakan teknik observasi, dokumentasi, dan pencatatan. Penelitian ini menggunakan. 3. Pembahasan (isi: 11pt, Times New Roman, Justify)
Tradisi merupakan kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota
masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau kegamaan (Sobenadio dalam Esten, 1992:14). Menyalahi tradisi berarti keluar dari sistem yang ada, berarti pula mengganggu keselarasan serta merusak tatanan dan stabilitas (baik dalam hubungan yang disampaikan secara lisan. Sastra lisan adalah cerita yang disebarluaskan dari mulut ke telinga, tersebar secara lisan dan diwarisi secara turun temurun. Hal tersebut sebelumnya juga dipertegas oleh Endraswara (2003:151) bahwa sastra lisan sebenarnya adalah kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Jadi, tradisi sastra lisan adalah kesusastraan warga suatu nilai kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Modernitas merupakan suatu konsepsi kebudayaan yang tumbuh dalam peradaban manusia sebagai akibat kemajuan manusia (Sumantri dalam Esten,1992:15-16). Itu artinya modernitas merupakan nilai dasar yang penerapannya harus disesuaikan dengan pandangan hidup suatu bangsa atau masyarakat. Hal itu juga dinyatakan oleh Bradbury (1972:8) bahawa pemikiran, kepercayaan, dan ideologi merupakan instrumen yang esensial dan modernitas baik berbentuk kecerdasan, inovasi pengetahuan yang abstrak, atau pernyataan akal, praduga, dan anggapan dari dialog sosial umumnya. Jadi, modernitas dapat digambarkan sebagai sebuah titik puncak yang logis dari pengetahuan, pandangan yang rasional, dan manusia dari manusia menjadi unsur di dalam relistas sosial yang utama melalui pikiran, kesenian, gaya hidup, usaha yang terus menerus terhadap pencabutan dari keterkaitan masa lalu. Proses transormasi terjadi disebabkan oleh terjadi dialog antara nilai budaya etnis dengan nilai budaya Barat bersifat universal, terjadi dialog antaretnis yang bisa diterima bersama, dominananya nilai budaya etnis tertentu, dan transformasi dalam tahap transisi (Esten, 1992:22). Itu artinya tradisi bukan hanya produk masa lalu, tetapi juga bagian masa transisi yang panjang, yakni ketegangan antara transisi dan modernitas. Adapun ciri-ciri sastra lisan (Suripan, 1991:3), yaitu (1) Penyebaran melalui mulut maksudnya dituturkan oleh tukang dendang, penutur, dan pelipur lara dengan bahasa lisan (dari mulut ke mulut). (2) Lahir dalam masyarakat yang tradisional atau masyarakat desa. Menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat sebab sastra lisan merupakan warisan budaya yang menggambarkan budaya masa lampau. (3) Tidak diketahi siapa pengarangnya (anonin) karena itu menjadi milik masyarakat secara kolektif. (4) Bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang. Ini dimaksudkan
untuk menjaga supaya sastra lisan itu tidak cepat berubah. (5) Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, bahkan lebih mementingkan aspek khayalan/ fantasi yang kurang diterima oleh masyarakat modern. (6) Terdiri atas berbagai versi. Menggunakan gaya bahasa lisan ( sehari-sehari), mengandung dialek, dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap. 1). Tradisi dan Moderintas dalam Sastra Lisan Masayarakat Besemah (Subjudul: 11pt, Times New Roman, Left, Bold)
Adanya interaksi, perkembangan, dan kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya modernisasi dalam sastra lisan masyarakat Besemah, tetapi hal tersebut tidak mengurangi kebiasaaan masayarakat Besemah dalam melaksanakan aktivitas pada sauatu kebudayaannya. Sastra lisan Besemah mampu menyeseuaikan dengan perekmbangan dan kebutuhan masyarakat dalam suatu kebudayaannnya hingga dapat tumbuh dan berkembang sampai sekarang, seperti meringit dan andai-andai. Meringit ini merupakan pantun yang dilagukan dengan diringi gitar, sedangkan andai-andai merupakan cerita atau dongeng pada dunia anakanak yang