ENDAPAN FOSFAT DI DAERAH MADURA Oleh : A. Fatah Yusuf Sub Dit. Eksplorasi Mineral Industri dan Batuan
SARI Tulisan makalah ini berupa rangkuman dari hasil penyelidikan endapan fosfat di daerah Madura yang dilakukan oleh Sub Direktorat Eksplorasi Mineral Industri dan Batuan, berlangsung dari tahun 1994 sampai dengan tahun 1999, meliputi Kabupaten Sampang, Pamekasan dan Kabupaten Sumenep. Kisaran kadar P2O5 di daerah, Sampang 2,28 - 37,09 %, Pamekasan 5,61 - 37,79 %, Sumenep 6,20 % - 44,23 %, dengan jumlah sumberdaya fosfat di daerah Kabupaten, Sampang sekitar 5.000.000 m3, Pamekasan sekitar 23.400 m3, dan di Sumenep sekitar 827.500 m3 . Berdasarkan kandungan P2O5 endapan fosfat di daerah, Sampang sebagian besar dapat digunakan sebagai pupuk alam, sebagian kecil lagi sebagai bahan baku pupuk super fosfat (SP36), Pamekasan sekitar 55 % dapat digunakan sebagai pupuk alam dan sebaian kecil sebagai pupuk super fosfat (SP36). Di daerah Sumenep dapat digunakan sebagai pupuk alam dengan kualitas A sebanyak 22 lokasi (sekitar 48,9 % dari seluruh jumlah lokasi), dengan kualitas C sebanyak 4 lokasi (8,9 %), yang mempunyai mutu I sebanyak 21 lokasi (46,7 %) dan mutu II 4 lokasi (8,9 %), untuk bahan baku pembuatan asam fosfat terdapat sebanyak 11 lokasi (24,4 %), untuk bahan baku pembuatan pupuk SP-36 sebanyak 14 lokasi (31,1 %). Untuk keperluan tertentu, endapan fosfat di daerah Madura perlu mengalami proses benefisiasi baik untuk meningkatkan kadar P2O5 maupun untuk menghilangkan unsur/ senyawa pengotor lainnya sehingga endapan fosfat tersebut memenuhi syarat bagi keperluan tertentu. Baik sebaran maupun jumlah sumberdaya endapan fosfat di daerah Madura relatif kecil, dengan demikian penambangannya hanya ekonomis untuk sekala kecil atau tambang rakyat. Untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan perlu pemantauan dan penataan usaha penambangan bahan galian dalam sekala kecil.
fosfat di daerah Madura yang dilakukan oleh Sub Direktorat Eksplorasi Mineral Industri dan Batuan (SDEMIB), berlangsung dari tahun 1994 sampai dengan tahun 1999, meliputi Kabupaten Sampang, Pamekasan dan Kabupaten Sumenep.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penulisan makalah ini berupa rangkuman dari hasil penyelidikan endapan Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-1
dari endapan permukaan, permukaan dan gua.
Endapan fosfat di daerah Madura selama ini dikenal sebagai endapan fosfat guano, yang mempunyai sifat baik sebaran maupun sumberdayanya sangat terbatas. Berdasarkan dugaan (Wahyu S. Hantoro, LIPI, 1980 dan Arthur J. G. Nothol) bahwa di daerah Madura pada Lajur Rembang Madura berupa engsel (shelfal basin), memungkinkan terdapatnya endapan fosfat marin (sedimenter). Oleh karena itu pada tahun anggaran 1998/1999, SDEMIB melakukan eksplorasi fosfat disertai dengan pemboran inti di daerah Kabupaten Pamekasan.
bawah
2. GEOLOGI DAERAH MADURA 2.1. Morfologi Sebagian besar wilayah Madura termasuk Lajur Rembang, merupakan pegunungan yang terlipat dan membentuk antiklinorium yang memanjang dengan arah barat - timur. Pada umumnya daerah ini termasuk perbukitan landai hingga pegunungan berlereng terjal. Berdasarkan keadaan bentang alamnya daerah Madura dikelompokkan menjadi tiga satuan morfologi, yakni : dataran rendah, perbukitan dan kras.
