HIKAYAT ALI KAWIN: SUNTINGAN TEKS DAN NILAI-NILAI RELIGI DALAM TEKS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Anis Rozanah 1112013000063
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
ABSTRAK
ANIS ROZANAH, 1112013000063, “Hikayat Ali Kawin: Suntingan Teks dan Nilai-nilai Religi dalam Teks serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Muhammad Nida’ Fadlan, M.Hum. Desember 2016. Naskah kuno merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Indonesia. Naskah menjadi bukti bersejarah dalam pencatatan berbagai kehidupan yang telah dilalui oleh orang zaman dahulu, baik dari segi kebudayaan, sejarah, sastra dan segi lainnya. Memahami teks yang terkandung dalam naskah kuno memerlukan keahlian dalam memahami aksara. Memahami aksara memerlukan adanya disiplin ilmu, salah satunya menggunakan ilmu filologi. Data penelitian yang dipakai berupa ungkapan dan narasi dalam Hikayat Ali Kawin yang kental dengan nilai religi. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam menganalis data adalah pendekatan filologi dengan metode naskah tunggal. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah Hikayat Ali Kawin naskah koleksi dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 58. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa nilai religi dalam Hikayat Ali Kawin berupa dimensi aqidah, syariat, dan akhlak. Aqidah yang ditemukan berupa iman kepada Allah, malaikat, Al-Quran, Nabi Muhammad, surga dan neraka, dan takdir. Adapun syariat di dalam teks berupa kegiatan ibadah, seperti sholat, dzikir, dan berdoa. Terakhir dari segi akhlak adalah amanah, kasih sayang, tolong menolong, malu dan berlaku sederhana. Implikasi dalam pembelajaran sastra di sekolah mengenai nilai religi dapat direpresentasikan pada tingkat SMA dengan standar kompetensi membaca melalui materi memahami berbagai hikayat.
Kata kunci: filologi, Hikayat Ali Kawin, suntingan teks, dan nilai religi.
ABSTRACT ANIS ROZANAH, 1112013000063, “Hikayat Ali Kawin: Edits Text and Religious Values in the text as well as the implication for Learning Literature in School”. Education Department of Indonesian Language and Literature, Faculty of Science and Teaching of MT, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Muhammad Nida' Fadlan, M.Hum. December 2016 Ancient manuscript is one of the cultural heritage of Indonesia. Manuscript into the historical evidence in recording a variety of life that has been passed by the ancients, both in terms of culture, history, literature and other aspects. Understanding the text contained in ancient manuscripts require expertise in understanding the script. Understanding script requires their disciplines, one of which uses the science of philology. The research data used in the form of expression and narrative in Hikayat Ali Kawin is thick with religious values. The wide approach used in the study analyzes the ambassador is philological approach with single script method. The data used in the study is Hikayat Ali Kawin manuscript collection of the National Library of Republic of Indonesia with the call number ML 58. Based on research, it can be concluded that the value of religion in the form of dimensional Hikayat Ali Kawin are aqidah, shari’at, and akhlaq. Aqidah found such faith in God, angels, the Koran, the Prophet Muhammad, heaven and hell, and destiny. The Shari'at in text form of worship, such as prayer, dhikr, and praying. Finally in terms of morals is a trust, compassion, helpfulness, shame and modest. Implications in teaching literature at school on religious values can be represented at the high school level by the standards of competence to read through the material to understand the tale. Keywords: philology, Hikayat Ali Kawin, text editing, and religious values
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat, karunia, pertolongan dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hikayat Ali Kawin: Suntingan Teks dan Nilai-nilai Religi dalam Teks serta Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Selawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya ke jalan hidayah dan keberkahan, yakni yang telah diridhai Allah SWT. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penyelesaian skripsi ini tentu saja penulis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka dalam kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan dalam penyelesaian skripsi ini; 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini; 3. Muhamad Nida’ Fadlan, M.Hum., dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kerelaan dan kesabaran meluangkan waktunya untuk mengoreksi, memberikan masukan, dan meyakinkan bahwa penulis mampu menyelesaikan skripsi ini; 4. Rosida Erowati, M.Hum., dosen penasihat akademik yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 5. Seluruh Dosen FITK dan PBSI yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, selama penulis menjadi mahasiswa di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;
i
6. Ungkapan teristimewa kepada kedua orang tua penulis yang telah merawat, membesarkan, dan mendukung penulis dalam menggapai cita-cita. Tanpa dukungan keduanya, penulis tidak bisa apa-apa. 7. Seluruh saudara kandung penulis, Kak Aunur, Abang Rosyid, Kak Ana, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. Adik Faizah dan Tazki yang sudah memberikan hiburan di kala penulis kesulitan dalam mengerjakan skripsi ini; 8. Seluruh Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren Al-Itqon dan Pesantren Luhur Sabilussalam yang telah membimbing penulis. 9. Seluruh mahasiswa PBSI angkatan 2012, terima kasih atas pengalaman berharga yang penulis dapatkan selama ini. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Haiza Hazrina, Sa’adah Abadiyyah, Aufalina Husna, Siti Sarah Ismiani, Hasna Puspita Sari, Bernika Liana, dan Titih Sundari yang telah mendukung, mengingatkan, memberi kritik dan saran, dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini; 10. Teman-teman penulis, Siti Syarifah Awaliah, Izzati Sayyidah, Syarifah Alawiyah, Fitri Vebiyanti, Syfa Alawiyah, Ai Inayah, Samih Puspawati, Bang Ahmad Haitami, dan Miftahul Huda yang sudah membantu dan memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 11. Serta kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari dalam skripsi ini terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama dalam kajian filologi tentang nilai religi dalam hikayat. Jakarta, 29 Desember 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang..........................................................................
1
B. Identifikasi Masalah .................................................................
5
C. Pembatasan Masalah ................................................................
6
D. Perumusan Masalah ..................................................................
6
E. Tujuan Penelitian .................................................................. ...
6
F. Manfaat Penelitian .................................................................. .
7
G. Metode Penelitian .................................................................. ..
7
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Filologi............................................................................. ....
11
B.
Hikayat................................................................ ..............................
14
C.
Unsur Intrinsik ..................................................................................
16
D. Nilai-nilai Religi................................................................................
20
E.
Hakikat Pembelajaran Sastra .............................................................
22
F.
Penelitian yang Relevan ...........................................................
23
BAB III HIKAYAT ALI KAWIN: NASKAH DAN TEKS A. Inventarisasi Naskah .........................................................................
iii
25
B.
Deskripsi Naskah...............................................................................
26
C.
Pedoman Transliterasi .......................................................................
27
D. Pedoman Suntingan dan Terjemahan Teks .......................................
32
E.
35
Suntingan dan Terjemahan Hikayat Ali Kawin .................................
BAB IV ANALISIS TEKS HIKAYAT ALI KAWIN A.
Sinopsis Hikayat Ali Kawin ..............................................................
50
B.
Unsur Instrinsik Hikayat Ali Kawin ..................................................
52
C.
Nilai-nilai Religi dalam Hikayat Ali Kawin ......................................
67
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah .............................
77
BAB V PENUTUP A. Simpulan..................................................................................................
79
B. Saran ........................................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
81
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Penoman transliterasi bahasa Arab ..................................................
21
Tabel 3.2 Huruf vokal bahasa Arab ................................................................
22
Table 3.3 Vokal panjang bahasa Arab .............................................................
23
Tabel 3.4 Huruf Melayu ...................................................................................
25
Table 3.5 Suntingan dan Terjemahan Hikayat Ali Kawin ................................
28
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
: Lembar Uji Referensi
Lampiran II
: RPP
Lampiran III
: Naskah Hikayat Ali Kawin
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Naskah kuno merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Indonesia. Naskah menjadi bukti bersejarah dalam pencatatan berbagai kehidupan yang telah dilalui oleh orang zaman dahulu. Peninggalan-peninggalan masa lampau memberikan banyak pengetahuan dan informasi mengenai kehidupan nenek moyang. Berbagai peninggalan nenek moyang telah banyak ditemukan, seperti candi-candi, prasasti-prasasti, dan naskah-naskah yang dapat dipelajari dari warisan budaya. Dari sanalah dapat diketahui pengetahuan tentang kebudayaan dan peadaban berabad-abad lamanya. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat memberikan warna bagi kearifan lokal Nusantara. Naskah sebagai salah satu benda warisan budaya Nusantara memiliki kelebihan dibanding peninggalan lain. Banyaknya informasi yang diberikan, menempatkan naskah menjadi salah satu catatan sejarah bagi kebudayaan masa lampau. Melalui naskah, dapat diketahui berbagai macam ilmu yang telah ada pada zaman dahulu. Beraneka ragam persoalan yang dibahas dalam naskah seperti sastra, bahasa, pendidikan, sejarah, persoalan keagamaan dan sebagainya
dapat
dimanfaatkan
sebagai
sumber
pengetahuan
untuk
memperkaya atau mengembangkan peradaban saat ini. Naskah merupakan benda yang mudah lapuk, hal tersebut disebabkan oleh cuaca, cara perawatan yang kurang baik, ataupun serangga. Dalam naskah koleksi pribadi masih adanya anggapan bahwa naskah merupakan benda yang dikeramatkan, sehingga penempatan naskah yang dipusakakan tersebut tidak terjamah. Naskah yang dikeramatkan biasanya disimpan di lemari atau tempat penyimpanan yang dikhususkan. Namun, dalam segi perawatannya tidak diperhatikan. Kegiatan membacanya pun hanya orang tertentu atau keturunannya saja, bahkan ada di beberapa tempat, naskah digunakan pada saat-saat tertentu saja.
1
2
Pada dasarnya dalam suatu naskah terdapat informasi berupa isi pembahasan dari naskah itu sendiri. Isi naskah berupa teks. Teks dalam suatu naskah tidak hanya membahas satu persoalan. Naskah bisa terdiri dari beberapa teks. Teks-teks tersebut tentunya berisi informasi dan pengetahuan. Agar memahami informasi dan pengetahuan dalam teks, pembaca harus menguasai isi kandungannya. Memahami isi kandungannya harus didukung dengan ilmu yang memadai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam teks. Selain itu, pembaca harus memiliki kemampuan membaca aksara pada zaman dahulu. Memahami teks yang terkandung dalam naskah memerlukan keahlian. Keahlian dari segi aksara berikut ejaan, bahasa, dan budaya. Naskah mengandung perbedaan waktu dan budaya karena jarak yang jauh dengan masa sekarang, maka pembaca perlu menguasai keahlian yang telah disebutkan. Keahlian mengenai aksara berikut ejaannya wajib diperlukan untuk membantu membacanya. Segi keahlian bahasa juga diperlukan karena dalam memahami teks perlu menguasai tatabahasa yang ada, sehingga makna dalam teks tersampaikan. Terakhir, tanpa mengetahui konteks budaya pada masa penulisannya atau kisah yang diceritakannya, seseorang akan dianggap belum memahami maksud penulisan naskah tersebut. Munculnya aksara merupakan suatu penemuan luar biasa dalam peradaban manusia. Melalui aksara manusia dapat menyimpan gagasan, norma, sistem nilai, dan berbagai macam perangkat budaya dalam waktu yang tidak terbatas sebagai “catatan bersama” untuk dijadikan sebagai acuan, titik tolak, ataupun “bahan ajar” dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aksara dapat menjadi sarana komunikasi yang melintasi ruang dan waktu. 1 Aksara sebagai catatan bersama dan sarana komunikasi generasi masa lalu memerlukan adanya disiplin ilmu dalam meneliti teks. Oleh karena itu diperlukan sebuah pendekatan dalam menelaah teks.
1
Karsono H. Saputra, dkk, Naskah-Naskah Pesisiran, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2010), h. 4
3
Filologi sebagai ilmu tentang pengetahuan, juga menjadi sebuah pendekatan dalam menyunting teks. Tujuan dari menyunting teks itu sendiri yaitu memahami kebudayaan suatu bangsa melalui karya sastra, baik lisan maupum tulisan dan menemukan teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya. Oleh karena itu, filologi dianggap sebagai pendekatan yang pas dalam menelaah teks. Sastra Melayu pengaruh Islam bersumber dari Al-Quran, hadis, fikih, tasawuf, usuluddin, peristiwa, dan tokoh sejarah Islam. Berdasarkan sumber tersebut lahirlah berbagai karya sastra dengan maksud menggunakan dan menyebarkan ajaran, serta kepercayaan agama Islam. Banyak sekali hikayat yang mengisahkan kehidupan para nabi, kerabatnya, dan sahabatnya. 2 Bahkan persoalan dalam hikayat membahas mengenai nilai kehidupan, baik nilai budaya, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai moral, nilai religi, norma, hukum, dan lain sebagainya. Naskah Melayu merupakan salah satu karya sastra yang mengambil bagian penting dalam khazanah kesusastraaan di Indonesia. Tradisi penulisan sastra Melayu biasanya kental dengan keislaman. Salah satu karya sastra Melayu yang mengandung nilai-nilai keislaman
adalah hikayat. Hikayat
tumbuh dalam masyarakat seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara. Masuknya agama Islam membawa dampak dalam kandungan atau isi pemasalahan yang dibahas dalam hikayat. Hamid menyebutkan kesusastraan Melayu
yang bercorak
Islam
khususnya dalam bentuk hikayat mempunyai pertalian yang erat dengan kesuasastraan Islam yang muncul di negeri Arab sejak zaman permulaan Islam. Hikayat adalah satu istilah yang berasal dari bahasa Arab. Hikayat berkembang pada zaman jahiliyah mengisahkan cerita yang bercorak dongengan dan legenda yang mengagungkan tokoh pahlawan suku Arab. 3 Tokoh pahlawan Arab biasanya diceritakan tentang kehidupan tokoh Islam, 2
Edwar Djamaris, dkk, Sastra Melayu Lintas Daerah, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 316 3 Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Pustaka al-husna, 1989), h. 8
4
sahabat, kerabat, dan nabi-nabi mengenai kegagahan, kesabaran, ketaatan, dan lain sebagainya. Salah satu hikayat yang mengisahkan tokoh Islam adalah Hikayat Ali Kawin. Hikayat ini mengandung kisah kehidupan kerabat dan sahabat nabi. Di dalam hikayat tersebut banyak terdapat nilai-nilai religi yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan. Naskah Hikayat Ali Kawin merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pengarang dari hikayat ini tidak diketahui dan berasal dari mana. Hikayat ini kental dengan nuansa keislaman, bercerita tentang sahabat nabi dan ditulis menggunakan aksara Jawi. Penggunaan aksara Jawi dalam hikayat ini, tentunya merupakan sebuah keunikan tersendiri sebagai warisan karya sastra. Penggunaan aksara ini harus dilestarikan. Pelestarian warisan sastra ini tidak hanya dengan menyimpan naskah dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, dikaji dan dipelajari apa yang tertulis di dalamnya. Banyaknya naskah yang berada di perpustakaan, jika dibiarkan saja hanya akan tertumpuk dan tidak memiliki fungsinya. Hal ini disebabkan karena saat ini, tidak banyak orang yang dapat membaca aksara Jawi. Padahal di dalam naskah Hikayat Ali Kawin yang ditulis dengan aksara Jawi banyak nilai kehidupan yang dapat dipelajari. Salah satunya adalah nilai religi sebagai posisi yang tidak dapat terlepaskan dari kehidupan manusia. Hikayat yang masuk sebagai karya sastra lama saat ini masih jarang diminati oleh siswa. Selain karena rentan waktu yang begitu lama, banyak siswa yang tidak mengerti aksara yang digunakan pada saat itu. Oleh karena itu, penelitian ini penting guna membantu para siswa memahami teks. Hikayat memiliki pesan yang sarat akan nilai-nilai. Hikayat dapat dijadikan media untuk mentransformasikan nilai-nilai, khususnya nilai religi. Hikayat dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran nilai religi perlu dibangun guna meningkatkan kualitas hidup di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan nilai baca naskah kuno, karena telah dilakukannya transliterasi, sehingga mempermudah kalangan manapun untuk membaca naskah kuno. Selain itu, penelitian ini juga
5
diharapkan menjadi sumber pembelajaran sastra lama di sekolah. Jurang yang telah tumbuh antara sastra lama dan manusia modern akan bertambah besar bila tidak ada pemeliharaan yang terarah dalam bentuk pelajaran sekolah dan pengadaan buku mengenai sastra itu sendiri. Keterasingan ini telah menyebabkan orang enggan mempelajarinya, yang mengakibatkan karyakarya sastra lama tidak dipelihara dan akhirnya punah. 4 Penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut bagaimana gambaran nilai religi yang terdapat dalam naskah kuno. Bagaimana tokoh dalam cerita digambarkan dan perjalanan spiritual dalam cerita serta implikasinya dalam pembelajaran s astra. Selain itu, penulis juga berusaha menggali lebih dalam nilai religi yang terkandung dalam naskah, sebagai upaya melestarikan warisan budaya agar para generasi masa kini tertarik untuk membacanya. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul dalam penelitian ini: Hikayat Ali Kawin: Suntingan Teks dan Nilai-nilai Religi dalam Teks serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan penjabaran di atas, maka ditemukan beberapa identifikasi dalam penelitian ini: 1. Naskah kuno merupakan peninggalan kebudayaan Indonesia. Naskah kuno saat ini masih banyak yang belum diteliti padahal bertumpuk jumlahnya di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ketidakmahiran pembaca saat ini terhadap aksara lama menjadikan naskah kuno jarang diminati oleh masyarakat umum. 2. Di dalam naskah kuno terdapat berbagi pengetahuan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan untuk masa kini. Nilai religi dirasa tepat untuk dikaji dalam penelitian ini, karena sesuai dengan naskah yang telah dipilih. Namun, butuh keahlian khusus untuk membaca dan mengkaji naskah kuno. Maka filologi dipilih sebagai metode yang tepat untuk menganalisis teks dalam naskah. 4
Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 32.
6
3. Dari sekian banyaknya naskah yang berada di Perpustakaaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Ali Kawin merupakan naskah yang belum disunting oleh peneliti sebelumnya.Oleh karena itu, naskah ini akan disunting dan dialihaksarakan (transliterasi) untuk memudahkan kalangan luas dalam membaca naskah ini. 4. Sebagai pedoman hidup, nilai-nilai religi perlu ditanamkan dalam diri siapapun. Sekolah menjadi salah satu lembaga pendidikan yang turut ambil serta dalam penanaman nilai-nilai religi. Pembelajaran sastra lama dapat menjadi jalan dalam melestarikan nilai-nilai religi. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari hikayat-hikayat serta mengambil dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan masalah dapat difokuskan pada suntingan teks, analisis nilai-nilai religi yang terdapat dalam Hikayat Ali Kawin dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana suntingan teks Hikayat Ali Kawin agar dapat dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas? 2. Bagaimana nilai-nilai religi yang terkandung dalam Hikayat Ali Kawin? 3. Bagaimana implikasi nilai-nilai religi Hikayat Ali Kawin terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
7
1. Menyajikan suntingan teks Hikayat Ali Kawin agar dapat dimanfaatkan oleh kalangan pembaca yang lebih luas. 2. Menjelaskan nilai-nilai religi yang terdapat dalam Hikayat Ali Kawin 3. Menjelaskan implikasi nilai-nilai religi Hikayat Ali Kawin terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini pembaca diharapkan mendapat manfaat dari analisis isi Hikayat Ali Kawin dari segi nilai-nilai religi serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra yaitu, Melalui telaah isi naskah Hikayat Ali Kawin secara teoritis dapat menambah keragaman penelitian pernaskahan, khususnya di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun penelitian pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi bagi disiplin imu lainnya. Manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini pembaca tidak hanya diperuntukan orang ahli dalam bidang pernaskahan, akan tetapi pembaca yang belum mengerti aksara Jawi bisa membacanya. Pembaca dengan mudah memahami nilai-nilai religi dari kisah Hikayat Ali Kawin yang telah disunting.
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan disiplin ilmu filologi sebagai metode yang terkait dengan naskah Hikayat Ali Kawin. Metode filologi berarti pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian filologi. 5 Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan ketika menggunakan metode filologi dalam sebuah penelitian. Berikut ini tahapan-tahapannya: Tahap pertama: Penentuan teks yang akan dikaji sesuai dengan minat dari peneliti. Penentuan teks bergantung pada latar belakang dan bidang keilmuan 5
Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Yayasan Media Alo 2007), h. 72.
