1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Jauh sebelum tradisi menulis dikenal dan berkembang di Madura, masyarakat Madura menggunakan kemampuan lisan dalam kehidupan sosialnya. Dengan tradisi lisan pula mereka mengekspresikan segala macam bentuk kebudayaan di lingkungannya. Pada masa itu (sebelum adanya tradisi tulis), melalui proses sosiokulturalnya, masyarakat Madura telah menghasilkan berbagai macam kebudayaan lisan yang salah salah satunya berupa sastra lisan yang sebagian kini sudah terlupakan dan sebagian lagi masih tersisa di dalam masyarakat. Salah satu tradisi lisan peninggalan nenek moyang masyarakat Madura yang hingga kini masih dapat dinikmati adalah sastra lisan berupa Dhammong . Sastra lisan ini sebenarnya tidak berkembang di seluruh daerah kepulauan Madura tapi hanya di beberapa desa yang terdapat di ujung timur pulau Madura yakni di daerah kabupaten Sumenep. Dulu, sebelum tradisi menulis dikenal masyarakat Madura, eksistensi tradisi Dhammong ini sangat kuat dan populer di semua kalangan masyarakat
Madura khususnya Sumenep. Namun setelah tradisi
menulis dikenal dan berkembang pesat di lingkungan masyarakat Madura, tradisi Dhammong perlahan mulai memudar dan bahkan sama sekali telah terlupakan oleh masyarakat di beberapa daerah Sumenep yang sebelumnya merupakan tempat tradisi tersebut hidup dan berkembang, tanpa memperhatikan lagi makna
2
dan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena masyarakat
sudah
menemukan
media
baru
untuk
mengekspresikan
kebudayaannya, yaitu melalui tulisan, atau sebagaimana pula pernyataan yang pernah dikemukakan pula oleh Ninuk Klede Probonegoro (1998) bahwa tradisi yang tadinya hidup dan tumbuh subur di daerah pedesaan, kini mulai kurang diminati oleh generasi muda yang sudah mengenal aksara. Fenomena tersebut tentunya bukan realitas yang menggembirakan bagi kelestarian kebudayaan daerah dan nilai-nilai lokal di dalamnya. Sebab jika hal tersebut dibiarkan akan menjadikan generasi Madura khususnya generasi masyarakat Sumenep buta terhadap kebudayaan daerahnya sendiri. Masyarakat Madura yang kini kurang memahami
hasil kebudayaan daerahnya tersebut
terancam apatis terhadap kebudayaan lokalnya sendiri. Tidak hanya itu, jika kondisi yang demikian dibiarkan, maka akan mengancam eksistensi sastra lisan sebagai kekayaan budaya Madura dan bahkan menjadikannya benar-benar punah karena sudah tidak lagi dikenal dan dipahami. Dalam mempertahankan dan melestarikan eksistensi sastra lisan tersebut, selama ini banyak para peneliti yang dengan baik hati melakukan usaha pendokumentasian. Namun usaha tersebut tidak begitu berhasil sebab hanya berupa dokumentasi tanpa memberikan pemahaman dan penyadaran terutama mengenai makna dan nilai-nilai kurtural sebagai warisan leluhur kepada generasi berikutnya. Melihat fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk melestarikan sastra lisan itu tidak cukup hanya dengan mendokumentasikannya saja. Sebab pendokumetasian tersebut
sama halnya dengan memuseumkan karya sastra
3
sebagai artefak yang tidak dapat dinikmati dan dihayati. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis akan melakukan penelitian lebih mendalam mengenai makna yang terdapat dalam lirik tradisi Dhammong sehingga tidak hanya berupa dokumentasi yang sama sekali tidak dapat memberikan fungsi apapun selain sebagai artefak kebudayaan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menganalisis makna tradisi Dhammong dengan menggunakan pendekatan semiotik yang ditawarkan oleh Umberto Eco. Keputusan peneliti menggunakan konsep semiotik tersebut karena peneliti berasumsi bahwa Eco
merupakan salah
satu ahli semiotik yang
pemikirannya sangat relevan untuk dijadikan pisau analisis dalam proses pemaknaan dan interpretasi teks karya sastra. Peneliti juga berasumsi bahwa dengan konsep semiotik Eco, makna-makna yang tersirat dalam ritual dan lirik Dhammong tersebut dapat digali dan dimunculkan sehingga dapat diketahui dan dipahami oleh semua kalangan, khususnya generasi penerus yang sebelumnya apatis karena tidak adanya kemampuan dalam memahaminya. Dengan usaha demikian, menurut hemat peneliti, generasi masyarakat akan dapat lebih memahami makna dan isi dari kebudayaan daerahnya sendiri dan hal tersebut berarti secara tidak langsung generasi masyarakat telah melestarikan hasil kebudayaan daerahnya. Sebab, sebagai hasil dari kebudayaan (sastra lisan) ritual Dhammong juga dapat memberikan pengetahuan mengenai nilai-nilai kultural masyarakat Madura.