biasanya disampaikan oleh ibu-ibu masyarakat besemah sebagai pengantar tidur pada anaknya. Berikut ini diuraikan beberapa alasan sehingga terciptanya modernitas sebuah tradisi sebagai berikut. a. Adanya Cerita Rakyat yang Tersebar Secara Lisan pada Warga Masyarakat Besemah Cerita rakyat masyarakat Besemah disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Besemah. Cerita rakyat in atau disbut oleh masayakat Besemah dengan andai-andai dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukkan. Adapun unsur seni pertunjukkan, yaitu pencerita, pendengar, peralatan, waktu, tempat, dan tujuan bercerita. Penutur cerita umumnya dismapaikan oleh orang tua berkisar 50 tahunan, sedangkan anak-anak dan remaja atau anak muda hanya dominan senang mendengarkan saja tapa ada usaha untuk memahami dan menceritakannya kembali. Cerita ini disampaikan oleh ibu, ayah, nenek, kakek, atau orang yang lebih tua yang mereka kenal. Peralatan bercerita, yaitu bakul sirih, rokok, dan makanan serta minuman. Peralatan ini tidak meruapakan suatu ketentuan yang harus ada tergeantung pada kondisi pencerita. Pendengar, umumnya pendengar tidak terbatas hanya berkisar dua hingga lima belas orang. Lebih dari itu akan kurang efektif dan menyebabkan cerita yang dsampaikan kurang jelas. Waktu bercerita, waktunya pada pelaksanaan pesta, menuai padi, menjelang tidur, serta pada saat santai. Tempat bercerita, yaitu di sawah, berna rumah, pondok, maupun di tempat tidur. Itu artinya tempat cerita tidak memerlukan tempat
yang khusus. Tujuan bercerita, yaitu mendidik, mengungkapkan sejarah, mengetahui asalusul suatu tempat atau nama, dan menghibur. b. Adanya Beberapa Kepercayaan yang Dianggap oleh Warga Masyarakat Besemah Sidang belawang diangkat sebagai tanda untuk mengenang putra dari Ratu Begil di Kecamatan Kikim. Tembang ini khusus digunakan pada saat muda-mudi meingggal atau orang yang meninggal dalam usia muda. Dalam melantunkan tembang, tembang dilantunkan berbalasan antara orang yang ditinggalkan dengan orang yang mewakili orang yang telah meninggal dunia tersebut. Awalnya kisah ini dialami oleh putri raja (Baju Abang) Tanjung Aur yang meningggal sebelum sempat dinikahi secara resmi. Namun, untuk menghormati kesaktian dan keberadaan Ratu Begil pada saat itu masyarakat Pagar Jati dan sekitarnya menjdaikan hal itu sebagai simbol untuk mengingat yang mulia penguasa Ratu Begil. Masyarakat Besemah mengonvensikan peristiwa itu sebagai peristiwa bersejarah dan patut dijadikan pelajaran bagi kaum raja untk tidak memperkerjakan calon menantu sebelum dinikakan. Diyakini oleh masayarakat Besemah bahwa hal itu akan membawa bencana. Biasanya tembang ini ditembangkan pada saat mengisi kesunyian tuan rumah pada saat nige akhi (tiga hari). Tujuan kegiatan ini untuk mengingatkan keluarga yang ditimpa untuk tetap sabar dan tabah menerima cobaat itu sehingga lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tembang ini dismapaikan oleh ketua masyarakat. c. Adanya Beberapa Adat Istiadat atau Budaya Tradisi yang Diwariskan Secara Turuntemurun Menjadi Latar Belakang Terciptanya Lagu atau Tembang Daerah Besemah Seni tembang merupakan sebuah pertunjukkan tradisional yang tercipta atas kreativitas masayrakat dan berkembang secara turun temurun pada mayarakat Besemah. Seni ini dsampaikan pada saat acara syukuran, hajatan, musibah kematian, acara perpisahan, dan acara bekhusik bagi bujang-gadis. Pertunjukkan umumnya dsiampaikan oleh orang tua, baik laki-laki atau perempuan. Tidak jarang pertunjukkan tembang juga dilakukan oleh kaum muda-mudi, misalnya tembang Nasib, Rawas, Serai Serumpun, Erai-erai, Ribu-ribu, dan Sidang Belawang. Kemajuan dan perkembangan teknologi memengaruhi alat yang digunakan oleh penembang yang semulanya tidak menggunakannya. Alat pengiring yang digunakan dalam pertunkukkan tembang adalah gitar. Dalam pertunjukkan tembang, pemetik gitar dalam pertunjukkan tembang, pemetik gitar dan penembang bendiri sendiri, tetapi tidak jarang
