PENERJEMAHAN TEKS SASTRA DAN BUDAYA Iriany Kesuma Wijaya Dosen Tetap STKIP YPUP Makasar Kopertis Wilayah IX E-mail:
[email protected]
Abstract Translation is the process of transferring a message from the source language into the target language by considering the range of matching and text. In the transfer of messages, a translator must master the source language and the various texts to be translated. McGuire stated that “the translator Should have a perfect knowledge of Both source language and target language”. Powered by Brislin that “the translator Should know Both the source and receptor languages, Should Be familiar with the subject matter, and Should have facility of expression in the receptor language.” Related to culture in translation Leonardi argues that the translator was faced with two languages and two cultures simultaneously, namely the language of culture and cultural sources of the target language. Culture is a culture that involves all the elements contained in these two languages the user community, namely the name, history, religion, beliefs, traditions, customs, clothing, social structure, daily life - days, social relations, food and language “. Keyword: Translation, tekxt literature, culture
A. Pendahuluan Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan, didalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca sendiri,melainkan ada ide, gagasan, pengalaman dan amanat yang ingin
97
98
Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
disampaikan kepada pembaca, dengan harapan apa yang disampaikan dapat menjadi masukan sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural. Dalam kehidupan masyarakat itu, sastra dan kebudayaan memperoleh tempat khusus, karena terjadinya hubungan erat diantara keduanya. Sastra sebagai karya seni merupakan bagian integral suatu masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan pemilik suatu kebudayaan. Keseluruhan permasalahan masyarakat yang dibicarakan dalam sastra, tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakanginya. Hal ini dikarenakan, meskipun sastra bermain dalam tataran imajinasi, sesungguhnya sastra merefleksikan ruh kultural sebuah komunitas dan refleksi evaluatif terhadap kehidupan yang melingkari diri pengarangnya. Oleh karena itu sastra memiliki peran dalam mengungkapkan aspek – aspek kebudayaan. Dengan kata lain, karya sastra adalah rekaman peristiwa kebudayaan. Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran dengan mempertimbangkan padanan dan ragam teksnya. Dalam pengalihan pesan, seorang penerjemah harus menguasai bahasa sumber dan ragam teks yang akan diterjemahkan. McGuire menyatakan bahwa “ translator should have a perfect knowledge of both source language and target language”.1 Didukung oleh Brislin bahwa “ translator should know both the source and receptor languages, should be familiar with the subject matter, and should have facility of expression in the receptor language”.2 Berkaitan dengan budaya dalam terjemahan Leonardi berpendapat bahwa penerjemah dihadapkan pada dua bahasa dan dua budaya secara bersamaan, yakni budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran. Budaya yang dimaksud menyangkut seluruh elemen budaya yang terdapat 1
McGuire,S.B,1991, Translation Studies, London and New York, Routledge, h. 5 Brislin,R.W, 1976,Translation: Application and Research, New York, Gardner Press Inc,h.47 2
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya
99
