TRADISI LISAN DI MADURA (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Oleh: Mohammad Hefni (Dosen Tetap Jurusan Syari’ah STAIN Pamekasan & Alumni Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya) Abstrak: Tradisi lok-olok merupakan tradisi pembacaan puisi (deklamasi) Madura yang biasanya identik dengan momentum tradisi kerapan sapi. Dalam tampilannya, tradisi sastra lisan ini tergabung dalam satu seni pertunjukan dengan musik saronèn dan tarian khas Madura. Puisi berbahasa Madura yang diteliti dalam tradisi ini penting untuk didalami guna memahami dan menangkap pesan moral tradisional masyarakat Madura, tanpa menghilangkan unsur keindahan dalam bahasa maupun struktur estetisnya.
Kata Kunci: Sastra Lisan, Deklamasi, Lok-olok
A. Pendahuluan
Dalam event kerapan sapi, para
Indonesia merupakan negara
penonton tidak hanya disuguhi adu
kepulauan yang terdiri dari berbagai
cepat sapi dan ketangkasan para
1
macam suku bangsa dan budaya.
jokinya, tetapi ia didahului oleh tradisi
Setiap suku bangsa memiliki warisan
lainnya,
tradisi yang berbeda. Di Madura,
pasangan-pasangan sapi yang diberi
salah
aksesoris mengelilingi arena pacuan
satu
tradisi
yang
masih
dilestarikan dalam tradisi kerapan sapi
(kerrabhân
sapè)
yang
(agèsèr)
yaitu
tradisi
dengan
mengarak
diiringi
musik
2
saronèn dan tradisi lisan, berupa lok-
merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi (bull race). 2
1
Schemerhorn mendefinisikan suku bangsa sebagai sebuah kolektivitas di dalam sebuah masyarakat yang besar dan memiliki leluhur yang sama baik secara nyata maupun dugaan; memiliki memori sejarah masa lalu yang sama, dan memiliki sebuah fokus budaya pada satu atau lebih elemen simbolik yang ditetapkan sebagai lambang kesukuan. Lihat R.A. Schemerhorn, Comparative Ethnic Relation: A Framework of Theory and Research (New York: Random House, 1970), hlm. 12.
Tradisi lisan mempunyai kaitan dengan dengan bahasa. Bahasa merupakan wahana paling signifikan untuk mengkomunikasikan dan memertahankan warisan takbenda (intangible heritage) dan pengetahuan lokal (local knowledge). Lihat Katubi, “Bahasa, Kebudayaan Material, dan Tradisi Lisan: Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor, Nusa Tenggara Timur”, Prosiding The4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity, and Future: https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/091020 12-40.pdf.
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni olok,3 yaitu seni berdeklamasi untuk
sarana eksplorasi dan dokumentasi
pengumuman nama sapi yang ikut
nilai-nilai budaya.
serta dalam lomba.
Berkaitan dengan hal tersebut,
Sebagai sebuah jenis sastra
permasalahan
yang
dikaji
dalam
lisan berbahasa Madura, tradisi lok-
penelitian
dirumuskan
dalam
olok belum pernah diteliti secara
bentuk
ekstensif. Para peneliti tentang sastra
Bagaimana gambaran tradisi lok-olok
Madura
tersebut?;
4
selama
ini
menfokuskan
ini
pertanyaan, (2)
yaitu:
bagaimana
(1) kajian
pada penelitian tentang cerita yang
etnometodologis atas tradisi lok-olok
berkembang di Madura, seperti yang
di Madura?
dilakukan Suhartono,
5
oleh
Bustami 6
dkk.
Dalam
dan
konteks
B. Metode Kajian
inilah, penelitian ini dilakukan, karena
Studi
ini
menggunakan
di samping berguna sebagai bentuk
pendekatan kualitatif dengan jenis
cerminan
penelitian
pemikiran,
pengetahuan,
7
dan harapan, juga berguna sebagai
adalah
etnometodologi,
yakni dengan mempelajari secara intensif sebuah tradisi lok-olok, baik
3
Kata dasar “olok” itu sendiri berarti panggilan, menamai, berseru, dan berteriak. Lihat A. Safiodien, Kamus Bahasa Madura-Indonesia (Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Departemen P dan K, 1977), hlm. 69. 4 Sastra lisan yang kuat berada di daerah terpencil. Mayoritas desa di Madura merupakan daerah terpencil. Kuatnya sastra lisan di daerah terpencil disebabkan penduduknya berdaya baca rendah dan kuat dalam memegang tradisi. Lihat S. D. Hutomo, Mutiara yang Terlupakan: Panduan Penelitian Sastra Lisan (Surabaya: HISKI, 1991), hlm. 2; Idem, Merambah Matahari (Surabaya: Gaya Mas, 1992), hlm. 25; Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: UGM Press, 2003), hlm. 251. Kedua faktor tersebut, menurut Sudikan,(1989:58), membuat sastra lisan lebih kuat daripada sastra tulis. Lihat SY Sudikan, “Tradisi Lisan sebagai Sarana Pelestari Lingkungan Hidup”, Jurnal Media Pendidikan, vol. 43, no. 11 (1989), hlm. 57-68. 5 A. L. Bustami, “Folklor Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) sebagai Sumber Sejarah”, Bahasa dan Seni, tahun 32, nomor 2 (Agustus 2004), hlm. 267-285. 6 Suhartono, B. Yulianto dan A. Ahmadi, “Cerita Rakyat di Pulau Mandangin: Kajian Struktural Antropologi Claude Lévi Strauss”, Journal of Unair, volume 23, nomor 4 (2010), hlm. 304-311 7 M. Lutfi, “Pergeseran Pengaruh Hindu ke Islam dalam Legenda Gunung Gong, Gunung
ungkapan verbal8 maupun gestur saat berdeklamasi,9
dalam
scene
10
tertentu, yakni dalam scene kerapan sapi. Subyek penelitian ini adalah para tokang lok-olok (deklamator) tradisi lok-olok yang dipilih secara purposive sesuai dengan tema lokolok. Teknik
pengumpulan
data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, observasi, dan wawancara. penelitian
ini
Analisis akan
data
dalam
menggunakan
Kelir, dan Banyu Anget”, Jurnal Manusia, Kebudayaan, dan Politik, no. 23 Vol. 1 (2010), hlm. 42-47. 8 J. M. Atkinson, “Public Speaking,” hlm. 370-407. 9 J. S. Turner, The Structure of Sociological Theory (California: Wadsworth Publishing Company, 1991), hlm. 384. 10 Garfinkel, Studies.
