Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 95-121
MENEGUHKAN NKRI DI MADURA (Studi Atas Peran Pesantren dalam Membendung Radikalisme di Madura) UPHOLDING NKRI IN MADURA (A Study on The Role of Pesantren in Preventing Radicalism in Madura) Munif
Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep
[email protected]
Abstrak:
___________________ Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari berbagai ancaman, merupakan tanggung jawab semua pihak dalam negeri ini, termasuk pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Madura, sebagai kepulauan yang dikenal dengan pulau seribu pesantren, memliki peranan besar dalam menjaga keutuhan NKRI. Teradapat empat pesantren di Madura yang diteliti dalam rangka mengurai peran taktisnya dalam berupaya meneguhkan NKRI dari ancaman radikalisasi yang selama ini mengancam keutuhan NKRI di Madura. Empat pesantren tersebut adalah PP Nurul Amanah Bangkalan, PP Darul Ulum Sampang, PP Riyadhus Shalihin Pamekasan, dan PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Penelitian ini menemukan bahwa, keempat pesantren tersebut sangat berperan aktif dalam membendung radikalisasi di wilayah Madura meski hanya secara kultur, tidak secara spesifik dan taktis. Pesantren dapat dijadikam sebagai media efektif untuk meneguhkan pilar NKRI. Lebih-lebih ketika NKRI menghadapi ancaman dari gerakan kelompok Islam radikal. Memang, pesantren tersebut tidak memiliki strategi yang secara spesifik berupaya untuk menghadapi gerakan kelompok Islam radikal. Namun, aktifitas kepesantrenan yang mereka jalankan, baik bagi kaum santri mampun masyarakat di lingkungannya, menunjukkan adanya upaya penguatan keutuhan NKRI kaitannya dengan ancaman radikalisasi agama. Misalnya dengan penguatan Islam rahmatan li al-‘a>lami>n melalui pengajian-pengajian oleh kiai, dorongan kepada masyarakat untuk menjadikan hukum negara sebagai landasan kehidupan, dan seterusnya. ___________________ Kata Kunci: Pesantren, NKRI, Membendung Radikalisasi.
96-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
Abstract:
___________________ Maintaining the integrity of The Republic of Indonesia (NKRI) from a variety of threats is the responsibility of all parties in this country, including Pesantren (Islamic boarding schools) as the oldest educational institutions in Indonesia. Madura, as the islands are well known as the island of a thousand pesantrens, it has big role in maintaining the integrity of the Republic of Indonesia. There are four pesantrens in Madura that is thorough in applying their tactical role in maintaining this country from the threat of radicalization that has been threatening the integrity of the Republic of Indonesia in Madura. They are PP Nurul Amanah Bangkalan, PP Darul Ulum Sampang, PP Riyadhus Shalihin Pamekasan and PP Guluk Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. This study found that the four have role in actively stemming the radicalization in Madura if only culturally, not specifically and tactically. Pesantren can be used as an effective media to reinforce the pillars of The Republic of Indonesia. Moreover, when this country face the threat of radical Islamic groups. Indeed, these pesantrens do not have a strategy that specifically seeks to face with the movement of radical Islamic groups. However, their activities show their efforts to strengthen the integrity of the Republic of Indonesia in facing the threat of religious radicalization. For example, by strengthening Islam as rah}matan lil’a>lami>n through study groups by the priest, encouragement to the people to make the law of State as the foundation of life, and so on. ___________________ Keywords: pesantren, The Republic of Indonesia (NKRI), Stemming radicalization.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 97-121
Pendahuluan NKRI sebagai hasil dari jerih payah seluruh rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, jelas merupakan konstruk ideal bagi bangsa Indonesia yang harus dibela dan dipertahankan secara total sampai kapan pun. Hal ini sudah menjadi konsensus antar berbagai kelompok agama dan sosial di Indonesia, sebagai manifestasi dari komitmen mereka untuk menjaga keutuhan bangsa dalam berbegai aspek kehidupan.1 Dalam perjalanan sejarahnya yang cukup panjang, NKRI ternyata tidak terlepas dari berbagai tantangan yang krusial. Kelompok Islam radikal yang benar-benar terkesima dengan romantisme kejayaan Islam pada masa-masa lampau yang memposisikan Islam sebagai ideologi negara, ternyata mempunyai obsesi untuk mengubur NKRI yang didasarkan pada ideologi Pancasila dan UUD 1945, tanpa mempertimbangkan pluralitas agama, budaya, tradisi, etnis, dan lain-lain, yang telah berkembang secara turun-temurun dalam realitas kehidupan rakyat Indonesia. Dalam pandangan mereka, Islam secara absolut harus dijadikan sebagai ideologi negara, agar kesejahteraan yang hakiki dapat terwujud di bumi pertiwi ini. Mereka tidak sadar, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dicapai, berkat perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Pandangan yang eksklusif dan parokial itulah, yang kemudian menyeret mereka untuk bersikap intoleran terhadap pihak-pihak lain yang secara ideologis berbeda dan berseberangan dengan mereka, baik Muslim maupun Non-Muslim. Hal tersebut menunjukkan, bahwa gagasan negara bangsa 1 Menurut K.H. Said Aqil Siraj, kebangsaan Indonesia merupakaan anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dipupuk kepada generasi muda kita. Mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawaah nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Mukaddimah UUD 1945 sama halnya dengan mencampakkan pesan-pesan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, semua bentuk eksklusivisme agama yang diproyeksikan untuk memudarkan perjanjian luhur bangsa tersebut, sebenarnya bukankah tindakan yang diridlai oleh Allah SWT. Lihat Said Aqil Siraj, Tasauf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), 272.