dalam kedua komunitas pengguna bahasa, yakni nama, sejarah, agama, kepercayaan, tradisi, kebiasaan, pakaian, struktur sosial, kehidupan sehari – hari, hubungan sosial,makanan dan bahasa”.3 Dengan dikuasainya beberapa hal diatas, diharapkan penerjemah dapat mengalihkan pesan yang sepadan kedalam bahasa sasaran. Kesepadanan dalam terjemahan harus dicapai bukan hanya pada pesan tetapi juga pada setiap bentuk bahasanya. Baker (dalam Leonardi : 2000:9) menyebutkan tataran padanan yang harus dicapai oleh penerjemah dalam hasil terjemahannya adalah padanan tingkat kata,padanan gramatikal, padanan tekstual dan padanan gramatikal. Kesepandanan tersebut berlaku pada semua jenis teks termasuk teks sastra. Penerjemah adalah penulis kedua, penyampai informasi, mediator antara penulis asli dan pembaca dan pengintegrasi tangguh dan handal yang harus dihargai meskipun banyak yang berpendapat bahwa hasil karya terjemahan penerjemah tidak mungkin sempurna persis seperti yang dimaksud oleh penulis aslinya apalagi terjemahan karya sastra. Penerjemah karya sastra menurut Zuchridin dapat membekali diri dengan (a) memahami bahasa sumber hampir sempurna,(b) menguasai dan mampu memahami bahasa sasaran dengan baik, benar dan efektif, (c) mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan, (d) mempunyai kepekaan terhadap karya sastra, (e) memiliki keluwesan kognitif dan sosiokulktural dan, (f) memiliki keuletan dan motivasi yang kuat”.4 Penerjemahan karya sastra bukan semata – mata pengalihan bentuk bahasa, tetapi penerjemah perlu menirukan proses penciptaan artistik, menangkap ruh karya asli, menetapkan ungkapan yang sesuai dengan perasaan, pengalaman dan menyampaikan pesan asli secara jelas tanpa mengubah gaya bahasa dan ragam aslinya. Oleh karena itu tidak semua penerjemah mampu menterjemahkan karya sastra dengan baik 3
Leonardi, Vanessa,2000, Eguivalence in Translation : Between Myt and Reality,Http:// accurapid.com./translationjournal 4 Zuchridin, Suryawinata dan Sugeng Hjariyanto, 2003, Translation : bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius,h. 153
100
Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
sehingga pesan tetap sepadan meskipun terdapat beberapa pergeseran penerjemahan(translation shifs). B. Pembahasan 1. Teks Sastra Dilihat dari fungsinya, suatu terjemahan bertujuan untuk menjembatani perbedaan ruang dan waktu”.5 Yaitu memindahkan makna dan pesan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran, serta memindahkan makna dan pesan dari suatu kurun waktu kekurun waktu yang lain yang berbeda. Seperti menerjemahkan sebuah naskah Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa sekarang. Karena kekhususan tugasnya, maka penerjemah harus memiliki kemampuan tertentu berkenaan dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi sastrawan dan kesan khusus yang ingin ditimbulkannya terhadap pembaca. Karya sastra juga mengandung emosional, efek keindahan dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya. Inilah yang disebut fungsi estetis. Oleh sebab itu penerjemah karya sastra perlu mempunyai pengetahuan tersebut yang luas tentang latar belakang sosiokultural dari bahasa sumber, karena hal ini sangat diperlukan untuk memahami benar – benar karya sastra yang sedang digarapnya. Savory ( dalam Zuchridin:2000:153) menyatakan tingkat pemahaman ini sebagai pemahaman kritis, artinya penerjemah mampu memahami teks dalam bahasa sumber itu dari segala segi dan aspeknya. Semua itu memerlukan kemampuan yang hampir sempurna dalam mempergunakan bahasa sasaran. Oleh sebab itu, penerjemahan karya sastra hanya mungkin dilakukan oleh seorang penutur asli bahasa itu. Banyak diantara para penerjemah itu sekaligus juga sastrawan kreatif sebab menerjemahkan karya sastra memerlukan kemampuan kreatif mengelola bahasa itu agar padanan yang didapat benar – benar sesuai.