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 78
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni analisis model interaktif.11 Dengan
“kacong (bocah)” dan sapi betina
mengikuti model ini, analisis data
dengan sebutan “cebbhing (gadis)”.
berlangsung
Perlakuan sapi layaknya anak sendiri
bersamaan
dengan
proses pengumpulan data, dengan
juga
tahapan
ondhâghâh bhâsa (tingkatan bahasa
alur
Pengumpulan
sebagai data,
berikut:
display
ditunjukkan
oleh
pilihan
data,
halus) yang menggunakan bahasa
reduksi data, dan menarik kesimpulan
kasar (ênjâ‟-iyyâh/séngko‟-bâ‟na). Di
12
atau verifikasi.
Madura,
ondhâghâh
bhâsa
ini
digunakan oleh seseorang dalam C. Lok-olok
sebagai
Sebuah
Seni
Deklamasi
hubungan
ke
bawah,
misalnya
kepada anak, keponakan, dan cucu.
Salah satu tradisi lisan yang
Di
zaman bebas
lok-olok
masih berkembang dalam bahasa
berupa
Madura hingga saat ini, terutama di
memenuhi aturan irama. Tetapi, saat
daerah Sumenep, adalah
lok-olok,
ini para tokang lok-olok cenderung
yakni acara pengumuman nama sapi
mengabaikan aturan irama. Gaya
yang ikut serta dalam lomba, baik
puitis lok-olok sangat berbeda dari
lomba sapi sonok (lomba “kecantikan”
gaya
dan kelincahan sapi betina) maupun
(kejhung), yang ditampilkan pada
13
larik
dulu,
puisi tandha‟
meski
yang
dinyanyikan
dalam kerapan sapi jantan. Lok-olok
acara
adalah
adalah
penampilan
pertunjukan teater. Saat ini, pidato
kepandaian
bertutur
kata
yang
yang
atau
tetap
terimprovisasi
di ini,
dalam yang
diarahkan kepada sapi dan juga
dilestarikan di dalam tradisi lisan,
kepada
merupakan turunan dari
pemilik
dan
pengikut
rombongan pasangan sapi. Para tokang lok-olok dalam
gaya asli
yang lebih canggih, yaitu kejhung.14 Menurut
pengamatan 15
Hèlène
pidato lok-olok memperlakukan sapi
Bouvier,
pidato lok-olok yang paling
seperti manusia atau anak. Sapi
lengkap dan berstruktur terdiri dari
kadangkala disapa dengan sebutan
perkataan ramah tamah untuk hadirin
“bâ‟na (engkau)”. Untuk sapi jantan,
pemilik sapi, pemilik tanah lapangan,
ia juga sering disapa dengan sebutan 14
11
Miles, dan Hubermas. An Expanded Source Book, hlm., 10-14. 12 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1992), hlm. 128-130. 13 Kata dasar “olok” itu sendiri berarti panggilan, menamai, berseru, dan berteriak. Lihat Asis Safiodien, Kamus Bahasa Madura-Indonesia (Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Departemen P dan K, 1977), hlm. 69.
Selengkapnya lihat Zawawi Imron, “Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti”, dalam Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, Studistudi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, Huub de Jonge (ed.) (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 186. 15 Hèlène Bouvier, Lèbur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, terj. Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 2002), hlm. 175.
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 79
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni dan pemrakarsa lomba; kutipan nama tempat dan tanggal; pengenalan desa asal dan nama pemilik; pengumuman
Saongguna bâ‟na rèya sakèng kanèajâ dâ‟ ka sèngko cong Arapa ma‟ ta‟ alâ-bâlâ bâlâkka ja‟
nèddhâ‟
nama sapi (jhâjhuluk èpon sapè)
bâ‟na,
yang
lapangan rèya
acapkali
penjelasan
diikuti
tentang
dengan
pilihan
nama
tersebut, dan dilanjutkan dengan tata krama penutup.
Kacong
Bâjâng
neng
Ènten
rèya
ongghuna bâdâ maksoddhâ Bâjâng Enten rèya cong
Dengan demikian, problem
Ongghunah nandhâaghi je‟ mon
sosiologis yang terdapat dalam tradisi
orèngga
rèya
Lok-olok adalah adanya pembuktian
ongghu arabât bâ‟na
ongghu-
kepada publik bahwa dirinya berada
Saèngghe akole‟ emmas, atolang
dalam status sosial yang tinggi (oreng
bessèh, bân matanah asonar
16
rajeh).