98-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
(nation-state) yang secara faktual telah melahirkan NKRI, harus diakui secara obyektif sebagai konstruk yang sangat ideal bagi bangsa Indonesia. Dengan kata lain. gagasan negara bangsa yang mengakui dan sekaligus melindungi pluralitas rakyat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, merupakan pilihan yang sangat tepat bagi konstruk kebangsaan dan kenegaraan rakyat Indonesia itu sendiri.2 Dalam tataran praksis, ternyata tidak semua rakyat Indonesia bersikap tulus untuk memahami dan menghayati substansi gagasan negara bangsa, yang sebenarnya dapat mempertemukan semua ajaran-ajaran agama di satu pihak, dengan ideologi negara di pihak lain, sebagai konsekuensi dari egoisme pribadi dan kelompok yang menutupi akal sehat dan hati nurani mereka yang bening. Pada titik inilah, para aktivis kelompok Islam radikal sudah dapat dipastikan, bahwa mereka tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan ideologinya agar dapat membumi di tengah-tengah masyarakat, meskipun harus dilakukan dengan cara-cara yang tersembunyi, yang tentu saja sulit untuk dideteksi dan sekaligus diketahui dalam waktu dekat oleh siapa pun, termasuk oleh aparat keamanan. Oleh karena itu, tidaklah mudah untuk menumpas kelompok Islam radikal sampai ke akar-akarnya. Lebih-lebih ketika pemimpin negara (TNI dan Polri) tidak mampu menunjukkan ketegasan sikapnya dalam menghadapi kelompok Islam radikal, yang secara faktual telah terbukti melakukan berbagai aksi arogan, brutal, anarkis, dan destruktif.3 Menurut KH. Abdurrahman Wahid, sikap ormas-ormas keagamaan, sebagaimana NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun parpol-parpol berhaluan kebangsaan yang menyatakan, bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, merupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan kita, bukanlah sikap oportunisme politik , melainkan kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi kita sendiri serta substansi ajaran yang kita yakini kebenarannya. Lihat KH. Abdurrahman Wahid, “Musuh Dalam Selimut” kata Pengantar Ilusi Negara Islam, Ed. Abdurrahman Wahid (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), 17-18. 3 Setelah Soeharto jatuh pada tanggal 21 Mei 1998, euforia politik benarbenar muncul di negeri ini. Proses liberalisasi dan demokratisasi berjangka 2
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 99-121
Yang perlu diingat adalah, bahwa para aktivis kelompok Islam radikal sampai sekarang masih tetap berusaha secara serius dan berkesinambungan untuk menyebarkan ideologinya ke berbagai penjuru tanah air, meskipun dianggap bertentangan dengan meanstream rakyat Indonesia. Mereka sudah siap untuk berjihad dalam membentengi ideologinya, baik secara terangterangan maupun tersembunyi, sesuai dengan cara mereka sendiri. Jika pada saat ini, mereka terkesan diam dan tidak menampakkan diri, mereka masih menyusun kekuatan dan menunggu mumentum yang tepat untuk tampil ke permukaan serta kemudian melakukan aksi-aksi anarkis, seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Tentu saja, Madura yang masyarakatnya dikenal sangat religius dan patuh kepada kiai, tidak terlepas dari perhatian mereka. Sebab, jika Madura secara gradual dapat dikuasai oleh kelompok Islam radikal, kemungkinan di masa-masa mendatang kekuatan ideologi Aswaja sebagai ruh pesantren di Jawa Timur akan terancam. Dari titik inilah, komunitas pesntren yang sejak dulu dikenal sangat moderat akan berubah menjadi eksklusif, intoleran, dan bahkan radikal. Jika suatu saat, asumsi ini ternyata benar dan menjelma dalam realitas kehidupan sebagian --kebanyakan-- komunitas pesantren, maka jelas akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi NKRI. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka pesantren dituntut untuk tampil di garda terdepan dalam meneguhkan pilar panjang yang terjadi bersamaan dengan melemahnya kekuasaan negara, telah mengubah seluruh lanskap politik Indonesia. Bermacam-macam ideologi, identitas, dan kepentingan yang sebelumnya ditekan muncul ke permukaan dan menyatakan kehadirannya. Ketika itu, di berbagai provinsi meledak kerusuhan- kerusuhan komunal berdasarkan garis keagamaan, rasial, dan etnis, yang salam waktu singkat, menelan ribuan nyawa serta membawa negara ke jurang kehancuran. Anehnya, seperti lempar batu sembunyi tangan, dalam kondisi yang chaos itu, beberapa kelompok Islam radikal justru menuntut penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Selain itu, mereka melakukan aksiaksi kekerasan, dengan menggerebek kafe-kafe, diskotik, tempat perjudian, rumah pelacuran, dan sarang-sarang kejahatan lainnya., serta menyerukan jihad di beberapa provinsi yang mengalami chaos. Lihat Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2008), 1-2.
100-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
NKRI, agar NKRI dapat terhindar dari rongrongan para aktivis kelompok Islam radikal. Jika kita melihat kilas balik sejarah, tentu saja pesantren akan mampu mengemban tugas itu. Apalagi pesantren mempunyai akses yang sangat luas kepada masyarakat, sebagai kekuatan yang strategis untuk mengoptimalkan perannya dalam membendung gerakan para aktivis kelompok Islam radikal, yang cenderung detruktif dan anarkis. Untuk mengetahui peran di atas secara detail, peneliti akan mengadakan penelitian pada beberapa pesantren di empat kabupaten di Madura. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat tergambar dengan jelas tentang peran dan strategi pesantren di Pulau Madura, dalam menghadapi gerakan kelompok Islam radikal,. Selain itu, penelitian ini dijadikan mumentum yang strategis untuk berupaya merapatkan barisan antarberbagai pesantren, menakar kekuatan yang dimiliki, melakukan serta mengukuhkan reorientasi perjuangan pesantren, dan yang tidak kalah pentingnya, adalah mengevaluasi berbagai aktivitas pesantren, terutama yang secara spesifik berkaitan dengan perlawanan terhadap kelompok Islam radikal.
Asal Usul NKRI Indonesia, sebagai entitas geografis sudah muncul sejak dulu. Tetapi, sebagai nation state (negara bangsa), Indonesia baru berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945,4 ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta. Sejak saat itulah, the founding fathers mulai memperkenalkan istilah NKRI, sebagai wujud dari komitmen mereka untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia, tanpa harus terkooptasi pada ikatanikatan primordial, sektarian, rasial, dan bahkan juga agama, 4 Bangsa Indonesia adalah rakyat Indonesia, yang secara sosiopolitis telah mempunyai kesatuan tekat untuk mendirikan NKRI, sejak proklamasi 17 Agustus 1945. NKRI ini telah mendapat pengakuan internasional, di antaranya mula-mula datang dari Inggris pada tahun 1947, kemudian disusul oleh berpuluh-puluh negara lain di dunia. Lihat Idup Suhady dan A. M. Sinaga, Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: LAN, 2006),17.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 101-121
yang diyakini mengandung kebenaran absolute oleh para pemeluknya. Apalagi dalam kenyataan, kemerdekaan bangsa ini bisa terwujud, karena perjuangan seluruh elemen masyarakat yang gigih melawan kekuatan besar colonial, yang sangat arogan, brutal, dan represif. Dari sini jelas bagi kita, bahwa soliditas NKRI merupakan suatu keniscayaan yang sejatinya mendapat skala prioritas dari seluruh rakyat Indonesia. Tanpa NKRI, nonsens kita berbicara tentang pembangunan nasional dari berbagai dimensinya, baik secara material maupun spiritual. Hasil survei nasional yang bertajuk “Islam dan Kebangsaan,” yang telah dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007 menunjukkan, bahwa mayoritas responden (84,7 %) lebih mendukung NKRI dan Pancasila daripada negara Islam.5 Hasil survei itu memperkuat survei sebelumnya, yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2006, bahwa 69,6 responden menginginkan sistem kenegaraan yang berdasarkan Pancasila, 11,5 persen mengidealkan negara Islam, dan 3,5 persen menghendaki sistem kenegaraan seperti demokrasi Barat.6 Dari dua hasil survei di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih tetap menunjukkan komitmennya untuk mendukung NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, sebagai sistem yang ideal dari model kenegaraan bangsa Indonesia. Komitmen ini merupakan apresiasi dari mayoritas rakyat Indonesia terhadap para pejuang kemerdekaan yang secara faktual memang terdiri dari berbagai agama, etnis, ras, bahasa, dan semacamnya. Barangkali, sangat signifikan untuk dijelaskan disisni, bahwa NKRI muncul bukan dari ruang yang kosong dan hampa, yang sama sekali terlepas dari setting sosiopolitik dan kultural masyarakat Indonesia., dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang dan melelahkan. Penjelasan ini patut untuk dicermati 5 Dikutip oleh Asad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009), 1. 6 Ibid.