8
peneliti. Selain itu dalam menentukan teks yang dikaji, termasuk juga memilih bahasa yang digunakan dalam teks, karena akan sangat berpengaruh dalam mengkajinya. Menguasai bahasa naskah akan sangat memudahkan penelitian, seperti naskah yang dipilih oleh peneliti. 6 Peneliti memilih naskah ini karena menguasai bahasa yang digunakan yaitu bahasa Melayu, terutama aksara Jawi. Tahap kedua: Inventarisasi naskah. Maksudnya sebagai upaya secermatcermatnya dan semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah yang memuat salinan dari teks yang akan dikaji. Inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan menelusuri naskah yang telah dipilih melalui katalog baik yang dicetak maupun secara online, artikel-artikel, karya tulis, dan buku-buku yang membahas naskah terkait. 7 Tahap ketiga: Deskripsi naskah yakni melakukan identifikasi, baik terhadap kondisi fisik naskah, isi teks maupun identitas pengarang atau peyalin dengan tujuan menghasilkan deskripsi naskah secara utuh. Adapun aspek yang perlu dideskripsikan meliputi: kode dan nomor naskah, judul naskah, kondisi fisik, tanggal penyusunan, tempat, nama pengarang/penyalin, cap kertas, garis tebal, garis tipis, bahan naskah, jenis kertas, penomoran halaman, jenis tulisan, warna tulisan, jumlah baris tiap halaman, panjang dan lebar halaman, dan lain sebagainya. 8 Tahap keempat: suntingan teks atau dengan kata lain menyiapkan edisi teks yang bisa dibaca dan dipahami oleh khalayak luas. 9 Naskah Hikayat Ali Kawin merupakan naskah yang berada di Perpustakaan Nasional RI yang bernomor panggil ML 58. Berdasarkan pencarian dari berbagai sumber, ditemukan variasi naskah dengan judul Hikayat Fatimah. Hikayat Fatimah berada di Perpustakaan Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Mengingat jarak dan waktu yang terbatas, penulis memutuskan hanya meneliti
6
Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2015), hal. 69 7 Ibid,h. 74 8 Ibid, h. 77 9 Ibid, h. 88
9
naskah yang berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah Hikayat Ali Kawin tidak tertera pengarangnya. Penulis memilih menggunakan metode naskah tunggal dengan edisi kritis dalam penelitian ini. Edisi kritis adalah model suntingan yang dihasilkan oleh penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks dengan kualitas bacan terbaik (best readings). 10 Dalam hal ini penyunting tidak bisa begitu saja melakukan penyuntingan seadanya, melainkan melakukan berbagai hal. Bisa saja dengan memperbaiki, mengurangi, menambahkan, bahkan mengganti kata selama tidak jauh dengan makna aslinya. Kegiatan ini boleh saja dilakukan bila terdapat unsur yang tidak sinkron dan menyimpang dari kaidah-kaidah yang diyakini kebenarannya oleh penyunting. Robson mengungkapkan edisi kritis dari suatu naskah lebih banyak membantu pembaca. Pembaca dibantu mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual atau yang berkenaan dengan interpretasi dan terbebas dari kesulitas mengerti isi naskah. Kritis berarti bahwa penyunting itu mengidentifikasi sendiri bagian dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Maka penyunting memiliki alternatif apabila merasa ada kesalahan dalam teks, ia dapat memberi tanda yang mengacu pada “aparat kritis”. Dari sinilah penyunting dapat menyarankan bacaan yang lebih baik. 11 Tahap kelima: terjemahan teks. Pada tahap ini teks yang sudah disunting, dapat diterjemahkan sesuai dengan kebutuhan bahasa. Tujuan dilakukan penerjemahan teks, agar memudahkan pembaca dalam memahami maksud teks. menerjemahkan disini tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Diperlukan penerjemahan yang baik sesuai isi teks. Terjemahan yang baik ialah terjemahan yang mampu melukiskan apa yang ingin dikatakan oleh teks yang
diterjemahkan
ke
dalam
kalimat
yang
indah
dan
mampu
mengekspresikan subtansi teks sebagaimana bahasa aslinya. 12 Penelitian ini 10
Ibid, h. 91 S.O. Robson, Penerjemah: Kentjanawati Gunawan, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994), h. 25 12 Lubis, Op., Cit, h. 83 11
10
melakukan terjemahan teks. Sebab, tidak semua orang dapat menguasai bahasa Melayu. Tahap keenam: analisis isi. Pada tahap akhir penelitian filologi ini, penulis melakukan penafsiraan dan telaah atas isi. Telaah yang dilakukan meliputi nilai-nilai religi dalam naskah Hikayat Ali Kawin dan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Filologi Filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan katadari philos yang berarti ‘teman’ dan logos yang berarti ‘pembicaraan’, ‘kata’, atau ‘ilmu’. Secara harfiah kata filologi berarti ‘cinta kata-kata’. Philologia dalam perkembangannya berarti ‘senang berbicara’, yang seterusnya berkembang menjadi ‘senang kepada ilmu’’ senang kepada tulisantulisan’, dan kemudian ‘senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’. 1 Lubis menjelaskan istilah filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra dan kebudayaan. 2 Filologi sebagai istilah mempunyai beberapa arti di antaranya, filologi pernah diartikan sebagai ilmu sejarah kebudayaan dengan mengumpulkan naskah lama dan mengungkap khazanah warisan nenek moyang. Filologi juga pernah diartikan sebagai ilmu sastra karena yang dikaji karya sastra. Saat ini filologi ada yang mengartikan sebagai ilmu bantu sastra karena filologi menyiapkan teks-teks sastra, khususnya sastra klasik agar siap dikaji. Filologi ada juga yang mengartikan sebagai studi bahasa atau linguistik. 3 Senada dengan definisi sebelumnya, filologi merupakan suatu disiplin studi tentang teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau. Studi teks ini didasari oleh adanya informasi tentang hasil budaya manusia pasa masa lampau yang tersimpan di dalamnya. 4 Filologi menurut Kushartanti adalah salah satu cabang ilmu linguistik tertua yang mengkhususkan diri pada comparative historical linguistics, yaitu bidang penelitian kekerabatan bahasa (language relationships) dan perubahan bahasa (language change) dengan cara membandingkan berbagai bahasa. Selain itu, filologi juga mengkaji
1
Kun Zahrun Istanti, Sudibyo, dan Rachmat Sholeh, Filologi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2011), h. 1.2 2 Lubis, Op., Cit, h. 16 3 Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi dan Fakultas Universitas Gajah Mada, 1994), h. 27-28 4 Istanti, dkk, Op., Cit, h. 1.5
11
12
transkipsi, terjemahan, pelacakan naskah babon, dan memaknai informasi yang terdapat dalam naskah-naskah kuno. 5 Filologi menurut pandangan penulis berdasarkan beberapa pengertian di atas adalah suatu disiplin ilmu yang menelaah tentang teks dalam naskah kuno. Penelaahan teks meliputi suntingan naskah, terjemahan, dan analisis terhadap isi teks. Selain itu, penelaahan teks dapat mengetahui kebudayaan masa lalu melalui latar belakang yang ada dalam teks meliputi, adat-istiadat, bahasa, agama, pengobatan, hukum, pendidikan, dan lainnya. Filologi mempunyai sasaran kerja yang berupa naskah dan objek kajian filologi berupa teks. 6 Penelitian filologi bertumpu pada kajian naskah dan teks klasik. Naskah-naskah peninggalan dalam bentuk tulisan tangan disebut dengan handschrift atau manuscript yang disingkat MS untuk naskah tunggal dan MSS untuk naskah jamak. 7 1. Naskah Naskah merupakan benda yang maujud secara inderawi: dapat dilihat, disentuh, diraba, dan dipegang. Dalam pengertian filologi, suatu disiplin yang mempelajari warisan kuno berupa naskah berikut teks yang dikandungnya, naskah mencakup alat tulis (bahan beserta penjilidannya), aksara beserta sistem ejaannya, tinta, rubrikasi, dan ejaannya. 8 Baried mengungkapkan
bahwa
naskah
merupakan
tulisan
tangan
yang
menyimpan berbagai pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. 9 Naskah merupakan salah satu sumber primer paling autentik yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah menjanjikan sebuah “Jalan Pintas” istimewa untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial kehidupan masyarakat. 10 Dalam naskah
5
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 232 6 Baried, Op.. Cit,h. 6 7 Lubis, Op., Cit,, h. 24 8 Saputra, Op., Cit, h. 10 9 Baried, Op., Cit, h. 55 10 Fathurahman, Op., Cit, h. 27
13
tersimpan sejumlah informasi masa lampau yang memperlihatkan buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat masa lampau. 11 Oleh karena itu, naskah dalam hal ini merupakan tulisan tangan yang berwujud ada dan dapat dilihat oleh mata sebagai ekspresi pemikiran, perasaan, dan kepercayaan yang terjadi pada masa lampau. 2. Teks Teks berasal dari kata text yang berarti tenunan. Teks dalam filologi diartikan sebagai tenunan kata-kata, yakni serangkaian kata-kata yang berinteraksi membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Kata sebenarnya menunjuk pada sesuatu yang abstrak. Sebab teks terdiri dari kata-kata maka teks juga merupakan sesuatu yang abstrak. 12 Baried menjelaskan teks merupakan kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat dibayangkan saja. Pertama, teks terdiri atas isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Kedua,terdiri atas bentuk, yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan, misalnya melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya. 13 Adanya suntingan teks dalam penelitian filologi memiliki tujuan. Tujuan umum dalam filologi yaitu, pertama, memahami sejauh mana perkembangan suatu bangsa melalui sastranya, balik lisan maupun tulisan. Kedua, memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penerima. Ketiga, mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan. 14 Hasil sastra dari kebudayaan bangsanya berupa penyajian melalui bahasa yang berisi informasi masa lampau seperti bahasa, sastra, sejarah, adatistiadat, kepercayaan, religi dan sebagainya. Dalam pengembangan budaya, naskah kuno terkandung berbagai hal yang masih relevan dengan saat ini.
11
Baried, Op., Cit, h. 6 Bani Sudardi, Dasar-Dasar Teori Filologi, (Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia, 2001), h. 4-5 13 Baried, Op., Cit, h. 57 14 Ibid, h. 7 12
14
Konsep yang masih relevan di antaranya nilai patriotisme terhadap Negara, persatuan, moral, dan religi. Naskah kuno dapat ditemukan bermacam pengetahuan seperti, pengobatan, sejarah, kecantikan, ilmu perbintangan, dan sebagainya, sehingga, dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya Negeri. 15 Tugas filolog dalam menyunting sebuah teks memiliki tiga tujuan khusus. 16 Tujuan khusus tersebut adalah pertama, menyunting sebuah teks yang dipandang dekat dengan teks asalnya. Melalui serangkaian penelitian, filologi berusaha menyajikan teks yang mendekati naskah aslinya. Kedua, mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya. Setiap teks tentunya memiliki latar belakang dalam proses pembuatannya. Ketiga, mengungkapkan persepsi pembaca pada setiap kurun/zaman penerimaannya. Bisa saja ketika penyalinan teks berubah dari naskah aslinya, baik dikurangi, ditambahkan, dan disesuaikan dengan keadaan penyalinan naskah. Sebab, setiap masa penulisan teks memiliki pandangan yang berbeda. Bisa saja awalnya naskah tersebut diterima, tetapi pada masa berikutnya tidak dapat diterima tergantung persepsi pembaca pada waktu dibacanya naskah.
B. Hikayat Hikayat berasal dari bahasa arab yang berarti
cerita panjang penuh
dengan khayalan. Hikayat berarti juga cerita, riwayat, kisah, (cerita roman jenis prosa). 17 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifatsifat dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misalnya Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Seribu Satu Malam 18. 15
Sudardi, Op., Cit, h. 8 Sudardi, Op., Cit, h. 8-9 17 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 37 18 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 498 16
15
Sembodo juga menjelaskan bahwa hikayat adalah kisah para dewa, pangeran atau putri kerajaan, dan raja-raja yang memilki kekuatan gaib. Hikayat juga sering menceritakan kepahlawanan tokoh yang ada di dalamnya. Contoh hikayat antara lain, Hikayat Hang Tuah, Hikayat si Pahit Lidah, dan Hikayat Ratu Balqis. Hikayat berasal dari India dan Arab. 19 Hikayat terkadang menceritakan tokoh sejarah. Oleh karena itu, hikayat juga menceritakan tentang tokoh kenabian dan para sahabatnya, bahkan sejarah. Hikayat memiliki ciri-ciri dalam isi penceritaannya. Ada dua jenis sastra yang telah menentukan wujud sastra Melayu zaman peralihan awal Islam. Satu di antaranya ialah ‘bentuk genre’ hikayat, yang mempunyai prototype di dalam sastra Melayu tetapi ‘bentuk genre’ ini baru menemukan corak definitifnya dan memperoleh penamaan yang baru pada zaman awal Islam (akhir abad ke-14). Adapun ciri-ciri genre ini sebagai berikut: 1. Menggunakan aksara Arab dalam tradisi penulisan; 2. Kepengaranagannya yang anonym; 3. Bersifat khayal, baik sedikit maupun banyak; 4. Memperbolehkan penyalin menyalin tanpa berpegang teguh pada sumber yang disalin, mempunyai keleluasaan mengubah, menyesuaikan, dan memperhias naskah-naskah sumber. 20 Berbeda dengan ciri di atas, terdapat ciri-ciri pokok struktur hikayat yang universal. Pertama, adanya pokok pusat yang dikelilingi oleh tokoh-tokoh sampingan yang keseluruhannya mewakili sejumlah kelompok tertentu. Kedua, tokoh pusat dalam segala situasi selalu menonjol dalam hal kebaikan dan keunggulan. Ketiga, perlawanan terus menerus antara dua pihak, yaitu pihak baik yang hendak memantapkan kembali keserasian hukum alam semesta dengan pihak terancam oleh pihak jahat. Terakhir,perlawanan antara kebaikan dengan kejahatan yang tiada henti-hentinya. 21 19
Edy Sembodo, Contekan Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Mizan Publika, 2010), h. 11 V.I Braginsky, Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 714, (Jakarta: INIS, 1998), h. 93 21 Widjojoko, Op., Cit, h. 37 20
16
Brakel dalam Braginsky menambahkan gaya hikayat Melayu sampai pada batas tertentu seakan-akan mencontoh semacam model umum sastra naratif Arab-Parsi, yang bersifat prosa dengan cirinya: 1. Frase-frase diawali kata penghubung ‘maka’ (sama dengan wa dalam bahasa Arab) 2. Kecendrungan pada inversi dalam urutan kata (urutan predikat-subyek sebagai ganti urutan biasa: subyek-predikat) 3. Penggunaan kata-kata khusus sebagai alat untuk menekan irama. Biasanya dalam sastra Parsi kata ‘hikayat’ berarti sejenis anekdot yang berbentuk cerita pendek. 22
C. Unsur Intrinsik 1. Tema Tema merupakan gagasan sentral atau sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam fiksi. Tema sering ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita. 23 Tema adalah ide atau gagasan yang mendasari suatu cerita. Dalam menemukan tema suatu cerita dapat dipahami melalui media pemapar tema, menyimpulkan makna yang terkandung, menghubungkan tujuan pengarangnya. 24 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan, sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastwan menampilkan tokoh disebut penokohan. 25 Tang mengungkapkan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang bereaksi atau mengalamiberbagai bentuk perististiwa dalam cerita, bai peristiwa fisik maupun peristiwa yang
22
Braginsky, Loc., Cit, Widjojoko, Op., Cit, h. 46 24 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 161 25 Ibid, h. 142 23
17
bersifat batiniah. 26 Penokohan menyediakan atau menyiapkan alasan bagi tindakan tertentu serta cara menggambarkan watak atau sifat-sifat tokoh. 27 Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang. Contohnya tokoh yang semula jujur, karena terpengruh oleh temannya yang serakah akhirnya menjadi tokoh yang tidak jujur. Lain halnya dengan tokoh statis. Tokoh statis adalah tokoh yang mempunya kepribadian tetap. 28 Tokoh dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita terbagi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit memegang peranan dalam cerita. Keberadaan tokoh utama sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan. 29 Tokoh utama dalam sebuah cerita bisa saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tidak selalu sama. Keutamaan tokoh ditentukan oleh dominasi, banyak penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan alur secara keseluruhan. 30 Begitu juga dengan tokoh tambahan. Dalam sebuah cerita, tokoh tambahan ada yang mendominasi sebuah cerita. Oleh karena itu, pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak. Kadar keutamaan tokoh bertingkat, tokoh utama yang utama, utama tambahan, tokoh tambahan yang utama, dan tambahan yang benar-benar tambahan. 31
26
Muhammad Rapi Tang, Mozaik Dasar Teori Sastra, (Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2008), h. 66 27 Widjojoko, Op., Cit, h. 47 28 Siswanto, Op., Cit, h. 143 29 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012), h. 177 30 Ibid, 31 Ibid, h. 178
18
3. Alur Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun secara logis. 32 Secara umum dibedakan dua alur, alur tradisional dan alur konvensional. Alur yang menderetkan rangkaian peristiwa mulai dari pengenalan, mulai bergerak, menuju puncak, di puncak, dan akhirnya penyelesaian disebut alur tradisional. Alur yang tidak terikat dengan deretan peristiwa disebut alur konvensional. Seluruh urutan peristiwa bisa saja dimulai dari klimaks disambung dengan peristiwa lain yang berbeda dengan alur tradisional. 33 Secara teoritis alur dapat diurutkan ke dalam tahap-tahap tertentu secara kronologis. Tahapan-tahapan alur, yaitu: a. Tahap pengenalan, yaitu tahap pelukisan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. b. Tahap peristiwa, yaitu kejadian yang menyulut terjadinya konflik. c.
Tahap konflik. Konflik yang muncul semakin berkembang. Peristiwaperistiwa yang dramatis semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal maupun eksternal, masalah, dan mengarah ke klimaks.
d. Tahap klimaks. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. e. Tahap penyelesaian. Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang terjadi diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. 34 4. Latar Latar adalah tempat umum, waktu kesejarahan, dan kebiasaan masyarakat dalam bagian-bagian tempat. 35 Berbagai peristiwa yang 32
Widjojoko, Op., Cit, h. 46 Atmazaki, Ilmu Sastra: Teoati dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 60 34 Nurgiyantoro, Op., Cit, h. 149-150 35 Siswanto, Loc., Cit. 33
19
berlangsung dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam suatu rentan waktu dan pada tempat tertentu. Keterkaitan mutlak antara suatu peristiwa dengan waktu dan dan tempat tertentu merupakan sebuah gejala alamiah. 36 Tidak semua jenis cerita ada dalam suatu karangan. Bisa saja dalam seuah karangan terdapat latar cerita yang menonjol baik dari segi waktu, tempat, atau bahkan latar sosial. Penggambaran latar pun beragam, ada yang terperinci ada pula yang tidak. Ada latar yang digambarkan persis seperti
kenyataan,
namun
tidak
menutup
kemungkinan
dengan
menggabungkan kenyataan dengan khayalan. Latar terkadang dibentuk dari imajinasi pengarang. 37 5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan atau cerita. 38 Ada empat perwujudan fokus sudut pandang, yaitu: a. Tokoh utama menyampaikan kisah diri. Kisahan oleh tokoh utama degan sorotan pada tokoh utama pula b. Tokoh bawahan menyampaikan kisah tentang tokoh utama, jadi kisahan oleh tokoh bawahan dengan sorotan pada tokoh utama. c. Pengarang pengamat (observer-author) menyampaikan kisah, terutama pada tokoh utama. d. Pegarang serba tahu (omniscient-author) menyampaikan kisah dari segala sudut, sorotan utama pada tokoh utama. 39 6. Gaya Bahasa Gaya adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menggambarkan makna dan suasana serta menyentuh emosi pembaca. Terdapat tiga hal yang berkaitan mengenai gaya bahasa. Pertama, penggunakaan media berupa kata dan kalimat. Kedua, hubungan gaya 36
Tang, Op., Cit, h. 68 Siswanto, Op., Cit, h. 150 38 Nurgiyantoro, Op., Cit, h. 248 39 Tang, Op., Cit, h. 72 37
20
dengan makna keindahaan. Ketiga, seluk-beluk ekspresi pengarang berhubungan erat dengan masalah kepengarangan, maupun konteks sosial yang melatarbelakanginya. 40 Penggunaan gaya bahasa befungsi untuk menciptakan suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi sesama tokoh. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna dari berbagai adegan. Bahasa dapat pula menandai karakter seorang tokoh. 41 Dengan demikian, bahasa dapat mencerminkan berbagai karakter dan suasana dalam adegan melalui kosakata atau struktur kalimat yang digunakan. 7. Amanat Menemukan tema suatu cerita, dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan. nilai-nilai yang ada dalam suatu cerita bisa dilihat dari sudut pandang pembaca atau pengarang. Dari sudut pandang pengarang, nilai ini biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. 42 Tang mangungkapkan bahwa amanat adalah pesan atau nilai moral yang terdapat secara implisit di dalam karya seni. 43
D. Nilai-nilai Religi Nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. 44 Nilai adalah sesuatu yang penting, berguna, atau bermanfaat bagi manusia. Kriteria untuk mengukur sikap di masyarakat di antaranya budaya, moral, agama, dan politik. 45 Sebagai hamba Tuhan, manusia memiliki kewajiban untuk memahami, menghayati, 40 41
72
42
Siswanto, Op., Cit, h. 158-159 E. Kosasih, Dasar-dasar Keteramplan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), h.
Siswanto, Op., Cit, h. 162 Tang, Op., Cit, h. 69 44 Tim Penyusun, Op., Cit, h. 963 45 Kosasih, Op., Cit, h. 46 43
21
mengamalkan, dan melestarikan nilai yang diyakini. Upaya itu harus ditopang oleh dua komitmen terhadap hubungan vertikal (hubungan kepada Tuhan) dan komitmen terhadap hubungan horizontal (hubungan kepada masyarakat). 46 Pada awalnya segala sastra adalah religi, Istilah religi membawa konotasi pada makna agama. Religi dan agama memang erat berkaitan, berdampingan bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan. Akan tetapi sebenarnya keduanya mengarah pada makna yang berbeda. Religi bersifat mengatasi lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi. 47 Kata religi berarti ikatan atau pengikatan diri. 48 Religi merupakan kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan akan adanya kekuatan adi-kodrati di atas manusia. Mangunwijaya mengungkapkan bahwa kata religi melihat aspek yang dalam lubuk hati, du Coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. 49 Bagi manusia bereligi ada sesuatu yang dihayatinya keramat, suci, kudus, adi-kodrati. 50 Karya sastra yang secara langsung memberi petunjuk tentang cara hidup yang diajarkan oleh Islam, ada sejumlah besar karya yang secara tak langsung mengajarkan nilai-nilai yang dihargai dalam Islam. Khususnya pada masa awal penduduk pribumi yang masih dekat dengan agama lama, namun ingin mengikuti kehidupan agama baru yang mereka terima, amat memerlukan tokoh-tokoh ideal yang dapat diteladani seperti para pahlawan Islam dalam cerita. Dengan demikian religi itulah yang memenuhi harapan mereka. 51 Hikayat mendominasi sastra lama sebagai karya sastra bernuansa Islam. Tema masuknya agama Islam dengan berbagai motif mistik selalu mendapat tempat. Terdapat motif mimpi bertemu dengan raja Nusantara dan mengislamkan. Selain itu motif pembawa agama Islam oleh habib atas 46
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006), h. 135 47 Nurgiyantoro, Op., Cit, h. 326-327 48 Subijantoro Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 123 49 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 12 50 Ibid, h. 17 51 Achadiati Ikram, Op., Cit, h. 140-141
22
perintah Rasulullah SAW. Hikayat juga sebagai jenis cerita yang sarat akan motif-motif kemukjizatan dan tema pengagungan orang suci. 52 Adanya berbagai tema dalam hikayat menunjukkan bahwa kayanya sastra lama pada saat itu, yang sarat akan nilai religi.