Ini dapat dilihat dari hasil
pengamatan Bouvier
17
atas sebuah
lok-olok
pada
suatu
kesempatan
karapan
sapi
desa
di
Sumenep. pada
Hasil
seorang
daerah
pengamatannya
juru
pidato
yang
berdeklamasi mengenai sapi jantan bernama
Se
Bayangan
Bâjâng
Intan)
Ènten
adalah
(Si
sebagai
berikut:
Bâ‟na
ta‟
Warahmatullahi
Bâjâng
bâdhdhina
soal
Karana
la
sèngko‟
narèma
pasrana tang kaè dâ‟ ka sèngko‟ cong Poko‟na bâ‟na atoro‟ oca‟ Cong, Bâjâng Enten, bâ‟na ka sèngko‟apa
alora‟a
apa
alora‟a
cong
enjâ‟? bâ‟na
Lancèng Manes Bâ‟na mandhâr apamopok cong
Wabarokatuh
Kacong
kabâtèr
parabet
Kalamon
Assalamu‟alaikum
osa
Ènten,
bâ‟na
bâdâ
è
Kacong Bejeng Enten, sèngko‟ ta‟ lanjhâng lèbâr
dinna‟, cong Bâjâng Ènten
Amarghâ la tadâ‟ sè è atorragiyâ
Bâ‟na è sarè è kandhânga cong,
Dâ‟ sadhâjhe panonton bhâdhân
tadâ‟, è sarè è tanèyan tadâ‟ Bâdhdhina
bâ‟na
bâdâ
neng
lapangan rèya, cong
kaulâ tadhâ‟ sè è atorraghiyâ Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi wabarokatuh. Mator sakalangkong.
16
Oreng rajâh di sini dikaitkan dengan kepemilikan harta kekayaan yang melimpah, terutama yang berasal dari hasil pertanian. Walaupun demikian, kategori oreng rajeh juga berkaitan dengan orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam struktur pemerintahan. 17 Bouvier, Lèbur hlm. 176-177.
Asslamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Anakku
Si
Bayangan
ternyata engkau ada di sini
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 80
Intan,
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni Sudah lama aku mencari engkau
Terima kasih
di kandang, anakku Engkau tidak ada di situ, di halaman pun engkau tidak ada
Pidato lok-olok lainnya yang juga berkenaan dengan sapi adalah:
Ternyata engkau di lapangan ini, anakku
Bâjâ mangkèn dung-ondung arè
Memang engkau sangat kejam
Nèmor
padaku, nak.
dalem aèng
Mengapa engkau tidak bilang-
Kaulâ andi‟ bur-lèburan duwa‟
bilang bahwa kau mau datang ke
Nè‟-kenè‟ cabbhi lètè‟
kara,
bentar
tongghâ‟
lapangan ini. Bayangan
Intan,
semua
itu
mempunyai arti, anakku. Bayangan
Moghâ dhaddhi sampornana Ka
Intan
ini
sè
ka
bahwa pemilik sapi ini benar-
ètèngghu
benar merawat engkau
Sè
kau
bertulang
besi,
berkulit dan
emas,
matanya
bersinar EngKau
sareng
sè
etanggâ‟
sareng
sè
sebut
sè
ajâjuluk
sè
nèngghu
sesungguhnya menandakan
Sehingga
nanggâ‟
sè
panglowar
è
Ghâmbâr Sè
pangdâlem
Ghâmbu tidak
usah
khawatir
mengenai biaya untuk itu
Adu tang ana‟ sè sa pasang
Karena aku sudah menerima
Ana‟ ghembâr rèmbi‟ tabungkos
tanggungan ini dari kakekku
Ètella‟ temmo cèyaran
Yang
Ngabâs arè ta‟ solap
penting
kau
menuruti
Nèddhâ‟ teppong ta‟ alampat
perintahku Anakku, Bayangan Intan, engkau akan menuruti saya atau tidak?
Adu kacong buwâna atè
Bila
tadâ‟ bhunga andi‟ ana‟ kanṭa
engkau
anakku
mari
menuruti kita
aku,
harapkan
bâ‟na
semoga kau menang
èabas dâri adâ‟ gâgâ‟
Bayangan Intan, saya tidak usah
èabas dâri èrèng mantèrèng
panjang lebar karena sudah tidak
ada
yang
akanṭa arjuna kembhâr
bisa
dikatakan.
Adu kacong, pola bâ‟na
Kepada semua penonton, tidak
Atapa pèttobelâs taon è gunong
ada yang bisa yang utarakan.
Maraong
Wassalamu‟alaikum
Salbhâk macan lopot.
Warahmatullahi Wabarakatuh.