4
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, dalam penelitian ini, akan dibahas tradisi Dhammong dan makna-makna yang terkandung di dalamnya secara semiotis. Pembahasan tersebut akan diuraikan melalui beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Seperti apakah bentuk dan eksistensi tradisi ritual Dhammong? 2. Bagaimanakah makna semiotis ritual Dhammong berdasarkan konsep semiotik (teori kode) Umberto Eco? 1.3 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Kedua tujuan tersebut dirumuskan dalam tujuan teoritas atau akademis yang mengakomodasi ilmu, dan tujuan yang bersifat praktis, bersifat daya guna untuk masyarakat luas. Tujuan yang bersifat akademis dalam penlitian ini adalah; Pertama, menambah khazanah kajian semiotik dengan konsep kode yang ditawarkan oleh Umberto Eco. Kedua, memahami konsep pemikiran Umberto Eco terutama dalam memaknai suatu objek secara semiotis.Ketiga, berusaha memberikan contoh aplikasi teori Umberto Eco terhadap sastra lisan dalam ritual Dhammong. Di samping itu, tujuan yang berisfat prakstis yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada masayarakat pembaca khususnya generasi masyarakat tempat tradisi Dhammong tersebut ada
serta
5
tentang urgensi memahami makna yang terkadung di dalam sastra lisan yang merupakan hasil kebudayaan daerah. Lewat kemampuan memahami suatu kebudayaan, masyarakat bisa mengambil manfaat, baik berupa nilai-nilai sosial maupun kultural yang berguna bagi kehidupan. Selain itu, dengan kemampun memahami makna yang terdapat dalam Dhammong tersebut, pembaca diharapkan untuk bisa melestarikan hasil kebudayaan tersebut dengan cara tetap mempraktekkannnya sebagaimana mestinya, tidak hanya menganggapnya sebagai artefak kebudayaan yang dibiarkan sebagai dokumentasi saja. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian dengan topik yang sama dengan penelitian ini, khususnya kajian tentang sastra lisan berupa lirik dalam ritual Dhammong dengan pendekatan semiotika Umberto Eco, sejauh pengamatan penulis, belum ada yang melakukannya atau pun menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah. Namun, tulisan lain yang berkaitan dengan tradisi Dhammong dan beberapa tulisan dengan pendekatan semiotika Umberto sudah sering dilakukan. Penelitian yang berkaitan dengan Dhammong
adalah penelitian yang
dilakukan oleh Hanifah (2011) yang dikemas dalam bentuk skripsi dengan judul Nilai simbolis dan Nilai Filosofi dalam Ritual Pojian di Desa Gapura di Desa Gapura
Timur
Kecamatan
Gapura.
Hasil
penelitian
tersebut
sekadar
mendeskripsikan tentang ritual Dhammong dan memaparkan beberapa nilai-nilai yang terkadung di dalamnya. Penelitan lain yang juga berkaitan dengan Dhammong adalah sebuah karya tulis berupa jurnal yang ditulis oleh Hefni
6
seorang dosen STAIN Pamekasan Madura dengan judul “Bernegoisasi” dengan Tuhan melaluui Ritual Dhammong. Penelitian berupa jurnal tersebut menyaijakan dhammong sebagai sebuah hasil kebudayaan Madura yang bisa dijadikan sebagai media komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Penulis jurnal tersebut yang juga berlatar belakang pendidikan Ilmu Sosial, menenliti dhammong dengan pendekatan sosiologi. Menurutnya, dhammong merupakan ritual hasil kemantapan Islam yang di dalam kesadaran masyarakat Madura dipandang sebagai hasil integrasi keseimbangan antara tuntutan tradisi universal-Islam dan tradisi lokal Madura. Adapun tulisan yang berkaitan dengan teori Semiotika Umberto Eco adalah skripsi yang disusun oleh Lianita Mustikaning Raras (2010) di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Film Musikal Dokumenter “ Generasi Biru” Sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco. Hasil penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan isi dari film saja tetapi juga menguraikan isi dan makna-makna simbol yang terdapat di dalamnya dengan pendekatan semiotika Umberto Eco dengan sederhana tanpa melakukan analisis lebih dalam mengenai tanda dan kode-kode yang terdapat di dalamnya. Selain itu, ada pula sebuah tesis yang ditulis oleh Chalidah Nuraulia Aisyanarni (2013) dengan judul Iluminasi Naskah Melayu Karya M.Bakir Koleksi PNRI: Tinjauan Semiotika Umberto Eco. Tesis tersebut menjelasakan kajian filologi mengenai naskah
Melayu karya M. Bakir yang merupakan koleksi dari Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan analisis makna yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan teori semiotika Umberto Eco.