antara pemetik gitar dan penembang melantunkan tembang secara berbalas-balasan (pantun bersahut). Tradisi pantun bersahut tersebut dilakukan pada saat kaum muda-mudi melakukan acara bekhusik, yakni dalam acara pernikahan. Konteks ini tembang dilakukan, yaitu riburibu. Selain itu, tembang dilakukan juga saat perpisahan dan kematian atau musibah. Waktu digunakan untuk melaksankan pertunjukkan meringit ini dilakukan pada malam hari antara pukul 23.00 – 04.00 WIB. Pertujukan tembang umumnya dilaksanakan setelah acara pokok dalam suatu sedekah atau hajatan selesai. Meringit bagi muda-mudi dilakukan sampai hari menjelang siang atau acara pernikahan atau saat bekhusik. Bekhusik merupakan acara yang dikhusukan bagi muda-mudi dalam rangka menjalin silaturahmi antara pendduduk yang satu dengan yang lain atau saling mengenal antarmuda-mudi atau dalam mencari pasangan hidup. Sebelum pertunjukkan tembang dilaksanakan, tuan rumah yang hajatan akan mengundang penembang dan tukang gitar. Syarat mutlaknya setelah pelaksanaan tembang dengan memberikan tingkat (tempat nasi dan sayur). Dengan tingkat dimaksudkan bahwa tuan rumah memberikan tanda syukur atau terima kasih yang tulus kepada penembang dan tukang gitar. Isi tingkat tersebut berupa gulai ayam kampung dan nasi secukupnya. Peksanaan tembang diatur oleh tuan rumah atau oleh penembang. Biasanya dilakukan setelah pokok hajatan selesai, seperti tembang ribu-ribu saat acara bekhusik muda-mudi, tembang erai-erai dilaksanakan saat perpisahan, dan tembang sidang belawang pada saat kematian. d. Adanya Sejarah Tradisi Budaya Masyarakat Besemah Cerita andai-andai pada masyarakat Besemah dapat berupa cerminan kehidupan manusia. Dalam cerita andai-andai terdapat tokoh manusia, binatang dan benda-benda alam. Melalui tokoh-tokoh ini pencerita dapat bercerita mengenai kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah cerita dapat diceritakan tokoh-tokoh binatang. Tokoh binatang diceritakan sebagai cerminan dari kehidupan manusia, misalnya dalam cerita tokoh bintang dilengkapi dengan perasaan dan akal seperti manusia. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu cerita yang memberikan sindiran ataun kiasan terhadap perbuatan manusia itu sendiri. Orang tua tidak mau secara langsung memberikan pelajaran atau nasihat kepada seseorang, tetapi pelajaran atau nasihat itu dapat dsampaikan sambil bercerita. Selain memperlihatkan tokoh binatang, cerita lisan andai-andai pada masyarakat Besemah juga menampilkan tokoh manusia. Tokoh manusia ditampilkan bukan hanya
bertujuan menghibur, tetapi sekaligus memberi gambaran langsung kepada pendengar. Dengan adanya cerita tersebut, pendengar dapat memetik nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita itu. Dari cerita dapat diambil pesan bahwa setiap perbuatan manusia itu ada karmanya. Orang yang selalu berbuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan juga, sedangkan orang yang mempunyai sifat jahat, iri, dengki, akan mendapatkan balasan setimpal. Hidup bersama dan keserasian berteman harus diperjuangkan sedimikian rupa. Hal itu sesuai dengan pendapat Robson (dalam Esten, 1993:4) menyatakan bahwa sastra lisan memegang peranan untuk jangka waktu lama sehingga dapat dijadikan pedoman bagi orang banyak. Begitu kuat pengaruhnya pada masyarakat sehingga memberi pikiran dan membentuk norma baik sesama saat ini, maupun yang akan datang. e. Adanya Tata Kelakuan dan Kebiasaan Orang-orang Suku Besemah yang Bertempat Tinggal di Gunung atau Perbukitan dan Aliran Sungai. Tradisi masyarakat Besemah yang tinggal umumnya di daerah aliran sungai, yaitu menangkap pada saat air sungai mengalami surut saat musim kemarau. Aktivitas tersebut dinamakan dengan ngakha dan ngipun. Ngakha maksudnya mencari