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 81
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni Saat
ini, matahari condong ke
bahasanya terbebas. Uniknya Lok-
arah Barat
alok
diucapkan/dibacakan
Kemarau yang sangat kering,
nuansa
pecah tonggak di dalam air
yang
Saya mempunyai dua kekasih
menciptakan vokal dengan intonasi
Kecil-kecil cabe rawit
yang
teatrikal
dengan
sehingga
diterima
kesan
dominan
mengesankan
sebagaimana
pembacaan puisi/deklamation. Semoga menjadi kesempurnaan Kepada
penanggap
dan
penonton Kepada
Terkadang, ia juga berisi pesan
moral
yang
menunjukkan
bahwa kekayaan bukan sesuatu yang yang
ditanggap
dan
harus
dipamerkan
dan
Justru
dibangga-
yang ditonton
banggakan.
yang
paling
Yang sisi luar (kiri) disebut Si
penting untuk dimiliki oleh seseorang
Gambar
adalah harga diri atau kehormatan.18
Yang sisi dalam (kanan) dijuluki
Pesan moral ini merupakan ungkapan
si Ghâmbu
balasan atas ejekan yang dilontarkan oleh penonton. Ini dapat dilihat dari
Aduh, anakku yang sepasang
contoh Lok-olok di bawah ini.
Anak kembar lahir terbungkus Dicubit sedikit saja bungkusnya
Bâdhân
kaulâ
sobung
sè
sobek
èkerrabâ
Menatap matahari tidak silau
Bâdhân kaulâ ta‟ andi‟ dhunnya
Menginjak tepung tidak berbekas
Tapè mon ka kahormadhân Bâdhân kaulâ andi‟ sakonè‟
Aduh anakku si buah hati
ghi‟
Kaulâ
Sungguh senang punya
anak
aromasa
Madhurȃ
seperti engkau
Ca‟ èpon orèng, èngghi
Dilihat dari depan, engkau gagah
Pa‟,
Dilihat
tengnga lapangan
dari
samping
engkau
orèng
dhunnyana
èpatao
ka
menterang Laksana Arjuna kembar
18
Aduh anakku, mungkin engkau Bertapa
di
Gunung
Raung
selama 17 tahun Lolos dari terkaman macan Dalam
lok-alok
lebih
menekankan pada irama dan rhyme (sajak), sehingga makna kata dan
Harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan. Lihat Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 170. Lihat juga Andang Subaharianto, et al., Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur Kultur Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 60.
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 82
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni Mon
bâdhân
kaulâ
bhunten,
tarètan
D. Lok-olok
dalam
Perspektif
Etnometodologi
Ta‟ andi‟ dhunnya.
Ethno-methodology merupakan gabungan dari kata ethno
Saya tidak punya sapi untuk ikut
(folk/rakyat),
method (cara), dan
serta dalam kerapan
ology
pengetahuan/studi).20
Saya tidak punya harta, tapi saya
Ethno, yang meruju pada anggota
masih punya sedikit harga diri
sebuah kelompok sosial, method,
Saya
yang
masih
merasa
sebagai
(ilmu
mengindikasikan praktis
proses
orang Madura
tindakan
Katanya orang, ya
praktis melalui mana aktor sosial
Pak, hartanya dipajang saja di
menciptakan
tengah lapangan
kembali tatanan sosial yang dapat
Tetapi saudaraku, saya tidak
dikenal,
dan
begitu
tentang
Saya tidak punya harta
etnometodologi
dan
dan
menciptakan
ology,
metode
ini.
penalaran
21
yakni
studi
Karenanya,
sebagai
disiplin
sosiologis menekankan pada metode Pidato dalam tradisi Lok-olok
dan prosedur yang dilakukan oleh
banyak mengandung pesan moral
orang-orang
kepada masyarakat Madura untuk
mendefinisikan
19
tetap mempertahankan jati diri
dan
ketika
dan
menginterpretasikan 22
mereka
harga diri orang Madura. Setelah
sehari-hari.
menyampaikan
lok-olok,
sebagai pendiri etnometodologi pada
tokang lok-olok menari (atandhâ‟)
akhir tahun 1940-an, tetapi baru
beberapa saat diiringi oleh soronèn.
menjadi sistematis setelah diterbitkan
Selama tarian itu, pemilik sapi atau
karyanya yang berjudul Studies in
anggota
Ethnometodology pada tahun 1967.
pidato
keluarganya
menyelipkan
rokok atau sejumlah uang (ngèrèm) ke dalam saku tokang lok-olok.
Bagi masyarakat Madura, jati diri ini berkaitan dengan sistem keberagamaan. Sebagai suatu kelompok etnik, masyarakat Madura memiliki sentimen keagamaan Islam yang tinggi. Sifat keislaman masyarakat Madura diaktualisasikan dalam institusi keagamaan, perilaku sosial, dan istitusi kekerabatan. Lihat Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 141-142.
dipandang
Salah satu hal penting dalam etnometodologi
20
19
Garfinkel
kehidupan
adalah
bahwa
ia
David Jary dan Julia Jary, Dictionary of Sociology (Glasgow: Harper Collins Publisher, 1991), 231. 21 A. Rawls dan H. Garfinkel, Editors Introduction. Ethnomethodology's Program: Working out Durkheim's Aphorism, (A. Ra wls & Littlefield Publishers Inc, 2002), hlm. 30. 22 Mohammad Ali Torabi, “Ethnomethodology and Conversational Analysis”, Journal of English Language Teaching and Learning Year 53 No. 217 (2005), hlm. 155-164.