7
1.5 Landasan Teori Untuk
menjawab
masalah-masalah
dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan teori kelisanan dan semiotika. Pemilihan teori kelisanan didasarkan pada objek material penelitian ini, yaitu sastra lisan tradisi ritual Dhammong. Adapun teori semiotika Umberto Eco dipilih karena penulis berinisiatif untuk menganalisis makna ritual dhammong dengan menggunakan teori semiotik atau konsep pemaknaan semiotis yang ditawarkan oleh Umberto Eco khususnya tentang teori kode. 1.5.1 Sastra Lisan Menurut Hutomo (1991:1), istilah ‘sastra lisan’ di dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris oral literature. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari Belanda orale letterkunde. Kedua pendapat ini dapat dibenarkan, namun yang menjadi persoalan adalah sebagaimana yang dikatakan Finnegan (dalam Hutomo,1991:1) bahwa istilah ini di dalam dirinya
sendiri sebenarnya mengandung kontradiksi, sebab kata
literature yang di dalam bahasa Indonesia disebut sastra atau susastra merujuk pada tulisan atau buku. Karena pengertian yang seperti itulah maka, di Indonesia, perhatian terhadap sastra yang tidak tertulis kurang sekali jika dibandingkan dengan perhatian terhadap sastra tulis. Menurut Hutomo sendiri, berdasarkan pada beberapa definisi yang pernah ditemui, yang dinamakan sastra lisan, sebenarnya adalah
kesusastraan yang
8
mencakup ekspresi kesusastraan warga, suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara turun temurun secara lisan (dari mulut ke mulut). Pengertian yang demikian menggugurkan pengertian sastra yang dulunya hanya berarti as anything written. Dalam menjelaskan pengertian sastra lisan, Hutomo tidak hanya berhenti pada batas definisi. Hutomo (1991:3) melengkapi pengertian definisi sastra lisan dengan beberapa ciri yang membedakannya dengan sastra tulis. Ciri-ciri tersebut yaitu: (1) Penyebarannya melalui mulut, maksudnya, ekspresi
budaya yang
disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut; (2) Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf; (3)Menggambarkan ciri-ciri budaya masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut hal-hal baru (sesuai dengan peruabahan sosial);(4)Tidak diketahui siapa pengarangnya, dank arena itu menjadi milik masyarakat; (5)Bercorak puitis, teratur dan berualang-ulang, makasudnya, (a) untuk menguatkan ingatan; (b) paya untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak berubah;(6)Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan/ fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya;(7)Terdiri dari berbagai versi dan (8)Bahasa:menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari),mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap. Ciri-ciri di atas menjadi penyekat yang sangat jelas antara sastra lisan dengan sastra tulis, meskipun keduanya sama-sama merupakan ekspresi kebudayaan
9
dengan menggunakan bahasa verbal. Namun dari sekian ciri-ciri yang disebut di atas, salah satu ciri yang paling mendasar antara sastra lisan dan tulisan adalah medium bahasa yang digunakan, yang pertama (sastra lisan) menggunakan medium bahasa lisan, sedangkan yang kedua (sastra tulis) menggunakan bahasa tulis. Mengenai bahasa sendiri, antara sastra lisan dan sastra tulis sebagai medium ekspresi kesusastraan jelas berbeda. Sebagaimana yang dinyatakan B.H Hoed (1995) bahwa bahasa lisan biasanya didefinisikan sebagai bahasa manusia yang disampaikan dengan menggunakan alat-alat bicara atau alat-alat artikulasi yang ada pada manusia. Di samping itu, bahasa lisan , karena digunakan dalam komunikasi lisan, mempunyai sifat yang berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam komunikasi tulis. Komunikasi tulis menggunakan huruf yang tersusun dalam sistem ejaan. Komunikasi lisan mempunyai sifat-sifat khusus, yaitu (1) produksinya menggunakan alat bicara, sedangkan penerimanya menggunakan indra pendengaran; (2) kecuali dalam komunikasi telepon atu alat komunikasi lisan dalam kegelapan, pengirim dan penerima salaing melihat wajah dan tubub masing-masing;(3) kecuali dalam menerima komunikasi melalui rekaman, pada dasarnya tidak ada jarak waktu antara produksi dan penerimaan. 1.5.2 Semiotika Dalam kaitannya dengan proses pemaknaan, khususnya dalam pemaknaan teks perlu adanya alat yang harus digunakan untuk membedah dan menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu alat pemaknaan yang dimaksud dalam konteks ilmu sastra adalah semiotik. Teori semiotik merupakan teori yang berperan dalam mengkaji tanda yang kemudian dapat memberikan makna pada
