perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh USWATUN CHASANAH C0105050
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2009
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan
Disusun oleh: USWATUN CHASANAH C0105050
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Endang Tri W., M.Hum NIP 195811011986012001
Drs. Sisyono Eko W., M.Hum NIP 196205031988032001
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan
Disusun oleh USWATUN CHASANAH C0105050
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 13 Agustus 2009
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004
……………..
Sekretaris
Dra. Hartini, M.Hum NIP 195001311978032001
……………..
Penguji I
Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum NIP 195811011986012001
……………..
Penguji II
Drs. Sisyono Eko Widodo, M.Hum NIP 196205031988032001
……………..
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A NIP 195303141985061001 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Uswatun Chasanah NIM : C0105050
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 13 Agustus 2009 Yang membuat pernyataan,
Uswatun Chasanah
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Setiap kesuksesan dan keberhasilan membutuhkan syarat.”
“Believe yourself. You can do it. Doa, effort, tawakkal!” (iluvislam.com)
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5-6)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11)
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” (Al Hadits)
“Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Berlarilah, tanpa lelah sampai engkau meraihnya. Laskar pelangi tak kan terikat waktu. Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa. Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga. Bersyukurlah pada Yang Kuasa.” (“Laskar Pelangi”, NIDJI)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada: -
Ibundaku tercinta
-
Keluarga
-
Sahabat dan teman
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan kepada hamba-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan” ini dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini tidak mungkin selesai bila tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini. 2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang juga telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum., selaku Pembimbing Pertama, dengan penuh kesabaran telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi ini, juga proses kelulusan penulis. 4. Drs. Sisyono Eko Widodo, M.Hum., selaku Pembimbing Kedua, yang juga telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi ini, juga proses kelulusan penulis. 5. Siti Muslifah, S.S., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik, yang telah membimbing penulis sejak awal hingga akhir studi di Jurusan Sastra Daerah. commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga memberikan kontribusi nyata dalam penulisan skripsi ini. 7. Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kemudahan pelayanan kepada penulis. 8. Kepala dan staff Perpustakaan Museum Sana Budaya Yogyakarta yang telah memberikan pelayanan terbaiknya selama proses pengumpulan data. 9. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu penulis. 10. Rekan-rekan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2005, khususnya Filologi: Mita, Daning, Ruma, Ebi, mbak Wik, mbak Ambar, Tantri, Ama yang telah memberikan semangat untuk terus maju kepada penulis. 11. Saudara-saudariku pengurus dan anggota SKI, BPM, BKM, dan BEM FSSR UNS atas perhatian, dukungan, pelajaran, kebersamaan dan indahnya ukhuwah selama ini. 12. Berbagai pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik yang membangun demi perbaikan selanjutnya. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan pemerhati masalah filologi di Indonesia. Surakarta, Agustus 2009 commit to user
viii
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………
iii
HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………..
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………….
v
HALAMAN MOTTO ………………………………………………….…
vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………….…
vii
D A F T A R IS I … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … …
ix
DAFTAR TABEL ……………………...…………………………………....
xi
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………
xii
ABSTRAK ……………………………………………………………..…
xiii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………
1
A. Latar Belakang ………………………………………………………
1
B. Batasan Masalah …………………………………………………….
16
C. Rumusan Masalah……………………………………………………..
17
D. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..
17
E. Manfaat Penelitian ……………………………………………………
17
F. Sistematika Penulisan …………………………………………………
18
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………...
20
A. Pengertian Filologi ……………………………………………………
20
B. Objek Filologi ……...…………………………………………………
21
C. Langkah Kerja Penelitian Filologi …………………………………… commit to user
21
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Pengertian Sastra Piwulang …..…………………………………….… 25 E. Kepemimpinan Jawa ……………………………………………….…
26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………………..
29
A. Bentuk dan Jenis Penelitian ...………………………………….…….
29
B. Sumber Data dan Data Penelitian …………………………………… 29 C. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………
30
D. Teknik Analisis Data …………………………………………………
31
BAB IV ANALISIS DATA …………………………………………...........
33
A. Kajian Filologis ……………………..……………………...………… 33 1. Deskripsi Naskah ….……………………………………………...
33
2. Kritik Teks ………………………………………………………..
49
3. Pedoman Transliterasi ……………………………………………
58
4. Suntingan dan Aparat Kritik ………………………………..……
60
5. Sinopsis ………………………………………………………..… 116 B. Kajian Isi ……………………..……………………......................….
123
1. Dialog I ….…………………………………..…………………... 123 2. Dialog II ……………………………..…………….…………….
128
3. Dialog III ………………………….………………...…………… 137 4. Dialog IV ………………..…………………………………..…… 139 BAB V PENUTUP ……………………………………………………….
147
A. Simpulan …………………………………………………………….
147
B. Saran ………………………………………………………………… 148 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 150 LAMPIRAN ………………………………………………………………… 152 commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Ketebalan naskah SM ..............................................................
34
Tabel 4.2
Lakuna .....................................................................................
50
Tabel 4.3
Adisi ........................................................................................
52
Tabel 4.4
Substitusi .................................................................................
52
Tabel 4.5
Transposisi ..............................................................................
54
Tabel 4.6
Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan
54
‘kagaliha’ …………………………………………………. Tabel 4.7
Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan
55
‘dahuru’ …………………………………………………… Tabel 4.8
Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan
55
‘kalintu’ …………………………………………………… Tabel 4.9
Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘asreng’ dengan
55
‘angsring’ ………………………………………………….. Tabel 4.10
Ketidakkonsistenan penulisan kata ’Mukammat’,
56
’Mukammad’ dan ’Mukamad’ ................................................. Tabel 4.11
Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal ....................
56
Tabel 4.12
Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ ................
57
Tabel 4.13
Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ ........
57
Tabel 4.14
Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ ...........
57
Tabel 4.15
Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’........................................................................... commit to user
xi
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
cm
: menunjukkan ukuran centimeter
dkk
: dan kawan-kawan
hal.
: halaman
M
: Masehi, menunjuk pada tahun Masehi
Manassa
: Masyarakat Pernaskahan Nusantara
PB
: Paku Buwana
R.Ng
: Raden Ngabehi
R.T.
: Raden Tumenggung
SM
: Serat Mudhatanya
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Uswatun Chasanah. C0105050. 2009. Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Latar belakang penelitian ini adalah mengkaji naskah yang mengalami korup (rusak) karena ditemukan banyak sekali kesalahan penulisan dan ketidakkonsistenan penulisan. Keadaan ini menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari kesalahan-kesalahan. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu bagaimana suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi serta ajaran apa yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya. Tujuan penelitian ini adalah menyajikan suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi, serta mengungkapkan ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah katalog-katalog yang memuat informasi tentang keberadaan naskah Serat Mudhatanya. Dari hasil inventarisasi ditemukan 1 buah naskah yakni Serat Mudhatanya dengan nomor katalog PB C56. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik fotografis, print out, dan transliterasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dan analisis interpretasi. Teknis analisis deskriptif mengacu pada cara kerja penelitian filologi. Metode penyuntingan teks menggunakan metode edisi standar, melalui tahapan-tahapan: (1) deskripsi naskah, (2) transliterasi naskah, (3) kritik teks, (4) suntingan teks dan aparat kritik, (5) sinopsis. Teknik analisis interpretasi digunakan untuk menginterpretasikan isi naskah melalui berbagai sudut pandang peneliti. Hasil akhir penelitian ini dapat disimpulkan bahwa naskah SM adalah naskah pertama dan naskah tunggal dengan kode PB C56, sehingga digunakan metode suntingan edisi standar untuk menghasilkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Suntingan teks SM ini adalah suntingan atau edisi teks yang pertama dan bersih dari kesalahan (penulisan dan ejaan). Teks ini merupakan karya R.T.Purbadipura, seorang Abdidalem Bupati Anom Gedong Tengen Karaton Surakarta, ditulis oleh Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. Dari hasil kritik teks ditemukan beberapa kesalahan tulis, yaitu lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi, juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan dan variasi penulisan kata. Jadi, disimpulkan bahwa naskah ini rusak/ korup. Secara garis besar, diketahui bahwa teks SM ini menjelaskan tentang ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilengkapi dengan beberapa contoh gaya kepemimpinan para Nabi, dan para sahabat Nabi Muhammad SAW, serta gaya kepemimpinan raja-raja di Jawa. Ada delapan ajaran kepemimpinan yang harus dipahami dan diterapkan oleh seorang pemimpin dalam memimpin keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya, yakni: kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, commit to userdana, dan pariksa.
xiii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan kebudayaan beserta peninggalan-peninggalan masa lampaunya. Bentuk peninggalan masa lampau yang masih dapat dilihat dan dinikmati adalah artefak yang umumnya berupa bangunan, seperti candi, masjid, kraton, dan bangunan lainnya. Tetapi sebenarnya, masih ada satu jenis artefak lagi yang sering diabaikan dan ditinggalkan oleh masyarakat yakni peninggalan kebudayaan yang berupa naskah. Naskah adalah karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu (Darusuprapta, 1984:10). Naskah di Indonesia jumlahnya sangat banyak, jenisnya pun sangat beragam, berbanding lurus dengan jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Hampir setiap suku mempunyai peninggalan naskah ini. Salah satunya adalah masyarakat Jawa, yang secara kepemilikan naskah menduduki urutan pertama dari suku-suku yang lain. Naskah-naskah tersebut perlu segera dilakukan upaya penanganan berupa penyelamatan, penelitian, pelestarian, pendayagunaan, dan penyebarluasan hasil penelitian agar karya luhur nenek moyang kita tidak sekedar menjadi benda pajangan di dalam museum-museum. Suatu bidang ilmu yang erat kaitannya dengan upaya penanganan naskah adalah filologi. Cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah didayagunakan dan disebarluaskan untuk berbagai macam Tugas utama filolog adalah commitkepentingan. to user
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan, yang memberi pengertian sebaik-baiknya dan yang bisa dipertanggungjawabkan pula sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya (Haryati Soebadio, 1975:3). Girardet-Susanto (1983) mengklasifikasikan jenis naskah Jawa sebagai berikut: 1. Kronik, Legende dan Mite Di dalamnya termasuk naskah-naskah: babad, pakem, wayang purwa, panji, pustakaraja dan silsilah. 2. Agama, Filsafat dan Etika Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur: Hinduisme-Budhisme, Islam, mistik Jawa, Kristen, magic dan ramalan, sastra wulang. 3. Peristiwa kraton, hukum, peraturan-peraturan 4. Buku teks dan penuntun, kamus, ensiklopedi tentang linguistik, obat-obatan, pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan, masak-memasak dan sebagainya. Dari beberapa jenis naskah Jawa yang telah disebutkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji naskah Jawa jenis sastra piwulang. Sejarah telah mencatat bahwa naskah Jawa jenis piwulang sempat mengalami masa keemasan setelah melewati masa-masa populernya kembali karya sastra Jawa Kuna di zaman Surakarta awal. Naskah-naskah jenis piwulang bermunculan salah satu sebabnya sebagai wujud reaksi atas kondisi sosial masyarakat saat itu. Salah satu dari sekian banyak karya sastra piwulang tersebut adalah Serat Mudhatanya (selanjutnya disebut SB). Kata Mudhatanya berasal dari dua kata, commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yakni ”mudha” dan ”tanya”. Menurut W.J.S.Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa, kata “mudha” mempunyai dua arti yakni ”enom” yang berarti ”muda” dan ”bodho” yang berarti ”bodoh” (hal. 323). Kata “tanya” berarti ”bertanya” (hal. 592). Dari pemaknaan secara etimologis dari judul tersebut, bisa diketahui bahwa teks ini berisikan tentang seorang pemuda yang bertanya karena ketidaktahuannya. Inventarisasi naskah sebagai langkah awal penelitian filologi dilakukan melalui penelusuran terhadap berbagai katalog diantaranya: 1. Descriptive Catalogus of the Javanese manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-Sutanto, 1983) 2. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II (Nancy K. Florida, 1994) 3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990) 4. Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid 3-B (Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1998) 5. Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (Lindstay, Jennifer, 1994) 6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 2 Keraton Yogyakarta, 7. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunagaran Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Widyabudaya Keraton Yogyakarta dan Daftar Naskah Perpustakaan Pura pakualaman Yogyakarta. commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil inventarisasi dari berbagai katalog tersebut hanya ditemukan satu naskah yang berjudul Serat Mudhatanya dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990) dengan nomor PB C56 dan dalam katalog Girardet-Susanto tahun 1983 dengan nomor 68615 (PB C56) berjudul Mudha Tanaya. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengecekan langsung ke tempat penyimpanan naskah yakni di perpustakaan museum Sana Budaya Yogyakarta. Berdasarkan pengecekan ke tempat penyimpanan naskah tersebut, naskah SM dalam kondisi masih tersimpan disana dan hanya berjumlah 1 buah naskah. Serat Mudhatanya terdapat pada sebuah buku cukup tipis yakni terdiri dari 130 halaman, berukuran 21,2 cm x 16,8 cm. Selain Serat Mudhatanya ternyata dalam naskah ini ada satu judul lain, yakni Serat
Kawontenanipun
Pergerakan Komunis. Hal itu bisa dilihat dalam cover luar naskah ini yang bertuliskan
”Serat
Moedatanya.
Serat
Kawontenanipoen
Koemoenis”, berikut gambarnya:
Gambar 1.1 Judul pada cover depan
commit to user
Pergerakan
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemudian pada cover dalam naskah juga terdapat perbedaan lagi, judul naskah bertuliskan ”Moedatanya (Koemoenis)”, berikut gambarnya:
Gambar 1.2 Judul pada cover dalam Setelah dibaca secara teliti, ternyata naskah ini terdiri dari 2 bentuk teks, yakni prosa dan tembang macapat. Dua bentuk teks yang berbeda jika dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada beberapa kemungkinan seperti berikut: 1. Jika didasarkan pada gambar 1.1, dua teks yang berbeda bentuk memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri. 2. Jika didasarkan pada gambar 1.2, dua teks yang berbeda bentuk tersebut include dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling berkaitan. Teks yang berbentuk prosa disajikan dalam bentuk dialog antara dua tokoh. Hal-hal yang didialogkan atau didiskusikan antara dua tokoh tersebut seputar kehidupan bermasyarakat tentang etika dan norma-norma, juga commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepemimpinan yang dilengkapi dengan kisah beberapa Nabi (Nabi Muhammad, Nabi Adam, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Yusuf) dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad yang biasa disebut dengan khulafaur rasyidin (Abu Bakar ashShidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Juga beberapa kisah tentang gaya kepemimpinan beberapa pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela hingga Paku Buwana VIII. Teks yang berbentuk tembang macapat terdiri dari tiga pupuh, yaitu Durma (24 bait), Pangkur (32 bait), dan Asmaradana (38 bait). Gaya tulisannya sama dengan gaya tulisan teks yang berbentuk prosa. Teks ini berisi tentang sejarah pemberontakan gerakan komunis yang terjadi di Banten, Bandung, dan Batavia. Dalam katalog Behrend disebutkan bahwa teks lain ini merupakan surat edaran yang ditandatangani oleh pepatih dalem K.R.A.Jayanagara, tertanggal 15 November 1926, menyebutkan bahwa tahun tersebut di Batavia, Banten, dan Bandung sedang terjadi pemberontakan Komunis (hal. 504). Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing, judul Serat Mudhatanya mewakili teks yang berbentuk prosa, sedangkan judul Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis mewakili teks yang berbentuk tembang macapat. Teks yang berbentuk prosa termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sastra piwulang, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sejarah. Akhirnya, secara otomatis teks yang berbentuk tembang macapat, yang berisi sejarah, tereliminasi dari objek kajian penelitian ini karena tidak sesuai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
dengan sasaran objek penelitian ini, yakni naskah Jawa manuskrip jenis sastra piwulang. Teks Serat Mudhatanya terdapat pada halaman 1-37 dan halaman 53-90, sedangkan teks Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis terdapat pada halaman 38-52. Pada halaman 63-70, teks dicoret dengan tanda silang oleh penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu dibaca). Tinta yang digunakan dari awal sampai akhir tidak sama. Ada 3 jenis tinta yang digunakan: tinta sejenis pulpen boxi berwarna hitam kebiru-biruan dan cukup tebal (halaman iv & 1-52); tinta sejenis pulpen biasa berwarna hitam kecoklatan dan sangat tipis (halaman 53-74 & 74i-90); tinta sejenis pulpen boxi berwarna hitam pekat dan sangat tebal (halaman 74a-74f). SM merupakan naskah tulisan tangan (manuscript) dengan huruf Jawa berbahasa Jawa Baru ragam krama dan ngoko. Naskah ini dikarang oleh RT Purbadipura, Abdidalem Bupati Anom Gedhong Tengen di Surakarta pada Kamis Legi, 28 Sura, Jimakir 1858 (28 Juli 1927). Naskah ini ditulis oleh dua orang penulis, yakni Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. SM pada halaman 1-37 ditulis oleh Wignyaukara, halaman 53-90 ditulis RT Purbadipura sendiri. Informasi mengenai pengarang naskah SM bisa dilihat dari kutipan berikut:
“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.” Terjemahan: ”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, commit to user Tengen di keraton Surakarta Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
Informasi tentang pengarang dan penulis naskah SM dikuatkan lagi oleh gambar berikut:
a
b
Gambar 1.3 Akhir teks SM bagian pertama ditutup dengan tanda semacam tanda tangan pengarang dan penulisnya, dan disertai keterangan teks tersebut berlanjut ke halaman 53 a. Tulisan RT Purbadipura, bertuliskan “nyandhak kaca angka 53. Purbadipura” b. Tulisan Wignyaukara, bertuliskan “ingkang nyêrat Wignyaukara”
Ada empat alasan mengapa Serat Mudhatanya dijadikan objek kajian dalam penelitian ini. Pertama, sejauh ini penelitian yang dilakukan terhadap naskah Serat Mudhatanya baru sebatas deskripsi naskah untuk inventarisasi bagi pembuatan katalog yang dilakukan oleh T.E. Behrend pada tahun 1990 dan Girardet-Susanto pada tahun 1983, sedangkan penelitian secara filologis dan telaah isi belum pernah dilakukan.commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedua, di dalam teks SM ini ditemui banyak sekali ketidakaturan pemakaian ejaan dan kesalahan-kesalahan penulisan. Hal ini yang mendorong peneliti untuk segera mengkaji naskah ini secara filologi untuk menghasilkan sebuah teks yang diperkirakan paling mendekati aslinya dan menyediakan terbitan naskah yang bersih dari kesalahan dan mudah dipahami oleh pembaca. Berikut sebagian contoh dari ketidakaturan pemakaian ejaan dan kesalahankesalahan penulisan tersebut: 1) Ketidakkonsistenan dalam penulisan kata, berikut sebagian contohnya: -
kata ”kalèntu” dengan kata ”kalintu”, berikut kutipannya: ”Wasana manawi wontên kalintu tuwin lêpating atur kula” (SM: 15) ”manawi botên kalèntu, criyosipun sabên…” (SM: 53c)
-
kata ”dhahuru” dengan kata ”dahuru”, berikut kutipannya: ”uyang wayang wuyung botên raharja: dahuru” (SM: 56) “Dhahuru têgêsipun rêbut suwala lahir batin” (SM: 57)
2) Variasi penulisan kata, berikut contohnya: -
kata ”balêdug” dengan kata ”blêdug” dan kata ”balêduga”, berikut kutipannya: “Nyirêp balêduga ron-ronan sami lembaka ijêm ariyu-riyu sakeca dhatêng paningal” (SM: 53a) “miwah mawi angin agêng blêdug angampak-ampak dhatêng mripat sêpêt sakit” (SM: 53c) “tilem boten sakeca, balêdug angampak-ampak kabur…” (SM: 58a)
-
kata ”saknagari” dengan kata ”saknêgari”, berikut kutipannya: ”kawêwahan ningali solah bawanipun tiyang saknagari” (SM: 53) “tiyang saknêgari manahipun tamtu suka rêna” (SM: 54)
-
kata ”panjênêngan” dengan kata ”pênjênêngan” ”Pancen kula ajêng-ajêng rawuh panjênêngan” (SM: 53c) “salam taklim kula dhatêng garwa putra pênjênêngan” (SM: 62) commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Kesalahan penulisan kata, berikut contohnya: ”tiyang-tiyang sanakari ingkang dados wêwêngkonipun” (SM: 60) 4) Kekurangan penulisan kata, seperti kata ”gadha”, ”pamrentaha”, ”gri”, ”jantu”, dan lain-lain. Berikut kutipannya: “Siyang dalu tansah kuwatir kêtir-kêtir. Gadha raos bok bilih…” (SM: 57) “angsal duduka saking ingkang nyêpêng pamrentaha kadakwa botên anuanu.” (SM: 57) “Dhatêng manah sumpêg namung muntêl wontên salêbêting gri kemawon.” (SM: 58b) “Sirah punika isi utêg, utêg panggenan budi, budi tumurun dhateng jantu jantung anggèn pikir-pikir awon ingkang sae ingkang ngriku…” (SM: 61)
Ketiga, ada beberapa hal yang sangat menarik dari naskah SM ini, yakni tentang gaya penulis naskah SM dalam menulis teks. Berikut uraiannya: a. Pemakaian tanda berhenti di setiap kalimat dibuat sama, yakni dengan tanda pada lingsa (,). Tanda pada lungsi (.) peneliti temukan hanya dipakai ketika menuliskan judul teks. Berikut gambarnya: Tanda pada lungsi
Gambar 1.4 Penulisan pada lungsi (.) pada judul teks SM (SM: 1)
commit to user Gambar 1.5 Penulisan pada lingsa (,) di dalam paragraph. (SM: 1)
Tanda pada lingsa
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Penulisan kata ’Allah’ dengan huruf Arab. Berikut gambarnya:
Gambar 1.6 Penulisan kata ‘Allah’ dengan huruf Arab. (SM: 23)
c. Pemakaian huruf Latin ketika menuliskan dua tokoh yang sedang berdialog, yakni ditulis dengan huruf “a” dan “b” (“a”:orang pertama yang diasumsikan sebagai ‘seorang kyai’, “b”:orang kedua yang diasumsikan sebagai ‘seorang murid’). Berikut gambarnya:
Gambar 1.7 Penulisan icon 2 tokoh yang berdialog dengan huruf Latin “a” dan “b” (SM: 2) d. Penggunaan angka Romawi ketika menuliskan pembagian poin-poin kedelapan ajaran (kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa). Berikut gambarnya: commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 1.8 Penulisan angka Romawi dalam pembagian kedelapan ajaran (SM: 8) Setiap penulis naskah mempunyai gaya masing-masing yang khas dalam menuliskan suatu teks. Dan gaya menulis tersebut bukan suatu permasalahan filologi melainkan suatu ciri tersendiri dari penulis naskah sebagai bentuk wujud kreativitas. Di antara keempat gaya penulis naskah SM tersebut, ada satu yang dikategorikan bisa menjadi permasalahan filologi yakni gaya penulis naskah yang hanya menggunakan tanda pada lingsa (,) (untuk selanjutnya disingkat PLi) di bagian tengah maupun di akhir kalimat. Hal tersebut akan mengganggu pembaca dalam memahami teks. Oleh sebab itu, dibutuhkan hasil suntingan teks yang bersih dari kesalahan-kesalahan sehingga didapatkan teks yang mudah dibaca dan dimengerti oleh pembaca. Berikut contoh penggunaan tanda PLi atau koma dalam paragraf:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
Gambar 1.9 Penggunaan pungtuasi yang sama di dalam kalimat (SM: 7)
Transliterasi: ”Lamba punapa rangkêp (PLi) anggèr kêdah waspada (PLi) dados botên kablowok ing rêmbag (PLi) sawatawis dipunêmong (PLi) mangaturaturipun kêdah kagalih ingkang panjang (PLi) sampun kasêsa anyagahi (PLi) nanging bilih sampun sagah sampun ngantos nyidrani (PLi) ingkang sampun kasagahakên kêdah kalêksanan (PLi) anggèr kêdah adhadhasar panggalih lamba rumiyin (PLi) kaliyan pangandika arum manis mardawa mamalad driya ingkang narik suka rêna (PLi) sampun ngêtrapakên pangandika sêrêng sora (PLi) ingkang sarèh rèrèh ririh (PLi) sawatawis ingkang radi sumarah ing karsa (PLi) ingkang botên rêkasa sangsara (PLi)
Keempat, isi dari naskah Serat Mudhatanya ini sangat menarik, yakni tentang ajaran kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat bagi generasi muda yang disajikan dalam bentuk dialog antara seorang pemuda dengan seorang kyai atau ulama. Dalam Baoesastra Djawa halaman 323 karya W.J.S.Poerwadarminta kata “mudha” diartikan sebagai ”enom” (muda) dan ”bodho” (bodoh). Dan pada halaman 592 kata “tanya” diartikan sebagai ”takon” (bertanya). Ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat ini memuat tentang bekal apa saja yang harus dimiliki bagi generasi muda ketika kelak terjun dalam commit to user kehidupan berkeluarga, bertetangga, dan bermasyarakat. Di antaranya ada 8
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
pedoman yang benar-benar harus dipahami, yaitu kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa. Dalam teks SM ini, kedelapan pedoman tersebut diartikan sebagai berikut: 1. Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak. Berikut kutipannya: ”Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng kulawarga” (SM: 7) 2. Purba berarti bertanggungjawab atas semua semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berikut kutipannya: ”Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.” (SM: 7) 3. Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan. Berikut kutipannya: ”Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam-ancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging saderengipun kêdah dipundhawuhakên. Yen ala bakal nemu ala. Yen becik bakal nemu becik.” (SM: 8) 4. Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun. Berikut kutipannya: ”Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun: botên bahu kapine sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon. Ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.” (SM: 8) 5. Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Berikut kutipannya: ”Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah sadhèrèk santana abdi agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês. Dhatêng sasaminipun putra wayah sadhèrèk santana abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing pangadilanipun ingkang jêjêg. Babasan utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati commitkenging to user dlemok cung, kêdah wradin. nyaur pati, sapiturutipun. Botên
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
Têgêsipn yen si dhadhap kang utang, mung nyaur samene, yen si waru kang utang kudu nyaur samene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun, sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasêbut ing anggèr, anggèr botên kenging mèncèng.” (SM: 8) 6. Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf. Berikut kutipannya: ”Paramarta: punika bilih putra wayah sadhèrèk santana abdi gadhah prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalentu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta. Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring-aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng angger lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi.” (SM: 9)
7. Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. Berikut kutipannya: ”Dana: inggih ingkang kêrêp paparing. Manawi paparing barang ingkang enggal risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi paparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun kadosta: ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan tuwin griya papan semahan. Punika kêdah ingkang awis-awis.” (SM: 9) 8. Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah. Berikut kutipannya: ”Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan, ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak dhatêng tiyangipun, botên mawi lalantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun.” (SM: 12) Kedelapan ajaran diatas relevan sekali dengan kenyataan hidup bermasyarakat saat ini. Seorang pemuda yang nantinya bakal menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin di keluarga maupun pemimpin di masyarakat. Karena kedudukannya sangat berpengaruh terhadap perubahan dan perbaikan kondisi commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosial ekonomi masyarakatnya. Masyarakat yang adil dan makmur lahir dari kumpulan keluarga-keluarga yang harmonis dan selalu mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat. Piwulang atau ajaran ini juga dilengkapi dengan kisah kehidupan rumah tangga dan kepemimpinan Rosulullah Muhammad SAW dan kisah perjuangan Nabi-Nabi sebelumnya seperti Nabi Adam, Daud, Sulaiman, Yusuf serta kisah beberapa khalifah seperti Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib (SM: 18-35). Juga beberapa kisah tentang gaya kepemimpinan beberapa pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela hingga Paku Buwana VIII (SM: 75-90).
B. Batasan Masalah Banyaknya
permasalahan
yang
ada
dalam
Serat
Mudhatanya,
kemungkinan naskah ini bisa diteliti dari berbagai sudut pandang. Untuk itu diperlukan pembatasan masalah untuk mencegah melebarnya pembahasan. Batasan masalah tersebut lebih ditekankan pada dua kajian utama, yakni kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan untuk mengupas permasalahan seputar uraian-uraian dalam naskah melalui cara kerja filologis, yakni meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, aparat kritik dan terjemahannya. Sehingga diperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan-kesalahan. Kajian isi berfugsi untuk mengungkapkan isi yang terkandung dalam teks Serat Mudhatanya.
commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian teks Serat Mudhatanya sebagai berikut: 1. Bagaimana suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi? 2. Bagaimana ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya?