E. Hakikat Pembelajaran Sastra Karya sastra dianggap tidak berguna apabila tidak memberi manfaat untuk menafsirkan dan memahami permasalahan yang ada di dunia nyata, maka tentu saja pembelajaran sastra tidak ada gunanya lagi untuk diadakan. Namun, jika dapat ditunjukan bahwa sastra mempunyai relevansi dengan permasalahan di dunia nyata, maka pembelajaran sastra harus dipandang sebagai suatu yang penting yang patut menduduki tempat layak. 53 Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah, pertama, agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Kedua, agar peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. 54 Tujuan tersebut dijabarkan dalam kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Pembelajaran sastra dalam pengaplikasian biasanya berkisar membahas tema, tokoh, penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat dalam prosa. Dalam puisi berkaitan dengan majas, diksi, imajinasi, rasa, makna dan lain halnya. Pembelajaran yang sudah sering seperti di atas dapat ditingkatkan dengan pembelajaran melalui sastra. Siswa melalui sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan pembentukan watak yang dibutuhkan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran sastra di sekolah harus memberikan sumbangan maksimal untuk pendidikan. Menurut Rahmanto secara realistik dapat diakui bahwa lembaga pendidikan-sekolah-tidak dapat berjuang sendiri 52
Djamaris, Op., Cit, h. 388-389 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 15, cet kedua 54 Siswanto, Op., Cit, h. 171 53
23
memenuhi tuntutan kesejahteraan masyarakat. Lembaga-lembaga lain, seperti pemerintah, pengarang, tokoh masyarakat, lembaga-lembaga keagamaan mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam hal ini. Meski demikian, selama ini lembaga-lembaga pendidikan yang dijadikan wadah untuk merumuskan kepentingan-kepentingan masyarakat, dan sekolah selalu diorientasikan ke arah pemenuhan kebutuhan masyarakat. 55
F. Penelitian yang Relevan Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan, baik secara langsung atau tidak langsung. Sebuah karya ilmiah mutlak memiliki referensi sebagai acuan dalam suatu penelitian. Sepanjang penelitian yang penulis lakukan terdapat karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian penulis. Penulis mencari acuan yang relevan dari pembahasan mengenai nilai-nilai religi dalam hikayat dan hikayat dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini, di antaranya: 1. Muhammad Ali Ritonga (2010) dari Universitas Sumatra Utara, Fakultas Sastra, Departemen Sastra Daerah, Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu berjudul Suntingan Teks dan Nilai Religius dalam Hikayat Kiamat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama; dari penyuntingan teks diperoleh edisi teks yang sudah ditransliterasi dari tulisan Arab Melayu/Huruf Jawi ke tulisan Latin. Kedua, mengetahui dengan jelas dan rinci isi naskah HK yang mengandung ajaran Islam . 56 2. Jafri Ahmadi pada tahun 2016 melakukan penelitian berjudul Analis Komparatif Nilai Religius pada Syair Sultan Syarif Alih Aksara oleh Siti Zahra Yundiafi dan Syair Khadamuddin karya Aisyah Sulaiman, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penggunaan nilai religius sebanyak 113 pada Syair Sultan Syarif dan 99 pada Syair Khadamuddin. Nilai religius yang 55
Rahmanto, Op., Cit, h. 16 Muhammad Ali Ritonga, Suntingan Teks dan Nilai Religius dalam Hikayat Kiamat. Skripsi pada USU, Medan, 2010 56
24
sering digunakan dalam kedua syair ini adalah nilai religius akhlak, yaitu yang berhubungan dengan perbuatan baik dan perbuatan tercela.
57
3. Dian Chairul Hadi pada tahun 2015 melakukan penelitian berjudul Pengembangan Bahan Ajar Memahami Hikayat Bermuatan Nilai-Nilai Moral Peserta Didik SMA/MA, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Progam Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kebutuhan pengembangan, merumuskan karakteristik pengembangan, menghasilkan bahan ajar, dan menentukan keefektifan bahan ajar memahami hikayat bermuatan nilai-nilai moral di SMA/MA. Hasil penelitian didasarkan pada hasil analisis kebutuhan pengembangan materi ajar memahami hikayat bermuatan nilai-nilai moral. Materi disusun secara lengkap, detail, menarik, mampu memandu peserta didik dalam memahami hikayat. Karakteristik bahan ajar dikembangkan berdasarkan prinsip pengembangan bahan ajar dan prinsip penggunaan. Bahan ajar berupa buku teks pelajaran sudah melalui uji validasi oleh ahli dan tahap revisi dengan rata-rata nilai 87,83 atau kategori sangat baik. Hasil
uji
keefektifan
menunjukkan
efektif
digunakan
dalam
pembelajarandengan pencapaian skor nilai rata-rata di kelas X 6 SMA Negeri 1 Kragan untuk kompetensi pengetahuan (KI 3) adalah 3,48 (B+), kompetensi keterampilan (KI 4) adalah 3,60 (A-) dan di kelas X F MA Salafiyah Kajen untuk kompetensi pengetahuan (KI 3) adalah 3,46 (B+), kompetensi keterampilan (KI 4) adalah 3,57 (A-). Adapun pemerolehan nilai kompetensi sikap dari dua sekolah sampel adalah mencapai ketuntasan 100%. 58
57
Jafri Ahmad, Analis Komparatif Nilai Religius pada Syair Sultan Syarif Alih Aksara oleh Siti Zahra Yundiafi dan Syair Khadamuddin karya Aisyah Sulaiman, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, 2016 58 Dian Choirul Hadi, Pengembangan Bahan Ajar Memahami Hikayat Bermuatan Nilai-Nilai Moral Peserta Didik SMA/MA, dalam Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 4 No. 1, (Semarang: UNS, 2015)
BAB III HIKAYAT ALI KAWIN: NASKAH DAN TEKS A. Inventarisasi Naskah Menelusuri salinan naskah dapat dilakukan dengan beberapa cara. Di antaranya dengan melihat katalog naskah baik peribadi maupun instansi. Bisa juga dengan melihat artikel atau penelitian yang telah dipublikasikan mengenai naskah terkait. Saat ini, cara yang lebih mudah dan praktis dalam menelusuri salinan naskah menggunakan katalog online. Selain cara tersebut, banyak buku yang dapat dijadikan sebagai bahan inventarisasi naskah yang berkaitan dengan naskah yang dicari. Menurut Hamid bahwa naskah Hikayat Ali Kawin ditemukan variasi naskah berjudul Hikayat Fatimah. Hikayat Fatimah berada di Perpustakaan Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Hamid juga menyebutkan bahwa Hikayat Ali Kawin berasal dari sebuah cerita yang telah ditulis dalam bahasa Arab yang berjudul Hadits Nikah Ali bin Abi Thalib Min Fatimah al-Zahra (Perbicaraan tentang Perkawinan Ali bin Abu Thalib dengan Fatimah al-Zahra). 1 Mengingat jarak dan waktu yang terbatas, penulis memutuskan hanya meneliti naskah yang berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Berdasarkan data yang telah diinventarisasi melalui katalog Muzeum Pusat buatan Badan Bahasa Malaysia, penulis menemukan ada teks dengan judul Hikayat Ali Kawin yang masuk dalam naskah
Aneka Ragam Cerita dengan
nomor panggil ML 42. Setelah ditelusuri lebih dalam, naskah tersebut berada di Perpustakaan Nasional RI dengan keadaan yang sudah tidak dapat dipinjam karena sudah sangat lapuk. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia kemudian memberikan salinan naskah dengan keadaan yang baik. Namun setelah diteliti, teks yang berjudul Hikayat Ali Kawin tidak ada. Judul yang digunakan adalah Cerita Tatkala Siti Fatimah Hendak Diperistrikan Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah. Sayangnya setelah dikaji, teks tersebut bukanlah varian dari Hikayat Ali Kawin, karena meskipun konten sama tetapi subtansi yang dipresentasikan
1
Hamid, Op., Cit, h. 70
25
26
berbeda. Oleh karena itu, penulis mengambil keputusan hanya menggunakan naskah Hikayat ali Kawin dengan nomor panggil 58.
B. Deskripsi Naskah Naskah Hikayat Ali Kawin merupakan naskah dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hikayat Ali Kawin dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 4 berkode naskah ML 58 yang masuk dalam golongan naskah Melayu. Judul naskah ditulis dengan aksara latin, sedangkan teks beraksara Jawi. Penulisan judul yang tertera dalam naskah adalah Hikayat Alih Kawin, sedangkan di dalam katalog baik cetak maupun online adalah Hikayat Ali Kawin. Naskah Hikayat Ali Kawin berbentuk prosa dengan berisi dua teks cerita. Teks pertama menceritakan perihal pernikahan Sayyidina Ali dengan Fatimah. Teks kedua membahas tatacara hubungan suami istri. Atas kepentingan penelitian, maka penulis hanya menggambil teks pertama yang berkisah tentang pernikahan Sayyidina Ali dan Fatimah. Nama pengarang dan tanggal naskah dibuat tidak diketahui, dikarenakan tidak ada kolofon. Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa dengan cap kertas Garden of Holland 2. Naskah secara fisik kelihatan sudah agak lapuk, kertasnya sobek-sobek dan ada halaman yang terlepas. Bagian permulaan sudah hilang, sehingga cerita dimulai pada pertengahan pembukaan naskah. Jilidan baik, bersampul kertas marmer dengan kombinasi warna coklat tua dan coklat muda. Naskah Hikayat Ali Kawin terdiri atas 32 halaman. Namun, penulis menemukan secara langsung bahwa jumlah halaman sebenarnya adalah 33 halaman. Halaman awal sampai 30 merupakan teks bagian pertama, selebihnya teks bagian kedua. Penulisan halaman tidak konsisten, karena penulis menemukan hanya dimulai pada halaman 19 sampai 32. Penulisan halaman menggunakan angka Arab, diduga tidak dilakukan oleh pengarang karena menggunakan pensil. Ukuran teks sebesar 10,5 x 16,5 cm, begitu juga dengan ukuran sampul naskah
2
Hal ini berdasarkan deskripsi pada website Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penulis sendiri tidak berkesempatan untuk mengakses naskah tersebut dikarenakan kondisinya sudah sangat lapuk.
27
10,5 x 16,5 cm yang berukuran sama. Ukuran blok teks adalah 8 x 14 cm dengan jumlah baris setiap halaman adalah 11 baris. Penulisan teks dimulai dari verso. Tidak ada alihan, ilustrasi, maupun iluminasi dalam keseluruhan halaman naskah. Teks Hikayat Ali Kawin ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu aksara Arab atau biasa dikenal dengan sebutan aksara Jawi. Bentuk tulisan tergolong sedang dan rapi. Tidak diketahui menggunakan jenis khat dalam tulisannya, karena bercampur antara Farisi dan Riq’ah. Teks ditulis menggunakan tinta hitam. Tidak ada rubrikasi untuk menandai hal-hal tertentu. Permulaan teks tidak diketahui menggunakan basmalah atau hamdalah, dikarenakan teks terpotong atau tidak ada. Awal teks yang diketahui adalah penjelasan mengenai kehidupan dan ciptaan Allah yang istimewa. Dimana dipaparkan mengenai empat hal istimewa tentang makhluk, hari, bulan, dan lain sebagainya. Bagian pertengahan menceritakan bagaimana cerita pernikahan Sayyidina Ali dan Fatimah dengan Allah sebagai walinya. Di akhir cerita, disebutkan tentang keutamaan sedekah dan ganjarannya sebagaimana firman Allah. Terakhir, ditutup dengan cerita Fatimah memberikan sedekah kepada fakir miskin.
C. Pedoman Transliterasi 1. Transliterasi Arab a. Konsonan Konsonan bahasa Arab dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf. Namun, ada sebagian dilambangkan dengan tanda. Transliterasi dalam bahasa Arab selain dilambangkan dengan huruf atau tanda, beberapa huruf ditranliterasikan dengan huruf dan tanda sekaligus. 3 Table. 3.1 Penoman transliterasi bahasa Arab Huruf Arab Nama Huruf Latin ۱
3
Alif
Tidak dilambangkan
Tim Pusbalitbang Lektur Keagamaan, Pedoman Transliterasi Arab-Latin, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 4, cet. kelima
28
ب
Ba
b
ت
Ta
t
ث
Tsa
ṡ
ج
Jim
j
ح
Ha
ḥ
خ
Kha
kh
د
Da
d
ذ
Zal
ż
ر
Ra
r
ز
Zai
z
س
Sin
s
ش
Syin
sy
ص
Shad
ṣ
ض
Dhad
ḍ
ط
Tha
ṭ
ظ
Zha
ẓ
ع
‘ain
…‘…
غ
Gain
g
ف
Fa
f
ق
Qaf
q
ك
Kaf
k
ل
Lam
l
م
Mim
m
ن
Nun
n
ھ
Ha
h
و
Waw
w
ء
Hamzah
…`…
29
ي
Ya
y
b. Vokal Penulisan huruf vokal bahasa Arab baik tunggal maupun vokal rangkap berlaku ketentuan berikut: Table 3.2 Huruf vokal bahasa Arab Tanda dan Huruf Nama Huruf Latin
َـ
Fatḥah
A
ِـ
Kasrah
I
ُـ
ḍammah
U
ـَﻮ
Fatḥah dan waw
Aw
ـَﻲ
Fatḥah dan ya
Ay
c. Maddah Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda 4, yaitu: Tabel 3.3 Vokal panjang bahasa Arab Harakat dan huruf Nama Huruf dan Tanda
۱ َـ
ـَ ى
Fatḥah dan alif atau ya
Ā
ـِ ى
Kasrah dan ya
Ī
ـُ و
ḍammah dan wau
Ū
d. Ta Marbuṭah Transliterasi ta marbuṭah ada huruf yang hidup dan mati. Transliterasi ta marbuṭah hidup yaitu mendapat harakat fatḥah, kasroh, dan ḍammah bentuk transliterasinya adalah /t/, sedangkan ta marbuṭah mati 4
Ibid, h. 8
30
memiliki harakat sukun, transliterasinya /h/. Jika ta marbuṭah terdapat di akhir kata diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kata tersebut dipisah, maka ta marbuṭah ditransliterasikan menggunakan /h/. 5 Contoh:
اﻟﻨﱡﺒُﻮﱠة
- an-nubuwwah
روﺿﺔ اﻻطﻔﺎل
- rauḍhah al-aṭfal -
rauḍhaṭul aṭfal
e. Syaddah (Tasydid) Syaddah ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah. Contoh:
إِﺗﱠﺒَ َﻊ
- ittaba’a
f. Kata Sandang ()ال Kata sandang dalam transliterasi dibedakan menjadi dua yaitu kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai dengan bunyi huruf syamsiah. Kata sandang yang diikuti dengan huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, yaitu /al/. baik diikuti huruf syamsiah maupun qamariah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dengan tanda hubung. 6 Contoh:
اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ُء
- as-samā’ (diikuti huruf syamsiah)
اﻟﺤ ْﻜ َﻤﺔ ِ
- al-ḥikmah (diikuti huruf qamariyah)
g. Hamzah Transliterasi hamzah dilambangkan denga apostrof. Akan tetapi transliterasi tersebut digunakan untuk di tengah dan di akhir kata. Hamzah di awal kata tidak dilambangkan, ditulis arab berupa alif. Contoh:
5
Ibid, h. 9 Ibid, h. 10
6
اﻣﺮ
- amara
ﺗﺆﻣﻨﻮن
- tu’minūn
31
ﺷﺊ
- syai’
h. Huruf Kapital Huruf kapital dalam penulisan Arab tidak ada, meskipun demikian dalam transliterasi penelitian ini digunakan. Penggunaan huruf kapital seperti yang berlaku dalam EYD, di antaranya huruf kapital digunakan untuk menulis huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap awal nama diri, bukan huruf awal kata sandang. 7 Contoh:
اﻟﺤﻤﺪ ہﻠﻟ رب اﻟﻌﺎﻟﻤﯿﻦ
- Al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīna
ﻓﺎطﻤﺔ اﻟﺰھﺮاء
- Fatimah az-Zahrā’
2. Transliterasi Melayu Bangsa Melayu pada awalnya belum mempunyai abjad sendiri. Pada abad ke13 atau ke-14 mengambil cara menulis banga Arab bersamaan dengan pengaruh agama Islam saat itu. Sejak saat itu bangsa Melayu menggunakan huruf yang sama dengan bangsa Arab. Akan tetapi, bahasa Melayu memiliki bunyi sendiri yang berbeda dengan bahasa Arab. 8 Oleh karena itu bahasa Melayu menambah huruf Arab dengan beberapa lagi huruf. a. Huruf Melayu Berikut adalah huruf Melayu yang tidak terdapat dalam huruf Arab.
7 8
Melayu
Table 3.4 Huruf Melayu Nama
Latin
ف
pa
P
ڮ
ga
G
پ
nya
Ny
چ
ca
C
ڠ
nga
Ng
Ibid, h. 12 J.J. de Holander, Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 3
32
semua huruf di atas dibentuk dengan tambahan titik dari huruf yang berdekatan seperti, ( جdjim), ( غghain), ( فfa), ( كkaf), dan ( نnun) 9. P8F
P
b. Vokal Huruf vokal dalam bahasa Melayu memiliki beberapa patokan yang digunakan. Huruf vokal bahasa Melayu menggunakan huruf ا,و, dan ى. Berikut ketentuan huruf vokal dalam bahasa Melayu. 1) Alif digunakan untuk menandai vokal ‘a’. Contoh: داﻟﻢdibaca dalam 2) Wawu digunakan untuk menandai vokal ‘u’ atau ‘o’. Contoh:اور ڠ dibaca orang atau ﺑﺮﺳﺮوdibaca berseru. 3) Ya digunakan untuk menandai vokal ‘i’. Contoh: اﯾﺲdibaca isi 4) Vokal pepet timbul karena tidak adanya pemisahan huruf vokal dengan huruf konsonan. Contoh: ﺑﺒﺮفdibaca beberapa
D. Pedoman Suntingan dan Terjemahan Teks 1. Pedoman Suntingan Teks Salah satu tujuan kerja filologi adalah menyajikan teks dalam bentuk yang terbaca oleh masyarakat masa kini dengan menggunaan metode edisi kritis. Adanya suntingan teks dapat membantu pembaca yang awam akan aksara yang tidak dipahaminya. Suntingan teks dianggap penting karena dapat mengetahui bagaimana informasi suatu teks yang hendak disampaikan oleh pengarang. Hal tersebut merupakan sajian teks agar dapat dipelajari dalam kehidupan masyarakat masa lalu maupun saat ini. Oleh karena itu, terdapat upaya agar terlaksananya suntingan teks. Berikut ini adalah kaidah yang dapat digunakan dalam proses penyuntingan teks, yaitu: a. Tanda garis miring dua (//) digunakan sebagai penanda pergantian halaman dalam teks b. Tanda kurung siku [ ] digunakan sebagai penanda penghilangan huruf atau teks 9
Ibid, h. 4
33
c. Tanda kurung ( ) digunakan sebagai penanda penambahan huruf atau teks d. Ejaan yang digunakan dalam suntingan ini mengacu kepada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Hanya saja untuk beberapa penggunaan kata penghubung dalam teks yang berbahasa Melayu, tidak mengikuti kaidah EBI. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan kaidah penulisan antara bahasa Indonesia dan Melayu yang sulit digunakan. e. Penggunaan nama orang, nama gelar yang disertai nama orang, dan nama tempat menggunakan huruf kapital. f.
Kata berbahasa Arab menggunakan huruf miring, sedangkan kata berbahasa Melayu menggunakan huruf normal.
g. Kata ulang yang pada naskah yang ditulis (۲) akan ditulis sebagai kata ulang dan disesuaikan dengan konteks. h. Kata-kata berbahasa Arab akan ditranliterasikan sesuai dengan bunyi bacaan asli dan penulisan aslinya akan disertakan dalam catatan kaki. i. Bentuk perubahan maupun perbaikan yang dilakukan dalam suntigan teks akan diletakkan dalam catatan kaki. j. Tanda kurung yang di dalamnya terdapat angka, contoh: (21), adalah penanda halaman yang terdapat dalam teks asli. k. Pembagian paragraf berdasarkan pokok pikiran yang sesuai dalam teks guna memudahkan pemahaman informasi dalam teks. l. Pedoman transliterasi Arab menggunakan Pedoman Transliterasi ArabLatin Departemen Agama RI m. Pedoman transliterasi Melayu menggunakan Pedoman Bahasa dan Satra Melayu dari J.J. de Hollander 2. Terjemahan Teks Terjemahan teks dilakukan jika suntingan teks selesai dikerjakan. Penerjemahan dilakukan dalam konteks filologi Indonesia, jika yang dikajinya menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing. 10 Hal tersebut dilakukan karena tidak semua pembaca menguasai bahasa daerah atau bahasa asing yang dikaji. Seperti pada penelitian yang menggunakan bahasa Melayu pada 10
Fathurrahman, Op., Cit, h. 95
34
umumnya, biasanya tidak dilakukan terjemahan. Namun pada penelitian ini, terjemahan dilakukan dengan tujuan agar pesan yang hendak disampaikan pengarang sampai kepada pembaca. Gaya penerjemahan yang terlalu harfiyah biasanya mengakibatkan terjemahan teks yang tidak mudah tidak mudah dicerna. Namun, penerjemahan yang terlalu bebas juga tidak jarang menghilangkan bagian tertentu dalam teks. 11 Terdapat dua pendekatan dalam penerjemahan, yaitu teknik penerjemahan yang condong kepada bahasa sumber dan dan condong kepada bahasa sasaran. Berikut adalah metode jenis penerjemahan: a. Penerjemahan kata demi kata, dengan menggunakan urutan kata dalam teks bahasa sumber tetap dipertahankan, kata-kata diterjemahkan dengan makna yang paling dasar di luar konteks. b. Penerjemahan harfiah, dimana konstruksi gramatikal bahasa sumber dikonversikan ke dalam padanan bahasa sasaran, sedangkan kata-kata diterjemahkan di luar teks. c. Penerjemahan semantik, berbeda dengan penerjemahan bahasa setia. Penerjemahan ini lebih memperhitungkan unsur estetika bahasa sumber dengan mengkomromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. d. Penerjemahan dengan adaptasi, dengan menyadurkan terjemahan yang paling dekat dengan bahasa sasaran. e. Penerjemahan bebas, di mana melakukan penulisan kembali tanpa melihat teks asli. f. Penerjemahan idomatik, pesan bahasa sumber disampaikan kembali tetapi ada penyimpangan nuansa makna karena mengutamakan kosakata seharihari dan idiom yang digunakan dalam bahasa sasaran. g. Penerjemahan komunikatif, berusaha menyampaikan makna konseptual dari bahasa sumber, sehingga isi dan bahasanya diterima oleh pembaca bahasa sasaran. 12
11 12
Ibid, h. 96 Petter Newmark, A Text Book of Transliteration, (New York, Prentice Hall, 1998), h. 45
35
Suatu terjemahan harus mengungkapkan kata, gagasan, dan dapat dibaca seperti teks asli. Adapun dalam penelitian ini terjemahan diletakkan berdampingan dengan teks sumber untuk mengawasi sejauh mana terjemahan teks yang dilakukan. Penerjemahan dalam penelitian merujuk Kamus Melayu Nusantara Pusat Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam.