5
Ibid, h. 153
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya
101
Seorang penerjemah perlu memahami bahan yang akan diterjemahkan. Untuk memahami bahan itu ia memerlukan pengetahuan dasar yang cukup dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Oleh karena itu, seorang penerjemah karya sastra perlu memiliki kemampuan untuk memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra. Menerjemahkan karya sastra merupakan usaha untuk menjembatani dua kultur yang berbeda, dengan dua bahasa yang berbeda. 2. Menerjemahkan Prosa Fiksi Prosa fiksi adalah tulisan hasil rekaan semata yang mengandung cerita, secara sederhana, jika tulisan ini panjang disebut novel, dan jika pendek serta dimaksudkan untuk diselesaikan untuk diselesaikan dengan sekali baca disebut cerita pendek”.6 Akan tetapi secara umum kedua jenis prosa ini memiliki kesamaan karakteristik, selain isi ceritanya hanya hasil rekaan semata, keduanya punya plot, punya pelaku dan menggunakan bahasa yang lugas tidak sepadat dan sehemat puisi.Tentu saja ini batasan cerpen dan novel konvensional. Karena karakteristik dan sifat – sifat yang relatif sama, maka cara menerjemahkannya pun relatif sama. Peter Newmark (dalam Zuchridin) menyatakan bahwa masalah – masalah yang menghadang penerjemah dalam menerjemahkan prosa fiksi adalah pengaruh budaya sumber dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis aslinya”.7 Dalam hal pengaruh budaya bahasa sasaran, kesulitan ini bisa berupa aturan – aturan bahasa sumber, gaya bahasa, latar dan tema. Sedangkan dalam hal pesan moral, penerjemah bisa menemukan kesulitan dalam hal idiolek dan ciri – crri khas penulis. Selain itu, perlu juga diperhatikan ciri – ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis. Dengan demikian, penerjemah tidak akan salah dalam memahami naskah aslinya, terutama dalam hal gaya penulisannya. Sementara orang memandang bahwa menerjemahkan cerpen atau novel lebih mudah dari pada menerjemahkan puisi karena kata – kata 6
Ibid, h. 154 iIbid, h. 155
7
102
Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
yang digunakan tidak sehemat dan seterpilih kata – kata pada puisi. Keindahan dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu bergantung pada pilihan kata, rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada laur cerita dan pengembangan tokoh – tokoh yang ada di dalam cerita itu. Pendapat ini tidak salah. Hanya saja jika tidak hati – hati, penerjemah bisa saja terjerumus kedalam penerjemahan kalimat perkalimat, yang kalau dibaca sepintas terlihat bagus dan runtut, tetapi secara keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya. Mengapa demikian?.Menurut Basnet-McGuire, penerjemah yang melakukan kerja seperti hipotesis diatas, memang sudah bekerja keras untuk menghasilkan naskah dalam bahasa sasaran yang enak dibaca, akan tetapi ternyata dia gagal untuk menemukan hubungan antara tiap – tiap kalimat yang diterjemahkannya dengan struktur cerpen atau novel secara keseluruhan. Akibatnya banyak pesan yang tak tersampaikan”.8 Menurut Wolfgang Iser ( dalam McGuire:1991), dalam sebuah cerpen atau novel suatu kalimat tidak sekedar ujaran yang berdiri sendiri, tetapi kalimat itu bertujuan untuk mengatakan ssuatu diluar apa yang tertulis itu, karena kalimat dalam teks sastra selalu berfungsi sebagai indikasi akan datangnya serangkaian ide yang akan menyusul”.9 Dengan cara demikian, sebuah cerita bisa terasa pekat dan mengasyikkan untuk terus diikuti, sehingga bila penerjemah hanya menganggap kalimat – kalimatnya itu sebagai kalimat yang berdiri sendiri, hanya berdasarkan makna dari tiap – tiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan kehilangan dimensi, kedalaman dan keluasan makna yang ingin disampaikan oleh penulis aslinya. Peter Newmark ( 1988) menyatakan bahwa masalah – masalah yang mungkin ditemui para penerjemah dalam menterjemahkan prosa fiksi adalah (a) pengaruh budaya bahasa sumber (BSu) dalam teks asli. Pengaruh budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar dan tema, (b) tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam operasionalnya masalah ini berada pada proses penerjemahan nama 8