102-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
dan disimak dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi, sebagai warga negara Indonesia yang sejak dulu memang telah dikenal sangat toleran (tasamuh), santun (adab), berkeperibadian terpuji, dan berbudi pekerti luhur. Dengan ungkapan lain, kesadaran untuk membangun negara bangsa dalam mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahtera di bumi Nusantara, sudah muncul sejak zaman kerajaan-kerajaan itu.7 Anand Khrisna, melalaui kajiannya tentang nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Kakawin Sutasoma atau Parushaada Shaanta, LIII: 3 & 4, karya Mpu Tantular, mengurai bahwa Mpu Tantular berhasil membangun kesatuan Nusantara berdasarkan semangat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hamna Dharma Mangrwa, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, karena yang terpenting adalah pengabdian (dharma) yang terbaik bagi nusa, bangsa, negara, dan kemanusiaan.8
NKRI dalam Perspektif Pesantren Dalam perjalanannya yang sangat panjang, pesantren ternyata telah mampu menunjukkan jati dirinya sebagai institusi pendidikan yang tahan bantingan dari berbagai pengaruh dan gempuran eksternal, baik pada zaman kolonial maupun di era global, seperti yang tampak pada saat ini. Dari segi historis, pesantren dapat dianggap sebagai salah satu institusi pendidikan tertua di Indonesia, yang sekaligus juga mengandung keaslian (indigenous) Indonesia.9 Dengan kata lain, pesantren adalah satu-satunya institusi pendidikan tertua dan asli Indonesia, yang menempatkan akhlak dan ilmu-ilmu agama sebagai skala prioritas dalam aktifitas belajar mengajar di pesantren. Berbeda dengan sekolah-sekolah umum yang menjamur di negeri ini, terbukti didirikan oleh Belanda. Tujuannya, tidak lain adalah 7 Zainal Abidin Amir dan Imam Anshori Saleh, Soekarno dan NU Titik Temu Nasionalisme (Yogyakarta: LKiS, 2013),18. 8 Dikutip oleh Imam Muhlis, Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU (Kebumen: Tangan Emas, 2013), 44. 9 Nurcholish Madjid, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren,” dalam Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Ed. M. Dawam Rahardjo (Jakarta: P3M, 1985), 3.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 103-121
untuk memecah belah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, sebagai bagian yang integral dari politik devide at impera yang memang selalu dijadikan jargon oleh Belanda. Perlu ditegaskan disini, bahwa pesantren muncul bersamaan dengan proses islamisasi yang berkembang di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, yang terus berlanjut hingga saat ini. Dalam perkembangannya yang sangat panjang itu, pesantren mempunyai peran yang cukup segnifikan untuk memelihara, menjaga dan mengembangkan jiwa nasionalisme serta patriotisme, sebagai modal yang sangat berharga dalam memperjuangkan kemerdekaan,10 dari cengkeraman imprealis dan kolonialis. Dari sinilah kemudian, dapat dipahami jika pesantren yang dipimpin (diasuh) oleh kiai tampil digarda terdepan dalam menentang kaum kolonial yang sangat brutal, arogan, dan represif. Raffles sendiri misalnya, yang menjadi wakil pemerintah Belanda ketika dulu menjajah bumi Nusantara ini, mengakui bahwa setiap ,kiai di Pulau Jawa dianggap sebagai orang yang suci dan mempunyai kekuatan ghaib oleh penduduk (masyarakat).11 Karena berkat tingginya kehormatan yang dimiliki oleh para kiai itu, dengan mudah mereka dapat membangkitkan gerakan pemberontakan di kalangan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Apabila mereka (para kiai) bekerjasama dengan para pemimpin rakyat yang menentang Belanda, maka kerjasama tersebut sangat membahayakan Belanda. Pengalaman Raffles menunjukkan, bahwa para kiai itu ternyata sangat aktif dalam berbagai pemberontakan, sebagai bagian yang integral dari upaya mereka dalam menentang penjajahan Belanda. Tegasnya, para kiai tidak pernah absen dalam setiap pemberontakan melawan penjajahan Belanda yang terjadi di belahan bumi Nusantara ini, sebagai manifestasi kongkret dari komitmen 10 Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia, Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi (Surabaya: Khalista, 2008), 65. 11 Dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985 ), 10-11.