10
tanda. Semeotika adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari Yunani yaitu semion yang berarti tanda.Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah homo semeotikus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya(Sujiman dan Zoest, 1991:vii). Istilah semeion nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepeadik dengan perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostik inferensial (Sinha dalam Kurnniawan, 2001:49). Pada masa itu, tanda masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api (Kurniawan:2001).
Dalam
Kamus
Istilah
Sastra
(Abdul
Rozak
Zaidan,dkk.,2007:185) dijelaskan bahwa semiotik merupakan ilmu yang meneliti tanda dan proses pemaknaan tanda secara tradisional, semiotik dibagi menjadi tiga bagian, semantik (kajian tentang pemaksaan tanda), pragmatik (kajian tentang pemanfaatan tanda), dan sintaksis (kajian tentang keterpautan antara makna dan fungsi dalam sebuah sistem). Pradopo (2012:119) menjelaskan bahwa semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda.
Menurutnya, semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai arti. Banyak tokoh yang telah melahirkan teori semiotik antara lain adalah Charles S. Peirce, Louis Hjemslev, Roland Barthes dan Umberto Eco. Semua tokoh tersebut telah mengeluarkan beberapa konsep pemaknaan secara semiosis berdasarkan pada konsep pemikiran mereka masing-masing.
11
Dengan menyesuaikan pada rumusan masalah yang akan penulis jelaskan dalam penelitian ini, sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, penulis menganggap teori semiotik khususnya teori tentang kode yang ditawarkan oleh Umberto Eco sangat relevan untuk dijadikan sebagai pisau anaslisis . Sebagai ahli semiotika, Umberto Eco tergolong tokoh yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn( dalam Sobur, 2006), teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam Teori atau konsep kode yang ditawarkannya ini berawal dari responnya atas pengertian Peirce tentang “semiotis tak terbatas”. Selain ingin menghindari makna tunggal ia juga ingin melawan makna tak terhingga banyaknya (Syuropati, 2011:84) Pemikiran Eco mengenai semiotik sangat kaya. Dalam menguraikan pejelasan teori semiotika yang ditawarkannya, ia memulai pembahsannya dengan analisis pengertian tanda dengan merujuk pada beberapa pemikir lain sebelumnya seperti Sausure dan Pierce. Eco (2011:20) menyatakan bahwa dalam mendefinisikan semiotika, Pierce lebih menyeluruh dan secara semiotis amat bermanfaat dibanding dengan definisi semiotika yang ditawarkan oleh Sausure. Namun, terlepas dari kritik atas konsep semiotika yang ditawarkan keduanya (Sausure dan Pierce), Eco tetap menggunakan pemikiran mereka sebagai bahan acuan dalam menguraikan konsep semiotikanya sendiri. Artinya, diakui atau tidak, Eco telah terpengaruh oleh Sausure dan Pierce, dan bahkan lebih terkesan bahwa Eco hanya mengembangkan pemikiran tokoh-tokoh semiotik sebelumnya. Selain itu, Eco
12
juga tidak lepas dari pengaruhi pemikir lain seperti Lois Hjemslev, Morris dan lain-lain. Misalnya, dalam memberikan definisi mengenai tanda, ia lebih cenderung dan bahkan sepakat dengan apa yang telah diberikan oleh Morris yaitu mengusulkan bahwa tanda sebaiknya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berdasarkan konvensi sosial yang telah ada sebelumnya (Eco,2009:22). Dengan kata lain, Eco dalam teorinya, telah mengintegrasikan hasil pemikiran orang lain sebelumnya ke dalam dalam teori semiotika yang dihasilkannya. Dalam menyusun teori semiotikanya, meskipun berangkat dari pemikiran berbagai tokoh, Eco telah memberikan beberapa batasan pada kajian semiotikanya, yang ia sebut dengan batas-batas politis. Batas-batas politis ini sesungguhnya merupakan tindakan Eco atas adanya pernyataan sebelumnya bahwa semua hal dapat dikaji secara semiosis, atau semiotik tanpa batas. Batas-batas politis yang dimaksud Eco adalah sebagai berikut (Eco,1976:1018): (a) Semiotika hewan (zoosemiotics), bidang kajian ini mewakili batas terendah semiotika karena menelaah perilaku komunikatif kawanan-kawanan bukan manusia (sehingga bidang kajian ini bersifat nonkultural);(b) Tanda-tanda berupa