McGuire,S.B,Opcit, h. 45 ibid
9
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya
103
diri, baik nama karakter atau nama tempat yang mungkin tidak dikenal dalam bahasa sasaran (BSa). Selain itu penerjemahan aturan – aturan bahasa sumber pun potensial sekali untuk menjadi masalah, disamping masalah idolek penulis, dialek karakter, dan lain – lain. Beberapa aturan umum dalam menerjemahkan naska prosa fiksi dikemukakan oleh Belloc yang dikutip oleh Basnett-McGuire (1991:116) yaitu : a. Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk menerjemahkan kata perkata atau kalimat perkalimat saja, tetapi dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya maupun karya terjemahannya. b. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idion menjadi idiom pula. Disini harus diingat bahwa idiom dalam BSu mungkin sekali mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata – kata yang digunakan tidak sama persis. Sebagai contoh idiom kambing hitam dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan scape goat dalam bahasa Inggris dan bukan black goat. Contoh lain adalah ekspresi “ it doesn’t pay”. Dalam menerjemahkan ekspresi itu , penerjemah tentu tidak bisa menerjemahkan menjadi “ itu tak bisa membayar”, tetapi “ itu tak bisa digunakan” tentu lebih benar. Jadi dalam konteks ini penerjemah perlu mencari padanan dari idiom atau ekspresi daru bahasa sumber didalam bahasa sasaran. Kalau memang betul – betul tidak ada padanannya barulah idiom itu bisa diterjemahkan. c. Penerjemah harus menerjemahkan “ maksud” menjadi “maksud’ juga. Kata “ maksud “ disini menurut Belloc berarti muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa saja muatan emosi dalam BSu-nya lebih kuat dari muatan emosi dalam padanannya dalam BSa, atau ekpresi tertentu terasa pas dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa bila diterjemahkan secara literal. Oleh karena itu seringkali penerjemah prosa fiksi terpaksa menambahkan kata – kata sebenarnya tidak adak dalam
104
Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
teks asli untuk menyesuaikan “maksud”nya dalam BSa. Sebagai contoh: suatu situasi sewaktu seorang suami, tak henti – hentinya mengomel. Lalu isterinya bilang dalam bahasa Inggris ‘ John, please”. Bagaimana cara menerjemahkan ekspresi singkat ini?. Tentu akan terdengar lucu bila diterjemahkan menjadi “ John , silahkah”, Kita lihat dulu maksudnya. Si istri bermaksud meredakan amarah sang suami dengan menyuruhnya menahan diri atau bersabar. Setelah mengetahui hal ini mungkin lebih baik kalau ekpresi itu kita terjemahkan menjadi “John, sudahlah”. It’s a cake bisa juga berarti mudah sekali bila terdapat dalam wacana berikut: -
The Problem is nobody will drive.
-
It’s a cake. I got my license yesterday ( dari Batman : The Knightfall)
d. Penerjemah harus waspada terhadap kata – kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam BSu dan BSa, tetapi sebenarnya berbeda. Sebagai contoh kalimat “ I won’t be long” dalam bahasa Inggris sekilas sama dengan kalimat dalam bahasa Indonesia “ saya tak akan panjang”. Setelah disimak lagi ternyata bukan itu padanannya dalam bahasa Indonesia. Padanannya adalah “ saya tidak akan lama”. e. Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang perlu diubah dari BSu kedalam BSa dengan tegas. Lebih jauh Belloc mengatakan bahwa inti dari kegiatan menerjemahkan cerita fiksi adalah kebangkitan kembali “ jiwa asing “ dalam tubuh “ pribumi”. Yang dimaksud dengan jiwa asing adalah makna cerita dalam BSu dan tubuh pribumi adalah bahasa sasaran ( BSa). f. Walaupun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah, tapi pada tahap ini, Belloc mengatakan bahwa penerjemah tidak boleh membubuhi cerita aslinya dengan ‘ hiasan – hiasan’ yang bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah seklaipun. Tugas penerjemah adalah menghidupkan “ jiwa asing” tadi, bukan mempercantiknya, apalagi memperburuknya.