1.2. Teori Endapan Fosfat Fosfat merupakan satu -satunya bahan galian (diluar air) yang mempunyai siklus, unsur fosfor di alam diserap oleh mahluk hidup, senyawa fosfat pada jaringan mahluk hidup yang telah mati terurai, kemudian terakumulasi dan terendapkan di lautan. Proses terbentuknya endapan fosfat ada tiga:
1. Morfologi dataran rendah, dengan ketinggian antara 0 - 50 m (dpl), menempati daerah pesisir. Di pesisir selatan Madura, dataran rendah membentang dari barat ke timur yaitu dari Pamekasan sampai ke Dungke. Di daerah Pamekasan dan Sumenep daerah dataran rendah lebih luas daripada daerah lainnya dan merupakan muara S. Trokom dan S. Anjak. Daerah ini di bentuk oleh endapan sungai, pantai, rawa dan batugamping koral.
1. Fosfat primer terbentuk dari pembekuan magma alkali yang bersusunan nefelin, syenit dan takhit, mengandung mineral fosfat apatit, terutama fluor apatit {Ca5 (PO4)3 F}dalam keadaan murni mengandung 42 % P2 O5 dan 3,8 % F2.
2. Morfologi bergelombang, dengan ketinggian 0 - 200 m (dpl), menempati bagian utara, tengah dan selatan, memanjang dengan arah barat - timur, umumnya dibentuk oleh batuan sedimen yang terdiri dari batulempung Formasi Tawun, batupasir Anggota Formasi Ngrayong dan batugamping.
2. Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan suasana tenang, mineral fosfat yang terbentuk terutama frankolit. 3. Fosfat guano, merupakan hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batugamping karena pengaruh air hujan dan air tanah. Berdasarkan tempatnya endapan fosfat guano terdiri
3. Morfologi kras, dengan ketinggian 120 440 m (dpl), dicirikan oleh perbukitan kasar, terjal, sungai bawah permukaan, gua - gua, dolina, gawir dan kuesta, menempati bagian utara dan selatan, Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-2
memanjang barat - timur, umumnya dibentuk oleh batugamping pasiran dan batugamping terumbu.
lempung, lumpur, kerikil dan kerakal, berumur Holosen.
Pola aliran sungai pada umumnya mendaun dan sebagian kecil sejajar, searah dengan arah jurus lapisan, sebagian memotong arah jurus lapisan, lembahnya termasuk menjelang dewasa.
2.3. Struktur Struktur di daerah Madura adalah lipatan dan sesar. Struktur antiklin dan sinklin berarah barat - timur, jurus sesar umumnya berarah baratdaya - timurlaut dan baratlaut - tenggara. Antiklin umumnya berkembang pada Formasi Ngrayong, Bulu dan Formasi Pasean. Sinklin pada umumnya berkembang pada Formasi Ngrayong.
2.2. Stratigrafi Daerah Madura dibentuk oleh batuan sedimen yang berumur Miosen Awal hingga Pliosen dan batuan endapan permukaan yang terdiri dari endapan aluvium.
Sesar yang terdapat di daerah ini adalah sesar naik, sesar geser dan sesar normal, jurus sesar naik berarah barat timur, jurus sesar geser dan sesar normal berarah baratdaya - timur laut dan baratlut tenggara. Kelurusan pada umumnya searah dengan jurus sesar geseran sesar normal.
Batuan tertua adalah Formasi Tawun (Tmt), terdiri dari batulempung, napal dan batugamping orbitoid, berumur Miosen Awal - Miosen Tengah, Formasi Ngrayong (Tmtn) menindih selaras Formasi Tawun yang terdiri dari batupasir kuarsa berselingan dengan batugamping orbitoid dan batulempung, berumur Miosen Tengah.
3. ENDAPAN FOSFAT 3.1. Sebaran Endapan Fosfat
Formasi Ngrayong tertindih selaras oleh Formasi Bulu (Tmb) yang terdiri dari batugamping pelat dengan sisipan napal pasiran, berumur Miosen Tengah bagian atas. Formasi Pasean (Tmp) menindih selaras Formasi Bulu, terdiri dari perselingan napal pasiran dan batugamping lempungan, berumur Miosen Akhir.
Sebaran endapan fosfat di daerah Madura tersebar setempat setempat mengisi rekahan, dolina dan gua - gua, dalam jumlah yang kecil - kecil, umumnya terdapat pada batugamping terumbu Formasi Madura (Tpm) sebagian kecil pada batugamping lempungan Formasi Pasean (Tmp) dan batugamping berlapis Formasi Bulu (Tmb).