E. Suntingan dan Terjemahan Hikayat Ali Kawin Table 3.5 Suntingan dan Terjemahan Hikayat Ali Kawin Suntingan Teks Terjemahan Y-n daripada itu makah dipilih
Allah memilih empat nabi dari
Allah ta’ālā nabi tinggiku turunnya seluruh nabi dengan menurunkan wahyu Jibrail empat orang, pertama wahyu melalui yaitu, Ibrahim yang Ibrahim (K)halīlullāh 13 kedua Musa diberi julukan Khalīlullāh, Musa Kalīmullāh
ketiga
Isa
Rūhullāh yang
dijuluki
Kalīmullāh,
Isa
keempat Nabi Muhammad Rasūlullāh dengan julukannya Rūhullāh, dan ṣallallāhu
‘alayhi
wa
sallam. Nabi Muhammad yang begelar
Kemudian dari pada itu dipilih Allah Rasūlullāh. pulah
daripada
segala
Semoga
keberkahan
sahabatnya dan keselamatan untuk mereka.
empat orang pertama, Abu Bakar As- Allah pun memilih empat orang Shiddiq, kedua Umar ibnu Khattab, sahabat dari seluruh sahabat nabi ketiga ‘Utsman ibnu ‘Affan keempat yaitu, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ali` ibnu Abi Thalib Raḍiyallāhu bin Khattab, Utsman bin Affan, dan ‘anhu. Kemudian daripada itu maka Ali bin Abi Thalib. Kemudian dipilih// Allah pulah daripada dijadikan Allah juga memilih dari seluruh Allah ta’ālā segala bukit, pertama bukit yang telah diciptakan-Nya. Bukit Kuba, kedua Bukit Tursina, Pertama Bukit Kuba, kedua Bukit ketiga Bukit Judi, keempat Bukit Tursina, ketiga Bukit Judi, dan ‘Arafah.
Kemudian
daripada
itu keempat
Bukit
Arafah.
Allah
dijadikan oleh Allah ta’ālā bulan, maka menciptakan pula empat bulan dari 13
Halilullah -> (Kha) lilullah diubah karena mengubah gelar nabi Ibrahim
36
dipilih daripada segala bulan pertama berbagai
bulan
yaitu,
bulan
Muharram, kedua bulan Rajab, ketiga Muharram, bulan Rajab, bulan bulan
Sya`ban
keempat
bulan Sya’ban, dan bulan Ramadan.
Ramaḍan. Kemudian daripada itu maka
Allah memilih empat hari dari
dijadikan Allah ta’ālā hari maka dipilih seluruh yang telah diciptakan-Nya dari segala hari pertama hari Jumat, yaitu, hari Jumat, hari Senin, Hari kedua hari Isnain, ketiga hari// raya Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul kecil bulan Ramadhan, keempat hari Adha.
Allah
juga
menciptakan
raya Bulan Haji. Kemudian daripada empat malam yang istimewa dari itu maka dijadikan Allah ta’ālā dari seluruh malam. Pertama malam pada
malam
pertama-tama
malam Idul Adha, kedua malam Idul Fitri,
bulan Haji, kedua malam hari raya ketiga malam Senin, dan keempat bulan Ramadhan, ketiga malam Isnain, malam Jumat. Allah pun memilih malam
keempat
Jumat.
Kemudian dua ibu dari seluruh ibu yaitu,
daripada itu maka dijadikan ibu b-sy-r- Maryam, ibu dari nabi Isa dan n-y 14 nabi kita Maryam Nabiyallāh dan Fatimah keempat
15
Rasūlullāh
Fatimah
az-Zahra
ṣallallāhu
‘alayhi
az-Zahra,
anak
dari
anak Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alayhi wa wa sallam.
sallam. Kemudian daripada itu maka
Allah memberi anugerah dan
dinugerahkan Allah Fatimah bertatah mukjizat kepada Fatimah berupa [dan] 16// mukjizat dan Fatimah maha wajahnya yang sangat cantik dan baik parasnya dengan sempurnanya bercahaya. Belum ada seorang pun terlalu amat baik dan amat bercahaya di dunia ini yang dianugerahkan mukanya
dengan
tiada
pe(r)nah 17 seperti
anugerah Allah ta’ālā dalam dunia ini Kecantikan
14
Fatimah wajahnya
az-Zahra. melebihi
B-sy-r-n-y, tidak ditemukan artinya Pengarang keliru terhadap urutan penyebutan gelar ibu. Pengarang langsung menyebutkan ururtan keempat. Padahal, sebelumnya baru menyebutkan satu nama, yaitu Maryam saja. 16 Kata [dan] ditulis dua kali pada halaman tiga dan empat. 17 Penah -> pe(r)nah 15
37
seorang jua pun tiada seperti rupa kecantikan semua bidadari yang Fatimah az-Zahra itu yang terlebih baik barada di surga. parasnya daripada anak-anakan bidabidari yang di dalam syurga. Bermula akan [a]baginda 18 Ali Raḍiyallāhu
‘anhu
terlalu
Sayyidina Ali sangat malu
amat kepada
Rasūlullāh
ṣallallāhu
malunya akan Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam karena fakir dan ‘alayhi wa sallam amat faqirnya miskin tidak memiliki harta. Sayyidina Ali sebab
tia(da) 19
kepadanya.
arta sangat memohon kepada Allah
mempunyai
Bermula
baginda
Ali subḥānahu wata’ālā setiap hari,
terlalu// amat meminta dan kepada terutama pada hari Jumat. Allah wata’ālā
Allah subḥānahu wata’ālā pada malam subḥānahu
akhirnya
dan siang dan daripada tiap-tiap hari mengabulkan permintaanya. Allah dan hari Jumat. Maka dianugerahkan berkata kepada Jibril ‘alayhissalām, Allah subḥānahu wata’ālā dijadikan “Wahai
Jibrail,
kumpulkanlah
Allah Subḥānahu wata’ālā pemintanya. seluruh malaikat yang berada di Maka firman Allah ta’ālā kepada tujuh langit dan seluruh malaikat Jibrail
‘alayhissalām,
“Ya
Jibrail yang memikul Arasy”. Kemudian
himpunkan olehmu segala malaikat berkumpullah
seluruh
malaikat
ketujuh langit dan segala malaikat yang memikul Arasy. menanggung ‘Arasy Allah ta’ālā”. Maka segala malaikat berhimpunlah segala malaikat yang di bawa ‘Arasy. Allah
ta’ālā
kepada
Jibrail
Allah lalu menyuruh Jibril
menyuruh membukakan pintu syurga. membukakan
pintu
surga.
Di
maka ‘a-b-s 20 segala bida//dari dan dalamnya terdapat bidadari dan hanyasanya mahligai bertahtakan ratna istana berhiaskan berbagai intan, mutu manikam dan pulah dan kesturi kesturi, permata dengan berbagai
18
[a]baginda -> baginda Tia -> tia(da) 20 ‘a-bis tidak diketahui makna sebenarnya 19
38
biduri dan kemala. Maka firman Allah jenis dan warna, serta batu indah ta’ālā kepada malaikat Zabaniyah, dan bercahaya. Kemudian Allah “Hai
Zabaniyah ta’ālā berfirman kepada malaikat
malaikat
tutu[tu]p[ta]kanlah 21 pintu neraka itu”. Zabaniyah,
“Wahai
malaikat
Maka firma(n) 22 Allah kepada Jibril, Zabaniyah, tutuplah pintu neraka “Hai Jibrail, hancu(r)kan 23 olehmu itu”. Setelah itu, Allah berfirman kesturi itu dan yang harum dan segala kepada
Jibril,
“Wahai
Jibril,
baunya-baunya atas kepala malaikat taburkanlah kesturi di atas kepala sekalian”.
para malaikat”.
Setelah sudah itu datanglah
Setelah itu datanglah angin
angin bertiup-tiup dari bawah ‘Arasy yang berhembus dari bawah Arasy Allah ta’ālā. Maka dicium oleh segala Allah. Saat itu malaikat menghirup malaikat baunya// yang demikian itu baunya. Begitu pula seluruh daun maka berseru-seru sekalian dan segala yang berada dalam surga
tertiup
daun kayu yang dalam syurga pun angin
Allah.
dari
Arasy
karena ditiup angin daripada ‘Arasy Terdengarlah oleh para malaikat Allah. Maka berbagai-bagai bunyinya bunyi daun yang sangat merdu. yang terlalu amat merdu bunyinya Seketika itu seluruh malaikat pun didengar oleh segala malaikat suara terkejut tiada terkira dalam hatinya kayu
demikian
itu.
Maka
segala mendengar bunyi semerdu itu.
malaikat pun heranlah itu tiada terkata akan lagih pada hatinya didengarnya bunyi seorang demikian itu. Maka perginyalah segala bida-
Seluruh bidadari dalam surga
bidari yang dalam syurga itu dari pada berterbangan karena senang sekali. amat suka citanya. Maka sembah Kemudian
seluruh
malaikat
segala malaikat, “Ya Tuhanku yang bertanya kepada Allah, “Wahai
21
tutu[tu]p[ta]kanlah -> tutupkanlah Firma -> firma(n) 23 Hancukan -> hancu(r)kan 22
39
menjadikan sekalian alam// apakah Tuhanku yang menciptakan seluruh seba(b)nya?” 24 maka pada hari itu alam, apa yang terjadi?” Mengapa terlalu amat suka cita hati sekalian hari ini mereka sangat senang dan mereka itu barulah datang sembah ke keluar dari mulut mereka cahaya hadirat Allah ta’ālā. Maka keluarlah yang bersinar ke seluruh tempat?” cahaya daripada mulut mereka itu berhambur[r]an 25 kepada segala tempat itu.” Maka firman Allah ta’ālā, “Hai
Allah pun menjawab, “Wahai
sekalian segala malaikat hari apa inilah seluruh malaikat, hari ini Aku akan hari k-f-r-t 26 suamikan hambaku. Maka menikahkan segala malaikat itu pun baru datang kembali
bertanya,
sembahnya, “Ya Tuhanku, siapakah Tuhanku, yang hendak bersuamikan itu? Kami Engkau
hambaku.
siapakah nikahkan
Malaikat “Wahai
yang itu?
akan
Padahal
tiada berkehendak kepada sekalian Kami tidak memiliki hasrat untuk makannya dan minumnya dan pakaian// makanan, minuman, dan pakaian. dan tiada kami berkehendak kepada Kami pun tidak memiliki hasrat segala perempuan.” Maka firman Allah kepada ta’ālā, “Hai segala malaikat adapun berfirman,
perempuan.” “Adapun
Allah makanan
makanan kamu itu tasbih dan minuman kalian itu adalah tasbih, minuman kamu itu [ka]tahlil. 27 Jikalau ia aku kalian adalah tahlil dan perempuan hendak bersuamikan hambaku Fatimah yang akan Aku dengan
hambaku
Ali`
banu
Abi Fatimah
Thalib.”
dengan
nikahkan adalah Ali
bin
Abi
Thalib.”
Maka firman Allah ta’ālā, “Hai
Allah ta’ālā berfirman, “Wahai
malaikat, lihatlah oleh kamu sekalian para malaikat, saksikanlah, aku kupersuamikan
24
aku
hendak[k]kan28 akan menikahkan hambaku, Ali
Sebanya -> seba(b)nya Berhambur[r]an -> berhamburan 26 K-f-r-t tidak diketahui maknanya 27 [ka]tahlil -> tahlil 28 hendaq[q]kan -> hendaqkan 25
40
hambaku
Ali
persuamikan
dengan dengan
Fatimah,
anak
dari
ṣallāhu
hambaku Fatimah anak Muhammad Muhammad ṣallāhu ‘alayhi wasallam. Bahwa akan wasallam.
Mikail
khitbahnya// Mikail. Maka dijadikan penghulunya.
Segala
‘alaihi sebagai puji
bagi
puja puji-pujian kita Allah subḥānahu Allah Tuhan seluruh alam. Allah wata’ālā Tuhan seru sekalian alam. kemudian
memerintahkan Jibril
Maka dititahkan Allah ta’ālā Jibril turun ke dunia beserta tujuh puluh turun ke dunia serta tujuh puluh ribu ribu malaikat membawa nampan malaikat yang menanggung thabaq dari dari surga dan berbagai perhiasan dalam syurga dan perhiasan yang enak- yang indah. Setiap satu nampan enak dalam satu thabaq itu daripada berisi perhiasan yang memiliki perhiasan rupanya dan warnanya maha berbagai bentuk dan warna yang enak-enak
dan
beberapa
pakaian indah. Nampan tersebut juga berisi
sundusin 29 dan isytabraq[q] 30 di bejana beberapa mutalabis
dan
d-w-ng-k-y31
pakaian,
kain
yang berbenangkan emas dan sutra tebal.
berpakaikan isi dan ratna manikam isi Di bejana terdapat pakaian yang kahwin// Fatimah. Maka Jibrail pun dengan lapisan berbagai permata turunlah serta malaikat tujuh pulu ribu sebagai mas kawin untuk Fatimah. membawa thabaq dari dalam surga Jibril pun turun beserta tujuh puluh datang kepada nabi Allah pun serta ribu malaikat membawa nampan segala ṣahabat.
dan
mendatangi
nabi
beserta
Ali
sedang
seluruh sahabat. Bermula sembahyang
Ali
pada
pun suatu
lagi
Saat
itu,
tempat melaksanakan salat di suatu tempat
memi(n)ta 32 doa’ kepada Allah akan dan memohon doa kepada Allah hendaqnya Fatimah jua pada hatinya. agar
Fatimah
mau
menikah
Maka Jibrail pun datanglah kepada dengannya. Kemudian Jibril datang
29
Sundusin : kain berbenang emas Istabraq[q] -> isytabraq: sutra tebal 31 D-w-ng-k-y tidak diketahui makna dalam konteks teks 32 Memita -> memi(n)ta 30
41
nabiyallāh.
Maka
katanya,
“Ya kepada nabi. Jibril berkata, “Wahai
Muhammad, adapun (tujuh pu)luh33 Muhammad, aku datang beserta yang menanggung thabaqnya.” Maka tujuh puluh ribu malaikat dengan Sabda Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alayhi membawa
nampan.”
Rasūlullāh
wasallam, “Hai tuanhaku Jibrail, arta ṣallallāhu ‘alaihi wasallam pun apa tua//nhamba itu?” Maka kata menjawab, “Wahai Jibril, apa yang Jibrail, “Ya Nabi Allah, mengucap kamu bawa?” Jibril menjawab, syukurlah tuan hamba pada Allah “Wahai Nabi, bersyukurlah kepada ta’ālā karena pada ketikah itu seorang Allah ta’ālā karena tidak ada pun tiada seperti dia melainkan Allah seorang pun seperti-Nya, Allah ta’ālā jua yang tahu segala puja akan yang maha mengetahui, segala puji Allah
subḥānahu
wata’ālā
Tuhan bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
Syeru sekalian alam. Maka sabda Rasūlullāh bersabda, “Wahai Jibril, Rasūlullāh, “Hai Jibrail, ceriteranya ceritakanlah kepadaku kabar apa kiranya akan hamba arta apa itu? dan apa yang dibawa oleh malaikat A(da)pun 34 yang ditanggung malaikat itu?”
Jibrail
menjawab,
“aku
itu apa?”. Maka kata Jibrail, “Ya Nabi membawa kabar bahwa Ali telah Allah, hamba menceriterakan kepada dinikahkan dengan anakmu”. tuan hamba setelah dikahwinkan Ali dengan anakmu”.// “Hai Fatimah cahaya mataku
Nabi
Muhammad
berkata
dan buah hati[ya] 35ku dan cermin kepada Fatimah, “Wahai Fatimah, mataku, bahwa Jibrail turun dari langit cahaya mataku, buah hatiku, dan membawa malaikat tujuh pulu ribu dan cermin mataku. Jibril telah turun membawa fiman Allah ta’ālā kepada dari langit dengan tujuh puluh ribu daku bahwa Allah subḥānahu wata’ālā malaikat membawa perintah Allah menganu[g]gerahkan 36 engkau dengan ta’ala kepadaku. Allah subḥānahu
33
Luh -> (tujuh pu)luh. Pengarang melakukan kekeliruan tulisan dengan tidak menuliskan bilangan malaikat dalam teks yang membawa thabaq 34 Apun -> a(da)pun 35 Hati[ya] -> hati 36 menganu[g]gerahkan -> menganugerahkan
42
Ali dikahwinkan dari langit Tuhan wata’ālā
memberikan
anugerah
segala alam akan olehmu dan Jibrail dengan menikahkanmu dan Ali di per(wa)kil(an) 37 dari pada Ali dan langit. Jibril sebagai wali bagi Ali, Mikail akan Khatibnya dan malaikat Mikail
sebagai
penghulu,
dan
sekalian akan syahidnya. Bahwa Allah seluruh malaikat menjadi saksinya. subḥānahu
wata’ālā
mengerahkan Allah
tujuh pulu ribu malaikat membawa mengerahkan thabaq
daripada//
indah-indah
dan
wata’ālā
subḥānahu tujuh
puluh
ribu
perhiasan
yang malaikat dengan membawa nampan
pakaian
yang berisi perhiasan yang indah dan
berpakaikan emas dan s-r-sy-r-d 38 pada pakaian yang berlapis emas dari kain dari dalam syurga akan isi kahwin surga sebagai mas kawinnya. daripada Ali.” Maka Sayid Fatimah, “Bahwa
Fatimah pun berkata, “Aku rida
hamba riḍalah dengan titah Allah atas subḥānahu
wata’ālā
perintah
dikahwinkan dinikahkan
Allah
dengan
untuk
Ali.
Akan
dengan Ali. Betapa akan isi kahwin tetapi, aku tidak menginginkan mas hamba itu tiada hamba riḍalah.” Maka kawin itu’’ Jibril dengan heran ujar Jibrail pun kembali kepada Allah kembali kepada Allah subḥānahu wata’ālā
subḥānahu ter[a]kejut 39
pula
ribuan
dengan wata’ālā beserta ribuan malaikat malaikat menghadap kepada Allah ta’ālā.
berdiri kepada Allah ta’ālā. Maka Kemudian
Jibril
datang
datang sembah Jibrail, “Ya Rab, Ya menyembah
Allah,
“Wahai
Sayid, Ya Maula, Ya Tu//hanku, Tuhanku, adapun akan hambamu Fatimah riḍalah dinikahkan ia
dikahwinkan
dengan
tetapi
Fatimah
telah
dengan
Ali.
rida Akan
isi tetapi, ia tidak menginginkan mas
kahwin itu tiada hamba riḍa.” Maka kawin tersebut. Allah berfirman firman Allah ta’ālā kepada Jibrail, kepada Jibril, “Turunlah engkau ke
37
Perkil -> per(wa}kil(an) S-r-sy-r-d. Tidak diketahui makna kata tersebut 39 Ter[a]kejut -> terkejut 38
43
“Turunlah engkau ke dunia dengan dunia beserta tujuh puluh ribu malaikat tuju{h} 40 pulu ribu membawa malaikat dengan membawa nampan thabaq itu katakan kepada Fatimah, apa itu. Tanyakan pada Fatimah, mas kehendak hatinya jikalau barangku kawin apa yang ia inginkan dan hendak kabarkan kepada aku. Adapun segera beri tahu Aku. Biarkanlah malaikat
itu
tingga(l)kan 41
kepada malaikat-malaikat
kekasihku dahulu.”
itu
bersama
Muhammad.
Maka Jibrail pun tur[r]un 42la
Jibril turun menemui nabi. Ia
kepada Nabi Allah. Maka kata// Jibrail, berkata,
“Wahai
nabi,
Allah
“Ya Nabi Allah, adapun firman Allah berkata, “mas kawin apa yang ta’ālā apa kehendak hati Fatimah akan Fatimah
inginkan?
Tanyakanlah
isi kahwinnya. Tanyakan oleh Nabi kepadanya dan tujuh puluh ribu Allah karena firman Allah ta’ālā malaikat
itu
demikian kepada hamba malaikat tujuh Muhammad.” pulu ribu tangguhkan kepada kekasihku Allah
ta’ālā
Muhammad demikian firman Allah Muhammad
biarkan
bersama
Begitulah
firman
kepadaku.”
Nabi
akhirnya
pergi
ta’ālā pada hamba.” Maka Nabi Allah bertanya kepada Fatimah, “ Wahai pun pergilah bertanya kepada Fatimah, anakku,
Jibril
datang
kembali
“Hai anakku telah datang pulah Jibrail membawa firman Allah. Engkau membawa
firman
Allah
ta’ālā. diminta menerima mas kawin dan
Memintakan engkau dengan suka cita tujuh puluh ribu malaikat dengan tujuh pulu ribu malaikat// apa kehendak senang
hati.
Katakanlah
katakan supaya jangan terdiri malaikat keinginanmu yang sebenarnya agar itu karena malaikat dengan suka cita malaikat
jangan
sampai
tujuh pulu ribu malaikat menanggung Mereka membawa nampan
pergi. yang
thabaq akan isi kahwin anakku.” Maka berisi mas kawin dengan senang sembah Fatimah, “Ya Tuanku, jika hati.” Fatimah menjawab, “Wahai waktu hamba mohonkan kehadirat Ayah, aku meminta ampunan dosa
40
Tujut -> tuju{h} Tinggakan -> tingga(l)kan 42 Turrun -> tur[r]un 41
44
Allah ta’ālā segala dosa perempuan seluruh perempuan yang durhaka yang durhaka kepada suaminya dari kepada suaminya.” Nabi
pun
pada segala umat Tuhan hamba.” Maka menyampaikan keinginan Fatimah sabda nabiyallāh, “Ya Jibrail, adapun kepada Jibril. isi kahwin Fatimah memberi syafaat akan Ali.” Maka Nabi /19/ Allah pun kembalilah. Maka Ali pun duduklah pada
Ali dan Fatimah duduk di satu
suatu tempat dan Fatimah pun dudu tempat. Ali ingin berbicara dengan pada
suatu
raḍiallyāhu
tempat. ‘anhu
Maka
hendak
Ali Fatimah, tetapi ia sangat malu.
berkata Mereka tidak berpegangan tangan
kepada Fatimah terlalu malunya sebab sampai beberapa waktu. mereka tiada tapak tangan Ali akan Fatimah pun saling diam dari pagi sampai hatta berapa lamanya. Demikian juga sore.
Sayyidina
berdiam-diam pada semalam sampai melaksanakan setelah siang hari. Maka Amiru al- Fatimah.
Ali
akhirnya
shalat
bersama
Setelah
salat
terbesit
mukminin Ali pun sembahyang pada dalam hati Ali, “Sidikit pun aku suatu
tempat
sembahyang
dan satu
Fatimah tempat.
pun43 tidak berpegangan tangan dengan Setelah Fatimah.”
sembahyang /20/ maka Ali pun pikir dalam
hatinya,
“Satu
pun
tiada
diberinya tapak tangan Fatimah dari pada aku.” Maka Ali pun turunlah dari
Ali pun pergi dari rumahnya
rumahnya serta berkata, “Tutuplah seraya berkata, “Tutuplah pintu pintu rumah Fatimah.” Maka Ali pun rumah
Fatimah!”