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya
105
Dengan keenam prinsip diatas, Belloc ingin menekankan bahwa penerjemah prosa fiksi perlu mempertimbangkan bahwa naskah merupakan satu keseluruhan yang berstruktur, disamping dia juga mempertimbangkan pentingnya hal – hal yang berhubungan dengan gaya dan tata kalimat. Belloc juga mengakui bahwa adanya kewajiban moral bagi para penerjemah untuk setia pada naskah aslinya. Akan tetapi dia juga merasa bahwa penerjemah juga mempunyai hak untuk menambah dan mengurangi kata – kata dalam naskah asli dalam proses penerjemahannya agar hasil terjemahannya nanti sesuai dengan aturan – aturan idiomatic dan gaya bahasa BSa. Dengan demikian jelas sekali bahwa dalam penerjemahan prosa fiksi ( cerpen/novel), penerjemah mementingkan makna, pesan, dan gaya dalam BSu. 3. Menerjemahkan Puisi Sebagai salah satu bentuk seni sastra, puisi mempunyai ciri – ciri yang dimiliki oleh bentuk – bentuk seni sastra yang lain. Ada dua ciri menonjol dalam sastra, yaitu keindahan dan ekspresi. Akan tetapi, jika dicermati, puisi adalah salah satu jenis seni sastra yang cukup berbeda dengan jenis – jenis lain, seperti cerpen, novel dan drama. Dalam puisi keindahan tidak dicapai dengan sarana pilihan kata saja, tetapi disana penyair menciptakan ritme, irama, serta emosi – emosi yang khas dengan cara membuat ungkapan – ungkapan yang khas pula, yang kadang kala ditulis dengan tidak mengikuti kaidah umum. Disamping itu juga puisi juga merupakan wahana bagi penyair untuk mengungkapkan gagasan dan perasaannya. Pesan atau makna yang disampaikan oleh penyair ini biasanya kaya sekali akan nuansa yang dihasilkan dari efek bunyi, kiasan tertentu dan sebagainya. Dan ini semua bisa saja luput dari penangkapan seorang pembaca. Dalam menciptakan puisi, seorang penyair menuangkan suara jiwanya dengan bahan kata – kata. Tentu saja kata – kata ini adalah hasil pemilihan yang cermat dengan memperhatikan efek bunyi tertentu untuk mengungkapkan emosi tertentu serta makna dan pesan tertentu
106
Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
pula. Dalam puisi , tentu ada pesan yang ingin disampaikan pembuatnya melalui pilihan kata – kata yang disusunnya. Suatu pesan dalam puisi bahasa tertentu, dapat juga disampaikan dalam bentuk bahasa lain. Oleh karena itu, Sastra puisi dapat juga diterjemahkan kedalam bahasa sasaran. Salah satu metode yang bisa diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan puisi yaitu Terjemahan Literal. 4. Penerjemahan Literal ( harfiah) Penerjemahan literal ( literal translation) atau disebut juga penrjemahan lurus ( linier translation) berada diantara penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas ( free translationi), Dalam proses penerjemahannya, penerjemah mencari konstruksi gramatikan BSu yang sepadan atau dekat dengan Bsa”.10 Penerjemahan literal ini menurut Hartono terlepas dari konteks. Penerjemahan ini mula – mula dilakukan seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata – katanya sesuai dengan gramatikal BSa. Penerjemahan literal merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam proses terjemah. Teknik ini mencoba menterjemahkan sebuah kata atau ungkapan kata perkata. “ Literal translations is to translate a word or an expression word for word”.11 Yang dimaksud Molina dan Hurtado Albir dengan kata demi kata pada definisi ini, bukan berarti menerjemahkan satu akta untuk kata yang lainnya, tetapi lebih cenderung kepada menerjemahkan kata demikata berdasarkan fungsi dan maknanya dalam tataran kalimat. Penerjemahan tipe ini dicontohkan sebagai berikut : 1. BSu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that. BSa : Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak berbuat seperti itu. 2. BSu : It’s raining cats and dogs. BSa 10
: Hujang kucing dan anjing
Rudi Hartono,2011,Teori Penerjemahan ( A Handbook for Translators), Semarang, Cipta Prima Nusantara,h. 19 11 Hurtado Albir,A and Molina L, 2001, Assessment in Translation Studies: Research Needs, Meta,XLVII,2 Spain, Barcelona, Universitat Autonoma de Barcelona. H. 510