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 83
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni dapat dijelaskan secara reflektif.23 Ini
orang kedua atau pihak kedua. Yang
berarti bahwa penjelasan adalah cara
terpenting dalam hal ini adalah bahwa
aktor
respon
melakukan
sesuatu
seperti
mendeskripsikan,
mengkritik,
mengidealisasikan
situasi
orang
atau
pihak
kedua
dan
menduduki posisi penting. Artinya
tertentu.
orang atau pihak kedua dibebani
Penjelasan adalah proses yang dilalui
tanggung jawab atas kegagalan dan
aktor dalam memberikan penjelasan
kesalahan
untuk
kesalahan interaksi lainnya.
memahami
dunia.
etnometodologi perhatiannya
untuk
Pakar
respon
serta
lok-olok,
berbagai Dalam
menekankan
pidato
menganalisis
ditunjukkan oleh penonton, sebagai pihak
penjelasan diberikan, diterima, atau
disampaikan oleh tokang lok-olok,
ditolak oleh orang lain. Inilah salah
sebagai pihak pertama, bisa berupa
satu
pakar
kesetujuan
memusatkan
Kesetujuan
menganalisis
ditunjukkan dengan perilaku, seperti
mengapa
etnometodologi perhatiannya
dalam
percakapan.
tepuk
Konsep
dan
pidato
yang
ketidaksetujuan.
penonton
tangan
bisa
dan
ngèrèm
dari
(memberikan sejumlah uang atau
model analisis percakapan ini adalah
rokok) dan kata-kata tertentu, seperti
apa yang disebut dengan adjacency
sorak-sorak dan ucapan setuju/cocok.
pair (pasangan yang berdekatan).
Sedangkan ketidaksetujuan penonton
Konsep ini mencakup observasi jenis-
ditunjukkan dengan kata-kata, seperti
jenis
comoohan, ejekan, dan olokan. Jika
tindakan
terpenting
atas
yang
penjelasan aktor maupun cara-cara
alasan
kedua,
respon
tertentu,
seperti
pertanyaan dan jawaban, pernyataan
tepuk
dan
secara
dilakukan secara bersamaan dan
secara
kolektif,
respon,
konvensional
yang dilakukan
24
berpasangan.
Dalam
hal
ini
tangan maka
cemoohan,
ungkapan yang dikemukakan oleh
dilakukan
orang
individual.
atau
pihak
pertama
membutuhkan jawaban atau respon
secara
Research: Its Social and Epistemological Possibilities, 2006: http://www.lancs.ac.uk/postgrad/jijh1/writings/artic le/ref-res.htm (Diakses pada 28 Mei 2006). Lihat juga Melvin Pollner, "Left of Ethnomethodology: The Rise and Decline of Radical Reflexivity", American Sociological Review, 56: 370-380, 1991: http://userwww.sfsu.edu/kazbeki/Greek.html (Diakses pada 4 Juni 2006). 24 Turner, The Structure hlm. 478.
ejekan,
ucapan
menuju
setuju
terpisah
Fokus populasi
Joo Hyoung Ji, Reflexivity in Social
sorak-sorai
ngèrèm,
dan
etnometodologi 23
dan
dan
analisis bergerak 25
scene,
dari tidak
sebagaimana kajian etnografi yang menfokuskan pada suku bangsa atau komunitas tertentu.26 Scene tersebut 25
H. Garfinkel, Studies in Ethnomethodology: Social and Political Theory (Camridge: Polity Press, 1967) 26 Garfinkel dan Heritage, “On Formal”, hlm. 67
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 84
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni bisa berupa ruang sidang, yakni percakapan hakim dan terdakwa,
27
rumah, yakni percapakan suami dan 28
istri,
ruang kelas, yakni ceramah 29
sapi.
Sesudah
menyampaikan
pidatonya, di tempat yang sama ia atandâ‟ saronèn
(menari) baik
diiringi
secara
musik
langsung
guru dan respon murid, rumah sakit,
maupun melalui tape recorder atau
yakni komunikasi antara dokter dan
sound system berukuran kecil.
pasien,
30
kerja
ilmiah,
yakni
Dalam sebuah pidato lok-
percakapan antara laboran antara
olok,
asisten
sebuah
salam pembukaan dilanjutkan secara
pertemuan/rapat
berturut-turut dengan sapaan ramah
laboran
laboratorium riset,
dalam 31
politik, yakni pidato politisi di depan 32
audien, dan klinik, yakni percakapan antara dokter dan pasien.
33
tamah
strukturnya
kepada
diawali
dengan
pemrakarsa
dan
penonton, pengumuman nama sapi
Dalam
dan alasan pemberian nama tersebut,
pidato lok-olok, scene-nya adalah
pujian atas sapi, dan diakhiri dengan
lapangan
Dalam
terima kasih dan salam.34 Tetapi,
menyampaikan pidatonya, tokang lok-
apabila waktu tidak memungkinkan
olok
memegang
karena banyaknya sapi yang di-
mikrofon di depan sejumlah pasang
kerap, pidato lok-olok biasanya hanya
kerapan
berdiri
27
sapi.
sambil
J. M. Atkinson dan P. Drew, Order in Court, (London: Macmillan, 1979). 28 Ritzer dan Goodman, Teori Sosiologi, hlm. 337-339. 29 A. W. McHoul, “The Organization of Turns at Formal Talk in the Classroom. Lang. Soc. 7 (1978), hlm. 183-213 dan C. Scharff, "Doing Class: A Discursive and Ethnomethodological Approach," Critical Discourse Studies, Vol. 5, Number 4 (2008), hlm. 331-34 30 S. Fisher dan A. D. Told, The Social Organization of Doctor-Patient Communication. (Washington DC: Ctr. Appl. Linguistics, 1984) 31 M. Lynch, Art and Artifact in Laboratory Science: A Study of Shop Work and Shop Talk in a Research Laboratory (London: Routledge & Kegan Paul, 1985). 32 J. M. Atkinson, “Public Speaking and Audience Responses: Some Techniques for Inviting Audience Applause, dalam J. M. Atkinson dan J. Heritage (Eds.), Structures of Social Action: Studies in Conversation Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), hlm. 370-407. 33 C. West, Routine Complications: Troubles With Talk Between Doctors and Patients (Bloomington: Indiana Univ. Press, 1984)
34
Bandingkan dengan Paul Ten Have. Ia menyatakan bahwa secara ideal dalam interaksi dokter-pasien dimulai dengan pembukaan, kemudian secara berturut-turut diikuti dengan complaint, penjelasan gejala penyakit, diagnose, nasihat, dan penutup. Pada fase pembukaan, dokter, sebagai tuan rumah, biasanya memberi salam, mempersilahkan duduk, dan menanyakan tentang beberapa hal yang bersifat non-medis. Pasien, sebagai tamu kemudian menjawab salam dokter, menerima ajakan dokter untuk duduk, dan menjawab beberapa pertanyaan non-medis dari dokter tersebut. Fase kedua dimulai saat pasien memberitahukan gejala penyakitnya dan meminta dokter untuk memeriksanya. Fase ketiga terjadi ketika dokter meminta pasien tersebut menjelaskan secara mendetail gejala penyakitnya, yang kemudian diteruskan dengan fase keempat ketika dokter melakukan diagnose terhadap penyakitnya. Setelah itu, biasanya dokter memberi saran untuk kesembuhan penyakitnya. Akhirnya interaksi berakhir saat pasien mengucapkan terima kasih atau memberi salam. Paul Ten Have, Sequential structures and categorical implications in doctor-patient interaction: ethnomethodology and history, 2002: http://www2.fmg.uva.nl/emca/seqstruct.htm\l (Diakses pada 19 Juli 2006).
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 85
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni terdiri
atas
salam
pembukaan,
pengumuman nama sapi, dan salam
Kacong
Bâjâng
Ènten
rèya
ongghuna bâdâ maksoddhâ
penutup. Pengumuman nama sapi,
Bâjâng Enten rèya cong
misalnya, terdapat dalam ungkapan
Ongghunah nandhâaghi je‟ mon
sebagai berikut:
orèngga
rèya
ongghu-
ongghu arabât bâ‟na Kaulâ andi‟ bur-lèburan duwa‟
Saèngghe akole‟ emmas, atolang
Nè‟-kenè‟ cabbhi lètè‟
bessèh, bân matanah asonar
Moghâ dhaddhi sampornana Ka
sè
nanggâ‟
Terjemahan:
sareng
sè
nèngghu ka
sè
itu mempunyai arti etanggâ‟
sareng
sè
ètèngghu Sè
Bayangan
Intan
ini
sesungguhnya menandakan
panglowar
è
sebut
sè
Ghâmbâr Sè
Anakku, Bayangan Intan, semua
bahwa pemilik sapi ini benarbenar merawat engkau
pangdâlem
ajâjuluk
sè
Ghâmbu
Sehingga engkau berkulit emas, bertulang besi, dan matanya bersinar
Terjemahan:
Pujian
kepada
sapi,
misalnya, ditunjukkan dengan ungkapan Saya mempunyai dua kekasih
sebagai berikut:
Kecil-kecil cabe rawit Adu kacong buwâna atè Semoga menjadi kesempurnaan
tadâ‟ bhunga andi‟ ana‟ kanṭa
Kepada
bâ‟na
penanggap
dan
èabas dâri adâ‟ gâgâ‟
penonton Kepada
yang
ditanggap
dan
èabas dâri èrèng mantèrèng akanṭa arjuna kembhâr
yang ditonton Yang sisi luar (kiri) disebut Si Gambar
Adu kacong, pola bâ‟na
Yang sisi dalam (kanan) dijuluki
Atapa pèttobelâs taon è gunong
si Ghâmbu
Maraong Salbhâk macan lopot.
Sedangkan
penjelasan
nama
misalnya,
terdapat
dalam
lok-olok
sebagai
sapi,
penggalan berikut:
pidato
Terjemahan: Aduh anakku si buah hati Sungguh senang punya seperti engkau
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 86
anak
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni Dilihat dari depan, engkau gagah
misalnya, ketika ia diejek oleh penonton
Dilihat
dengan perkataan „huh‟. Ia membalas
dari
samping,
engkau
menterang
ejekan penonton sebagai berikut:
Laksana Arjuna kembar Aduh anakku, mungkin engkau
Bâdhân
Bertapa
èkerrabâ
di
Gunung
Raung
kaulâ
sobung
sè
selama 17 tahun
Bâdhân kaulâ ta‟ andi‟ dhunnya
Lolos dari terkaman macan
Tapè mon ka kahormadhân Bâdhân kaulâ andi‟ sakonè‟
Cicourel
memperkenalkan
Kaulâ
ghi‟
sebuah varian etnometodologi. Jenis
Madhurȃ
etnometodologi dengan
tersebut
sosiologi
aromasa
dia
sebuah
Ca‟ èpon orèng, èngghi
35
Cabang
Pa‟,
kognitif.
dhunnyana
èpatao
etnometodologi ini lahir sebagai kritik
tengnga lapangan
atas Garfinkel yang menyatakan bahwa
Mon
interaksi
verbal
tarètan
yang
sama.
Ta‟ andi‟ dhunnya.
menyatakan
bahwa
dan
merupakan
proses
Sebaliknya, manusia
ungkapan
ia
di
samping
berkomunikasi
bâdhân
orèng
kaulâ
ka
bhunten,
Terjemahan:
dengan kata-kata juga berkomunikasi
Saya tidak punya sapi untuk ikut
dengan
serta dalam kerapan
cara
melihat,
meraba,
dan
merasa. Artinya, manusia menggunakan
Saya tidak punya harta, tapi saya
“modalitas ganda” untuk berkomunikasi
masih punya sedikit harga diri
dalam sebuah situasi. Ungkapan verbal
Saya
merupakan
orang Madura
translasi
yang
tidak
masih
merasa
sebagai
sempurna dari apa yang benar-benar
Katanya orang, ya
ingin dikomunikasikan dalam sebuah
Pak, hartanya dipajang saja di
interaksi. lok-olok,
36
Dalam menyampaikan pidato tokang
lok-olok
tengah lapangan Tetapi saudaraku, saya tidak
menyertakannya dengan gerakan tubuh,
begitu
gerakan tangan, dan tatapan mata.
Saya tidak punya harta
Gerakan tangan disertai tatapan mata
Dengan demikian, Cicourel
yang menunjukkan kegusaran terjadi,
menjawab kritikan yang dilontarkan
35
Jenis etnometodologi ini diperkenalkan olehnya pada 1964 melalui bukunya Method and Measurement in Sociology dan tulisannya berjudul Cross Modal Comunication pada 1973. Lihat Ethnometodology and Other Perspective, http://www.loc.gov/catdir/enhancements/fy0657/2 002115922-t.html. 36 Turner, The Structure, hlm. 484.
terhadap
etnometodologi
yang
dipandang
telah
melupakan
akar
Karena,
bila
fenomenologisnya.
dicermati, konsep ini sesungguhnya meminjam
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 87
dan
mengembangkan
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni rumusan
fenomenologis
terutama
yang
konsep
intersubyektif.
konsep
ini,
realitas
berkaitan di
intersubyektif
Schutz,37
sosial
dan
mewakili
si
pemilik
sapi
dengan
memperlakukan sapi seperti manusia
Menurut
ataun tepatnya seperti anak sendiri.
dunia
Karenanya, sapi jantan seringkali
menciptakan
disebut dengan kacong (bocah) dan
dalam
orang
yang
dipaksa
oleh
sapi betina disebut dengan cebbhing
kehidupan sosial yang telah ada dan
(gadis).
oleh struktur kultural ciptaan leluhur
masyarakat
mereka. Dalam dunia ini seseorang
sapi sebagai sesuatu yang berharga.
selalu berbagi dengan orang lain
Ini memperkuat, misalnya, temuan
yang
Glenn Smith38 dan Huub de Jonge39
juga
menjalani
dan
Ini
menandakan Madura
menafsirkannya. Karenanya, dunia
bahwa
seseorang
secara
memperlakukan
pernah
anggota
keseluruhan
tersebut tidak
akan
memosisikan
masyarakat
Madura
sapi
keluarga.
bahwa
layaknya
Kaum
laki-laki
bersifat pribadi sepenuhnya. Bahkan
Madura kadangkala lebih menyayangi
di
sapi
dalam
kesadarannya
ditemukan bukti orang
lain.
Ini
selalu
adanya kesadaran merupakan
bukti
mereka
Mencederai mereka
ketimbang atau
sama
istrinya.
mencuri halnya
sapi
dengan
bahwa situasi biografinya yang unik
mengganggu istri yang bisa berakhir
ini
dengan carok.
tidak
seluruhnya
merupakan
produk dari tindakannya sendiri.
Dalam
perspektif
etnometodologis, pujian atas sapi E. Penutup Lok-olok
dalam
Lok-olok
seringkali
seni
mendapatkan applause dan sorak-
berdeklamasi yang diakhiri dengan
sorai dari penonton sebagai tanda
tandhâng (tarian) oleh tokang Lok-
kesetujuan mereka atas ungkapan
olok selama beberapa saat setelah ia
dalam
menyampaikan
dengan
mengimplikasikan paralelitas dengan
diringi musik saronèn. Dalam pidato
temuan Smith dan de Jonge yang
Lok-olok tersebut, tokang Lok-olok
menunjukkan
37
merupakan
pidato
pidatonya
Walaupun sesungguhnya Schutz sendiri mengembangkan konsep ini dengan cara menyandingkan konsep fenomenologi Husserl dengan konsep verstehen dari Weber dan mentransformasikannya ke dalam sebuah analisis interaksionis. Selanjutnya baca, misalnya, R.C. Bogdan dan S.J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods: a Phenomenological Approach to the Sosial Sciences (New York: John Wiley and Sons, 1973).
Lok-olok.
38
Ini
juga
kesenangan
Glenn Smith, “Pentingnya Sapi dalam Masyarakat Madura,” dalam Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, ed. Huub de Jonge (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 277-291. 39 Huub de Jonge, “Sapi Jantan dan Lelaki: Aduan Api Madura,” dalam Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi: Esai-esai tentang Orang Madura dan Kepulauan Madura, ed. Huub de Jonge (Yogyakarta: LkiS, 2011), hlm. 85-122.
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 88
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni masyarakat
Madura
atas
sapi,
terutama sapi kerapan atau sapi sono‟. Daftar Pustaka Atkinson, J. M., dan P. Drew, Order in Court, (London: Macmillan, 1979). ......................... and J. Heritage (Eds.), Structures of Social Action: Studies in Conversation Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1984). Bogdan, R.C., dan S.J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods: a Phenomenological Approach to the Sosial Sciences (New York: John Wiley and Sons, 1973). Bouvier, Hèlène., Lèbur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, terj. Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 2002). Bustami, A. L., “Folklor Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) sebagai Sumber Sejarah”, Bahasa dan Seni, tahun 32, nomor 2 (Agustus 2004). Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: UGM Press, 2003). Fisher, S., dan A. D. Told, The Social Organization of Doctor-Patient Communication. (Washington DC: Ctr. Appl. Linguistics, 1984) Garfinkel, H., Studies in Ethnomethodology: Social and Political Theory (Camridge: Polity Press, 1967)
Have, Paul Ten., Sequential structures and categorical implications in doctor-patient interaction: ethnomethodology and history, 2002: http://www2.fmg.uva.nl/emca/seq struct.htm\l (Diakses pada 19 Juli 2006). Hutomo, S. D., Mutiara yang Terlupakan: Panduan Penelitian Sastra Lisan (Surabaya: HISKI, 1991). ..............................., Merambah Matahari (Surabaya: Gaya Mas, 1992). Jary, David., dan Julia Jary, Dictionary of Sociology (Glasgow: Harper Collins Publisher, 1991). Jonge,
Huub de., (ed.), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, Studistudi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989).
..................................., Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, (Jakarta: Gramedia, 1989). ..................................., “Sapi Jantan dan Lelaki: Aduan Api Madura,” dalam Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi: Esai-esai tentang Orang Madura dan Kepulauan Madura, ed. Huub de Jonge (Yogyakarta: LkiS, 2011). Joo Hyoung Ji, Reflexivity in Social Research: Its Social and Epistemological Possibilities, 2006: http://www.lancs.ac.uk/postgrad/ji jh1/writings/article/ref-res.htm (Diakses pada 28 Mei 2006). Katubi, “Bahasa, Kebudayaan Material, dan Tradisi Lisan: Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor, Nusa Tenggara Timur”, Prosiding The4th International Conference
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 89
Tradisi Lisan di Madura; (Kajian Etnometodologis atas Tradisi Lok-olok di Madura) Mohammad Hefni on Indonesian Studies: Unity, Diversity, and Future: https://icssis.files.wordpress.com/ 2012/05/09102012-40.pdf. Lutfi, M., “Pergeseran Pengaruh Hindu ke Islam dalam Legenda Gunung Gong, Gunung Kelir, dan Banyu Anget”, Jurnal Manusia, Kebudayaan, dan Politik, no. 23 Vol. 1 (2010). Lynch, M., Art and Artifact in Laboratory Science: A Study of Shop Work and Shop Talk in a Research Laboratory (London: Routledge & Kegan Paul, 1985). McHoul, A. W., “The Organization of Turns at Formal Talk in the Classroom. Lang. Soc. 7 (1978), hlm. 183-213 dan C. Scharff, "Doing Class: A Discursive and Ethnomethodological Approach," Critical Discourse Studies, vol. 5, number 4 (2008)
Pembinaan Bahasa Departemen P dan K, 1977). Schemerhorn, R.A., Comparative Ethnic Relation: A Framework of Theory and Research (New York: Random House, 1970). Subaharianto, Andang., et al., Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur Kultur Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia Publishing, 2004). Sudikan, SY. “Tradisi Lisan sebagai Sarana Pelestari Lingkungan Hidup”, Jurnal Media Pendidikan, vol. 43, no. 11 (1989). Suhartono, B. Yulianto dan A. Ahmadi, “Cerita Rakyat di Pulau Mandangin: Kajian Struktural Antropologi Claude Lévi Strauss”, Journal of Unair, vol. 23, no. 4 (2010). Torabi,
Miles, dan Hubermas. An Expanded Source Book. Nasution, S., Metode Naturalistik-Kualitatif Tarsito, 1992).
Penelitian (Bandung:
Pollner, Melvin., "Left of Ethnomethodology: The Rise and Decline of Radical Reflexivity", American Sociological Review, 56: 370-380, 1991: http://userwww.sfsu.edu/kazbeki/Greek.html (Diakses pada 4 Juni 2006). Rawls, A.., dan H. Garfinkel, Editors Introduction. Ethnomethodology's Program: Working out Durkheim's Aphorism, (A. Ra wls & Littlefield Publishers Inc, 2002).
Mohammad Ali., “Ethnomethodology and Conversational Analysis”, Journal of English Language Teaching and Learning Year 53 No. 217 (2005).
Turner, J. S., The Structure of Sociological Theory (California: Wadsworth Publishing Company, 1991). West,
C., Routine Complications:Troubles With Talk Between Doctors and Patients (Bloomington: Indiana Univ. Press, 1984)
Wiyata, Latief., Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2002).
Safiodien, Asis., Kamus Bahasa Madura-Indonesia (Jakarta: Pusat Pengembangan dan
OKARA, Vol. I, Tahun 9, Mei 2014 90