104-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
mereka terhadap ajaran-ajaran Islam yang menekankan tentang signifikansi perjuangan untuk memberantas kemungkaran dan kedzaliman dalam bentuk apapun. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh para kiai sejak pertama kali pemerintah Belanda menginjakkan kakinya di bumi Nusantara ini, hingga terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini membuktikan, bahwa para kiai mempunyai peran yang sangat sentral dalam proses perjuangan menentang pemerintah Belanda, yang secara faktual telah memporak-porandakan bangsa ini dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlangsung selama tiga setengah abad. Dengan demikian, kemerdekaan Negara Indonesia ini tercapai setelah melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan, yang sekaligus melibatkan peran aktif seluruh komponen bangsa, termasuk para kiai yang pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat, seperti yang diakui oleh Raffles sendiri sebagai wakil pemerintah Belanda yang ketika itu berdomisili di Indonesia. Pengakuan Raffles ini dapat dijadikan suatu indikasi, bahwa para kiai mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, dari kaum kolonial. Tentu saja, pengakuan Raffles di atas, disadari atau tidak, merupakan fakta historis yang tidak dapat terbantahkan. Sehingga, sangat disayangkan, jika ada pihak-pihak yang mengingkari kontribusi para kiai yang sangat sentral dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Semestinya, jika Raffles saja mengakui secara terbuka tentang signifikansi peran para kiai dalam proses perjuangan kemerdekaan, maka pihakpihak lain yang mengklaim sebagai warga negara Indonesia juga harus mengakui tentang hal yang sama dengan lapang dada. Adalah suatu tindakan yang sangat naïf, jika peran para kiai diabaikan begitu saja, sebagaimana yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang dikenal sangat represif dan otoriter selama berkuasa sekitar tiga puluh dua tahun. Tindakan yang seperti ini, apapun alasannya, harus segera diakhiri, agar tidak kontra produktif terhadap perjalanan bangsa ini. Melalui cara itu, diharapkan benar-benar dapat berkembang
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 105-121
budaya kejujuran sebagai bagian yang integral dari ajaranajaran agama, dan apresiasi terhadap kebaikan serta kontribusi orang lain dalam proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kondisi yang semacam ini, akan menjadi modal yang sangat berharga dalam membangun masa depan bangsa Indonesia yang lebih berkualitas dan bermartabat, sesuai dengan apa yang kita cita-citakan. Lebih-lebih ketika bangsa ini dilanda krisis identitas dan moral (akhlak) yang sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama, maka mentradisikan kejujuran dan apresiasi terhadap kebaikan, jasa, dan kontribusi orang lain, merupakan suatu keniscayaan, yang tidak boleh tidak, menuntut untuk segera dilakukan dalam kongkret sehari-hari. Tanpa demikian, bangsa ini sudah pasti akan semakin terpuruk ke jurang yang jauh lebih dalam lagi di amasa-masa mendatang, yang pada akhirnya akan membawa disintegrasi bagi bangsa ini secara total. Semestinya, kita perlu belajar dari kearifan the founding fathers yang telah mengalami dan sekaligus juga merasakan secara langsung tentang pahit getirnya memperjuangkan bangsa ini, dari cengkeraman pemerintah kolonial Belanda. Kearifan mereka yang mayoritas beragana Islam, dapat dilihat dan dicermati dari apresiasi serta toleransinya yang sangat tinggi terhadap kelompok dan golongan lain yang berbeda secara tajam, baik dari dimensi teologis maupun ideologis.. Hal tersebut didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa bangsa ini adalah pluralistik dalam berbagai dimensi kehidupan. Sehingga, melalui kearifan mereka itu, persatuan dan kesatuan bangsa ini dapat terwujud dalam realitas kehidupan, dibawah naungan NKRI. dan NKRI, tak ubahnya seperti rumah yang sangat besar yang ditempati oleh semua keluarga besar, yaitu seluruh rakyat Indonesia, tanpa mempersoalkan agama, ras, suku, bahasa, dan sebagainya. Inilah kontribusi the founding fathers yang sangat besar dalam mendesain bangsa ini, yang dapat berfungsi secara efektif untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia, melalui wadah NKRI.
106-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
Dengan mengacu pada realitas objektif di atas, dapat dipahami, jika pesantren melalui para kiainya, sangat konsisten dalam memproteksi NKRI. sebab dalam prespektif pesantren, NKRI yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 adalah konsensus mayoritas rakyat Indonesia, yang merupakan bentuk final dari bangsa Indonesia ini.12 Sebagai bentuk final, NKRI tidak boleh diganti dengan ideologi lain, apa pun nama dan alasannya. Siapa pun yang berusaha merongrong NKRI, maka komunitas pesantren sudah pasti akan tampil di garda terdepan untuk menggagalkannya. Artinya, komunitas pesantren yang dipimpin oleh para kiai akan tampil di garda terdepan untuk menumpas mereka, karena tindakan yang mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, yang menempati kawasan NKRI. Dalam pandangan komunitas pesantren yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, orang-orang yang merongrong NKRI disebut bughat (pemberontak). Untuk meneguhkan konsistensi para kiai sebagai pengasuh pesantren terhadap NKRI, maka kemudian ditetapkanlah berbagai keputusan strategis yang diharapkan dapat memproteksi NKRI, dari rongrongan kelompok Islam radikal dan kelompok lain yang sepaham. Berbaga keputusan strategis itu, antara lain sebagai berikut:13 1. Ketika beberapa kekuatan besar Islam memberontak terhadap negara pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti yang dilakukan Masyuni dan PRRI, para kiai melalui NU menghukumi mereka sebagai pemberontak atau bughat, dan sekaligus memberi gelar kepada Soekarno sebagai waliy Al-Amer Adl-Dlarury Bisy-Syauka (pemegang kekuasaan sementara dengan otoritas penuh), sebagai dukungan untuk menupas separatisme (kelompok Islam radikal) yang melibatkan tokoh-tokoh Islam modernis. 12 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LKiS, 2007), 274. 13 Muh. Hanif Dhakiri, NU Jimat NKRI Jimat Islam Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013), 20.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 107-121
2. Para kiai melalui NU, menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas pada tahun 1984. 3. Para kiai melalui PKB menolak dimasukkannya Piagam Jakarta dalam UUD 1945 seperti diusulkan partai-partai Islam pada sidang umum MPR 1999-2002. Pada rapat paripurna ke-6 sidang tahunan MPR akhirnya memutuskan untuk tidak mengubah pasal 29 UUD 1945, ayat 1 dan 2. Itulah berbagai keputusan dan langkah strategis yang dirumuskan oleh para kiai pesantren, sebagai respon dan counter terhadap gerakan kelompok Islam radikal, yang diakui atau tidak, akan memjerumuskan NKRI ke jurang kehancuran. Ternyata, melalui berbagai keputusan dan langkah strategis itu, gerakan separatis yang muncul pada awal kemerdekaan dan kelompok Islam radikal yang berkembang pada era reformasi, telah terbukti mengalami set back, Andaikata para kiai pesantren tidak melakukan konsolidasi dalam upaya membendung dan sekaligus menghadapi gerakan separatis dan kelompok Islam radikal, tidak menutup kemungkinan bahwa NKRI yang berfungsi sebagai tempat berteduhnya seluruh rakyat Indonesia, akan benar-benar terancam dan hancur berantakan. Oleh karena itu, dalam perspektif pesantren, NKRI harus ditempatkan dalam konteks perjanjian (konsensus) yang luhur antar berbagai komponen rakyat Indonesia, tanpa terkooptasi pada prularalitas agama, rasial, kultural, bahasa, dan semacamnya. Sehingga, pesantren melalui para kiainya akan pro aktif dalam menjaga dan membentengi NKRI, dari rongrongan gerakan serta kelompok radikal.