bebauan
(olfactory
signs),misalnya
puisi-puisi
romantis
yang
menunjukkan adanya ‘kode bebauan’. Jika terdapat bebauan dengan nilai konotatif yang dapat ditangkap oleh kepekaan emotif,maka pasti juga ada bebauan yang memiliki nilai referensial yang persis;(c) Komunikasi rabaan (tactile communication), ini dikaji oleh psikologi,jenis kajian ini cederung melibatkan perilaku-perilaku yang jelas terkodifikasi secara sosisal, semisal ciuman, pelukan, bantingan, tepukan di pundak dan seterusnya;(d) Kode-kode cecapan (codes of
13
taste), biasanya ini merupakan kajian atas kegiatan masak-memasak, yang dikaji oleh antropologi kultural;(e) Paralinguistik (paralinguistics), bidang kajian ini mengkaji apa yang juga disebut dengan sisi-sisi suprasegmental dan varian-varian bebas yang memungkinkan terjadinya komunikasi linguistik dan makin lama makin terinstitusional dan tersistematisasi.Ojek kajian ini adalah suara-suara atau yang berkaitan dengan vokalisasi. Ojek lain yang juga menjadi perhatian kajian ini adalah suara genderang dan peluit;(f) Semiotika Medis, adalah studi dan klasifikasi atas indeks-indeks dalam pengertian yang pernah dikemukakan Pierce dan termasuk bagian dari semiotika umum (karena Eco memperlakukannya demikian). Semiotika medis juga dapat meluas ke ranah psikoanalisi; (g)Kinesika dan proksimika (kinesics and proxemics), bidang kajian ini adalah gesture-gestur yang bergantung pada kode-kode kultural, seperti gesture-gestur yang sudah dibiasakan seperti sopan santun, peribadatan dan pantomim; (h) Kode-kode musikal, bidang ini mengkaji kode-kode yang terdapat dalam music. Dalam kurun sejarah tertentu, musik dipahami sebagai media yang mampu menyampaikan makna emosional dan konseptual secara pas, di mana makna-makna tersebut terbentuk oleh kode-kode atau setidaknya oleh repertoar;(i) Bahasa formal, kajian ini adalah untuk menemukan suatu bahasa formal dalam aljabar sampai kimia serta upaya-uppaya yang dilakuakan untuk menemukan bahasa kosmis dan antarplanet; (j)Bahasa tulis atau alfabet yang tak dikenal, kode rahasia,yang menjadi perhatian kajian ini adalah kode-kode dan alfabet rahasia termasuk juga semua
hal
teka-teki
dan
puzzles;(k)
Bahasa
alami;
(l)Komunikasi
visual;(m)Sistem ojek-objek; (n) Struktur alur; (o) Teori teks; (p) Kode-kode
14
kulutural, yaitu sistem sopan santun,hierarki-hierarki dan apa yang juga disebut dengan sistem ‘pemodelan sekunder’—yaitu sistem yang menurut para pemikir Soviet mencakup mitos, legenda,teologi primitif yang diwujudkan dalam sebuah tatanan dunia yang dibayangkan masyarakat dan tipologi kebudayaan yang mengkaji kode-kode yang mendefinisikan model kultural tertentu;(q)Teks-teks estetik; (r) Komunikasi massa dan (t) retorika. Lebih lanjut Eco menjelaskan tanda melalui Teori Kode dalam bukunya yang berjudul
A Theory of Semiotics. Menurutnya (Eco, 2009:70) tidak ada yang
disebut tanda, yang ada hanyalah fungsi-tanda (sign-function). Dalam hal ini, Eco mengutip apa yang telah dijelaskan oleh Hjemslev (1943) bahwa sepertinya akan lebih tepat jika kata tanda digunakan sebagai nama bagi unit yang terdiri dari bentuk-isi (content-form) dan bentuk ekspresi (ekspression-form). Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi-tanda. Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan (ekspresi) dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengodean”. Eco menggunakan “kode” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Lebih sederhananya, Eco (2009:127-128) menjelaskan bahwa denotasi adalah isi dari sebuah ekspresi dan konotasi merupakan isi dari