Formasi Madura (Tpm) menindih tak selaras Formasi Pasean, terdiri dari batugamping terumbu dan batugamping dolomitan, berumur Pliosen. Formasi ini tertindih tak selaras oleh Formasi Pamekasan (Qpp) yang terdiri dari konglomerat, batupasir dan lempung, berumur Plistosen. Endapan paling muda adalah aluvium terdiri dari pasir kuarsa,
Endapan fosfat di Kabupaten Sampang terdapat di Bira Timur, Kecamatan Sokobanah, Kecamatan Sampang, Omben, Kedundung, Ketapang dan Kecamatan Jrengik, jumlah sumberdaya sekitar 5.000.000 m3. Kisaran kandungan P2O5 antara 2,28 - 37,09 %.
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-3
Di daearh Kabupaten Pamekasan dilakukan pemboran inti sebanyak 10 lokasi ( 5 lokasi di daerah G. Kacepe, Kecamatan Pasean dan 5 lokasi di daerah G. Nadere, Kecamatan Palengaan) dengan kedalaman berkisar antara 25 - 50 m, total kedalaman sekitar 300,70 m. Endapan fosfat di daerah Kabupaten Pamekasan terdapat di Kecamatan Pasean, Pakong dan di Kecamatan Palengaan. Mineralnya terdiri dari kolofan, dahlit dan hidroksiapatit, dengan kisaran kandungan P2O5 antara 5,61 - 37,79 %, jumlah sumberdaya sekitar 23.400 m3.
kedalaman 17 m, hal tersebut menunjukkan bahwa endapan merupakan fosfat guano. Unsur fosfor yang terkandung dalam kotoran burung sekitar 2 - 4 %, kemudian bereaksi dengan batuan karbonat membentuk mineral kalsium fosfat. Air hujan atau air permukaan yang mengandung CO2 dari udara maupun hasil pembusukan organik bereaksi dengan kalsium fosfat membentuk mineral karbonat hidroksi apatit. 3.3. Prospek Fosfat
Lokasi endapan fosfat di daerah Kabupaten Sumenep terdapat sebanyak 45, yang berada di 22 desa, sejumlah desa tersebut termasuk dalam wilayah 11 kecamatan, di setiap desa terdapat beberapa lokasi yang berdekatan maupun terpisah agak jauh. Mineralnya terdiri dari kolofan, dahlit dan hidroksiapatit, dengan kisaran kandungan P2O5 antara 6,20 - 44,23 %, terendah terdapat di Desa Ellak Daya, Kecamatan Lenteng (P/17 = 6,20 %) dan tertinggi di daerah Desa Kabunan, Kecamatan Sumenep (P/15 = 44,23 %). Endapan fosfat dengan kandungan P2O5 diatas 30 % terdapat sebanyak 15 lokasi sekitar 33,3 % dari keseluruhan jumlah lokasi, tersebar di 10 desa dan 8 kecamatan. Luas sebaran fosfat seluruhnya sekitar 31 Ha dengan jumlah sumberdaya sekitar 827.500 m3.
Pemanfaatan
Endapan
3.2. Genesa Endapan Fosfat
Lebih dari 90% produksi fosfat di Indonesia, khususnya kalsiumfosfat Ca3(PO4)2, digunakan untuk keperluan industri pupuk, baik pupuk alam maupun pupuk buatan. Sisanya dikonsumsi oleh berbagai industri seperti kaca lembaran, karet, industri kimia, dan lain-lain. Penggunaan fosfor dalam bentuk unsur digunakan untuk keperluan fotografi, korek api, bahan peledak dan lain-lain. Terdapat dua tipe dari unsur fosfor, yaitu fosfor putih dan fosfor merah. Fosfor putih hampir tidak larut dalam air, larut dalam alkohol dan larutan organik tertentu. Fosfor putih digunakan dalam pembuatan asam fosfat (H3PO4) dan bila dicampurkan dengan lelehan metal seperti timah dan tembaga menghasilkan alloy tertentu (special alloy), fosfor dalam bentuk ferro fosfor digunakan dalam berbagai industri metallurgi, untuk memperoleh logam dengan standar dan keperluan tertentu.