Pesantren dan Pluralisme Pluralisme, diakui atau tidak, merupakan suatu keniscayaan yang sudah pasti berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat, bangsa, dan negara, yang berada di kolong bumi ini. Lebih-lebih di Indonesia, yang sejak zaman nenek moyang kita, sudah mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang
108-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
mengandung arti adalah bermacam-macam, tetapi tetap satu jua. Semboyan ini harus dimaknai sebagai manifestasi kongret dari pengakuan dan sekaligus apresiasi bangsa Indonesia terhadap pluralisme, dalam berbagai dimensi kehidupan. Sebenarnya, jika ditelusuri dari catatan sejarah, cikal bakal (embrio) pluralisme14 itu sudah muncul sejak zaman Nabi Adam AS, sebagai manusia pertama. Misalnya, sekedar untuk menyebut contoh, adalah perbedaan antara Qabil dan Habil dalam menyikapi perintah Allah SWT tentang perkawinan silang,15 yang semestinya dihadapi serta disikapi dengan hati yang jernih dan pola pikir yang objektif. Apalagi perintah tentang perkawinan silang itu datang dari Allah SWT, sebagai suatu kewajiban yang secara mutlak harus segera diaplikasikan dalam realitas kehidupan, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi yang sering mencelakakan eksistensi seseorang, kelompok, dan golongan. Tetapi, sungguh naif sekali, tempramentalitas dan agresivitas Qabil terhadap Habil, menjadi awal yang kelam dan kelabu dari tragedi keagamaan dan kemanusiaan. Dari tragedi itu kemudian, berkembang dengan pesat tradisi dan budaya kekerasan dalam menyelesaikan berbagai perbedaan yang muncul dalam proses kehidupan manusia dari masa ke masa, hingga pada saat ini. Padahal, perbedaan itu merupakan konsekuensi logis dari pluralitas kehidupan dalam berbagai aspeknya, yang tidak mungkin dapat dibendung oleh siapapun saja. Dalam konteks itulah, sejatinya setiap orang benar-benar memahami, bahwa eksistensinya tidak mungkin dapat terlepas dari orang lain, apapun latar belakang kehidupannya dalam Pembahasan tentang pluralisme yang cukup menarik, sebagai sustu keniscayaan yang tidak mungkin dapat dihindari, dapat dilihat dalam Tulisan Djohan Effendi, “Pluralisme Pemahaman dalam Perspektif Teologi Islam,” dalam Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam M. Ed. Masyhur Amin (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), 149-161. 15 Al-Quran telah menjelaskan dengan cukup panjang tentang kisah Habil dan Qabil, yang tentu saja, agar manusia yang hidup sesudahnya dapat mengambil pelajaran dari kisah itu. Lihat Al-Maa-idah (5): 27-32. 14
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 109-121
berbagai aspeknya, yang sudah pasti syarat dengan pluralitas. Pada titik ini, jelas signifikansi pluralisme sangat urgensif untuk segera dibumikan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, agar di masa-masa mendatang berbagai tragedi kemanusiaan dapat ditekan seminimal mungkin, jika memang tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan. Islam, yang telah dinobatkan sebagai agama yang universal dan kosmopolitan, sejak awal kelahirannya sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain.16 Negara Arab dan negara-negara lain yang berada di sekitarnya, ketika Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul Allah untuk menyebarkan agama Islam sudah mengenal banyak agama, seperti Yahudi dan Kristen.17 Di dalam al-Quran, banyak sekali ditemukan rekaman kontak antara Islam dan kaum Muslimin dengan berbagai komunitas keagamaan lain yang berkembang di negara Arab.18 Dengan ungkapan lain, pluralitas agama, kultural, rasial, dan sejenisnya, harus diakui sudah muncul sejak zaman dulu, sebagai bagian yang integral dari kehidupan manusia. Dari perspektif di atas, dapat dimaklumi jika pesantren benar-benar telah menunjukkan apresiasinya yang sangat tinggi terhadap pluralisme, yang merupakan manifestasi dari berbagai perbedaan yang secara inheren melekat dalam diri manusia, pada aspek agama, karakter, dan berbagai kecenderungan lain yang dapat mempengaruhi perjalanan hidup manusia itu sendiri, menuju kondisi yang lebih baik dan berkualitas, atau justru sebaliknya. Apresiasi pesantren terhadap pluralisme itu, dapat dilihat dan dicermati dari kegigihan komunita pesantren dalam menjaga keutuhan NKRI, yang telah disepakati sebagai ikatan luhur antar berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Misalnya, puncak dari peran signifikan komunitas pesantren dalam pembentukan negara (NKRI), adalah keterlibatan 16 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme (Yogyakarta: LKiS, 2012), 312. 17 Ibid. 18 Ibid.
110-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
aktif kiai pesantren dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada Maret 1945 untuk menyusun Undang-Undang Dasar.19 Dalam BPUPKI itu, tercantum nama KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Masykur, dua tokoh pesantren, bersama Soekarno, Moh. Hatta dan tokoh pergerakan lainnya.20 Selain itu, KH. A. Wahid Hasyim juga menjadi salah satu dari sembilan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang merumuskan dasar, bentuk, dan tujuan didirikannya negara Indonesia.21 Adapun Sidang pertama PPKI itu diselenggarakan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945 di bekas Gedung Road van Indie di jalan Pejambon. Sebelum sidang dimulai, Soekarno-Hatta meminta beberapa anggota untuk kembali membahas Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar, yang dihasilkan oleh BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945, yang mencantumkan sebuah kalimat “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya” yang menjadi titik sengketa yang krusial, khususnya bagi penduduk Indonesia Timur yang tidak beragama Islam.22 Oleh karena itu, kemudian mereka merasa khawatir termarjinalisasi dalam NKRI, jika Piagam Jakarta dijadikan sebagai dasar negara. Apabila Piagam Jakarta itu tetap tidak dirubah, maka mereka lebih suka berdiri diluar NKRI,23 yang mengandung arti bahwa mereka akan mendirikan negara sendiri. Demi untuk menjaga soliditas (keutuhan) bangsa Indonesia pada saat yang sangat krusial itu, empat orang anggota PPKI yang mewakili umat Islam Indonesia yang dipanggil Hatta, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Hasan, 19 M. Jadul Maula, ”Kembali ke Khittah 1945: Negara Republik Indonesia adalah ”Negara Islam”-nya Umat Islam Indonesia Menurut Nahdlatul Ulama,” dalam Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama, Ed. M. Bisri Adib Hattani (Pati: Majma Buhuts An-Nahdliyah, 2014), 123. 20 Imam Muhlis, Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU (Kebumen: Tangan Emas, 2013), 162. 21 M. Jadul Maula, “Kembali ke Khittah”, 123-124. 22 Imam Muhlis, Ijtihad Kebangsaan,163-164. 23 Zainal Abidin dan Imam Anshori Soleh, Soekarno dan NU, 97
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 111-121
dan KH. A. Wahid Hasyim,24 setuju untuk menghapuskan rujukan pada agama Islam dalam teks mukadimah UndangUndang Dasar Republik Indonesia.25 Dari sinilah kemudian, KH. A. Wahid Hasyim sebagai wakil dari umat Islam dan tokoh pesantren mengusulkan, agar Piagam Jakarta perlu diganti dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang penambahan kata Esa menggarisbawahi Keesaan Tuhan (tauhed) yang tidak terdapat pada agama lain.26 Menurut KH. A. Wahid Hasyim, kata Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan prinsip-prinsip tauhed, yang jika diikuti secara konsisten oleh umat Islam, sudah pasti mereka akan legowo, karena hanya Islam yang mengenal Tuhan Yang Maha Esa.27 Melalui usul KH. A. Wahid Hasyim yang cerdas itu, kemudian diterima oleh kelompok nasionalis sekuler dan kelompok agama lain, yang pada awalnya sangat gigih menolak Piagam Jakarta. Sehingga, secara formal Indonesia tidak menjadi negara Islam, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan jalan ini, bangsa Indonesia dapat terhindar dari formalisasi ajaran-ajaran Islam, yang secara gradual justru akan kontra produktif terhadap sakralitas agama Islam itu sendiri, Sebab, formalisasi ajaran-ajaran Islam dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang, telah terbukti dijadikan instrumen justifikasi yang sangat efektif terhadap berbagai perilaku para raja dan penguasa, yang secara faktual justru bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, yang perlu dimaklumi adalah, bahwa negara- negara Arab dan Afrika yang mengusung formalisasi ajaran-ajaran agama dalam konteks kehidupn berbangsa dan bernegara, telah mengalami distorsi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini, jelas menjadi fakta yang tidak terbantahkan, bahwa ideologi agama yang sering ditempatkan dalam nuansa romantisme sejarah 24 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), 157. 25 Zainal Abidin Amir dan Umam Anshori Soleh, Soekarno dan NU, 97. 26 Ibid., 97-98. 27 Dikutip oleh Zainal Abidin dan Imam Anshori Saleh, Soekarno dan NU, 92.