ikan dengan mengerikan daerah tertentu sehingga ikan mudah ditangkap. Ngipun maksudnya mencari anak ikan dengan memasang sangkak atau bubu sejenis perangkap yang diarahkan ke hilir sungai. Itu dilakukan agar ipun lebih mudah masuk dalam perangkap karena ipun akan berbondongbondong melewati aliran sungai dari hilir ke hulu. Ipun ini merupakan ikan muara atau berbatasan laut dengan sungai. Ipun kecil ini yang ribuan bahkan jutaan ekor akan menuju ke hulu sungai. Saat melakukan aktivitas seharian inilah bahwa masyarakat sering melakukan menembang sambil menunggu hasil tangkapan ikannya. Persoalan yang dibahas dalam meringit menyangkut peruntungan dalam menjalani hidup dan persoalan perpisahan. Persoalan yang menyangkut rasa penyesalan seorang yang mengalami nasib yang tidak bertuah dalam menjalani hidup. Meringit nasib, mengisahkan keadaan hidup aku lirik sebagai seorang yang tidak beribu dan tidak memiliki bapak umang. Uamang bagi masayarakat Besemah identik dengan satu atau hidup sebatang kara. Persoalan kedua mengenai kekecewaan terhadap sanak saudaranya. Rasa kecewa terhadap keberadaan hidup yang tidak dihiraukan oleh keluarga serta sanak saudara di kampung halaman, seperti pada tembang rawas. Kekecewaan aku lirik terhadap sanak saudaranya. Adapun persoalan lain tentang kekecewaan terhadap usaha yang gagal, terutama kegagalan dalam mencari
nafkah. Itu artinya nasib, rawas, dan serai serumpun dikategorikan ke dalam kelompok pertama. Persoalan kedua yang terdapat dalam tembang masyarakat Besemah mengenai persoalan perpisahan. Perpisahan yang diungkapkan dari ketiga tembang pada kelompok ketiga, yaitu perpisahan dengan orang tua, perpisahan dengan kekasih, dan perpisahan dengan pasangan hidup. Hal itu terdapat pada tembang Erai-erai, Ribu-ribu, dan Sidang Belawang. Memahmi nilai tradisi lisan masyarakat Besemah tidak terlepas dari pemahaman makna dalam seni tembang, yaitu adanya keterkaitan beberapa sisi pokok dalam segitiga semiotik (Zoest, 1993). Ground sebagai teks tembang berupa tanda yang bermakna. Denotatum merupakan dua kemungkinan yang ditunjuk oleh teks tembang berupa pengalaman pribadi pengarang maupun realitas kehidupan masyarakat. Interpertant meruapakan suatu reaksi yang timbul diri pendengar atau penikmat tembang setelah menyaksikan tembang. Nilai yang terkandung dari tradisi lisan masyarakat Besemah banyak mengungkapkan tentang makna sosial masyarakat dan tentang cinta kasih sesama manusia. Adapaun nilai cerita atau andai-andai masyarakat Besemah dalam makna sosialnya, yaitu kecerdikan ketabahan (Langkah Panjang), kehati-hatian, suka bekerja (Kera Kurus), rendah hati, memanfaatkan lingkungan (Sinam Nam Tujuh Bersaudara dan Beteri Bersuamikan Ular), tolong menolong (Beteri Bersuamikan Ular), dan besikap adil (Kera Kurus). Adapaun nilai cerita atau andai-andai masyarakat Besemah dalam makna cinta kasih sesama manusia, yaitu kesetiaan pada pasangan (Beteri Bersuamikan Ular), patuh terhadap orang tua (Beteri Bersuamikan Ular), menepati janji (Kera Kurus), dan kasih sayang (Janji Raja). Adapun seni tembang memiliki fungsi sebagai alat hiburan dalam rangka memeriahkan berbagai acara atau hajatan yang dilakukan. Selain itu, seni tembang dari sisi diri penembang, pendengar, dan bagi yang melkukan hajatan. Bagi penembnag, sebagai ekspresi pengalaman, ajakan serta kritik atau nasihat. Bagi pendengar, mengingatkan, menyarankan, serta memberi petunjuk terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Bagi yang punya hajatan, sebagai saran dan nasihat, serta solusi dalam menghadapi berbagai hal yang sedang berkembang. 2) Implikasi Tradisi Lisan Masyarakat Besemah dalam Pembelajaran Implementasi tradisi sastra lisan Besemah dilakukan dengan menggali nilai-nilai karakter berdasarkan metode terjemahan yang dilakukan dalam pembelajaran puisi dan prosa
pada
pendekatan
mengomunikasikan.