Pada beberapa conto dilakukan analisa kimia, petrografi, XRD dan SEM, dari hasil analisa tersebut mineral fosfat terdiri dari kolofan, dahlit dan hidroksiapatit, kandungan P2O5 sangat bervariasi, dan dari pemboran inti diperoleh endapan fosfat tidak lebih dari dari
Deposit fosfat yang ditemukan di Indonesia mempunyai kadar rendah sampai sedang, meskipun pada lokasi tertentu dapat mencapai kadar 40% P2O5. Terdapat pada daerah yang terpencar, berupa endapan fosfat gua atau batugamping fosfatan. Belum ditemukan deposit dalam jumlah Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-4
yang cukup besar, kecuali untuk diusahakan dalam skala kecil.
asam fosfat harus memenuhi persyaratan seperti pada Tabel 4. Pembagian mutu fosfat menurut SII terbagi dua, yaitu fosfat mutu I dan fosfat mutu II, persyaratannya seperti tertera pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Untuk pemupukan tanah, fosfat dapat langsung digunakan setelah terlebih dahulu dihaluskan (sebagai pupuk alam). Akan tetapi untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, dan lain-lain, pupuk alam ini tidak cocok, karena daya larutnya yang sangat kecil di dalam air sehingga sulit diserap oleh akar tanaman pangan tersebut. Untuk itu sebagai pupuk tanaman pangan, fosfat perlu diolah menjadi pupuk buatan. Variabel yang sangat menentukan bagi fosfat sebagai pupuk alam adalah nilai kelarutannya terutama kelarutan dalam asam sitrat 2 %, kelarutan pada asam tersebut mencerminkan seberapa besar fosfat yang dapat diserap oleh akar tanaman. Nilai kelarutan fosfat dalam air ditentukan oleh jenis mineral fosfat, mineral hidroksiapatit merupakan mineral fosfat yang mempunyai kelarutan tinggi, dengan demikian idealnya untuk pupuk alam digunakan endapan fosfat yang kandungan mineral hidroksiapatitnya cukup tinggi.
Di luar kegunaannya sebagai bahan pupuk, fosfat dalam bentuk senyawa lain digunakan dalam berbagai industri. Asam fosfat direaksikan dengan soda abu atau batu kapur, akan diperoleh senyawa fosfat tertentu. Asam fosfat dengan batugamping akan membentuk dikalsium fosfat yang merupakan bahan dasar pasta gigi dan makanan ternak. Reaksi sederhananya sebagai berikut: Ca3 (PO4)2 + CaCO3 =====> Ca HPO4 (dikalsium fosfat) Asam fosfat direaksikan dengan soda abu menghasilkan 3 produk dengan fungsi berbeda. Reaksi sederhananya sebagai berikut : H3 PO4 + Soda abu ======> 1,2,3. 1. Sodium tripoly phosphate -----> sebagai bahan detergent 2. Sodium triotho phosphate -----> pelembut air
Pupuk superfosfat terdiri dari : Single Super Phosphate (SSP), Triple Super Phosphate (TSP), Monoammonium Phosphate (MAP), Diammonium Phosphate (DAP), Nitro Phosphate (NP), Ammonium Nitro Phosphate (ANP). Superfosfat merupakan campuran antara monokalsium fosfat dan kalsium sulfat. Salah satu bentuk pupuk buatan adalah Super Fosfat, yaitu hasil reaksi antara tepung fosfat alam berkadar 30% P2O5 dengan asam sulfat pekat (Moersidi Sediyarso, 1998).