Ali
pergi
turunlah dari atas rumahnya. Ia pergi meninggalkan rumah dan menuju kepada qāḍī Syam meminta perolehnya qāḍī Syam untuk meminta upah akan Fatimah ke banu Syam titah atas pekerjaannya. qāḍī itu pun
43
Kata ‘”pun” terdapat pengulangan
45
kerjanya. qāḍī itu diberinya tiga dinar. memberikannnya
sebanyak
tiga
Maka d-q-k-n 44 duanya ke dalam dinar. Dua dinar dimasukkan ke kandungnya. Maka Ali pun kembali dalam kantungnya. Setelah itu Ali /21/ [li]lah 45 ke banu Madinah. Maka kembali ke Madina. Di perjalanan, pada kira-kira hatinya bagindah Ali terbesit
dalam
hati
Ali
ingin
hendaklah mengambil barang sesuatu membelikan barang untuk Fatimah akan tapa(k) 46 tangan kepada Fatimah raḍiyallāhu ‘anhu. Maka setelah Ali kembalilah berjalanlah
perlahan-lahan.
Sambil
berjalan
perlahan,
Maka Sayyidina Ali melihat seorang laki-
dilihatnya oleh baginda Ali seorang laki. Laki-laki tersebut berkata, laki-laki, katanya, “Hai baginda Ali “Wahai baginda Ali, aku meminta memi(n)ta 47
hamba
sedeqalah sedekah yang telah Allah berikan
dianugerahi Allah ta’ālā berdiri di jalan kepadamu.”
Laki-laki
raya.” Maka ia memberi salam kepada memberikan
salam
baginda
Ali
katanya,
itu
pun
kepada
“Assalāmu Sayyidina Ali, “Assalāmu ‘alakum,
‘alakum ya baginda Ali, hamba /22/ aku meminta sedekah yang telah meminta
sedeqa
anugerah
Allah.” Allah berikan kepadamu.” Dijawab
Maka disahutinya oleh baginda Ali`, oleh Sayyidina Ali, “Wa ‘alaikum “Wa ‘alaikum salām hai laki-laki, apala salām, apa yang engkau mau?” hendak tuhan ini kepada hamba. Maka laki-laki itu pun berkata, “Aku kata laki-laki itu, “Berapa lama hamba sudah tidak makan selama beberapa dengan karunia Allah ta’ālā Tuhan hari. Aku sangat lapar, sudah tujuh hamba ini bahwa hamba terlalu lapar hari lamanya tidak makan.” Ali lalu tujuh hari lamanya tiada makan.” Maka memberi satu dinar kepadanya. diberi oleh baginda Ali satu dinar akan Tersisa dua dinar yang dipegang dia. Maka tinggal dua dinar lagi Sayydina Ali. kepadanya. 44
D-q-k-n tidak diketahui maknanya [li]lah -> lah 46 Tapa -> tapa(q) 47 Memita -> memi(n)ta 45
46
Maka datang lagi pertengahan jalan.
Maka
baginda
Ali
Kemudian di tengah perjalanan
pun Sayyidina
Ali
bertemu
dengan
bertemulah dengan seorang tuah /23/ orang tua. Orang tua itu berkata, pada jalan itu. Maka kata orang tuah, “Wahai Sayyidina Ali` raḍiallāhu “Ya baginda Ali` raḍiyallāhu ‘anhu ‘anhu aku meminta sedekah dari meminta sedeqah dianugerahi Allah. anugerah Allah kepadamu. Aku Berapa hamba barang satu dengan sangat kelaparan, tidak makan tujuh karunia Allah ta’ālā kepada tuhan hari tujuh malam. Sekarang pun hamba ini kelaparan tujuh hari tujuh aku belum makan.” Sayyidina Ali malam. Sekarang pun tiada hamba membuka
kantungnya
dan
makan. Maka dibukakan baginda Ali memberikan orang tua itu satu kandungannya. Maka diberinya satu dinar. Tinggal satu dinar yang dinar orang tuah itu. Maka lagih tinggal dipegang Sayyidina Ali. satu dinar kepada baginda Ali pun. Sampailah ke pintu kota banu
Sesampainya Ali di pintu kota
/24/ Madina. Maka dilihatlah oleh Madinah, beliau melihat seorang baginda Ali` karamallāhu waj(ḥ)ah 48 perempuan duduk di pintu kota ada seorang perempuan duduk di pintu Madina bersama seorang anak lakikota Madina serta anak kecihilnya ada laki.
Perempuan
itu
berkata,
seorang perempuan duduk/ di pintu “Wahai Sayyidina Ali kasihanilah kota Madina 49 lelaki-lelaki. Maka kata aku.” Sayyidina Ali dengan segera perempuan
itu,
“Ya
baginda
Ali membuka kantungnya. Baginda Ali
kasihan hamba.” Maka didengar oleh memberikan satu baginda
Ali`
membukakan
pun
segerah
kandungannya.
(i)a
50
perempuan itu, sehingga tidak ada
Maka lagi untuknya.
diberikannya dinar satu lagi kepada perempuan itu. Tiada lagi tinggal kepada baginda Ali` itu.
48
Wajah -> waj(ḥ)ah Terdapat kalimat yang dicoret karena menulis ulang kalimat sebelumnya 50 Ya -> {i}ya 49
dinar kepada
47
/25/ Pikir-pikirlah baginda Ali` itu.
“[h]Apa 51
kerjaan
pulang
Sayyidina Ali berpikir, “Apa
ke yang harus aku lakukan untuk
rumahku pula. [h]Apa 52 lagi kuberikan pulang ke rumah? Apa yang dapat pada Fatimah?” Maka baginda Ali pun aku berikan kepada Fatimah?” Ali hampirlah datang ke rumahnya, dengan ketika
itu
hampir
taqdir Allah ta’ālā datang seorang laki- rumahnya.
Atas
sampai
takdir
di
Allah,
laki membawa seekor unta dengan datang seorang laki-laki membawa segeranya. Maka kata orang itu, “Ya seekor unta. Orang itu pun berkata, baginda Ali, belilah ini unta putiku “Wahai Sayyidina Ali, belilah unta itu.” Maka kata baginda Ali, “Tiada putihku ini.” Sayyidina Ali pun pembeli kepada hamba.” Maka kata menjawab,
“Aku
tidak
ingin
laki-laki itu, “Tiada aku berkehendak membelinya.” Laki-laki itu berkata, akan pembeli itu. Aku sekarang ambil “Aku /26/ oleh tuhan hamba.
tidak
bermaksud
menyuruhmu
membelinya
sekarang, bawa saja dulu.” Setelah didengar oleh baginda
Setelah Sayyina Ali mendengar
Ali kata orang itu, maka ambilnya oleh perkataan
orang
itu,
ia
pun
baginda Ali unta putih itu dari padanya. mengambil unta putih dari laki-laki Maka dihargakannya unta itu lima tersebut yang dihargakan sebesar belas dinar. Maka baginda Ali pun lima belas dinar. Ketika Sayyidina hampirlah datanglah
ke
rumahnya.
seorang
laki-laki,
Maka Ali hampir sampai di rumahnya, “Ya datang seorang laki-laki, “Wahai
baginda Ali, marilah kubeli untamu itu Sayyidina Ali, maukah kubeli unta lima belas ribu dinar.” Maka kata putih itu seharga lima belas ribu baginda Ali`, “Ambil lah oleh tuhan dinar.”
Sayyidina
Ali
pun
hamba.” Maka diberinya lima belas menjawab, “Ambilah unta ini.” ribu dinar harganya unta putih itu. Unta putih itu akhirnya dibeli Setelah /27/ itu maka diserahkan seharga lima belas ribu dinar. baginda Ali kepada orang membeli dia. Setelah 51 52
[h]apa -> apa [h]apa -> apa
itu
Sayyidina
Ali
48
Setelah itu suka citalah baginda Ali menyerahkan unta putih kepada dengan
memuja
Allah
subḥānahu pembeli tersebut. Sayyidina Ali
wata’lā. Maka kata baginda Ali Al- memuja Allah subḥānahu wata’ālā. hamdu lillāhi rabbil-‘ālamin.
Beliau
mengucap,
“Al-hamdu
lillāhi rabbil-‘alāmin.” Maka sampailah baginda Ali ke
Ketika Sayyidina Ali sampai di
rumahnya. Maka bertemulah dengan rumahnya,
ia
Rasūlullāh ṣallāhu ‘alayhi wasallam. Rasūlullāh Rasūlullāh
Maka
bertemu
dengan
ṣallāhu
‘alaihi
bersabda wasallam. Kemudian Rasūlullāh
pun
katanya, “Ya baginda Ali`, aku kabari bersabda
kepadanya,
“Wahai
ceritera tuhankulah engkaulah.” Maka Sayyidina Ali, aku ingin memberi sembah baginda Ali`. “Ya Rasūlullāh, kabar
kepadamu.”
Beliau
ya junjunganku, tuhankulah, beri /28/ menjawab, “ Wahai Rasūlullāh, ceritera.” Maka sabda Rasūlullāh, “Ya junjunganku, tuanku, kabarkanlah Ali tahukah engkau akan unta puti itu kepadaku.” Rasūlullāh bersabda, dan engkau tahukah orang menjual dia “Wahai Ali, apakah kamu tahu dan membeli dia itu tiadakah?” Maka orang yang menjual dan yang kata baginda Ali`, “Tiada hamba tahu.” membeli unta itu? Sayyidina Ali Maka Nabi, “Hai Ali, unta itu unta menjawab, “Aku tidak tahu.” Kata ṣalih dan menjual dia itu Jibrail dan nabi, “Unta itu adalah unta ṣalih yang membeli dia itu Mikail. Adapun dan yang menjual unta itu adalah unta-unta
itu
dari
dalam
diserahkan Allah ta’ālā lā
syurga Jibril, sedangkan yang membeli 53
ilāha adalah
Mikail.
Adapun
unta
illallāh, Muḥammad Rasūlullāh sallāhu tersebut berasal dari surga yang diberikan oleh Allah ta’ālā lā ilāha
‘alaihi wasallam.
illallāh,
Muḥammad
Rasūlullāh
sallāhu ‘alaihi wasallam. Demikianlah firma[i]n 53 54
54
kahwin
Illa -> {lā} Firma[i]n -> firman
/29/
firman
Fatimah
–
Begitulah
anak pernikahan
cerita Fatimah,
megenai anak
49
Rasūlullāh sallāhu ‘alaihi wasallam Rasūlullāh Demikian bunyinya * Wa Qālallāhu wasallam. ta’ālā:
(Maṡalu) 55llażīna
(amwā) 56lahum
fī
sallāhu Firman
yunfiqūna Perumpamaan
(sabī) 57lillāhi mnginfakkan
‘alaihi Allah
orang hartanya
* yang
di
jalan
kamaṡali habbatin (anbatat) sab’a58 Allah seperti sebutir biji yang sanābila fī kulli sunbulatin miatu59 menumbuhkan tujuh tangkai, pada habbatin (wallāhu yuḍ’ifu liman yasyā` setiap tangkai ada seratus biji yang wallāhu wāsi’un ‘alīmun) 60*Artinya menumbuhkan tujuh tangkai ada firman Allah ta’ālā seperti sedeqahlah seratus biji. Allah melipatgandakan biji sebeiji itu tujuh tangkai[ng] 61 dan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan berbuahnya tiada terbilang jika datang Allah Mahaluas, Mahamengetahui. arta itu diberikan oleh baginda Ali * 62 Arti firman Allah ta’ālā seperti kepada
tangan
Fatimah
anak sedekah satu biji menumbuhkan
Rasūlullāh sallāhu ‘alayhi wasallam. tujuh
biji
/30/ Maka diambil oleh Fatimah arta terhitung.
dan
buahnya
Baginda
tidak Ali
itu. Maka Fatimah pun memanggil menyerahkan harta tersebut kepada segala faqir dan mitskin di banu Fatimah, anak Rasūlullāah ṣallāhu Madinah.
‘alaihi wasallam. Kemudian harta itu diterima oleh Fatimah. Fatimah pun
memanggil
seluruh
fakir
miskin di Madinah.
55
Miṡlu -> (Maṡalu) Amawā -> (amwā) 57 Syabī -> (sabī) 58 Saba’a -> (Sab’a) 59 Miatin ->(miatu) 60 QS. Al-Baqarah: 261, Tim Penyusun, Al-‘Alim: Al- quran dan Terjemahannya (Bandung: Al- Mizan, 2011), cet. Ke-8. h. 45 61 Tangkai[ng] -> tangkai 62 Tim Penyusun, Op., Cit, h. 45 56
BAB IV ANALISIS TEKS HIKAYAT ALI KAWIN A. Sinopsis Hikayat Ali Kawin Alkisah seorang perempuan yang diberikan kecantikan luar biasa oleh Allah. Ia memiliki wajah yang bercahaya. Tidak ada ciptaan Allah yang melebihi kecantikannya. Ia adalah putri dari untusan Allah, nabi Muhammad SAW. Namanya adalah Fatimah az-Azahra. Sebab kecantikannya itulah membuat seorang pemuda sangat ingin memilikinya. Pemuda itu ialah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat nabi Muhammad. Ia adalah orang yang bertakwa. Berkat ketakwaannya tersebut, ia sangat dikasihi oleh Allah SWT. Suatu ketika berdoa dengan penuh harap kepada Allah. Ali bin Abi Thalib dalam doanya mengadu kepada Allah akan hatinya yang sangat menginginkan Fatimah menjadi istrinya. Ia ingin sekali melamar Fatimah, tetapi ia tidak percaya diri karena merasa tidak memiliki apa-apa. Setiap malam dan siang, terutama pada hari Jumat, ia terus berdoa dengan sangat berharap dikabulkan doanya oleh Allah. Suatu ketika, Allah SWT memanggil malaikat Jibril. Malaikat Jibril diperintahkan untuk mengumpulkan seluruh malaikat dari tujuh langit dan malaikat yang memikul Arasy. Seketika itu, datanglah seluruh malaikat baik dari tujuh langit dan malaikat yang memikul Arasy. Kemudian Allah menyuruh malaikat Jibril membuka pintu syurga. Allah juga memerintah malaikat Zabaniyah menutup pintu neraka. Allah kemuudian memerintahkan malaikat Jibril untuk menghancurkan kesturi dan apa saja yang harum baunya. Angin berhembus dari bawah Arasy ketika itu, menyebabkan bau dari kesturi dan wangi-wangian tercium oleh seluruh malaikat. Kayu dalam syurga pun ikut tertiup, sehingga menimbulkan segala bunyi yang sangat merdu dan membuat para bidadari berterbangan. Peristiwa tersebut membuat seluruh malaikat terheran. Mereka akhirnya bertanya kepada Allah karena kejadian hari.
50
51
Allah menjawab bahwa hari ini hendak menikahkan hamba-Nya Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahra. Langsung Allah memerintahkan Jibril beserta para malaikat sebanyak tujuh puluh ribu membawa nampan. Nampan tersebut merupakan mas kawin untuk Fatimah. Mas kawinnya berupa perhiasan dengan berbagai warna, sutra dari benang mas, dan sutra tebal. Jibril pun segera menemui Rasulullah untuk memberi kabar pernikahan Ali bin Abi Thalib. Setelah Fatimah mengetahui pernikahan tersebut, ia mengatakan kepada ayahnya bahwa ia telah rida dinikahkan dengan Ali bi Abi Thalib. Sayangnya, ia tidak menginginkan mas kawin dan mengembalikannya kepada Jibril. Segera Jibril menghadap Allah SWT menyampaikan keinginan Fatimah. Allah pun memerintahkan Jibril untuk turun kembali ke bumi agar Fatimah mau menerima mas kawin tersebut. Fatimah pun akhirnya menggantikan mas kawinnya permohonan syafa’at untuk Ali. Fatimah juga memohon ampun untuk istri yang berdosa kepada suaminya dari seluruh umat. Fatimah akhirnya tinggal bersama dengan Ali bin Abi Thalib, tetapi mereka masih saling diam dari malam sampai pagi. Pagi harinya Ali bin Abi Thalib berpikir bahwa ia belum memberikan apapun kepada Fatimah. Ia memutuskan untuk bertemu qadi meminta upahnya sebanyak tiga dinar. Segera setelah Ali bin Abi Thalib mendapat upahnya, ia segera pulang untuk memberikan kepada Fatimah. Ali bin Abi Thalib di tengah perjalanan bertemu dengan laki-laki meminta sedekah karena belum makan selama tujuh hari. Laki-laki itu pun diberi satu dinar oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika melanjutkan perjalanan, bertemulah Ali bin Abi Thalib dengan orang tua yang mengaku belum makan tujuh hari tujuh malam. Orang tua pun itu diberi oleh Ali bin Abi Thablib satu dinar. Di pintu kota, Ali bin Abi Thalib bertemu perempuan dengan anak kecil yang meminta sedekah. Diberikanlah lagi sebanyak satu dinar, sehingga tidak ada lagi uang Ali bin Abi Thalib. Ketika melanjutkan perjalanan pulang, Ali bin Abi Thalib bertemu dengan seorang laki-laki membawa unta berwarna putih. Lelaki tersebut meminta Ali
52
membawa untanya. Datang lagi seorang lelaki hendak memberi unta tersebut seharga lima belas ribu dinar. Uang tersebut kemudian diberikan kepada Fatimah. Fatimah pun memanggil orang faqir dan miskin untuk diberikan sedekah. Begitulah perumpamaan orang yang bersedekah dan rida karena Allah. Allah akan menggantinya dengan pahala yang berlipat ganda.
B. Unsur Intrinsik Hikayat Ali Kawin 1. Tema Tarigan menyatakan bahwa setiap cerita haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dengan karyanya dengan dasar tersebut. Tema merupakan hal yang penting dalam sebuah cerita. Suatu cerita yang tidak memiliki tema tentu tidak ada gunanya. 1 Kosasih mengungkapkan tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Membaca secara menyeluruh harus dilakukan oleh pembaca agar dapat merumuskan tema suatu cerita. Pembaca harus mengenali unsur-unsur intrinsik yang digunakan pengarang, bisa saja tema diselipkan melalui penokohan, alur, ataupun latar. 2 Tema pada hikayat ini tidak hanya satu jenis saja, akan tetapi ada dua jenis yaitu mayor dan minor. Tema mayor dalan Hikayat Ali Kawin mengenai religi. Religi di sini dapat dilihat dari hubungan manusia sebagai ciptaan dengan Tuhannya. Hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya tidak hanya dilihat dari ibadahnya saja. Penyerahan diri manusia secara menyeluruh kepada Tuhan terhadap seluruh persoalan yang dihadapi dan telah ditetapkan.
1 2
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 125 Kosasih, Op., Cit, h. 60-61
53
Hikayat ini menggambarkan bagaimana nilai religi begitu kental dari berbagai dimensi. Dimensi ini di antaranya berupa kepercayaan kepada Tuhan dan apa saja yang harus diyakini. Hal tersebut dapat terlihat dari percakapan Fatimah dengan ayahnya, Muhammad SAW mengenai pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib. Pernikahannya tersebut telah ditetapkan oleh Allah dan telah berlangsung di langit. Fatimah dengan segera menyetujui akan ketetapan yang telah diberikan. “Wahai Fatimah cahaya mataku, buah hatiku, dan cermin mataku. Jibril telah turun dari langit dengan tujuh puluh ribu malaikat membawa firman Allah ta’ālā kepadaku. Allah subḥānahu wata’ālā menganugerahkan kepadamu dengan menikahkan engkau dengan Ali di langit Tuhan seluruh alam. 3 Sayid Fatimah pun berkata, “Hamba rida dengan perintah Allah subḥānahu wata’ālā dinikahkan dengan Ali. 4 Kutipan di atas memperlihatkan bahwa sebagai manusia yang mempercayai adanya Tuhan dan aturan-Nya, Fatimah tunduk terhadap takdir yang telah digariskan kepadanya. Fatimah sebagai orang Islam merasa wajib menjalankan apa yang telah diperintahkan kepadanya sampai pernikahannya pun telah dilaksanakan tanpa ditanya terlebih dahulu mengenai perasaannya kepada Ali bin Abi Thalib. Jawaban yang diberikan Fatimah pun menunjukkan keyakinannya terhadap pilihan Allah adalah yang terbaik untuknya. Hikayat Ali Kawin juga memiliki tema minor. Tema minor dalam hikayat ini mengenai percintaan. Rasa cinta yang dimiliki Ali bin Abi Thalib terhadap Fatimah begitu mendalam. Cinta yang tidak diumbar namun dikejar dalam doa dan diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Bermula baginda Ali Raḍiallāhu ‘anhu sangat malu kepada Rasūlullāh ṣalla/llāhu ‘alaihi wa sallam karena sangat faqir dan tidak memiliki harta. Baginda Ali sangat meminta kepada Allah subḥānahu wata’ālā pada waktu malam dan siang, setiap hari, dan pada hari Jumat.5
3
Hikayat Ali Kawin Ibid, 5 Ibid, 4
54
Rasa cinta Ali bin Abi Thalib begitu ditutupi. Ia langsung meminta kepada Allah memohon dengan penuh harap agar berjodoh dengan Fatimah. Keyakinan Ali bin Abi Thalib bahwa Allah maha kuasa dan maha berkehendak, menyebabkan terus berdoa siang dan malam. Ketulusan dalam berdoa memohon kepada Allah atas cintanya kepada Fatimah, memunculkan suasana romantis sebuah kisah cinta karena Allah. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh merujuk pada seseorang atau pelaku cerita dalam sebuah karya fiksi. Tokoh cerita menurut Nurgiyantoro menempati posisi strategis sebagai penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. 6 Penokohan adalah watak atau tempramen tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita. Pola-pola tindakan tokoh dipengaruhi oleh tempramen ini. Tempramen atau watak ini mungkin berubah, mungkin pula tetap sesuai dengan bentuk perjuangan yang dilakukannya. 7 Salah satu ciri dari karya Melayu klasik adalah tokohnya statis. Artinya, di dalam cerita tidak ada perkembangan watak dari tokoh. a. Ali bin Abi Thalib Ali bin Abi Thalib adalah tokoh utama yang utama dalam Hikayat Ali Kawin. Meski tokoh Ali bin Abi Thalib tidak melulu hadir dalam peristiwa, akan tetapi perkembangan peristiwa dan alurnya berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib. Selain itu, pengambilan namanya sebagai judul mempengaruhi eksistensinya sebagai tokoh utama. Ali bin Abi Thalib memiliki sifat malu dalam dirinya, terlihat dalam kutipan di bawah ini. Bermula baginda Ali Raḍiallāhu ‘anhu sangat malu kepada Rasūlullāh ṣalla/llāhu ‘alaihi wa sallam karena sangat faqir dan tidak memiliki harta 8 Baginda Ali sangat meminta kepada Allah subḥānahu wata’ālā pada waktu malam dan siang, setiap hari, dan pada hari Jumat. 9
6
Nurgiyantoro, Op., Cit, h. 167 Atmazaki, Op., Cit, h. 62 8 Ibid, 9 Ibid, 7
55
Gambaran sifat malu di atas memang tidak diungkapkan langsung oleh Ali bin Abi Thalib. Apa yang disampaikan oleh pengarang memberinya ciri terhadap diri Ali bin Abi Thalib. Sifat malunya ini tidak selalu ada. Ali bin Abi Thalib hanya malu untuk melamar Fatimah karena tidak memiliki harta dan kedudukan yang tinggi di masyarakat. Ali bin Abi Thalib dapat disebut sebagai lelaki shalih. Sebab, ketakwaannya kepada Allah dan tanggung jawabnya sebagai suami dalam menafkahi istrinya terlihat dalam usaha berikut. Bermula baginda Ali terlalu amat meminta dan kepada Allah subḥānahu wata’ālā pada malam dan siang dan daripada tiap-tiap hari dan hari Jumat. 10 Setelah sembahyang maka Ali` pun pikir dalam hatinya, “Satupun tiada diberinya tapak tangan Fatimah dari pada aku.” Maka Ali` pun turunlah dari rumahnya serta berkata, “Tutuplah pintu rumah Fatimah.” Maka Ali` pun turunlah dari atas rumahnya. Ia pergi kepada qāḍī Syam meminta perolehnya akan Fatimah ke bani Syam titah kerjanya. 11 Keyakinan Ali bin Abi Thalib mengenai Tuhannya begitu besar. Allah sebagai tempat meminta sebagai wujud religus pada Tuhannya. Tanggungjawab sebagai suami untuk menafkahi istri, terlihat dalam usahanya pergi ke Syam. Jarak antara Syam dengan Madinah yang jauh, ditambah dengan masa lalu yang belum ada kendaraan menunjukkan kegigihannya untuk bertanggungjawab. Saat ini, Syam diketahui menjadi empat Negara, yaitu Suriah, Palestina, Lebanon, dan Israel. Oleh karena itu, pantas bila Ali bin Abi Thalib dipanggil sebagai lelaki yang bertanggungjawab. b. Fatimah Fatimah dalam hikayat ini digambarkan sebagai tokoh utama tambahan dari tokoh nyata. Tokoh yang diambil dari tokoh nyata dapat memberikan kesan kepada pembaca sebagai cerita realistis. Fatimah
10 11
Ibid, Ibid,
56
memiliki wajah yang sangat cantik. Kecantikannya tidak ada yang dapat menandinginya. Kemudian daripada itu maka dianugerahkan Allah Fatimah bertatah dan dan mukjizat dan Fatimah maha baik parasnya dengan sempurnanya terlalu amat baik dan amat bercahaya mukanya dengan tiada pernah anugrah Allah ta’ālā dalam dunia ini seorang juapun tiada seperti rupa Fatimah az-Zahra ituh yang terlebih baik parasnya daripada anak-anakan bida-bidari yang di dalam syurgah. Sayid Fatimah pun berkata, “Hamba rida denga perintah Allah subḥānahu wata’ālā dinikahkan dengan Allah. 12 Kecantikan Fatimah memang sudah diketahui secara nyata. Pengambilan tokoh sejarah ke dalam fiksi semakin mempertinggi rasa realistis
terhadap
kehidupan
Fatimah.