15
fungsi-tanda. Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi
(kesepakatan)
bersama
yang
di
dalamnya
tanda-tanda
dapat
dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Mengenai teori kode, Eco (2009:81) selanjutnya menegaskan bahwa teori kode semestinya lebih banyak berurusan dengan bagaimana menentukan sampai manakah keterangkatan konotasi bisa dimungkinkan. Dengan kata lain bahwa sebuah fungsi-tanda terus berpotensi untuk menghasilkan makna konotasi-konotasi lain. Selain menjelaskan mengenai denotasi dan konotasi, Eco (1976:99) juga menjelaskan mengenai interpretan. Menurutnya, interpretan inilah yang kemudian mengantarkan makna pada tingkat denotasi hingga konotasi.Sebab suatu tanda (fungsi-tanda) baru akan berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretan (Eco,1976:15). Dalam hal makna dari fungsi-tanda, Eco (2009:96) memandangnya sebagai unit kultural. Ia mengatakan bahwa setiap upaya menentukan referen sebuah tanda (baca:fungsi-tanda) akan memaksa kita mendefinisikan referen berdasarkan entitas abstrak yang tak lain adalah konvensi kultural. Unit-unit kultural adalah tanda-tanda yang telah disediakan oleh kehidupan sosial untuk digunakan:gambar menginterpretasikan
buku,
respons-respons
tertentu
menginterpretasikan
pertanyaan-pertanyaan yang samar, kata-kata menginterpreatsikan definisi dan
16
begitu pula sebaliknya (Eco,2009:105). Menurutnya, pada dasarnya makna adalah keyakinan sosial yang dipegang bersama, yang terkadang berlawanan satu sama lain dan memiliki akar historis (Eco,2009:148). Eco juga menegaskan bahwa pengakuan atas kehadiran unit-unit kultural ini ( yang oleh karena itu pengakuan atas makna tempat ke mana kode mengorespondensikan sistem wahana-tanda) memerlukan pemahaman bahwa bahasa sebagai fenomena sosial (Eco,2009:98). Langkah kongret Eco dalam hal pemaknaan secara semiotis salah satunya dapat dilihat pada beberapa model analisis yang ditawarkan dalam teori semiotikanya yaitu model revisian. Eco (1976:158) menjelaskan bahwa model revisian ini bertujuan untuk memasukkan seluruh konotasi yang telah terkodekan dan bergantung pada denotasi terkait serta pada seleksi kontekstual dan keadaan ke dalam representasi semantis.Untuk lebih dapat memahami model analisis tersebut, Eco (1976:171) telah menjelaskannnya melalui bagan sebagai berikut:
(contkuno)
d1
c1
Ikan Paus
(contmodern)
d1
c1
Melalui bagan analisis di atas, dapat diketahui adanya kemungkinan munculnya pemaknaan atas tanda ikan paus. Berdasarkan pada bagan tersebut, makna tanda ikan paus dapat didasarkan pada dua konteks, yaitu modern dan kuno. Pada masyarakat kuno, ikan paus tidak hanya bermakna ikan, tetapi juga
17
dapat bermakna konotasi sebagai iblis. Sedangkan pada konteks masyarakat modern, yang tentunya berdasarkan pada pemahaman pada kultur masyakat modern yang tidak memiliki pengetahuan kultural masayarakat kuno, maka ikan paus dapat diartikan atau memiliki makna konotasi yang merepresentasikan hewan raksasa yang tergolong pada binatang mamalia yang hidup di air. Sederhananya, proses pemaknaan yang demikian sejatinya hanya berpatokan pada pengetahuan konteks kultural tertentu. Artinya, pemaknaan dengan model ini, sebagaimana disingggung di awal, yaitu menyesuaikan pada keadaan dan seleksi kontekstual. Model analisis yang ditawarkan Eco dalam teori Semiotika (teori kode),oleh peneliti dimanfaatkan untuk menganalisis berbagai macam tanda yang terdapat dalam rirual dhammong. Dengan teori tersebut, peneliti bertujuan untuk mengetahui makna yang ada di balik tanda berdasarkan pada konteks kultural masyarakat pelaku dhammong. 1.6 Metode Penelitian Poedjawijatna (dalam Faruk, 2012:23) menyatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan, cara perolehan pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya objek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan objek itu. Kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabelvariabel yang ditentukan atas dasarnya.
18
Faruk (2012:22)
menegaskan bahwa untuk menguji hipotesis yang
merupakan hasil deduksi teoritik, diperlukan data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis sehingga ditemukan hubungan antar-data yang dianggap merepresentasikan hubungan antar-fakta sebagaimana yang dinyatakan dalam teori dan hipotesis.Dengan demikian, dalam pe nelitian ini terdapat dua langkah yang harus dilakukan, yaitu langkah pengumpulan data dan analisis data. 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Metode kulalitatif dalalm pengumpulan data ini diartikan sebagai suatu metode
penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan (Moleong,1989:2). Bodgan dan Taylor (melalui Moleong,1989:3)
mendefinisikan
metodologi
kualitatif
sebagai
prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Penelitian dengan pendekatan kulaitatif merupakan penelitian yang berlandaskan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (Ikbar, 2012:146). Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana yang dijelaskan oleh Moleong ( dalam Ikbar, 2012:146) bahwa terdapat sebelas karakteristik yaitu: menggunakan latar alamiah, menggunakan manusia sebagai instrument utama, menggunakan metode kualitatif (pengamatan,wawancara,atau studi dokumen) untuk menjaring data, menganalisis data secara induktif, menyusun teori dari bawah ke atas (misalnya grounded theory).Dalam penelitian ini, walaupun peneliti akan mengumpulkan data dengan terjun langsung ke lapangan tidak menggunakan perhitungan secara kuantitatif.
19
Pada metode pengumpulan data, data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa lirik ritual Dhammong dan segala hal yang berkaitan dengannya yang diperoleh dengan cara ‘terjun langsung ke lapangan’ (menyaksikan dan mendokumentasi data di lapangan), yaitu di salah satu daerah Sumenep Madura. Data yang diperoleh dari lapangan ini sekaligus dijadikan objek material. Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder berupa sumbersumber referensi tertulis (buku, makalah, jurnal, laporan penelitian, skripsi dan lain sebagainya) yang berkaitan dengan ritual dhammong secara keseluruhan khususnya yang dapat membatu dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. 1.6.2 Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia. Ini karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang tidak akan pernah dinyatakan oleh data itu sendiri (Faruk, 2012: 25). Dalam penelitian ini, data-data yang diperoleh berupa data verbal atau teks lisan yang berbahasa daerah kemudian ditranskripsi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Proses transkripsi dilakukan secara fonetis yaitu sebuah bentuk transkripsi yang bersifat fonetik. Arti dari fonetik sendiri ialah sebuah ilmu yang menyelidiki bunyi bahasa tanpa melihat fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa (langue) (Verhaar dalam Marsono,1999:1).