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menyajikan suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi. 2. Mengungkapakan ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis a. Menyelamatkan data dalam naskah Serat Mudhatanya dari kerusakan dan hilangnya data dalam naskah tersebut. b. Mempermudah pemahaman isi teks Serat Mudhatanya, sekaligus memberikan informasi kepada masyarakat tentang ajaran yang terkandung di dalamnya.
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Manfaat Teoretis a. Memberikan kontribusi dan membantu peneliti lain yang relevan untuk mengkaji lebih lanjut naskah Serat Mudhatanya khususnya dan naskah Jawa pada umumnya dari berbagai disiplin ilmu. b. Menambah kajian terhadap naskah Jawa yang masih banyak dan belum terungkap isinya.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai laporan hasil penelitian. Laporan penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, yang akan disusun sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Kajian Teoritis Bab ini menguraikan pengertian filologi, objek penelitian filologi dan cara kerja filologi.
BAB III
Metodologi Penelitian Bab ini menguraikan bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV
Pembahasan Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi kemudian dilanjutkan pembahasan kajian isi. commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V
Penutup Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai simpulan dari yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Selain simpulan, dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran. Sebagai bagian akhir dari penulisan laporan hasil ini akan dilampirkan copy naskah dan daftar pustaka yang dipakai sebagai bahan acuan dalam kegiatan penelitian ini.
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Filologi Filologi secara etimologis menurut Siti Baroroh Baried (1994), berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan kata Philos yang berarti “senang” dan Logos yang berarti “pembicaraan” atau “ilmu”. Jadi Filologi berarti “senang berbicara”, yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu”, “senang kepada tulisan-tulisan”, dan kemudian “senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi” seperti karya-karya sastra (hal.2). Istilah filologi muncul pada saat para ahli dihadapkan pada upaya mengungkapkan kandungan suatu naskah yang merupakan produk masa lampau, yaitu beratus-ratus tahun sebelum peneliti lahir. Dalam sejarah perkembangannya, istilah filologi mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut Edward Djamaris (1977), filologi adalah ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama (hal.2). Sedangkan menurut Achadiati Ikram (1980), filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat istiadat, hukum dan lain sebagainya (hal.1). Tugas utama filologi adalah menyediakan sebuah teks yang diperkirakan paling mendekati aslinya dan menyediakan terbitan naskah yang mudah dipahami. Dr. Haryati Soebadio menyatakan bahwa pekerjaan utama dalam penelitian filologi ialah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan (dalam Edward Djamaris, 1977:22).
commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Robson dalam Prinsip-prinsip Filologi Indonesia menyatakan bahwa agar sebuah karya sastra klasik ‘terbaca/dimengerti’ pada dasarnya ada dua hal yang harus dilakukan: menyajikan dan menafsirkannya (Robson, S.O. 1994:12).
B. Objek Filologi Edward Djamaris (1977) mengemukakan bahwa, objek penelitian filologi terdiri dari dua hal yakni naskah dan teks (hal.2). Siti Baroroh Baried pun berpendapat sama, filologi mempunyai objek naskah dan teks (hal.3). Dijelaskan juga bahwa objek penlitian filologi adalah naskah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau (hal.54). Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah (handschrift atau manuschrift), sedangkan teks adalah kandungan atau muatan naskah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja dan memuat berbagai ungkapan pikiran serta perasaan penulis yang disampaikan kepada pembacanya.
C. Langkah Kerja Penelitian Filologi Langkah kerja penelitian filologi menurut Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), terdiri atas: penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan penerjemahan teks. Sedangkan menurut Edward Jamaris (1977), langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian filologi meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditranseliterasi, singkatan naskah dan transliterasi naskah (hal.23). Cara tersebut commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digunakan apabila peneliti menemukan naskah jamak atau naskah yang lebih dari satu. Teori tersebut tak selamanya harus dipaksakan bisa diterapkan pada semua naskah. Masing-masing naskah mempunyai kondisi yang berbeda-beda. Serat Mudhatanya ini penanganannya menggunakan tahapan/langkah kerja penelitian filologi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang dipadukan dengan langkah kerja menurut Edward Djamaris. Karena Serat Mudhatanya adalah naskah tunggal, maka tidak terdapat perbandingan naskah. Secara terperinci langkah kerja penelitian filologi sebagai berikut: 1. Penentuan sasaran penelitian Langkah pertama adalah menentukan sasaran, karena banyak ragam yang perlu dipilih, baik tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ada naskah yang bertuliskan huruf Arab, Jawa, Bali dan Batak. Ada naskah yang ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, atau rotan. Ada naskah yang berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Ada naskah yang berisi sejarah/babad, kesusastraan,
cerita
wayang,
cerita
dongeng,
primbon,
adat-istiadat,
ajaran/piwulang, dan agama. Berdasarkan hal tersebut, ditentukan sasaran yang ingin diteliti adalah sebagai berikut: naskah bertuliskan huruf Jawa carik, ditulis pada kertas, berbentuk prosa dan berisi masalah piwulang/ajaran. Keseluruhan bentuk di atas terangkum di dalam Serat Mudhatanya.
2. Inventarisasi naskah sasaran Inventarisasi naskah dilakukan dengan mendaftar dan mengumpulkan naskah yang judulnya sama dan sejenis untuk dijadikan objek penelitian. Menurut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
Edi S. Ekadjati (1980) bila hendak melakukan penelitian filologi, pertama-tama harus mencari dan memilih naskah yang akan dijadikan pokok penelitian, dengan mendatangi tempat-tempat koleksi naskah atau mencarinya melalui katalog. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui jumlah naskah, dimana tempat penyimpanannya, dan penjelasan lain tentang keadaan naskah.
3. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah Observasi pendahuluan ini dilakukan dengan mengecek data secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang diungkapkan oleh katalog. Setelah mendapatkan data yang dimaksud yakni Serat Mudhatanya maka diadakan deskripsi naskah dan ringkasan isi. Deskripsi naskah ialah uraian ringkas naskah terperinci. Deskripsi naskah penting sekali untk mengetahui keadaan naskah dan sejauh mana isi naskah itu. Emuch Sumantri (1986) menguraikan bahwa deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan informasi mengenai: judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, ukuran naskah dan teks, keadaan naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, fungsi sosial naskah serta ikhtisar teks (halm.2). Sedangkan ringkasan isi naskah digunakan untuk mengetahui garis besar kandungan naskah sesuai dengan urutan cerita dalam naskah.
4. Transliterasi naskah Transliterasi naskah ialah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Penyajian bahan transliterasi harus commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
selengkap-lengkapnya dan sebaik-baiknya, agar mudah dibaca dan dipahami. Transliterasi dilakukan dengan menyusun kalimat yang jelas disertai tanda-tanda baca yang teliti, pembagian alinea dan bab untuk memudahkan konsentrasi pikiran (Edward Djamaris, 1977:25).
5. Kritik teks Kegiatan kritik teks dilakukan setelah naskah dideskripsikan. Pengertian kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta (1984) adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimatkalimat atau rangkaian kata-kata tertentu.
6. Suntingan teks dan aparat kritik Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya, yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi. Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik teks. Segala kelainan bacaan yang ditampilkan merupakan kata-kata atau bacaan salah yang terdapat dalam naskah tampak dalam aparat kritik. Jika peneliti melakukan perubahan (conjecture), pengurangan (eliminatio), dan penambahan (divinatio) itu harus selalu disertai pertanggungjawaban melalui dasar teori maupun rujukan yang tepat. Kesemuanya itu dicatat dan ditempatkan pada aparat kritik.
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7. Sinopsis Sinopsis adalah penuturan yang ringkas suatu teks yang mencakup keseluruhan isi secara utuh. Maksud mengemukakan sinopsis suatu teks yaitu untuk memudahkan pembaca agar memperoleh gambaran isi teks secara menyeluruh.
D. Pengertian Sastra Piwulang Istilah serat wulang berasal dari kata serat dan wulang. Serat mempunyai arti
tulisan
dan
wulang
piwulang
mempunyai
arti
ajaran,
pelajaran
(Prawiroatmojo, 1989-1990: 190&328). Dengan demikian serat wulang/piwulang adalah tulisan yangh berisi tentang suatu ajaran. Ajaran tersebut tentunya mengandung nilai-nilai keluhuran moral yang di dalamnya memuat pemikiranpemikiran tentang pengajaran moral secara baik menurut ukuran suatu bangsa. Ajaran dalam serat wulang pada umumnya merupakan nilai-nilai yang berasal dari pemikiran para pujangga. Keberadaan pujangga pada masa kesusastraan Jawa Baru ini mempunyai kedudukan sebagai abdi dalem di kraton, kabupaten, sebagai wali, kyai, atau guru di pondok pesantren. Para pujangga yang berfungsi sebagai juru jarwa, juru anggit, juru penget, juru citra, juga juru penglipur (Darusuprapta, 1980:12). Serat wulang/piwulang merupakan karya sastra yang dominan dalam sastra Jawa. Sebagai karya sastra lama, serat wulang ini mengandung nilai-nilai rohani dan ajaran moral/etika yang ditujukan pada masyarakat pembacanya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa karya sastra lama bersifat didaktis (Edi Subroto dkk., 1996:4). Sifat didaktik ini dimungkinkan karena orang Jawa tidak memisahcommit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
misahkan nilai-nilai luhur yang dimiliki yakni nilai religius, filosofis, etis dan estetis. Karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai estetis (menyangkut tata karma, norma, dan nilai-nilai kehidupan sehari-hari). Serat piwulang sebagai fungsi didaktis ini pada umumnya dijadikan sebagai pegangan hidup dalam membentuk sikap pribadi yang ideal (Sadewa, 1989:14). Serat wulang lebih banyak mengajarkan kehidupan praktis, kehidupan lahiriah yang disebut budi luhur, seperti mematuhi aturan berumah tangga, aturan pemerintah, aturan agama, mendidik bawahan, mendidik anak, bercita-cita luhur, mencintai tanah air, mengendalikan hawa nafsu, menjauhi berbuat jahat. Terdapat pula ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai upaya untuk mendasari motivasi ajaran lahiriah (Moh. Ardani, 1995:45).
E. Kepemimpinan Jawa Pada zaman pemerintah Islam di Jawa (seperti pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta) para leluluhur atau pujangga Jawa mewariskan nilai-nilai atau pemikiran budaya Jawa kepada generasi sekarang melalui naskah-naskah lama, baik berupa fiksi maupun nonfiksi yang cukup melimpah. Karya sastra Jawa lama itu memuat berbagai hal, seperti bahasa, filsafat, sastra, etika, hukum, obat-obatan dan sebagainya. Sejumlah warisan naskah Jawa itu banyak yang berisi ajaran kepemimpinan yang disampaikan oleh para pujangga atau para raja pada masa itu (Pardi Suratno, 2009:2) Nilai-nilai kepemimpinan dalam naskah-naskah Jawa itu tampaknya menjadi perhatian bagi para pemimpin Jawa saat ini. Oleh sebab itu, banyak pihak yang berkeinginan tetap mewariskan nilai-nilai itu kepada generasi sesudahnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
Sebagai sosok intelektual dan pemimpin rakyat yang menyadari dirinya sebagai wakil Tuhan tentunya menyadari bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab menyampaikan ajaran yang memiliki nuansa universal dan melampaui batas waktu itu kepada masyarakat luas (Pardi Suratno, 2009:2). Diantara sejumlah naskah Jawa yang memuat ajaran kepemimpinan adalah Sêrat Wulangrèh, Asthabrata, Sêrat Sabdatama, Sêrat Wedhatama, Sêrat Tripama, Sêrat Wirawiyata, Sêrat Pepali, dan sebagainya. Realitas menunjukkan bahwa ajaran kepemimpinan itu disampaikan oleh para pemimpin pemerintahan Jawa saat itu, seperti yang dilakukan oleh Pakubuwana IV (melalui karya yang sangat popular Sêrat Wulangrèh), Paku Buwana IX (Sêrat Wulangputra), Mangkunagara IV (Sêrat Tripama, Sêrat Wirawiyata, Sêrat Wedhatama), dan sebagainya. Asthabrata merupakan salah satu ajaran kepemimpinan yang paling terkenal di Jawa. Ajaran Asthabrata terdapat dalam Sêrat Rama Jarwa atau Sêrat Nitisruti. Di dalamnya disampaikan ada 8 ajaran yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yakni sebagai berikut: 1. Pemimpin berwatak bumi: mampu menampung seluruh rakyatnya; kuat santosa; suci. 2. Pemimpin berwatak matahari: kekuatan, kesabaran, dan sumber energi. 3. Pemimpin berwatak rembulan: keindahan, kelembutan, kehadirannya sangat dinantikan karena dapat menyenangkan semua pihak. 4. Pemimpin berwatak angin: kepekaan dan empati. 5. Pemimpin berwatak samudra: keikhlasan dan lapang. 6. Pemimpin berwatak geni: ketegasan, keberanian, dan keadilan hukum. 7. Pemimpin berwatak bintang: simbol keindahan dan keteladanan. commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8. Pemimpin berwatak mendung (awan): pengayoman, perlindungan, keamanan, dan keteduhan serta kewibawaan.
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Bentuk dan Jenis Penelitian Bentuk penelitian terhadap Serat Mudhatanya ini adalah penelitian filologi. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, artinya melalui pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yang berarti semata-mata menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian pada saat ini berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bogdan R.C dan S.K. Bikeln dalam M. Attar Semi (1993) bahwa pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif ini berpandangan bahwa semua hal yang berupa sistem tanda tidak ada yang patut diremehkan, semuanya penting dan semuanya mempunyai pengaruh dan berkaitan dengan yang lain. Dengan mendeskripsikan segala macam bentuk tanda (semiotik) mungkin akan membentuk dan memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif mengenai apa yang sedang dikaji (hal.24). Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka atau library research yaitu penelitian yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Edi Subroto, 1992:42).
B. Sumber Data dan Data Penelitian Sumber data penelitian ini adalah Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta karya T.E. Behrend pada commit to userof the Javanese manuscripts and tahun 1990 dan dalam Descriptive Catalogus
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta karya GirardetSutanto pada tahun 1983. Data penelitian adalah naskah dan teks yang berjudul Serat Mudhatanya koleksi museum Sana Budaya dengan nomor katalog PB C56. Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, makalah, artikel dan sumber informasi penunjang lainnya yang dapat membantu memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian naskah tentang Serat Mudhatanya.
C. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data ini, mengacu pada langkah awal dari cara kerja penelitian filologi yaitu inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah dilaksanakan sesuai dengan sasaran penelitian yang telah diputuskan di awal, yakni naskah jenis piwulang. Pengertian inventarisasi naskah dalam penelitian ini adalah usaha-usaha mendata, mengumpulkan data. Salah satu caranya adalah dengan membaca katalog. Kemudian mendaftar semua judul naskah yang sama. Melalui katalog tersebut akan diperoleh beberapa informasi dan keterangan tentang naskah yang dimaksud, misalnya jumlah naskah, tempat penyimpanan naskah, deskripsi naskah (nomor catalog, ukuran naskah, tulisan naskah, bahasa naskah, isi kandungan naskah), dan lain-lain. Setelah mendapat informasi dari katalog-katalog, langkah selanjutnya adalah mengecek langsung ke lokasi penyimpanan naskah dan melakukan pengamatan (observasi). Langkah selanjutnya teknik fotografi digital, yaitu memotret naskah dengan kamera digital (tanpa blitz). Teknik wawancara juga diperlukan guna memperdalam kajian isi sebagai data sekunder guna melengkapi data primer.
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Teknik Analisis Data Analisis data adalah mengolah data sesuai dengan cara kerja filologi. Analisis data akan diolah sesuai dengan teori tahapan/langkah kerja penelitian filologi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang telah dipadukan dengan langkah kerja menurut Edward Djamaris, yakni mulai dari penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, observasi pendahuluan dan deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, dan terjemahan. Pada naskah tunggal, langkah kerja perbandingan naskah dan dasardasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi tidak berlaku. Analisis data pada kajian isi dilakukan setelah terjemahan. Karena secara garis besar isi naskah secara keseluruhan dapat diketahui dan lebih jelas setelah kerja filologi yang lain selesai. Penyuntingan naskah tunggal dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode edisi standar dan metode edisi diplomatik. Untuk teks Serat Mudhatanya ini menggunakan metode edisi standar (biasa). Edisi standar menurut Lubis dalam Naskah, Teks dan Metose Penelitian Filologi, yaitu: Edisi standar adalah suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, pungtuasi, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran (interpretasi) setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern. (Nabilah Lubis, 2001:96). Metode edisi standar digunakan jika isi naskah dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama atau bahasa, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa (Edward Djamaris, commitdalam to useredisi standar ini antara lain: 1991:15). Hal-hal yang dilakukan
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membetulkan kesalahan teks, membuat catatan perbaikan, memberi komentar atau tafsiran, menyusun daftar kata sulit sehingga memudahkan pembaca atau peneliti membaca dan memahami teks. Tahap akhir dari analisa data dengan mengungkapkan isi yang terkandung dalam teks ini yakni dengan teknik analisis interpretasi digunakan untuk menginterpretasikan isi naskah melalui berbagai sudut pandang peneliti yang didukung dengan data penunjang, yakni buku-buku, artikel-artikel, majalahmajalah, makalah-makalah, dan lain-lain.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV ANALISA DATA
A. Kajian Filologis Kajian
filologis
memiliki
tujuan
menggambarkan,
melukiskan,
menuliskan, melaporkan obyek penelitian pada saat ini, berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. Kajian ini terdiri atas lima bagian, yakni: deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, serta terjemahan. Kelima bagian tersebut selengkapnya akan diuraikan sebagaimana berikut ini: 1. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai wujud fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Deskripsi naskah yang dilakukan terhadap naskah yang menjadi objek penelitian ini berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Emuch Hermansoemantri (1986) yang disesuaikan dengan karakteristik naskah yang diteliti. Hal-hal yang diungkapkan dalam deskripsi naskah antara lain menyangkut informasi atau data mengenai: (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat penyimpanan naskah; (4) identitas pengarang/ penyalin; (5) manggala/ kolofon; (6) ukuran naskah; (7) ukuran teks; (8) tebal naskah/ jumlah halaman; (9) jumlah baris pada setiap halaman; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa commit to user naskah; (13) bentuk teks; (14) huruf, aksara, tulisan; (15) keadaan naskah; (16)
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umur naskah; (17) ikhtisar teks/ cerita; dan (19) catatan lain. Berikut deskripsi lengkap naskah SM. (1) Judul naskah Naskah ini tercatat dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk NaskahNaskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990), pada halaman 504, dengan judul Serat Mudatanya. Ketika dilakukan pengecekan langsung ke tempat penyimpanan naskah, judul pada cover luar naskah bertuliskan
“Serat
Moedatanya.
Serat
Kawontenanipoen
Pergerakan
Koemoenis” dan pada cover dalam naskah juga pada bagian jilidan luar bertuliskan “Moedatanya (Koemoenis)”. Dua bentuk teks yang berbeda jika dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada beberapa kemungkinan seperti berikut: 1. Jika didasarkan pada judul di hard cover, dua teks yang berbeda bentuk memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri. 2. Jika didasarkan pada judul di bagian jilidan luar dan cover dalam, dua teks yang berbeda bentuk tersebut menjadi satu dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling berkaitan. Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing. Teks yang berbentuk prosa termasuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
dalam kategori naskah Jawa jenis piwulang, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sejarah. Karena sasaran penelitian ini adalah naskah manuskrip jenis piwulang bukan sejarah, maka judul yang dipilih adalah Serat Mudhatanya. Dan judul Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis merupakan judul milik teks lain yang berbentuk tembang macapat. (2) Nomor naskah Dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990) pada halaman 504, naskah ini terdaftar dengan nomor PB C56 dengan nomor rol film 112 no.10. (3) Tempat penyimpanan naskah Museum Sana Budaya Yogyakarta. (4) Identitas pengarang/ penyalin Teks SM dikarang oleh R.T.Purbadipura, hal ini dapat dilihat dari kutipan halaman iv teks SM, yaitu: “Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.” Terjemahan: ”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.” R.T.Purbadipura merupakan seorang Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên keraton Surakarta. commit Beliauto user hidup pada zaman pemerintahan
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pakubuwana X. R.T.Purbadipura adalah abdi dalem kesayangan Pakubuwana X. Beliau seorang sastrawan yang sering menggubah perjalanan-perjalanan PB X dalam bentuk tembang. R.T.Purbadipura merupakan ayah dari R.Ng. Poerbacaraka. R.T.Purbadipura selain sebagai pengarang naskah SM ini juga sekaligus sebagai penulis teks SM, tetapi beliau hanya menulis pada halaman 53a-90, sedangkan halaman-halaman sebelumnya ditulis oleh seorang jurutulis bernama Wignyaukara. Hal ini bisa dilihat dari kutipan halaman 37 teks SM berikut: ”................................................................... a : inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng b : sampun kyai a : inggih Ingkang ngarang Purbadipura Ingkang nyêrat Wignyaukara” Terjemahan: “………………….. a : ya nak, silahkan. Semoga selamat. b : cukup sekian kyai a : ya Yang mengarang Purbadipura Yang menulis Wignyaukara”
Selain naskah Serat Mudhatanya, beliau juga aktif menulis lebih dari 15 judul. Sebagian besar bertemakan ajaran didaktik yang bernuansa Islam, etika hidup manusia dan sejarah. Karya-karya tersebut diantaranya Serat Sri Karongron, Serat Sri Papara, Serat Resi Danardana, Serat Sriyatna, Serat Sri Hascarya, Serat Sri Sekaringpuri, Serat Sri Dirgayuswa, Serat Sri Hutomo, Bab Dodotan, Cathetan Warni-warni, Essing Purbadipura, Kiyamat Kubra I-IV, dan lain-lain. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(5) Manggala/ kolofon Naskah ini ditulis pada tahun 1858 Jawa. Sebagaimana yang tertulis pada manggala berikut ini: “Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.” Terjemahan: ”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
(6)
Bahan naskah Naskah SM dikemas dalam sebuah buku tulis cukup tebal dengan ketebalan 1,1 cm. Kertas yang dipakai kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda). Kertasnya cukup tebal. Terdapat garis bantu dengan pensil untuk batas margin. Penulis menemukan ada 2 jenis kertas lain di luar kertas asli dari buku yang digunakan untuk menuliskan teks SM. Kertas-kertas tersebut tidak setebal kertas asli dari buku. Dua jenis kertas lain tersebut yang satu ditempelkan dengan kertas asli dari buku, yang satunya hanya disisipkan, tidak ditempelkan. Berarti dalam satu buku ada 3 jenis kertas, yaitu: 1) Kertas asli dari buku itu sendiri: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda), kualitas kerta cukup tebal, tiap halaman ada 25 commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baris, berukuran 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak kekuning-kuningan. 2) Kertas yang ditempel: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), tiap halaman ada 23 baris, kualitas kertas lebih tipis bila dibandingkan denga kertas asli dari buku, ukuran kertas sama dengan kertas yang asli dari buku, yaitu 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak kekuning-kuningan. 3) Kertas yang disisipkan: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), kualitas kertas tipis, berwarna coklat (coklatnya lebih gelap bila dibandingkan dengan 2 jenis kertas di atas, berukuran 17,4 cm x 15,4 cm. (7) Keadaan naskah Keadaan naskah secara fisik baik utuh/ lengkap, tidak ada lembaran-lembaran naskah yang hilang, ada beberapa lubang kecil di halaman bagian awal tetapi tidak sampai mengenai tulisan, dijilid, hard cover berwarna hitam bercorak keemasan. Ada sekitar 2-3 lembar di bagian pertengahan naskah yang disobek secara sengaja dan terlihat pemotongannya rapi untuk menempelkan kertas lain (kertas tambahan). Teks pada halaman 63-70 (8 hal) dicoret dengan tanda silang oleh penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu dibaca). (8) Ukuran naskah Naskah SM berukuran panjang 21,2 cm dan lebar 16,8 cm.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(9) Ukuran teks Dari uraian tentang bahan naskah diatas, yakni ada 3 jenis kertas yang berbeda-beda, hal tersebut mempengaruhi ukuran teks. Sehingga ada 3 ukuran teks yang masing-masing juga berbeda. Berikut uraiannya: 1) Kertas asli dari buku itu sendiri Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri)
: 17,8 cm x 11,2 cm
Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan)
: 17,8 cm x 11,1 cm
▪ Margin atas
: 2 cm
▪ Margin bawah
: 1,4 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni: Halaman ganjil (halaman sebelah kiri): Margin kiri
: 3,1 cm
Margin kanan
: 2,5 cm
Halaman genap (halaman sebelah kanan): Margin kiri
: 2,4 cm
Margin kanan
: 3,3 cm
2) Kertas yang ditempel Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri)
: 16,4 cm x 11 cm
Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan)
: 16,4 cm x 10,8 cm
▪ Margin atas
: 2,7 cm
▪ Margin bawah
: 2,1 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni: commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Halaman ganjil (halaman sebelah kiri): Margin kiri
: 3,8 cm
Margin kanan
: 2 cm
Halaman genap (halaman sebelah kanan): Margin kiri
: 2,1 cm
Margin kanan
: 3,9 cm
3) Kertas yang disisipkan Panjang x lebar
: 17,1 cm x 15,4 cm
▪ Margin atas
: 2,2 cm
▪ Margin kiri
: 2,4 cm
▪ Margin bawah
: 1,5 cm
▪ Margin kanan
: 3,2 cm
Pada kertas ini, teks ditulis hanya satu muka (tidak recto verso), maka tidak ada pembedaan antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan). (10) Tebal naskah/ jumlah halaman Tebal naskah SM berukuran 1,1 cm dengan jumlah halaman 130 halaman atau 65 lembar, berikut keterangannya: Tabel 4.1 Tabel ketebalan naskah SM Naskah
Halaman
Jumlah halaman
Serat Mudhatanya
i-xi
11 hal
(prosa berbentuk dialog)
1-37
37 hal
53a, 53b, 53c
3 hal
54-57
4 hal
58a, 58b
2 hal
59-74 commit to user
16 hal
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
74a-74i (satu muka,
9 hal x 2 : 18 hal
tidak recto verso)
Teks lain: Serat
75-90
16 hal
38-52
15 hal
Kawontenanipun Pergerakan Komunis (berbentuk tembang macapat) Lembaran sisa (tidak
8 hal
ditulisi) Total halaman
130 hal
(11) Jumlah baris pada setiap halaman Jumlah baris pada setiap halaman rata-rata 24 baris: a. SM 1-37 (penulis Wignyaukara)
: 24 baris
b. SM 53a-90 (penulis R.T. Purbadipura) : 21-22 baris (12) Cara penulisan Penulisan teks pada setiap halaman ditulis secara bolak-balik, atau yang lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran-lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman muka dan belakang. Selain itu hanya beberapa halaman yang ditulis secara satu muka (tidak recto verso), yaitu pada halaman 74a sampai 74i. Ditulis satu muka karena kualitas kertasnya cukup tipis dan tinta yang dipakai sangat tebal berwarna hitam pekat. commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sehingga kecil kemungkinan teks pada halaman tersebut ditulis secara recto verso. Teks ditulis ke arah lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari kiri ke kanan. Penomoran halaman menggunakan 2 jenis angka, yaitu: a. Angka Jawa: pada halaman 1-74 dan 75-90, terletak di sebelah atas tengah. b. Angka Arab: pada halaman 74a-74i, terletak di sebelah atas pojok kanan, kemungkinan besar penomoran ini adalah tambahan dari pembaca karena warna tinta teks dengan nomor halaman berbeda. (13) Bahasa naskah Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, ragam krama dan ngoko, disisipi oleh bahasa Arab. Bahasa naskah cukup mudah dipahami oleh masyarakat pembaca saat ini. (14) Bentuk teks Teks SM ditulis dalam bentuk prosa berupa teks dialog. (15) Huruf, aksara, tulisan Huruf yang dipakai ada 3 macam, yaitu: a. Huruf Jawa carik: digunakan untuk menuliskan teks secara keseluruhan. b. Huruf Arab: hanya digunakan ketika menuliskan kata “Allah”. c. Huruf Latin: hanya digunakan ketika menuliskan icon kedua tokoh dalam teks yang sedang berdialog. Karena teks SM ini ditulis oleh 2 penulis, maka bentuk tulisannya berbeda, yaitu:
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Penulis I (Wignyaukara): -
Ukuran font sedang
-
Jarak antar huruf rapat
-
Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
-
Tulisan jelas dan mudah dibaca
-
Jarak antar baris cukup longgar
-
Goresan pena sedang, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, dengan tinta berwarna biru tua
-
Sangat rapi, tidak ada coretan-coretan karena kesalahan penulisan
b. Penulis II (Purbadipura): -
Ukuran font agak kecil bila dibandingkan dengan tulisan penulis I
-
Jarak antar huruf agak renggang
-
Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
-
Tulisan jelas tetapi agak susah dibaca
-
Jarak antar baris cukup longgar
-
Goresan pena sangat tipis dengan tinta berwarna coklat, kecuali pada halaman 74a-74i, goresan pena terlalu tebal dengan tinta berwarna hitam pekat
-
Kurang begitu rapi, banyak sekali coretan-coretan karena kesalahan penulisan, banyak kata dan kalimat yang disisipkan karena susunan kalimat dirasa kurang oleh penulis. Kata dan kalimat tambahan tersebut ditempatkan di bagian margin (kanan, kiri, atas dan bawah halaman teks).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
Pungtuasi atau tanda baca yang peneliti temukan di dalam teks SM ada beberapa bentuk, yaitu: a. Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lingsa”, fungsinya sebagai tanda berhenti (tepatnya jeda) pada kata, frasa dan klausa di dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “koma” dalam suatu kalimat. Fungsi tanda ini di dalam teks SM: tidak hanya sebagai tanda jeda suatu kata, frasa dan klausa di dalam kalimat tetapi juga sebagai tanda berhenti kalimat itu sendiri. Sehingga tanda berhenti antara kata, frasa, klausa dan kalimat di dalam teks SM ini tidak ada pembedaan tanda, keduanya sama. Kemungkinan besar pembaca akan merasa cukup kesulitan ketika membaca dan memahami teks SM ini. b. Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lungsi”, berfungsi sebagai tanda berhenti suatu kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “titik” dalam suatu kalimat. Fungsi tanda ini di dalam teks SM: -
sebagai tanda berhenti suatu kalimat, tetapi fungsi ini sedikit sekali pengaplikasiannya, peneliti temukan hanya ada di halaman 24, 28, dan 31
-
sebagai tanda petik dalam kalimat langsung (kalimat langsung dari kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM)
-
commit user untuk mengapit kutipan tekstodari naskah lain di luar teks SM
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
-
dipakai sekali sebagai tanda berhenti ketika menuliskan judul teks SM
c. Fungsi tanda ini di dalam teks SM adalah: -
untuk mengungkapkan persamaan kata (SM: 14 & 15)
-
untuk mengungkapkan maksud dari suatu kata tertentu (SM: 34)
d. Fungsi tanda “titik dua” di dalam teks SM ini adalah: -
dipakai pada akhir sutau pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian atau pemerian
-
dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian
e. Tanda yang mirip dengan huruf “L” ini dalam teks SM berfungsi untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan pada bagian bawah teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan pada daerah margin bagian kiri. f. Tanda yang mirip dengan huruf “T” ini dalam teks SM mempunyai fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan huruf “L”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
g. Tanda yang mirip dengan huruf “F” ini dalam teks SM mempunyai fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan huruf “L” dan huruf “T”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan. h. Tanda ini dalam teks SM berfungsi sebagai tanda yang mengisyaratkan bahwa kata yang hendak ditulis sama dengan kata diatasnya, sehingga kata yang tersebut tidak perlu ditulis kembali, cukup dengan menuliskan tanda ini. (16) Umur naskah Naskah ini dibuat pada tanggal 28 Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa naskah ini adalah naskah salinan. Informasi yang penulis temukan di halaman 37 tentang penulis dan pengarangnya, mengandung maksud bahwa pengarang meminta kepada juru tulis untuk menuliskan teks karangannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya tanda semacam tanda-tangan dari pengarang langsung. Jadi umur naskah SM sampai tahun ini (2009) adalah 82 tahun. (17) Ikhtisar teks/ cerita Teks SM yang berbentuk teks dialog ini, mengisahkan dua orang, yakni seorang kyai dan seorang murid, yang sedang berdialog membahas tentang commit to user etika hidup bermasyarakat dan kepemimpinan. Dialog terjadi di rumah kyai.