112-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
masa-masa lalu, telah menunjukkan kegagalannya dalam upaya memperjuangkan kedamaian serta kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara. Dari peran yang sangat sentral dan signifikan KH. A. Wahid Hasyim itu dalam upaya mendesain konstruk kebangsaan, yang memungkinkan dan sekaligus memudahkan seluruh elemen rakyat untuk bersatu dalam NKRI, maka dapat dijadikan suatu indikasi bahwa komunitas pesantren benar-benar mengapresiasi pluralisme. Apresiasi ini, selain sebagai bagian yang integral dari ajaran-ajaran Islam, juga merupakan warisan dari perjalanan sejarah yang sangat panjang dari bangsa ini. Melalui jalan itu, pesantren mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam menyatukan seluruh rakyat Indonesia dalam naungan NKRI, dan dapat menghadapi gerakan kelompok Islam radikal yang berobsesi untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Pesantren dan Radikalisme di Madura Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan yang paling tua di Indonesia memiliki tradisi yang sangat berbeda dengan tradisi institusi-institusi pendidikan lain di seluruh dunia,28 Tradisi itu, kemudian terus dikembangkan, dielaborasi, dan dimaknai sebagai sesuatu yang luhur, yang secara faktual dapat meneguhkan nilai-nilai transendental para santri, dalam proses kehidupan yang berlalangsung selama mereka berada dan ditempa di lingkungan pesantren, melalui riyadlah shalat jamaah lima waktu, shalat dluha, shalat tahajjud, shalat tasbih, dan semacamnya. Nilai-nilai transendental itu jika dilakukan secara konsisten oleh para santri, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mendapatkan barakah dan sekaligus ilmu yang bermanfaat dari Allah SWT, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun 28 Abdurrahman Wahid, “Asal Usul Tradisi Keilmuan Pesantren,” dalam Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Tramsformasi Kebudayaan, Ed. Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 121.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 113-121
kepentingan orang lain. Dengan demikian, sesuai dengan tradisi pesantren, para santri sejak berada di lingkungan pesantren, sudah dididik untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalaui berbagai riyadlah seperti yang telah disebutkan di atas, sebagai bagian yang integral dari proses pengukuhan spiritual. Selain itu,. para santri juga dibiasakan bergotong royong, kerja bakti, dan saling membantu, untuk kepentingan pesantren serta yang lain, paling tidak, dilakukan satu kali dalam seminggu. Dengan mengacu pada ketiga elemen dasar di atas, akan dicoba untuk ditelusuri tentang strategi empat pesantren yang tersebar di empat kabupaten di Madura, dalam menghadapi gerakan kelompok Islam yang sejak beberapa tahun terakhir ini, sudah mulai menyebarkan ideologinya yang secara faktual justru bertentangan dengan ideologi masyarakat Madura, yang sebagian besar mengikuti para kiai yang berideologi Aswaja. Untuk lebih jelasnya, strategi empat pesantren itu akan dikemukakan dibawah ini, sebagaimana berikut: 1. PP Annuqayah Sebagai salah satu pesantren tertua dan terbesar di Sumenep, PP Annuqayah sangat populer di tengah-tengah masyarakat. Pesantren ini, sebenarnya memiliki akses yang sangat strategis untuk berperan secara maksimal dalam proses kehidupan masyarakat, dalam berbagai aspeknya. Apalagi ketika gerakan kelompok Islam radikal sudah mulai bergeliat dan menunjukkan kekuatannya di kabupaten ini, semestinya PP Annuqayah terlibat secara intens sebagai insiator dan inspirator dalam membendung gerakan kelompok itu, dengan mengajak pesantren-pesantren lain untuk bergabung dalam satu wadah, yang dapat merepresentasikan berbagai pesantren yang ada di Sumenep, dan bahkan di Madura. Melalui wadah itu, diharapkan muncul suatu gerakan yang secara spesifik dan sistematis memfokuskan perhatiannya untuk membendung dan menghadapi gerakan kelompok Islam radikal, yang telah berkembang di Sumenep pada khususnya, dan di Madura pada umumnya. Sehingga, ekspansi gerakan kelompok
114-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
Islam radikal, paling tidak, diupayakan dapat diminimalisir, apabila memang sangat tidak mungkin untuk ditiadakan dan dihilangkan sama sekali dari kawasan Madura. Siapa pun yakin, jika PP Annuqayah dapat memposisikan diri sebagai inisiator dan inspirator dalam upaya membangun kekuatan dan jaringan (nertwork) di kalangan komunitas pesantren, kemungkinan besar gerakan Islam radikal tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Tetapi, sayang sekali, PP Annuqayah tidak melakukan suatu gerakan yang terorganisir, sebagai bagian yang integral dari strateginya dalam menghadapi kelompok Islam radikal.29 Padahal, kelompok Islam radikal di kabupaten Sumenep sudah mulai berkembang di kecamatan Bluto, Lenteng, Batang-Batang, dan lebih-lebih di kawasan perkotaan, yang dikendalikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jaringan Anshorut Tauhid, yang pendirinya adalah Abu Bakar Baasyir, Solo.30 Hal tersebut, sejatinya dideteksi oleh PP Annuqayah, dan kemudian dicarikan solusinya secara komprehensif, agar gerakan kelompok Islam radikal dari hari ke hari tidak semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sebab, jika gerakan kelompok Islam radikal itu terus dibiarkan, maka Aswaja sebagai ideologi komunitas pesantren sudah dapat dipastikan akan mengalami ancaman yang serius di masa-masa mendatang. Pada titik inilah, keterlibatan aktif PP Annuqayah dalam upaya menghadapi gerakan kelompok Islam radikal, sangat ungensif untuk segera dimanefestasikan dalam realitas kehidupan. Menurut KH. A. Basith AS, Islam dalam perspektif Aswaja, sebagai komunitas terbesar (al-sawadal-a’z}am) dalam perjalanan dan pergulatan sejarah yang sangat panjang dari umat Islam, perlu dijelaskan kepada mereka (aktivis gerakan kelopok Islam radikal).31 Ini mengandung arti, bahwa dialog yang dialogis perlu 29 Wawancara dengan KH. A. Basith AS, Pengasuh PP Annuqayah Latee I di Guluk-Guluk, tanggal 14 September 2015. 30 Wawancara dengan H. A. Pandji Taufiq, Mantan Ketua Yayasan Annuqayah dan Ketua Tanfidziyah PCNU Sumenep, di Guluk-Guluk, tanggal, 14 September 2015. 31 Wawancara dengan KH. A. Basith AS, Pengasuh PP Annuqayah Latee I,