3. Tetra sodium pyro phosphate ------> industri keramik.
Fosfat sebagai pupuk alam harus memenuhi persyaratan SNI No. 02 - 3776, Tahun 1995 (Tabel 1), sebagai bahan baku Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-5
Tabel 1. Persyaratan Pupuk Fosfat Alam Menurut SNI No. 02-3776 Tahun 1995 Persyaratan Uraian Kualitas A Kualitas B Kualitas C Kadar Unsur Hara Fosfat sebagai P2O5 a. Total (Asam Mineral) min 28 % min 24 % min 18 % b. Larut dalam Asam sitrat 2 % min 10 % min 8 % min 6% Kadar Ca dan Mg setara CaO min 40 % min 40 % min 35 % Kadar R2O3 (Al2O3 + Fe2O3) maks 3 % maks 6 % maks 15 % Kadar Air maks 3 % maks 3 % maks 3 % Kehalusan a. Lolos 80 mesh min 50 % min 50 % min 50 % b. Lolos 25 mesh min 80 % min 80 % min 80 % Tabel 2. Fosfat Mutu I, Menurut SII No. 0029 Tahun 1973 No. Uraian Nilai 1. Fosfat larut dalam asam mineral P2O5 > 19 % 2. Fosfat larut dalam asam sitrat 2 P2O5 > dari 80 % P2O5 % mineral 3. Kehalusan 80 mesh > 90 % Tabel 3. Fosfat Mutu II, Menurut SII No. 0029 Tahun1973 No. Uraian Nilai 1. Fosfat larut dalam asam mineral P2O5 > 11 % 2. Fosfat larut dalam asam sitrat 2 P2O5 > dari 30 % P2O5 % mineral 3. Kehalusan 80 mesh > 90 %
yang larut dalam asam
yang larut dalam asam
Tabel 4. Spesifikasi Bahan Galian Fosfat Untuk Bahan Baku Asam Fosfat No. Uraian Batasan (%) No. Uraian Batasan (%) 1. P2O5 Min 32,00 7. Cl Max 0,03 2. H2O Max 2,00 8. F 3,50 - 4,00 3. Fe2O3 + Al2O3 Max 0,80 9. CO2 4,50 - 6,00 4. CaO Min 51,00 10. T - SiO2 4,00 - 5,50 5. MgO Max 0,40 11. Organik Carbon Max 0,60 6. Na2O Max 0,75 12. K2O Max 0,25 Ukuran butiran 13. + US Mesh 4 Max 0,75 14. + US Mesh 20 Min 96,00 Berdasarkan laboratorium dan persyaratan fosfat (yang tertera pada fosfat di daerah
sebagian besar dapat digunakan sebagai pupuk alam, sebagian kecil lagi dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk super fosfat (SP36). Di daerah Kabupaten Pamekasan sekitar 55 % kandungan P2O5 diatas 18 % dapat digunakan sebagai bahan
hasil analisa spesifikasi berbagai bagi produk tertentu tabel-tabel), endapan Kabupaten SAmpang
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-6
baku pupuk fosfat alam, dan sebagian kecil sebagai bahan baku pupuk super fosfat (SP36).
berdasarkan kepada tidak adanya (kecil) kandungan fluor dan radiasi radioaktif (fosfat sedimen mempunyai kandungan fluor dan radioaktif yang relatif tinggi), hal tersebut mendorong untuk melakukan penambangan fosfat guano meskipun dalam sekala kecil.
Endapan fosfat di daerah Kabupaten Sumenep dapat digunakan sebagai pupuk alam dengan kualitas A sebanyak 22 lokasi (sekitar 48,9 % dari seluruh jumlah lokasi), dengan kualitas C sebanyak 4 lokasi (8,9 %), yang mempunyai mutu I sebanyak 21 lokasi (46,7 %) dan mutu II 4 lokasi (8,9 %), untuk bahan baku pembuatan asam fosfat terdapat sebanyak 11 lokasi (24,4 %), untuk bahan baku pembuatan pupuk SP-36 sebanyak 14 lokasi (31,1 %). Kegunaa tersebut hanya berdasarkan kandungan P2O5 sedangkan kandungan pengotor lainnya umumnya melampaui ambang batas, untuk memperoleh bahan galian fosfat yang sesuai dengan persyaratan maka perlu dilakukan proses benefisiasi terlebih dahulu dengan melakukan proses pencucian, sehingga unsur pengotor, terutama Al2O3 dan Fe2O3 dapat dikurangi.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Endapan fosfat di daerah Madura merupakan endapan fosfat guano, terdiri dari mineral kolofan, dahlit dan hidroksi apatit. 2. Kisaran kadar P2O5 di daerah, Sampang 2,28 - 37,09 %, Pamekasan 5,61 - 37,79 %, Sumenep 6,20 % - 44,23 %. 3. Berdasarkan kandungan P2O5 endapan fosfat di daerah Sampang sebagian besar dapat digunakan sebagai pupuk alam, sebagian kecil lagi sebagai bahan baku pupuk super fosfat (SP36), Pamekasan sekitar 55 % dapat digunakan sebagai pupuk alam dan sebaian kecil sebagai pupuk super fosfat (SP36). Di daerah Sumenep dapat digunakan sebagai pupuk alam dengan kualitas A sebanyak 22 lokasi (sekitar 48,9 % dari seluruh jumlah lokasi), dengan kualitas C sebanyak 4 lokasi (8,9 %), yang mempunyai mutu I sebanyak 21 lokasi (46,7 %) dan mutu II 4 lokasi (8,9 %), untuk bahan baku pembuatan asam fosfat terdapat sebanyak 11 lokasi (24,4 %), untuk bahan baku pembuatan pupuk SP-36 sebanyak 14 lokasi (31,1 %).