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
Dialog antara kyai dan murid ini terjadi dalam 4 kali dialog dengan tema dialog yang berbeda-beda, berikut uraiannya: a. Dialog I (SM: 1-16) Berisi tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang pemimpin dalam lingkup keluarga, tetangga, bawahan, dan hubungan dengan pihak luar (8 ajaran kepemimipinan). Kepada keluarga dan sanak saudaranya dia harus dekat, mencintai keluarga dan sanak saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, tidak ada rasa rikuh pakewuh. Jika ada dari anggota keluarga atau sanak saudaranya yang melakukan kesalahan, tidak langsung dimarahi dengan semena-mena, hadapi dengan kelembutan dan kepala dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan orang banyak. Pilihlah moment yang tepat untuk menegurnya, disampaikan dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Memberikan nasehat secukupnya sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Dalam menegur jangan sampai berlebihan sampai menjatuhkan wibawa dan reputasi sebagai pemimpin keluarga. Kepada para abdinya, seorang pemimpin harus memberikan kepahaman akan tugas dan kewajibannya, selalu diingatkan agar jangan sampai mengkhianati pekerjaan dan kewajibannya. Pemimpin yang baik harus memperhatikan kesejahteraan abdi-nya, (kebutuhannya) jangan sampai ada yang terlantarkan. Membangun hubungan yang baik dengan abdi-nya, tidak sewenang-wenang (unsur senioritas). Berlaku seadil-adilnya terhadap para abdi yang terbukti melakukan kesalahan, memberikan ganjaran/ hukuman sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan. commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kepada tetangganya, pemimpin yang baik harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan orang lain, baik itu yang muda maupun yang tua. Ketika bermusyawarah atau berdiskusi, tidak tergesa-gesa untuk menyanggah pendapat orang lain melainkan didengarkan dahulu baik-baik, dicerna baru kemudian ditanggapi dengan bahasa yang baik dan santun, jangan sampai mengecewakan pihak yang berpendapat. Untuk itu, ada 8 hal yang harus dipahami oleh seorang pemimpin, yakni: 1) Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak. 2) Purba berarti bertanggungjawab atas semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. 3) Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan. 4) Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun. 5) Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. 6) Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf. 7) Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. 8) Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah. commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Dialog II (SM: 16-37) Berisi tentang keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin, yakni Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. c. Dialog III (SM: 53c-62) Berisi tentang deskripsi kondisi alam, yakni iklim dan cuaca yang terjadi saat itu hubungannya dengan sikap penduduk (faktor sebab dan akibat). d. Dialog IV (SM: 71-90) Berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja di Jawa (Mataram, Surakarta, Yogyakarta) mulai dari Ki Ageng Sela hingga PB VIII.
2. Kritik Teks Kegiatan kritik teks dilakukan setelah naskah dideskripsikan. Pengertian kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta (1984) adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimatkalimat atau rangkaian kata-kata tertentu. Baried berpendapat bahwa, “kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tepatnya yang tepat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan teks sedekat-dekatnya dengan teks aslinya (constitutio textus) (Siti Baroroh Baried, et.al. 1994: 61). Adapun Sangidu menyatakan:
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan kegiatan kritik teks ini, teks sudah dapat dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula sehingga dapat dipandang sebagai bentuk teks mula (arketip) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Sangidu, 2004: 82)
Berdasarkan kegiatan kritik teks yang telah dilakukan terhadap teks Serat Mudhatanya ditemukan beberapa bentuk kesalahan tulis yang meliputi: lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi. Selain itu juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan kata dan variasi-variasi penulisan kata. Masingmasing penjelasannya sebagai berikut: (1) Lakuna Lakuna adalah pengurangan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.2 Tabel Lakuna Halaman/ No.
Tertulis Tertulis Jawa
Baris
Edisi Latin
1.
29/7
lèmè
lèmèk
2.
29/22
kabungah
kabungahan
3.
53c/21
wêdal
wêkdal
4.
54/7, 56/13
jam
jaman
5.
54/20
landhungi
landhunging
6.
56/12
titisa
titisan
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7.
57/9
gadha
gadhah
8.
57/11
pamrentaha
pamrentahan
9.
58b/5
gri
griya
10.
58b/21
parentah
pamarentah
11.
59/5
tan kê
tan kêna
12.
61/14
Wallahu
Wallahu
akam
aklam
13.
61/21
jantu
jantung
14.
71/14
panjêngan
panjênêngan
15.
73/9, 74/17
Kya Agêng
Kyai Agêng
16.
74/8
wontê
wontên
74e/7
mukmi
mukmin
17.
77/16
suksa
suksma
18.
79/13
saètu
saèstu
19.
83/14
bala-ba
bala-bala
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Adisi Adisi adalah penambahan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.3 Tabel Adisi No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
Edisi
1.
7/23
dipunicaling
dipunicali
2.
60/16
anggung
agung
3.
74f/1
Narendrar
Narendra
(3) Substitusi Substitusi adalah penggantian huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.4 Tabel Substitusi Tertulis No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Edisi Latin
1.
32/9
yatin
yatim
2.
36/6
dasanipun
dhasaripun
3.
57/19
Bêgêblug
Pagêblug
4.
57/22
sarma
Darma
5.
58a/6-7
kadhah
gadhah
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6.
58a/22
karingipun
garingipun
7.
58b/8
kêmbong
kêmbung
8.
59/15
ngêdur
ngêdhur
9.
60/10
dakmênang
sakwênang
10.
60/19
sanakari
sanagari
11.
61/7
thilar
tilar
12.
62/3
dinas
dhinas
13.
75/14-15
lêlakuhanipun lêlabuhanip un
14.
76/3-4
mapat
wapat
15.
77/13
sama
nama
16.
84/17
dati-ati
ngati-ati
17.
84/1-2
narama
narima
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
18.
85/7
kalakuanipun
lêlabuhanip un
19.
90/12
mêsêp
mênêp
20.
74e/17
Ngayogya
Ngayodya
(4) Transposisi Transposisi adalah perpindahan letak huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.5 Tabel Transposisi No.
Halaman/Baris
1.
88/2
Tertulis Jawa
Tertulis Latin lêgêm
Edisi gêlêm
Selain kesalahan penulisan teks seperti lakuna, adisi, substitusi, dan ditografi, terdapat pula ketidakkonsistenan cara penulisan kata, yaitu: a. Penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’ Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
5/2
kagaliya
2.
4/14-15
kagaliha
commit to user
Edisi
kagaliya
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’ Tabel 4.7 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’ No.
Halaman/Baris
1.
57/18
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
Edisi
dhahuru dhahuru
2.
56/15
dahuru
c. Penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’ Tabel 4.8 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
15/22
kalintu
2.
53c/19, 74/14
kalèntu
3.
72/15-16
kêlèntu
Edisi
kalèntu
d. Penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’ Tabel 4.9 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’ No.
Halaman/Baris
1.
83/9-10
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
Edisi
asreng asring commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
83/7
angsring
e. Penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ Tabel 4.10 Ketidakkonsitenan dalam penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ No. Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
15/9
Mukammat
2.
27/16, 28/2,
Mukamad
Edisi
Mukammad 29/24 3.
33/8
Mukammad
f. Ketidak-konsistenan dalam penulisan bunyi vocal Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
72/18
Eslam
72/13, 72/19,
Eslam
Islam (dengan huruf ‘i’ Murda)
73/7, 80/19 2.
Edisi
76/7
Nis
74/20
Nês
Nis
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain kesalahan dan ketidak-konsitenan dalam penulisan kata, di dalam teks SM ini juga ditemui ada beberapa variasi dalam penulisan kata, berikut uraiannya: a. Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
54/16
blêdug
2.
58a/12
balêdug
b. Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
53c-54/22-1
saknagari
2.
54/8
saknêgari
c. Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ No.
Halaman/Baris
1.
35/10, 35/12
Tertulis Jawa
Tertulis Latin glêpung
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
35/15, 35/23
galêpung
d. Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’ Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’ No.
Halaman/Baris
1.
13/10, 26/20,
Tertulis Jawa
Tertulis Latin panjênêngan
35/, 72/7 2.
62/17
pênjênêngan
3. Pedoman Transliterasi Naskah Serat Mudhatanya ditulis dengan aksara Jawa. Oleh karena itu, transliterasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk penyuntingan teks. Transliterasi ini sebagai usaha agar teks naskah dapat dibaca oleh masyarakat yang lebih luas, tidak hanya dari suku Jawa saja. Transliterasi adalah pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Edward Djamaris, 1991: 199). Namun, prinsip transliterasi tersebut tidak sepenuhnya bisa diterapkan karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa berbeda dengan sistem ejaan penulisan aksara Latin. Untuk itu, dalam transliterasi ini digunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (Sudaryanto, 1990) sebagai dasar acuan penulisan bahasa Jawa dalam suntingan ini. Berikut beberapa pedoman transliterasi untuk memudahkan pembaca dalam memahami suntingan teks naskah Serat Mudhatanya ini: commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Penyajian teks perdialog, tiap dialog diberi judul Dialog I, Dialog II, Dialog III, dan Dialog IV. 2) Tanda [
] (kurung biasa), seperti tanda [1], [2], [3] dan seterusnya
menunjukkan pergantian halaman. 3) Angka Arab ukuran kecil di sebelah kanan atas kata, yakni
1, 2, 3, dst.
Menunjukkan catatan atau kritik teks. 4) Teks yang berbahasa Arab dicetak miring. 5) Tanda ^ di atas vokal e, yakni ê dibaca [ ∂] seperti dalam bahasa Indonesia kata “beras”, kata “gelas”. 6) Tanda
di atas vokal e, yakni è dibaca [ з ] seperti dalam bahasa
Indonesia kata “jengkel”, kata “bengkel”. 7) Kutipan dari naskah lain yang berbentuk tembang macapat disajikan perbaris.
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan kegiatan kritik teks ini, teks sudah dapat dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula sehingga dapat dipandang sebagai bentuk teks mula (arketip) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Sangidu, 2004: 82)
Berdasarkan kegiatan kritik teks yang telah dilakukan terhadap teks Serat Mudhatanya ditemukan beberapa bentuk kesalahan tulis yang meliputi: lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi. Selain itu juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan kata dan variasi-variasi penulisan kata. Masingmasing penjelasannya sebagai berikut: (1) Lakuna Lakuna adalah pengurangan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.2 Tabel Lakuna Halaman/ No.
Tertulis Tertulis Jawa
Baris
Edisi Latin
1.
29/7
lèmè
lèmèk
2.
29/22
kabungah
kabungahan
3.
53c/21
wêdal
wêkdal
4.
54/7, 56/13
jam
jaman
5.
54/20
landhungi
landhunging
6.
56/12
titisa
titisan
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7.
57/9
gadha
gadhah
8.
57/11
pamrentaha
pamrentahan
9.
58b/5
gri
griya
10.
58b/21
parentah
pamarentah
11.
59/5
tan kê
tan kêna
12.
61/14
Wallahu
Wallahu
akam
aklam
13.
61/21
jantu
jantung
14.
71/14
panjêngan
panjênêngan
15.
73/9, 74/17
Kya Agêng
Kyai Agêng
16.
74/8
wontê
wontên
74e/7
mukmi
mukmin
17.
77/16
suksa
suksma
18.
79/13
saètu
saèstu
19.
83/14
bala-ba
bala-bala
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Adisi Adisi adalah penambahan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.3 Tabel Adisi No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
Edisi
1.
7/23
dipunicaling
dipunicali
2.
60/16
anggung
agung
3.
74f/1
Narendrar
Narendra
(3) Substitusi Substitusi adalah penggantian huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.4 Tabel Substitusi Tertulis No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Edisi Latin
1.
32/9
yatin
yatim
2.
36/6
dasanipun
dhasaripun
3.
57/19
Bêgêblug
Pagêblug
4.
57/22
sarma
Darma
5.
58a/6-7
kadhah
gadhah
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6.
58a/22
karingipun
garingipun
7.
58b/8
kêmbong
kêmbung
8.
59/15
ngêdur
ngêdhur
9.
60/10
dakmênang
sakwênang
10.
60/19
sanakari
sanagari
11.
61/7
thilar
tilar
12.
62/3
dinas
dhinas
13.
75/14-15
lêlakuhanipun lêlabuhanip un
14.
76/3-4
mapat
wapat
15.
77/13
sama
nama
16.
84/17
dati-ati
ngati-ati
17.
84/1-2
narama
narima
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
18.
85/7
kalakuanipun
lêlabuhanip un
19.
90/12
mêsêp
mênêp
20.
74e/17
Ngayogya
Ngayodya
(4) Transposisi Transposisi adalah perpindahan letak huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks. Tabel 4.5 Tabel Transposisi No.
Halaman/Baris
1.
88/2
Tertulis Jawa
Tertulis Latin lêgêm
Edisi gêlêm
Selain kesalahan penulisan teks seperti lakuna, adisi, substitusi, dan ditografi, terdapat pula ketidakkonsistenan cara penulisan kata, yaitu: a. Penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’ Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
5/2
kagaliya
2.
4/14-15
kagaliha
commit to user
Edisi
kagaliya
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’ Tabel 4.7 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’ No.
Halaman/Baris
1.
57/18
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
Edisi
dhahuru dhahuru
2.
56/15
dahuru
c. Penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’ Tabel 4.8 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
15/22
kalintu
2.
53c/19, 74/14
kalèntu
3.
72/15-16
kêlèntu
Edisi
kalèntu
d. Penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’ Tabel 4.9 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’ No.
Halaman/Baris
1.
83/9-10
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
Edisi
asreng asring commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
83/7
angsring
e. Penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ Tabel 4.10 Ketidakkonsitenan dalam penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ No. Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
15/9
Mukammat
2.
27/16, 28/2,
Mukamad
Edisi
Mukammad 29/24 3.
33/8
Mukammad
f. Ketidak-konsistenan dalam penulisan bunyi vocal Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
72/18
Eslam
72/13, 72/19,
Eslam
Islam (dengan huruf ‘i’ Murda)
73/7, 80/19 2.
Edisi
76/7
Nis
74/20
Nês
Nis
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain kesalahan dan ketidak-konsitenan dalam penulisan kata, di dalam teks SM ini juga ditemui ada beberapa variasi dalam penulisan kata, berikut uraiannya: a. Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
54/16
blêdug
2.
58a/12
balêdug
b. Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ No.
Halaman/Baris
Tertulis Jawa
Tertulis Latin
1.
53c-54/22-1
saknagari
2.
54/8
saknêgari
c. Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ No.
Halaman/Baris
1.
35/10, 35/12
Tertulis Jawa
Tertulis Latin glêpung
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
35/15, 35/23
galêpung
d. Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’ Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’ No.
Halaman/Baris
1.
13/10, 26/20,
Tertulis Jawa
Tertulis Latin panjênêngan
35/, 72/7 2.
62/17
pênjênêngan
3. Pedoman Transliterasi Naskah Serat Mudhatanya ditulis dengan aksara Jawa. Oleh karena itu, transliterasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk penyuntingan teks. Transliterasi ini sebagai usaha agar teks naskah dapat dibaca oleh masyarakat yang lebih luas, tidak hanya dari suku Jawa saja. Transliterasi adalah pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Edward Djamaris, 1991: 199). Namun, prinsip transliterasi tersebut tidak sepenuhnya bisa diterapkan karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa berbeda dengan sistem ejaan penulisan aksara Latin. Untuk itu, dalam transliterasi ini digunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (Sudaryanto, 1990) sebagai dasar acuan penulisan bahasa Jawa dalam suntingan ini. Berikut beberapa pedoman transliterasi untuk memudahkan pembaca dalam memahami suntingan teks naskah Serat Mudhatanya ini: commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Penyajian teks perdialog, tiap dialog diberi judul Dialog I, Dialog II, Dialog III, dan Dialog IV. Tanda [ ] (kurung biasa), seperti tanda [1], [2], [3] dan seterusnya menunjukkan pergantian halaman.
commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Suntingan Teks dan Aparat Kritik a. Dialog I (Pertama): Sêrat Mudhatanya A
: Sumangga nggèr lajêng pinarak ngriki.
B
: Inggih.
A
: Punapa sami wilujêng nggèr?
B
: Pangèstunipun Kyai inggih wilujêng. Panjênêngan Kyai punapa inggih sami wilujêng?
A
: Pandonga sampeyan inggih wilujêng. Sumangga nggèr wedangipun kaunjuk.
B
: Inggih sumangga sami ngunjuk. Anggèn kula sowan panjênêngan punika, sapisan lami botên kapanggih. Kaping kalih parlu nyaosi uninga kula badhe pindhah griya dhatêng ing Purwasari, ondhêr distrik1 Lawiyan (Surakarta) nyuwun dhawuhipun kyai benjing punapa prayoginipun dintên ingkang kula angge pindhah?
A
: Pamanggih kula prayogi benjing Kemis Lêgi tanggal ping 28 wulan Sura Jimakir 1858 punika dintênipun sae. Gêsanging dintên mangetan kaliyan mangidul kalêrêsan dalêmipun anggèr lèr pindhah mangidul. Sangat yusup rijêki jam 7:25, potipun jam 8:15. Prayogi [2] nipun katamtokakên jam 7:0 awit kala subanipun dhawah rasa kumpul sae. Wontên punapa ta nggèr kok mawi pindhah dalêm?
commit to user 1
dhistrik
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B
: Mila pindhah, awit griya kula ingkang lami punika radi kalitên, mangka anak putu batih kula kathah. Dados dhapur sêsak wontên ing griya lami. Mila pindhah dhatêng griya ingkang agêng supados radi ombèr.
A
: Inggih nggèr, botên langkung namung pupuji kula mugi-mugi kalampahan kaliyan wilujêng sadayanipun sarta sagêda kaagêm ingkang lami ngantos run tumurun dhatêng putra wayah sapangandhap.
B
: Nuwun kapundhi paringipun pandonga panjênêngan mugi Gusti Allah angabulna.
B
: Dados pamriyoginipun2 Kyai benjing dintên kasêbut nginggil wau?
A
: Inggih.
B
: Dèrèng kalampahan kula sampun maturnuwun.
B
: Kajawi punika sarèhne kula punika sugih anak putu sadhèrèk kulawarga batih kathah, supados sami sakeca manahipun kados pundi Kyai? Mugi paringa pitêdah badhe kula lampahi kaliyan têmên-têmên.
A
: Anakku nggèr, saking trêsnane duwe wong tuwa [3] kaya aku, dadi karsa ngandika kaya mangkana inggih ta nggèr. Kêkirangan punapa sampeyan, namung rèhne wontên panêda 3 sampeyan. Kula sampeyan purih suka pitêdah, inggih sasagêd-sagêd kula laksanani kados ing ngandhap punika: Ha
: Dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana agêng alit. Punika sampeyan rakêt ingkang sayêktos. Sampeyan anggêp kados
sarira sampeyan piyambak. Sampun dipunsigêni. Sampun manah rêrênggi. Sampun lêlamisan. Ngagêma panggalih lamba kemawon. Dipunpitados
2 3
pamrayoginipun panêdha
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampun mawi sumêlang. Awon sae mangke rak katingal piyambak. Sampeyan ngagêma dêdhasar4 panggalih sae. Manawi badhe duka kagalih ingkang panjang rumiyin, sampun kasêsa. Dene manawi kêdah lêrêsipun duka, ingkang badhe dipundukani kasingitna sampun ngantos katingal tuwin kamirêng ing akathah. Wiyosing pangandika ingkang sarèh sêmu manis, sarta ingkang talanjar ing lêpatipun kemawon, sampun ngantos anggladrah ical jêjêripun. Wêdaling pangandika ingkang suraos mirma tuwin pangowêl dhatêng ingkang dipundukani. Langkung prayogi ingkang badhe dipundukani kaajaka nitih kareta botên mawi rencang. Salêbêtipun kareta lumajêng, ing ngriku kawiyosna dêdukanipun, nanging inggih ing [4] kang pangandika sarèh wau punika. Punapa ingkang dados kabêtahanipun sampeyan tulungi kaliyan eklasing lair batos. Sampun kintên-kintên ingkang botên-botên. Ingkang pitados dhatêng kadaripun Gusti Allah, sapa ala nemu ala, sapa bêcik nêmu bêcik tamtu makatên. Sarta kagungan panggalih momot mêngku pangaksama. Nyipta yèn dosa lara tak apura, yèn dosa mati tak uripi. Awit putra, wayah, sadhèrèk, santana punika bilih ngantos gadhah manah gêla, cuwa, susah anggrêsah, wirang isin, gêngipun papa sangsara saking sampeyan, punika tamtu gampil anggènipun damêl ruwêt rêntênging panggalihipun anggèr, sagêd ambêbayani sayêktos. Sabab sampun sumêrêp dhatêng woda-wadinipun anggèr. Mila kagalih5 saenipun sampun 4 5
dhêdhasar kagaliya
ngantos
nandhang
gêla,
cuwa,
commit to user
sapanunggilanipun
wau.
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sarananipun anggèr kêdah mituruti ing sapantêsipun. Punapa ingkang dipunsuwun, anggèr kêdah maringakên kaliyan lila lêgawa. Punika tamtu pinanggih saenipun dhatêng sariranipun anggèr. Sarta kadhawuhan sumêrêp ingkang têrang saha anglampahi kaliyan têmên-têmên dhatêng pêpacaking agami ingkang dipunlampahi, ingkang kenging utawi ingkang botên kenging, punika parlu sangêt. Na: Dene manawi dhatêng abdi sampeyan agêng [5] alit. Katêtêpna punapa ingkang sampun dados kawajibanipun. Kagaliya sampun ngantos andaleya. Sarananipun kêdah dipuntuwuki boga busana. Sampun ngantos wontên ingkang kêkirangan tuwin kasangsaran. Kêdah kagalih kaliyan dana pariksa piyambak. Sampun lajêng tan nggêga aturing liyan. Kêdah kapatitisakên kanyataaningsun. Dhatêng abdi karakêtna sarta kaagêngna manahipun. Sampun ngantos damêl tintrim maras-mirising abdi. Sadaya pandamêlaning abdi punika, sajatosipun angrencangi dhatêng kabêtahan sampeyan. Mila manawi
nuju
nyangkul
pandamêlanipun
anggèr
sadèrèng
tuwin
sêsampunipun kaarêm-arêm manahing sabda mangalêmbana angecani manah, supados rumaos ènthèng anggènipun lumampah ing damêl. Lajêng rumaos kagêm damêlipun. Ki pujangga sampun cariyos, ”Ora ana wong kêndho janji kanggo. Ora ana wong daleya ing gawe. Janji cukup pangane, ora ana panggawe abot janji bobot.” Makatên punika kados sampun tamtu. Manawi sadaya abdi sampeyan sampun karoban ing dana pariksa, tamtu lajêng gadhah patêmbaya: anggènipun anglampahi pandamêlan mêsthi kaliyan têmêncommit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
têmên. Sarta gadhah cipta: sampun ingkang sakit sanadyan dumugi ing pêjah botên mingkuh. Awit namung sêdya mamalês sih kadarman ing bêndaranipun. Manawi para abdi sampun sumung [6] kêm, asih trêsna sayêktos dhatêng sampeyan. Tamtu mangajêng-ajêng ayahan awrat ènthènga sêdya dipunlampahi kaliyan sêdya tuhu. Bêbasanipun kajêglugna ing gunung waja kacêmplungna ing sagara gêni, manahipun botên ajrih sêdya nêtêpi dhawuh. Makatên wau witipun saking karoban ing sih dana marta. Sarta pangandika mardawa manis rum ingkang sagêd nuju prana damêl bingahing manahipun para abdi. Wosipun anggèr kêdah wêwasar sabda nyata, têrus têrang botên lêlamisan. Sêsampunipun pariksa têrang, ingkang sae dipun-ganjara samurwatipun. Ingkang awon dipunpidanaa ingkang timbang kaliyan lêpatipun, sampun ngantos kagungan kakasih. Manawi kagungan kêkasih tamtu lajêng baukapine, botên jêjêg pangadilanipun. Nanging sadaya abdi dipunrakêta, supados gadhah pangraos kasihan. Sampun sangêt-sangêt ngandika rècèh dhatêng abdi. Manawi ngutus utawi andhawuhi namung saparlunipun kemawon (cêkak aos). Ca:
Manawi
dhatêng
tiyang
agêng
alita
ingkang
sanês
wêwêngkonipun anggèr, têgêsipun pawong mitra tangga têpalih kuwaruhan tuwin liya bangsa. Punika sawatawis kêdah dipunombèri panggalih, sarta dipunecani manahipun kaliyan têmbung manis. Kanthi awas ing pamawas. Empan papan wadyaning mangsa kala. Sampun tilar weweka. Priksaa dhatêng commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sêsumuking lajêng badhe kados pu [7] ndi, lamba punapa rangkêp, anggèr kêdah waspada. Dados botên kablowok ing rêmbag, sawatawis dipunêmong. Mangatur-aturipun kêdah kagalih ingkang panjang. Sampun kasêsa anyagahi, nanging bilih sampun sagah sampun ngantos nyidrani. Ingkang
sampun
kasagahakên
kêdah
kalêksanan.