Bagaimanapun
dengan
pengambilan tokoh nyata, pembaca diajak menghubungkan kehidupan sejarah dengan cerita fiktif yang dibuat pengarang. Selain cantik wajahnya, Fatimah juga memilki sikap dan perilaku baik sebagai manusia. Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa Fatimah merupakan seorang anak yang patuh terhadap perintah karena ia dengan begitu saja menerima pernikahan. Sikap lain yang ada dalam diri Fatimah adalah sikap sederhana. Sikap sederhananya menolak mas kawin, dan memutuskan untuk mengembalikannya. “Wahai Tuanku, jika bisa hamba memohon kehadirat Allah ta’ālā ampunan dosa seluruh perempuan yang durhaka kepada suaminya.” 13 Maka diambil oleh Fatimah harta itu. Maka Fatimah pun memanggil segala faqir dan miskin di banu Madinah. 14 Kutipan di atas menyiratkan sifat yang dimiliki oleh Fatimah. Selain sebagai orang yang sederhana, keputusannya untuk memohon ampunan dosa sebagai mas kawin memperlihatkan sifat yang lain. Sifat lainnya itu berupa kasih sayang pada kepada semua makhluk.Termasuk menyedekahkan hartanya kepada faqir miskin. 12
Hikayat Ali Kawin Ibid, 14 Ibid, 13
57
Oleh karena itu, sifat-sifat seperti inilah yang mendorong anggapan bahwa Fatimah adalah wanita shalih. c. Malaikat Jibril Tokoh malaikat Jibril bukanlah tokoh tambahan yang utama. Keberadaan malaikat Jibril sendiri memiliki peranan yang penting. Tugasnya sebagai perantara dan pembawa wahyu dari Allah untuk Nabi Muhammad sangat baik, salah satunya dalam membawa kabar pernikahan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Malaikat sebagai makhluk Allah yang terpelihara dari dosa, senantiasa melakukan apa yang Allah perintahkan. Jika manusia diperintahkan untuk turun naik ke bumi dan langit, tentu akan merasa lelah. Lain halnya dengan Jibril, ia tunduk tehadap perintah Allah. Maka Jibril datang menyembah Allah, “ Wahai Rab, Sayid, Maula, Ya Tuhanku, Fatimah, hamba-Mu rida dinikahkan. Akan tetapi, ia tidak rida dengan mas kawinnya. Maka Allah ta’ālā berfirman kepada Jibri, “Turunlah engkau ke dunia beserta tujuh puluh ribu malaikat dengan membawa tetampan itu. 15 Rasa tunduk sebagai buah ketaatan Jibril kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya. Ketundukannya terhadap perintah Allah tidak hanya mengenai masalah mas kawin yang menyebabkannya turun naik langit. Jibril pun mengumpulkan semua malaikat dan bidadari yang berada di surga sebagaiman perintah Allah utuk membawa mas kawin Fatimah. d. Allah Allah sebagai tokoh tambahan yang utama memiliki peran yang penting dalam perkembangan cerita. Tanpa adanya tokoh Allah, terwujudnya pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah akan sangat mustahil. Atas perintah Allahlah terlaksananya pernikahan tersebut. Allah sebagai Tuhan, memiliki sifat yang maha penyayang dan kuasa.
15
Ibid,
58
Maka Allah subḥā/nahu wata’ālā mengabulkan permintaanya. 16 Maka aku bermaksud menikahkan Fatimah dengan hambaku Ali banu Abi Thalib.” 17 Kebaikan dan kekuasaan Allah tidak akan ada jika tanpa sebab. Ketaatan Ali bin Abi Thalib serta ketundukannya menyerahkan segala masalah kepada Allah. Keyakinan Ali bin Abi Thalib terhadap kuasa Allah, membuatnya terus berdoa dengan penuh harap. Sebab ketaatannya itulah, Allah membalas perbuatan Ali bin Abi Thalib dengan mengabulkan doanya dan menikahkannya dengan Fatimah. e. Nabi Muhammad Nabi Muhammad merupakan tokoh tambahan yang utama memiliki peranan penting. Hikayat Ali Kawin ini berlatar masa setelah hijrah ke Madinah. Tentu saja segala peristiwa mengenai ketuhanan berkaitan erat dengannya. Sifat Nabi Muhammad yang tercermin di dalam hikayat ini sangat menyayangi Fatimah, amanah, dan menyampaikan wahyu Allah sebagaiman tugasnya. “Wahai Fatimah cahaya mataku, buah hatiku, dan cermin mataku. 18 Nabi Allah pun pergi bertanya kepada Fatimah, “ Wahai anakku, telah datang Jibril membawa firman Allah ta’ālā. Engkau dipinta dengan senang hati menerima tujuh puluh ribu malaikat. Katakanlah apa keinginanmu agar malaikat jangan sampai pergi, karena mereka dengan senang hati membawa tetampan emas kawin, Anakku.” 19 “Wahai Ali, unta itu adalah unta ṣalih dan yang menjual unta itu adalah Jibril, sedangkan yang membeli adalah Mikail. Adapun unta tersebut berasal dari surga yang diserahkan Allah. 20 Rasa sayang Nabi Muhammad terhadap putrinya, Fatimah sangat terlihat. Meski tidak disampaikan secara terus terang, namun terlihat dari perkataannya. Panggilannya kepada Fatimah dengan “cahaya mataku, buah hatiku, dan cermin mata” menunjukkan betapa 16
Ibid, Ibid, 18 Ibid, 19 Ibid, 20 Ibid, 17
59
ia sangat menyayangi putrinya. Rasa sayangnya yang begitu besar, sampai-sampai diibaratkan dengan seluruh hal dalam dirinya. Kata “cahaya mataku” menunjukkan keberadaan Fatimah yang begitu penting bagi nabi. Seolah-olah tanpa ada Fatimah, kehidupannya begitu gelap. Kata “buah hatiku dan dan cermin mataku” memberi isyarat bahwa Fatimah adalah keturunannya yang sama seperti nabi. Sifat amanah dan
menyampaikan kabar dari Allah terlihat
dalam Hikayat Ali Kawin. Di beberapa peristiwa, Nabi Muhammad mengatakan bahwa ia membawa kabar. Kabar yang diberikan oleh dan diperantarai oleh Malaikat. Tidak ada keraguan sedikit pun dari orangorang yang diberi kabar oleh nabi. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad begitu dipercaya. f. Tujuh puluh ribu malaikat Tujuh puluh ribu malaikat merupakan tokoh tambahan yang tambahan, hampir sama tugasnya dengan Jibril. Hanya saja bukan menyampaikan kabar, akan tetapi membawa mas kawin untuk Fatimah menggunakan tetampan. Jibril turun ke dunia beserta tujuh puluh ribu malaikat yang membawa tetampan dari syurga dan berbagai perhiasan yang indah. 21 Sebab tugasya itulah tujuh puluh ribu malaikat tersebut memiliki pribadi yang tunduk kepada Allah. Mereka menuruti perintah Allah untuk turun ke bumi sampai dua kali. g. Malaikat pemikul Arasy Malaikat pemikul arasy merupakan tokoh tambahan yang tambahan. Ia memiliki tugas dari Allah membawa arasy. Sama halnya dengan malaikat lain, terpelihara dari dosa karena ketundukannya kepada Allah. Maka berkumpullah seluruh malaikat yang memikul ‘Arsy. 22
21 22
Ibid, Ibid,
60
Mereka ikut berkumpul dengan malaikat Jibril dan tujuh puluh ribu malaikat untuk mendengar kabar dari Allah. h. Malaikat Mikail Malaikat Mikail adalah tokoh tambahan yang tambahan. Ia diberi tugas oleh Allah dengan mengubah diri menjadi manusia untuk membantu Ali bin Abi Thalib. Maka sabda Rasūlullāh, “Ya Ali` tahukah engkau akan unta putih itu dan engkau tahukah orang menjual dia dan membeli dia itu tiadakah?” Maka kata baginda Ali`, “Tiada hamba tahu.” Maka Nabi, “Hai Ali`, unta itu unta ṣalih dan menjual dia itu Jibril dan yang membeli dia itu Mikail. 23 Sebagaimana tugasnya dalam kehidupan sesungguhnya, yaitu memberi rizki pada manusia, malaikat Mikail pun demikian dalam hikayat Ali Kawin. Ia memberi rizki kepada Ali bin Abi Thalib denan cara membeli unta putih dengan harga yang tinggi. Malaikat Mikail berubah menjadi manusia atas izin Allah untuk membantu Ali bin Abi Thalib. i. Malaikat Zabaniyah Malaikat Zabaniyah adalah tokoh tambahan yang tambaha. Ia merupakan salah satu malaikat yang ikut mendapat imbas dari adanya pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Sebagaimana tugasnya yang sebenarnya menjaga pintu neraka, ia diperintahkan untu menutup pintu neraka oleh Allah pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah yan begitu istimewa sampai-sampai pada hari itu pintu neraka ditutup. j. Bidadari Bidadari adalah tokoh tambahan yang tambahan dan makhluk yang tinggal di surga. Bidadari dalam Hikayat Ali Kawim tidak ada dialog dari mereka. Meski demikian, mereka disinggung sedikit dalam percakapan antara Allah dan Malaikat Jibril. Hal tersebut disebabkan karena mereka menyambut baik dan bersenang hati atas pernikahan antara Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah. 23
Ibid,
61
3. Alur Pujiharto mengungkapkan bahwa setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita tersebut terdiri dari perinstiwa-peristiwa. Peristiwa yang terjadi tidak semata dipaparkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang biasa disebut alur.24
Menurut Jeremy Hawthorn, A plot is an ordered, organized sequence of events and actions. 25 Alur adalah sebuah urutan peristiwa dan tindakan yang telah ditata dan diatur. Hikayat Ali Kawin memiliki alur yang maju, dilihat deretan cerita dari awal sampai akhir. Sebagaimana ciri sastra Melayu klasik, hikayat ini dimulai dengan pemaparan kekuasaan Tuhan dengan menyebutkan berbagai macam empat ciptaan istimewa. Dilanjutkan dengan pengenalan tokoh, rentetan peristiwa, konflik, klimaks, dan bagaimana penyelesaian akhir cerita. Akhir cerita Hikayat Ali Kawin berakhir dengan bahagia, sebagaimana ciri khas sastra Melayu yang bersifat statis kaku. Berikut penjabaran mengenai tahapan alur dalam Hikayat Ali Kawin: a. Pengenalan Pengenalan tokoh Fatimah dan Ali bin Abi Thalib serta tokohtokoh lainnya bersamaan dengan munculnya peristiwa. b. Peristiwa Peristiwa dimulai dengan berdoanya Ali bin Abi Thalib kepada Allah memohon agar keinginannnya berjodoh dengan Fatimah terlaksana. Permohonannya tersebut dikabulkan oleh Allah dengan menikahkannya dengan Fatimah di langit. Allah memanggil para malaikat menyaksikan penikahan tersebut serta membawa mas kawin ke bumi untuk diserahkan Fatimah. Selanjutnya kehidupan pernikahan dimulai dengan tanpa memiliki harta yang mengakibatkan Ali meminta upahnya kepada qadi. Pulang dari Syam, Ali bertemu dengan orang-orang yang meminta sedekah kepadanya.
24
Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 32 Jeremy Hawthorn, Studying the Novel an Introdution, (London: British Library Cataloguing in Publication Data, 1989), h. 53 25
62
c. Konflik Peristiwa
yang
terjadi
dan
berkembang
dengan
maju
menimbulkan berbagai konflik. Konflik pertama dimulai ketika Ali bin Abi Thalib ingin menikahi Fatimah. Berbagai kekurangan yang dimilikinya, menyebabkan Ali bin Abi Thalib malu untuk melamar Fatimah.
Konflik
lain
pun
muncul
setelah
Fatimah
menerima
pernikahannya. Ia menolak untuk menerima mas kawin yang telah dibawa oleh malaikat dari langit. Menimbulkan rasa kecewa dan heran para malaikat. Malaikat pun diperintahkan oleh untuk kembali ke bumi dan berusaha agar Fatimah mau menerima mas kawinnya. Konflik selanjutnya mulai berkembang dengan persoalan yang sama, yakni karena harta. Meskipun Fatimah tidak menuntut harta, tetapi Ali bin Abi Thalib merasa punya kewajiban untuk mencari nafkah. Keputusannya tersebut membuat Ali bin Abi Thalib pergi ke Syam meninggalkan Fatimah di rumah. Setelah Ali bin Abi Thalib mendapatkan uang untuk diberikan kepada Fatimah, ia bertemu orang-orang fakir miskin
meminta
sedekah.
Rasa
kasih
sayangnya
yang
besar,
mengakibatkan Ali bin Ai Thalib memberikan upahnya. d. Klimaks Akibat keputasan Ali bin Thalib memberikan upah kepada orangorang faqir. Timbullah klimaks dari berbagai konflik yang terjadi. Ali bin Abi Thalib tidak memiliki uang sepeser pun untuk diberikan ke Fatimah. Perjalanan pulang dari Syam ke Madinah membuat Ali bin Abi Thalib terus berpikir. Dalam pikiranya tersebut apa yang harus diberikan kepada Fatimah sesampainya di rumah. e. Penyelesaian Pertolongan Allah pun datang kepada Ali bin Abi Thalib. Seorang laki-laki memberikannya unta putih sseharga lima belas dirham. Kemudian datang lagi laki-laki yang lain membeli unta putih tersebut. Rasa syukur dan bahagia tidak terkira Ali bin Abi Thalib mendapatkan uang tersebut dan diberikannya kepada Fatimah. Penyelesaian dalam
63
hikayat ini dipaparkan dengan pesan untuk berbagi, sebagaimana yang telah diajarkan dalam Al-Quran, kitab suci umat Islam.
4. Latar Latar menurut Atmazaki adalah tempat dan suasana lingkungan yang mewarnai peristiwa. Latar sebuah cerita kan mewarnai cerita tersebut. Jika pembaca mngetahui latar, maka ia akan mempunyai persepsi tentang peristiwa. Latar tidak mesti realitas objektif, tetapi bisa jadi realitas imajinatif. 26 Artinya, latar yang digunakan hanya ciptaan pengarang,
yang jika dilacak kebenarannya tidak akan ditemui
sebagaimana diceritakan. Di lain sisi, bisa saja latar yang digunakan pengarang memang ada di dunia nyata. Latar sendiri terbagi tiga yakni, tempat, waktu, dan suasana. a. Latar Tempat Latar tempat tergambar pada lokasi terjadinya peristiwa yang dipaparkan dalam Hikayat Ali Kawin. Latar tempat yang digunakan dalam hikayat yaitu Syam dan rumah Ali bin Abi Thalib Maka Ali` pun turunlah dari rumahnya serta berkata, “Tutuplah pintu rumah Fatimah.” Maka Ali` pun turunlah dari atas rumahnya. Ia pergi kepada qāḍī Syam meminta perolehnya akan Fatimah ke bani Syam titah kerjanya. Ketika baginda Ali sampai ke rumahnya, maka ia bertemu dengan Rasūlullāh ṣallāhu ‘alaihi wasallam. 27 Begitu cintanya Ali bin Abi Thalib pada Fatimah, ia tidak ingin Fatimah kelaparan. Akhirnya Ali bin Abi Thalib pergi ke Syam mencari upahnya. Tidak hanya Syam, negeri yang tersebut dalam hikayat ini. Madinah pun tidak ketinggalan sebagai sebuah kota tempat berhijrah, di mana rumah Ali pun berada disana. qāḍī itu diberinya tiga dinar. Maka d-q-k-n duanya ke dalam kandungnya. Maka Ali` pun kembali lilah ke ban Madinah. 28
26
Atmazaki, Op., Cit, h. 62 Hikayat Ali Kawin 28 Ibid, 27
64
Madinah digambarkan dengan kepulangan Ali bin Abi Thalib ke rumah. Selain penyertaan latar tempat yang dapat ditemui, ada juga penggambaran latar tempat secara gaib dan sulit untuk dilihat dengan pancaindera, yaitu surga, neraka, dan langit. Allah subḥānahu wata’ālā menganugerahkan engkau dengan Ali dikahwinkan dari langit. 29 Allah ta’ālā kepada Jibril menyuruh membukakan pintu
syurga.
30
“Hai malaikat Zabaniyah tutupkanlah pintu neraka itu”. 31 Latar tempat gaib disandingkan dengan makluk gaib pula, seperti malaikat. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa tempat gaib atau tidak mempengaruhi siapa saja yang berkaitannya dengannya. b. Latar Waktu Latar waktu berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa dalam hikayat. Biasanya dalam sebuah karya dikaitkan dengan waktu faktual atau sejarah yang pernah terjadi. Begitu juga dalam Hikayat Ali Kawin berlatar masa pascahijrah. Sebagaimana sejarah yang telah diketahui, fakta bahwa para tokoh adalah tokoh yang benar ada. Oleh karena itu, latar waktu yang dominan dapat mempengaruhi perkembangan cerita seluruhnya. Banyak pendapat mengenai waktu pasti pelaksanaan pernikahannya. Sebagian berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah menikah satu tahun setelah hijrah. Ada pula yang mengatakan dua atau tiga tahun setelah hijrah. Ibnu al-Atsir menyebutkan bahwa pernikahan tersebut terjadi pada permulaan bulan
ke-22
hijrah.
Ibnu
Sa’ad
dalam
Thabaqatnya
mengemukakan, pernikahan tersebut terjadi lima bulan setelah hijrah ke Madinah dan Ali mulai berkumpul dengan Fatimah seusai 29
Ibid, Ibid, 31 Ibid, 30
65
perang Badr, sedangkan perang Badr itu terjadi pada permulaan bulan ke-19 sesudah hijrah. 32 Dapat diambil kesimpulan dari beberapa pendapat tersebut bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah terjadi pada tahun pertama setelah hijrah dan tinggal bersama pada tahun kedua setelah hijrah. c. Latar Sosial Latar sosial berkaitan dengan masalah sosial di masyarakat. Kehidupan sosial di masyarakat mencakup berbagai masalah yang kompleks salah satunya berupa kepercayaan. Kepercayaan tokoh Ali bin Abi Thalib terhadap doa dan keyakinannya akan padahal dari perbuatan baik. Tokoh Fatimah yang berserah diri kepada Allah mengenai pernikahannya terhadap perintah yang harus ditaatinya. Peristiwa yang muncul pada masa pascahijrih bertempat di Madinah dan Syam, tentu keyakinan para tokoh yang masih sangat mendalam. Semangat juang terhadap agama, sehingga berusaha menjadi hamba yang menaati perintah-Nya dan meyakini segala kekuasaan-Nya. 5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita, 33 baik berperan langsung sebagai orang pertama atau sebagai orang ketiga. Nurgiyantoro menyatakan bahwa sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan atau cerita. 34 Pemilihan sudut pandang tertentu membutuhkan konsekuensi dalam menggunakan sudut pandang yang dapat dimanfaatkan oleh pengarang. Hikayat Ali Kawin menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Pengarang mengetahui dan menceritakan segala seluk beluk
32
H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Imamul Muhtadin ‘Ali bin Abi Thalib: Pintu Gerbang Ilmu Nabi SAW, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), h. 78 33 Kosasih, Op., Cit, h. 69 34 Nurgiyantoro, Op., Cit, h. 248
66
yang terjadi pada tokoh. Pengetahuan pengarang meliputi percakapan tokoh, perbuatan, pikiran, dan perasaan yang dirasakan tokoh. 6. Gaya Bahasa Penggunaan gaya bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau
suasana
memperlihatkan
persuasif hubungan
serta
merumuskan
dan
interaksi
dialog
antara
yang
mampu
sesama
tokoh. 35
Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa bahasa sastra bagaimanapun, perlu diketahui eksistensinya. Sebab tidak dapat disangkal, bahasa dapat menawarkan sebuah fenomena yang lain. Fenomena lain di sini berupa disejajarkan dengan ragam bahasa. 36 Bahasa yang digunakan dalam Hikayat Ali Kawin menggunakan bahasa Melayu klasik. Ungkapan-ungkapan yang dipakai masih bisa dimengerti, karena menggunakan kosakata yang mudah. Meski demukian, terdapat beberapa kata yang tidak digunakan saat ini, seperti kemala, kesturi, biduri, ṭabaq, dan lain sebagainya. Allah ta’ālā kepada Jibril menyuruh membukakan pintu syurga. maka ‘a-b-s segala bidadari dan hanyasanya mahligai bertakhtakan/ ratna mata manikam dan p-w-l-h dan kesturi/ biduri dan kemala. 37 7. Amanat Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang berhak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. 38 Amanat yang dapat diambil dalam Hikayat Ali Kawin tidak hanya nilai religi sesuai dengan tema. Rasa tanggung jawab, kesungguhan dalam menggapai keingingin, tolong menolong, dan bersedah. Sebagaimana dalam kutipan berikut: Seperti sedekahlah biji sebiji itu tujuh tangkaidan berbuahnya tiada terbilang jika datang harta itu diberikan oleh baginda Ali` kepada tangan Fatimah anak Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wasallam. Maka diambil oleh Fatimah harta itu. Maka Fatimah pun memanggil segala faqir dan miskin di bani Madinah.