20
Khusus dalam proses penerjemahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, penulis mengacu pada kaidah-kaidah dan model penerjemahan. Sebagaimana yang dijelaskan Hutomo (1991:86) bahwa teks lisan yang sudah dikumpulkan dan ditransmisikan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami pembaca, dalam hal penelitian ini adalah bahasa Inodnesia. Dalam hal penerjemahan, tentunya ada beberapa model penerjemahan yang dipilih untuk disajikan dalam sebuah penelitian. Hutomo (1991:90) menjelaskan bahwa ada tiga macam teerjemahan, yaitu free translation, literal translation dan word-for-word translation. Ketiga macam terjemahan tersebut dapat disajikan ke dalam tiga model penyajian, yaitu terjemahan dapat ditempatkan di kanan teks asli; di bawah teks asli; atau disendirikan di tempat lain. Dalam penelitian ini, peneulis menggunakan literal translation dan disajikan dengan model pertama, yaitu terjemahan ditempatkan di sebelah kanan teks asli dengan menggunakan tabel. Kemudian setelah beberapa data tersebut disajikan dalam bahasa Indonesia, penulis berusaha menganalisisnya dengan pembacaan berdasarkan pada teori semiotik yang ditawarkan oleh Umberto Eco, dengan konsep kode yang ditawarkannya melalui model analisis revisisan. Sebab Dalam teori semiotik Eco lebih memfokuskan dirinya pada konsep mengenai kode. Menurutnya, tandatanda suara atau grafis tidak memiliki arti apa pun tanpa adanya kode. Mengingat teks lirik ritual Dhammong merupakan bagian bagian tanda-tanda yang harus dimaknai, maka penulis menggunakan konsep kode itu untuk menguak makna atau arti dari teks lirik tersebut. Eco menggunakan “kode” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau
21
grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Lebih sederhananya, Eco (2009:127-128) menjelaskan bahwa denotasi adalah isi dari sebuah ekspresi dan konotasi merupakan isi dari fungsi-tanda. Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi
(kesepakatan)
bersama
yang
di
dalamnya
tanda-tanda
dapat
dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Mengenai teori kode, Eco (2009:81) selanjutnya menegaskan bahwa teori kode semestinya lebih banyak berurusan dengan bagaimana menentukan sampai manakah keterangkatan konotasi bisa dimungkinkan. Dengan kata lain bahwa sebuah fungsi-tanda terus berpotensi untuk menghasilkan konotasi-konotasi lain. Untuk sampai pada makna konotasi tersebut, sebagaimana yang telah disinggung di awal, penulis menggunakan model analisis revisisan. Model revisisan ini bertujuan untuk memasukkan seluruh konotasi yang telah terkodekan dan bergantung pada denotasi serta terkait pada seleksi kontekstual dan keadaan dalam representasi semantis. Setelah analisis dengan teori kode melalui
analisis model revisian
dioperasikan pada ritual Dhammong, kemudian penulis berusaha menemukan adanya beberapa kode kultural baik yang tertera secara eksplisit maupun implisit
22
dalam Dhammomg. Dalam hal ini, peneliti berusaha mengaitkan konteks sosial dan kultural tempat ritual Dhammong tersebut dilahirkan sehingga terungkap makna bedasarkan
konteks sosio-kulturalnya sesuai dengan konsep yang
ditawarkan oleh Umberto Eco. 1.7 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, perumusan hipotesis, variabel-variabel, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang eksistensi ritual dhammong yang meliputi: definisi, sejarah, latar belakang sosial masyarakat yang berupa penjelasan mengenai kondisi tempat dan masyarakat pelaku dhammong dan bentuk-bentuknya. Bab III berisi tentang ritual dhammong dan aspek semiotika menurut Umberto Eco. Hal tersebut dijelaskan dalam beberapa subbab yang berisi tentang simbol-simbol, batas-batas politis serta uraian mengenai batas-batas politis ritual dhammong. Bab IV berisi tentang analisis mengenai makna ritual dhammong berdasrkan pada konsep semiotika (teori kode) Umberto Eco. Berbagai makna simbol diinterpretasi berdasarkan pada konsep pemaknaan yang ditawarkan oleh Eco, yaitu memaknai
tradisi ritual dhammong berdasarkan pada konteks kultural
masyarakat pelaku.Pemaknaan tersebut berusaha mencapai makna konotasi tertinggi.
23
Bab V berisi kesimpulan. Bab ini mennjelaskan apa yang dimaksud dengan tradisi riual dhammong secara deskriptif dan interpretasi maknanya berdasarkan konsep semiotika (teori kode) Umberto Eco. Dengan konsep semiotika tersebut sebagai pisau analisis dalam menginterpreatsi makna dhammong, maka ditemukan bahwa dhamong merupakan sebuah ritual yang bukan hanya tradisi seremonial belaka, tapi juga memeiliki makna yang mendalam sesuai dengan konteks pemahaman masyarakat pelalakunya, yakni dhammong merupakan sebuah bagian dari ekspresi religiusitas masyarakat Sumenep. Melalui ritual tersebut dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat tradisonal
Suemenep memiliki cara
tersendiri dalam mengekspresikan semangat keagamaannya dan memahami simbol-simbol yang menjembataninya.