Anggèr
kêdah
adhêdhasar panggalih lamba rumiyin, kaliyan pangandika arum manis mardawa mamalad driya ingkang narik suka rêna. Sampun ngêtrapakên pangandika sêrêng sora, ingkang sarèh rèrèh ririh. Sawatawis ingkang radi sumarah ing karsa, ingkang botên rêkasa sangsara. Ra : Tiyang ingkang gadhah bale griya, punika sampun tamtu gadhah kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa. Ing sakukubanipun ing ngriku kemawon. Dados kenging dipunwastani, sasat angratoni dhatêng wêwêngkonipun, mila kêdah pariksa dhatêng kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa. Menggah têrangipun: 1. Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng kulawarga. 2. Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku. Têgêsipun ingkang galih kados pundi sagêd dipunicaling6 sêsakit wau. Sampun: ”Ya bèn awak-awakmu dhewe, wong kowe tak bla [8] nja,
commit to user 6
dipunicali
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kuwat ya angkatên, ora kuwat ya minggata”. Sampun makatên kêdah anggèr ingkang damêl nirmala waluya jati, sampun sèlak. 3. Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancamancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging sadèrèngipun kêdah dipundhawuhakên, yèn ala bakal nemu ala, yèn bêcik bakal nêmu bêcik. 4. Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun, botên baukapine. Sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon, ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun. 5. Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês, dhatêng sêsaminipun putra, wayah,
sadhèrèk,
santana,
abdi,
kêdah
dipuntêtêpakên
ing
pangadilanipun ingkang jêjêg. Bêbasan: ”Utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati”, sapiturutipun. Botên kenging dlêmok cung, kêdah wradin. Têgêsipun yèn Si Dhadhap kang utang, mung nyaur sêmene, yèn Si Waru kang utang kudu nyaur sêmene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun. Sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasê [9] but ing anggêr-anggêr botên kenging mèncèng. 6. Paramarta: punika bilih putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi gadhah prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalèntu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta. commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaringaringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng anggèr lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi. Têmah andados
7
maras-mirising abdi, nipisakên pasuwitan. Mila kêdah
dipunparingi paramarta. Pantês kaparingan pangapura. Punapa dene tiyangipun ingkang lêpat sampun mungêl nyuwun tobat, punika anggèr wajib paring pangapuntên ingkang yêktos. Ingkang pitados dhatêng wicantênipun tiyang sae. 7. Dana: inggih ingkang kêrêp pêparing. Manawi pêparing barang ingkang
enggal
risak,
kadosta
dhahar-dhaharan,
sêmbêt
sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi pêparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun, kadosta ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan, tuwin gri [10] ya papan pemahan, punika kêdah ingkang awis-awis. Mila kula matur makatên sabab anggèr punika tiyang pancen sugih mas picis raja brana miwah pamêdalipun agêng. Nglêmpakakên 8 bandha donya arta kathah. Punika tamtu mêndhêt saking pandamêlanipun tiyang alit. Nanging bilih tiyang alit sangêt-sangêt dipunpunguti kas kayanipun, punapa botên mêsakakên, sapisan. Kaping kalih, bilih sampun sugih arta sangêt, bêbasan sampun ngumbuk-umbuk drèwu, lajêng badhe kados pundi, punapa tiyang botên badhe pêjah. Manawi sampun pêjah, mangka tilar arta bandha kathah, punika tamtu dados gadhahanipun para waris. Tarkadhang 7 8
andadosakên Ngêmpalakên
commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dados
wêwinih
ing
prakawis,
sabab
kiranging
panarimah
panampinipun warisan. Anggèr botên sagêd maibèn bab punika, sampun kathah têtuladanipun. Punapa wontên tiyang umur satus taun? awis. Dados bandha donya arta wau prayogi sacêkapipun kemawon. Ingkang kagêm anggèr tuwin ingkang badhe kangge tambal sulam bale griya. Salangkungipun kadanakêna. Dados asmanipun anggèr arum angambar. Mila sampun awrat tuwin owèl paring dana dhatêng putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi punapa dene dhatêng pawong mitranipun anggèr. Nanging pawong mitra [11] wau kêdah dhawah kantun. Paring dana dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi karumiyina. Sabab bilih tansah paring dana pawèwèh kasaenan dhatêng pawong mitra, ing mangka dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi awis-awis tur sakêdhik, punika lajêng kenging babasan ”Dananing bandara kaya nyaring banyu padasan. Kang adoh kênthuran kang cêdhak ora”, sampun ngantos makatên. Awit kasaenan punika manawi ingkang mastani tiyang liya, sanadyan kasaenanipun wau sagunung inggih dèrèng kenging dipunandêl, awit botên sumêrêp ing sadintên-dintênipun. Beda kaliyan para putra wayah sadhèrèk santana abdinipun piyambak. Manawi mastani bandaranipun sae, tamtu sae sayêktos, awit nungkuli ing sadintên-dintênipun. Dados sampun mêsthi têrang dhatêng watak wantuning bandaranipun. Dhangthèk kala matur kasaenan dhatêng liyan wau dèrèng kenging dipunandêl, punika makatên. Saupami sampeyan tansah damêl kasaenan dhatêng tiyang commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
liyan praja, sarana barang ingkang kathah reginipun, ingkang kataman sarta ingkang mirêng kasaenanipun anggèr wau têmtu inggih lajêng mastani sae. Nanging sarêng pitanglêt dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdinipun ingkang damêl kasaenan wau, dipunpitang [12] lêdi: ”Bêndaramu iku apa bêcik tênan?” Wangsulanipun: ”Lêrês dhatêng liyan pancèn inggih kêrêp paring kasaenan. Nanging dhatêng kula sadaya namung maligi pêpancèn kula ingkang mêsthi. Awis sangêt wontên mirungganing kasaenan ingkang dumawah. Langkung malih
bilih
suka-suka
boga
andrawira.
Punika
ingkang
dipunparlokakên namung dhatêng liyan. Bilih dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi awis-awis. Manguna suka wibawa inggih namung alit-alitan kemawon. Bilih wontên katrangan makatên arak kojur, pun liya lajêng gadhah grahita. Apa anggone gawe kabêcikan marang aku iku, mung arêp panjaluk wêwalês bae”. Arak susah bilih makatên. 8. Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan. Ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak. Dhatêng tiyangipun, botên mawi lêlantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun. Anggèr tamtu kagungan panggalih: ”Bilih makatên kula arak rêkaos?”. Inggih tamtu rêkaos tinimbang kaliyan nganggur. Nanging bilih tiyang sumêdya nyambut damêl raharjaningrat, tamtu botên angraos rêkaos. Rêkaos pundi kaliyan wong cilik pangane sêthithi [13] k gawene iklik, yèn luput digitik? Sampeyan punapa kêrsa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
linton sawulan kemawon? Dhèg gèdhèg-gèdhèg. Sarèhne tamtu botên kêrsa, (bandara dados abdi). Anggèr kemawon ingkang amot, mêngku, sedya, tata, titi, sêtiti, ngati-ati, mêrak ati, sampun angas-ungase bêngis angêngis-êngis. Ulat murêrêng marêngut. Prayogi ingkang sêmu sumèh sumaringah, sampun kagungan wawatêgan nistha. B
: Ingkang panjênêngan wastani nistha punika ingkang pundi Kyai?
A
: Nistha punika kathah warninipun kadosta ngopèni barang ingkang
rèmèh-rèmèh. Mirêngakên cariyos ingkang botên damêl alus saening budi. Sarta ingkang botên mawi wawatoning agami. Ginêm ingkang nglêmpara, anggêladrah, nyatur awon ing tiyang. Sêsêmbranan, gêgujêngan ingkang ngantos kêlanturlantur. Makatên malih anggèr, mêndhêt tatêdhan ingkang sampun dhawah ing siti, mêlik dhatêng baranging liyan, ngantos kawêdal ngandika kêpengin. Botên resikan. Mangagêm botên tata kirang tumrap. Ngagêm nyamping, rasukan, paningsêt, dhestar, sapanunggilanipun jithêtan utawi suwèk, lokot, rêgêd. Taksih kathah panunggilanipun ingkang nama nistha. Cêkakipun sa [14] bên panggalih botên mêlikan, inggih botên gadhah tindak tanduk nistha. Punika anggèr sampun ngantos makatên. Makatên inggih nggèr, ing agêsang punika limrahipun ingkang kaèsthi sagêda sae ing salami-laminipun ing donya dumugi ing akerat taksih agama sae. Punika botên liya amung mêndhêt têtuladan tindak tanduk ingsun priyagung kina kalarasa kaliyan jamanipun ingkang dipunidaki. Angêmohana dhatêng lêlabuhan ingkang awon. Kajawi punika pamanggih kula sadaya barang ingkang ewah kêdah mawi ngaso kèndêl, kadosta kareta sêpur inggih mawi kèndêl ing sawatawis wontên ing commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
sêtasiyun utawi ing haltê. Parlunipun bok manawi supados radi lêrês sawatawis, sarta kaangge ngandhapakên nginggahakên barang ingkang sampun katamtonakên mandhap minggahing prahu. Punapa dene kaangge niti pariksa rowa-rowa sapanunggilanipun pirantosing kareta, bok manawi wontên ingkang ewah salah satunggalipun, mila kêdah dipun satitèkakên. Makatên uninga gêsang ugi parlu sangêt mawi ngaso kèndêl, kangge nglêrêmakên tuwin nuntumakên jiwa raga. Manawi para luhur Buda, sêmadi maladi mahêning ngêningakên cipta. Manawi para mukmin ya [15] sami sêmbahyang tuwin tapakur rahman. Para agami Kristên, Yahudi, Konghucu tuwin liya-liyanipun, bok manawi inggih mawi ngaso=kèndêl. Wontên malih ingkang kula anggêp parlu, inggih punika ingkang kasêbut ing Sêrat Wulang Sasana Sunu, warna sapisan mungêl: ....................................9 nahan warna sapisan kocapa/ dena eling salamine/ yèn tinitah sirêku/ saking ora mari dumadi/ dinadèkên manungsa/ mêtu saking ênur/ ri rajêng Nabi Mukammat10/ katujune nora tinitah sirèki/ dumadi sato kewan//
9
Baris pertama dari tembang Dhandhanggula yang tidak dikutip oleh penulis naskah, penulis commit to user naskah nampaknya langsung menuju ke baris kedua. 10 Mukammad
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Denagêdhe sokurirèng Widhi/ aywa lupa sira sanalika/ dènrumêksa ing uripe/ dènmadhêp ing Hyang Agung/ denapasrah aywa saksêrik/ manawa ana karsa/ urip tapi mundhut/ ngaurip wasana lina/ tan tartamtu dawa cêndhaking ngaurip/ aywa kacipta dawa//
Aywa cipta cêndhak ing ngaurip/ yeku dudu ciptaning kawula/ cêndhak dawa wus pêpancèn/ mung cipta amutèngsun/ mati ana sajroning urip/ mangkana pan winênang/ cipta kang satuhu/ madhêp kumawulèng suksma/ tan sumêlang ananira saking Widhi/ widagda ciptamaya//
commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sampun nggèr sawêg samantên atur kula. Kagem tuwin botên namung sumangga. Wasana manawi wontên kalintu 11 tuwin lêpating atur kula, kula nyuwun ngapuntên. B
: O, Kyai sangêt panuwun pêpundhi kula dhatêng paringipun [16] wasiyat
pitêdah punika. Mugi-mugi kula sagêda anglampahi. Rèhne sampun dalu anggèn kula sowan panjênênganipun Kyai. Sarta sampun kaleksanan panuwun kula, kula nyuwun pamit mantuk. Sanes dintên sowan malih, nyuwun wêwahing pitêdah. A
: Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng. Salam taklim kula dhatêng garwa
putranipun anggèr. B
: Inggih nuwun Kyai. Sampun.
A
: Inggih andum wilujêng.
b. Dialog II (Kedua): B
: Kulanuwun Kyai.
A
: E, anakku mrene manèh. Mangga nggèr, lajêng kemawon lêlênggahan ngriki.
B
: Inggih Kyai.
A
: Punapa sami wilujêng nggèr?
B
: Inggih pandonganipun Kyai wilujêng. Pangabêkti kula katura.
A
: Inggih nuwun nggèr. Sampun radi lami anggèr botên tindak mariki. Punapa sèstu12 pindhah dalêm?
B
: Inggih sampun kalampahan pindhah griya nêtêpi [17] dintên dhawuhipun Kyai.
11 12
kalentu saèstu
commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A
: Sokur alhamdulilah. Rak inggih sami wilujêng ta garwa putra wayah sadaya?
B
: Inggih saking pangèstunipun Kyai sami wilujêng sadaya.
A
: Sumangga nggèr wedangipun kaunjuk.
B
: Inggih, anggèn kula sowan punika sapisan ngaturi uninga bilih kula
sampun kalampahan pindhah griya: wilujêng. Kaping kalihipun sadaya piwulangipun Kyai sampun wiwit kula angge. Kajawi punika bilih kêparêng kula nyuwun wêwah ing piwulang malih. Supados wêwahing sasêrêpan kula. Sangêtsangêt ing panuwun kula wêwah ing piwulang wau. A
: Anakku nggèr, gene kok kêraya-raya timên ênggone arêp nyidhuk
kawruhe wong tuwa. Inggih ta nggèr sêsagêd-sagêd kula inggih nglaksanani dhatêng panêdhanipun anggèr, nanging kauningana, sajatosipun kula punika dhatêng pangawruh taksih kathah kêkirangan kula. Dèrèng mantra-mantra nama sagêd, tinimbang kaliyan para sampurnèng kawruh. Namung sarèhne kapêksa saking panêdhanipun anggèr, anggèr katingal asih trêsna dhatêng kula, kula inggih kêdah nimbangi asih trêsna. B
: O, Kyai sampun kathah-kathah ingkang kagalih, cêkakipun makatên:
upami tatêdhan kula doyan sangêt dhatêng piwulangipun Kyai. Saupami malih, tiyang karêm nêdha jèngkol [18] punapa sagêd ngêndhat dhatêng tiyang ingkang pakarêmanipun nêdha jèngkol. Tamtu botên sagêd. Awit sampun kêlajêng dados pakarêmanipun. Makatên malih kula. Dhatêng piwulangipun Kyai, tiyang sampun kêlajêng ajêng, kados pundi malih. Mila sumangga kalajêngna paring pitêdah dhatêng kula. commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A
: Inggih nggèr kula botên sagêd macali ingkang kados pangandikanipun
anggèr. Botên langkung inggih mugi kamirêngna. Kula criyos: kala anu punika kula matur dhatêng anggèr, tiyang gadhah bale griya punika prasasat angratoni dhatêng wêwêngkonipun. Mila anggèr kula aturi priksa dhatêng lêlabuhanipun ratu ingkang utami. Sanadyan anggèr dede ratu nanging prasasat angratoni wêwêngkonipun piyambak wau punika. Sumangga kula pêthikakên sêratan Tajusalatin kaliyan rêringkêsan. Namung kapêndhêt wosipun kemawon. Nalika Nabi Adam jumênêng ratu angratoni putra wayahipun, punika taksih karsa nyambut damêl kasap. Sabên dintên pandhe tosan, kaurupakên kangge dhahar ing sadintên-dintênipun. Sajêgipun sugêng dèrèng nate dhahar tuwuk. Botên karsa bingah-bingah. Dipuncaosi dhaharan miwah pangagêman saking putra wayah inggih botên karsa. Sabên dintên tansah katingal prihatos. Putra wayah ngantos matur ”Punapa ingkang kaprahatosakên13?”. Wangsulanipun Kanjeng Nabi Adam, ”Aku [19] iki maune dikarsakake dening Gusti Allah dadi kalipah ana suwarga. Nuju ana dosaku diudhunake marang ing donya kusniya malebari iki, ngratoni anak putu. Mulane aku ora duwe bungah. Pancèn tak cêgah sakpatute. Bok manawa dhompo panggawèhaku ngratoni kowe kabèh. Yèn luput saka kurang titi pariksa. Yakti 14 nêmu dêduka manèh. Kaya aku diudhunake marang bumi sap pitu. Yèn ratu kêrêp bungah-bungah, lan juwèh iku ilang sênêne. Murwate ora nana kang kari.” Makatên nggèr bilih Kanjêng Nabi Adam. Nalika Kanjêng Nabi Mungsa ngiras jumênêng ratu ing Mesir, ngêmpalakên tiyang sapraja Mêsir sadaya, dipunparentahi dados kalih prangkat. Saprangkat Kanabeyan, saprangkat Karaton. Ngêndal punika ingkang dados 13 14
kaprihatosakên yêkti
commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keblat Masjidil Aksa ing nagari Betal Mukadas. Punika mèh dipunrisak dening tiyang kapir. Sultan Kanjêng Nabi Mungsa ngundhangi umat sadaya siyaga sakapraboning prang. Pangandikanipun: ”Hèh wong Mêsir kabèh, sumurupa panggawehanira rong prakara. Kang dhingin parentah kanabeyaningsun. Kapindhone parentah karatoningsun. Wong bangga parentahing nabi lan bangga parentahing ratu, iku sah yèn dènpatènana”. Kathah sangêt wadya balanipun Kanjêng Nabi Mungsa, ngantos damêl senapati kalih wê [20] las. Satunggaling senapati amêngkoni bala 220 èwu tiyang. Sangajênging senapati satunggal nama Sèh Nakib, punika sor-soraning patih, ingkang winênang ngebahakên sagunging wadyabala sarta mutusi sadayaning prakawis. Dene pêpatihipun nama Sèh Yusak: mangkat saking Mêsir dhatêng Betal Mukadas. Untaping wadyabala agêng alit jalêr èstri tumut mangun yuda sadaya. Solahipun golong gumulung kados sagantên wutah ing dharatan. Sasat jagad prakêsa gonjing prabatarum. Nalika punika Sultan Kanjêng Nabi Mungsa botên karsa nênitih amung ndharat kemawon salamining pêrang punika. Manawi dalu
kèndêl wontên ing margi. Para
punggawa sami nyaosi pasanggrahan kaagêma lêrês. Sultan Kanjêng Nabi ngandika: ”Hèh wong Mêsir, aja susah nguwèhi panglêrêman marang ingsun, awit luwih gêdhe panggawehanira iki saka angarêpake pêrang. Ingsun ora sêdya ngrèrènoni ngiras sapanggawehanira kang marang ingsun dhewe nora pisan-pisan, awit kuwatiring atiningsun. Yèn sira ingsun dhawuhi nyambut gawe ingkang tumrap marang ingsun, iku ingsun sumêlang bok manawa nyuda marang kêkuwatanira besuk timpuk 15 ing pêrang. Kêndhoning otot,
akèh wêtuning
karingêt saking saka panggawehaningsun liyane prakawis pêrang, yèn sira ingsun commit to user 15
têmpuk
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
purih gawe pasanggrahan ana ing dalan tumrapingsun, besuk têmpuk ing aprang yèn ana kêndhonira, ingsun ora bisa [21] nyrêngêni. Dene ingsun turu ana ing dalan mung karo santosaning atiningsun bae aja kongsi dadi gawening wadyabala. Malah dhamparingsun ora ingsun linggihi yèn durung tempuh ing aprang. Yèn kasoring lakuningsun aja dadi pangundhat-undhat. Luwih gêdhe panggawehaning prang iku mungguhing para raja. Gêgênging 16 pakèwêding praja punika kalih prakawis:1)ebahing kalam 2)ebahing pêdhang, nanging pêdhang botên sagêd ngebahakên kalam, kalam sagêd ngebahakên pêdhang. Mila ngatos-atos bilih ngebahakên kalam, kêdah lêlambaran sabda ingkang mardu mardawa tanduking basa sastra cêtha wosing suraos. Awit bilih botên makatên kalam sagêd ngebahakên pêdhang. Sultan Kanjêng Nabi Mungsa sabên dintên kêmbul dhahar kaliyan wadyabalanipun ingkang kalêrês jagi dipunjak dhahar sarêng. Tansah damêl agêng
sarta
pirênaning
manahing
wadyabala.
Rumaosing
panggalih:
ênggoningsun dadi ratu iki saka si cilik. Jumênêngipun narendra Kanjêng Nabi Yusup, ugi nagari Mêsir, nuju miyos siniwaka lênggah ing dhampar kancana pinatik ing mutyara. Ing adhêp para wadyabala agêng alit pêpak. Ingkang wontên ing arsa para kukuma17 tuwin ngulama. Sadhèrèk sawêlas angadhêp wo [22] ntên ing kanan kering. Nalika punika Kanjêng Nabi sawêg nuju gêrah malira. Kacriyos saya wêwah anusipun. Wontên satunggaling punggawa ingkang matur, ”Dhuh gusti kajawi gêrah dalêm kados wontên ingkang dados prihatosing panggalih. Punapa gusti ingkang dipunprihatosakên. Panjênêngan dalêm agung kêkalih ing suksma. Botên 16 17
Gêng-gênging kukum
commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kêkirangan samukawis, keringan parangmuka, têka mawi panggalih prihatos”. Wangsulanipun Kanjêng Nabi Yusup, ”Hèh sakèhing wadyabalaningsun wêruha, kang
dadi
prihatin
lan
kuwatiring
atiningsun,
iya
saka
gêdhene
panggawehaningsun dadi kalipah. Wis pitulas taun anggoningsun jumênêng ratu, ingsun durung sapisan marêgi ênggoningsun mangan. Saka tansah kuwatir manawa ana sawijining wong kang ingsun ratoni, êsak atine utawa kurang sandhang pangane. Iku bilahine pasthi katêmpuh marang panjênênganingsun (ratu kang mêngkoni). Sarupane wong Mêsir iki kabèh kang padha ingsun ratoni iku sarina sawêngine ingsun ora mariksa dhewe, amung ngêndêlake marang ature punggawa mantri bae. Manawa ingsun besuk ing pangayunaning Gusti Allah didangu, ”He Yusup, duk sira ingsun dadèkake ratu ana ing donya, panggawehanira nata niti pariksa sukêr gampanging karaton. Iku sapa18 wus sira lakoni dhewe karo setiti.” Yen didangu mangkono kapriye aturingsun. Sa [23] têmêne ingsun ora midêr pariksa dhewe, mung pracaya marang aturing punggawa bae. Mulane ingsun rewangi prihatin kurang mangan kurang turu. Sadina sawêngi mung roti gandum rong iris. Para wadya sarêng mirêng dhawuh makatên lajêng sami andhêkung sadaya. Nalika jumênêngipun kanjêng Nabi Dawud, ngiras jumênêng ratu. Sêsampunipun paring parentah tuwin ngukum-ukumi. Lajêng têdhak dhumatêng pangimaman. Madhêp ing keblat salat kalih rêkaat, nyuwun dhumatêng ingkang Maha Suci aturipun, ”Dhuh Gusti Allah ingkang paring karaton dhumatêng kula, kapitados ambaurêksa dhumatêng kawulaning Allah sadaya, kula nyuwun rijêki ingkang kalal saking Gusti Allah ing sadintên-dintênipun ingkang kula têdha, commit to user 18
apa
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampun ngantos kula nêdha mêndhêt saking pamêdaling nagari. Bilih kula ngantos makatên nama ratu siya-siya”. Sanalika katarimah panuwunipun Kanjêng Nabi Dawud. Kaparingan ayat tumurun damêl rasukan tosan. Namung dipunjujut kaliyan asta mujijatipun Kanjêng Nabi Dawud. Punika ing sadintên-dintênipun kasade
lajêng
kadamêl
dhahar
kaliyan
garwa.
Malah
wadyabalanipun
dipunanggèni rasukan tosan sadaya, saking dadamêlan tapak astanipun Kanjêng Nabi Dawud piyambak. Jumênêngipun Kanjêng Nabi Suleman ratuning jagad. Karêmênanipun sabên dintên dhawuh ngliwêt 1000 [24] kêndhil. Ingkang sakêndhilipun isi wos momotan sadasa unta. Sadintên kaping kalih enjing lan sontên. Parlunipun kaagêm ngingoni wadyabala ingkang pinuju sowan. Ingkang dipunliwêt wau arta saking asiling nagari. Dene saliranipun piyambak sarta ingkang kagêm nipkah dhumatêng garwa. Sarintên sadalunipun, inggih punika anggènipun nganam wakul. Manawi sampun dados lajêng utusan nyade dhumatêng 19 pêkên. Bilih sampun pajêng dados arta, lajêng katêmpurakên wos. Punika ingkang dipundhahar sarta ingkang kagêm nipkah dhumatêng garwa. Sarta manawi dhahar pados rencang pêkir utawi miskin kaajak kêmbul dhahar. Manawi botên angsal pêkir miskin dipunlampu botên dhahar, kaanjingakên anglampahi siyam. Satunggal wêkdal Kanjêng Nabi Suleman tindak pêpara dhatêng awiyat, kadhèrèkakên wadyabala hiburan, ratuning jin setan lêlêmbat. Angin mega mêndhung sapanunggilanipun bangsa ngawiyat. Sanadyan wadyabala dharatan inggih andhèrèk nanging lumampah anggrubyuk wontên ing ngandhap kemawon. Dipuntingali langkung sêmuwa. Tiyang sajagad mèh andhèrèk sadaya. commit to user 19
dhatêng
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Salêbêtipun lumampah sami sênêng manahipun. Botên wontên ingkang kêbêntèrên, seyub sabab mega mêndhung sami mayungi, sarêng dumugi lêladan tanah Ngarab, wontên sapinggiring nagari Mêkah, wontên pêkir satungga [25] l, ngungun ngraosi dhatêng Kanjêng Nabi ingkang sawêg nganglangi, ngitêri jagad, ungêlipun ”He Allah Kang Maha Agung, kalangkung têmên paring tuwan kamulyan lan kaagungan dhatêng putrane Dawud.” Kanjêng Nabi Suleman mirêng lajêng dhawuh dhatêng ratuning angin ingkang anyunggi dhampar palênggahan, dikakakên mandhap nyêlaki dhatêng panggenan pêkir ingkang ngungun wau. Sarêng sampun cêlak, Kanjêng Nabi Suleman uluk salam, pun pêkir inggih dugi mangsuli salam. Kanjêng Nabi andangu ”Kisanak, punapa ingkang sampeyan ucapakên wau?”, pun pêkir mangsuli ”Kula ngungun kamulyan tuwin kaagunganing Pangeran ingkang kaparingakên dhatêng sampeyan Sinuhun, dene kok agêng têmên”. Kanjêng Nabi Suleman ngandika ”O kisanak pêkir, sampeyan sumêrêpa, kamulyan tuwin kaagungan kula wontên ing donya punika, punika taksih kungkulan kaliyan tiyang ingkang mungêl: ”subêkanalahi ngalkamdulillahi wala ilahailolahu allahu akbar, la kawola wala kuwatta illa billahil ngalaihil ngalim”, ingkang têrus sumêrêp dumugi satêgêsipun pisan. Benjing ing akerat dipunparingi kamulyan tuwin kaagungan kados kula punika tikêl kaping sèwu. Kisanak pêkir sampun maibèn tamtu makatên. Kaliyan malih ing donya punika sampun masthi risak, botên langgêng, ingkang têtêp lan ingkang langgêng punika namung ing jaman kapêjahan”. Kula sêlani inggih nggèr. [26] B
: Inggih Kyai sumangga commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A
: Layang Rama nuju têmbang Mijil. Angka kaca katon 440 dene larik 5
saka ngisor muni, sapada pinêthik, banjure sinêmbung: Karana jroning urip puniki/ ana kang denantos/ mung sadhela tan langgêng uripe/ yayi risak jamaning wong urip/ jamane wong mati/ têtêp ananipun// Sapada nginggil punika, pangandikanipun Sri Bathara Rama Wijaya dhumatêng Sang Gunawan Wibisana. Lajêng kula sambêti taksih Sêkar Mijil Sulastri Pelog Pathêt Barang (kala wau Mijil Maskenthar Salendro Pathêt Manyura, rèhne larasipun tumbuk nêm, dados gampil pangingêripun dhatêng barang). Pangapuntên nggèr radi nyalèwèng sakêthik. B
: Botên dados punapa Kyai. Kula malah sênêng. Sêkar Mijil punika kok sakeca kamirêngakên.