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya
107
3. BSu : His hearth is in the right place
BSa
: Hatinya berada ditempat yang benar
4. BSu : The Sooner or the later the weather will change
BSa
: Lebih cepat atau lebih lambat cuaca akan berubah”.12
Hasil terjemahan diatas, beberapa kalimat yang diterjemahkan secara literal terasa janggal, misalnya kalimat ke dua sebaiknya diterjemahkan “ hujan lebat” atau “ hujan deras”. Kalimat ketiga, sebaiknya diterjemahkan menjadi “hatinya tentram”. Namun jika demikian hasil terjemahannya, memang lebih condong pada penerjemahan bebas. Demikian pula pada kalimat ke empat, diterjemahkan menjadi “ cepat atau lambat cuacanya akan berubah”. 5. Unsur Budaya dalam Penerjemahan Sebuah teks sumber tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, faktor budaya yang melatari penulisnya, norma yang berlaku dalam bahasa sumber serta budaya tulis dan cetak dalam bahasa sumber. Pada sisi teks sasaran, faktor yang mempengaruhi adalah calon pembaca yang diperkirakan, norma yang berlaku pada bahasa sasaran, kebudayaan yang melatari bahasa sasaran dan penerjemahnya. Kebudayaan pada dasarnya mencakup semua faktor dalam dinamika peenrjemahan baik pada bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kebudayaan bersifat khas bagi masyarakat tertentu dan penguasaannya tidak secara naluriah melainkan melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dari generasi ke generasi. Karena kebudayaan bersifat khas bagi suatu masyarakat, maka tidak ada dua kebudayaan yang sama. Teks adalah salah satu jenis perwujudan bahasa, jadi merupakan salah satu dari ketujuh unsur kebudayaan. Namun dalam teks dapat dibicarakan sebagian atau seluruh unsur kebudayaan pada suatu masyarakat. Apabila penerjemahan ditinjau sebagai suatu proses dialog kebudayaan, maka dapatlah kiranya kita menyetujui definisi penerjemahan Venuti (dalam Benny Hoedoro Hoed) bahwa :” 12
Rudi Hartono, Opcit, h. 20
108
Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
Translation ia a process by which the chain of signifier that constitutes the source-langhuage text is replaced by a chain of signifier in the target language which the translator provides on the strength of an interpretation”. 13 Karena penafsiran penrjemah menjadi penting,terutama dalam teks yang kental dengan aspek budaya, maka benarlah apa yang dikatakan Venuti “Both foreign text and translation are derivative” . Dalam penerjemahan karya sastra hal ini sangat dominan. C. Kesimpulan Dari bahasan diatas, disimpulkan bahwa dalam penerjemahan karya sastra beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh penerjemah yaitu sebuah karya sastra merupakan suatu karya yang berstruktur dan utuh yang memiliki gaya dan tata kalimat yang khas. Oleh karena itu penerjemah karya sastra berkewajiban untuk menyampaikan pesan teks sastra dengan baik. Dalam menyampaikan pesan teks tersebut maka penerjemah tetap memiliki hak untuk menambah dan mengurangi kata – kata dalam naskah asli dalam penerjemahannya agar hasil terjemahannya tetap setia terhadap pesan teks.
DAFTAR PUSTAKA Brislin,R.W, 1976,Translation: Application and Research, New York, Gardner Press Inc Hoed, Benny Hoedoro,2006, Penerjemahan dan Kebudayaan,Bandung, Dunia Pustaka Jaya Hurtado Albir,A and Molina L, 2001, Assessment in Translation Studies: Research Needs, Meta,XLVII,2 Spain, Barcelona, Universitat Autonoma de Barcelona
13 Hoed, Benny Hoedoro,2006, Penerjemahan dan Kebudayaan,Bandung, Dunia Pustaka Jaya,h.80
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya
109
Leonardi, Vanessa,2000, Eguivalence in Translation : Between Myt and Reality,Http://accurapid.com./translationjournal McGuire,S.B,1991, Translation Studies, London and New York, Routledge Rudi Hartono,2011,Teori Penerjemahan ( A Handbook for Translators), Semarang, Cipta Prima Nusantara Zuchridin, Suryawinata dan Sugeng Hjariyanto, 2003, Translation : bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius