BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berbagai etnis di Indonesia mempunyai tradisi lisan yang masih hidup dan berkembang, serta masih diakrabi oleh masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Akan tetapi, tradisi lisan tersebut semakin lama semakin berkurang karena berkurangnya masyarakat pendukungnya. Salah satu yang menyebabkan hal tersebut adalah mobilitas, globalisasi, dan teknologi
yang terjadi di dalam masyarakat.
Penyebab lainnya lagi karena adanya gerakan modernisasi yang dilakukan oleh negara dan pasar dalam berbagai bentuk (Abdullah, 2007: 73). Sekarang ini, tradisi lisan semakin menghilang disebabkan sulitnya mempertahankan tradisi penikmatan dengan cara berkumpul bersama-sama, yang membutuhkan waktu dan tempat untuk menikmati penyampaian tersebut (lihat juga Ritzer, 2008: 242-243). Padahal menurut Habermas, hanya melalui interaksi dan komunikasilah orang dapat menguasai masyarakat, membentuk gerakan sosial, dan meraih kekuasaan (Agger, 2008: 189). Dinamika kehidupan masyarakat pun sangat berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada tradisi lisan yang dimilikinya. Perubahan-perubahan 1 yang terjadi di dalam masyarakat disebabkan oleh terjadinya 1
Pola perubahan tersebut ada dua macam, yaitu yang datang dari negara (state) dan yang datang dari bentuk pasar bebas (free market). Potensi pasar cukup menentukan perubahan yang terjadi di masyarakat, pasar mempunyai sejumlah potensi untuk mengubah dan mengatur selera masyarakat (Salim, 2002: 13-14).
1
perkembangan di berbagai sektor seperti pendidikan, politik, ekonomi, ataupun kepercayaan. Masyarakat telah berubah secara cepat disebabkan oleh berbagai kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar. Menurut Abdullah (2007: 16-19), ada tiga tahap perubahan yang terjadi secara meluas di dalam masyarakat. Pertama, masuknya pasar ke dalam masyarakat yang berkultur agraris yang mengubah sistem barter menjadi sistem upah. Kedua, terjadinya intergrasi pasar yang semakin kuat sejalan dengan terikatnya penduduk ke dalam tatanan ide, nilai, dan praktik yang bersifat nasional yang lebih luas. Ketiga, ekspansi pasar, yakni perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial (lihat juga Polanyi 2003: 92). Perubahan tidak lagi bersifat nasional, tetapi sudah global dengan serangkaian nilai dan norma baru. Ketiga perubahan ini dapat dilihat melalui berbagai fakta 2 yang ada di dalam masyarakat (bandingkan dengan Fukuyama, 2000: 19). Agger (2008: 183) mengatakan bahwa budaya masa kini hanya memerlukan alat pengontrol jarak jauh untuk mencari saluran dan mengklik dari satu website ke website lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat berakibat juga pada tradisi yang ada dan dipunyainya, tidak terkecuali pada tradisi lisan. Keberadaan tradisi lisan tidak bisa dilepaskan dari sejarah serta aspek tertentu dalam kehidupan 2
Berbagai macam fakta tersebut, yakni; (1) munculnya mode produksi baru dalam kehidupan penduduk dengan berbagai pilihan telah menyebabkan terjadinya diferensiasi; (2) melemahnya ikatanikatan tradisional seperti hubungan antargenerasi dan perkawinan mengalami perubahan, kultur kehilangan kontrol terhadap sistem sosial; (3) posisi mesin dan teknologi semakin penting yang cara kerja dan nilai-nilainya sangat mempengaruhi ritme kehidupan dan norma-norma yang terbentuk (Abdullah, 2007: 20).
2
masyarakatnya. Jika dikaitkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa kini, tradisi lisan harus diakui mempunyai kekuatan dan sumber daya yang besar artinya, dan tidak dapat dilepaskan baik dari wawasan nilai, konsepsi ideologis, maupun
konsepsi
budaya
yang tumbuh
dalam
masyarakat
pendukungnya
(Aminuddin, 1999: 3). Dengan demikian, kekayaan budaya yang terpendam di dalam tradisi lisan dari berbagai daerah harus diangkat dan disajikan secara terbuka agar dapat dipelajari. Hal ini karena di dalam tradisi lisan yang dapat digolongkan sebagai produk masa lampau tersimpan berbagai informasi yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan, seperti sosial, budaya, hukum, adat-istiadat, politik, pemerintahan, pengobatan, ekonomi, ajaran agama, ajaran moral, dan sebagainya (ChamamahSoeratno, 2011: 44). Di antara sekian banyak bentuk tradisi lisan yang ada di Indonesia, salah satunya adalah tradisi sastra lisan yang ada pada suku bangsa Makassar 3 di Sulawesi Selatan. Semua tradisi lisan tersebut lahir dalam bahasa daerah yang menjadi media pengucapan tradisi lisan itu. Bahasa daerah yang digunakan tentulah merupakan bagian dari kebudayaan daerah tradisional dan dianggap sebagai bahasa yang paling
3
Kata Makassar dipakai sebagai nama suku bangsa dan nama daerah yang didiami, kata ini pun bermakna sebagai nama bahasa yang dipakai oleh suku bangsa tersebut sebagai alat komunikasi (Arif dan Hakim, 1993: 1-2). Makassar dalam penelitian ini adalah wilayah atau bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasa Makassar dan dipakai secara luas. Daerah-daerah tersebut adalah kabupaten Pinrang (sebagian pesisir); kabupaten Pangkajene dan Kepulauan bagian barat; kabupaten Maros bagian barat dan selatan; Kota Ujung Pandang (sekarang Makassar); kabupaten Gowa; kabupaten Takalar; kabupaten Jeneponto; kabupaten Bantaeng; kabupaten Bulukumba (sebagian besar); kabupaten Selayar; kabupaten Sinjai bagian barat dan tenggara; perbatasan selatan kabupaten Bone (Basang dan Arief, 1981: 2).
3
tepat untuk mengekspresikan isi dari kebudayaan daerah yang bersangkutan (Rosidi, 1995: 125 – 126). Sastra lisan tersebut disampaikan dan diwariskan turun-temurun secara lisan dan diakui sebagai milik bersama (komunal) yang anonim (Soekono, 1985: 3). Dalam masyarakat semacam ini, tukang cerita mempunyai peranan yang sangat penting karena melalui cerita yang dipentaskannya terkandung nilai-nilai dan informasi yang relevan untuk masyarakat yang bersangkutan (Teeuw, 1994: 22). Di samping itu, sastra lisan tersebut mungkin memuat berbagai peristiwa yang terjadi ataupun kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut (Finnegan, 1977: 3). Karya sastra yang diciptakan tersebut dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, serta kepercayaan mereka. Oleh sebab itu, melalui sastra lisan Makassar --dalam hal ini Sinrilik-- dapat dijajaki dan dipelajari sejumlah aspek kehidupan masyarakat Makassar yang selama ini membentuk perilaku, nilai, pikiran, serta sikap mereka secara berkelanjutan. Hal ini diperlukan dalam kaitannya dengan pembangunan budaya bangsa. Pengenalan, pemahaman, serta penghayatan terhadap nilai-nilai, yang pernah hidup dalam masyarakat tersebut, dianggap sebagai modal utama untuk melihat relevansi antara produk masa lampau, masa kini, dan masa depan (Chamamah-Soeratno, 2002:3). Tradisi lisan tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat tradisional, tetapi dapat menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru, dan sekaligus dapat menjadi sumber dari sebuah proses penciptaan baru (Esten, 1998: 1). Dalam kesusastraan Makassar, dikenal tiga cara penyampaian pikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk prosa, puisi, dan di tengah-tengahnya adalah bentuk 4
prosa lirik (lihat juga Robson, 1994: 45). Yang termasuk ke dalam bentuk prosa ialah (1) rupama (dongeng), (2) pau-pau (cerita), (3) patturioloang (silsilah orang dahulu). Yang termasuk ke dalam bentuk puisi yaitu (1) doangang (mantra), (2) pakkiok bunting (memanggil pengantin), (3) dondo (puisi untuk anak kecil), (4) aru (ikrar setia), dan (5) kelong (puisi/ nyanyian). Yang termasuk ke dalam prosa lirik ialah royong dan sinrilik (Nur, 1973: 27 – 61). Kesemua bentuk kesusastraan Makassar ini ada yang sudah ditulis dan dibukukan, tetapi sebagian besar masih tersebar secara lisan. Melihat semakin pesatnya perkembangan modernisasi yang berlangsung dewasa ini, Ikram (1980/1981: 62) mengatakan bahwa sastra lisan pun semakin terancam punah karena hilangnya perhatian masyarakat terhadapnya. Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai dan sikap hidup yang juga telah berubah. Kenyataan ini pun terjadi pada tradisi lisan yang ada dalam kesusastraan Makassar khususnya sinrilik. Sastra lisan yang telah disebutkan tersebut biasa digunakan pada upacaraupacara adat, misalnya, pada upacara kelahiran anak, khitanan, pesta perkawinan, upacara pelamaran, hendak memulai suatu pekerjaan (misalnya: naik rumah baru, turun sawah, melaut), atau pun pada upacara pelantikan dan yang paling banyak dan sering adalah sebagai hiburan pada waktu senggang. Seiring dengan perjalanan waktu serta pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, sastra lisan yang ada pada suku Makassar pun mengalami proses pengasingan. Pada saat ini, penyampaian sinrilik sudah sangat jarang dilakukan begitu pula dengan pasinrilik (orang yang membawakan sinrilik) semakin berkurang 5
jumlahnya, bahkan anak-anak muda ada yang sudah tidak mengetahui lagi apa sinrilik itu. Sementara itu, regenerasi pasinrilik bisa dikatakan tidak berlangsung lagi. Ikram (1980/1981: 63) mengatakan perlunya perhatian terhadap pemilik sastra lisan yang biasanya sudah lanjut usia sehingga di banyak daerah, sastra tersebut sudah mendekati kemusnahan. Dengan demikian, sangat diperlukan perhatian dan penanganan yang segera. Penelitian ini berjudul “Sinrilik Kappalak Tallumbatua: Suntingan Teks, Nilai-Nilai, Fungsi, dan Resepsinya”. Sastra lisan Makassar yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah sinrilik. Sinrilik merupakan sastra lisan yang berbentuk prosa lirik 4 yang penyampaiannya dengan cara dilagukan/diiramakan, baik dengan alat musik maupun tanpa alat musik. Sinrilik adalah cerita yang tersusun secara puitis berirama dan diceritakan/ dinyanyikan oleh seorang yang ahli yang dinamakan pasinrilik. Alat musik yang biasanya digunakan ialah sejenis rebab yang dinamakan dengan kesok-kesok. Alat ini digesek sendiri oleh si pasinrilik mengikuti irama dan nada penuturan yang agak monoton. Ada dua bentuk cara penyampaian sinrilik, yakni tanpa alat musik (Sinrilik Bosi timurung) dan dengan alat musik (Sinrilik KesokKesok). Sinrilik Bosi timurung adalah sinrilik yang berisi dan dikaitkan dengan kedukaan. Sinrilik Bosi timurung ini pada umumnya melukiskan perasaan sedih
4
Menurut Matthes (1885: 777), sinrilik sejenis puisi dan dapat disamakan dengan syair dalam bahasa Melayu. Akan tetapi, dari beberapa penelitian terhadap sinrilik disimpulkan bahwa sinrilik tidak sama dengan puisi atau pun syair karena tidak ditemukan pola persajakan maupun bait. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sinrilik adalah sejenis prosa dan digolongkan ke dalam prosa lirik/ prosa berirama (Basang, 1965; Inriati-Lewa, 1996).
6
seseorang yang ditinggalkan kekasih atau sebagai pencurahan rasa seorang duda atau janda yang baru kematian istri atau suami. Sinrilik ini tidak dinyanyikan dengan iringan kesok-kesok dan tidak disampaikan di tempat ramai, melainkan dipilih waktu yang sepi dan lengang, yakni pada saat orang mulai beranjak untuk tidur. Sinrilik Kesok-Kesok adalah sinrilik untuk hiburan. Sinrilik kesok-kesok pada umumnya berisi nyanyian kepahlawanan (Mangemba: 1994). Penyampaian sinrilik yang dibawakan oleh pasinrilik selalu disesuaikan dengan cerita yang dibawakan serta irama kesok-kesok yang dimainkan. Pada penyampaian cerita yang berupa deskripsi dan narasi, suara pasinrilik terdengar agak biasa saja dan cenderung monoton. Akan tetapi, jika cerita berada pada beberapa bagian yang bersifat klimaks untuk menceritakan mengenai peperangan terdengar lagu/ nada yang tinggi, cepat dan keras, serta bersemangat. Pada saat pertunjukan dibawakan, penonton/ pendengar akan terhanyut oleh irama lagu serta cerita yang disampaikan oleh pasinrilik. Jika pasinrilik berhasil memancing semangat para pendengar/ penonton, mereka pun turut bersemangat dan bersorak-sorak. Sweeney (1987: 108) mengatakan bahwa pencerita yang profesional dapat disamakan dengan pengusaha yang mampu menyiapkan bahan kebutuhan yang diperlukan oleh pembeli. Dengan kata lain, cerita yang dibawakan hendaknya dapat dinikmati oleh penonton/ pendengar. Dalam kesusastraan Makassar, jika orang mengatakan sinrilik, yang dimaksud adalah sinrilik kesok-kesok. Dalam penelitian ini, sinrilik yang dijadikan objek penelitian adalah sinrilik kesok-kesok. 7
Nilai dalam penelitian ini merupakan sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang dan dijadikan sebagai acuan tindakan maupun pengarti arah hidup (Sutrisno, 2005: 67). Nilai-nilai begitu pula norma-norma serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki mengikat individu dan kelompok tersebut. Fukuyama (2002: 20) mengatakan, semakin kuat mereka memegang nilai-nilai bersama tersebut semakin kuat pula rasa komunitasnya. Nilai-nilai yang diyakini bersama, disepakati, serta tertanam dalam suatu masyarakat dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu. Warisan budaya yang menjadi milik masyarakatnya diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cara-cara pewarisan nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat menurut Sedyawati (2006: 412) dapat melalui; (1) pola pengasuhan anak serta semua upaya enkulturasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga; (2) sistem pendidikan yang bersifat formal; (3) kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang dapat diikuti oleh “umum”, seperti pembacaan sastra, pagelaran seni pertunjukan, upacara-upacara tertentu, dan lain-lain. Di samping nilai yang dapat ditemukan di dalam sebuah karya sastra, terdapat pula fungsi yang juga dimiliki oleh karya sastra terutama sastra lisan. Dalam studi ini, fungsi dimaksudkan dan dihubungkan sebagai hubungan guna antara sesuatu dengan sesuatu lainnya yang didasari atas tujuan tertentu. Sesuatu dapat dikatakan memiliki fungsi jika dapat digunakan sebagai alat ataupun sarana guna mencapai tujuan. Fungsi dalam penelitian ini pun berkaitan dengan seni pertunjukan. Dalam seni pertunjukan, fungsi dapat dilihat dari dua aspek, yakni fungsi primer dan 8
fungsi sekunder (Soedarsono, 2001: 170). Fungsi primer jika seni pertunjukan itu hanya digunakan untuk dinikmati, sedangkan fungsi sekunder seni pertunjukan tidak hanya sekedar dinikmati saja, tetapi juga dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Nilai-nilai dan fungsi yang terdapat di dalam sebuah karya, kemudian diresepsi oleh masyarakat yang menerima karya tersebut. Yang dimaksud resepsi dalam penelitian ini adalah penerimaan dan sambutan pembaca atau masyarakat pembaca terhadap teks sastra. Sambutan pembaca dengan melihat reaksinya dalam menghadapi suatu teks merupakan fenomena kesastraan yang sangat menarik. Penerimaan dan sambutan pembaca tersebut berhubungan dengan keberadaan suatu teks sastra dalam rangka fungsinya kepada masyarakat (Chamamah-Soeratno, 1992: 3-6). Judul penelitian ini dipilih karena beberapa alasan. Pertama, pada awalnya, Sinrilik merupakan cerita yang sangat popular pada masyarakat Sulawesi Selatan sebelum masuknya teknologi dan alat-alat elektronik. Setelah teknologi modern, khususnya elektronik, telekomunikasi, dan komputer berkembang dengan pesat pada masyarakat, perubahan yang sangat besar pun terjadi. Sistem nilai pun telah berubah dewasa ini. Sistem nilai modern mulai menggantikan sistem nilai tradisional. Acuannya tidak lagi pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai modernitas. Abdullah (2007: 58-59) mengatakan tiga hal yang berkaitan dengan perubahan tersebut, yaitu: (1) proses transformasi keluarga tradisional ke modern dengan nilai-nilai dan hubunganhubungan sosial yang berubah; (2) berubahnya tata nilai dalam masyarakat yang tidak
9
hanya bersifat lokal dan nasional, tetapi juga global; dan (3) melemahnya peran pusat-pusat kebudayaan sebagai pengendali dan pewaris sistem nilai. Hal ini berdampak pula pada kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan. Sinrilik yang dulunya populer, kini tergantikan oleh jenis hiburan baru yang lebih bervariasi dan lebih memikat. Televisi 5, film, VCD, DVD, elekton, begitu pula dengan komputer dan internet telah menggantikan kedudukan sinrilik sebagai sarana hiburan di desa, terlebih lagi di kota (lihat juga Ritzer, 2008: 61-62). Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenal apa sinrilik itu, terlebih cerita-cerita yang ada di dalamnya. Demikian pula dengan pencerita (pasinrilik), tidak terjadi regenerasi lagi. Dengan demikian, jika tidak ada penelitian mengenai sinrilik ini, dikhawatirkan sastra lisan itu akan hilang dan tidak lagi dikenal. Pada hal, seperti dikatakan sebelumnya, di dalam teks-teks sinrilik termuat berbagai macam nilai, pandangan hidup, ajaran, adat-istiadat, gagasan, kepercayaan serta perasaan masyarakat Sulawesi Selatan yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah ingin mengungkapkan makna serta fungsi sinrilik pada umumnya dan teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua khususnya; nilai-nilai apa sebetulnya yang ingin ditanamkan oleh pencerita kepada pendengarnya melalui sinrilik tersebut.
5
Mulyana, et. Al. (1997: 228) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian LIPI yang dilakukan di Sulawesi Selatan terlihat betapa kekuatan televisi telah bereinkarnasi menjadi tirani baru dan bukan lagi sebatas potensi. Di wilayah tersebut, kekuatan televisi terbukti mampu mengubah bahkan mengatur jadwal kegiatan kehidupan masyarakat. Setelah televisi hadir, para petani mengubah waktu tidur mereka karena kerajinan menonton acara film terakhir.
10
Kedua, di Sulawesi Selatan, terdapat sekitar dua puluh judul Sinrilik belum termasuk Sinrilik yang merupakan kreasi baru. Sinrilik kreasi baru biasanya dihubungkan dengan pesan-pesan pembangunan, terutama pada masa Orde Baru seperti Sinrilikna P4, Sinrilikna Panca Sila, Sinrilikna KB, Sinrilikna Pammileang Umunga, Sinrilikna Manipol Usdek, saat ini tidak tercipta lagi sinrilik dengan cerita dan judul baru. Di antara sekian banyak Sinrilik yang ada, empat di antaranya merupakan yang paling populer dan dikatakan sebagai puncak sinrilik, yakni: (1) Sinrilikna Kappalak Tallumbatua; (2) Sinrilikna I Datu Museng; (3) Sinrilikna I Makdik Daeng Rimakka; dan (4) Sinrilikna I Manakkuk Cakdi-Cakdi (Parawansa, dkk. 1992 dan Arief dan Hakim (ed.), 1993) . Sinrilik meskipun sudah ditulis, tetapi penyampaiannya tetap masih dalam bentuk lisan. Sinrilik ditulis bukan disiapkan untuk dibaca oleh masyarakat, tetapi tetap untuk dipertunjukkan sebagai bentuk penyampaian lisan. Ketiga, Sinrilik Kappalak Tallumbatua dipilih sebagai objek kajian karena di dalamnya terdapat informasi mengenai kebesaran kerajaan Gowa di bawah pemerintahan raja Gowa XVI, yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin, sikap heroisme, ajaran moral, adat-istiadat, gagasan, serta kepercayaan yang merupakan pencerminan masyarakat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan beliau, berlangsung perang dengan Belanda yang dikenal dengan Perang Makassar. Gowa menjadi salah satu kerajaan terkuat dan terbesar pada pertengahan abad ke-17 dalam sejarah nusantara. Masa kejayaan kerajaan Gowa berakhir dengan jatuhnya 11
Sombaopu yang menjadi benteng ibu kota kerajaan yang sangat kuat dan merupakan simbol kejayaan Gowa. Hal ini disebabkan oleh kerja sama antara kompeni dengan orang Bugis yang merupakan musuh Gowa (Andaya, 2004: 2). Di dalam sinrilik ini, diceritakan kehebatan perlawanan Sultan Hasanuddin terhadap Belanda yang berlangsung selama bertahun-tahun. Hal tersebut sekaligus sebagai sarana untuk menumbuhkan dan mengembangkan jiwa nasionalisme dan semangat anti penjajahan pada masa itu. Banyak korban yang berjatuhan selama perang tersebut, baik dari pihak kerajaan Gowa maupun pihak Belanda. Perang tersebut melahirkan perjanjian yang bernama Perjanjian Bongaya tahun 1667 (Patunru, 1969). Keempat, di dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua terjadi perebutan kekuasaan (power struggle) antara Makassar, Bugis, dan Belanda. Menurut Andaya, abad ke-17 dipenuhi dengan perburuan hegemoni antara kerajaan Bugis Bone dan kerajaan Makassar Gowa. Persaingan ini terus tumbuh, baik dalam hal intensitas maupun ancaman untuk menguasai seluruh Sulawesi Selatan (2004: 14). Di samping itu, dipertentangkan antara dua tokoh dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Gowa dan Bone; Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka). Salah satu tokohnya sampai sekarang masih diperdebatkan ketokohannya oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai pahlawan atau penghianat. Bagi masyarakat kabupaten Bone, Arung Palakka adalah seorang pembebas dan pahlawan kemanusiaan karena telah membebaskan mereka dari penjajahan kerajaan Gowa (Ali dan Amal: 1989). Akan tetapi, untuk masyarakat Gowa dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya,
12
Arung Palakka dianggap sebagai penghianat karena telah bekerja sama dengan Belanda untuk berperang melawan kerajaan Gowa 6. Kelima, di dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua terdapat aspek-aspek intertekstual yang mengacu kepada analogi tokoh dan kerajaan yang dihubungkan dengan legitimasi kekuasaan pada dua raja dan kerajaan di Sulawesi Selatan. Keenam, dalam proses penerimaannya, Sinrilik Kappalak Tallumbatua telah mengalami tanggapan berupa transformasi dalam beberapa bentuk dari lisan ke tulisan dan rekaman. Yang tidak kalah penting adalah satu syair yang ditulis oleh Entji’ Amin yang berjudul “Sja’ir Perang Mengkasar” (Skinner, 1963). Transformasi ke dalam berbagai bentuk tersebut menandakan bahwa Sinrilik Kappalak Tallumbatua tersebut telah mengalami sejarah resepsi yang cukup panjang. Unsur transformasi sastra, melalui tanggapan dan penciptaan yang akan ditinjau dalam penelitian ini dianggap sebagai salah satu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Begitupula dengan masalah intertekstual yang terdapat di dalam teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Teeuw (1991: 64) mengatakan bahwa sastra mempunyai gesellschaftsbildende function (membina atau ikut membina fungsi kemasyarakatan), entah dengan cara memberontaki sistem lama, ataupun justru 6
Menurut Andaya, banyak orang Makassar mengenang kejatuhan Gowa dengan perasaan getir. Mereka menganggap bahwa sebuah kerajaan “Indonesia” sejati, telah dikhianati oleh kelompok “Indonesia” lainnya, dan menjadikan Belanda, sang “kolonial”, sebagai pemenang utamanya. Jalan pikiran seperti itulah yang dominan, khususnya setelah Indonesia meraih kemerdekaan dari Belanda sesudah melampaui pertempuran sengit sepanjang 1945-1950. Orang Bugis dan Makassar saling memperdebatkan peran tokoh masing-masing, Sultan Hasanuddin dari Goa dan Arung Palakka dari Bone-Soppeng, sebagai “Pahlawan Nasional” Indonesia yang sejati (Andaya, 2004: 2).
13
dengan cara mempertahankan sistem yang mapan. Dengan kata lain, sebuah karya sastra tidak akan bersifat tetap sepanjang sejarah. Memang, terdapat suatu identitas yang mendasar pada struktur karya sastra tersebut yang tetap sepanjang zaman. Namun, struktur tersebut terlihat bersifat dinamis. Struktur karya sastra itu akan selalu berubah sepanjang sejarah pada saat melalui pikiran pembaca, kritikus, dan sesama seniman (Wellek dan Warren, 1993: 342). Meskipun sastra lisan Makassar telah mengalami berbagai resepsi dari penikmat dengan terciptanya berbagai bentuk teks, tetapi penelitian yang mendalam dan menyeluruh terhadap teks itu belum mendapat perhatian. Dengan demikian, masih terbuka kesempatan untuk melakukan hal tersebut, terlebih lagi terhadap sambutan penikmat sebagai resepsi terhadap sastra lisan dengan menciptakan kembali teks-teks tersebut ke dalam berbagai bentuk. Penelitian yang demikian tentunya sangat menarik karena melihat kekhasan teks dalam resepsi yang cukup panjang. Teks-teks itu tentulah memuat pikiran dan pandangan serta nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya serta masyarakat Makassar khususnya. Teks-teks ini pun mencerminkan perilaku sosial budaya masyarakat tersebut.
B. Masalah Penelitian Berdasarkan pada latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah nilai-nilai, fungsi, formula pembentukan baris, dan resepsi sinrilik
dalam kesusastraan Makassar.
14
Secara rinci, permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) aspek-aspek sosial dan budaya apa saja yang melatari masyarakat pemilik sinrilik dan yang terdapat di dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua; (2) masalah transkripsi dan terjemahan Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang diambil dari hasil pertunjukan lisan; (3) bagaimana nilai-nilai dan fungsi serta amanat sastra lisan Sinrilik Kappalak Tallumbatua dalam perspektif masyarakatnya dulu dan kini; (4) bagaimana formula pembentukan barisbaris beserta aspek-aspeknya dalam kaitannya dengan proses penciptaan sastra lisan; (5) bagaimanakah transformasi sinrilik melalui tanggapan dan penciptaan ke dalam beberapa bentuk --tulisan, rekaman, drama, novel-- serta interteks yang terdapat di dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada masalah penelitian yang telah dikemukakan, secara umum tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk menerapkan teori filologi dan sastra, yakni sastra lisan yang ada pada masyarakat Sulawesi Selatan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hal-hal mengenai (1) aspek sosial dan budaya yang terdapat dalam sastra lisan SKT dan masyarakat pemiliknya; (2) transkripsi dan terjemahan Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Penelitian ini pun bertujuan untuk menghasilkan suntingan teks SKT yang dijadikan sebagai dasar kajian sastra; (3) formula yang membentuk baris-baris serta aspek lainnya yang digunakan pencerita dalam membangun cerita SKT dalam hubungannya dengan penciptaan sastra lisan; (4) fungsi dan nilai-nilai serta amanat sastra lisan SKT dalam perspektif dulu dan kini;
15
(5) transformasi teks-teks sastra lisan Makassar melalui tanggapan dan penciptaan kembali ke dalam bentuk teks-teks dalam genre sastra lainnya, serta interteks yang terdapat di dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua.
D. Kegunaan Penelitian 1. Sastra adalah salah satu bentuk sarana komunikasi untuk menyampaikan buah pikiran dengan menggunakan bahasa. Dengan demikian, terjadi transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat melalui pembelajaran atas pikiran dan pengalaman yang terdapat di dalam sinrilik kepada orang lain. Dalam kaitan itu, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam kaitannya dengan kesinambungan pembelajaran nilai-nilai untuk pembangunan manusia Indonesia. Nilai-nilai yang ada tersebut dapat digunakan sebagai acuan perilaku dalam menghadapi kehidupan dewasa ini. Nilainilai itulah yang menjadi akar budaya bangsa bagi kehidupan masa kini dan sekaligus memperlihatkan jati diri bangsa (Chamamah-Soeratno, 2011: 31). 2. Berkaitan dengan aspek keilmuan, penelitian ini berguna untuk; (a) memperkenalkan salah satu genre sastra lisan Makassar untuk meningkatkan apresiasi, pemahaman, penghayatan terhadap sastra daerah, dan menambah wawasan serta menumbuhkan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap warisan budayanya yang berbentuk karya sastra. Warisan budaya tersebut berfungsi untuk memperkuat rasa identitas nasional (Koentjaraningrat, 1987: 4); (b) untuk memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia, khususnya sastra lisan Makassar yang masih hidup, tetapi semakin terpinggirkan oleh masyarakat pendukungnya. Dengan
16
demikian, penelitian ini dapat melestarikan seni pertunjukan ini yang perlahan-lahan mengalami kepunahan; (c) mengajak dan mendorong para peneliti untuk melakukan penelitian terhadap sastra lisan Makassar yang belum banyak dilakukan. 3. Dalam rangka perwujudan otonomi daerah, kebudayaan daerah termasuk tradisi lisan dengan berbagai bentuknya, termasuk sinrilik, perlu dilestarikan dan dikembangkan. 4. Hasil penelitian ini pun dari segi pragmatisnya dapat digunakan dalam bidang pendidikan sebagai bahan pembelajaran untuk muatan lokal di semua jenjang pendidikan mengingat banyaknya nilai yang terdapat di dalamnya. Keragaman bacaan tradisi lisan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan untuk memperkaya pemahaman anak didik terhadap budayanya. 5. Selain itu, deskripsi watak tokoh yang teguh pada pendirian dan sikap pantang menyerah dalam membela negerinya seperti yang diperlihatkan oleh Sultan Hasanuddin (SKT versi 2) berguna untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air terhadap generasi sekarang.
E. Tinjauan Pustaka Pembicaraan mengenai sinrilik sudah banyak dilakukan. Jika dirunut ke belakang, orang pertama yang membicarakan sinrilik adalah B.F. Matthes dalam buku Makassaarsche Chrestomathie (1860). Dalam buku tersebut, Matthes membicarakan hal-hal mengenai kesusastraan Makassar dan jenis-jenisnya dengan melakukan transkripsi dan terjemahan ke dalam bahasa Belanda. Buku Matthes
17
tersebut menjadi sumber rujukan pada beberapa penelitian selanjutnya. Bahkan, buku ini pun menjadi sumber belajar bagi pasinrilik yang beraksara. Di dalam buku ini terdapat beberapa cerita sinrilik seperti I Makdi Daeng RiMakka, Datu Museng, Jayalangkara, Bosi Timurung.
Di dalam buku ini pun, terdapat teks sinrilik
Kappalak Tallumbatua, tetapi hanya ditranskripsi dan diterjemahkan saja. Kajian tentang sinrilik selanjutnya dilakukan oleh Parawansa (1965) dengan judul “Sinrili’ Datoe Moeseng Sebuah Epos Makassar dan Sumbangannya Kepada Kesusastraan Indonesia”. Penelitian tersebut mengenai pengertian sinrilik dan sinrilik Datu Museng sebagai sebuah cerita sejarah serta sumbangannya terhadap pendidikan, selanjutnya dibicarakan gaya bahasa dan perwatakan. Penelitian Basang (1965) berjudul “Pencerminan Rasa Kebangsaan dalam Kesusastraan Daerah Makassar Chusus dalam Sinrilik”. Pembicaraan yang dilakukan adalah menghubungkan sinrilik dengan pendidikan serta pencerminan rasa kebangsaan yang terdapat dalam cerita sinrilik. Penelitian Nyompa dkk. (1981) berjudul “Transkipsi Sure Galigo dan Sinrilik di Sulawesi Selatan”. Tulisan ini hanya dalam bentuk transkripsi dan terjemahan tanpa dilakukan analisis. Penelitian Hakim (1990) berjudul “Kedudukan dan Fungsi Sinrilik I Datu Museng”. Pembicaraannya hanya melihat pada fungsi dan kedudukan sinrilik I Datu Museng dalam kesusastraan Makassar. Penelitian Parawansa dkk. (1992) berjudul “Sastra Sinrilik Makassar”. Pembicaraannya berupa deskripsi singkat terhadap unsur-unsur alur, penokohan, dan latar terhadap beberapa buah sinrilik. Penelitian Hakim (2001) berjudul “Nilai-Nilai Kepahlawanan dalam Sinrilik Makassar”. Yang dibicarakannya adalah hal-hal mengenai nilai-nilai kepahlawan 18
yang terdapat dalam sinrilik. Penelitian Sikki dkk. (1991) berjudul “Nilai-Nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi Selatan” dengan melihat nilai-nilai budaya apa saja yang terdapat dalam kesusastraan Sulawesi Selatan secara umum, termasuk sinrilik. Semua pembicaraan tentang sinrilik tersebut sumber teksnya berasal dari buku Matthes (1860). Penelitian yang dilakukan di atas meskipun telah mengungkap aspek fungsi dan nilai-nilai yang terdapat dalam cerita sinrilik, tetapi memperlihatkan perbedaan dengan yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan tersebut terletak pada objek cerita yang berbeda dengan SKT sehingga fungsi dan nilai-nilai yang ditemukan memperlihatkan perbedaan pula. Dalam disertasi ini, fungsi dan nilai-nilai SKT dilihat dalam perspektif dulu dan kini. Fungsi dan nilai-nilai yang ditemukan dalam SKT tersebut dipandang dapat digunakan dan dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Selanjutnya, beberapa artikel mengenai sinrilik ditulis oleh Mangemba (1994) dengan judul “Sinrilik Nyanyian ‘Rapsodi’ Sulawesi Selatan”, Yusmanizar (1992) dengan judul “Mengenal Sinrili”-“Sinrili Tak Akan Mati” dan “Sinrili Bukan Keahlian Turunan”, Huda dan Syamsurijal (2006) berjudul “Mitos Sinrilik dan Narasi Kolonial”, Huda (2006) berjudul “Ketika Sinrilik Berdialog dengan Islam”. Keseluruhan pembicaraan masih merujuk pada teks yang terdapat dalam buku Matthes. Pembicaraan berikutnya terhadap sinrilik adalah dengan melihat pada aspek pertunjukannya, tanpa melakukan analisis terhadap teks ditulis oleh Sutton (1995) 19
dengan judul “Makassarese Epic Singing” dalam buku Performing Arts and Cultural Politics in South Sulawesi. Penelitian Sutton (2002) berjudul “Sinrilik and Kacaping: Persistence and Adaptation of Two Makassarese Musical Genre” dalam buku Calling Back the Spirit: Music, Dance, and Cultural Politicsin Lowland South Sulawesi. Penelitian Gibson (2008) berjudul “From Stranger-King To StrangerShaikh Austronesian Symbolism and Islamic Knowledge” dalam buku Indonesia and the Malay World. Penelitian yang berkaitan dengan pertunjukan dan alat musik yang digunakan melalui kajian etnomusikologi dilakukan oleh Hafid (2011) dengan meneliti seni resitasi sinrilik yang dihubungkan dengan konteks upacara perkawinan adat Makassar di Kabupaten Gowa serta sejauh mana fungsi sinrilik dalam konteks upacaranya. Selain hal tersebut, dilihat juga bentuk penyajian dan struktur musikal serta bentuk instrumennya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertunjukan sinrilik dalam upacara perkawinan hanya digunakan dan berfungsi sebagai hiburan saja. Semua penelitian di atas berbeda dengan penelitian ini, karena dalam kajian disertasi ini SKT tidak dikaitkan dengan pertunjukan atau alat musik serta instrumennya. Penelitian terhadap sinrilik berikutnya adalah dengan melihat aspek tradisi dan pewarisan sinrilik dengan judul “Sinrilik Datumuseng: Tradisi, Teks, dan Pewarisannya” ditulis oleh Inriati-Lewa (1996). Kajiannya berdasarkan pada sinrilik sebagai salah satu ragam sastra lisan yang ada di Sulawesi Selatan. Fokus penelitian yang dilakukan adalah melihat tradisi penyampaian sinrilik serta pewarisan tradisi tersebut berdasarkan aspek pertunjukan dan cerita yang disampaikannya. Dalam 20
penelitian itu, analisis terhadap struktur teks sinrilik Datumuseng dilakukan dengan memanfaatkan teori formula. Meskipun sama-sama menggunakan teori formula, kajiannya memiliki perbedaan dengan yang dilakukan dalam disertasi ini. Perbedaannya terletak pada pemanfaatan formula dan unsur formulaik yang digunakan pada teks lisan SKT yang berasal dari pasinrilik buta huruf dan melek huruf dengan melihat perbedaan di antara keduanya. Penelitian ataupun tulisan berikutnya adalah mengenai sinrilik Kappalak Tallumbatua berdasarkan naskah dilakukan oleh Parawansa dkk. (1992) berjudul “Nilai-Nilai Budaya dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua”. Yang dilihat dalam tulisan ini adalah nilai-nilai budaya yang dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan terutama yang berkaitan dengan budaya siri.
Penelitian yang
dilakukan oleh Parawansa (dkk.) ini, dapat dikatakan terkait langsung dengan nilainilai yang terdapat di dalam SKT. Akan tetapi, penelitian ini memiliki perbedaan dengan yang dilakukan dalam disertasi ini. Perbedaannya terletak pada beberapa perspektif yang dipakai untuk melihat tujuan utama, yakni menemukan latar belakang penciptaan, fungsi, dan sambutan yang terdapat dalam sastra lisan SKT pada masyarakat Makassar melalui aspek formula pembentuk baris dan intertekstual SKT tersebut. Dengan demikian, berdasarkan teori-teori yang digunakan di dalam penelitian disertasi ini, pikiran, perasaan, serta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam SKT dapat diketahui dan diharapkan dapat digunakan dan diteladani oleh masyarakat sekarang. Faisal (1995) menulis tesis dengan judul “Sinrilik Kappalak Tallumbatua: Suatu Telaah Filologis Sastra Makassar Klasik”. Penelitiannya dengan 21
cara membuat transliterasi, terjemahan, ringkasan isi, dan analisis isi. Objek yang dijadikan sebagai dasar penelitian adalah naskah yang ditulis pada tahun 1953. Penelitian yang dilakukan oleh Faisal, berbeda dengan yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan yang pertama adalah penyediaan objek yang berbeda, yaitu teks SKT yang didasarkan pada naskah, sedangkan dalam disertasi ini teksnya disediakan dari sumber lisan. Kedua, analisis yang dilakukan oleh Faisal tidak membahas mengenai teknik yang dipakai oleh pencerita untuk membangun ceritanya, yakni pemanfaatan formula dan unsur formulaik. Ketiga, meskipun penelitian tersebut memberikan suatu analisis terhadap isi cerita, tetapi tidak melakukan analisis terhadap teknik penciptaan lisan yang digunakan oleh
pasinrilik
seperti
teknik
perulangan ataupun tema dalam membangun cerita. Buku yang ditulis oleh Arief dan Hakim (ed.) (1993) dengan judul Sinrilikna Kappalak Tallumbatua merupakan hasil transkripsi dan terjemahan dari sinrilik tersebut. Transkripsi serta terjemahan yang dilakukan berdasarkan naskah yang berasal dari buku Matthes, tanpa melakukan analisis. Penelitian Rasyid (2001) berjudul “Ekspresi Semiotik Tokoh Legendaris dalam Sinrilik Kappalak Tallung Batua”, sumbernya masih dari naskah yang terdapat dalam buku Matthes. Fokus penelitian ini adalah pada tokoh cerita terutama tokoh Andi Patunru yang berperan di dalam cerita tersebut dengan menggunakan kajian semiotik. Kajian ini menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh di dalam sinrilik ini terutama tokoh utama merupakan tokoh yang melegenda bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Penelitian Suyatno (1997) berjudul “Tak Tertaklukkan: Sinrilik Kappalak Tallung Batuwa” dengan melihat kedudukan 22
serta kehebatan sinrilik tersebut di antara sinrilik lainnya. Dalam penelitian ini yang dilakukan adalah membandingkan beberapa cerita sinrilik yang terkenal dan disukai ceritanya. Suyatno menyimpulkan bahwa di antara sekian banyak cerita sinrilik yang ada, sinrilik Kappalak Tallung Batuwa yang paling disukai. Hal ini karena kehebatan cerita dan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Esteban (2010) dengan judul The Narrative of War in Makassar: Its Ambiguities and Contradictions. Penelitian yang dilakukannya adalah ingin mengintegrasikan sejarah lisan dan etnografi dengan melihat kesamaan dan perbedaan tentang Perang Makassar yang terdapat dalam Sinrilikna Kappalak Tallumbatua dan memori kolektif dari perang tersebut. Memori kolektif dari Perang Makassar tersebut diambil dari pasinrilik yang mengetahui cerita itu dan teks yang telah ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Arief dan Hakim (1993).
Penulis
beranggapan bahwa Sinrilikna Kappalak Tallumbatua yang terbit tahun 1993 merupakan prosa naratif yang tidak sama dengan Perang Makassar. Sinrilikna Kappalak Tallumbatua hanyalah artepak kesusastraan naratif yang berkaitan dengan Kerajaan Gowa di bawah pemerintahan raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin. Penelitian yang dilakukan oleh Esteban ini berdasarkan pada sejarah Perang Makassar dan teks Sinrilikna Kappalak Tallumbatua. Kajian yang dilakukan oleh Esteban memperlihatkan perbedaan dengan yang dilakukan dalam disertasi ini. Hal ini karena perbedaan sudut pandang yang dilakukan untuk melihat cerita SKT tersebut, begitu pula dengan objek analisis dalam disertasi yang berasal dari teks dan pertunjukan lisan. 23
Berdasarkan pada tinjauan pustaka tersebut, tampak bahwa topik yang dibicarakan dalam penelitian ini belum dibahas dan diteliti. Terlihat bahwa beberapa penelitian menggunakan objek material yang sama, tetapi cara mendapatkan objek tersebut berbeda. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini difokuskan pada penelitian lisan dengan menggunakan kerangka teori formula dalam sastra lisan, resepsi, dan intertekstual yang tentu saja berbeda sudut pandang pembahasannya. Dengan demikian, kehadiran penelitian yang dilakukan ini diperlukan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan dan diharapkan dapat menambah kajian yang telah ada sebelumnya. Di samping penelitian tentang Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa penelitian sastra lisan di Indonesia yang sudah dilakukan dan dianggap relevan dengan penelitian disertasi ini. Penelitian sastra lisan itu menggunakan konsep formula dan tema yang dikembangkan oleh Lord seperti berikut. Penelitian tentang cerita epik Kaba Sijobang di Sumatera Barat yang dilakukan oleh Nigel Phillips (1981). Penelitian ini mengungkapkan mengenai peranan formula dalam penciptaan cerita, hubungan sosial, teknik dan metode penceritaan dan penciptaan, serta variasi yang terdapat dalam cerita Sijobang. Teknik formula yang digunakan dapat ditemukan pada dominannya penggunaan pengulangan serta paralelisme, begitu pula dengan pemanfaatan sejumlah adegan siap pakai yang digunakan dalam Kaba Sijobang untuk merakit cerita. Penelitian terhadap puisi keagamaan yang terdapat di Pulau Roti oleh James J. Fox (1986). Dalam penelitian 24
ini, ia mengungkapkan ciri khas puisi keagamaan tersebut yang menggunakan pasangan wajib yang mengarah dan menunjukkan adanya kesejajaran tema dalam puisi keagamaan itu (Fox, 1986). Penggunaan “semacam” formula dan tema dari Lord dalam penelitian terhadap cerita kentrung di Tuban oleh Saripan Sadi Hutomo (1987). Ia mengatakan bahwa dalam penciptaan cerita ada semacam formula yang memperlancar dalang kentrung dalam bercerita. Di samping itu, terdapat unsur-unsur bahasa yang sewaktu-waktu dapat difungsikan untuk menceritakan peristiwa tertentu yang berulang dan dapat disamakan dengan istilah tema oleh Lord. Akan tetapi, karena cerita kentrung tidak berbentuk puisi yang terikat oleh aturan yang ketat seperti puisi, ada kebebasan bagi dalang kentrung untuk menggunakan kata dan kelompok kata khusus tersebut. Kebebasan tersebutlah yang menyebabkan dalang cerita kentrung terlihat lincah pada saat pertunjukan berlangsung. Istilah formula dan tema yang terdapat dalam cerita kentrung tidak identik dengan pengertian yang diberikan oleh Lord (Hutomo, 1987). Selanjutnya, dalam sastra lisan Tanggomo yang berasal dari Gorontalo, ditemukan adanya formula dari Lord pada pengulangan pola, baik pola kata maupun pola baris. Sistem formula yang digunakan dalam Tanggomo ternyata dapat mempermudah dan menampilkan cerita. Formula dalam Tanggomo terdiri atas satu kata, kelompok kata (frasa), dan juga satu baris. Begitu pula dengan penggunaan rima dan gaya bahasa paralelisme yang sangat dominan dalam penceritaan Tanggomo. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pola formula yang digunakan dalam Tanggomo adalah pola baris yang mengikuti sistem sintaksis dan ritme tertentu yang digunakan 25
untuk menciptakan baris-baris formulaik yang salah satu unsurnya atau semua unsurnya sama (Tuloli, 1990). Tuloli berkesimpulan bahwa penelitian terhadap Tanggomo secara umum terdapat persamaan dengan temuan Lord, yakni adanya sistem formulaik. Akan tetapi, secara khusus terdapat perbedaan antara sistem formulaik yang ada di dalam cerita lisan Yugoslavia yang diteliti oleh Lord dan sistem formulaik yang terdapat dalam Tanggomo, yaitu tidak ditemukannya sistem formulaik yang didukung oleh matra yang tetap pada suku kata tertentu (Tuloli, 1990: 337). Penelitian Tuloli (1990) terhadap sastra lisan Tanggomo dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan terhadap SKT dalam disertasi ini. Hal tersebut karena di samping penggunaan teori formula dari Lord seperti yang diutarakan di atas, dilihat pula nilai-nilai budaya dan fungsi dari Tanggomo. Dikatakan bahwa sastra lisan Tanggomo memiliki fungsi historis, fungsi heroik, dokumen peristiwa penting, dan nilai didik. Nilai didik yang terdapat dalam Tanggomo diilhami oleh ideide dan pikiran masyarakat, ajaran agama, dan pengalaman-pengalaman. Formula juga terlihat digunakan pada penyampaian hikayat dalam tradisi sastra Aceh seperti yang terdapat di dalam Hikayat Meukuta Alam. Cara penikmatan hikayat yang lisan telah menyebabkan sistem puisi dalam hikayat sangat dekat dengan ciri-ciri puisi lisan meskipun teksnya telah diturunkan ke dalam bentuk tertulis. Unsur repetisi (perulangan) dan paralelisme digunakan dalam berbagai bentuk seperti perulangan kata, kelompok kata, larik, sampai kepada perulangan adegan dan deskripsi bagian-bagian cerita yang disebut tema oleh Lord sangat 26
dominan digunakan dalam Hikayat Meukuta Alam. Bentuk perulangan yang digunakan tersebut merupakan jaringan formula yang dimanfaatkan penyair untuk membangun larik-larik puisi sehingga dapat merangkai cerita secara lancar. Penyair hikayat tampaknya sangat menguasai kerangka adegan siap pakai yang dirakitnya setiap kali diperlukan. Kerangka itulah yang digunakan menjadi sistem jaringan formula yang menyeluruh mulai dari unsur yang terkecil, yaitu teknik pembentukan larik sampai kepada kerangka yang lebih besar, yakni sistem pembangun cerita. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri sistem puisi yang tedapat dalam teori formula seperti yang dikemukakan oleh Milman-Parry (Abdullah, 1991: 678-680). Penelitian selanjutnya terhadap sastra lisan, dilakukan oleh Wigati (2008) terhadap sastra lisan Sentani di Papua. Penelitian yang dilakukan oleh Wigati ini lebih difokuskan pada tradisi kelisanan yang terdapat dalam sastra lisan Helaehili dan Ehabla yang lebih ditekankan pada fungsi dan peran perempuan yang direfleksikan dalam sastra lisan tersebut pada masyarakat Sentani di Papua. Menurut Wigati, Helaehili dan Ehabla adalah puisi lisan Sentani yang semakin jarang ditemukan karena orang yang melantunkannya hanya dikuasai oleh generasi tua yang semakin sedikit jumlahnya. Berdasarkan aspek kelisanan, Helaehili dan Ehabla yang diteliti oleh Wigati memperlihatkan bahwa puisi lisan ini komposisinya dilantunkan secara spontan pada saat dibawakan oleh para pelantunnya tanpa adanya catatan dan hafalan. Pelantun hanya menyiapkan kerangka cerita dan alur cerita dalam pikirannya yang kemudian dielaborasi pada saat pertunjukan. Hal selanjutnya yang disiapkan oleh pelantun 27
adalah membekali dirinya dengan kata atau frasa, baik yang diciptakannya sendiri maupun yang sudah disiapkan oleh adat yang digunakannya untuk merakit larik-larik lantunannya. Selain melihat pada aspek tradisi kelisanan, penelitian terhadap puisi lisan Helaehili dan Ehabla juga melihat fungsinya dalam masyarakat Sentani. Fungsi puisi lisan ini di daerah pedesaan masih bertahan dan bisa diterima oleh generasi muda, tetapi untuk masyarakat perkotaan puisi lisan ini sudah ditinggalkan. Yang bertahan dari puisi lisan Helaehili dan Ehabla ini di masyarakat sekarang adalah fungsinya sebagai hiburan saja. Penelitian yang dilakukan oleh Wigati tersebut memperlihatkan persamaan dengan kajian yang dilakukan terhadap SKT karena tradisi lisan ini pun semakin jarang dipertunjukkan dan orang yang membawakannya (pasinrilik) semakin sulit ditemukan. Begitu pula dengan fungsi SKT pada masyarakat dewasa ini, yakni sebagai media hiburan dan penyimpan pengetahuan saja. Berdasarkan uraian tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, terlihat bahwa pemanfaatan pola formula pada beberapa sastra lisan yang ada di Indonesia menampakkan perbedaan pada penerapannya. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan sistem bahasa, sastra, dan budaya yang terdapat pada masing-masing masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Begitu pula yang terjadi dengan tradisi lisan sinrilik yang ada pada suku Makassar di Sulawesi Selatan. Untuk melihat hal itu, dalam penelitian ini digunakan teks hasil rekaman lisan yang berasal dari pasinrilik melek huruf dan buta huruf untuk melihat kelisanan di antara keduanya.
28
F. Landasan Teori Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, studi mengenai Sinrilik Kappalak Tallumbatua dipandang perlu untuk menggunakan sejumlah teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dilakukan sehubungan dengan penelitian. Teori merupakan unsur penting untuk digunakan dalam menuntun peneliti memahami objek material dan objek formal dalam penelitian. Mengenai pengertian teori, dikatakan oleh Snelbecker (Moleong, 2008:57, lihat juga Nasution, 2008: 3-10) bahwa ada empat fungsi suatu teori, yaitu (1) mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian; (2) menjadi pendorong untuk menyusun hipotetis dan dengan hipotetis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban; (3) membuat ramalan atas dasar penemuan; (4) menyajikan penjelasan dan dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan mengapa. Berdasarkan pada pandangan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Sinrilik Kappalak Tallumbatua merupakan salah satu hasil karya sastra lisan yang berbahasa Makassar dan disampaikan oleh seorang pasinrilik. Pasinrilik yang biasa membawakan sinrilik ini terdiri atas dua golongan, yaitu pasinrilik yang melek huruf dan yang buta huruf latin. Sinrilik Kappalak Tallumbatua ini pun telah mengalami tanggapan berupa transformasi dari lisan ke tulisan dan sebaliknya dari tulisan ke lisan, terjemahan, dan dalam bentuk rekaman. Dengan demikian, di dalam penelitian ini diperlukan beberapa teori yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Teori-teori yang akan digunakan dalam penelitian Sinrilik Kappalak Tallumbatua ini adalah teori filologi dan teori sastra. Dalam hubungannya dengan 29
penelitian sastra lisan, teori filologi digunakan untuk menyajikan teks tulisan yang berasal dari teks lisan. Selanjutnya, digunakan teori formula dalam penelitian sastra lisan untuk melihat pola pembentukan baris-baris cerita SKT. Teori resepsi dan intertekstual digunakan untuk melihat aspek interteks yang terdapat dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua, sambutan, dan transformasinya dalam beberapa bentuk.
1. Teori Filologi Selama ini, Filologi dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau yang berupa tulisan. Penelitian terhadap karya-karya masa lampau dilakukan karena anggapan bahwa di dalam tulisan tersebut terkandung nilainilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini (Baried dkk., 1994: 1). Filologi biasanya dikaitkan dengan pengkajian mengenai isi atau makna teks suatu naskah lama (Sudjiman, 1995: 97).
Melalui pengkajian filologis, dapat diketahui latar
belakang suatu suku bangsa yang berkaitan dengan pandangan hidupnya, kepercayaan, perasaan, pikiran, gagasan, serta adat-istiadat suku bangsa pemilik naskah tersebut. Baried dkk. (1994: 4) mengatakan filologi merupakan suatu disiplin yang bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya manusia pada masa lampau, yang tersimpan dalam peninggalan berupa karya lama agar dapat diketahui oleh masyarakat sekarang. Sehubungan dengan hal tersebut, pandangan hidup, perasaan, buah pikiran, serta nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi lisan SKT bisa diungkap dan diketahui oleh masyarakat sekarang bahkan dapat diteladani.
30
Studi filologi di Indonesia, sampai dengan permulaan abad ke-20, masih mengikuti konsepnya, yakni studi teks dengan tujuan melacak bentuk mula teks. Studi filologi di Indonesia mengalami perkembangan mulai akhir abad ke-20 dengan mulai mempertimbangkan kondisi teks dan naskah (lihat juga Junus, 1981: 6). Dengan demikian, tujuan awalnya untuk melacak bentuk mula teks tidak lagi menjadi tujuan utamanya (Baried dkk., 1994:4). Oleh karena itu, penelitian dengan menggunakan alat bantu studi filologi semakin terbuka untuk digunakan, terutama terhadap semua bentuk karya sastra. Studi filologi dan penelitian literer tidak dapat dipisah-pisahkan secara mutlak (Sulastin, 1981: 17). Tidak perlu dan tidak patut membedakan antara kritik teks dan kritik sastra, kedua-duanya saling berkaitan (Robson, 1978: 4). Bagaimanakah kedudukan studi filologi dalam penelitian sastra lisan? Jika disimak lebih mendalam kedudukan filologi dalam penelitian sastra lisan, tampak adanya hubungan timbal-balik dan saling membutuhkan. Studi filologi sangat membantu dalam studi dan penelitian terhadap sastra lisan, begitu pula sebaliknya. Seperti yang dikatakan
oleh Sulastin (1981: 1), pengertian filologi dalam arti
terbatas, menurut pandangan studi ilmu sastra, adalah ilmu bantu studi sastra, dan dapat dikatakan merupakan taraf pendahuluan yang sangat penting bagi ilmu sastra. Dalam hubungannya dengan penelitian sastra lisan, Filologi ternyata sangat diperlukan, terutama terhadap penelitian sastra lisan di Indonesia.
Oleh karena
ternyata bahwa penceritaan lisan adalah ciri dari sebagian besar kesusastraan
31
Indonesia, tidak adil untuk menyatakan bahwa filologi semata-mata hanya tertarik pada kata tertulis saja (Robson, 1994: 52). Teori Filologi yang biasanya digunakan dan diterapkan dalam penelitian sastra tulis, patut ditinjau kegunaannya dalam sastra lisan. Antara sastra tulis dan sastra lisan tidak terdapat pembagian fungsi yang nyata (Sulastin, 1981: 17). Teeuw (1984: 304) menekankan bahwa, baik dari segi sejarah maupun dari aspek tifologi sastra, tidaklah perlu diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Justru persamaan sekaligus perbedaannyalah yang seharusnya memerlukan perhatian dalam rangka studi sastra Indonesia. Selanjutnya, dikatakan bahwa sangat sedikit contoh yang terjadi di Indonesia yang tradisi tulisnya mendahului tradisi lisan (Ras dan Robson, 1991: 216). Objek penelitian ini adalah sastra lisan yang di dalamnya terkandung teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Oleh karena itu, pertama-tama teks sinrilik ini akan ditempatkan dalam kerangka tekstologi. Dilihat dari penurunannya, teks dibagi atas tiga macam: (1) teks lisan, (2) teks naskah tulisan tangan (manuskrip), dan (3) teks cetakan (Baried dkk., 1994: 58 dan Teeuw, 1984 : 254).
Menurut Teeuw (1984:
275), tekstologi dalam penelitian sastra tradisional, khususnya di Indonesia, tidak dapat dipandang lepas dari sastra lisan. Dalam sastra Indonesia lama, tidak dapat dipungkiri, selalu terjadi interaksi antara sastra lisan dan sastra tulis. Berkaitan dengan penelitian ini, teks yang dijadikan sebagai dasar kajian adalah teks lisan SKT yang direkam dari pasinrilik yang dapat membawakan cerita ini.
32
Unsur variasi yang terdapat dalam sastra lisan sangat jelas kaitannya dengan sastra tulis di Indonesia. Dalam filologi Indonesia, tradisi penurunan naskah seringkali juga memperlihatkan variasi yang sangat besar. Teks yang disalin berkalikali ternyata dalam naskah yang berturut-turut mengalami perubahan yang jauh, baik dari segi penggunaan bahasa maupun dari segi penambahan ataupun penghilangan bagian-bagian tertentu. Hal ini memperlihatkan persamaan dengan gaya tukang cerita dalam penelitian yang dilakukan terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Pasinrilik –orang yang menyampaikan sinrilik dalam sastra lisan Makassar--setiap kali pertunjukan selalu menciptakan
kembali ceritanya sesuai dengan situasi
pertunjukannya. Teks lisan bukan saja turut dibentuk oleh khalayak—dalam suatu proses timbal-balik—tetapi teks pun dibentuk oleh keinginan pencerita untuk memengaruhi dan memikat hati pendengarnya (Koster, 1995: 12). Sehubungan dengan teori Filologi yang akan digunakan, Hutomo (1991:14) mengemukakan istilah ‘filologi lisan’ yang dianggapnya sebagai percabangan dari filologi tulis. Istilah filologi lisan ini didasarkan pada pandangan yang mengatakan bahwa filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya, atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya. Filologi yang demikian dikenal sebagai ilmu yang penting untuk menyingkap masa lampau, nilai-nilai, norma-norma serta sikap hidup yang berkembang pada masanya (Chamamah-Soeratno, 2011: 22). Dengan demikian, nilainilai, norma-norma, dan sikap hidup yang terkandung dalam SKT dapat diketahui oleh masyarakat dan dapat diterapkan dalam kehidupannya. 33
Filologi lisan, menurut Hutomo (1991:14), dapat bekerja dengan dua cara, yaitu: (1) membandingkan teks lisan dengan teks tulis yang akan menghasilkan data, yaitu teks lisan berasal dari teks tulis ataupun sebaliknya, teks tulis justru berasal dari teks lisan, dan (2) membandingkan beberapa versi sastra lisan guna penentuan pusat cerita, atau untuk mengetahui asli tidaknya sebuah cerita lisan yang digunakan untuk kajian. Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua, cara yang akan dilakukan adalah: pertama, melihat sinrilik versi lisan berdasarkan pada unsur kelisanannya, bukan pada asalnya apakah versi lisan mendahului versi tulisan atau sebaliknya. Kedua, melihat unsur-unsur pembangun dari SKT versi lisan antara pasinrilik (pencerita) yang buta huruf latin dan pasinrilik yang melek huruf. Hal ini dilakukan untuk melihat variasi unsur-unsur teks yang digunakan dan dikembangkan oleh kedua pencerita yang berbeda tersebut. Studi filologi, yang bertujuan untuk mengungkapkan masa lampau suatu masyarakat, dianggap perlu menyajikan teks yang menjadi dasar kajian dalam bentuk teks terbaca untuk pembaca masa kini (Istanti, 2003: 19). Teks dalam penelitian ini diartikan tidak hanya sebagai cerita yang disampaikan, tetapi melingkupi juga unsurunsur penyampaian seperti bunyi yang dikeluarkan oleh pencerita (pasinrilik) pada saat menyampaikan ceritanya. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini tidak dilakukan terhadap musik yang mengiringi penyampaian (kesok-kesok), gerak-gerik, upacara-upacara yang dilakukan, dan sebagainya, tetapi analisis dilakukan terhadap teks lisan terutama pada teks lisan SKT versi pasinrilik melek huruf dan buta huruf. 34
Oleh karena itu, dalam penelitian terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatuar, kerja awal yang harus dilakukan berdasarkan penelitian filologi adalah menyajikan teks. Penelitian filologi wajib menghadirkan teks dengan cara yang paling tepat untuk menampakkan sifatnya, bukan
mengaburkannya (Robson, 1978: 12).
Selanjutnya, dikatakan oleh Robson (1994: 46) jika sebuah teks merupakan kesatuan organis yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir seluruh teks tersebut harus diterbitkan. Hal ini berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman teks serta penyuntingan teks secara kritis dan ilmiah. Dengan demikian, bantuan filologi dalam penelitian ini, terutama berupa penyediaan suntingan teks serta pemilihan teks dasar, sangat bermanfaat di dalam mengungkapkan Sinrilik Kappalak Tallumbatua ini dalam kesusastraan Makassar. Dari penelitian secara filologi ini diharapkan dapat diketahui bagian cerita dan komentar pasinrilik SKT mana bagian yang pokok, mana yang khiasan, mana yang harus ditaati, mana yang dapat diabaikan, mana bagian yang ditambah, dan mana yang dikurangi. Demikian pula ketika tradisi lisan sinrilik tersebut diturunkan dalam bentuk tertulis, banyak unsur cerita yang berbeda dengan yang disampaikan dalam bentuk teks lisan. Berdasarkan pada hal yang telah dikemukakan sehubungan dengan penelitian terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang dilakukan, satu hal yang pasti adalah melalui teori filologi yang digunakan akan tersaji sebuah teks tulisan yang berasal dari teks lisan. Hal ini terjadi melalui proses transkripsi dari lisan ke tulisan. Teks inilah yang akan menjadi bahan analisis untuk mengetahui hal-hal yang 35
berkaitan dengan tujuan penelitian ini, yaitu mengungkapkan unsur kelisanan, teks, interteks, dan resepsinya.
2. Teori Fungsi dan Nilai a. Fungsi Fungsi karya sastra sudah dibicarakan sejak dulu. Fungsi karya sastra oleh Aristoteles dikenal dengan istilah ‘catharsis’ (katarsis). Menurut Wellek dan Warren (1993: 24-26), fungsi dan sifat sastra tidak dapat dipisahkan, dan konsep tentangnya secara mendasar tidak banyak berubah. Fungsi sastra didasarkan pada konsep Horace, yakni dulce dan utile; indah dan berguna (Teeuw,1984: 184). Fungsi karya sastra disesuaikan dengan sifatnya, yaitu kesenangan yang memberikan kontemplasi dan manfaat yang bersifat didaktis. Menurut Chamamah-Soeratno (1994), fungsi sastra di dalam masyarakat ada tiga, yaitu (1) sarana menyampaikan ajaran moral atau agama; (2)
untuk
kepentingan
politik
pemerintah;
(3)
untuk
kepentingan
sosial
kemasyarakatan. Pada masa yang lalu, sinrilik digunakan untuk menyampaikan ajaran moral, agama, adat-istiadat, kesetiaan, dan kejujuran. Sinrilik Kappalak Tallumbatua secara khusus digunakan untuk membangkitkan semangat kepahlawanan bagi masyarakat Makassar karena isi ceritanya mengenai perlawanan masyarakat/ kerajaan Gowa terhadap penjajah. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi sinrilik pun mengalami perubahan di dalam kehidupan masyarakat Makassar.
36
Fungsi, menurut Parsons (Ritzer, 2004: 121), adalah sekumpulan kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan sistem ataupun kebutuhan tertentu. Sebuah sistem, supaya tetap bertahan, harus memiliki empat fungsi yang disebutnya dengan imperatif fungsional, yakni (1) adaptasi (adaptation); (2) pencapaian tujuan (goal attainment); (3) integrasi (integration); (4) pemeliharaan pola (latency). Dengan demikian, fungsi dapat mengacu kepada proses dinamis yang berlangsung dalam sebuah struktur. Jika dikaitkan dengan seni pertunjukan, menurut Erriam (Ratna, 2005: 132), ada sepuluh fungsi yang harus dipenuhi oleh seni tersebut agar berfungsi maksimal di dalam kehidupan masyarakat. Kesepuluh fungsi tersebut adalah (1) fungsi pengungkapan emosional; (2) fungsi pengungkapan rasa estetika; (3) fungsi hiburan; (4) fungsi komunikasi; (5) fungsi pengungkapan simbolik; (6) fungsi reaksi jasmani; (7) fungsi penyelenggaraan norma-norma sosial; (8) fungsi pengesahan lembaga sosial, termasuk agama; (9) fungsi kesinambungan kebudayaan; (10) fungsi pengintegrasian sosial. Berkaitan dengan fungsi seni pertunjukan, Soedarsono (2001: 170) membagi fungsi seni tersebut menjadi dua, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer berkaitan dengan seni pertunjukan adalah (a) sebagai sarana ritual; (b) sebagai ungkapan pribadi yang pada umumnya berupa hiburan pribadi; dan (c) sebagai presentasi estetis. Fungsi sekunder menempatkan seni pertunjukan tidak sekedar dinikmati, tetapi digunakan juga untuk kepentingan lain. Fungsi sekunder inilah yang banyak jumlahnya, yakni (a) sebagai pengikat solidaritas kelompok masyarakat; (b) sebagai media komunikasi massa; (c) sebagai media propaganda politik; (d) sebagai propaganda program-program pemerintah, dan sebagainya. 37
Tradisi lisan, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi sarat dengan nilainilai yang terdapat di dalam suatu masyarakat. Ia merupakan sarana pembentuk kepribadian, intelegensi kecerdasan, serta intelegensi emosional yang sangat penting dalam pengembangan hidup seseorang. Melalui komunikasi, seseorang belajar mengutarakan buah pikiran dan pengalamannya kepada orang lain. Dengan demikian, akan terjadi transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Tilaar, 1999: 15). Fungsi sebagai sarana komunikasi mendapatkan perhatian utama dari masyarakat sastra Indonesia. Hal tersebut selalu dikaitkan dengan aspek pragmatis karya sastra, baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat masa kini. Dalam hal ini, karya sastra ditempatkan pada pembicaraan bahwa karya sastra hadir dalam rangka fungsi sebagai alat komunikasi (Chamamah-Soeratno, 1992). Fungsi kesusastraan, jika dikaitkan dengan bahasa sebagai alat komunikasi, adalah memberikan kesenangan estetik untuk melihat kehidupan dalam sebuah penerangan baru dengan cara menunjukkan bentuk-bentuk alternatif kehidupan (Lefevere, 1977: 70). Jika dikaitkan dengan fungsi tradisi lisan yang didasarkan pada pemikiran serta ukuran, yang terdapat dalam tradisi lisan tersebut, Sweneey (1998:7) mengatakannya sebagai “pelipur lara”. Pengertian ini telah disalahartikan oleh sarjana kolonial sebagai pelarian dari kenyataan atau escapism, 7 padahal menurutnya, justru merupakan hal yang sangat penting. Fungsi sebagai “pelipur lara” dapat disamakan 7
Escapism adalah kebiasaan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan dengan berkhayal untuk mencari hiburan.
38
dengan katharsis (Teeuw, 1984: 221). Hal ini dapat dilihat pada saat khalayak penonton menyaksikan sebuah pertunjukan lisan yang selalu diharapkan adalah mereka akan diberi pengajaran tentang yang pernah ada—yang ada—dan harus ada yang dapat diteladaninya, dan harus selalu diingat seperti agama, kerajaan, undangundang, ataupun moral. Inilah yang disebut dengan guna atau faedah yang harus ada dalam cerita. Di samping itu, pertunjukan sastra lisan pun memberi kesempatan kepada penonton untuk sejenak melupakan realitas dan kehidupan yang dijalaninya. Fungsi inilah yang disebut dengan hiburan dalam sastra lisan (Pudentia, 1998: 48). Pencerita dan cerita dalam tradisi lisan 8 memiliki peran dan fungsi yang sangat penting. Menurut Teeuw (1994: 22), di dalam tradisi lisan, tersimpan informasi dan sistem nilai yang langsung relevan dengan masyarakat yang bersangkutan. Tradisi lisan mempunyai kegunaan (function) di dalam kehidupan bersama suatu kolektif (Danandjaja, 1984: 4) karena dalam tradisi lisan terdapat fakta-fakta budaya 9 berupa aspek-aspek yang berkenaan dengan isi yang dikandungnya serta kaidah-kaidah penyelenggaraannya (Sedyawati, 1995: 3-7). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra lisan memiliki fungsi utama 8
Istilah tradisi lisan yang digunakan di sini mengacu kepada istilah yang digunakan oleh Dundes (1980: 20) dan Danandjaya (1995: 3) yang menganggap bahwa tradisi lisan (oral tradition) adalah sinonim dari folklor lisan.
9
Fakta-fakta budaya menurut Sedyawati (1995: 7), antara lain (1) sistem geneologi yakni tradisi menurut keturunan; (2) kosmologi dan kosmogoni, yaitu gambaran mengenai susunan alam dan gambaran mengenai terjadinya alam; (3) sejarah yang harus dibedakan antara informasi kesejarahan yang mengandung kebenaran histories dan informasi kesejarahan yang mengandung bias budaya dan politis; (4) filsafat, etika, moral yakni ajaran-ajaran mengenai kearifan hidup; (5) sistem pengetahuan yang khas; (6) kaidah-kaidah kebahasaan dan kesastraan.
39
sebagai sarana pendidikan, undang-undang, adat-istiadat, nilai, dan norma yang berlaku yang diteruskan dan diamankan secara turun-temurun oleh pemiliknya (Teeuw, 1994: 22-23). Sastra dalam penelitian ini sastra lisan 10 mempunyai fungsi sebagai penyimpan berbagai informasi khususnya data sejarah masa lampau (ChamamahSoeratno, 2011: 48). Menurut Teeuw (1982: 20), jika dihubungkan antara karya sastra dan sosio-budaya masyarakat, dapat ditemukan fungsi, yakni (1) afirmasi, yaitu menetapkan norma-norma sosio-budaya yang berada pada waktu tertentu; (2) restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan serta kerinduan terhadap norma yang telah lama hilang; (3) negasi, yaitu memberontak atau mengubah norma yang berlaku. Sinrilik merupakan tradisi lisan yang ada pada masyarakat Makassar— khususnya yang ada di pedesaan—pada awalnya difungsikan untuk hiburan sekaligus sebagai sarana untuk mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai. Selanjutnya, sinrilik digunakan sebagai media untuk menyebarkan informasi pembangunan. Seiring dengan masuknya berbagai macam informasi kepada masyarakat di pedesaan secara luas, masyarakat pun mulai akrab dan terbuka dengan teknologi dan modernisasi. Pada saat informasi semakin berkembang, media tradisional seperti sinrilik dianggap tidak lagi mampu dan efektif untuk menyebarkan informasi yang semakin canggih dan luas pula. Jika dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan terhadap sinrilik,
10
Sastra lisan menurut Tuloli (1990: 308) selain berfungsi sebagai penyimpan berbagai informasi masa lampau juga sebagai penguat pandangan masyarakat, dan sebagai pemberi arah terhadap norma-norma pergaulan di dalam masyarakat pendukung sastra lisan tersebut.
40
terlihat bahwa fungsi yang dulunya diemban oleh tradisi lisan tersebut telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut menyangkut pola nilai, norma, dan peranan dari tradisi lisan tersebut. Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan terhadap SKT dengan melihat fungsinya, dapat dikatakan bahwa ada beberapa fungsi yang bersifat umum. Fungsi tersebut adalah sebagai alat pendidikan, hiburan, peningkat perasaan solidaritas kelompok, kritik masyarakat, serta pengunggul dan pencela orang lain (Dundes, 1965: 277). b. Nilai-Nilai Nilai adalah salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia (Frondasi, 2007: 1-2). Nilai merupakan bagian yang integral dari struktur kepribadian individu dan bagian hasil interaksi sosial dan kebudayaan lingkungan. Nilai secara relatif bersifat tetap artinya nilai itu tidak berubah dan merupakan komponen dasar dari kesadaran psikologis yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang (Rokeach, 1973). Berbagai macam nilai yang ada dan berlaku pada seseorang atau pun masyarakat tidaklah datang begitu saja. Schimmack, et. al. (2002) menyatakan bahwa nilai bersifat subjektif dan diperoleh atau merupakan hasil belajar. Dengan demikian, nilai yang diperoleh tersebut tentulah sangat sukar dilepaskan dari individu pemiliknya. Nilai adalah gagasan tentang kehidupan yang dianggap sangat penting oleh suatu masyarakat (Ikram, 1997: 145). Semua nilai yang ada dan diyakini oleh
41
individu dalam masyarakat pendukung nilai tersebut dan digunakan dalam kehidupan keseharian merupakan warisan budaya. Menurut Salim (2002: 20) warisan budaya yang ada pada masyarakat pendukung sebuah budaya terbagi atas kebudayaan material (kebendaan, teknologi) dan kebudayaan immaterial (nonbenda, adat, norma, dan nilai-nilai). Perhatian dan penelitian terhadap sastra lama dalam penelitian ini sastra lisan semakin menunjukkan minat yang makin besar. Hal ini terjadi setelah banyaknya ditemukan bukti-bukti mengenai nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan yang ada pada masa kini (Chamamah-Soeratno, 2011: 47). Penghayatan terhadap nilai-nilai yang hidup pada masyarakat lampau dianggap sebagai modal utama dalam rangka pembangunan budaya bangsa. Salah satu tugas masyarakat akademik menurut Chamamah-Soeratno (2011: 5) adalah mengangkat nilai-nilai warisan budaya lama untuk ditransformasikan ke dalam kehidupan masa sekarang. Salah satu cara untuk mendapatkan beragam nilai adalah melalui karya sastra, dalam penelitian ini sastra lisan sinrilik, yang merupakan produk masa lampau. Damono (dalam Escarpit, 2008: viii) mengatakan bahwa sastra merupakan kristalisasi dari keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang ada yang disepakati oleh masyarakat pada zaman lampau dan pewarisannya berlangsung begitu saja. Dengan demikian, karya sastra lama seperti Sinrilik Kappalak Talumbatua menarik diteliti untuk mengungkapkan nilai-nilai yang tersimpan di dalamnya yang masih relevan dengan kepentingan sekarang ini.
42
Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang di dalamnya terkandung beberapa nilai luhur seperti moral, agama, atau pun nilai patriotisme dipandang sebagai hal yang masih relevan untuk digunakan dalam kehidupan sekarang ini. Seperti yang dikemukakan oleh Chamamah-Soeratno (2011: 40) bahwa untuk menghadapi dampak globalisasi dewasa ini diperlukan ketahanan diri yang kuat. Salah satunya dengan cara mengangkat dan mengungkapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tersimpan dalam naskah—termasuk tradisi lisan Sinrilik Kappalak Tallumbatua—untuk selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat secara luas untuk kepentingan masa depan bangsa. Sehubungan dengan tradisi penyampaian sinrilik yang semakin terpinggirkan karena pesatnya modernisasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
penelitian
terhadap
Sinrilik
Kappalak
Tallumbatua
untuk
mengungkapkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianggap relevan untuk kepentingan masa kini. Nilai-nilai luhur budaya Sulawesi Selatan yang terdapat di dalamnya menjadi bagian yang amat penting untuk menunjang kerangka modernisasi. Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra yang berasal dari masa lampau merupakan warisan budaya yang relevansinya untuk masa kini masih sangat diperlukan. Menurut Kluckhohn (dalam Liliweri, 2001: 64) aspek-aspek nilai yang harus diungkap untuk mempelajari nilai budaya, yaitu: (1) nilai yang berhubungan dengan sifat dasar manusia yakni kebaikan dan kejahatan; (2) nilai yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan alam; (3) nilai yang berhubungan dengan
43
waktu; (4) nilai yang menjadikan manusia bermutu atau tidak; dan (5) nilai yang berhubungan dengan relasi individu dengan kelompoknya. 3. Teori Formula Dalam penciptaan sastra lisan hampir dipastikan selalu digunakan formula dan unsur formulaik yang sangat menonjol (Teeuw, 1994: 23). Seorang pencerita dalam tradisi lisan pada saat membawakan cerita, menyusun kata-kata dan baris-baris yang membentuk keutuhan cerita dipastikan menggunakan pola formula. Pencerita bebas memilih serta memasang pola formula tersebut di saat pertunjukan ceritanya sedang berlangsung. Teknik formula dikembangkang oleh seorang seniman lisan untuk melayani dirinya sebagai seorang ahli (Lord, 1976: 54). Menurut teori ini, pencerita dalam tradisi lisan tidak menghafal cerita yang akan dibawakannya karena seorang pencerita telah menguasai pola-pola formula yang siap pakai dan sangat dikuasainya untuk memperlancar penciptaan ceritanya. Dengan kata lain, tidak satu pun model komposisi yang dihafalkan oleh pencerita karena setiap kali pertunjukan berlangsung selalu terjadi perubahan komposisi (Sweeney, 1987: 33-34). Dalam hubungannya dengan penciptaan sastra lisan, terlihat bahwa prinsip ekuivalensi dari poros seleksi ke poros kombinasi yang dikemukakan oleh Jakobson ada persamaannya dengan teori Parry-Lord (Abdullah, 1991: 7). Lord (1976) pada dasarnya membicarakan lima hal yang berkaitan dengan sastra lisan, yaitu: (1) hubungan antara menciptakan, menyanyikan, dan mempertunjukkan; (2) formula; (3) tema; (4) teks asli; dan (5) hubungan antara versi tertulis dan lisan. Teori formula dari
44
Parry-Lord menegaskan bahwa dalam menciptakan puisinya penyair lisan memanfaatkan persediaan dan penguasaan formula, dan unsur formulaik yang menjadi modalnya dalam menciptakan karyanya. Formula adalah kelompok kata, yang
secara
teratur,
digunakan
dalam
kondisi
matra
yang
sama
untuk
mengungkapkan ide tertentu yang hakiki (Lord, 1976: 4; Teeuw, 1984: 298). Cara membangun larik dengan sistem formula ini dapat juga menghasilkan ciri puisi lisan seperti yang telah dikemukakan oleh Jakobson, yakni dominannya unsur paralelisme, repetisi, sinonim, homonim, dan lain-lain (Lord dalam Abdullah, 1991: 8). Teknik penceritaan formulaik menjadi dasar pemakaian skema-skema untuk plot, aksi, dan perwatakan yang merupakan bagian dari struktur cerita dalam setiap penyampaian cerita dalam tradisi lisan (Koster, 1995: 8). Skema-skema dapat disamakan dengan “themes” (tema) oleh Lord (1976: 4) yang oleh Sweeney (1980: 54-59) disebut dengan “type-scenes” adegan-adegan tipis yang selalu diulangi dengan berbagai variasi. Hampir dipastikan bahwa dalam penciptaan sastra lisan selalu digunakan formula dan unsur formulaik yang sangat menonjol (Teeuw, 1994: 23). Formulaik berarti larik atau separuh larik yang disusun berdasarkan pola formula (Lord, 1976: 4 dan Teeuw, 1984: 298). Unsur formula dan formulaik merupakan stock-in trade (unsur yang siap pakai setiap kali si pencerita bercerita) (Teeuw, 1994: 23). Kedua unsur tersebut penggunaannya di dalam penciptaan sastra lisan tidak selalu sama. Di samping memiliki persediaan formula dan unsur formulaik dalam penciptaan sastra lisan, terdapat juga sejumlah adegan yang siap pakai yang oleh Lord 45
dinamakan tema. Tema adalah “the repeated incidents and descriptive passages in the songs” (Lord, 1976: 4). Teeuw (1984: 298) mengatakan bahwa tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam cerita. Peristiwa-peristiwa yang diulang tersebut misalnya adegan pertempuran, adegan perkawinan, adegan perjalanan dengan naik kuda, adegan perjamuan dan lain-lain (Hutomo, 1993: 14 dan Teeuw, 1984: 298). Dapat dipastikan bahwa unsur formula dan tema harus dicari di dalam teks dan di dalam komunikasi lisan. Cerita-cerita yang dibawakan oleh seorang pencerita—(pasinrilik) yang membawakan sinriliknya— selalu
berimprovisasi dengan menggunakan unsur-unsur yang telah dibuat
sebelumnya, yaitu formula dan tema (Burke, 2011: 148-150). Penggunaan unsur atau pola formula dalam penciptaan sastra lisan tentulah menimbulkan aspek-aspek kepuitisan yang menjadi ciri khas sastra lisan. Aspekaspek kepuitisan tersebut biasanya berupa paralelisme, repetisi, penggunaan kata yang berlebihan (pleonasme), unsur epitet (julukan) serta kata atau bunyi sisipan (Lord, 1976: 32-65). Dalam hubungannya dengan penelitian terhadap sastra lisan Sinrilik Kappalak Tallumbatua, penggunaan pola formula dan aspek-aspek kepuitisan yang menjadi ciri khas sastra lisan pun terlihat sangat dominan digunakan meskipun tidak ketat. Dengan demikian, konsep formula yang merupakan ciri sastra lisan dalam penelitian ini dimaknai sebagai ungkapan bahasa yang mempunyai ide hakiki yang dapat dipakai secara tetap, teratur, dan berulang-ulang.
46
4. Teori Resepsi Penelitian resepsi terhadap karya sastra dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain dengan melihat keberadaan wujud struktur teks, kritik sastra, dan penelitian eksperimental. Dilihat dari fisik teksnya, penelitian resepsi dapat dilakukan melalui penelitian intertekstual, proses penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan. Objek studi sastra dalam estetika resepsi adalah penerimaan serta sambutan pembaca atau masyarakat pembaca terhadap teks sastra (Chamamah-Soeratno, 1992 dan 2011: 82-84). Penelitian resepsi terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua dalam penelitian ini dapat dilihat melalui fisik teksnya yakni melalui terjemahannya dan intertekstualnya. Yang dimaksud dengan sambutan pembaca di sini adalah munculnya karya baru yang dapat dikatakan merupakan transformasi teks terdahulu. Dalam transformasi teks itu, sekaligus termuat pula tanggapan pembaca, yakni pencipta karya sastra itu atas teks terdahulu (Wiryamartana, 1990: 2). Sambutan melalui teks lain yang menyambut teks terdahulu dapat dilakukan dengan mengolah kembali, memutarbalikkan, dengan memberontaki atau dengan menulis kembali teks terdahulu itu. Sambutan dalam berbagai modifikasi tersebut dalam pelacakannya banyak melibatkan faktor-faktor struktur, yaitu faktor sosiobudaya yang fungsional dalam proses penciptaan teks (Chamamah-Soeratno, 1988: 38-39). Sehubungan dengan sambutan pembaca dengan munculnya karya baru berupa transformasi dari teks sebelumnya, Sinrilik Kappalak Tallumbatua telah mengalami sambutan tersebut. Teks-teks baru kemudian muncul dalam bentuk 47
terjemahan, rekaman, drama, dan novel. Hal tersebut membuktikan bahwa Sinrilik Kappalak Tallumbatua telah mengalami sambutan dari pembaca. Karya sastra yang diciptakan pada kurun waktu yang lampau dapat dikenali melalui perwujudan dari transformasinya juga melalui perwujudan dari bentuk tanggapan terhadap teksnya. Jika wujud teks transformasi atau teks penyambut bermacam-macam, hal itu menandai adanya sambutan terhadap teksnya (ChamamahSoeratno, 1988: 37). Menghadapi teks yang mempunyai banyak kemungkinan untuk transformasi, peranan tanggapan pembaca dan penciptaan kembali dari pihak pembaca, perlu diperhatikan pada penelitian selanjutnya. Tanggapan
pembaca
terhadap
karya
sastra,
sesungguhnya,
sudah
berlangsung lama dalam kehidupan sastra, baik lisan maupun tertulis. Pembacalah yang memberi reaksi terhadap teks tersebut. Peranan pembaca sebagai pemberi makna tidak dapat diabaikan (Pradopo, 1991: 4). Sebuah karya sastra sejak terbit pertama kalinya sudah mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (1974: 12-13) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan pembaca selanjutnya dari generasi ke generasi. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial budaya. Hal ini berarti bahwa karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Dalam sastra lama, tanggapan tidak diberikan dalam bentuk kritik sastra, melainkan dalam berbagai versi yang diturunkan oleh sang penyalin dan disempurnakan sesuai dengan horizon harapan masyarakat pada masa 48
itu. Hal serupa terlihat juga dalam kehidupan sastra modern yang menerbitkan kembali karya sastra lama (Abdullah, 1993: 71-76). Sebuah karya sastra, sekalipun terlihat baru, tidaklah muncul sebagai sesuatu yang sama sekali baru dalam kekosongan informasi dan budaya. Pembaca tetap dapat mengetahui teks melalui tanda-tanda yang ada meskipun terbatas. Hal tersebut akan membangkitkan kenangan yang dikenal, menggerakkan emosi-emosi yang khusus dalam diri pembaca, dan mulai membangkitkan pengharapan pembaca yang tetap utuh, berubah, mengarahkan atau tetap dipenuhi ironi yang disebabkan oleh pembacaan sesuai dengan aturan genre atau tipe teks (Jauss, 1974: 16). Penggarapan teks oleh seorang pencerita/ penulis kemudian disesuaikan dengan jenis-jenis sastra baru, norma-norma baru, pencocokan bahasa baru, membuktikan pergerakan horizon harapannya (Teeuw, 1984: 215). Teks tersebut dibaca, dipahami, dan ditafsirkan. Hasil pembacaan, pemahaman, dan penafsiran itu kemudian diwujudkan menjadi teks baru, entah sama, entah berlainan bahasa, jenis, dan fungsinya (Wiryamartana, 1990: 10). Pembaca menafsirkan kembali Sinrilik Kappalak Tallumbatua dalam wujud dan bentuk yang lain. Ada yang sama, tetapi ada pula yang berlainan. Penerimaan karya sastra tidak selalu sama dari waktu ke waktu dan dari satu masyarakat pembaca ke masyarakat pembaca lainnya. Hal ini tampak jelas pada karya-karya sastra lama yang muncul dalam sambutan yang bervariasi (Chamamah-Soeratno, 1994: 183 dan 186). Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh hasil pembacaannya yang didapatkan dari karya-karya terdahulu. Dengan demikian,
49
penyimpangan sekecil apa pun dari tradisi akan memberikan efek perubahan yang berarti. Pemahaman terhadap sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Teeuw (1984: 100) menekankan pentingnya pengetahuan kebudayaan dalam memahami sebuah karya sastra. Pengetahuan kebudayaan ini malah dianggap penting, khususnya pula terhadap penelitian sastra Indonesia tradisional. Untuk kepentingan analisis sastra yang melibatkan pengetahuan kebudayaan, Teeuw (1984: 100) menunjuk pada konvensi budaya dalam sastra, dan Culler membicarakan dalam masalah kode kultural. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah teks jika dipisahkan dari asalnya dan dari keadaan konkret aslinya, akan mengambang dalam kekosongan tingkat interpretasi yang tidak terbatas (Eco, 1992: 41). Inti kegiatan membaca terhadap karya sastra adalah interaksi antara struktur karya sastra dan penerimanya. Interaksi antara struktur karya sastra dan penerimanya (pembaca) akan menghasilkan respon (tanggapan) yang diaktualisasikan (Iser, 1978: 20-21). Perlu diingat bahwa pembacaan tersebut pada hakikatnya berbekalkan pengetahuan yang didapat dari gudang pengalaman pembacanya, yaitu repertoire (istilah Iser, 1978). Bekal pengetahuan tersebut sesuai dengan faktor-faktor sosial budaya, nilai-nilai, dan norma-norma yang ada pada pembaca. Repertoar mengisi semua bagian yang umum di dalam teks. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk acuan-acuan karya-karya terdahulu, norma-norma sosial dan 50
historis, atau pada keseluruhan budaya dari mana teks tersebut muncul. Keberadaannya di dalam teks merupakan hal yang selalu bermakna bahwa telah terjadi beberapa jenis transformasi, dan sesungguhnya hal ini merupakan bentuk proses komunikasi keseluruhan yang integral. Proses komunikasi antara konvensikonvensi, norma-norma, dan tradisi-tradisi terjadi di dalam repertoar sastra sangat bervariasi (Iser, 1978: 69). Pembaca sebagai pengungkap makna terhadap karya sastra, bukanlah satu faktor yang mantap dan stabil karena pembaca merupakan faktor yang variabel, sesuai dengan masa, tempat, dan keadaan sosial budaya yang melatarinya. Perubahan yang terjadi pada latar belakang sosial budaya akan mempengaruhi makna yang diungkapkan. Jadi, ada kemungkinan sebuah karya sastra memperoleh makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca. Dalam penghayatannya, pembaca senantiasa mengalami ketegangan antara dirinya sebagai individu dan dirinya sebagai pembaca yang diarahkan oleh konvensi yang hidup dalam kelompoknya (Chamamah-Soeratno, 1983: 37-39). Gejala ini menunjukkan bahwa di dalam masyarakat selalu terjadi pergeseran nilai sastra. Hal tersebut menggambarkan adanya interaksi antara masyarakat dan seni, sekaligus menunjukkan fungsi sosial seni (Goldman, 1981).
5. Teori Intertekstual Secara sederhana, intertekstual dapat dirumuskan sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks-teks lain. Intertekstual merupakan fenomena resepsi
51
pengarang terhadap suatu teks-teks yang pernah dibaca dan dilibatkan dalam ciptaannya (Chamamah-Soeratno, 2011: 83). Prinsip intertekstual ini dikembangkan pertama kali oleh Julia Kristeva, kemudian Riffaterre. Teori ini menganggap bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan ataupun kerangkanya (Culler, 1977: 139). Sehubungan dengan hal tersebut, ternyata bahwa dalam teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua terlihat adanya teks-teks lain yang hadir dan dapat dikenali seperti peristiwa Perang Makassar dan cerita nabi Musa as. Hubungan aspek intertekstual yang terdapat di dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua dapat dilihat dari inti cerita yang membangun teksnya. Teori intertekstual menegaskan bahwa sebuah teks tidak terjadi tanpa adanya pengaruh dari luar. Teks tidak dapat mencukupi dirinya sendiri dan berfungsi sebagai sistem yang tertutup. Menurut Worton dan Still (1990: 1-2), hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penulis teks 11 adalah pembaca teks (dalam arti luas) yang sebelum menciptakan teksnya tidak dapat menghindari kutipan-kutipan dan pengaruh dari apa yang dibacanya. Kedua, pembaca teks pun memiliki pengetahuan terhadap semua yang telah dibacanya pada saat membaca sebuah teks. Terjadi persilangan antara satu dengan lainnya. Penulis mengikutsertakan pengetahuan yang telah dibaca sebelumnya, argumentasi, perasaan, figur-figur yang
11
Penulis teks dalam penelitian ini disamakan dengan pencerita/ pelantun/ pasinrilik
52
kuat, politik, dan struktur sosialnya ke dalam karya yang dibuatnya. Dengan kata lain, intertekstual adalah fenomena resepsi pengarang terhadap suatu teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam ciptaannya (Chamamah-Soeratno, 1992: 8). Teks apa pun merupakan sebuah interteks; teks lain hadir di dalamnya. Meskipun hadir dalam tingkat yang bervariasi, teks tersebut masih dapat dikenali karena teks berasal dari budaya sekitar dan sebelumnya. Teks apa pun merupakan sebuah jaringan baru kutipan masa lalu (Barthes, 1981: 39; Giddens dan Turner, 2008: 357, 379), setiap teks menjadikan dirinya interteks dari teks-teks yang lain (Barthes, 1979: 77; Jorgensen dan Phillips, 2007: 137-138). Seperti yang dikatakan Kristeva, setiap karya sastra merupakan mozaik sitiran, serapan, dan transformasi karya-karya yang lain (Culler, 1975: 139). Menurut Sweeney (1987: 18), dalam tradisi lisan, kondisi dan publik/ khalayak menyebabkan seorang pencerita membentuk dirinya dengan acuan pada norma-norma serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pencerita pun sangat terikat oleh medium dan teknik-teknik tertentu yang dipilihnya. Yang terakhir adalah pencerita menyusun dan membangun karyanya berdasarkan karya-karya yang pernah diketahui, dibaca, dan didengarnya. 12 Oleh karena itu, pengkajian terhadap SKT tidak bisa dilepaskan dari teks-teks yang mendahuluinya. Hal ini sesuai dengan prinsip teori intertekstual yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun teks yang sungguh-
12
Junus (1993: 223) mengatakan bahwa berdasarkan tradisi lisan, cerita adalah cerita, hanya berhubungan dengan peristiwa dan pelaku. Orang selalu mengabaikan kehadiran unsur yang tidak berhubungan dengan peristiwa dan pelaku. Orang mengabaikan rujukan dengan cerita lain.
53
sungguh mandiri dan setiap teks sastra harus dibaca dengan teks-teks lain yang menjadi contoh, teladan, serta kerangkanya. Sebuah teks boleh saja hanya meneladani atau mematuhi kerangka teks yang lebih dahulu, tetapi teks pun dapat juga merupakan pemberontakan ataupun penyimpangan terhadap model teks yang sudah ada sebelumnya. Setiap teks merupakan mosaik kutipan-kutipan, setiap teks adalah peresapan dan transformasi teks lain (Culler, 1977: 139). Dalam kaitannya dengan teori interteks, hal ini sangat penting untuk dipahami karena dapat berfungsi untuk membangkitkan memori. Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah karya sastra yang muncul terlebih dahulu seperti gagasan, peristiwa-peristiwa, kalimat, ungkapan-ungkapan, dan lainnya kemudian dijadikan modal, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (Hutomo, 1993: 13). Pemahaman yang sempurna terhadap sebuah teks dapat dilakukan melalui ingatan dan pengenalan dari latar belakang teks-teks terdahulu yang merupakan hypogram (istilah Riffaterre, 1978). Sebuah teks harus dihubungkan dengan teks latar (budaya) karena teks latar merupakan bagian teks begitu pula sebaliknya, teks menghadirkan teks latar (Kristeva, 1980: 36). Bakhtin (dalam Kristeva, 1980: 66) mengatakan setiap teks adalah penyerapan dan transformasi dari sesuatu yang lain. Tidak ada sebuah teks pun yang bisa dibaca secara terisolasi. Semua pembacaan muncul dalam kerangka intertekstual, persis seperti latar-latar yang terlibat dipakai untuk mencapai sebuah pengetahuan yang mutualistik (Gidden dan Turner, 2008: 379). Pencerita pun menghadirkan teks baru yang berasal dari teks-teks sebelumnya. Kode-kode, formula, model ritmis, pragmen bahasa sosial, dan sebagainya masuk ke dalam teks dan 54
didistribusikan kembali ke dalamnya (Barthes, 1981: 39). Hal tersebut terlihat dan dapat ditemui pada semua teks, baik pada teks lama maupun teks pascamodern (Junus, 1993: 223). Di dalam SKT terdapat teks-teks yang mengacu dan berisi kutipan-kutipan teks yang lain. Teks SKT kemudian disambut oleh pencipta teks yang kemudian melahirkan, menciptakan, ataupun memproduksi teks ke dalam beberapa bentuk transformasinya. Oleh karena itu, untuk membantu mengungkapkan hal tersebut dibutuhkan analisis intertekstual.
G. Metodologi 1. Metode Penelitian Dalam kerja penelitian yang bersifat ilmiah dibutuhkan nilai-nilai dasar yang harus memenuhi kriteria dan langkah-langkah metode ilmiah. Kriteria metode ilmiah tersebut harus berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip analisis, dan menggunakan ukuran objektif. Begitu pula dengan langkah-langkah penelitian ilmiah, yang dimulai dari menetapkan persoalan pokok, merumuskan dan mendefinisikan masalah, mengadakan studi pustaka, mengumpulkan data, mengolah dan menganalisis data, dan lain-lain (Chamamah-Soeratno, 2011: 66-67). Metode dalam penelitian ilmiah merupakan cara kerja yang digunakan untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Hasan dalam Sangidu, 2004: 13). Yang menjadi objek dalam penelitian ini terdiri atas dua: objek formal dan objek material. Objek formalnya adalah nilai-nilai, fungsi, dan resepsi yang terdapat
55
dalam teks sinrilik sebagai sastra lisan Makassar. Yang menjadi objek material dalam penelitian ini adalah teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang merupakan teks lisan dan diperoleh dari hasil perekaman yang diambil dari pasinrilik yang melek huruf dan buta huruf. Cara kerja untuk memahami objek, yang menjadi sasaran dalam penelitian, adalah dengan menggunakan metode. Metode merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek di dalam penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (Sangidu, 2004: 13). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2008: 4-6), metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan, baik dari orang-orang maupun perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang secara holistik. Penelitian kualitatif menitikberatkan konstruksi realitas murni, hubungan antara peneliti dan yang diteliti, dan kendala yang ada dalam situasi penelitian. Penelitian kualitatif mencoba mendapatkan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang sangat ditentukan oleh pemaknaan (Denzin, 2000: 8). Metode dalam penelitian sastra, pada dasarnya, memanfaatkan dua macam model penelitian, yaitu penelitian lapangan dan perpustakaan (Moleong, 2008: 3839). Secara metodologis, penelitian terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua akan berkenaan dengan data, pengumpulan data, keabsahan data, dan analisis data yang berhubungan dengan teks SKT. 56
Dalam penelitian ini, kerja awal yang harus dilakukan adalah penyajian teks. Setelah teks tersedia, akan dilakukan penerjemahan dan yang terakhir adalah analisis menggunakan teori yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian, dalam penelitian ini metode yang digunakan pun berkaitan dengan metode filologi untuk menentukan teks dasar penelitian. Selanjutnya, digunakan metode penelitian sastra, yaitu metode formula dalam penelitian sastra lisan dan metode penelitian resepsi. a. Metode Filologi Dalam disertasi/ penelitian ini, metode yang dilakukan adalah metode filologi yakni menerapkan cara kerja filologi. Berdasarkan cara kerja tersebut akan disajikan edisi teks terbaca oleh pembaca masa kini yang berasal dari teks karya masa lampau. Edisi teks terbaca dalam penelitian ini adalah edisi teks terbaca dengan memanfaatkan teks yang masing-masing berasal dari pasinrilik melek huruf dan buta huruf. Cara kerja metode filologi yang dilakukan untuk mendapatkan teks, yakni dengan cara melakukan pelacakan terhadap pencerita (pasinrilik). Langkah selanjutnya adalah menentukan pasinrilik yang mengetahui dan dapat membawakan SKT dengan mempertimbangkan umur, bahasa, pemahaman dan pengalaman, serta materi cerita SKT. Perekaman pun dilakukan untuk mendapatkan teks SKT sebagai suntingan teks. Akhirnya, didapatlah teks SKT yang berasal dari pasinrilik melek huruf dan pasinrilik buta huruf dengan memanfaatkan metode edisi naskah tunggal
57
dari masing-masing pencerita. Metode ini digunakan karena berdasarkan pelacakan terhadap pasinrilik yang bisa membawakan SKT ini hanya ditemukan satu pasinrilik yang mewakili pasinrilik melek huruf dan buta huruf. Teks tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai dasar suntingan teks dengan menggunakan metode edisi standar. Dengan kata lain, suntingan teks yang dilakukan dalam disertasi ini adalah memanfaatkan metode edisi naskah tunggal dan penyuntingannya menggunakan edisi strandar. (1) Metode Penentuan Teks Suntingan Metode penyuntingan teks yang digunakan untuk menetapkan teks sebagai dasar suntingan adalah metode edisi standar. Cara kerja metode ini adalah menerbitkan satu teks dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Baroroh-Baried dkk., 1994: 68). Dalam penelitian ini, teks SKT yang diterbitkan ejaannya disesuaikan dengan EYD. Selanjutnya, dilakukan pembagian kata, kalimat, penggunaan huruf besar, dan penggunaan tanda baca. Sinrilik Kappalak Tallumbatua selain dapat diketahui dari tradisi lisannya, saat ini pun sudah dapat ditemukan dalam bentuk tulisan bahkan rekaman. Dalam bentuk tulisan terdapat teks yang dibuat oleh Matthes (1860) dan teks disertai terjemahan yang dibuat oleh Arief dan Hakim (1993). Selain itu, ada pula terjemahan yang telah dibuat oleh Nyompa (1981) serta rekaman dalam bentuk kaset yang dibawakan oleh Mappaseleng.
58
Sinrilik Kappalak Tallumbatua dalam penelitian ini adalah produk sastra lisan. Penelitian ini pun adalah studi tentang sastra lisan sinrilik sebagai salah satu hasil kesusastraan Makassar. Dengan demikian, data teks yang dijadikan sebagai dasar penentu teks suntingan dalam penelitian ini bersumber dari cerita lisan yang disampaikan oleh pasinrilik. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pasinrilik di Sulawesi Selatan semakin berkurang dan hampir tidak terjadi regenerasi. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada saat penelitian, ditemukan sekitar delapan (8) orang pasinrilik. Akan tetapi, kedelapan orang pasinrilik yang ditemukan tidak semua mengetahui Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Dua orang di antaranya— Dg. Pulo—masih buta huruf latin dan Siradjuddin Dg. Bantang—melek huruf. (2) Transkripsi Setelah dilakukan pengumpulan data melalui perekaman, rekaman kemudian ditranskripsikan. Teks sastra lisan berkaitan erat dengan transkripsi, sedangkan teks sastra tulis berkaitan erat dengan transliterasi (Sangidu, 2004: 92). Finnegan (1992: 194) mengatakan bahwa transkripsi merupakan proses pengalihan dari audio-recording ke dalam bentuk kata-kata yang tertulis. Transkripsi adalah pengubahan wicara menjadi bentuk tertulis, biasanya dengan menggambarkan tiap bunyi/ fonem dengan satu lambang (Kridalaksana, 1982: 170; Sangidu, 2004: 92). Transkripsi Sinrilik Kappalak Tallumbatua mengikuti prinsip pemindahan secara setia. Artinya, semua ucapan tukang cerita/ pasinrilik dipindahkan ke dalam bentuk tulisan supaya teksnya tidak berbeda jauh dengan rekamannya.
59
Transkripsi yang dilakukan dalam penelitian Sinrilik Kappalak Tallumbatua ini bukanlah transkripsi fonetik yang sesungguhnya (Kridalaksana, 1982: 44) karena transkripsi ini bercampur dengan unsur bahasa tertulis, yakni penggunaan tanda baca dan huruf kapital. Dengan demikian, akan jelas mana bagian narasi dan bagian yang merupakan percakapan, begitu pula komentar-komentar dari pasinrilik terhadap cerita yang dibawakannya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mudah membaca
dan
memahami teks cerita lisan tersebut. Penggunaan tanda baca dan huruf besar adalah hasil kerja peneliti pada saat melakukan transkripsi dari teks lisan ke bentuk teks tertulis. Kesalahan yang terjadi semuanya dicatat dalam catatan dan diberi penjelasan yang diletakkan pada bagian akhir terjemahan. Abjad yang digunakan dalam bahasa Makassar berjumlah 23 huruf terdiri atas huruf, a, b, c, d, e, g, h, i, j, k, l, m, n, ng, ny, o, p, r, s, t, u, w, dan y. Dalam abjad Makassar tidak ada e pepet. Kebanyakan konsonan dapat digandakan (misalnya, gannaki ‘genap’, ammake ‘memakai’, kappalak ‘kapal’, tallumbatua ‘tiga buah’, ballakna ‘rumahnya’). Dalam bahasa Makassar, sebuah kata tidak dapat berakhir dengan konsonan kecuali k (glottal stop) atau ng ( misalnya, nikiok ‘dipanggil’, appalak ‘meminta’, pattongkok ‘penutup’, nitianang ‘dihamilkan’, taung ‘tahun’, nipapparekang ‘dibuatkan’ (Basang, 1981). Dengan menggunakan prinsip pemindahan secara setia terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua, semua yang diucapkan tukang cerita/ pasinrilik akan dipindahkan ke bentuk tulisan. Dengan demikian, semua kekeliruan/ kesalahan yang dilakukan oleh pasinrilik seperti makna tidak jelas, salah ucap ataupun salah 60
menggunakan kata turut dipindahkan. Agar pembaca dapat memahami teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua dengan mudah, kata-kata tersebut ditempatkan dalam tanda kurung ( ) dan dicatat dalam catatan, kemudian diberi penjelasan yang ditempatkan pada bagian akhir atau di bagian bawah teks. Sistem ejaan yang digunakan dalam transkripsi teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua mengacu pada Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pengertian ejaan ialah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf) serta penggunaan tanda baca (KUBI, 1990). Menurut Kridalaksana (1982 : 38), ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang dibakukan. Baried dkk. mengatakan bahwa prinsip dasar ejaan adalah keajegan di samping mengikuti ejaan yang sudah dibakukan (1994 : 64). Dengan memperhatikan hal tersebut, transkripsi yang akan dilakukan terhadap teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua akan disesuaikan antara huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa Makassar dan sistem ejaan bahasa Indonesia yang baku. Langkah-langkah transkripsi yang dilakukan pada penelitian terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua sebagai berikut. 1. Transkripsi dilakukan secara kasar, yaitu semua suara yang ada dalam rekaman dipindahkan ke dalam bentuk tulisan tanpa mengindahkan tanda baca. 2. Setelah melakukan transkripsi kasar, mulailah dilakukan penyempurnaan dengan memeriksa kembali kata-kata yang belum tertranskripsikan begitu
61
pula dengan kata-kata yang salah dengar atau tidak jelas diucapkan. Pada tahap ini perbaikan dilakukan berulang-ulang. 3. Setelah transkripsi disempurnakan, mulailah diberikan tanda baca atau pun tanda-tanda lain yang diperlukan. Misalnya, jika ada bahasa Indonesia yang digunakan akan diberi garis bawah atau pun tanda kurung.
(3) Terjemahan Penerjemahan adalah pemindahan ide atau pokok pikiran dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan kata lain, penerjemahan adalah suatu kegiatan atau proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dengan demikian, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, memahami pesan bahasa sumber, dan kedua, mengungkapkan kembali pesan tersebut ke dalam bahasa sasaran (Sastriyani, 2011: 17). Tujuan dilakukannya penerjemahan adalah agar amanat yang terdapat di dalam teks yang diterjemahkan dari teks sumber dapat disampaikan dalam teks hasil terjemahan atau teks sasaran (Sangidu, 2007: 98). Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang berbahasa Makassar, yang dimaksud dengan teks sumber adalah teks sinrilik dalam bahasa Makassar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai teks sasaran. Nida dan Taber, Larson, dan Newmark mengatakan bahwa bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki perbedaan, maka pada saat pesan itu diungkapkan kembali ke dalam bahasa sasaran, terdapat berbagai persoalan yang cukup rumit berkaitan dengan leksikon
62
(kata), struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan bahkan konteks budaya (dalam Sastriyani, 2011: 17). Menurut Nida dan Taber (1974: 12) menerjemahkan didefinisikan sebagai kegiatan yang menghasilkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan mempergunakan padanan kata yang terdekat dan wajar, baik cara pengungkapan makna maupun gayanya. Dalam mencari padanan tersebut, perlu memperhatikan segi makna dan bentuk atau gaya bahasanya. Gaya yang diungkapkan tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya tersebut. Berkaitan dengan metode terjemahan yang digunakan, Basalamah (dalam Sangidu, 2007: 99-100) menjelaskan tentang metode terjemah formal atau harfiah dan metode terjemah dinamis. Metode terjemah formal atau harfiah adalah penerjemahan kata demi kata dan metode terjemah dinamis adalah metode yang berusaha menyampaikan isi amanat dalam bahasa sumber dengan ungkapan-ungkapan yang lazim digunakan dalam bahasa sasaran. Penelitian yang dilakukan terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua, memanfaatkan kedua model metode terjemahan formal atau harfiah dan metode terjemah dinamis seperti yang telah dikemukakan di atas. Oleh karena penelitian ini menggunakan objek karya sastra lisan, sulit untuk menghindari penerjemahan secara harfiah. Hal ini karena terdapatnya ekspresi-ekspresi, gaya, susunan kalimat, formula, ide-ide, paragraf, pemotongan-pemotongan yang dilakukan oleh pencerita pada saat penyampaian cerita karena adanya faktor “kelupaan dan ketidaksadaran” pasinrilik.
63
Dengan demikian, terjemahan secara harfiah terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua tidak secara konsisten dilakukan. Pada bagian-bagian tertentu digunakan pula metode terjemahan dinamis dengan berusaha menyampaikan isi amanat setepat-tepatnya dan sedekat mungkin dengan yang ada dalam bahasa sasaran. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1974: 1) bahwa pemindahan amanat harus memperhitungkan situasi dan kondisi bahasa penerima. Di samping itu, hal yang harus diperhatikan adalah masalah gaya penceritaan. Terdapat beberapa cerita sinrilik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia ragam tulis yang dipilih untuk digunakan dalam menerjemahkan SKT ini adalah bahasa Indonesia yang sudah digunakan dan dikembangkan oleh beberapa penerjemah sebelumnya. Mengenai proses penerjemahan Larson (1989: 3-4) menggambarkan sebagai berikut.
Proses Penerjemahan
Teks yang akan diterjemahkan
Terjemahan
Penafsiran Makna
Pengungkapan kembali maknanya
Makna
64
Dalam penerjemahan, ada beberapa teknik yang penting diperhatikan dan diketahui untuk memecahkan persoalan penerjemahan pada tataran kata, kalimat, atau paragraf. Menurut Hoed (2006: 12 – 14) teknik-teknik tersebut adalah, (1) Transposisi, mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul, (2) Modulasi, memberikan padanan yang secara semantik berbeda artinya, tetapi dalam konteks pesan dan maksud yang sama, (3) Penerjemahan deskriptif, adalah membuat uraian yang berisi makna kata yang bersangkutan, karena tidak menemukan padanan kata bahasa sumber, baik karena tidak tahu maupun karena tidak ada atau belum ada dalam bahasa sasaran, (4) Penjelasan tambahan, memberikan kata khusus untuk menjelaskan suatu kata yang tidak dapat dipahami, (5) Catatan kaki, memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan sebab tanpa kata terjemahan tersebut kata terjemahan tidak akan dipahami dengan baik oleh pembaca, (6) Penerjemahan fonologis, membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata yang bersangkutan dalam bahasa sumber untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) bahasa sasaran, (7) Penerjemahan resmi/ baku, adalah langsung menggunakan sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam bahasa sasaran, (8) Tidak memberikan padanan, yakni untuk sementara mengutip bahasa aslinya karena belum ditemukan terjemahannya dalam bahasa sasaran, dan (9) Padanan budaya, yakni menerjemahkan dengan memberikan padanan berupa unsur kebudayaan yang ada dalam bahasa sasaran.
65
b. Metode Resepsi Resepsi terhadap SKT dalam penelitian ini dapat dijumpai melalui fisik teksnya, yakni melalui intertekstualnya dan transformasi atau penyambutannya. SKT yang diciptakan pada masa lampau dapat dikenali melalui perwujudan dari transformasinya, begitu pula melalui perwujudan dari bentuk tanggapan terhadap teksnya. Jika wujud teks transformasi atau teks yang menyambutnya bermacammacam, hal tersebut menandakan adanya sambutan yang intensif terhadap teksnya (Chamamah-Soeratno, 1988: 37: 1999: 21). Dengan demikian, penyambutan pembaca terhadap SKT dalam penelitian ini dapat ditelusuri berdasarkan teks-teks lainnya. Penerimaan atau sambutan suatu teks terhadap teks lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni metode eksperimental, metode kritik, dan metode intertekstual (Chamamah-Soeratno, 1988: 38: 2011: 82-83). Metode resepsi yang digunakan dalam penelitian SKT sebagai teks lama, hanya menggunakan metode intertekstual. Adapun metode eksperimental dan metode kritik tidak digunakan dalam penelitian ini. Metode eksperimental tidak diterapkan karena metode ini hanya berlaku untuk teks-teks sastra masa kini (ChamamahSoeratno, 2011: 82). Oleh karena SKT adalah produk teks masa lampau, metode eksperimental tidak dapat diterapkan. Menurut Teeuw (1984: 210) penelitian resepsi sastra secara eksperimental hanya dapat dilakukan untuk resepsi masa kini saja, sedangkan untuk masa lampau tidak mungkin dijangkau. Begitu pula dengan metode kritik yang metodenya adalah merunut perkembangan tanggapan pembaca melalui ulasan, kritik, komentar, ataupun penelitian-penelitian (Chamamah-Soeratno, 1999: 66
22). Metode kritik teks dalam pengertian filologi tradisional pun tidak digunakan karena menurut filologi tradisional, metode ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah teks yang sedekat mungkin dengan bentuk aslinya (Maas, 1972: 1), sedangkan dalam studi ini teks yang dihasilkan menggunakan metode edisi naskah tunggal. c. Metode Intertekstual Metode intertekstual adalah metode yang melacak sambutan melalui teks lain yang menyambut teksnya. Sambutan tersebut dapat dilakukan dengan mengolah kembali, memutarbalikkan, dengan memberontaki, atau dengan menulis kembali teksnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan (Chamamah-Soeratno, 2011: 83-84; 1988: 38). Sambutan pembaca terhadap SKT dengan munculnya teks-teks baru berupa terjemahan, rekaman, novel, dan drama dapat dilacak melalui hubungan intertekstual antara satu dan lainnya. Prinsip intertekstual menegaskan bahwa sebuah teks tidak terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pengaruh dari luar. Dengan kata lain, penciptaan serta pembacaan SKT dan teks-teks penyambutnya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, ataupun kerangkanya yang hadir dan dapat dikenali dari teksteks tersebut (Culler, 1977: 139). Intertekstual adalah penomena resepsi pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibaca dan dilibatkan dalam ciptaannya (Chamamah-Soeratno, 1992: 8). Teks apa pun merupakan sebuah interteks karena teks lain hadir di dalamnya. Meskipun teks tersebut hadir dalam tingkat yang bervariasi, ia masih dapat dikenali karena
67
berasal dari teks dan budaya sekitar dan sebelumnya. Dengan kata lain, teks apa pun merupakan jaringan baru dari kutipan masa lalu (Barthes, 1981: 39), setiap teks menjadikan dirinya interteks dari teks-teks yang lain (Barthes, 1979: 77). Dalam kaitannya dengan metode intertekstual, penelitian ini dilakukan dengan melihat bentuk sambutannya, yaitu melalui (1) teksnya sendiri, terutama yang berkaitan struktur dengan SKT dan (2) teks-teks lain yang menyambut teksnya. Berdasarkan metode resepsi yang digunakan, terlihat bahwa resepsi terhadap SKT dapat dilakukan melalui metode intertekstual. 2. Data Penelitian a. Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan dibagi atas dua, yakni data primer dan data sekunder. Yang merupakan data primer adalah Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang diperoleh dari pasinrilik yang berada di Kabupaten Gowa pada dua tempat yang berbeda yang dilakukan dengan cara perekaman. Perekaman dilakukan semalam suntuk, yakni untuk pasinrilik melek huruf pada September 2009 dan pasinrilik buta huruf pada Pebruari 2010. Data primer yang digunakan berasal dari satu orang pasinrilik yang melek huruf latin dan huruf lontarak dan satu orang pasinrilik yang buta huruf latin yang mengetahui dan dapat membawakan SKT. Biasanya pasinrilik yang buta huruf latin menguasai sistem huruf bahasa Makassar yaitu huruf lontarak.
68
Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian begitu pula dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
b. Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Teks yang direkam dari pertunjukan SKT yang diwakili oleh masing-masing pasinrilik yang melek huruf dan buta huruf. 2. Teks Sinrilikna Kappalak Tallumbatua yang disunting serta editornya adalah Arief dan Hakim (1993). 3. Syair Perang Mengkasar yang ditulis oleh Enci’ Amin (1963 dan 2008). 4. Kaset rekaman yang berjudul Kappalak Tallum Batua dengan pasinrilik M. Mappaseleng Daeng Maggau tahun 1980. 5. Drama yang berjudul Arung Palakka (Juli 1988) dan Para Karaeng (Agustus 1994) karya Fahmi Syariff (2005). 6. Sebuah novel sejarah yang berjudul Perang Makassar1669: Prahara Benteng Somba Opu karya S. M. Noor (2011).
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian lapangan dan penelitian pustaka. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah melalui wawancara dan perekaman. Data yang dikumpulkan dalam bentuk catatan lapangan,
69
catatan hasil wawancara terstruktur, transkripsi rekaman, tulisan hasil wawancara mendalam, gambar/ rekaman foto objek yang relevan. Pengumpulan data tersebut diibaratkan seperti bola salju yang terus menggelinding sampai satu titik yang dianggap sudah memadai (Aminuddin, 1998: 5). Penelitian pustaka dilakukan untuk memperoleh data berupa buku, artikel, hasil penelitian, dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian sastra lisan. Penelitian ini adalah studi mengenai sastra lisan. Pengertian sastra lisan pada penelitian ini adalah karya sastra yang diciptakan dan disampaikan secara lisan dengan mulut melalui pertunjukan ataupun di luarnya. Dengan demikian, data teks dikumpulkan dari semua informan, yakni pasinrilik sebagai penutur, tokoh-tokoh masyarakat, dan penikmat yang memiliki kaitan dengan sastra lisan SKT. Untuk memperoleh informasi tentang sastra lisan SKT, harus dilakukan kerja lapangan. Penelitian lapangan (Field Research) merupakan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, sangat erat berkaitan dengan pengamatan berperan serta (Moleong, 2008: 26). Peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama yang akan berperan serta secara aktif dalam kegiatan penelitian. Penelitian terhadap sastra lisan Sinrilik Kappalak Tallumbatua ini dimaksudkan untuk melihat formula pembentuk teks antara pasinrilik yang melek huruf dan buta huruf latin, fungsi, nilai-nilai, dan resepsi yang terdapat di dalamnya. Teks SKT tersebut dikumpulkan melalui wawancara dan perekaman, selanjutnya
70
ditranskripsikan setelah itu dilakukan penerjemahan dan analisis menggunakan teori yang telah disebutkan sebelumnya.
a. Wawancara Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan wawancara. Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak dengan maksud tertentu (Moleong, 2008: 186). Menurut Denzin dan Lincoln (2000: 501) wawancara ada tiga macam; terstruktur (structured), semi-terstruktur (semi-stuctured), dan tidak terstruktur (unstructured). Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur atau yang terarah (directed) dan yang tidak terstruktur atau tidak terarah (non directed) (Danandjaya, 1984: 187). Wawancara terarah adalah wawancara yang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan sudah disusun sebelumnya. Hal ini berbeda dengan wawancara yang tidak terarah. Wawancara ini merupakan wawancara yang sifatnya bebas dan memberi kesempatan kepada informan untuk memberikan keterangan yang sebesar-besarnya mengenai hal-hal yang ditanyakan (lihat juga Moleong, 2008: 190). Dalam penelitian SKT ini, wawancara dilakukan kepada para pasinrilik untuk memperoleh data sesuai dengan yang diinginkan. Wawancara juga dilakukan kepada para budayawan atau pun orang-orang yang mengerti tentang data-data yang berkaitan dengan penelitian. Wawancara dilakukan dengan mendatangi sumber di tempatnya untuk mendapatkan data sesuai dengan penelitian.
71
b. Perekaman Strategi pengumpulan data 13 teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua dalam penelitian ini dilakukan dengan cara perekaman di lapangan melalui para informan langsung, yakni tukang cerita (pasinrilik) yang memiliki pengetahuan dan kemampuan terhadap SKT. Perekaman dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, perekaman dalam konteks asli (natural) dan kedua, perekaman dalam konteks tidak asli atau perekaman yang sengaja diadakan (Hutomo, 1991: 77). Dalam penelitian ini, perekaman SKT dilakukan dengan memanfaatkan kedua cara tersebut. Sulastin (1981: 9) mengatakan bahwa dalam penelitian sastra lisan, pengumpulan bahan penelitian berlangsung dengan berbagai cara, antara lain melalui informan, melalui perekaman ataupun catatan dari orang (tua-tua) yang masih segar menyimpan cerita-cerita turun-temurun itu dalam ingatannya, atau melalui orangorang yang ahli dan pandai menyanyikan cerita-cerita tersebut. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati –dalam penelitian ini adalah teks 14 dan konteks— atau diwawancarai merupakan sumber data yang utama. Untuk mewujudkan hal tersebut, upaya perekaman terhadap objek merupakan proses yang sangat penting 13
Data dikumpulkan dalam bentuk catatan lapangan, catatan hasil wawancara terstruktur, transkripsi rekaman, tulisan hasil wawancara mendalam, gambar/ rekaman foto objek yang relevan. Pengumpulan data tersebut diibaratkan seperti bola salju yang terus menggelinding sampai satu titik yang dianggap sudah memadai (Aminuddin, 1998: 5). 14
Menurut Koster (1995: 6 dan 1998: 37-38) teks tidak terbatas pada cerita yang disampaikan saja, tetapi meliputi juga unsur-unsur seperti bunyi suara pencerita, musik yang mengiringi, gerak-gerik, alat-alat yang digunakan, upacara yang mengiringi, dan sebagainya. Teks dalam sastra lisan merupakan sebuah”Gesamtkunstwerk” hasil penggabungan beberapa bentuk seni, bukan hanya hasil seni kata saja. Itulah sebabnya edisi teks-teks sastra lisan yang diterbitkan sarjana Belanda dan Inggris dulu, saat ini dirasa kurang memuaskan sebagai sumber pengetahuan tentang sastra lisan.
72
dalam penelitian sastra lisan. Hasil rekaman kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/ audio, tapes, pengambilan foto, dan film (Moleong, 2008: 157). Dengan demikian, data teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua direkam terlebih dahulu sebelum ditranskripsikan dalam bentuk tertulis. Hal ini berarti bahwa terjadi pengalihan wacana dari wacana lisan (oral discourse) ke dalam bentuk tulisan (written discourse). Beralihnya wacana dari bentuk lisan ke dalam bentuk tulisan, dalam penelitian tradisi lisan, menimbulkan masalah tersendiri disebabkan posisi tulisan telah menggantikan kedudukan lisan/bicara. Menurut Kleden (1998: 6), dampak yang ditimbulkan dari peralihan ini adalah (1). dalam wacana lisan, terjadi dialog karena ada hubungan langsung antara pembicara/tukang cerita dan pendengarnya, tidak demikian halnya dengan tulisan; (2) dalam wacana lisan, intensi pembicara/tukang cerita mempunyai sasaran yang jelas, yaitu pendengarnya, wacana tulisan tidak mempunyai sasaran yang jelas; (3) dalam wacana lisan, intensi pembicara/tukang cerita tumpang-tindih dengan makna ujaran, dalam tulisan hal tersebut tidak terjadi. Hal ini terjadi karena pembicara/tukang cerita mengaktualisasikan bahasa dengan mimik dan gerakan-gerakan. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam penelitian Sinrilik Kappalak Tallumbatua ini, diperlukan pemindahan sense yang ideal ke dalam bentuk referensi yang nyata. Berdasarkan aturan-aturan tertentu, 73
wacana lisan dapat ditransformasikan ke dalam bentuk teks tulisan. Dengan demikian, transkripsi atau pemindahan tanda-tanda bicara ke dalam bentuk tulisan dapat dilakukan. Istilah transkripsi juga cocok untuk pemindahan atau pengalihan materi lisan, misalnya, dari rekaman ke dalam tulisan (Robson, 1994: 66). Dalam penelitian ini, teks lisan 15 yang telah direkam akan dipindahkan dalam bentuk teks tertulis. 4. Analisis Data Di dalam penelitian, analisis data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai hasil penelitian. Setelah semua data diperoleh baik melalui studi kepustakaan maupun studi lapangan, dilakukanlah pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan cara; (1) data yang telah direkam kemudian ditranskripsikan; (2) data yang telah ditranskripsikan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; (3) Setelah teks tersedia, langkah selanjutnya dilakukan analisis. Objek dalam penelitian ini, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya adalah terbatas pada teks sastra lisan SKT. Sumber data berasal dari teks lisan SKT yang diperoleh dari pasinrilik melek huruf dan pasinrilik buta huruf. Analisis data dilakukan dengan menerapkan teori filologi, teori formula, resepsi, dan intertekstual
15
Teks lisan menurut Hutomo (1999 : 6-7) adalah teks yang dihadirkan melalui cara transkripsi dari hasil rekaman yang harus diwujudkan dalam bentuk yang sempurna. Oleh karena itu, teks lisan sebelum dianalisis harus benar-benar mewujudkan ‘reflection of reality’, artinya, teks harus hadir tanpa cacat dan cela, maksudnya, si peneliti dalam mentranskripsi hasil rekaman tidak boleh menambah atau mengurangi data yang tersimpan dalam rekaman, sebab setiap unsur data yang ada, baik salah atau benar, semua berguna untuk bahan analisis.
74
terhadap SKT menggunakan langkah-langkah yang sistematis dan terstruktur. Oleh karena penelitian ini berkaitan dengan sastra lisan dan menggunakan bahasa Makassar, dimanfaatkan teori dan metode filologi untuk penyuntingan teks. Hal ini supaya SKT yang merupakan teks yang berasal dari masa lampau dapat terbaca atau dipahami oleh pembaca masa kini. Analisis data dilakukan menggunakan teori formula untuk melihat cara pasinrilik membentuk dan menyusun baris-baris yang digunakan dalam SKT. Teori formula digunakan untuk melihat aspek cerita berupa penokohan, alur, teknik pengembangan cerita, serta struktur ruang dan waktu. Selanjutnya, menganalisis bagian-bagian cerita untuk menentukan episode dan subepisode untuk menemukan baris-baris penanda setiap episode dan subepisode SKT. Setelah itu, dilihat aspek puisi berupa unsur formal, gaya bahasa, formula dan unsur formulaik, serta tema. Tahap selanjutnya adalah melihat latar belakang penciptaan SKT dan aspek sosial budaya masyarakat Makassar, khususnya Gowa, yang melahirkan dan menjadi latar teks Sinrilik Kappalak Tallumbatua sehingga lebih menjelaskan makna yang terdapat dalam SKT. Pada tahap ini, akan dilihat secara mendalam fungsi dan nilai-nilai serta amanat sinrilik pada masyarakat Makassar dulu dan kini. Bentuk analisis selanjutnya adalah resepsi yang dapat dilihat dari fisik teksnya, yakni intertekstualnya dan transformasi atau penyambutannya. Intertekstual adalah fenomena resepsi pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibaca dan dilibatkannya dalam ciptaannya (Chamamah-Soeratno, 1992: 8). Teks-teks tersebut berasal dari teks dan budaya sekitar dan sebelumnya. Penyambutan teks lain dalam suatu teks memperlihatkan 75
adanya kaitan teks dalam rangka fungsi strukturnya masing-masing, yakni gejala yang disebut intertekstual sebagai kesimpulan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti (Kristeva dalam Culler, 1981: 104). Melalui metode intertekstual, bentuk sambutan dianalisis melalui aspek-aspek teks SKT sendiri dan teks-teks lain yang menyambut teksnya.
H. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam tujuh bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab I pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II latar belakang sosial budaya masyarakat suku Makassar yang berisi uraian mengenai aspek sosial dan budaya masyarakat yang melahirkan karya sastra tersebut khususnya yang ada di Gowa dan sekitarnya yang menjadi latar teks. Pada bab ini, juga dikemukakan kondisi sinrilik pada masyarakat suku Makassar dalam konteks masa kini. Bab III teks dan terjemahan Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang dilengkapi dengan catatan teks dan terjemahan. Bab IV analisis mengenai formula pembentukan baris-baris teks dalam penciptaan cerita Sinrilik Kappalak Tallumbatua yang meliputi analisis unsur cerita dan unsur puisi. Dalam analisis unsur cerita aspek-aspek yang dilihat adalah semua
76
unsur yang membangun cerita dan yang paling penting adalah penokohannya. Selanjutnya, dilihat unsur puisi dengan menggunakan teori kelisanan, yaitu teori formula yang dikemukakan oleh Lord. Bab V telaah fungsi dan nilai-nilai serta amanat membahas hal mengenai latar belakang penciptaan Sinrilik Kappalak Tallumbatua serta fungsi dan nilai-nilai apa saja yang terdapat di dalamnya dulu dan kini. Pada akhirnya, dikemukakan amanat yang ditarik dari hasil fungsi dan sistem komunikasi sastra antara pencerita— realita—teks—pendengar. Bab VI, sambutan penikmat terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatua. Pada bagian ini, dibicarakan mengenai aspek intertekstual yang terdapat di dalam teks serta sambutan dan transformasinya dalam beberapa bentuk. Bab VII, penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dan saran yang menyarankan penelitian sinrilik lebih lanjut.
77