A
: Botên sêkar Mijil kemawon sanadyan liya-liyanipun sêkar inggih sakeca. Janji sagêd ingkang ngêcakakên dhasar sae suwantênipun mawi kulina sêkar, tamtu sakeca.
B
: Panjênênganipun Kyai punika sampun sêpuh nanging manawi nyêkar kok taksih sakeca.
A
: Iyah, botên ta nggèr. Tiyang sêpuh punika ingkang tamtu sarwa suda. Punapa dene suwantên kula punika nèm mila pancen cêkak mawi radi gêrok. [27] commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B
: Inggih nanging kok taksih gadhah raos nganyut-anyut. Sumangga kalajêngna Kyai sêkaripun Mijil Sulastri, sambêtipun kalawau.
A
: Hê’êm, Yèn mangkono pagene prihatin/ Ri ratri wirangrong/ sugih miskin wong cilik wong gêdhe/ bodho pintêr sanadyan narpati/ têmbe pasthi mati/ ragade kang kantun//
Dènulêsi wastra mung tri lapis/ tumuli ginotong/ mring kuburan pinêndhêm uruge/ bumi dhudhukan kaluwat bali/ dènidak-idak mrih/ madhêt ngisor dhuwur//
Asor luhur tan beda pangrakti/ pêndhême mangkono/ ing sarehne kaya padha bae/ prayogane narima eng20 ati/ ngati-ati nganti/ pupusên yèn lampus// B
: Saya sêkeca Kyai commit to user
20
ing
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A
: Nyumanggakakên. Sapunika kula nglajêngakên bab lêlabuhanipun para ratu ingkang utami. Nalika jumênêngipun narendra Gusti Kanjêng Nabi Mukamad21 Salalahu
Ngalaihi Wasalam, wadyabalanipun kapalih, ingkang saprangkat senapatinipun Sayidina Ngali bin Katob, saprangkat senapatinipun sakabat nama Ki Seh Kalid. Kalih pisan wau sami prawira ing ayuda, angrèh para prajurit lêksan kêthên. Satunggal wêkdal, musti Kanjêng Nabi wau mangun kaprabon ngirapakên wadyabala badhe kaangkatakên pêrang nglurugi para kapir ingkang mukir dhatêng agami. Untaping wadya bala kados rob ing jalani [28] dhi. Busana maneka warni asri kawuryan lêstantun lampahing wadyabala. Gusti Kanjêng Nabi Mukamad22, kaliyan bagendha Sayidina Ngumar ing lampah karsa anyimpang mampir nuwèni ingkang putra Sayidina Patimah. Kacariyos wêkdal punika sawêg karaos radi kirang sakeca sariranipun. Panyimpangipun Kanjêng Nabi wau, wadya bala botên wontên ingkang sumêrêp. Rawuh dalêmipun ingkang putra lajêng nèthèk kori. Sadèrèngipun dipunwêngani kori, sayidina Siti Patimah matur maning salêbêting dalêm. Dawuh dalêm, “Punapa wontên ingkang ndhèrèk punapa namung piyambak?”. Gusti Kanjêng Nabi mangsuli pangandika, “Pamanmu Sayidina Ngumar dhewe kang mèlu. Apa kowe ngidini, pamanmu Sayidina Ngumar tak ajak mèlu malêbu ngomah”. Sayidina Siti Patimah matur, “Kados pundi anggèn kula sagêd ngidini bilih paman Sayidina Ngumar ndhèrèk malêbêt griya, awit kula amung ngangge sinjang satunggal, èwêt anggèn kula nutupakên. Katutupakên nginggil ngandhap kados pundi, katutupakên ngandhap nginggil kados pundi” (Putri ing Ngarab bilih kapanggih tiyang jalêr ingkang sanès mukrim, salira 21 22
Mukammad Mukammad
commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sakojur kêdah katutup sadaya namung mripat ingkang katingal). Gusti Kanjêng Nabi ngandika “Nya, ênggèr
23
sêbeku ênggonên, dadi bisa jarit loro.”
Kauncalakên lajêng dipunagêm. Sasampu [29] nipun makatên lajêng ngêngakakên kori. Gusti Kanjêng Nabi kaliyan Sayidina Ngumar malêbêt dhatêng dalêm lajêng sami lêlênggahan. Gusti Kang24 Nabi ngandika: ”Anakku nggèr, nggonmu turu geneya dene ora nganggo lèmèk, amung gumlethak ana ing jrambah bae. Mangka kowe lagi lara.” Sayidina Siti Patimah matur: ”Mila botên mawi lèmè25 saking sayêktos botên dhawah. Anggèn kula sakit punika sabab tigang dintên tigang dalu kula botên nêdha botên ngombe. Inggih saking botên wontênipun ingkang kula têdha, sabab nipkahipun putra dalêm mantu tigang dintên lowong, saking sawêg anglampahi ayahan dalêm nglurug pêrang punika.” Gusti Kanjêng Nabi mèsêm kaliyan ngandika: ”Anakku nggèr, dêmi Gusti Allah muga angasihana marang wong kang sabar ing bilahi lan coba. Laku mangkono iku ora nana kang nimbangi ing bêcike. Aku iki dikarsakake dadi nabi ratu kalipah ing Gusti Allah diutus dikakake26 pitutur marang wong kabèh amrih slamêt ing donya lan akerat padha kasinungana sabar ing ati. Kacuwan bab siji ana ing donya yèn bisa nyabarake, besuk ana ing akerat tampa wêwalês kabêcikan lan kabungah 27 atikêl kaping sèwu, Insa Allah. Sarêng Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 28 sampun seda, [30] ingkang anggêntosi jumênêng ratu bagendha Sayidina Abu Bakar Sidik. Satunggaling dintên nuju miyos siniwaka lênggah ing Pasar Rukmi, para ngulama, punggawa,
23
nggèr Kanjêng 25 lèmèk 26 ngandikakake 27 kabungahan 28 Mukammad 24
commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mantri, agêng alit gumêlar sami sumewa sadaya. Panganggêpipun lastantun kados nalika jumênêngipun Gusti Kanjêng Nabi. Wiyosipun wau parlu ngukum-ukumi sagung para umat ingkang gadhah prakawis. Bibar pasewakaning kaprabon, Sayidina Abu Bakar Sidik nilap ing wadyabala. Nyêlamur dhatêng pêkên sade nyampingipun parlu badhe kadhahar sarta kaagêm nipkah dhatêng ingkang garwa. Sadintên-dintên tansah makatên. Lami-lami kasumêrêpan ing wadyabala, lajêng sami gadhah unjuk. Lampah makatên wau botên prayogi, dipunwastani kirang santosa kramaning narpati. Kalipahing Gusti Allah sade nyamping dhatêng pêkên, momor ing tiyang alit punika nyudakakên darajad. Sultan Abu Bakar Sidik ngandika, ”Bênêr aturira iku, mungguh tumrape karatoningsun. Balik pangan lan nipkahingsun marang rabiningsun, iku dudu panunggalane bab karaton. Nanging wajibing manungsa kudu mangan lan nipkahi marang rabine, kang mêtu saka kaskaya tapak tangane dhewe. Ora kêna nganggo saka liyane. Yèn tinggal ngupaya nipkahe dhewe pasthi duraka. Lan yèn gêlêm mangan dudu nipkahe dhewe iku mangan ruba arane”. Sarêng kêncêng pangandikanipun makatên. Para punggawa ambudidaya sampun ngantos sang nata [31] nyalamur sade nyamping piyambak dhatêng pêkên. Lajêng dipunsudhiyani sakêdhik saka arta Betta Mal (asiling nagari). Sarêng Sultan Bagendha Abu Bakar bade29 seda nimbali ingkang putra ingkang nama Sayidina Ngabdurrahman, dipunwasiyati.
Sapêngkêripun
ingkang rama sabin pasitènipun ingkang dipuntanêmi kurma, punika dipunsadea sapajêng-pajêngipun lajêng kasaurna dhatêng arta Betta Mal ingkang sampun kadhahar sadintên-dintênipun wau. Tamtu langkung kathah pêpajênganipun
commit to user 29
badhe
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tinimbang arta Betta Mal ingkang kadhahar. Awit sadintênipun namung wos satunggal bêruk, sampun sah kapara langkung ing panyaur. Sasedanipun Bagendha Abu Bakar Sidik, ingkang anggêntosi jumênêng ratu, Bagendha Sayidina Ngumar. Nuju dintên miyos tinangkil wadyabala sumewa andhèr kados rob ing jalanidhi. Kanjêng Sultan lajêng ngukum-ukumi sarta wêwarah ingkang amrih raharjaning donya akerat. Sarampungipun sagunging wad, ingkang agêng-agêng sami munjuk. Mawi kaparêng nipkah sarta dhaharipun Kanjêng Sultan dipuncaosi saking arta Betta Mal ing nagari. Dhawuh wangsulanipun: ”Ingsun iki sira jumênêngake ratu ana ing nagari Madinah kene, amêngkoni praja sajajahane. Ngêrèh para ratu-ratu, ngulama wadyabala sawonge cilik lanang wado [32] n gêdhe cilik kabèh, kang padha masuk agamane swargi gustiningsun Gusti Kanjêng Nabi Mukamad
30
, iku kabèh kawêngku ana
panjênênganipun, dadi gêdhe bangêt sêsangganingsun ing karaton iki. Kang iku pisungsungira nipkah lan dhaharingsun sadina-dinane sira sangga mêtu saka dhuwit Betta Mal asil wêwêtoning nagara. Muga aja dadi rêngating atinira kabèh, ingsun ora arêp nampani, balik anggonên nyangga sandhang pangane kawulaningsun kang padha kêkurangan: anak yatin31, wong papa sangsara, jompo, sarta bot repoting praja kang amrih ayêm têntrême wêwêngkoningsun, supaya aja kongsi ana wong sambat kurang kapenak jiwa ragane. Dene ingsun amung minta suka pirênane atinira kabèh. Wadyabalaningsun gêdhe cilik, muga padha nglilanana bab nipkah lan dhaharingsun. Sadina-dinane ingsun sêdya ngupaya dhewe mêtu saka tapak tanganingsun. Sarana adol bata ana ing desa Bangkèk iringing gunung, rada kiwa sawatara adoh saka ing nagara. Anggoningsun ndêlik 30 31
Mukammad yatim
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nyithak bata, sira aja padha kuwatir marang panggawehaningsun tinangkil ngukum-ukumi,
mancasi
prakara,
miyarsakake
atur
prasaja,
lan
panggawehaningsun mêmarah marang wong amrih salamêt ing awal akhir, kalawan nêtêpi pangabêktiningsun Gusti Ingkang Maha Suci. Iku pasthi ingsun parlokake dhingin. Eng [33] goningsun nyithak bata amung sambèn. Dianggo jaga supaya aja nganggo nipkah lan panganingsun saka dhuwit Betta Maling nagara”. Sasedanipun Sultan Bagendha Sayidina Ngumar, ingkang anggêntosi jumênêng ratu, Bagendha Sayidina Ngusman. Satunggal wêkdal dintên Jumungah Sayidina Ngusman ngimami. Sarampunging parlu sunating Jumungah lajêng minggah ing mimbar. Muji ing Gusti Allah muji ing Gusti Kanjêng Nabi Mukammad Salalahu Ngalaihi Wasalam, lajêng dhawuh ondhang-ondhang: ”Hèh kèh kawulane Gusti Allah kang padha ana ing masjid, padha wêruha panggawe kang luwih abot iku rong prakara, siji panggawehaning ratu adil, loro nipkahi marang rabi. Loro pisan iku ora kêna gothang. Mungguhing karaton kudu tansah micara supaya wêruh pratingkah sukêr sakit gampang ewuhing praja, yèn nganti kalèru kang nindakake pasthi duraka gêdhe. Bab nipkah marang bojo yèn ora ditêtêpi iya mangkono, kaya priye ingsun kudu nindaki rong prakara mau kapraboningsun kudu awèh parentah kang bênêr bêcik. Enggoningsun tinitah dadi lanang mêngku rabi kudu awèh nipkah, ing mangka ingsun iki samêngko wis tuwa. Allah
Subêkanalahi
Walkamdulillahi”. Wadyabala sarêng mirêng
pangandika makatên wau sami wêlas. Pangagênging punggawa Bagendha Sayidina Ngali bin Katob, bibar pa [34] sewakan karêmpakan ngrêmbag bab pangandikanipun sang prabu. Gêlêng giliking rêmbag sayuk rujuk tiyang sapraja. Rèhne sang prabu wau têmên sampun sêpuh tamtu botên kuwawi nyambut damêl. commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mila lajêng kapanci dipuncaosi dhahar saking arta Betta Mal. Nanging botên watawis lami lajêng gêrah. Ngajêngakên badhe seda, arta Betta Mal ingkang sampun kadhahar dipunsauri saking pêpajêngan panyadening pakêbonan ingkang rumiyin nate dipuntatanêmi piyambak. Sah. Sasedanipun Sultan Bagendha Sayidina Ngusman, ingkang gumantos jumênêng ratu wontên ing Madinah, Bagendha Sayidina Ngali bin Katob wau. Karatonipun mituhu pangrèhing ratu-ratu ingkang sampun kasêbut wau sadaya, sarta nêtêpi sarengating Kanjêng Nabi panutan. Langkung hardayaning (hardaya = seru, ribet) manggalih saking èngêt pakèwêtipun tiyang jumênêng ratu (makatên raosing panggalihipun Sultan Bagendha Sayidina Ngali bin Katob). Tansah kuwatos bok manawi kalèntu panindakipun tamtu katêmpuhakên dhumatêng ingkang jumênêng ratu. Sanadyan botên sapunika (ing donya) masthi benjing pinanggih ing akerat (têgêse sawuse mati tansah dicatur kapi alane ora uwis-uwis malah alane dianggo kaca brênggala, iya iku wong duraka ing akerat mêmêlas). Mila Sultan Bagendha Sayidina [35] Ngali bin Katob, sanadyan saliranipun sampun nyêkêl asma Sultan Kabir Mukmin. Ewadene taksih sangêt prihatos ngatos-atos. Ing mangka nalika taksih sugêngipun Gusti Kanjêng Nabi Mukamad32, kajumênêngakên senapatining prang, botên nate kagungan panggalih was sumêlang sakêdhik-kêdhika. Sarêng jumênêng nata tansah kêtir-kêtir. Mila saselaning pasewakan rintên dalu tansah ulah pamicara kaliyan sagung para ngulama tuwin sagung para bèrbudi. Saking sangêting prihatos, Sultan Bagendha Sayidina Ngali bin Katob, sadintên-dintênipun namung dhahar glêpung gandum sagêgêm. Gandum punika wêdalan saking sibi-sabinipun piyambak. Bilih commit to user 32
Mukammad
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
angglêpung dipunsarirani piyambak. Rampung ing pangglêpungipun lajêng dipunrumati ngontên ing pêthi kinancing kêncêng. Pangagênging wadyabala munjuk, ”Punapa karananipun Gusti, dene yasan dalêm galêpung panjênêngan dalêm èmi-èmi sangêt. Ngantos panjênêngan dalêm lêbêtakên dhatêng pêthi dipunkunci kêkah sangêt, ingkang purun mêndhêt dhahar dalêm kemawon sintên. Kados botên wontên, kajawi ajrih, raos punapa tiyang amung bubuk lan gandum”. Nanging kêrsa dalêm têka makatên punika abdi dalêm kawula dèrèng andungkap. Dhawuh wangsulanipun Sultan Bagendha Sayidina bin Katob ”Mulane yasaningsun galêpung gandum sudiyan panganingsun, ingsun lêbokake pêthi tumuli ingsun kunci kukuh. Iku ingsun kuwatir [36] bok manawa kawruhan marang anak-anakingsun. Pasthi diijoli pêpanganan kang luwih mirasa enak, mulane ingsun kunci. La punika nggèr lêlabuhan ingkang utami. Prayogi dipuntiru ingkang yêktos. Inggih mangsa sagêda plêg botên ketang sapara dasanipun 33 inggih lowung. Têgêsipun botên nama kêsangêtan anggonipun ngêmpalakên loba murka, têmahan sagêd maradinakên ambêg paramarta mangaksama, sabab tansah ngagêm têpa rahsaning sarira. Aku dislomot upêt anjingkat tur lara, kowe iya anjingkat, rasane padha panas. Makatên sapiturutipun tiyang ingkang ngangge tepa-tepa. Langkung prayogi malih bilih kagungan watêg, andhisikake liyan, angèrèkake awake, ing atase wibawa, suka, wirya, busana, boga, andrawina, punika tumrap dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi agêng alit sadaya, bilih sêdya utami kêdah makatên. Awit ing agêsang punika pikajênganipun warni-warni. Sok botên kenging dipunwor, upami canthing bumbung dipunsoki toya saklênthing, tamtu commit to user 33
dhasaripun
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
botên sagêd amot. Têmahan ambaludag wutah dhatêng siti, ingkang malêbêt namung sakêdhik. Kosok wangsulipun sagantên, sampun ngêmot toya kathah sangêt ewadene dipunjogi toya saking pundi-pundi taksih malêbêt kemawon. [37] B
: Ha, inggih pandhawuhipun Kyai, bêbasanipun bilih ingkang punika
sampun kalajêng botên doyan dhatêng warah wuruk. Gèk kados pundi, dipunjujua kados pêksi inggih namung tiwas anjuju, botên sagêd malêbêt. Kajawi punika Kyai, sadaya paringipun piwulang Kyai dhatêng kula, kula maturnuwun sakalangkung kapundhi, muni-muni sagêda nglampahi angsal barkah, pangèstu panjênêngan. Rèhne sampun sawatawis dalu anggèn kula sowan Kyai. Manawi kêparêng kula nyuwun pamit wangsul mantuk. A
: Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng.
B
: Sampun Kyai.
A
: Inggih. Nyandhak kaca angka 53 Ingkang ngarang Purbadipura Ingkang nyêrat Wignyaukara
Dialog III (Ketiga): [53c] B
: Kyai apa ana dalêm?
Jiman : Wontên, mangke kula matur. Punika wontên tamu. A
: (Mêdal dhatêng pandhapi) Monggo nggèr kula aturi lênggah. Wilujêng nggèr?
B
: Inggih wilujêng. Kyai punapa inggih wilujêng? commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A
: Inggih pandonganipun anggèr. Pancen kula ajêng-ajêng rawuh panjênêngan. Punapa kabaripun?
B
: Anu Kyai wêkdal punika hawanipun dhateng badan kok kirang sêkeca. Kyai punapa inggih makatên?
A
: Inggih lêrês makatên. Saya kula tiyang sêpuh, dhatêng badan raosipun
prungsang mriyang-mriyang. Bok manawi saking dèrèng wontên jawah punika. La tiyang mangsa kanêm tanggal kaping 16 ika34 dèrèng wontên jawah, dados panasipun sangêt, miwah mawi pundi agêng blêdug angampak-ampak dhatêng mripat sêpêt sakit. B
: Inggih kok makatên wêkdal punika. Kula nyuwun criyosipun Kyai bilih
makatên punika kados pundi? A
: Manawi botên kalentu, criyosipun sabên kawan taun sapisan, katiganipun
panjang, inggih kados wêdal35 punika dhatêng badan kirang sakeca. A
: Kawêwahan ningali solah bawanipun tiyang saknaga[54]ri, kathah
ingkang sambat awratên samangken. Sarta glagading jaman tansah umêg lêmban adu-adu dèrèng wontên ingkang rampung. A
: Inggih nggèr sampun dilalah. Manawi sawêg makatên punika raosipun
dhatêng badan kirang sakeca, dhatêng manah kirang têntrêm tansah kêtir-kêtir kuwatir. Kosok wangsulipun bilih pinuju jam 36 tata têntrêm raharja, tiyang saknêgari manahipun tamtu suka rêna sanadyan mangsa katiga ingkang bêntèripun sangêt, ewadene rumaosing tiyang inggih sakeca kemawon. Gadhah pamanggih manawi ngipe 37 barang ingkang têlês, sagêd lajêng enggal garing.
34
punika wêkdal 36 jaman 37 ngêpe 35
commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akas dhangan dhatêng badan. Manawi nuju rêndhêng inggih katampi sakeca. Raosipun dhatêng badan botên prungsang. Toya jawah wau sagêd nyuburakên dhatêng tatanêman. Ron-ron lêmbaka ijêm riyu-riyu sakeca dhatêng paningal. Blêdug sirêp, kalèn-kalèn mili gumaladhag, ngètirakên rêrêgêd. Manawi wontên angina38 agêng inggih dipuntampi sae, sagêd nyirnakakên ambêt ingkang botên eca. Têmahan dhatêng napas landhung. Landhung39 napas sagêd anglastantunakên tampahing rah sumambrah dhatêng saranduning badan waradin samêsthinipun. [55] Manawi pinuju botên wontên angin, inggih sakeca botên ngraosakên sumuk. Sanadyan sumuk inggih kèwran anggenipun murih sêgêring badan. Tiyang malarat narimah angsalipun rêjêki. Tiyang sugih botên was-kuwatos dening durjana. Anggenipun nyambut damêl kaliyan sênênging manah. Kèngkènan larè alit dhatêng purun ingkang sawatawis têbih, inggih botên dipunkuwatosakên. Punapa dene para priyantun dhasar kacêkap saya sangêt anggènipun tanpa sumêlang. Cêkakipun bilih wontên ing jaman tata têntrêm raharja wau, manah ing tiyang sami sênêng suka rêna. Sadaya ingkang katingal kamirêngakên, namung katampèn kaliyan sae kemawon. Mèh botên wontên ingkang nguciwani. Sanadyan bêgo wong apisan upami, inggih botên ngraosakên susah. Langkung malih bilih tiyang-tiyang ingkang anggadhahi manah suka rêna wau angsal sih dana pariksaning Gusti ingkang tansah anggêlar paramartaning panggalih sarta nindakakên jêjêging [56] adil, botên pisan ambaukapine inggih dhatêng sintên kemawon botên mawi mawang tiyang, tamtu kenging adiling lêlêrêsan. Manawi saèstu makatên tamtu lajêng gadhah cipta asih trêsna dhatêng tênggèn ingkang 38 39
angin landhunging
commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipundunungi. Sêdya labuh labêt nêtêpi prasêtyaning manah kèndêl kèrêm katrêm wontên praja ingkang dipunênggèni. Dumugining lêbur luluh sêdya labuh. Saking kataman adil paramarta wau ngantos sami katingal sangêt ing sih trêsnanipun dhatêng ingkang ngasta pusaraning nagari, ingkang tansah rumêksa rukun rumêngkuh asih marma dhatêng sadaya titisanagari. Kosok wangsulipun manawi nuju jam 40 ingkang botên tata: pating balêngkrah, botên têntrêm: uyang wayang wuyung, botên raharja: dahuru 41 . Têmbung pating balêngkrah têgêsipun saking botên undha usuk, mangangge sapurun-purunipun namung janji sagêd tumbas tanpa subasita yogya para ical. Botên rukun dhatêng bangsa. Tingkah polah muna-muni kaduk purun kirang dêdugi prayogi. Anggêpipun sami kemawon, botên sêdya urmat dhatêng sêsamining manusa. Manah [57] gadhah raos angrêsahakên, botên gadhah manah wêlas dhatêng tiyang ingkang nandang sudra papa, botên sudi têtulung dhatêng tiyang sakit sangsara sapanunggilanipun. Ingkang piyambakipun asrêmbuhi sumarêp 42 tuwin cêlak dhatêng tiyang ingkang katiwasan wau, namung ningali kemawon. Uyang wayang wuyung têgêsipun, badan manah ing tiyang botên sakeca. Siyang dalu tansah kuwatir kêtir-kêtir. Gadha 43 raos bok bilih angsal sarusiku agêngipun angsal dêduka saking ingkang nyêpêng pamrentaha44 kadakwa botên anu-anu. Manah susah ngêsah mijêr ngalih panggenan mrika-mriki tansah kinuyanuya. Winaosnan iku kurang bênêr saiki kudu mangkene ora kêna mangkono,
40
jaman dhahuru 42 sumêrêp 43 gadhah 44 pamrentahan 41
commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sapanunggilanipun
ingkang ngebahakên
manah
rêkaos.
Sontan-santuning
dhêdhawuhan damêl bingunging manahipun ingkang tampi parentah. Dhahuru têgêsipun rêbut suwala lair batin. Bêgêblug 45 , sêsakit, sontansantun ingkang dhatêng, tiyang ingkang nandhang raga botên angsal usapamarta (usapamarta: jampi ingkang mêdal saking wêlas asih marma sabda sarma46, botên kaliyan pangru [58]a dapaksa têmbung misesa). Angsalipun jampi saking parentah kaliyan sabda sêrêng sora. Dados ingkang ajrihan sami giris manahipun dipunlampu botên nyuwun. Têmahan bingung botên kantên-kantênan. Sanadyan sakitipun awit inggih narimah botên jêjampi, saking manawi kadhah47 panuwun kangelan mawi dipunsêntak-sêntak. Manawi mangsa katiga manah ing tiyang sami ngrêsula saking panasipun gumamplêng, dhatêng badan karaos puyang mriyang-mriyang tansah ngorong kêdah ngombe. Nêdha botên eca, tilem boten sakeca, balêdug angampak-ampak kabur malêbêt dhatêng irung tuwin maripat botên sakeca sakit ing ganjêl. Mangka balêdug wau ingkang kathah ubalan saking wradinan ingkang dipunsirami saking toya kalen ingkang isi rêrêgêd. Adhuh. Manawi mangsa rêndhêng manahing tiyang inggih kathah ingkang sêdhih, sabab katampon agêngipun katrocohan. Kêkesahan botên sagêd. Ngipe48 barang ingkang têlês dangu karingipun 49 . Badhe [58]b mangkat nyambut damêl kapanjêng jawah. Tamtu dhatêngipun radi lat . Trêkadhang botên nyambut damêl. Raosing badan kêkês pating marinding sêmu sumêng ngêcêcês atis. Dhatêng
45
Pagêblug darma 47 gadhah 48 Ngêpe 49 garingipun 46
commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manah sumpêg namung muntêl wontên salêbêting gri50 kemawon. Manawi pinuju anginipun
agêng,
raosing
badan
pating
prakinting
prindang-prindang,
dipunkêmuli sumuk. Tanpa kêmul mangsuk angin dhateng padaran kêmbong 51 ambasêsêt. Bilih botên wontên angin, ganda-ganda ingkang botên eca mulêg botên sagêd ical. Têmahan damêl sêsêging manah. Umor munêg-munêg kados badhe mutah. Lajêng gadhah kintên makatên wau mahanani sakit. Tiyang ingkang malarat tansah gadhah manah was-kuwatos, bok manawi anggenipun nyambut damêl bêbêrah, botên sagêd lêstantun. Angsala pandamêlan inggih kirang jênjêm sabab para juragan kêrêp kêkirangan bahu sangking rêndhêngan. Lêlajêng muringmuring dhatêng tiyang ingkang sami bêbêrah, trakadhang lajêng kèndêl botên nyambut damêl. Para parentah
52
dhatêng sor-soranipun tansah nindakakên
kêkêrasan, anggêp dhiri kasar [59] ladak êdak kumingsun, sawênang-wênang dumèh nyêpêng panguwasa. Pangraosipun nindakakên bênêr miturut anggèr, nanging tanpa dêduga lawan prayoga. Myang watara riringa haywa lali. Iku parabot satuhu. Tan kê 53 tininggala. Tangi lungguh angadêg tuwin lumaku, angucap mênêng anendra, uga duga nora kari, miwah sabarang karya. Ing prakara gêdhe kalawan cilik. Papat iku datan kantun. Kanggo ing sadina-dina, lan ing wêngi nagara miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambêkan. Papat iku datan kari, kalamun ana manungsa. Anyinggahi dugi lawan prayogi, iku watêkan tan patut. Amor marang wong kathah, wong dêksura daludur tan wruh ing ngêdur54. Aja sira pêdhak-pêdhak. Nora wurung nêniwasi. (Wulangreh)
50
griya kêmbung 52 pamarentah 53 kêna 54 ngêdhur 51
commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cêkakipun manawi nuju jaman botên tata têntrêm raharja. Manahipun tiyang sami giras-giris maras-miris kuwatir ketir-ketir. Sadaya ingkang katingal tuwin kamirêngakên namung damêl botên sakecaning manah kemawon. Angsala darajat [60] kaluhuran, tuwin angsala arta kathah pisan, kanggenipun nampèni, bilih kaliyan manah rangu-rangu, botên katampèn kaliyan puja sokur. Sabab saking
sampun
ngandhut
manah
sumêlang
mêlang-mêlang.