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 115-121
dijadikan salah satu medium yang efektif dalam memberikan pemahaman yang holistik dan komprehensif kepada mereka, tentang Islam yang terangkum dalam Aswaja. Sisi lain, yang sangat urgen untuk diperhatikan, dalam konteks upaya menghadapi gerakan kelompok Islam radikal adalah, bahwa materi Aswaja perlu diajarkan sesegera mungkin di berbagai pendidikan formal (sekolah dan madrasah),32 baik yang bernaung dibawah PP Annuqayah maupun di berbagai pesantren yang lain. Melalui pembelajaran materi ini, para santri (murid) diharapkan dapat memahami Aswaja sebagai ideologi yang paling tepat dan ideal untuk mengukuhkan religiusitas mereka dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa basis gerakan kelompok Islam radikal di Sumenep adalah di kawasan perkotaan. Dalam konteks ini, KH. A. Basith AS menegaskan tentang signifikasi pembentukan tim di kawasan perkotaan, yang secara spesifik melakukan berbagai upaya yang kongkret untuk memotong gerakan kelompok Islam radikal sampai ke akar-akarnya. Suatu catatan yang perlu dijadikan referensi kehidupan adalah, bahwa KH. A. Basith AS adalah seorang yang memiliki kepribadian yang kukuh dan penuh semangat, meskipun diselimuti dengan kondisi fisik yang sudah rapuh. Oleh karena itu, ketika PP Annuqayah secara institusional belum menyusun strategi untuk menghadapi gerakan kelompok Islam radikal, KH. A. Basith AS justru telah memulainya, yang ditandai dengan penerbitan Majalah Annajah. Majalah ini, yang untuk Edisi 01 terbit pada Agustus-Desember 2015, harus diakui sebagai wujud kongkret dari persembahan dan konstribusi KH. A. Basith pada agama, bangsa, dan negara, sesuai dengan prinsip ajaran-ajaran Islam menurut pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah, yang lebih kemudian populer dengan sebutan Aswaja. di Guluk-Guluk, tanggal 14 September 2014. 32 Wawancara dengan KH. A. Basith AS, Pengasuh PP Annuqayah Latee I, di Guluk-Guluk, tanggal 14 September 2014.
116-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
2. PP Riyadhus Shalihin PP Riyadhus Shalihin yang dipimpin oleh KH. Abd. Ghoffar, yang lokasinya terletak di Kabupaten Pamekasan ini, masih tergolong baru. Oleh karena itu, sangat beralasan jika pesantren ini sama dengan tiga pesantren lain yang berada di Kabupaten Sumenep, yaitu tidak memiliki strategi yang secara institusional berupaya untuk menghadapi gerakan kelompok Islam radikal di Kabupaten Pamekasan.33 KH. Abd. Ghoffar, selain sebagai pengasuh PP Riyadhus Shalihin, juga mendapat amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Pamekasan, selama dua periode. Melalui jabatan Ketua Tanfidziyah PCNU, KH. Abd. Ghoffar berusaha untuk mendekati berbagai organisasi Islam yang berkembang di Kabupaten Pamekasan, termasuk gerakan kelompok Islam radikal.34 Pendekatan ini, disertai dengan dialog yang diupayakan untuk mencari titik temu antar berbagai organisasi Islam, yang telah melibatkan gerakan kelompok Islam radika. Dalam dialog tersebut disepakati, bahwa setiap organisasi Islam diperibolehkan untuk mengembangkan ajaranajarannya kepada para anggota organisasinya sendiri, dengan cara-cara yang baik dan santun, tanpa harus memojokkam organisasi Islam yang lain. Namun, model pendekatan yang dilakukan oleh KH. Abd. Ghoffar itu, membutuhkan pengawasan yang sangat ketat yang melibatkan bebagai pihak. Sebab, gerakan kelompok Islam radikal kemungkinan besar akan muncuri Start, agar aktivitasnya dalam upaya menyebarkan ideologinya tidak terdeteksi oleh kelompok lain, terutama oleh pengurus PCNU Pamekasan. Jika prediksi ini benar, maka jangan kaget apabila gerakan kelompok Islam radikal pada suatu saat akan berkembang dengan pesat di Kabupaten Pamekasan. Inilah barangkali, berbagai kemungkinan yang sangat signifikan untuk diantisipasi, agar perkembangan 33 Wawancara dengan KH. Abd. Ghoffar, Pengasuh PP Riyadhus Shalihin, di Pamekasan, tanggal 18 September 2015. 34 Wawancara dengan KH. Abd. Ghoffar, Pengasuh PP Riyadhus Shalihin, di Pamekasan, tanggal 18 September 2015.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 117-121
gerakan kelompok Islam radikal di Kabupaten Pamekasan dapat ditekan pada titik yang paling rendah. Jadi, pengurus PCNU Pamekasan jangan sampai terkooptasi pada model penyelesaian yang dianggap dialogis, dengan melupakan substansi gerakan kelompok Islam radikal itu yang secara faktual memang akan berusaha secara serius untuk menguburkan ideology Aswaja ke jurang yang terdalam. Sehingga, secara gradual ideologi Aswaja akan terus tergerogoti, dan kemudian mengalami set back dalam proses kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. 3. PP Darul Ulum PP Darul Ulum adalah pesantren yang cukup besar, yang berlokasi di Kabupaten Sampang. Pengasuhnya adalah KH. Syafiuddin, yang sekaligus juga dipercaya sebagai Rois Syuriah PCNU Kabupaten Sampang. Menurut KH. Syafiuddin, warga nahdliyin di Kabupaten Sampang mencapai 99,5 %, sedangkan sisanya yang 5 % adalah Persis yang berlolakasi di Camplong Kabupaten Sampang.35 Dengan demikian, aktivis gerakan kelompok Islam radikal di kawasan Kabupaten Sampang ini dapat dihitung dengan jari.36 Sehingga, karena alas an inilah barangkali, PP Darul Ulum tidak perlu repot-repot menyusun strategi ysng secara spesifik melakukan perlawanan terhadap gerakan kelompok Islam radikal. Meskipun demikian, KH. Syafiuddin tidak tinggal diam dan sekaligus menunjukkan antusiasmenya yang sangat tinggi dalam upaya melaksanakan berbagai program yang telah diagendakan oleh PCNU Cabang Sampang, yang diantaranya adalah pembumian Aswaja di kalangan warga Nahdliyin Sampang. Hal ini, ditandai dengan padatnya acara lailatul ijtima yang terlihat dalam kalender mwlalui conterengan. Yang sangat menarik dari program PCNU Kabupaten 35 Wawancara dengan KH. Syafiuddin, Pengasuh PP Darul Ulum, di Omben, tanggal 18 September 2015. 36 Wawancara dengan KH. Syafiuddin, Pengasuh PP Darul Ulum, di Omben, tanggal 18 September 2015.