35
Kosasih, Op., Cit, h. 71 Nurgiyantoro, Op., Cit, h. 273 37 Hikayat Ali Kawin 38 Kosasih Op., Cit, h. 71 36
67
Sedekah kepada fakir miskin yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah merupakan wujud keyakinan mereka akan perintah Allah. Menolong sesama dengan mengharap rida Allah, dibalas oleh Allah dengan pahala berlipat ganda. Sampai-sampai diibaratkan dengan satu biji menghasilkan tujuh biji. C. Nilai-nilai Religi dalam Hikayat Ali Kawin Suatu nilai berpengaruh terhadap moral seseorang. Nilai moral yang tidak didasarkan kepada religi akan terus berubah. Nilai yang tetap adalah nilai religi. Nilai religi besifat absolut dan berlaku sepanjang masa. Orang yang kuat keyakinan agamanya yang mampu mempertahankan nilai religi dalam kehidupan sehari-hari. 39 Religi adalah ajaran yang mengandung aturan, hukum, kaidah, historis, i’tibar serta pengetahuan tentang alam, manusia, roh, Tuhan, dan metafisika. Ajaran metafisika biasa dikenal dengan tentang natural dan supranatural atau alam riil dan gaib, baik agama yang datangnya dari manusia maupun Tuhan. 40 Menurut Ancok dan Suroso, religi diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan. Aktivitas religi bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan yang terlihat oleh mata, tapi juga yang tidak napak dan terjadi dalam hati seseorang. 41 Terdapat lima dimensi religi. Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan, dimana seseorang berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran dari doktrin yang dianutnya. Kedua, dimensi praktek agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen pada agama yang dianut. 42 Dimensi
religi
selanjutnya
adalah
dimensi
penghayatan
yang
memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan39
Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009), h. 147 Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kenca Prenamedia Group, 2014), h. 9 41 Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problemproblem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 76 42 Ibid, h. 77 40
68
pengharapan tertentu. Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci dan tradisi. Terakhir dimensi pengalaman, mengacu identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. 43 Ancok dan Suroso berpendapat bahwa konsep dari dimensi religi mempunyai kesusaian dengan Islam. Meskipun tidak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan aqidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah, dan dimensi pengalaman disejajarkan dengan akhlak. Hikayat Ali Kawin memiliki nilai-nilai religi tersebut, meliputi nilai aqidah, syariah, dan akhlak. Kesemua dimensi dalam hikayat diperlihatkan melalui perbuatan tokoh. 1. Aqidah Aqidah adalah suatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya, apakah berwujud agama atau lainnya. 44 Aqidah disamakan dengan keimanan. Isi nilai aqidah menyangkut keyakinan kepada Allah, malaikat, nabi/rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta takdir Allah. Kepercayaan dalan Hikayat Ali Kawin terlihat bagaimana tokoh menjalankan perintah Tuhan. Selain itu, kepercayan tehadap makhluk Tuhan yang diimani digambarkan secara jelas keberadannya, baik masuk dalam percakapan peristiwa maupun penyebutan saja tetapi memiliki dampak dalam cerita. a. Iman kepada Allah Iman kepada Allah merupakan rasa percaya akan adanya Allah dengan menyerahkan segala kehidupan. Keimanan kepada Allah adalah dasar seluruh keimanan, sehingga mampu mempercayai semua jenis keimanan yang lain. Dalam Hikayat Ali Kawin terdapat penegasan akan kepercayaan kepada Allah. Kepercayaan itu terwujud 43 44
h. 19
Ibid, h. 77-78 Zainal Arifin Djamaris, Islam Aqidah dan Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
69
dengan menyakini adanya Allah yang patut disembah, tidak ada Tuhan selain Allah. Sebagaimana dalam ucapan Nabi Muhammad, Allah ta’ālā lā ilāha illallāh 45 arti dalam ucapan Nabi Muhammad yakni Allah yang maha tinggi, tidak ada Tuhan selain Allah sebagai keimanan yang patut diyakini. Selain kepercayaan hanya menyembah kepada Allah, yaitu kesadaran batin tentang adanya Allah. Kesadaran batin manusia dalam Hikayat Ali Kawin kepada Allah terlihat ketika Ali bin Abi Thalib berdoa menginginkan Fatimah dalam shalat. Saat itu, Ali sedang melaksanakan shalat di suatu tempat dan memohon doa kepada Allah terhadap keinginan hatinya, Fatimah. 46 Ali bin Abi Thalib dengan kesadaran batinnya merasa lebih dekat kepada Allah dari pada dirinya sendiri. Kesadaran batin itu terbentuk karena adanya rasa percaya kepada Allah. Pada saat itulah ia mulai berdoa dan memohon kepada Allah terhadap hajatnya. b. Iman kepada malikat Percaya adanya malaikat merupakan rukun Iman kedua. Malaikat adalah makhluk Allah yang terpelihara dari maksiat. Rasa tunduknya atas segala perintah Allah, terpatri dalam menjalankan segala tugas yang diberikan. Salah satu sifat malaikat yang ditunjukkan dalam Hikayat Ali Kawin dengan memperlihatkan kekuatan luar biasa atas izin Allah. Kekuatan luar biasanya dapat mengubah dirinya dalam wujud manusia. “Hamba tidak tahu.” Kata nabi, “Wahai Ali, unta itu adalah unta ṣalih dan yang menjual unta itu adalah Jibril, sedangkan yang membeli adalah Mikail. 47 Jibril dan Mikail atas izin Allah menampakkan dirinya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai manusia. Pemberitaan dari nabi kepada Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah atas makhluk-Nya, 45
Hikayat Ali Kawin Ibid, 47 Ibid, 46
70
Malaikat. Peristiwa itu juga sebagai bukti kepada Ali bin Abi Thalib untuk menambah keimanan tentang keberadaan malaikat. c. Iman kepada Al-Quran Al-Quran merupakan salah satu kitab yang diturunkan ke bumi sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW. Al-Quran menjadi undangudang bagi umat Islam. Al-Quran sebagai kitab suci yang terakhir diturunkan Allah sebagai tuntunan dan hidayah dalam kehidupan di dunia menuju akhirat. Kepercayaan tentang Al-Quran juga terlihat dalam Hikayat Ali Kawin yang menjadi alasan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah dalam menjalani kehidupan. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) oleh orangorang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yng menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir itu seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui. 48 Kutipan di atas merupakan Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 261 yang tertera dalam naskah. Ayat tersebut menjelaskan tentang pahala yang berlipat bagi siapa saja yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Begitu juga yang tergambar dalam Hikayat Ali Kawin terhadap para tokohnya. Ali bin Abi Thalib dan Fatimah tetap bersedekah kepada fakir miskin, meskipun mereka sendiri juga membutuhkan. Perbuatan mereka semata-mata mengharap rida Allah. Sebab keikhlasan dan keyakinan mereka terhadap Al-Quran, kitab yang diyakininya, Allah membalas dengan nilai yang berlipat. d. Iman kepada Nabi Muhammad Nabi Muhammad adalah rasul terakhir. Percaya adanya rasul merupakan salah satu rukun Iman yang wajib diyakini. Tanpa adanya rasul, manusia tidak dapat mengetahui kebenaran hakiki. Rasul bertugas sebagai guru, pendidik, penyampai wahyu Allah dan suri
48
Ibid,
71
tauladan bagi manusia. 49 Begitu juga yang ditunjukkan dalam Hikayat Ali Kawin. Rasul bertugas menyampaikan kabar kepada umatnya, Ali bin Abi Thalib. Kemudian Rasūlullāh bersabda kepadanya, “Wahai baginda Ali, aku hendak memberi suatu kabar kepadamu.” Sembah baginda Ali, “Wahai Rasūlullāh, junjunganku, tuanku, kabarkanlah kepadaku.” Kemudian Rasūlullāh bersabda kepadanya, “Wahai baginda Ali, aku hendak memberi suatu kabar kepadamu.” Sembah baginda Ali, “Wahai Rasūlullāh, junjunganku, tuanku, kabarkanlah kepadaku.” 50 Nabi Muhammad bertugas menyampaikan kabar kepada Ali bin abi Thalib tentang peristiwa yang terjadi. Nabi Muhammad memberi petunjuk sebagaimana tugasnya. Dari kabar yang diberikan, menunjukkan bahwa baru saja Ali bertemu dengan malaikat JIbril dan Mikail. Hal tersebut membuat keimanan bertambah, baik kepada Nabi Muhammad, Malaikat, dan Allah atas kekuasaan-Nya yang begitu hebat dengan berubah malaikat berwujud manusia. e. Iman kepada surga dan neraka Meyakini adanya surga dan neraka mutlak sebagai representasi mengimani yang gaib. Surga dan neraka tidak dapat dilihat dengan mata begitu saja. Dalam hal ini berbeda dengan mempercayai hal-hal yang empiris karena dapat dibuktikan dengan sentuhan indera. Adanya surga dan neraka perlu diyakini, salah satunya dengan adanya AlQuran dan cerita nabi tentang keduanya. Artinya, setiap mepercayai salah satu rukun Iman, maka akan meyakini pula rukun Iman yang lain. Dalam Hikayat Ali Kawin terdapat beberapa penyebutan tetang surga dan neraka. Adapun unta tersebut berasal dari syurga yang diserahkan Allah 51 Allah ta’ālā lalu menyuruh Jibril membukakan pintu syurga. 52 “Wahai malaikat Zabaniyah tutuplah pintu neraka itu” 53 49
Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 118 Hikayat Ali Kawin 51 Ibid, 52 Ibid, 53 Ibid, 50
72
Perintah Allah kepada Malaikat Jibril dan Zabaniyah untuk membuka
dan
menutup
pintu
neraka
dalam
hikayat
untuk
membuktikan adanya surga dan neraka. Jika manusia mengimani malaikat, maka ia juga akan mengimani adanya surga dan neraka. Sebab, tugas dari malaikat Zabaniyah adalah membuka dan menutup pintu neraka. Kutipan di atas tidak secara langsung disebutkan agar meyakini adanya surga dan neraka, akan tetapi dihubungkan dengan kepercayaan lain, di antaranya percaya kepada malaikat. f. Iman kepada takdir Mempercayai adanya takdir merupakan salah satu rukun Iman. Kehendak Allah yang menciptakan sesuatu dalam bentuk tertentu. Kemudian Allah jadikan dalam bentuk wujud yang nyata dan kongkret sesuai dengan kehendak-Nya. 54 Sebagaimana di dalam Hikayat Ali Kawin yang menunjukkan makna percaya akan takdir Allah. Sayid Fatimah pun berkata, “Hamba riḍa dengan perintah Allah subḥānahu wata’ālā dinikahkan dengan Ali. 55 Setelah Shalat Ali pun terbesit dalam hatinya, “Satu pun aku tidak memberi sesuatu untuk Fatimah.” Ali pun pergi dari rumahnya seraya berkata, “Tutuplah pintu rumah Fatimah!” Maka Ali pun turun dari atas rumahnya ia pergi menuju qāḍī Syam meminta pendapatannya untuk Fatimah ke banu Syam dari pekerjaannya. Kedua kutipan di atas merupakan bentuk percaya kepada takdir Allah. Hanya saja, kepercayan terhadap takdir Allah dalam hikayat ini memiliki unsur yang sedikit berbeda. Ucapan Fatimah yang menerima pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib atas perintah Allah begitu saja. kutipan kedua dari pilihan Ali bin Abi Thalib untuk merubah keadaanya. Ia berusaha mendapatkan upahnya dengan pergi ke Syam. Takdir yang tersirat dalam hikayat ini memiliki kesan hakiki dan terdapat sebab akibat. Manusia itu sendiri yang dapat memilihnya.
54 55
Daudy, Op., Cit, h. 157 Hikayat Ali Kawin
73
2. Syariah Syariah adalah segala sesuatu yang disyariatkan atau dimestikan dalam agama bagi seseorang untuk dilaksanakan. Syariah itu berupa peraturanperaturan dan hukum-hukum sebagai manifestasi atau konsekuensi dari aqidah. 56 Dimensi syariah dalam Islam meliputi pelaksaan ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, berdoa, perkawinan, dan sebagainya. Hikayat Ali kawin dalam dimensi syariah meliputi salat dan perkawinan. Amiru al-mukminin Ali pun shalat serta Fatimah di suatu tempat. 57 Salat merupakan tiang agama. Melaksanakan shalat tidak hanya bertujuan sebagai tugas dari Tuhan. Salat bila dicari lebih jauh, bisa saja sebagai jalan keluar dari masalah. Di dalam shalat terdapat beberapa kegiatan ibadah, seperti membaca Al-Quran, berdoa dan berzikir. Semua perbuatan tersebut bernilai ibadah. Oleh karena itu, mengapa setelah Ali bin Abi Thalib salat, ia menemukan jalan keluar dari kebimbangan hatinya dalam menafkahi Fatimah. Perkawinan dalam Hikayat Ali Kawin meski tidak disebutkan secara gamblang dari tujuannya, namun memiliki nilai ibadah dalam Islam. Allah menciptakan lelaki dan perempuan agar dapat berhubungan satu sama lain, saling
mencintai,
menghasilkan
keturunan,
memperoleh
ikatan
58
kekerabatan, dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera Ali bin Abi Thalib yang begitu mencintai Fatimah menginginkan hubungannya halal dan menjadi ibadah. 3. Akhlak Akhlak berasal dari bahasa Arab khuluqun yang berarti perangai, budi pekerti, sopan santun, etika, kelakuan. Secara etimologi berarti sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia, menghargai sesuatu. Oleh karena itu akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam ajaran 56
Djamaris, Op., Cit, h. 19 Hikayat Ali Kawin 58 A. Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 203 57
74
Islam di samping aqidah dan syariah. Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa akhlak berkaitan dengan iman dan syariah, karena keduanya berkaitan dengan unsur berikut ini: (1) berkeyakinan bahwa Allah adalah sang pencipta satu-satunya, pemberi rezeki dan penguasa seluruh kerajaan, (2) meyakini dan mengenalnya bahwa Dia patut disembah, (3) cinta kepada Allah melebihi segala cinta kepada semua makhluk-Nya, dan terakhir (4) cinta kepada Tuhannya akan mengantarkannya kepada tujuan yang satu, yaitu demi Allah SWT. 59 a. Amanah Sikap amanah merupakan perbuatan yang dapat dipercaya. Muhammad merupakan seorang rasul. Setiap perbuatannya tentu memiliki sifat wajib bagi rasul. Sifat ini tercermin dalam Hikayat Ali Kawin berupa amanah. Kemudian Rasūlullāh bersabda kepadanya, “Wahai baginda Ali, aku hendak memberi suatu kabar kepadamu.” 60 “Wahai Jibrail, ceritakanlah kepadaku harta apa itu?/ Apa yang dibawa oleh malaikat itu?” Maka Jibrail berkata, “Wahai Nabi Allah, aku membawa kabar untukmu bahwa Ali telah dinikahkan dengan anakmu”. Dua kutipan di atas menunjukkan bahwa Muhammad merupakan orang yang amanah. Muhammad pada kutipan pertama memberikan kabar yang diamanatkan untuk Ali bin Abi Thalib. Kutipan kedua, Muhammad mendapatkan amanah melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Fatimah. Amanah tersebut berupa pernikahan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Sikap amanah tersebut terlihat ketika nabi Muhammad langsung menyampaikannya kepada Fatimah. b. Kasih sayang Kasih sayang berupa sikap saling menghormati dan mengasihi seluruh makhluk Tuhan baik makhluk hidup maupun benda mati
59 60
Nasiruddin Zuhri, Ensiklopedi Religi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 41 Hikayat Ali Kawin
75
berdasarkan hati nurani. Sikap seperti ini seharusnya ditanam sejak dini. Sebagaimana yang dilakukan oleh Fatimah. “Wahai Tuanku, jika bisa hamba memohon kehadirat Allah ta’ālā ampunan dosa seluruh perempuan yang durhaka kepada suaminya.” Rasa kasih yang diberikan Fatimah terhadap para istri yang durhaka kepada suami sangat mengagumkan. Dia begitu saja menolak mas kawin dari surga dan menggantikannya dengan permohonan ampun dari Allah. Sikapnya tersebut tidak memperdulikan perbedaan dan hubungan kedekatan dengan Fatimah. Atas dasar kepercayaan dan pengharapan ridha Allah, Fatimah tidak memikirkan hal-hal duniawi. Dia menggantikannya dalam bentuk kasih sayang terhadap sesama. c. Tolong menolong Tolong menolong adalah saling membantu antarsesama. Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri, tentu memerlukan bantuan orang lain. Membantu di sini tidak mengharap balasan atau imbalan apapun dari pertolongannya. Konsep Islam sendiri, tolong menolong sesama haruslah berdasarkan kebaikan dan takwa. Ali bin Abi Thalib pun memberikan pertolongan kepada orang meminta sedekah kepadanya. Berapa lama hamba dengan karunia Allah Ta’ala Tuhan hamba ini/ bahwa hamba terlalu lapar tujuh hari lamanya tiada makan.” Maka diberi oleh baginda Ali` satu dinar akan dia. 61 Maka baginda Ali` pun bertemulah dengan seorang tuah /23/ pada jalan itu. Maka kata orang tuah, “Ya baginda Ali` raḍiallāhu ‘anhu meminta sedeqa dinugerahi Allah. Berapa hamba barang satu dengan karunia Allah Ta’ala kepada tuhan hamba ini kelaparan tujuh hari tujuh malam. Sekarang pun tiada hamba makan. Maka dibukakan baginda Ali` kandungannya. Maka diberinya satu dinar orang tuah itu. 62 “Ya baginda Ali` kasihan hamba.” Maka didengar oleh baginda Ali` pun segerah iya membukakan kandungannya. Maka
61 62
Ibid, Ibid,
76
diberikannya dinar satu lagih kepada perempuan itu. Tiada lagih tinggal kepada baginda Ali` itu. 63 Sudah sepantasnya bagi seorang muslim menolong kepada yang membutuhkan. Begitu pula yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Ia menolong siapa saja yang meminnta sedekah kepadanya. Meski ia membutuhkan juga untuk nafkah istrinya, tetapi ia mendahulukan orang yang lebih membutuhkan. d. Malu Perasaan malu merupakan suatu kemampuan dalam jiwa yang dapat berfungsi sebagai penghalang bagi seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela. 64 Sifat malu merupakan akhlak yang terpuji sifat malu dalam Hikayat Ali Kawin terlihat ketika pertemua Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah. Maka Ali` raḍiallāhu ‘anhu hendaq/ berkata kepada Fatimah terlalu malunya/ sebab tiada tapak tangan Ali` akan/ Fatimah hatta berapa lamanya. Demikian jugah berdiam-diam pada semalam sampai setelah siang/ hari. 65 Rasa malu Ali bin Abi Thalib merupakan manefesti dari keimanan kepada Allah. Sebab, antara malu dengan aqidah keimanan merupakan dua sisi yang saling melengkapi. Orang mukmin akan utuh nilainya kepada Allah bila masih ada perasaan malu. Sebab keimanan Ali bin Abi Thalib yang begitu besar kepada Allah, menimbulkan rasa malu yang besar. Belum terbiasanya Ali bin Abi Thalib terhadap lawan jenis bersentuhan tangan, menyebabkan ia malu memegang Fatimah. e. Belaku sederhana (Qanaah) Qanaah adalah sifat menerima apa adanya atau tidak serakah. 66 Sikap sederhana dan tidak serakah dalam kehidupan sehari-hari mendorong ikhtiar sebenar-benarnya agar memberi manfaat bagi orang lain. Sebagaimana halnya Fatimah, ketika Ali bin Abi Thalib hendak 63
Ibid, Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h 214 65 Hikayat Ali Kawin 66 Sudarsono, Op., Cit, h. 220 64
77
mencari nafkah untuknya, ia mendorong usaha suaminya. Dorongan yang dilakukannya untuk Ali bin Abi Thalib dengan mengikuti perintah suaminya sebelum pergi, agar tidak khawatir dalam usahanya. Maka Ali` pun turunlah dari rumahnya serta berkata, “Tutuplah pintu rumah Fatimah.” Maka diambil oleh Fatimah arta itu. Maka Fatimah pun memanggil segala faqir dan mitskin di banu Madinah. Dorongan yang kuat dari Fatimah berbuah hasil dengan Ali bin Abi Thalib mendapatkan harta yang cukup banyak. Meski telah mendapat nafkah dari usaha Ali bin Abi Thalib, Fatimah tidak menggunakan begitu saja. Ia memberikan uang tersebut kepada faqir miskin. Kesederhanaannya membuat dia memberikan harta kepada yang berhak. Sifat kesederhanaan lain yang nampak dalam Hikayat Ali Kawin terlihat pada kutipan di bawah ini. “Hamba riḍa dengan perintah Allah subḥānahu wata’ālā dinikahkan dengan Allah. Adapun mas kawin itu, hamba tidak ridha.’’ 67 Ya Tuhanku, Fatimah, hambamu riḍa dinikahkan. Akan tetapi, ia tidak riḍa dengan mas kawinnya. 68 Rasa cukup yang diyakini Fatimah, meyakinkan ia untuk menolak mas kawin yang beirisi berbagai emas. Fatimah malah menggantinya dengan memohon ampun dosa para istri yang durhaka kepada suaminya. D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Membaca karya sastra tidak hanya untuk kesenangan. Karya sastra sendiri sebenarnya cerminan kehidupan. Bisa pula dalam sebuah karya sastra merupakan kisah yang dikembangkan dari persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan sekitar. Dari karya sastra, setiap kisah dapat dijadikan cermin kehidupan yang dapat dipelajari. Sebab, dalam sebuah karya sasta
67 68
Hikayat Ali Kawin, Ibid,
78
mengandung ajaran moral seperti agama, estetika, dan berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Setiap karya sastra tidak dapat tercipta tanpa melibatkan berbagai aspek dalam masyarakat. Karya sastra semuanya akan terlibat dengan budaya masyarakat di sekitar. Berbagai daerah memiliki budaya dan ciri tersendiri. Begitu pula dengan sastra Melayu, hikayat yang kental akan unsur melayu Islam. Hikayat melayu Islam kental akan nilai-nilai ketuhanan dan keagaman. Karya-karya sastra dalam bentuk apapun tidak lepas dari nilai budaya, sosial, dan moral agama. Oleh itu, perlu adanya pembiasaan dan latihan dalam mengembangkan nilai-nilai religi. Latihan bersikap religi menyangkut akhlak dan ibadah sosial atau hubungannya dengan manusia sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting dibanding penjelasan kata-kata. Latihan di sini dilakukan melalui contoh yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, guru hendaknya mempunyai kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama yang akan diajarkan kepada anak didiknya. 69 Nilai religi dalam karya sastra dapat diimplikasikan dengan pembelajaran siswa di sekolah. Hal ini bertujuan agar mengetahui pentingnya nilai suatu karya dalam pembelajaran sastra. Oleh karena itu nilai religi dapat dijadikan materi dalam pembelajaran. Dalam penelitian ini implikasi nilai religi dalam Hikayat Ali Kawin dikaitkan dengan pembelajaran sastra di sekolah. Implikasi nilai religi dalam Hikayat Ali Kawin memperlihatkan berbagai nilai religi. Banyak nilai religi yang dapat diambil sebagai refleksi dalam kehidupan. Nilai religi dalam hikayat tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran sastra oleh guru Bahasa Indonesia. Sebab, nilai religi dalam hikayat tersebut memberikan dampak positif dalam pribadi siswa ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu implikasi pembelajaran sastra mengenai
69
Darajat, Op., Cit, h. 75
79
nilai religi dalam hikayat dapat direpresentasikan pada tingat SMA (Sekolah menengah atas) kelas X semester 2. Pembelajaran sastra dalam penilitian ini menggunakan Kurikulum 2013. Pembelajaran hikayat di kelas X semester 2 dalam Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra. Indikatornya adalah mengidentifikasi dan menjelaskan karakteristik dan unsur intriksik sastra Melayu serta nilai-nilai yang terkandung Hikayat. Menemukan nilai-nilai religi dalam Hikayat Ali Kawin diharapkan siswa mampu merealisasikannya ke dalam kehidupan untuk diri sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalam Hikayat Ali Kawin, dapat diambil beberapa simpulan, yaitu: 1. Naskah Hikayat Ali Kawin dilakukan suntingan teks agar dapat dibaca oleh kalangan luas. Penyuntingan teks yang telah dilaksanakan yaitu dengan memberikan pembagian susunan kalimat dan paragraf. Selain dilakukan penyuntingan, teks juga diberi terjemahan agar memudahkan pembaca yang tidak terlalu memahami teks. 2. Nilai religi adalah sifat yang dijunjung dalam suatu ikatan yang bermanfaat untuk manusia. Nilai religi dalam Hikayat Ali Kawin berpondasi pada tiga dimensi yakni aqidah, syariat, dan akhlak. Aqidah yang ditemukan berupa iman kepada Allah, malaikat, Al-Quran, Nabi Muhammad, surga dan neraka, dan takdir. Adapun syariat di dalam teks berupa kegiatan ibadah, seperti sholat, dzikir, dan berdoa. Terakhir dari segi akhlak adalah amanah, kasih sayang, tolong menolong, malu dan berlaku sederhana (qana’ah). 3. Nilai-nilai religi dalam Hikayat Ali Kawin dapat diimplikasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Materi pembelajaran digunakan mengenai hikayat di SMA kelas X semester 2. Standar kompetensinya adalah membaca, dimana siswa diharapkan mampu memahami berbagai hikayat. Kompetensi dasar yang harus dicapai adalah menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat. Unsur ekstrinsik hikayat yang dapat ditemukan adalah nilai-nilai religi yang ada dalam hikayat, baik dari segi kepercayaan, ibadah, dan budi pekerti. Pembelajaran sastra dalam memahami hikayat diharapkan dapat membantu siswa menentukan nilai-nilai religi. Oleh karena itu, setelah pembelajaran hikayat, siswa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
79
80
B. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis mengajukan beberapa saran, yaitu: 1. Hikayat diharapkan dapat dijadikan sumber pembelajaran apresiasi sastra Melayu klasik di sekolah, khususnya mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 2. Pembelajaran nilai-nilai religi yang terdapat dalam Hikayat Ali Kawin dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra dan diharapkan dapat dijadikan pegangan serta dimaknai dengan tindakan nyata dalam kehidupan. 3. Sekolah hendaknya mendukung pembelajaran sastra di sekolah dengan cara menyediakan sastra Melayu klasik berupa hikayat yang bernuansa religi.