Sanadyan
wontêna 55 karamean tuwin pasamuan ingkang langkung saking endah, inggih magsa ngêmu kuwatos. Langkung malih saupami tiyang-tiyang wau sumêrêp utawi mirêng, bilih ingkang dados pangagêng nagari, panggalihanipun jahil, mathakil, bêsisit, dakmênang56, kumaluhur, kèdanan dhatêng urmat, kumêcethil, sukamèt lumuh kèlangan, nuruti karsanira pribadi, tur sugih donya, botên pisan damêl têtuladan sae. Dhatêng sor-soranipun pundi ingkang anggung57 anggugung bilih punika ingkang angsal sih. Bilih pangagêng makatên ambêg lêlabuhanipun tiyang-tiyang sanakari58 ingkang dados wêwêngkonipun tamtu lajêng gadhah cipta botên asih trêsna dhatêng nagari wutuh rahipun. Manah gêrah uyang ngalih panggènan botên sêdya têtêp anggènipun gagriya wontên ing ngriku. [61] Labuh labêt ajur luluh malih purana kêpêthuk kemawon sumimpang. Manawi dipunaruharuhi èthok-èthok botên mirêng. Labêt saking mirêng punapa sampun kataman wêwatakan botên sae wau. Sêrat Menak Drig jilid 2 kaca angka 14 larik 5 saking ngandhap mungêl dyan thilar59 aturipun, anggêp aturing bastak. Pasthining Hyang ngalamat jagad
55
wontên sakwênang 57 agung 58 sanagari 59 tilar 56
commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dahuru 60 . Atur bêcik kanthi nalar, tan nglastarèkakên janji. Mring aturan ngomondaka. Kêna nurut buwang atur kang bêcik ujwalane ratu agung. Yen bakal karusakan, sasar susur catur ala kang ginugu. Makatên nggèr ungelipun. Wallahu akam61 B
: Mèmpêr sangêt dhawuhipun Kyai punika, nanging punapa sababipun
dene praja angsring jaman tata asring boten tata. A
: Kajawi bêbasan sampun tinandur, ingkang murugakên inggih saking
sirah. Sirah punika isi utêg, utêg panggenan budi, budi tumurun dhateng jantu62, jantung anggèn pikir-pikir awon ingkang sae ingkang ngriku, [62] lajêng kawêdal dhatêng pangucap. Pangucapipun pangagêng ingkang nyêpêng panguwasa, sumrambah dhatêng tiyang sadaya kang prang dinas63. Lajêng mahanani jaman awon tuwin sae dalah satunggal ingkang tumindak. B
: Wah kula ndhèrèk sangêt dhawuhipun Kyai punika, kados tamtu
makatên. Kula matur suwun dhatêng Kyai anggènipun paring cariyos dhatêng kula. Sapunika kula nyuwun pamit badhe mantuk sanès dintên kemawon sowan malih. A
: Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng, salam taklim kula dhatêng garwa
putra pênjênêngan. B
: Inggih Kyai nuwun kaping kalih, kantuna wilujêng. Sambunge kaca angka 71
60
dhahuru Wallahu aklam 62 jantung 63 dhinas 61
commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Dialog IV (Keempat): [71] A
: Jiman, klêdhang-klêdhang kae kaya anaku.
Jiman : Inggih. B
: Kulanuwun Kyai.
A
: Mangga nggèr lajêng pinarak .
B
: Inggih Kyai.
A
: Ngriki ingkang radi cêlak kula anggènipun lênggah anggèr.
B
: (Srêg maju).
A
: Sami wilujêng nggèr sagarwa putra?
B
: Pangèstonipun64 Kyai wilujêng sadaya.
A
: Anggèr saking tindak pundi, kok radi siyang?
B
: Saking griya kemawon, pancèn amung sêdya sowan Kyai.
A
: Nuwun nggèr panjêngan65 kêrêp rawuh ing griya kula. Kula dèrèng nate martamu dhatêng dalêmipun anggèr.
B
: Mangga ta, benjing punapa Kyai rawuh ing griya kula ngiras mariksani griya kula enggal, tuwin satiba bingahipun anak lan semah kula.
A
: Inggih Insa Allah, sanes dintên kula matur sabên dhatêng anggèr. Jiman patèhan kae ajokna mrene.
Jiman : Inggih. A
: Mangga nggèr ngunjuk wedang, punika wau sawêg kemawon kadamêl wontên ing teko, rêkasnipun ingkang êmbok, tèhipun susong.
[72] 64 65
pangèstunipun panjênêngan
commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B
: Inggih. Sowan kula punika inggih nyuwun cariyos ingkang ngêmu
wêwulang sadasa kados pundi. Manah kula manawi dipunparingi cariyos ingkang Kyai punika têka lajêng ladhang dhatêng manah kula. A
: Sokur alkamdulillah bilih anggèr makatên. Kula inggih lêga lila dhatêng
panjênênganipun anggèr. Sumangga punapa ingkang kadangokakên. Ingkang sagêd tamtu kula matur. Ingkang botên sagêd inggih matur balaka bilih dèrèng sumêrêp. B
: Anu Kyai, karaton Jawi punika kula sampun sumêrêp. Ingkang miwiti
ngagêm agami Eslam, lajêng Sultan Dêmak sapisan, sapiturutipun dumugi sapunika. Nanging bilih botên kêlèntu Kanjêng Sultan Dêmak punika bêbasanipun rak namung madhahi. Talêcêripun ingkang kakung punika sintên ingkang wiwit ngagêm agami Eslam66. A
: Ingkang wiwit ngagêm agami Eslam67 Kyai Agêng Ngabdurrahman ing
Sesela, ingkang lajêng aran Kyai Agêng Sela. B
: Kados pundi aturanipun.
A
: Makatên Prabu Brawijaya ing Maospati ingkang wêkasan. Kula mêndhêt
jêjêr [73] ripun putra kakung ingkang nurunakên karaton Jawi kemawon inggih punika: Radèn Bondhan Kajawan, taksih Buda pêputra Kyai Agêng Gêtas Pandhawa,
taksih
Buda.
Sakaliyan
wau
kula
dèrèng
sumêrêp
kubur
pasareyanipun. Lajêng kyai Agêng Sela punika wiwit ngagêm agami Eslam 68 sapiturutipun mangandhap dumugi sapunika.
66
Islam Islam 68 Islam 67
commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B
: Kya 69 Agêng Sela sapangandhap turunipun para ratu tumuli sapunika
punapa wontên pèngêtan ambêg lêlabuhanipun. A
: Sasumêrêp kula ing ngriki kados dèrèng wontên sêrat ingkang mligi
mèngêti ambêg lêlabuhanipun para ratu. Kajawi ing Pakualaman punika kabaripun wontên sêrat pèngêtan makatên wau, dipunnamakakên Sêrat Jatipusaka, wiwit saking sintên dumugi sintên kula dêrêng sumêrêp Sêrat Jatipusaka wau. B
: Cêkakipun kula gadhah pangintên dhatêng awak kula piyambak kados
mêsthi botên sagêd sumêrêp dhatêng Sêrat Jatipusaka wau. Mila bokcobi Kyai kaparêng paring criyos dhatêng kula, ambêg lêlabuhanipun Kyai Agêng Sela sapangandhap. A
: Mangke gèk gèsèh kaliyan ungêl-ungêlipun Sêrat Jatipusaka. [74]
B
: Gèsèh inggih kajêngipun, tiyang sami anggêlar kawruh pangraosipun
piyambak-piyambak. Prakawis gèsèh punika limrah. Kadosta Sêrat Babad Dipanagaran kaliyan Sêrat Orloh Dipanagaran, sami nyariyosakên pêrangipun Pangeran Dipanagara. Têka inggih kathah gèsèhipun. Liya-liyanipun sêrat malih inggih wonte
70
gèsèhipun tur nunggil ingkang kacariyosakên. Mila mugi
kêparênga maringi cariyos dhatêng kula. A
: Manawi makatên inggih nggèr, kula cariyos nanging inggih mêksa merit
saking lêlampahanipun ingkang kasêbut ing Sêrat Babad. Namung manawi lêpat tuwin kalèntu kemawon mugi sampun kirang pamêngku tuwin pangaksama. Criyos kula kados ing ngandhap punika:
69 70
Kyai wontên
commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ambêg lêlabuhanipun kanjêng Kya 71 Agêng Sesela dumugi Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping kalih Ha
: Kangjêng Kyai Agêng Sesela, pêputra
Na
: Kangjêng Kyai Agêng Nês72
Ca
: Kangjêng Kyai ing Pamanahan
Ra
: Kangjêng Panêmbahan Sènopati
Ka
: Kangjêng Sinuhun Seda Krapyak
Da
: Kangjêng Sinuhun Sultan Agung
[74]a B
: Anu Kyai kula punika angsring nggagas anak kaliyan bapa biyung. Anak
punika angsring botên sami mèmpêr kaliyan bapa biyungipun. Trakadhang plêg warninipun. Punapa dene wêwatêganipun ugi anggèr botên mèmpêr kaliyan tiyang sêpuhipun, punika kados pundi. Manawi kêparêng mugi paringa pitêdah. A
: Inggih nggèr mênggah wêwatonipun kula dèreng sumêrêp. Namung kula
ngaturakên pamanggih
kula dhatêng anggèr. Kintên-kintên
lêrês lêpat
nyumanggakakên. Manawi anggèr rujuk pamanggih kula makatên. Trakadhang warninipun plêg kados bapakipun. Trakadhang warninipun plêg kados biyungipun. Trakadhang warninipun sakêdhik mempêr bapaki [74b] pun sakêdhik mempêr biyungipun. Trakadhang botên mèmpêr babar pisan kaliyan sudarmanipun kalih. Ingkang makatên wau, manawi lare warninipun plêg kaliyan bapakipun punika nalika badhe dhumawah ing wiji, ingkang branta rumiyin kanthi adrênging manah punika ingkang jalêr. Saking adrêngipun ngantos
71 72
Kyai Nis
commit to user
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mahanani wujud kados piyambakipun, têmahan dadosing manungsa inggih kados bapakipun. Kosok wangsulipun bilih ingkang branta rumiyin kanthi adrênging manah ingkang èstri. Saking adrêngipun ngantos mahanani wujud kados ibunipun. Têmahan dadosing manungsa inggih kados ibunipun. Manawi lare warninipun sakêdhik kados bapakipun, sakêdhik kados ibunipun [74c] punika nalika badhe andhawahakên, ingkang badhe nampèn ing wiji, jalêr èstri sami sasarêngan adrêng ing trastanipun. Lajêng mahananipun angadhah73 warni kados bapa biyungipun. Manawi wontên lare babar pisan botên wontên èmpêr-èmpêripun kaliyan bapa biyungipun, punika nalika badhe andhawahakên saha ingkang badhe nampèni wiji, jalêr èstri botên gadhah niyat nunggil tilêm. Tangi tilêm ènjing wontên lajêng dadakan lajêng katindakakên. Wasana dados, têmahan botên mempêr babar pisan. Makatên malih nglilir saking tilêm dalu têngah dalu. Wontên barang ingkang gadhah kajêng piyambak lajêng katindakakên. Trakadhang salêbêting tilêm wau mêntas supina sumêrêp kêthèk, sarêng nglilir manahipun taksih anggagas impènipun. Tamtu inggih [74d] mahanani kados tilêm. Sapanunggilanipun ingkang kumantil-antil wontên ing manah. Sagêd ugi dadosing lare lajêng kados ingkang dipun-gagas wau. Sanadyan amung sakêdhik èsthining manah tamtu anglabêti. Wontên ugi ingkang beda-beda wêwatêkanipun. Ingkang lajêng watêgipun sae. Ingkang manggulu watêgipun awon sapiturutipun, punika kados inggih botên liyan inggih saking tiyang sêpuhipun kalih. Têgêsipun nalika badhe nètèsakên wiji ingkang dados. Bapa biyungipun manahipun sawêg commit to user 73
anggadhah
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
punapa. Punapa sawêg murka angongsa-ongsa. Punapa sawêg sabar narimah tawêkal . Punapa sawêg wêning. Punapa buthêg. Punapa nepsu. Punapa sawêg ngèsthi kasugihan kasinggihan, kaluwihan sapiturutipun ingkang [74e] sawêg kaèsthi marêm manah. Tamtu mahanani dhatêng anak. B
: êlo, manawi makatên manah punika ping-pingan sangêt.
A
: Inggih nggèr, tiyang ingkang sampun tilangkung punika dipunsêbut
manahipun dalêmipun Gusti ingkang Kuwasa kolbu mukmi74 baetullah. Manawi tiyang limrah, mêmanahanipun tamtu sontan-santu
75
gajêg makatên, gajêg
mangkana. Amila sare dene wontên sêsorah kados ingkang kasêbut nginggil. Prayogi bilih badhe nètèsakên wiji, mawi ya angèsthi ingkang sae. Sampun bêbasan sakengingipun kemawon, sampun makatên. Têtuladanipun wontên inggih mangsa ngêplêkan. Inggih mirit sakêdhik-sakêdhik to cung. Inggih punika Prabu Dasarata ing Ngayogya 76 , duk arsa pêputra [74]f Sri Jathara Rama Wijaya Narendrar77 ing Purwapura. B
: Sanadyan sadaya wau sawêg nama sêsorah nanging manah kula marêm
cumêplong sarta rujuk. A
: Sokur nggèr alkamdulilah, walahu aklam.
[74i] : lanjutan dari halaman 75 Ja
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Tiga, pêputra
Ya
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Sakawan, pêputra
Nya
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Gangsal, pêputra
Ma
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Nêm, pêputra
74
mukmin sontan-santun 76 Ngayodya 77 narendra 75
commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ga
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Pitu, punika putra dalêm Sri PeBe kaping Sakawan
Tha
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Wolu, punika putra dalêm Sri PeBe kaping Nêm, pêputra : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping IX
Sri PeBe V Sri PeBe VII
Sadherek sami putra dalêm Sri PeBe IV nanging sanes ibu.
Sri PeBe VIII
Sri PeBe V
: nalika pêputra Sri PeBe V taksih jumênêng Adhipati Anom, ingkang ibu lajêng seda, mila asma Kanjêng Ratu Kadipaten
Sri PeBe VII : saking Kanjêng Ratu Kancana Sri PeBe VIII : saking Kanjêng Raden Rantan Gawa Paminggir [75] Ta
: Kanjêng Sinuhun sumare Têgal Arum, pêputra
Sa
: Kanjêng Sinuhun Mangkurat Bawa
Wa
: Kanjêng Sinuhun Mangkuratan
La
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana Sapisan, punika putranipun ingkang Sinuhun sumare ing Têgal Arum wau. Dados sadhèrèkan mrênah rayi kaliyan Sinuhun Mangkurat Bawa. Sinuhun Pakubuwana Sapisan pêputra:
Pa
: Kanjêng Sinuhun Prabu Amangkurat
Dha
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Kalih
Ja
: PB III
Ya
: PB IV
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nya
: PB V
Ma
: PB VI
Ga
: PB VII╒
Ba
: PB VIII ╒
Tha
: PB IX
╒ : kaping pitu, kaping wolu punika sami putra kaping 4, dados sanes dalêm kaping 5 kaprênah nèm.
Mangsuli Ha
: Kanjêng Kyai Agêng Sesela. Ambêg lêlakuhanipun78 nalika taksih nèm, rêmên dhatêng ing kaprajuritan, mila ngantos kadadosakên prajurit Tamtama ing Dêmak. Linambaran tapabrata, wêgah dhahar, wêgah nendra, tansah puruhita dhatêng para sagêd ing jaman samantên. Ngèsthi dhatêng dugi prayogi. Mila lêpas dhatêng kawruh kasampurnan. Sarêng sampun sêpuh rêmên sangêt dhatêng budi kapandhitan, nêtêpi agami Eslam 79 . Rintên dalu tansah sêmbah Hyang nyuwun pitulung ing Gusti Allah ingkang kaèsthi sagêda mêngku ing tanah Jawi. Sasêlaning ngabêkti ing [76] Gusti Allah, sinambi olah tata, nênanêm, sapanunggilanipun, dèrèng kalampahan sêlak seda. Nanging nalika karaos badhe mapat 80 sampun dhawuh dhatêng ingkang putra Kyai Agêng Nis kinèn anglajêngakên ingkang dados èsthining panggalih wau.
78
lêlabuhanipun Islam 80 wapat 79
commit to user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Na
: Kanjêng Kyai Agêng Nis. Ambêg lêlabuhanipun nyantri balaka. Karêm lêlana tapabrata dhatêng ing wana. Mandhap ing jurang, minggah ing ardi. Mila ngantos pêparab Bagus Anis, têgêsipun kêrêp kêkesahan ugi puruhita dhatêng para sagêd ngantos dados sabatipun Kyai Bêluk ing Lawiyan. Bêtah nglampahi wêgah dhatêng sare. Ngèsthi wêlingipun ingkang rama tumuntên sagêda kasêmbadan. Dèrèng kalampahan kasêlak seda. Nanging ugi sampun mêling dhatêng ingkang putra kanjêng Kyai Agêng Pamanahan, kinèn anglajêngakên èsthining panggalih.
Ca
: Kanjêng Kyai Agêng ing Pamanahan. Ambêg lêlabuhanipun, rêmên tapabrata mardi budi utami. Mêmikir tata, titi, tatas, patitis. Amot mêngku dhatêng kawruh akal lêmbat. Sagêd angawula. Waspada dhatêng tindak nistha madya utami. Lêpas ing [77] panggalih, mutusi ing sasmita. Pun padene dhatêng ngalamat ilamat dalajating praja, priksa sadèrèngipun dumados. Mila nalika suwita wontên nagari Pajang saking sagêdipun manggalih dhatêng samukawis ngantos dipunparabi Kyai Pamanahan (namanipun piyambak Ngabdurrahman). Saking sugih pikir jêmbar ing panggalih, mila ingkang dipunsuwitani sabên badhe kagungan karsa, tamtu mundhut pamanggih sarta panimbangipun Kyai Agêng Pamanahan wau. Saking katarimahipun ngantos dipun-ganjar siti ing Mataram. Dalah malêbat wukiripun pisan (katêlah nama Kyai Agêng Mataram). Salêbêtipun ngawula wontên ing Pajang, sasêlaning pakaryan praja, inggih botên sah cêgah dhahar nendra têtêp ngabêkti ing suksa 81 awit taksih nglastantunakên82 wêlingipun rama ing nginggil wau. Dèrèng kalampahan
81 82
suksma nglêstantunakên
commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kasêlak seda nanging ugi sampun mêling dhatêng ingkang putra Radèn Ngabêhi
Sutawijaya:
Panêmbahan
Senapati,
kinèn
anglajêngakên
èsthining panggalih sêdya mangkurat tanah Jawi. Kyai Agêng Pamanahan satampining siti Mataram upami dalu sampun mèh rahina sêmubang ing purwa pajar sidik. Trostong-trostong hyang arupa arsa madhangi jaman. [78] Ra
: Kanjêng Panêmbahan Senapati ing ngalaga. Ambêg lêlabuhanipun nèm mila têtêg, têguh, dhantêr ing panggalih, sanadyan sampun nama kagungan kamuktèn saking ingkang rama (siti ing Mataram) ewadene taksih karêm lêlana tapa brata mati raga, tansah wêgah dhahar nèndra, ngèsthi pêpêndhening sarira, mêlêng gumêlênging karsa. Nênuwun dhumatêng Ingkang Murba Misesa tumuntêna kalêksanan wêlinging rama. Sagêd mêngkoni nata pramudita nung sajawi sadaya. Linambaran nastapa, asih dhatêng sêsamining manungsa kaliyan pangandika mêmalatsih damêl bingah sarta agênging manah. Dhantêr dhatêng yuda. Digdaya mandraguna prawira têtêg têguh ing pakewuh priksa dhatêng mangsa kala. Tansah ngêtrapakên dugi prayoga watara riringa. Putus dhatêng kêdhap sasmita. Botên kewran dhatêng galaring mangsah. Bilih pasang gêlang botên katupiksa ing mêngsah. Saking rêmpit wingiding karsa alus lurusing wadi ngantos botên kawadaka ing liyan. Bilih badhe mangsah pêrang kajawi panggalih têtêg santosa prayitna ngatos-atos. Mawi nênungku cipta sêmadi mahêni. Ngêlingkên kang panca driya. Mêgêng napas nutupi babaèn nawa sanga. [79] Ngatas karsaning Hyang Wisesa, manawi sampun têrang kaparêng lajêng mangsah sarta nyipta patêmbayaning commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
panggalih kalah sirna, mênang ngukum. Sarêng sampun kalampahan jumênêng nata. Anggènipun mêngku dhatêng putra, santana, wadyabala adil paramarta dana pariksa, tansah damêl agêngipun manah. Sadaya tiyang wêwêngkonipun agêng alit sami kinulit daging. Raos eca sakeca karumiyinakên
dhatêng
titiyang
wêwêngkonipun.
Saliranipun
kêkantunakên. Nanging ingkang sampun tetela lêpat tuwin awon masthi kapidana punapa lêrêsipun. Ingkang saètu83 wis84 lêrês masthi dipun-ganjar samurwatipun. Tansah panggalih waspada prayitna wèwèka, anglêluri saha ngèstokakên sabda wasiyating para sêpuh ingkang amrih raharja. Ka
: Ingkang Sinuhun Seda Krapyak. Ambêg lêlabuhanipun asih marma dhatêng putra, santana, wadyabala. Pangimbating praja adil paramarta. Nanging panggalihipun tipis, botên patos têtêg radi ngêmu sumêlang.
Da
: Ingkang Sinuhun Sultan Agung. Ambêg lêlabuhanipun timur, mila sampun bapa kaliyan [80] para sadhèrèk rêmên sangêt anglampahi tapa brata, bêkti ing Gusti Allah tuwin dhatêng para sêpuh. Asih sangêt dhatêng para Jamhur Ngulami ingkang ahli sarengat tarekat kakekat makripat kawruh ing kaeslaman. Bêbasanipun têtêp ngêdohi cêgah, anglampahi parentahing Nabi panutan. Jumênêngipun narendra ngagêm Ambêg Trimurti, inggih punika: 1)Ambêging Ratu Utami 2)Wali 3)Prajurit, kaagêm sadaya, botên kewran panindakipun. Têgêsipun Ambêging Ratu Utami wau tansah awas ing pamawas dhatêng adil paramarta kêncêng, têtêp ing pangandika, sagêd damêl agênging manahipun para wadyabala, para dhah ing nguja krama, welas
83 84
saèstu wus
commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
asih dhatêng pêkir miskin. Patitis mêmatah karya, ingkang pandamêlan alus botên kaparingan pandamêlan agal. Ingkang pandamêlan agal, botên kaparingan pandamêlan alus sapiturutipun makatên. Ambêging Wali, nêtêpi agami Eslam 85 . Bêtah tapa brata cêgah dhahar nendra. Putus ing ngèlmi kasampurnan pamoring kawula gusti, priksa
sangkal
paraning
tumuwuh,
botên
kalèdhon
pangukut,
pangracutipun lêpas patitis, sarta pambabaripun inggih botên kaèstu ing tatrap [81] tuwin tansah ngicali susah panggrêsah ing panggalih. Namung angagêngakên panarimah sumarah pasrah satitah èngêt dhatêng Gusti Allah ingkang murba kamisesa ing ngalam sadaya. Ambêg Prajurit: têtêg, têguh, têtêp, santosa, wèwèka, prayitna, kêndêl dhatêng ing lêrês, sagêd pasang gêlar amrih sêkecaning lampah, murih pakèwêding mangsah. Priksa pating awrat ènthènging lêlampahan tansah dipunmaspaosakên. Lêlambaran prawira sakti mandraguna, bilih sampun têmpuk ing yuda. Amratignya sêpuh kalah sirna mênang ngukum. Botên watak nistha pêpangusira. Salêbêting panggalih amung pasrah dhatêng Ingkang Murba Misesa ing jagad pramudhita. Èwêt bilih tindak punika manut ing lêlampahan. Awon manggih awon, sae manggih sae. Têmtu makatên ambêg lêlabuhanipun ingkang Sinuhun Sultan Agung. Sanadyan sampun jumênêng narendra agung binathara, botên angêgungêgungakên, malah taksih radi asor raga. Taksih rêmên anjarah desa, amilang kori, ngayam malas anjalak pandêling. Dhalasan sagantên inggih dipunlêbêti. Saking anggènipun martitisakên dhatêng ing kawontênan commit to user 85
Islam
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ingkang sajati. Botên amung pracaya dhatêng atur kemawon, mawi dipunnyatakakên piyambak. Cê[82]kakipun bilih ing tanah Jawi sêsampunipun karaton Dêmak Pajang Mataram dumugi sapunika dèrèng wontên narendra ingkang kados Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma ingkang sumare ing ngastana Imogiri. Sanadyan sampun seda ewadene taksih kagungan daya prabawa tandhaning narendra ingkang linangkung, maibên. Sumangga kacobiya sowan dhatêng pasareyanipun. Mangke rak lajêng priksa lan kraos dhatêng manah kumêlas lajêng ajrih, asih ayêm têntrêm wêning kaprabon ambêging ratu tuhu linangkung. Ta
: Ingkang Sinuhun Têgal Arum. Ambêg lêlabuhanipun inggih amung salimrahing ratu kemawon, ugi asih marma dhatêng wadyabala. Wiyosing pangandika angsring ngecani manah. Nanging sok wontên ingkang botên nyata. Manawi panggalihanipun inggih tansah murih dhatêng raharjaning praja. Namung asring kalêbêtan atur ingkang lala cora tarkadhang inggih karsa
ngagêm.
Mila
pandamêlan
ingkang
rèmèh-rèmèh
sok
dipunparlokakên. Rêmên ngugung dhatêng para wanita. Kêrêp tilêm ngagêm panggalih ingkang sawang karsa. Têmahan damêl ranguranguning manahipun ingkang tampi dhawuh. Manawi duka botên mawi panggalih panjang. Ingkang [83] kêrêp lajêng kabranang ing atur mêmadul. Dhatêng ing ayuda kirang waspada. Mila kalampahan jêngkar saking Mataram (bêdhah). Sa
: Ingkang Sinuhun Mangkurat Bawa, ingkang mêjahi Trunajaya. Ambêg lêlabuhanipun santosa ing ayuda. Sagêd olah pangandika kêkèrasan, pangandika manis arum nanging angsring botên tana, upami sapunika commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pêthak sanes dintên abrit. Botên wantah ing karsa, rêmên sêsiliban, manawi kagungan karsa asring kêncêng, botên keguh ing atur prasaja. Wa
: Ingkang Sinuhun Mangkurat Mas. Ambêg lêlabuhanipun sanadyan sampun nama diwasa, ewadene panggalihipun taksih kados nalika taksih timur. Labêt saka kogung bala-ba 86 dhatêng wadyabala punapa dene dhatêng wasita inggih lila pêparing raja brana. Nanging dhatêng wanita bosênan, cêngkiling, mara asta rêmên gêgujêngan ingkang dipuncêlakakên tiyang ingkang ngubungi karsa. Alitan panggalih, angsring sèlak botên nêtêpi prajanji. Rêmên nyobi dhatêng wataking wanita. Pangandikanipun sêmbrana parikêna, botên mituhu dhatêng wêlinging rama. Ing ayuda kirang prawira, tipis ing panggalih, nanging kêrêp pêranging karsa ingkang botên tana.
La
: Ingkang Sinuhun Pakubuwana sapisan. [84] Ambêg lêlabuhanipun alus, lêmbat, sabar, narama 87 , tawêkal, rèrèh, ririh ing ngandika botên rèsèh. Ngèstokakên dhawuh ing rama. Bêtah tapa brata pasrah ing Gusti Allah, sanadyan dipunwisesa dipunêngis-êngis dhatêng samining manusa inggih amung sumarah. Sadaya rêmbag ingkang dhatêng saliranipun sanadyan lêrês sae badhe sakeca botên lajêng dipunturuti. Nanging kagalih panjang sarta kaèsthi wontên ing cênta maya. Tansah kèndêl wontên ing papan sêpi ijèn sêmadi maladi mahênêng-ngêningkên kang panca driya nêgês dhatêng Gusti ingkang nguwasani ing gêsang kita. Dados bilih kagungan karsa mangka dèrèng têrang tetela saking Hyang Kang Murba, dèrèng karsa anindakakên. Bilih sampun angsal sasmita cêtha wela-wela., punika sawêg
86 87
bala-bala narima
commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipunlampahi, kaliyan tata titi samêgta prayitna dati-ati 88 . Saking sabar alusing panggalih, tiyang siti tiyang liya bangsa agêng ngalit sami sih trêsna sêdya biyantu labuh sakit dumugi pêjah dipuntampahi kaliyan suka dawaning manah. Pa
: Ingkang Sinuhun Prabu Amangkurat. Ambêg lêlabuhanipun alus. Ngêmong dhatêng wadyabala. Asih trêsna sangêt dhatêng garwa putra. Rêmên [85] paring dana dhatêng putra santana wadya89. Sarta pinarcaya ing karya. Botên wontên ingkang dipunsinggèni. Sadaya rinakêt sami kinawula warga. Dadosa sami amrih asih sumungkêm dhatêng panjênênganipun.
Dha
:
Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping kalih. Ambêg
kalakuanipun 90 alus, sabar, aris, lêmês ing panggalih. Rêmên damêl yayan
91
enggal. Warni-warnining kados tênan wêwah-wêwah. Asih
dhatêng wadyabala tuwin dhatêng para ngulama. Panggalih tipis, botên panggah, kirang wèwèka nanging radi buta ajêngan. Saking saening panggalih ngantos sadaya aturing wadya kaagêm sadaya, kadosta rêmbag ngrangkul Walandi kaagêm. Rêmbag ngrangkul bangsa Cina kaagêm. Rêmbag bangsa sabrang kakêsahên 92 saking tanah Jawi kaagêm.Punika labêt saking panggalih kirang kêkêncêngan. Namung pracaya dhatêng aturing putra, santana, wadyabala. Beda-bedaning rêmbag namung dipunpituruti. [86] Saking kirang kêncênging panggalih têmahan wudhar (Kartasura bêdhah). 88
ngati-ati wadyabala 90 lêlabuhanipun 91 yasan 92 kakesahan 89
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Ja
113 digilib.uns.ac.id
: Ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping tiga. Ambêg lêlabuhanipun asih dhatêng garwa, putra, santana, wadyabala. Adil paramarta. Rêmên dhatêng pakaryan kadosta: pangukir, pambubut, panggapyuk, mringgi, undhagi, sapanunggilanipun pandamêlan kajêng. Punapa dene dhatêng cariyoscariyos têtuladan kina inggih rêmên, ngantos kagungan kakasih tiyang paramèng sastra paramèng têmbung inggih punika Mas Ngabehi Yasadipura Sapisan lajêng aran Ngabehi Tus Pajang utawi Ngabehi Pensiyun. Nanging panggalih dalêm radi tipis. Sabab kados taksih kèngêtan nalika bêdhah ing Kartasura de [87] ning Cina. Bêdhah Pacina wau taksih nglabêti dhatêng panggalih marêm kagungan raos marma was, mila sangêt suka rêna nampèni panungkulipun ingkang raka, nama inggih punika Kanjêng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunagari Sapisan, ingkang aran Sambêr Nyawa. Malah prasasat dipunrangkul rintên dalu tansah mundhut rêmbag-rêmbag ingkang amrih raharja dhatêng ingkang raka wau.
Ya
: Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping sakawan. Ambêg lêlabuhanipun, nalika dèrèng Pakêpung, panggalih dalêm taksih ngagêm watak timur. Angsring karsa nampèni atur lala cora. Panggalih dalêm kèlukêlulun dhatêng tiyang pitu inggih punika: 1)Bahman 2)Wiradigda 3)Kandhuruhan 4)Pasêngah 5)Mat Saleh 6)Sujanapura 7)Wartajaya, sami sagah ing gulangi pêrang anjabêl pasisir manca nagari. Têmahan dados pakêpung wau nalika Garêbêg Mulut taun Jimawal angka 1717 aturipun tiyang pitu mau macêthot. Rèhne ngojok-ojok kang botên sae. Ingkang nêm kasusup ing Gupêrmèn lajêng kaucal. Ingkang satunggal pun jasa commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pura luwar. Sarêng sampun rampung prakawis punika, ingkang Sinuhun lajêng karsa abêlakakên para ngulama tuwin para ngalim cariyos têtu [88] ladan sae, miwah warni dalêm ngalus-alus tanpa cacad. Mawi lêgêm 93 ngibadah nêtêpi rukuning agami Eslam 94 . Tansah anjangkung mêmadi manawi mahêning-êning panca driya. Saking sangêt gênturing lampah katarimah ing Pangeran ingkang Maha Agung. Ingkang Sinuhun wau ngantos sinêbut Sinuhun Bagus utawi Waliyolah yaseng Cêmani (dhusun Cêmani punika pasanggrahan dalêm kaprênah [89] saking lèr kadhaton, têbihipun udakawis namung kawan pal) Nya
:
ingkang
Sinuhun
Pakubuwana
ingkang
kaping
lima.
Ambêg
lêlabuhanipun kandêl patitis, mardawèng sastra, mardawèng têmbung, rêmên dhatêng sêrat-sêrat, nyêmakakên dhatêng para sagêd, botên tampik cariyos. Awon saenipun pariksani. Cacadipun anggènipun jumênêng namung sakêdhap, udakawis tigang taun. Ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping nêm. Ambêg lêlabuhanipun sabar narimah. Rêmên ramèni 95 dhatêng ingkang kaprênah sêpuh. Trapsila doraka. Pangandika manis arum. Labêt taksih kirang yuswa, kenging sambêkala saking aturing garwa ingkang dipuntrêsnani sangêt. Sêsarêngan ing Ngayogya wontên prakawis ngramanipun Pangeran Dipanêgara. Bibar Pêrang Dipanagaran. Ingkang Sinuhun karsa ya mbangun tapa dhatêng ing Pulo Ambon. Ma
:
Ingkang
Sinuhun
Pakubuwana
ingkang
kaping
pitu.
Ambêg
lêlabuhanipun kêndêl santosa, têtêg tata titi patitis, sabar, sarèh, 93
gêlêm Islam 95 ngrameni 94
commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pangandika cêtha. Têtêp mantêp ngantêpipun ingkang sampun kawahya. Botên karsa lincat ing karsa. Kêncêng adil paramarta. Dana krama [90] inggih marma dhatêng putra, santana, wadyabala. Mila sadaya sami suka asih trêsna sumungkêm, sêdya labuh ing sakit sêpuh. Suka lila lêbura ing ayahan dalêm. Salêbêtipun jumênêng, tiyang sanagari mèh botên wontên ingkang gadhah manah susah kang grêsah ngrêsula, ingkang kathah namung suka sênêng tumêmên dhatêng kawajibanipun. Dhatêng ing pamitran rakêt ngagêm salêrêsipun, botên mawi mawang bangsa ing pamitran kasami kemawon. Ga
:
Ingkang
Sinuhun
Pakubuwana
ingkang
kaping
wolu.
Ambêg
lêlabuhanipun sarwa sagêd, nanging mêsêp 96 angèsthi ing kapandhitan. Rintên dalu tansah manungku cipta hênêng hêning. Panggalih alus sabar botên nate duka. Lumintu dana kramanipun dhatêng putra santana wadyabala. Dhatêng putra santana asih trêsna sangêt.
commit to user 96
mênêp
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Sinopsis Sinopsis adalah penuturan yang ringkas suatu teks yang mencakup keseluruhan isi secara utuh. Maksud mengemukakan sinopsis suatu teks yaitu untuk memudahkan pembaca agar memperoleh gambaran isi teks secara menyeluruh. Teks SM ini berbentuk prosa yang disajikan dalam bentuk dialog, terjadi empat kali dialog dengan tema masing-masing. Sebelum menyajikan sinopsis dari teks SM ini, penulis akan terlebih dahulu menyajikan susunan penyajian teks SM secara struktural melalui tabel berikut: Tabel 4.17 Tabel susunan penyajian teks SM secara struktural Dialog
Hal.
Isi dialog
Dialog I
1-16
a. Ajaran kepemimpinan dalam lingkup kehidupan keluarga, kehidupan dengan para abdi, dan kehidupan bermasyarakat. b. Delapan ajaran kepemimpinan, yakni: kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa.
Dialog II
16-37
Keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin.
Teks lain
38-52
Sejarah
pemberontakan
pergerakan
Komunis
di
Bandung, Batavia, dan Banten. Dialog III
53c-62
Gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang tidak sejahtera kaitannya dengan sikap manusia.
Dialog IV
71-90
Keteladanan kepemimpinan dari para pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai Paku Buwana VIII.to user commit
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berikut sinopsis teks SM yang penulis sajikan perdialog: a. Dialog I Terhadap keluarga dan sanak saudaranya, seorang pemimpin harus bijaksana, menyayangi mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kepada para abdinya, pemimpin harus memahamkan terkait dengan hak dan kewajibannya, memenuhi kebutuhannya, tidak sewenang-wenang (sikap senioritas), menyayangi mereka dan tidak membeda-bedakan status sosialnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin juga harus menjalin hubungan yang baik keapada sesama, menghormati yang tua dan mengasihi yang muda. Berikut delapan ajaran kepemimpinan yang harus dimiliki seorang pemimpin: 1) Kuwasa
: berwenang memutuskan segala sesuatu.
2) Purba
: bertanggung jawab atas semua permasalahan yang ada.
3) Wisesa
: pemimpin harus tegas.
4) Kukum
: perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun.
5) Adil
: bersikap adil terhadap siapapun sesuai kadarnya.
6) Paramarta
: berhati lembut dan kasih sayang terhadap siapapun.
7) Dana
: rajin berderma dengan pemberian terbaik.
8) Pariksa
: senantiasa mengontrol kebijakan-kebijakan yang telah
diputuskan dan kinerja-kinerja jajaran pemerintahan di bawahnya. b. Dialog II Keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin.
commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Nabi Adam Seorang pemimpin yang sangat sederhana, setiap hari senantiasa terlihat prihatin, dan tanpa rasa malu Nabi Adam bersedia bekerja pekerjaan yang kasar. 2) Nabi Musa Seorang pemimpin yang tegas, tangguh, dicintai semua rakyatnya. Hal itu terlihat ketika peperangan melawan kaum kafir yang hendak menghancurkan Masjid Al-Aqsa, semua rakyatnya ikut terjun di medan peperangan baik itu yang tua, muda, lelaki maupun perempuan. Beliau sangat menyayangi kaum fakir dan miskin. 3) Nabi Yusuf Seorang pemimpin yang menyadari kesalahannya, yakni di tengah-tengah kemakmuran bangsanya, beliau tidak pernah terjun langsung ke lapangan memantau kondisi rakyatnya, hanya didelegasikan kepada utusannya sehingga beliau memutuskan untuk turut hidup susah karena khawatir jika ternyata ada rakyatnya yang hidup susah. 4) Nabi Dawud Seorang pemimpin yang rela bekerja keras demi keluarga, para abdi dan rakyatnya, yakni membuat baju besi kemudian dijual di pasar untuk menafkahi keluarga dan keperluan perang. 5) Nabi Sulaiman Nabi yang paling luas kerajaannnya. Seorang pemimpin yang sangat menyayangi keluarga, para abdi, semua rakyatnya, dan semua makhluk yang ada di alam ini.
commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Nabi Muhammad Seorang pemimpin yang sangat menyayangi keluarga dan anak-anaknya dan seorang pemimpin yang sangat bijaksana. 7) Abu Bakar Ash Shidiq Seorang pemimpin yang sangat bijaksana, hidup sangat sederhana, tidak bersedia memakai uang negara (Baitu Mal) untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. 8) Umar Sama seperti Nab-nabi sebelumnya, beliau juga seorang pemimpin yang sangat sederhana, tidak bersedia memakai uang negara untuk mencukupi kebutuha keluarganya sehari-hari. 9) Utsman bin Affan Di usianya yang semakin senja, beliau masih bertahan memimpin rakyat dan mencari nafkah untuk keluarganya, mekipun tidak seoptimal biasanya. 10) Ali bin Khatab Seorang pemimpin yang sangat pemberani, dan hidupnya sangat sederhana.
c. Dialog III Berisi gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang tidak sejahtera. Jaman yang sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa bersyukur terhadap apa yang ada, tidak pernah mengeluh meskipun kondisi alamnya saat itu sedang kemarau panjang ataupun musim penghujan. Sedangkan jaman yang tidak sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa berkeluh kesah commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
musim kemarau dan musim penghujan tiba. Selain itu jaman yang tidak sejahtera juga didukung oleh sikap rakyatnya yang mulai terkikis moralnya.
d. Dialog IV Berisi keteladanan kepemimpinan dari para pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai Paku Buwana VIII. 1) Kyai Ageng Sesela Pemimpin yang gemar bertapa, sederhana hidupnya (rajin berpuasa, sedikit tidur), rajin menimba ilmu kepada orang-orang yang ahli. Di usianya yang semakin senja, beliau semakin rajin mendekatkan diri kepada Allah SWT. 2) Kyai Ageng Nis Raja yang gemar bertapa dan rajin menimba ilmu kepada orang-orang pintar. 3) Kyai Ageng ing Pamanahan Raja yang juga gemar bertapa, senantiasa menjauhi perbuatan tercela, tajam pemikirannya hingga memiliki kemampuan bisa memprediksi kejadian yang akan terjadi. 4) Kanjeng Panembahan Senapati Raja muda yang tangguh dan teguh, rajin bertapa dan patuh terhadap ayahandanya. 5) Kanjeng Sinuhun Seda Krapyak Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Tetapi beliau seorang raja yang kurang teguh pendiriannya.
commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Kanjeng Sinuhun Sultan Agung Raja yang gemar bertapa, taat terhadap perintah agama Islam, sangat menghormati kaum ulama. 7) Kanjeng Sinuhun Tegal Arum Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Beliau suka memperhatikan hal-hal kecil yang sangat remeh, suka memuja kecantikan wanita, kurang pemberani dan kurang tangguh. 8) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Bawa Raja yang sangat pemberani dan tangguh dalam peperangan, ramah, tetapi kurang teguh pendirian. 9) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Mas Raja yang dermawan, tetapi kurang dewasa dan bijaksana, suka bermain wanita, suka mengingkari janji, dan kurang tangguh dalam medan peperangan. 10) Kanjeng Sinuhun PB I Raja yang penyabar, halus budi pekertinya, senantiasa bersyukur dan tawakal kepada Allah SWT, tidak tergesa-gesa dan mempertimbangkan suatu permasalahan lebih dalam lagi. 11) Kanjeng Sinuhun Prabu Amangkurat Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Rajin berderma. Tidak suka membanding-bandingkan status sosial orang tertentu. 12) Kanjeng Sinuhun PB II Raja yang penyabar, halus budi pekertinya dan baik hatinya. Tetapi terlalu mempercayai setiap masukan tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu. commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
13) Kanjeng Sinuhun PB III Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Gemar membuat benda-benda dari kayu. Sangat menyukai karya sastra dan bersahabat dekat dengan ahli sastra bernama Yasadipura I. 14) Kanjeng Sinuhun PB IV Raja yang kurang teguh pendirian sehingga mudah dipengaruhi oleh orang lain. 15) Kanjeng Sinuhun PB V Raja yang sangat pandai dalam hal kesusatraan, rajin mempelajari karya-karya sastra Jawa Klasik. 16) Kanjeng Sinuhun PB VI Raja yang sangat penyabar, senantiasa bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Raja yang ramah, supel, gaya bicaranya menyenangkan. 17) Kanjeng Sinuhun PB VII Raja yang sangat pemberani, tangguh, teguh pendirian, tegas, sabar, dan senantiasa berlaku adil. Beliau sangat disayangi oleh rakyat, abdi dan para punggawanya. Jaringannya cukup luas sampai ke mancanegara. 18) Kanjeng Sinuhun PB VIII Raja yang multi talenta (serba bisa). Hatinya sangat lembut, sabar, dan tidak pernah marah.
commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kajian Isi Kajian isi mengungkapkan isi yang terkandung dalam Serat Mudhatanya. Secara garis besar serat ini menceritakan tentang ajaran-ajaran pokok kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ajaran kepemimpinan tersebut disampaikan secara lengkap mulai dari sikap seorang pemimpin terhadap keluarga dan sanak saudaranya sampai pada sikap seorang pemimpin terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya. Ajaran kepemimipinan ini dilengkapi dengan contoh-contoh gaya kepemimpinan dari para Nabi, sahabatsahabat Nabi hingga para pemimpin Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai Kanjeng Sinuhun Paku Buwana VIII. Kajian isi Serat Mudhatanya akan disampaikan secara detail dan urut susunannya perdialog, mulai dari dialog pertama hingga dialog keempat. Masingmasing dialog memuat isi yang berbeda-beda. Berikut uraiannya: 1. Dialog I (SM 1-16): Dialog pertama ini berisi tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang pemimpin dalam lingkup keluarga, tetangga, bawahan, dan pihak luar, juga delapan ajaran pokok kepemimipinan. Pemimpin adalah seorang manusia biasa yang kesehariannya selalu hidup bersama dengan keluarga dan sanak saudaranya. Di dalam teks SM ini dijelaskan bahwa dalam menciptakan suasana kehidupan keluarga yang harmonis dan sejahtera, seorang pemimpin atau kepala keluarga harus mampu bersikap seperti berikut:
commit to user
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Seorang kepala keluarga harus dekat dengan keluarga dan sanak saudaranya. b. Seorang kepala keluarga harus mencintai keluarga dan sanak saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. c. Seorang pemimpin harus membangun pola komunikasi dua arah dengan anggota keluarga, tidak ada rasa rikuh pakewuh atau sungkan. d. Pemimpin keluarga yang baik tidak hanya tampak baik di luar permukaannya saja. Antara hati, ucapan dan perbuatan harus sama. e. Setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan harus didasari dengan hati yang bersih. f. Jika ada anggota keluarga atau sanak saudara yang melakukan kesalahan, tidak langsung memarahinya dengan semena-mena, hadapi dengan kelembutan dan kepala dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan orang banyak. Pilihlah saat yang tepat untuk menegurnya dengan teguran yang lembut dan nasehat secukupnya sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Dalam menegur jangan sampai berlebihan sampai menjatuhkan wibawa dan reputasi sebagai seorang pemimpin keluarga.
Dalam kehidupan kesehariannya, seorang pemimpin juga tidak bisa lepas dari hubungannya dengan seorang abdi (bawahan) yang senantiasa membantu kinerjanya. Berikut beberapa sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin terhadap abdinya: a. Memberikan pemahaman kepada abdi-nya akan tugas dan kewajibannya, selalu
diingatkan
agar
jangan
sampai
kewajibannya. commit to user
mengkhianati
pekerjaan
dan
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pemimpin
yang
baik
harus
memperhatikan
kesejahteraan
abdi-nya,
(kebutuhannya) jangan sampai ada yang disia-siakan. c. Membangun hubungan yang baik dengan abdi-nya, tidak sewenang-wenang (unsur senioritas). d. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ketika berbicara membuat hati para abdi tentram ketika mendengarnya. e. Berlaku seadil-adilnya terhadap para abdi yang terbukti melakukan kesalahan, dengan memberikan ganjaran/ hukuman sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan. f. Jika hendak memerintah, yang seperlunya saja, tidak berlebihan.
Sebagai makhluk sosial, seorang pemimpin juga tidak bisa lepas dari hidup bermasyarakat yang setiap hari selalu berinteraksi. Berikut beberapa sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam memimpin masyarakatnya: a. Menjaga hubungan baik dengan orang lain, muda tua, lain bangsa, dan lainlain. b. Bertutur kata yang ramah dan santun dengan siapapun. c. Setiap keputusan harus dipertimbangkan secara lebih mendalam lagi.
Selain beberapa sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin terhadap keluarga, sanak saudara, abdi(bawahan), dan masyarakat yang telah diuraikan di atas, di dalam teks SM ini juga dijelaskan ada delapan pedoman (bekal) yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Delapan pedoman tersebut adalah kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana dan pariksa. Berikut uraiannya:
commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak. Berikut kutipannya: ”Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng kulawarga” (SM: 7) 2) Purba berarti bertanggungjawab atas semua semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berikut kutipannya: ”Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.” (SM: 7) 3) Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan. Berikut kutipannya: ”Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam-ancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging saderengipun kêdah dipundhawuhakên. Yen ala bakal nemu ala. Yen becik bakal nemu becik.” (SM: 8) 4) Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun. Berikut kutipannya: ”Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun: botên bahu kapine sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon. Ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.” (SM: 8) 5) Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Berikut kutipannya: ”Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah sadhèrèk santana abdi agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês. Dhatêng sasaminipun putra wayah sadhèrèk santana abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing pangadilanipun ingkang jêjêg. Babasan utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati, sapiturutipun. Botên kenging dlemok cung, kêdah wradin. Têgêsipn yen si dhadhap kang utang, mung nyaur samene, yen si waru kang utang kudu nyaur samene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun, sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasêbut ing anggèr, anggèr botên kenging mèncèng.” (SM: 8) commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf. Berikut kutipannya: ”Paramarta: punika bilih putra wayah sadhèrèk santana abdi gadhah prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalentu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta. Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring-aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng angger lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi.” (SM: 9)
7) Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. Berikut kutipannya: ”Dana: inggih ingkang kêrêp paparing. Manawi paparing barang ingkang enggal risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi paparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun kadosta: ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan tuwin griya papan semahan. Punika kêdah ingkang awis-awis.” (SM: 9) 8) Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah. Berikut kutipannya: ”Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan, ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak dhatêng tiyangipun, botên mawi lalantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun.” (SM: 12)
Di dalam dialog ini juga diuraikan bahwa pemimpin yang baik hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan nista. Berikut beberapa contoh perbutan nista: a. Memperhatikan hal-hal kecil yang tidak ada manfaatnya. b. Mendengarkan cerita/perkataan orang yang tidak membawa dampak halusnya budi pekerti.
commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Mendengarkan cerita/perkataan orang yang tidak berdasarkan pada agama d. Berbicara sekehendak dirinya, suka menjelek-jelekkan orang lain. e. Suka bercanda/bersendau gurau secara berlebihan. f. Suka mengambil makanan yang sudah jatuh di atas tanah. g. Jorok, tidak memperhatikan kebersihan diri dan lingkungannya. h. cara berpakaian sekehendak hatinya, memakai baju yang sudah tidak layak Dalam memimpin negara yang begitu kompleks permasalahannya, seorang raja juga perlu istirahat sejenak (refreshing) untuk kembali menyegarkan pikiran. Seperti orang Muslim, istirahatnya adalah shalatnya, sembahyang dan tafaqurrahman (mendekatkan diri kepada Allah). Atau seperti orang
Budha,
istirahatnya adalah bersemedi, mengheningkan jiwa raga.
2. Dialog II (SM 16-37) Dialog ini berisi tentang keteladanan kepemimpinan para Nabi dan kepemimpinan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang sebagian besar diambil dari Serat Tajussalatin bagian kitab Tabihul Gapilin dalam pasal ke-5. 1) Kepemimpinan Nabi Adam Di dalam teks SM ini, Nabi Adam digambarkan sebagai seorang raja yang sebagai berikut: a. Seorang raja yang bersedia bekerja pekerjaan kasar tanpa rasa malu, yakni sebagai seorang Pandhe tosan atau seorang pandai besi. Berikut kutipannya: ”...punika taksih karsa nyambut damêl kasap. Sabên dintên pandhe tosan, kaurupakên kangge dhahar ing sadintên-dintênipun.” (SM: 18) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
129 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ”....masih bersedia bekerja pekerjaan yang keras/kasar. Setiap harinya bekerja sebagai Pandhe tosan (orang yang ahli membuat alat-alat/benda-benda dari besi), guna untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.” (SM: 18) b. Selama hidupnya belum pernah makan enak. Tidak suka hidup bermewahmewah. Setiap hari senantiasa terlihat prihatin. Berikut pernyataan Nabi Adam ketika ditanya oleh putranya tentang gaya hidup beliau yang senantiasa prihatin: ”Aku iki maune dikarsakakke dening Gusti Allah dadi kalipah ana suwarga. Nuju ana dosaku diudhunake marang ing donya kusniya malebari iki, ngratoni anak putu. Mulane aku ora duwe bungah. Pancèn tak cêgah sak patute. Bok manawa dhompo panggawèhaku ngratoni kowe kabèh. Yèn luput saka kurang titi pariksa. Yakti nêmu duduka manèh. Kaya aku diudhunake marang bumi sap pitu. Yèn ratu kêrêp bungah-bungah lan juwèh iku ilang sênêne. Murwate ora nana kang kari.” (SM: 19) Terjemahan: ”Awalnya, memang aku ditakdirkan menjadi seorang khalifah/pemimpin di dalam surga. Karena kesalahan yang telah kuperbuat, Allah SWT memutuskan untuk menurunkanku ke bumi, mengelola dan memimpin bumi ini. Oleh sebab itu, sedikit sekali aku bersenang-senang, memang sekuat tenaga aku menekannya. Jangan sampai aku mengulangi kesalahan yang kedua kalinya karena ketidak telitianku dalam memimpin kalian semua, seperti kesalahanku dahulu hingga diturunkan dari langit tingkat tujuh. Jika raja hanya bersenangsenang belaka, hilanglah wibawanya dan harga dirinya”. (SM: 19)
2) Kepemimpinan Nabi Musa Di dalam teks SM ini, Nabi Musa digambarkan sebagai seorang raja yang tangguh dan sangat pemberani. Ketika Masjid Al-Aqsa di negeri Baital Muqadas hendak dihancurkan oleh orang-orang kafir, Nabi Musa menginstruksikan kepada semua bala tentara dan semua rakyatnya untuk bersiap siaga perang melawan musuh Islam. Nabi Musa membagi dua pasukan, yakni pasukan dan pasukan Karaton. Beliau commitKanabeyan to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga mengangkat 12 senapati, setiap senopati memimpin pasukan berjumlah 220 orang. Seh Nakib, salah satu senapati, bertugas untuk menggerakkan bala tentara sekaligus memutuskan setiap permasalahan. Semua bala tentara dan semua rakyat Nabi Musa, laki-laki-perempuan, tua-muda, semuanya terjun ke medan peperangan
turut
berperang
melawan
orang-orang
kafir
yang
hendak
menghancurkan Masjid Al-Aqsa. Ketika perang, Nabi Musa tidak bersedia naik di atas kuda atau tandu, beliau langsung terjun ke medan peperangan bersama tentaranya. Ketika malam, beliau beristirahat di jalan. Punggawa yang melihat kondisi beliau yang seperti itu, tidak tega dan langsung menawarkan tempat beristirahat yang lebih layak, tetapi beliau menolaknya dengan lembut. Beliau berpesan kepada punggawa tersebut supaya tenaganya jangan terlalu difokuskan untuk membuat tempat peristirahatan, lebih baik tenaganya disimpan untuk pertarungan esoknya. Dalam kehidupan sehari-harinya, Nabi Musa selalu mengajak makan bersama dengan para abdi(bawahan) dan jajaran pemerintahannya. Beliau senantiasa membuat hati mereka senang.