118-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
Sampang, paling tidak bagi penyusun adalah, bahwa materi Aswaja sudah bisa dimasukkan ke sekolah-sekolah negeri (SMP dan SMA), melalui kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) sejak Tahun Ajaran Baru 2015.37 Inilah program prestisius dari PCNU Kabupaten Sampang, yang sangat urgensih untuk dip[erhatikan oleh PCNU-PCNU yang lain di Indonesia, agar putera-puteri warga nahdliyin sejak dini sudah dapat mengenal NU dan amalan-amalannya. Selain itu, materi Aswaja juga diajarkan di berbagai pendidikan formal yang bernaung dibawah Yayasan PP Darul ulum Kabupaten Sampang.38 Hal ini dimaksudkan, agar para santri sejak dini dapat mengenal dan sekaligus menguasai Aswaja, sebagai ideologi NU. 4. PP Nurul Amanah PP Nurul Amanah yang berlokasi di Kabupaten Bangkalan, persis seperti lima pesantren yang lain yang berada di tiga kabupaten di Madura, yaitu tidak memiliki strategi yang secara institusional berusaha untuk menghadapi dan membendung gerakan kelompok Islam radikal.39 Padahal, sebagaimana yang telah diakui oleh KH. M. Jazuli Nur sebagai pengasuh PP Nurul Amanah, gerakan kelompok Islam radikal itu di Kabupaten Bangkalan sudah muncul ke permukaan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan wahabi, yang menyerang yasinan, tahlil, dan shalawatan.40 Untuk mengatasi gerakan kelompok Islam radikal itu, kemudian para kiai di Kabupaten Bangkalan berkumpul dan membahas langkah-langkah yang efektif dalam melokalisir gerakan kelompok Islam radikal tersebut. Para kiai juga berupaya Wawancara dengan KH. Syafiuddin, Pengasuh PP Darul Ulum, di Omben, tanggal 18 September 2015. 38 Wawancara dengan KH. Syafiuddin, Pengasuh PP Darul Ulum, di Omben, tanggal 18 September 2015. 39 Wawancara dengan KH. M. Jazuli Nur, Pengasuh PP Nurul Amanah, di Tanah Merah Bangkalan, tanggal 18 September 2015. 40 Wawancara dengan KH. M. Jazuli Nur, Pengasuh PP Nurul Amanah, di Tanah Merah Bangkalan, tanggal 18 September 2015. 37
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 119-121
menyadarkan orang-orang yang terlanjur mengikuti gerakan kelompok Islam radikal itu, agar mereka kembali ke jalan yang benar, sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam dalam koridor Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah.41
Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas, dapat dapat disimpulkan bahwa, pesantren dapat ditempatkan sebagai medium yang efektif untuk meneguhkan pilar NKRI. Lebih-lebih ketika NKRI menghadapi ancaman dari gerakan kelompok Islam radikal. Di Madura, pesantren sebagai lembaga pendidikan terbesar, memiliki tugas besar dalam membentengi masyarakat dari bahaya radikalisme. Dari keempat pesantren di Madura: PP Annuqayah GulukGuluk, PP Riyadhus Shalihin Pamekasan, PP Darul Ulum Sampang, dan PP Nurul Amanah Bangkalan, belum memiliki strategi yang secara spesifik berupaya untuk meneguhkan NKRI sebagai pilar Negara, terutama dalam menyikapi gerakan radikalisme di Madura. Hanya saja, pesantren-pesantren tersebut selalu memberikan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat tentang bahya radikalisme dan memperkokoh paham keaswajaan masyarakat.
Wawancara dengan KH. M. Jazuli Nur, Pengasuh PP Nurul Amanah, di Tanah Merah Bangkalan, tanggal 18 September 2015. 41
120-121 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016
Daftar Pustaka Ali, Asad Said. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: LP3ES, 2009. Amir, Zainal Abidin dan Imam Anshori Saleh. Soekarno dan NU Titik Temu Nasionalisme. Yogyakarta: LKiS, 2013. Dhakiri, Muh. Hanif. NU Jimat NKRI Jimat Islam Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2013. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1985. Effendi, Djohan. “Pluralisme Pemahaman dalam Perspektif Teologi Islam.” dalam Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam. Ed. Masyhur Amin. Yogyakarta: LKPSM NU, 1989. Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad, Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 2008. Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme. Yogyakarta: LKiS, 2012. Madjid, Nurcholish. “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren.” dalam Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Ed. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: P3M, 1985 Maula, M. Jadul. ”Kembali ke Khittah 1945: Negara Republik Indonesia adalah ”Negara Islam”-nya Umat Islam Indonesia Menurut Nahdlatul Ulama.” dalam Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama, Ed. M. Bisri Adib Hattani. Pati: Majma Buhuts AnNahdliyah, 2014. Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama, cet. ke-1, Yogyakarta: LKiS, 2007), 274. Muhlis, Imam. Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU. Kebumen: Tangan Emas, 2013. Muhlis, Imam. Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU. Kebumen: Tangan Emas, 2013. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1982. Siraj, Said Aqil. Tasauf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan, 2006. Suhady, Idup dan A. M. Sinaga. Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: LAN, 2006.
Munif, Meneguhkan NKRI di Madura | 121-121
Sutarto, Ayu. Menjadi NU Menjadi Indonesia, Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista, 2008. Wahid, Abdurrahman. “Asal Usul Tradisi Keilmuan Pesantren.” dalam Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Tramsformasi Kebudayaan, Ed. Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy. Jakarta: The Wahid Institute, 2007. Wahid, Abdurrahman. “Musuh Dalam Selimut” kata Pengantar Ilusi Negara Islam, Ed. Abdurrahman Wahid. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Wawancara dengan H. A. Pandji Taufiq, Mantan Ketua Yayasan Annuqayah dan Ketua Tanfidziyah PCNU Sumenep, di Guluk-Guluk, tanggal, 14 September 2015. Wawancara dengan KH. A. Basith AS, Pengasuh PP Annuqayah Latee I di Guluk-Guluk, tanggal 14 September 2015. Wawancara dengan KH. Abd. Ghoffar, Pengasuh PP Riyadhus Shalihin, di Pamekasan, tanggal 18 September 2015. Wawancara dengan KH. M. Jazuli Nur, Pengasuh PP Nurul Amanah, di Tanah Merah Bangkalan, tanggal 18 September 2015. Wawancara dengan KH. Syafiuddin, Pengasuh PP Darul Ulum, di Omben, tanggal 18 September 2015.