81
DAFTAR PUSTAKA Al-Ahsani, H.M.H. Al-Hamid. Imamul Muhtadin ‘Ali bin Abi Thalib: Pintu Gerbang Ilmu Nabi Muhammas SAW. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008. Ancok, Djamaludin dan Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Atmazaki. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990. Atmosuwito, Subijantoro. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra. Bandung: Sinar Baru, 1989. Baried, Siti Baroroh. dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi dan Fakultas Universitas Gajah Mada. 1994. Braginsky, V.I. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-1. Jakarta: INIS. 1998. Daudy, Ahmad. Kuliah Akidah Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 2009. Djamaris, Edwar. dkk. Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Djamaris, Zainal Arifin. Islam Aqidah dan Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Doi, Rahman I. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Fathurahman, Oman. Filologi Indonesia Teori dan Metode. Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup. 2015. Hamid, Ismail. Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam. Jakarta: Pustaka al-husna.1989. Hawthom, Jeremy. Studying the Novel an Introdution. London: British Library Cataloguing in Publication Data 1989. Hollander, J.J. de. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: Balai Pustaka. 1986. Ikram, Achadiati. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya. 1997.
82
Istanti, Kun Zahrun, Sudibyo, dan Rachmat Sholeh, Filologi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2011. Kosasih, E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Jakarta: Yrama Widya. 2012. Kushartanti, Untung Wuyono, dan Multamia RMT Lauder. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005. Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah. 1996. Mangunwijaya, Y.B. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius. 1988. Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2006. Nurgiyantoro, Burhan .Teori Pengkajian Fiksi . Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. 2012. Pujiharto. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Ombak. 2012. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1992. Robson, S.O. Penerjemah: Kentjanawati Gunawan. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Saputra, Karsono H, Amyran Leandra Saleh, dan Yudi Irawan. Naskah-Naskah Pesisiran. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. 2010. Sembodo, Edy. Contekan Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Mizan Publika. 2010. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008. Sudardi, Bani. Dasar-Dasar Teori Filologi. Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia. 2001. Sudarsono. Sepuluh Aspek Agama Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 1994. Tang, Muhammad Rapi. Mozaik Dasar Teori Sastra. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. 2008. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1993.
83
Tim Penyusun. Al-‘Alim: Al- quran dan Terjemahannya. Bandung: Al- Mizan. 2011. Tim Penyusun. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei. 2003. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008. Tim Pusbalitbang Lektur Keagamaan. Pedoman Transliterasi Arab-Latin. Jakarta: Departemen Agama RI 2003 Tumanggor, Rusmin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kenca Prenamedia Group. 2014. Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press. 2006. Zuhri, Nasiruddin. Ensiklopedi Religi. Jakarta: Republika Penerbit. 2015.
Lampiran 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Sekolah
: SMAIT Pelita Bangsa
Matapelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: X Bahasa / Genap
Materi Pokok
: Hikayat
Alokasi Waktu
: 2 x 45 menit
KI 1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. KI 2 Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia. KI 3 Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang
bahasa dan sastra
Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). KI 4 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah keilmuan terkait.
A. Kompetensi Dasar 1. Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa 2. Memiliki rasa toleransi, tanggungjawab, santun, dan percaya diri. 3. Mengembangkan sikap apresiatif dalam menghayati karya sastra dalam mengetahui dan memahami definisi, karakter, jenis-jenis, dan struktur sastra, serta memahami sastra sebagai karya seni dan bidang ilmu yang dekat dengan kita.
B. Indikator Pembelajaran 1. Mengidentifikasi karakteristik sastra Melayu 2. Menjelaskan karakteristik sastra Melayu 3. Mengidentifikasi unsur instrinsik sastra Melayu 4. Menjelaskan unsur instrinsik sastra Melayu 5. Mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu 6. Menjelaskan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu
C. Tujuan Pembelajaran Setelah proses mengamati, menanya, mengumpulkan informasi / eksperimen, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, siswa dapat : 1. Mengidentifikasi karakteristik sastra Melayu 2. Menjelaskan karakteristik sastra Melayu 3. Mengidentifikasi unsur instrinsik sastra Melayu 4. Menjelaskan unsur instrinsik sastra Melayu 5. Mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu 6. Menjelaskan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu
D. Materi Ajar Materi Prinsip: Hikayat Materi Prosedur: 1. Karakteristik sastra Melayu klasik 2. Unsur instrinsik sastra Melayu klasik 3. nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu klasik.
E. Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran) Inquiry, kajian pustaka, Diskusi kelompok, tanya jawab, Penugasan,
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran 1. Media: Internet dan video hikayat 2. Alat/Bahan: teks hikayat 3. Sumber Belajar : Teori sastra yang berkaitan dengan materi ajar
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran KEGIATAN
DESKRIPSI KEGIATAN
ALOKASI WAKTU
Pendahuluan
1. Siswa merespon salam dari guru 15 Menit berhubungan
dengan
kondisi
siswa dan kelas. 2. Siswa merespon pertanyaan dari guru
berhubungan
dengan
pembelajaran sebelumnya. 3. Siswa
menerima
informasi
tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya
dengan
pembelajaran
yang
akan
dilaksanakan. 4. Siswa
menerima
informasi
kompetensi, materi, tujuan, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan. 5. Menjelaskan yang
cakupan
akan
(menyebutkan
materi
diajarkan Kompetensi
Dasar yang akan disampaikan. Inti
Mengamati 1. Siswa membaca teks hikayat 2. Siswa mencermati uraian yang berkaitan dengan hikayat Menanya 3. Siswa menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan hikayat yang sudah dibacakan dengan percaya diri dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar Mengeksplorasi 4. Siswa mendiskusikan mengenai hikayat yang sudah dibaca. 5. Siswa mencari dari berbagai sumber hikayat.
informasi
tentang
Mengasosiasi 6. Siswa
menarik
kesimpulan
mengenai hal-hal yang penting dalam
hikayat
dengan
melakukan latihan menulis. Mengkomunikasikan 7. Siswa
mempresentasikan
mengenai latihan yang sudah dikerjakan
mengenai
hal-hal
yang penting dalam hikayat. 8. Siswa
lain
presentasi
menanggapi
mengenai
hal-hal
yang menarik dalam hikayat. Penutup
1.
Siswa
bersama
menyimpulkan pembelajaran
guru 15 Menit hasil
terkait
dengan
hikayat. 2.
Siswa
melakukan
refleksi
terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. 3.
Siswa dan guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya.
H. Penilaian Jenis/teknik penilaian: a. Afektif (Kompetensi sikap) (Keempatnya harus ada instrumen penilaian)
Observasi ( KD dari KI 2 punya ciri khusus posisinya diisi oleh kata sifat)
Penilaian antar siswa
Jurnal ( setelah pertemuan ke-10)
Penilaian diri (setelah pertemuan ke-10)
Petunjuk : Lembaran ini diisi oleh guru/teman untuk menilai sikap sosial peserta didik dalam toleransi. Berilah tanda cek (v) pada kolom skor sesuai sikap toleransi yang ditampilkan oleh peserta didik, dengan kriteria sebagai berikut: 4 = selalu, apabila selalu melakukan sesuai pernyataan 3 = sering, apabila sering melakukan sesuai pernyataan dan kadang-kadang tidak melakukan 2 = kadang-kadang, apabila kadang-kadang melakukan dan sering tidak melakukan 1 = tidak pernah, apabila tidak pernah melakukan Pedoman Observasi Sikap Toleransi Skor No
Aspek Pengamatan 1 2 3 4
1.
Menghormati pendapat teman
2
Menghormati teman yang berbeda suku, agama, ras, budaya, dan gender
3
Menerima kesepakatan meskipun berbeda dengan pendapatnya
4.
Menerima kekurangan orang lain
5.
Mememaafkan kesalahan orang lain Jumlah Skor
Pedoman Observasi Sikap Tanggung Jawab Skor No
Aspek Pengamatan 1 2 3 4
1
Melaksanakan tugas individu dengan baik
2
Menerima resiko dari tindakan yang dilakukan
3
Tidak menuduh orang lain tanpa bukti yang akurat
4
Mengembalikan barang yang dipinjam
5
Meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan
Pedoman Observasi Sikap Santun Skor No
Aspek Pengamatan 1
1
Menghormati orang yang lebih tua
2
Mengucapkan terima kasih setelah menerima bantuan orang lain
3
Menggunakan bahasa santun saat menyampaikan pendapat
4
Menggunakan bahasa santun saat mengkritik pendapat teman
5
Bersikap 3S (salam, senyum, sapa) saat bertemu orang lain Jumlah Skor
2
3
4
Pedoman Observasi Sikap Percaya Diri
Skor No
Aspek Pengamatan 1
1
Berani presentasi di depan kelas
2
Berani berpendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan
3
Berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa ragu-ragu
4
Mampu membuat keputusan dengan cepat
5
Tidak mudah putus asa/pantang menyerah
2
3
4
Jumlah Skor
Pedoman Penilaian: Skor
= Jumlah penilaian angka seluruh aspek
Nilai
= skor yang diperoleh
x 100
skor maksimal
b. Kognitif (Kompetensi Pengetahuan): Mata Pelajaran
: .........................................................................................
Kelas/Semester
:..............................................................................................
Tahun Ajaran
: ............................................................................................
Bubuhkan tanda √ pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan. Menjelaskan dan Mengidentifikasi No.
Nama Siswa
karakteristik, unsur intrinsik, dan nilai yang terkandung dalam hikayat 1
1.
2
3
4
Menjelaskan dan Mengidentifikasi No.
Nama Siswa
karakteristik, unsur intrinsik, dan nilai yang terkandung dalam hikayat 1
2
3
2. 3. 4. 5.
Rubrik Rubrik
Skor
Menjelaskan dan Mengidentifikasi karakteristik, unsur
1
intrinsik, dan nilai yang terkandung dalam hikayat dengan kurang tepat Menjelaskan dan Mengidentifikasi karakteristik, unsur
2
intrinsik, dan nilai yang terkandung dalam hikayat dengan cukup tepat Menjelaskan dan Mengidentifikasi karakteristik, unsur
3
intrinsik, dan nilai yang terkandung dalam hikayat dengan tepat Menjelaskan dan Mengidentifikasi karakteristik, unsur intrinsik, dan nilai yang terkandung dalam hikayat dengan sangat tepat
Pedoman Penilaian: Skor
= Jumlah penilaian angka seluruh aspek
Nilai
= skor yang diperoleh skor maksimal
x 100
4
4
Mengetahui,
Ciputat, 17 Januari 2017
Kepala Sekolah SMPIT Pelita
Guru Bahasa Indonesia.
Bangsa
Lutfi Syafrudin, M. Pd.
Musyarofah
HIKAYAT Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta Hikayat mempunyai unsur intrinsik yang yang terdiri dari :
Tema adalah pokok pikiran yang dicetuskan pengarang yang menjadi jiwa dan dasar cerita.
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan menggerakan jalan cerita melalui rumitan dan permasalahan kearah klimaks dan penyelesaian , pautan dapat diwujudkan oleh hubungan waktu dan hubungan sebab-akibat.
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingi disampaikan pengarang kepada pembaca
Latar adalah sesuatu yang melingkupi pelaku dalam cerita.
Tokoh adalah peran, pelaku cerita atau lakon.
Gaya bahasa adalah pemakaian kata-kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk melukiskan sesuatu maksud guna membentuk plastis bahasa. Hikayat Ali Kawin Alkisah seorang perempuan yang diberikan kecantikan luar biasa oleh
Allah. Ia memiliki wajah yang bercahaya. Tidak ada ciptaan Allah yang melebihi kecantikannya. Ia adalah putri dari untusan Allah, nabi Muhammad SAW. Namanya adalah Fatimah az-Azahra. Sebab kecantikannya itulah membuat seorang pemuda sangat ingin memilikinya. Pemuda itu ialah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat nabi Muhammad. Ia adalah orang yang bertakwa. Berkat ketakwaannya tersebut, ia sangat dikasihi oleh Allah SWT. Suatu ketika berdoa dengan penuh harap kepada Allah. Ali bin Abi Thalib dalam doanya mengadu kepada Allah akan hatinya yang sangat
menginginkan Fatimah menjadi istrinya. Ia ingin sekali melamar Fatimah, tetapi ia tidak percaya diri karena merasa tidak memiliki apa-apa. Setiap malam dan siang, terutama pada hari Jumat, ia terus berdoa dengan sangat berharap dikabulkan doanya oleh Allah. Suatu ketika, Allah SWT memanggil malaikat Jibril. Malaikat Jibril diperintahkan untuk mengumpulkan seluruh malaikat dari tujuh langit dan malaikat yang memikul Arasy. Seketika itu, datanglah seluruh malaikat baik dari tujuh langit dan malaikat yang memikul Arasy. Kemudian Allah menyuruh malaikat Jibril membuka pintu syurga. Allah juga memerintah malaikat Zabaniyah menutup pintu neraka. Allah kemuudian memerintahkan malaikat Jibril untuk menghancurkan kesturi dan apa saja yang harum baunya. Angin berhembus dari bawah Arasy ketika itu, menyebabkan bau dari kesturi dan wangi-wangian tercium oleh seluruh malaikat. Kayu dalam syurga pun ikut tertiup, sehingga menimbulkan segala bunyi yang sangat merdu dan membuat para bidadari berterbangan. Peristiwa tersebut membuat seluruh malaikat terheran. Mereka akhirnya bertanya kepada Allah karena kejadian hari. Allah menjawab bahwa hari ini hendak menikahkan hamba-Nya Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahra. Langsung Allah memerintahkan Jibril beserta para malaikat sebanyak tujuh puluh ribu membawa nampan. Nampan tersebut merupakan mas kawin untuk Fatimah. Mas kawinnya berupa perhiasan dengan berbagai warna, sutra dari benang mas, dan sutra tebal. Jibril pun segera menemui Rasulullah untuk memberi kabar pernikahan Ali bin Abi Thalib. Setelah Fatimah mengetahui pernikahan tersebut, ia mengatakan kepada ayahnya bahwa ia telah rida dinikahkan dengan Ali bi Abi Thalib. Sayangnya, ia tidak menginginkan mas kawin dan mengembalikannya kepada Jibril. Segera Jibril menghadap Allah SWT menyampaikan keinginan Fatimah. Allah pun memerintahkan Jibril untuk turun kembali ke bumi agar Fatimah mau menerima mas kawin tersebut. Fatimah pun akhirnya menggantikan mas
kawinnya permohonan syafa’at untuk Ali. Fatimah juga memohon ampun untuk istri yang berdosa kepada suaminya dari seluruh umat. Fatimah akhirnya tinggal bersama dengan Ali bin Abi Thalib, tetapi mereka masih saling diam dari malam sampai pagi. Pagi harinya Ali bin Abi Thalib berpikir bahwa ia belum memberikan apapun kepada Fatimah. Ia memutuskan untuk bertemu qadi meminta upahnya sebanyak tiga dinar. Segera setelah Ali bin Abi Thalib mendapat upahnya, ia segera pulang untuk memberikan kepada Fatimah. Ali bin Abi Thalib di tengah perjalanan bertemu dengan laki-laki meminta sedekah karena belum makan selama tujuh hari. Laki-laki itu pun diberi satu dinar oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika melanjutkan perjalanan, bertemulah Ali bin Abi Thalib dengan orang tua yang mengaku belum makan tujuh hari tujuh malam. Orang tua pun itu diberi oleh Ali bin Abi Thablib satu dinar. Di pintu kota, Ali bin Abi Thalib bertemu perempuan dengan anak kecil yang meminta sedekah. Diberikanlah lagi sebanyak satu dinar, sehingga tidak ada lagi uang Ali bin Abi Thalib. Ketika melanjutkan perjalanan pulang, Ali bin Abi Thalib bertemu dengan seorang laki-laki membawa unta berwarna putih. Lelaki tersebut meminta Ali membawa untanya. Datang lagi seorang lelaki hendak memberi unta tersebut seharga lima belas ribu dinar. Uang tersebut kemudian diberikan kepada Fatimah. Fatimah pun memanggil orang faqir dan miskin untuk diberikan sedekah. Begitulah perumpamaan orang yang bersedekah dan rida karena Allah. Allah akan menggantinya dengan pahala yang berlipat ganda.
RIWAYAT PENULIS
ANIS ROZANAH lahir di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 1994. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan H. Ahmad Royani dan Ida. Memulai pendidikan dasar di MI Nurul Khairat. Setelah lulus MI pendidikan dilanjutkan ke Pesantren Al- Itqon Cengkareng, Jakarta untuk tinggat MTs dan MA selama 6 tahun. Pada tahun 2012, merantau Ciputat,
Tangerang
Selatan
untuk
melanjutkan
pengembaraan intelektualnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan. Sambil mengeyam perkuliahan, penulis menyelami pengetahuan agama di Pesantren Luhur Sabilussalam selama empat tahun. Ketika di bangku MA penulis sempat mengikuti beberapa perlombaan baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Penulis pernah meraih juara 2 untuk perlombaan kaligrafi tingkat provinsi DKI Jakarta, juara 2 perlombaan qiratul kutub tingkat kota Tangerang, juara 1 perlombaan qiratul kutub tingkat provinsi DKI Jakarta, juara 5 perlombaan qiratul kutub tingkat nasional, dan juara 2 debat bahasa mahasiswa PBSI dalam event Bulan Bahasa tahun 2013. Pernah tergabung dalam Seminar Internasional di UMM, Malang, dengan menampilkan drama bersama beberapa mahasiswa PBSI lain. Ketika semester VIII, melaksanakan PPKT (Praktik Profesi Keguruan Terpadu) di MTs Yaspina, Rempoa, Ciputat. Penulis yang aktif juga dalam organisasi KMPLS (Keluarga Mahasantri Pesantren Luhur Sabilussalam) memiliki hobi menonton drama Korea sebagai bahan perbandingan perfilman Indonesia, membaca sejarah dan budaya. Semoga karya ilmiah ini yang berjudul Hikayat Ali Kawin: Suntingan Teks dan Nilai-nilai Religi dalam Teks serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah dapat memberikan manfaat kepada semua pihak dan menjadi awal untuk penelitian pernaskahan selanjutnya.