3.4. Prospek Pengembangan Endapan Fosfat Ditinjau dari junlah sumberdaya maupun variasi kandungan P2O5 yang sangat lebar endapan fosfat di daerah Kabupaten Sampang, Pamekasan maupun Sumenep kecil kemungkinannya untuk ditambang secara besar - besaran, namun demikian fosfat guano besar sumbangannya bagi industri pupuk alam, dengan demikian penambangan fosfat di daerah Madura dapat dilakukan dengan sistim penambangan sekala kecil dan dilakukan secara selektif, mengingat variasi kandungan P2O5 yang begitu lebar. Adanya kecenderungan konsumen untuk menggunakan fosfat guano sebagai pupuk,
4. Jumlah sumberdaya fosfat di daerah Kabupaten, Sampang sekitar 5.000.000 m3, Pamekasan sekitar 23.400 m3, Sumenep sekitar 827.500 m3 .
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-7
hingga kandungan CO2 dan organik lainnya dapat terurai, terbentuk trikalsium fosfat [Ca3 (PO4)] yang sukar larut dalam air.
4.2. Saran 1. Untuk memperoleh bahan galian fosfat yang sesuai dengan persyaratan maka perlu dilakukan proses benefisiasi terlebih dahulu dengan melakukan proses pencucian, sehingga unsur pengotor, terutama Al2O3 dan Fe2O3 dapat dikurangi.
3. Penambangan dapat dilakukan dengan membuat sumuran yang agak lebar sehingga tingkat kecelakaan kerja dapat dikurangi. 4. Penambangan fosfat dengan cara tambang rakyat (secara selektif) recoverynya tinggi namun tidak efisien.
2. Untuk meningkatkan kadar P2O5 dapat dilakukan dengan proses pembakaran pada temperatur antara 900 - 1.100 oC
DAFTAR PUSTAKA 1.
Moersidi Sediyarso, 1998, P-Alam sebagai Pupuk P untuk Budidaya Pertanian. Makalah disajikan pada seminar Fosfat Indonesia sebagai bahan pupuk dan masalahnya, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral/BPPT, Jakarta 24 Maret 1998, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
2.
Situmorang, R.L., dkk., 1977, Geologi Lembar Waru-Sumenep, Jawa, Lembar 1609-3, 1608-6,1609-1 dan 1708-4, skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
3.
Sutaatmadja, J., Sabarna,B., Hadiana, D., Mudjahar KS., Sarino, 1994, Eksplorasi Pendahuluan Sumberdaya Endapan Fosfat di daerah Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Propinsi Jawa Timur, Proyek Eksplorasi Bahan Galian Industri dan Batubara, Direktorat Sumberdaya Mineral, 37 h.
4.
Sutaatmadja, J., Sabarna, B., Mudjahar KS., 1996, Eksplorasi Lanjutan Endapan Fosfat di daerah Kabupaten Pamekasan, Propinsi Jawa Timur, Proyek Eksplorasi Bahan Galian Logam, Industri dan Batubara, Direktorat Sumberdaya Mineral.
5.
Tatang Suryana, Ir., MM., Penggunaan Phosphate Rock di PT. Petrokimia Gresik. Makalah disajikan pada seminar Fosfat Indonesia sebagai bahan pupuk dan masalahnya, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral/BPPT, Jakarta 24 Maret 1998, PT. Petrokimia Gresik.
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-8
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3-9
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3 - 10
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3 - 11
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3 - 12
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3 - 13
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan DSM – 2000 3 - 14