3) Kepemimpinan Nabi Yusuf Di dalam teks SM ini, Nabi Yusuf digambarkan ketika itu beliau sedang jatuh sakit malaria. Semua saudara dan para punggawanya berkumpul jadi satu berada di samping beliau. Salah seorang dari mereka menanyakan perihal sakitnya karena disamping sakit, Nabi Yusuf nampak memikirkan sesuatu yang sangat berat. Dijawab oleh Nabi Yusuf bahwa beliau sangat khawatir terhadap kondisi rakyatnya. Beliau tidak akan makan enak sebelum rakyat terpenuhi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
kebutuhannya. Beliau merasa bersalah karena selama ini tidak bisa terjun langsung mengamati kehidupan rakyatnya, beliau hanya mendelegasikan kepada utusannya. Hal itu yang membuat beliau resah dan khawatir, kurang makan dan kurang tidur, kesehariannya hanya makan roti gandum 2 potong. Mendengar hal itu, para punggawa langsung merasa iba.
4) Kepemimpinan Nabi Dawud Di dalam teks SM ini, Nabi Dawud digambarkan ketika itu seusai memberikan perintah dan putusan-putusan, Nabi Dawud melangkah menuju ke masjid kemudian mendirikan sholat dua rakaat. Beliau berdoa, memohon kepada Allah SWT supaya diberi rezeki yang halal untuk hidup sehari-hari. Beliau tidak ingin memakai uang negara untuk membiayai hidup beliau sehari-hari. Jika sampai memakai uang negara adalah suatu kesia-siaan, percuma menjadi seorang raja. Kemudian Allah mengabulkan doa Nabi Dawud. Dengan perantara kalamNya, Allah memerintahkan kepada Nabi Dawud untuk membuat baju besi. Perintah itu dijalankannya. Setiap hari Nabi Dawud membuat baju besi, kemudian menjualnya ke pasar, penghasilannya dipakai untuk hidup sehari-hari bersama istri dan anak-anak beliau. Tidak hanya itu, beliau juga memberikan baju-baju besi tersebut secara cuma-cuma kepada semua punggawanya.
5) Kepemimpinan Nabi Sulaiman Di dalam teks SM ini, diceritakan bahwa Nabi Sulaiman setiap harinya selalu menanak nasi sejumlah 1000 kendhil. Satu kendhilnya bisa untuk makan 10 commit to user
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
binatang onta. Setiap hari menanak dua kali, setiap pagi dan sore hari. Beliau sengaja mempersiapkannya untuk para punggawanya yang hendak berkunjung ke rumah beliau. Uang untuk menanak nasi tersebut, beliau ambil dari uang negara. Sedangkan untuk menghidupi keluarga sehari-hari, beliau jualan tempat nasi di pasar. Ketika hendak makan, beliau selalu mengajak kepada kaum fakir dan miskin untuk makan bersama. Jika tidak mendapati adanya orang fakir dan miskin, beliau memilih untuk menunda makannya dan melanjutkan untuk berpuasa. Suatu ketika, Nabi Sulaiman bersama semua punggawanya diikuti rakyatnya dari bangsa jin, angin, mega, dan awan. Karena begitu banyaknya yang turut mengiringi, terlihat seolah-olah semua makhluk di bumi ini ikut semua. Rombongan tersebut tidak ada yang merasa kepanasan karena dilindungi oleh awan. Sesampainya di Arab, tepatnya di tepi kota Mekah, ada seorang fakir yang terpana melihat pemandangan seperti itu. Beliau menghampiri orang tersebut, memberikan salam, kemudian berkata bahwa kemuliaan yang beliau dapatkan sekarang ini masih jauh dibawah orang yang senantiasa memuji Allah dengan mengucapkan kata subhanallah walhamdulillah walaa ilaha illallah allahu akbar, la haula walaa quwatta illa billahil ‘aliyyil ‘adzim, sekaligus mengetahui makna kalimat tersebut, maka besok ketika di akhirat orang tersebut akan mendapatkan kemuliaan seperti kemuliaan Nabi Sulaiman saat itu. Nabi Dawud menambahkan kepada orang fakir tersebut bahwa di dunia hanya sementara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
6) Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW Di dalam teks SM ini, Nabi Muhammad digambarkan sebagai sesosok bapak yang sangat menyayangi putrinya. Saat itu hendak dilaksanakan peperangan. Perang melawan orang kafir, orang yang mengkhianati dan memusuhi agama Islam. Pasukan perang dibagi menjadi dua kelompok, pasukan pertama dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib, pasukan kedua dipimpin oleh Khalid bin Walid. Dua-duanya adalah senapati yang pemberani dalam peperangan. Dalam perjalannya menuju medan peperangan, Nabi Muhammad hendak mampir sejenak menjenguk putrinya, Siti Fatimah, yang kabarnya sedang menderita sakit. Kepergian beliau didampingi Umar bin Khattab tanpa sepengetahuan para punggawanya. Sesampai di rumah Siti Fatimah, Nabi Muhammad menanyakan perihal sakitnya. Siti Fatimah menjelaskan kepada ayahandanya bahwa sakitnya disebabkan karena sudah tiga hari tidak makan dan tidak minum. Tidak ada sesuap nasipun yang bisa dimakan karena selama tiga hari itu pula suaminya, Ali bin Abi Thalib, tidak memberinya nafkah karena harus bertempur di medan peperangan melawan kaum kafir. Setelah mendengar penjelasan dari putrinya, beliau bersabda bahwa barang siapa yang sabar menghadapi cobaan dan ujian, kelak di akhirat akan mendapatkan balasan kebajikan seribu kali lipat.
7) Kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq Sepeninggal Nabi Muhammad, yang menggantikan kursi kekhalifahan adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Seusai memberikan perintah dan putusan-putusan di depan jajaran pemerintahannya, Abu Bakar pergi ke pasar menjual beberapa bajunya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Hal itu dilakukannya commit to user
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berulang-ulang hingga diketahui oleh salah seorang punggawanya. Punggawa tersebut kemudian berkata kepada Abu Bakar bahwa perbuatan tersebut kurang layak dilakukan oleh seorang raja. Kemudian dengan sangat bijaknya Abu Bakar berkata, “Memang benar apa yang anda katakan. Namun, masalah kebutuhan istri, anak-anak dan keluarga di rumah itu di luar tanggung jawab kerajaan. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang kepala keluarga untuk memberi nafkah keluarga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Jika sampai menggunakan uang negara yang bukan haknya itu dinamakan perbuatan riba”. Para punggawa bersikukuh mengeluarkan sedikit uang dari Baitul Mal untuk diberikan kepada Abu Bakar. Karena beliau sangat menghargai keputusan para punggawanya, beliau menerima tawaran tersebut. Menjelang akhir hidupnya, beliau berpesan kepada putranya, Sayidina Ngabdurrahman bahwa sepeninggal beliau nanti semua perkebunan kurma diminta untuk dijual dan uangnya digunakan untuk membayar uang dari Baitul Mal yang dahulu pernah dipakai untuk biaya hidup sehari-hari.
8) Kepemimpinan Umar Sepeninggal
Abu
Bakar
Asy-Syidiq,
yang
menggantikan
kursi
kekhalifahan adalah Umar bin Khatab. Suatu hari datang beberapa punggawa menghadap Umar. Kedatangan mereka hendak menawarkan uang dari Baitul Mal kepada Umar supaya dipakainya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Oleh Umar tawaran tersebut ditolaknya secara bijaksana. Beliau meminta kepada punggawa-punggawa tersebut untuk memberikan uang dari Baital Mal itu kepada rakyatnya yang lebih membutuhkan, seperti orang miskin, anak yatim, orang yang teraniaya hidupnya, dan untuk kebutuhan negara yang mendesak. Jangan sampai commit to user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada rakyatnya yang hidup kekurangan dan menderita. Masalah biaya hidup Umar sehari-hari, beliau meminta kepada punggawa tersebut untuk merelakannya. Beliau mengusahakan dari tangan beliau sendiri dengan menjual batu bata di desa Bangkek yang letaknya lumayan jauh dari rumah beliau. Beliau berpesan kepada punggawa tersebut supaya tidak perlu merasa khawatir terhadap Umar dengan pekerjaannya yang seperti itu. Pekerjaan membuat batu bata hanya sambilan, hanya untuk jaga-jaga jangan sampai biaya hidup beliau sehari-hari menggunakan uang Baitul Mal, masalah rakyat dan kenegaraan tetap beliau prioritaskan.
9) Kepemimpinan Utsman bin Affan Sepeninggal Umar bin Khatab, yang menggantikan kursi kekhalifahan adalah Ustman bin Affan. Suatu hari yakni hari Jumat, usai mengimami shalat para jamaahnya, Usman bergerak menuju mimbar hendak memberikan ceramah kepada para jamaah dan semua rakyatnya. Beliau berkata bahwa ada dua jenis pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain, yakni menjadi seorang raja yang adil dan pekerjaan memberikan nafkah kepada keluarga.
Dua
pekerjaan
tersebut
merupakan
amanah
yang
harus
dipertanggungjawabkan. Beliau mengakui di depan para punggawanya, bahwa dua pekerjaan tersebut untuk saat itu tidak bisa dilaksanakan secara optimal karena kondisi beliau saat itu sudaah sangat tua. Para punggawa mendengar hal tersebut merasa iba. Seorang pembesar dari punggawa tersebut, yakni Ali bin Abi Thalib kemudian mengumpulkan semua punggawa membahas solusi untuk menghadapi kondisi rajanya yang seperti itu. Akhirnya mereka bersepakat commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagian dari uang Baitul Mal diberikan kepada Usman bin Affan untuk mencukupi kebutuhan beliau sehari-hari. Tidak lama kemudian, Usman bin Affan jatuh sakit. Kemudian Usman menjual semua perkebunan miliknya untuk membayar uang dari Baitul Mal. Dan kursi kekhalifahan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.
10) Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib Di dalam teks SM ini, penulis naskah menyebut nama Ali dengan Ali bin Khatab. Menurut buku-buku sejarah Islam, seperti dalam buku “Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi” karya Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, nama lengkap Ali yang benar adalah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan untuk kata “Khatab” adalah nama dari khalifah Umar, yakni Umar bin Khatab bukan Ali bin Khatab. Ali bin Abi Thalib adalah seorang raja yang selalu waspada di setiap tindak-tanduknya, selalu hati-hati jangan sampai melakukan kesalahan. Ali bin Abi Thalib mendapat gelar Sultan Kabir Mukmin. Semasa pemerintahan Nabi Muhammad, beliau adalah seorang pemimpin perang yang sangat pemberani. Ketika menjadi raja, setiap harinya beliau hanya makan roti gandum. Gandum yang ditanam sendiri di kebunnya. Beliau sendiri juga yang membuat roti gandum tersebut. Setelah jadi, roti tersebut disimpan dalam peti rapat-rapat. Punggawa yang mengetahui hal itu langsung menanyakan kepada Ali kenapa sampai dikunci rapat-rapat, padahal hanya gandum, tidak akan ada orang yang berkeinginan untuk mengambilnya. Kemudian Ali mengutarakan alasannya mengapa roti gandum tersebut sampai disimpannya rapat-rapat, yakni beliau tidak ingin anak-anaknya commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengetahui hal itu, jika sampai diketahui oleh anak-anaknya pasti akan diganti dengan makanan yang lebih layak dan enak.
3. Dialog III (SM: 53c-62) Dialog ketiga ini berisi tentang gambaran kondisi alam yang terjadi saat itu serta bagaimana reaksi masyarakat dengan kondisi alam yang seperti itu. Berikut ada dua macam kondisi suatu bangsa dilihat dari reaksi masyarakat terhadap keempat musim yang sering terjadi di masyarakat, yaitu: a. Kondisi bangsa yang sejahtera Bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang senantiasa bersyukur dengan kondisi alam yang senantiasa berganti. Baik itu musim penghujan,musim kemarau,musim angin besar, maupun musim tidak ada angin sama sekali, mereka tetap menerima, menikmati dan mensyukurinya. Pada waktu musim penghujan, atau istilah Jawanya “rendeng”, masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Karena menurutnya di musim penghujan, air hujan sangat potensial untuk menyuburkan tanah dan membuat tanamantanaman semakin tumbuh subur. Air hujan juga bisa menyerap debu-debu yang bertebaran. Selain itu, air hujan juga bisa menghanyutkan sampahsampah yang mengumpul di sungai-sungai. Cuaca di musim penghujan yang tidak begitu panas, membuat tubuh terasa segar. Bagi mereka, musim kemarau, atau istilah Jawanya “katiga” pun juga bisa memberikan kemanfaatan yang luar biasa. Barang-barang atau benda-benda yang dijemur akan lebih cepat keingnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
138 digilib.uns.ac.id
Ketika musim angin besar tiba, mereka juga menerimanya dengan senang hati karena dengan adanya angin besar bisa menghilangkan bau di lingkungan sekitar yang tidak sedap. Ketika tidak ada anginpun, mereka tidak mudah mengeluh justru mereka bersyukur karena aktivitas atau pekerjaan mereka tidak terhalang oleh angin besar. b. Kondisi bangsa yang tidak sejahtera Suatu kondisi bangsa yang tidak sejahtera ditandai dengan kondisi alam yang cukup buruk dengan penerimaan masyarakat yang tidak baik pula. Ketika musim penghujan tiba, masyarakat menyambutnya dengan bersedih hati karena barang-barang atau benda-benda yang sedang dijemur lama keringnya. Jalan-jalan yang belum beraspal juga menjadi becek sehingga menyebabkan orang-orang terhalang untuk melakukan aktivitas. Cuaca dingin yang terjadi di musim penghujan ini juga menyebabkan tubuh menggigil kedinginan dan perut terasa kembung penuh udara sehingga mereka lebih memilih untuk bertahan di rumah saja. Apalagi ketika musim kemarau panjang tiba, masyarakat semakin merasa sedih dan berkeluh kesah karena cuacanya sangat panas. Debu-debu banyak yang bertebaran membuat penglihatan jadi terganggu. Ketika tidak ada angin, bau tidak sedap di lingkungan sekitar semakin menyengat dan mengganggu ketentraman masyarakat. Selain kondisi alam yang buruk, suatu kondisi bangsa yang tidak nyaman dan tidak tentram ditandai dengan sikap masyarakat saat itu yang berbuat sekehendak hatinya. Banyak masyarakat berbuat tanpa didasari moral dan etika yang baik. Hilang rasa saling menghormati dan menghargai. Tidak commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai rasa belas kasihan sedikitpun terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kondisi seperti ini bisa diperparah jika pemimpinnya hanya mementingkan dirinya sendiri, berbuat sewenangwenang, tergila-gila dengan jabatan, dengan membawa misi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tidak bisa memberikan teladan yang baik bagi jajaran
pemerintah
dan
rakyatnya.
Rakyat
yang
hidup
dibawah
kepemimpinannya merasa tertekan, tidak nyaman, tidak tentram, membuat mereka tidak bersedia mengabdi negara dengan tulus.
4. Dialog IV (SM: 71-90) Dialog keempat ini berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja yang pernah memerintah di Jawa (Mataram, Surakarta, Yogyakarta) mulai dari Kyi Ageng Sela hingga PB VIII. Berikut uraiannya: 1) Kyai Ageng Sesela Ketika masih muda, Kyai Ageng Sesela gemar sekali tentang hal-hal keprajuritan, hingga akhirnya diangkat menjadi prajurit Tamtama di Demak. Beliau juga gemar bertapa, rajin berpuasa, dan sedikit tidur. Beliau juga suka menimba ilmu kepada orang-orang berilmu hingga beliau menguasai ilmu kasampurnan. Saat usianya yang semakin lanjut, beliau rajin sekali melakukan budi kapandhitan, meyakini agama Islam. Siang malam senantiasa sembah Hyang, dengan penuh harap memohon kepada Allah semoga beliau bisa mengemban amanah sebagai pemimpin di Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
2) Kyai Ageng Nis Seorang raja yang kesehariannya hanya nyantri (belajar ilmu agama). Beliau gemar sekali bertapa di hutan, menuruni jurang dan mendaki gunung. Karena kegemarannya itu hingga beliau mendapat gelar Bagus Awis. Selain bertapa, beliau juga gemar mendatangi orang-orang pintar untuk menimba ilmunya, hingga bertemu dengan seorang kyai bernama kyai Beluk di desa Laweyan.
3) Kyai Ageng ing Pamanahan Seorang raja yang gemar bertapa brata mardi budi utami. Cara berpikirnya tata titi tatas patitis. Senantiasa waspada terhadap perbuatan nista. Saat itu beliau sedang bertapa, hidup sementara di daerah Pajang. Beliau adalah seorang raja yang dalam dan tajam cara berpikirnya, halus persaannya, tajam mata batinnya, yakni bisa mengetahui kejadian yang bakal terjadi, hingga mendapat gelar Kyai Pamanahan (nama aslinya Kyai Ngabdurrahman). Karena kemampuan beliau yang bisa memprediksi masa depan, banyak orang di daerah Pajang tersebut yang meminta bantuan beliau. Sebagai ucapan terimakasih orang-orang di daerah itu memberikan tanah di daerah Mataram, hingga beliau mendapat julukan sebagai Kyai Ageng Mataram.
4) Kanjeng Panembahan Senapati Seorang raja muda yang tangguh dan teguh. Meskipun telah mempunyai kesaktian dari ayahandanya, tetapi beliau tetap rajin bertapa brata mati raga, rajin berpuasa dan sedikit tidur, berharap kepada Yang Maha Murba Misesa semoga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
terlaksana apa yang telah diwasiatkan oleh ayahandanya, yakni seorang raja yang bisa memimpin kerajaannya dan merangkul semuanya. Seorang raja yang penuh kelembutan mengasihi sesama manusia.
5) Kanjeng Sinuhun Seda Krapyak Sinuhun Seda Krapyak adalah seorang raja yang penuh perhatian dan senantiasa mengasihi keluarga, para abdi dan jajaran pemerintahannya. Namun ada satu hal kelemahan beliau yakni karakter beliau yang kurang teguh pendiriannya hingga mudah sekali berubah pemikirannya.
6) Kanjeng Sinuhun Sultan Agung Sinuhun Sultan Agung adalah seorang raja yang gemar bertapa, sangat patuh terhadap perintah agama. Seorang raja yang sangat menghormati para ulama yang ahli di bidang syariat, hakikat, tarikat, dan ma’rifat. Dalam menjalankan amanah sebagai seorang raja, Kanjeng Sinuhun Sultan Agung menggunakan 3 teori yang dikenal dengan ambeg Trimurti, yakni 1)ambeging ratu utami, 2)ambeging wali, 3)ambeging prajurit. Ambeging ratu utami adalah sebagai seorang raja harus senantiasa peka, awas, waspada, adil, teguh pendirian, mampu membuat senang para jajaran pemerintahan di bawahnya, mengasihi kaum fakir miskin, dan bijak dalam hal pembagian wilayah kerja sesuai dengan kemampuan punggawanya. Ambeging wali adalah sebagai seorang raja harus patuh terhadap ajaran agama Islam, gemar bertapa, sedikit makan, sedikit tidur. Seorang raja harus paham tentang ilmu hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang commit to user
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
raja yang senantiasa pasrah, tawakal terhadap keputusan Allah Yang Maha Menguasai alam jagad raya. Ambeging prajurit adalah seorang raja harus tangguh, teguh pendirian, pemberani, waspada, Raja harus kritis terhadap permasalahan yang ada. Dalam peperangan, seorang raja harus kuat fisiknya, tangguh, dan pemberani. Namun ada satu hal dari Sultan Agung yang kurang begitu bagus untuk diteladani yakni sikap beliau yang masih suka menjarah desa.
7) Kanjeng Sinuhun Tegal Arum Sinuhun Tegal Arum adalah seorang raja yang sangat perhatian terhadap keluarga dan jajaran pemerintahannya. Setiap perkataan beliau yang keluar membuat hati tentram bagi yang mendengar, tetapi terkadang ada yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Terkadang masih suka memperhatikan hal-hal kecil yang
sangat
remeh.
Suka
memuja
kecantikan
wanita.
Jika
jajaran
pemerintahannya melakukan kesalahan, tanpa berpikir panjang, beliau langsung memarahinya. Di medan peperangan, Sinuhun Tegal Arum kurang begitu pemberani dan tangguh.
8) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Bawa Sinuhun Mangkurat Bawa adalah seorang raja yang sangat pemberani dan tangguh dalam peperangan. Gaya bicaranya menyenangkan, ramah terhadap siapapun, tetapi kadang suka berubah pendirian, sekarang putih, keesokannya merah. Jika sudah punya keinginan yang kuat, beliau akan berusaha keras mewujudkannya.
commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
9) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Mas Meskipun sudah dewasa, tetapi terkadang karakter beliau masih seperti anak-anak. Sinuhun Mangkurat Mas adalah seorang raja yang dermawan, gemar memberi kepada para punggawanya. Namun ada beberapa sikap dari Sinuhun Mangkurat Mas yang tidak baik untuk diteladani yakni: suka bermain wanita,. suka bercanda dan bersendau gurau secara berlebihan, suka mengingkari janji, tidak patuh terhadap nasehat ayahandanya, kurang tangguh dan berani di medan peperangan.
10) Kanjeng Sinuhun PB I Sinuhun PB I adalah seorang raja yang penyabar, halus budi pekertinya, senantiasa bersyukur dan tawakal terhadap pemberian Allah, setiap pendapat dan masukan dari jajaran pemerintahannya baik itu baik maupun buruk, tidak langsung dituruti, melainkan dipikirkan lebih dalam lagi. Beliau adalah seorang raja yang gemar menyepi di daerah yang sepi, untuk menenangkan hati dan pikirannya, mendekatkan diri kepada Allah memohon petunjuk.
11) Kanjeng Sinuhun Prabu Amangkurat Sinuhun Prabu Amangkurat adalah seorang raja yang sangat perhatian dan mengasihi keluarga, para abdi dan jajaran pemerintahan di bawahnya. Gemar memberikan uang kepada mereka. Seorang raja yang tidak suka membandingbandingkan status, semua dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
commit to user
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
12) Kanjeng Sinuhun PB II Sinuhun PB II adalah seorang raja yang penyabar, halus budi pekertinya, dan
baik
hatinya.
Senantiasa
menyayangi
para
abdi
beserta
jajaran
pemerintahannya dan para ulama. Namun ada satu hal dari beliau yang kurang begitu bagus untuk diteladani yakni menerima semua pendapat dan masukan dari jajaran pemerintahan di bawahnya, semua dipakainya tanpa dipertimbangkan lebih dalam lagi baik buruknya.
13) Kanjeng Sinuhun PB III Sinuhun PB III adalah seorang raja yang sangat perhatian dan mengasihi keluarga, para abdi dan jajaran pemerintahan di bawahnya. Gemar bekerja dan membuat benda-benda yang terbuat dari kayu. Beliau sangat menyukai karya sastra hingga bersahabat dekat dengan seorang ahli sastra bernama Yasadipura I.
14) Kanjeng Sinuhun PB IV Sebelum terjadi pemberontakan Pakepung, watak Sinuhun PB IV masih polos dan bersih. Namun pada perkembangannya, beliau menjadi mudah dipengaruhi oleh orang lain yakni ada tujuh orang. Begitu mudahnya beliau menerima ide-ide buruk dari ketujuh orang itu. Ada beberapa punggawa yang menyanggah dan tidak sepakat dengan ide tersebut. Hingga terjadilah pemberontakan Pakepung ketika Garebeg Maulud tahun 1717 Jawa. Ketujuh orang tersebut adalah Mbah Man, Wiradigda, Kandhuruhan, Pasêngah, Mat Saleh, Sujanapura dan Wartajaya. Ketujuh orang tersebut akhirnya ditangkap. Setelah kejadian tersebut, Sinuhun PB IV kembali ke jalan yang benar dengan mematuhi commit to user
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perintah agama dan menghormatai para alim ulama. Beliau semakin rajin beribadah sesuai dengan tuntunan agama Islam dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hingga sampai akhirnya beliau mendapat gelar Sinuhun Bagus Waliyullah ing Cêmadi.
15) Kanjeng Sinuhun PB V Sinuhun PB V adalah seorang raja yang sangat pandai dalam hal kesusastraan, suka mempelajari karya-karya sastra Jawa Kuna. Beliau menjabat sebagai raja hanya dalam waktu tiga tahun.
16) Kanjeng Sinuhun PB VI Sinuhun PB VI adalah seorang raja yang penyabar, bersyukur dengan apa yang telah dimiliki. Beliau adalah orang yang supel terhadap siapapun. Gaya bicaranya sangat menyenangkan, ramah. Seusai turut dalam peperangan Dipanagara, beliau memutuskan untuk bertapa di pulau Ambon.
17) Kanjeng Sinuhun PB VII Sinuhun PB VII adalah seorang raja yang sangat pemberani, tangguh, teguh pendirian, tegas, waspada, sabar dan berlaku adil terhadap siapapun. Gaya bicaranya sangat santun dan jelas. Karena sifat, karakter dan sikap beliau yang patut diteladani, semua rakyat, para abdi dan punggawa sangat menyukai Sinuhun PB VII, sampai sedia mengabdi dalam keadaan bagaimanapun. Semasa pemerintahannya, semua rakyat hidup sejahtera. Jaringan beliau cukup luas sampai ke mancanegara.
commit to user
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
18) Kanjeng Sinuhun PB VIII Sinuhun PB VIII adalah seorang raja yang multi talenta (serba bisa). Beliau gemar sekali melakukan olah budi, menenangkan diri dan mengheningkan cipta di setiap siang dan malam harinya. Hatinya sangat lembut, penyabar dan tidak pernah marah. Beliau sangat menyayangi keluarga, para abdi, punggawa dan jajaran pemerintahan di bawahnya.
commit to user
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan terhadap teks Serat Mudhatanya dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan kajian filologis, dapat diketahui bahwa naskah Serat Mudhatanya adalah naskah pertama dan naskah tunggal, yang tersimpan di dalam museum Sana Budaya Yogyakarta dengan nomor katalog PB C56. Teks SM berbentuk prosa dan disajikan dalam bentuk dialog, yang terdiri atas empat dialog. Naskah SM ini dikarang oleh R.T.Purbadipura, seorang Abdidalem Bupati Anom Gedong Tengen Karaton Surakarta, ditulis oleh Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. Dari hasil kritik teks ditemukan beberapa kesalahan tulis, yaitu lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi, juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan dan variasi penulisan kata. Sehingga naskah ini rusak/ korup. Metode penyuntingan teks menggunakan metode suntingan edisi standar untuk menghasilkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Jadi, suntingan teks SM yang telah dihasilkan dalam penelitian ini adalah suntingan atau edisi teks yang pertama dan bersih dari kesalahan (penulisan dan ejaan). 1) Berdasarkan kajian isi, naskah Serat Mudhatanya adalah naskah yang berisi ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilengkapi dengan beberapa contoh gaya kepemimpinan para Nabi, dan para sahabat Nabi Muhammad SAW,to serta commit user gaya kepemimpinan raja-raja di
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jawa. Ada delapan ajaran kepemimpinan yang harus dipahami dan diterapkan oleh seorang pemimpin dalam memimpin keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya, yakni: kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa. Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki seorang pemimpin harus digunakan untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak. Purba berarti pemimpin harus bertanggungjawab atas semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Wisesa berarti pemimpin harus tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan. Kukum berarti pemimpin harus memperlakukan hukum yang sama terhadap siapapun. Adil berarti pemimpin harus bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Paramarta berarti pemimpin harus berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf. Dana berarti pemimpin harus rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. Pariksa berarti pemimpin harus bersungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah.
B. SARAN Berkaitan dengan simpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Penanganan awal yang telah dilakukan terhadap naskah Serat Mudhatanya dalam penelitian ini adalah secara filologis, sehingga telah dihasilkan edisi kritik teks. Selanjutnya perlu tindak lanjut dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk mempublikasikan teks Serat Mudhatanya dalam bentuk terbitan commit to user
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agar teks ini mudah dibaca, dipahami, dan dinikmati oleh masyarakat luas. Selain itu, dimungkinkan diadakannya penelitian lanjutan secara lebih mendalam dan spesifik dari bidang-bidang ilmu terkait, seperti: ilmu sastra, linguistik, serta ilmu-ilmu lainyang terkait untuk kemudian dipublikasikan, mengingat pentingnya materi kajian yang ada di dalam SB ini. 2. Penelitian yang telah dilakukan ini, sekaligus membuka peluang diadakannya penelitian lanjutan; walaupun telah menghasilkan edisi kritik naskah.
commit to user