saintifik,
yaitu
Permendikbud
mengamati, No.65
menanya,
Tahun
2013
menalar, tentang
mencoba, Standar
dan
Proses
mengamanatkan penggunaan pendekatan saintifik dengan menggali informasi melalui mengamati, menanya, mengeksplorasi, menalar, dan mencoba. Tahap mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Siswa mengamati tayangan tembang atau teks cerita rakyat Besemah kemudian mentranskripsikannya atau menginterpretasikannya dengan metode terjemahan serta menemukan berbagai permasalahan yang ada dalam tradisi lisan tersebut, seperti alur, tema, amanat, gaya bahasa, sudut pandang, penokohan, dan setting. Selain itu, siswa dapat juga menentukan rima, gaya bahasa, makna, dan ungkapan yang terdapat dalam tembang meringit tersebut. (2) Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari „bertanya‟. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL). Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pelaksanaaan pembelajaran. Siswa dalam mengajukan pertanyaan didorong rasa ingin tahu. Setiap pertanyaan merupakan saat yang berguna karena saat ini akan memusatkan seluruh perhatian untuk memahami sesuatuyang baru. Setiap pertanyaan yang diutarakan menunjukan bahwa siswa menyadari adanya suatu masalah. Siswa merasa kekurangan pengetahuan seputar materi yang diajarkan oleh guru. Guru harus mampu merangsang minat siswa bertanya serta mampu merespon setiap pertanyaan dengan baik. Keterampilan bertanya yang harus dimiliki siswa ketika bertanya yaitu frekuensi pertanyaan selama proses pembelajaran, substansi pertanyaan, bahasa, suara, dan kesopanan. Kegiatan bertanya ini dilakukan oleh siswa dalam menggali informasi yang terdapat dalam tradisi lisan tersebut. Pertanyaan tersebut berupa unsur yang terdapat dalam cerita maupun dalam tembang dan bebrapa pemakaian bahasa yang digunakan yang dirasa kurang dapat dipahami oleh siswa. Pertanyaan ini bisa dikemukakan oleh siswa kepada temannya atau dengan guru. Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah. Istilah menalar di sini merupakan padanan
dari associating. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Kegiatan menalar ini merupakan proses pemahaman siswa dalam memahami kompetensi yang diinginkan dalam pembelajaran sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam karya sastra tradisi lisan melalui beberapa pertanyaan yang dikemukakan. Hal itu dapat dilakukan melalui diskusi kelompok kecil atau berpasangan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dibahas. Kegiatan ekplorasi/mencoba adalah kegiatan pembelajaran yang didesain agar tecipta suasana kondusif yang memungkinkan siswa dapat melakukan aktivitas fisik yang memaksimalkan pengunaan panca indera dengan berbagai cara, media, dan pengalaman yang bermakna dalam menemukan ide, gagasan, konsep, atau prinsip sesuai dengan kompetensi mata pelajaran. Dalam kegiatan eksplorasi, guru: (1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip belajar dari aneka sumber; (2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; (3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; (4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan (5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di kelas dengan menampilkan tradisi lisan yang dipelajari, misalnya bercerita dan betembang atau meringit. Tahap
mengomunikasikan. Pada tahap ini peserta didik memaparkan hasil
pemahamannya terhadap suatu konsep/bahasan secara lisan atau tertulis. Mengomunikasikan berbagai unsur cerita dan unsur tembang serta nilai-nilai karakter di dalam karya satra tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan presentasi hasil kegiatannya di dalam kelompok mapun secara klasikal. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagan setiap tahapan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Bahasa Pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pendekatan ilmiah apabila memenuhi tujuh kriteria pembelajaran (Komara, 2013). Pertama, materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu. Kedua, penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru siswa terbebas dari prasangka yang serta merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. Ketiga, mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. Keempat, mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan dari materi pembalajaran. Kelima, mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. Keenam, berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung jawabkan. Ketujuh, tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. 3. Simpulan Tradisi bukan saja bisa berdampingan dengan modernitas, tetapi dapat memperkuat tradisi demi perkembangan dan kemajuan, salah satunya melalui dunia pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, tradsisi dan modernitas tradisi lisan meringit dan andai-andai masyarakat Besemah, yaitu (1) latar belakang terciptanya modernitas sebuah tradisi (a) adanya cerita rakyat yang tersebar secara lisan pada warga masyarakat Besemah, (b) adanya beberapa kepercayaan yang dianggap oleh warga masyarakat suku Besemah, (c) adanya beberapa adat istiadat atau budaya tradisi yang diwariskan secara turun temurun menjadi latar belakang terciptanya lagu atau tembang daerah suku Besemah, (d) adanya sejarah budaya, (e) adanya tata kelakuan dan kebiasaan orang-orang suku Besemah yang bertempat tinggal di gunung atau perbukitan dan aliran sungai. (2) Nilai yang terkandung dari tradisi lisan masyarakat Besemah banyak mengungkapkan tentang makna sosial masyarakat dan tentang cinta kasih sesama manusia. Implementasi tradisi sastra lisan Besemah dilakukan dengan menggali nilai-nilai karakter berdasarkan metode terjemahan yang dilakukan dalam
pembelajaran puisi dan prosa pada pendekatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. Pustaka Acuan Arono. 2004. “Bahasa Besemah di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Kaur: Sebuah Kajian Giografi Dialek”. Padang: Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London: Basil Blakwell & Mott Limited. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Esten, Mursal. 1992. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara. Jakarta: Intermasa. Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga. Komara, Endang. 2013.”Pendekatan Saintifik dalam Kurikulum 2013”. http://endangkomarasblog.blogspot.com/2013/10/pendekatan-scientific-dalamkurikulum.html. Bengkulu, 16 Maret 2014. Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar. Suripan, Sadi Hotomo. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan: Jatim: HISKI. Zoest, Art Van. 1993. Semiotik dan Cara Kerjanya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. (isi daftar pustaka: 11pt, Times New Roman, Justify)
BIODATA PENULIS
Arono lahir di Bengkulu, 14 Maret 1978. Sekolah Dasar Negeri Padang Leban lulus tahun 1989, SMPN 1 Seluma lulus tahun 1992, dan SMAN 1 Seluma lulus tahun 1995. Setamat SMA, ia melanjutkan ke jenjang S-1 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang lulus tahun 1999. Tahun 2001, Arono mendapat kesempatan melanjutkan S-2 di universitas yang sama, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia lulus tahun 2004. Tahun 2004 itu juga, ia diterima sebagai dosen tetap di Universitas Bengkulu. Setelah enam tahun mengabdi sebagai dosen, Tahun 2010, Arono melanjutkan ke Program Doktor (S-3) Pendidikan Bahsa Indonesia, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Lulus 21 Juni 2013. Beberapa kegiatan atau penulisan jurnal atau persentasi ilmiah tingkat nasional, internasional, maupun regional telah diikutinya, baik sebagai pemakalah/penyaji maupun sebagai peserta dalam bidang pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Untuk kepentingan akademik, penulis dapat dihubungi posel:
[email protected] (biodata penulis: 11pt, Times New Roman, Left) *Silakan save as file ini untuk menyalin format ukuran kertas, halaman, dan sebagainya yang berhubungan dengan pembuatan makalah ISL2E I 20014. Nama penulis: Judul makalah ( harus 1baris; jika berlebih hilangkan dengan tanda …)